bab ii tinjauan pustaka 2.1 pakan ikan - repository.ump.ac.idrepository.ump.ac.id/6252/3/bab...
Post on 23-Oct-2019
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pakan Ikan
Pakan merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan budidaya karena
sebagai sumber energi utama yang menjaga pertumbuhan, dan perkembangbiakan.
Nutrisi yang terkandung dalam pakan harus memenuhi kebutuhan ikan tersebut
agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pakan yang berkualitas adalah
pakan yang memenuhi kandungan protein, lemak, karbohidarat, mineral, dan
vitamin yang seimbang. Pakan yang diberikan untuk ikan diharapkan dapat
menghasilkan pertambahan berat, kadar protein tubuh tinggi, dan kelangsungan
hidup ikan (Marzuqi et al., 2012). Pakan ikan merupakan campuran dari berbagai
bahan pangan yang khusus diolah untuk dimakan dan dicerna dalam pencernaan
ikan sehingga menghasilkan eneregi yang dapat digunakan untuk aktivitas hidup.
Pakan untuk ikan dapat berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami adalah
pakan yang biasa sudah tersedia di alam, sedangkan pakan buatan adalah makanan
ikan yang dibuat dari campuran bahan-bahan alami atau bahan olahan yang
selanjutnya dilakukan proses pengolahan serta dibuat dalam bentuk tertentu
sehingga tercipta daya tarik ikan untuk memakannya (Anggraeni & Abdulgani,
2013).
Pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Akan tetapi harga pakan
tidak sebanding dengan harga jual ikan yang relatif stabil, sehingga perlu adanya
alternatif penyusunan bahan dalam pembuatan pakan ikan. Alternatif yang dapat
dilakukan yaitu menggunakan protein yang berasal dari sumber nabati dan hewani
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
9
dengan memanfaatkan bahan baku dari limbah yang masih memiliki nilai
ekonomis, harganya murah, yaitu dengan bulu ayam, ampas tahu, dan ikan rucah.
Adanya bahan baku tersebut juga belum tentu dapat menjadikan kualitas pakan
yang baik, sehingga untuk meningkatkan kualitas fisik pakan sebaiknya
digunakan bahan perekat yaitu tepung tapioka sehingga pakan yang dihasilkan
lebih kompak dan tidak mudah hancur di dalam air. Menurut Wikantiasi (2001),
penambahan 4% tepung tapioka sebagai perekat dan proses pengukusan
menghasilkan kekerasan, stabilitas dalam air, dan bereat jenis pelet yang optimal
sehingga pelet yang dihasilkan lebih kompak, tidak mudah pecah, rapuh maupun
patah.
2.2 Limbah Bulu Ayam
Limbah merupakan bahan sisa atau buangan yang berasal dari suatu usaha
atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang dapat mengakibatkan penurunan
kualitas lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Salah satu kegiatan
industri yang menghasilkan limbah adalah Rumah Potong Ayam (RPA). RPA
merupakan usaha di bidang peternakan yang bergerak dalam fungsi pemotongan
ayam hidup dan mengolah menjadi karkas yang siap konsumsi. Menurut Erlita
(2011), limbah yang dihasilkan dari RPA berupa darah ayam, air bekas cucian
ayam, afkiran daging atau temak, dan bulu ayam. Dampak negatif yang
ditimbulkan oleh industri peternakan ayam yaitu berupa terganggunya sanitasi
lingkungan akibat limbah bulu ayam yang menimbulkan bau tidak sedap dan
merupakan sumber penyebaran penyakit sebagai dampak penurunan kualitas
udara. Selain itu, limbah bulu ayam juga menimbulkan dampak penurunan
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
10
kualitas tanah karena limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan akibat
adanya keratin atau protein fibrous berupa serat. Oleh sebab itu, limbah bulu ayam
resisten terhadap perombakan atau degradasi dan merupakan masalah yang serius
di lingkungan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada beberapa tempat di
Jawa, limbah bulu ayam baru dimanfaatkan sebagai pupuk dan kemoceng.
2.2.1. Protein Keratin
Penggunaan bulu ayam sebagai bahan baku pakan alternatif untuk ternak
diutamakan sebagai sumber protein karena kandungan proteinnya yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 74,4-91,8% dari bahan kering (Puastuti, 2004). Tingginya
potensi bulu ayam sebagai sumber protein memiliki kendala dalam hal
kecernaannya pada organ pencernaan hewan. Hal tersebut disebabkan protein
yang terkandung dalam bulu ayam termasuk jenis protein keratin.
Keratin merupakan jenis protein yang tersusun atas serat (fibrous) yang
banyak terdapat pada bagian tubuh seperti kuku, rambut, dan bulu karena
merupakan pengerasan jaringan epidermal sehingga susah tercerna oleh organ
pencernaan. Protein serat yang menyusun bagian-bagian tersebut kaya akan sistein
dan sistin (Sharma & Swati, 2012). Adanya jembatan sistein tersebut menjadi
penghambat kerja enzim proteolitik dalam memecah keratin. Di dalam deret asam
amino keratin bulu ayam, terdapat sembilan asam amino sistein (C) yang akan
membentuk jembatan disulfida yang memberikan kekuatan mekanik pada bulu.
Sedangkan keratinase merupakan enzim penghasil keratin atau keratinolitik.
Enzim keratinolitik adalah enzim protease spesifik yang memiliki kemampuan
memecah substrat protease keratin. Menurut Zerdani et al. (2004), bahwa
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
11
keratinase yang dihasilkan oleh mikroorganisme keratinolitik tidak hanya
dimanfaatkan dalam industri kimia dan medis, tetapi juga dalam bidang industri
pakan ternak. Penggunaan keratinase mikrobial dapat menjadi alternatif hidrolisis
bulu ayam untuk dijadikan pakan ternak yang kaya nutrisi.
Keratinase memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memecah ikatan
disulfida yang terdapat pada keratin. Menurut Kim et al. (2001), aktivitas
hidrolitik keratinase yang digunakan dalam proses fermentasi bulu optimal
dilakukan pada suhu 550C dengan pH 8,5. Aktivitas keratinase pada saat proses
fermentasi bulu yaitu memutus ikatan disulfida yang terdapat dalam keratin
sehingga mampu meningkatkan nilai daya cerna proteinnya. Keratinase dapat
memecah keratin menjadi pepton atau memecah ikatan S-S pada sistin menjadi
sistein (William et al., 1991 dalam Sonjaya, 2001). Tingkat kesulitan degradasi
bulu oleh mikroba tersebut ditentukan oleh kadar sistin. Struktur bangun keratin
dapat di lihat pada Gambar 2.1.
2.2.2. Fermentasi Tepung Bulu Ayam menggunakan B. licheniformis
Pemanfaatan bulu ayam sebagai pakan ternak tanpa melalui pemrosesan
mempunyai nilai nutrisi yang rendah. Hal tersebut disebabkan tingginya
kandungan protein keratin sehingga sulit dicerna oleh organ pencernaan. Oleh
karena itu, perlu dilakukan upaya pengolahan bulu ayam menjadi bahan pakan
ternak melalui beberapa metode pemrosesan. Pemrosesan bulu ayam untuk
melemahkan atau memutuskan ikatan yang menyusun keratin melalui proses
hidrolisis. Menurut Williams et al. (1991) dalam Tarmizi (2001), salah satu dalam
pengolahan tepung
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
12
NH NH
׀ ׀
C═O C═O
׀ ׀
HC —— CH2 —— S —— S —— CH2 ———— CH Ikatan sulfida
׀ ׀
NH NH
׀ ׀
C═O O C═O
׀ ║ ׀
HC — CH2 — O — C — CH2 ———————— CH2CH Ikatan ester
׀ ׀
NH NH
׀ ׀
C═O O C═O
׀ ║ ׀
HC—(CH2)3CH2 —NH3+—O—C—CH2 — CH2—CH Ikatan ionik
׀ ׀
NH NH
׀ ׀
C═O O C═O
׀ ║ ׀
HC — CH2 — O-……… H+………....O
-— C— CH2 —— CH Ikatan hidrogen
׀ ׀
NH NH
׀ ׀
C═O C═O
׀ ׀
Gambar 2.1. Struktur bangun keratin (West & Todd, 1961 dalam Puastuti, 2007)
bulu ayam dapat dilakukan dengan cara fermentasi menggunakan
mikroorganisme. Fermentasi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk
menguraikan senyawa dari bahan-bahan protein kompleks menjadi protein
sederhana melalui bantuan mikroorganisme (Pelczar & Chan, 2008). Fermentasi
menyebabkan perubahan sifat pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan
bahan pangan oleh mikroorganisme yang berada di dalamnya.
Mikroorganisme yang berpotensi baik untuk memecah keratin bulu ayam
adalah B. licheniformis yang memiliki kemampuan memfermentasi bahan
makanan sehingga terjadi perombakan struktur jaringan kimia dinding sel,
pemutusan ikatan sistin disulfida, ikatan hidrogen serta penurunan kadar keratin
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
13
bulu ayam. Pengolahan tepung bulu melalui fermentasi secara aerobik dan
anaerobik menggunakan bakteri B. licheniformis menunjukkan bahwa bakteri
tersebut mempunyai kemampuan memecah keratin (Williams et al., 1991 dalam
Sonjaya, 2001). Menurut Mulyono (2008), B. licheniformis berpotensi untuk
digunakan dalam fermentasi bulu karena kandungan protein total yang terdapat
dalam bulu meningkat dari 82,35% menjadi 94,53%. Oleh karena itu, fermentasi
tepung bulu ayam menggunakan bakteri B. licheniformis merupakan metode yang
tepat dan aman untuk mendaur ulang limbah bulu ayam.
2.2.3. Bakteri Bacillus licheniformis
Klasifikasi B. licheniformis menurut Whitman et al. (2009) adalah sebagai
berikut:
Phyllum : Firmicutes
Classis : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Spesies : Bacillus licheniformis
Gambar 2.2. Bakteri B. licheniformis perbesaran 1000X (Pikoli et al., 2000)
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
14
Bakteri B. licheniformis merupakan genus Bacillus yang tergolong ke
dalam kelas batang. Bakteri tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain selnya
berbentuk batang panjang; ukuran sel : panjang 1,5-3 µm dan lebar 0,6-0,8 µm;
merupakan Gram positif, yaitu menyerap zat warna iod; bergerak dengan flagella;
membentuk spora; dan habitat alamiahnya pada hewan terutama unggas. B.
licheniformis memiliki bentuk spora bulat teluar atau silinder dengan posisi
sentral atau subterminal. Spora bakteri ini sangat tahan terhadap panas dan
digolongkan dalam mikoorganisme termofilik. Ukuran dinding serat dari bakteri
tersebut sebanding dengan ukuran sel dari bakteri itu sendiri. Komposisi dinding
selnya terdiri dari asam teikoat, polisakarida, dan poliaglikan (Cowan, 1974 dalam
Desi, 2002).
Menurut Mazotto et al. (2011), bakteri B. licheniformis juga menghasilkan
enzim keratinase. Enzim keratinase dari B. licheniformis mampu menghidrolisis
seluruh substrat protein yang diujikan termasuk kolagen, elastin, dan keratin bulu
(Lin et al., 1992 dalam Desi, 2002). Menurut Lee et al. (1991) dalam Desi (2002),
penambahan keratinase yang diisolasi dari B. licheniformis pada pakan dapat
meningkatkan total asam amino yang dapat dicerna dari bulu asli dari 30%
menjadi 66%, dan bulu komersial dari 77% menjadi 99%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penambahan keratinase dapat memudahkan bulu untuk
dicerna. Kemampuan B. licheniformis dalam menghasilkan enzim keratinase
untuk memecah keratin menjadikan bakteri tersebut memiliki potensi yang baik
untuk digunakan dalam fermentasi bulu atau tepung bulu ayam.
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
15
2.3 Ampas Tahu
Proses pembuatan tahu menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun
limbah cair. Limbah padat umumnya dapat dijual untuk makanan ternak,
sedangkan limbah cair dalam proses pembuatan tahu berasal dari air cucian
kedelai, air rendaman, air penyaringan, air penggumpalan, dan air sisa pencetakan
yang dapat mencemari lingkungan. Limbah padat (ampas tahu) merupakan hasil
sisa perasan bubur kedelai yang diperas untuk diambil airnya pada pembuatan
tahu. Ampas tahu juga merupakan limbah yang jarang dimafaatkan, karena
memiliki sifat cepat basi dan berbau tidak sedap apabila tidak ditangani dengan
cepat. Namun, ampas tahu juga sering digunakan sebagai bahan ramuan makanan
ikan karena masih memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Menurut Nuraini et
al. (2011), ampas tahu dapat dijadikan sebagai sumber nitrogen pada media
fermentasi dan dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein karena
mengandung protein kasar yang cukup tinggi berdasarkan bahan kering yaitu
28,36% dan kandungan nutrien lainnya adalah lemak 5,52%, serat kasar 17,06%
dan BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 45,44%.
Pemanfaatan ampas tahu yang masih rendah dapat ditingkatkan nilai
nutrisinya yaitu dengan cara fermentasi. Menurut Purwaningsih (2008), dalam
proses fermentasi terdapat beberapa keuntungan dari pangan yang telah
difermentasi antara lain makanan menjadi awet, lebih aman, nilai cerna lebih
meningkat, serta memberikan flavor yang lebih baik.
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
16
2.3.1. Fermentasi Ampas Tahu
Fermentasi adalah proses metabolisme enzim mikroorganisme melakukan
oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan
kimia pada substrat organik (Lestari, 2001). Manfaat fermentasi antara lain dapat
mengubah bahan organik kompleks seperti protein, karbohidrat, dan lemak
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna, mengubah
rasa dan aroma yang tidak disukai menjadi disukai, mensintesisis protein,
memepercepat pematangan, dan dalam beberapa hal tertentu menambah daya
tahan. Fermentasi ampas tahu dapat meningkatkan prosentase protein. Selama
proses fermentasi enzim protease akan mempercepat reaksi kimia dengan cara
menempel pada substrat dan mendegradasi protein menjadi asam amino yang
mudah dicerna. Asam amino merupakan komponen pembentuk protein. Adanya
enzim proteolitik menyebabkan degradasi protein menjadi asam amino, sehingga
protein terlarut meningkat (Zakaria et al., 2013).
Proses fermentasi ampas tahu menggunakan mikroorganisme dapat
meningkatkan nilai nutrisi pada pakan ikan. Mikroorganisme merupakan kunci
keberhasilan atau kegagalan fermentasi. Mikroorganisme yang sering digunakan
dalam proses fermentasi antara lain mikroorganisme jenis kapang. Kapang
Aspergillus merupakan jenis kapang yang sering digunakan dalam proses
fermentasi protein karena A. niger bersifat proteolitik. Kapang Aspergillus dapat
mengubah pati yang terkandung dalam bahan baku menjadi glukosa dengan
bantuan enzim yang dihasilkannnya.
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
17
2.3.2. Deskripsi Kapang Aspergillus niger
Kedudukan taksonomi kapang Aspergillus niger menurut Alexopoulus &
Mims (1979) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisio : Mycota
Kelas : Ascomycetes
Ordo : Eurotiales
Famili : Eurotiaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus niger
A. niger merupakan nama spesies yang termasuk ke dalam jenis kapang.
Kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas
memiliki filament (miselium). A. niger bersifat aerob, yaitu hidup di lingkungan
yang cukup oksigen, temperatur optimum bagi pertumbuhan A. niger berkisar
antara 35-370C, sedangkan kisaran pH yang dibutuhkan antara 5,0-7,0 (Fardiaz,
1992). A. niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan
konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna
hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar
dengan bertambahnya umur.
Menurut Gray (1970), kapang yang sering digunakan dalam proses
fermentasi adalah jenis kapang A. niger yang merupakan salah satu jenis
Aspergillus yang tidak menghasilkan mitoksin sehingga tidak membahayakan.
Penelitian Miskiyah (2006), bahwa penggunaan A. niger dan penambahan mineral
dalam proses fermentasi secara aerob terhadap ampas kelapa dari industri minyak
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
18
kelapa dapat meningkatkan kadar protein kasar dari 11,35% menjadi 26,09%, dan
kadar lemak turun 28,70% hingga 11,39%, sedangkan uji kecernaan bahan kering
menunjukkan peningkatan dari 78,99% menjadi 95,105.
2.4 Ikan Rucah
Ikan rucah merupakan ikan berukuran kecil dan merupakan hasil
tangkapan sampingan oleh nelayan antara lain ikan pari, cucut, tembang, kuniran,
rebon, selar, dan sejenisnya yang tidak layak dikonsumsi oleh manusia dan tidak
mempunyai nilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan ikan rucah yang
kurang maksimal dapat dimanfaatkan dengan cara dijadikan produk olahan yang
dapat meningkatkan nilai jualnya salah satunya untuk pakan ternak. Kandungan
gizi ikan rucah cukup lengkap yaitu mengandung 76,12% air, 12,14% protein, dan
1,39% lemak (Subagio et al., 2003). Ikan rucah sangat potensial untuk dijadikan
bahan baku pakan buatan untuk menggantikan tepung ikan.
Tepung ikan merupakan sumber protein hewani yang baik dan sebagai
sumber mineral terutama kalsium dan fosfor. Tepung ikan memiliki nilai gizi
yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial
yang sangat dibutuhkan oleh ikan. Protein tersebut disusun oleh asam-asam amino
esensial yang kompleks, di antaranya asam amino Lisin dan Methionin.
Disamping itu, tepung ikan mengandung protein, abu, lemak, serat kasar, dan
phosphor (Wibowo, 2006).
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
19
2.5 Tepung Tapioka
Tepung tapioka umumnya digunakan sebagai bahan perekat karena banyak
terdapat di pasaran, harganya relatif murah, dan cara membuatnya mudah yaitu
cukup mencampurkan tepung tapioka dengan air, kemudian didihkan. Tepung
tapioka merupakan pati dari umbi singkong. Singkong (Manihot utilissima)
disebut juga ubi kayu atau ketela pohon yang merupakan salah satu komoditas
tanaman pangan yang penting sebagai bahan pangan karbohidrat, bahan baku
industri makanan, kimia, dan pakan ternak. Kandungan nutrisi pada tepung
tapioka, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi pada Tepung Tapioka
Komposisi Jumlah
Kalori (per 100 gram) 363
Karbohidrat (%) 88,2
Kadar air (%) 9,0
Lemak (%) 0,5
Protein (%) 1,1
Ca (mg/100 gram) 84
P (mg/100 gram) 125
Fe (mg/100 gram) 1,0
Vitamin B1 (mg/100 gram) 0,4
Vitamin C (mg/100 gram) 0
Sumber: Soemarno (2007)
Tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengental dan bahan pengikat
dalam industri makanan, sedangkan ampas tapiokanya banyak digunakan sebagai
campuran makanan ternak. Bahan perekat yang digunakan sebagai pakan ternak
diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan agar mempunyai
struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur, dan mudah dibentuk pada
proses pembuatannya (Wikantiasi, 2001). Ada dua jenis tapioka, yaitu tapioka
kasar dan tapioka halus. Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
20
ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan
lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi.
2.5.1 Pati
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar, dan tidak berbau. Pati terdiri dari butiran-butiran
kecil yang disebut granula. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang
berbeda-beda tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy dalam Eliasson
(2004), ukuran granula tapioka menunjukkan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40
µm dengan bentuk bulat dan oval. Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas yaitu, fraksi yang terlarut disebut amilosa dan fraksi
yang tidak terlarut disebut amilopektin. Komposisi pati terdiri dari 10-2-%
amilosa, sedangkan komponen terbesarnya, yaitu amilopektin sebesar 80-90%.
Amilosa tersusun dari molekul-molekul α-glukosa dengan ikatan glikosida α-(1-4)
membenuk rantai linier, sedangkan amilopektin terdiri dari rantai-rantai amilosa
(ikatan α(1-4)) yang saling terikat membentuk cabang dengan ikatan glikosida α-
(1-6) (Niken & Adepristian, 2013). Pati singkong dari tepung tapioka memiliki
rasio 17% amilosa dan 83% amilopektin. Menurut Taggart dalam Eliasson (2004),
amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai
polimernya yang sederhana dapat membentuk interaksi molekular yang kuat.
Interaksi terjadi pada gugus hidroksil amilosa. Amilopektin juga dapat
membentuk kristal tetapi tidak sereaktif amilosa karena adanya rantai percabangan
yang menghalangi terbentuknta kristal. Berikut adalah struktur amilosa dan
amilopektin (Gambar 2.3).
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
21
Amilosa Amilopektin
Gambar 2.3. Struktur amilosa dan amilopektin (BeMiller & Whistler, 2009)
2.5.2 Gelatinisasi
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika
dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi
granula pati dapat mengembang dalam air panas. Suhu pada saat granula pati
pecah di sebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pada tepung tapioka berkisar
antara 52-640C (Winarno, 1997). Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan
pembengkakan granula pati sehingga menyebabkan terjadinya penekanan antara
granula pati dengan lainnya. Pengembangan granula pati mulanya bersifat dapat
balik, tetapi jika dipanaskan pengembangan granula pati menjadi bersifat
reversible (dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah
terlewati, pembengkakan granula pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali)
dan akan terjadi perubahan struktur granula. Proses gelatinisasi terjadi karena
kerusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan struktur dan
integritas granula pati. Menurut Purnamasari (2010), suhu gelatinisasi dipengaruhi
oleh ukuran granula pati. Semakin besar ukuran granula memungkinkan pati lebih
mudah dan lebih banyak menyerap air sehingga mudah membengkak
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
22
menyebabkan pati lebih mudah mengalami gelatinisasi (suhu gelatinisasi relatif
rendah). Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel yang lebih lambat
sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dari pada granula yang
besar.
Penggunaan Perekat Tepung..., Ika Murtiningsih, FKIP, UMP, 2015
top related