bab iii banjar pegending sebagai arena perjumpaan …

51
54 BAB III BANJAR PEGENDING SEBAGAI ARENA PERJUMPAAN LINTAS AGAMA III. 1 Pengantar Setelah penulis melakukan pemaparan teori dan beberapa konsep pendukung sebagaimana yang telah dituangkan pada bab II, maka pada bab ini penulis akan memberikan pemaparan tentang realitas sosial Banjar Pegending sebagai locus penelitian, yang didalamnya kenyataan dinamika perjumpaan agama-agama itu terjadi. III. 2 Pengertian Banjar di Bali Banjar merupakan suatu organisasi tradisional, yang pada hakekatnya merupakan satu kesatuan keamanan, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi dan satu kesatuan kebudayaan. 1 Kebudayaan Bali secara umum dikenal mempunyai ciri khas yang unik jika dibandingkan dengan kebudayaan lainnya di Indonesia. Ciri khas yang unik dalam budaya Bali yang dimaksudkan di sini salah satunya adalah terkait dengan istilah Banjar. Banjar merupakan salah satu pilar pembangunan yang menjadi bagian dari wilayah Desa, yang secara administratif hanya dijumpai di Bali. 2 Suyatra, 1 A.A Gde Aryana, Peranan Desa dan Banjar Adat Dalam Proses Intergrasi Kebudayaan Di Bali, (Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Denpasar: 2016), 4 2 Nyoman Utari Vipriyanti, Banjar Adat and Local Wisdom: Community Management For Public Space Sustainability in Bali Province; Presented in IASC 2008 12th Bienniel Conference, (Lecture in Denpasar Mahasaraswati University, 2008), 2; “Di Bali, ada beberapa kelompok sosial masyarakat yang biasa disebut pilar pembangunan yaitu Banjar, Banjar Adat (Banjar Pakraman), Sekaa dan Subak. Ada perbedaan fungsi dan bentuk antara desa dinas dan desa pakraman yang diikuti

Upload: others

Post on 06-Dec-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

54

BAB III

BANJAR PEGENDING SEBAGAI

ARENA PERJUMPAAN LINTAS AGAMA

III. 1 Pengantar

Setelah penulis melakukan pemaparan teori dan beberapa konsep pendukung

sebagaimana yang telah dituangkan pada bab II, maka pada bab ini penulis akan

memberikan pemaparan tentang realitas sosial Banjar Pegending sebagai locus

penelitian, yang didalamnya kenyataan dinamika perjumpaan agama-agama itu

terjadi.

III. 2 Pengertian Banjar di Bali

Banjar merupakan suatu organisasi tradisional, yang pada hakekatnya

merupakan satu kesatuan keamanan, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi dan

satu kesatuan kebudayaan.1 Kebudayaan Bali secara umum dikenal mempunyai ciri

khas yang unik jika dibandingkan dengan kebudayaan lainnya di Indonesia. Ciri khas

yang unik dalam budaya Bali yang dimaksudkan di sini salah satunya adalah terkait

dengan istilah Banjar. Banjar merupakan salah satu pilar pembangunan yang menjadi

bagian dari wilayah Desa, yang secara administratif hanya dijumpai di Bali.2 Suyatra,

1 A.A Gde Aryana, Peranan Desa dan Banjar Adat Dalam Proses Intergrasi Kebudayaan Di

Bali, (Program Studi Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, Denpasar: 2016), 4

2 Nyoman Utari Vipriyanti, Banjar Adat and Local Wisdom: Community Management For

Public Space Sustainability in Bali Province; Presented in IASC 2008 12th Bienniel Conference,

(Lecture in Denpasar Mahasaraswati University, 2008), 2; “Di Bali, ada beberapa kelompok sosial

masyarakat yang biasa disebut pilar pembangunan yaitu Banjar, Banjar Adat (Banjar Pakraman),

Sekaa dan Subak. Ada perbedaan fungsi dan bentuk antara desa dinas dan desa pakraman yang diikuti

55

memberikan pandangannya bahwa Banjar itu merupakan sebuah kelompok atau

perkumpulan dengan penduduknya yang memiliki aturan, kehidupan, tradisi hingga

sistem adat.3

Istilah Banjar di Bali, telah dikenal sejak jaman dahulu yang memiliki peran

dan fungsi dalam hal penanganan masalah irigasi atau pengairan sawah (subak),

sebab sebagian besar masyarakat Bali adalah petani.4 Bertani merupakan mata

pencaharian yang paling utama dari sebagian besar masyarakat Bali. Jenis pertanian

di “Pulau Dewata” ini meliputi pertanian sawah dan juga perkebunan. Sistem

pertanian di Bali, yakni sistem irigasi (Subak) sangatlah memegang peranan penting.5

Berangkat dari pemahaman tersebut di atas, maka dalam perkembangan

selanjutnya istilah Banjar dimaknai dan atau dikatagorikan sebagai aset budaya Bali,

sekaligus merupakan warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan

keberadaannya. Dengan demikian keberadaan Banjar bagi masyarakat Bali

merupakan suatu lembaga adat budaya yang didalamnya terkandung nilai-nilai sosial

dan kekerabatan bagi masyarakat setempat yang pada momen tertentu dapat dijadikan

sebagai wadah perjumpaan untuk saling berinteraksi. Kebutuhan interaksi itu

oleh struktur bawah yaitu banjar dinas dan banjar pakraman. Desa dinas dan banjar dinas terkait

dengan semua kegiatan administrasi sementara desa dan banjar pakraman berhubungan dengan

kegiatan keagamaan. Alhasil, mungkin saja keduanya froms memiliki cakupan area yang berbeda.

Desa dan banjar pakraman juga dikenal sebagai desa dan banjar adat.”

3 I Putu Suyatra (editor), Pura Murwa Bhumi Cikal Bakal Adanya Sistem Banjar, 02 Agustus

2019, diakses pada 15 Oktober 2019, https://baliexpress.jawapos.com/read/2019/08/02/149238/pura-

murwa-bhumi-cikal-bakal-adanya-sistem-banjar

4 Explore Bali Island, Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali, Januari 2015, diakses pada

15 Oktober 2019, http://www.balimediainfo.com/2015/01/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-di-

bali.html.

5 Christofer Satria, Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun, I Ketut Suteja, “Fotografi Decopauge

Keindahan dan Fenomena Subak Bali di Daerah Gianyar dan Bangli”, PRABANGKARA Seni Rupa

dan Desain, Volume 21 Nomor 2 (Desember 2017), 51-57.

56

diselenggarakan bertujuan untuk menyamakan pandangan dan merumuskan tujuan-

tujuan bersama menuju masyarakat yang ajeg Bali.

III. 3 Sejarah Keberadaan Banjar di Bali

Penelusuran secara historis bagaimana dan seperti apa kisah asal-usul

keberadaan Banjar di Bali, masih dianggap cukup sulit untuk diketahui kepastian

sejarahnya.6 Namun, dari narasi lisan para leluhur terutama yang bersumber dari

kisah beberapa legenda dan cerita-cerita rakyat di Bali, setidaknya keberadaan Banjar

tersebut dapat diyakini kebenarannya.7 Istilah Banjar di Bali, sebenarnya sudah

dikenal sejak prasejarah Bali (836 caka atau 914 masehi), yakni dengan merujuk pada

Prasasti Gobleg Pura Desa yang berbahasa Bali kuno.8 Tulisan dalam prasasti itu

disebutkan: "...ser tunggalan banjar di indrapura." yang artinya: "...pengawasan

bersama tunggalan untuk lingkungan atau kelompok di Indrapura."9 Salah satu bukti

yang mendukung sejarah Banjar di Bali adalah adanya suatu cerita yang terdapat

dalam lontar Maharsi Markandya sebagai bukti yang mendukung sejarah Banjar di

Bali. Cerita itu antara lain isinya sebagai berikut :

“Seorang Maharsi bernama Maharsi Markandya pada mulanya

bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), melakukan perjalanan ke Bali

bersama 500 orang pengikutnya, dengan maksud untuk perambahan hutan

yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian dan tempat

pemukiman/tempat tinggal. Mereka bermula tiba di Taro, yakni wilayah

6 Rusadi Nata, Sejarah Asal Usul Adanya Banjar di Bali, 2015, diakses pada 20 Oktober

2019, http://kabardewata.com/berita/ berita-utama/sosial/sejarah-asal-usul-adanya-banjar-di-

bali.html#.Xa4zOWAzbDc, 2015.

7 A.A Gde Aryana, Peranan Desa Dan Banjar Adat, 1

8 ....... sejarah-asal-usul-adanya-banjar-di-bali.

9 Mengenal Tradisi Banjar yang Jadi Keunikan Tersendiri di Bali, diakses pada 20 Oktober

2019, https://www.kintamani.id/mengenal-tradisi-banjar-yang-jadi-keunikan-tersendiri-di-bali-006320.

html.

57

Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar (Sekarang). Di Taro inilah

mereka mula-mula perambahan hutan dilakukan. Namun usaha Maharsi

Markandya tidak berhasil oleh karena banyak diantara pengikut Maharsi

Markandya menderita sakit, diserang binatang-binatang buas, dan

diantara pengikutnya meninggal dunia.

Kegagalan Maharsi Markandya bersama pengiringnya tidak

menjadikannya berputus asa. Maharsi Markandya kembali melakukan

upacara ritual (Bertapa) di Gunung Raung hingga beberapa waktu

lamanya dan kemudian berangkat lagi ke Bali bersama para pengikutnya

yang masih hidup. *Namun kedatangan yang kedua kalinya di Bali ini,

Maharsi Markandya terlebih dahulu melakukan upacara ritual Hindu yang

dinamakan Bhuta Yadnya. Beliau menanamkan lima jenis logam

pelengkap upakara yadnya, pada suatu tempat di kaki Gunung Agung,

sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih. Setelah selesai

Bhuta Yadnya, beliau beserta pengiringnya menuju Taro, yang kemudian

pekerjaan perambasan hutan dilanjutkan kembali. Alhasil, pembukaan

hutan berjalan dengan baik, yang selanjutnya beliau melakukan

pembagian lahan garapan dan pemukiman kepada pengikutnya. Tempat

beliau mengadakan pembagian tanah itu sekarang dikenal dengan

nama Desa Puakan, yang terletak di sebelah utara Desa Taro. Menurut

cerita masyarakat setempat, nama Desa Puakan berasal dari kata Piakan,

yang artinya pembagian.

Pada perkembangan sejarahnya, keturunan dari para pengikut

Maharsi Markandya ini, menyebarluaskan ke tempat-tempat pemukiman

baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang baru didirikannya.

Perluasan tempat tinggal baru (Pemukiman) antara lain : Desa

Pelaga, Desa Trunyan, Desa Batur, Desa Beratan, Desa Cempaga, Desa

Sembiran, Desa Gobleg, Desa Tigawasa, dan masih banyak lagi

perluasannya yang hampir semuanya terletak di daerah pegunungan.

Maharsi Markandya seorang penganut ajaran Hindu. Sebagai

seorang Pendeta, beliau dikenal kesucian dan kebijaksanaannya.

Dikalangan umat Hindu, beliau juga diperkirakan sebagai pencipta sistem

pengairan disawah, sekarang dikenal dengan nama "Subak".

Pada garis besarnya, cerita diatas dianggap sebagai awal asal-usul

satu bukti yang mendukung sejarah Banjar di Bali.”

III. 4 Fungsi Banjar

Dilihat dari segi fungsi, Banjar itu memiliki dua bentuk fungsi. Pertama

berfungsi sebagai Banjar Dinas yang dikepalai oleh seorang Kelian Dinas, dan

langsung berada dibawah struktur Desa dinas. Kedua berfungsi sebagai Banjar Adat

58

(Banjar Suka Duka), yang dikepalai oleh seorang Prajuru Banjar Adat, dan berada

dibawah struktur Desa Adat.10

Kedua-duanya mempunyai fungsi dimensi

kebermanfaatannya masing-masing berdasarkan regulasi-regulasi yang telah

ditetapkan sebagai aturan melalui peraturan pemerintah Bali.11

Berikut ini penulis

akan menjelaskan secara singkat keberadaan, peranan dan fungsi kedua bentuk Banjar

tersebut.

III. 4.1 Banjar Dinas

Banjar dinas ini merupakan satuan kerja yang bertugas dalam

menjalankan fungsi administratif yang berkaitan dengan pemerintah. Banjar

dinas ini berfungsi dalam mengurus surat-surat administrasi seperti membuat

Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Kipem (Kartu Identitas Penduduk

Musiman/Pendatang), urusan pendaftaran anak sekolah di tingkat sekolah

dasar, posyandu, dan urusan perhelatan pesta demokrasi bangsa, yakni dalam

hal ini pemungutan suara untuk pilkada ataupun pilpres di Banjar Dinas

setempat.12

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kelian dinas Banjar

Pegending, penulis mendapatkan penjelasan berikut ini:

Secara formal, setiap Banjar memiliki kedudukan strategis

termasuk Banjar kita di sini, sebagai gambarannya contoh

Tityang (saya) yang saat ini menjabat sebagai Kelian Dinas

Banjar Pegending masuk dalam struktur organisasi

10 Gubernur Bali, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat

Di Bali, Bab VI, Pasal 39.

11

..... mengenal-tradisi-banjar-yang-jadi-keunikan-tersendiri-di-bali

12

Nyoman Utari Vipriyanti, Banjar Adat and Local Wisdom:..., 4

59

pemerintahan desa Dalung. Posisi tersebut, bukan lagi sebagai

kedudukan untuk main-main, di sini saya harus betul-betul

memperhatikan warga Banjar Pegending, agar semuanya

terlayani dan mendapatkan pengayoman yang merata. Dalam

posisi ini tentunya saya harus berfungsi sebagai salah satu alat

pelaksana program-program pemerintah desa yang harus

direalisasikan kepada masyarakat di Banjar ini. Sebagai

contoh beberapa program pemerintah desa yang harus saya

teruskan di Banjar ini misalkan adanya kegiatan PKK yang

fokus pada urusan KB, layanan kesehatan untuk pencegahan

HIV/AIDS, papsmeer untuk pencegahan kanker mulut rahim

dan kesehatan alat reproduksi kaum wanita, program

kebersihan lingkungan hidup dalam hal memerangi sampah

plastik, program pembinaan dan pendampingan Seka teruna-

teruni (kelompok pemuda-pemudi) Banjar dalam hal

pencegahan kenakalan remaja dan pemakaian obat-obatan

terlarang (Miras, Narkoba dan seks bebas).13

Berdasarkan penjelasan di atas, salah satu tugas utama seorang

Kelian Dinas adalah memprioritaskan pelaksanaan tugas pokok dalam

merealisasikan setiap program pemerintah desa bagi kesejahteraan segenap

masyarakat di Banjar secara merata dan adil.

III. 4.2 Banjar Adat

Banjar adat merupakan satuan yang secara khusus menjalankan

fungsinya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat. Mengatur

adanya beragam tradisi budaya/pertunjukan tradisional khas Bali yang dalam

pengadaannya bertujuan sebagai ritual. Keberadaan Banjar adat ini juga

merupakan upaya untuk menjaga nilai kekeluargaan di dalam masyarakat.

Itulah sebabnya, dalam setiap aktivitas Banjar adat, masyarakat didorong

13 I Ketut Susila, (Klien Dinas Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 21 Agustus

2019, pada pukul 16.00 Wita, di Banjar Pegending, tahun 2018.

60

untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Setiap warga yang tergabung

dalam Banjar adat, memiliki tanggung jawab moral untuk hidup saling

tolong-menolong dan bergotong royong.14

Saat berkesempatan mewawancarai salah satu mantan Kelihan

Banjar Pegending, penulis memperoleh penjelasan singkat sebagai berikut:

Warga Banjar yang tercatat sebagai anggota suka duka di sini

(di Banjar Pegending) wajib hukumnya ikut ambil bagian

dalam setiap kegiatan Banjar, terutama setiap kegiatan yang

berhubungan langsung dengan acara suka duka seperti: dalam

hal upacara atau untuk urusan perkawinan (ini dikategorikan

sukanya), dan urusan kedukaan atau kematian (ini

dikategorikan dukanya). Kedua-duanya diatur sedemikian

rupa oleh pengurus Banjar Pegending dalam memberikan

arah-arahan sedetil-detilnya dan itu semua wajib diikuti oleh

setiap anggota Banjar.15

Senada dengan itu, pada kesempatan yang sama penulis juga sempat

mewawancarai salah satu pengurus Banjar Pegending (Bendahara), berkenaan

dengan hak-hak warga suka duka selama warga tersebut menjadi bagian dari

keanggotaan suka duka Banjar Pegending; dalam kesempatan tersebut penulis

mendapat penjelasan bahwa:

Hak-hak setiap warga Banjar telah diatur secara jelas dan

tepat guna dalam peraturan Banjar di sini, sehingga tidak ada

warga Banjar yang merasa terbebani. Hak-hak warga suka

duka diantaranya: Setiap warga berhak mendapatkan

pelayanan administrasi dan sosial lainnya; Anggota Banjar

berhak menggunakan balai Banjar dan perlengkapannya;

Anggota Banjar boleh meminjam uang Banjar; Anggota

14 I Ketut Meniarta, Wawan Mas‟udi, AAGN Ari Dwipayana, “Dinamika Sistem

Kesejahteraan dan Modal Sosial di Masyarakat Banjar Pakraman-Bali”, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Volume 13 Nomor 2, (November 2009), 231-248

15

I Nyoman Mudra (67 Tahun), Mantan Kelian Dinas Banjar Pegending (1987-2001) dan

menjadi tokoh Masyarakat Banjar Pegending, “hasil wawancara” di kediamannya, pada tanggal 20

Agustus 2019, pukul 11.00 Wita.

61

Banjar berhak menyampaikan pendapat, usul dan saran dalam

setiap rapat yang diselenggarakan (Buda Manis); Anggota

Banjar berhak mendapatkan perlindungan Banjar; Anggota

Banjar berhak untuk dipilih dan memilih sebagai Pengurus

Banjar, bahkan berhak mencalonkan diri sebagai calon kepala

Desa terutama pada tahapan seleksi awal di tingkat Banjar.16

III. 5 Dinamika Sosial

Satu hal yang tak terhindarkan bagi kita dalam realitas sosial sekarang ini

adalah bahwa fakta sosial bagi masyarakat plural itu bukanlah sesuatu yang baru

muncul di saat ini. Realitas ini merupakan sebuah fakta sosial yang sudah terjadi dari

abad-abad sebelumnya. Hidup dalam konteks sosial yang beragam, tentu akan

memungkinkan setiap individu dan komunitas tertentu berjumpa dan berinteraksi

secara langsung dengan individu dan komunitas lain yang berbeda, termasuk dalam

hal ini bagi keberagaman agama.

Dinamika perjumpaan Hindu, Islam dan Kristen di Banjar Pegending,

dengan sendirinya telah membuka kesempatan berharga bagi ketiga komunitas agama

yang berbeda itu untuk berinteraksi dan menciptakan relasi yang harmonis

sebagaimana yang diharapkan bersama. Dinamika perjumpaan antara umat Hindu,

Islam dan Kristen di Banjar Pegending, lebih banyak dipraktikkan dalam bentuk

perjumpaan dialog karya.

Saat berkesempatan mewawancarai salah satu tokoh mula-mula warga umat

Katolik, Bapak Paulus I Nyoman Susila (77 tahun), ia menuturkan bahwa:

Saya harus akui, Banjar ini bukanlah Banjar yang terlalu ngotot

(otoriter) bahwa adanya „persaingan‟ antarindividu dalam hal strata

sosial dan tingkat ekonomi keluarga yang sedikit lebih menonjol,

16 I Made Sunaka, (Bendahara Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 20 Agustus

2019, pukul 12.00 Wita di Banjar Pegending.

62

bagi saya itu adalah sesuatu yang wajar. Namun, salah satu

kekuatan sosial yang kami miliki di Banjar ini adalah saling peduli.

Artinya, ketika ada salah satu saudara kami yang mengalami

musibah, kami tentu harus cepat tanggap. Harus ada rasa tanggung

jawab moral untuk segera membantunya. Solusinya adalah segera

mengeksekusi dalam tindakan nyata apa yang pantas kita bantu.

Pengurus Banjar mengadakan rapat terbatas, kemudian memberikan

arahan, ada pertimbangan dari beberapa orangtua/tokoh-tokoh

Banjar yang dianggap mampu berkontribusi pemikirannya, secara

spontanitas kami langsung turun tangan untuk membantu saudara

kami yang pantas mendapatkan pertolongan. Biasanya itu dalam hal

bedah rumah. Dalam kondisi semacam ini, tentu kami tidak melihat

apa latar belakang agamanya. Apapun agamanya, yang

bersangkutan harus dibantu. Dalam hal ini yang didahulukan adalah

nilai-nilai kekerabatan dan kemanusiaan; itulah yang menjadi skala

prioritas kami.17

Kepekaan sebagai kerabat dan kepedulian sebagai makhluk sosial yang

saling bergantung menjadi alasan penting dalam menjalankan fungsi dialog karya

bagi masyarakat Pegending. Nilai-nilai sosial semacam ini, dikatakan merupakan

salah satu warisan pendahulu warga Pegending. Hal itu harus dilestarikan dan

dipertahankan sebagai salah satu nilai pemersatu yang mengikat dalam relasi sosial di

Banjar Pegending. Arus perubahan zaman boleh terus berlangsung, akan tetapi

semangat kepedulian sebagai kerabat yang memiliki prinsip hidup orang bersaudara,

menyama braya tidak boleh hilang.

Kesempatan berharga, penulis juga sempat mewawancarai Ketua DPRD

Kabupaten Badung di kediaman beliau di Banjar Kwanji, Dalung. Dalam

penuturannya beliau menjelaskan dinamika sosial warga Dalung dan sekitarnya

termasuk dinamika sosial di Banjar Pegending:

“Sejauh ini, persoalan relasi agama-agama di Dalung dan secara

17 Paulus I Nyoman Susila, tokoh mula-mula warga umat Katolik, hasil wawancara pada

tanggal 22 Agustus 2019, pukul 10.00 Wita, di Banjar Pegending.

63

khusus di Banjar Pegending, menurut saya masih sangat kondusif

dan sangat mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, “menyama

braya” sebagai pengikat, penyemangat dan penyejuk relasi

antaragama. Dinamikanya ya, menurut hemat saya, itu semua masih

sangat dinamis. Posisi kami selaku pemerintahan Kabupaten

Badung, adalah menampung aspirasi, memetakan persoalan dan

kebutuhan prioritas apa yang dibutuhkan warga, melakukan kontrol

ke lapangan, bersinergi dengan aparat pemerintahan Desa hingga

Banjar Dinas, mengefektifkan Babinsa, Polmas, Pecalang dan

terakhir memfasilitasi ketersediaan kebutuhan warga secara adil dan

merata, dengan tetap mengacu pada Perda-perda yang menjadi

regulasi dalam penataan kohesi sosial di Badung ini. Saat ini kita

patut bersyukur karena Pemerintah Kabupaten Badung telah

memfasilitasi masing-masing agama yang ada di Badung ini untuk

menggunakan ruang aula utama dalam penyelenggaraan perayaan

hari raya agamanya masing-masing. Contoh, umat Kristiani

sekabupaten Badung setiap tahun dalam merayakan natal, umat

Islam dalam merayakan Idul Fitri dan Umat Hindu saat Galungan,

dan tentunya bagi umat Budha, Konghucu semuanya kita

fasilitasi.”18

Dinamika sosial berarti bahwa manusia dan masyarakat selalu mengalami

berkembang perubahan. Masing-masing zaman ada generasinya, masing-masing

generasi ada zamannya. Perubahan itu sendiri pasti selalu ada dalam setiap kelompok

sosial. Ada yang mengalami perubahan secara lambat, maupun mengalami perubahan

secara cepat.19

Pertama perubahan secara lambat (evolusi) membutuhkan waktu yang cukup

lama dan biasanya melalui rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan

lambat.20

Perubahan ini terjadi dengan sendirinya tanpa kehendak atau rencana

18 I Putu Parwata, Ketua DPRD Kabupaten Badung, hasil wawancara pada tanggal 24

Agustus 2019, pukul 09.00 Wita, di Banjar Kwanji.

19

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2006), 146

20

Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Bandung: Bina

Cipta,1985), 34.

64

tertentu. Masyarakat hanya berusaha dan menyesuaikan dengan keperluan, kondisi

dan keadaan baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat.

Perubahan ini terjadi melalui tahapan-tahapan dari yang sederhana menjadi

maju. Misalnya sebagian besar kehidupan masyarakat Banjar Pegending, ada yang

mengalami perubahan secara lambat, terutama dalam hal tempat tinggal dan mata

pencaharian hidup. Sampai saat ini masyarakat Banjar Pegending masih ada yang

menjalankan aktivitas lamanya, sebagai petani dan pedagang untuk memenuhi

kebutuhan hidup mereka.

I Nyoman Mudra menyatakan, lahan garapan yang ada sekarang ini

memang sudah mulai banyak berkurang sebagai akibat dari

berkembangnya pembangunan. Banyak warga menjual lahan-lahan

garapannya untuk dijadikan modal usaha baru baik itu berupa toko

sembako, penginapan, restoran, villa dan modal usaha ke Kapal

Pesiar. Namun sebagian masih ada yang tetap mempertahankan

lahannya sebagai bagian dari kegiatan sehari-hari saat musim taman

dan panen. Anak-anak muda sekarang tidak ada yang bisa garap

sawah, mereka sudah mempunyai dunia usaha yang lain dan maju

sesuai jamannya. Sementara itu, kami para orangtua yang masih

memiliki sisa-sisa kekuatan, karena hanya dengan bertani saja kami

tahu, maka lahan-lahan garapan yang masih ada, itulah yang

menjadi pekerjaan kami.

Kedua, perubahan secara cepat (revolusi), adalah perubahan yang

berlangsung secara cepat serta tidak ada kehendak atau perencanaan terlebih dahulu.

Secara sosiologis perubahan revolusi ini disebut sebagai perubahan-perubahan sosial

mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang

berjalan cukup cepat.21

Perubahan ini biasanya diawali dengan gejolak atau

ketegangan dalam masyarakat. Perubahan semacam ini secara umum oleh karena

berubahnya sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, hubungan

21 Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, 28.

65

antarmanusia, politik, dan sistem kekeluargaan. Hasil wawancara dengan Kelian

Dinas Banjar Pegending:

“Sikap yang ditunjukkan oleh saudara-saudara kami yang ada di

Perumahan Pegending, awalnya sedikit terjadi gejolak. Padahal

tujuan kami selaku pengurus Banjar perlu mengatur semua hal yang

berurusan dengan dinamikan sosial di sini. Maksudnya, apakah

mereka (warga BTN Pegending) tetap memilih untuk „mebanjar‟ di

sini atau hanya berdinas saja? ini biar jelas, dan harus diatur agar

tetap tertib. Kami tidak mau kecolongan, nanti kalau ada apa-apa

supaya kita tidak ribut antara satu dengan yang lainnya. Misalkan

untuk urusan dukanya saja, aturan kami di sini sudah jelas dan

pakem: bahwa setiap warga yang statusnya anggota suka duka dan

berdomisili tetap di wilayah Banjar Pegending ketika mengalami

kedukaan, boleh dikubur di tanah kuburan Banjar Pegending; dan

segala sesuatunya akan diatur dan selesaikan oleh Banjar, kecuali

bagian ritual keagamaannya kami serahkan sepenuhnya kepada

pimpinan umatnya masing-masing. Kemudian dalam hal status

„mebanjar‟ dan tidaknya seseorang. Hal itu bebas, sikap kami

sifatnya tidak memaksakan kehendak. Akan tetapi aturan di Banjar

ini sudah jelas, bahwa setiap orang yang berdomisili di wilayah

Banjar Pegending wajib melaporkan diri ke pihak pengurus Banjar

dan akan ditertibkan data administrasinya berupa penerbitan

KIPEM (KTP domisili sementara).22

Penjelasan di atas, menggambarkan bahwa sempat adanya indikasi gejolak

dari masyarakat pendatang. Ada yang merasa bahwa ia telah memiliki Kartu Tanda

Penduduk (KTP) yang berlaku secara nasional, mengapa harus diwajibkan dengan

Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM). Namun setelah dibicarakan secara

baik, masyarakat BTN Pegending dapat menerima dan tidak membebani mereka

dalam hal suka duka ganda.

Dinamika sosial dapat dipahami sebagai suatu kondisi dimana adanya suatu

komunitas sosial yang hidup teratur mulai dari interaksi antarindividu, dimana

22 I Ketut Susila, Kelian Banjar Pegending, hasil wawancara pada tanggal 22 Agustus 2019,

pukul 10.00 Wita, di Kantor Perbekel Desa Dalung.

66

mereka mempunyai hubungan relasional yang mapan.23

Demikian juga dalam

keadaan tertekan masyarakat akan bersatu dalam menghadapinya, walaupun sebagian

besar anggota masyarakat tersebut mempunyai pandangan dan agama yang berbeda

satu sama lain.24

Berkesempatan mewawancarai Pendeta Jemaat Gereja Kristen

Protestan Bali Pegending, Pdt. Suartini ia menuturkan:

“Sebagai pelayan jemaat yang baru saja pindah dan ditugaskan di

Pegending ini, saya melihat dan merasakan kohesi sosial dan

prinsip menyama braya yang terbangun di masyarakat Banjar ini

sungguh sangat terasa hangat sebagaimana layaknya kehangatan

keluarga sendiri. Saya sendiri memahami bahwa menyama braya

itu, tidak hanya sekadar menuturkannya saja, tetapi betul-betul hal

itu terejawantahkan dalam realitas bermasyarakat, itu juga yang

saya dapat rasakan di Banjar ini. Mereka tidak hanya sekadar bicara

bahwa kita menyama, tetapi tindakan menyamanya itu selalu

menjadi satu paket dalam tindakan konkrit. Mungkin juga karena

jemaat yang saya pimpim ini merukapan satu jemaat yang

mayoritas warga menyama dengan umat Hindu dan juga sebagian

beberapa dengan umat Islam, sehingga relasi yang terbangun

sedemikian rukunnya tanpa harus saling bergejolak. Bersaudara itu,

tidak identik dengan sedarah bukan? Tetapi bagaimana rasa saling

peduli itu dibangun atas dasar solidaritas yang tinggi, adanya

tanggung jawab bersama, dan kesadaran moral untuk saling bantu

membantu, tolong menolong satu dengan yang lainnya, tanpa harus

melihat latar belakang agamanya apa, sukunya apa, dan sebagainya.

Hal ini harus terus menjadi kekuatan kita sebagai warga di Banjar

Pegending ini. Saya pikir semua komponen masyarakat di sini

sepakat dengan saya untuk saling menjaga kohesi sosial yang solid

dan berkerabat ini.”25

Melalui pemahaman semacam ini maka dinamika yang dimaksudkan adalah

dinamika dari realitas perjumpaan ketiga komunitas agama di Banjar Pegending,

yang mengikat diri dalam satu ikatan sosial dan nilai-nilai kekerabatan yang kuat

23 Santosa, Slamet, Dinamika Kelompok, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 5

24

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2006), 147

25

Hasil wawancara dengan I Luh Suartini, pendeta jemaat GKPB Gabriel Pegending, 25

Agustus 2019, pukul 09.00 Wita, di Pastori GKPB Gabriel Pegending.

67

tanpa harus menimbulkan gejolak sosial yang merugikan semua pihak.

III. 6 Gambaran Umum Banjar Pegending

Gambaran umum dari riwayat ini dimulai kurang lebih sekitar tahun 1963

yakni berkenaan dengan peristiwa meletusnya gunung api yakni Gunung Agung di

Bali, yang berdampak luas terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang sangat krisis.

Diawali dari satu KK (I Wayan Daweg) secara diam-diam masuk menjadi seorang

Kristen. Perkembangan kekristenan di Banjar ini sejak tahun 1966 s.d. 1972 justru

semakin meningkat. Peningkatan itu, tentu merupakan upaya seorang tenaga Pekabar

Injil dan juga peran dari Majelis Jemaat Padang Tawang, yang secara rutin

memberikan pemahaman Injil di beberapa perjumpaan yang diadakan di sawah-

sawah. Hal itu semata-mata untuk menghindari pergesekan antarwarga yang

merupakan agama mayoritas (Hindu).

Barulah pada tanggal 15 April 1065 pada momentum hari raya gerejawi

(Hari Raya Paskah) sekitar 9 Kepala Keluarga di Banjar Pegending dibaptis menjadi

Kristen. Setelah peristiwa G30-S PKI, situasi sosial belum kondusif dan masih

mengalami gejolak sosial yang cukup menakutkan. Dugaan terhadap beberapa

keluarga yang dicurigai terlibat dalam peristiwa G30-S PKI tentu masih menjadi

target untuk disingkirkan.

Warga Kristen mula-mula di Banjar Pegending, merupakan kelompok warga

dampingan/asuhan rohani dari Jemaat Padang Tawang. Melihat perkembangan umat

Kristen yang cukup signifikan di Banjar ini, maka pada tahun 1968 Majelis Jemaat

Padang Tawang berkeinginan menjadikan Banjar Pegending itu sebagai POS PI yang

68

layak dikembangkan hingga kelak menjadi jemaat mandiri. Dan rupanya usaha

tersebut secara konsisten terealisasi dengan baik.

Saat-saat umat Kristen di Banjar Pegending sedang mengalami

perkembangan yang cukup pesat, justru pada tahun 1969 Sinode GKPB

memperlopori program pemerintah Bali untuk mengadakan program transmigrasi ke

Sulawesi. Program tersebut cukup menjanjikan berbagai fasilitas dan kemudahan bagi

warga yang berminat, mengakibatkan banyak KK umat Kristen Banjar Pegending

yang memilih bertransmigrasi ke Sulawesi (15 KK). Dampak dari itu, menyebabkan

jumlah umat Kristen di Banjar Pegending yang semula sudah merupakan separuh dari

warga Banjar menurun drastis. Tanah-tanah garapan dan lahan pekarangan banyak

yang dijual, tetapi ada juga sebagian yang mempertahankan. Termasuk tanah lokasi

gereja saat ini merupakan tanah yang jual oleh salah satu warga Kristen yang ikut

bertransmigrasi ke Sulawesi.

Menelusuri gambaran umum Banjar Pegending ini, penulis sempat

berdiskusi dan mewawancarai salah satu generasi mula-mula umat Kristen, yakni

Bapak I Nyoman Mudra (67 tahun), yang sekaligus merupakan mantan Kelian Banjar

yang cukup lama menjadi Kelian Banjar Pegending sejak tahun 1980 s/d 2001. Di

sela-sela diskusi itu, beliau menuturkan:

“Pada awalnya keadaan Banjar ini sesungguhnya merupakan salah

satu kampung atau wilayah perkampungan yang terisolir. Mengapa

demikian saya katakan, sebab akses jalan untuk memasuki wilayah

Banjar ini tidak ada. Semuanya hanya mengandalkan jalan setapak

dan berlumpur, tidak ada penerangan jalan seperti sekarang ini.

Intinya semua serba sangat terbatas tidak seperti sekarang ini

semuanya sangat dimudahkan fasilitasnya.

Dalam perkembangannya, barulah pada tahun 1980 program

pemerintah yakni listrik masuk desa, pengerjaan jalan raya utama

69

Banjar Pegending ini mulai dikerjakan. Saya selaku petugas dalam

hal ini sebagai Kelian Banjar, langsung aktif terjun ke lapangan

untuk memantau perkembangan pengerjaan program listrik masuk

desa.”26

Banjar Dinas Pegending secara kepemerintahan merupakan salah satu Dusun

kecil dari Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali.

Banjar Pegending dipimpin oleh seorang Kepala Dusun (Kelian Dinas), yakni I Ketut

Susila, untuk masa bakti 2006 s/d 2024. Dalam aturan baru saat ini seorang “Kelien

Dinas” disebut sebagai “Perangkat Desa”. Peranannya sebagai Kelian dinas, ia

dipercayakan juga sebagai Ketua Suka Duka Banjar. Tugas kedinasannya sebagai

Kepala Dusun dijalankan berdasarkan aturan pemerintahan desa dinas. Demikian juga

dalam segala sesuatu urusan adat dijalankan berdasakan aturan adat (awig-awig).

Banjar Pegending, juga disebut sebagai salah satu Banjar Adat Suka Duka,

yang luasnya 1,8 Km2, yang kini dihuni oleh masyarakat yang “berdinas”

27 berjumlah

408 Kepala Keluarga dengan 1.225 jiwa. Dari jumlah tersebut diklasifikasikan lagi

yakni 670 jiwa dari pemeluk agama Hindu; 387 jiwa dari pemeluk agama Kristen;

dan 168 jiwa dari pemeluk agama Islam.28

Banjar Pegending juga masih memiliki lahan-lahan potensial sebagai lahan

garapan di bidang pertanian. Lahan garapan untuk pertanian ini secara kuantitas

sudah tidak sebanyak dahulu sebelum perkembangan arus modernisasi dan industri

dunia pariwisata yang cukup pesat perkembangannya. Keberadaan lahan-lahan yang

26 I Nyoman Mudra, hasil wawancara pada tanggal 12 Agustus 2019, pukul 11.00 Wita di

kediamannya di Banjar Pegending.

27

“Berdinas” berarti data warga yang bersumber dari data dinas kependudukan pemerintahan

Desa. Artinya berbeda dengan data masyarakat yang “mebanjar” (bersuka duka) menurut data rukun

suka duka masing-masing banjar setempat.

28

Hasil wawancara dengan Bapak I Ketut Susila, (Klien Dinas Banjar Pegending), pada

tanggal 27 Agustus 2019, berdasarkan data statistik, banjar dinas Pegending, tahun 2018.

70

dimaksudkan itu kebanyakan yang pada akhirnya beralih fungsi dari lahan hijau

menjadi lahan perumahan atau pemukiman masyarakat diaspora maupun

pengembangan usaha perumahan yang berada di sekitar wilayah Banjar itu sendiri.

Potensi lain yang juga cukup pesat di wilayah Banjar Pegending ini adalah

antara lain di usaha di bidang property, Penginapan (Villa), Usaha Perjalanan Wisata,

Cafe & Restoran, Usaha Dagang, Peternakan dan Trainning Centre atau pusat

pelatihan tenaga kerja untuk Kapal Pesiar.

III. 6.1 Letak Geografis

Banjar Pegending termasuk salah satu Banjar yang tidak terlalu luas

wilayahnya. Wilayah Banjar Pegending untuk saat ini termasuk salah satu Dusun atau

wilayah yang cukup dekat dengan beberapa destinasi daerah Wisata, seperti Tanah

Lot, Pantai Batu Bolong Canggu, Taman Kupu-Kupu, Kuta dan Legian. Sebagian

besar wilayah Banjar Pegending ini terletak pada dataran rendah dengan batas-

batasnya sebagai berikut:

Sebelah Utara : Banjar Tuka

Sebelah Barat : Banjar Padang Tawang, Banjar Babakan

Sebelah Selatan : Banjar Kulibul, Banjar Tibubeneng

Sebelah Timur : Banjar Pengilian

71

III. 6.2 Keagamaan

Agama yang dianut oleh masyarakat Banjar Pegending adalah agama Hindu,

Islam dan Kristen. Sekalipun ada 6 agama resmi yang diakui di negara Indonesia,

akan tetapi masyarakat di satu Banjar ini, hanya didominasi oleh ketiga agama resmi

tersebut (Hindu, Islam dan Kristen). Pada kesempatan mewawancarai Rohaniawan

Umat Katholik, Romo Yohanes Martanto, Pr., beliau menyatakan:

“Saya berharap ke depan Banjar Pegending ini bisa menjadi salah satu

Kampung/Banjar percontohan di Bali yang menjunjung tinggi nilai-

nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Bali. Satu hal

72

yang mungkin penting untuk diperhatikan adalah peran dan kehadiran

pemerintah dalam memfasilitasi kerukunan umat beragama yang ada

di Banjar ini. Artinya, sudahkah benar-benar pemerintah maksimal

dalam mensosialisasikan program-program kerjanya untuk memerangi

gerakan radikalisme, intoleransi dan terorisme. Kita tidak boleh

terlena dalam zona nyaman kita di Bali. Bali ini secara umum tentulah

belum bisa dikatakan aman. Bali masih tetap menjadi target bagi

gerakan-gerakan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.

Itulah sebabnya, usul konkrit saya, sebagai umat beragama yang yang

berakhlak mulia, mungkin baik jika kita adakan kegiatan natal

bersama umat Kristen di Desa Dalung, dengan mengambil tempat di

Kantor Desa Dalung, semua Banjar turut berpartisipasi mengambil

bagian dalam kegiatan bersama ini. Kemudian berkenaan dengan

saudara-saudara para umat muslim di Perumahan Pegending, mari kita

duduk bersama dengan para tokoh umat dan tokoh masyarakat untuk

menyamakan persepsi apakah saudara-saudara kita umat Muslim ini

sudah bisa difasilitasi dengan Musolah kecil di kompleks Perumahan

Pegending? Tentunya dengan mengacu pada aturan-aturan yang sudah

ada dari pemerintah daerah dan pusat. Sejauh itu sudah memenuhi

persyaratannya, saya pikir tidak ada alasan lagi bagi kita untuk

menghalang-halangi pengadaan Musolah bagi umat Muslim yang

berdomisili di Perumhan Pegending. 29

Fasilitas rumah ibadah yang ada di Banjar Pegending hingga saat ini terdapat

tiga Pura, dua Gereja dan sementara Mesjid/Musolah/Langgar belum ada. Untuk

memenuhi kebutuhan fasilitas peribadatan umat Muslim dalam menunaikan

ibadahnya, untuk sementara mereka beribadah di Musolah terdekat, yakni di Banjar

Tuka sebagai Banjar terdekat dari Perumahan Pegending.

Kenyataan tersebut, tentu bukanlah sebagai sesuatu yang disengajakan untuk

menghambat kerukunan umat beragama di Banjar Pegending. Namun karena adanya

kesadaran moral dari semua pihak dan secara bijaksana tetap memperhatikan

peraturan yang telah ditetapkan sebagai dasar acuan pengambilan keputusan oleh

pemerintah daerah, maka atas dasar aturan tersebut semua pihak yang berkepentingan

29 Hasil wawncara dengan Romo Yohanes Martanto, Pr., di Banjar Pegending pada tanggal 01

September 2019.

73

dapat saling menerima dan menghargai. Aturan tersebut tetap diberlakukan secara

konsisten, yakni SKB 2 Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama:

“Pada dasarnya, hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Bersama

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8

Tahun 2006… Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala

Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan

Pendirian Rumah Ibadah (“Peraturan Bersama 2 Menteri”). Pendirian

rumah ibadah perlu memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan

teknis bangunan gedung. Ia juga harus memenuhi persyaratan khusus,

antara lain:

1. Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90

orang yang disahkan oleh pejabat setempat;

2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang

disahkan oleh lurah/kepala desa;

3. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama

kabupaten/kota; dan

4. Rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama

kabupaten/kota.

Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan kepada

bupati/walikota untuk memperoleh IMB. Panitia pembangunan dibentuk

oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadah

terkait. Setelah itu, kepala pemerintah setempat akan memberikan

keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan diajukan oleh

panitia.”30

Berdasarkan aturan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa tidak

mudah untuk mendirikan sebuah rumah ibadah karena harus sesuai ketentuan dan

harus ada persetujuan dari masyarakat setempat. Masyarakat Banjar Pegending pada

umumnya didominasi oleh penganut agama Hindu, dapat dibuktikan dengan jumlah

sarana tempat ibadah yang terdapat di Banjar ini. Jumlah tempat ibadah berdasarkan

jenisnya yang ada di Banjar Pegending dapat dilihat pada daftar tabel di bawah ini.

30 Elang ML, Rumah Ibadah, Persekusi, dan Regulasi di Indonesia,

https://www.kompasiana.com/, diakses pada tanggal 23 September 2019, pukul 19.15 Wib,

https://www.kompasiana.com/elangml/5c72d827677ffb 741a560974/rumah-ibadah-presekusi-dan-

regulasi-di-indonesia?page=all, 2016.

74

Tabel: 01. Daftar Rumah Ibadah di Banjar Pegending

No Tempat Ibadah Jumlah

1 Mesjid, Musolah, Langgar -

2

Gereja:

- GKPB Gabriel Pegending

- Stasi Gembala Baik, Paroki Santo Paulus Kulibul

2

3

Pura:

- Pura Majapahit

- Pura Batan Buah

- Pura Ulun Desa

3

Data: Stambook Banjar Pegending

III. 6.3 Kependudukan

Pembagian penduduk di Banjar Pegending dari 294 KK untuk dinasnya akan

dibagi berdasarkan jenis kelamin adalah terdiri atas laki-laki sebanyak 593 jiwa dan

jumlah perempuan sebanyak 632 jiwa yang terbagi dalam 2 lingkungan (Tempekan)

yaitu Lingkungan Banjar Pegending dan Perumahan Pegending.

Tabel: 02 Jumlah Penduduk Banjar Pegending

No Banjar

Kedinasan Agama

Jenis Kelamin

L P Jml

1 Dinas Hindu 326 344 670

2 Dinas Kristen 180 207 387

3 Dinas Islam 87 81 168

1.225

Sumber data: Kantor Desa Dalung tahun 2018

III. 6.4 Keadaan Demografis

Secara demografi, prosentase antara masyarakat asli Banjar Pegending

dengan masyarakat pendatang cukup berimbang. Penduduk Banjar Pegending

sebagian besar merupakan warga yang menetap di sepanjang jalan raya utama Banjar

Pegending yang juga merupakan warga suka duka. Sementara sebagiannya lagi

75

merupakan warga pendatang yang berdomisili di Perumahan Pegending dalam kurun

waktu tertentu untuk kepentingan pekerjaan. Penduduk asli Banjar Pegending juga

mayoritas merupakan warga yang memiliki ikatan kekerabatan, terutama antara

warga yang beragama Hindu dengan Kristen.

Jika ditinjau dari kondisi alam/wilayah daratan Banjar Pegending, sejak

dahulu (sekitar tahun 1960-an) sebagian besar merupakan daerah persawahan.

Namun, sangat berbeda kondisi sekarang ini, dengan semakin majunya industri

pariwisata Bali, maka dampak kemajuan tersebut ikut mempengaruhi yakni dengan

semakin berkurangnya lahan persawahan.

Dampak yang paling mendominan dari realitas tersebut adalah menjamurnya

infrastruktur berupa bangunan-bangunan rumah tinggal dan lahan-lahan garapan yang

beralih fungsi menjadi penginapan (Villa), pertokoan dan usaha kuliner yang semakin

padat. Dipihak lain, wilayah Banjar Pegending merupakan jalur alternatif bagi arus

lalulintas yang dari luar wilayah Pegending, seperti sebagian besar masyarakat dari

wilayah Kabupaten Tabanan yang bekerja di daerah Kuta Selatan dan Kota Madya

Denpasar, pasti untuk menghemat waktu perjalanan akan melintasi jalan utama

Banjar Pegending menuju ke daerah-daerah berbasis industri wisata seperti Canggu,

Tanah Lot, Kuta, Legian, Nusa Dua dan sekitarnya.

III. 6.5 Keadaan Sosial Ekonomi

Kegiatan perekonomian bagi masyarakat Pegending menjadi hal yang tak

terhindarkan, sehingga aktivitas sosial sehari-hari menuntut mereka untuk

memanfaatkan semua peluang dan waktu secara efektif untuk kerja demi pemenuhan

76

kebutuhan hidupnya. Persoalan utama yang sering dihadapi oleh manusia sebagai

sebuah kenyataan adalah bahwa kebutuhan primer manusia sangat tak terbatas jumlah

yang harus dipenuhi secara berkelanjutan dari generasi ke generasi.

Keadaan perekonomian masyarakat Banjar Pegending sebagian besar sangat

bervariatif. Sebagian masih ada yang bergantung pada alam sebagai petani dan

beternak, sebagian lagi berprofesi sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta yang

berkecimpung kantor pemerintahan dan dunia industri wisata. Sebagai petani rata-rata

adalah masyarakat asli Pegending, sedangkan yang berprofesi sebagai pegawai negeri

dan swasta didominasi oleh masyarakat pendatang.

III. 6.6 Pendidikan

Masyarakat Banjar Pegending, rata-rata memiliki strata pendidikan yang

sangat bervariasi, yakni mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah

Pertama, Sekolah Menengah Atas, Diploma maupun Sarjana. Betapapun kebutuhan

pendidikan itu dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting, namun untuk fasilitas

pendidikan berupa gedung sekolah yang dimaksudkan itu tidak harus ada di Banjar

Pegending. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan formal bagi masyarakat Banjar

Pegending, sebagian besar bersekolah di luar Banjar Pegending, seperi di Banjar Tuka

untuk jenjang PAUD/TK & SD, di Banjar Padang Tawang untuk jenjang SMP, di

Banjar Untal-Untal untuk jenjang SMP, di Banjar Tegal Jaya untuk jenjang SMK &

Perguruan Tinggi, bahkan ada yang bersekolah sampai ke wilayah Kodya Denpasar

dan Nusa Dua untuk jenjang SMA s/d Perguruan Tinggi.

77

III. 7 Bentuk Perjumpaan Masyarakat Banjar Pegending.

Melalui penelitian ini, penulis akan menjabarkan beberapa bentuk interaksi

sosial warga Pegending, yang sekaligus juga dianggap sebagai bentuk ikatan sosial

dan kerukunan yang terjadi dalam keseharian hidupannya. Selanjutnya untuk

memudahkan penulis dalam membahas mengenai bentuk-bentuk interaksi sosial

antarumat beragama, penulis membaginya dalam beberapa bentuk.

III. 7.1 Dialog Aksi

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa

interaksi sosial, tak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang secara

badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok

sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang atau

kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya demi tercapainya

tujuan bersama.

Salah satu cara mempererat relasi antarumat beragama adalah dengan adanya

komukasi yang baik dan dialogis antarsesama (Hindu, Islam maupun umat Kristen).

Interaksi semacam ini akan membuat suasana kerukunan semakin berkualitas dan

kondusif bagi masyarakat itu sendiri. Hasil wawancara dengan Bapak I Nyoman

Mudra mengenai hal tersebut, ia mengatakan bahwa:

“Masyarakat disini sudah sering saling berinteraksi dengan baik, dengan

mengedepankan nilai-nilai sosial terhadap sesama pemeluk agama

begitupun untuk penganut agama lain. Karena itu, kerawanan akan

terjadinya konflik bisa hilang berangsur-angsur seperti pada saat warga

akan melakukan hari raya keagamaan maka dari umat Kristen

memberikan ucapan selamat kepada kami begitupun pada saat umat

Kristen akan mengadakan hari raya keagamaannya maka kami pun

78

memberikan ucapan selamat kepada mereka. Dengan interaksi yang baik

akan terciptanya suasana yang damai dalam lingkungan masyarakat dan

toleransi yang tinggi antar umat beragama”31

Penuturan yang sama juga diungkapkan oleh Bapak I Ketut Murjawan,

mengatakan bahwa:

“Sebetulnya masyarakat di Banjar ini adalah orang-orang yang mudah

bergaul dengan siapa saja. Dan untuk menjaga kerukunan anatarsesama

baik yang Hindu, Islam dan Kristen sebenarnya kunci dari semuanya itu

adalah komunikasi yang baik antarumat beragama. Kuncinya sekali lagi

komunikasi disini harus sifatnya membangun dan tidak saling menista

atau melecehkan umat/pemeluk agama yang lain. Sebab, biasanya

pergesekan antar umat beragama itu terjadi dikarenakan ucapan kita, cara

komunikasi kitalah manusia ini yang nyaris tidak terkontrol. Tutur kata

kitalah yang seringkali “keseleo lidah” (latah) yang memicu terjadinya

perpecahan antarsesama. Misalnya kami saling memberikan arahan yang

baik ketika ada terjadi suatu masalah dalam lingkungan keluarga kerabat,

saling berdiskusi mengenai kehidupan sehari-hari atau diskusi tentang

pekerjaan dan saling mengajak untuk berbuat baik kepada sesama.”32

Berbeda lagi pandangan menurut Bapak I Nyoman Tisna, berkenaan dengan

interaksi sosial di Banjar Pegending ia mengatakan bahwa:

“Masyarakat di Pegending wajib hukumnya untuk saling menghormati,

menghargai dan berinteraksi dengan baik saat mereka saling bertemu

pada suatu acara apa saja, baik saat urusan kematian, urusan adat di

Banjar, perkawinan, maupun pada saat acara keagamaan berlangsung, kita

semua yang berbeda-beda ini harus saling berinteraksi dengan santu. Jika

ada persoalan yang dihadapi, apalagi masalah itu berhubungan dengan

kepercayaan/agama orang lain, tidak boleh mengungkit-ungkit „wilayah‟

kepercayaan mereka. Kita sebagai umat beragama, seharusnya tetap

saling mendukung dalam segala hal, terutama ketika ada pekerjaan Banjar

yang menuntut kita semua harus ikut berpartisipasi didalamnya. Saat

bertemu yang didahulukan adalah sikap dan karakter tiap individu itu

31 I Nyoman Mudra (67 Tahun), Mantan Kelian Dinas Banjar Pegending (1987-2001) dan

menjadi tokoh Masyarakat Banjar Pegending, “hasil wawancara” di kediamannya, pada tanggal 27

Agustus 2019, pukul 18.00 Wita.

32

I Ketut Murjawan (65 tahun), tokoh Kristen masyarakat Banjar Pegending, “hasil

wawancara” di kediamannya, pada tanggal 28 Agustus 2019, pukul 19.00 Wita.

79

seakan-akan tidak ada perbedaan di antara kita, sekalipun kita sadari

bahwa perbedaan”33

Berdasarkan beberapa uraian di atas, menggambarkan bahwa warga

Pegending sangat antusias dalam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan

mengedepankan sikap interaksi sosial yang humanis baik diantara sesama pemeluk

agama Hindu, Kristen maupun terhadap umat Muslim yang sekalipun mereka tidak

“mebanjar” (bersuka duka) di Pegending. Secara substansi dari hasil interview

dengan beberapa informan kunci ini terutama dalam hal interaksi sosial sudah

menunjukkan dinamika perjumpaan ketiga agama yang rukun dan damai. Bentuk-

bentuk relasi yang terlihat melalui cara berkomunikasi antarsesama warga Banjar,

antarumat beragama maupun peran aktif para tokoh-tokoh masyarakat bersama tokoh

agama, sudah mampu didemonstrasikan atau dilakukan sesuai dengan harapan

bersama oleh setiap elemen masyarakat, sehingga kerukunan selalu terjaga dengan

baik dan secara internal mereka dapat menghindari adanya konflik horizontal diantara

umat beragama.

Dalam percakapan ringan ini, penulis sempat mengutip salah satu pengurus

suka-duka Banjar Pegending Bapak I Made Sunaka yang mengatakan:

“semangat perkunjungan (bersilaturrahmi) ke rumah-rumah diantara

beberapa kerabat terdekat yang sering kami lakukan itu, sebenarnya

dilakukan atas dasar kesadaran sendiri dari para orangtua kami dulu,

yang mana bentuk perjumpaan semacam ini sebaiknya dikemas dalam

bentuk arisan keluarga. Cara yang lain adalah membuat pertemuan

keluarga dalam bentuk perayaan ulang tahun salah satu kerabat,

terutama bagi anak-anak kami, sedini mungkin kami tularkan cara-cara

positif ini. Walaupun ada satu atau dua keluarga yang oleh karena

kesibukannya di hotel atau Villa tempat mereka bekerja, tetap ada

33 I Nyoman Tisna (65 tahun), Pemangku Pura Batan Buah (Tengah), “hasil wawancara” di

kediamanmya, pada tanggal 29 Agustus 2019, pukul 10.00 Wita.

80

yang mewakili keluarga tersebut. Demikian pula jika dari keluarga

Hindu mengadakan acara “piodalan” kami yang dari umat lain

terutama Kristen berusaha menyempatkan diri untuk membantu dalam

hal urusan penyediaan konsumsi dan juga turut menyumbangkan

bahan baku sarana upacaranya seperti bunga, janur untuk pembuatan

canang dan lain-lainnya, itu semua kami secara sadar betul berusaha

menjaga agar bentuk perjumpaan seperti itu tidak boleh hilang

sekalipun zaman semakin berubah.34

Sementara pendapat ibu Sri salah satu warga Muslim yang sempat

diwawancarai penulis berkenaan dengan silaturrahmi ini, ia mengatakan:

“Bersilaturrahmi antar kerabat dan warga di Banjar ini sudah lama ada

jauh sebelum kami tinggal di Pegending. Bertemunya kami dengan

kerabat kami di sini sebenarnya itu saat ada urusan keluarga yang

berkaitan dengan acara syukuran, saat ada kerabat yang sedang

mengalami musibah misalnya yang sakit, acara potong gigi, sunatan,

perayaan ulang tahun anak, itu semua sudah wajib kami lakukan. Dan

sebaliknya biasanya tetangga yang lain pun datang mengunjungi kami

apabila keluarga kami pun ada acara khusus dan saat mengalami

musibah, kami saling menguatkan, mendukung, saling terbuka satu

dengan yang lain untuk saling menopang dari pengalaman hidup kami

itu. Anak-anak kami pun perlu mengikuti dan melihat cara kami para

orangtua, agar mereka pun kelak saat dewasa dan berumah tangga,

cara-cara yang positif ini mereka ikuti.35

Beberapa uraian hasil wawancara di atas, menggambarkan bahwa bentuk

perjumpaan warga Banjar Pegending dalam bentuk “silaturrahmi” ini terhadap satu

keluarga dengan keluarga yang lainnya telah menjadi salah satu bentuk ikatan sosial

yang dianggap sangat bermanfaat bagi terjaminnya relasi antar umat beragama di

Banjar Pegending. Interaksi kekerabatan antar tetangga, antar individu, dan

partisipasi keluarga besar dalam perjumpaan kehidupan semacam ini dipandang

cukup efektif untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan warga masyarakat Banjar

34 I Made Sunaka (Pengurus Suka Duka) Banjar Pegending, hasil wawancara dikediaman

mertuanya, pada tanggal 11 Agustus 2019, pukul 16.00 Wita.

35

Ibu Sri, (Warga Muslim), hasil wawancara pada tanggal 24 Agustus 2019, pada pukul 19.00

Wita, di Banjar Pegending, tahun 2018.

81

Pegending itu sendiri. Interkasi kehidupan seperti “silaturrahmi‟ adalah kebutuhan

kami sebagai masyarakat yang cinta damai dan toleransi. Hanya dengan cara-cara

sederhana semacam inilah kami mampu belajar apa itu prinsip hidup orang

bersaudara “menyama braya”.

Tanpa adanya interaksi terbuka semacam ini maka jangan pernah harap akan

adanya masyarakat yang damai dan rukun. Interaksi sosial itu sangat fundamental

dalam membangun sebuah komunitas atau masyarakat setempat. Selain interaksi

sosial dalam bentuk silaturrahmi ini, maka bentuk lain yang turut mendukung adanya

kerukunan umat beragama di Banjar Pegending adalah bekerja sama antar warga

Banjar. Dalam wawancara dengan ibu Yayuk sebagai umat Islam yang bertetangga

dengan orang Kristen ia mengatakan bahwa :

“Sebenarnya siapapun yang menjadi tetangga dengan saya,

sebenarnya kami sekeluarga tidak masalah apalagi harus menolak...

wah jangan deh sampai berpikir begitu. Kita semua inikan saudara.

Jika saya ditanya ingin memilih bertetangga dengan siapa? Saya

akan lebih memilih orang Islam saja. Tetapi apakah dengan begitu

dapat dijamin saya akan jauh lebih nyaman dengan sesama orang

Islam? Belum tentu loh pak. Alasan bahwa orang Islam kami

memiliki kesepahaman dengan kami kemudian bisa hidup tenang,

itu memang betul, tetapi saya selama ini tetap nyaman dan tenang

juga dengan saudara-saudara saya yang Kristen dan Hindu.

Bertetangga dengan orang Kristen komunikasi diantara kami setiap

hari lancar-lancar saja bertegur sapa satu dengan yang lainnya. Kami

sedikit pun tidak ada rasa terganggu walaupun adanya anjing-anjing

peliharaan yang terkadang berisik meskipun tidak membahayakan

tapi kami sudah terbiasa dengan situasi itu.”36

Sedikit berbeda dengan pernyataan dari Bapak Fajar, dari apa yang

disampaikan itu ia mengatakan bahwa:

36 Ibu Yayuk Muliartini, (warga Muslim), hasil wawancara pada tanggal 21 Agustus 2019,

pada pukul 11.00 Wita, di Banjar Pegending, tahun 2018.

82

“Siapapun tetangga kami maka akan diterima dengan baik, dia orang

Hindu atau pun Kristen, dia orangnya jahat atau baik maka akan

kami terima dengan baik pula. Alasan saya itu jelas bahwa ini

merupakan kesempatan yang baik, artinya dengan bertetangga

dengan orang yang berbeda agama maka ada kesempatan untuk

bertukar pikiran membicarakan tentang keyakinan mereka,

kemudian ada juga kesempatan untuk menjadikannya mengerti

tentang ajaran agama saya dan itu adalah nilai tersendiri ketika kami

bisa masuk dalam percakapan atau tukar pikiran seputar keyakinan

yang kita anut masing-masing. Hanya saja harus yang perlu

dihindari adalah perdebatan yang memicu konflik antarpribadi

apalagi berujung pada pertikaian antaragama, bagi saya hal itu tidak

ada untungnya, malas merugikan semua pihak.”37

Berdasarkan hasil wawancara dari semua informan mengenai pertanyaan

tentang bertetangga dengan orang berbeda agama, informan memberikan peryataan

yang tidak terlalu berbeda, secara prinsip semuanya bisa menerima bertetangga

dengan alasan bahwa ada kesempatan berharga dalam bertukar pikiran seputaran

ajaran agamanya masing-masing. Bertetangga beda agama dengan alasan adanya

anjing-anjing yang selalu ribut dan menakut-nakuti tidak harus menjadi alasan untuk

saling menjauhkan diri. Semunya tergantung semua pihak untuk saling memahami

dan mengerti keadaan kita masing-masing, tidak perlu harus menutup diri dengan

tetangga hanya karena alasan mereka pelihara anjing dan kita tidak.

Oleh karena itu, mengenai pertanyaan maukah bertetangga dengan orang

beda agama, informan lebih banyak yang memilih tidak bermasalah hidup

bertetangga dengan yang berbeda agama. Justru dengan bertetangga seperti itulah

diantara kita tidak perlu ada jarak yang menghalangi persaudaraan antara Hindu,

Islam dan Kristen.

37 Bapak Fajar Husein (48 Tahun), anggota masyarakat, hasil wawancara di Perumahan

Pegending, tanggal 18 Agustus 2019.

83

III. 7.2 Menyama Braya

Masyarakat Bali merupakan salah satu masyarakat yang sangat

mengutamakan prinsip hidup cinta damai, menjaga toleransi antarumat beragama lain

seperti Kristen, Islam dan Budha. Masyarakat Bali yang mayoritas pemeluk agama

Hindu, secara sosial mampu hidup bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama

termasuk dengan masyarakat pendatang dari latar belakang suku lain. Relasi sosial

yang dibangun selama ini selalu berpatokan pada prinsip hidup orang bersaudara

Menyama Braya, yakni adanya sikap terbuka dalam memandang dan menerima orang

lain sebagai saudaranya. Hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Banjar

Pegending (I Wayan Patra), ia menjelaskan:

Komunikasi perorangan/individu keseharian yang terjadi di sini

pada dasarnya bukan membahas doktrin agama-agama, juga tidak

membahas ajaran agama orang lain, tetapi lebih pada persoalan

etika sosial dan norma-norma pergaulan yang menjadikan kami

lebih kuat/solid dalam membina hubungan persaudaraan. Mungkin

itulah yang membuat kami di Banjar ini boleh dikatakan termasuk

salah satu Banjar yang masyarakatnya tenang dan damai. Kami

semuanya mendahulukan prinsip tolong menolong dan hormat

menghormati. Sebagai orang Bali, khususnya kami di Banjar ini

hidup “menyama braya” ini adalah cara pandang kami melihat dan

menerima orang lain yang berbeda dengan kami sebagai saudara

kami. Pertalian darah memang tidak ada diantara kami, tetapi yang

kami pahami mereka itu juga adalah manusia sesama ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa sama seperti kami yang memiliki nilai dan

derajat yang sama di mata Tuhan.” 38

Menjadi hal yang wajar bagi masyarakat Banjar Pegending untuk tidak

mempersoalkan masalah niat keberagamaan (konversi agama) seseorang. Selama

Banjar ini dianggap nyaman bagi seluruh komponen masyarakatnya, maka hal itu

38 I Wayan Patra, (Pengusaha Babi Guling), hasil wawancara pada tanggal 28 Agustus 2019,

pada pukul 16.00 Wita, di Banjar Pegending.

84

perlu di jaga dan pelihara. Bahkan kesadaran akan perbedaan agama bisa memicu

terjadinya potensi konflik, maka semua pihak telah bersepakat bahwa segalanya

untuk cepat selesai mari kita bersama-sama ke Bale Banjar untuk dibicarakan atau

dikomunikasikan secara terbuka dan jujur apa adanya.

III. 7.3 Suka Duka

Kerjasama antarumat beragama sangatlah penting untuk menjaga kerukunan

beragama, dan salah satu cara menjaga kerukunan antaragama di Banjar Pegending

adalah dalam bentuk kerja sama antarwarga Banjar. Kerja sama dalam bidang agama

maupun sosial menjadi tuntutan moral bagi seluruh warga Banjar untuk memperat

hubungan persaudaraan dan persatuan antar sesama pemeluk agama. Organisasi

Banjar suka duka di Pegending merupakan salah satu bentuk wadah adat yang

diupayakan untuk mengefisienkan biaya bagi warga Banjar yang tengah menghadapi

acara suka maupun duka.

Dalam kesempatan mewawancarai salah satu tokoh masyarakat adat Banjar

Pegending (Bapak I Made Sudana), beliau menjelaskan:

“Suka duka di Banjar Pegending selalu bersentuhan langsung

dengan urusan adat, kecuali saudara-saudara kita para pendatang

yang di Perumahan Pegending, sebab mereka tidak terikat secara

suka duka di Banjar ini jadi mereka bebas dalam hal semacam ini.

Misalnya saat ada urusan perkawinan dan kematian, semua anggota

suka duka di Banjar ini wajib hukumnya untuk ikut ambil bagian

dalam menyelesaikan perkerjaan suka duka sebagai wujud tanggung

jawab kami bersama. Apakah ada saudara-saudara dari umat

Muslim? Ada yang ikut walaupun sangat sedikit, tetapi kami tetap

menghargai itu. Bahkan sering kali kita batasi agar yang

bersangkutan tidak terlalu bersentuhan langsung dengan apa yang

menjadi tantangan diajaran agamanya, akan tetapi yang

bersangkutan tidak terlalu mempermasalahankan. Demikian juga

85

saat ada salah satu warga yang sakit dan harus rawat inap, setelah

informasi ini terdengar oleh semua anggota suka duka, secara

otomatis semua ikut mengadakan perkunjungan dan saling

mendoakan menurut keyakinannya masing-masing”39

Apa yang disampaikan oleh informan di atas, tentu menggambarkan bahwa

semua warga Banjar di Pegending, baik sebagai umat Hindu, Islam dan Kristen

dianggap mampu untuk mendemontrasikan nilai-nilai sosial sebagai instrument

perekat relasi antarumat beragama. Nilai-nilai sosial ini juga dianggap sebagai bentuk

pemahaman bersama dalam rangka mencapai tujuan yang sama bahwa mereka adalah

berkerabat (bersaudara) sekalipun tidak sedarah. Antusias warga Banjar ini

menggambarkan bahwa masyarakat plural tersebut bisa saling berbaur dan

berkomunikasi (mewujudkan dialog karya) yang dianggap sebagai salah satu

kekuatan ikatan sosial diantara sesama sekalipun mereka menyadari akan perbedaan

yang ada.

Banjar adat sebagai lembaga adat masyarakat tradisional di Pegending, urusan

suka dan duka pada tingkat Banjar wajib untuk dilaksanakan. Wadah suka duka

tersebut merupakan bagian yang terintegrasi dalam konsep hidup menyama braya,

yakni prinsip hidup orang bersaudara yang sangat ideal bagi masyarakat Bali pada

umumnya. Nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Bali harus tetap hidup dan

lestari. Makanya sebagai masyarakat yang beradat dan beradab nilai-nilai sosial ini

tidak boleh hilang apalagi dihilangkan. Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam

prinsip hidup menyama braya, ternyata sangat kaya akan makna persamaan derajat

dan penerimaan sebagai saudara, dan hal itu merupakan pengakuan sosial bahwa kita

39 I Made Sudana, (Pengurus Koperasi TEB Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal

29 Agustus 2019, pada pukul 16.00 Wita, di Banjar Pegending.

86

betul adalah bersaudara. Mengapa demikian, sebab teladan sosial ini merupakan

warisan para pendahulu (leluhur) masyarakat Pegending, dimana mereka mampu

menjaga nilai-nilai sosial ini turun temurun agar tetap dilestarikan dan dibudayakan.

III. 7.4 Budaya Megibung

Salah satu tradisi kearifan lokal masyarakat Bali yang sudah lama ada, adalah

tradisi megibung. Menurut I Ketut Mulia Antara, istilah kata “Megibung” berasal dari

kata “gibung” yang berarti berbagi satu dengan yang lainnya.

”Tradisi ini biasanya warga Banjar secara bersama-sama menikmati

makanan/nasi serta aneka lauk pauk dalam satu wadah. Tradisi

semacam ini sebenarnya merupakan tradisi yang sudah lama, dan

merupakan tradisi warisan para leluhur kami juga dulu. Biasanya

makanan dengan aneka lauk pauk itu disajikan secara tradisional,

yakni makanan tersebut disajikan di atas daun pisang yang telah

ditata sedemikian rupa dan warga yang ikut dalam megibung ini

duduk bersila di lantai, bisa secara melingkar maupun juga berjajar

memanjang untuk santap bersama. Tradisi ini biasanya juga

diadakan pada momen atau perayaan tertentu (saat upacara

keagamaan, urusan adat, pernikahan, syukuran dan lain-lainnya)

dan dilaksanakan di Bale Banjar maupun juga di rumah-rumah.

Tradisi megibung ini juga, biasanya bukan hanya sekadar soal

makan saja, namun disela-sela itu tentu ada kesempatan untuk

berkomunikasi, dan saling tukar pikiran bahkan berceritera seputar

realitas sosial, pergumulan warga Banjar dan isu-isu sosial lainnya.

Peserta dalam tradisi megibung ini rata-rata satu kelompok terdiri

dari 5-8 orang, hidangan dalam megibung ini bisa berupa daging

kambing, ayam, babi, sate, lawar, pepesan, sayuran dan sambal.40

Saat makan bersama tentunya dilakukan dengan tidak memakai sendok

tetapi menggunakan tangan, sehingga sebelum makan sebaiknya cuci tangan. Selain

itu, saat makan bersama (megibung) ini tentu ada etikanya yang perlu diperhatikan

40 I Ketut Susila, (Pensiunan Guru-PNS), hasil wawancara pada tanggal 19 Agustus 2019,

pada pukul 17.00 Wita, di Banjar Pegending.

87

bersama pula. Peserta megibung harus makan dengan rapi dan jangan sampai ada nasi

suapan dari mulut yang terjatuh ke atas wadah makanan yang sedang dinikmati

bersama. Apabila ada kelompok yang sudah selesai makan, wajib menunggu

kelompok yang lainnya selesai makan. Barulah setelah semua kelompok selesai

makan peserta megibung diperbolehkan mulai mencuci tangan dan meninggalkan

tempat makan bersama tersebut.

Tradisi megibung merupakan salah satu nilai sosial yang dipahami sebagai

simbol kebersamaan dan sebagai salah satu cara membangun, memperkuat relasi

kekerabatan diantara sesama masyarakat Banjar Pegending. Oleh karena itu, tradisi

megibung, masih tetap dipertahankan sampai saat ini.

III. 7.5 Budaya Ngejot

Salah satu tradisi unik dalam kebudayaan masyarakat Bali adalah tradisi

“ngejot”. Tradisi ini menurut I Ketut Murjawan, merupakan tradisi turun temurun

yang sudah lama dari leluhur orang Bali:

“tradisi ngejot di Banjar Pegending dianggap sebagai bentuk upaya

menjaga kelestarian budaya yang menjadi warisan leluhur kami.

Tradisi ngejot sampai saat ini masih ada dan tetap dilakukan sesuai

kemampuan karena sifatnya memberi dengan tulus dan iklas.

Makna tradisi ini pada dasarnya, memberi dan berbagi. Selain itu

juga merupakan sebagai bentuk ungkapan syukur dalam

kebersamaan untuk membangun relasi antarsesama dengan tujuan

untuk tetap hidup saling toleransi sebagai umat beragama yang

menyadari keberagaman itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa

material atau makanan yang diberikan itu bermacam-macam dan

tergantung kepada siapa kita berikan. Biasanya kalau kita sebagai

umat Hindu dan Kristen rasanya tidak terlalu bermasalah dalam hal

saling memberikan makanan dan lauk pauk berupa daging babi.

Namun jika itu adalah saudara kita yang muslim maka material

88

yang kita bagikan tentulah berupa makanan siap saji berupa parsel,

jajanan (Kue) dan buah-buahan.”41

“Tradisi ngejot” dalam budaya masyarakat Bali dan tentunya bagi warga

Banjar Pegending yang dipahami adalah sebagai simbol toleransi dan kerukunan

antarumat beragama. Tradisi ngejot juga merupakan modal sosial bagi warga Banjar

Pegending dalam memelihara kohesi sosial agar tetap rukun dan damai. Hal ini

menjadi tanggung jawab moral bersama bagi segenap warga Banjar Pegending untuk

memberikan keteladanan sekaligus juga pembelajaran berharga bagi generasi mereka

untuk dipertahankan. Tradisi ngejot bagi umat Hindu, Islam dan Kristen di Banjar

Pegending sekalipun telah banyak mengalami modifikasi dalam bentuk sentuhan-

sentuhan modernisasi, namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap

diadakan baik saat hari raya Galungan bagi umat Hindu, hari raya Idul Firti bagi umat

Islam dan hari raya Natal bagi umat Kristen. Inilah salah satu bentuk interaksi sosial

dan relasi antarumat beragama di Banjar Pegending yang sering didemonstrasikan

dalam ruang-ruang perjumpaan.

III. 7.6 Gotong Royong

Dominasi relasi kekerabatan antara umat Hindu dan Kristen di Banjar

Pegending ini juga telah turut mempengaruhi dalam menciptakan dialog kehidupan

yang terjadi setiap hari. Interaksi tersebut sering ditampilkan dalam bentuk kerja

sama rukun suka duka, gotong royong dilingkungan Banjar dan sering mengadakan

41 I Ketut Murjawan, (Tokoh Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 19 Agustus

2019, pada pukul 15.00 Wita, di Banjar Pegending.

89

acara saling bersilaturrahmi pada akhir pekan. Hasil wawancara dengan salah satu

pengurus Banjar dari umat Hindu (Bp. Made Adnyana) menjelaskan:

“Bentuk gotong royong warga Banjar Pegending yang paling sering

terjadi adalah dalam bentuk ngayah (kerja) Bale Banjar saat buat

Ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi. Semua unsur atau

keterwakilan dari agama-agama yang ada di Banjar ini, ikut

berpartisipasi untuk pekerjaan tersebut. Sekalipun tidak secara total

semua teman-teman dari Kristen dan Islam ikut ambil bagian dalam

pekerjaan ini, namun terkadang partisipasinya lewat sumbangan

materil dan dana, bagi kami itu merupakan wujud kebersamaan

untuk menyukseskan perkerjaan kami umat Hindu. Kami sangat

menghormati itu semua bentuk-bentuk kerja sama yang diberikan.

Sebaliknya ketika buat Penjor saat upacara agama Kristen, kami

umat Hindu ikut ambil bagian dalam pengamanan kegiatan hari

raya tersebut.”42

Penjelasan di atas hendak menekankan bahwa hanya dengan cara-cara yang

demikianlah maka relasi-relasi humanis yang diperagakan oleh warga Banjar,

mencerminkan sebuah interaksi antar umat beragama yang harmonis. Bagi para

responden dan juga beberapa warga masyarakat Pegending yang merespons cara

bersilaturrahmi antar kerabat ini perlu dipupuk sedemikian rupa dan mungkin tidak

hanya terbatas pada kalangan “nyama” Hindu dan Kristen saja, tetapi terhadap

“nyama selam” (saudara umat Muslim) pun menjadi keharusan yang wajib dilakukan.

Gotong royong dapat dipahami sebagai bentuk partisipasi aktif setiap

individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek,

permasalahan, atau kebutuhan orang-orang di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut

bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual,

42 I Made Adnyana, (Sekretaris Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 21 Agustus

2019, pada pukul 10.00 Wita, di Banjar Pegending.

90

ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa

kepada Tuhan.

Budaya gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Banjar Pegending

dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni gotong royong untuk saling

menolong dan gotong royong dalam bentuk kerja bakti. Budaya gotong royong dalam

bentuk saling tolong menolong biasanya terjadi dalam kegiatan bercocok tanam

(pertanian), pesta, perayaan hari raya keagamaan, penanggulangan bencana alam, dan

tentu dalam hal urusan kedukaan.

Sementara untuk budaya gotong royong dalam hal kerja bakti, biasanya dilaksanakan

dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan

kepentingan umum, misalnya membersihkan pemakaman umum, membersihkan

sampah di sungai dan lain sebagainya.

Dengan demikian secara sosiologis, makna gotong royong bagi warga

Banjar Pegending merupakan semangat kerja sama yang diwujudkan dalam bentuk

perilaku individual tanpa mengharapkan pamrih/upah. Prinsip gotong royong menjadi

gaya hidup masyarakat Banjar Pegending dalam rangka menjaga kesejahteraan dan

kerukunan bersama.

III. 7.7 Organisasi Subak

Subak adalah suatu organisasi agraris (irigasi) yang meliputi satu wilayah

sungai yang mengairi areal persawahan tertentu.43

Organisasi Subak ini sangat erat

hubungannya dengan kebutuhan masyarakat pertanian di Bali dan khususnya di

43 Suyaga Ayub, Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan, 11.

91

Banjar Pegending. Setiap anggota Subak (krama subak) dalam hal keanggotaannya

tidak sama dengan keanggotaan sebagai masyarakat Banjar. Dengan kata lain, setiap

anggota Banjar tidak harus menjadi anggota subak, karena tidak semua anggota

Banjar berprofesi sebagai petani.

Setiap orang yang menjadi anggota subak adalah mereka yang secara

langsung memiliki lahan garapan persawahan dan melalui itulah mereka menerima

aliran air irigasi yang ditampung dalam bendungan-bendungan yang dikelola oleh

satuan kelompok kerja organisasi subak tersebut. Perlu juga untuk dipahami bahwa

seorang anggota subak, tidak hanya terikat atau tergabung dalam satu organisasi

subak di Banjar asalnya, akan tetapi hal itu sangat tergantung pada sebaran lahan

garapannya di beberapa wilayah lain di luar Banjar tempat tinggalnya, sehingga mau

tidak mau mereka pun harus bergabung dan mengikat diri dalam organisasi subak di

beberapa Banjar lainnya.

III. 7.8 Organisasi Sekaa

Istilah Sekaa merupakan komunitas atau kelompok-kelompok kecil dari

kehidupan sosial masyarakat Bali pada umumnya, yang terbentuk atas dasar

kesepakatan bersama dan bersifat khusus berdasarkan kebutuhan masyarakat Banjar

itu sendiri. Khususnya di Banjar Pegending ada salah satu perkumpulan anak muda

yang sudah cukup lama berkembang, yakni satu organisasi yang disebut “sekaa

teruna-teruni”.44

44 I Ketut Susila, Kelian Banjar Pegending, hasil wawancara pada tanggal 22 Agustus 2019,

pukul 10.00 Wita, di Kantor Perbekel Desa Dalung.

92

Organisasi ini juga terdapat di seluruh desa pakraman di Provinsi Bali. Sekaa

teruna-teruni adalah perkumpulan atau wadah organisasi sosial pengembangan

generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan tanggung

jawab sosial dari masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa atau kelurahan

yang bergerak dibidang kesejahteraan sosial.45

Kelompok semacam ini biasanya

bergerak dalam dimensi kehidupan sosial untuk mengakomodir kebutuhan warga

Banjar berdasarkan gaya hidup, hobi maupun strata sosial. Sub organisasi ini

biasanya bersifat turun-temurun/permanen, dan juga bersifat sementara.

Secara umum di Banjar Pegending, ada beberapa sekaa yang sudah cukup

lama diorganisir, diantaranya: sekaa teruna-teruni (perkumpulan pemuda-pemudi

Banjar), sekaa gong (perkumpulan gamelan) dan sekaa suka duka (berupa gerakan

simpan pinjam). Partisipasinya dalam urusan upacara-upacara keagamaan dan adat

istiadat, sekaa-sekaa inilah yang menjadi salah satu ujung tombak penggalang

kekuatan semangat kerja sama.

III. 8 Dampak Positif Perjumpaan Ketiga Agama

Kebebasan beragama dan dialog agama-agama sering menjadi topik utama

dalam berbagai diskusi akademik dan seminar lembaga-lembaga interreligious

lainnya, itu muncul karena adanya kebutuhan dan kesadaran baru untuk hidup rukun.

Hal ini merupakan sesuatu yang berdampak positif bagi relasi antaragama oleh karena

masih adanya kebutuhan untuk saling belajar dari agama lain, terbuka terhadap

45 I Made Sutama, Sekaa Teruna-Teruni Sebagai Pilar Mendukung Penegakan Hukum, 17

Juni 2017, diakses pada 22 Nopember 2019, https://www.kompasiana.com/peradah/sekaa-terunateruni-

sebagai-pilar-mendukung-penegakan-hukum.

93

agama lain, dan siap bersama-sama menemukan kebenaran baru dari relasi itu.46

Sehubungan dengan itu, jika dilihat relasi interaksi ketiga agama di Banjar Pegending

dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambaran di atas menunjukkan bahwa relasi ketiga agama saling berinteraksi

secara baik yang dibangun atas pijakan bersama nilai kearifan lokal, yakni “menyama

braya” sebagai kekuatan dan semangat persaudaraan yang menyatukan.

III. 8.1 Potret Perjumpaan Hindu dan Kristen di Banjar Pegending

Potret perjumpaan yang khas antara umat Hindu dan Kristen di Banjar

Pegending, menawarkan suatu bentuk relasi kekerabatan. Tindakan-tindakan sosial

yang seringkali terjadi diantara kedua kelompok agama ini lebih didominasi oleh

dialog aksi seperti: doa bersama, tradisi megibung, ngejot, bedah rumah, gotong

46 Seda, Francisia SSE. Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia: Suatu Perspektif

Sosiologis. Diktat kuliah Sosiologi Agama, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), 4.

94

royong (ngayah), peduli lingkungan dalam memerangi sampah plastik yang dimulai

dari kebersihan lingkungan rumah, Banjar, sungai (tukad) hingga ke pantai,

kelompok arisan dan gerakan simpan pinjam Koperasi Tri Eka Bina (TEB).

Disamping dialog aksi, dialog adat budaya juga menjadi satu hal yang cukup kuat

diantara kedua kelompok agama tersebut.47

Relasi kedua agama dapat digambarkan

sebagai berikut:

Semangat kerjasama kedua agama (Hindu-Kristen), merupakan implikasi

kongkrit dari semangat kebersamaan yang dilatarbelakangi dimensi kekerabatan.

Bahkan secara eksplisit harus diakui bahwa urusan perkawinan lintas agama (Hindu

dan Kristen) tetap menjadi pergumulan bersama yang sering dihadapi tanpa harus

menimbulkan ketegangan. Artinya, untuk hal tersebut bukan merupakan sesuatu hal

yang aneh untuk dipertentangkan. Kedua belah pihak tetap menjaga relasi untuk

saling memahami dan tidak saling memaksakan. Demikian juga tidak ada perasaan

47 Paulus I Nyoman Astra Susila (77 tahun), Tokoh Umat Katholik Banjar Pegending, hasil

wawancara pada tanggal 03 September 2019, pukul 10.00 Wita, di Banjar Pegending.

95

bahwa salah satu komunitas umat merasa hubungan Hindu-Kristen akan kehilangan

umatnya karena perkawinan dengan umat yang beragama lain.48

Dialog aksi untuk berdoa bersama dalam rangka peresmian (Pemelaspasan)

Bale Banjar Pegending sudah tiga kali dilaksanakan, yang pertama pada tahun 1988,

kedua pada 12 April 2013 dan ketiga pada 22 Juli 2017. Aksi doa bersama itu

dilaksanakan secara bergantian sesuai keyakinan masing-masing yang diawali oleh

umat Kristiani dan terakhir oleh umat Hindu.49

Aksi doa bersama ini dilaksanakan

atas dasar kebutuhan dan kesadaran bersama dalam rangka memupuk rasa solidaritas

sosial dan semangat toleransi antarumat beragama. Bale Banjar merupakan rumah

bersama bagi semua umat beragama yang ada di Pegending sebagai tempat dimana

segala bentuk komunikasi sosial dan perjumpaan disepakati dan dimusyawarakan.

Pengalaman perhelatan dari acara semacam ini, tentunya sangat direspons

positif oleh pemerintahan lokal dan juga lembaga agama-agama yang ada di Bali

48 Romo Yohanes Martanto, Pr., Rohaniawan Katholik Banjar Pegending, hasil wawancara

pada tanggal 01 September 2019, pukul 10.00 Wita, di ruang kantor Stasi Gembala Baik, Paroki Santo

Paulus Kulibul.

49

I Ketut Susila, Kelian Banjar Pegending, hasil wawancara pada tanggal 22 Agustus 2019,

pukul 10.00 Wita, di Kantor Perbekel Desa Dalung.

96

melalui FKUB. Secara nasional kegiatan tersebut mendapat apresiasi dari Menteri

Agama Republik Indonesia Surya Darma Ali dan Menteri Pariwisata Jero Wacik.

III. 8.2 Potret Perjumpaan Hindu dan Islam di Banjar Pegending

Perkembangan umat Islam di Banjar Pegending baru mulai muncul pada

tahun 2000, sejak dibukanya pemukiman baru, yakni Perumahan Pegending Permai.

Memilih untuk tinggal di Perumahan Pegending Permai ini bagi sebagian orang

pendatang baik orang Jawa maupun orang Bali yang berasal dari beberapa Kabupaten

lainnya, sesungguhnya hanya bersifat sementara dan hanya tempat transit saja.

Relasi dialog kehidupan yang formal itu, lebih diprioritaskan dalam bentuk

penguatan kesepakatan bersama sehubungan dengan bagaimana saling menjaga sikap

toleransi antarumat beragama terutama yang berdomisili di Peruhaman Pegending

Permai. Demikian juga keputusan memilih untuk tidak bersuka duka Banjar

Pegending adalah bentuk permakluman umat Hindu kepada umat Islam. Sama halnya

saat menjalankan aktifitas peribadatan di Musolah terdekat di Banjar Tuka adalah

keputusan bersama yang telah dimusyawarahkan dan dihormati bersama.

97

Relasi semacam itu penulis kategorikan sebagai sebuah proses interaksi

Hindu-Islam, yang oleh kesadaran moral mereka pun berupaya untuk menjaga

kualitas relasi lintas agama yang harmoni.

III. 8.3 Potret Perjumpaan Kristen dan Islam di Banjar Pegending

Penelusuran bentuk perjumpaan Islam-Kristen di Banjar Pegending, yang

penulis jumpai adalah masih dalam bentuk dialog formal. Perjumpaan dialog formal

ini dianggap penting semata-mata untuk menghindari kesalah-pahaman diantara

kedua kelompok agama tersebut (Islam-Kristen), termasuk juga untuk mencegah

timbulnya sikap intoleransi, fobia, arogansi dan saling merendahkan dalam berbagai

perbedaan yang ada. Segala bentuk perbedaan agama dan etnis tidak menjadi

hambatan di dalam masyarakat untuk saling mengasihi dan menghormati. Penulis

menggambarkan bahwa dialog antarumat beda agama (Islam-Kristen) merupakan

salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mencegah konflik di kalangan

masyarakat Banjar Pegending. Interaksi positif melalui dialog terus dipelihara dan

dilestarikan secara terus menerus. Semua pihak menyadari akan batasaan-batasan,

baik yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan dari masing-masing

agama. Dalam hal inilah peran pemuka agama dan aparat Banjar selalu memberikan

pengarahan yang jelas tentang arti dan pentingnya dialog antar umat beragama.

Fakta relasi semacam ini, kemudian penulis menemukan dan memahami

bahwa kedua kelompok agama ini (terutama para pendatang) yang sudah cukup lama

tinggal di Banjar Pegending, mereka mempunyai agenda tuntuntan bagi sebuah

98

keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.50

Kemajuan dan dinamika sosial di

Pegending tidak terlepas dari kehadiran dan kontribusi mereka. Namun, oleh karena

ketatnya awig-awig desa adat, membuat mereka harus toleran dan mau tidak mau

harus menghormatinya. Artinya mereka hendak memerangi musuh bersama dari

problem semua agama-agama, yakni “ketidakadilan”. Ketidakadilan muncul dalam

beragam wajah, seperti diskriminasi: etnisitas, agama dan politik. Ketidakadilan juga

muncul dalam wujud eksploitasi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam,

yang kemudian berdampak pada bencana alam dan sebagainya.

Relasi Kristen dan Islam yang ditampilkan oleh kedua kelompok agama ini

cenderung lebih pada dialog formal. Namun dalam relasi kehidupan sehari-hari yang

muncul diantara kedua umat ini, adalah biasanya saat ada kedukaan. Misalnya, saat

menggali kubur, tenaga orang Jawa (Muslim) yang disewa dibutuhkan karena

50 Suara-suara anak Perumahan Pegending Permai, Banjar Pegending ini termasuk salah satu

Banjar yang masyarakatnya tidak arogan, seharusnya kalau boleh kami usulkan, tolonglah agar dimana

dengan dibukanya Perumahan Pegending Permai ini yang sudah berlangsung cukup lama (sejak tahun

2000), mestinya fasilitas umum berupa Langgar atau Musolah dan lahan kuburan umum tolonglah

untuk difasilitasi tanpa harus kami jauh-jauh keluar ke Banjar Tuka dan ke Mumbul Nusa Dua.

Demikian juga dengan persekutuan umat Kristen dari berbagai denimonasi yang berdomisili di Perum

Pegending, mempunyai kerinduan yang sama, “keadilan”... dialog oikumenis menjadi pilihan untuk

tetap mendapatkan kesempatan menjalankan aktifitas peribadahannya.

99

dianggap cepat, rapi dan murah. Demikian juga saat membangun rumah ibadah atau

rumah tinggal, biasanya menggunakan tenaga buruh bangunan sebagian besar dari

komunitas orang Jawa-Muslim, dengan alasan yang sama: murah, cepat, dan tidak

banyak liburnya.

III. 9 Strategi & Lembaga Pendukung Pelaksanaan Dialog Antaragama

Perlunya strategi penyelenggaraan dialog antaragama di Banjar Pegending,

dipandang perlu semata-mata untuk menanamkan rasa saling percaya dalam

menyikapi kerukunan hidup beragama. Disamping itu juga adalah untuk

mengembangkan prinsip persahabatan solidaritas keagamaan, yakni dengan

membangun jembatan relasional dialog antarkelompok beragama yang ada di Banjar

Pegending. Rupanya strategi yang dianggap masih relefan dalam membangun relasi

dialogis antaragama adalah melalui pendekatan nilai-nilai kearifan lokal, yakni

gerakan prinsip hidup menyama braya. Nilai lokal ini masih sangat menolong dalam

memelihara kualitas relasi agama-agama di Banjar Pegending sampai saat ini

sehingga tetap rukun dan harmoni.

III. 9.1 Dari P3 ke Tri Eka Bina

Menyadari akan pentingnya persatuan dan kebersamaan warga masyarakat,

maka pada tahun 1974 tiga orang tokoh masing-masing dari Katolik, Hindu dan

Protestan, ketiganya bersepakat untuk merintis terbentuknya satu wadah kebersamaan

bagi “sekaa truna-truni banjar” atau wadah perhimpunan pemuda-pemudi Banjar

yang dikenal dengan nama Pemuda Pendukung Pancasila (P3). Wadah ini dibentuk

100

dengan tujuan untuk memperlihatkan identitas warga Banjar Pegending itu bersatu.

Dalam sebuah kesempatan mewawancarai Kelian Dinas Banjar Pegending (Bp. I

Ketut Susila), beliau menjelaskan:

“Wadah P3 ini dibentuk semata-mata untuk memperlihatkan bahwa

kita (terutama sekehe truna-truni) di Banjar ini sangat solid dalam

kesatuan dan memiliki semangat berkarya serta kekompakan pemuda-

pemudi dalam mendukung Pancasila. Mertua saya dari Katolik,

bersama seorang Polisi dari Hindu dan satu lagi tokoh dari Protestan,

sepakat membentuk wadah ini pada tahun 1974. Wadah ini cukup lama

berjalan secara konsisten dan barulah kemudian pada tahun 1982

wadah P3 ini berganti nama menjadi Tri Eka Bhina. Tri = tiga, Eka =

tunggal, dan Bhina = pembinaan. Karena kami warga Banjar

Pegending pada waktu itu didominasi oleh tiga umat, maka dalam satu

wadah sama kami dibina. Dalam hal keanggotaan dan kepengurusan

wadah ini secara bergantian ketiga umat dalam hal ini Protestan,

Katolik dan Hindu yang ambil bagian dalam kepengurusannya. Satu

hal lagi, berhubung umat Islam waktu itu (tahun 1974) belum ada,

sebab mereka baru masuk Banjar Pegending pada tahun 2000 yaitu

dengan adanya pemukiman baru di BTN/Peruhaman Pegending.

Terutama juga kebetulan mereka memilih tinggal di Banjar Pegending

ini hanya status terdaftar sebagai warga Banjar dinas saja. Mereka

tidak dalam status sebagai anggota suka duka Banjar Pegending, maka

keanggotaan mereka dalam wadah Tri Eka Bhina, tidak dilibatkan dan

mereka pun dapat memaklumi hal itu dan tidak ada masalah”.51

Wadah Tri Eka Bhina ini bagi warga suka duka Banjar Pegending tetap

dianggap sebagai simbol pemersatu. Dalam perjalan waktu, wadah Tri Eka Bhina

dikembangkan lagi dengan membentuk Koperasi Simpan Pinjam. Melalui Koperasi

TEB ini, seluruh warga Pegending dari berbagai latar belakang agama, suku dan

budaya boleh ikut ambil bagian sebagai anggota Koperasi. Tujuan dari terbentuknya

Koperasi Simpan Pinjam ini semata-mata untuk membantu peningkatan ekonomi dan

51 I Ketut Susila, (Klien Dinas Banjar Pegending), hasil wawancara pada tanggal 30 Agustus

2019, pada pukul 17.00 Wita, di Banjar Pegending.

101

kesejahteraan masyarakata pada umumnya. Melayani masyarakat seutuhnya dengan

prinsip persaudaraan di atas nilai-nilai kejujuran dan keadilan sosial.

III. 9.2 Peran FKUB Budayakan Tolerasi Antarumat Beragama

Banjar Pegending merupakan salah satu Banjar yang tingkat pluralistas

masyarakatnya cukup signifikan, terutama dari segi etnis, adat istiadat, bahasa, dan

agama. Oleh sebabnya, sikap saling menghormati dan sikap saling terbuka sangat

dibutuhkan demi terjaminnya kohesi sosial yang rukun dan damai. Peran aktif Forum

Komunikasi Umat Beragama (FKUB), dalam mempertahankan toleransi umat

beragama di Kabupaten Badung sangat dirasakan.

FKUB Badung sudah sangat maksimal dalam setiap rumusan

program kerjanya terutama dalam mengupayakan intensitas

perjumpaan para tokoh-tokoh agama untuk saling sharring/bertukar

pikiran, menyamakan persepsi dalam menghadapi beberapa issu

keagamaan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. FKUB

Badung secara terbuka selalu berkomunikasi dan output-nya harus

diimplementasikan kepada seluruh umat masing-masing agama

untuk dipahami secara utuh oleh setiap umat beragama. Contohnya

dalam memerangi gerakan-gerakan intoleransi, teroris, dan

radikalisme. Semuanya itu para tokoh agama harus duduk bersama

dan membicarakannya secara terbuka dan jujur lalu rumuskan

kesimpulannya untuk direkomendasikan dalam program kerja ke

depannya.52

Menjaga dan mempertahankan semangat toleransi dalam memelihara kerukunan umat

beragama di masyarakat Badung terus ditingkatkan melalui pendekatan-pendekatan

dialog terbuka yang humanis. Tidak boleh ada „penumpang gelap‟ dalam masyarakat

Badung. Sikap intoleransi, radikalisme dan terorisme harus kita lawan bersama

52 Hasil wawancara dengan Pengurus FKUB Kabupaten Badung, 20 Agustus 2019, di Kantor

Sinode GKPB, Jl. Raya Kapal No. 20, Mengwi, Mangupura, Badung.

102

karena itu merupakan musuh bersama agama-agama yang cinta damai. Kondisi sosial

yang sudah aman dan tenang di Banjar Pegending tidak mau dinodai oleh sikap dan

gerakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab apapun itu bentuknya.

III. 9.3 Peran MPUK Budayakan Dialog Antaragama

Musyawarah Pelayanan Umat Kristiani (MPUK), merupakan wadah umat

Kristiani dalam menyuarakan dan merumuskan setiap program pelayanan

oikoumenisnya. MPUK dalam hal ini berperan dalam memberikan informasi dan

membangun komunikasi serta menerbitkan rekomendasi kepada masing-masing

gereja yang membutuhkan sesuai keperluannya. Upaya lainnya adalah membangun

komunikasi efektif dengan semua pihak dari berbagai komponen pemuka agama,

tokoh masyarakat dan adat di Banjar Pegending, sehingga informasi terbuka yang

utuh tidak merugikan semua pihak.

Ketua MPUK Kabupaten Badung Pdt, I Made Budiarsa dalam kesempatan

mewawancarai beliau, ia mengatakan bahwa MPUK Badung mendorong gereja-

gereja dari berbagai denominasi yang ada di Badung untuk dapat terus meningkatkan

kontirbusi positif dalam berpartisipasi membantu Pemerintah Badung dalam

menciptakan kerukunan dan kebersamaan masyarakat Badung yang harmonis.

Partisipasi gereja-gereja dalam merawat kerukunan antarumat beragama sebenarnya

merupakan wujud kongrit sikap kita dalam menjaga ke-ajeg-an Bali, menyama braya

dan Tri Hita Kirana. MPUK secara aktif terus mewujudkan semangat persatuan dan

kesatuan bangsa yang dimulai dari Badung.

103

III. 9.4 Peran Pemerintah Daerah Terhadap Kerukunan Umat Beragama

Salah satu wujud kehadiran dan peran pemerintah daerah Kabupaten Badung

dalam menjaga kerukunan umat beragama, adalah memastikan setiap umat beragama

yang ada di wilayah pemerintahan Kabupaten Badung hidup rukun dan harmonis

tanpa harus merasa tertekan, ketakutan dan diskriminasi. Ajegnya bumi Bali harus

juga diimplementasikan di Badung, demikian ajakan Ketua DPRD Kabupaten

Badung I Putu Parwata. Peran dan dukungan pemerintahan daerah Kabupaten Badung

adalah:

1. Mengalokasikan anggaran untuk mendukung program-program kerja FKUB.

2. Memberikan ijin secara resmi setiap tahun penggunaan fasilitas Auditoruim

PUSPEM untuk perayaan hari raya besar keagamaan.

3. Memberikan insentif atau dana hibah dalam mendukung proses pembangunan

rumah ibadah masing-masing umat beragama.

Menurut Parwata, kerukunan umat beragama di Badung harus menjadi contoh dan

model bagi daerah-daerah lain yang ada di Badung, bahkan di Indonesia. Umat

beragama jika mau merayakan hari raya besar keagamaannya boleh menggunakan

fasilitas AULA Puspem.53

III. 10 Kesimpulan

Dalam kesimpulan bab ini, penulis menegaskan kembali bahwa ada

beberapa nilai-nilai sosial dalam dinamika perjumpaan agama-agama tengah

masyarakat Banjar Pegending dan terutama juga yang menjadi faktor penting untuk

53 Hasil wawancara dengan Ketua DPRD Kabupaten Badung Dr. I Putu Parwata....

104

menciptakan relasi keharmonisan antarwarga masyarakat yang berbeda agama.

Interaksi kehidupan sehari-hari, wadah Tri Eka Bhina, prinsip hidup menyama braya,

wadah suka duka, tradisi megibung, tradisi ngejot, gotong royong, tentu merupakan

nilai-nilai kearifan lokal budaya masyarakat Bali dan khususnya warga Banjar

Pegending yang menjadi kekuatan pemersatu untuk selalu hidup harmonis dalam

kemajemukan yang ada. Demikian juga, tentunya partisipasi dan dukungan para

tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat cukup penting dalam memberikan

kontribusi pemikirannya untuk selalu mengarahkan generasi muda Banjar untuk tetap

menjaga keharmonisan warga Banjar Pegending agar tetap aman, damai dan rukun

satu dengan yang lainnya.