bab iii pembaruan pendidikan islam kh. ahmad …digilib.uinsby.ac.id/1309/6/bab 3.pdf · sekolah...
Post on 12-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
55
BAB III
PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM KH. AHMAD DAHLAN
A. Kondisi Pendidikan Islam di Nusantara
1. Pada Masa KH. Ahmad Dahlan
Memasuki abad ke-20, Indonesia merupakan negara yang terbelakang.
keterbelakangan ini dibuktikan dengan hancurnya berbagai tatanan
kehidupan kenegaraan, ekonimi, sosial, bahkan ideologi masyarakat
muslim. Setelah runtuhnya kekuasaan-kekuasaan monarki di Nusantara,
negara ini terbelenggu oleh kolonialisme. Hampir seluruh aspek kehidupan
terbelenggu oleh berbagai praktek kolonialisasi yang merampas hak dan
hajat hidup kaum pribumi. Sejarah panjang kolonialisme itu berlangsung
berabad-abad, rakyat menderita, sebagian besar mereka menderita
kemiskinan dan kebodohan. Pada sejarah kolonialisme di Indonesia, umat
Islam turut menaggung akibatnya. Umat Islam pun menjadi objek dan
sasaran kolonialisasi, karena terbukti menyulutkan perlawanan rakyat secara
terbuka dan besar-besaran.
Diantara peristiwa tersebut adalah pecahnya Perang Suci. Perlawana
umat Islam yang paling berdarah sepanjang sejarah yang digerakkan dan
dipelopori oleh ulama Aceh, juga di berbagai belahan Nusantara, yakni
perang Padri di Minangkabau yang dipelopori oleh Imam Bonjol dan Haji
Miskin (1821-11838), Perang Sabil di Jawa yang dipelopori oleh Pangeran
56
Dipolegoro (1825-1838), serta pemberontakan Tjilegon Banten yang
dipelopori oleh Hadji Wasit dan Tubagus Hadji Ismail (1888).1
Rangkaian perang tersebut merugikan Belanda dan Juga pribumi.
Maka Belanda melakukan Politik Etis yang ditandai dengan hadirnya
misionaris Belanda Cristian Snouck Hurgronye, yang tujuannya untuk
memecah belah umat Islam. Yaitu menguatkan gelombang Westernisasi
pendidikan di budaya lapisan elit (kaum terpelajar) dan menggairahkan
kembali tradisi Hindu-Islam yang memicu maraknya praktek takhayul,
bid’ah dan syirik yang juga marak dilakukan umat Islam.
Penjajah Belanda selain mencari kekayaan (gold) dan kejayaan
(glory), ternyata juga untuk menyebarkan agama kristen (gospel).2 Dan
meskipun Belanda menuai hasil yang gemilang dengan Politik Etisnya.
Benih-benih nasionalisme modern (perlawanan melalui pintu perdagangan
dan pendidikan) di Indonesia juga belum surut, melalui surat-surat kartini
dari Jepara kepada Belanda, lahirnya Budi Utomo berdiri 1908 dan memulai
sekolah Kweekschool miliknya kolonial Belanda di Jetis Yogyakarta.
Namun demikian, Belanda masih mendominasi dalam kebijakan dan
kekuasaan di Nusantara.
Fakta membuktikan bahwa dominasi kalangan Eropa dan elit pribumi
dalam dunia pendidikan menyebabkan rakyat yang mayoritas muslim tidak
cukup terakomodasi dalam sistem pendidikan modern, sementara kebekuan
1 Biyanto, dkk., Materi Kuliyah Pendidikan Kemuhammadiyahan (Sidoarjo: Umsida Press, 2011), 8. 2 Muh. Kolid AS, Pendidikan Kemuhammadiyahan untuk SMP/MTs Muhammadiyah Kelas VIII (Surabaya: Majlis Dikdasmen PWM Jatim, 2013), 3.
57
sistem pendidikan tradisional (pesantren) semakin meninggalkan ketidak
berdayaan. Ditengah keterbelakangan umat Islam, masih ada pribumi Islam
yang bergerak dibidang industri dan perdangana seperti batik, rokok dan
kerajinan yang tersebar di Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Palembang dan
sekitarnya yang memiliki ikatan sosial kuat dalam bersaing dengan
pengusaha tingkat Eropa, Cina, Arab dan India yang lebih dulu singgah di
Nusantara. Pada daerah-daerah tersebut kondisi ekonomi mereka cukup
mapan untuk bergaul, baik melalui ibadah haji di Makkah, mengirimkan
anak mereka ke pesantren dan lembaga pendidikan di Indonesia, maupun
luar negeri seperti Arab, Mesir dan Eropa.
Peristiwa pergi haji menjadi sangat penting bagi umat Islam di dunia,
khususnya di Indonesia.3 Dengan demikian interaksi mereka dengan
masyarakat lebih luas berlangsung secara reguler. KH. Ahmad Dahlan, salah
satu diantara masyarakat kelas menengah pribumi yang menjalani hidup
hanya sekedar berdagang batik dan menjadi Khatib Amin di Masjid Agung
Kesultanan Yogyakarta. Namun kehadiran dan kiprahnya melahirkan
gagasan besar yang mencerahkan ditengah nasib bangsa yang masih
terbelenggu oleh kolonialisme.
KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaru atau pelopor pendidikan
Islam dari Jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat tersebut di
atas. Beliaulah tokoh yang berusaha memasukkan pendidikan umum ke
dalam kurikulum madrasah, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam
3 Hanun Asrohah, Transformasi Pesantren; Pelembagaan, Adaptasi dan Respon Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Dwi Pustaka Jaya, 2012), 137.
58
lembaga pendidikan umum. Melalui pendidikan, KH. Ahmad Dahlan
menginginkan agar umat dan bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan
dan kecintaan kepada tanah air. Beliaulah tokoh yang telah berhasil
mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan pendidikan modern ke
seluruh pelosok tanah air melalui perkumpulan Muhammadiyah yang
didirikannya, dan hingga kini makin menunjukkan eksistensi secara
fungsional.
Mereka (Dahlan dan murid-muridnya) menerima kemajuan dan ilmu
pengetahuan dari Barat secara selektif, dan pada saat yang sama tetap
memepertahankan nilai-nilai dan budaya Islam secara kritis.4 Sebagaian
mereka mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kemajuan Barat dan
sekaligus menguasai pengetahuan Islam. Melalui kiprahnya dalam
pencerahan umat dan bangsa, maka kondisi pendidikan Islam di Nusantara
waktu itu betul-betul hanya dinikmati oleh kalangan atas (hight Class), baik
kalangan ningrat, raja dan pengusaha. Sedangkan kalangan menengah
kebawah tidak memperoleh pendidikan yang layak, maka mereka rata-rata
masuk pesantren yang kala itu masih sangat tradisional dan terbelakang.
Fenomena dualisme pendidikan tersebut terpisah secara jauh dan
diametral. Tidak hanya itu, pendidikan umum dan agama sangat terpisah,
disamping itu beliau juga mendirikan lembaga pendidikan diniyah yang
mengajarkan agama untuk mengimbanginya. Kondisi inilah yang
memberanikan KH. Ahmad Dahlan untuk menerobos benteng modernisasi
4 Moh. Nurhakim, Neomodernisme dalam Islam (Malang: UMM Press, 2001), 5.
59
dan benteng tradisi. Yakni memberanikan dirinya untuk mengajar di sekolah
miliknya Belanda.
2. Realitas Pendidikan
Dunia pendidikan Indonesia saat ini dihadapkan kepada berbagai
masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak
mustahil dunia pendidikan akan ditinggal zaman. Hal ini dapat dibuktikan
bahwa peringkat pendidikan Indonesia jauh dibawah negara-negara asia
tenggara, apalagi negara-negara maju.
Data Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2011 yang
dikeluarkan Unesco pada tanggal 1 Maret 2011 telah menunjukan indeks
pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 di 127 negara
yang disurvei. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Kamboja dan
Laos. Pendidikan nasional juga dikritik karena belum mampu melahirkan
individu yang berkarakter dan berintegritas kuat. Yang ironis, justru terjadi
ketidakjujuran akademik (academic dishonesty) yang melibatkan unsur-
unsur disekolah saat ujian nasional (UN). Kasus contekan massal di SD
Negeri 2 Gadel, menjadi contoh.5 Dan masih banyak lagi di daerah lain.
Maka kegagalan dunia pendidikan Indonesia dalam menyipakan masa depan
umat manusia adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan
bangsa dan peradabannya.
Kemudia pada tahun 2012 menurut Education For All (EFA) yang
dikeluarkan oleh UNESCO, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64
5 Biyanto, Mewujudkan Pendidikan Unggul (Surabaya: Hikmah Press, 2012), 23.
60
untuk pendidikan di seluruh dunia dari 120 negara.6 Programme for
International Study Assessment (PISA) 2012 menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara dengan peringkat terendah dalam pencapaian mutu
pendidikan. Pemeringkatan tersebut dapat dilihat dari skor yang dicapai
pelajar usia 15 tahun dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains.
“Selama mengikuti studi tersebut sejak 2000, Indonesia selalu berada pada
salah satu peringkat rendah,” kata anggota Koalisi Pendidikan, Ade Irawan,
melalui rilis pers pada Jumat, 6 Desember 2013.7
Menurut PERC (berbasis di Hongkong), sistem pendidikan Indonesia
dianggap terburuk dikawasan Asia. Sistem pendidikan Indonesia menurut
PERC ditempatkan pada peringkat 12 negara dari 12 negara, setingkat
dibawah Vietnam. Dalam hal ini PERC telah menganlisis sistem 12 negara
di Asia dengan beberapa indikator. Yakni, impresi masyarakat mengenai
sistem pendidikan, penguasaan teknologi, serta penggunaan bahasa Inggris
dan bahasa asing lainya.
Bukan hanya PERC, laporan Human Developmen Index (HDI) yang
menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia berada pada urutan 120
dari 164 negara. Demikian juga dengan laporan Internasional Institut For
Development (IID) yang menenpatkan sistem pendidikan Indonesia pada
peringkat 49 dari 49 ngara. Kenyataan tersebut jelas merupakan suatu yang
6 http://kampus.okezone.com/read/2013/06/01/373/816065/astaga-ri-peringkat-ke-64- untuk-pendidikan (5 maret 2014). 7 http://www.tempo.co/read/news/2013/12/06/173535256/Mutu-Pendidikan-Indonesia-Terendah-di-Dunia (5 maret 2014).
61
sangat ironis. Apalagi jika dikatakan bahwa sistem pendidikan kita kalah
dengan Malaysia yang pada era 1980-an masih belajar di Indonesia.8
Realitas pendidikan Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami
intellectual deadlock, yaitu kemandegan atau kemunduran dalam
melahirkan cendekiawan yang diharapkan. Indikasinya adalah:9
a. Minimnya upaya pembaruan. Jika ada kalah cepat dengan perubahan
sosial, politik, dan kemajuan iptek. Ini terbukti dari ketidakberdayaan
kurikulum dan silabi yang umumnya dipakai oleh lembaga pendidikan
Islam (LPI) dalam mengantisipasi perubahan global, sedemikian hingga
begitu seorang murid tamat atau lulus dari jenjang pendidikan, ia masih
saja kebingungan dengan bekal keilmuan yang diperolehnya bila
dihadapkan pada lapangan kerja yang ada, kondisi masyarakat, kebijakan
pendidikan elit politik, bahkan ketinggalan dengan akselerasi iptek.
b. Praktik pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan lama, dan
tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap
isu-isu aktual. Akibatnya ilmu-ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu
klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris tak tersentuh sama sekali.
c. Model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada
pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegaskan pentingnya
interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru-murid.
Pembelajarannya menjadi bersifat transfer of knowledge atau learning to
know dengan perlakuan bahwa guru diidealisasikan sebagai pihak yang 8 Biyanto, Mewujudkan Pendidikan, 141. 9 Imam Machali, dkk., Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Buah Pikiran Seputar Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), 8-9.
62
lebih tahu dan yang perlu mentransfer berbagai kelebihannya tadi kepada
murid yang dipandangnya sebagai pihak yang kurang tahu.
d. Orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan ‘abid
atau hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter
manusia muslim sebagai khalifah fi al-ardh.
Walaupun saat ini sudah ada upaya-upaya baru untuk memperbaiki
pendidikan Islam, baik dari pemerintah maupun kalangan swasta, untuk
mengembalikan pendidikan Islam pada tingkat yang baik. Namun realitas
pendidikan Islam saat ini harus diakui masih jauh terbelakang dengan
negara-negara tetangga.
3. Dikotomi Pendidikan
Pada awal abad ke-20, dunia pendidikan Islam masih ditandai oleh
adanya sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dengan
pendidikan umum. Di satu sisi terdapat madrasah yang mengajarkan
pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan di satu sisi
terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Pada
saat itu pendidikan Islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang
jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat
Islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikannya yang
tradisional.10
10 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 98.
63
Persaingan antara sistem pendidikan warisan Kolonial dengan sistem
pendidikan tradisional Muslim terus berlangsung cukup lama.11 Munculnya
dualisme pendidikan antara Barat dan Timur telah memunculkan beberapa
permasalahan. Pertama, munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.
Salah satu dampak negatifnya adalah dikotomi sistem pendidikan, terutama
di Indonesia adalah munculnya ambivalensi orientasi pendidkan Islam.
Kedua, kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam.
Sistem yang bersifat ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang
memisahkan “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu ilmu dunia”. Pandangan ini
bertentangan dengan Islam sendiri yang memiliki konsep integralistik.
Ketiga, disintegrasi sistem pendidikan Islam. Hingga saat ini boleh
dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadi perpaduan (usaha
integralisasi). Kenyataan ini diperburuk oleh ketidakpastian antara
pendidikan umum dengan pendidikan agama. Keempat, inferioritas para
pengasuh lembaga pendidikan Islam. Usaha untuk menyempurnakan
pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan umum, masih sangat erat
kaitannya dengan sistem pendidikan Barat sebagai tolak ukur kemajuan.
Dalam kenyataanya cara pandang ini senantiasa memunculkan pendekatan
hipotesis devisit.12
Menurut A. Syafi’i Ma’arif, diterimanya prinsip dikotomi kedalam
sistem pendidikan adalah merupakan suatu indikasi rapuhnya dasar filosofi
11 Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 247. 12 Ibid., 249-250.
64
pendidikan Islam.13 Karena keterbatasan hasil pemikiran, maka setiap kader
harus meng-up grade (tajdi>d) sturktur kognisi atau budayaannya secara terus
menerus.14 Agar manusia bisa menemukan identitas kemanusaiannya, yang
semuanya itu digunakan sepenuhnya dalam mengaktualisasikan ide
pemikirannya untuk perbaikan dan pembaruan umat manusia. Maka
pendidikan Islam mestinya kembali ke dasar, yakni al-Qur’an dan Hadith
sebagai identitas lokal dengan tetap mengambil perkara yang baru dan lebih
baik dalam hal sains dan teknologi, sehingga pendidikan Islam berwawasan
terbuka, inklusif dan global. Selain itu, perlunya dibangun ulang format
pendidikan Islam yang sesuai dengan konteks globalisasi dan peradaban
zaman yang tentunya tidak meninggalkan nilai-nilai agama.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam upaya membangun format
pendidikan Islam, yaitu masalah dikotomi ilmu dan pola pikir teosentris
yang tidak seimbang. Dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam telah berjalan
cukup lama, berawal ketika terjadi pemisahan antara ilmu agama dan ilmu
umum. Terlebih masih adanya pemahaman sebagian ulama yang
mengartikan menuntut ilmu agama tergolong fardhu ‘ain, sedangkan
menuntut ilmu non agama termasuk fardhu kifayah. Hal tersebut
mengakibatkan sebagian besar umat ini berbondong-bondong mempelajari
ilmu agama seraya mengalihkan perhatiannya pada ilmu-ilmu umum.
Padahal, dalam Islam sendiri tidak dijelaskan pemisahan bentuk kewajiban
tersebut. Ilmu itu utuh, satu kesatuan yang tidak perlu dipisah-pisahkan.
13 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), 105. 14 Suyoto, Melati di Taman Bangsa (Yogyakarta: Aditya Media, 2002), 20.
65
Format ulang terhadap pendidikan Islam yang kontekstual terhadap
arus global pada intinya adalah menghilangkan batas pendidikan Islam yang
dikotomik menuju pendidikan yang integralistik. Dalam pencarian format
pendidikan Islam yang ideal sesuai dengan konteks sekarang, tentunya tidak
terlepas dari kondisi empirik pendidikan di Indonesia. Karena perjalanan
pendidikan Islam di Indonesia memiliki keterkaitan yang mendasar terhadap
perjalanan pendidikan di Indonesia. Upaya reformulasi pendidikan Islam
dalam perspektif global, tentunya tetap harus berpijak dari sumber utama
pendidikan Islam itu sendiri, yakni al-Qur’an dan Hadith.
B. Pembaruan Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan
1. Filosofi Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan
Menurut Kuntowijiyo, gagasan pendidikan yang dipelopori oleh Kiai
Dahlan merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek
“Iman” dan “kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim
terpelajar yang mampu hidup di zaman modern.15 Oleh sebab itu untuk
menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Kiai musti lebih
banyak merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun
naskah pidato terakhir Kiai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kiai terhadap
pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat
kunci yang menggambarkan tingginya minat Kiai dalam pencerahan akal,
15 Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan, 30.
66
yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup
yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan
akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan didasari hati yang
suci, (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia, (3) ilmu mantiq atau
logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan
dicapai hanya jika manusia berserah kepada petunjuk Allah SWT.16 Pribadi
Kiai Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang
tersirat dalam tafsir Al-Mana>r sehingga meskipun tidak punya latar
belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas
melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid.
Meskipun tema pembaruan pendidikan KH. Ahmad Dahlan
memperoleh perhatian yang cukup serius dari para pengkaji sejarah
pendidikan Indonesia, namun sejauh ini sangat sedikit karya yang
menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang
dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Untuk melangkah ke arah itu bisa
dilakukan dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni
bertitik tolak dari sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah
Nabi), terutama tema-tema pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian
rupa sehingga terbangun satu sistem filsafat pendidikan, (2) pendekatan
filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab pemikiran filsafat
kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan, (3) pendekatan formal
dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi persyarikatan, (4)
16 Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah (Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan, 1990), 46.
67
pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak bagaimana konsep
dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci dalam
Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis.17
Dalam hal ini muridnya KH. Ahmad Dahlan adalah KRH. Hadjid,
beliau sangat tekun dan menulis apa-apa yang dipaparkan gurunya, ia
rangkum dalam sebuah tulisan tujuh falsafah atau tujuh perkara pelajaran
KH. Ahmad Dahlan. Pelajaran pertama: mempelajari tentang perkataan
ulama tentang manusia itu semuanya mati. Pelajaran kedua: mempelajari
tentang perkataan ulama tentang manusia yang mementingkan diri sendiri
(individual). Pelajran ketiga: mempelajari tentang perkataan ulama tentang
akal fikiran, perasaan, kehendak, dan perbuatan. Pelajaran keempat:
mempelajari tentang perkataan ulama tentang golongan manusia dalam satu
kebenaran. Pelajaran kelima: mempelajari tentang perkataan ulama tentang
penyucian diri. Pelajaran keenam: mempelajari tentang perkataan ulama
tentang ikhlas dalam memimpin. Pelajaran ketujuh: mempelajari tentang
perkataan ulama tentang ilmu pengetahuan dibagi atas pengetahuan atau
teori (belajar ilmu), dan mengerjakan, mempraktekkan (belajar amal).18
Dalam hal ini apabila sudah mendengar, apa kita sudah melaksanakan
dengan sungguh-sungguh?. Berikut catatan yang diungkapkan oleh KRH.
Hadjid.
17 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: KANISIUS, 1990), 67. 18 Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an (Yogyakarta: UMM Press, 2005), 9-10.
68
2. Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan
umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang
dinamis adalah melalui pendidikan.19 dengan pengembangan daya kritis,
sikap dialogis, menghargai potensi akal dan hati yang suci, merupakan cara
strategis bagi peserta didik mencapai pengetahuan tertinggi. Dari batasan ini
terlihat bahwa KH. Ahmad Dahlan ingin meletakkan visi dasar bagi
reformasi pendidikan Islam melalui penggabungan sistem pendidikan
modern dan tradisional secara harmonis dan integral.
Pendidikan sejatinya merepresentasikan cita-cita luhur yang hidup
dan berkembang dalam satu kelompok masyarakat.20 Seluruh praktek
pendidikan pada hakekatnya adalah upaya mengimlementasikan nilai-nilai.
Nilai itulah yang memberi arah terhadap pelaksanaan pendidikan dan
sekaligus menjadi kriteria untuk mengukur keberhasilan dan
kegagalannya.21 Maka cita-cita yang luhur dalam pendidikan Islam harus
direalisasikan sesuai dengan nilai-nilai Islam, agar nilai tersebut menjadi
bermakna dan bernilai bermanfaat.
Di dalam Muhammadiyah, pendidikan agama dan pendidikan umum
dipadukan sedemikian rupa, dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan as-
Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-kitab kontemporer
berbahasa Arab juga dipelajari di lembaga Muhammadiyah, yang dipadukan
19 Ahmad Syafii Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), 221. 20 Abdul Munir Mulkhan, dkk., Membongkar Praktek Kekerasan (Yogyakarta: Sinergi Press, 2002), 229. 21 Ibid., 321.
69
dengan pendidikan umum. Muhammadiyah dengan model ini telah
menggunakan sistem klasikal model Barat, yang meninggalkan model
Weton (mengaji dengan diajar satu persatu) dan Sorogan (mengajar mengaji
dengan Kiai membaca dan santri mendengarkan) dalam sistem tradisional.
Dengan pembaruan pendidikan seperti itu Muhammadiyah telah
mengenal rencana pembelajaran yang teratur dan integral, sehingga hasil
belajar dapat dievaluasi. Hubungan guru dengan peserta didik didalam
lembaga Muhammadiyah kiranya lebih akrab, bebas dan demokratis, yang
berbeda dengan pendidikan tradisional yang mengesankan guru bersifat
otoriter dalam keilmuannya. Pendirian lembaga Muhammdiyah dengan
pembaruan model seperti itu merupakan kepedualian KH. Ahmad Dahlan
dalam mengimbangai dan menandingi sekolah pemerintah Belanda. Dengan
pembaruan pendidikan seperti itu berarti Muhammadiyah telah
memeprtehankan dimensi Islam yang kuat. Dari sini dapat dikatakan bahwa
KH. Ahmad Dahlan telah berhasil melakukan modernisasi sekolah
keagamaan tradisional.
Dari uraian tersebut, menurut Abudin Nata, ada beberapa catatan yang
perlu dikemukakan. Pertama, KH. Ahmad Dahlan telah membawa
pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula sistem
pesantren menjadi sistem sekolah. Kedua KH. Ahmad Dahlan telah
memasukan mata pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau
madrasah. Ketiga, KH. Ahmad Dahlan telah melakukan perubahan dalam
metode pengajaran, dari yang semula metode Weton dan Sorogan menjadi
70
lebih berfareasi. Keempat, KH. Ahmad Dahlan telah mengajarkan sikap
hidup yang terbuka dan toleran dalam pendidikan. Kelima, KH. Ahmad
Dahlan dengan Muhammadiyahnya telah berhasil mengembangkan lembaga
pendidikan yang beragama, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan
dari yang berbentuk sekolah agama hingga sekolah umum. Keenam, KH.
Ahmad Dahlan telah berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan
modern kedalam sistem pendidikan yang dirancangnya.22
Maka hasil kajian terhadap pembaruan pendidikan Islam pemikiran
dan praksis KH. Ahmad Dahlan, penulis diuraikan sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan
Pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan bertujuan untuk
menciptakan manusia yang (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2)
luas pandangan, yaitu alim dalam ilmu-ilmu umum; (3) bersedia berjuang
untuk kemajuan masyarakat.23 Pandangan KH. Ahmad Dahlan ini
dikemukakan sebagai bukti ketidakpuasan Dahlan terhadap sistem dan
praktek yang ada pada saat itu. Dengan mengadopsi substansi dan
metodologi pendidikan model Barat yang dipadukan dengan sistem
model tradisional, KH. Ahmad Dahlan berhasil mensintesiskan keduanya
dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah.
KH. Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian
sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Beliau berpendapat
bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia dan di akhirat 22 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 310. 23 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran Islam oleh Pergerakan Muhammadiyah (Jember : Universitas Muhammadiyah Jember, 1985), 95-96.
71
kecuali mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seseorang yang
berkepribadian baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-
Qur’an dan Hadith. Beliau juga berpandangan bahwa pendidikan harus
membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk mencapai kemajuan materi. Oleh karena itu, pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa
itu hidup.24 Berkaitan dengan keadaan pada masa itu, KH. Ahmad
Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan pencerahan
tentang pentingnya pendidikan yang sesuai perkembangan zaman bagi
kemajuan bangsa.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan dari tujuan
pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan
pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan
pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang salih dan
mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda
merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama
sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub
intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum
tetapi tidak menguasai ilmu agama.
24 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan, 102.
72
Agar kegiatan belajar aktif tersebut menjadi lebih terarah sudah
tentu diperlukan metode pembelajaran yang relevan. Metode-metode
tersebut adalah:
1) Metode ceramah, apabila materi pelajaran tersebut berupa fakta-fakta
atau informasi yang memerlukan penjelasan.
2) Metode demonstrasi, apabila guru memandang perlu untuk
memperlihatkan sesuatu proses ataupun cara-cara tertentu.
3) Metode kerja kelompok, apabila permasalahan yang dikandung oleh
bahan pelajaran dipandang perlu untuk dipecahkan peserta didik
secara bersama-sama atau gotong royong dan berkelompok.
4) Metode karyawisata, apabila bahan pelajaran itu terdapat dalam obyek
yang berada di luar sekolah.
5) Metode drama, apabila bahan pelajaran itu menghendaki pengamatan
dan pengalaman buatan.
6) Metode bimbingan dan latihan, apabila berkenaan dengan
pengembangan minat, bakat, keterampilan dan kecakapan praktis.25
b. Pendidik dan Peserta Didik
Hakikat guru dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan adalah tenaga
pendidik professional yang diberi kepercayaan sebagai penanggung
jawab kurikuler dengan tugas-tugas pokok sebagai pendidik.26 Maka guru
harus mencurahkan segala ilmu dan pikiran untuk membimbing, melatih
dan membina peserta didik dengan nilai-nilai agama, sehingga mereka
25 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaruan Pendidikan, 210. 26 Dja’far Siddik, Pendidikan Muhammadiyah (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2007), 175.
73
menjadi manusia yang bisa mengamalkan ilmunya dalam kehidupan.
yang secara spesifik sebagai pengabdian kepada Allah SWT dan
pengemban amanahNya sebagai khalifah dimuka bumi.
Hakikat peserta didik dalam konsep pendidikan Islam menurut KH.
Ahmad Dahlan adalah bahwa setiap umat manusia yang lahir kedunia ini
membawa bakat-bakat dan sifat dasar yang secara moral selaras dengan
fitrah penciptaan manusia yang cenderung pada kebaikan dan kebenaran
Islam.27 Maka setiap peserta didik mendapatkan hak pengajaran dan
pendidikan yang layak untuk menunjang kehidupannya kelak.
c. Kurikulum
Pengalaman KH. Ahmad Dahlan dalam mengajar di sekolah
pemerintah membawanya pada kesimpulan bahwa, nilai etika dan
keagamaan menjadi materi-materi yang sangat penting dalam kurikulum
sekolah.28 Pengorganisasian kurikulum yang digunakan KH. Ahmad
Dahlan adalah menempatkan materi pelajaran agama Islam sebagai
kurikulum inti, yang menjiwai seluruh matari pelajaran yang disajikan.
Dengan cara seperti ini, maka setiap materi pelajaran yang disajikan di
lembaga pendidikan tetap bersentuhan dengan iman dan kesalehan,
karena seluruh keilmuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
terkandung dalam berbagai materi pelajaran tersebut tetap berorientasi
pada ajaran Islam.
27 Ibid., 176. 28 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis, Terj. Ahmad Nur Fuad (Surabaya: LPAM, 2002), 197.
74
Menurut KH. Ahmad Dahlan, materi pendidikan adalah al-Qur’an
dan Hadith, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan menggambar.
materi al-Qur’an dan Hadith meliputi ibadah, persamaan derajat, fungsi
perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah dan
pembuktian kebenaran al-Qur’an dan Hadith menurut akal.29 KH. Ahmad
Dahlan memadukan antara pendidikan Agama dan pendidikan umum
sedemikian rupa, dengan tetap berpegang kepada ajaran Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi
pendidikan hendaknya meliputi:
1) Pendidikan moral atau akhlak, yaitu sebagai usaha menanamkan
karakter manusia yang baik berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh dan berkeseimbangan antara
perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek,
antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dengan akhirat.
3) Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.30
Sejalan dengan ide pembaruannya, KH. Ahmad Dahlan adalah
seorang pendidik yang sangat menghargai dan menekankan pendidikan
akal. Ini menunjukan bahwa dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan
bahwa akal merupakan sumber pengetahuan. Tetapi sering kali, akal
29 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan, 303. 30 Din Syamsuddin, dkk., Muhammadiyah Kini dan Esok, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), 43.
75
tidak mendapatkan perhatian yang semestinya. Karena itulah, pendidikan
harus memberikan siraman dan bimbingan yang sedemikian rupa
sehingga akal manusia dapat berkembang dengan baik.
Menurut KH. Ahmad Dahlan pengembangan diri manusia
merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Karena dalam proses kejadian
manusia, manusia diberikan Allah SWT dengan ruh dan akal. Untuk itu
pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan
potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan
kepatuhan manusia kepada Tuhannya. Di sini eksistensi akal merupakan
potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan.
Namun dalam al-Qur’an juga mengakui akan keterbatasan kemapuan
akal. Ada realitas yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan akal
manusia. Hal ini disebabkan karena wujud yang ada di alam ini memiliki
dua dimensi yaitu metafsika dan fisika. Manusia merupakan integrasi
dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Abdul Munir Mulkan dalam bukunya “Paradigma Intelektual
Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikam Islam dan Dakwah”, dijelaskan
bahwa pandangan tersebut antara lain:
1) Penyebaran Islam dan ilmu pengetahuan adalah kewajiban setiap
Muslim.
2) Seorang Muslim wajib memiliki sifat belajar dan mengajar
sekaligus.
76
3) Pendidikan adalah merupakan kebutuhan umat, oleh karena itu perlu
disusun suatu kesatuan sistem dan asas pendidikan dan pengajaran
Islam.
4) Isi pendidikan Islam adalah pengajaran Islam yang bersumber al-
Qur’an, di samping pelajaran membaca, berhitung, menulis, ilmu
bumi dan menggambar.
5) Garis besar isi al-Qur’an adalah; a). ibadah, b). persamaan derajat.
6) Fungsi perbuatan manusia dalam penentuan nasibnya.
7) Musyawarah.
8) Pembuktian dan penjelasan kebenaran al-Qur’an dengan akal.
9) Perlu kerja sama antara agama, kebudayaan dan kemajuan.
10) Perubahan kehidupan ditentukan oleh hukum kausal.
11) Pengarahan nafsu dan kehendak.
12) Demokratisasi dan liberalisasi kemerdekaan berpikir.
13) Perkembangan kehidupan duniawi bersifat progresif sebagi bagian
dari peran aktif iman manusia.
14) Perbaikan akhlak dan budi pekerti.
15) Bimbingan bagi seluruh umat manusia.31
Kurikulum tersebut dapat terealisir jika dilakukan dengan etos
kerja, semangat perjuangan dan dengan penuh keikhlasan. Sehingga
tujuan pendidikan tercapai dengan maksimal.
31 Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual Muslim (Yogjakarta: Sipress, 1998), 146-147.
77
d. Metode atau teknik pengajaran
Di dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan
tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Lalu
bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengajarkan agama, antara lain
dijelaskan oleh Mas Mansur, salah seorang murid dan teman
seperjuangan KH. Ahmad Dahlan. Dalam kaitan ini sebagimana dikutip
Amir Hamzah Wirjosukarto, menjelaskan bahwa KH. Ahmad Dahlan
gemar sekali mengupas tafsir dan pandai pula tentang hal itu. Di samping
menggunakan penafsiran yang kontekstual, KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau
dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan
kondisi.32
Gagasan KH. Ahmad Dahlan tentang ”pembumian” ajaran al-
Qur’an tersebut antara lain tercermin dalam pengajaran surat al-Mau>n
yang dalam perkembangannya melahirkan majelis pembinaan
kesejahteraan umat. Bagi KH. Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan
membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali
dipraktekkan.
Pendidikan (pengajaran) agama harus didasari pengakuan atas hak
dan kebenaran akal dan ilmu, mengakui keinginan dan nafsu manusia,
dan dibuktikan dengan jalan ilmu dan akal-pikiran.33 Ketika menerapkan
al-Qur’an surat Asy-Syu’ara ayat 80, yang menyatakan bahwa Allah 32 Abdul Munir Mulkan, Paradigma Intelektual,146-147.149. 33 Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (Jakarta: Kompas, 2010), 145.
78
menyembuhkan sakit seseorang. Oleh karena itu, KH. Ahmad Dahlan
bersama perkumpulan Muhammadiyah mendirikan balai kesehatan
masyarakat atau rumah-rumah sakit. Lembaga ini didirikan, selain untuk
memberi perawatan pada masyarakat umum, bahkan yang miskin
digratiskan, juga untuk memberi penyuluhan, betapa pentingnya arti
sehat. Sedangkan, ketika menerapkan al-Qur’an surat al-Alaq ayat 1 yang
memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, buta huruf diberantas.
e. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang ditawarkan KH. Ahmad Dahlan lebih
berpusat pada nilai (value centered), yakni tidak hanya didominasi atau
terpusat pada guru dan tidak pula oleh peserta didik, karena kalau hanya
terpusat pada guru memperlihatkan posisi guru sebagai pemegang
kedaulatan absolut.
Oleh karena itu interaksi keduanya sebagai hubungan antar pribadi
yang saling mengakui kedaulatan kedua belah pihak sebagai pelaku
perubahan yang sama-sama aktif, sehingga memungkinkan untuk
merealisasikan keaktifan dan kedaulatannya masing-masing yang saling
menghargai dan menjujung tinggi etika, bahwa yang tua hendaklah
dihormati dan yang muda hendaklah disayangi.
Dengan demikian maka kegiatan belajarnya lebih mengarah pada
proses belajar aktif, yang diharapkan timbul dari kerelaan dan kesadaran
peserta didik sebagai perwujudan keaktifan dan kedaulatan yang
79
dimilikinya. Dalam konteks inilah, kewibawaan guru sebagai pendidik
Muslim yang memancar dari segenap kompetensi kepribadiannya sebagai
imamah dan teladan keutamaan yang pantas dihormati dan dihargai
merupakan kunci keberhasilan dalam mewujudkan suasana belajar yang
aktif, disamping adanya kemampuan professional dalam menjalankan
tugas profesinya sebagai seorang pendidik muslim.
f. Integralistik Pendidikan
Amir Hamzah Wirjosukarto, dalam bukunya yang berjudul
“Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran Islam” memaparkan mengenai
pribadi K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan pencari kebenaran hakiki
yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Mana>r sehingga
meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka
lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan
ijtihad dan menolak taqlid.
Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua,
pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal
ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di
pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan
agama saja. Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak, model
penyelenggaraan, krakter dan produk alumni model ala Barat di pihak
lain, seperti dijelaskan di atas mendorong KH. Ahmad Dahlan
mendirikan Muhammadiyah. Melalui Muhammadiyah KH. Ahmad
Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan dua
80
karakter dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang saat itu,
mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. Dengan demikian,
umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, seperti alumni
pesantren, tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern.
Pendidikan sejatinya merepresentasikan cita-cita luhur yang hidup
dan berkembang dalam satu kelompok masyarakat. Ia mengemban
amanat sosial yang untuk menghasilkan manusia idaman sesuai dengan
nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat tempat pendidikan itu
berlangsung.34 Disitulah letak relevansi pernyataan pemikiran
humanistik-idealistik Emmanuel Kant yang menyatakan bahwa hakekat
pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia.35 Itu
menunjukkan bahwa hakekat pendidikan sebenarnya terletak pada upaya
penanaman nilai-nilai akhlak yang diimplementasikan dalam pengabdian
dan kepemimpinan.
3. Pendidikan Kemuhammadiyahan
Secara umun visi pendidikan Muhammadiyah harus diarahkan untuk
mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan. Dalam Anggaran Dasar
dikatakan maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Bukan hanya pendidikan, seluruh amal usaha juga
diorientasikan untuk mencapai tujuan tersebut.36
34 Abdul Munir Mulkhan, dkk., Membongkar Praktek, 299. 35 Abdul Munir Mulkhan, dkk., Membongkar Praktek, 300. 36 Biyanto, Mewujudkan Pendidikan, 26.
81
Maksud dan tujuan pendidikan kemuhammadiyahan ada dua macam
yaitu: tujuan khusus dan tujuan umum. Yang termasuk tujuan khusus
adalah:
a. Agar anak didik mengenali Muhammadiyah dengan baik
b. Sesuai dengan pepatah “tak kenal maka tak sayang”, maka setelah anak
didik mengenali Muhammadiyah, diharapkan akan tumbuh rasa memiliki
dan rasa tanggungjawab untuk meneruskan perjuangan Muhammadiyah.
Rasa memiliki ini akan menjadi motivasi yang baik sehingga anak didik
tahu kewajibannya sebagai kader. Jadi pendidikan kemuhammadiyahan
bukan sekedar ilmu untuk ilmu, yang hanya diketahui kemudian
dilupakan setelah lulus sekolah.
Adapun yang termasuk tujuan umum adalah:
a. Memberi bekan untuk anak didik agar siap mengenalkan dan
memperjuangkan Islam kepada lingkungannya dalam bingkai
kebersamaan (organisasi).
b. Menumbuhkan jiwa tajdid, sehingga anak didik bersemangat untuk
mengkaji Islam dari sumber utama yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dan
bukan menurut kata orang yang berakibat sikap ikut-ikutan (taqlid). Dari
pemahaman yang murni ini, akan diikuti dengan semangat beramal yang
nyata bagi sesama.37
KH. Ahmad Dahlan membagi pendidikan menjadi dua kelompok.
Yaitu: Kelompok pertama, pada masa awal adalah sekolah-sekolah umum
37 Tim Penulis, KEMUHAMMADIYAHAN untuk SMP/MTS kelas VII, (Surabaya: Majlis Dikdasmen PWM Jatim, 2007), 33.
82
dan kejuruan seperti; Volkschool, Standardschool, Hollands Inlands School
(HIS), Schakelsschool, MULO, Hollands Inlands Kweeksschool (HIK).
Yang pada umumnya mengadopsi kurikulum pemerintahan Belanda
(Sekolah-sekolah gubernemen). Sementara Kelompok kedua adalah sekolah-
sekolah keagamaan, seperti madrasah-madrasah; Diniyah Ibtidaiyah,
Wushta, Mu’allimin, Muballighin, Zu’ama38
KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya mendirikan sekolah
di Karangkajen (1913), Lempuyangan (1915), dan Pasargede (1916). Di
samping itu pada tahun 1920 Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah di pindah ke
Suronatan karena gedung yang lama tidak lagi cukup untuk menampung
siswa yang jumlahnya terus bertambah. Meningkatnya jumlah siswa yang
belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah menuntut adanya sekolah guru.
Pada tahun 1918, Muhammadiyah membantu sebuah madrasah yang disebut
Qismul al Arqa di rumah KH. Ahmad Dahlan. Lulusan dari sekolah ini
diharapkan mampu mengajarkan agama di sekoah-sekolah pemerintah atau
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pada tahu 1920 madrasah ini berubah
menjadi Pondok Muhammadiyah. Perkembangan sekolah Muhammadiyah
mengalami ”booming” setelah tahun 1921. Pada tahun itu, pemerintah
mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pendirian-pendirian cabang-
cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Mengikuti diberlakukannya
peraturan itu, Muhammadiyah melakukan restrukturisasi organisasi, di mana
urusan-urusan sekolah yang sebelumnya di tangani langsung oleh
38 Dja’far Siddik, Pendidikan Muhammadiyah, 182.
83
KH. Ahmad Dahlan, kemudian ditangan oleh bagian sekolah. Sebagai
dampak positif dari adanya lembaga ini, sekolah-sekolah baru terus
dibangun. Pada tahun 1922 Muhammadiyah membangun HIS Met de
Qur’an, yang tingkatnya setara dengan HIS Pemerintah, tetapi mengajarkan
pendidikan agama.39
Menurut Muhammad Yunus, banyak lembaga pendidikan yang
didirikan oleh Muhammadiyah, seperti Kweekschool Muhammadiyah
(Yogyakarta), Mua’llimin Muhammdiyah (Solo dan Jakarta), Mu’allimat
Muhammadiyah (Yogyakarta), Zu’ama/Za’imat (Yogyakarta), Kulliyah
Muballighin/Muballighat (Padang Panjang), Tablighschool (Yogyakarta),
dan berbagai sekolah model Belanda seperti HIK Muhammadiyah, HIS
Muhammadiyah Mulo Muhammmadiyah dan madrasah Muhammadiyah,
baik tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah maupun Wustha, yang semuanya
didirikan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Adapaun pada masa kemerdekaan lembaga pendidikan
Muhammadiyah dibagi dalam dua katagori, yaitu sekolah agama dan
sekolah umum. Sekolah agama Muhammadiyah meliputi Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Madrasah
Mu’allimin dan Madrasah pendidikan guru Agama. Sedangkan sekolah
umum Muhammadiyah, mencangkup sekolah rakyat, SMP, SMA, TK,
SGB, SGA, sekolah kepanduan putri, SMEP dan SMEA, SGTK, SG
kepanduan putri, SG pendidikan Jasmanai, Sekolah pendidikan
39 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan, 105- 106.
84
Kemasyarakatan, Sekolah putri ‘Aisyiyah, fakultas hukum, filsafat dan
perguruan tinggi pendidikan guru. Didalam sekolah-sekolah umum ini,
mulai dari tingkat rendah sampai sekolah tinggi, pemberian pelajaran
agama merupakan suatu kewajiban.40
Semboyan pendidikan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan
“jadilah guru sekaligus murid” ternyata mampu menggerakkan pengikut
Muhamadiyah.41 Sehingga gerakan ini menyebar meluas sampai keseluruh
lapisan masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, bahkan sudah merambah ke
berbagai negara secara internasional. Tanpa mengurangi pemikiran
intelektual muslim lainnya, paling tidak pemikiran KH. Ahmad Dahlan
tentang pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan
pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan pembaruannya sempat mendapat
tantangan dari masyarakat pada waktu itu, terutama dari lingkungan
pendidikan tradisional. Kendati demikian, bagi KH. Ahmad Dahlan,
tantangan tersebut bukan merupakan hambatan, melainkan tantangan yang
perlu dihadapi secara arif dan bijaksana. Arus dinamika pembaruan terus
mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang
semakinkompleks.
Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting
dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini
disebabkan, karena pendidikan merupakan media yang sangat strategis
untuk menyelamatkan bangsa dan mencerdaskan umat. Dalam konteks ini, 40 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), 269-217. 41 Abdul Munir Mulkhan, Jejak Pembaruan Sosial, 28.
85
setidaknya pembaruan pendidikan Islam dalam pemikiran KH. Ahmad
Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan
inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan
yang lebih proporsional. Sehingga Islam sesuai dengan tujuan dasarnya
adalah Rahmatal lil’a>lami>n.
C. Memaknai Pembaruan KH. Ahmad Dahlan
1. Denotasi pembaruan
Tajdi>d bermakna pembaruan. Kata “Tajdi>d” berasal dari bentukan
kata jadda-yaji>du jiddan/jiddata>n artinya sesuatu yang ternama, yang besar,
nasib baik dan baru.42 Makna Tajdi>d dari segi bahasa berarti pembaruan.
Dan dari segi istilah Tajdi>d memiliki dua arti, yakni (a) pemurnian, dan (b)
peningkatan, pengembangan, modernisasi.43 Pemahaman Pengertian dasar
istilah ini adalah memperbarui pemahaman terhadap teks agama.44 Hal itu
dilakukan karena pemahaman yang ada keluar dari teks yang sebenarnya
dari ajaran Islam.
Pembaruan (reformasi) atau Tajdi>d dalam istilah agama, mempunyai
dua pengertian yaitu tajdi>d pemurnian yang dapat disebut purifikasi
(purification) dan tajdi>d yang bermakna modernisasi, dinamisasi atau
reformasi. Tajdi>d dalam makna pemurnian adalah memurnikan pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. 42 Haedar Nasir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), 287. 43 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Idealis (Jakarta: LPPI, 2003), 162. 44 Moh. Nurhakim, Neomodernisme dalam, 82.
86
Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang aqidah, ibadah
mahdhoh, dan akhlak.45 Sementara tajdi>d dalam makna modernisasi atau
dinamisasi adalah pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan
kemanjuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat.
Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah mu’amalah.46
Bagi Steenbrink ada empat faktor yang mendorong gerakan
pembaruan Islam di Indonesia awal abad ke-20, yaitu: 1) Faktor keinginan
untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadith. 2) Faktor semangat
nasionalisme untuk melawan penjajah. 3) Faktor basis gerakan sosial,
ekonomi, budaya dan politik. 4) Faktor pembaruan pendidikan Islam di
Indonesia.47 Empat faktor inilah yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam
melakukan gerakan pembaruan Islam di Indonesia melalui gerakannya.
Sebagai konsekwensi dari keinginan untuk menumbuhkan spirit
tajdi>d, Muhammadiyah menekankan pentingnya pembaruan (tajdi>d). 48 Hal-
hal yang terkait dengan aqidah tidak boleh diijtihadkan, apalagi
dirasionalkan. karena wilayah itu termasuk dalam kategori pemurnian
(purifikasi). Maka memaknai pembaruan dalam purifikasi adalah
memurnikan dan membersihkan dari bercampurnya ajaran Islam dengan
agama lain, yakni kembali pada kemurniannya yang sesuai dengan al-
Qur’an dan Sunnah. Sedangkan memaknai pembaruan dalam modernisasi
atau dinamisasi adalah pengembangan ajaran Islam sejalan dengan 45 Haedar Nasir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Malang: UMM Prees, 2006), 46 Muh. Kolid AS, Pendidikan Kemuhammadiyahan, 12-13. 47 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma, 90. 48 Tim Penulis, Materi Kuliyah Pendidikan Kemuhammadiyahan (Sidoarjo: Umsidapress, 2011), 29
87
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial
masyarakat.
2. Pembaruan KH. Ahmad Dahlan dalam Pandangan
Langkah pembaruan yang dipelopori Kiai Dahlan menurut A. Mukti
Ali kendati cenderung pada amaliah, tetapi terdapat domain pembaruan
yang sangat sepesifik yang tidak dimiliki oleh pembaru-pembaru dalam
dunia Islam sebelumnya ialah gerakan pembaruannya dalam menampilkan
amalan-amalan sosial-kemasyarakatan dalam format kelembagaan (sekolah,
rumah sakit, panti asuhan, dll), termasuk dalam melahirkan gerakan
perempuan keruang publik.49 Langkah ini merupakan langkah KH. Ahmad
Dahlan yang strategis dalam mengaktualisasikan pemikiarannya dalam amal
yang nyata, yang menyentuh semua aspek kehidupan manusia.
Muh. Nurhakim memaknai tajdi>d adalah mengembalikan
pemahaman-pemahaman agama yang salah karena distorsi sejarah kepada
paham serta ajaran Islam yang benar sebagaimana yang ada pada masa
Rasulullah dan sahabatnya.50 Konsep ini sangat menekankan upaya kembali
kepada masa lampau, yakni masa Rasulullah secara totalitas. Sebagaimana
yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pembaruannya.
Syamsul Anwar memaknai tajdi>d sebagai ikhtiar menemukan kembali
substansi agama untuk pemaknaan baru dalam pengungkapannya yang suatu
49 A. Mukti Ali, “Amalan Kiai Ahmad Dahlan” dalam Sujarwanto dan Haedar Nashir, Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah Dialog Intelektual (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), 349. 50 Moh. Nurhakim, Neomodernisme dalam, 83.
88
konteks baru yang berubah, baik melalui purifikasi maupun dinamisasi.51
Menemukan substansi agama dalam hal ini adalah matan atau nilai-nilai
yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sahihah yag betul-betul sesuai
dengan harapan dan cita-cita KH. Ahmad Dahlan.
Azumardi Azra berpendapat bahwa modernisasi atau pembaruan
merupakan upaya untuk mengaktualisasikan ajaran Islam agar sesuai dengan
perkembangan sosial yang tejadi.52 waktu itu yang dilakukan KH. Ahmad
Dahlan adalah mengaktualisasikan ajaran Islam yang difahaminya yang
diamalkan dengan kondisi realitas sosial masyarakat setempat.
Harun Nasution berpendapat bahwa pembaruan mengandung arti
pikiran, aliran gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-
istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (PITEK) modern.53 Maka pembaruan yang dilakukan oleh KH.
Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan ilmu bahasa Arab, Inggris dan
Belanda serta teknologi waktu itu seperti, bangku untuk belajar, peta untuk
memetak arah kiblat merupakan terobosan yang berani untuk mendongkrak
dan mengaktualisasikan ajaran Islam.
Asymuni Abdurrahman memaknai tajdi>d dari segi bahasa berarti
pembaruan; dan dari segi istilah memiliki dua arti yakni (a) pemurnian, dan
(b) peningkatan, pengembangan dan modernisasi, dan yang semakna
dengannya. Dalam arti “pemurnian”, tajdi>d dimaksudkan sebagai 51 Haedar Nasir, Muhammadiyah Gerakan, 288. 52 Abdul Haris dan Kivah Aha Putra, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: AMZAH, 2012), 138. 53 Ibid., 138.
89
memelihara matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber pada al-
Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah. Dalam arti “peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdi>d
dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah al-
Shahihah.54 Dalam melakukan pengertian tajdi>d tersebut diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri. Dan tujuannya adalah
mengfungikan Islam sebagai furqon, hudan, dan rahmatal lil-‘alami>n.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, Kiai Dahlan adalah sosok
pencari kebenaran yang hakiki, yang sacara cerdas mampu menangkap
makna tersirat tafsir Al-Mana>r dalam langkah tajdidnya.55 Beberapa prinsip
penafsiran yang menjadikan kerangka metodologi tafsir Al-Mana>r dapat
dijelaskan sebagai berikut: Pertama, penggunaan akal secara luas dalam
menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh pengarang
tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang
tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana
diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal,
tetapi tidak bertentangan dengan akal. Kedua, dikalangan ulama Tafsir,
Muhammad Rasyid Ridha dikenal sebagai face maker (peletak dasar)
penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya
kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan
keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan
54 Haedar Nasir, Muhammadiyah Gerakan, 295. 55 Haedar Nasir, Meneguhkan Ideologi., xxviii.
90
pembangunan.56 Pengkajian dan penafsiran KH. Ahmad Dahlan terhadap
Al-Mana>r inilah, yang mengaitkannya dengan fenomena kondisi sosial
masyarakat yang kala itu terhimpit dalam kemiskinan dan keterbelakangan
untuk selangkah lebih maju.
Sifat tajdi>d yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah disamping
berupaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel
pada tubuhnya, juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai
pembaruan cara-cara pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan
masyarakat, semacam pemyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim,
cara pengelolaan rumah sakit serta pelaksanaan shalat Ied.57
Muhammadiyah memandang bahwa reformasi sebagai proses tajdi>d,
Islah, atau pembaruan untuk menuju sesuatu yang lebih baik merupakan
sunatullah dan sekaligus aktualisasi dari misi dakwah Islam.58 Karena itulah
reformasi haruslah merupakan gerakan yang membawa nilai-nilai luhur
yang benar, damai, adil, bermoral, dan berupa kerja yang sistematik yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada mahkamah sejarah bangsa dan Allah
SWT. Oleh karenanya, Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan
keagamaan yang berjuang melakukan gerakan pemurnian (purification,
tandhif), dan pembaruan (reformation, tajdi>d) terhadap praktek-praktek
keagamaan.59 Karena itulah Muhammadiyah telah mengambil sikap untuk
tidak bermazhab dalam bidang teologi, fiqih dan tasawuf. Karena itu yang 56 Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 260. 57 Mustafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan, 163. 58 M. Amin Rais, dkk., Muhammadiyah dan Rerormasi (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), 59. 59 Muslimin Abdurrahman, Muhammadiyah sebagai Tenda Kultural (Jakarta: Ideo Press, 2003), 48.
91
dilakukan agar Muhammadiyah bisa memahami Islam dari sumber yang
aslinya yaitu al-Qur’an dan hadith, salah satunya dalam pendidikan Islam.
Slogan kembali kepada al-Qur’an bukan berarti kembali kepada
tekstualisme Islam secara murni, tetapi melakukan penafsiran secara
kontekstual serta memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan global.
Hal ini dapat dilakuka oleh Muhammadiyah dengan melakukan ijtihad dan
tajdi>d.60 Maka pembaruan yang ada pada pendidikan Islam termasuk
pembaruan modernisasi, yang mengupayakan adanya perubahan konsep,
sistem, menejemen, dan pengelolaan pendidikan yang proporsional dan
profesional. Para pembaru sesuai tingkat kebutuhan peserta didik yang
menekankan kwalitas dan terwjudnya akhlak mulia, tentunya sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam.
Dalam beberapa hal diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa Dahlan
didalam melakukan pembaruan Islam melalui Muhammadiyahnya
dilakukan dengan empat cara. Pertama, Dahlan selalu menekankan
perlunyan dimensi ajaran kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
dimensi ijtihad dan tajdi>d sosial keagamaan. Kedua, dengan
mengaktualisasikan cita-cita pembaruannya Dahlan menempuh sistem
organisasi. Ketiga, pemikiran Dahlan dengan Muhammadiyahnya bercorak
antikemapanan kelembagaan agama yang terlalu bersifat kaku. Keempat,
gagasan pembaruan Dahlan dengan Muhammadiyahnya selalu bersifat
responsif dan adaptif didalam menghadapi perkembangan zaman. Dengan
60 Ali Usman (ed), Menegakkan Pluralisme (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2008), 147.
92
keempat metode ini, Islam Muhammadiyah di era Dahlan merupakan “Islam
sejati”, demikian penilaian yang dikemukakan Mulkhan.61 Penyematan
Islam sejati inilah pantas dan tepat yang diungkapkan oleh Mulkhan pada
KH. Ahmad Dahlan terhadap gerakannya yaitu Muhammadiyah. Yang
secara totalitas segala pemikirannya dicurahkan untuk perbaikan umat dan
bangsa, dengan segala daya dan kekuatannya sebagai pengabdian kepada
Allah SWT dan tugas kekalifahannya dimuka bumi.
61 Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni Dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), 43-44.
top related