bab ii tinjauan pustaka 2.1. diabetes mellitus 2.1.1 definisi
Post on 15-Mar-2022
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tinjauan pustaka, meliputi : 1) definisi diabetes
mellitus, 2) pengelolaan diabetes mandiri, 3) hipoglikemia, 4) kerangka teori, 5)
kerangka konsep.
2.1. Diabetes mellitus
2.1.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen ditandai dengan
hiperglikemia atau kenaikan kadar glukosa dalam darah (Smeltzer & Bare,
2010). Diabetes mellitus adalah hiperglikemia kronis disebabkan factor
lingkungan dan keturunan secara bersamaan, ciri khas hiperglikemia kronis
yang tidak dapat disembuhkan tapi dapat dikontrol (WHO, 2014).
2.1.2 Etiologi
Menurut national institute of diabetes and digestive and kidney diseases
(NIDDK, 2017) penyebab dari diabetes mellitus adalah :
a. DM tipe 1
Diabetes tipe 1 terjadi karena system kekebalan tubuh melawan infeksi,
menyerang dan menghancurkan sel beta pangkreas yang memproduksi
insulin. Ilmuan berpendapat bahwa diabetes tipe 1 penyebabnya oleh gen
dan factor lingkungan, seperti virus yang dapat memicu penyakit.
b. DM tipe 2
8
9
Diabetes tipe 2 penyebab paling umum oleh beberapa factor, termasuk
factor gaya hidup dan gen.
1) Kelebihan berat badan dan ketidakaktifan fisik
Berat badan yang berlebihan menyebabkan resistensi insulin dan
biasa terjadi pada pasien DM tipe 2. Untuk melihat apakah berat
badan ideal dengan melihat grafik body mass index (BMI). Lemak
pada perut dan pada tubuh dapat menyebabkan resistensi insulin
dapat menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah.
2) Resistensi insulin
Kondisi awal pada pennyakit DM tipe 2 yaitu resistensi insulin.
Resistensi insulin merupakan keadaan sel otot, hati dan lemak tidak
menggunakan insulin dengan baik. Akibatnya tubuh membutuhkan
lebih insulin untuk membantu glukosa masuk kedalam sel.
Pangkreas akan memproduksi insulin berlebih untuk memenuhi
target tubuh. Seiring waktu ternyata pangkreas tidak dapat membuat
insulin cukup dan pada akhirnya kadar glukosa darah meningkst.
3) Gen dan riwayat keluarga
Seperti yang terjadi oleh diabetes tipe 1, gen tertentu mudah terkena
diabetes tipe 2. Penyakit ini cenderung berjalan dalam keluarga dan
sering terjadi dalam kelompok ras seperti keturunan afrika,
penduduk asli Alaska, orang indian amerika, orang Amerika asia,
orang hispanik/latin, orang asli hawai dan kepulauan pasifik. Gen
juga dapat meningkat resiko diabetes tipe 2 dengan meningkatkan
10
kecenderungan seseorang menjadi kelebihan berat badan atau
obesitas.
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi pada diabetes mellitus dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Tipe 1
Diabetes tipe 1 ciri ciri terjadi diusia <30 tahun terjadi pada 5%-10%
dari penderita diabetes, biasanya pasien akan bertubuh kurus pada
saat didiagnosis dengan penurunan berat badan yang baru saja
terjadi, etiologi dari factor genetic, imunollogi atau lingkungan
misalnya virus, sering mendapatkan antibody terhadap insulin
sekalipun belum pernah mendapatkan terapi insulin, memerlukan
insulin untuk kelangsungan hidup, dan mengalami komplikasi akut
seperti hiperglikemia ketoasidosis diabetic dan hpoglikemia.
b. Tipe 2
Diabetes tipe 2 terjadi pada 90%-95% dari seluruh penyandang
diabetes. Memliliki ciri ciri seperti bisa terjadi disegala umur dengan
rentangan umur diatas 30 tahun, pada saat didiagnosis dan seringnya
bertubuh gemuk (obesitas), penurunan berat badan dilakukan
penderita agar dapat mengendalikan kadar glukosa darah, bila
dilakukan diet dan latihan tidak berhasil maka obat hipoglikemia
oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan terjadi komplikasi
akut sindrom hiperosmoler nonmatik.
c. Diabetes yang berkaitan dengan keadaan atau sindrom lain
11
Disertai keadaan yang menyebabkan penyakit pangkreatitis,
kelaonan hormonal, obat obatan seperti glukokortiroid, bergantung
pada kemampuan pangkreas untuk menghasilkan insulin, dan pasien
dapat menggunakan terapi insulin ataupun obat oral.
d. Diabetes gestasional
Disebabkan oleh perubahan hormonal kehamilan seiring dengan
factor genetic dan gaya hidup terjadi pada trimester kedua ataupun
ketiga, disebabkan juga karena hormone yang disekresikan plasenta
dan menghambat kerja insulin. Diabetes gestasional menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi perinatal di atas normal seperto
makroskomia (bayi berukuran besar). Diabetes gestasional dapat
diatasi dengan diet dan terapi insulin jika diperlukan untuk
mempertahankan kadar glukosa darah. Pemeriksaan tes toleransi
glukosa harus dilakukan pada semua wanita hamil dengan usia
kehamilan antara 24 hingga 28 minggu ((NIDDK), 2017).
2.1.4. Patofisiologi DM tipe 1
Insulin memegang peranan penting dalam cadangan energy sel.
pada keadaan normal insulin disekresikan sebagai respon terhadap
adanya makanan yang diatur oleh suatu mekanisme kompleks yang
melibatkan sistim neural, hormonal, dan substrat. Hal ini
memungkinkan pengaturan disposisi energy yang berasal dari
makanan menjadi energy yang langsung dipakai atau disimpan.
12
Pada DM tipe 1, makin menurunnya insulin pasca makan akan
mempercepat proses katabolisme. Insulinopenia menyebabkan
pengguna glukosa oleh otot dan lemak berkurang mengakibatkan
hiperglikemi posprandial. Bila insulin makin menurun, berusaha
memproduksi lebih banyak glukosa melalui glikogenolisis dan
gluconeogenesis. Akan tetapi karena glukosa dalam darah tidak dapat
masuk ke dalam sel maka hepar akan berusaha lebih keras lagi,
sebagai akibatnya timbullah hiperglikemia puasa. Menimbulkan
diuresis osmotic disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah
terlampaui (180 mg/dL). Akibatnya tubuh kehilangan kalori, elektrolit
dan cairan, terjadi dehidrasi, yang selanjutnya menimbulkan stress
fisiologis dengan hipersekrsi hormone stress (epinefrin, kortisol,
glucagon dan hormone pertumbuhan). Meningkatnya kadar hormone
stress dan makin menurunnya kadar insulin menyebabkan
peningkatan glikogenolisis, gluconeogenesis, lipolysis dan
ketogenesis, ketoasidosis diabetic (KAD) (Aman, et.al, 2019).
2.1.5 Kriteria Diagnostic
Menurut IDF (2015) kriteria diagnostic DM tipe 1 adalah :
Glukosa plasma puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
plasma <126 mg/dL (7mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk
DM tipe 1 sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah. Diagnosis DM tipe 1 dapat ditegakkan apabila memenuhi salah
satu kriteria sebagai berikut:
13
1. Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidipsia, nokturia, enuresis,
penurunan berat badan, polifagia, dan kadar glukosa plasma
sewaktu 200 mg/ dL (11.1 mmol/L).
2. Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7 mmol/L).
3. Kadar glukasa plasma 200 mg/ dL (11.1 mmol/L) pada jam ke-2
TTGO (Tes Tolerasansi Glukosa Oral).
4. HbA1c >6.5% (dengan standar NGSP dan DCCT) Pada penderita
yang asimtomatis dengan peningkatan kadar glukosa plasma
sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan kadar glukosa
plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang
terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali
pemeriksaan.
Penilaian glukosa plasma puasa :
1. Normal : < 100 mg/dL (5.6 mmol/L)
2. Gangguan glukosa plasma puasa (Impaired fasting glucose =
IFG): 100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)
3. Diabetes : 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Penilaian tes toleransi glukosa oral :
1. Normal : <140 mg/dL (7,8 mmol/L)
2. Gangguan glukosa toleransi (Impaired glucose tolerance
=IGT) : 140–200 mg/dL (7.8– <11.1 mmol/L)
3. Diabetes : 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
2.1.6 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 1
14
Komplikasi DM Tipe-1 mencakup komplikasi akut dan
kronik. Pada anak, komplikasi kronik jarang menimbulkan
manifestasi klinis signifikan saat masih dalam pengawasan dokter
anak. Sebaliknya, anak berisiko mengalami komplikasi akut setiap
hari (Pulungan et.al, 2019).
2.1.6.1 Komplikasi Akut
Komplikasi akut terdiri atas hipoglikemia dan KAD (Keto
Acidosis Diabetic), Studi SEARCH menemukan bahwa sekitar
30% anak dengan DM tipe-1 terdiagnosis saat KAD.
Terapi hipoglikemia diinisiasi saat kadar glukosa darah
≤70 mg/dL. Anak usia muda memiliki risiko tinggi hipoglikemia
karena tidak mampu mengomunikasikan keluhan. Gejala
hipoglikemia diakibatkan oleh aktivasi adrenergik (berdebar,
gemetar, keringat dingin) dan neuroglikopenia (nyeri kepala,
mengantuk, sulit konsentrasi). Pada anak usia muda, gejala dapat
berupa perubahan perilaku seperti iritabilitas, agitasi, tantrum,
atau kurang aktif.
Kedua, Kriteria KAD mencakup hiperglikemia, asidosis,
dan ketonemia. Gejala KAD antara lain adalah dehidrasi,
takikardi, takipnea dan sesak, napas berbau aseton, mual,
muntah, nyeri perut, pandangan kabur, dan penurunan
kesadaran. Seringkali gejala-gejala ini disalah artikan oleh
orangtua maupun tenaga kesehatan sebagai usus buntu, infeksi,
15
atau penyakit lainnya. Kelalaian ini dapat menyebabkan
kematian.
2.1.6.2 Komplikasi Kronis
Selain pemantauan komplikasi akut, perlu juga dilakukan
skrining komplikasi kronik yang dapat dibedakan menjadi
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi
mikrovaskular mencakup nefropati, retinopati, dan neuropati.
Komplikasi yang mengenai pembuluh darah besar adalah
penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, dan
penyakit pembuluh darah perifer (klaudikasio, infeksi/ gangrene,
amputasi (Aman, Pulungan, 2019). Rekomendasi skrining
tertera pada Tabel dibawah ini.
Table 2.1.
Rekomendasi skrining komplikasi vaskular pada anak dengan DM tipe-1
(ISPAD 2018).
Usia mulai
skringing
Metode skrining Factor risiko
Nefropati 11 tahun Durasi
diabetes 2-5
tahun
Rasio
albumin/kreatinin urin
Hiperglikemia, tekanan
darah tinggi,
dislipidemia, merokok
Retinopati 11 tahun Durasi
diabetes 2-5
tahun
Foto fundus atau
oftalmoskop dengan
midriatikum
Hiperglikemia, tekanan
darah tinggi,
dislipidemia, IMT
tinggi
Neuropati 11 tahun Durasi
diabetes 2-5
tahun
Anamnesis,
pemeriksaan fisis,
pemeriksaan
laboratorium
Hiperglikemia, tekanan
darah tinggi, usia,
durasi diabetes, genetik
Penyakit
makrovaskular
11 tahun Durasi
diabetes 2-5
tahun
Profil lipid setiap 2
tahun, tekanan darah
setiap tahun
Hiperglikemia, tekanan
darah tinggi,
dislipidemia, IMT
tinggi, merokok
16
Retinopati merupakan komplikasi yang sering didapatkan,
lebih sering dijumpai pada pasien DM tipe 1 yang telah
menderita lebih dari 8 tahun. Faktor risiko timbulnya retinopati
antara lain kadar gula yang tidak terkontrol dan lamanya
menderita diabetes. Nefropati diperkirakan dapat terjadi pada
25%-45% pasien DM tipe 1 dan sekitar 20%-30 akan mengalami
mikroalbuminuria subklinis.
Komplikasi makrovaskular lebih jarang didapatkan pada
anak dan remaja. Komplikasi tersebut dapat terjadi akibat
kontrol metabolik yang tidak baik (Himawan, 2009).
2.1.7 Faktor Risiko Diabetes mellitus tipe 1
Faktor Risiko terjadinya Diabetes Mellitus Tipe I terdiri dari
faktor tetap yaitu terdiri dari usia, jenis kelamin, riwayat diabetes
gestasional, faktor genetik, penyakit autoimun dan ras.
Sedangkan untuk faktor perilaku meliputi kebiasaan
mengonsumsi obat. Faktor sosial ekonomi terdiri dari status
pekerjaan dan status pendidikan. Faktor intermedietnya meliputi
IMT dan kondisi psikologis. Faktor lingkungan terdiri dari virus
dan cuaca dingin (Faida & Santik, 2020).
Anak dengan diabetes berisiko terganggu proses
pertumbuhannya. Gangguan pertumbuhan ini dapat terjadi akibat
proses penyakit maupun komplikasinya. Kontrol metabolik yang
17
buruk dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan (berat dan
tinggi badan tidak naik secara adekuat), hepatomegali, nyeri perut,
peningkatan transaminase hepar dan perkembangan pubertas yang
terlambat (sindrom Mauriac) (IDF, 2017).
Pola makan yang tidak sehat merupakan bagian dari gaya
hidup yang menjadi faktor predisposisi terjadinya diabetes melitus.
Pola makan yang kurang baik dapat menimbulkan kegemukan yang
dapat mengarah kepada obesitas sehingga mempredisposisi
seseorang terhadap diabetes karena diperlukan insulin dalam jumlah
lebih besar untuk pengaturan metabolisme pada orang kegemukan
dibandingkan dengan orang normal (Hariawan, 2019).
2.2. Pengelolaan Diabetes Mandiri
kontrol metabolik yang baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah
berada dalam batas normal atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan
hipoglikemia. Walaupun masih dianggap ada kelemahan, parameter HbA1c
merupakan parameter kontrol metabolik standar pada DM. Nilai HbA1c < 7%
berarti kontrol metabolik baik; HbA1c < 8% cukup dan HbA1c > 8%
dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu disesuaikan dengan usia karena
semakin rendah HbA1c semakin tinggi risiko terjadinya hipoglikemia.
Sasaran dan tujuan pengobatan pada DM tipe-1 perlu dijelaskan oleh
tim pelaksana dan dimengerti oleh penderita maupun keluarga
Sasaran dan Tujuan Khusus Pengelolaan DM tipe-1 Pada Anak
18
1. Sasaran
a. Bebas dari gejala penyakit
b. Dapat menikmati kehidupan
c. Kontrol metabolik yang baik
2. Tujuan khusus
a. Tumbuh kembang optimal
b. Perkembangan emosional normal sosial
c. Terhindar dari komplikasi tanpa menimbulkan hipoglikemia.
d. Absensi sekolah rendah dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan sekolah
e. Pasien tidak memanipulasi penyakit
f. Pada saatnya mampu mandiri mengelola penyakitnya.
Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, komponen pengelolaan DM
tipe-1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan, olahraga, dan edukasi,
yang didukung oleh pemantauan mandiri (home monitoring). Keseluruhan
komponen berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik
yang baik. Dari faktor penderita juga terdapat beberapa kendala pencapaian
kontrol metabolik yang baik. Faktor pendidikan, sosioekonomi dan
kepercayaan merupakan beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam
pengelolaan penderita terutama dari segi edukasi (Tridjaya et.al, 2011).
2.2.1 Pemberian Insulin
Tujuan terapi insulin adalah menjamin kadar insulin yang cukup
di dalam tubuh selama 24 jam untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
sebagai insulin basal maupun insulin koreksi dengan kadar yang lebih
19
tinggi (bolus) akibat efek glikemik makanan. Regimen insulin sangat
bersifat individual, sehingga tidak ada regimen yang seragam untuk
semua penderita DMT1. Regimen apapun yang digunakan bertujuan
untuk mengikuti pola fisiologi sekresi insulin orang normal sehingga
mampu menormalkan metabolisme gula atau paling tidak mendekati
normal (IDAI, 2018).
1. Dosis insulin (empiris):
a. Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/kg/hari.
b. Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dalam kisaran dosis 0,7–
1 IU/kg/hari.
c. Selama pubertas kebutuhan biasanya meningkat menjadi 1.2–2
IU/kg/hari.
Tabel 2.2
Jenis sediaan insulin dan profil kerjanya.
Jenis insulin Awitan (jam) Puncak kerja
(jam)
Lama kerja
(jam)
Waktu pemberian
Kerja cepat
(Aspart, Glulisin, Lispro)
0.15 – 0.35 1 – 3 3 – 5 Bersamaan
dengan makan
Kerja pendek
(Reguler/soluble)
0.5 – 1 2 – 4 5 – 8 30 menit sebelum
makan
Kerja menengah
Semilente NPH
Tipe lente IZS
1-2
3-4
3-4
4 – 10
4 – 12
6 – 15
8 – 6
12 – 24
18 – 24
30 menit sebelum
makan
Kerja panjang
Tipe ultra lente
4 – 8 12 – 24 20 – 30 30 menit sebelum
makan
Basal analog
Glargine Detemir
2 – 4
1 – 2
Tidak ada
6 – 12
24*
20 – 24
Diberikan 1 – 2
kali per hari
Campuran
Cepat-menengah
Pendek-menengah
0.5
0.5
1 – 12
1 – 12
16 – 24
16 – 24
30 menit sebelum
makan
20
2.2.2 Pengaturan makan
Pengaturan makanan pada penderita DM tipe-1 bertujuan untuk
mencapai kontrol metabolik yang baik tanpa mengabaikan kalori yang
dibutuhkan untuk metabolisme basal, pertumbuhan, pubertas, maupun
aktivitas sehari hari. Dengan pengaturan makanan ini diharapkan anak
dapat tumbuh optimal dengan berat badan yang ideal, dan dapat
dicegah timbulnya hipoglikemia (Tridjaya et.al, 2011).
Pola makan sehat didefinisikan sebagai pola makan dengan
perencanaan 3J yaitu jumlah, jenis, dan jadwal makan yang teratur.
Pola makan yang tidak sehat menyebabkan tidak adanya
keseimbangan antara karbohidrat dan kandungan lain yang
dibutuhkan oleh tubuh. Akibatnya kandungan gula di dalam tubuh
menjadi tinggi melebihi kapasitas kerja pankreas dan mengakibatkan
terjadinya diabetes mellitus (Fathoni, 2019).
Salah satu kunci keberhasilan pengaturan makanan ialah asupan
makanan dan pola makan yang sama sebelum maupun sesudah
diagnosis, serta makanan yang tidak berbeda dengan teman sebaya
atau dengan makanan keluarga. Fleksibel dalam jumlah makanan dan
jenisnya sangat diperlukan. Pengaturan makan yang optimal biasanya
terdiri dari 3 kali makan utama dan 3 kali pemberian kudapan.
Keberhasilan kontrol metabolik tergantung kepada frekuensi makan
dan regimen insulin yang digunakan. (Rekomendasi diet pada regimen
insulin)
21
2.2.3. Olahraga
Olahraga sebaiknya menjadi bagian dari kehidupan setiap
orang, baik anak, remaja, maupun dewasa, baik penderita DM atau
bukan. Olahraga dapat membantu menurunkan berat badan,
mempertahankan berat badan ideal, dan meningkatkan rasa percaya
diri. Untuk penderita DM berolahraga dapat membantu untuk
menurunkan kadar gula darah, menimbulkan perasaan ‘sehat’ atau
‘well being’, dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
sehingga mengurangi kebutuhan insulin. Pada beberapa penelitian
terlihat bahwa olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja jantung
dan mengurangi terjadinya komplikasi DM jangka panjang.
Sekitar 40% kejadian hipoglikemia pada penderita DM
dicetuskan oleh olahraga. Oleh karena itu penderita DM tipe-1 yang
memutuskan untuk berolahraga teratur, terutama olahraga dengan
intensitas sedang-berat diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu
dengan dokter yang merawatnya sebelum memulai program
olahraganya (IDF, 2015).
Berikut ini adalah rekomendasi ISPAD clinical practice
guideline mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan oleh anak dan
remaja DM tipe 1 saat melakukan olahraga:
1. Diskusikan jumlah pengurangan dosis insulin sebelum olahraga
dengan dokter.
22
2. Diskusikan jenis dan jumlah karbohidrat yang diperlukan untuk
olahraga spesifik.
3. Jika glukosa darah tinggi, glukosa darah > 250 mg/dL (14
mmol/L) dengan ketonuria /ketonemia (> 0,5 mmol/L)
4. Konsumsi 1,0-1,5 gram karbohidrat per kg massa tubuh per jam
untuk olahraga yang lebih lama atau lebih berat jika kadar insulin
yang bersirkulasi tinggi atau insulin sebelum latihan tidak
dikurangi.
5. Makanan yang mengandung tinggi karbohidrat harus dikonsumsi
segera setelah latihan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia
pasca latihan fisik.
6. Lakukan pencatatan secara mendetil tentang aktivitas fisik,
insulin, makan, dan hasil pemeriksaan glukosa darah supaya
dicapai kontrol diabetik yang baik selama aktivitas fi sik
spontan/latihan.
7. Hipoglikemia dapat terjadi sampai 24 jam setelah olahraga.
8. Ukur kadar glukosa darah sebelum tidur dan kurangi insulin basal
sebelum tidur (atau basal pompa insulin) sebesar 10-20% setelah
olahraga di siang atau sore hari jika latihannya lebih intensif dari
biasanya atau jika aktivitasnya tidak dilakukan secara reguler.
9. Risiko terjadinya hipoglikemia nokturnal pasca olahraga cukup
tinggi terutama jika kadar glukosa darah sebelum tidur < 125 mg/
23
dL (<7,0mmol/L). Dosis insulin basal sebelum tidur sebaiknya
dikurangi.
10. Pasien dengan retinopati proliferatif atau nefropati harus
menghindari olahraga yang bersifat anaerobik atau yang
membutuhkan ketahanan fi sik karena dapat menyebabkan
tekanan darah tinggi.
11. Kudapan dengan indeks glikemik tinggi harus selalu siap di
sekolah.
2.2.4. Edukasi
Edukasi memiliki peran penting dalam penangan DM tipe-1
karena didapatkan bukti kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik
dan keluaran psikososial. Edukasi dilakukan oleh tim multidisiplin
yang terdiri atas paling tidak dokter anak endokrinologi atau dokter
umum terlatih, perawat atau edukator DM, dan ahli nutrisi. Edukasi
tahap pertama dilakukan saat pasien pertama terdiagnosis atau selama
perawatan di rumah sakit yang meliputi pengetahuan dasar mengenai
DM tipe-1, pengaturan makan, insulin (jenis, dosis, cara penyuntikan,
penyimpanan, dan efek samping), serta pertolongan pertama
kedaruratan DM tipe-1 (hipoglikemia, pemberian insulin saat sakit),
sementara tahap kedua dilakukan saat berkonsultasi di poliklinik.
Dalam penelitian oleh Pulgaron dkk, kemampuan berhitung dan
kepercayaan diri orang tua dalam menangani diabetes berhubungan
signifikan dengan kadar HbA1c anak (Aman, et.al, 2019).
24
2.2.5. Pemantauan Mandiri
Tujuan pemantauan mandiri pada pasien dengan DM tipe-1
adalah mencapai target kontrol glikemik yang optimal, menghindari
komplikasi akut berupa hipoglikemia dan ketoasidosis dan
komplikasi kronis yaitu penyakit makrovaskuler, menimalisasi
akibat hipoglikemia dan hiperglikemia terhadap fungsi kognitif serta
mengumpulkan data tentang kontrol glikemik untuk dibandingkan
dengan sistem kesehatan setempat. Dari beberapa penelitian telah
dibuktikan hubungan yang bermakna antara pemantauan mandiri
dan kontrol glikemik. Pengukuran kadar glukosa darah harus
dilakukan beberapa kali per hari untuk menghindari terjadinya
hipoglikemia dan hiperglikemia, serta penyesuaian dosis insulin.
Diperlukan perhatian yang khusus terutama pada anak prasekolah
dan anak sekolah yang pada tahap awal sering tidak bisa mengenali
episode hipoglikemia yang mungkin dialaminya, sehingga pada
keadaan seperti ini perlu pemantauan kadar glukosa darah yang lebih
sering.
Pemantauan kontrol glikemik dilakukan dengan melakukan
pemantauan glukosa darah mandiri, HbA1c, keton, dan pemantauan
glukosa darah berkelanjutan (Tridjaya & Yati, 2017).
2.2.5.1 Pemantauan glukosa darah mandiri
1. Pemantauan glukosa darah mandiri memungkinkan pasien
untuk melakukan penyesuaian insulin terhadap makanan yang
25
dikonsumsi menjadi lebih baik dan memungkinkan pasien DM
untuk mengkoreksi kadar glukosa darah yang berada diluar
target sehingga dapat memperbaiki kadar HbA1c.
2. Pemantauan glukosa darah mandiri selama olahraga
memungkinkan penyesuaian dosis insulin sebelum dan selama
olahraga sehingga mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia
selama dan setelah olahraga.
3. Frekuensi pemantauan glukosa darah mandiri berbeda-beda
untuk masing-masing individu tergantung dari ketersediaan alat
dan kemampuan anak untuk mengidentifikasikan hipoglikemia.
Untuk mengoptimalkan kontrol glikemik maka pemantauan
glukosa darah mandiri harus dilakukan 4-6 kali sehari.
a. Pagi hari setelah bangun tidur untuk melihat kadar glukosa
darah setelah puasa malam hari.
b. Setiap sebelum makan.
c. Pada malam hari untuk mendeteksi hipoglikemia atau
hiperglikemia.
d. 1,5-2 jam setelah makan.
4. Pemantauan glukosa darah mandiri dilakukan secara lebih
sering pada olahraga dengan intensitas tinggi yaitu sebelum,
selama dan setelah melakukan kegiatan tersebut.
2.2.5.2 Pemeriksaan Keton
26
Pemeriksaan keton darah lebih baik daripada keton
urin. Normal keton darah adalah 3,0 mmol/L biasanya
disertai asidosis, sehingga harus segera dibawa ke IGD.
Keton darah 250 mg/dL (14 mmol/L) biasa ditemukan
setelah puasa malam hari.
Pemeriksaan keton harus tersedia dan dilakukan pada
saat:
1. Sakit disertai demam dan/atau muntah
2. Jika GDS >250 mg/dL (14 mmol/L) pada anak sakit
atau jika meningkat secara persisten
3. Jika terdapat poliuria persisten disertai peningkatan
GDS, terutama jika disertai nyeri abdomen atau napas
cepat
4. Pemeriksaan keton darah sebaiknya tersedia bagi anak
yang lebih muda atau pasien yang menggunakan
pompa insulin.
2.2.5.3 Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan HbA1c (Glycosylation haemoglobin)
Berdasarkan ISPAD, rekomendasi target HbA1c <7% (<53
mmol/mol). Target ini harus disesuaikan dengan tujuan untuk
mencapai nilai sedekat mungkin dengan nilai normal,
menghindari hipoglikemia berat, ringan hingga sedang, dan
stres berlebihan pada anak dan keluarganya. Fasilitas
27
pengukuran HbA1c harus tersedia di semua pusat kesehatan
yang menangani anak dan remaja dengan diabetes. HbA1c
harus dipantau sebanyak 4-6 kali per tahun pada anak yang
lebih muda dan 3-4 kali per tahun pada anak yang lebih besar
(Adelita, 2020).
2.2.5.4 Faktor yang mempengaruhi control metabolic
a. Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan atau edukasi sangat penting dalam
pengelolaan DM untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Pendidikan kesehatan atau edukasi pada pasien DM sebaiknya
dilakukan oleh semua pihak yang terkait dalam pengelolaan
DM, seperti dokter, perawat, ahli gizi. Pendidikan kesehatan
pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok
masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder
diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan
kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit
menahun (Ambarwati & Nasution, 2012).
Edukasi pendidikan merupakan unsur penting
pengelolaan DM tipe 1, yang harus dilakukan secara terus
menerus dan bertahap sesuai tingkat pengetahuan serta status
sosial penderita/keluarga. Edukasi merupakan salah satu kunci
kesuksesan tatalaksana diabetes mellitus. Edukasi terstruktur
28
terbukti bermanfaat pada kontrol glikemik maupun aspek
psikososial. Tujuan dari edukasi pada pasian DM tipe 1 adalah
(1)Menimbulkan pengertian dan pemahaman mengenai
penyakit dan komplikasinya. (2) Memotivasi penderita dan
keluarganya agar patuh berobat. (3) Memberikan ketrampilan
penanganan DM tipe-1. (4) Mengembangkan sikap positif
terhadap penyakit sehingga tercermin dalam pola hidup sehari-
hari. (5) Mencapai kontrol metabolik yang baik sehingga
terhindar dari komplikasi. (6) Mengembangkan kemampuan
untuk memberikan keputusan yang tepat dan logis dalam
pengelolaan sehari-hari. (7) Menyadarkan penderita bahwa
DM tipe-1 bukanlah penghalang untuk mencapai cita-cita
(IDF, 2015).
b. Aspek Psikososial
Insidens depresi, kecemasan, stres psikologis dan
gangguan makan lebih tinggi pada remaja dengan diabetes.
Anak dan remaja dengan kontrol metabolik yang buruk dalam
jangka lama, termasuk kejadian ketoasidosis diabetik
berulang, lebih mungkin memiliki dasar problem
psikososial/psikiatrik dibandingkan dengan anak yang
mempunyai kontrol metabolik yang baik. Anak/remaja dengan
diabetes memiliki kelemahan dalam memperoleh informasi
serta gangguan belajar, terutama pada anak dengan onset
29
diabetes yang terlalu dini, riwayat hipoglikemi berat atau
hiperglikemia kronik.
2.3. Hipoglikemia
2.3.1 Definisi
Hipoglikemia merupakan kadar glukosa darah <70 mg/dl (3.9
mmol/L), nilai tersebut ditetapkan oleh American Assosiation sebagai
glukosa darah kategori waspada. Tanda dan gejala hipoglikemia
dibedakan menjadi dua kategori yaitu bersifat otonom dan
neuroglikopenik. Tanda dan gejala otonom meliputi munculnya tanda
gejala seperti berkeringat, jantung berdebar, gemetar, pusing, dan lapar.
Sedangkan gejala neutoglikopenik yaitu kebingungan, ngantuk,
kesulitan berbicara, berperilaku aneh, dan tidak mempu melakukan
koordinasi (Morales, 2014).
2.3.2 Penyebab Hipoglikemia
Hipoglikemia pada umumnya terjadi karena ada
ketidakseimbangan antara dosis insulin, makanan yang dikonsumsi,
dan olahraga yang baru saja dilakukan, atau kadang-kadang karena
suatu kejadian spontan. Hipoglikemia merupakan salah satu faktor
kegagalan utama dalam mencapai kadar gula darah mendekati normal,
karena hipoglikemia dapat disertai gejala yang tidak menyenangkan,
memalukan, dan berbahaya, sehingga menimbulkan kecemasan dan
ketakutan pada pasien dan orangtuanya. Selain itu hipoglikemia yang
30
berat dapat menyebabkan kerusakan otak menetap dan bahkan
kematian
2.3.3 Tanda dan Gejala Hipoglikemia
hipoglikemia terjadi akibat aktivasi otonom (gejala adrenergik)
dan/atau disfungsi neurologis, karena turunnya kadar glukosa di otak
(gejala neuroglikopenia) seperti terlihat di Tabel . Bila gula darah turun
gejala yang mulai timbul adalah gemetar, lemah, lapar, dan berkeringat
sebagai akibat aktivasi sistem saraf otonom. Gejala ini timbul pada
kadar gula darah 58-65 mg/dL (3,2-3,6 mmol/L) pada anak tanpa
diabetes. Gejala lain yang mungkin timbul adalah perubahan perilaku
seperti tantrum, gelisah, keras kepala, diam, atau agitasi. Perubahan
perilaku ini lebih banyak dijumpai pada anak usia prasekolah, dan
mungkin disebabkan oleh kombinasi respons otonom dan
neuroglikopenia.
Tabel 2.3
Tanda dan gejala hipoglikemia
Gejala dan tanda Klinis
Otonom Gemetar, berkeringat, tremor, palpitasi, pucat
Neuroglikopenia Konsentrasi menurun, pandangan kabur atau dobel,
gangguan penglihatan warna, gangguan
pendengaran, pelo, bingung, sulit berpikir, lupa,
pusing, limbung bila berjalan, penurunan kesadaran,
kejang, kematian.
Perubahan perilaku Rewel, aneh/ berubah-ubah pikiran, agitasi, mimpi
buruk, menangis keras sulit ditenangkan.
Non spesifik Lapar, sakit kepala, mual, lelah.
31
Menurut berat ringannya hipoglikemia dibagi atas hipoglikemia
berat dan hipoglikemia ringan/sedang. Anak yang dianggap mengalami
hipoglikemia berat adalah bila hipoglikemia disertai gejala
neuroglikopenia berat, seperti koma atau kejang, dan membutuhkan
terapi parenteral (glukagon atau infus glukosa). Sedangkan
hipoglikemia ringan dan sedang dijadikan satu dalam pembagiannya
karena tidak berbeda dalam penanganannya dan hampir semua
memerlukan penanganan dari orangtua atau pengasuh.
Hipoglikemia simptomatik terjadi bila anak atau orangtua
menyadari, berespons, dan menangani hipoglikemia secara oral setelah
mendeteksi kadar glukosa darah < 70 mg/ dL (4 mmol/L). Sedangkan
hipoglikemia asimptomatik terjadi bila anak tidak menunjukkan gejala
dan tanda hipoglikemia, walau kadar glukosa darah terdeteksi < 70 mg/
dL (4 mmol/L). Hal ini penting untuk diketahui sehubungan dengan
mengenali kejadian hypoglikemia unawareness atau mengetahui kadar
glukosa darah yang berisiko untuk terjadinya hypoglikemia
unawareness.
2.3.4 Tatalaksana Hipoglikemia
Tujuan tatalaksana hipoglikemia adalah mengembalikan kadar
glukosa darah ke nilai normal (euglikemia) atau ke 100 mg/ dL (5,6
mmol/L).
32
Tabel 2.4
Tatalaksana hipoglikemia
Hipoglikemia Tatalaksana Pertimbangan yang lainnya
Ringan/
sedang
Untuk meningkatkan kadar glukosa
darah sebanyak 45-65 mg/dL (2,5-3,6
mmol/L) perlu diberikan glukosa 0,3
g/kg atau sekitar 9 g glukosa untuk
anak dengan berat 30 kg dan 15 g
untuk anak 50 kg. Bentuk gula yang
diberikan untuk tatalaksana awal
adalah gula yang mudah diserap,
yaitu gula sederhana, seperti tablet
glukosa, jus, sirup, permen. Setelah
tata laksana tunggu 10- 15 menit, cek
ulang glukosa. Bila respons tidak ada
atau tidak adekwat pemberian
glukosa oral dapat diulangi. Cek
ulang glukosa darah setelah 20-30
menit untuk memastikan target gula
darah sudah tercapai dan tidak
terlampaui.
C o k l a t , s u s u , d a n
makanan lain yang
mengandung lemak
sebaiknya tidak diberikan
sebagai terapi awal, karena
menyebabkan glukosa
diserap lebih lambat. Bila
gejala membaik, atau sudah
tercapai euglikemia makan
atau kudapan selanjutnya d a
p a t d i k o n s u m s i
(misalnya buah, roti, sereal,
dan susu) untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia.
Berat Memerlukan terapi segera. Bila
disertai penurunan kesadaran +/-
kejang (atau muntah) terapi paling
aman sebetulnya adalah injeksi
glukagon (SK, IM, atau IV). Untuk
usia5 tahun 1,0 mg, atau 10-30
mcg/kg. Di rumah sakit: berikan
dekstrosa 10% intravena dengan dosis
2 mL/ kgBB diikuti infus dekstrosa
untuk menstabilkan kadar glukosa
darah antara 100-180 mg/dL (5,6-10
mmol/L). Selanjutnya untuk
mencegah berulangnya hipoglikemia
perlu dilakukan pemantauan klinis
ketat dan monitor kadar glukosa
darah. Bila hipoglikemia berulang
perlu diberikan tambahan karbohidrat
ekstra dan/ atau infus dekstrosa 10%
2-5 mg/kg/menit (1,2-3 ml/ kg/jam)
Bila tidak ada glukagon,
oleskan selai atau madu atau
gula bubuk ke bagian dalam
mulut/ pipi sambil segera
sambil membawa pasien ke
rumah sakit.
Hy p o g l y c
e m i a
unawareness
Target glukosa darah perlu
ditinggikan bila ditemukan
hipoglikemia berulang dan/ atau
hypoglycemia unawareness.
Pasien dan orangtua p e r l u
d i b e r i t a h u untuk
menghubungi tim diabetes
nya bila mengalami
hypoglycemia unawareness
33
Hipoglikemia Tatalaksana Pertimbangan yang lainnya
Menghindari hipoglikemia selama 2-
3 minggu
(seperti hipoglikemia terjadi
t a n p a g e j a l a a t a u
langsung mengalami gejala
neuroglikopenia tanpa gejala
otonom).
2.3.5. Pencegahan
Keluarga sebaiknya mendapat penjelasan / edukasi tentang
faktor risiko hipoglikemia, gejala hipoglikemia, dan pencegahan
hipoglikemia, termasuk kapan hipoglikemia sering terjadi, sehingga
dapat dilakukan pemantauan glukosa darah lebih sering.
Hipoglikemia akan lebih sering terjadi bila regimen terapi
ditingkatkan (dosis insulin lebih tinggi, makan lebih sedikit, dan
lebih banyak olahraga); pada anak-anak lebih kecil; HbA1c lebih
rendah; kadar glukosa darah sering rendah; ambang gejala otonom
menurun; saat tidur.
a. Pemilihan regimen insulin yang sesuai dengan pola makan dan
kegiatan sehari-hari (termasuk olahraga) dapat menurunkan
risiko hipoglikemia. Penggunaaan pompa insulin dan insulin
analog dapat menurunkan kejadian hipoglikemia ringan/ sedang.
b. Asupan makanan (jumlah dan waktunya) perlu disesuaikan
dengan kerja insulin yang digunakan. Saat puncak kadar glukosa
darah disesuaikan dengan puncak kerja insulin. Pada anak yang
lebih kecil mungkin perlu dipertimbangkan penambahan kudapan
di siang atau malam hari. Selain itu dosis insulin dapat
34
disesuaikan dengan jumlah karbohidrat dalam makanan untuk
menghindari hipoglikemia sesudah makan dan saat tidur.
c. Evaluasi ulang waktu, lama, dan intensitas olahraga. Penyesuaian
jumlah asupan makanan dan dosis insulin dapat dilakukan untuk
menghindari penurunan kadar glukosa darah karena olahraga.
Kemungkinan hipoglikemia dapat terjadi saat olahraga, segera
setelah olahraga atau 2-12 jam sesudah olahraga.
d. Pemantauan kadar glukosa darah lebih sering terutama saat tidur,
yaitu sekitar jam 01.00-05.00 dini hari merupakan salah satu cara
yang dapat diterapkan untuk mendeteksi hipoglikemia
ringan/sedang dan menghindari hipoglikemia berat.
Hipoglikemia nokturnal sering asimptomatik dan berlangsung
lama. Keadaan ini perlu diwaspadai bila kadar glukosa darah pagi
sebelum sarapan rendah atau terdapat gejala sulit berpikir,
bingung, sakit kepala, gangguan mood saat bangun di pagi hari.
Untuk mencegah hipoglikemia pada malam hari maka kadar
glukosa sebelum tidur diusahakan sekitar 120-180 mg/dL (7-10
mmol/L). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi pada malam hari
adalah karbohidrat yang lambat dicerna seperti susu, roti, pisang,
apel dan protein.
e. Evaluasi terhadap setiap episode hipoglikemia untuk mengetahui
sebabnya. Evaluasi dilakukan terutama dalam hal: profi l insulin
yang digunakan, asupan makanan sebelumnya, dosis insulin
35
sebelum makan, aktivitas fi sis atau olahraga sebelumnya, dan
penyesuaian makan/ dosis insulin untuk olahraga tersebut.
2.3.6. Faktor yang berhubungan dengan kemampuan deteksi dini
Hipoglikemi
Perawatan mandiri pasien DM yang baik dan benar itu
termasuk pengendalian factor resikonya, menurunkan angka
kesaitan yang berulang, dan kematian yang disebabkan oleh
penyakit tersebut. Oleh karena itu pencegahan dini atau deteksi dini
komplikasi hipoglikemia pada pasien DM lebih efektif jika pasien
dapat meningkatkan kemampuan untuk mendeteksi diri terjadinya
hipoglikemia (Shrivastava, 2013).
Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang yang
melakukan pengelolaan diabetes yaitu mempertahankan kadar
glukosa darah normal dan mempertahankan status kesehatan.
Prilaku atau kemampuan ini seperti upaya atau tindakan seorang
yang menderita penyakit dimulai dengan self treatment (mengobati
sendiri) atau mencari bantuan kepada orang lain. Tindakan ini dapat
dilakukan pasien DM dalam mencegah hipoglikemia berat dengan
melakukan monitor glukosa darah mandiri. Sebaiknya pasien
tersebut memiliki alat pemantau kadar gula sebagai pemeriksaan
darah yyang lebih cepat dan mempermudah pengontrolan gula
darah, kerika pasien memiliki hasil dari pengecekan gula darah saat
36
itu juga pasien memiliki gambaran dan respon tubuh terhadap
rencana perawatan dirinya sendiri (Bare, 2010).
Faktor yang mempengaruhi kemampuan deteksi dini hipoglikemia
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan factor yang mempengaruhi
prilaku seseorang terhadap suatu objek, sehingga kemampuan
deteksi hipoglikemia juga asuk dalam kategori pengetahuan
karena merupakan proses terbentuknya prilaku (Notoadmojo,
2010).
b. Usia
Lansia lebih berisiko mengalami penurunan fungsi
mekanisme counterregulatory dan penurunan kognitif.
penurunan fungsi mekanisme counterregulatory menyebabkan
frekuensi hipoglikemia meningkat, dan penurunan kognitif pada
lansia mengakibatkan kegagalan mengenal gejala hipoglikemia,
sehingga kemampuan penatalaksanaan hipoglikemi juga
mengalami penurunan (Ernawati, 2010).
c. Jenis kelamin
Jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami
kejadian hipoglikemia karena perempuan menopause akan
terjadi penurunan jumlah estrogen dan progesterone, seperti
yang diketahui bahwa hormone tersebut dibentuk dari steroid
yang diambil dari jaringan adipose. Penurunan jumlah hormone
37
estrogen dan progesterone akan meningkatkan timbunan lemak
dan perubahan profil lipid darah sehingga dapay menurunkan
sensitifitas terhadap kerja pada otot dan hati (Shufyani,
Wahyuni, & Armal, 2017).
d. Tingkat Pendidikan
Klien yang berpendidikan tinggi memiliki peluang 5x
untuk mampu melakukan penatalaksanaan hipoglikemia
dibandingkan dengan klien yang berpendidikan rendah. Tingkat
pendidikan umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan
seseorang dalam memahami suatu informasi. Tingkat
pendidikan termasuk factor predisposisi yang menjelaskan
bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang lebih dapat
menerima pembelajaran yang berhubungan dengan praktik
pengukuran makanan/ diet dengan benar dan tepat (Ernawati,
2010).
e. Lama menderitta DM
Terdapat hubungan antara durasi DM dengan kemampuan
penatalaksanaan hipoglikemia dan berpola positif, artinya
semakin lama durasi penderita DM maka semakin meningkat
kemampuan melakukan penatalaksanaan hipoglikemia
(Ernawati, 2010).
f. Faktor Sosial
38
Dukungan keluarga memberikan peranan penting dalam
pencegahan hipoglikemia. Keluarga mempunyai peran sebagai
pendamping ketika klien melakukan terapi injeksi insulin.
Kurangnya bantuan dari anggota keluarga saat pasien injeksi
insulin adalah predictor untuk hipoglikemia ringan (Shrivastava,
2013).
g. Faktor gaya hidup
Kosumsi alcohol dikaitkan dengan risiko hipoglikemia
ringan lebih tinggi dan merupakan satu satunya factor gaya
hidup yang terkait dengan kejadian hipoglikemia. Alcohol dapat
menurunkan kadar glukosa dan dapat menutupi gejala
hipoglikemia (Setiadi, 2013).
h. Farmako Terapi
Hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi
ISS, dengan pemberian insulin bolus, pada penelitian (Shufyani,
et.al, 2017) jenis insulin yang digunakan dalam penelitian ada 2
jenis insulin yaitu rapid acting tunggal dan raoid acting
kombinasi long acting. Jenis insulin rapid acting tunggal yang
sering digunakan adalah novorapid. Novorapid menurunkan
kadar gula darah setelah injeksi, novorapid lebih cepat diasorbsi.
i. Ketersediaan alat Glukometer
Tindakan ini dapat dilakukan pasien DM dalam mencegah
hipoglikemia berat dengan melakukan monitor glukosa darah
39
mandiri. Sebaiknya pasien tersebut memiliki alat pemantau
kadar gula sebagai pemeriksaan darah yyang lebih cepat dan
mempermudah pengontrolan gula darah, kerika pasien memiliki
hasil dari pengecekan gula darah saat itu juga pasien memiliki
gambaran dan respon tubuh terhadap rencana perawatan dirinya
sendiri (Smeltzer & Bare, 2010 dan Fatehi, 2010).
40
2.4. Kerangka Teori
DM Tipe 1
Pengelolaan Diabetes
Mandiri
1. Pemberian Insulin
2. Pengaturan Makan
3. Olahraga
4. Edukasi
5. Pemantauan Mandiri
Komplikasi Akut :
1. Hipoglikemia
2. KAD
Penyebab Hipoglikemia
1. Ketidakseimbangan
dosis insulin
2. Makanan yang
dikosumsi
3. Olahraga
Pemantauan Mandiri :
1. Pemantauan glukosa
darah mandiri
2. Pemeriksaan Keton
3. Pemeriksaan HbA1C
Faktor yang mempengaruhi
metabolic :
1. Pendidikan kesehatan
2. Aspek psikososial
Tanda dan Gejala :
1. Otonom
2. Neuroglikopenia
3. Perubahan prilaku
4. Non spesifik
Factor yang
mempengaruhi
kemampuan deteksi
dini hipoglikemia :
1. Pengetahuan
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Tingkat pendidikan
5. Lama menderita
6. Factor social
7. Factor gaya hidup
8. Farmako terapi
9. Ketersediaan alat
glukometer
Pencegahan :
1. Regimen insulin
2. Asupan makanan
3. Evaluasi ulang
4. Pemantauan kadar
glukosa
5. Evaluasi berulang
Gambar 2.1
Kerangka Teori
41
2.5. Kerangka Konsep
Keterangan : : tidak diteliti
: diteliti
: tidak diteliti
: diteliti
DM TIPE 1
Komplikasi Akut
Hipoglikemia
Kemampuan Deteksi
Dini Hipoglikemia
Pengolaan Diabetes
Mandiri :
1. Pendidikan
2. Kontrol diet
3. Aktivitas
fisik
4. Managemen
glukosa
5. Terapi
pengobatan
6. Pemanfaata
n layanan
kesehatan
Mampu
mendeteksi
hipoglikemia
Tidak mampu
mendeteksi
hipoglikemia
Faktor – faktor yang mempengaruhi
kemampuan deteksi dini hipoglikemia :
1. Pengetahuan
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Tingkat pendidikan
5. Lama menderita
6. Factor social
7. Factor gaya hidup
8. Farmako terapi
9. Ketersediaan alat glukometer
Gambar 2.2
Kerangka Konsep
42
2.6. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara terhadap terjadinya hubungan variabel
yang akan diteliti (Notoadmojo, 2010).
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ha : yaitu ada hubungan antara pengelolaan diabetes mandiri dengan
kemampuan deteksi dini hipoglikemia pada DM tipe 1. Tingkat kesalahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05 Ha diterima jika p value <a.
top related