bab ii tinjauan pustaka 2.1

Post on 04-Oct-2021

4 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit

2.1.1 Definisi Kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling luar yang

melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan hidup manusia dan merupakan alat tubuh

yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu kirakira 15% dari berat tubuh dan luas kulit

orang dewasa 1,5 m2 . Kulit sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta sangat

bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh

serta memiliki variasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya. Rata-rata tebal kulit 1-2m.

Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm)

terdapat di penis. Kulit merupakan organ yang vital dan esensial serta merupakan

cermin kesehatan dan kehidupan (Djuanda, 2007).

2.1.2 Fungsi Kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan

lingkungan. Adapun fungsi utama kulit adalah (Djuanda,2007):

1. Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan

fisik atau mekanik (tarikan, gesekan, dan tekanan), gangguan kimia (

zat-zat kimia yang iritan), dan gagguan bersifat panas (radiasi, sinar

ultraviolet), dan gangguan infeksi luar.

2. Fungsi absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan

dan benda padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah

diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2,

CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada

fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal

tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum.

3. Fungsi ekskresi Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak

berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea,

asam urat, dan amonia.

6

4. Fungsi persepsi Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di

dermis dan subkutis sehingga kulit mampu mengenali rangsangan

yang diberikan. Rangsangan panas diperankan oleh badan ruffini di

dermis dan subkutis, rangsangan dingin diperankan oleh badan krause

yang terletak di dermis, rangsangan rabaan diperankan oleh badan

meissner yang terletak di papila dermis, dan rangsangan tekanan

diperankan oleh badan paccini di epidermis.

5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) Kulit melakukan fungsi

ini dengan cara mengekskresikan keringat dan mengerutkan (otot

berkontraksi) pembuluh darah kulit. Di waktu suhu dingin, peredaran

darah di kulit berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada

waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi

penguapan keringat dari kelenjar keringat sehingga suhu tubuh dapat

dijaga tidak terlalu panas.

6. Fungsi pembentukan pigmen Sel pembentuk pigmen (melanosit)

terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Jumlah

melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes)

menentukan warna kulit ras maupun individu.

7. Fungsi kreatinisasi Fungsi ini memberi perlindungan kulit terhadap

infeksi secara mekanis fisiologik.

8. Fungsi pembentukan/sintesis vitamin D

2.1.3 Anatomi Kulit

7

Gambar 2. 1 Struktur kulit (Weller, Richard et al., 2015)

2.1.4 Lapisan Kulit

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu (Djuanda,

2007) :

1. Epidermis.

Lapisan epidermis terdiri atas :

a. Lapisan basal atau stratum germinativum. Lapisan basal merupakan lapisan

epidermis paling bawah dan berbatas dengan dermis. Dalam lapisan basal

terdapat melanosit. Melanosit adalah sel dendritik yang membentuk

melanin. Melanin berfungsi melindungi kulit terhadap sinar matahari.

b. Lapisan malpighi atau stratum spinosum. Lapisan malpighi atau disebut

juga prickle cell layer (lapisan akanta) merupakan lapisan epidermis yang

paling kuat dan tebal. Terdiri dari beberapa lapis sel yang berbentuk

poligonal yang besarnya berbeda-beda akibat adanya mitosis serta sel ini

makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Pada lapisan ini

banyak mengandung glikogen.

c. Lapisan granular atau stratum granulosum (Lapisan Keratohialin). Lapisan

granular terdiri dari 2 atau 3 lapis sel gepeng, berisi butir-butir (granul)

keratohialin yang basofilik. Stratum granulosum juga tampak jelas di

telapak tangan dan kaki

d. Lapisan lusidum atau stratum lusidum. Lapisan lusidum terletak tepat di

bawah lapisan korneum. Terdiri dari selsel gepeng tanpa inti dengan

protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.

e. Lapisan tanduk atau stratum korneum. Lapisan tanduk merupakan lapisan

terluar yang terdiri dari beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak

berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin. Pada

permukaan lapisan ini sel-sel mati terus menerus mengelupas tanpa terlihat.

2. Dermis.

8

Lapisan dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal

daripada epidermis. Terdiri dari lapisan elastis dan fibrosa padat dengan

elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi

dua bagian yakni:

a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pars retikulaare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan.

Bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen,

elastin, dan retikulin. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, saraf,

rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea.

3. Lapisan subkutis Lapisan ini merupakan lanjutan dermis, tidak ada garis tegas

yang memisahkan dermis dan subkutis. Terdiri dari jaringan ikat longgar berisi

sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan

inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Jaringan subkutan

mengandung syaraf, pembuluh darah dan limfe, kantung rambut, dan di lapisan

atas jaringan subkutan terdapat kelenjar keringat. Fungsi jaringan subkutan

adalah penyekat panas, bantalan terhadap trauma, dan tempat penumpukan

energi.

2.2 Rute Penetrasi Zat Aktif Pada Kulit

Jalur utama penetrasi obat yaitu dengan cara menembus stratum korneum yaitu

melalui jalur transepidermal. Jalur transepidermal dibagi menjadi dua jalur yaitu

jalur transselular dan jalur interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit

dengan cara menembus lapisan lipid stratum korneum secara langsung dan

sitoplasma dari keratinosit yang mati (Trommer dan Neubert, 2006).

2.3 Acne Vulgaris

Patogenesis Acne vulgaris besifat multifatkoral. Ada 4 faktor penting yang

dianggap berperan dalam perkembangan suatu lesi Acne vulgaris. Faktor-faktor

tersebut antara lain hiperproliferasi folikuler epidermal, peningkatan produksi

sebum, Peningkatan aktivitas P. Acnes, dan inflamasi (Layton A., 2005).

9

Hiperproliferasi epidermal folikular adalah kejadian yang pertama sekali

dikenal dalam perkembangan Acne vulgaris. Penyebab pasti yang mendasari

hiperprofilerasi ini tidak diketahui. Saat ini, ada 3 buah hipotesis yang telah

diajukan untuk menjelaskan mengapa epitelium folikular bersifat hiperpoliferatif

pada individu dengan Acne vulgaris. Pertama, hormon androgen, yang telah

dikenal sebagai pencetus awal. Komedo, lesi klinis yang menyebabkan

pembentukan sumbatan pada muara folikular, mulai timbul disekitar usia pubertas

pada orang-orang dengan Acne vulgaris. Derajat Acne vulgaris komedonal pada

usia prapubertas berhubungan dengan kadar hormon androgen adrenal yaitu

dehydroepiandrosterone suphate (DHEA-S). Apalagi, reseptor hormon androgen

ditemukan pada folikel-folikel dimana komedo berasal. Selain, itu individu dengan

malfungsi reseptor androgen ternyata tidak akan mengalami Acne vulgaris. Kedua,

perubahan komposisi lipid, yang telah diketahui berperan dalam perkembangan

Acne. Pada pasien Acne biasanya mempunyai produksi sebum yang berlebihan dan

kulit yang berminyak. Produksi sebum yang berlebihan ini dapat melarutkan lipid

epidermal normal dan menyebabkan suatu perubahan dalam konsentrasi relatif dari

berbagai lipid. Berkurangnya konsentrasi asam linoleat ditemukan pada individu

dengan lesi Acne vulgaris, dan menariknya, keadaan ini akan normal kembali

setelah pengobatan yang berhasil dengan menggunakan isotretinoin. Penurunan

relatif asam linoleat dapat mengaktifkan pembentukan komedo. Inflamasi adalah

faktor hipotesis ketiga yang terlibat dalam pembentukan komedo. Inflamasi adalah

faktor hipotesis ketiga yang terlibat dalam pembentukan komedo. Interleukin I-α

adalah suatu sitokin proinflamasi yang telah digunakan pada suatu model jaringan

untuk menginduksi hiperproliferasi epidermal folikular dan pembentukan Acne

vulgaris. Walaupun inflamasi tidak terlihat baik secara klinis maupun mikroskopis

pada lesi awal Acne vulgaris dan komedo.

Peningkatan produksi sebum adalah faktor kunci yang berperan dalam

pembentukan Acne vulgaris. Produksi dan ekskresi sebum diatur oleh sejumlah

hormon dan mediator yang berbeda. Hormon androgen khususnya, meningkatkan

pembentukan dan pelepasan sebum. Kebanyakan pria dan wanita dengan Acne

10

vulgaris memiliki kadar hormon androgen yang bersirkulasi dalam jumlah yang

normal.

Penanganan Acne yang berhasil membutuhkan pemahaman tentang empat

aspek dari patofisiologi Acne. Para ahli klinis harus memilih rejimen pengobatan

yang diarahkan secara mekanis yang menargetkan setiap jenis lesi yang dominan

pada pasien.

2.4 Tinjauan Bakteri Propionibacterium acnes

2.4.1 Klasifikasi Propionibacterium acnes

Kingdom : Bacteria

Phyllum : Actinobacteria

Kelas : Actinobacteridae

Ordo : Actinomycetales

Family : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterium

Spesies : Propionibacterium acnes (Bruggeman,2010)

2.4.2 Morfologi Propionibacterium acnes

Gambar 2. 2 Gambar a – Propionibacterium acnes berbentuk batang dengan

panjang 1 µm yang dilihat dengan mikroskop elektron. Gambar b -

Propionibacterium acnes yang diwarnai kristal ungu dengan perbesaran objek 100x

(Abate, 2013:1)

Propionibacterium acnes tidak memiliki spora, flagel dan kapsul (Oprica,

2006). Propionibacterium acnes adalah mikroaerophilic, anaerobic, bakteri Gram-

positive, dan salah satu produk akhir dari fermentasi bakteri adalah asam propionat.

Organisme adalah anggota flora normal rongga mulut, usus besar, konjungtiva, dan

11

kulit pada manusia. Propionibacterium acnes memiliki dinding sel tebal yang kaya

akan peptidoglikan dan lipopolisakarida (Oprica,2006). Propionibacterium acnes

memiliki lebar 0,5 - 0,8 mikrometer dan panjang 3-4 mikrometer, bakteri ini

berbentuk batang dengan ujung meruncing atau kokoid (bulat) (Brooks,2008). Suhu

optimum untuk pertumbuhan koloni Propionibacterium acnes adalah 37 °C dengan

kondisi anerob.

2.4.3 Habitat Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes merupakan bakteri flora normal yang ada pada kulit

dan pada umumnya terdapat pada folikel sebasea. Saat bayi lahir, pada kulit bayi

sudah ditemukan koloni bakteri Propionibacterium acnes namun hanya dalam

jumlah sedikit, dan akan bertambah jumlahnya saat saat memasuki usia remaja

diikuti dengan peningkatan produksi sebum pada folikel sebasea.

Propionibacterium acnes lebih banyak ditemukan pada bagian wajah dan kulit

kepala bila dibandingkan dengan lengan dan kaki pada kulit manusia. Kulit

merupakan habitat utama dari Propionibacterium acnes, namun dapat juga diisolasi

dari rongga mulut, saluran pernafasan bagian atas, saluran telinga eksternal,

konjugtiva, usus besar, uretra dan vagina (Oprica, 2006).

2.4.4 Patogenitas Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes mampu melakukan invasi ke dalam jaringan dan

menghasilkan beberapa produk enzim sehingga dapat menimbulkan manifestasi

klinis dari suatu penyakit. Enzim tersebut yaitu lipase, Phospholipase C, proteinase,

hyaluronidase, neuroaminidase, acid phosphatase, bacteriocins, histamine dan

triptami.

Peradangan Acne kronis tidak dapat didefinisikan menjadi penyakit infeksi,

karena bakteri biasanya terdapat pada kulit sebagian besar individu, terlepas dari

keberadaan lesi Acne. Propionibacterium acnes ternyata hanya memicu penyakit

ketika memenuhi daerah dermatofisiologis yang menguntungkan. Keempat faktor

utama patofisiologi yang dapat menyebabkan Acne antara lain androgen

merangsang seborrhea, hyperkeratinization dan obstruksi epitelium folikel,

proliferasi Propionibacterium acnes, dan kemudian peradangan.

12

Comedogenesis, transformasi folikel pilosebaceous menjadi lesi Acne primer,

komedo, adalah produk keratinisasi folikel abnormal terkait dengan sekresi sebum

yang berlebihan. Selama proses ini, Propionibacterium acnes sering terperangkap

dalam lapisan corneocytes dan sebum yang dengan cepat mengkolonisasi

comedonal kernel, menghasilkan microcomedone, struktur yang tidak terlihat oleh

mata telanjang. Sebuah microcomedone dapat berkembang menjadi struktur yang

lebih besar, yang disebut komedo.

Komedo dapat berupa struktur tertutup (whitehead) yang tampak seperti

benjolan berwarna pada kulit atau struktur terbuka (blackhead). Tidak seperti

komedo terbuka, komedo tertutup tidak dapat menyingkirkan gabungan serabut dari

sisa-sisa sel, sebum, Propionibacterium acnes dan produk lain ke permukaan kulit,

dan ini membuat mereka lebih rentan terhadap peradangan.

Inflamasi pada Acne, komedo dan material folikel lebih mudah terdispersi ke

dalam dermis dari pada di permukaan kulit. Tergantung pada tingkat kerusakan pada

dinding komedo, berbagai jenis lesi inflamasi diproduksi dan ini diklasifikasikan

sebagai papula, pustula, atau nodul. Nodul adalah jenis lesi Acne yang paling parah

dan jaringan parut dapat dikaitkan dengan segala bentuk Acne peradangan yang

parah.

2.4.5 Infeksi Terkait Propionibacterium acnes

Koloni bakteri Gram positif anaerobik yaitu Propionibacterium acnes yang

menyebabkan kondisi peradangan Acne pada kulit telah dikenal selama lebih dari

satu abad, peran terbesarnya dalam menginfeksi manusia dan kondisi klinis lainnya

tidak diragukan lagi. Propionibacterium acnes dalam sampel biologis hanya

mencerminkan kontaminasi dari mikroflora kulit atau secara klinis tidak relevan

karena tingkat infeksinya yang rendah. Atas dasar itu, ada kemungkinan bahwa

sejumlah infeksi Propionibacterium acnes yang tidak diketahui, tidak terdiagnosis

dan tidak dikenali (McDowell et al., 2013). Sedangkan penyakit yang melibatkan

infeksi Propionibacterium acnes dan terkait alat-alat medis (kateter, prosthetic

joints, implants, dan lain-lain) yaitu konjungtivitas akibat lensa kontak, (shunt

13

nephritis, shunt-associated central nervous system infection dan anaerobic arthritis

(Bruggeman,2010).

Propionibacterium acnes bisa saja terlibat dalam penyebab penyakit seperti

osteomyelitis, peritonitis, infeksi gigi, rheumatoid artritis, abses otak, empyema

subdural, keratitis, ulkus kornea, endoftalmitis, sarkoidosis, dan radang prostat

(Oprica,2006).

2.5 Identifikasi Bakteri Propionibacterium acnes

Tabel II. 1 Identifikasi Propionibacterium acnes (Breed et al., 2005; Bojar, 2004)

Identifikasi Propionibacterium acnes

Morfologi koloni Sirkuler

Pewarnaan gram Gram positif

Morfologi Sel Polimorf, berbentuk batang

Uji motilitas Non motile

Uji reduksi nitrat +

Uji Indole +

Hidrolisis Kasein +

Katalase +

B heolisis +/-

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Propionibacterium acnes

dapat diidentifikasi dengan cara melihat morfologi koloni, pewarnaan gram, morfologi

sel, uji motilitas, uji reduksi nitrat, uji indole, hidrolisis kasein, kasein dan Β heolisis.

1. Morfologi Koloni

Bakteri dapat ditumbuhkan dalam suatu media agar yang akan membentuk

suatu penampakan berupa koloni. Koloni sel bakteri adalah sekelompok masa sel

yang dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa alat bantu. Semua sel dalam

koloni tersebut sama dan keturunan (progeny) dari satu mikroorganisme dan

mewakili suatu biakan murni. Penampakan koloni pada media agar menunjukkan

bentuk dan koloni yang khas, dilihat dari bentuk keseluruan penampakan koloni,

14

tepi dan permukaan koloni. Pada Propionibacterium acnes koloni bakteri

berbentuk sirkuler (Breed, Murray dan Smith, 2005)

2. Pewarnaan Gram

Pewarnaan Gram merupakan pewarnaan diferensial yang sangat berguna

dan paling banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi (Rahayu &

Gumilar, 2017). Pewarnaan gram adalah suatu metode empiris untuk

membedakan spesies bakteri menjadi dua kelompok, yaitu bakteri gram positif

dan bakteri gram negate yang dibedakan berdasarkan sifat kimia dan fisik

dinding sel bakteri. Pewarnaan gram memiliki prinsip berdasarkan kemampuan

dinding selnya terhadap zat warna dasar yaitu kristal violet setelah pencucian

alkohol 96%. Bakteri gram positif akan terlihat berwarna ungu karena dinding

sel yang mengikat kristal violet lebih kuat, sedangkan bakteri gram negatif

mengandung lebih banyak lipid sehingga pori-pori mudah membesar dan kristal

violet merupakan bahan yang mudah larut saat pencucian alkohol 96%

(Karmana, 2008).

3. Morfologi Sel

Morfologi sel bakteri dapat dilihat dibawah mikroskop cahaya, bakteri

memiliki banyak bentuk seperti, kokus, basil dan spiral. Propionibacterium

acnes memiliki morfologi sel yang terlihat polimorf dan berbentuk batang

(Breed, Murray dan Smith,2005).

4. Uji Motilitas

Uji motilitas dilakukan untuk melihat pergerakan dari suatu bakteri.

Kebanyakan sel bakteri dapat bergerak dengan menggunakan flagel, akan tetapi

terdapat sel bakteri yang tidak dapat bergerak karena tidak memiliki flagel,

karena flagel merupakan alat gerak bagi bakteri. Bakteri dengan uji motilitas

positif berarti mampu bergerak dan memiliki flagel, begitu pula sebaliknya

bakteri dengan uji motilitas negatif tidak mampu bergerak dan tidak memiliki

flagel (hastiti, 2005).

5. Uji Katalase

15

Uji katalase digunakan untuk mengetahui aktivitas katalase pada suatu

bakteri uji. Bakteri katalase yang positif mampu membentuk gelembung-

gelembung oksigen hal ini disebabkan oleh adanya pemecahan H2O2 oleh

enzim katalase yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri. Komponen H2O2

merupakan salah satu zat beracun yang berasal dari hasil respirasi bakteri

aerobik, dimana hasil respirasi tersebut mampu menghambat pertumbuhan

bakteri. Pada bakteri katalase negatif, bakteri tidak menghasilkan gelembung-

gelembung karena bakteri gram negatif tidak memiliki enzim katalase untuk

menguraikan H2O2 (Hastiti, 2005). Propionibacterium acnes memiliki hasil

uji katalase positif (Bojar, 2004).

6. Uji Indol

Uji indol digunakan untuk mengetahui apakah kuman mempunyai enzim

triptophanase, sehingga kuman tersebut mampu mengoksidasi asam amino

triptophan dan membentuk indol (Cowan, 2004). Propionibacterium acnes

merupakan bakteri dengan indol positif (Breed, 2001). Adanya indol dapat

diketahui dengan penambahan reagen Ehrlich Kovac’s yang berisi paradimetil

amino bensaldehid. Apabila interpretasi negatif tidak terbentuk lapisan cincin

berwarna merah pada permukaan biakan, artinya bakteri ini tidak membentuk

indol dari triptophan sebagai sumber karbon. Begitu pula sebaliknya,

interpretasi positif bila terbentuk lapisan cincin berwarna merah pada

permukaan biakan, artinya bakteri ini membentuk indol dari triptophan sebagai

sumber karbon (Cowan, 2004).

7. Uji Reduksi Nitrat

Reduksi nitrat terjadi pada kebanyakan bakteri anaerob. Uji reduksi nitrat

bertujuan untuk mengatahui kemampuan suatu bakteri dalam mereduksi nitrat

menjadi nitrit. Pembentukan nitrit ditandai dengan terbentuknya warna merah

setelah ditambahkan asam sulfalinat dan α-naphtalamyne (karmana, 2008).

8. Uji Reduksi Kasein

Uji reduksi kasein bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam

memfermentasi susu menjadi asam yang dapat menyebabkan kasein

16

mengendap atau menggumpal. Uji kasein positif bila terbentuk endapan

berwarna hijau dan terjadi perubahan warna yang pada awalnya berwarna

keabu-abuan menjadi berwarna kuning. Warna kuning yang terjadi disebabkan

oleh adanya respon indikator terhadap perubahan pH yang menjadi asam

(Karmana,2008).

9. β - hemolisis

Blood agar plate (BAP) adalah media differensial untuk membedakan

bakteri hemilitik dan non hemolitik yaitu berdasarkan kemampuan bakteri

untuk melisiskan eritrosit (Sihotang, 2015). Uji hemolisis digunakan untuk

mengetahui kemampuan bakteri untuk melisiskan eritrosit. β -hemolisis

didefinisikan lisis lengkap dengan tampilan wrna transparan dikelilingi bakteri

pada medium (Karmana,2008).

2.6 Emulgel

Emulgel merupakan sediaan bertipe emulsi minyal dalam air (o/w) atau air

dalam minyak (w/o) yang diaplikasikan kedalam bentuk sediaan gel. Sifat

dermatologis dari emulgel adalah waktu kontak lama, tiksotropik, melembabkan,

konsistensi baik, mudah menyebar, mudah terpenetrasi, larut air, transparan, mudah

dihilangkan, dan mudah bercampur dengan bahan eksipien (Haneefa et. al., 2013).

Obat yang bersifat hidrofilik sangat sulit apabila dibuat dalam bentuk sediaan gel,

sehingga karena kekurangan ini maka obat dengan sifat hidrofilik dibuat dalam

bentuk sediaan emulgel (Panwar et.al., 2011). Stabilitas emulsi akan meningkkat

bila diinkorporasi dalam sediaan gel. Sediaan gel akan membuat sediaan emulsi

stabil dengan adanya penurunan tegangan permukaan dan antarmuka secara

bersamaan (Khullar et. al., 2012).

2.6.1 Keuntungan Emulgel

Emulgel memiliki beberapa keuntungan antara lain :

1. Gel mudah digabungkan dengan obat bersifat hidrofilik dengan

mengunakan emulsi bertipe o/w. Masalah yang dimiliki obat

dengan sifat hidrofilik adalah kelarutannya yang susah dan tidak

dapat langsung bergabung dengan basis gel, oleh karena itu

17

emulgel dapat membantu menggabungkan antara obat hidrofilik

dangan basis gel.

2. Stabilitas lebih baik

3. Penetrasi lebih baik

4. Biaya persiapan dan uji kelayakan produksi sediaan lebih

ekonomis

5. Proses sonikasi tidak perlu intensif

6. Emulgel dibuat menjadi pelepasan terkendali dan cocok untuk

obat dengan t ½ pendek

7. Digunakan untuk obat hidrofobik maupun hidrofilik

(Hyma,2014).

2.6.2 Kerugian Emulgel

Emulgel memiliki beberapa kekurangan antara lain :

1. Dapat terjadi pembentukan gelembung saat produksi

2. Obat dengan ukuran partikel besar sulit terpenetrasi kedalam kulit

bila menggunakan sediaan emulgel

3. Obat dengan permeabilitas rendah pada kulit tidak disarankan

dibuat dalam sediaan emulgel (Supriya,2014).

2.7 Tinjauan Tamanu Oil

2.7.1 Sejarah Tamanu Oil

Tamanu dianggap sebagai pohon suci untuk waktu yang lama. Pohon ini

ditanam di marae (situs suci). Dikatakan bahwa para dewa bersembunyi di pohon

untuk menonton manusia tanpa terlihat. Kayu pohon Tamanu digunakan secara

eksklusif untuk menghasilkan totem, tiki dan berhala.Berkat perlindungan ini,

pohon Tamanu menjadi luas di Polinesia, tempat itu membuat hutan-hutan yang

indah menghadap motu (terumbu karang). Pohon Tamanu dihargai karena

harumnya bunga dan dedaunan yang elegan, ditanam di sepanjang jalan. Dengan

perubahan orang Polinesia ke agama Kristen, eksploitasi dari pohon-pohon ini

menjadi intensif untuk daun, minyak dan buah buahan mereka digunakan di

berbagai bidang.Pada 50-an, studi ilmiah pertama tentang minyak diekstraksi dari

18

kacang membantu menyoroti sifat penyembuhan yang luar biasa:regeneratif,

penyembuhan, pelembab, anti-bakteri, anti-parasit dan aktivitas antiinflamasi yang

mengejutkan. Saat ini, Tamanu atau «ati» dengan banyak manfaatnya masih penting

di farmakope lokal. Ia dikenal karena penyembuhannya yang luar biasa properti.

Tamanu Oil selalu digunakan dalam pengobatan tradisional Polinesia. Bayi

masih digosok dari ujung kepala sampai ujung kakiuntuk mencegah gigitan

nyamuk, pantat kemerahan atau hanya untuk memijat.

Minyak ini sangat dianjurkan karena sifat analgesiknya terutama dalam

kasus linu panggul, lumbago dan reumatik. Ini juga mengandung khasiat

penyembuhan luar biasa yang sering digunakan untuk infeksi kulit, bahkan yang

paling banyakparah seperti borok atau luka tekan dari semua jenis dan dalam

mengobati luka bakar, dan luka pasca operasi, untuk menyebutkanbeberapa dari

mereka.Terkenal karena sifat regenerasinya pada kulit dan sel, Tamanu Oil

digunakan dalam kosmetik modern di mana aplikasinya tidak terbatas (krim anti-

kerut dan anti-penuaan, krim yang menenangkan, formulasi surya, krim anti-Acne,

setelah bercukur).Selain itu, sifatnya yang melembabkan, anti-oksidan, dan anti-

radikal menjadikan produk ini «melakukan segalanya» produk, terutama efektif dan

aman (Dweck dan Meadows, 2002).

2.7.2 Klasifikasi Tanaman Tamanu Oil

a. Taksonomi

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledenae

Bangsa : Guttiferaes

Suku : Guttiferaes

Marga : Calophyllum

Jenis : Calophyllum inophyllum L.

b. Morfologi tanaman

Calophyllum inophyllum dikenal dengan tanaman nyamplung

merupakan tumbuhan liar dengan tinggi pohon mencapai 20 m dan

19

diameter batang 1,50 m, batang sangat pendek, bercabang rendah

mendekati permukaan tanah dan tumbuh berkelompok (Bustomi dan

Lisnawati, 2009). Tanaman ini baru mulai berbuah pada umur 5-20 tahun.

Bentuk daun tunggal, berseling berhadapan, berwarna hijau dengan

pertulangan menyirip. Bunga dan buah yang dihasilkan tumbuh langsung

dari kuncup dorman ketiak daun teratas.

Buahnya berbentuk bulat seperti peluru dengan bagian ujung

meruncing, berwarna hijau dan ketika tua warnanya menjadi kekuningan.

Kulit biji yang tipis lambat laun akan menjadi keriput dan mudah

mengelupas. Biji yang tersisi berupa daging buah berbentuk bulat dengan

ujung meruncing, mengandung minyak berwarna kuning, terutama jika

dijemur. Biji yang dijemur kering mengandung minyak 71,4% dan air 3,3%

(Balitbang Kehutanan, 2008).

Di Indonesia, nyamplung banyak tumbuh di daerah sepanjang pantai

yang beriklim tropis. Namun tanaman ini dapat beradaptasi dengan baik

pada ketinggian 100-350 mdpl.

2.7.3 Kandungan senyawa Tamanu Oil

Diketahui bahwa buah biji C. Inophyllum mengandung lipid (63,1%), Fiber

(16,64%), abu (3,22%), protein (3,42%), kelembaban (4,15%), dan Nitrogen Free

Extract (13.62%) . Dan juga memiliki nilai kalori 6092 kal/gr. Lipid mengandung

asam lemak bebas (8,23%), monogliserida (3,93%), digliserida (3,37%),

trigliserida (81.06%) dan bioactive (3,4%) (Chandra., et al, 2013)

Komposisi asam lemak yang ditemukan dalam tamanu antara lain : asam

palmitat (16,5 ± 1,59%), asam palmitoleat (0,26 ± 0,11%), asam stearat (30,2 ±

4,36%), asam oleat ( 23,6 ± 4,77%), asam linoleat (25,5 ± 3,87%), asam

alfalinoleat (0,26 ± 0,05%), asam arakidonat (0,6 ±0,09%), asam gadoleat (0,3

±0,1%), asam dihomo-gamma-linoleat (<0,1%), asam behenic (0,1 ± 0,15%),

asam docosadienoat (1,4 ± 5,08%). Asam lemak jenuh adalah konstituen yang

utama (41-52%) dengan proporsi relatif tinggi asam stearat (25-35%). Asam

20

lemak tak jenuh (18-22%) ditemukan dalam jumlah yang baik, masing-masing

asam oleat (20-26%) dan asam linoleat (21-29%) (Raharivelomanana, 2018).

Minyak Tamanu mengandung juga bagian resin etanol yang larut (berkisar

20% dari minyak), yang sebagian besar terdiri dari metabolit sekunder sebagian

besar tersusun oleh neoflavonoid dan derivatif pyranocoumarin (Lederer et al.,

1953; Laure, 2005; Bruneton, 2009; Leu et al., 2009). Mengikuti struktural mereka

fitur, senyawa ini diklasifikasikan sebagai inofil (dalam substituen fenil),

calanolides (dalam propil substituen), atau tamanolides (dalam substituen sec-

isobutyl) tetapi unsur utamanya adalah selalu calophyllolide (an turunan

inophyllum). Komponen utama dari Perancis Bagian resin minyak tamanu adalah:

calophyllolide,inopyllums (C, D, E, P), calanolides (A, B, D), tamanolides (D, P)

Tamanu Oil juga mengandung senyawa kumarin yang didalamnya terdiri dari

berbagai senyawa antara lain adalah Calophylloide, Inophylloide, Calophyllic

acid, Tomentolide A, Desoxo-12-hydroxy-12 Inophylloide., Apetalolide,

Calaustraline, Calafloride yang mana senyawa Calophylloide inilah yang

memiliki aktivitas antibakteri (Raharivelomanana et al, 2018).

2.7.4 Karakteristik Tamanu Oil

Tabel II. 2 Karakteristik Minyak Nyamplung (Bernardus et al, 2009))

Karakteristik Satuan Nilai

Kadar air % 2,40

Bobot Jenis g/mL 0,93

Viskositas

Suhu 400C

Suhu 600C

cS/t

53,52

51,42

rendemen % 51,315

Angka asam Mg/g 32,09

Angka peroksida Meq/g 1,24

Angka Penyabunan Mg/g 392,70

21

2.7.5 Khasiat Tamanu Oil

Minyak yang didapatkan dari biji ini (sekitar 60%) kadang-kadang disebut

minyak Domba di Eropa dan telah terbukti berguna dalam pengobatan rematik

serta dalam pengobatan gatal atau kudis. Minyak itu pernah dipikirkan para

farmakologis lama menjadi minyak Tacamahaca (balsam poplar atau Populus

balsamifera). Ini mirip dengan myrhh (Commiphora molmol) dan juga bermanfaat

untuk ulcer. Minyak juga digunakan dalam kasus gonorea. Minyak dari biji

digunakan topikal pada rematik dan asam urat dan spesifik untuk kudis dan juga

dapat digunakan untuk kurap. Secara topikal juga Tamanu Oil digunakan untuk

mengobati rematik kronis, inflamasi tulang dan sendi, dan ankylosis (Dweck dan

Meadows, 2002)

Tamanu Oil dapat dioleskan pada kulit juga lesi membran mukosa dapat

menyembuhkan luka kecil seperti pecah- pecah, tetapi juga lebih efisien masalah

kulit yang serius: luka atonik, luka bakar kimia, radiodermatitis, luka pasca bedah.

Aktivitas (Dweck dan Meadows, 2002)adalah dipelajari dalam banyak kasus

klinis. Komponen anti-inflamasi dan antibiotik membuat Tamanu Oil merupakan

bahan baku yang sangat baik untuk kosmetik, dalam formulasi regenerasi dan

pelindung (Dweck dan Meadows, 2002).

Minyak ini sangat direkomendasikan untuk semua jenis luka bakar (terbakar

sinar matahari atau luka bakar kimia), sebagian besar dermatosis, kicatriisasi

pascabedah, alergi kulit tertentu, Acne, psoriasis, herpes, chilblains, kulit retak,

luka diabetes, wasir, kulit kering, insomnia, rambut rontok, dll. Dalam tata rias,

digunakan dalam persiapan krim regeneratif. Minyak yang menenangkan ini

memiliki sudah lama menjadi rahasia kecantikan Tahitian Vahine (Dweck dan

Meadows, 2002).

22

2.8 Komponen Penyusun Emulgel

2.8.1 CMC Na

Gambar 2. 3 Struktur Kimia CMC Na (Rowe et al, 2009)

Sinonim : Sodium carboxymethylcellulose, sodium celluloseglycolate,

Tylose MGA, Xylo-Mucine.

Pemerian : Serbuk berwarna putih hingga hampir putih, tidak berbau, tidak

berasa.dan higroskopis setelah pengeringan.

Kelarutan :Praktis tidak larut dalam aseton, etanol (95%), eter, dan toluena.

Mudah didispersikan dalam air pada semua suhu, membentuk

larutan koloid yang jernih.

Inkompatibilitas :Karboksimetilselulosa natrium tidak sesuai dengan larutan yang

sangat asam dan dengan garam besi yang larut dan beberapa

logam lainnya, seperti aluminium, merkuri, dan seng.

Kegunaan :Natrium karboksimetilselulosa banyak digunakan dalam

formulasi farmasi oral dan topikal, terutama untuk sifatnya yang

meningkatkan viskositas. Karboksimetilselulosa natrium juga

dapat digunakan untuk menstabilkan emulsi. Konsentrasi yang

digunakan 3-6%. Karboksimetilselulosa natrium juga digunakan

dalam kosmetik dan produk makanan.

2.8.2 Propilenglikol

Gambar 2. 4 Struktur Kimia Propilenglikol (Rowe et al, 2009)

23

2.8.3 Polysorbate 80

Gambar 2. 5 Struktur Kimia Polysorbate 80 (Rowe et al, 2009)

Sinonim :Polysorbate 80

Pemerian :Cairan berminyak tidak berbau, memiliki rasa pahit, berwarna

kekuningan

Kelarutan :Larut dalam air, larut dalam etanol. Tidak larut dalam mineral dan

minyak sayur

Inkompatibilitas :Perubahan warna dapat terjadi dengan berbagai zat, terutama

fenol, tanin, bahan mirip tar. Aktivitas antimikroba dari pengawet

paraben berkurang dengan adanya polisorbat.

Kegunaan :Emulgator M/A: 1-15%

Emulsifying agent (kombinasi emulsi M/A): 1-10%

(Rowe, et al. 2009)

Sinonim :1,2-Dihydroxypropane2-hidroksipropanol; metil etilen glikol;

metil glikol; propana-1,2-diol;propylenglycolum.

Pemerian :Cairan jernih, tidak berwarna, kental dan praktis tidak berbau

dengan rasa manis yang sedikit tajam menyerupai gliserin.

Kelarutan :Larut dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air;

larut pada 1 dalam 6 bagian eter; tidak larut dengan minyak mineral.

Inkompatibilitas :Propilen glikol tidak sesuai dengan pereaksi pengoksidasi seperti

kalium permanganat.

Kegunaan :Pengawet antimikroba; desinfektan; humektan; plasticizer;

pelarut; zat penstabil; cosolvent larut air

24

2.8.4 Sorbitan Monolaurate 20

Gambar 2. 6 Struktur Kimia Sorbitan Monolaurate 20 (Rowe et al, 2009)

Sinonim :Sorbitan monolaurat

Pemerian :Cairan atau padatan berwarna krem sampai kuning dengan bau

dan rasa yang khas

Kelarutan :Larut dalam minyak larut dan dalam sebagian besar pelarut

organik

Inkompatibilitas :-

Kegunaan :Agen dispersi; agen pengemulsi; surfaktan nonionik; zat pelarut;

agen suspensi; agen pembasah. Dengan konsentrasi M/A: 1-15%

Emulsifying agent (kombinasi emulsi M/A): 1-10%

2.8.5 Metil Paraben

Gambar 2. 7 Struktur Kimia Metil Paraben (Rowe et al, 2009)

Sinonim :Aseptoform M, metil p-hidroksibenzoat; Metil Parasept; Nipagin

M

Pemerian :Berbentuk kristal tidak berwarna atau bubuk kristal putih. Tidak

berbau dan memiliki rasa sedikit terbakar

Kelarutan :Larut ethanol 1 : 2 bagian, larut ethanol (95%) 1 : 3 bagian, larut

ethanol (50%) 1 dalam 6 bagian, larut ether 1 : 10 bagian, larut

glycerin 1:60 bagian, larut propilenglikol 1: 5 bagain, larut air 1 :

400 bagian.

25

Inkompatibilita :Aktivitas antimikroba metilparaben dan paraben lainnya sangat

berkurang dengan adanya surfaktan nonionik,seperti polisorbat 80,

sebagai hasil dari miselisasi.

Kegunaan :Pengawet. Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet

antimikroba dalam kosmetik dan formulasi farmasi.. Metil paraben

efektif pada rentang pH yang luas yaitu pH 4-8. Metil paraben

digunakan pada kadar 0,02-0,3%. Efikasi dari pengawet dapat

ditingkatkan dengan penambahan 2-5% propilenglikol.

2.8.6 BHT (Butylated Hydroxytoluene)

Gambar 2. 8 Struktur Kimia BHT (Rowe et al, 2009)

Sinonim :Dibutylated hydroxytoluene, Embanox BHT, Impruvol, Ionol CP,

Nipanox BHT,OHS28890, Sustane,TenoxBHT,Topanol, Vianol

Pemerian :Serbuk hablur putih atau kuning pucat dengan bau fenol yang

lemah

Kelarutan :Praktis tidak larut dalam air, gliserin, PG, agak larut dalam mineral

oil, methanol, etanol (95%), minyak lemak. BHT larut dalam

minyak sehingga dapat mencegah timbulnya bau tengik akibat

oksidasi fase minyak.

Inkompatibilitas :Butylated hydroxytoluene adalah fenolik dan mengalami reaksi

karakteristik fenol. Kontak dengan zat pengoksidasi dapat

menyebabkan pembakaran spontan. Garam besi menyebabkan

perubahan warna dengan hilangnya aktivitas

Kegunaan :Antioksidan untuk sediaan topikal 0,0075-0,1%.

26

2.8.7 Propil Paraben

Gambar 2. 9 Struktur Kimia Propil Paraben (Rowe et al, 2009)

Sinonim : Aseptoform P, Nipagin P, Nipasol M, propagin

Pemerian :Berbentuk bubuk putih, kristal, tidak berbau, dan tidak berasa.

Kelarutan :Seluruhnya larut acetone, larut etanol (95%) 1 dalam 1.1 bagian,

larut etanol (50%) 1 dalam 5.6 bagian, seluruhnya larut eter, larut

gliserin 1 dalam 250 bagain, larut minyak mineral 1 dalam 3330

bagian, larut propilen glikol 1 dalam 3,9 bagian, larut propilen

glikol (50%) 1 dalam 110 bagian, larut air 1 dalam 4350 pada

150C.

Inkompatibilitas :Aktivitas antimikroba propilparaben berkurang secara signifikan

dengan adanya surfaktan nonionik. Magnesium aluminum

silicate, magnesium trisilicate juga telah dilaporkan dapat

menyerap propil paraben, sehingga mengurangi efektivitasnya

sebagai pengawet.

Kegunaan :Pengawet. Propil paraben banyak digunakan sebagai pengawet

antimikroba dalam kosmetik dan formulasi farmasi. Ini dapat

digunakan sendiri, dalam kombinasi dengan ester paraben lain,

atau dengan agen antimikroba lainnya. Propil paraben

menunjukkan aktivitas antimikroba antara pH 4-8. Paraben lebih

aktif melawan ragi dan jamur daripada melawan bakteri. Kadar

yang digunakan dalam pembuatan sediaan topikal ialah 0,01 –

0,6%

2.8.8 Aquadest

Aqua Destilata :Aquades merupakan pelarut yang jauh lebih baik dibandingkan

hampir semua cairan yang umum dijumpai. (Khotimah et al.,

2017). Pemerian aquades, cairan jernih, tidak bewarna, tidak

berbau, dan tidak mempunyai rasa.

(Rowe, et al. 2009)

27

2.9 Tinjauan Pengujian Antibakteri In vitro

Uji kepekaan terhadap obat-obatan secara in vitro bertujuan untuk mengetahui

obat antibakteri yang masih dapat digunakan untuk mengatasi infeksi oleh mikroba

tersebut. Uji kepekaan terhadap obat antibakteri pada dasarnya dapat dilakukan

melalui tiga cara, yaitu :

a. Metode dilusi

b. Metode difusi cakram

c. Bioautografi

2.9.1 Metode dilusi

Metode dilusi adalah salah satu metode yang digunakan untuk

mengetahui potensi suatu senyawa terhadap aktifitas mikroba dengan

menentukan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh

Minimal (KBM) (Lennettedkk, 1991). Prinsip dari metode dilusi menggunakan

satu seri tabung reaksi yang diisi dengan media cair dan sejumlah sel mikroba

tertentu yang diuji. Kemudian masing-masing tabung diisi dengan obat yang

telah diencerkan secara serial. Selanjutnya masing-masing seri tabung diinkubasi

pada suhu 37°C selama 18-24 jam dan diamati perubahan yang terjadi yaitu

kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung ditunjukkan

dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih yang menandakan tidak ada

kontaminan terhadap bakteri, yang menandakan cairan tersebut adalah obat

KHM . Selanjutnya biakan dari semua tabung yang jernih diinokulasikan pada

media agar padat, lalu diinkubaskan dan esok harinya diamati ada tidaknya

koloni mikroba yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang

ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari

obat terhadap bakteri uji (Dzen, 2003).

2.9.2 Metode difusi cakram

Pada metode difusi, penentuan aktivitas didasarkan pada kemampuan

difusi dari zat antimikroba dalam agar plate yang telah diinokulasikan dengan

mikroba yang uji. Hasil pengamatan yang diperoleh berdasarkan pada zona

hambatan yang terbentuk di sekeliling zat antimikroba pada waktu tertentu masa

28

inkubasi (brooks et al, 2007). Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu

:

a. Metode Cakram Kertas (Disc)

Prinsip dari metode difusi cakram yaitu obat dijenuhkan kedalam

kertas saring (cakram kertas). Cakram kertas yang mengandung obat

tertentu ditanam pada media pembenihan agar padat yang telah dicampur

dengan mikroba yang diuji, kemudian media diinkubasikan 37°C selama

18-24 jam. Selanjutnya diamati area (zona) jernih disekitar cakram kertas

yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba (Dzen, 2003).

Untuk evaluasi hasil uji kepekaan, dapat dilakukan dengan 2 cara

berikut:

1. Cara Kirby Bauer, yaitu dengan cara membandingkan diameter dari

area jernih (zona hambatan) disekitar cakram dengan tabel standar

yang dibuat oleh NCCLS (National Committe for Clinical

Laboratory Standard). Dengan tabel NCCLS ini dapat diketahui

kriteria sensitif, sensitif intermediet dan resisten

2. Cara Joan-Stokes, yaitu dengan cara membandingkan radius zona

hambatan yang terjadi antara bakteri kontrol yang sudah diketahui

kepekaannya terhadap obat tersebut dengan isolat bakteri yang diuji.

Pada cara ini, prosedur uji kepekaan untuk bakteri kontrol dan bakteri

uji dilakukan bersama-sama dalam satu piring agar (Dzen, 2003).

Kelebihan yang dimiliki metode cakram kertas adalah mudah

dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus dan relatif murah.

Sedangkan kelemahannya adalah ukuran zona bening yang terbentuk

tergantung kondisi inkubasi, inokulum, predifusi dan preinkubasi serta

ketebalan medium (Pelczar et al,.1988). Apabila keempat faktor tersebut

tidak sesuai maka hasil dari metode cakram kertas biasanya sulit untuk

diinterpretasikan. Selain itu, metode cakram kertas ini tidak dapat

diaplikasikan pada mikroorganisme yang pertumbuhannya lambat

(Bonang, 1992).

29

b. Metode Parit (Ditch)

Suatu lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji

dibuat sebidang parit. Parit tersebut berisi zat antimikroba, kemudian

diinkubasi pada waktu dan suhu optimum yang sesuai untuk mikroba uji.

Hasil pengamatan yang akan diperolah berupa ada tidaknya zona hambat

yang kan terbentuk di sekitar parit (Bonang, 1992).

c. Metode Sumuran (hole/cup)

Metode lubang/sumuran yaitu membuat lubang pada agar padat yang

telah diinokulasi dengan bakteri. Pada lempeng agar yang telah

diinokulasikan dengan bakteri uji dibuat suatu lubang yang selanjutnya

diisi dengan zat antimikroba uji. Kemudian setiap lubang itu diisi dengan

zat uji. Setelah diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai dengan

mikroba uji, dilakukan pengamatan dengan melihat ada atau tidaknya

zona hambatan di sekeliling lubang (Prayoga, 2013).

2.9.3 Bioautografi

Metode bioautografi merupakan metode sederhana yang dugunakan

untuk menunjukkan adanya aktivitas antibakteri atau antikapang. Metode ini

menggabungkan penggunaan teknik kromatografi lapis tipis degan respon dari

mikroorganisme yang diujji berdasarkan aktivitas biologi dari suatu analit yang

dapat berupa antibakteri,antikapang, dan antiprotozoa (Choma, 2010).

Bioautografi merupakan metode paling efisien untuk mendeteksi

komponen senyawa antimikroba, sebab dapat melokalisir aktivitas meskipun

dalam senyawa aktif tersebut terdapat dalam bentuk senyawa kompleks dan

dapat pula diisolasi langsung dari komponen yang aktif (Musttary et al., 2011).

Bioautografi dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Bioautografi kontak

Bioautografi kontak merupakan senyawa antimikroba yang

dipindahkan dari lempeng KLT ke medium agar yang telah

diinokulasikan bakteri uji secara merata dan dilakukan kontak langsung

(Dewanjee et al., 2014).

30

2. Bioautografi Langsung (Deteksi KLT)

Metode bioautografi langsung merupakan metode dimana

mikroorganisme tumbuh secara langsung diatas lempeng KLT. Prinsip

kerja dari metode ini adalah suspensi mikroorganisme uji dalam

medium cair disemprotkan pada permukaan KLT dengan cara

menghilangkan sisa-sisa eluen yang menempel pada lempeng

kromatogram. Setelah itu di inkubasi pada suhu dan waktu tertentu

/b(Dewanjee et al., 2014).

3. Bioautografi Perendaman

Bioautografi perendaman merupakan metode dimana medium agar

yang telah diinokulasikan dengan suspensi bakteri kemudian dituang di

atas lempeng KLT. Pada metode ini lempeng kromatografi yang telah

dieluasi di letakkan dalam cawan petri, sehingga permukaan tertutup

oleh medium agar yang berfungsi sebagai base layer. Setelah base layer

memadat, dituangkan medium yang telah disuspensikan mikroba uji

yang berfungsi sebagai seed layer. Kemudian di inkubasi pada suhu dan

waktu yang sesuai (Dewanjee et al., 2014).

top related