bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · tugas pembantuan adalah penugasan dari...
Post on 30-Apr-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Kajian Pustaka
Ada beberapa penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Toni, A.B. Tangdililing dan Asmadi (2013)
dalam Jurnal Tesis PMIS-Universitas Tarumanegara-PSIS yang berjudul
“Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Kalimantan Barat: Suatau Studi tentang Penyusunan Raperda ”. Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat
masa periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 jika disimak dengan cermat
belum dapat melaksanakan fungsinya secara optimal, terutama dalam menyusun
Raperda yang memuat daftar urut dan prioritas Raperda. Kondisi ini dibuktikan
dengan data empiris mengenai rekapitulasi Raperda Provinsi Kalimantan Barat dari
tahun 2010–2012 bahwa persentase rasio pembahasan/legislasi (output) masih
rendah sangat rendah bila dibandingkan dengan target (input) yang ada.
Pelaksanaan Legislasi DPRD Provinsi Kalimantan Barat dalam penyusunan
Raperda, pada kenyataannya belum sesuai dengan harapan. Dalam pelaksanaan
kegiatan legislasi, terlihat Raperda yang dihasilkan DPRD Provinsi Kalimantan Barat
periode 2009-2014 relatif masih rendah, yakni banyak Peraturan Daerah selama
kurun waktu 2010-2012 tidak mencapai target bahkan terjadi penurunan dari tahun
ke tahun. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Provinsi
10
Kalimantan Barat dalam penyusunan Raperda Provinsi Kalimantan Barat, meliputi
faktor kemampuan, pengalaman dan penguasaan data.
Aludin (2009) dalam tugas akhir program magister Universitas Terbuka yang
berjudul “Hubungan Legislatif dengan Eksekutif dalam Pembentukan Peraturan
Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Wakatobi” membahas
mengenai hubungan lembaga legislatif dan eksekutif di Kabupaten Wakatobi dalam
pembentukan peraturan daerah diatur dalam Peraturan Daerah tentang pemeilihan
kepala desa yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No.
72 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pemerintahan Desa yang menyatakan
pemeilihan kepala desa dapat ditetapkan melaui peraturan daerah.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa hubungan antara lembaga
legislatif dan eksekutif dalam pembahasan Perda Pemilihan Kepala Desa di Kab.
Wakatobi telah berjalan sesuai dengan kesetaraan dan kemitraan yang diamanatkan
dalam UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini tercermin dari pelibatan yang seimbang antara
unsur legislatif dan eksekutif pada pembahasan raperda melalui sidang paripurna
DPRD.
Eduart Hartono (2009) dalam tugas akhir program magister Universitas
Terbuka yang berjudul “Hubungan anatar Aspek-Aspek Pendidikan dan Pelatihan
Anggota DPRD dengan Unsur Kinerja Anggota DPRD: Studi pada Anggota DPRD
Kabupaten Lampung Tengah” menyatakan bahwa tugas sebagai anggota DPRD
merupakan suatu pekerjaan yang unik karena anggota DPRD direkrut dari berbagai
latar belakang termasuk latar belakang pendidikan yang beragam. Dengan latar
belakang yang beragam tersebut anggota DPRD dituntut untuk mampu menganalisis
11
permasalahan dalam bobot tanggung jawab yang sama. Program pendidikan dan
pelatihan untuk anggota DPRD dimaksudkan anatara lain untuk mengurangi
kesenjangan pengetahuan yang dimiliki, sekaligus untuk menyatukan fokus dan
cakrawala berfikir anggota DPRD demi peningkatan kinerja bersama.
Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa secara umum aspek-aspek
pendidikan dan pelatiahn memiliki hubungan yang signifikan dengan unsur kinerja
anggota DPRD. Hal ini berarti bahwa peningkatan kinerja anggota DPRD salah
satunya ditentukan oleh pendidikan pelatihan yang ditempuh oleh anggota DPRD.
Penelitian yang dilakukan oleh Tedi, Amanda dan Pascarani (2014) dalam
laporan akhir penelitian dosen muda yang berjudul “Analisis Dinamika Hubungan
DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyususunan Produk Legislasi Daerah di
Kabupaten Karangasem Tahun 2012-2013” dilatar belakangi oleh Relasi Kepala
Daerah dengan DPRD bervariasi antar daerah. Kondisinya tergantung pada faktor
kapasitas figur kepala daerah, asal partai, besaran jumlah dukungan masyarakat
(popular vote), serta konfigurasi kekuatan politik di DPRD (Marijan, 2010). Kepala
daerah yang dipilih mayoritas mutlak dan memperoleh dukungan koalisi partai-partai
yang memiliki suara mayoritas di DPRD cenderung berpola executive heavy. Kepala
daerah berkarakteristik seperti ini memiliki legitimasi kuat karena popular vote
pilihan rakyat. Kepala daerah yang memiliki dukungan besar dari partai-partai yang
mengendalikan kekuasaan di DPRD, maka secara politik anggota DPRD cenderung
bertanggung jawab pada dukungannya tersebut, sehingga dalam menjalankan
fungsinya, DPRD cenderung memberikan dukungan kebijakan pemerintah daerah
daripada melakukan perlawanan.
12
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa Dinamika hubungan Kepala
Daerah dan DPRD di Kabupaten Karangasem cenderung mengarah pada executive
heavy. Kepala Daerah banyak mengambil peran sepihak tanpa melibatkan DPRD
sebagai mitra penganggaran dan pengawasan. Muara koreksi fraksi pada aktifitas
rapat paripurna berkisar pada pemetaan problem besar, seperti kinerja pengelolaan
keuangan daerah, tranparansi dan prioritas pembangunan, serta trend sisa lebih pagu
anggaran (SiLPA) yang senantiasa naik setiap akhir tahun anggaran. Saran kedepan
agar relasi Kepala Daerah dan DPRD lebih menunjukan pola balanced power. DPRD
memiliki kemampuan yang professional dalam menghasilkan produk legislasi.
Ketersediaan tim ahli yang kompeten menjadi pendukung yang baik bagi berdayanya
anggota legislatif dalam menghasilkan insiatif legislasi.
Dari keempat penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dilihat
bahwa penelitian mengenai “Kinerja Legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli” belum
pernah dilakukan. Akan tetapi terdapat sedikit persamaan antara keempat penelitian
diatas dengan penelitian yang akan penulis teliti. Persamaan penelitian oleh Toni
Kurniadi dkk dan Aludin ini yaitu sama-sama membahas fungsi legislasi DPRD.
Kemudian penelitian dari Eduart Hartono dan Tedi Dan kawan-kawan juga memiliki
persamaan dalam membuat produk legislasi hanya perbedaannya terletak pada fokus
penelitian yang dilakukan oleh Eduart adalah aspek pendidikan dan pelatihan untuk
meningkatkan kualitas produk legislasi, sedangkan penelitian yang akan penulis teliti
ini akan memfokuskan pada permasalahan produk melalui kinerja legislasi DRPD
Kabupaten Tolitoli, secara khusus inovasi produk legislasi yang dapat memecahkan
atau meningkatkan pertumbuhan lokalistik daerah.
13
2.2.Kerangka Konseptual
2.2.1. Gambaran Umum dan Indikator Kinerja
a. Gambaran Umum Kinerja
Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat
keberhasilan individu maupun kelompok. Kinerja (performance) adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic
planning suatu organisasi (M. Mahsun,2009). Mahsun juga menyatakan bahwa
kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut
mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini
berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa tujuan
atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak dapat diketahui karena tidak ada
tolak ukurnya.
b. Indikator Kinerja
Indikator kinerja (performance indicators) sering disamakan dengan
pengukuran kinerja (performance measure). Namun sebenarnya, meskipun keduanya
merupakan kriteria pengukuran kinerja, terdapat perbedaan makna. Indikator kinerja
mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya
hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja, sehingga bentuknya cenderung kualitatif
(Mahsun, 2009). Hal ini menegaskan bahwa indikator kinerja dapat dianalisa secara
kualitatif tanpa menghilangkan setiap faktor yang mempengaruhinya.
14
Pemerintah daerah dapat melakukan sejumlah perbandingan dalam upaya
melakukan analisis kinerja di organisasinya. Menurut Mahsun (2009) menyatakan
beberapa perbandingan yang bisa dilakukan anatara lain:
a) Membandingkan kinerja tahun ini denga kinerja tahun lalu
b) Membandingkan kinerja tahun ini dengan berbagai standar peraturan yang
diturunkan dari pemerintah pusat atau dari daerah sendiri
c) Membandingkan kinerja unit atau seksi yang ada pada sebuah departemen
dengan unit atau departemen lain yang menyediakan jasa layanan yang sama
d) Membandingkan dengan berbagai ketetuan pada sektor swasta
e) Membandingkan semua bidang dan fungsi yang menjadi tangggungjawab
pemerintah daerah dengan bidang dan fungsi yang sama pada pemerintah
daerah lain.
Indikator kinerja sebagai pembanding kinerja legislasi disini akan lebih
menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku baik dari pusat
maupun produk legislasi lokal.
2.2.2. Pemerintah Daerah dalam Menjalankan Desentralisasi
a. Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah
daerah pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15
Definisi diatas memberikan penjelasan bahwa pemerintah daerah sebagai
penyelenggara daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
desentralisasi dimana unsur penyelenggara pemerintah daerah adalah Gubernur,
Bupati atau Walikota dan perangkat daerah. Hal ini menegaskan bahwa kepala
daerah dan DPRD memiliki hubungan kemitraan yang sejajar atau patnership.
b. Asas-Asas Pemerintah Daerah
Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, khususnya pemerintahan
daerah, sangat bertalian erat dengan beberapa asas dalam pemerintahan suatu negara,
yaitu asas sentralisasi, asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas
pembantuan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004.
Asas sentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana segala kekuasaan
dipusatkan di pemerintah pusat. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal wilayah tertentu. Sedangkan asas
tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa;
dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari
pemerintah kebupaten/kota kepada desa untuk tugas tertentu. Dengan demikian, dari
sekian banyaknya asas-asas pemerintahan daerah, desentrasi merupakan asas yang
menyatukan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau
dari pemerintah daerah yang lebih tingggi kepada pemerintah daerah yang lebih
rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Oleh karena itu,
16
prakarsa, wewennag dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan
sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu.
c. Otonomi Daerah
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Guna merealisasikan amanat UUD tersebut, maka melalui Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali direvisi,
pemerintah memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah berarti hak,
wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Dwidjoyanto,2000)
Hakekat otonomi daerah merupakan kemandirian daerah itu sendiri, sehingga
daerah yang otonom dapat disebut daerah yang mandiri baik dalam membuat
maupun melaksanakan keputusan yang terbaik bagi masyarakat. Tujuan adanya
otonomi daerah yaitu untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melaui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah
adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.Penerapan model demokrasi lokal ini
mengandung arti bahwa penyelengggaraan desentralisasi dan otonomi daerah
menuntut adanya partisipasi dan kemandirian masyarakat lokal tanpa mengabaikan
17
prinsip persatuan bangsa dan negara. Partisipasi dan kemandirian disini adalah
berkaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atas
prakarsa sendiri yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Smith
dalam Khairul, 2009:63)
Smith juga memiliki pandangan bahwa otonomi daerah merupakan
wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalistik menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, dengan demikian
desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk
memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi
kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. (Smith dalam Khairul, 2009:63)
2.2.3. Tujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
a. Pengertian DPRD Kabupaten
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang disingkat DPRD
Kabupaten adalah bentuk lembaga perwakilan rakyat daerah di Indonesia yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten.
(Saldi Isra, 2013:249)
DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi
mitra dari pemerintah daerah. Sejajar dan menjadi mitra memiliki arti bahwa DPRD
dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan
pemerintahan daerah yang efisien, efektif dan transparan dalam rangka memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat demi terjaminnya produktivitas dan
kesejahteraan masyarakat di daerah. (Dedi S.B & Dadang S., 2002:232)
18
b. Hak, Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten
DPRD memiliki hak yang melekat dari setiap anggota DPRD sesuai dengan
UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Pertama, hak
interplasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua, hak angket adalah hak
DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu peraturan daerah
dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, hak menyatakan
pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah
atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia
internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, atau dugaan
perbuatan tercela, dan/atau Bupati dan/atau Wakil Bupati adalah tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Bupati dan/atau Wakil Bupati
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD
juga mengatur tentang tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota, antara lain
membentuk peraturan daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota; membahas
dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran
pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota yang diajukan oleh Bupati/Walikota;
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah Kabupaten/Kota; mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota kepada
19
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk mendapatkan pengesahan
pengangkatan dan/atau pemberhentian; memilih Wakil Bupati/Wakil Walikota dalam
hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota; memberikan pendapat
dan pertimbangan kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota terhadap rencana
perjanjian internasional di daerah; memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota;
meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Walikota dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota; memberikan persetujuan
terhadap rencana kerjasama dengan daerah pihak lain atau dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan daerah; mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan melaksanakan
wewenang dan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2.2.4. Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
a. Kedudukan dan Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
Pemegang Fungsi Legislasi
Berdasarkan ketentuan pasal 363 dan 364 UU Republik Indonesia No. 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, DPRD
Kabupaten/Kota terdiri atas anggota partai politik peserta pernilihan umum yang
dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Kedudukan DPRD Kabupaten/Kota
adalah sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota. Berdasarkan pasal 148 ayat (1)
20
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengemukakan bahwa DPRD
Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah Kabupaten/Kota yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten/Kota.
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tiga fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Fungsi legislasi DPRD yakni menyusun perundang-undangan dalam
bentuk Peraturan Daerah. Fungsi anggaran DPRD yakni memberikan persetujuan
terhadap rencana anggaran daerah yang mencakup rencana anggaran pendapatan,
belanja, dan pembiayaan. Fungsi pengawasan DPRD adalah memastikan berjalannya
perundang-undangan yang ada dan optimalnya kinerja eksekutif (Yunita, 2004).
Ketentuan UU Republik Indonesia No. 22 Tahun 2003 pasal 77,
mendefinisikan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang merupakan fungsi
DPRD Kabupaten/Kota untuk membentuk peraturan daerah Kabupaten/Kota
bersama Bupati/Walikota, dan membuat ketentuan yang menyangkut internal DPRD
Kabupaten/Kota.
Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk
melaksanakan fungsi legislasi Anggota DPRD, para anggota DPRD diberi hak
prakarsa mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), hak amandemen
(mengubah Raperda baik secara subtansial maupun redaksional), dan hak anggaran
termasuk mengajukan RAPBD, mengajukan bentuk dan arah kebijakan anggaran
pendapatan dan belanja daerah , menentukan alokasi anggaran menurut program dan
lokasi sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf d sampai g. Proses fungsi legislasi dapat dilihat
pada bagan di bawah ini.
21
Gambar 2.1. Proses Fungsi Legislasi
Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007
Merujuk pada UU No. 12 Tahun 2011 pasa1 7 ayat (1), Perda merupakan
bentuk hukum terendah dari hierarki bentuk peraturan perundangan di Indonesia.
Secara keseluruhan, jenis peraturan dan hierarki peraturan perundang-undangan
adalah sebagai berikut: (1) UUD Republik Indonesia Tahun 1945; (2) UU/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan
Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. Tata urutan hukum di Indonesia , dapat dilihat
dari gambar dan tabel dibawah ini.
Gambar 2.2. Tata Urutan Hukum di Indonesia
Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007
b. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan khususnya pasal 5 dan pasal 6 yang merumuskan bahwa dalam
22
membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi; kejelasan tujuan,
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan,
dan keterbukaan.
Peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya adalah peraturan
daerah juga harus memiliki asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011. Hal ini dimaksudkan agar setiap perda yang
terbentuk dapat dijalankan dengan efektif, efisien dan tidak bertentangan dengan
peraturan lainnya.
c. Tahapan Pembentukan Peraturan Daerah
UU No. 12 Tahun 2011 pasal 26 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan menyebutkan bahwa Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Gubernur, atau Bupati/Walikota, masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Secara
umum, terdapat tujuh langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru.
Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh
langkah ini perlu dilalui.
Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah.
Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana
peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah.
Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik.
Langkah 4 : Penulisan Rancangan Perda.
23
Langkah 5 : Penyelenggaraan konsultasi publik: Revisi rancangan perda.
Apabila diperlukan, melakukan konsultasi publik tambahan.
Langkah 6 : Pembahasan di DPRD.
Langkah 7 : Pengesahan Perda.
Alur proses penyusunan Perda dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3. Tahapan Penyusunan Perda
Sumber: Legal Drafting Pembentukan Perda Tahun 2007
Berdasarkan ketentuan pasal 140 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 32 Tahun
2004, jika dalam waktu yang bersamaan (Satu masa sidang) kepala daerah
(Bupati/Walikota) dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang
sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD,
sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh kepala daerah digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.
Ketentuan ini menegaskan penguatan terhadap DPRD sebagai representatif
rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi daerah dalam arti DPRD memiliki peluang
24
dan kewenangan yang luas dalam pembentukan Perda. Peraturan Pemerintah No. 25
Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah pasal 95 ayat (1) secara tegas dinyatakan juga bahwa DPRD
memegang kekuasaan dalam membentuk Perda. Penguatan DPRD dalam proses
legislasi di daerah merupakan konsekuensi logis dari lembaga tersebut sebagai
lembaga perwakilan. Oleh karena itu DPRD dengan kedudukan sebagai lembaga
perwakilan rakyat daerah yang salah satu tugas dan wewenangnya membentuk Perda
yang dibahas bersama kepala daerah harus memiliki kepekaan dalam merespon dan
menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat dalam proses pembahasan dan
pengesahan Perda.
Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,
dan/atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi
berdasarkan pasal 141 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 28 ayat (1) UU No.
10 Tahun 2004. Berdasarkan atas ketentuan tersebut gagasan untuk membentuk
sebuah Perda dapat diusulkan oleh setiap anggota DPRD.
Tahapan pembahasan rancangan perda baik rancangan yang berasal dari
DPRD maupun dari Kepala daerah dibagi dalam 4 tahap atau tingkatan yang
dilakukan DPRD bersama kepala daerah. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi
penjelasan kepala daerah dalam Rapat Paripurna tentang penyampaian Raperda yang
berasal dari kepala daerah, atau penjelasan dalam rapat paripurna oleh pimpinan
komisi/gabungan komisi atau pimpinan panitia khusus terhadap Raperda dan/atau
perubahan Perda atas usul prakarsa DPRD.
25
Pembicaraan tingkat kedua meliputi; Raperda yang berasal dari Kepala
Daerah: (a) Pandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari
kepala daerah, (b) Jawaban kepala daerah terhadap pandangan umum fraksi-fraksi.
Raperda atas usul DPRD: (a) Pendapat kepala daerah terhadap Raperda atas usul
DPRD, (b) Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat kepala daerah.
Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat
komisi/gabungan komisi atau rapat panitia khusus dilakukan bersama-sama dengan
kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk. Pembicaraaan tingkat keempat meliputi:
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat paripuma yang didahului dengan (a) Laporan
hasil pembicaraan tahap ketiga; (b) Pendapat akhir fraksi; (c) Pengambilan
keputusan. (2) Penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan
keputusan terhadap Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala
Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah (Ropi'i, 2007).
d. Bentuk Produk Legislasi Daerah
Menurut Mardiasmo (2004), produk legislasi yang dibuat oleh eksekutif dan
legislatif dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu kelompok rutin seperti
pengesahan APBD, perubahan APBD, dan pengesahan perhitungan APBD,
sedangkan yang kedua adalah kelompok insidentil, yaitu meliputi semua peraturan
kepala daerah yang hanya dibuat sekali atau sesuai dengan kebutuhan. Menurut UU
No. 12 Tahun 2011, terdapat tiga jenis peraturan yang dapat dibuat oleh Daerah
sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yaitu:
a. Peraturan Daerah;
26
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Keputusan Kepala Daerah; dan
d. Peraturan Bersama Kepala Daerah ( Permendagri No. 15/2006).
Ranah DPRD adalah peraturan daerah, sedangkan peraturan kepala daerah
dan keputusan kepala daerah adalah ranah kepala daerah sebagai penjabaran dari
Perda. Sebagai daerah otonom berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009, secara subtantif
Perda seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip keotonomian suatu daerah yang
berbasis pada kondisi dan kebutuhan nyata yang ada pada masyarakat dan
pemerintahannya (Noordiansyah, 2009). Hal inilah yang membuat fungsi legislasi
dapat menghasilan produk berupa Perda menjadi kunci utama dalam melaksanakan
asas desentralisasi. Lembaga yang memiliki kewenangan tersebut adalah DPRD.
e. Indikator Kinerja Legislasi DPRD
Pada penelitian ini, penulis perlu menguraikan teori-teori dan konsep yang
berkaitan dengan indikator kinerja menurut Robbins (2006) yang akan
mempengaruhi kinerja legislasi DPRD dalam kaitan studi analisis kinerja DPRD
Kabupaten Tolitoli. Berikut ini merupakan beberapa konsep yang berkaitan dengan
objek penelitian, antara lain:
a) Kualitas
Kualitas kinerja diukur dari persepsi pelaku organisasi terhadap kualitas
pekerjaan yang dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan
kemampuan pelaku organisasi (Robbins, 2006). Pelaku organisasi dalam penelitian
ini adalah anggota DPRD Kabupaten Tolitoli dalam rangka mencapai kesempurnaan
27
menjalankan fungsi legislasi dari keterampilan dan kemampuan anggota DPRD
Kabupaten Tolitoli.
Salah satu alat ukur keteramilan dan kemampuan anggota DPRD tersebut
adalah melalui analisis pendidikan anggota DPRD Kabupaten Tolitoli. Pendidikan
adalah suatu cara yang berkaitan dengan suatu perubahan didalam bertingkah laku
karena pengalaman dan keterampilan serta pengetahuan yang diperolehnya.
Perubahan yang terjadi didalam diri seseorang karena adanya proses belajar, dapat
berupa pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Perubahan ini merupakan suatu
proses dimana seseorang menerima gagasan baru atau keterampilan yang dapat
memuaskan diri. Jika seseorang telah memiliki keinginan yang kuat untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya, maka ia akan mempunyai semangat dan mendorong untuk
belajar.
Pendidikan merupakan faktor individu yang sangat mempengaruhi kinerja
organisasi karena dianggap sangat kompleks sebab pendidikan akan menentukan
kemapuan seseorang dalam menjalankan manajerial, kedisiplinan, komitmen, dan
kreativitas.
b) Kuantitas
Kuantitas merupakan jumlah yang dihasilkan atau dinyatakan dalam istilah
seperti jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan (Robbins, 2006).
Kuantitas penelitian ini akan diukur melalui jumlah Perda yang dihasilkan oleh
DPRD Kabupaten Tolitoli selama periode Tahun 2009-2014 dari jumlah Raperda
yang dijadikan prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Daerah DPRD
Kabupaten Tolitoli. Kuantitas akan menentukan kinerja DPRD Kabupaten Tolitoli
28
dalam menjalankan fungsi legislasi atau membuat peraturan perudang-undangan di
tingkat daerah.
c) Ketepatan Waktu
Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu
yang dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain (Robbins, 2006). Ketepatan
waktu DPRD Kabupaten Tolitoli dalam menyelesaikan Raperda menjadi Perda
dalam setiap pembahasan Raperda pada masa sidang merupakan salah satu indikator
yang dapat dianalisa untuk mengetahui kinerja legislasi DPRD Kabupaten Tolitoli.
d) Efektivitas
Efektivitas merupakan tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga,
uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan hasul dari
setiap unit dalam penggunaan sumber daya (Robbins, 2006). Sumber daya DPRD
Kabupaten Tolitoli dalam menjalankan fungsi legislasi telah diatur berdasarkan UU
No. 12 Tahun 2011 pasal 26 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
serta UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD juga mengatur
tentang tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan struktur yang
dibentuk berdasarkan Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Robbins (1996) membuat
perincian mengenai segi-segi struktur organisasi. Perspektif perubahan organisasinya
nampak dari faktor-faktor determinan (penentu) struktur organisasi. Dimensi-dimensi
struktur organisasi adalah: (1) Kompleksitas; (2) Formalisasi; dan (3) Sentralisasi.
Dimensi-dimensi ini telah mencakup unsur-unsur struktural.
29
Pengambilan keputusan tergantung dari struktur organisasi. Sentralisasi
mempertimbangkan dimana letak dari pusat pengambilan keputusan yang dapat
berada di puncak organisasi, didelegasikan ke level bawah, atau diberikan kepada
suatu tim yang bersifat sementara (ad hoc). Keputusan sebuah organisasi
menerapkan sentralisasi ataupun desentraslisasi didasarkan pada kebutuhan dan
tujuannya. Sentralisasi-desentralisasi dianggap penting karena organisasi adalah
sistem pengambilan keputusan dan pengolahan informasi melalui sekumpulan orang.
Organisasi membantu pencapaian tujuan melalui koordinasi dari usaha
kelompok, pengambilan keputusan dan pengolahan informasi adalah yang utama
agar koordinasi dapat terlaksana. Organisasi harus menanggapi dengan cepat
perubahan kondisi yang terdapat pada titik dimana perubahan itu teljadi.
Desentralisasi mendorong tindakan yang cepat karena menghindari kebutuhan untuk
memproses informasi melalui hirarki vertikal (Robbins, 1996).
e) Kemandirian
Kemandirian merupakan tingkat seseorang pelaku organiasi yang nantinya
akan menjalankan fungsi kerjanya, serta komiten kerja yaitu suatu tingkat dimana
pelaku organisasi mempunyai komitmen kerja dengan instansi dan tanggungjawab
pelaku organisasi terhadap kantor/institusi (Robbins, 2006). Pola yang terbentuk atau
kebiasaan cara kerja DPRD Kabupaten Tolitoli dalam menjalankan fungsi legislasi
akan mempengaruhi kinerja DPRD Kabupaten Tolitoli sehingga dapat membentuk
sebuah budaya organisasi atau kultur organisasi.
Selain dipengaruhi oleh variabel-variabel pendidikan dan struktural, kinerja
suatu organisasi juga akan dipengaruhi oleh kultur atau budaya organisasi itu sendiri.
30
Kultur atau budaya organisasi adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh
organisasi, dan asumsi serta kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota
organisasi. Kultur yang kuat dicirikan oleh nilai inti organisasi yang dianut dengan
kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan bersama secara luas serta menjadi sebuah
kebiasaan.
f) Lingkungan
Dalam bukunya yang berjudul Teori Organisasi, Struktur, Desain dan
Aplikasi (1996), Robbins menyatakan bahwa dalam setiap proses dan analisis, faktor
lingkungan selalu memberi pengaruh dan dampak yang cukup signifikan
dibandingkan dengan faktor-faktor yang lainnya. Oleh karena itu, faktor lingkungan
penting dalam analisis mengenai kinerja lembaga DPRD, karena setiap
lembaga/organisasi beroperasi di bawah pengaruh lingkungan. Tidak ada
lembaga/organisasi yang beroperasi dalam kevakuman. Organisasi selalu berinteraksi
dengan lingkungannya (Robbins, 1996).
Robbins juga mengemukakan bahwa lingkungan organisasi adalah segala
sesuatu yang berada di luar organisasi yang selanjutnya dibedakan menjadi dua
kategori lingkungan organisasi, yaitu lingkungan umum dan lingkungan khusus.
Lingkungan umum mencakup kondisi yang mungkin mempunyai dampak terhadap
organisasi tetapi relevansinya tidak begitu jelas. Termasuk keadaan politik,
lingkungan sosial, hukum, dan lain-lain. Lingkungan khusus adalah bagian dari
lingkungan yang secara langsung relevan bagi organisasi dalam mencapai tujuannya.
Lingkungan khusus antara lain mencakup klien atau pelanggan, pemasok, para
pesaing, lembaga pemerintah, dan kelompok penekan.
31
2.3.Kerangka Pemikiran
Permasalahan
Rumusan Masalah
Tujuan
Analisis
Analisis Kinerja Legislasi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Periode Tahun 2009-2014
Kinerja Legislasi DPRD (Perda)
tidak sesuai aturan dan harapan
Minimnya
produk legislasi
yang bersumber
dari usulan
DPRD
Mayoritas
usulan Perda
dari eksekutif
Inovasi daerah
dalam membuat
produk Perda
untuk
memecahkan
persoalan
lokalistik masih
kurang
Bagaimana kinerja legislasi DPRD Kabupaten
Tolitoli periode tahun 2009-2014?
Untuk mengetahui kinerja legislasi DPRD
Kabupaten Tolitoli periode tahun 2009-2014.
Menganalisis kinerja
legislasi DPRD
Kabupaten Tolitoli
periode tahun 2009-
2014
Indikator kinerja
(Robbins, 2006):
1. Kualitas
2. Kuantitas
3. Ketepatan Waktu
4. Efektivitas
5. Kemandirian
6. Lingkungan
lingkungan
top related