bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum perkawinan 1 ...eprints.umm.ac.id/39698/3/bab ii.pdf ·...
Post on 28-May-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian nikah berasal dari kata bahasa arab, yang artinya bahasa
berati menyatu atau berkumpul. Sedangkan berdasarkan istilah yang lain
berarti degan akad nikah atau ijab qobul yang mengharuskan sebuah
hubungan yang terjadi sepasang manusia diucapkan dengan kata-kata.
Kata nikah ini dalam bahasa Indonesia diartikan dengan arti kawin.20
Perkawinan atau nikah, artinya ialah akad atau ikatan lahir batin
diantara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang menjamin
halalnya pergaulan sebagai suami istri dan sahnya hidup berumah tangga,
dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera.21
Selain itu, pengertian mengenai perkawinan juga diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalmidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.”
Selanjutnya Pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
20
Sulaiman, Fiqih Munakahat, www.webislam.com diakses pada tanggal 27 Mei
2017 pukul 23.07 WIB 21
Haya Binti Mubarok Al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Darul Falah,
Cetakan Ke Delapan Edisi Indonesia, Jakarta, Muharram 1422 H., hal 97
16
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”. yang dimaksud dengan
ikatan lahir dan batin adalah kedua belah pihak dapat saling mengerti dan
memahami, sehingga tujuan atas dibentuknya suatu pernikahan dapat
terpenuhi dan dapat dengan ikhlas melaksanakan hak dan kewajiban yang
dimilikinya.
Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa perkawinan adalah
suatu kesepakatan atau perjanjian antara pria dan wanita yang
mengikatkan dirinya dalam hubungan suami istri agar dapat menghalalkan
hubungan kelamin guna mendapatkan keturunan dan mencapai tujuan
hidup dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Adapun dasar Hukum yang digunakan oleh umat muslim di
Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Al- Qur’an dan As-Sunnah
b. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
d. Kompilasi Hukum Islam
3. Hukum-hukum Perkawinan
Pada dasarnya, perkawinan menurut Islam adalah Sunnah Muakad
yang mana hal ini adalah suatu perbuatan sunnah yang sangat mendekati
dengan wajib. Akan tetapi hukum perkawinan ini dapat berubah sesuai
17
dengan keadaan setiap orang yang mengalaminya. Oleh sebab itu, disinilah
ada beberapa hukum perkawinan yaitu :22
a. Wajib, bagi orang yang sudah mampu kawin, nafsunya telah mendesak
dan takut terjerumus dalam perzinahan wajiblah dia kawin, karena
menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib.
b. Sunnat, yaitu bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu
kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari perbuatan zina. Dalam
kategori ini kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam
ibadah.
c. Haram, bagi orang yang tidak mampu memenuhi nafkah batn dan lahir
kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak.
d. Makruh, yaitu bagi seseorang yang lemah syahwat dan tdak mampu
memberi belanja istrinya.
e. Mubah, yaitu bagi laki-laki yang terdesak oleh alasan-alasan yang
mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang
mengharamkan untuk kawin.
4. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan
a) Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 14 disebutkan rukun – rukun
pernikahan yang harus dipenuhi yaitu :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali Nikah;
22
Ibid, hal 113
18
d. Dua Orang Saksi; dan
e. Ijab dan Kabul
Menurut Mahmud Yunus, dari kelima rukun pernikahan tersebut
juga masih ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu23
:
1) Syarat Calon Suami
a) Harus yang beragama Islam, apabila seorang perempuan
muslim dan mempelai laki-laki tidak beragama Islam, maka
pernikahan tersebut akan batal.
b) Harus dalam keadaan diperbolehkan menikah, bukan dalam
keadaan ihram, haji atau umrah.
c) Harus atas kemauannya sendiri, bukan menikah karena paksaan
d) Harus ada kepastian, tidak adanya pilihan (memilih salah satu
dari dua laki-laki).
e) Harus mengetahui nama mempelai perempuan secara jelas atas
nama terang dan nasabnya.
2) Syarat Calon Istri
1. Harus dalam keadaan diperbolehkan menikah, bukan dalam
keadaan ihram, haji atau umrah;
2. Harus ada kepastian tidak adanya pilihan (memilih salah satu
dari dua perempuan);
3. Harus dalam keadaan bebas, yaitu bebas dari pernikahan atau
tidak dalam masa iddah
23
Mahmud Yunus, 1938, Fiqih Wadhih Juz 3, Bandung :Syirkatul Ma’arif
lithab’I wan Nasyr, Hal 16-19
19
3) Syarat Seorang Wali
a. Harus orang yang memang benar-benar terpilih;
b. Harus orang yang sudah baligh atau dewasa;
c. Harus orang yang berakal sehat;
d. Harus seorang laki-laki;
e. Harus seorang yang beragama Islam apabila mempelai
perempuan juga beragama Islam;
f. Bukan termasuk orang yang Fasik;
g. Harus dalam keadaan diperbolehkan menjadi wali.
4) Syarat menjadi 2 Saksi
a. Beragama Islam;
b. Baligh atau dewasa;
c. Berakal, tidak gila;
d. Seorang laki-laki;
e. Seorang yang merdeka (bukan budak);
f. Orang yang dapat melihat, mendengar, berbicara dan
memahami bahasa yang digunakan oleh wali dan calon
mempelai laki-laki;24
g. Orang yang sehat bukan orang yang pikun;
h. Orang yang dapat berlaku adil.
5) Syarat pengucapan Akad
24
Abdur Rahman Ghozali, 2006, Fiqih Munakahat Cet II, Jakarta : Kencana,
Hal 64
20
a. Harus dikatakan dengan jelas dan lantang meskipun
menggunakan bahasa daerah;
b. Kata-kata yang diucapkan harus sesuai dengan apa yang
dikatakan wali.
b) Syarat Sahnya Perkawinan
Dalam Islam ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk melaksanakan perkawinan, yang mana setelah terpenuhi hal-hal
tersebut maka pernikahan yang diadakan barulah dianggap sah, syarat-
syarat tersebut disebutkan ada 6 yaitu :25
1) Menyebutkan siapa saja yang menjadi mempelai, hal ini disebutkan
dengan jelas siapakah nama terang dari kedua mempelai tersebut;
2) Mempelai perempuan halal dinikahi oleh calon suaminya;26
3) Ridho dari kedua orangtua;
4) Adanya wali bagi mempelai perempuan;
5) Adanya 2 saksi saat akad diucapkan;
6) Kafaah, adanya kesetaraan antara seorang mempelai laki-laki
dengan calon mempelai perempuan dalam masalah tertentu seperti
keturunan, pekerjaan, merdeka, agama, harta (sekufu).27
25
Syekh Abdullah, 2013, Modul Pembelajaran Tafsir Ahkam Jurusan Syari’ah,
hal 2 26
Ahmad Azhar Basyir, 2014, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press,
Hal 31 27
Quraish Shihab, 2007, Pengantin Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, Hal 57
seperti dikutip dalam skripsi Melia Fitri 2014, Pelaksanaan Bimbingan Pra Nikah bagi
Calon Pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pondok Aren Kota
Tangerang Selatan, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, Bab II Hal 39
21
7) Mahar yaitu pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak
mempelai perempuanberupa harta atau manfaat karena adanya
ikatan perkawinan.28
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka harus
memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan
dibedakan dalam :29
1. Syarat-syarat Materiil, yaitu syarat mengenai orang-orang yang
hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai
persetujuan, izin dan kewenangan untuk memberi izin. Syarat-
syarat materiil diatur dalam pasal 6 s/d 11 UU No. 1 tahun 1974,
yang dapat dibedakan lagi dalam syarat materiil yang
absolut/mutlak dan syarat materiil yang relatif/nisbi.
a. Syarat materiil yang absolut/mutlak merupakan syarat-syarat
yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan dengan siapaun
dia akan melangsungkan perkawinan, yang meliputi:
1) Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16
tahun (pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974). Dalam
terdapat penyimpangan dari batas umur tersebut dapat
mememinta dispensasi kepada Pengadilan;
2) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau
persetujuan antara kedua calon mempelai (pasal 6 ayat 1);
28
Ahmad Azhar Basyir, Op.cit, Hal 261 29
Komariah, 2013, Hukum Perdata Edisi Revisi, Malang: UMM Press, hal 37-41
22
3) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin dari kedua orang tuanya (pasal 6 ayat 2).
4) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tuanya telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat
(2) cukup diperoleh dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua
telah meinggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluargaa yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan mampu
menyatakan kehendaknya.
Menurut pasal 6 ayat 6 UU No. 1 tahun 1974, ketentuan
tentang pihak-pihak yang berwenang memberikan izin
tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya tidak menentukan lain.
b. Syarat materiil yang relatif/nisbi, merupakan syarat yang
melarang perkawinan antara seseorang dengan seseorang yang
tertentu, yaitu:
1) Larangan kawin antar orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan
23
karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam
pasal 8 UU no. 1 tahun 1974:
a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah atau pun ke atas.
b) Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyamping.
c) Berhubungan semenda.
d) Berhubungan susuan.
e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri dalam Hal seorang suami
beristri lebih dari istri.
f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
2) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan
orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali seorang suami
yang oleh pengadilan diizinkan untuk poligami karena
ditentukan dalam Pasal 9 UU No 1 tahun 1974.
3) Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai
kawin lagi satu dengan yang lainnya untuk kedua
kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain dalam pasal 10 UU No. 1 tahun 1974.
24
4) Seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang
kawin lagi sebelum habis jangka tunggu dalam pasal 11
UU No. 1 tahun 1974.
2. Syarat-syarat Formil, yaitu syarat-syarat yang merupakan
formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah.
a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon
memepelai baik secara lisan maupun tertulis kepada pegawai
pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam
jangka waktu sekurang-kurangnya. 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 dan 4 PP No. 9
tahun 1975).
b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya
pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan
Perkawinan. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah
pegawai pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat
kelengkapan yang harus dipenuhi oleh mempelai. Perkawinan
tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati hari ke-10
setelah diumumkan (pasal 10 PP No. 9 tahun 1975). Menurut
pasal 57 KUH Pdt yang masih berlaku karena tidak diatur
dalam UU No. 1 tahun 1974, pengumuman yang sudah
melewati 1 (satu) tahun sedang perkawinan belum juga
dilaksanakan, maka perkawinan menjadi daluwarsa dan tidak
25
boleh dilangsungkan kecuali melalui pemberitahuan dan
pengumuman baru.
5. Tujuan Pernikahan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dijelaskan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan suami
isteri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan juga
disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang
menyebutkan bahwa : “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.” Adapun
beberapa tujuan lain atas adanya pernikahan yaitu :30
1. Melestarikan jenis manusia dengan adanya keturunan dan populasi.
2. Terpeliharanya kehormatan
3. Menentramkan dan menenangkan jiwa, dalam hal ini pasangan
memiliki fungsi sebagai penghibur atau sebagai tempat bertukar
pikiran
4. Mendapatkan keturunan yang sah, yang akan menyambung amal dan
pahala
5. Saling mendukung dan membantu antara suami istri
6. Mengembangkan tali silaturahmi dan memperbanyak keluarga,.
30
Team Penyusun Materi Nisaiyyah, 1997, Nisaiyyah 6, Mantingan :Kulliyatu –
l-Mu’allimat Al- Islamiyah Gontor Putri 1, Hal 81
26
B. Tinjauan Umum Kursus Calon Pengantin
1. Pengertian Kursus Calon Pengantin
Kata kursus dalam kamus bahasa Indonesia adalah pelajaran
tentang suatu pengetahuan atau kepandaian yang diberikan kepada
seseorang (siswa) dalam waktu singkat.31
Sedangkan arti kata pra adalah
sebelum32
dan nikah berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (hidup sebagai suami
istri tanpa melakukan pelanggaran terhadap agama).33
Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kursus pra nikah merupakan suatu
kegiatan yang berisi tentang hal-hal yang perlu diketahui oleh calon
mempelai sebelum melakukan perkawinan.
Pengertian kursus calon pengantin dalam Peraturan Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam adalah pemberian bekal pengetahuan,
pemahaman dan keterampilan dalam waktu singkat kepada calon
pengantin tentang kehidupan rumah tangga atau keluarga. Dengan adanya
kursus pra nikah ini diharapkan para calon mempelai dapat memahami dan
mengerti hal-hal apa yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan sebelum
mengambil keputusan yang besar dalam kehidupannya.
Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya kursus ini menghadirkan
narasumber yang dianggap mampu dan menguasai beberapa hal yang
berhubungan dengan perkawinan. Pemilihan narasumber ini telah
31
Trisno Yuono dan Pius Abdullah, 1994, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
Surabaya : Arkola Hal 251 32
Ibid, Hal 333 33
Yufid Aplikasi, KBBI Online
27
dijelaskan dalam Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No.
DJ.II/542 tahun 2013 Pasal 8 ayat (3) bahwa yang berhak menjadi
narasumber adalah terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga, tokoh
agama dan tokoh masyarakat.
Dalam kegiatan kursus pra nikah narasumber bertugas sebagai
pembimbing. Menurut Aunur Rahim Faqih seorang pembimbing dalam
bimbingan pernikahan selain memiliki keahlian dalam bimbingan dan
konseling harus memiliki keahlian lain seperti kemampuan
kemasyarakatan (mampu bergaul, berkomunikasi, bersilaturahmi dengan
baik dan sebagainya), dan kemampuan pribadi (beragama Islam dan
menjalankan dan memiliki akhlak mulia).34
Selain itu kemampuan
professional yang perlu dimiliki pembimbing Islam adalah :
a) Menguasai bidang permasalahan yang dihadapi, bidang yang
dimaksudkan disini adalah bidang pernikahan dan keluarga, bidang
sosial, bidang pendidikan dan sebagainya.
b) Menguasai metode dan teknik bimbingan dan konseling.
c) Menguasai hukum Islam yang sesuai dengan bidang bimbingan
tentang permasalahan yang dihadapi.
d) Memahami landasan-landasan keilmuan bimbingan dan konseling
Islam yang relevan.
34
Aunur Rahim Faqih, 2001, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: UII Press,
Hal 93 seperti dikutip dalam Skripsi Rista Endriani, Bimbingan Pra Nikah bagi Calon
Pengantin dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah, UIN Sultan Sarif Kasim, Riau, 2016
Bab I Hal 19
28
e) Mampu mengorganisasikan dan mengadministrasikan layanan
bimbingan dan konseling Islam.
f) Mampu menghimpun dan memanfaatkan hasil data penelitian yang
berkaitan dengan bimbingan dan konseling Islami.
2. Persiapan Pra Nikah
Pernikahan merupakan suatu keputusan terbesar dalam hidup
seseorang. Karena pada dasarnya menikah adalah suatu proses dimana
seseorang tersebut akan berkomitmen dan mengikat janji untuk menjalin
kehidupan bersama orang lain seumur hidupnya.35
Oleh sebab itu,
hendaknya para mempelai wajib memperhatikan beberapa hal sebelum
memutuskan untuk menikah, diantaranya yaitu :
a) Menikah itu adalah sebuah keputusan bukan pencapaian, dalam hal ini
pernikahan merupakan suatu langkah baru yang menuntut kita untuk
dapat menjadi pribadi yang lebih dewasa dalam menjalani kehidupan
ini.
b) Menikah itu adalah sebuah pembelajaran untuk saling memahami,
mempercayai dan bekerjasama dengan pasangan.
c) Menikah adalah suatu proses untuk belajar manajemen konflik yang
baik. Manajemen konflik sangatlah penting karena tidak ada
pernikahan yang jauh dari konflik atau permasalahan.
35
Ernia Karnia, Hal-hal yang Perlu Kamu Tahu Sebelum Memutuskan Untuk
Menikah, www.hipwee.com/2014 diakses pada 14 September 2017 pukul 09:20 WIB
29
d) Berusaha untuk menjadi pendengar yang baik dan dapat menahan
emosi, karena pada hakikatnya manusia tidaklah sempurna dan ingin
dimengerti.
Tidak cukup sampai disini, persiapan pra nikah bukan hanya dilihat
dari kesiapan mental saja melainkan juga dilihat dari kondisi fisik calon
mempelai, diantaranya yaitu : 36
a) Pemeriksaan Kesehatan
1) Pemeriksaan tekanan darah, LILA (Lingkar Lengan Atas) pada
calon pengantin perempuan;
2) Pemeriksaan darah rutin, Hb, Trombosit dan Leukosit;
3) Pemeriksaan darah yang dianjurkan :
3.1) HIV/AIDS;
3.2) Golongan darah dan rhesus;
3.3) Gula Darah Sewaktu (GDS); Thalasemia (Kelainan darah
yang diturunkan);
3.4) Hepatitis B dan C;
3.5) TORCH (Toksoplasmosis, Rubella, Citomegalovirus, dan
Herpes Simplex);
3.6) Pemeriksaan urin rutin;
3.7) Pemeriksaan lain dilakukan apabila ada keluhan (terasa panas
bila buang air kecil, kencing nanah, keputihan)
b) Pemenuhan gizi
36
Harsono, 2014, Buku Pintar Kesehatan Ibu dan Anak Bagi Calon Pengantin,
Surabaya : Seksi Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Povinsi Jawa Timur, Hal 3-6
30
1) Peningkatan Status gizi calon pengantin terutama bagi perempuan
dengan mengkonsumsi makanan gizi seimbang;
2) Meminum tablet penambah darah;
3) Tidak melakukan pantang makanan.
c) Olahraga,
Olahraga dengan tujuan dapat melancarkan metabolisme tubuh dan
sangat penting untuk mengurangi dampak stress dalam tubuh.
Olahraga mengaktifkan hormon-hormon dalam tubuh, dan dapat
membuat perasaan lebih rileks dan segar.
d) Status TT calon pengantin
Seorang ibu harus memiliki kekebalan yag cukup terhadap serangan
penyakit tetaunus untuk melindungi ibu dan bayi. Untuk itu baik di
saat catin atau saat hamil perlu dilakukan pemeriksaan status TTnya.
Apabila belum cukup maka perlu diberikan suntikan TT sesuai jadwal.
e) Hak Reproduksi sehat
1) Usia untuk hamil 20 – 35 tahun, apabila pernikahan dilaksanakan
sebelum 20 tahun maka sebaiknya menunda kehamilan (konsultasi
kepada tenaga kesehatan);
2) Jarak kelahiran antar anak minimal 2 tahun;
3) Jumlah anak yang dianjurkan sesuai dengan kesiapan ibu dan
keluarga.
31
3. Tujuan Pendidikan Pra Nikah
Selain menyiapkan berbagai kebutuhan pernikahan, calon
pengantin juga perlu menyusun jadwal untuk kelas edukasi atau sesi
knsultasi pra nikah. Situs Your Tango mengumpulkan pendapat ahli
mengenai konseling pranikah. 80 % pakar sepakat bahwa pasangan yang
melakukan konseling pra nikah kecil kemungkinannya untuk bercerai.37
Ada beberapa alasan mengapa pasangan butuh konseling pranikah,
diantaranya yaitu :
a) Punya pandangan ke depan, karena pada umumnya pasangan yang
sedang jatuh cinta tidak memikirkan hal apa yang akan terjadi ke
depannya;
b) Lebih teraah dalam menjalani hubungan;
c) Lebih baik dari konseling pasca menikah, karena jika konseling
dilakukan sebelum menikah maka memungkinkan kita untuk lebih
mempersiapkan diri dalam menghadapi kesalahpahaman atau
perbedaan pendapat;
d) Mempermudah penyatuan visi, dapat lebih memahami visi masing-
masing dan mencoba untuk dapat beradaptasi pada calon pasangan;
e) Membantu memahami keluarga pasangan, hal ini menjai sangat
penting karena pada hakikatnya pernikahan bukan hanya menyatukan
dua insan yang berbeda akan tetapi menyatukan dua keluarga dengan
latar belakang dan kebiasaan yang berbeda;
37
Wawa, 2012, 11 Alasan Pasangan Butuh Konseling Pranikah,
www.Lifestyle.Kompas.com, diakses pada tanggal 15 September 2017 pukul 01:58 WIB
32
f) Mengulas finansial dengan lebih terarah;
g) Mengasah kemampuan komunikasi, hal ini penting karena dengan
komunikasi yang baiklah suatu keluarga dapat menjadi nyaman dan
harmonis;
h) Mengurangi resiko perceraian;
i) Memiliki kemampuan menyelesaikan konflik.
Selain itu pada hakikatnya suatu pernikahan ada disebabkan karena
adanya keinginan seseorang untuk membentuk suatu keluarga. Keluarga
sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat merupakan lingkungan
budaya pertama dan utama dalam rangka menanamkan norma dan
mengembangkan berbagai kebiasaan dan perilaku yang dianggap penting
bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.38
Oleh sebab itu dalam UU No.1 tahun 1974 pasal 30 s/d 34 telah
tertulis tentang hak dan kewajiban suami dan istri.39
Salah satu kewajiban
suami adalah mencari dan memberikan nafkah kepada istri dan anak-
anaknya, sedangkan istri memiliki kewajiban untuk menjalankan rumah
tangga dengan sebaik-baiknya. Wujud dari menjalankan rumah tangga
dengan baik adalah dengan cara mentaati suami serta mendidik anak-
anaknya dengan baik dan berakhlak mulia.
Akan tetapi, melihat realita dalam kehidupan masyarakat selama
ini, telah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan pada tatanan sosial.
38
Abd. Rahman Ghazali, 2003, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Media Group, Hal
73 dalam Skipsi Muhammad Iqbal , 2013, Metodologi Pendidikan Pra Nikah di Gampong Ulle
Jalan Kecamatan Peusangan Selatan, Aceh : IAIN Ar-Raniry, Bab II Hal 16 39
Komariah, Op.cit Hal 52
33
Hal tersebut bermuara dari peranan orang tua dalam membina keluarganya
dalam menuju kehidupan bermasyarakat. Dari fakta ini dapat disimpulkan
bahwa keluarga merupakan Pendidikan utama atau pendidik awal yang
sangat berpengaruh pada sifat anak.
Dalam buku The National Studi on Family Strength, Nick dan De
Frain mengemukakan beberapa hal tentang pegangan menuju hubungan
keluarga yang sehat dan bahagia, yaitu: 40
1. Terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga
2. Tersedianya waktu untuk bersama keluarga.
3. Interaksi segitiga antara ayah, ibu dan anak
4. Saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu dan anak
5. Keluarga menjadi prioritas utama dalam setiap situasi dan kondisi.
Seiring kriteria keluarga yang diungkapkan diatas, sujana
memberikan beberapa fungsi pada pendidikan keluarga yang terdiri dari
fungsi biologis, edukatif, religius, protektif, sosialisasi dan ekonomis.
Dari beberapa fungsi tersebut, fungsi religius dianggap fungsi paling
penting karena sangat erat kaitannya dengan edukatif, sosialisasi dan
protektif. Jika fungsi keagamaan dapat dijalankan, maka keluarga tersebut
akan memiliki kedewasaan dengan pengakuan pada suatu system dan
40
Abd. Rahman Ghazali, 2003, Fiqih Munakahat, Jakarta : Kencana Media Group, Hal
73 dalam Skripsi Muhammad Iqbal , , 2013, Metodologi Pendidikan Pra Nikah di Gampong Ulle
Jalan Kecamatan Peusangan Selatan, Aceh : IAIN Ar-Raniry, Bab II Hal 17
34
ketentuan norma beragama yang direalisasikan di lingkungan dalam
kehidupan sehari-hari.41
Penanaman akidah sejak dini telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 132 yang berbunyi:
يم بنهيهه وي عقوب يا بنه ا إهب راهه وف إها ووصى به م انييف ى إه اهه اص
وأنتم مسههمو
Artinya: Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan kepada anak-anaknya,
demikian juga Ya’kub. Ibrahim berkata: hai anak-anakku, sesungguhnya
Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan Islam.
Secara garis besar pendidikan dalam keluarga dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1) Pembinaan Akidah dan Akhlak
Mengingat keluarga dalam hal ini lebih dominan adalah seorang
anak dengan dasar-dasar keimanan, ke-Islaman, sejakmulai mengerti
dan dapat memahami sesuatu, maka al-Ghazali memberikan beberapa
metode dalam rangka menanamkan aqidah dan keimanan dengan cara
memberikan hafalan. Sebab kita tahu bahwa proses pemahaman
diawali dengan hafalan terlebih dahulu (al-Fahmu Ba’d al-Hifdzi).
Ketika mau menghafalkan dan kemudian memahaminya, akan tumbuh
41
Achmad Kuzari, 1995, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, hal 46 seperti yang dikutip dalam Muhammad Iqbal, 2013, Metodologi
Pendidikan Pra Nikah di Gampong Ulle Jalan Kecamatan Peusangan Selatan, Aceh :
IAIN Ar-Raniry, Bab II hal 16
35
dalam dirinya sebuah keyakinan dan pada akhirnya membenarkan apa
yang diayakini. Inilah proses yang dialami anak pada umumnya.
Bukankah mereka atau anak-anak kita adalah tanggungjawab kita
sebagaimana yang telah Allah peringatkan dalam al-Qur’an surah At-
Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
ة ها م ئه م نارا وقودها اناس والهجارة عهي م وأهههي س يا أي ها اذهيف آمنوا قوا أن
عهو ما ي ؤمرو نياد ا ي عصو اهه ما أمرهم وي غه ظ شه
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Muhammad Nur Hafidz merumuskan empat pola dasar dalam
bukunya. Pertama, senantiasa membacakan kalimat Tauhid pada
anaknya. Kedua, menanam-kan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya.
Ketiga, mengajarkan al-Qur’an dan keempat menanamkan nilai-nilai
pengorbanan dan perjuangan.
Selain itu pembinaan akhlak merupakan implementasi dari iman
dalamsegala bentuk perilaku, pendidikan dan pembinaan akhlak anak.
Keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua.
Perilaku sopan santun orang tua dalam pergaulan dan hubungan antara
ibu, bapak dan masyarakat. Dalam hal ini Benjamin Spock
36
menyatakan bahwa setiap individu akan selalu mencari figur yang
dapat dijadikan teladan atau pun idola bagi mereka.
2) Pembinaan Intelektual
Pembinaan intelektual dalam keluarga memegang peranan
penting dalam upaya meningkatkan kualitas manusia, baik intelektual,
spiritual maupun sosial. Karena manusia yang berkualitas akan
mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah sebagaimana firman-Nya
dalam surat al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi:
م سحه اهه سحوا ي سحوا فه امجاهسه ا م يا أي ها اذهيف آمنوا إهذا قهيل
م آمنوا اذهيف اهه ي رعه انشزوا انشزوا قهيل وإهذا ن وا واذهيف مه درجات اعههم أو
ا واهه بهي خ مهو ع به
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya
Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Nabi Muhammad juga mewajibkan kepada pengikutnya untuk
selalu mencari ilmu sampai kapan pun.
3) Pembinaan Kepribadian dan Sosial
Pembentukan kepribadian terjadi melalui proses yang panjang.
Proses pembentukan kepribadian ini akan menjadi lebih baik apabila
dilakukan mulai pembentukan produksi serta reproduksi nalar tabiat
37
jiwa dan pengaruh yang melatarbelakanginya. Mengingat hal ini
sangat berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat menjaga
emosional diri dan jiwa seseorang. Dalam hal yang baik ini adanya
Kewajiban orang tua untuk menanamkan pentingnya memberi support
kepribadian yang baik bagi anak didik yang relative masih muda dan
belum mengenal pentingnya arti kehidupan berbuat baik, hal ini cocok
dilakukan pada anak sejak dini agar terbiasa berprilaku sopan santun
dalam bersosial dengan sesamanya. Untuk memulainya, orang tua bisa
dengan mengajarkan agar dapat berbakti kepada orang tua agar kelak
sianak dapat menghormati orang yang lebih tua darinya.
Bangunan rumah tangga bagaikan bagunan missi kenabian. Jika
bangunan runtuh, maka maka runtuhlah missi kemanusiaan. Karena
itu Rasulullah Saw bersabda: “Perbuatan halal yang paling Allah
murkai adalah perceraian.” Sebenarnya disini ada suatu yang sangat
rahasia. Tidak ada satu pun perbuatan halal yang Allah murkai kecuali
perceraian.42
C. Teori Efektivitas Hukum
1. Tinjauan Umum Tentang Efektivitas Hukum
Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan
atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum tentu
tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua variable
terkait yaitu: karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang
42
Bulughul Maram, 2002, Hadist ke 929 Bab Thalaq No.2, Jakarta : Dar Al-
Kutub Al-Islamiyah Hal 245
38
dipergunakan.43
Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas,
fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau
sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara
pelaksanaannya.44
Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto,
ditentukan oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,termasuk para
penegak hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, ”taraf kepatuhan
yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan
berfungsinya hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan
hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat
dalam pergaulan hidup.45
Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang
memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum,
yaitu suatu perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara
khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action)
dengan hukum dalam teori (law in theory) atau dengan kata lain kegiatan
ini akan memperlihatkan kaitannya antara law in the book dan law in
action.46
43
Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, ctk Ketiga,
Bandung : Citra Aditya, Hal 67. 44
Agung Kurniawan, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta: Pembaharuan..
Hal 109. 45
Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan
Disertasi, Edsis Pertama, ctk Kesatu, Jakarta : Rajawali Press, Hal.375 46
Soleman B Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta :
Rajawali Press, Hal 47-48.
39
Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L Tobing dkk, mengatakan
bahwa dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah
hukum apabila didukung oeh tiga pilar, yaitu47
:
a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat diandalkan
b. Peraturan hukum yang jelas sistematis.
c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi.
2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Efektif atau Tidaknya Suatu
Hukum
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu48
:
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
Hukum mengandung unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Dalam praktik penerapannya tidak jarang terjadi pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum sifatnya konkret
berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika
seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-
undang saja, maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka,
ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama.
Karena hukum tidak semata- mata dilihat dari sudut hukum
tertulis saja, melainkan juga ikut mempertimbangkan faktor- faktor lain
47
Raida L Tobing, dkk, (Hasil Penelitian), 2011, Efektivitas Undang-Undang
Monrey Loundering, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM
RI, Jakarta, Hal 11. 48
Soerjono Soekanto, 2007, Pokok-pokok Sosiologi Hukum , Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, hal. 110.
40
yang berkembang dalam masyarakat. Sementara dari sisi lain, keadilan
pun masih menjadi perdebatan disebabkan keadilan mengandung unsur
subyektif yang sangat tergantung pada nilai- nilai intrinsik subyektif
dari masing-masing orang.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
Faktor Penegak Hukum Penegakan hukum berkaitan dengan
pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum (law
enforcement). Bagian-bagian law enforcement itu adalah aparatur
penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan hukum secara proporsional.
Aparatur penegak hukum yaitu institusi penegak hukum dan
aparat penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti
sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum
dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur
diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing
yang meliputi kegiatan penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi serta
upaya pembinaan kembali terpidana.
Ada tiga elemen penting yang memengaruhi mekanisme
bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, antara lain: (a) institusi
penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (b) budaya kerja
41
yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya; dan (c) perangkat peraturan yang mendukung kinerja
kelembagaanya maupun materi hukum yang dijadikan standar kerja,
baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai
sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah
sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Fasilitas
pendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup,
dan sebagainya. Selain ketersediaan fasilitas, pemeliharaan pun sangat
penting demi menjaga keberlangsungan.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
Penegakan hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu
mengenai hukum. Artinya, efektivitas hukum juga bergantung pada
kemauan dan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran yang rendah
dari masyarakat akan mempersulit penegakan hukum, adapun langkah
yang bisa dilakukan adalah sosialisasi dengan melibatkan lapisan-
lapisan sosial, pemegang kekuasaan dan penegak hukum itu sendiri.
Perumusan hukum juga harus memerhatikan hubungan antara
42
perubahan-perubahan sosial dengan hukum yang pada akhirnya hukum
bisa efektif sebagai sarana pengatur perilaku masyarakat.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan, karena faktor kebudayaan merupakan
suatu sistem dalam masyarakat yang mencakup, struktur, subtansi, dan
kebudayaan. Struktur mencangkup wadah atau bentuk dari sistem
tersebut, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum
formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan
kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.
Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa faktor- faktor yang
menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap
mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat
hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering
diabaikan.49
Dalam bukunya achmad ali yang dikutip oleh Marcus Priyo Guntarto
yang mengemukakan tentang keberlakuan hukum dapat efektif apabila50
:
a. Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan orang yang menjadi target.
49
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia &Penegakan Hukum,
Bandung : Mandar Maju, hal. 55 50
Marcus Priyo Gunarto, 2011, Kriminalisasi dan Penalisasi Dalam Rangka
Fungsionalisasi Perdadan Retribusi, Semarang : Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro,Hal 71-71.
43
b. Kejelasan dari rumusan subtansi aturan hukum, sehingga mudah
dipahami oleh orang yang menjadi target hukum.
c. Sosialisasi yang optimal kepada semua orang yang menjadi target
hukum.
d. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat
mengharuskan. Pada umumnya hukum prohibitur lebih mudah
dilaksanakan daripada hukum mangatur.
Sanksi yang akan diancam dalam undang-undang harus dipadankan
dengan sifat undang-undang yang dilanggar, suatu sanksi yang tepat untuk
tujuan tertentu, mungkin saja tidak tepat untuk tujuan lain. Berat sanksi
yang diancam harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
top related