bab iii peran fmsd dalam penggunaan gereja di...
Post on 02-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
59
BAB III
PERAN FMSD DALAM PENGGUNAAN GEREJA DI DERMOLO:
REPRESENTASI DOMINASI KELOMPOK AGAMA
DI TINGKAT LOKAL
A. Dermolo sebagai Setting Kajian
Desa Dermolo merupakan bagian dari teritori kecamatan Kembang
kabupaten Jepara. Kecamatan Kembang berbatasan dengan kecamatan Keling di
sebelah Timur; kecamatan Bangsri di sebelah Barat dan Selatan; dan Laut Jawa di
sebelah Utara. Luas wilayah Desa Dermolo 979,380 Ha (kepadatan penduduk:
522 jiwa/Km2). Desa ini memiliki sumberdaya alam yang besar. Ia memiliki
perkebunan negara (700 Ha) dan hutan karet yang sangat luas (300 Ha) dan
dikelola oleh PTPN yang bergerak di bidang pengolahan bahan karet mentah.1
Kondisi ini kemudian berdampak pada jenis mata pencaharian yang dipilih
oleh warga. Sebanyak lebih dari 70% penduduk Dermolo menggantungkan
hidupnya kepada PTPN, sebuah perusahaan milik negara di bidang pengolahan
karet mentah. Selainnya, sebanyak 28% bertani dan 2% wiraswasta. Jika
honorarium pekerja PTPN sebesar Rp. 30 ribu/hari bagi pekerja tetap dan Rp.
17.500/ hari untuk pekerja lepas, dapat dikatakan bahwa dari tingkat
kesejahteraan, masyarakat Dermolo pada level sedang. Sesuai data yang dirilis
oleh Badan Statistik tahun 2012, kondisi masyarakat pra-sejahtera sebesar 37,4%,
sejahtera I: 14%, sejahtera II: 18%, sejahtera III: 19,9%, sejahtera plus: 10,6%.
1Kantor Kecamatan Kembang dan Kantor Statistik Kecamatan, Kecamatan Kembang
Dalam Angka 2013 (Jepara: BPS Jepara), 81-95.
60
Kondisi ini setidaknya tergambar secara fisik di mana masih banyak rumah-rumah
yang berdiri dengan kondisi sederhana. Tercatat, rumah gedung/permanen
sebanyak 407 rumah, dan rumah gayu/genting sebanyak 1000 rumah. Bagi
sebagian besar orang, rumah ditempatkan sebagai simbol status sosial
pemiliknya.2
Gambaran ekonomi di atas sekaligus memberikan gambaran lain tentang
tingkat pendidikan masyarakat Desa Dermolo. Tidak lebih dari 12% remaja usia
kuliah, melanjutkan ke berbagai perguruan tinggi, baik di Jepara maupun luar
Jepara. Terlebih, fasilitas sekolahan yang ada di Desa Dermolo hanya berjumlah
9; 3 Sekolah dasar Negeri (SDN) dan 6 Taman Kanak-kanak. Jauhnya jarak dari
ibu kota kabupaten Jepara, yaitu sejauh 21 Km turut menyumbang faktor
rendahnya pendidikan. Ini berhubungan dengan faktor terkait, misalnya kesulitan
biaya, rendahnya motivasi, dan orientasi mengenai pekerjaan.
Rendahnya tingkat pendidikan warga di desa tersebut salah satunya dipicu
oleh kesulitan biaya bagi orangtua. Ini seringkali dijadikan sebagai alasan utama.
Orangtua umumnya masih berpandangan bahwa menyekolahkan anak ke
perguruan tinggi membutuhnya biaya yang besar, sementara banyak lulusannya
yang menganggur. Karena itu, secara umum mereka mengatakan, lebih baik anak
disuruh kerja karena menghasilkan uang, daripada kuliah yang hanya
menghabiskan uang. Sementara bagi kalangan tertentu, yaitu dari tokoh
masyarakat, sebagian besar mengarahkan anaknya memilih perguruan tinggi atau
2 Ibid, 78-80.
61
fakultas yang lebih menjanjikan pekerjaan, misalnya Akademi Kepolisian
(Akpol), STPDN, atau Akademi Militer (Akmil) yang memiliki ikatan dinas.
Karakter dan tipe keluarga di desa tersebut dikategorikan sebagai keluarga
kecil (nuclear family). Jika jumlah rumah di Desa Dermolo berjumlah 1.407 dan
dihuni oleh sebanyak 1860 jiwa, berarti setiap rumah bangunan dihuni oleh sekitar
3-4 orang. Ini dapat dijelaskan bahwa bentuk keluarga yang umum adalah
keluarga kecil, di mana rata-rata dalam satu rumah tangga, terdiri dari pasangan
suami-istri dengan dua anak.
Dalam konteks Desa Dermolo, rata-rata warga penduduk yang secara
ekonomi dianggap cukup kaya, adalah mereka yang bekerja sebagai pengusaha
seperti pengusaha meubel (meubeler), usaha jasa, seperti usaha angkutan, dan
petani yang memiliki sawah luas dan pekerjaan „sampingan‟ atau tambahan.
Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan yang dipilih, dan tingkat kesejahteraan
keluarga, serta tipologi rumah yang dimiliki sebagaimana telah diuraikan di atas,
menggambarkan adanya keterkaitan terhadap lingkungan alam fisik dalam satu
sisi, dan perubahan sosial pada sisi yang lain. Pada lingkungan alam fisik,
pekerjaan-pekerjaan buruh, baik di pabrik (70%) maupun di perusahaan meubel
(40%) menjadi pilihan mayoritas, dan kemudian disusul oleh profesi tani (28%),
wiraswasta, dan pegawai (2%).3
Persentase ini menunjukkan fakta (1) berkurangnya jumlah pekerja boro.
(2) meningkatnya dinamika ekonomi di desa setempat. Ketika sebagian kecil dari
masyarakat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi sebagian besar
3Ibid, 22-37.
62
yang lain, akan muncul keinginan untuk tetap di kawasan itu. Dengan begitu,
“para suami” yang umumnya diposisikan sebagai tulang-punggung pencari nafkah
bagi keluarga, berkurang minatnya pergi ke luar Jepara.
B. Sosial Keagamaan Penduduk
Identifikasi keagamaan sebagaimana tercatat dalam laporan pemerintahan
kecamatan, menjelaskan bahwa warga masyarakat Desa Dermolo 95% mengaku
atau dicatat sebagai orang Islam.4 Jumlah terbanyak kedua, adalah pemeluk Budha
(3%).5 Dan Jumlah terbanyak ketiga, adalah pemeluk Kristen, yaitu sebanyak
1%.6 Di desa ini baik pemeluk Kristen, Budha maupun Islam memiliki hubungan
kekerabatan cukup dekat. Pertalian ini kemudian berpengaruh terhadap dinamika
kemasyarakatan pada ranah sosial dan keagamaan. Pada acara kerja bakti ataupun
selamatan, satu sama lain saling mengundang. Begitu pula dalam pendirian
masjid, mushalla, wihara bahkan gereja, masyarakat terlibat tanpa membedakan
identitas agamanya.
Dengan kata lain, sebelum terjadinya polemik penggunaan gereja, interaksi
umat beragama di Desa Dermolo terbina secara baik. Di tengah kemajemukan
umat beragama, masing-masing dapat mengedepankan toleransi, sehingga tensi
4Islam merupakan agama yang pertama kali eksis di desa ini. Agama ini dibawa oleh sang
babat desa yang bernama Mbah Tambar dan Mbah Giah. Dari kedua orang ini lalu diwarisi secara
turun temurun kepada anak cucunya. 5Pemeluk Budha di desa ini mulai ada sejak tahun 1969 yang notabene merupakan satu
keluarga, yaitu keluarga besar pak Saimin, seorang muslim yang kemudian mengikrarkan diri
untuk memeluk agama Budha (wawancara dengan sesepuh agama Budha). 6 Sebelum Budha, cikal bakal umat Kristen lebih dulu ada di Dermolo sekitar tahun 1960-
an (ada pula versi yang mengatakan tahun 50-an) tepatnya sebelum peristiwa (G30 SPKI). Bahkan
pada tahun 1970 salah seorang mantan kepala desa menceritakan terdapat ratusan umat Kristiani
yang bertempat tinggal di Dermolo. Dikarenakan kebijakan dari Sinode untuk transmigrasi ke
Maluku, Sumatera dan lainnya, banyak warga Kristen Dermolo yang kemudian melakukan
transmigrasi dan menyisakan puluhan orang saja.
63
hubungan antarumat beragama berjalan stabil. Dalam ranah sosial, pemeluk ketiga
agama bisa saling bahu-membahu dalam relasi sosial dan saling menghormati
dalam hal pilihan keyakinan. Faktor lain terciptanya harmoni ini adalah nilai
toleransi yang diturunkan (ultimate value) oleh mbah Giah dan mbah Tambar; dua
tokoh dalam babat desa (cultural hero) yang dikenal sebagai orang yang babat
alas Desa Dermolo.7
Sebagaimana dituturkan oleh salah seorang sesepuh di Desa Dermolo8,
mulanya, stratifikasi sosial di desa ini memiliki kesamaan dengan masyarakat
Mojokuto yang diteliti oleh Clifford Geertz. Dalam Agama Jawa, Geertz,
memberikan klasifikasi keagamaan orang-orang Islam Jawa menjadi tiga bagian,
yaitu abangan (petani), santri (pedagang), dan priyayi (birokrat).9
Dalam konteks Dermolo saat ini, seiring perubahan kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat, stratifikasi masyarakat mengkristal menjadi dua, pertama,
santri, yaitu orang muslim yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh
dan dengan teliti mengamalkan perintah ajaran Islam. Ini biasanya ditandai
dengan keikutsertaannya dalam upacara-upacara agama yang dilakukan oleh
ummah (umat Islam); kedua, abangan yang secara harfiah berarti „yang merah‟,
yang diturunkan dari kata abang (merah). Orang Dermolo lebih suka menyebut
7 Wawancara dengan mantan Kepala Desa Dermolo, pada 13 Juli 2014.
8 Wawancara dengan sekretaris Desa (Carik) yang telah menjabat sejak tahun 90-an hingga
sekarang, dilakukan pada 13 Juli 2014. 9Dalam identifikasi Geertz, kelompok abangan diatribusikan pada masyarakat pedesaan
yang sistem keagamaannya terintegrasi secara berimbang antara unsur animisme, Hindu, dan
Islam. Di sini terjadi sinkretisme antara ajaran agama dengan local wisdom. Adapun kelompok
santri lebih diatribusikan pada para pedagang. Jika ditarik ke belakang, fakta ini berhubungan
dengan pertemuan para pedagang lokal dengan para pedagang dari Timur Tengah yang selain
melakukan kegiatan perdagangan, juga membawa misi keagamaan. Sementara kelompok priyayi
adalah kalangan aristokrasi turun-temurun yang oleh Belanda diambil dari raja-raja pribumi dan
kemudian direkrut sebagai pegawai. Clifford Gertz, The Religion of Java terj. Agama Jawa;
Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2012), xv-xxiii.
64
dirinya nasionalis. Kelompok ini biasanya mengenai muslim Jawa yang tidak
seberapa menjalankan perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi
kewajiban-kewajiban agama. Jadi, kelompok tersebut tidak lagi berlatar belakang
sebagaimana pada klasifikasi yang diberikan oleh Geertz.
Jika ditinjau dari klasifikasi keberpihakan terhadap Ormas, seperti NU dan
Muhammadiyah, komposisinya 90% mengikuti NU, dan selebihnya ke
Muhammadiyah. Persentase demikian semata-mata didasarkan pada pengakuan
mengenai agama yang dipeluk, dan tidak terkait dengan kualitas keagamaannya
sendiri. NU sebagai mayoritas di desa ini lebih disebabkan kuatnya pengaruh
Islam yang dibawa oleh para tokoh yang babat alas di sejumlah daerah di Jawa,
yang masih melestarikan tradisi-tradisi kejawen.
Sebagaimana diungkapkan sesepuh di Dermolo, awalnya tidak ada NU dan
Muhammadiyah. Masyarakat menjalankan syariat Islam secara normatif, misalnya
shalat, zakat, puasa, dan sebagainya tanpa melabeli ibadahnya dengan madzhab
atau konsep organisasi keagamaan tertentu. Jika pada satu sisi syariat Islam
dijalankan, pada sisi yang lain, tradisi kejawen masih terus dilestarikan, misalnya
kabumi, ruwatan, selamatan dan sebagainya.
Pada perkembangannya, seorang tokoh agama bernama Romo Sadyo yang
sepulang „nyantri‟ di sebuah pondok pesantren di Jombang Jawa Timur berganti
nama menjadi Mohammad Shofi‟i (selanjutnya disebut Shofi‟i), membawa iklim
baru keagamaan. Ia mulai mengenalkan bagaimana tata cara ibadah sesuai dengan
aturan syara’ (Hukum Islam). Dari sini lalu masyarakat mulai mengenal aturan
syariat Islam ala Nahdlatul Ulama (NU). Corak Islam ala NU yang permisif
65
terhadap kesalihan lokal (local wisdom) mendapatkan respon positif dari
masyarakat karena ia tidak serta merta menghilangkan tradisi-tradisi yang sudah
mengakar di masyarakat.
Situasi tersebut berpengaruh terhadap kemauan mereka untuk mengikuti
ajaran-ajaran yang dibawa oleh Shofi‟i. Jadi, pada satu sisi kewajiban-kewajiban
ritual keagamaan dijalankan dengan baik, pada sisi yang lain, kesalihan lokal yang
biasa dilakukan, seperti sedekah bumi (kabumi) yang mempertahankan tradisi
warisan kedua tokoh di atas (mbah Giah dan mbah Tambar) terus dilestrikan.
Untuk menggerakkan semangat beragama, Shofi‟i lalu membangun sebuah
masjid yang diberi nama Baitul Makmur. Masjid ini selain difungsikan sebagai
tempat ibadah, juga menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Ritual ibadah
yang dipraktikkan di masjid ini adalah ala NU. Sebagai ciri –misalnya, adzan
pada shalat Jum‟at dikumandangkan sebanyak dua kali dan membaca wiridan
secara kolektif selepas menunaikan ibadah shalat fardlu.
Sepeninggal Shofi‟i, ritual ini dapat terus bertahan hingga hadirnya
seorang pendatang bernama Teko (yang kemudian berganti nama menjadi
Mohamad Ihsan), yang pada akhirnya menikahi putri Shofi‟i. Mohamad Ihsan
dikenal sebagai salah satu tokoh yang membawa semangat baru dalam diskursus
keagamaan. Ia prihatin ketika melihat masyarakat menjalankan dua idealitas yang
menurutnya saling bertentangan.
Idealitas yang pertama, berhubungan dengan idealitas keagamaan bahwa
masyarakat di Desa Dermolo tergolong taat menjalankan ibadah sesuai dengan
yang dicontohkan oleh Shofi‟i. Namun pada sisi yang lain, tradisi-tradisi seperti
66
kabumi yang mendorong seseorang kepada tindakan yang berbau khurafat dan
tahayyul masih terus dipertahankan. Di sinilah Mohamad Ihsan (selanjutnya
disebut dengan Ihsan) membawa semangat baru untuk memurnikan ajaran Islam
dari tradisi-tradisi Jawa yang dinilainya bertentangan dengan nilai-nilai Islam
yang dikenal sebagai mainstream dakwah Muhammadiyah.
Tepatnya pada tahun 1966 Ihsan mulai mentransformasikan paham
keagamaan yang berorientasi pada pemurnian ajaran agama Islam dengan
berpegang-teguh pada al-Qur‟an dan al-Sunnah. Dari sini kemudian muncul
variasi kegiatan keagamaan. Sebagian kelompok mempertahankan syariat-
normatif dan kesalehan lokal, sementara sebagian yang lain berupaya
“memurnikan” syariat-normatif dari kesalehan lokal (local wisdom) yang
dianggap mengkontaminasi kemurnian agama.
Setelah Ihsan pindah ke Jawa Timur (1985), seorang tokoh asal desa
Bangsri, membawa semangat baru dalam paham keagamaan masyarakat Desa
Dermolo. Bersama tokoh setempat yang mengikuti perjuangan dan dakwah Ihsan,
tokoh dari Bangsri itu membentuk Muhammadiyah ranting Desa Dermolo. Dari
sini, perbedaan paham mengkristal menjadi kelompok yang terpisahkan. Jika
warga Muhammadiyah mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang memurnikan
ajaran Islam dengan hanya berpegangteguh pada al-Qur‟an dan al-Sunnah, warga
NU mengidentifikasi dirinya sebagai pelestari paham yang mengkompromikan
nilai-nilai dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah dengan local wisdom dalam
masyarakat.
67
Pada ranah sosial keagamaan, kedua kelompok bermetamorfosa dalam
wadah keorganisasian, sehingga kelompok NU menyatu dalam komunitas sesama
nahdliyyin, dan kelompok Muhammadiyah mengelompok dalam komunitas
Muhammadiyyin. Masing-masing mendinamisasi kelompoknya dengan idealitas
NU dan Muhammadiyah. Komunitas NU mendinamisasi kelompoknya dengan
kegiatan seperti barzanji, tahlilan, muslimatan, dan sebagainya. Sementara
kelompok Muhammadiyah menjalankan rutinitas idarohan.
Lahirnya kelompok-kelompok sosial keagamaan ini lalu berdampak pada
sikap dan penyikapan atas tradisi sosial di Desa Dermolo. Satu contoh dalam hal
kabumi (sedekah bumi) . Tradisi yang terus dilestarikan oleh kelompok nasionalis
direspon positif oleh kelompok NU. Menurutnya, tradisi ini tak selalu
bertentangan dengan nilai dalam Islam karena hal itu masuk dalam ranah sosial
yang disemangati oleh penghormatan atas jasa tokoh awal di desa ini.
Bagi masyarakat NU, tradisi yang biasa dilakukan dalam kabumi seperti
menangkap ikan Wader di belik mbah Giah, menyuguhkan ayam ingkung dan
ikan Badek dalam rangkaian pra kabumi, menyelenggarakan tontonan tayub dan
wayang, adalah bagian dari budaya masyarakat yang mengandung nilai luhur
sebagaimana diwarisi leluhur, yaitu menghormati jasa orang lain dan membangun
kebersamaan (solidaritas) dalam masyarakat. Namun bagi kelompok
Muhammadiyah, tradisi kabumi dinilai tak hanya urusan sosial atau budaya,
melainkan telah membahayakan ranah ideologi. Maka, tak ada jalan selain
menolaknya. Penolakan ini diwujudkan dalam bentuk tidak bersedia memberikan
iuran dan hadir dalam kegiatan.
68
Sikap inipun berlanjut pada penyikapan terhadap keberadaan gereja di
Dermolo. Kelompok NU cenderung terbuka dan bisa menerima. Karena bagi
mereka, warga kristen juga memiliki hak yang sama untuk memiliki tempat
ibadah sebagaimana warga Budha. Mayoritas kelompok NU adalah nasionalis,
karena itu kebersamaan dan sikap saling menghormati antar warga lebih
diprioritaskan, asal tidak mengganggu atau mempengaruhi yang lain. Apalagi
menurut mereka, warga kristen Dermolo adalah warga asli yang telah lama ada di
Dermolo dan bersikap toleran. Kebiasaan untuk saling membantu bahkan ketika
ada perayaan keagamaan seperti perayaan natal, brayatan, panglipuran dan
sebagainya telah menjadi tradisi turun temurun. Sebagai bentuk toleransi warga
kristen, penyembelihan binatang ternak yang akan dimakan bersama warga
muslim terlebih dahulu mereka bawa ke Modin10
untuk disembelihkan.
Di sisi lain, kelompok muhammadiyah cenderung menolak penggunaan
gereja di Dermolo. Selain dilatarbelakangi oleh faktor historis di mana kelahiran
Muhammadiyah salah satunya adalah merespon arus Kristenisasi. Penolakan juga
disemangati oleh upaya memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh eksternal,
seperti kehadiran gereja. Bagi kelompok Muhammadiyah, keberadaan gereja di
Dermolo harus digagalkan karena berpotensi merusak ideologi muslim sebagai
mayoritas di Dermolo. Menurut pemahaman mereka, penentangan terhadap
penggunaan gereja di Dermolo merupakan upaya nahi munkar (melawan
kemungkaran) dan bagian dari perintah agama, sehingga mendapat ganjaran
pahala dari Allah SWT.
10
Modin adalah sebutan untuk tokoh agama yang diangkat sebagai perangkat desa yang
bertugas untuk mengurus prosesi keagamaan dalam Islam seperti pernikahan, prosesi jenazah,
selamatan, mengurus sengketa tanah dan sebagainya
69
Bahkan, perbedaan paham keagamaan kelompok NU dan Muhammadiyah
telah mengkristal menjadi polemik tersendiri bagi keduanya. Proses pembangunan
masjid At-taqwa (representasi masjid Muhammadiyah) yang berada tidak jauh
dari masjid Baitul Makmur (peninggalan Shofi‟i) mengindikasikan bahwa kedua
ideologi Islam tersebut tidak lagi dapat dipersatukan dalam semangat
kebersamaan dan toleransi sebagaimana terbina sebelumnya.
C. Forum Solidaritas Muslim Dermolo dan Polemik Penggunaan Gereja
Harmoni umat beragama yang terbina baik di masyarakat Desa Dermolo,
menemui sisi lain ketika Pembangunan rumah ibadah Gereja Injili Tanah Jawa
(GITJ) di dukuh Dombang Dermolo dihentikan dan ditolak oleh Forum
Solidaritas Muslim Dermolo (FSMD). Ketua FSMD saat ini (yang menggantikan
ketua FSMD sebelumnya karena wafat) menegaskan bahwa dari awal FSMD
memang dibentuk dalam rangka merespon pembangunan Gereja di Desa
Dermolo, dengan demikian FSMD lahir setelah adanya pendirian gereja. Pada
kesempatan berbeda seorang tokoh masyarakat yang juga mantan kepala Desa
Dermolo memperkuat pernyataan tersebut, ketika ditanya perihal kelahiran
FSMD.11
Sebagai putra tokoh Muhammadiyah, ketua FSMD tersebut
mengungkapkan bahwa terbentuknya FSMD merupakan inisiasi dari para tokoh
Muhammadiyah Dermolo. Awalnya tokoh Muhammadiyah, yang tidak lain
adalah ayahnya, mendapat pengaduan dari beberapa warga dukuh Dombang, yang
11
Pernyataan ini sekaligus menganulir pernyataan lain dari Pengurus FSMD yang
menyebutkan bahwa FSMD telah lahir sebelum berdirinya gereja dalam rangka mengelola
kemajemukan yang ada di Dermolo.
70
sebelumnya mengaku telah mengadu kepada para tokoh NU, namun tidak
mendapatkan tanggapan positif. Karena merasa sebagai Islam minoritas, maka
para tokoh Muhammadiyah kemudian mengajak pengurus NU untuk ikut
bergabung membentuk FSMD dalam rangka mengawal proses pendirian gereja
agar tidak menciderai ideologi muslim sebagai kelompok mayoritas di Dermolo.
Untuk memperkuat legitimasi forum, diangkatlah ketua ranting NU Dermolo
sebagai ketua FSMD pertama dan dari pihak Muhammadiyah sebagai sekretaris.12
Setelah kepengurusan FSMD terbentuk, FSMD melakukan langkah awal
untuk membuat pernyataan sikap dengan melayangkan surat kepada kepada
jajaran Pemerintah Kabupaten Jepara nomor 01/FSMD/V/2002 tanggal 10 Mei
2002 dan disusul dengan surat pengaduan nomor 02/FSMD/V/2002. Surat ini
dibuat dengan merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) nomor
01/Ber/MDN-MAG/1969 (sebagaimana terlampir). Kedua surat inilah yang
kemudian mampu mengundang keberpihakan Bupati bersama Muspida kabupaten
Jepara, MUI, Departemen Agama, dan DPRD di lingkungan kabupaten Jepara
yang kemudian ditindak lanjuti oleh Camat Kembang.
Menanggapi surat pengaduan tersebut, aparat kecamatan Kembang
memfasilitasi pertemuan antara pihak GITJ yang dikoordinir oleh salah seorang
tokoh agama Kristen Dermolo dan pihak FSMD yang juga diwakili salah satu
12
Menurut salah seorang sesepuh desa menuturkan, meski NU di Dermolo mayoritas,
namun menjadi pengurus NU bukanlah sebuah prestise, sehingga tidak banyak yang berminat
untuk duduk dalam kepengurusan organisatoris NU. Karena itu, orang-orang yang ada dalam
kepengurusan NU adalah orang-orang yang kurang memiliki kapasitas memadai dan tidak
mengenyam pendidikan formal yang cukup, sehingga secara strata ekonomi/sosial juga rendah.
Inilah yang menyebabkan organisasi NU di Dermolo kurang terorganisir dan mudah dipengaruhi.
Sebagai contoh, ketua ranting NU saat itu berprofesi sebagai buruh bangunan. Hal ini berbeda
dengan Muhammadiyah, karena kepengurusan organisasinya di isi oleh orang-orang yang telah
mapan secara ekonomi dan sosial, seperti PNS di salah satu departemen, guru, dokter dlsb.
71
tokohnya. Musyawarah yang di adakan di kantor kecamatan Kembang berjalan
alot karena masing-masing mempertahankan argumennya. Tokoh agama Kristen
berpendapat, IMB yang memberikan ijin pembangunan GITJ adalah sah secara
hukum. Sementara pihak FSMD bersikukuh bahwa penolakan warga muslim yang
notabene mayoritas, penting untuk dipertimbangkan. Negosiasi ini tidak
menemukan titik temu. Kedua pihak kemudian bersepakat membawa persoalan ini
ke Bupati Jepara.
Namun audiensi di tingkat kabupaten yang difasilitasi oleh Wakil Bupati
Jepara saat itupun, tetap tidak menghasilkan keputusan final. Pihak FSMD bahkan
mengusulkan agar IMB yang terbit dengan nama Pendirian Gereja Injili Tanah
Jawa (GITJ) diganti redaksinya dengan “mendirikan tempat tinggal”. Harapannya,
redaksi ini menjembatani pemeluk Kristen agar tetap beribadah meskipun
bertempat di rumah. Atas wacana tersebut, pemuka agama Kristen menyatakan
keberatan karena wacana ini dinilai tidak akan menyelesaikan persoalan, terlebih
dengan merubah redaksi dalam IMB hanya akan menimbulkan persoalan baru.
Kedua pihak kemudian menyepakati agar masalah ini dipetieskan terlebih dahulu.
Berdasar pada catatan wira-wiri Kepala Desa Dermolo saat itu, Bupati
Jepara menginstruksikan agar pembangunan dihentikan sementara dan selanjutnya
akan dirapatkan dengan Muspida pada tanggal 8 Mei 2002. Hasilnya; (1)
pembangunan gereja tidak boleh dilanjutkan karena dapat menciptakan suasana
yang tidak kondusif; (2) IMB dicabut; (3) pihak Departemen agama memberikan
saran agar kebaktian dan kegiatan keagamaan Kristen lainnya diselenggarakan di
rumah tinggal. Ketika penulis mencoba melakukan cross check pada FSMD
72
terkait catatan wira-wiri, pihaknya menyesalkan hal itu karena mereka memang
tidak mengetahui dari awal bahwa telah ada surat keputusan dari Bupati Jepara
terkait pencabutan IMB, sehingga berbagai upayapun ditempuh oleh FSMD.
Upaya-upaya yang dilakukan FSMD untuk mengagalkan penggunaan
gereja membuahkan hasil. Pemerintah kabupaten Jepara dengan pertimbangan
dari Departemen Agama dan MUI menerbitkan surat A.n Bupati Jepara Nomor
452.2/2381 tanggal 17 Juni 2002 kepada Camat Kembang yang menyatakan
bahwa “pembangunan gereja di dukuh Dombang Desa Dermolo kecamatan
Kembang, untuk saat ini belum memungkinkan.” Pernyataan serupa juga
ditujukan kepada panitia pembangunan GITJ Dermolo dalam surat dengan Nomor
452.2/3901 tanggal 29 Agustus 2002 (terlampir).
Pada akhir 2003 polemik kembali dibuka. FSMD mendengar beredarnya
kabar bahwa jamaat GITJ akan menyelenggarakan perayaan natal besar-besaran di
GITJ Dermolo. Merespon hal itu, FSMD kemudian mengirimkan surat bernomor
08/FSMD/XI/2003 tanggal 3 Desember 2003 perihal pengaduan masalah tempat
ibadah kepada Kepala Desa Dermolo. Dalam surat, pihak FSMD menyampaikan
bahwa pihak GITJ dinilai tidak memiliki itikad baik menjaga kerukunan umat
beragama di dalam masyarakat. Hal ini didasarkan pada dua hal; (1) bangunan
yang kemudian diatasnamakan sebagai tempat tinggal tersebut, dinilai lebih mirip
dengan gereja utuh dengan fasilitasnya, (2) digunakannya bangunan untuk acara
kebaktian dan adanya indikasi Perayaan Natal Tahun 2003 di sana.
Pada tanggal 8 Desember 2003, diselenggarakan Rapat Penyelesaian
Pengaduan Tempat Ibadah (Gereja) Dermolo. Hasil dari rapat adalah; (1)
73
undangan Perayaan Natal Tahun 2003 agar diralat isi dan kopnya; (2) lokasi
perayaan natal agar direlokasi, bukan di tempat yang dikonotasikan sebagai
Gereja Pepanthan Desa Dermolo; (3) tempat atau bangunan yang dikonotasikan
sebagai gereja tidak digunakan untuk kegiatan layaknya sebagai gereja; (4) usulan
kembali perubahan IMB tentang pemilik bangunan dari atas nama Gereja
Dermolo menjadi atas nama Supardi sebagai tempat tinggal. Hasil rapat
ditandangani oleh pihak Kesbanglinmas, Camat Kembang, Kepala Desa Dermolo,
dan tiga orang dari pemeluk Kristen (terlampir). Namun usulan tentang perubahan
status IMB Gereja menjadi rumah tinggal tidak dipenuhi pihak GITJ karena opsi
ini dinilai melemahkan materi dalam IMB yang berstatus hukum.
Salah seorang tokoh FSMD yang juga berprofesi sebagai Pegawai Negeri
Sipil di salah satu Departemen di Kabupaten Jepara menyatakan, bahwa bagi
pihak FSMD Indonesia merupakan negara hukum, sehingga pendirian rumah
ibadah harus mentaati regulasi yang ada. Penolakan terhadap pendirian GITJ
Dermolo mereka nilai sudah tepat karena merujuk pada SKB No. 1 Tahun 1969
yang menyebutkan bahwa penyebaran agama tetap harus dibawah pengawasan
pemerintah. Dalam hal pendirian rumah ibadah, terdapat beberapa syarat yang
harus dipenuhi, misalnya supervisi dari Kementerian Agama setempat sebagai
representasi dari pemerintah, melihat situasi keberagamaan di lokal tertentu, serta
pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Terkait dengan jajak pendapat yang telah dilakukan sebelum pembangunan
gereja, FSMD menilai pendirian rumah ibadah yang hanya didasarkan pada jajak
pendapat dengan sebagian masyarakat Desa Dermolo yang tidak melibatkan tokoh
74
masyarakat yang representatif serta berlandaskan pada sikap pribadi Petinggi
(kepala desa) saat itu sebagai aparat, dinilai tak cukup untuk mendirikan rumah
ibadah. Menurut salah satu punggawa FSMD, persoalan pendirian rumah ibadah
tak bisa hanya dilihat dari aspek normatif bahwa rumah ibadah dan beragama
adalah hak asasi manusia. Namun hal itu tetap harus mengacu pada regulasi yang
ada dan harus dibaca secara komprehensif.
Lima tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2007 FSMD menyatakan IMB
cacat hukum karena tidak memenuhi aturan sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Bersama Menteri (PBM) nomor 08 dan 09/Ber/MDN-MAG/2006. Dua
ayat yang disitir adalah sebagai berikut:
“Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-
sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa”(Pasal 13 Ayat 1).
“Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat [1],
pendirian tempat ibadah harus memenuhi persyaratan khusus, meliputi;
daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah
paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud pada
pasal 13 ayat 3” (Pasal 14 Ayat 2).
Menanggapi hal ini, pihak GITJ menilai bahwa klausul itu tidak bisa
diberlakukan pada kasus yang terjadi tahun 2002. Jadi, PBM Nomor 8 dan 9 tahun
2006 tidak tepat dipedomani untuk kasus yang terjadi sebelum diterbitkannya
peraturan ini. Dalam perkembangannya sikap warga kristen melunak, dengan
mengumpulkan persyaratan jumlah tandatangan yang diminta. Dikoordinir oleh
ketua panitia pembangunan gereja, terkumpul sebanyak 110 tandatangan pemeluk
Kristen (diketahui oleh Camat Kembang) dan 182 tandatangan warga sekitar
75
(diketahui oleh Kepala Desa Dermolo). Hal ini dijadikan sebagai bahan untuk
mengusulkan pengaktifan kembali bangunan tersebut menjadi tempat ibadah.
Namun FSMD menilai, apa yang dilakukan oleh pihak Kristen belum
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bahwa yang dimaksud dengan ber-KTP
dalam Peraturan itu adalah ber-KTP Desa Dermolo. Sementara daftar jemaat yang
diajukan oleh GITJ, sebanyak 71 orang bukan warga Desa Dermolo. Pada pihak
lain, GITJ beralasan bahwa redaksi ber-KTP dalam Peraturan tidak secara tersurat
harus ber-KTP Dermolo. Ini bersifat interpretable. Selain itu, terdapat perbedaan
tradisi ibadah antara Kristen dengan Islam, bahwa dalam tradisi Kristen, jemaat
suatu gereja dapat berasal dari daerah manapun. Ini yang menjadi alasan GITJ
Dermolo, mengapa tandatangan jemaat yang berasal dari desa lain dibubuhkan
dalam surat keterangan itu.
Sikap FSMD, tetap tidak dapat menerima alasan dari GITJ.
Ketidkaksepakatan ini oleh FSMD ditindak lanjuti dengan mengirimkan surat
kepada pemerintah kabupaten perihal ketidaksesuaian persyaratan tandatangan
yang disampaikan oleh pihak GITJ, selanjutnya meminta pemerintah agar
bersikap lebih tegas terkait PBM yang baru digulirkan dan menganulir surat
pernyataan yang telah diberikan pada pihak GITJ.
Hingga tahun 2014, rentetan peristiwa diatas, terus menerus terulang
dengan pola yang hampir sama. Aparat Desa hingga Kabupaten seakan
“tersandera” dalam hegemoni kelompok masyarakat yang mengatasnamakan
mayoritas. Bahkan, sebagian besar masyarakat muslim yang awalnya toleran dan
mendukung keberadaan gereja di dukuh Dombang Dermolo, tidak lagi terdengar
76
suaranya (apriori) karena dominasi FSMD telah menjadikan aparat Pemerintah
dan keamanan lebih berpihak pada yang kuat.
Terkait dengan masyarakat muslim sekitar yang mendukung penggunaan
gereja di dukuh Dombang Dermolo, Jumali yang juga merupakan salah satu
anggota FSMD- menuturkan, memang benar awalnya sesama muslim sendiri
terlibat pro dan kontra terkait penggunaan rumah ibadah tersebut. Bahkan ia
menceritakan pernah hampir terlibat adu fisik dengan beberapa orang Islam yang
mendukung penggunaan gereja di Dermolo. Namun polemik akhirnya bisa di
jembatani oleh Petinggi yang baru, yang lebih berpihak pada FSMD. Menurut
Jumali, atas mediasi Petinggi tersebut pihak yang pro akhirnya bisa memahami
alasannya menolak keberadaan gereja di dukuh Dombang.
Demikianlah upaya-upaya FSMD--yang digawangi oleh muslim minoritas
(muhammadiyah) di Dermolo- dalam mencari dukungan dari masyarakat sekitar
dan Pemerintah serta pihak-pihak terkait. Dalam mewujudkan tujuannya, FSMD
membangun komunikasi terus-menerus secara intensif dengan Pemerintah desa
hingga Kabupaten. Bahkan dari pengakuan ketua FSMD, pihak Pemerintah,
Departemen Agama maupun MUI selalu menghubunginya terlebih dahulu ketika
ada isu-isu ataupun ketegangan terkait dengan GITJ Dermolo. Aksi FSMD yang
menafikkan kebebasan beragama, pluralisme dan toleransi ternyata „seirama‟
dengan sistem nalar berbangsa dan beragama banyak pihak. Meski tak memiliki
status hukum tetap, namun opsi-opsi FSMD seringkali dijadikan pijakan
pemerintah dalam menetapkan keputusan terkait polemik penggunaan gereja
Pepanthan Dermolo.
77
D. Gereja Dermolo dan Permasalahannya
Gereja Dermolo adalah gereja injii tanah Jawa (GITJ). Sebagaimana
tertulis dalam surat IMB, GITJ Dermolo terletak di RT. 02 RW 06 dukuh
Dombang, Desa Dermolo Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bangunan GITJ seluas
93,5 m2 tersebut mengahadap ke arah selatan, tepat berada di depan makam Islam
Dermolo, dan merupakan satu-satunya gereja di desa itu.
Sebagaimana diakui salah satu jemaat GITJ, gereja Dermolo memang
merupakan mimpi setiap umat kristiani Dermolo. Akan tetapi ide pendirian gereja
pada mulanya dilontarkan oleh salah seorang tokoh masyarakat (nasionalis)
Dermolo, seorang muslim yang saat itu menjabat sebagai Petinggi (Kepala Desa)
Dermolo selama dua periode. Menurut penuturan tokoh nasionalis yang penulis
temui di kediamannya, gagasan itu muncul atas keprihatinan ketika melihat salah
satu kerabatnya, yang memeluk agama Kristen--yang sudah ada sejak tahun 1960-
an- harus melakukan kebaktian di Desa Beji yang terletak 8 KM dari Desa
Dermolo.
Ide ini disambut gembira oleh warga Kristiani. Ketua panitia
pembangunan kemudian membeli sebidang tanah milik seorang pemeluk Budha,13
setelah sebelumnya panitia gagal membeli tanah ditempat lain di pusat desa untuk
digunakan sebagai gereja.
Bersama pemuka agama Kristen Dermolo, ketua panitia kemudian
mensosialisasikan rencana pendirian gereja di areal tanah di dukuh Dombang.
13
Selain Petinggi, sosok lain yang dianggap berperan dengan berdirinya gereja di Dermolo
adalah Mbah Warno (alm.), seorang berkepribadian kejawen dan sering mengenakan ikat kepala
adat Jawa bagi orang tak berpangkat, yang disebut “iket”. Ia dianggap berjasa karena telah menjual
tanahnya untuk gereja dengan harga murah dan boleh dibayar berangsur. Ini ia lakukan karena
merasa prihatin atas tekanan yang dialami warga Kristen.
78
Secara lisan, mereka menyampaikan rencana itu kepada warga. Sebagai penguat
dan bukti persetujuan warga, ia meminta tandatangan dari warga door to door.
Dari sini terkumpul sebanyak 55 tandatangan. Persetujuan ini dituliskan dalam
surat pernyataan yang menyatakan bahwa:
“Yang bertanda tangan dibawah ini, kami mewakili masyarakat Desa
Dermolo, kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara menyatakan dengan
sebenarnya bahwa tidak keberatan di Desa Dermolo dibangun tempat
ibadah (gereja), sesuai dengan bunyi sila I dari pancasila serta UUD 1945
pasal 29 ayat (1) dan (2).”
Surat pernyataan tersebut oleh warga Kristen dianggap sebagai persetujuan
dari warga sekitar dan telah memenuhi syarat sebagaimana dikehendaki SKB
nomor 01/ber/MDN-MAG/1969.
Dengan difasilitasi aparat desa, diselenggarakan jajak pendapat di SDN 03
Dermolo untuk mengetahui respon warga terkait inisiatif pendirian rumah ibadah
yang akan berlokasi di dukuh Dombang. Hadir dalam jajak pendapat jajaran
Muspika, pejabat kecamatan, tokoh masyarakat, dan warga dukuh Dombang baik
yang beragama Islam maupun Budha. Hasilnya, peserta jajak pendapat
menyetujui pendirian GITJ di dukuh Dombang Desa Dermolo.
Tim Pembangunan mulai bekerja. Panitia kemudian mengurus persyaratan
administratif, termasuk Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dukungan moril juga
datang dari pengurus GITJ Kebun Beji Jepara. Surat yang ditandatangani oleh
Majelis GITJ Beji pada tanggal 22 April 2002, berisi permohonan pendirian GITJ
di Dermolo. Dengan mengajukan argumen bahwa di Desa Dermolo terdapat
79
sebanyak 35 orang kristiani. Maka, jemaat yang sudah ada sejak tahun 1960-an
agar bisa difasilitasi dengan rumah ibadah.14
Tanpa kesulitan yang berarti, pada tanggal 9 Maret 2002 Dinas Pekerjaan
Umum (DPU) telah mengabulkan dan menerbitkan IMB pendirian Gereja Injili
Tanah Jawa (GITJ) dengan Nomor IMB: 648/150 (sebagaimana terlampir).
Bermodalkan IMB, Tim Pembangunan memulai pengerjaan bangunan. Tokoh
agam Kristen menceritakan bahwa munculnya IMB telah melalui proses
tandatangan warga disekeliling gereja, RT/RW, petinggi, dan Camat. Menurutnya,
proses itu telah dilakukan secara mendetail dan prosedural sesuai mekanisme yang
berlaku. Maka ketika ada tuduhan terkait penyuapan atau pendekatan kepada
orang dekat, ia menegaskan “sama sekali ndak!...dan kami berani mbangun kan
karena ada IMB ini...”.
Ketika bangunan fisik gereja telah mencapai 60%, barulah muncul
penolakan dari sejumlah warga yang dimotori oleh FSMD. Dalam aksinya, FSMD
menuntut agar pembangunan gereja ditangguhkan demi kerukunan warga,
utamanya di dukuh Dombang. Sikap ini didasarkan pada alasan bahwa pemeluk
Kristen saat itu jumlahnya terlalu kecil. Sehingga pendirian rumah ibadah secara
khusus dinilai tidak mendesak.
Penolakan juga diiringi dengan hembusan isu dan prasangka yang
dilancarkan pihak FSMD bahwa ada misi tersembunyi di balik rencana pendirian
gereja. Bagi warga kristiani, isu kristenisasi merupakan isu paling mewarnai
konflik antarumat Islam dan Kristen di Dermolo. Kecurigaan ini berbuah pada
14
Dapat dilihat dalam surat rekomendasi dari GITJ Kebun Beji Jepara kepada Kepala
Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara
80
sikap, ucapan serta tindakan warga Dermolo yang menentang berdirinya gereja,
yang secara tidak langsung memunculkan regulasi sosial dan menyebabkan umat
Kisten tidak lagi nyaman dalam menjalankan ibadah. Jelas sekali, ketua Panitia
yang merasa sebagai garis depan pembangunan gereja Dermolo menuturkan isu
kristenisasi telah menjadi momok bagi warga kristiani.
Ditempat berbeda, pernyataan ini diamini oleh tokoh agama Kristen
Dermolo. Menurutnya isu kristenisasi semakin tampak jelas ditujukan kepada
umat kristiani ketika ada momentum pertemuan antar umat beragama yang
digelar di desa maupun di kecamatan. Ia menceritakan perdebatan-demi
perdebatan sambil mengekspresikan kekesalannya karena disudutkan.
“Ketika pertemuan di kecamatan, saya sampai mengatakan demikian; tidak
perlu khawatir pak. Jika saya melanggar hukum, saya siap dipenjara. Ini
KTP saya sebagai jaminan. Jika saya melihat ada orang sedang kesusahan,
apalagi tetangga saya, pasti saya tolong. Namun saya tidak mengajak
orang lain untuk ikut saya. Itu hanya prasangka. Saksinya juga banyak kok.
Jika saya melakukan itu, juga akan terlihat.” (Pemuka agama di GITJ
Dermolo)
Dari tutur diatas memang terasa jelas isu kristenisasi telah menjadi alasan
utama FSMD menentang pendirian dan penggunaan gereja. Selain adanya
kecurigaan kristenisasi, FSMD juga menganggap bangunan gereja itu sebagai
rumah tinggal. Sehingga dalam pandangan mereka, warga kristen tidak memiliki
ijin dalam pendirian gereja dan menempatinya secara ilegal. Menurut tokoh
agama yang juga panitia pembangunan gereja Dermolo, tuduhan inilah yang
sering menjadi alasan penentangan gereja agar tidak ditempati sebagai tempat
ibadah, meski bangunan telah berdiri.
81
Tokoh agama Kristen Dermolo ini menceritakan bahwa tuduhan itu
berawal ketika dalam audiensi pertama dengan bupati Jepara FSMD mengajukan
tuntutan agar IMB pendirian gereja dirubah untuk rumah tinggal. Baginya,
tuntutan itu menjadi ironi karena hanya akan menjadikan IMB cacat hukum. Ia
tidak menanggapi tuntutan secara gegabah, karena ia sudah memahami benar
bahwa tuntutan ini bertujuan untuk melemahkan gereja yang telah memiliki IMB
dan berkekuatan hukum tetap.
Anggapan ini dikuatkan oleh isu yang dihembuskan pada masyarakat,
bahwa yang disosialisasikan oleh ketua panitia saat itu adalah bangunan rumah
yang difungsikan untuk peribadatan. Penuturan tersebut sejalan dengan penuturan
salah satu jemaat GITJ :
“Rumahose tiyang-tiyang niku mboten badhe kangge gerejo, tapi kangge
griyo. Wong mpun jelas mboten didamel kothak-kothak niku jane kan
mpun jelas. Tapi namine tiyang pados salah niku kan saget mawon.
Rumahose tiyang-tiyang niku kangge griyone pak pardi, mboten ngge
gerejo. Padahal kan mpun jelas gadhah ijin saking kabupaten, mpun
gadhah IAINB duko nopo niku namine...”
“Orang-orang mengira itu tidak untuk (pembangunan) gereja, tapi untuk
rumah. Itu sudah jelas tidak dibuat kotak-kotak. Itu kan sudah jelas.
Namun orang ingin mencari-cari kesalahan kan bisa saja. Orang-orang
mengira itu untuk rumah tinggal (ketua panitia pembangunan), bukan
gereja. Padahal kan sudah jelas mendapatkan ijin dari kabupaten, sudah
punya IAINB atau apa itu namanya... (yang dimaksud IMB)” (Jemaat
GITJ Dermolo)
Penuturan istrinya ini dibenarkan oleh ketua Panitia sambil tertawa
keheranan:
“Hehehe...pancen nggih kok...anci ngoten. Rumahose wong-wong niku
dianggepe omahe kulo. Lha kok sugih men nduwe omah neh, wong
pangkate wong ngojek mawon. Paling-paling nek mboten ngojek kulo
nggih macul...hehehe...”
82
“Hehehe...memang iya kok..memang begitu. Orang-orang mengira itu
adalah rumah saya. Lha kok (saya) kaya sekali punya rumah lagi, padahal
kerjaan cuma tukang ojek. Paling-paling kalau tidak ngojek, ya macul
(buruh tani)...hehehe..” (Ketua Pembangunan GITJ Dermolo)
Tahun 2013 pihak gereja melakukan audiensi dengan Dewan perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Jepara. Audiensi menghasilkan surat rekomendasi yang
diterbitkan pada 27 Agustus 2013 dengan Nomor 30 Tahun 2013 yang
ditandatangani oleh Ketua DPRD dan 3 orang Wakil Ketua. Isinya adalah sebagai
berikut: (1) Memberikan rekomendasi terhadap pemakaian gereja Desa Dermolo
Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara, (2) rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada diktum pertama berupa saran agar gereja yang berada di Desa Dermolo dapat
dipakai/dimanfaatkan warga Kristiani setempat sebagaimana mestinya dan seruan
kepada pemerintah untuk melindungi hak masyarakat dalam menjalankan ibadah
sesuai agama dan keyakinannya.
Dengan adanya surat rekomendasi ini, akhirnya setelah lebih dari 11
tahun gereja tidak difungsikan, jemaat GITJ Dermolo dapat melakukan kebaktian
pertamanya pada 1 Desember 2013. Akan tetapi pada kebaktian kedua tanggal 8
Desember 2013 gereja didatangi oleh FSMD yang mencoba mengganggu
kekhusyukan ibadah jemaat. Salah seorang jemaat Kristen menceritakan
intimidasi yang dilakukan oleh kelompok penentang gereja sebagai dampak dari
penerbitan rekomendasi DPRD.
“Wekdal jemaat Kristen nembe kebaktian, tiyang-tiyang nekani gereja.
Tiyang kaleh mlebet gereja lan sanese jagi ten njawi. Tiyang kaleh niku
mendet gambar mawi kamera. Niki kan ndamel gersah kagem jemaat
Kristen lan kebaktian dipun lereni mendadak dening pak pendeta.”
83
“Ketika jemaat Kristen sedang melakukan kebaktian, beberapa orang
mendatangi gereja. Dua orang memasuki gereja dan lainnya berjaga-jaga
di luar. Dua pemuda itu lalu mengambil beberapa gambar melalui
kamera. Hal ini kemudian menimbulkan keresahan di kalangan jemaat
Kristen dan kebaktian dihentikan secara mendadak oleh pak pendeta.”
(Jemaat GITJ)
Bagi jemaat GITJ, tindakan sejumlah orang yang masuk ke dalam gereja
saat jemaat Kristen melakukan kebaktian, sebagai tindakan tidak patut dan
menciderai kehormatan agama. Ia pun menyesalkan pihak pemerintah yang tidak
mengambil tindakan atas peristiwa tersebut.
Atas peristiwa itu pula, surat rekomendasi dari DPRD direspon dengan
cepat oleh pemerintah Jepara. Pada tanggal 10 Desember 2013, diselenggarakan
Rapat koordinasi (Rakor) yang dipimpin oleh Asisten II Sekda Jepara dan dihadiri
oleh FKUB, Kementerian agama Jepara, Satpol PP, Kesbangpol, Bagian Kesra,
Camat Kembang, dan Kepala Desa Dermolo. Hasil Rakor menyebutkan bahwa
bangunan gereja belum bisa digunakan sepenuhnya karena tidak sesuai dengan
Peraturan Bersama Menteri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Dan pada malam sebelum kebaktian minggu ketiga, perwakilan GITJ di
undang pertemuan di rumah petinggi. Hadir pula dalam pertemuan Danramil,
Kepolisian dan Camat setempat. Hasil pertemuan melarang kebaktian jemaat di
GITJ Dermolo karena adanya informasi akan ada serangan dari sekelompok
masyarakat. Gereja Dermolo kemudin resmi diberhentikan kembali oleh
Pemerintah daerah Jepara melalui surat penghentian sementara pada tanggal 16
Desember 2013.
Atas keputusan tersebut, GITJ menyampaikan permohonan kepada aparat
setempat agar pemeluk Kristen diberikan alternatif tempat ibadah –meskipun
84
tidak berada pada bangunan yang disengketakan. Namun aparat tidak dapat
mengabulkan permohonan tersebut. Pemerintah beralasan, bahwa persoalan tidak
pada boleh dan tidak menggunakan bangunan, melainkan pada terpenuhi dan
tidaknya syarat sesuai dengan ketentuan berlaku. Pemeluk Kristen akhirnya tetap
melaksanakan kebaktian dan kegiatan keagamaan lainnya di desa Beji dan atau di
kediaman tokoh agama Kristen Dermolo.
Meningkatnya eskalasi hubungan antara FSMD dan tokoh Kristen inipun
memicu datangnya dukungan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Pihak gereja dengan didampingi Lakpesdam NU dan Lembaga Studi
Sosial dan Agama (Elsa) beraudiensi dengan Bupati Jepara. Hasilnya, Pemerintah
Kabupaten akan memberikan izin pemakaian sementara selama dua tahun. Pihak
GITJ pun segera mengurus izin agar para jemaatnya bisa segera menggunakan
gereja untuk beribadah. Akan tetapi, kini izin itu terkendala oleh izin Kepala Desa
setempat dengan alasan masih adanya penolakan dari sekelompok warga.
Bagi FSMD, kehadiran LSM ini dianggap sebagai kekuatan baru yang
menghadapkan FSMD dan pemerintah vis a vis LSM dan warga Kristen. Sikap ini
oleh FSMD dinilai sebagai upaya membangun kekuatan baru. Perang statement
antardua kubu menjadi tak terelakkan, termasuk di media massa.
Dalam satu wawancara seusai melakukan kebaktian minggu di
kediamannya, tokoh agama Kristen Dermolo itu mengemukakan, LSM yang
bergerak di bidang sosial-keagamaan ini memberikan pendampingan dalam upaya
menyelesaikan persoalan GITJ. LSM ini penting untuk memberikan balance dan
informasi yang berimbang, baik kepada pemerintah maupun FSMD. Berkat
85
dorongan moril LSM ini pula pemerintah lalu menerbitkan Surat Ijin Sementara
penggunaan gereja. Berbekal surat tersebut lalu jemaat GITJ mendapatkan surat
izin sementara dari Kabupaten untuk melaksanakan kebaktian di gereja. Meski
belum bisa sepenuhnya digunakan karena belum dikeluarkan surat izin dari desa.
Ketika penulis mengkonfirmasi tentang polemik pada perayaan natal tahun
2014 lalu, dengan sedikit berkeluh kesah sembari tersenyum keheranan pemuka
Kristen Dermolo itu bercerita. Dua bulan sebelum acara natal ia menyampaikan
proposal dana dan surat pemberitahuan pelaksanaan Natal pada 14 Desember
2014 yang akan dilaksanakan di sebelah bangunan gereja Dermolo. Petinggi
Dermolo menyatakan akan memberikan bantuan dana dan kembali mengingatkan
agar tidak menggunakan daerah konflik.
Hal itu ditanggapi positif oleh jemaat GITJ. Pihak panitia akhirnya
memutuskan untuk menyelenggarakan di sebelah bangunan, tidak di dalam
bangunan. Bagi panitia, pernyataan petinggi untuk “tidak menggunakan daerah
konflik” diartikan penggunaan bangunan yang disengketakan. Sejumlah
perlengkapan dan kebutuhan Natal disiapkan. Petinggi memberikan bantuan
berupa tenda dan sejumlah dana.
Pada tanggal 14 Desember 2014 sejumlah aparat mendatangi kediaman
dan meminta agar pelaksanaan Natal direlokasi ke Balai Desa. Pertimbangannya
adalah; (1) pelaksanaan Natal di sebelah bangunan dinilai dapat memancing
terjadinya polemik di antara warga. Meskipun tidak di dalam bangunan, lokasi
tersebut dinilai masuk dalam wilayah gereja, (2) beredar kabar bahwa perayaan
Natal akan dihadiri secara massal oleh jemaat dari berbagai daerah. Situasi ini
86
dikhawatirkan akan mengganggu lalu lintas jalan di dukuh Dombang karena
sempitnya areal untuk menampung volume mobil dalam jumlah besar.
Petinggi memberikan opsi agar perayaan direlokasi ke Balai Desa. Selain
menempati lokasi yang lebih netral, lapangan sepak bola di sebelah Balai Desa
dapat difungsikan sebagai areal parkir yang dapat menampung mobil dalam
jumlah besar, sehingga tidak mengganggu lalu lintas. Petinggi juga
menyampaikan, pihaknya akan memobilisasi warga untuk membantu relokasi
acara perayaan natal.
Atas keputusan ini, pihak GITJ menyatakan menolak dengan alasan
pemberitahuan relokasi dinilai terlalu mendadak, sehingga relokasi tidak mungkin
dilakukan. Bersama jemaat yang lain pemuka agama Kristen itu lebih memilih
untuk melaksanakan perayaan secara sederhana di kediamannya. Ia menilai, pihak
pemerintah tak memiliki i‟tikad baik untuk menjaga harmoni keberagamaan. Ia
menyesalkan pembatalan yang dilakukan secara mendadak, yakni sehari sebelum
perayaan natal dilaksanakan.
Atas berbagai insiden yang menimpa pihak Kristen, pihaknya berencana
akan melayangkan permohonan kepada pemerintah agar pihaknya diberikan
kepastian, terutama dalam hal peribadatan. Pihak GITJ hanya minta pemerintah
memberikan alternatif lokasi peribadatan. Ia berharap pihak pemerintah dan
FSMD dapat memahami tradisi dalam Kristen yang saling mengundang dan atau
melibatkan jemaat lain dari luar lokasi pada perayaan natal.
Ia menyampaikan dua alasan penolakannya terhadap keputusan di atas;
yang pertama, pemerintah dinilai gamang sehingga tak bisa memberikan keadilan
87
kepada kelompok minoritas. Menurutnya, kegamangan tampak dari
kekurangtegasan dalam memediasi konflik yang mempersoalkan IMB yang
memiliki ketetapan hukum; kedua, pemerintah mengingkari konstitusi negara
bahwa semua pemeluk agama harus dilindungi.
Ketika FSMD menolak pendirian GITJ, sesungguhnya tokoh Kristen
Dermolo itu telah menawarkan opsi kepada pemerintah bahwa para jemaat legawa
untuk tidak menggunakan gereja di lokasi konflik, asalkan pemerintah
memberikan alternatif lokasi yang representatif untuk peribadatan jemaatnya.
Namun, hal itu tidak dipenuhi. Atas dasar dua alasan diatas ia menilai pemerintah
gagal mengelola pluralitas keagamaan di Desa Dermolo.
E. Dominasi FSMD Dalam Kebijakan Penggunaan Gereja di Dermolo
1. Fenomena Silent Majority: Mengungkap Mayoritas dan Minoritas di
Dermolo
FSMD, sebagaimana diklaim oleh para anggotanya, merupakan
representasi dari mayoritas Islam di Dermolo. Pendefinisian sebagai mayoritas
mereka dasarkan pada keanggotaan FSMD yang terdiri dari para tokoh agama
yang merupakan keterwakilan dari warga muslim di Dermolo, baik NU maupun
Muhammadiyah. Dipilihnya ketua FSMD pertama dari pengurus (ketua) ranting
NU--sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Dermolo-, seolah ingin
menegaskan bahwa FSMD benar-benar merupakan representasi dari mayoritas
warga dermolo yang tidak menghendaki adanya bangunan gereja di wilayahnya.
Meski, pada realitasnya tidak sesederhana itu.
88
Sebagaimana dituturkan oleh beberapa responden yang berhasil penulis
temui, pada awalnya gereja yang telah memperoleh IMB pada 9 Maret 2002 itu
telah mendapat persetujuan dari warga sekitar gereja dibangun. Hal ini dibuktikan
dengan berdirinya bangunan rumah ibadah umat kristiani atas swadaya dari umat
Islam maupun Budha. Ketiga umat beragama bahu-membahu membantu
pembangunan GITJ Pepanthan di dukuh Dombang Dermolo, baik dalam bentuk
cicilan lunak pembayaran tanah, maupun dalam bentuk bantuan tenaga secara
sukarela. Penolakan terhadap bangunan gereja baru dilayangkan oleh FSMD pada
bulan Mei, setelah dua bulan gereja melewati proses pembangunan, yang tahap
pembangunan saat itu telah mencapai 60%.
Maka, kerukunan di Desa Dermolo sesungguhnya telah menjadi bagian
intrinsik dalam kehidupan masyarakat. Hanya saja kerukunan itu kemudian
tercerai-berai karena terciderai oleh sebagian warga yang tidak bisa menerima dan
menyesuaikan diri dengan keberadaan rumah ibadah di wilayahnya sebagai
kondisi baru, yang memerlukan pendewasaan diri untuk bisa berdampingan
dengan yang lain, yang berbeda.
Dermolo adalah sebuah desa yang heterogen. Di desa ini telah berkembang
dengan damai, tiga varian agama beserta kelompok keagamaanya.15
Islam sebagai
agama mayoritas bukanlah suatu realitas yang monolitik. Islam Dermolo terbagi
dalam dua kelompok yakni NU dan Muhammadiyah. Kelompok NU sendiri
terbagi menjadi dua, yakni kelompok santri dan abangan. Dalam konteks
Dermolo, mayoritas Islam disana adalah abangan (mereka menyebut dirinya
15
NU sebagai mayoritas di desa ini lebih disebabkan karena kuatnya pengaruh Islam yang
dibawa oleh para tokoh yang babat alas di sejumlah daerah di Jawa, yang masih melestarikan
tradisi-tradisi kejawen.
89
dengan wong nasionalis16
). Wong nasionalis atau kaum nasionalis hampir menjadi
kelompok dominan di setiap dukuh di Desa Dermolo. Sedangkan kaum santri,
meski juga tersebar hampir di seluruh dukuh, justru merupakan minoritas.
Bagi wong nasionalis, beragama adalah menjaga keseimbangan, ngormati
liyan (menghormati yang lain).17
Maka ketika penulis bertanya tentang
keberadaan gereja kepada beberapa wong nasionalis, mereka memiliki pandangan
yang hampir sama, bahwa ketika umat Islam dan Budha bisa memiliki tempat
ibadah, maka umat Kristen pun berhak memiliki tempat ibadah sebagaimana yang
lain. Itulah makna menjaga keseimbangan (harmoni) dalam konteks beragama
kaum nasionalis yang merupakan silent majority di Dermolo. Faktor kuatnya
tradisi yang dipegang masyarakat Desa Dermolo, menjadikan figur yang menjadi
panutan adalah mereka yang dapat mentransformasikan nilai-nilai agama kepada
masyarakat dengan pendekatan persuasif. Inilah yang menyebabkan tokoh-tokoh
agama yang notabene kaum santri tidak lalu secara otomatis menjadi panutan
dalam hal agama.
Fenomena silent majority ini sekaligus mengindikasikan bahwa protes
serta ketidaknyaman terhadap keberadaan GITJ sesungguhnya hanya dirasakan
oleh segelintir orang di dukuh Dombang--tempat gereja dibangun.
Ketidaknyamanan itu kemudian mereka apresiasikan dengan menggalang
kekuatan dan menginisiasi penolakan terhadap keberadaan gereja, meski aksi-aksi
16
Definisi wong nasionalis disini adalah orang Dermolo yang “mengaku” beragama Islam
tetapi mempunyai cara ibadah tersendiri, atau tidak menjalankan ibadah wajib sebagaimana
umumnya orang-orang santri. 17
Wawancara dengan seorang perempuan nasionalis tanggal 31 Januari 2015.
90
tersebut pada awalnya mendapat pertentangan dari sebagian warga yang sejak
awal telah menyetujui keberadaan gereja.
Keberlanjutan pertentangan ini bahkan berujung konflik sesama warga
muslim yang pro dan kontra. Yang perlu digaris bawahi, salah seorang yang
mengaku menjadi inisiator penolakan gereja notabene adalah seorang warga
pendatang, bukan warga asli Dermolo.18
Dari data ini penulis mengambil
kesimpulan bahwa polemik gereja yang terjadi sesungguhnya lebih disebabkan
oleh eksklusifitas yang dibawa oleh pendatang yang tidak terbiasa dengan
pluralitas, berhadap-hadapan dengan inklusifitas yang telah membudaya di warga
asli Dermolo. Dalam konteks inilah, eksklusivisme yang disemai para pendatang
berbuah penolakan (kontra), sedangkan inklusivisme dari kaum nasionalis
berbuah dukungan (pro) dalam merespon keberadaan gereja di Dermolo.
Fakta lain menyebutkan, bahwa warga yang menolak pendirian gereja
pada awalnya tidak mendapatkan dukungan dari kelompok NU sebagai organisasi
Islam terbesar di Dermolo. Mereka lantas mendatangi kelompok Muhammadiyah
dan memperoleh dukungan penuh untuk menggagalkan penggunaan gereja. Para
tokoh Muhammadiyah yang merasa sebagai minoritas muslim di Dermolo
kemudian melakukan konsolidasi dan pendekatan dengan para tokoh NU untuk
menggalang dukungan mayoritas muslim. Dukungan pun akhirnya didapatkan,
karena meski mayoritas warga Dermolo adalah NU, namun kepengurusan NU
18
Informan yang mengaku sebagai inisiator tersebut, menceritakan pada penulis terkait
usaha yang ia lakukan dalam rangka mengajukan keberatan atas berdirinya gereja diwilayah
tempat tinggalnya. Diantaranya dengan meminta tanda tangan ulang kepada warga muslim sekitar
gereja untuk mencabut kembali pernyataan persetujuan yang telah warga berikan pada Panitia
gereja. Meski aksinya tersebut menuai protes dari sebagian warga muslim yang pro dan tetap
ingin mempertahankan keberadaan gereja di dukuh Dombang.
91
lebih banyak diisi oleh kelompok santri (minoritas NU) yang kebanyakan hanya
mengenyam pendidikan informal (agama) yang doktrinal dengan status
sosial/ekonomi yang rendah serta kurangnya pendampingan dan perhatian dari
pengurus cabang NU untuk mengawal organisasi dibawahnya. Hemat penulis,
inilah salah satu hal yang menyebabkan para pengurus NU di Dermolo
terombang-ambing, mudah dipengaruhi dan didominasi oleh kelompok-kelompok
tertentu untuk dimanfaatkan .
Setelah NU santri bergabung, Kelompok Muhammadiyah selanjutnya
mengusulkan pembentukan sebuah forum sebagai alat untuk melakukan kontrol
dan pengawasan terhadap pembangunan GITJ, yang kemudin diberi nama Forum
Solidaritas Muslim Dermolo (FSMD). Untuk memperkuat legitimasi, diangkatlah
salah seorang pengurus NU sebagai ketua FSMD pertama, dengan sekretaris dari
pengurus Muhammadiyah.
Namun, dengan adanya realitas bahwa mayoritas warga muslim Dermolo
adalah kaum nasionalis, telah mementahkan argumen dari FSMD tentang
representasi mayoritas dengan bukti keterlibatan pengurus NU didalamnya.
Karena pada kenyataannya, kaum nasionalis yang merupakan kelompok silent
majority di Dermolo memiliki pandangan yang berbeda dengan FSMD.
Kelompok silent majority tidak terpengaruh dengan kehadiran jajaran pengurus
NU di FSMD. Bagi mereka, polemik gereja di Dermolo adalah polemik orang-
orang pintar atau para elit agama yang sama sekali tidak berdampak dengan
kehidupan keseharian dan tidak merubah pandangan mereka terhadap yang lain.
92
Maka ketika ditanya tentang polemik gereja di Dermolo, beginilah
penuturan mereka:
Mesakke do mboten tenang ngibadah, kadose tiyang-tiyang pinter niku
sing taseh masalahno. Menggah kulo nggeh mboten nopo-nopo. Nopo
olone tiyang mbangun gerejo. Tur niku ngibadah corone dewe-dewe.
Kasihan mereka yang tidak tenang beribadah. Sepertinya orang-orang
pinter yang masih mempermasalahkan. Menurut saya tidak apa-apa. Apa
jeleknya membangun rumah ibadah. Itu juga ibadah dengan ketentuan
agamanya sendiri-sendiri. (wong nasionalis)
Sedoyo agami niku ngajaraken kesahenan. Menawi tiyang Islam pikantuk
hak ngibadah, nopo salahe menawi kito nggeh maringi kesempatan kagem
tiyang Kristen, kersane tenang ngibadah. Menggah kulo sih mboten
masalah menawi tiyang Kristen ngedekaken gereja. Tiyang Islam mpun
ajreh. Monggo sareng-sareng nyengkuyung kerukunan. Niku kan nggeh
sae.
Semua agama mengajarkan kebaikan. Jika orang Islam telah mendapatkan
hak beribadah, apa salahnya jika kita juga memberikan kesempatan kepada
orang Kristen agar tenang beribadah. Kalau saya sih tidak ada masalah jika
orang kristen mendirikan gereja. Orang Islam tidak perlu takut. Mari kita
menjunjung tinggi kerukunan. Itu kan juga baik. (tokoh nasionalis)
Identifikasi diatas dapat menjadi bukti bahwa suara FSMD yang
mengatasnamakan mayoritas muslim Dermolo tidak memiliki dasar yang kuat.
FSMD sesungguhnya adalah sebuah kelompok gerakan yang beranggotakan para
tokoh agama (kaum santri) yang tidak memiliki basis massa dan pengaruh yang
dominan di Dermolo. Ketokohan santri di Dermolo tidak dapat melebihi
ketokohan kaum nasionalis yang dijadikan panutan bagi sebagian besar warga
Dermolo. Dengan ungkapan lain, FSMD sesungguhnya adalah sebuah kelompok
gerakan kemasyarakatan yang beranggotakan tokoh elit agama yang cenderung
konservatif, namun memiliki pengaruh dominan.
93
2. Dominasi FSMD: Dari Legitimasi, Justifikasi Hingga Diskriminasi
Jika secara kuantitas, FSMD yang merupakan sekumpulan elit kaum santri
adalah minoritas yang ketokohannya pun tidak dapat melebihi ketokohan kaum
nasionalis mayoritas, pertanyaan yang bisa diajukan kemudian, mengapa FSMD
memiliki suara dominan dalam setiap kebijakan terkait penggunaan GITJ
Pepanthan di dukuh Dombang, Dermolo?
Terdapat beberapa argumen yang dapat penulis ketengahkan disini,
argumentasi tersebut terklasifikasi dalam dua aspek, dimana keduanya saling
menguatkan dalam proses produksi kebijakan. Dua aspek ini adalah legitimasi
Pemerintah daerah dan justifikasi regulasi rumah ibadah yang sama-sama
diskriminatif.
Pertama, dominannya pengaruh FSMD salah satunya disebabkan oleh
sikap Pemerintah daerah yang tidak adil dan cenderung diskriminatif dalam
menanggapi persoalan penggunaan rumah ibadah di Dermolo. Hal tersebut
nampak dari keberpihakan Pemerintah pada FSMD --yang mengaku mewakili
mayoritas- dari pada membela hak umat Kristiani yang telah memiliki IMB
berkekuatan hukum tetap. Keputusan Bupati Jepara atas pertimbangan
Departemen Agama, MUI dan Muspida yang melarang penggunaan GITJ sampai
waktu yang tidak ditentukan, hingga terbitnya pencabutan IMB. Disadari atau
tidak telah berdampak sistemik terhadap keberlangsungan relasi umat beragama di
desa yang sebelumnya harmonis ini.
Sikap Pemerintah daerah kabupaten Jepara yang gamang, tidak netral dan
berat sebelah, dalam menyikapi setiap persoalan yang muncul dalam polemik
94
gereja, menyebabkan pemerintah tidak dapat menjadi mediator yang baik dalam
menjembatani kepentingan kedua kubu. Sikap Pemerintah ini justru
memposisikan FSMD dan GITJ berhadap-hadapan secara diametral. Pada satu
sisi, keberpihakan Pemerintah telah menjadi alat justifikasi dan pembenar atas
segala bentuk intimidasi dan intoleransi yang telah dilakukan FSMD. Di sisi lain,
keberpihakan tersebut juga telah memposisikan GITJ --yang sesungguhnya adalah
korban- sebagai pihak yang bersalah.
Tidak adanya kesadaran Pemerintah akan pluralitas bangsa, berimplikasi
pada kegamangan sikap aparat Pemerintah daerah beserta jajarannya, yang tidak
mengayomi seluruh warganya secara sama dan setara. Hal ini kemudian membuat
FSMD semakin sewenang-wenang dan mengedepankan kekerasan dalam
melancarkan aksi dan manuvernya. Berbagai intimidasi dan teror di diterima
warga Kristen Dermolo, mulai intimidasi dalam bentuk surat resmi yang
diedarkan pada seluruh RT dan RW, hingga teror dengan menghimpun massa
untuk mengganggu peribadatan yang tengah dilakukan jemaat Kristen. Hal ini
juga nampak dari semakin gencarnya isu kristenisasi hingga isu IMB rumah
tinggal yang faktanya telah diputar balikkan. Kondisi ini berakibat pada
merenggangnya hubungan sosial antar warga Dermolo yang berbuntut pada sikap
saling curiga, bahkan konflik antar agama maupun intern agama.
Pada beberapa insiden yang telah menimpa GITJ, nampak Pemerintah
tidak memiliki keberanian untuk menegakkan konstitusi dan menjamin
implementasi hukum (law enforcement). Aparat Pemerintah daerah beserta
jajarannya baik MUI, FKUB, maupun Muspida selalu menjadikan opsi-opsi yang
95
diajukan FSMD sebagai pijakan dalam pengambilan kebijakan. Pemerintah
terlihat tidak bernyali ketika berhadapan dengan FSMD yang membawa bendera
mayoritas, meski mereka telah melakukan intimidasi demi intimidasi dan berlaku
sewenang-wenang. Aparat keamanan baik danramil maupun Polsek setempat,
juga tidak dapat memberikan jaminan keamanan yang diminta oleh pihak GITJ
secara langsung, dengan alasan tidak sanggup jika harus berhadapan dengan
massa yang jumlahnya lebih besar. Sikap-sikap ini kemudian mengakibatkan
trauma dan kekecewaan mendalam pada para jemaat GITJ Dermolo.
“Pemerintah selalu berdalih cara ini untuk menekan konflik yang lebih
besar karena berhadapan dengan kelompok mayoritas. Kami jadi bingung;
dimana Pemerintah saat kami harus berjuang menghadapi intimidasi demi
intimidasi yang mengganggu kami” (Bendahara Panitia Pembangunan
Gereja)
Pemerintah terbukti menggunakan kalkulasi mayoritas dan mengorbankan
kepentingan warga kristen yang minoritas, dengan alasan menjaga kerukunan
umat beragama dan bukan berpikir pada tanggung jawab penegakan konstitusi.
Pada posisi ini, Pemerintah lebih tunduk pada keinginan kelompok elit agama
karena dianggap sebagai “corong” Tuhan, dari pada menolong kaum
mustadz’afin, yang lemah, tertindas dan teraniaya karena kehilangan haknya
untuk beribadah dengan tenang. Tindakan intoleran seolah telah menjadi
kewajiban demi membela agama.
Kedua, faktor regulasi yang diskriminatif. Selain faktor tidak adilnya
perlakuan Pemerintah, faktor substansi, isi maupun materi regulasi yang
diskriminatif juga menjadi faktor yang memperkuat legitimasi dan dominasi
FSMD. Dengan berpegang pada SKB nomor 1 tahun 1969 dan PBM nomor 8 dan
96
9 tahun 2006, FSMD berargumen bahwa dalam negara hukum tindakan mereka
telah on the track, karena berpijak pada regulasi yang telah dibuat oleh
Pemerintah. Kedua regulasi ini selalu dijadikan alat pijakan bagi FSMD untuk
mendukung aksi-aksi intoleransi dan intimidasi selama ini. Dan terbukti
kandungan dalam kedua regulasi memiliki banyak celah untuk mendukung
tindakan diskriminasi.
Lahirnya PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 yang mengatur secara kwantitas
pendirian rumah ibadah, memang semakin membatasi hak beragama kaum
minoritas disatu wilayah, seperti halnya umat kristen di Dermolo. Persoalan GITJ
Dermolo semakin berlarut dan menemukan momentumnya ketika FSMD
menggunakan PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 untuk mengusik kembali
keberadaan gereja di dukuh Dombang Dermolo yang telah empat tahun berdiri.
Pihak GITJ pun awalnya menilai bahwa peraturan yang baru terbit tahun 2006
tidak dapat diberlakukan untuk gereja yang telah berdiri tahun 2002. Meski pada
akhirnya pihaknya mengalah dengan mengumpulkan persayaratan tandatangan
sebagaimana termaktub dalam PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006.
Meskipun tandatangan telah dipenuhi dan pihak kecamatan menyetujui,
tetap saja FSMD belum bisa menerima karena adanya perbedaan tafsir regulasi.
GITJ menilai tandatangan pengusul adalah tandatangan jemaat yang tidak harus
ber-KTP Dermolo, karena klausul tidak ada dalam PBM. Sedangkan pihak FSMD
bersikeras bahwa tandatangan pengusul harus ber-KTP Dermolo dengan alasan
“suatu kelaziman” dimana dalam tradisi Islam anggota jemaat satu masjid berasal
97
dari satu desa. Ketidaksepahaman inipun harus diakhiri dengan ketegangan dua
kubu.
Baik SKB tahun 1969 maupun PBM tahun 2006, memang memberi celah
lebar untuk ditafsirkan, lebih-lebih dengan tafsir mayoritas. Pengimplementasian
kedua peraturan yang menggunakan logika mayoritas tersebut, justru melegitimasi
tindakan diskriminasi yang dilakukan Pemerintah dan menjadi alat justifikasi bagi
tindakan intoleran yang mengakibatkan kekerasan demi kekerasan atas nama
agama, terutama pada warga minoritas, seperti yang dialami umat Kristen di
Dermolo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik SKB maupun PBM
adalah akar konflik dari aksi-aksi kriminal atas dasar penegakan agama yang
melanggar prinsip kebebasan beragama dan merupakan pelanggaran hukum berat.
Justifikasi regulasi dan legitimasi Pemerintah yang cenderung
diskriminatif, di satu sisi telah memperkuat dominasi dan hegemoni FSMD. Pada
sisi lain, memposisikan GITJ sebagai pihak yang bersalah. Dampak lainnya,
kelompok silent majority semakin apriori karena keberpihakan Pemerintah pada
FSMD. Sebagian warga muslim yang awalnya berani menunjukkan dukungan
terhadap penggunaan GITJ Dermolo, semakin tidak memiliki tempat dan tergerus
arus oleh sikap Pemerintah yang tidak dapat berdiri di tengah untuk menjadi
hakim yang adil bagi rakyatnya.
top related