bab ii tinjauan pustaka a. sejarah pidana penjara indonesiaeprints.umm.ac.id/38649/3/bab ii.pdf ·...
Post on 30-Oct-2019
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Pidana Penjara Indonesia
Pidana penjara sesungguhnya adalah satu jenis pidana perampasan
kemerdekaan. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut dengan KUHP) dari banyak negara, jenis pidana ini tergolong ke
dalam pidana pokok, termasuk Negara Indonesia.5
Namun di masa penjajahan Belanda, pada saat itu Belanda mulai
menguasai beberapa bagian dari Indonesia, maka sejak itulah dirasa perlu
diadakan peradilan untuk orang-orang Pribumi. Hukum yang berlaku yaitu
hukum yang berlaku atau yang dianggap berlaku bagi orang pribumi dengan
batasan antara lain, mengenai jenis pidana dan asas keseimbangan di dalam
penjatuhan pidana, pidana potong tangan dan kaki dihapus, sedang yang
masih dipertahankan adalah pembakaran, penusukan dengan keris,
penderaan, mencap dengan besi panas, perantaian, dan hukuman kerja
paksa.6
Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian Notosoesanto7,
yang dilakukan beliau ketika menjabat sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan,
rumah tahanan pada zaman Penjajahan Belanda ada tiga macam:
1. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota.
5 Roeslan Saleh. 1981.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasan.
Jakarta. Aksara Baru. Hal. 25. 6 Sudarto. 1981.Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita Selekta
Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Hal. 25. 7 Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta. Pradnya
Paramita. Hal. 77.
20
2. Ketingkwarter, merupakan tempat buat orang-orang perantauan.
3. Vrouwentuchthui adalah tempat menampung orang-orang perempuan
Bangsa Belanda yang karena melanggar kesusilaan (overspel).
1. Sejarah Kepenjaraan di Indonesia
Perkembangan kepenjaraan di Indonesia terbagi menjadi 2 kurun
waktu dimana tiap-tiap kurun waktu mempunyai ciri tersendiri, diwarnai
oleh aspek-aspek sosio kultural, politis, ekonomi yaitu:
a. Kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di Indonesia
sebelum proklamasi kemerdekaan RI (1872-1945), terbagi dalam 4
periode yaitu :
1) Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905). Pada periode ini
terdapat 2 jenis hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan
Eropa. Hukum pidana bagi orang Indonesia ( KUHP 1872 ) adalah
pidana kerja, pidana denda dan pidana mati. Sedangkan hukum
pidana bagi orang Eropa (KUHP 1866) telah mengenal dan
dipergunakan pencabutan kemerdekaan (pidana penjara dan pidana
kurungan). Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang Eropa
selalu dilakukan di dalam tembok (tidak terlihat) sedangkan bagi
orang Indonesia terlihat oleh umum.
2) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang berlakunya
Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie ( KUHP, 1918 )
periode penjara sentral wilayah ( 1905-1921 ). Periode ini ditandai
dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para
21
terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat penampungan wilayah.
Pidana kerja lebih dari 1 tahun yang berupa kerja paksa dengan
dirantai atau tanpa dirantai dilaksanakan diluar daerah tempat asal
terpidana. Kemudian sejak tahun 1905 timbul kebijaksanaan baru
dalam pidana kerja paksa dilakukan di dalam lingkungan tempat
asal terpidana.
3) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia setelah berlakunya
Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie (KUHP 1918)
periode kepenjaraan Hindia Belanda ( 1921-1942 ). Pada periode ini
terjadi perubahan sistem yang dilakukan oleh Hijmans sebagai
kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda, ia mengemukakan
keinginannya untuk menghapuskan sistem dari penjara-penjara
pusat dan menggantikannya dengan struktur dari sistem penjara
untuk pelaksanaan pidana, dimana usaha-usaha klasifikasi secara
intensif dapat dilaksanakan Hijmans. Pengusulan adanya tempat-
tempat penampungan tersendiri bagi tahanan dan memisahkan
antara terpidana dewasa dan anak-anak, terpidana wanita dan pria.
4) Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam periode pendudukan
balatentara Jepang (1942-1945). Pada periode ini menurut teori
perlakuan narapidana harus berdasarkan reformasi atau rehabilitasi
namun dalam kenyataannya lebih merupakan eksploitasi atas
manusia. Para terpidana dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan
Jepang. Dalam teori para ahli kepenjaraan Jepang perlu adanya
22
perbaikan menurut umur dan keadaan terpidana. Namun pada
kenyataannya perlakuan terhadap narapidana bangsa Indonesia
selama periode pendudukan tentara Jepang merupakan lembaran
sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia, hal ini
tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya (penjajahan
Belanda).
2. Dasar Hukum Sistem Penjara Sebelum Kemerdekaan
a. Ordonnantie op de Voorwaardilijke Ivrijheidstelling (Stb. 1917-
149.27 Desember 1917 jo. Stb. 1926-488).
b. Gestichtenreglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917).
c. Dwangopvoedingsregeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917).
d. Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardilijke Veroordeeling (Stb.
1926-487. 6 November 1926).
Perubahan besar dalam sistem penjara dan perbaikan keadaan penjara
baru dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat
mulai didirikan, pegawai-pegawai yang dianggap cakap dalam urusan
kepenjaraan mulai direkrut. Di penjara Glodok diadakan percobaan dengan
cara memberikan pekerjaan dalam lingkungan pagar tembok penjara kepada
beberapa narapidana kerja paksa.8 Sehubungan dengan percobaan ini, maka
Staatblad 1871 No. 78 mendapat sediki perubahan. Dalam jangka waktu
1905 sampai 1918 didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh.
8 Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.
Yogyakarta. Kreasi Wacana. Hal. 139.
23
Penjara-penjara pusat biasanya berukuran sangat besar, dengan kapasitas
kira-kira untuk 700 orang terpiidana, merupakan gabungan Huis van
Bewaring (rumah penjara pidana berat), yang sukar untuk mengurusnya
karena masing-masing golongan menghendaki cara perlakuan yang khusus.9
Pada tahun 1931 ada beberapa penjara yang mempunyai kedudukan
khusus yaitu : (1) Penjara Sukamiskin dijadikan penjara istimewa untuk
semua golongan yang terpelajar dan berkedudukan dalam masyarakat. (2)
Penjara Sukamiskin diberikan percetakan. (3) Di Penjara Cipinang
dilanjutkan percobaan dengan chambretta (tempat tidur yang terpisah untuk
narapidana). (4) Bagian-bagian untuk orang-orang komunis di Penjara
Padang dan Glodok dihapuskan dan dipindah ke Pamekasan. (5) Penjara
untuk anak-anak di Pamekasan dihapuskan dan digunakan untuk orang-
orang yang dituduh komunis dan penjara anak-anak di Banyubiru dan
Tangerang. (6) Mengadakan percobaan dengan ploeg-stukloon system (7
(tujuh) atau 8 (delapan) orang bekerja bersama-sama dengan mendapat
upah).10
Sejarah masa lampau tentang gambaran penjara pada zaman
penjajahan Belanda, penuh dengan penderitaan yang kini masih terlihat pada
bangunan-bangunan penjara dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang
sedemikian rupa secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para
9 Ibid. 10 Ibid. hal. 141 – 142.
24
pelanggar hukum. Oleh karena itu namanya menjadi penjara, yaitu tempat
untuk membuat jera.11
Kemudian pada zaman kemerdekaan tercetuslah gagasan
pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidatonya saat
penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas
Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan
rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut: “Di samping itu
menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan
bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi
seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan
yang lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung
makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya
perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah
tersesat, diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga
menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.12
Jika berbicara tentang sistem pemasyarakatan, maka tidak terlepas
dengan salah seroang pemimpin di bidang pemasyarakatan yang telah ada
sejak zaman Hindia Belanda, yaitu Bachroedin Soerjobroto. Beliau
mengemukakan, bahwa prinsip pemasyarakatan itu adalah “pemulihan
kembali kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan, yang
terjalin antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya,
11 Suwarto. 2007. Disertai Doktor: Pengembangan Ide Individualisasi Pidana Dalam
Pembinaan Narapidana Wanita. Medan.Universitas Sumatera Utara. Hal. 103. 12 Djoko Prakoso. 1988. Hukum Penitensier di Indonesia. Yogyakarta. Liberty. Hal. 62.
25
manusia dengan masyarakat, manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan
alamnya dan (dalam keseluruhan ini manusia sebagai makhluk Tuhan,
manusia dengan KhalikNya).13
Walaupun istilah penjara telah diubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan, namun pelaksanaannya masih menghadapi beberapa
masalah, antara lain : 14
a. Gedung-gedung penjara peninggalan Belanda masih tetap
dipergunakan, karena merubah sesuai dengan cita-cita
pemasyarakatan memerlukan biaya yang sangat besar.
b. Petugas-petugas pemasyarakatan masih sedikit sekali yang
memahami tujuan pemasyarakatan.
c. Masalah biaya dan masyarakat yang masih belum dapat menerima
narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan Indonesia terus
melakukan segala macam upaya perbaikan dan penyempurnaan
penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Undang-Undang
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut dengan :
UU No. 12/1995)
13 Sudarto, Op. Cit. Hal. 98. 14Soedjono Dirdjosisworo. 1972. Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistem
Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana. Bandung. Alumni. Hal. 87.
26
3. Perbedaan Prinsip Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan
Sistem kepenjaraan dan sistem pemasyarakatan perbedaannya terletak
pada asas tujuan dan pendekatan yang melandasi tata perlakuan (pembinaan)
terhadap para narapidana.
Tabel 1.
Perbedaan Sistem Kepenjaraan dan Sistem Pemasyarakatan
No. Perbedaan Sistem Kepenjaraan Sistem Pemasyarakatan
1. Asas Titik berat pada
pembalasan,
memberikan derita
kepada pelanggar
hukum.
Pancasila (falsafah
negara).
2. Tujuan Supaya pelanggar
hukum menjadi jera,
masyarakat dilindungi
dari perbuatan jahatnya.
Disamping melindungi
masyarakat, juga
membina narapidana
agar selama dan
terutama setelah selesai
menjalani pidananya ia
dapat menjadi manusia
yang baik dan berguna.
3. Pendekatan Pendekatan keamanan
dan pengasingan dari
masyarakat secara
penuh.
Pendekatan keamanan
melalui tahap
maksimum, dan
minimum security dan
dilakukan pula
pendekatan pembinaan
(treatment approach) di
dalam maupun diluar
lembaga
pemasyarakatan dengan
menerapkan metode
kekeluargaan.
B. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan
Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam konferensi dinas
Pemasyarakatan tahun 1964, menyampaikan arti penting pembaharuan
27
pidana penjara di Indonesia, yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi
pemasyarakatan. Berdasarkan pertimbangan ini kemudian disusun suatu
pernyataan tentang Hari Lahir Pemasyarakatan Republik Indonesia pada hari
Senin tanggal 27 April 1964 dan Piagam Pemasyarakatan Indonesia.15
Selanjutnya dalam sambutan Menteri Kehakiman RI dalam
pembukaan rapat kerja terbatas Direkorat Jenderal Bina Tuna Warga tahun
1976 menegaskan kembali prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan
sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam Konfernsi Dinas
Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat.16
Maka dirumuskanlah sepuluh (10) prinsip dasar yang kemudian
menjadi salah satu landasan dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan di
Republik Indonesia. Sesuai dengan tuntutan dari apa yang tercantum dalam
sepuluh prinsip Pemasyarakatan itu, maka perlakuan terhadap narapidana
dan anak didik harus berpedoman pada pembinaan. Kesepuluh prinsip yang
dihasilkan dalam Konferensi Lembang tersebut, dinilai sangat baik untuk
digunakan dalam menjalankan pmbinaan narapidana dan anak didik. Maka
sebaiknya para petugas lembaga pemasyarakatan yang ada diseluruh
Indonesia diharapkan dapat berusaha dengan maksimal untuk
melaksanakannya. Dengan demikian perlakuan terhadap narapidana dan
anak didik adalah melakukan pembinaan, agar narapidana itu menjadi
manusia yang berguna di masa mendatang. Program pembinaan harus
disusun sedemikian rupa dan dengan segala pertimbangan, agar manfaatnya
15 Suwarto. Op. Cit. Hal. 106. 16 Ibid.
28
dapat dirasakan oleh narapidana dan anak didik, kemudian diharapkan
menumbuhkan kesadaran hukum narapidana dan anak didik secara baik.
Program-program pembinaan yang teratur, dan disusun secara matang serta
yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kelayakan akan menjamin
integritas sistem pemasyarakatan.17
10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan:18
1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang
pembalasan.
3. Berikan bimbingan ( bukan penyiksaan) supaya mereka bertaubat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk, atau
lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya pada
narapidana dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak
boleh bersifat sekedar pengisi waktu.
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan
anak didik adalah berdasarkan Pancasila.
17 Soegindo. 1984. Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Ditinjau Dari Segi Hukum,
Agama dan Psychologi. Majalah Pemasyarakatan No. 14. Hal. 15 - 17. 18 Rutan Klas 1 Tangerang. Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Dalam http://
http://rutantangerang.web.id diakses pada 3 Juli 2018.
29
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati
agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah
dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya, dan
lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing kejalan yang benar.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.
10. Pembinaan dan bimbingan diberikan kepada narapidana serta anak
didik maka disediakan sarana yang diperlukan.
Mengenai struktur sistem pemasyarakatan, tentang perubahan yang
dilakukan sebagai berikut: pemasyarakatan berorientasi pada pengayoman
dan pembinaan.19 Pembinaan narapidana dan anak didik berdasarkan sistem
pemasyarakatan ini berlaku untuk segala segi yang ada dalam proses
pembinaan pemasyarakatan. Baik untuk pmbinaannya di dalam lembaga
pemasyarakatan maupun mengenai pembinaannya di luar lembaga
pemasyarakatan.20
Sistem pemasyarakatan di dalamnya terdapat proses pemasyarakatan
yang diartikan sebagai suatu proses pemasyarakatan yang diartikan sebagai
suatu proses sejak seorang narapidana atau anak didik masuk ke Lembaga
Pemasyarakatan sampai dengan kembali ke dalam kehidupan masyarakat.
Proses pembinaan ini dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap. Tahap pertama,
yaitu tahap maximum security sampai batas 1/3 dari masa pidana yang
19 G. Suyanto. 1981. Seluk Peluk Pemasyarakatan. BPHN. Departemen Kehakiman RI.
Hal. 7. 20 Suwarto. Op. Cit. Hal. 108
30
dijatuhkan. Tahap kedua adalah medium security sampai batas ½ dari masa
pidana yang dijatuhkan. Tahap ketiga, minimum security sampai batas 2/3
dari masa pidana yang dijatuhkan. Tahap keempat yaitu tahap integrasi dan
selesainya 2/3 dari masa pidana sampai habis masa pidananya.21
Tahap-tahap sebagaimana telah diuraikan di atas hanya diberikan
apabila narapidana benar-benar mengikuti aturan-aturan yang telah berlaku
di dalam Lembaga Pemasyarakatan, serta mengikuti pembinaan yang
diberikan oleh petugas-petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan tekun
hingga berkelakuan baik dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin.
Tetapi apabila dia berkelaukan tidak baik maka dia tidak akan dinaikkan ke
tahap berikutnya atau misalnya dia sudah berkelakuan baik dan naik pada
tahap berikutnya, namun dia membuat keributan dan mengadakan
pemberontakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, atau bahkan melarikan
diri lalu kemudian tertangkap lagi, maka dia kembali ke tahap pertama
(tahap maximum security).
Untuk itu secara idealnya setiap Lembaga Pemasyarakatan secara
khusus diperuntukkan bagi narapidana atau anak didik berdasarkan pada
tahap-tahap sebagaimana telah dijelaskan di atas. Misalnya Lembaga
Pemasyarakatan khusus untuk narapidana pada tahap maximum security saja
21 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan
dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. Hal. 72 - 72.
31
atau untuk tahap medium security saja ataupun untuk tahap minimum
security saja. Ini disebut Lembaga Pemasyarakatan “Single Purpose”.22
Posisi Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan di
dalam sistem peradilan pidana sangat strategis dalam merealisasikan tujuan
akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan resosialisasi
pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penaggulangan kejahatan
(surpression of crime).23 Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang
dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-
kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian
itu bersifat positif, apabila bekas narapidana menjadi warga masyarakat
yang taat pada hukum. Penilaian itu dapat negatif, bahkan mencela Lembaga
Pemasyarakatan jika mantan narapidana yang pernah dibina menjadi
seorang residivis.24
Isi pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu sistem pembinaan
pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Pengayoman.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan.
c. Pendidikan.
d. Pembimbingan.
22 Bachtiar Agus Salim. 1985. Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia.
Disertai Doktor : Universitas Sumatera Utara. Hal. 188 - 189. 23 Irwan Petrus Panjaitan. 1992. Persepsi Bekas Narapidana Terhadap Pola Pembinaan
Narapidana Melalui sistem Pemasyarakatan. Tesis Program Studi Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana Universita Indonesia. Hal. 139 - 141. 24Suwarto. Op. Cit. Hal. 126.
32
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia.
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan.
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga
dan orang-orang tertentu.
33
C. Tinjauan Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan
Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut
LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak
didik pemasyarakatan. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan,
dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan
dalam tata peradilan pidana.
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan
masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggungjawab. Warga binaan pemasyarakatan adalah
narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan.
Sebelum dikenal istilah LAPAS di Indonesia, tempat tersebut disebut
dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit
Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu departemen
Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana
(napi) atau warga binaan pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang
statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada
dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh
hakim. Pegawai Negeri Sipil yang menangani pembinaan narapidana
dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut dengan Petugas
Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir
34
penjara. Konsep Pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri
Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962.25
Dari pengertian ini dapat ditarik suatu benang merah bahwa
“Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu badan atau organisasi yang
mengatur sekolompok orang sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-
batasan tertentu”.26 Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan Lembaga
Pemasyarakatan secara khusus dapat disebut sebagai suatu organisasi atau
lembaga yang mempunyai kewajiban membina sekelompok masyarakat
karena telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan sehingga diharapkan lembaga tersebut dapat berfungsi sebagai
suatu badan yang benar-benar mampu membina seseorang atau sekelompok
orang sehingga dapat lebih baik dari keadaan semula dan menjadi manusia
seutuhnya serta tidak mengulangi perbuatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan, Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri
dan tidak mengulangi tindakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
25 Digilib Unila. Kajian Pustaka Terkait Lembaga Pemasyarakatan. Dalam
http://digilib.unila.ac.id diakses pada 22 Maret 2018. 26 Soejoboro.B. 1990. Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan. LPHN-UNPAD. Bandung.
Hal. 16.
35
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan lembaga yang melakukan suatu
pembinaan kepada narapidana adalah sebuah sistem, maka pembinaan
narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan
untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan komponen sistem pembinaan
narapidana adalah sebagai berikut :27
1. Pembinaan narapidana di Indonesia menggunakan filsafah Pancasila,
karena sudah menjadi kesepakatan Nasional untuk menggunakan
Pancasila sebagai falsafah dari semua segi dan pandangan hidup
bangsa Indonesia
2. Dasar hukum yang digunakan dalam sistem pembinaan narapidana di
Indonesia yaitu KUHP dan Undang-Undang yang diberlakukan oleh
Pemerintah Republik Indonesia terhadap sistem pembinaan
narapidana di Indonesia.
Dengan demikian maka dalam pembinaan narapidana, negara telah
melakukan pertimbangan bahwa tujuan pembinaan narapidana dengan
memenjarakan bukanlah menyiksa namun lebih ditekankan kepada membuat
jera kepada narapidana.
D. Tinjauan Umum Tentang Sistem Pembinaan
Tujuan pembinaan yang semula untuk membuat mereka yang menjadi
narapidana agar menjadi jera, kini tujuan itu diubah agar narapidana dibina
untuk kemudian dimasyarakatkan atau dengan kata lain dapat kembali
menjalani hidup dilingkungan masyarakat sebagaimana sebelum mereka
melakukan kejahatan dan menjadi narapidana. Sebutan bagi penjara
27 C.I. Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta. Djambatan. Hal. 48
– 49.
36
kemudian diganti dengan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam beberapa hal
perlakuan terhadap narapidana memang lebih manusiawi, narapidana tidak
lagi dianggap sebagai obyek, melainkan sebagai subyek pembinaan.
Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem, yang mana dalam
sebuah sistem terdapat komponen-komponen yang saling berkaitan di
dalamnya. Pemasyarakatan dinilai sebagai ujung tombak pelaksanaan asas
pengayoman dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut melalui
pendidikan rehabilitasi dan reintegrasi narapidana.28 Orientasi pelaksanaan
pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dimaksudkan
untuk memberikan bekal dan membentuk sikap mental terpidana agar tidak
mengulangi tindak pidananya, menginsafi kesalahannya, memperbaiki diri
dan menjadi insan yang berbudi luhur.
Secara singkat kemudian dijelaskan sebagai berikut ini. Bahwa proses
pembinaan narapidana harus berangkat dari diri narapidana sendiri, dengan
maksud bahwa keinginan untuk menjalani proses pembinaan harus
berangkat dalam diri narapidana. Kemudian selain itu, keluarga merupakan
bagian aktif yang berperan dalam sistem pembinaan narapidana. Keluarga
diharapkan dapat ikut membina narapidana karena keluarga adalah bagian
terdekat yang ada dalam diri narapidana. Kemudian masyarakat sebagai
bagian dari diri narapidana dahulu tinggal, merupakan bagian yang sama
kedudukannya dengan keluarga. Masyarakat diharapkan dapat ikut membina
narapidana dengan cara tidak mengasingkan narapidana dan menganggap
28 Sri Wulandari. Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Terhadap Tujuan Pemidanaan. Jurnal Ilmiah. Universitas Tujuh Belas Agustus. Semarang. Hal. 2.
37
bahwa narapidana adalah seseorang yang jahat. Serta peran petugas
pemasyarakatan, pemerintahan dan kelompok masyarakat dianggap sebagai
bagian terpenting dalam penentuan keberhasilan pembinaan narapidana,
karena komponen yang terakhir inilah yang ikut serta melakukan pembinaan
terhadap narapidana.29
Konsep “pemasyarakatan” yang melandasi upaya pembinaan
narapidana di Indonesia itu lahir sejak dicetuskan oleh Dr. Sahardjo
pada pidato upacara penganugrahan Doctor Honoris Causa dalam
ilmu hukum oleh Universitas Indonesia pada tahun 1963. Pada waktu
itu baru merupakan pemikiran intelektual dari seorang sarjana hukum
yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Konsep itu kemudian
dikaitkan dengan fungsi hukum, yakni “pengayoman”. Menurut
Sahardjo bila dikaitkan dengan hukum pidana, fungsi pengayoman itu
mengandung prinsip bahwa penjatuhan pidana hendaknya
memperhatikan tujuan yang bersifat mendidik kepada narapidana dan
tidak hanya diarahkan agar mereka bertaubat semata.30
Kondisi objektif menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana penjara
tersebut kurang berhasil yang secara empiris diukur oleh masyarakat dari
intensitas kejadian di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan, baik
dengan kendala internal maupun kendala eksternal. Kendala internal di sini
berkaitan dengan masalah-masalah sarana dan prasarana, serta petugas di
dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Sedangkan kendala eksternal
yang dihadapi berkaitan dengan kecenderungan yang sangat tinggi
dijatuhkan sanksi pengurungan atas pelanggaran hukum menyebabkan
Lembaga Pemasyarakatan cenderung menjadi penuh sesak. Akibatnya
program pembinaan terpidana semakin sulit untuk dilaksanakan.
29 Ibid. Hal. 52 – 78. 30 Heru Susetyo. 2013. Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative
Justice. Jakarta. Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI.
Hal. 13.
38
E. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara
1. Dasar Hukum
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3614).
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4916).
c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-
syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan
Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3858).
d. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3846)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
39
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak Warga
Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5359).
e. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 141 ).
f. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 142).
40
g. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 676).
2. Latar Belakang ditetapkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
menyebutkan dalam hal pertimbangannya bahwa pada hakikatnya Warga
Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus
diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang
terpadu. Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian penegakan hukum
yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab.
Selain melakukan pembinaan terhadap warga binaanya, Lembaga
Pemasyarakatan pun turut menjamin terselenggaranya tertib
kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan. Agar terlaksananya
pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan perlu adanya tata tertib
baik hal tersebut mengenai kewajiban maupun larangan yang wajib
dipatuhi oleh setiap narapidana sebagai warga binaan beserta dengan
41
penjatuhan hukumam disiplin apabila melanggar tata tertib bagi para
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.31
3. Tujuan dari Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan
dan Rumah Tahanan Negara
a. Bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di
lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara dan agar
terlaksananya pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan
perlu adanya tata tertib yang wajib dipatuhi oleh setiap
narapidana dantahanan beserta mekanisme penjatuhan
hukuman disiplin;
b. Bahwa kepatuhan terhadap tata tertib yang berlaku di dalam
lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara menjadi
salah satu indikator dalam menentukan kriteria berkelakuan
baik terhadap narapidana dan tahanan;
4. Kedudukan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan
dan Rumah Tahanan Negara
Peraturan menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya
saya sebut sebagai UU No. 12/2011) tidak diatur dalam ketentuan
31Soedarto, 1987.Hukum dan Hukum Pidana. Hlm 7 Volume 2, No.1, Tahun 2016
42
Pasal ayat (1). Namun demikian, jenis peraturan tersebut
keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang
menegaskan: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis
peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Menteri, namun frase
peraturan yang ditetapkan oleh menteri di atas, mencerminkan
keberadaan Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri setelah
berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui keberadaannya. Kekuatan
mengikat pada Peraturan Menteri terdapat pada Pasal 8 ayat (2) UU
No. 12/2011 menegaskan: Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
43
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011
memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundang-undangan,
yaitu:
1. Diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; atau
2. Dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-
undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya, yaitu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:
1. Atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
2. Delegasi pembentukan peraturan perundan-undangan
A. Hamid S. Attamimmi, menegaskan “Atribusi kewenangan
perundang-undangan diartikan penciptaan wewenang baru oleh
konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever)
yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada
maupun yang dibentuk baruuntuk itu”. 32
33 Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan atribusian dalam
UUD 1945, berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
32 A.Hamid S.Attamimmi. 1990. Perbedaan Antara Peraturan Perundang-Undangan
dan Peraturan Kebijakan. Jakarta.Universitas Indonesia. Hal. 352. 33 Ibid. Hal. 347.
44
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan Daerah
(Perda). Dalam UU No. 12/2011 juga dikenal satu jenis peraturan
perundang-undangan atribusian di luar UUD 1945, yaitu Peraturan
Presiden (Perpres), yang pada masa lalu dikenal sebagai Keputusan
Presiden yang bersifat mengatur yang dasarnya adalah Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945.
Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah
pemindahan/ penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan
dari pemegang kewenangan asal yang memberdelegasi (delegans)
kepada yang menerima delegasi (delegataris) dengan
tanggungjawab pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris
sendiri, sedangkan tanggungjawab delegans terbatas sekali.
Contohnya dari peraturan perundang-undangan delegasi, misalnya
tergambar dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa: Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk
menjadi Warga Negara Indonesiasebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-
undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan
atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan demikian, secara
umum peraturan perundang-undangan delegasi adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. 34
34 Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Jakarta. Penerbit Konstitusi Press. Hal. 157.
45
Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif Ilmu Perundang-
undangan terutama dalam kaitannya peraturan perundang-undangan
sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dimana “norma hukum
yang lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang lebih
tinggi”35 sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang disebut
oleh Joseph Raz sebagai chain of validity (dalam Jimly Asshiddiqqie
& M. Ali Safa’at.
Karena bukan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan
tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang. Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2)
UU No. 12/2011, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri
yang merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan
Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.
Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk sebelum
berlakunya UU No. 12/2011, tetap berlaku sepanjang tidak dicabut
atau dibatalkan. Namun demikian, menurut saya, terdapat dua jenis
kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk sebelum berlakunya UU
No. 12/2011. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar
perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
35 Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.
Jakarta. Penerbit Konstitusi Press. Hal. 157.
46
Kedua, Peraturan Menteri yang dibentuk bukan atas dasar perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atas dasar
kewenangan, berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal ini
disebabkan UU No. 12/2011 berlaku sejak tanggal diundangkan (Pasal
104 UU No. 12/2011 2011), sehingga adanya Peraturan Menteri yang
dibentuk sebelum tanggal diundangkannya UU No. 12/2011 masih
tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang yang lama (UU
No.10/2004). Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori
pertama di atas, yang dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah
Agung.
Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah
berlakunya UU No. 12/2011, baik yang dibentuk atas dasar perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang
dibentuk atas dasar kewenangan di bidang urusan pemerintahan
tertentu yang ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut
memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum dan dapat
dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap
bertentangan dengan undang-undang. Sekedar menegaskan kembali,
kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/ atas
kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.
top related