bab iii banjar pegending sebagai arena perjumpaan …
Post on 06-Dec-2021
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
54
BAB III
BANJAR PEGENDING SEBAGAI
ARENA PERJUMPAAN LINTAS AGAMA
III. 1 Pengantar
Setelah penulis melakukan pemaparan teori dan beberapa konsep pendukung
sebagaimana yang telah dituangkan pada bab II, maka pada bab ini penulis akan
memberikan pemaparan tentang realitas sosial Banjar Pegending sebagai locus
penelitian, yang didalamnya kenyataan dinamika perjumpaan agama-agama itu
terjadi.
III. 2 Pengertian Banjar di Bali
Banjar merupakan suatu organisasi tradisional, yang pada hakekatnya
merupakan satu kesatuan keamanan, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi dan
satu kesatuan kebudayaan.1 Kebudayaan Bali secara umum dikenal mempunyai ciri
khas yang unik jika dibandingkan dengan kebudayaan lainnya di Indonesia. Ciri khas
yang unik dalam budaya Bali yang dimaksudkan di sini salah satunya adalah terkait
dengan istilah Banjar. Banjar merupakan salah satu pilar pembangunan yang menjadi
bagian dari wilayah Desa, yang secara administratif hanya dijumpai di Bali.2 Suyatra,
1 A.A Gde Aryana, Peranan Desa dan Banjar Adat Dalam Proses Intergrasi Kebudayaan Di
Bali, (Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Denpasar: 2016), 4
2 Nyoman Utari Vipriyanti, Banjar Adat and Local Wisdom: Community Management For
Public Space Sustainability in Bali Province; Presented in IASC 2008 12th Bienniel Conference,
(Lecture in Denpasar Mahasaraswati University, 2008), 2; “Di Bali, ada beberapa kelompok sosial
masyarakat yang biasa disebut pilar pembangunan yaitu Banjar, Banjar Adat (Banjar Pakraman),
Sekaa dan Subak. Ada perbedaan fungsi dan bentuk antara desa dinas dan desa pakraman yang diikuti
55
memberikan pandangannya bahwa Banjar itu merupakan sebuah kelompok atau
perkumpulan dengan penduduknya yang memiliki aturan, kehidupan, tradisi hingga
sistem adat.3
Istilah Banjar di Bali, telah dikenal sejak jaman dahulu yang memiliki peran
dan fungsi dalam hal penanganan masalah irigasi atau pengairan sawah (subak),
sebab sebagian besar masyarakat Bali adalah petani.4 Bertani merupakan mata
pencaharian yang paling utama dari sebagian besar masyarakat Bali. Jenis pertanian
di “Pulau Dewata” ini meliputi pertanian sawah dan juga perkebunan. Sistem
pertanian di Bali, yakni sistem irigasi (Subak) sangatlah memegang peranan penting.5
Berangkat dari pemahaman tersebut di atas, maka dalam perkembangan
selanjutnya istilah Banjar dimaknai dan atau dikatagorikan sebagai aset budaya Bali,
sekaligus merupakan warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan
keberadaannya. Dengan demikian keberadaan Banjar bagi masyarakat Bali
merupakan suatu lembaga adat budaya yang didalamnya terkandung nilai-nilai sosial
dan kekerabatan bagi masyarakat setempat yang pada momen tertentu dapat dijadikan
sebagai wadah perjumpaan untuk saling berinteraksi. Kebutuhan interaksi itu
oleh struktur bawah yaitu banjar dinas dan banjar pakraman. Desa dinas dan banjar dinas terkait
dengan semua kegiatan administrasi sementara desa dan banjar pakraman berhubungan dengan
kegiatan keagamaan. Alhasil, mungkin saja keduanya froms memiliki cakupan area yang berbeda.
Desa dan banjar pakraman juga dikenal sebagai desa dan banjar adat.”
3 I Putu Suyatra (editor), Pura Murwa Bhumi Cikal Bakal Adanya Sistem Banjar, 02 Agustus
2019, diakses pada 15 Oktober 2019, https://baliexpress.jawapos.com/read/2019/08/02/149238/pura-
murwa-bhumi-cikal-bakal-adanya-sistem-banjar
4 Explore Bali Island, Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali, Januari 2015, diakses pada
15 Oktober 2019, http://www.balimediainfo.com/2015/01/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-di-
bali.html.
5 Christofer Satria, Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun, I Ketut Suteja, “Fotografi Decopauge
Keindahan dan Fenomena Subak Bali di Daerah Gianyar dan Bangli”, PRABANGKARA Seni Rupa
dan Desain, Volume 21 Nomor 2 (Desember 2017), 51-57.
56
diselenggarakan bertujuan untuk menyamakan pandangan dan merumuskan tujuan-
tujuan bersama menuju masyarakat yang ajeg Bali.
III. 3 Sejarah Keberadaan Banjar di Bali
Penelusuran secara historis bagaimana dan seperti apa kisah asal-usul
keberadaan Banjar di Bali, masih dianggap cukup sulit untuk diketahui kepastian
sejarahnya.6 Namun, dari narasi lisan para leluhur terutama yang bersumber dari
kisah beberapa legenda dan cerita-cerita rakyat di Bali, setidaknya keberadaan Banjar
tersebut dapat diyakini kebenarannya.7 Istilah Banjar di Bali, sebenarnya sudah
dikenal sejak prasejarah Bali (836 caka atau 914 masehi), yakni dengan merujuk pada
Prasasti Gobleg Pura Desa yang berbahasa Bali kuno.8 Tulisan dalam prasasti itu
disebutkan: "...ser tunggalan banjar di indrapura." yang artinya: "...pengawasan
bersama tunggalan untuk lingkungan atau kelompok di Indrapura."9 Salah satu bukti
yang mendukung sejarah Banjar di Bali adalah adanya suatu cerita yang terdapat
dalam lontar Maharsi Markandya sebagai bukti yang mendukung sejarah Banjar di
Bali. Cerita itu antara lain isinya sebagai berikut :
“Seorang Maharsi bernama Maharsi Markandya pada mulanya
bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), melakukan perjalanan ke Bali
bersama 500 orang pengikutnya, dengan maksud untuk perambahan hutan
yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian dan tempat
pemukiman/tempat tinggal. Mereka bermula tiba di Taro, yakni wilayah
6 Rusadi Nata, Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali, 2015, diakses pada 20 Oktober
2019, http://kabardewata.com/berita/ berita-utama/sosial/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-di-
bali.html#.Xa4zOWAzbDc, 2015.
7 A.A Gde Aryana, Peranan Desa Dan Banjar Adat, 1
8 ....... sejarah-asal-usul-adanya-banjar-di-bali.
9 Mengenal Tradisi Banjar yang Jadi Keunikan Tersendiri di Bali, diakses pada 20 Oktober
2019, https://www.kintamani.id/mengenal-tradisi-banjar-yang-jadi-keunikan-tersendiri-di-bali-006320.
html.
57
Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar (Sekarang). Di Taro inilah
mereka mula-mula perambahan hutan dilakukan. Namun usaha Maharsi
Markandya tidak berhasil oleh karena banyak diantara pengikut Maharsi
Markandya menderita sakit, diserang binatang-binatang buas, dan
diantara pengikutnya meninggal dunia.
Kegagalan Maharsi Markandya bersama pengiringnya tidak
menjadikannya berputus asa. Maharsi Markandya kembali melakukan
upacara ritual (Bertapa) di Gunung Raung hingga beberapa waktu
lamanya dan kemudian berangkat lagi ke Bali bersama para pengikutnya
yang masih hidup. *Namun kedatangan yang kedua kalinya di Bali ini,
Maharsi Markandya terlebih dahulu melakukan upacara ritual Hindu yang
dinamakan Bhuta Yadnya. Beliau menanamkan lima jenis logam
pelengkap upakara yadnya, pada suatu tempat di kaki Gunung Agung,
sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih. Setelah selesai
Bhuta Yadnya, beliau beserta pengiringnya menuju Taro, yang kemudian
pekerjaan perambasan hutan dilanjutkan kembali. Alhasil, pembukaan
hutan berjalan dengan baik, yang selanjutnya beliau melakukan
pembagian lahan garapan dan pemukiman kepada pengikutnya. Tempat
beliau mengadakan pembagian tanah itu sekarang dikenal dengan
nama Desa Puakan, yang terletak di sebelah utara Desa Taro. Menurut
cerita masyarakat setempat, nama Desa Puakan berasal dari kata Piakan,
yang artinya pembagian.
Pada perkembangan sejarahnya, keturunan dari para pengikut
Maharsi Markandya ini, menyebarluaskan ke tempat-tempat pemukiman
baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang baru didirikannya.
Perluasan tempat tinggal baru (Pemukiman) antara lain : Desa
Pelaga, Desa Trunyan, Desa Batur, Desa Beratan, Desa Cempaga, Desa
Sembiran, Desa Gobleg, Desa Tigawasa, dan masih banyak lagi
perluasannya yang hampir semuanya terletak di daerah pegunungan.
Maharsi Markandya seorang penganut ajaran Hindu. Sebagai
seorang Pendeta, beliau dikenal kesucian dan kebijaksanaannya.
Dikalangan umat Hindu, beliau juga diperkirakan sebagai pencipta sistem
pengairan disawah, sekarang dikenal dengan nama "Subak".
Pada garis besarnya, cerita diatas dianggap sebagai awal asal-usul
satu bukti yang mendukung sejarah Banjar di Bali.”
III. 4 Fungsi Banjar
Dilihat dari segi fungsi, Banjar itu memiliki dua bentuk fungsi. Pertama
berfungsi sebagai Banjar Dinas yang dikepalai oleh seorang Kelian Dinas, dan
langsung berada dibawah struktur Desa dinas. Kedua berfungsi sebagai Banjar Adat
58
(Banjar Suka Duka), yang dikepalai oleh seorang Prajuru Banjar Adat, dan berada
dibawah struktur Desa Adat.10
Kedua-duanya mempunyai fungsi dimensi
kebermanfaatannya masing-masing berdasarkan regulasi-regulasi yang telah
ditetapkan sebagai aturan melalui peraturan pemerintah Bali.11
Berikut ini penulis
akan menjelaskan secara singkat keberadaan, peranan dan fungsi kedua bentuk Banjar
tersebut.
III. 4.1 Banjar Dinas
Banjar dinas ini merupakan satuan kerja yang bertugas dalam
menjalankan fungsi administratif yang berkaitan dengan pemerintah. Banjar
dinas ini berfungsi dalam mengurus surat-surat administrasi seperti membuat
Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Kipem (Kartu Identitas Penduduk
Musiman/Pendatang), urusan pendaftaran anak sekolah di tingkat sekolah
dasar, posyandu, dan urusan perhelatan pesta demokrasi bangsa, yakni dalam
hal ini pemungutan suara untuk pilkada ataupun pilpres di Banjar Dinas
setempat.12
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kelian dinas Banjar
Pegending, penulis mendapatkan penjelasan berikut ini:
Secara formal, setiap Banjar memiliki kedudukan strategis
termasuk Banjar kita di sini, sebagai gambarannya contoh
Tityang (saya) yang saat ini menjabat sebagai Kelian Dinas
Banjar Pegending masuk dalam struktur organisasi
10 Gubernur Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat
Di Bali, Bab VI, Pasal 39.
11
..... mengenal-tradisi-banjar-yang-jadi-keunikan-tersendiri-di-bali
12
Nyoman Utari Vipriyanti, Banjar Adat and Local Wisdom:..., 4
59
pemerintahan desa Dalung. Posisi tersebut, bukan lagi sebagai
kedudukan untuk main-main, di sini saya harus betul-betul
memperhatikan warga Banjar Pegending, agar semuanya
terlayani dan mendapatkan pengayoman yang merata. Dalam
posisi ini tentunya saya harus berfungsi sebagai salah satu alat
pelaksana program-program pemerintah desa yang harus
direalisasikan kepada masyarakat di Banjar ini. Sebagai
contoh beberapa program pemerintah desa yang harus saya
teruskan di Banjar ini misalkan adanya kegiatan PKK yang
fokus pada urusan KB, layanan kesehatan untuk pencegahan
HIV/AIDS, papsmeer untuk pencegahan kanker mulut rahim
dan kesehatan alat reproduksi kaum wanita, program
kebersihan lingkungan hidup dalam hal memerangi sampah
plastik, program pembinaan dan pendampingan Seka teruna-
teruni (kelompok pemuda-pemudi) Banjar dalam hal
pencegahan kenakalan remaja dan pemakaian obat-obatan
terlarang (Miras, Narkoba dan seks bebas).13
Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu tugas utama seorang
Kelian Dinas adalah memprioritaskan pelaksanaan tugas pokok dalam
merealisasikan setiap program pemerintah desa bagi kesejahteraan segenap
masyarakat di Banjar secara merata dan adil.
III. 4.2 Banjar Adat
Banjar adat merupakan satuan yang secara khusus menjalankan
fungsinya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat. Mengatur
adanya beragam tradisi budaya/pertunjukan tradisional khas Bali yang dalam
pengadaannya bertujuan sebagai ritual. Keberadaan Banjar adat ini juga
merupakan upaya untuk menjaga nilai kekeluargaan di dalam masyarakat.
Itulah sebabnya, dalam setiap aktivitas Banjar adat, masyarakat didorong
13 I Ketut Susila, (Klien Dinas Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 21 Agustus
2019, pada pukul 16.00 Wita, di Banjar Pegending, tahun 2018.
60
untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Setiap warga yang tergabung
dalam Banjar adat, memiliki tanggung jawab moral untuk hidup saling
tolong-menolong dan bergotong royong.14
Saat berkesempatan mewawancarai salah satu mantan Kelihan
Banjar Pegending, penulis memperoleh penjelasan singkat sebagai berikut:
Warga Banjar yang tercatat sebagai anggota suka duka di sini
(di Banjar Pegending) wajib hukumnya ikut ambil bagian
dalam setiap kegiatan Banjar, terutama setiap kegiatan yang
berhubungan langsung dengan acara suka duka seperti: dalam
hal upacara atau untuk urusan perkawinan (ini dikategorikan
sukanya), dan urusan kedukaan atau kematian (ini
dikategorikan dukanya). Kedua-duanya diatur sedemikian
rupa oleh pengurus Banjar Pegending dalam memberikan
arah-arahan sedetil-detilnya dan itu semua wajib diikuti oleh
setiap anggota Banjar.15
Senada dengan itu, pada kesempatan yang sama penulis juga sempat
mewawancarai salah satu pengurus Banjar Pegending (Bendahara), berkenaan
dengan hak-hak warga suka duka selama warga tersebut menjadi bagian dari
keanggotaan suka duka Banjar Pegending; dalam kesempatan tersebut penulis
mendapat penjelasan bahwa:
Hak-hak setiap warga Banjar telah diatur secara jelas dan
tepat guna dalam peraturan Banjar di sini, sehingga tidak ada
warga Banjar yang merasa terbebani. Hak-hak warga suka
duka diantaranya: Setiap warga berhak mendapatkan
pelayanan administrasi dan sosial lainnya; Anggota Banjar
berhak menggunakan balai Banjar dan perlengkapannya;
Anggota Banjar boleh meminjam uang Banjar; Anggota
14 I Ketut Meniarta, Wawan Mas‟udi, AAGN Ari Dwipayana, “Dinamika Sistem
Kesejahteraan dan Modal Sosial di Masyarakat Banjar Pakraman-Bali”, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Volume 13 Nomor 2, (November 2009), 231-248
15
I Nyoman Mudra (67 Tahun), Mantan Kelian Dinas Banjar Pegending (1987-2001) dan
menjadi tokoh Masyarakat Banjar Pegending, “hasil wawancara” di kediamannya, pada tanggal 20
Agustus 2019, pukul 11.00 Wita.
61
Banjar berhak menyampaikan pendapat, usul dan saran dalam
setiap rapat yang diselenggarakan (Buda Manis); Anggota
Banjar berhak mendapatkan perlindungan Banjar; Anggota
Banjar berhak untuk dipilih dan memilih sebagai Pengurus
Banjar, bahkan berhak mencalonkan diri sebagai calon kepala
Desa terutama pada tahapan seleksi awal di tingkat Banjar.16
III. 5 Dinamika Sosial
Satu hal yang tak terhindarkan bagi kita dalam realitas sosial sekarang ini
adalah bahwa fakta sosial bagi masyarakat plural itu bukanlah sesuatu yang baru
muncul di saat ini. Realitas ini merupakan sebuah fakta sosial yang sudah terjadi dari
abad-abad sebelumnya. Hidup dalam konteks sosial yang beragam, tentu akan
memungkinkan setiap individu dan komunitas tertentu berjumpa dan berinteraksi
secara langsung dengan individu dan komunitas lain yang berbeda, termasuk dalam
hal ini bagi keberagaman agama.
Dinamika perjumpaan Hindu, Islam dan Kristen di Banjar Pegending,
dengan sendirinya telah membuka kesempatan berharga bagi ketiga komunitas agama
yang berbeda itu untuk berinteraksi dan menciptakan relasi yang harmonis
sebagaimana yang diharapkan bersama. Dinamika perjumpaan antara umat Hindu,
Islam dan Kristen di Banjar Pegending, lebih banyak dipraktikkan dalam bentuk
perjumpaan dialog karya.
Saat berkesempatan mewawancarai salah satu tokoh mula-mula warga umat
Katolik, Bapak Paulus I Nyoman Susila (77 tahun), ia menuturkan bahwa:
Saya harus akui, Banjar ini bukanlah Banjar yang terlalu ngotot
(otoriter) bahwa adanya „persaingan‟ antarindividu dalam hal strata
sosial dan tingkat ekonomi keluarga yang sedikit lebih menonjol,
16 I Made Sunaka, (Bendahara Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 20 Agustus
2019, pukul 12.00 Wita di Banjar Pegending.
62
bagi saya itu adalah sesuatu yang wajar. Namun, salah satu
kekuatan sosial yang kami miliki di Banjar ini adalah saling peduli.
Artinya, ketika ada salah satu saudara kami yang mengalami
musibah, kami tentu harus cepat tanggap. Harus ada rasa tanggung
jawab moral untuk segera membantunya. Solusinya adalah segera
mengeksekusi dalam tindakan nyata apa yang pantas kita bantu.
Pengurus Banjar mengadakan rapat terbatas, kemudian memberikan
arahan, ada pertimbangan dari beberapa orangtua/tokoh-tokoh
Banjar yang dianggap mampu berkontribusi pemikirannya, secara
spontanitas kami langsung turun tangan untuk membantu saudara
kami yang pantas mendapatkan pertolongan. Biasanya itu dalam hal
bedah rumah. Dalam kondisi semacam ini, tentu kami tidak melihat
apa latar belakang agamanya. Apapun agamanya, yang
bersangkutan harus dibantu. Dalam hal ini yang didahulukan adalah
nilai-nilai kekerabatan dan kemanusiaan; itulah yang menjadi skala
prioritas kami.17
Kepekaan sebagai kerabat dan kepedulian sebagai makhluk sosial yang
saling bergantung menjadi alasan penting dalam menjalankan fungsi dialog karya
bagi masyarakat Pegending. Nilai-nilai sosial semacam ini, dikatakan merupakan
salah satu warisan pendahulu warga Pegending. Hal itu harus dilestarikan dan
dipertahankan sebagai salah satu nilai pemersatu yang mengikat dalam relasi sosial di
Banjar Pegending. Arus perubahan zaman boleh terus berlangsung, akan tetapi
semangat kepedulian sebagai kerabat yang memiliki prinsip hidup orang bersaudara,
menyama braya tidak boleh hilang.
Kesempatan berharga, penulis juga sempat mewawancarai Ketua DPRD
Kabupaten Badung di kediaman beliau di Banjar Kwanji, Dalung. Dalam
penuturannya beliau menjelaskan dinamika sosial warga Dalung dan sekitarnya
termasuk dinamika sosial di Banjar Pegending:
“Sejauh ini, persoalan relasi agama-agama di Dalung dan secara
17 Paulus I Nyoman Susila, tokoh mula-mula warga umat Katolik, hasil wawancara pada
tanggal 22 Agustus 2019, pukul 10.00 Wita, di Banjar Pegending.
63
khusus di Banjar Pegending, menurut saya masih sangat kondusif
dan sangat mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, “menyama
braya” sebagai pengikat, penyemangat dan penyejuk relasi
antaragama. Dinamikanya ya, menurut hemat saya, itu semua masih
sangat dinamis. Posisi kami selaku pemerintahan Kabupaten
Badung, adalah menampung aspirasi, memetakan persoalan dan
kebutuhan prioritas apa yang dibutuhkan warga, melakukan kontrol
ke lapangan, bersinergi dengan aparat pemerintahan Desa hingga
Banjar Dinas, mengefektifkan Babinsa, Polmas, Pecalang dan
terakhir memfasilitasi ketersediaan kebutuhan warga secara adil dan
merata, dengan tetap mengacu pada Perda-perda yang menjadi
regulasi dalam penataan kohesi sosial di Badung ini. Saat ini kita
patut bersyukur karena Pemerintah Kabupaten Badung telah
memfasilitasi masing-masing agama yang ada di Badung ini untuk
menggunakan ruang aula utama dalam penyelenggaraan perayaan
hari raya agamanya masing-masing. Contoh, umat Kristiani
sekabupaten Badung setiap tahun dalam merayakan natal, umat
Islam dalam merayakan Idul Fitri dan Umat Hindu saat Galungan,
dan tentunya bagi umat Budha, Konghucu semuanya kita
fasilitasi.”18
Dinamika sosial berarti bahwa manusia dan masyarakat selalu mengalami
berkembang perubahan. Masing-masing zaman ada generasinya, masing-masing
generasi ada zamannya. Perubahan itu sendiri pasti selalu ada dalam setiap kelompok
sosial. Ada yang mengalami perubahan secara lambat, maupun mengalami perubahan
secara cepat.19
Pertama perubahan secara lambat (evolusi) membutuhkan waktu yang cukup
lama dan biasanya melalui rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan
lambat.20
Perubahan ini terjadi dengan sendirinya tanpa kehendak atau rencana
18 I Putu Parwata, Ketua DPRD Kabupaten Badung, hasil wawancara pada tanggal 24
Agustus 2019, pukul 09.00 Wita, di Banjar Kwanji.
19
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), 146
20
Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung: Bina
Cipta,1985), 34.
64
tertentu. Masyarakat hanya berusaha dan menyesuaikan dengan keperluan, kondisi
dan keadaan baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.
Perubahan ini terjadi melalui tahapan-tahapan dari yang sederhana menjadi
maju. Misalnya sebagian besar kehidupan masyarakat Banjar Pegending, ada yang
mengalami perubahan secara lambat, terutama dalam hal tempat tinggal dan mata
pencaharian hidup. Sampai saat ini masyarakat Banjar Pegending masih ada yang
menjalankan aktivitas lamanya, sebagai petani dan pedagang untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka.
I Nyoman Mudra menyatakan, lahan garapan yang ada sekarang ini
memang sudah mulai banyak berkurang sebagai akibat dari
berkembangnya pembangunan. Banyak warga menjual lahan-lahan
garapannya untuk dijadikan modal usaha baru baik itu berupa toko
sembako, penginapan, restoran, villa dan modal usaha ke Kapal
Pesiar. Namun sebagian masih ada yang tetap mempertahankan
lahannya sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari saat musim taman
dan panen. Anak-anak muda sekarang tidak ada yang bisa garap
sawah, mereka sudah mempunyai dunia usaha yang lain dan maju
sesuai jamannya. Sementara itu, kami para orangtua yang masih
memiliki sisa-sisa kekuatan, karena hanya dengan bertani saja kami
tahu, maka lahan-lahan garapan yang masih ada, itulah yang
menjadi pekerjaan kami.
Kedua, perubahan secara cepat (revolusi), adalah perubahan yang
berlangsung secara cepat serta tidak ada kehendak atau perencanaan terlebih dahulu.
Secara sosiologis perubahan revolusi ini disebut sebagai perubahan-perubahan sosial
mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
berjalan cukup cepat.21
Perubahan ini biasanya diawali dengan gejolak atau
ketegangan dalam masyarakat. Perubahan semacam ini secara umum oleh karena
berubahnya sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, hubungan
21 Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, 28.
65
antarmanusia, politik, dan sistem kekeluargaan. Hasil wawancara dengan Kelian
Dinas Banjar Pegending:
“Sikap yang ditunjukkan oleh saudara-saudara kami yang ada di
Perumahan Pegending, awalnya sedikit terjadi gejolak. Padahal
tujuan kami selaku pengurus Banjar perlu mengatur semua hal yang
berurusan dengan dinamikan sosial di sini. Maksudnya, apakah
mereka (warga BTN Pegending) tetap memilih untuk „mebanjar‟ di
sini atau hanya berdinas saja? ini biar jelas, dan harus diatur agar
tetap tertib. Kami tidak mau kecolongan, nanti kalau ada apa-apa
supaya kita tidak ribut antara satu dengan yang lainnya. Misalkan
untuk urusan dukanya saja, aturan kami di sini sudah jelas dan
pakem: bahwa setiap warga yang statusnya anggota suka duka dan
berdomisili tetap di wilayah Banjar Pegending ketika mengalami
kedukaan, boleh dikubur di tanah kuburan Banjar Pegending; dan
segala sesuatunya akan diatur dan selesaikan oleh Banjar, kecuali
bagian ritual keagamaannya kami serahkan sepenuhnya kepada
pimpinan umatnya masing-masing. Kemudian dalam hal status
„mebanjar‟ dan tidaknya seseorang. Hal itu bebas, sikap kami
sifatnya tidak memaksakan kehendak. Akan tetapi aturan di Banjar
ini sudah jelas, bahwa setiap orang yang berdomisili di wilayah
Banjar Pegending wajib melaporkan diri ke pihak pengurus Banjar
dan akan ditertibkan data administrasinya berupa penerbitan
KIPEM (KTP domisili sementara).22
Penjelasan di atas, menggambarkan bahwa sempat adanya indikasi gejolak
dari masyarakat pendatang. Ada yang merasa bahwa ia telah memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang berlaku secara nasional, mengapa harus diwajibkan dengan
Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM). Namun setelah dibicarakan secara
baik, masyarakat BTN Pegending dapat menerima dan tidak membebani mereka
dalam hal suka duka ganda.
Dinamika sosial dapat dipahami sebagai suatu kondisi dimana adanya suatu
komunitas sosial yang hidup teratur mulai dari interaksi antarindividu, dimana
22 I Ketut Susila, Kelian Banjar Pegending, hasil wawancara pada tanggal 22 Agustus 2019,
pukul 10.00 Wita, di Kantor Perbekel Desa Dalung.
66
mereka mempunyai hubungan relasional yang mapan.23
Demikian juga dalam
keadaan tertekan masyarakat akan bersatu dalam menghadapinya, walaupun sebagian
besar anggota masyarakat tersebut mempunyai pandangan dan agama yang berbeda
satu sama lain.24
Berkesempatan mewawancarai Pendeta Jemaat Gereja Kristen
Protestan Bali Pegending, Pdt. Suartini ia menuturkan:
“Sebagai pelayan jemaat yang baru saja pindah dan ditugaskan di
Pegending ini, saya melihat dan merasakan kohesi sosial dan
prinsip menyama braya yang terbangun di masyarakat Banjar ini
sungguh sangat terasa hangat sebagaimana layaknya kehangatan
keluarga sendiri. Saya sendiri memahami bahwa menyama braya
itu, tidak hanya sekadar menuturkannya saja, tetapi betul-betul hal
itu terejawantahkan dalam realitas bermasyarakat, itu juga yang
saya dapat rasakan di Banjar ini. Mereka tidak hanya sekadar bicara
bahwa kita menyama, tetapi tindakan menyamanya itu selalu
menjadi satu paket dalam tindakan konkrit. Mungkin juga karena
jemaat yang saya pimpim ini merukapan satu jemaat yang
mayoritas warga menyama dengan umat Hindu dan juga sebagian
beberapa dengan umat Islam, sehingga relasi yang terbangun
sedemikian rukunnya tanpa harus saling bergejolak. Bersaudara itu,
tidak identik dengan sedarah bukan? Tetapi bagaimana rasa saling
peduli itu dibangun atas dasar solidaritas yang tinggi, adanya
tanggung jawab bersama, dan kesadaran moral untuk saling bantu
membantu, tolong menolong satu dengan yang lainnya, tanpa harus
melihat latar belakang agamanya apa, sukunya apa, dan sebagainya.
Hal ini harus terus menjadi kekuatan kita sebagai warga di Banjar
Pegending ini. Saya pikir semua komponen masyarakat di sini
sepakat dengan saya untuk saling menjaga kohesi sosial yang solid
dan berkerabat ini.”25
Melalui pemahaman semacam ini maka dinamika yang dimaksudkan adalah
dinamika dari realitas perjumpaan ketiga komunitas agama di Banjar Pegending,
yang mengikat diri dalam satu ikatan sosial dan nilai-nilai kekerabatan yang kuat
23 Santosa, Slamet, Dinamika Kelompok, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 5
24
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), 147
25
Hasil wawancara dengan I Luh Suartini, pendeta jemaat GKPB Gabriel Pegending, 25
Agustus 2019, pukul 09.00 Wita, di Pastori GKPB Gabriel Pegending.
67
tanpa harus menimbulkan gejolak sosial yang merugikan semua pihak.
III. 6 Gambaran Umum Banjar Pegending
Gambaran umum dari riwayat ini dimulai kurang lebih sekitar tahun 1963
yakni berkenaan dengan peristiwa meletusnya gunung api yakni Gunung Agung di
Bali, yang berdampak luas terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang sangat krisis.
Diawali dari satu KK (I Wayan Daweg) secara diam-diam masuk menjadi seorang
Kristen. Perkembangan kekristenan di Banjar ini sejak tahun 1966 s.d. 1972 justru
semakin meningkat. Peningkatan itu, tentu merupakan upaya seorang tenaga Pekabar
Injil dan juga peran dari Majelis Jemaat Padang Tawang, yang secara rutin
memberikan pemahaman Injil di beberapa perjumpaan yang diadakan di sawah-
sawah. Hal itu semata-mata untuk menghindari pergesekan antarwarga yang
merupakan agama mayoritas (Hindu).
Barulah pada tanggal 15 April 1065 pada momentum hari raya gerejawi
(Hari Raya Paskah) sekitar 9 Kepala Keluarga di Banjar Pegending dibaptis menjadi
Kristen. Setelah peristiwa G30-S PKI, situasi sosial belum kondusif dan masih
mengalami gejolak sosial yang cukup menakutkan. Dugaan terhadap beberapa
keluarga yang dicurigai terlibat dalam peristiwa G30-S PKI tentu masih menjadi
target untuk disingkirkan.
Warga Kristen mula-mula di Banjar Pegending, merupakan kelompok warga
dampingan/asuhan rohani dari Jemaat Padang Tawang. Melihat perkembangan umat
Kristen yang cukup signifikan di Banjar ini, maka pada tahun 1968 Majelis Jemaat
Padang Tawang berkeinginan menjadikan Banjar Pegending itu sebagai POS PI yang
68
layak dikembangkan hingga kelak menjadi jemaat mandiri. Dan rupanya usaha
tersebut secara konsisten terealisasi dengan baik.
Saat-saat umat Kristen di Banjar Pegending sedang mengalami
perkembangan yang cukup pesat, justru pada tahun 1969 Sinode GKPB
memperlopori program pemerintah Bali untuk mengadakan program transmigrasi ke
Sulawesi. Program tersebut cukup menjanjikan berbagai fasilitas dan kemudahan bagi
warga yang berminat, mengakibatkan banyak KK umat Kristen Banjar Pegending
yang memilih bertransmigrasi ke Sulawesi (15 KK). Dampak dari itu, menyebabkan
jumlah umat Kristen di Banjar Pegending yang semula sudah merupakan separuh dari
warga Banjar menurun drastis. Tanah-tanah garapan dan lahan pekarangan banyak
yang dijual, tetapi ada juga sebagian yang mempertahankan. Termasuk tanah lokasi
gereja saat ini merupakan tanah yang jual oleh salah satu warga Kristen yang ikut
bertransmigrasi ke Sulawesi.
Menelusuri gambaran umum Banjar Pegending ini, penulis sempat
berdiskusi dan mewawancarai salah satu generasi mula-mula umat Kristen, yakni
Bapak I Nyoman Mudra (67 tahun), yang sekaligus merupakan mantan Kelian Banjar
yang cukup lama menjadi Kelian Banjar Pegending sejak tahun 1980 s/d 2001. Di
sela-sela diskusi itu, beliau menuturkan:
“Pada awalnya keadaan Banjar ini sesungguhnya merupakan salah
satu kampung atau wilayah perkampungan yang terisolir. Mengapa
demikian saya katakan, sebab akses jalan untuk memasuki wilayah
Banjar ini tidak ada. Semuanya hanya mengandalkan jalan setapak
dan berlumpur, tidak ada penerangan jalan seperti sekarang ini.
Intinya semua serba sangat terbatas tidak seperti sekarang ini
semuanya sangat dimudahkan fasilitasnya.
Dalam perkembangannya, barulah pada tahun 1980 program
pemerintah yakni listrik masuk desa, pengerjaan jalan raya utama
69
Banjar Pegending ini mulai dikerjakan. Saya selaku petugas dalam
hal ini sebagai Kelian Banjar, langsung aktif terjun ke lapangan
untuk memantau perkembangan pengerjaan program listrik masuk
desa.”26
Banjar Dinas Pegending secara kepemerintahan merupakan salah satu Dusun
kecil dari Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali.
Banjar Pegending dipimpin oleh seorang Kepala Dusun (Kelian Dinas), yakni I Ketut
Susila, untuk masa bakti 2006 s/d 2024. Dalam aturan baru saat ini seorang “Kelien
Dinas” disebut sebagai “Perangkat Desa”. Peranannya sebagai Kelian dinas, ia
dipercayakan juga sebagai Ketua Suka Duka Banjar. Tugas kedinasannya sebagai
Kepala Dusun dijalankan berdasarkan aturan pemerintahan desa dinas. Demikian juga
dalam segala sesuatu urusan adat dijalankan berdasakan aturan adat (awig-awig).
Banjar Pegending, juga disebut sebagai salah satu Banjar Adat Suka Duka,
yang luasnya 1,8 Km2, yang kini dihuni oleh masyarakat yang “berdinas”
27 berjumlah
408 Kepala Keluarga dengan 1.225 jiwa. Dari jumlah tersebut diklasifikasikan lagi
yakni 670 jiwa dari pemeluk agama Hindu; 387 jiwa dari pemeluk agama Kristen;
dan 168 jiwa dari pemeluk agama Islam.28
Banjar Pegending juga masih memiliki lahan-lahan potensial sebagai lahan
garapan di bidang pertanian. Lahan garapan untuk pertanian ini secara kuantitas
sudah tidak sebanyak dahulu sebelum perkembangan arus modernisasi dan industri
dunia pariwisata yang cukup pesat perkembangannya. Keberadaan lahan-lahan yang
26 I Nyoman Mudra, hasil wawancara pada tanggal 12 Agustus 2019, pukul 11.00 Wita di
kediamannya di Banjar Pegending.
27
“Berdinas” berarti data warga yang bersumber dari data dinas kependudukan pemerintahan
Desa. Artinya berbeda dengan data masyarakat yang “mebanjar” (bersuka duka) menurut data rukun
suka duka masing-masing banjar setempat.
28
Hasil wawancara dengan Bapak I Ketut Susila, (Klien Dinas Banjar Pegending), pada
tanggal 27 Agustus 2019, berdasarkan data statistik, banjar dinas Pegending, tahun 2018.
70
dimaksudkan itu kebanyakan yang pada akhirnya beralih fungsi dari lahan hijau
menjadi lahan perumahan atau pemukiman masyarakat diaspora maupun
pengembangan usaha perumahan yang berada di sekitar wilayah Banjar itu sendiri.
Potensi lain yang juga cukup pesat di wilayah Banjar Pegending ini adalah
antara lain di usaha di bidang property, Penginapan (Villa), Usaha Perjalanan Wisata,
Cafe & Restoran, Usaha Dagang, Peternakan dan Trainning Centre atau pusat
pelatihan tenaga kerja untuk Kapal Pesiar.
III. 6.1 Letak Geografis
Banjar Pegending termasuk salah satu Banjar yang tidak terlalu luas
wilayahnya. Wilayah Banjar Pegending untuk saat ini termasuk salah satu Dusun atau
wilayah yang cukup dekat dengan beberapa destinasi daerah Wisata, seperti Tanah
Lot, Pantai Batu Bolong Canggu, Taman Kupu-Kupu, Kuta dan Legian. Sebagian
besar wilayah Banjar Pegending ini terletak pada dataran rendah dengan batas-
batasnya sebagai berikut:
Sebelah Utara : Banjar Tuka
Sebelah Barat : Banjar Padang Tawang, Banjar Babakan
Sebelah Selatan : Banjar Kulibul, Banjar Tibubeneng
Sebelah Timur : Banjar Pengilian
71
III. 6.2 Keagamaan
Agama yang dianut oleh masyarakat Banjar Pegending adalah agama Hindu,
Islam dan Kristen. Sekalipun ada 6 agama resmi yang diakui di negara Indonesia,
akan tetapi masyarakat di satu Banjar ini, hanya didominasi oleh ketiga agama resmi
tersebut (Hindu, Islam dan Kristen). Pada kesempatan mewawancarai Rohaniawan
Umat Katholik, Romo Yohanes Martanto, Pr., beliau menyatakan:
“Saya berharap ke depan Banjar Pegending ini bisa menjadi salah satu
Kampung/Banjar percontohan di Bali yang menjunjung tinggi nilai-
nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Bali. Satu hal
72
yang mungkin penting untuk diperhatikan adalah peran dan kehadiran
pemerintah dalam memfasilitasi kerukunan umat beragama yang ada
di Banjar ini. Artinya, sudahkah benar-benar pemerintah maksimal
dalam mensosialisasikan program-program kerjanya untuk memerangi
gerakan radikalisme, intoleransi dan terorisme. Kita tidak boleh
terlena dalam zona nyaman kita di Bali. Bali ini secara umum tentulah
belum bisa dikatakan aman. Bali masih tetap menjadi target bagi
gerakan-gerakan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.
Itulah sebabnya, usul konkrit saya, sebagai umat beragama yang yang
berakhlak mulia, mungkin baik jika kita adakan kegiatan natal
bersama umat Kristen di Desa Dalung, dengan mengambil tempat di
Kantor Desa Dalung, semua Banjar turut berpartisipasi mengambil
bagian dalam kegiatan bersama ini. Kemudian berkenaan dengan
saudara-saudara para umat muslim di Perumahan Pegending, mari kita
duduk bersama dengan para tokoh umat dan tokoh masyarakat untuk
menyamakan persepsi apakah saudara-saudara kita umat Muslim ini
sudah bisa difasilitasi dengan Musolah kecil di kompleks Perumahan
Pegending? Tentunya dengan mengacu pada aturan-aturan yang sudah
ada dari pemerintah daerah dan pusat. Sejauh itu sudah memenuhi
persyaratannya, saya pikir tidak ada alasan lagi bagi kita untuk
menghalang-halangi pengadaan Musolah bagi umat Muslim yang
berdomisili di Perumhan Pegending. 29
Fasilitas rumah ibadah yang ada di Banjar Pegending hingga saat ini terdapat
tiga Pura, dua Gereja dan sementara Mesjid/Musolah/Langgar belum ada. Untuk
memenuhi kebutuhan fasilitas peribadatan umat Muslim dalam menunaikan
ibadahnya, untuk sementara mereka beribadah di Musolah terdekat, yakni di Banjar
Tuka sebagai Banjar terdekat dari Perumahan Pegending.
Kenyataan tersebut, tentu bukanlah sebagai sesuatu yang disengajakan untuk
menghambat kerukunan umat beragama di Banjar Pegending. Namun karena adanya
kesadaran moral dari semua pihak dan secara bijaksana tetap memperhatikan
peraturan yang telah ditetapkan sebagai dasar acuan pengambilan keputusan oleh
pemerintah daerah, maka atas dasar aturan tersebut semua pihak yang berkepentingan
29 Hasil wawncara dengan Romo Yohanes Martanto, Pr., di Banjar Pegending pada tanggal 01
September 2019.
73
dapat saling menerima dan menghargai. Aturan tersebut tetap diberlakukan secara
konsisten, yakni SKB 2 Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama:
“Pada dasarnya, hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8
Tahun 2006… Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadah (“Peraturan Bersama 2 Menteri”). Pendirian
rumah ibadah perlu memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis bangunan gedung. Ia juga harus memenuhi persyaratan khusus,
antara lain:
1. Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90
orang yang disahkan oleh pejabat setempat;
2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa;
3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota; dan
4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama
kabupaten/kota.
Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan kepada
bupati/walikota untuk memperoleh IMB. Panitia pembangunan dibentuk
oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadah
terkait. Setelah itu, kepala pemerintah setempat akan memberikan
keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan diajukan oleh
panitia.”30
Berdasarkan aturan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa tidak
mudah untuk mendirikan sebuah rumah ibadah karena harus sesuai ketentuan dan
harus ada persetujuan dari masyarakat setempat. Masyarakat Banjar Pegending pada
umumnya didominasi oleh penganut agama Hindu, dapat dibuktikan dengan jumlah
sarana tempat ibadah yang terdapat di Banjar ini. Jumlah tempat ibadah berdasarkan
jenisnya yang ada di Banjar Pegending dapat dilihat pada daftar tabel di bawah ini.
30 Elang ML, Rumah Ibadah, Persekusi, dan Regulasi di Indonesia,
https://www.kompasiana.com/, diakses pada tanggal 23 September 2019, pukul 19.15 Wib,
https://www.kompasiana.com/elangml/5c72d827677ffb 741a560974/rumah-ibadah-presekusi-dan-
regulasi-di-indonesia?page=all, 2016.
74
Tabel: 01. Daftar Rumah Ibadah di Banjar Pegending
No Tempat Ibadah Jumlah
1 Mesjid, Musolah, Langgar -
2
Gereja:
- GKPB Gabriel Pegending
- Stasi Gembala Baik, Paroki Santo Paulus Kulibul
2
3
Pura:
- Pura Majapahit
- Pura Batan Buah
- Pura Ulun Desa
3
Data: Stambook Banjar Pegending
III. 6.3 Kependudukan
Pembagian penduduk di Banjar Pegending dari 294 KK untuk dinasnya akan
dibagi berdasarkan jenis kelamin adalah terdiri atas laki-laki sebanyak 593 jiwa dan
jumlah perempuan sebanyak 632 jiwa yang terbagi dalam 2 lingkungan (Tempekan)
yaitu Lingkungan Banjar Pegending dan Perumahan Pegending.
Tabel: 02 Jumlah Penduduk Banjar Pegending
No Banjar
Kedinasan Agama
Jenis Kelamin
L P Jml
1 Dinas Hindu 326 344 670
2 Dinas Kristen 180 207 387
3 Dinas Islam 87 81 168
1.225
Sumber data: Kantor Desa Dalung tahun 2018
III. 6.4 Keadaan Demografis
Secara demografi, prosentase antara masyarakat asli Banjar Pegending
dengan masyarakat pendatang cukup berimbang. Penduduk Banjar Pegending
sebagian besar merupakan warga yang menetap di sepanjang jalan raya utama Banjar
Pegending yang juga merupakan warga suka duka. Sementara sebagiannya lagi
75
merupakan warga pendatang yang berdomisili di Perumahan Pegending dalam kurun
waktu tertentu untuk kepentingan pekerjaan. Penduduk asli Banjar Pegending juga
mayoritas merupakan warga yang memiliki ikatan kekerabatan, terutama antara
warga yang beragama Hindu dengan Kristen.
Jika ditinjau dari kondisi alam/wilayah daratan Banjar Pegending, sejak
dahulu (sekitar tahun 1960-an) sebagian besar merupakan daerah persawahan.
Namun, sangat berbeda kondisi sekarang ini, dengan semakin majunya industri
pariwisata Bali, maka dampak kemajuan tersebut ikut mempengaruhi yakni dengan
semakin berkurangnya lahan persawahan.
Dampak yang paling mendominan dari realitas tersebut adalah menjamurnya
infrastruktur berupa bangunan-bangunan rumah tinggal dan lahan-lahan garapan yang
beralih fungsi menjadi penginapan (Villa), pertokoan dan usaha kuliner yang semakin
padat. Dipihak lain, wilayah Banjar Pegending merupakan jalur alternatif bagi arus
lalulintas yang dari luar wilayah Pegending, seperti sebagian besar masyarakat dari
wilayah Kabupaten Tabanan yang bekerja di daerah Kuta Selatan dan Kota Madya
Denpasar, pasti untuk menghemat waktu perjalanan akan melintasi jalan utama
Banjar Pegending menuju ke daerah-daerah berbasis industri wisata seperti Canggu,
Tanah Lot, Kuta, Legian, Nusa Dua dan sekitarnya.
III. 6.5 Keadaan Sosial Ekonomi
Kegiatan perekonomian bagi masyarakat Pegending menjadi hal yang tak
terhindarkan, sehingga aktivitas sosial sehari-hari menuntut mereka untuk
memanfaatkan semua peluang dan waktu secara efektif untuk kerja demi pemenuhan
76
kebutuhan hidupnya. Persoalan utama yang sering dihadapi oleh manusia sebagai
sebuah kenyataan adalah bahwa kebutuhan primer manusia sangat tak terbatas jumlah
yang harus dipenuhi secara berkelanjutan dari generasi ke generasi.
Keadaan perekonomian masyarakat Banjar Pegending sebagian besar sangat
bervariatif. Sebagian masih ada yang bergantung pada alam sebagai petani dan
beternak, sebagian lagi berprofesi sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta yang
berkecimpung kantor pemerintahan dan dunia industri wisata. Sebagai petani rata-rata
adalah masyarakat asli Pegending, sedangkan yang berprofesi sebagai pegawai negeri
dan swasta didominasi oleh masyarakat pendatang.
III. 6.6 Pendidikan
Masyarakat Banjar Pegending, rata-rata memiliki strata pendidikan yang
sangat bervariasi, yakni mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, Sekolah Menengah Atas, Diploma maupun Sarjana. Betapapun kebutuhan
pendidikan itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting, namun untuk fasilitas
pendidikan berupa gedung sekolah yang dimaksudkan itu tidak harus ada di Banjar
Pegending. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan formal bagi masyarakat Banjar
Pegending, sebagian besar bersekolah di luar Banjar Pegending, seperi di Banjar Tuka
untuk jenjang PAUD/TK & SD, di Banjar Padang Tawang untuk jenjang SMP, di
Banjar Untal-Untal untuk jenjang SMP, di Banjar Tegal Jaya untuk jenjang SMK &
Perguruan Tinggi, bahkan ada yang bersekolah sampai ke wilayah Kodya Denpasar
dan Nusa Dua untuk jenjang SMA s/d Perguruan Tinggi.
77
III. 7 Bentuk Perjumpaan Masyarakat Banjar Pegending.
Melalui penelitian ini, penulis akan menjabarkan beberapa bentuk interaksi
sosial warga Pegending, yang sekaligus juga dianggap sebagai bentuk ikatan sosial
dan kerukunan yang terjadi dalam keseharian hidupannya. Selanjutnya untuk
memudahkan penulis dalam membahas mengenai bentuk-bentuk interaksi sosial
antarumat beragama, penulis membaginya dalam beberapa bentuk.
III. 7.1 Dialog Aksi
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa
interaksi sosial, tak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang secara
badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok
sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang atau
kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya demi tercapainya
tujuan bersama.
Salah satu cara mempererat relasi antarumat beragama adalah dengan adanya
komukasi yang baik dan dialogis antarsesama (Hindu, Islam maupun umat Kristen).
Interaksi semacam ini akan membuat suasana kerukunan semakin berkualitas dan
kondusif bagi masyarakat itu sendiri. Hasil wawancara dengan Bapak I Nyoman
Mudra mengenai hal tersebut, ia mengatakan bahwa:
“Masyarakat disini sudah sering saling berinteraksi dengan baik, dengan
mengedepankan nilai-nilai sosial terhadap sesama pemeluk agama
begitupun untuk penganut agama lain. Karena itu, kerawanan akan
terjadinya konflik bisa hilang berangsur-angsur seperti pada saat warga
akan melakukan hari raya keagamaan maka dari umat Kristen
memberikan ucapan selamat kepada kami begitupun pada saat umat
Kristen akan mengadakan hari raya keagamaannya maka kami pun
78
memberikan ucapan selamat kepada mereka. Dengan interaksi yang baik
akan terciptanya suasana yang damai dalam lingkungan masyarakat dan
toleransi yang tinggi antar umat beragama”31
Penuturan yang sama juga diungkapkan oleh Bapak I Ketut Murjawan,
mengatakan bahwa:
“Sebetulnya masyarakat di Banjar ini adalah orang-orang yang mudah
bergaul dengan siapa saja. Dan untuk menjaga kerukunan anatarsesama
baik yang Hindu, Islam dan Kristen sebenarnya kunci dari semuanya itu
adalah komunikasi yang baik antarumat beragama. Kuncinya sekali lagi
komunikasi disini harus sifatnya membangun dan tidak saling menista
atau melecehkan umat/pemeluk agama yang lain. Sebab, biasanya
pergesekan antar umat beragama itu terjadi dikarenakan ucapan kita, cara
komunikasi kitalah manusia ini yang nyaris tidak terkontrol. Tutur kata
kitalah yang seringkali “keseleo lidah” (latah) yang memicu terjadinya
perpecahan antarsesama. Misalnya kami saling memberikan arahan yang
baik ketika ada terjadi suatu masalah dalam lingkungan keluarga kerabat,
saling berdiskusi mengenai kehidupan sehari-hari atau diskusi tentang
pekerjaan dan saling mengajak untuk berbuat baik kepada sesama.”32
Berbeda lagi pandangan menurut Bapak I Nyoman Tisna, berkenaan dengan
interaksi sosial di Banjar Pegending ia mengatakan bahwa:
“Masyarakat di Pegending wajib hukumnya untuk saling menghormati,
menghargai dan berinteraksi dengan baik saat mereka saling bertemu
pada suatu acara apa saja, baik saat urusan kematian, urusan adat di
Banjar, perkawinan, maupun pada saat acara keagamaan berlangsung, kita
semua yang berbeda-beda ini harus saling berinteraksi dengan santu. Jika
ada persoalan yang dihadapi, apalagi masalah itu berhubungan dengan
kepercayaan/agama orang lain, tidak boleh mengungkit-ungkit „wilayah‟
kepercayaan mereka. Kita sebagai umat beragama, seharusnya tetap
saling mendukung dalam segala hal, terutama ketika ada pekerjaan Banjar
yang menuntut kita semua harus ikut berpartisipasi didalamnya. Saat
bertemu yang didahulukan adalah sikap dan karakter tiap individu itu
31 I Nyoman Mudra (67 Tahun), Mantan Kelian Dinas Banjar Pegending (1987-2001) dan
menjadi tokoh Masyarakat Banjar Pegending, “hasil wawancara” di kediamannya, pada tanggal 27
Agustus 2019, pukul 18.00 Wita.
32
I Ketut Murjawan (65 tahun), tokoh Kristen masyarakat Banjar Pegending, “hasil
wawancara” di kediamannya, pada tanggal 28 Agustus 2019, pukul 19.00 Wita.
79
seakan-akan tidak ada perbedaan di antara kita, sekalipun kita sadari
bahwa perbedaan”33
Berdasarkan beberapa uraian di atas, menggambarkan bahwa warga
Pegending sangat antusias dalam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan
mengedepankan sikap interaksi sosial yang humanis baik diantara sesama pemeluk
agama Hindu, Kristen maupun terhadap umat Muslim yang sekalipun mereka tidak
“mebanjar” (bersuka duka) di Pegending. Secara substansi dari hasil interview
dengan beberapa informan kunci ini terutama dalam hal interaksi sosial sudah
menunjukkan dinamika perjumpaan ketiga agama yang rukun dan damai. Bentuk-
bentuk relasi yang terlihat melalui cara berkomunikasi antarsesama warga Banjar,
antarumat beragama maupun peran aktif para tokoh-tokoh masyarakat bersama tokoh
agama, sudah mampu didemonstrasikan atau dilakukan sesuai dengan harapan
bersama oleh setiap elemen masyarakat, sehingga kerukunan selalu terjaga dengan
baik dan secara internal mereka dapat menghindari adanya konflik horizontal diantara
umat beragama.
Dalam percakapan ringan ini, penulis sempat mengutip salah satu pengurus
suka-duka Banjar Pegending Bapak I Made Sunaka yang mengatakan:
“semangat perkunjungan (bersilaturrahmi) ke rumah-rumah diantara
beberapa kerabat terdekat yang sering kami lakukan itu, sebenarnya
dilakukan atas dasar kesadaran sendiri dari para orangtua kami dulu,
yang mana bentuk perjumpaan semacam ini sebaiknya dikemas dalam
bentuk arisan keluarga. Cara yang lain adalah membuat pertemuan
keluarga dalam bentuk perayaan ulang tahun salah satu kerabat,
terutama bagi anak-anak kami, sedini mungkin kami tularkan cara-cara
positif ini. Walaupun ada satu atau dua keluarga yang oleh karena
kesibukannya di hotel atau Villa tempat mereka bekerja, tetap ada
33 I Nyoman Tisna (65 tahun), Pemangku Pura Batan Buah (Tengah), “hasil wawancara” di
kediamanmya, pada tanggal 29 Agustus 2019, pukul 10.00 Wita.
80
yang mewakili keluarga tersebut. Demikian pula jika dari keluarga
Hindu mengadakan acara “piodalan” kami yang dari umat lain
terutama Kristen berusaha menyempatkan diri untuk membantu dalam
hal urusan penyediaan konsumsi dan juga turut menyumbangkan
bahan baku sarana upacaranya seperti bunga, janur untuk pembuatan
canang dan lain-lainnya, itu semua kami secara sadar betul berusaha
menjaga agar bentuk perjumpaan seperti itu tidak boleh hilang
sekalipun zaman semakin berubah.34
Sementara pendapat ibu Sri salah satu warga Muslim yang sempat
diwawancarai penulis berkenaan dengan silaturrahmi ini, ia mengatakan:
“Bersilaturrahmi antar kerabat dan warga di Banjar ini sudah lama ada
jauh sebelum kami tinggal di Pegending. Bertemunya kami dengan
kerabat kami di sini sebenarnya itu saat ada urusan keluarga yang
berkaitan dengan acara syukuran, saat ada kerabat yang sedang
mengalami musibah misalnya yang sakit, acara potong gigi, sunatan,
perayaan ulang tahun anak, itu semua sudah wajib kami lakukan. Dan
sebaliknya biasanya tetangga yang lain pun datang mengunjungi kami
apabila keluarga kami pun ada acara khusus dan saat mengalami
musibah, kami saling menguatkan, mendukung, saling terbuka satu
dengan yang lain untuk saling menopang dari pengalaman hidup kami
itu. Anak-anak kami pun perlu mengikuti dan melihat cara kami para
orangtua, agar mereka pun kelak saat dewasa dan berumah tangga,
cara-cara yang positif ini mereka ikuti.35
Beberapa uraian hasil wawancara di atas, menggambarkan bahwa bentuk
perjumpaan warga Banjar Pegending dalam bentuk “silaturrahmi” ini terhadap satu
keluarga dengan keluarga yang lainnya telah menjadi salah satu bentuk ikatan sosial
yang dianggap sangat bermanfaat bagi terjaminnya relasi antar umat beragama di
Banjar Pegending. Interaksi kekerabatan antar tetangga, antar individu, dan
partisipasi keluarga besar dalam perjumpaan kehidupan semacam ini dipandang
cukup efektif untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan warga masyarakat Banjar
34 I Made Sunaka (Pengurus Suka Duka) Banjar Pegending, hasil wawancara dikediaman
mertuanya, pada tanggal 11 Agustus 2019, pukul 16.00 Wita.
35
Ibu Sri, (Warga Muslim), hasil wawancara pada tanggal 24 Agustus 2019, pada pukul 19.00
Wita, di Banjar Pegending, tahun 2018.
81
Pegending itu sendiri. Interkasi kehidupan seperti “silaturrahmi‟ adalah kebutuhan
kami sebagai masyarakat yang cinta damai dan toleransi. Hanya dengan cara-cara
sederhana semacam inilah kami mampu belajar apa itu prinsip hidup orang
bersaudara “menyama braya”.
Tanpa adanya interaksi terbuka semacam ini maka jangan pernah harap akan
adanya masyarakat yang damai dan rukun. Interaksi sosial itu sangat fundamental
dalam membangun sebuah komunitas atau masyarakat setempat. Selain interaksi
sosial dalam bentuk silaturrahmi ini, maka bentuk lain yang turut mendukung adanya
kerukunan umat beragama di Banjar Pegending adalah bekerja sama antar warga
Banjar. Dalam wawancara dengan ibu Yayuk sebagai umat Islam yang bertetangga
dengan orang Kristen ia mengatakan bahwa :
“Sebenarnya siapapun yang menjadi tetangga dengan saya,
sebenarnya kami sekeluarga tidak masalah apalagi harus menolak...
wah jangan deh sampai berpikir begitu. Kita semua inikan saudara.
Jika saya ditanya ingin memilih bertetangga dengan siapa? Saya
akan lebih memilih orang Islam saja. Tetapi apakah dengan begitu
dapat dijamin saya akan jauh lebih nyaman dengan sesama orang
Islam? Belum tentu loh pak. Alasan bahwa orang Islam kami
memiliki kesepahaman dengan kami kemudian bisa hidup tenang,
itu memang betul, tetapi saya selama ini tetap nyaman dan tenang
juga dengan saudara-saudara saya yang Kristen dan Hindu.
Bertetangga dengan orang Kristen komunikasi diantara kami setiap
hari lancar-lancar saja bertegur sapa satu dengan yang lainnya. Kami
sedikit pun tidak ada rasa terganggu walaupun adanya anjing-anjing
peliharaan yang terkadang berisik meskipun tidak membahayakan
tapi kami sudah terbiasa dengan situasi itu.”36
Sedikit berbeda dengan pernyataan dari Bapak Fajar, dari apa yang
disampaikan itu ia mengatakan bahwa:
36 Ibu Yayuk Muliartini, (warga Muslim), hasil wawancara pada tanggal 21 Agustus 2019,
pada pukul 11.00 Wita, di Banjar Pegending, tahun 2018.
82
“Siapapun tetangga kami maka akan diterima dengan baik, dia orang
Hindu atau pun Kristen, dia orangnya jahat atau baik maka akan
kami terima dengan baik pula. Alasan saya itu jelas bahwa ini
merupakan kesempatan yang baik, artinya dengan bertetangga
dengan orang yang berbeda agama maka ada kesempatan untuk
bertukar pikiran membicarakan tentang keyakinan mereka,
kemudian ada juga kesempatan untuk menjadikannya mengerti
tentang ajaran agama saya dan itu adalah nilai tersendiri ketika kami
bisa masuk dalam percakapan atau tukar pikiran seputar keyakinan
yang kita anut masing-masing. Hanya saja harus yang perlu
dihindari adalah perdebatan yang memicu konflik antarpribadi
apalagi berujung pada pertikaian antaragama, bagi saya hal itu tidak
ada untungnya, malas merugikan semua pihak.”37
Berdasarkan hasil wawancara dari semua informan mengenai pertanyaan
tentang bertetangga dengan orang berbeda agama, informan memberikan peryataan
yang tidak terlalu berbeda, secara prinsip semuanya bisa menerima bertetangga
dengan alasan bahwa ada kesempatan berharga dalam bertukar pikiran seputaran
ajaran agamanya masing-masing. Bertetangga beda agama dengan alasan adanya
anjing-anjing yang selalu ribut dan menakut-nakuti tidak harus menjadi alasan untuk
saling menjauhkan diri. Semunya tergantung semua pihak untuk saling memahami
dan mengerti keadaan kita masing-masing, tidak perlu harus menutup diri dengan
tetangga hanya karena alasan mereka pelihara anjing dan kita tidak.
Oleh karena itu, mengenai pertanyaan maukah bertetangga dengan orang
beda agama, informan lebih banyak yang memilih tidak bermasalah hidup
bertetangga dengan yang berbeda agama. Justru dengan bertetangga seperti itulah
diantara kita tidak perlu ada jarak yang menghalangi persaudaraan antara Hindu,
Islam dan Kristen.
37 Bapak Fajar Husein (48 Tahun), anggota masyarakat, hasil wawancara di Perumahan
Pegending, tanggal 18 Agustus 2019.
83
III. 7.2 Menyama Braya
Masyarakat Bali merupakan salah satu masyarakat yang sangat
mengutamakan prinsip hidup cinta damai, menjaga toleransi antarumat beragama lain
seperti Kristen, Islam dan Budha. Masyarakat Bali yang mayoritas pemeluk agama
Hindu, secara sosial mampu hidup bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama
termasuk dengan masyarakat pendatang dari latar belakang suku lain. Relasi sosial
yang dibangun selama ini selalu berpatokan pada prinsip hidup orang bersaudara
Menyama Braya, yakni adanya sikap terbuka dalam memandang dan menerima orang
lain sebagai saudaranya. Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Banjar
Pegending (I Wayan Patra), ia menjelaskan:
Komunikasi perorangan/individu keseharian yang terjadi di sini
pada dasarnya bukan membahas doktrin agama-agama, juga tidak
membahas ajaran agama orang lain, tetapi lebih pada persoalan
etika sosial dan norma-norma pergaulan yang menjadikan kami
lebih kuat/solid dalam membina hubungan persaudaraan. Mungkin
itulah yang membuat kami di Banjar ini boleh dikatakan termasuk
salah satu Banjar yang masyarakatnya tenang dan damai. Kami
semuanya mendahulukan prinsip tolong menolong dan hormat
menghormati. Sebagai orang Bali, khususnya kami di Banjar ini
hidup “menyama braya” ini adalah cara pandang kami melihat dan
menerima orang lain yang berbeda dengan kami sebagai saudara
kami. Pertalian darah memang tidak ada diantara kami, tetapi yang
kami pahami mereka itu juga adalah manusia sesama ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa sama seperti kami yang memiliki nilai dan
derajat yang sama di mata Tuhan.” 38
Menjadi hal yang wajar bagi masyarakat Banjar Pegending untuk tidak
mempersoalkan masalah niat keberagamaan (konversi agama) seseorang. Selama
Banjar ini dianggap nyaman bagi seluruh komponen masyarakatnya, maka hal itu
38 I Wayan Patra, (Pengusaha Babi Guling), hasil wawancara pada tanggal 28 Agustus 2019,
pada pukul 16.00 Wita, di Banjar Pegending.
84
perlu di jaga dan pelihara. Bahkan kesadaran akan perbedaan agama bisa memicu
terjadinya potensi konflik, maka semua pihak telah bersepakat bahwa segalanya
untuk cepat selesai mari kita bersama-sama ke Bale Banjar untuk dibicarakan atau
dikomunikasikan secara terbuka dan jujur apa adanya.
III. 7.3 Suka Duka
Kerjasama antarumat beragama sangatlah penting untuk menjaga kerukunan
beragama, dan salah satu cara menjaga kerukunan antaragama di Banjar Pegending
adalah dalam bentuk kerja sama antarwarga Banjar. Kerja sama dalam bidang agama
maupun sosial menjadi tuntutan moral bagi seluruh warga Banjar untuk memperat
hubungan persaudaraan dan persatuan antar sesama pemeluk agama. Organisasi
Banjar suka duka di Pegending merupakan salah satu bentuk wadah adat yang
diupayakan untuk mengefisienkan biaya bagi warga Banjar yang tengah menghadapi
acara suka maupun duka.
Dalam kesempatan mewawancarai salah satu tokoh masyarakat adat Banjar
Pegending (Bapak I Made Sudana), beliau menjelaskan:
“Suka duka di Banjar Pegending selalu bersentuhan langsung
dengan urusan adat, kecuali saudara-saudara kita para pendatang
yang di Perumahan Pegending, sebab mereka tidak terikat secara
suka duka di Banjar ini jadi mereka bebas dalam hal semacam ini.
Misalnya saat ada urusan perkawinan dan kematian, semua anggota
suka duka di Banjar ini wajib hukumnya untuk ikut ambil bagian
dalam menyelesaikan perkerjaan suka duka sebagai wujud tanggung
jawab kami bersama. Apakah ada saudara-saudara dari umat
Muslim? Ada yang ikut walaupun sangat sedikit, tetapi kami tetap
menghargai itu. Bahkan sering kali kita batasi agar yang
bersangkutan tidak terlalu bersentuhan langsung dengan apa yang
menjadi tantangan diajaran agamanya, akan tetapi yang
bersangkutan tidak terlalu mempermasalahankan. Demikian juga
85
saat ada salah satu warga yang sakit dan harus rawat inap, setelah
informasi ini terdengar oleh semua anggota suka duka, secara
otomatis semua ikut mengadakan perkunjungan dan saling
mendoakan menurut keyakinannya masing-masing”39
Apa yang disampaikan oleh informan di atas, tentu menggambarkan bahwa
semua warga Banjar di Pegending, baik sebagai umat Hindu, Islam dan Kristen
dianggap mampu untuk mendemontrasikan nilai-nilai sosial sebagai instrument
perekat relasi antarumat beragama. Nilai-nilai sosial ini juga dianggap sebagai bentuk
pemahaman bersama dalam rangka mencapai tujuan yang sama bahwa mereka adalah
berkerabat (bersaudara) sekalipun tidak sedarah. Antusias warga Banjar ini
menggambarkan bahwa masyarakat plural tersebut bisa saling berbaur dan
berkomunikasi (mewujudkan dialog karya) yang dianggap sebagai salah satu
kekuatan ikatan sosial diantara sesama sekalipun mereka menyadari akan perbedaan
yang ada.
Banjar adat sebagai lembaga adat masyarakat tradisional di Pegending, urusan
suka dan duka pada tingkat Banjar wajib untuk dilaksanakan. Wadah suka duka
tersebut merupakan bagian yang terintegrasi dalam konsep hidup menyama braya,
yakni prinsip hidup orang bersaudara yang sangat ideal bagi masyarakat Bali pada
umumnya. Nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Bali harus tetap hidup dan
lestari. Makanya sebagai masyarakat yang beradat dan beradab nilai-nilai sosial ini
tidak boleh hilang apalagi dihilangkan. Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam
prinsip hidup menyama braya, ternyata sangat kaya akan makna persamaan derajat
dan penerimaan sebagai saudara, dan hal itu merupakan pengakuan sosial bahwa kita
39 I Made Sudana, (Pengurus Koperasi TEB Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal
29 Agustus 2019, pada pukul 16.00 Wita, di Banjar Pegending.
86
betul adalah bersaudara. Mengapa demikian, sebab teladan sosial ini merupakan
warisan para pendahulu (leluhur) masyarakat Pegending, dimana mereka mampu
menjaga nilai-nilai sosial ini turun temurun agar tetap dilestarikan dan dibudayakan.
III. 7.4 Budaya Megibung
Salah satu tradisi kearifan lokal masyarakat Bali yang sudah lama ada, adalah
tradisi megibung. Menurut I Ketut Mulia Antara, istilah kata “Megibung” berasal dari
kata “gibung” yang berarti berbagi satu dengan yang lainnya.
”Tradisi ini biasanya warga Banjar secara bersama-sama menikmati
makanan/nasi serta aneka lauk pauk dalam satu wadah. Tradisi
semacam ini sebenarnya merupakan tradisi yang sudah lama, dan
merupakan tradisi warisan para leluhur kami juga dulu. Biasanya
makanan dengan aneka lauk pauk itu disajikan secara tradisional,
yakni makanan tersebut disajikan di atas daun pisang yang telah
ditata sedemikian rupa dan warga yang ikut dalam megibung ini
duduk bersila di lantai, bisa secara melingkar maupun juga berjajar
memanjang untuk santap bersama. Tradisi ini biasanya juga
diadakan pada momen atau perayaan tertentu (saat upacara
keagamaan, urusan adat, pernikahan, syukuran dan lain-lainnya)
dan dilaksanakan di Bale Banjar maupun juga di rumah-rumah.
Tradisi megibung ini juga, biasanya bukan hanya sekadar soal
makan saja, namun disela-sela itu tentu ada kesempatan untuk
berkomunikasi, dan saling tukar pikiran bahkan berceritera seputar
realitas sosial, pergumulan warga Banjar dan isu-isu sosial lainnya.
Peserta dalam tradisi megibung ini rata-rata satu kelompok terdiri
dari 5-8 orang, hidangan dalam megibung ini bisa berupa daging
kambing, ayam, babi, sate, lawar, pepesan, sayuran dan sambal.40
Saat makan bersama tentunya dilakukan dengan tidak memakai sendok
tetapi menggunakan tangan, sehingga sebelum makan sebaiknya cuci tangan. Selain
itu, saat makan bersama (megibung) ini tentu ada etikanya yang perlu diperhatikan
40 I Ketut Susila, (Pensiunan Guru-PNS), hasil wawancara pada tanggal 19 Agustus 2019,
pada pukul 17.00 Wita, di Banjar Pegending.
87
bersama pula. Peserta megibung harus makan dengan rapi dan jangan sampai ada nasi
suapan dari mulut yang terjatuh ke atas wadah makanan yang sedang dinikmati
bersama. Apabila ada kelompok yang sudah selesai makan, wajib menunggu
kelompok yang lainnya selesai makan. Barulah setelah semua kelompok selesai
makan peserta megibung diperbolehkan mulai mencuci tangan dan meninggalkan
tempat makan bersama tersebut.
Tradisi megibung merupakan salah satu nilai sosial yang dipahami sebagai
simbol kebersamaan dan sebagai salah satu cara membangun, memperkuat relasi
kekerabatan diantara sesama masyarakat Banjar Pegending. Oleh karena itu, tradisi
megibung, masih tetap dipertahankan sampai saat ini.
III. 7.5 Budaya Ngejot
Salah satu tradisi unik dalam kebudayaan masyarakat Bali adalah tradisi
“ngejot”. Tradisi ini menurut I Ketut Murjawan, merupakan tradisi turun temurun
yang sudah lama dari leluhur orang Bali:
“tradisi ngejot di Banjar Pegending dianggap sebagai bentuk upaya
menjaga kelestarian budaya yang menjadi warisan leluhur kami.
Tradisi ngejot sampai saat ini masih ada dan tetap dilakukan sesuai
kemampuan karena sifatnya memberi dengan tulus dan iklas.
Makna tradisi ini pada dasarnya, memberi dan berbagi. Selain itu
juga merupakan sebagai bentuk ungkapan syukur dalam
kebersamaan untuk membangun relasi antarsesama dengan tujuan
untuk tetap hidup saling toleransi sebagai umat beragama yang
menyadari keberagaman itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa
material atau makanan yang diberikan itu bermacam-macam dan
tergantung kepada siapa kita berikan. Biasanya kalau kita sebagai
umat Hindu dan Kristen rasanya tidak terlalu bermasalah dalam hal
saling memberikan makanan dan lauk pauk berupa daging babi.
Namun jika itu adalah saudara kita yang muslim maka material
88
yang kita bagikan tentulah berupa makanan siap saji berupa parsel,
jajanan (Kue) dan buah-buahan.”41
“Tradisi ngejot” dalam budaya masyarakat Bali dan tentunya bagi warga
Banjar Pegending yang dipahami adalah sebagai simbol toleransi dan kerukunan
antarumat beragama. Tradisi ngejot juga merupakan modal sosial bagi warga Banjar
Pegending dalam memelihara kohesi sosial agar tetap rukun dan damai. Hal ini
menjadi tanggung jawab moral bersama bagi segenap warga Banjar Pegending untuk
memberikan keteladanan sekaligus juga pembelajaran berharga bagi generasi mereka
untuk dipertahankan. Tradisi ngejot bagi umat Hindu, Islam dan Kristen di Banjar
Pegending sekalipun telah banyak mengalami modifikasi dalam bentuk sentuhan-
sentuhan modernisasi, namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap
diadakan baik saat hari raya Galungan bagi umat Hindu, hari raya Idul Firti bagi umat
Islam dan hari raya Natal bagi umat Kristen. Inilah salah satu bentuk interaksi sosial
dan relasi antarumat beragama di Banjar Pegending yang sering didemonstrasikan
dalam ruang-ruang perjumpaan.
III. 7.6 Gotong Royong
Dominasi relasi kekerabatan antara umat Hindu dan Kristen di Banjar
Pegending ini juga telah turut mempengaruhi dalam menciptakan dialog kehidupan
yang terjadi setiap hari. Interaksi tersebut sering ditampilkan dalam bentuk kerja
sama rukun suka duka, gotong royong dilingkungan Banjar dan sering mengadakan
41 I Ketut Murjawan, (Tokoh Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 19 Agustus
2019, pada pukul 15.00 Wita, di Banjar Pegending.
89
acara saling bersilaturrahmi pada akhir pekan. Hasil wawancara dengan salah satu
pengurus Banjar dari umat Hindu (Bp. Made Adnyana) menjelaskan:
“Bentuk gotong royong warga Banjar Pegending yang paling sering
terjadi adalah dalam bentuk ngayah (kerja) Bale Banjar saat buat
Ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi. Semua unsur atau
keterwakilan dari agama-agama yang ada di Banjar ini, ikut
berpartisipasi untuk pekerjaan tersebut. Sekalipun tidak secara total
semua teman-teman dari Kristen dan Islam ikut ambil bagian dalam
pekerjaan ini, namun terkadang partisipasinya lewat sumbangan
materil dan dana, bagi kami itu merupakan wujud kebersamaan
untuk menyukseskan perkerjaan kami umat Hindu. Kami sangat
menghormati itu semua bentuk-bentuk kerja sama yang diberikan.
Sebaliknya ketika buat Penjor saat upacara agama Kristen, kami
umat Hindu ikut ambil bagian dalam pengamanan kegiatan hari
raya tersebut.”42
Penjelasan di atas hendak menekankan bahwa hanya dengan cara-cara yang
demikianlah maka relasi-relasi humanis yang diperagakan oleh warga Banjar,
mencerminkan sebuah interaksi antar umat beragama yang harmonis. Bagi para
responden dan juga beberapa warga masyarakat Pegending yang merespons cara
bersilaturrahmi antar kerabat ini perlu dipupuk sedemikian rupa dan mungkin tidak
hanya terbatas pada kalangan “nyama” Hindu dan Kristen saja, tetapi terhadap
“nyama selam” (saudara umat Muslim) pun menjadi keharusan yang wajib dilakukan.
Gotong royong dapat dipahami sebagai bentuk partisipasi aktif setiap
individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek,
permasalahan, atau kebutuhan orang-orang di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut
bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual,
42 I Made Adnyana, (Sekretaris Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 21 Agustus
2019, pada pukul 10.00 Wita, di Banjar Pegending.
90
ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa
kepada Tuhan.
Budaya gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Banjar Pegending
dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni gotong royong untuk saling
menolong dan gotong royong dalam bentuk kerja bakti. Budaya gotong royong dalam
bentuk saling tolong menolong biasanya terjadi dalam kegiatan bercocok tanam
(pertanian), pesta, perayaan hari raya keagamaan, penanggulangan bencana alam, dan
tentu dalam hal urusan kedukaan.
Sementara untuk budaya gotong royong dalam hal kerja bakti, biasanya dilaksanakan
dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan
kepentingan umum, misalnya membersihkan pemakaman umum, membersihkan
sampah di sungai dan lain sebagainya.
Dengan demikian secara sosiologis, makna gotong royong bagi warga
Banjar Pegending merupakan semangat kerja sama yang diwujudkan dalam bentuk
perilaku individual tanpa mengharapkan pamrih/upah. Prinsip gotong royong menjadi
gaya hidup masyarakat Banjar Pegending dalam rangka menjaga kesejahteraan dan
kerukunan bersama.
III. 7.7 Organisasi Subak
Subak adalah suatu organisasi agraris (irigasi) yang meliputi satu wilayah
sungai yang mengairi areal persawahan tertentu.43
Organisasi Subak ini sangat erat
hubungannya dengan kebutuhan masyarakat pertanian di Bali dan khususnya di
43 Suyaga Ayub, Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan, 11.
91
Banjar Pegending. Setiap anggota Subak (krama subak) dalam hal keanggotaannya
tidak sama dengan keanggotaan sebagai masyarakat Banjar. Dengan kata lain, setiap
anggota Banjar tidak harus menjadi anggota subak, karena tidak semua anggota
Banjar berprofesi sebagai petani.
Setiap orang yang menjadi anggota subak adalah mereka yang secara
langsung memiliki lahan garapan persawahan dan melalui itulah mereka menerima
aliran air irigasi yang ditampung dalam bendungan-bendungan yang dikelola oleh
satuan kelompok kerja organisasi subak tersebut. Perlu juga untuk dipahami bahwa
seorang anggota subak, tidak hanya terikat atau tergabung dalam satu organisasi
subak di Banjar asalnya, akan tetapi hal itu sangat tergantung pada sebaran lahan
garapannya di beberapa wilayah lain di luar Banjar tempat tinggalnya, sehingga mau
tidak mau mereka pun harus bergabung dan mengikat diri dalam organisasi subak di
beberapa Banjar lainnya.
III. 7.8 Organisasi Sekaa
Istilah Sekaa merupakan komunitas atau kelompok-kelompok kecil dari
kehidupan sosial masyarakat Bali pada umumnya, yang terbentuk atas dasar
kesepakatan bersama dan bersifat khusus berdasarkan kebutuhan masyarakat Banjar
itu sendiri. Khususnya di Banjar Pegending ada salah satu perkumpulan anak muda
yang sudah cukup lama berkembang, yakni satu organisasi yang disebut “sekaa
teruna-teruni”.44
44 I Ketut Susila, Kelian Banjar Pegending, hasil wawancara pada tanggal 22 Agustus 2019,
pukul 10.00 Wita, di Kantor Perbekel Desa Dalung.
92
Organisasi ini juga terdapat di seluruh desa pakraman di Provinsi Bali. Sekaa
teruna-teruni adalah perkumpulan atau wadah organisasi sosial pengembangan
generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung
jawab sosial dari masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa atau kelurahan
yang bergerak dibidang kesejahteraan sosial.45
Kelompok semacam ini biasanya
bergerak dalam dimensi kehidupan sosial untuk mengakomodir kebutuhan warga
Banjar berdasarkan gaya hidup, hobi maupun strata sosial. Sub organisasi ini
biasanya bersifat turun-temurun/permanen, dan juga bersifat sementara.
Secara umum di Banjar Pegending, ada beberapa sekaa yang sudah cukup
lama diorganisir, diantaranya: sekaa teruna-teruni (perkumpulan pemuda-pemudi
Banjar), sekaa gong (perkumpulan gamelan) dan sekaa suka duka (berupa gerakan
simpan pinjam). Partisipasinya dalam urusan upacara-upacara keagamaan dan adat
istiadat, sekaa-sekaa inilah yang menjadi salah satu ujung tombak penggalang
kekuatan semangat kerja sama.
III. 8 Dampak Positif Perjumpaan Ketiga Agama
Kebebasan beragama dan dialog agama-agama sering menjadi topik utama
dalam berbagai diskusi akademik dan seminar lembaga-lembaga interreligious
lainnya, itu muncul karena adanya kebutuhan dan kesadaran baru untuk hidup rukun.
Hal ini merupakan sesuatu yang berdampak positif bagi relasi antaragama oleh karena
masih adanya kebutuhan untuk saling belajar dari agama lain, terbuka terhadap
45 I Made Sutama, Sekaa Teruna-Teruni Sebagai Pilar Mendukung Penegakan Hukum, 17
Juni 2017, diakses pada 22 Nopember 2019, https://www.kompasiana.com/peradah/sekaa-terunateruni-
sebagai-pilar-mendukung-penegakan-hukum.
93
agama lain, dan siap bersama-sama menemukan kebenaran baru dari relasi itu.46
Sehubungan dengan itu, jika dilihat relasi interaksi ketiga agama di Banjar Pegending
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambaran di atas menunjukkan bahwa relasi ketiga agama saling berinteraksi
secara baik yang dibangun atas pijakan bersama nilai kearifan lokal, yakni “menyama
braya” sebagai kekuatan dan semangat persaudaraan yang menyatukan.
III. 8.1 Potret Perjumpaan Hindu dan Kristen di Banjar Pegending
Potret perjumpaan yang khas antara umat Hindu dan Kristen di Banjar
Pegending, menawarkan suatu bentuk relasi kekerabatan. Tindakan-tindakan sosial
yang seringkali terjadi diantara kedua kelompok agama ini lebih didominasi oleh
dialog aksi seperti: doa bersama, tradisi megibung, ngejot, bedah rumah, gotong
46 Seda, Francisia SSE. Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia: Suatu Perspektif
Sosiologis. Diktat kuliah Sosiologi Agama, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), 4.
94
royong (ngayah), peduli lingkungan dalam memerangi sampah plastik yang dimulai
dari kebersihan lingkungan rumah, Banjar, sungai (tukad) hingga ke pantai,
kelompok arisan dan gerakan simpan pinjam Koperasi Tri Eka Bina (TEB).
Disamping dialog aksi, dialog adat budaya juga menjadi satu hal yang cukup kuat
diantara kedua kelompok agama tersebut.47
Relasi kedua agama dapat digambarkan
sebagai berikut:
Semangat kerjasama kedua agama (Hindu-Kristen), merupakan implikasi
kongkrit dari semangat kebersamaan yang dilatarbelakangi dimensi kekerabatan.
Bahkan secara eksplisit harus diakui bahwa urusan perkawinan lintas agama (Hindu
dan Kristen) tetap menjadi pergumulan bersama yang sering dihadapi tanpa harus
menimbulkan ketegangan. Artinya, untuk hal tersebut bukan merupakan sesuatu hal
yang aneh untuk dipertentangkan. Kedua belah pihak tetap menjaga relasi untuk
saling memahami dan tidak saling memaksakan. Demikian juga tidak ada perasaan
47 Paulus I Nyoman Astra Susila (77 tahun), Tokoh Umat Katholik Banjar Pegending, hasil
wawancara pada tanggal 03 September 2019, pukul 10.00 Wita, di Banjar Pegending.
95
bahwa salah satu komunitas umat merasa hubungan Hindu-Kristen akan kehilangan
umatnya karena perkawinan dengan umat yang beragama lain.48
Dialog aksi untuk berdoa bersama dalam rangka peresmian (Pemelaspasan)
Bale Banjar Pegending sudah tiga kali dilaksanakan, yang pertama pada tahun 1988,
kedua pada 12 April 2013 dan ketiga pada 22 Juli 2017. Aksi doa bersama itu
dilaksanakan secara bergantian sesuai keyakinan masing-masing yang diawali oleh
umat Kristiani dan terakhir oleh umat Hindu.49
Aksi doa bersama ini dilaksanakan
atas dasar kebutuhan dan kesadaran bersama dalam rangka memupuk rasa solidaritas
sosial dan semangat toleransi antarumat beragama. Bale Banjar merupakan rumah
bersama bagi semua umat beragama yang ada di Pegending sebagai tempat dimana
segala bentuk komunikasi sosial dan perjumpaan disepakati dan dimusyawarakan.
Pengalaman perhelatan dari acara semacam ini, tentunya sangat direspons
positif oleh pemerintahan lokal dan juga lembaga agama-agama yang ada di Bali
48 Romo Yohanes Martanto, Pr., Rohaniawan Katholik Banjar Pegending, hasil wawancara
pada tanggal 01 September 2019, pukul 10.00 Wita, di ruang kantor Stasi Gembala Baik, Paroki Santo
Paulus Kulibul.
49
I Ketut Susila, Kelian Banjar Pegending, hasil wawancara pada tanggal 22 Agustus 2019,
pukul 10.00 Wita, di Kantor Perbekel Desa Dalung.
96
melalui FKUB. Secara nasional kegiatan tersebut mendapat apresiasi dari Menteri
Agama Republik Indonesia Surya Darma Ali dan Menteri Pariwisata Jero Wacik.
III. 8.2 Potret Perjumpaan Hindu dan Islam di Banjar Pegending
Perkembangan umat Islam di Banjar Pegending baru mulai muncul pada
tahun 2000, sejak dibukanya pemukiman baru, yakni Perumahan Pegending Permai.
Memilih untuk tinggal di Perumahan Pegending Permai ini bagi sebagian orang
pendatang baik orang Jawa maupun orang Bali yang berasal dari beberapa Kabupaten
lainnya, sesungguhnya hanya bersifat sementara dan hanya tempat transit saja.
Relasi dialog kehidupan yang formal itu, lebih diprioritaskan dalam bentuk
penguatan kesepakatan bersama sehubungan dengan bagaimana saling menjaga sikap
toleransi antarumat beragama terutama yang berdomisili di Peruhaman Pegending
Permai. Demikian juga keputusan memilih untuk tidak bersuka duka Banjar
Pegending adalah bentuk permakluman umat Hindu kepada umat Islam. Sama halnya
saat menjalankan aktifitas peribadatan di Musolah terdekat di Banjar Tuka adalah
keputusan bersama yang telah dimusyawarahkan dan dihormati bersama.
97
Relasi semacam itu penulis kategorikan sebagai sebuah proses interaksi
Hindu-Islam, yang oleh kesadaran moral mereka pun berupaya untuk menjaga
kualitas relasi lintas agama yang harmoni.
III. 8.3 Potret Perjumpaan Kristen dan Islam di Banjar Pegending
Penelusuran bentuk perjumpaan Islam-Kristen di Banjar Pegending, yang
penulis jumpai adalah masih dalam bentuk dialog formal. Perjumpaan dialog formal
ini dianggap penting semata-mata untuk menghindari kesalah-pahaman diantara
kedua kelompok agama tersebut (Islam-Kristen), termasuk juga untuk mencegah
timbulnya sikap intoleransi, fobia, arogansi dan saling merendahkan dalam berbagai
perbedaan yang ada. Segala bentuk perbedaan agama dan etnis tidak menjadi
hambatan di dalam masyarakat untuk saling mengasihi dan menghormati. Penulis
menggambarkan bahwa dialog antarumat beda agama (Islam-Kristen) merupakan
salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mencegah konflik di kalangan
masyarakat Banjar Pegending. Interaksi positif melalui dialog terus dipelihara dan
dilestarikan secara terus menerus. Semua pihak menyadari akan batasaan-batasan,
baik yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan dari masing-masing
agama. Dalam hal inilah peran pemuka agama dan aparat Banjar selalu memberikan
pengarahan yang jelas tentang arti dan pentingnya dialog antar umat beragama.
Fakta relasi semacam ini, kemudian penulis menemukan dan memahami
bahwa kedua kelompok agama ini (terutama para pendatang) yang sudah cukup lama
tinggal di Banjar Pegending, mereka mempunyai agenda tuntuntan bagi sebuah
98
keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.50
Kemajuan dan dinamika sosial di
Pegending tidak terlepas dari kehadiran dan kontribusi mereka. Namun, oleh karena
ketatnya awig-awig desa adat, membuat mereka harus toleran dan mau tidak mau
harus menghormatinya. Artinya mereka hendak memerangi musuh bersama dari
problem semua agama-agama, yakni “ketidakadilan”. Ketidakadilan muncul dalam
beragam wajah, seperti diskriminasi: etnisitas, agama dan politik. Ketidakadilan juga
muncul dalam wujud eksploitasi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam,
yang kemudian berdampak pada bencana alam dan sebagainya.
Relasi Kristen dan Islam yang ditampilkan oleh kedua kelompok agama ini
cenderung lebih pada dialog formal. Namun dalam relasi kehidupan sehari-hari yang
muncul diantara kedua umat ini, adalah biasanya saat ada kedukaan. Misalnya, saat
menggali kubur, tenaga orang Jawa (Muslim) yang disewa dibutuhkan karena
50 Suara-suara anak Perumahan Pegending Permai, Banjar Pegending ini termasuk salah satu
Banjar yang masyarakatnya tidak arogan, seharusnya kalau boleh kami usulkan, tolonglah agar dimana
dengan dibukanya Perumahan Pegending Permai ini yang sudah berlangsung cukup lama (sejak tahun
2000), mestinya fasilitas umum berupa Langgar atau Musolah dan lahan kuburan umum tolonglah
untuk difasilitasi tanpa harus kami jauh-jauh keluar ke Banjar Tuka dan ke Mumbul Nusa Dua.
Demikian juga dengan persekutuan umat Kristen dari berbagai denimonasi yang berdomisili di Perum
Pegending, mempunyai kerinduan yang sama, “keadilan”... dialog oikumenis menjadi pilihan untuk
tetap mendapatkan kesempatan menjalankan aktifitas peribadahannya.
99
dianggap cepat, rapi dan murah. Demikian juga saat membangun rumah ibadah atau
rumah tinggal, biasanya menggunakan tenaga buruh bangunan sebagian besar dari
komunitas orang Jawa-Muslim, dengan alasan yang sama: murah, cepat, dan tidak
banyak liburnya.
III. 9 Strategi & Lembaga Pendukung Pelaksanaan Dialog Antaragama
Perlunya strategi penyelenggaraan dialog antaragama di Banjar Pegending,
dipandang perlu semata-mata untuk menanamkan rasa saling percaya dalam
menyikapi kerukunan hidup beragama. Disamping itu juga adalah untuk
mengembangkan prinsip persahabatan solidaritas keagamaan, yakni dengan
membangun jembatan relasional dialog antarkelompok beragama yang ada di Banjar
Pegending. Rupanya strategi yang dianggap masih relefan dalam membangun relasi
dialogis antaragama adalah melalui pendekatan nilai-nilai kearifan lokal, yakni
gerakan prinsip hidup menyama braya. Nilai lokal ini masih sangat menolong dalam
memelihara kualitas relasi agama-agama di Banjar Pegending sampai saat ini
sehingga tetap rukun dan harmoni.
III. 9.1 Dari P3 ke Tri Eka Bina
Menyadari akan pentingnya persatuan dan kebersamaan warga masyarakat,
maka pada tahun 1974 tiga orang tokoh masing-masing dari Katolik, Hindu dan
Protestan, ketiganya bersepakat untuk merintis terbentuknya satu wadah kebersamaan
bagi “sekaa truna-truni banjar” atau wadah perhimpunan pemuda-pemudi Banjar
yang dikenal dengan nama Pemuda Pendukung Pancasila (P3). Wadah ini dibentuk
100
dengan tujuan untuk memperlihatkan identitas warga Banjar Pegending itu bersatu.
Dalam sebuah kesempatan mewawancarai Kelian Dinas Banjar Pegending (Bp. I
Ketut Susila), beliau menjelaskan:
“Wadah P3 ini dibentuk semata-mata untuk memperlihatkan bahwa
kita (terutama sekehe truna-truni) di Banjar ini sangat solid dalam
kesatuan dan memiliki semangat berkarya serta kekompakan pemuda-
pemudi dalam mendukung Pancasila. Mertua saya dari Katolik,
bersama seorang Polisi dari Hindu dan satu lagi tokoh dari Protestan,
sepakat membentuk wadah ini pada tahun 1974. Wadah ini cukup lama
berjalan secara konsisten dan barulah kemudian pada tahun 1982
wadah P3 ini berganti nama menjadi Tri Eka Bhina. Tri = tiga, Eka =
tunggal, dan Bhina = pembinaan. Karena kami warga Banjar
Pegending pada waktu itu didominasi oleh tiga umat, maka dalam satu
wadah sama kami dibina. Dalam hal keanggotaan dan kepengurusan
wadah ini secara bergantian ketiga umat dalam hal ini Protestan,
Katolik dan Hindu yang ambil bagian dalam kepengurusannya. Satu
hal lagi, berhubung umat Islam waktu itu (tahun 1974) belum ada,
sebab mereka baru masuk Banjar Pegending pada tahun 2000 yaitu
dengan adanya pemukiman baru di BTN/Peruhaman Pegending.
Terutama juga kebetulan mereka memilih tinggal di Banjar Pegending
ini hanya status terdaftar sebagai warga Banjar dinas saja. Mereka
tidak dalam status sebagai anggota suka duka Banjar Pegending, maka
keanggotaan mereka dalam wadah Tri Eka Bhina, tidak dilibatkan dan
mereka pun dapat memaklumi hal itu dan tidak ada masalah”.51
Wadah Tri Eka Bhina ini bagi warga suka duka Banjar Pegending tetap
dianggap sebagai simbol pemersatu. Dalam perjalan waktu, wadah Tri Eka Bhina
dikembangkan lagi dengan membentuk Koperasi Simpan Pinjam. Melalui Koperasi
TEB ini, seluruh warga Pegending dari berbagai latar belakang agama, suku dan
budaya boleh ikut ambil bagian sebagai anggota Koperasi. Tujuan dari terbentuknya
Koperasi Simpan Pinjam ini semata-mata untuk membantu peningkatan ekonomi dan
51 I Ketut Susila, (Klien Dinas Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 30 Agustus
2019, pada pukul 17.00 Wita, di Banjar Pegending.
101
kesejahteraan masyarakata pada umumnya. Melayani masyarakat seutuhnya dengan
prinsip persaudaraan di atas nilai-nilai kejujuran dan keadilan sosial.
III. 9.2 Peran FKUB Budayakan Tolerasi Antarumat Beragama
Banjar Pegending merupakan salah satu Banjar yang tingkat pluralistas
masyarakatnya cukup signifikan, terutama dari segi etnis, adat istiadat, bahasa, dan
agama. Oleh sebabnya, sikap saling menghormati dan sikap saling terbuka sangat
dibutuhkan demi terjaminnya kohesi sosial yang rukun dan damai. Peran aktif Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKUB), dalam mempertahankan toleransi umat
beragama di Kabupaten Badung sangat dirasakan.
FKUB Badung sudah sangat maksimal dalam setiap rumusan
program kerjanya terutama dalam mengupayakan intensitas
perjumpaan para tokoh-tokoh agama untuk saling sharring/bertukar
pikiran, menyamakan persepsi dalam menghadapi beberapa issu
keagamaan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. FKUB
Badung secara terbuka selalu berkomunikasi dan output-nya harus
diimplementasikan kepada seluruh umat masing-masing agama
untuk dipahami secara utuh oleh setiap umat beragama. Contohnya
dalam memerangi gerakan-gerakan intoleransi, teroris, dan
radikalisme. Semuanya itu para tokoh agama harus duduk bersama
dan membicarakannya secara terbuka dan jujur lalu rumuskan
kesimpulannya untuk direkomendasikan dalam program kerja ke
depannya.52
Menjaga dan mempertahankan semangat toleransi dalam memelihara kerukunan umat
beragama di masyarakat Badung terus ditingkatkan melalui pendekatan-pendekatan
dialog terbuka yang humanis. Tidak boleh ada „penumpang gelap‟ dalam masyarakat
Badung. Sikap intoleransi, radikalisme dan terorisme harus kita lawan bersama
52 Hasil wawancara dengan Pengurus FKUB Kabupaten Badung, 20 Agustus 2019, di Kantor
Sinode GKPB, Jl. Raya Kapal No. 20, Mengwi, Mangupura, Badung.
102
karena itu merupakan musuh bersama agama-agama yang cinta damai. Kondisi sosial
yang sudah aman dan tenang di Banjar Pegending tidak mau dinodai oleh sikap dan
gerakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab apapun itu bentuknya.
III. 9.3 Peran MPUK Budayakan Dialog Antaragama
Musyawarah Pelayanan Umat Kristiani (MPUK), merupakan wadah umat
Kristiani dalam menyuarakan dan merumuskan setiap program pelayanan
oikoumenisnya. MPUK dalam hal ini berperan dalam memberikan informasi dan
membangun komunikasi serta menerbitkan rekomendasi kepada masing-masing
gereja yang membutuhkan sesuai keperluannya. Upaya lainnya adalah membangun
komunikasi efektif dengan semua pihak dari berbagai komponen pemuka agama,
tokoh masyarakat dan adat di Banjar Pegending, sehingga informasi terbuka yang
utuh tidak merugikan semua pihak.
Ketua MPUK Kabupaten Badung Pdt, I Made Budiarsa dalam kesempatan
mewawancarai beliau, ia mengatakan bahwa MPUK Badung mendorong gereja-
gereja dari berbagai denominasi yang ada di Badung untuk dapat terus meningkatkan
kontirbusi positif dalam berpartisipasi membantu Pemerintah Badung dalam
menciptakan kerukunan dan kebersamaan masyarakat Badung yang harmonis.
Partisipasi gereja-gereja dalam merawat kerukunan antarumat beragama sebenarnya
merupakan wujud kongrit sikap kita dalam menjaga ke-ajeg-an Bali, menyama braya
dan Tri Hita Kirana. MPUK secara aktif terus mewujudkan semangat persatuan dan
kesatuan bangsa yang dimulai dari Badung.
103
III. 9.4 Peran Pemerintah Daerah Terhadap Kerukunan Umat Beragama
Salah satu wujud kehadiran dan peran pemerintah daerah Kabupaten Badung
dalam menjaga kerukunan umat beragama, adalah memastikan setiap umat beragama
yang ada di wilayah pemerintahan Kabupaten Badung hidup rukun dan harmonis
tanpa harus merasa tertekan, ketakutan dan diskriminasi. Ajegnya bumi Bali harus
juga diimplementasikan di Badung, demikian ajakan Ketua DPRD Kabupaten
Badung I Putu Parwata. Peran dan dukungan pemerintahan daerah Kabupaten Badung
adalah:
1. Mengalokasikan anggaran untuk mendukung program-program kerja FKUB.
2. Memberikan ijin secara resmi setiap tahun penggunaan fasilitas Auditoruim
PUSPEM untuk perayaan hari raya besar keagamaan.
3. Memberikan insentif atau dana hibah dalam mendukung proses pembangunan
rumah ibadah masing-masing umat beragama.
Menurut Parwata, kerukunan umat beragama di Badung harus menjadi contoh dan
model bagi daerah-daerah lain yang ada di Badung, bahkan di Indonesia. Umat
beragama jika mau merayakan hari raya besar keagamaannya boleh menggunakan
fasilitas AULA Puspem.53
III. 10 Kesimpulan
Dalam kesimpulan bab ini, penulis menegaskan kembali bahwa ada
beberapa nilai-nilai sosial dalam dinamika perjumpaan agama-agama tengah
masyarakat Banjar Pegending dan terutama juga yang menjadi faktor penting untuk
53 Hasil wawancara dengan Ketua DPRD Kabupaten Badung Dr. I Putu Parwata....
104
menciptakan relasi keharmonisan antarwarga masyarakat yang berbeda agama.
Interaksi kehidupan sehari-hari, wadah Tri Eka Bhina, prinsip hidup menyama braya,
wadah suka duka, tradisi megibung, tradisi ngejot, gotong royong, tentu merupakan
nilai-nilai kearifan lokal budaya masyarakat Bali dan khususnya warga Banjar
Pegending yang menjadi kekuatan pemersatu untuk selalu hidup harmonis dalam
kemajemukan yang ada. Demikian juga, tentunya partisipasi dan dukungan para
tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat cukup penting dalam memberikan
kontribusi pemikirannya untuk selalu mengarahkan generasi muda Banjar untuk tetap
menjaga keharmonisan warga Banjar Pegending agar tetap aman, damai dan rukun
satu dengan yang lainnya.
top related