bab ii tinjauan pustaka 2.1. tinjauan tentang pernikahan 2...
Post on 23-Sep-2020
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Tentang Pernikahan
2.1.1. Pengertian Fikih Munakahat
Fikih menurut bahasa berarti paham terhadap tujuan
seorang pembicara dari pembicaraannya.9
Fikih, secara terminologis, adalah hukum-hukum syarak
yang bersifat praktis (samaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil
yang terperinci. Dalam istilah lain dikatakan: “Fikih menurut istilah
adalah mengetahui hukum-hukum syarak mengenai perbuatan yang
diambil melalui dalil-dalilnya yang terperinci.”10
Kalau fikih dihubungkan dengan perkataan ilmu, akan
menjadi ilmu fikih. Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas
menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW yang direkam di dalam kitab-kitab Hadis.11
Sedangkan yang dimaksud dengan Fikih Munakahat adalah
ilmu yang membahas tentang hukum atau Perundang-undangan
Islam yang khusus membahas pernikahan (perkawinan), dan yang
berhubungan dengannya, seperti cara meminang, walimatul arusy,
9Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
Cet. Ke-7, Hlm. 10. 10
Ibid. 11
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Hlm. 5.
20
thalaq, rujuk, tanggung jawab suami istri dan lain-lain yang
berdasarkan al-Quran, Hadis, Ijma‟ dan Qiyas.12
2.1.2. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan
berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan,
maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh
Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang
biak, dan melestarikan hidupnya13
.
Nikah, menurut bahasa: al-jam‟u dan al-dhamu yang
artinya kumpul.14
Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu
al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath‟u al-
zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama
dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmad Hakim, bahwa kata
nikah berasal dari bahasa Arab „nikahun” yang merupakan masdar
atau asal kata dari kata kerja (fi‟il madhi) “nakaha”, sinonimnya
“tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab
telah masuk dalam bahasa Indonesia.15
12H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Hlm. 6.
13
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Hlm. 9; Supiana dan M. Karman, Materi pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
Cet ke-3, Hlm. 125.
14
Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,
Wasiat, Kata Mutiara, Alih Bahasa, Kuais Mandiri Cipta Persada, (Jakarta: Qisthi Press, 2003),
Hlm. 5.
15
Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000) Hlm. 11.
21
Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan
dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan”
berasal dari bahasa “kawin”, yang menurut bahasa, artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh.16
Istilah “kawin” digunakan secara umum
untuk tumbuhan, hewan dan manusia dan menunjukan proses
generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan
pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum
nasional, adat istiadat dan terutama menurut agama. Makna nikah
adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan
terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan
kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah
bisa juga diartikan sebagai bersetubuh.17
Adapun menurut syarak: nikah adalah akad serah terima
antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling
memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah
bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang
sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad
yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau
tazwij. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah
Darajat dan kawan-kawan yang memberikan definisi perkawinan
16Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), Hlm. 456.
17
Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual Elaborasi Paradigma Baru Muslim
Kaffah (Yogyakarta: Gama Media, 2005), Hlm. 131.
22
sebagai berikut: “Akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan kelamin dengan lafaz nikah atau tazwij atau
yang semakna keduanya.”18
Di bawah adalah pengertian pernikahan ditinjau dari
berbagai sudut pandang, diataranya menurut Empat Imam
Madzhab, pendapat para sarjana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam, berikut adalah penjelasannya:
2.1.2.1. Pengertian Pernikahan Menurut Empat Imam
Madzhab
2.1.2.1.1. Madzhab Hanafi
Nikah itu adalah akad yang memfaidahkan
memiliki, bersenang-senang dengan sengaja.
2.1.2.1.2. Madzhab Syafi’i
Nikah adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum kebolehan watha‟ dengan lafadz
nikah atau tazwij atau yang satu makna dengan
keduanya.
2.1.2.1.3. Madzhab Maliki
Nikah adalah akad yang mengandung
ketentuan hukum semata-mata untuk
memperbolehkan watha‟, bersenang-senang dan
18Zakiyah Darajat dkk, Ilmu Fikih (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), Jilid II, Hlm.
48.
23
menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita
yang dinikahinya.
2.1.2.1.4. Madzhab Hanbali
Nikah adalah akad dengan mempergunakan
lafadz nikah atau tazwij guna memperbolehkan
manfaat, bersenang-senang dengan wanita.19
2.1.2.2. Pengertian Pernikahan Menurut Para Sarjana
2.1.2.2.1. Prof. R.Subekti, SH.
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama.20
2.1.2.2.2. Prof. Ali Afandi, SH.
Perkawinan adalah suatu persetujuan
kekeluargaan.21
2.1.2.2.3. Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH.
Perkawinan yaitu suatu hidup bersama dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
peraturan hukum perkawinan.22
19Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), Hal. 7.
20
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), Hal. 23.
21
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), Hal. 94.
22
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1984), Hal. 7.
24
2.1.2.2.4. Prof. Soedirman Kartohadiprodjo, SH.
Perkawinan adalah suatu hubungan antara
seorang wanita dan seorang pria yang bersifat
abadi.23
2.1.2.3. Pengertian Pernikahan Menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.24
2.1.2.4. Pengertian Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum
Islam Pasal 2
Perkawinan adalah pernikahan atau akad yang
sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk menaati perintah
Allah dan melakukannya adalah merupakan ibadah.25
2.1.3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
2.1.3.1. Tujuan Pernikahan
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang
dibawa Rasulullah SAW, yaitu penataan hal ihwal
manusia dalam kehidupan dunia dan ukhrowi. Berikut
adalah tujuan-tujuan pernikahan menurut batang tubuh
23Soedirman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia,1984), Hal. 7.
24
Amir Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), Hal. 43.
25
Ibid
25
ajaran fikih, Zakiyah Darajat dkk dan Sulaiman Al-
Mufarraj, yakni:
2.1.3.1.1. Rub‟al-ibadat, yang menata hubungan
manusia selaku makhluk dengan khaliknya.
2.1.3.1.2. Rub‟al-muamalat, yang manata hubungan
manusia dalam lalu lintas pergaulannya
dengan sesamanya untuk memenuhi hajat
hidupnya sehari-hari.
2.1.3.1.3. Rub‟al-munakahat, yaitu yang menata
hubungan manusia dalam lingkungan
keluarga.
2.1.3.1.4. Rub‟al-jinayat, yang menata
pengamanannya dalam suatu tertib
pergaulan yang menjamin
ketenteramannya.26
2.1.3.1.5. Mendapatkan dan melangsungkan
keturunan;
2.1.3.1.6. Memenuhi hajat manusia menyalurkan
syahwatnya dan menumpahkan kasih
sayangnya;
2.1.3.1.7. Memenuhi panggilan agama, memelihara
diri dari kejahatan dan kerusakan;
26Ali Yafie, Pandangan Islam Terhadap Kependudukan Dan Keluarga Berencana,
(Jakarta: Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, 1982), Hlm. 1.
26
2.1.3.1.8. Menumbuhkan kesungguhan untuk
bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta kekayaan yang halal;
2.1.3.1.9. Membangun rumah tangga untuk
membentuk masyarakat yang tenteram atas
dasar cinta dan kasih sayang.27
2.1.3.1.10. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri pada
Allah SWT. Nikah juga dalam rangka taat
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya;
2.1.3.1.11. Untuk „iffah (menjauhkan diri dari hal-hal
yang dilarang); ihsan (membentengi diri)
dan mubadho‟ah (bisa melakukan
hubungan intim);
2.1.3.1.12. Memperbanyak umat Muhammad SAW;
2.1.3.1.13. Menyempurnakan agama;
2.1.3.1.14. Menikah termasuk sunnahnya para utusan
Allah;
2.1.3.1.15. Melahirkan anak yang dapat memintakan
pertolongan Allah untuk ayah dan ibu
mereka saat masuk surga;
27
Zakiyah Darajat Dkk, Ilmu fikih (Jakarta: Depag RI, 1985) Jilid 3, Hlm. 64
27
2.1.3.1.16. Menjaga masyarakat dari keburukan,
runtuhnya moral, perzinaan dan lain
sebagainya;
2.1.3.1.17. Legalitas untuk melalukan hubungan intim,
menciptakan tanggunga jawab bagi suami
dalam memimpin rumah tangga, memberikan
nafkah dan membantu istri di rumah;
2.1.3.1.18. Mempertemukan tali keluarga yang berbeda
sehingga memperkokoh lingkaran keluarga;
2.1.3.1.19. Saling mengenal dan menyayangi;
2.1.3.1.20. Menjadikan ketenangan kecintaan dalam
jiwa suami dan istri;
2.1.3.1.21. Sebagai pilar untuk membangun rumah
tangga Islam yang sesuai dengan ajaran-Nya
terkadang bagi orang yang tidak
menghiraukan kalimat Allah SWT maka
tujuan nikahnya akan menyimpang;
2.1.3.1.22. Suatu tanda kebesaran Allah SWT kita
melihat orang yang sudah menikah, awalnya
mereka tidak saling mengenal satu sama
lainnya, tetapi, dengan melangsungkan tali
pernikahan hubungan keduanya bisa saling
mengenal dan sekaligus mengasihi;
28
2.1.3.1.23. Memperbanyak keturunan umat Islam dan
menyemarakkan bumi melalui proses
pernikahan;
2.1.3.1.24. Untuk mengikuti panggilan iffah dan
menjaga pandangan kepada hal-hal yag
diharapkan.28
2.1.3.2. Hikmah Pernikahan
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena
akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat
dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah pernikahan
adalah:
2.1.3.2.1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik
dan sesuai untuk menyalurkan dan
memuaskan naluri seks, dengan kawin badan
jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara
dari melihat yang haram dan perasaan tenang
menikmati barang yang berharga;
2.1.3.2.2. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-
anak menjadi mulia, memperbanyak
keturunan, melestarikan hidup manusia, serta
memelihara nasib yang oleh Islam sangat
diperhatikan sekali;
28Sulaiman Al-Mufarraj, Op.cit., Hlm. 51.
29
2.1.3.2.3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh
saling melengkapi dalam suasana hidup
dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang
yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang;
2.1.3.2.4. Menyadari tanggung jawab beristri dan
menanggung anak-anak menimbulkan sikap
rajin dan sungguh-sungguh dalam
memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena
dorongan tanggung jawab dan memikul
kewajibannya sehingga ia akan banyak
bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
memperbesar jumlah kekayaan dan
memperbanyak produksi. Juga dapat
mendorong usaha mengeksploitasi kekayaan
alam yang dikaruniakan Allah bagi
kepentingan hidup masnusia;
2.1.3.2.5. Pembagian tugas, dimana yang satu
mengurusi rumah tangga, sedangkan yang
lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas
30
tanggung jawab antara suami-istri dalam
menangani tugas-tuganya;
2.1.3.2.6. Pernikahan dapat membuahkan, di antaranya:
tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan
memperkuat hubungan masyarakat, yang
memang oleh Islam direstui, ditopang dan
ditunjang. Karena masyarakat yang saling
menunjang lagi saling menyayangi
merupakan masyarakat yang kuat lagi
bahagia.29
2.1.3.3. Tujuan Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.30
2.1.3.4. Tujuan Pernikahan Menurut Hukum Adat
Adalah untuk kehidupan manusia itu sendiri, baik
dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara serta agama.31
29Ibid, Hlm. 21.
30
Ibid
31
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995),
Hlm. 70.
31
2.1.4. Landasan Hukum Pernikahan
Hukum pernikahan, yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran
kebutuhan biologis antar jenis dan hak serta kewajiban yang
berhubungan dengam akibat perkawinan tersebut.
Pernikahan/perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di
dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan oleh
tumbuh-tumbuhan, karenanya menurut para Sarjana Ilmu Alam
mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua
pasangan. Misalnya, air yang kita minum (terdiri dari Oksigen dan
Hidrogen), listrik ada positif dan negatifnya dan sebagainya.32
2.1.4.1. Dalam Al-Quran
Surat An-Nuur ayat 32
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
32H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, terjemah Agus Salim (Jakarta: Pustaka Amani,
2008), Edisi Ke-2, Hlm. 1.
32
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”33
Surat Ar-Rad ayat 38
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul
sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat)
melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa adab
kitab (yang tertentu).”34
Surat Az-Zariyat ayat 49
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”35
33
QS. An-Nuur (24):32, Quran In Word 1.3 34
QS. Ar-Rad (13):38, Quran In Word 1.3 35
QS. Az-Zariyat (51):38, Quran In Word 1.3
33
Surat Yasiin ayat 36
“Maha suci Allah yang telah menciptakan pasangan-
pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan
oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui.”36
2.1.4.2. Dalam Fikih Munakahat
2.1.4.2.1. Wajib
Bagi orang yang telah memiliki kemauan
dan kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan
akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya
tidak menikah maka hukumnya wajib. Bagi orang
yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan
tergoda pada kejahatan (zina).
2.1.4.2.2. Sunah
Bagi orang yang telah mempunyaikemauan
dan kemampuan untuk menikah dan tetapi kalau
tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat
zina maka hukumnya sunah. Bagi orang yang
berkehendak serta mampu memberi nafkah.
36
QS. Yasin (36):36, Quran In Word 1.3
34
2.1.4.2.3. Haram
Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan
dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung
jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga sehingga jika menikah akan
terlantarlah dirinya dan istrinya maka hukumnya
haram. Bagi orang yang berniat akan menyakiti
perempuan yang dinikahinya.
2.1.4.2.4. Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan pernikahan juga cukup
kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya tergelincir pada perbuatan
zina sekiranya tidak menikah. Hanya saja orang ini
tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat
memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. Bagi
orang yang tidak mampu memberi nafkah.
2.1.4.2.5. Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan pernikahan tetapi apabila tidak
melakukannya tidak khawatir berbuat zina dan
apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri. Hanya untuk memenuhi
35
kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agama dan membina keluarga
sejahtera.37
2.1.4.3. Dalam Undang-Undang Pernikahan Tahun 1974
Pasal 2
Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Tiap-
tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundan-
undangan yang berlaku.38
2.1.4.4. Dalam KHI Pasal 4
Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.39
2.1.5. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan Dalam Fikih Munakahat
Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk
wudu dan takbiratul ihram untuk shalat.40
Atau adanya calon
pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
37
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), Hlm. 18. 38
Ibid 39
Disalin dari “Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001. 40
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), Cet. Ke I, Juz
I, Hlm. 9; Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm. 45-46.
36
Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menetukan sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat
untuk shalat atau menurut Islam calon pengantin laki-
laki/perempuan itu harus beragama Islam.
Sah, yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun
dan syarat.41
Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-
akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak
yang mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:
1) Mempelai laki-laki;
2) Mempelai perempuan;
3) Wali nikah;
4) Dua orang saksi;
5) Shigat ijab kabul.42
Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah
Ijab Kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat pernikahan ialah syarat
yang bertalian dengan rukun-rukun pernikahan, yaitu syarat-syarat
bagi calon mempelai, wali, saksi dan ijab kabul. Berikut adalah
penjelasan syarat-syarat pernikahan:
41
Ibid 42
Slamet Abidin dan H. Amiuddin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
Hlm. 68.
37
2.1.5.1.1. Syarat-syarat Suami
1) Bukan mahram dari calon istri;
2) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri;
3) Orangnya tertentu, jelas orangnya;
4) Tidak sedang ihram.
2.1.5.1.2. Syarat-syarat Istri
1) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak
bersuami, bukan mahram, tidak sedang
dalam iddah;
2) Merdeka, atas kemauan sendiri;
3) Jelas orangnya;
4) Tidak sedang berihram.
2.1.5.1.3. Syarat-syarat Wali
1) Laki-laki;
2) Baligh;
3) Sehat akalnya;
4) Tidak dipaksa;
5) Adil;
6) Tidak sedang ihram.
2.1.5.1.4. Syarat-syarat Saksi
1) Laki-laki;
2) Baligh;
3) Sehat akalnya;
38
4) Adil;
5) Dapat mendengar dan melihat;
6) Bebas, tidak dipaksa;
7) Tidak sedang mengerjakan ihram;
8) Memahami bahasa yang dipergunakan
untuk ijab qabul.
2.1.5.1.5. Syarat-syarat Shigat
Shigat (bentuk akad) hendaknya
dilakukan dengan bahasa yang dapat
dimengerti oleh orang yang melakukan akad,
penerima akad dan saksi, shigat hendaknya
mempergunakan ucapan yang menunjukkan
waktu lampau, atau salah seorang
mempergunakan kalimat yang menunjukkan
waktu yang akan datang.43
Mempelai laki-laki dapat meminta kepada wali pengantin
perempuan: “Kawinkanlah saya dengan anak perempuan Bapak.”
Kemudian dijawab: “Saya kawinkan dia (anak perempuannya)
denganmu.” Permintaan dan jawaban itu sudah berarti perkawinan.
Shigat itu hendaknya terikat dengan batasan tertentu supaya
akad itu dapat berlaku. Misalnya, dengan ucapan: “Saya nikahkan
engkau dengan anak perempuan saya.” Akad ini sah dan berlaku.
43
Ibid, Hlm. 35-35
39
Akad yang bergantung kepada syarat atau waktu tertentu, tidak
sah.44
Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau
perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya
menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum, begitu
juga sebaliknya.
2.1.6. Larangan Pernikahan Dalam Fikih Munakahat
Pengertian larangan dalam pernikahan pada pembahasan ini
adalah larangan untuk menikah antara seorang pria dan seorang
wanita menurut ketentuan syarak. Diantaranya adalah:
2.1.6.1. Larangan Pernikahan Karena Pertalian Nasab
Dalam kaitan dengan larangan menikah, tersebut
didasarkan pada firman Allah SWT.:
...
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
44
Ibid.
40
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan...”45
Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya (halangan abadi) karena
pertalian nasab adalah:
1) Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis
keturunan ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak
ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas).
2) Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak
perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki
maupun anak perempuan dan seterusnya ke bawah.
3) Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja
atau seibu saja.
4) Bibi: saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara
sekandung ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
5) Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak
perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan
dan seterusnya ke bawah.46
2.1.6.2. Larangan Nikah Karena Hubungan Sesusuan
Hubungan sepersusuan yang dilarang untuk menikah
adalah:
45
QS. An-Nisa(4):23, Quran In Word 1.3 46
Zakiyah Darajat dkk, Op.Cit., Hlm. 85.
41
1) Ibu susuan, yaitu ibu yang menyusui, maksudnya
seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak,
dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu
sehingga haram melakukan perkawinan.
2) Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui
atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu
yang menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak
susuan sehingga haram melakukan pernikahan.
3) Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau
saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya
ke atas.
4) Kemenakan susuan perempuan, yakni anak
perempuan dari saudara ibu susuan.
5) Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah
kandung maupun seibu saja.47
2.1.6.3. Wanita Yang Haram Dinikahi Karena Hubungan
Mushaharah (Pertalian Kerabat Semenda)
Pertalian kerabat semenda perinciannya adalah
sebagai berikut:
1) Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan
seterusnya ke atas, baik garis ibu atau ayah.
47
Zakiyah Darajat dkk, Op.Cit., Hlm. 86-87.
42
2) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan
persetubuhan antara suami dengan ibu anak tersebut.
3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan seterusnya ke
bawah.
4) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk ini tidak
disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu
dengan ayah.
2.1.6.4. Wanita Yang Haram Dinikahi Karena Sumpah Li’an
Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina
tanpa mendatangkan empat orang saksi, maka suami
diharuskan bersumpah empat kali dan yang kelima kali
dilanjtukan dengan menyatakan bersedia menerima laknat
Allah apabila tindakakannya itu dusta. Istri yang mendapat
tuduhan itu bebas dari hukuman zina kalau mau
bersumpah seperti suami di atas empat kali dan yang
kelima kalinya diteruskan bersedia mendapat laknat bila
tuduhan suami itu benar. Sumpah demikian disebut
sumpah li‟an. Apabila terjadi sumpah li‟an antara suami
istri maka putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk
selamanya.
43
2.1.6.5. Wanita Yang Haram Dinikahi Tidak Untuk
Selamanya (Larangan Yang Bersifat Sementara)
Wanita Yang Haram Dinikahi Tidak Untuk
Selamanya (Larangan Yang Bersifat Sementara) adalah
sebagai berikut:
1) Dua perempuan bersaudara haram dinikahi oleh
seorang laki-laki dalam waktu bersamaan; maksudnya
mereka haram dimadu dalam waktu yang bersamaan.
Apabila mengawini mereka berganti-ganti, seperti
seorang laki-laki mengawini seorang wanita,
kemudian wanita tersebut meninggal atau dicerai,
maka laki-laki itu boleh mengawini adik atau kakak
perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia
tersebut.
2) Wanita yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain
haram dinikahi oleh seorang laki-laki.
3) Wanita yang sedang dalam idah cerai maupun idah
ditinggal mati.
4) Wanita yang ditalak tiga haram kawin lagi dengan
bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi
dengan orang lain dan telah berhubungan badan serta
dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa
idahnya.
44
5) Wanita yang sedang melakukan ihram baik ihram
umrah maupun ihram haji tidak boleh dikawini.
2.2. Tinjauan Tentang Hukum Adat
Hukum adalah suatu kaidah, aturan atau tatanan dalam salah satu aspek
kebudayaan yang tidak berwujud benda. Jika ia berwujud benda, maka wujudnya
berbentuk kitab, sedangkan kitab tidak harus berbentuk suatu Undang-undang tapi
ada juga yang hanya berbentuk tulisan, di daun lontar atau pada bait bertulis. Jika
ia tidak tertulis, maka ia berbentuk dongeng-dongeng suci atau mitos atau
pepatah-pepatah adat.
Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (rutin)
dilakukan terus-menerus dipertahankan oleh para penduduknya. Kebiasaan
merupakan cerminan kepribadian suatu bangsa. Ia adalah penjelmaan jiwa bangsa,
yang terus-menerus berkembang secara evolusi dari abad ke abad. Namun
perkembangan itu ada yang cepat dan ada pula yang lambat, sesuai perkembangan
masyarakat tertentu.48
2.2.1. Pengertian Hukum Adat Menurut Para Sarjana
2.2.1.1. Menurut Prof. DR. Supomo, SH.
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di
dalam peraturan-peraturan legislatif meliputi peraturan-
peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang
berwajib untuk ditaati dan didukung oleh rakyat
48
Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat, (Yogyakarta: Laks Bang pres Sindo, 2009),
Hlm. 107.
45
berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-
peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
2.2.1.2. Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam
hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari
keluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan
anggotanya menurut kebiasaan dan kebiasaan itu akan
dibawa dalam bermasyarakat dan bernegara.
2.2.1.3. Menurut Prof. MR. C. Van Vollenhaven
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber
kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah
Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya
yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh
kekuasaan Belanda dahulu.
2.2.1.4. Menurut DR. Sukanto
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak kodifikasi dan bersifat
paksaan mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat
hukum.
2.2.1.5. Menurut MR. J.H.P. Bellefroid
Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun
tidak diundangkan oleh penguasa untuk dihormati dan
46
ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-
peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
2.2.1.6. Menurut MR. B. Terhaar
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris
hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa serta
pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta-
merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
2.2.1.7. Menurut Suroyo Wignjodipuro
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma
yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu
berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku manusia
dalam kehidupan sehari-hari.49
2.2.2. Sejarah Hukum Adat Indonesia
Peratuan adat istiadat kita ini, pada hakikatnya sudah
terdapat pada zaman kuno, zaman pra-Hindu. Adat istiada yang
hidup dalam masyarakat pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli
hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur
Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut
dan sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia
sebagai suatu hukum adat. Sehingga hukum adat yang kini hidup
49
Abdulrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia,
(Cendana Press, 2008), Hlm. 18.
47
pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan
adat istiadat zaman pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup
yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
2.2.2.1. Pada Zaman Melayu Polinesia (Pra Hindu)
Menurut para ahli sejarah nenek moyang bangsa
Indonesia meninggalkan daratan Asia dan memasuki
kepulauan Indonesia berlaku sejak sekitar tahun 1500 SM –
300 SM. Kedatangan mereka di Indonesia terjadi dalam dua
gelombang, yaitu Proto Malaio (Melayu Tua) dan Deutoro
Malaio (Melayu Muda). Besar kemungkinan di antara
kelompok Melayu Muda itu sudah dipengaruhi ajaran
Filsafat Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM) yang
membedakan antara “Li” (adat sopan santun) dan “Yen”
(Cinta kasih sesama manusia). Sedangkan pada kelompok
masyarakat Melayu Tua, perilaku budayanya masih
dipengaruhi zat kesaktian yaitu paduan kesaktian (di sekitar
manusia itu ada yang ghaib yang mengawai kehidupannya),
sari kesaktian (dalam diri manusia itu ada jiwa semangat),
Sang Hyang Kesaktian (ada Tuhan Yang Kuasa),
pengantara kesaktian (ada manusia yang dapat
berhubungan dengan yang ghaib).
48
2.2.2.2. Pada Zaman Hindu (Kultur Hindu)
Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa asing
masuk ke Indonesia sudah ada hukum adat, adalah sebagai
berikut:
a) Tahun 1000, pada zaman Hindu, raja Dharmawangsa
dari Jawa Timur dengan kitabnya disebut Civacasana.
b) Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit,
membuat kitab yang disebut Kitab Gajah Mada.
c) Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat
kitab Adigama.
d) Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum
Kutaramanawa.
2.2.2.3. Pada Zaman Islam (Kultur Islam)
a) Zaman Demak
Pada mulanya Kkerajaan Islam Demak hanya
memusatkan perhatian kepada dakwah Islam, yang
dipusatkan di masjid Demak, sehingga walaupun
urusan pemerintahan dan hukum Islam namun dalam
pelaksanaan peradilan agaknya masih dipengaruhi oleh
sistem yang berlaku di zaman Majapahit, yaitu
dibedakannya peradilan perdata yang merupakan
urusan raja dan peradilan padu yang berlaku dan
diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan damai.
49
b) Zaman Mataram II
Di masa kekuasaan Sultan Muhammad Maulana
Matarami, diubahnya tahun saka menjadi Tarikh Islam
Jawa yang sesuai dengan Tarikh Islam. Begitu pula
dengan sistem peradilan Sitinggil menjadi peradilan
Surambi. Jadi, persidangan pemeriksaan perkara
tertuduh tidak lagi berlaku di masa pesakitan diikat
kaki serta tangannya dan harus tengkurap 50 meter
jaraknya dari raja yang duduk di singgasana, melainkan
diperiksa dan diadili dalam suatu majelis peradilan di
serambi Masjid Agung. Peradilan ini dilaksanakan atas
dasar musyawarah dan mufakat.
c) Zaman Cirebon dan Banten
Hukum yang berlaku masih sangat dipengaruhi oleh
hukum dan peradilan menurut sistem dari masa
pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram, sistem
peradilan yang berlaku adalah Peradilan Agama
(memeriksa dan mengadili perkara yang dapat dijatuhi
hukuman badan atau hukuman mati, karena sifat
kejahatannya membahayakan negara), Pengadilan
Dirigama (memeriksa dan mengadili perkara-perkara
pelanggaran adat yang diadili berdasarkan hukum adat
Jawa Kuno dengan memperhatikan hukum adat yang
50
berlaku setempat, Peradilan Cilaga (memeriksa dan
mengadili perkara-perkara yang menyangkut
perselisihan perekonomian/perdagangan).
2.2.2.4. Pada Zaman Hindia Belanda (Kultur Kristen)
Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang
hukum adat dan semasa VOC karena ada kepentingan atas
negara jajahannya (menggunakan politik opportunity),
maka Heren 17 (pejabat di negeri Belanda yang mengurus
negara-negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada
tanggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada tahun
1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer yang
sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya
sampaipada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih
ada hukum ada yang hidup.
2.2.2.5. Pada Zaman Setelah Kemerdekaan
a) Zaman Jepang
Pendudukan Jepang mengandung arti yang penting
bagi perubahan masyarakat yang menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan nilai budaya dan
pergeseran-pergeseran atau perubahan dalam hukum
adat. Kehidupan ekonomi rakyat yang sulit, sifat
perilaku militer Jepang yang kasar, rakyat dikejar-kejar
untuk melakukan kerja paksa membangun lapangan
51
udara, lubang-lubang perlindungan, tempat-tempat
pertahanan Jepang, para pemuda dilatih mejadi heiho
(pembantu militer) atau gyun gun (tentara sukarela,
peta).
b) Zaman Perjuangan
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, adalah berdasarkan hukum
adat, sebagai kelanjutan dari keputusan Kongres
Pemuda Indonesia tahun 1982 dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia sebelumnya.
Dikatakan berdasarkan hukum adat oleh karena
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa (hukum
rakyat) dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan. Demikian dinyatakan pada alinea pertama
Piagam Jakarta yang ditandatangani Soekarno Hatta
dan tujuh pemimpin lainnya. Isi piagam tersebut
kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945.
c) Sejak UUDS 1950
Di dalam UUDS 1950 hal-hal yang menyangkut
hukum adat antara lain dinyatakan sebagai berikut:
52
1) Pasal 25 (2) UUDS, “Perbedaan dalam kebutuhan
masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat
akan diperhatikan”.
2) Pasal 102, “Kodifikasidi dalam kitab-kitab hukum
dan membolehkan adanya peraturan tentang
beberapa hal di dalam Undang-Undang tersendiri”.
3) Pasal 104, dimana istilah hukum adat digunakan
dengan jelas untuk dapat dipergunakan sebagai
dasar menjatuhkan hukuman oleh pengadilan di
dalam keputusan-keputusannya.
Apabila dalam praktik peradilan di masa berlakunya
UUDS 1950 telah menunjukkan adanya pengertian
hukum adat yang berkembang, diantaranya masih
digunakan hukum adat lokal dan sudah diarahkannya
pula pada hukum adat yang bersifat nasional, maka
begitu pula yang nampak di kalangan para ilmuwan
hukum (adat) terjadinya pergeseran dan
mengembangkannya pengertian hukum adat. Hal mana
dapat dilihat dari beberapa pendapat tentang hukum
adat oleh para sarjana pada waktu itu.
d) Sejak Dekrit 5 Juli 1959
Berdasarkan ketetapan MPRS No. II/1960 maka
hukum adat menjadi landasan tata hukum nasional.
53
Dengan adanya Tap MPRS tersebut maka sebagaimana
dikatakan Prof. DR. Moh. Koesnoe, SH. Hukum adat
itu berkembang sebagai berikut:
1) Bahwa hukum adat tidak lagi dinyatakan sebagai
hukum golongan yang lambat laun harus hilang
karena perkembangan dan karena tertuang dalam
kodifikasi dan UU hukum adat dengan ketetapan
tersebut merupakan landasan, dasar susunan dan
sumber nasional. Dengan kata lain, hukum adat
bukan hanya sebagai hukum nasional, tetapi
hukum nasional Indonesia.
2) Bahwa pengertian hukum adat tidak akan lagi
dapat mengikuti pengertian-pengertian yang
diterima pada waktu sebelum perang dunia kedua
dengan ciri-cirinya yang diketahui pada waktu itu.
3) Bahwa akibat perubahan kedudukan di atas, yaitu
berubah isi dan juga lingkungan kuasanya atas
orang dan ruang. Hukum adat tidak lagi dapat
dihubungkan dengan kebiasan-kebiasan daerah-
daerah yang dinamakan dengan hukum.
e) Sejak Orde baru
Pada tanggal 9 juni 1966 DPR-GR membuat
memorandum tentang Sumber Tertib hukum (TAP
54
MPRS No. XX/MPRS/1966), antara lain dikatakan
bahwa “Sumber dari tertib hukum Republik Indonesia
adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum
serta cita-cita moral yang mengikuti suasana keputusan
serta watak dari bangsa Indonesia, yakni Pancasila,
Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedang di samping Undang-Undang Dasar ialah hukum
dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang
timbul dan terpelihara dalam praktik pentyelenggaraan
negara, meskipun tidak tertulis,”. Jadi walaupun tidak
dinyatakan dengan tegas istilah hukum adat, karena
“Sumber dari segala sumber hukum adalah Pancasila”,
sedangkan Pancasila adalah pandangan hidup bangsa,
maka berarti juga bersumber pada “Jiwa hukum adat”.
2.2.3. Kedudukan Hukum Adat Dalam Tata Hukum Di Indonesia
Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun
sebagaian besar hukum adat tidak tertulis, namun ia mempunyai
daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari
masyarakat jika melanggar aturan adat. Hukum adat yang hidup
dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya
aslinya akan sangat terasa.
55
Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga
sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia
menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menentukannya
dalam hukum tertulis, ia harus dapat menentukan hukumnya dalam
aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus
mengerti perihal hukum adat. Hukum adat dapat dikatakan sebagai
hukum perdatanya masyarakat Indonesia.
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting
untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan tata hukum
Indonesia, yang menuju kepada unifikasi pembuatan peraturan
perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan
berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam
pembinaan hukum.
Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam
penyusunan tata hukum Indonesia pada dasarnya berarti
penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum
adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang
memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam
rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar.
Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang
dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa
menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
56
Memasukan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam
lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan
untuk memperkaya dan memperkembangkan tata hukum di
Indonesia agar tidak bertentangan dengan Pancasia dan Undang-
Undang Dasar 1945. Dengan terbentuknya hukum nasional yang
mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan
peranan hukum adat itu telah terserap di dalam tata hukum di
Indonesia.
Kodifikasi dan Unifikasi hukum dengan menggunakan
bahan-bahan dari hukum adat, hendaknya dibatasi pada bidang-
bidang dan hal-hal yang sudah mungkin dilaksanakan pada tingkat
nasional. Bidang-bidang hukum yang diatur oleh hukum adat atau
hukum kebiasaan lain yang masih bercorak lokal maupun regional,
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 serta tidak menghambat pembangunan masih
diakui berlakunya untuk kemudian dibina ke arah unifikasi hukum
demi persatuan bangsa.
Keberadaan hukum adat dalam tata hukum di Indonesia
tetap mendapat perhatian. Dalam hal ini Prof. Soepomo
memberikan pandangannya sebagai berikut, bahwa dalam lapangan
hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan menguasai
masyarakat Indonesia, bahwa hukum pidana dari suatu negara
wajib sesuai dengan corak dan sifat-sifat bangsanya atau
57
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka hukum adat pidana
akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga dalam
pembentukan KUHPidana baru untuk negara kita. Bahwa hukum
adat sebagai hukum kebiasaan yang tak tertulis akan tetap menjadi
sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak ditetapkan
oleh undang-undang.50
2.3. Wilayah Kebudayaan Lokasi Penelitian Menurut Prof. Ayu Sutarto
Wilayah kebudayaan yang dimaksud dalam penelitian skripsi ini adalah
pembagian wilayah kebudayaan di Jawa Timur yang dikemukakan oleh Prof. Ayu
Sutarto dengan sepuluh wilayah kebuadayaan, yaitu: Jawa Mataraman, Jawa
Panaragan, Jawa Budaya Arek, Samin (Sedulur Sikep), Tengger, Using,
Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean dan Madura Kangean.
Wilayah budaya Mataraman, memiliki budaya yang tidak jauh berbeda
dengan budaya Yogyakarta dan Surakarta. Wilayah yang dimaksudkan meliputi,
Magetan, Madiun, Trenggalek, Kediri, Tulungagung, Blitar dan Nganjuk.
Wilayah budaya Arek, tersebar di surabaya, delta sungai brantas dan
daerah Malang. Mereka terbiasa dengan berbahasa Jawa ngoko, memakai bentuk
sapaan arek-arek. Ciri umum etnik budaya arek ialah karakter heroik, ekspresif
atau blaka suta (bersifat terbuka) dan selalu bersedia menerima/mendengarkan
pendapat orang lain.
50
Soepomo, Op.Cit., Hlm. 25.
58
Wilayah budaya Samin, tersebar di wilayah Blora (Jawa Tengah) dan
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur (wilayah Kabupaten Bojonegoro).
Orang Samin atau Sedulur Sikep secara historis adalah kelompok yang menentang
penjajah Belanda dengan cara tidak bersedia membayar pajak. Mereka berbahasa
Jawa ngoko, setia pada tradisi yang dianutnya dan memiliki sifat jujur. Mereka
berpendapat bahwa manusia yang baik adalah manusia yang njaba njero padha
(sikap lahir dan batinnya sama).
Wilayah budaya Tengger, etnik yang bertempat tinggal di daerah gunung
Tengger, Bromo dan kaki gunung Semeru. Oleh karena itu dikenal Wong Tengger
wilayah Kabupaten Pasuruan, Wong Tengger wilayah Kabupaten Probolinggo
dan Wong Tengger Wilayah Kabupaten Malang. Mereka penganut agama Hindu
Jawa dan setia pada tradisi leluhurnya. Hari raya keagamaan yang terkenal adalah
hari raya Kasodo dan Karo.
Wilayah budaya Panaragan, tersebar di wilayah kabupaten Ponorogo.
Mereka berbahasa Jawa dan Jawa dialek Ponorogo. Adat khas yang berpengaruh
luas di seluruh Indonesia adalah adat istiadat reyog dan tokoh yang berperan di
masyarakat adalah warok.
Wilayah budaya Madura, yang terbesar adalah Madura Pulau. Sebaran
orang-orang Madura ke wilayah pulau Bawean dan Madura Kangean. Orang-
orang Madura dikenal sebagai etnik yang memiliki mobilitas yang tinggi. Madura
yang berada di pesisir dikenal sebagai nelayan yang tangguh. Madura yang
59
merantau sebagai pedagang dan yang berada di pedalaman sebagai masyarakat
petani. Mereka termasuk penganut agama Islam yang taat (pemeluk teguh).
Wilayah budaya Pandalungan atau dapat disebut Komunitas Pandalungan
yang merupakan integrasi antara budaya Jawa dan Madura. Mereka dikenal
sebagai keturunan campuran antara etnik Jawa dan Madura, mereka bertempat
tinggal di pesisir utara Jawa Timur dan sebagian di pesisir selatan Jawa Timur.
Budaya Pandalungan tersebar di daerah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang,
Jember dan Bondowoso. Mereka bermata pecaharian petani yang berada di
wilayah pedalaman, nelayan yang bertempat tinggal di pesisir dan sebagian yang
lain sebagai pedagang. Tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh di lingkungan
mereka adalah tokoh agama yang disebut Kyai.
Wilayah budaya Using atau Komunitas Using yang bertempat tinggal di
wilayah Blambangan atau Kabupaten Banyuwangi. Mereka mengaku memiliki
bahasa sendiri yaitu bahasa Using, sekalipun para linguis menyebut bahasa Jawa
dialek Using. Mereka penganut agama Islam dan sistem kepercayaan yang kuat
terhadap arwah para leluhurnya. Masyarakat Kabupaten Banyuwangi, pada awal
abad ke-21 dikenal sebagai masyarakat yang multikultur. Bagian timur laut
wilayah ini dihuni oleh etnik Madura. Di sepanjang pantai Banyuwangi, menetap
juga etnik lain dari Sulawesi Selatan (Bugis), beberapa orang Melayu dari
Sumatera Selatan, di kota Banyuwangi dan daerah Rogojampi berdiam suku
bangsa Bali (orang-orang buangan menurut adat Bali, serta transmigrasi lokal
akibat letusan gunung Agung). Akhirnya berdatangan pula orang-orang keturunan
60
Cina dan Arab sebagai pedagang di kota Banyuwangi dan kota-kota Kecamatan di
wilayah ini.51
Sepuluh wilayah kebudayaan Prof. Ayu Sutarto di atas selanjutnya
digunakan sebagai konsep dalam melihat letak geografis Kabupaten Nganjuk ada
di wilayah kebudayaan yang mana. Dan setelah mengetahui wilayah kebudayaan
Kabupaten Nganjuk tahapan penelitian dilakukan untuk mendapatkan data adat
istiadat di Desa Banjaranyar Kabupaten Nganjuk Jawa Timur yang lengkap.
51
Ayu Sutarto dan Setyo Yuwono (editor), Op.Cit. Hlm. 25
top related