bab ii tinjauan pustaka 2.1 asam urat - sinta.unud.ac.id ii.pdf · hiperurisemia asimtomatik,...
Post on 07-Mar-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asam Urat
Asam urat merupakan produk akhir dari katabolisme adenin dan guanin
yang berasal dari pemecahan nukleotida purin. Asam urat adalah produk akhir
metabolisme purin yang terdiri dari komponen karbon, nitrogen, oksigen, dan
hidrogen dengan rumus molekul C5H4N4O3. Pada pH alkali kuat, asam urat
membentuk ion urat dua kali lebih banyak dibandingkan pada pH asam (Spieker,
et al., 2002).
Purin yang berasal dari katabolisme asam nukleat dalam diet diubah
menjadi asam urat secara langsung. Pemecahan nukleotida purin terjadi di semua
sel, tetapi asam urat hanya dihasilkan oleh jaringan yang mengandung xantin
oksidase terutama di hepar dan usus kecil. Rerata sintesis asam urat endogen
setiap harinya adalah 300-600 mg per hari, dari diet 600 mg per hari lalu
dieksresikan ke urin rerata 600 mg per hari dan ke usus sekitar 200 mg per hari
(Lamb, et al., 2006).
Dua pertiga total asam urat tubuh berasal dari pemecahan purin endogen,
hanya sepertiga yang berasal dari diet yang mengandung purin. Pada pH netral
urat dalam bentuk ion asam urat (kebanyakan dalam bentuk monosodium urat),
banyak terdapat di dalam darah. Konsentrasi normal kurang dari 420 μmol/L (7,0
mg/dL). Kadar asam urat tergantung jenis kelamin, umur, berat badan, tekanan
darah, fungsi ginjal, status peminum alkohol, dan kebiasaan memakan makanan
yang mengandung diet purin yang tinggi. Kadar asam urat mulai meninggi selama
8
pubertas pada laki-laki tetapi wanita tetap rendah sampai menopause akibat efek
urikosurik estrogen. Dalam tubuh manusia terdapat enzim asam urat oksidase atau
urikase yang akan mengoksidasi asam urat menjadi alantoin. Defisiensi urikase
pada manusia akan mengakibatkan tingginya kadar asam urat dalam serum. Asam
urat dikeluarkan di ginjal (70%) dan traktus gastrointestinal (30%). Kadar asam
urat di darah tergantung pada keseimbangan produksi dan ekskresinya (Signh, et
al., 2010).
Sintesis asam urat dimulai dari terbentuknya basa purin dari gugus ribosa,
yaitu 5-phosphoribosyl-1-pirophosphat (PRPP) yang didapat dari ribose 5 fosfat
yang disintesis dengan Adenosine triphosphate (ATP) dan merupakan sumber
gugus ribosa. Reaksi pertama, PRPP bereaksi dengan glutamin membentuk
fosforibosilamin yang mempunyai sembilan cincin purin. Reaksi ini dikatalisis
oleh PRPP glutamil amidotranferase, suatu enzim yang dihambat oleh produk
nucleotide inosine monophosphate (IMP), adenosine monophosphat (AMP) dan
guanine monophosphate (GMP). Ketiga nukleotida ini juga menghambat sintesis
PRPP sehingga memperlambat produksi nukleotida purin dengan menurunkan
kadar substrat PRPP (Lamb, et al., 2006).
Inosine monophosphat (IMP) merupakan nukleotida purin pertama yang
dibentuk dari gugus glisin dan mengandung basa hipoxanthine. IMP berfungsi
sebagai titik cabang dari nukleotida adenin dan guanin. AMP berasal dari IMP
melalui penambahan sebuah gugus amino aspartat ke karbon enam cincin purin
dalam reaksi yang memerlukan Guanosine triphosphate (GTP). Guanosine
monophosphat (GMP) berasal dari IMP melalui pemindahan satu gugus amino
9
dari amino glutamin ke karbon dua cincin purin, reaksi ini membutuhkan ATP
(Lamb, et al., 2006).
Gambar 2.1
Jalur Metabolisme Pembentukan Asam Urat (Ishikawa T, et al., 2013)
AMP mengalami deaminasi menjadi inosin, kemudian IMP dan GMP
mengalami defosforilasi menjadi inosin dan guanosin. Basa hipoxanthine
terbentuk dari IMP yang mengalami defosforilasi dan diubah oleh xanthine
oxidase menjadi xanthine serta guanin akan mengalami deaminasi untuk
menghasilkan xanthine juga. Xanthine akan diubah oleh xanthine oxsidase
menjadi asam urat. Asam urat diginjal akan mengalami empat tahap yaitu asam
urat dari plasma kapiler masuk ke glomerulus dan mengalami filtrasi di
glomerulus, sekitar 98-100% akan direabsorbsi pada tubulus proksimal,
selanjutnya disekresikan kedalam lumen distal tubulus proksimal dan direabsorbsi
kembali pada tubulus distal. Asam urat akan diekskresikan kedalam urine sekitar
6% - 12% dari jumlah filtrasi. Setelah filtrasi urat di glomerulus, hampir semua
10
direabsorbsi kembali di tubuli proksimal. pH urin yang rendah di traktus urinarius
menjadikan urat dieksresikan dalam bentuk asam urat (Spieker, et al., 2002).
Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam
darah. Batasan hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama. Seorang pria
dikatakan menderita hiperurisemia bila kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0
mg/dL. Sedangkan hiperurisemia pada wanita terjadi bila kadar asam urat serum
di atas 6,0 mg/dL (Berry, et al., 2004; Hediger et al., 2005; Putra, 2006).
Saat ini angka kejadian pasti hiperurisemia di masyarakat masih belum
jelas. Prevalensinya di masyarakat dan berbagai kepustakaan barat sangat
bervariasi antara 2,3 – 17,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Indrawan (2005)
pada penduduk kota Denpasar, Bali mendapatkan prevalensi hiperurisemia
sebesar 18,2%.
Asam urat sendiri merupakan hasil akhir dari metabolisme purin. Proses
pembentukan asam urat sebagian besar berasal dari metabolisme nukleotida purin
endogen, guanylic acid (GMP), inosinic acid (IMP), dan adenylic acid (AMP).
Perubahan intermediate hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine dikatalisis
oleh enzim xanthine oxidase dengan produk akhir asam urat. Asam urat
merupakan produk yang tidak dapat dimetabolisme lebih lanjut. Hanya 5% asam
urat yang terikat plasma dan sisanya akan difiltrasi secara bebas oleh glomerulus.
Dari semua asam urat yang difiltrasi, 99% akan direabsorpsi oleh tubulus
proksimal. Kemudian 7-10% fraksi asam urat akan disekresi oleh tubulus distal
(Vedercchia et al., 2000; Dincer et al., 2002; Berry et al., 2004).
11
Gambar 2.2
Metabolisme Urat (Riches PL, et al., 2009)
Kadar asam urat pada tiap individu sangat bervariasi tergantung pada
sintesis dan ekskresinya. Hiperurisemia terjadi bila kadar asam urat melebihi daya
larutnya dalam plasma yaitu 6,7 mg/dL pada suhu 37°C. Kondisi ini dapat
disebabkan karena ketidakseimbangan antara produksi yang berlebihan,
penurunan ekskresi atau gabungan keduanya. Produksi yang berlebihan terjadi
pada keadaan diet tinggi purin, alkoholisme, turn over nukleotida yang
meningkat, obesitas, dan dislipidemia. Sedangkan penurunan ekskresi asam urat
terjadi pada penyakit ginjal, hipertensi, penggunaan diuretik, resistensi insulin,
dan kadar estrogen yang rendah (Johnson et al., 2003; Berry et al., 2004; Hediger
et al., 2005).
12
Berdasarkan penyebabnya, hiperurisemia dapat diklasifikasikan menjadi
hiperurisemia primer, sekunder, dan idiopatik. Hiperurisemia primer merupakan
hiperurisemia yang tidak disebabkan oleh penyakit lain. Biasanya berhubungan
dengan kelainan molekuler yang belum jelas dan adanya kelainan enzim.
Sedangkan hiperurisemia sekunder merupakan hiperurisemia yang disebabkan
oleh penyakit atau penyebab lain. Hiperurisemia jenis ini dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan de novo biosynthesis,
peningkatan degradasi ATP, dan underexcretion. Hiperurisemia idiopatik
merupakan jenis hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primernya dan tidak ada
kelainan genetik, fisiologi serta anatomi yang jelas (Putra, 2009).
Hiperurisemia (konsentrasi asam urat dalam serum yang lebih besar dari
7,0 mg/dL) dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat.
Peningkatan atau penurunan kadar asam urat serum yang mendadak
mengakibatkan serangan gout. Apabila kristal urat mengendap dalam sebuah
sendi, maka selanjutnya respon inflamasi akan terjadi dan serangan gout pun
dimulai. Apabila serangan terjadi berulang-ulang, mengakibatkan penumpukan
kristal natrium urat yang dinamakan tofus akan mengendap dibagian perifer tubuh
seperti ibu jari kaki, tangan, dan telinga (Luke, 2005; Putra, 2007).
Pada manifestasi sindrom gout mencakup atritis gout yang akut (serangan
rekuren inflamasi artikuler dan periartikuler yang berat), tofus (endapan kristal
yang menumpuk dalam jaringan artikuler, jaringan oseus, jaringan lunak serta
kartilago), nefropati gout (gangguan ginjal) dan pembentukkan batu asam urat
dalam traktus urinarius. Ada empat stadium penyakit gout yang dikenal :
13
hiperurisemia asimtomatik, arthritis gout yang kronis, gout interkritikal dan gout
tofeseus yang kronik (Doherty, 2009).
Ada 4 tahap penyakit gout yaitu : tahap asimptomatik, akut (serangan
pertama mendadak dan memuncak, menyebabkan rasa nyeri yang hebat pada
sendi yang terkena, disertai tanda peradangan, cepat berlalu, dan kembali lagi
dalam waktu tertentu), tahap interkritikal (masa bebas serangan), dan tahap kronis
(terdapat timbunan kristal asam urat dalam bentuk tofus, yang ditemukan pada
jaringan lunak, tulang rawan, selaput diantara tulang dan tendon) ( Putra, 2009).
Untuk memudahkan diagnosis gout arthritis akut, dapat digunakan kriteria
dari American College Of Rheumatology tahun 1977 sebagai berikut :
A. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau
B. Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau
C. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis sebagai berikut :
a. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
b. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu 1 hari
c. Arthritis monoartikuler
d. Kemerahan pada sendi
e. Bengkak dan nyeri pada metatarsophalangeal-1 (MTP-1)
f. Arthritis unilateral yang melibatkan MTP-1
g. Arthritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
h. Kecurigaan terhadap adanya tofus
i. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
14
j. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
k. Kultur mikroorganisme negatif pada cairan sendi
2.2 Asam Urat dan Penyakit Kardiovaskular
Sebuah hubungan epidemiologi antara peningkatan kadar asam urat dan
risiko kardiovaskular telah diketahui selama beberapa tahun belakangan ini.
Sebuah penelitian observasional menunjukkan bahwa konsentrasi asam urat serum
lebih tinggi pada pasien yang telah didiagnosis dengan penyakit jantung koroner
dibandingkan dengan kontrol sehat. Peningkatan kadar asam urat tersebut juga
ditemukan pada kedua orang tua pasien, sehingga menunjukkan kemungkinan
adanya hubungan kausal. Namun demikian hiperurisemia juga juga berkaitan
dengan faktor-faktor perancu yang mungkin berhubungan seperti peningkatan
trigliserida dan kolesterol serum, glukosa darah, konsentrasi insulin puasa dan
setelah pemberian karbohidrat, rasio pinggang-pinggul, dan indeks massa tubuh.
Sekitar seperempat pasien hipertensi juga mengalami hiperurisemia dan pasien
dengan hiperurisemi asimptomatik dapat diprediksi mengalami hipertensi di
kemudian hari tanpa melihat fungsi ginjalnya (Waring, et a.l, 2000; Hsu, et al.,
2013; Daria, et al., 2012).
Diantara pasien yang telah tegak dengan hipertensi, peningkatan kadar
asam urat berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko
kardiovaskular selama rerata 6,6 tahun periode follow up. Propotional hazard
ratio untuk satu Standar Deviasi (SD) peningkatan dari asam urat (29,2 µmol/L)
adalah 1,22 (Interval Konfidens (IK) 95% 1,11-1,35) lebih tinggi dibandingkan
dengan satu SD elevasi dari glukosa darah (1,10, IK 95% 1,02-1,19), kolesterol
15
(1,18, IK 95% 1,09-1,29) atau tekanan darah sistolik (1,09, IK 95% 1,00-1,19).
Terapi hipertensi dengan diuretik tiazid memberikan keuntungan pada pasien
hipertensi dan memberikan reduksi yang signifikan dalam angka mortalitas akibat
kardiovaskular dan semua sebab. The US National Health and Nutrition Survey
(NHANES) III menunjukkan bahwa laju infark miokard dan stroke yang telah
disesuaikan dengan umur lebih tinggi pada pasien hipertensi baik laki-laki dan
perempuan yang memiliki kadar asam urat yang tinggi (Waring, et al., 2000).
Gambar 2.3
Asam Urat dan Kardiovaskular (Jalal DI, et al., 2012).
Beberapa penelitian menduga bahwa peran asam urat adalah bebas dan
tidak dipengaruhi oleh faktor risiko perancu lainnya. Analisis multivariat data dari
kohort 1.044 laki-laki menunjukkan hubungan yang signifikan antara peningkatan
kadar asam urat dan mortalitas kardiovaskular, dan tidak berhubungan dengan
indeks massa tubuh, konsentrasi kolesterol serum, hipertensi, penggunaan
diuretik, konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok. Perbandingan antara
16
individu-individu pada kelompok dengan kadar asam urat yang tinggi (≥373
µmol/L) dibandingkan dengan pada kelompok dengan kadar asam urat yang lebih
rendah (≥319 µmol/L) memberikan risiko infark miokard yang telah disesuaikan
sebesar 1,7 (IK 95% 0,8-3,3) dan kematian oleh sebab kardiovaskular sebesar 2,2
(IK 95% 1,0-4,8) (Hsu, et al., 2013).
Penelitian Gothenburg yang dilakukan secara prospektif pada 1.462
perempuan berusia antara 38 sampai 60 tahun juga menemukan risiko yang
signifikan antara konsentrasi asam urat serum dan mortalitas total pada 12 tahun
follow-up dan hasil ini tidak terkait dengan indeks massa tubuh, konsentrasi lipid
serum, kebiasaan merokok, tekanan darah, dan usia. Asam urat juga memiliki
unsur prediktif pada kelompok pasien dengan risiko tinggi. Contohnya pada
diabetes mellitus sebagai faktor risiko yang kuat terhadap terjadinya penyakit
kardiovaskular, dan sebuah penelitian prospektif pada 1.017 pasien yang tidak
tergantung pada insulin menunjukkan bahwa konsentrasi asam urat serum >
295µmol/L memberikan hazard ratio sebesar 1,91 (IK 95% 1,24-2,94) dari stroke
fatal atau non fatal selama 7 tahun follow-up (Waring, et al., 2000).
Berlawanan dengan temuan-temuan tersebut, beberapa studi juga
mengemukakan bahwa hubungan asam urat dan risiko kardiovaskular tidak
bertahan setelah dilakukan koreksi terhadap faktor risiko lainnya. The British
Regional Heart Study dari 7.688 laki-laki berusia antara 40-59 tahun
menunjukkan hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar asam urat dan
penyakit koroner fatal dan non fatal selama 16,8 tahun. Namun hubungan ini
menghilang setelah memperbaiki dari faktor risiko lainnya, terutama kadar
17
kolesterol serum. The Coronary Drug Project Research Group meneliti 2.789
laki-laki berusia 30 sampai 64 tahun, menemukan bahwa hubungan antara
peningkatan risiko kardiovaskular dan peningkatan konsentrasi asam urat tidak
signifikan setelah mempertimbangkan faktor risiko lainnya. Temuan yang serupa
dikemukakan oleh Social Insurance Institution of Finland Study dan Framingham
Heart Study (Hsu, et al., 2013; Jie Dong, et al., 2014).
The Atherosclerosis Risk in Communities meneliti 11.488 laki-laki dan
perempuan sehat dan menunjukkan adanya hubungan antara konsentrasi asam urat
serum dan kejadian aterosklerosis arteri karotid dini, tetapi berkaitan dengan
faktor risiko lainnya. Honolulu Heart Program juga mendapatkan hasil dimana
peningkatan serum asam urat bukan merupakan faktor risiko independen dari hasil
otopsi aterosklerotik aorta atau koroner pada populasi Jepang (Waring, et al.,
2000; Hsu, et al., 2013).
Sebaliknya pada Atherosclerotic Risk in Communities (ARIC) dan
Framingham Heart Study, tidak ditemukan hubungan antara kadar asam uram
serum dan insiden penyakit kardiovaskular. Kesulitan untuk menilai peran asam
urat secara independen, terpisah dari faktor risiko tradisional lainnya dan
perbedaan metodologi yang digunakan pada studi-studi epidemiologi tersebut
mungkin merupakan penyebab perbedaan hasil untuk menilai hubungan antara
kadar asam urat serum dan penyakit kardiovaskular (Adriana, et al., 2010).
Dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak terdapat bukti yang
menunjukkan hubungan yang kuat antara peningkatan kadar asam urat serum dan
peningkatan risiko kardiovaskular dan outcome yang buruk, penelitian prospektif
18
pada populasi sering dikelirukan oleh adanya faktor risiko lainnya, sehingga
masih belum dapat dipastikan apakah kadar asam urat serum merupakan faktor
risiko yang independen terhadap outcome kardiovaskular yang buruk (Waring, et
al., 2000, Hsu, et al., 2013).
2.2.1 Asam Urat Sebagai Penanda Iskemik Subklinis
Adenosin dibuat dan dilepaskan oleh miosit kardia dan vaskular. Ikatan
dengan reseptor adenosin spesifik dapat menyebabkan relaksasi dari otot polos
vaskular dan vasodilatasi arteriolar. Mekanisme antagonis kompetitif pada
reseptor adenosin melalui methylxanthine, seperti teofilin, dapat mengurangi
respon aliran darah terhadap iskemia. Dalam kondisi hipoksia dan iskemia
jaringan, sintesis dan pelepasan adenosin meningkat dan menyebabkan
peningkatan jumlah adenosin dalam sirkulasi yang signifikan. Iskemia kardiak
dan viseral menyebabkan pembentukan adenosin sebagai mekanisme regulasi
untuk memperbaiki aliran darah dan menghambat iskemik. Adenosin yang
disintesis secara lokal oleh otot polos vaskular pada jaringan jantung dengan depat
didegradasi oleh endotelium menjadi asam urat, yang kemudian dikeluarkan ke
lumen vaskular karena pH intraselular yang rendah dan potensial membran yang
negatif. Aktivitas Xanthine Oxidase (XO) dan sintesis asam urat meningkat secara
in vivo dalam kondisi iskemia, sehingga peningkatan asam urat serum dapat
menjadi penanda iskemia jaringan. Pada sirkulasi koroner manusia, hipoksia yang
disebabkan oleh oklusi transien arteri koroner, menyebabkan peningkatan kadar
asam urat dalam sirkulasi lokal (Waring, et al, 2000).
19
Pada penelitian potong lintang, pasien yang didiagnosis dengan penyakit
jantung koroner memiliki kadar asam urat yang lebih tinggi. Namun beberapa
penelitian lainnya tidak menemukan hubungan yang bebas antara kadar asam urat
serum dan kejadian penyakit jantung koroner. Kadar asam urat serum juga
berhubungan dengan beratnya kalsifikasi arteri koroner pada pasien dengan
sindrom metabolik. Namun hal ini tidak ditemukan pada pasien tanpa sindrom
metabolik atau pada pasien dengan riwayat keluarga hipertensi. Pada beberapa
penelitian di populasi umum, peningkatan kadar asam urat berhubungan risiko
morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi. Sebaliknya,
kadar asam urat serum bukan merupakan prediktor independen kejadian
kardiovaskular pada penelitian Reykjavik. Pada penelitian Framingham, kadar
asam urat serum tidak berhubungan secara independen pada populasi perempuan.
Pada laki-laki, kadar asam urat serum berhubungan terbalik dengan kejadian
penyakit jantung koroner. Pada beberapa penelitian yang menyertakan hanya laki-
laki, kadar asam urat serum tidak berhubungan secara independen dengan
penyakit jantung koroner. Sebaliknya, pada penelitian besar dengan 28.613
perempuan usia lanjut (rerata usia 62,3 tahun) yang diikuti selama median 15,2
tahun, kadar asam urat serum berhubungan dengan peningkatan mortalitas
kardiovaskular. Pada sebuah meta analisis dari 16 penelitian prospektif pada
populasi umum (9.458 kasus penyakit jantung koroner, dan 155.084 kontrol),
peningkatan kadar asam urat berhubungan secara independen dengan kejadian
penyakit jantung koroner pada kedua jenis kelamin. Namun hal ini ditemukan
20
tidak signifikan pada 8 penelitian setelah disesuaikan dengan faktor perancu
lainnya (Tziomalos, et al., 2010).
Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat serum.
Selain itu, kadar asam urat serum juga berhubungan secara langsung dengan
derajat keparahan dari gagal jantung. Hal tersebut mungkin disebabkan karena
adanya aktivasi yang berlebihan dari XO pada sel-sel miokard yang mengalami
cidera dan berkurangnya ekskresi ginjal dari asam urat. Beberapa penelitian juga
menemukan hubungan yang independen pada besarnya risiko tranplantasi jantung
dan mortalitas pada pasien gagal jantung yang memiliki kadar asam urat serum
yang tinggi (Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al., 2013).
Pada penelitian in vitro, asam urat menstimulasi produksi dari kemokin
pro-inflamasi monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) dari otot polos
pembuluh darah tikus percobaan. Asam urat juga menginduksi produksi C-
reactive protein (CRP) dari otot polos pembuluh darah dan sel endotel. Pada
penelitian dengan hewan percobaan, pemberian asam urat dapat menstimulasi
sintesis dari tumor necrosis factor-α (TNF-α). Pada populasi umum, kadar asam
urat serum berkorelasi dengan tingginya kadar high sensitivity CRP (hs-CRP) dan
dengan kadar IL-6 dan TNF-α. Selain itu, sampel dengan kadar asam urat serum
yang tinggi memiliki risiko yang lebih tingi mengalami peningkatan kadar hs-
CRP dan IL-6 (Tziomalos, et al., 2010).
Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa asam urat juga
menstimulasi proliferasi dan migrasi Vascular Smooth Muscle Cells (VSMC)
21
tikus percobaan dan manusia. Plak aterosklerosis mengandung lebih banyak asam
urat dibandingkan dengan arteri normal (Tziomalos, et al., 2010).
Kadar asam urat serum berhubungan negatif dengan kekakuan arteri pada
orang dewasa sehat dan pada pasien stroke. Kekakuan arteri berhubungan dengan
tingginya riksiko vaskular. Namun demikian, percobaan dengan memberikan
infus asam urat tidak mempengaruhi elastisitas arterial. Asam urat berperan
penting sebagai antioksidan serum. Percobaan dengan memberikan asam urat
meningkatkan aktivitas antioksidan serum dan mengurangi intensitas stres fisik
yang disebabkan oleh oksidan. Namun penelitian in vitro menunjukkan bahwa
asam urat juga memiliki efek pro oksidan (Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al.,
2013).
2.2.2 Hubungan Kadar Asam Urat Serum dengan Faktor Risiko Vaskular
2.2.2.1 Asam Urat dan Hipertensi
Pada populasi umum, asam urat serum berkorelasi dengan tekanan darah
dan lebih tinggi pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan kadar asam urat
serum secara independen berhubungan dengan aterosklerosis arteri pada beberapa
penelitian pada pasien dengan hipertensi, tetapi hal ini tidak konsisten ditemukan
pada semua penelitian. Kadar asam urat serum berhubungan dengan peningkatan
risiko kejadian vaskular pada sampel laki-laki dan perempuan dengan hipertensi.
Pada peneliltian Losartan Intervention For Endpoint in Hypertension (LIFE),
kadar asam urat serum berhubungan dengan kejadian vaskular hanya pada wanita.
Pada penelitian Systolic Hypertension in Europe (Syst-Eur), kadar asam urat
serum tidak dapat memprediksikan kejadian vaskular pada kedua jenis kelamin.
22
Pada penelitian lainnya, hubungan antara kadar asam urat serum dan morbiditas
vaskular dan mortalitas berbentuk J pada kedua jenis kelamin. Asam urat juga
merupakan faktor risiko yang kuat untuk kejadian infark miokard dan stroke pada
sampel normotensi dan sampel hipertensi (Tziomalos, et al., 2010).
Data preklinis dan observasi menunjukkan bahwa asam urat dapat
berperan dalam berkembangnya hipertensi. Pada hewan percobaan, hiperurisemia
menyebabkan peningkatan tekanan darah. Beberapa penelitian prospektif
menunjukkan bahwa kadar asam urat serum yang lebih tinggi dapat
memprediksikan peningkatan tekanan darah dan timbulnya hipertensi pada sampel
yang normotensi. Dilaporkan bahwa kadar asam urat yang tinggi berhubungan
dengan peningkatan reabsorbsi natrium tubulus proksimal. Namun demikian,
sebuah penelitian pada laki-laki usia lanjut tidak menemukan korelasi antara kadar
asam urat serum dan kejadian hipertensi (Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al.,
2013).
Hubungan antara hipertensi arterial dan hiperurisemia adalah sangat umum
dijumpai. Pada 25-40% pasien dengan hipertensi yang tidak diterapi dan lebih dari
80% pasien dengan hipertensi maligna memiliki kadar asam urat serum yang
tinggi. Hiperurisemia lebih umum ditemukan pada hipertensi primer, terutama
pada pasien hipertensi dengan onset yang baru dan pada pre-hipertensi yang
mengalami mikroalbuminuria. Banyak mekanisme yang berperan dalam tingginya
kadar asam urat serum pada pasien hipertensi. Reabsorpsi urat pada tubulus
proksimal meningkat sebagai akibat dari berkurangnya aliran darah ke ginjal.
Penyakit mikrovaskular renal menyebabkan iskemia jaringan dan peningkatan
23
regulasi dari NO sehingga meningkatkan produksi asam urat serum. Reduksi
sekresi asam urat pada tubulus proksimal dan penggunaan diuretik dapat
meningkatkan kadar asam urat (Adriana, et al., 2010, Daria, et al., 2012).
Pada beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian eksperimental
mengindikasikan bahwa hiperurisemia dapat menginduksi hipertensi. Pada tikus
percobaan, kadar asam urat serum yang tinggi dapat menyebabkan hipertensi
setelah beberapa minggu. Hipertensi kemudian dapat menjadi normal setelah
kadar asam urat dinormalkan dengan alupurinol atau dengan oabt urikosurik
lainnya. Pada stadium awal, kadar asam urat yang tinggi menyebabkan
vasokontriksi renal melalui aktivasi Renin Angiotensin Aldosterone System
(RAAS), renal dan melalui berkurangnya NO akibat disfungsi endotel pada
makula densa. Pada stadium ini, hipertensi yang terjadi bersifat resisten terhadap
garam dan dapat diperbaiki dengan menurunkan kadar asam urat serum. Pada
stadium akhir hiperurisemia kronik menyebabkan proliferasi sel otot vaskular dan
aktivasi lokal dari RAAS melalui aktivasi mediator inflamasi. Penyakit
mikrovaskular renal pogresif disebabkan karena arteriosklerosis aferen dan
fibrosis interstisial. Perubahan histopatologik renal pada hiperurisemia kronik
serupa dengan yang terjadi pada hipertensi (Adriana, et al., 2010).
Beberapa penelitian menemukan bahwa hiperurisemia terjadi mendahului
dan berhubungan dengan perkembangan hipertensi. Pada Framingham Heart
Study, setiap peningkatan 1,3 mg/dL asam urat serum berhubungan dengan
terjadinya hipertensi dengan odd ratio 1,17. Pada Multiple Risk Factor
Intervention (MRFIT), laki-laki normotensi dengan kadar asam urat lebih dari 7
24
mg/dL meniliki risiko 80% lebih tinggi menderita hipertensi di kemudian hari.
Hubungan antara asam urat dan hipertensi lebih sering ditemukan pada usia muda.
Kadar asam urat yang tinggi ditemukan pada hampir 90% usia dewasa muda
dengan hipertensi primer dan kadar asam urat serum berkorelasi dengan hipertensi
sistolik maupun diastolik. Pada sebuah penelitian orang dewasa muda yang
mengalami hipertensi dan hiperurisemia, reduksi dari asam urat serum sampai
kurang dari 5 mg/dL dengan alupurinol dapat memperbaiki hipertensi pada 86%
pasien (Adriana, et al., 2010).
2.2.2.2 Asam Urat dan Penyakit Ginjal
PGK berhubungan dengan peningkatan risiko vaskular. Pada populasi
umum, kadar asam urat serum berhubungan dengan kadar kreatinin serum dan
berhubungan terbalik dengan estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR).
Kadar asam urat serum berhubungan dengan ekskresi albumin urin pada pasien
dengan diabetes tipe 2 dan pada beberapa penelitian, pada pasien dengan
hipertensi. Namun demikian, pada beberapa penelitian dengan pasien yang
mengalami hipertensi atau normotensi, kadar asam urat serum tidak berhubungan
dengan mikroalbuminuria (Tziomalos, et al., 2010; Jie Dong, et al., 2014).
Dikatakan bahwa asam urat dapat berhubungan dengan perburukan dari
PGK. Pada penelitian dengan hewan percobaan, hiperurisemia eksperimental
berhubungan dengan peningkatan proteinuria, perburukan fungsi ginjal,
glomerulosklerosis, fibrosis interstisial ginjal, dan vaskulopati preglomerular.
Peningkatan ekspresi renin ginjal sepertinya merupakan implikasi dari efek
samping hiperurisemia terhadap fungsi ginjal. Pada manusia, hiperurisemia juga
25
berhubungan dengan sistem renin angiotensin intrarenal yang teraktivasi.
Beberapa penelitian pada populasi umum menunjukkan hubungan antara kadar
asam urat serum dan peningkatan insiden pada PGK. Pada Cardiovascular Health
Study, kadar asam urat serum tidak dapat memprediksi insiden PGK tetapi secara
independen berhubungan dengan progresivitas dari PGK yang sudah terjadi
(Tziomalos, et al., 2010, Hsu, et al., 2013).
2.2.2.3 Asam Urat Penanda dari Resistensi Insulin
Sindrom resistensi insulin menyebabkan berkurangnya penggunaan
glukosa yang dimediasi oleh insulin sehingga menimbulkan peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular melalui beberapa jalur diantaranya melalui sistem saraf
simpatis. Peningkatan serum asam urat adalah gambaran konsisten dari sindrom
resistensi insulin, yang juga ditandai dengan peningkatan kadar insulin plasma
puasa maupun setelah pemberian karbohidrat. Kadar glukosa darah, kadar
trigliserida serum, peningkatan indeks massa tubuh, dan rasio pinggang-pinggul.
Insulin bekerja secara fisiologis pada tubulus renalis, menyebabkan berkurangnya
klirens dari natrium dan asam urat. Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin
pada ginjal tetap baik, sehingga saat kadar insulin dalam plasma meningkat
sebagai kompensasi dari resistensi, terjadi hiperurisemia. Hal ini yang menjadi
dasar peningkatan kadar asam urat serum dapat memprediksikan terjadinya
diabetes mellitus dan hipertensi, meski klirens kreatinin dan kadar glukosa plasma
masih normal (Tziomalos, et al., 2010).
Studi epidemiologi menemukan hubungan yang erat antara kadar asam
urat serum yang tinggi dengan peningkatan prevalensi sindrom metabolik dan
26
semua komponennya (intolerasi glukosa, resistensi insulin, obesitas abdomen,
dislipidemia atherogenik, dan hipertensi). Pada NHANES III, prevalensi dari
sindrom metabolik adalah 18,9% pada kadar asam urat serum kurang dari 6
mg/dL, dan meningkat menjadi 70,7% pada kadar asam urat serum lebih dari atau
sama dengan 10 mg/dL. Selain itu, hiperurisemia mungkin secara independen
dapat memprediksi perkembangan dari masing-masing komponen dari sindrom
metabolik (Adriana, et al., 2010, Daria, et al., 2012).
Peningkatan kadar asam urat serum yang diobservasi pada sindrom
metabolik terkait dengan hiperinsulinemia, karena insulin mengurangi eksresi
asam urat melalui ginjal. Pada penelitian dengan hewan, hiperurisemia dapat
menginduksi sindrom metabolik melalui dua mekanisme. Pertama, tingginya
kadar asam urat menghambat ketersediaan nabati dari Nitric Oxide (NO) endotel.
Insulin membutuhkan NO endotel untuk menstimulasi uptake glukosa oleh otot
skelet, karenanya hiperurisemia mungkin berperan dari patogenesis terjadinya
resistensi insulin. Kemudian, pada percobaan dengan hewan, hiperurisemia
menginduksi perubahan oksidatif dan inflamasi pada adiposit, dan menginduksi
sindrom metabolik pada tikus yang obese (Adriana, et al., 2010).
2.2.2.4 Efek Asam Urat Terhadap Fungsi Vaskular
Endotelium memegang peranan sentral dalam mempertahankan tonus
vaskular melalui sintesis dan pelepasan NO yang merupakan vasodilator poten.
Berkurangnya kadar NO berperan penting dalam terjadinya aterosklerosis.
Disfungsi endotel dan gangguan vasodilatasi terkait dengan endotelium dapat
disebabkan oleh karena aktivitas radikal bebas yang berlebihan, yang
27
mengganggu sisntesis dan mempercepat degradasi NO. Karenanya, peningkatan
stres oksidatif berperan penting terhadap perkembangan dan progresivitas
aterosklerosis dan hal ini berkaitan dengan beberapa faktor risiko mayor seperti
diabetes mellitus, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan merokok. Kadar asam urat
serum memiliki aktivitas antioksidan (60% dari aktivitas antioksidan dalam serum
manusia). Asam urat berinteraksi dengan peroxynitrite dan membentuk donor NO
yang stabil, sehingga menginduksi vasodilatasi dan mengurangi kerusakan
oksidatif akibat peroxynitrite (Tziomalos, et al., 2010, Daria, et al., 2012).
Namun demikian, asam urat juga diketahui menyebabkan oksidasi Low
Density Lipoprotein (LDL) secara in vitro, sebuah tahap penting dalam terjadinya
aterosklerosis, dan efek ini dihambat oleh vitamin C. Asam urat juga dapat
menstimulasi perelengketan granulosit ke endotelium, dan liberasi radikal bebas
peroksida dan superoksida. Peningkatan konsentrasi asam urat juga berhubungan
secaa konstan dengan penanda inflamasi lainnya. Asam urat dapat melewati sel
endotel yang mengalami kerusakan dan berakumulasi sebagai kristal dalam plak
aterosklerosis. Kristal ini berperan menyebabkan inflamasi lokal dan progresivitas
plak, dan diperkirakan bahwa akumulasi kristal akan terjadi lebih hebat pada
kadar asam urat yang lebih tinggi (Tziomalos, et al., 2010).
Meskipun asam urat berkontribusi secara signifikan sebagai antioksidan
dalam serum, asam urat juga dapat menyebabkan kerusakan vaskular baik secara
langsung maupun tidak langsung. Perlu diketahui bahwa terapi pasien gagal
jantung kronik dengan alupurinol (sebuah penghambat xantin oksidase) untuk
memperbaiki fungsi endotel. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan
28
kapasitas antioksidan serum, namun efek terkait dengan asam urat masih belum
diteliti (Tziomalos, et al., 2010).
Hubungan patofisiologi antara peningkatan kadar asam urat serum dan
aterosklerosis adalah terkait dengan disfungsi endotel dan inflamasi. Reactive
Oxygen Species (ROS) yang diproduksi oleh xantin oksidase dapat menyebabkan
disfungsi endotel dengan mengurangi ketersediaan nabati dari NO. Asam urat
serum, sebagai salah satu antioksidan dapat menghambat pembentukan ROS. Juga
terdapat bukti pada penelitian hewan bahwa kadar asam urat serum yang tinggi
mengganggu vasodilatasi yang terkait endotel. Hubungan yang independen antara
kadar asam urat serum dan C Reactive Protein (CRP) dan penanda inflamasi
lainnya (neutrofil darah, interleukin, TNF-α) juga telah dibuktikan. Peningkatan
kadar asam urat serum dan kejadian aterosklerosis subklinis telah dibuktikan
(Adriana, et al., 2010).
Hubungan antara kadar asam urat serum dan penyakit arteri koroner dan
penyakit serebrovaskular telah diteliti pada banyak penelitian. Pada penelitian
NHANES I, ARIC, dan Rotterdam, kadar asam urat serum yang tinggi
meningkatkan risiko terjadinya stroke. Pada NHANES I, terdapat 48%
peningkatan dari stroke iskemia pada perempuan untuk setiap 1,01 mg/dL
peningkatan kadar asam urat serum. Pada penelitian ARIC, terdapat hubungan
yang independen dan hubungan yang positif antara kejadian stroke iskemik dan
kadar asam urat serum (Adriana, et al., 2010, Daria, et al., 2012).
Kadar asam urat serum sebagai salah satu faktor risiko terhadap
perkembangan penyakit arteri koroner masih kotroversial. Pada penelitian
29
MRFIT, hiperurisemia dan gout memiliki hubungan yang independent terhadap
risiko terjadinya infark miokard setelah disesuaikan dengan faktor risiko lain.
Pada penelitian Apolipoprotein Mortality Risk Study (AMORIS), peningkatan
yang bermakna dari kadar asam urat serum berhubungan dengan peningkatan
insiden miokard infark, stroke, dan gagal jantung pada subyek tanpa penyakit
kardiovaskular sebelumnya. Penelitian lainnya (ARIC, Framingham,dan Austrian
Study) tidak menemukan hubungan yang independen antara kadar asam urat
serum dan peningkatan risiko penyakit arteri koroner (Adriana, et al., 2010).
2.2.2.5 Asam Urat Serum dan Gagal Jantung
Hiperurisemia adalah suatu kondisi umum dtemukan pada gagal jantung
kronik. Prevalensinya meningkat seiring dengan progresivitas penyakit. Pada
sebuah penelitian potong lintang, didapatkan data 51% pasien dengan gagal
jantung kronik mengalami hiperurisemia. Kadar asam urat serum lebih tinggi pada
pasien dengan stadium akhir gagal jantung kronik dan pada pasien yang
mengalami cachexia. Kadar asam urat serum berhubungan terbalik dengan kelas
fungsional NYHA dan konsumsi oksigen maksimal dan berhubungan secara
signifikan dengan keparahan fungsi diastolik (Adriana, et al., 2010).
Hiperursemia juga merupakan penanda prognostik gagal jantung akut dan
kronik. Pada sebuah penelitian validasi kadar asam urat serum merupakan
prediktor yang kuat pada harapan hidup untuk pasien dengan gagal jantung kronik
berat (NYHA kelas III atau IV) pada pasien dengan kadar asam urat serum (>9,5
mg/dL), dengan risiko relatif kematian 7,4. Pada penelitian dengan gagal jantung
akut dan disfungsi sistolik dengan kadar asam urat yang tinggi berhubungan
30
dengan risiko kematian yang lebih tinggi dan kejadian rawat inap berulang.
Hiperurisemia juga merupakan prediktor yang indepanden dari kematian oleh
berbagai sebab pada pasien yang dirawat karena gagal jantung akut (Adriana, et
al., 2010).
Saat ini hiperurisemia berhubungan dengan gagal jantung pada komunitas
dewasa. Pada Cardiovascular Health Study, insiden dari gagal jantung terjadi
pada 21% partisipan dengan hiperurisemia dan 18% pada partisipan tanpa
hiperurisemia. Untuk setiap 1 mg/dL peningkatan kadar asam urat serum
berhubungan dengan 12% peningkatan insiden gagal jantung. Pada penelitian
potong lintang Framingham Offspring, insiden dari gagal jantung adalah 6 kali
lipat di antara pasien dengan kadar asam urat tinggi (>6.3 mg/dL) dibandingkan
dengan kadar asam urat serum yang rendah (<3,4 mg/dL). Hiperurisemia dapat
merupakan faktor risiko yang independen terhadap terjadinya gagal jantung
(Adriana, et al., 2010).
Ada beberapa mekanisme yang terkait dalam gagal jantung yang diinduksi
oleh hiperurisemia. Peningkatan produksi asam urat serum dapat disebabkan
karena peningkatan substrat NO (pemecahan ATP menjadi adenosin dan
hipoxantin) dan peningkatan regulasi dan peningkatan aktivitas XO. Setelah
dilepaskan dari jaringan nekrotik, asam urat dapat menyebabkan efek samping
pada sistem kardiovaskular dan dapat memediasi respon imun. Pada gagal
jantung, hiperurisemia adalah penanda dari aktivasi XO (Adriana, et al., 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan reduksi dari kadar asam urat serum
dapat berhubungan dengan penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
31
Pada penelitian LIFE,penurunan kadar asam urat serum akibat pemberian
Losartan berhubungan dengan reduksi 29% outcome penelitian (kematian
kardiovaskular, miokard infark fatal dan non fatal, serta stroke fatal dan non fatal).
Allopurinol dan oxipurinol adalah penghambat XO yang digunakan sebagai terapi
hiperurisemia. Berkurangnya kadar asam urat serum pada hipertensi dengan
menggunakan penghambat XO menurunkan tekanan darah pada orang usia muda
dengan hipertensi awitan awal. Penelitian lain menunjukkan adanya peran
penghambat XO pada gagal jantung. Pada gagal jantung kronik allupurinol
memperbaiki disfungsi endotel, kapasitas vasodilatasi perifer dan energi
miokardium dengan menurunkan penanda stres oksidatif. Pada penelitian
Oxypurinol Therapy for Congestive Heart Failure (OPT-CHF) oxypurinol
meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan memperbaiki klinis dari pasien gagal
jantung kronik pada pasien dengan kadar asam urat serum yang tinggi (Adriana, et
al., 2010).
2.2.3 Paradoksikal Asam Urat
Asam urat memiliki beberapa fungsi biologi dapat menguntungkan atau
bahkan merugikan. Asam urat serum adalah antioksidan yang sangat kuat dan
melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas bersama dengan asam
askorbat. Asam urat serum bereaksi dengan berbagai oksidan dan mencegah
pembentukan peroksinitrit dan inaktivasi nitrit oksida melalui anion superoksida.
Pada pasien dengan hiperurisemia, kapasitas total antioksidan plasma meningkat.
Hal ini menimbulkan sugesti bahwa hiperurisemia dapat merupakan mekanisme
32
kompensasi untuk mengatasi kerusakan akibat stres oksidatif berkaitan dengan
aterosklerosis (Adriana, et al., 2010).
Paradoks ini termasuk fakta tingginya kadar asam urat serum, yang
memiliki aktivitas antioksidan tinggi, pada peningkatan risiko kardiovaskular.
Beberapa teori juga mengemukakan kemungkinan perubahan potensi asam urat
yang merupakan antioksidan pada kadar rendah, menjadi pro-oksidan pada kadar
yang tinggi. Kadar asam urat serum yang berlebih dapat menyebabkan disfungsi
endotel, proliferasi dari otot polos pembuluh darah, meningkatkan adhesi platelet,
oksidasi dari kolesterol LDL, dan peroksidasi lipid. Seluruh proses patologis ini
dapat menyebabkan aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular (Adriana, et al.,
2010).
2.3 Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Kriteria PGK :
1. Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
manifestasi klinis dan kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan pada
pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal (penurunan
LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
33
2. Penurunan LFG < 60 mL/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney Foundation,
2002).
Umumnya PGK disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik difus dan menahun.
Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan PGK.
Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif dapat menyebabakan
kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan PGK (Sukandar, 2006). Menurut
data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada
tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut:
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi derajat penyakit,
dikelompokkan atas penurunan faal ginjal berdasarkan LFG sesuai rekomendasi
NKF-KDOQI:
Tabel 2.1
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (National Kidney Foundation, 2002)
34
2.3.1 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PGK terbagi menjadi penatalaksanaan konservatif dan
terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah
memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2006).
Perencanaan tatalaksana PGK sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat di
tabel berikut :
Tabel 2.2
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
(KDOQI,2000)
35
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien PGK. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006).
2.3.2 Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 mL/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
36
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang
umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal (Rahardjo, 2006).
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) kini menjadi semakin
populer di pusat pengembangan penyakit ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
PGK dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik yang
disertai berbagai komorbiditas dan komortalitas. Indikasi non-medik, yaitu
keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan secara
mandiri, dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Menurut (Sukandar, 2006) pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk
mencegah reaksi penolakan.
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
37
2.4 Hemodialisis
2.4.1 Definisi
Hemodialisis merupakan suatu tindakan medik terapi pengganti ginjal
dengan menggunakan selaput membran semi permiabel (dialiser), yang berfungsi
seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa pada pasien
PGK (Black, 2005). Hemodialisis perlu dilakukan untuk menggantikan fungsi
ekskresi ginjal sehingga tidak terjadi gejala uremia yang lebih berat. Pada pasien
dengan fungsi ginjal yang minimal, hemodialisis dilakukan untuk mencegah
komplikasi membahayakan yang dapat menyebabkan kematian (Pernefri, 2003).
2.4.2 Indikasi Hemodialisis
Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyebutkan bahwa indikasi
dilakukan tindakan dialisis adalah pasien PGK dengan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) <15 mL/menit, pasien dengan Tes Klirens Kreatinin (TKK)/LFG <10
mL/menit dengan gejala uremia, atau TKK/LFG <5 mL/menit walau tanpa gejala.
Pada TKK/LFG <5 mL/menit, fungsi ekskresi ginjal sudah minimal sehingga
mengakibatkan akumulasi zat toksik dalam darah dan komplikasi yang
membahayakan bila tidak dilakukan tindakan dialisis segera.
2.4.3 Komponen Hemodialisis
a. Mesin hemodialisis
Mesin hemodialisis merupakan mesin yang dibuat dengan sistem komputerisasi
yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting untuk mencapai
adekuasi hemodialisis.
38
b. Dialiser
Merupakan komponen penting yang merupakan unit fungsional dan memiliki
fungsi seperti nefron ginjal. Berbentuk seperti tabung yang terdiri dari 2 ruang
yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh
membran semi permeabel. Di dalam dialiser cairan dan molekul dapat berpindah
dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser yang mempunyai
permebilitas yang baik mempunyai kemampuan yang tinggi dalam membuang
kelebihan cairan, sehingga akan menghasilkan bersihan yang lebih optimal
(Black, 2005).
c. Dialisat
Merupakan cairan yang komposisinya seperti plasma normal dan terdiri dari air
dan elektrolit, yang dialirkan ke dalam dialiser. Dialisat digunakan untuk
membuat perbedaan konsentrasi yang mendukung difusi dalam proses
hemodialisis. Dialisat merupakan campuran antara larutan elektrolit, bikarbonat,
dan air yang berperan untuk mencegah asidosis dengan menyeimbangkan kadar
asam basa. Untuk mengalirkan dialisat menuju dan keluar dari dialiser
memerlukan kecepatan aliran dialisat yang disebut Quick of Dialysate (Qd).
Untuk mencapai hemodialisis yang adekuat Qd yang disarankan adalah 400-800
mL/menit (Daugirdas, 2007).
d. Akses vaskular
Akses vaskular merupakan jalan untuk memudahkan pengeluaran darah dalam
proses hemodialisis untuk kemudian dimasukkan lagi ke dalam tubuh pasien.
Akses yang adekuat akan memudahkan dalam melakukan penusukan dan
39
memungkinkan aliran darah sebanyak 200-300 mL/menit untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Akses vaskular dapat berupa kanula atau kateter yang
dimasukkan ke dalam lumen pembuluh darah seperti sub klavia, jugularis, atau
femoralis. Akses juga dapat berupa pembuluh darah buatan yang menyambungkan
vena dengan arteri yang disebut Arterio Venosus Fistula/Cimino (Pernefri, 2003;
Daugirdas,2007).
e. Quick of blood (Qb)
Qb adalah banyaknya darah yang dapat dialirkan dalam satuan menit dan
merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi bersihan ureum. Peningkatan Qb
akan mengakibatkan peningkatan jumlah ureum yang dikeluarkan sehingga
bersihan ureum juga meningkat. Dasar pengaturan kecepatan aliran (Qb) rata-rata
adalah 4 kali berat badan pasien. Qb yang disarankan untuk pasien yang menjalani
hemodialisis selama 4 jam adalah 250-400 mL/menit. Ketidak tepatan dalam
pengaturan dan pemantauan Qb akan menyebabkan tindakan hemodialisis yang
dilakukan menjadi kurang efektif (Daugirdas, 2007; Gatot, 2003).
2.4.4 Proses Hemodialisis
Proses hemodialisis dimulai dengan pemasangan kanula inlet ke dalam
pembuluh darah arteri dan kanula outlet ke dalam pembuluh darah vena, melalui
fistula arteriovenosa (Cimino) yang telah dibuat melalui proses pembedahan.
Sebelum darah sampai ke dialiser, diberikan injeksi heparin untuk mencegah
terjadinya pembekuan darah. Darah akan tertarik oleh pompa darah (blood pump)
melalui kanula inlet arteri ke dialiser dan akan mengisi kompartemen 1 (darah).
40
Sedangkan cairan dialisat akan dialirkan oleh mesin dialisis untuk mengisi
kompartemen 2 (dialisat).
Setelah terjadi proses hemodialisis di dalam dialiser, maka darah akan
dikembalikan ke dalam tubuh melalui kanula outlet vena. Sedangkan cairan
dialisat yang telah berisi zat toksin yang tertarik dari darah pasien akan dibuang
oleh mesin dialisis oleh cairan pembuang yang disebut ultrafiltrat. Semakin
banyak zat toksik atau cairan tubuh yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang
dicapai selama hemodialisis akan semakin optimal (Depkes, 1999; Black, 2005).
2.4.5 Adekuasi Hemodialisis
Adekuasi hemodialisis merupakan kecukupan dosis hemodialisis yang
direkomendasikan untuk mendapatkan hasil yang adekuat pada pasien PGK yang
menjalani hemodialisis (NKF-K/DOQI, 2000).
Pencapaian adekuasi hemodialisis diperlukan untuk menilai efektivitas
tindakan hemodialisis yang dilakukan. Hemodialisis yang adekuat akan
memberikan manfaat yang besar dan memungkinkan pasien PGK tetap bisa
menjalani aktivitasnya seperti biasa. Terdapat hubungan yang kuat antara
adekuasi hemodialisis dengan morbiditas dan mortalitas pasien PGK. Pourfarziani
et al (2008) telah meneliti adekuasi 338 pasien hemodialisis di Iran, dan dari hasil
penelitian disimpulkan bahwa bersihan urea yang tidak optimal pada hemodialisis
yang tidak adekuat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien
hemodialisis. Hemodialisis yang tidak adekuat juga dapat mengakibatkan
kerugian material dan menurunnya produktivitas pasien hemodialisis.
41
Hemodialisis yang tidak adekuat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti bersihan ureum yang tidak optimal, waktu dialisis yang kurang, dan
kesalahan dalam pemeriksaan laboratorium (ureum darah). Fink (2001)
mengemukakan bahwa adekuasi dipengaruhi oleh tipe akses vaskular, blood flow
(Qb), dialyzer urea clearance, dan waktu dialisis. Li (2000) mengemukakan hasil
penelitiannya bahwa adekuasi hemodialisis dipengaruhi oleh tipe akses vaskular,
jenis membran dialisis, blood flow (Qb), dan dialyzer clearance. Dewi (2010)
dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara Quick of blood (Qb) dengan adekuasi hemodialisis (p = 0,225).
Penelitian ini juga menyebutkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia,
jenis kelamin, dan pendidikan terhadap adekuasi hemodialisis.
Untuk mencapai adekuasi hemodialisis, maka besarnya dosis yang
diberikan harus memperhatikan hal-hal berikut :(Pernefri, 2003; Daugirdas, 2007)
a. Time of Dialysis
Adalah lama waktu pelaksanaan hemodialisis yang idealnya 10-12 jam
perminggu. Bila hemodialisis dilakukan 2 kali/minggu maka lama waktu tiap kali
hemodialisis adalah 5-6 jam, sedangkan bila dilakukan 3 kali/minggu maka waktu
tiap kali hemodialisis adalah 4-5 jam. Lama waktu hemodialisis sangat penting
dalam usaha untuk mencapai adekuasi hemodialisis. Semakin panjang
durasi/waktu sesi hemodialisis akan makin mengoptimalkan bersihan ureum
sehingga adekuasi dapat tercapai dan kualitas hidup pasien meningkat. Nilai Kt/V
yang rendah dapat disebabkan karena jumlah mesin yang tidak memadai dan
durasi hemodialisis yang <4 jam (Gatot, 2003).
42
b. Interdialytic Time
Adalah waktu interval atau frekuensi pelaksanaan hemodialisis yang
berkisar antara 2 kali/minggu atau 3 kali/minggu. Idealnya hemodialisis dilakukan
3 kali/minggu dengan durasi 4-5 jam setiap sesi, akan tetapi di Indonesia
dilakukan 2 kali/minggu dengan durasi 4-5 jam, dengan pertimbangan bahwa PT
ASKES hanya mampu menanggung biaya hemodialisis 2 kali/minggu (Gatot,
2003).
c. Quick of Blood (Blood flow)
Adalah besarnya aliran darah yang dialirkan ke dalam dialiser yang
besarnya antara 200-600 mL/menit dengan cara mengaturnya pada mesin dialisis.
Pengaturan Qb 200 mL/menit akan memperoleh bersihan ureum 150 mL/menit,
dan peningkatan Qb sampai 400mL/menit akan meningkatkan bersihan ureum
200 ml/menit. Kecepatan aliran darah (Qb) rata-rata adalah 4 kali berat badan
pasien, ditingkatkan secara bertahap selama hemodialisis dan dimonitor setiap
jam. Penelitian pada 36 pasien hemodialisis yang ditingkatkan Qb-nya 15% pada
pasien dengan berat badan <65 kg dan 20% pada pasien dengan berat badan >65
kg. Hasilnya menunjukkan bahwa peningkatan Qb 15-20% secara bertahap dapat
meningkatkan adekuasi hemodialisis.
Peningkatan Qb dapat meningkatkan pencapaian adekuasi hemodialisis,
yang telah dibuktikan oleh Borzou (2009) yang meneliti 42 pasien hemodialisis
yang dibagi menjadi 2 kelompok dengan pengaturan Qb yang berbeda, yaitu 200
mL/menit dan 250 mL/menit. Hasilnya pada pasien dengan Qb 200 mL/menit
sebanyak 16,7% pasien mencapai Kt/V >1,3 dan URR >65%, sedangkan pada
43
pasien dengan Qb 250 mL/menit sebanyak 26,2% pasien mencapai Kt/V >1,3 dan
URR >65%. Penelitian Gatot (2003) menyebutkan bahwa salah satu faktor
penting dalam proses hemodialisis adalah pengaturan dan pemantauan Qb Hal itu
menunjukkan bahwa peningkatan Qb dapat meningkatkan pencapaian adekuasi
hemodialisis.
d. Quick of Dialysate (Dialysate flow)
Adalah besarnya aliran dialisat yang menuju dan keluar dari dialiser yang
dapat mempengaruhi tingkat bersihan yang dicapai, sehingga perlu di atur sebesar
400-800 mL/menit dan biasanya sudah disesuaikan dengan jenis atau merk mesin.
Daugirdas (2007) menyebutkan bahwa pencapaian bersihan ureum yang optimal
dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran darah (Qb), kecepatan aliran dialisat
(Qd), dan koefisien luas permukaan dialiser.
e. Clearance of dialyzer
Klirens menggambarkan kemampuan dialiser untuk membersihkan darah
dari cairan dan zat terlarut, dan besarnya klirens dipengaruhi oleh bahan, tebal,
dan luasnya membran. Luas membran berkisar antara 0,8-2,2 m². KoA merupakan
koefisien luas permukaan transfer yang menunjukkan kemampuan untuk
penjernihan ureum. Untuk mencapai adekuasi diperlukan KoA yang tinggi yang
diimbangi dengan Qb yang tinggi pula antara 300-400 mL/menit (Daugirdas,
2007).
f. Tipe akses vaskular
Akses vaskular cimino (Arterio Venous Shunt) merupakan akses yang
paling direkomendasikan bagi pasien hemodialisis. Akses vaskular cimino yang
44
berfungsi dengan baik akan berpengaruh pada adekuasi dialisis. Wasse (2007)
menyatakan adanya hubungan antara akses vaskular dengan adekuasi hemodialisis
dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis.
g. Tekanan transmembran
Adalah besarnya perbedaan tekanan hidrostatik antara kompartemen
dialisis (Pd) dan kompartemen darah (Pb) yang diperlukan agar terjadi proses
ultrafiltrasi. Nilainya tidak boleh kurang dari -50 dan Pb harus lebih besar
daripada Pd serta dapat dihitung secara manual dengan rumus :
TMP = (Pb – Pd) mmHg
Hemodialisis dinilai adekuat bila mencapai hasil sesuai dosis yang
direncanakan. Untuk itu, sebelum hemodialisis dilaksanakan harus dibuat suatu
peresepan untuk merencanakan dosis hemodialisis, dan selanjutnya dibandingkan
dengan hasil hemodialisis yang telah dilakukan untuk menilai keadekuatannya.
Adekuasi hemodialisis diukur secara kuantitatif dengan menghitung Kt/V yang
merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu hemodialisis dengan volume
distribusi urea dalam cairan tubuh pasien (Eknoyan, 2000 ; Owen, 2000 ; Cronin,
2001; Jindal, 2006).
Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa di Indonesia
adekuasi hemodialisis dapat dicapai dengan jumlah dosis hemodialisis 10-15 jam
perminggu. Pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali/minggu diberi target Kt/V
1,2, sedangkan pasien yang menjalani hemodialisis 2 kali/minggu diberi target
Kt/V 1,8. K/DOQI (2006) merekomendasikan bahwa Kt/V untuk setiap
45
pelaksanaan hemodialisis adalah minimal 1,2 dengan target adekuasi 1,4.
Penghitungan Kt/V dapat dilakukan dengan menggunakan rumus
NKF-KDOQI sebagai berikut :
Kt/V = -ln (R–0,008t) + (4–3,5R) (BB pre dialisis – BB post dialisis)/BB post
dialisis
Keterangan :
K : Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam mL/menit
Ln : Logaritma natural
R : Ureum post dialisis/Ureum pre dialisis
t : lama dialisis (jam)
V : volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65% BB/berat badan dan wanita
55% BB/berat badan)
Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa adekuasi
hemodialisis diukur secara berkala setiap bulan sekali atau minimal setiap 6 bulan
sekali. Secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat bila keadaan umum pasien
dalam keadaan baik, merasa lebih nyaman, tidak ada manifestasi uremia dan usia
hidup pasien semakin panjang. (Black, 2005).
2.5 Hiperurisemia pada Penyakit Ginjal Kronik
2.5.1 Metabolisme Asam Urat pada PGK dan Hemodialisis
Peningkatan kejadian kardiovaskular telah secara luas didokumentasikan
pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, yang mencakup
populasi pasien dengan peritoneal dialisis dan hemodialisis. Kejadian
kardiovaskular masih menyumbangkan 40%mortalitas per tahun pada pasien
46
dialisis. Meskipun banyak faktor risiko, yang dikategorikan menjadi faktor risiko
tradisional telah dipublikasikan pada beberapa tahun belakangan ini, serial meta
analisis yang dilakukan belum mampu mendemonstrasikan efek yang signifikan
dari modifikasi beberapa faktor risiko seperti hiperlipidemia,
hiperhomosisteinemia, stres oksidatif, dan hiperfosfatemia pada hasil akhir dari
pasien pada kelompok dengan risiko tinggi ini. Karenanya menemukan faktor
risiko yang baru dan dapat dimodifikasi untuk kejadian kematian oleh semua
akibat dan akibat kardiovaskular sangat penting (Dong, et al., 2014; Busuioc, et
al., 2007; Cirillo, et al., 2006).
Asam urat adalah salah satu faktor risiko baru yang menjadi perhatian
pada tahun-tahun ini. Pada populasi umum, beberapa penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa asam urat berhubungan erat dengan hipertensi, penyakit
arteri koroner dan PGK. Asam urat tinggi juga dapat secara independen
memprediksi kejadian kardiovaskular dan mortalitas pada pasien dengan penyakit
kronik termasuk pada pasien PGK. Untuk populasi dialisis, beberapa penelitian
menemukan hubungan yang tidak konsisten antara asam urat dan hubungannya
dengan mortalitas yang bervariasi dari tidak berhubungan atau hubungan
berbentuk J terhadap mortalitas oleh semua sebab dan oleh sebab kardiovaskular.
Tidak ada data yang spesifik pada populasi pasien yang menjalani peritoneal
dialisis (Dong, et al., 2014; Short dan Tuttle, 2005).
Keseimbangan antara produksi asam urat dan ekskresinya menentukan
kadar asam urat serum. Ginjal bertanggung jawab terhadap ekskresi dari
duapertiga kadar asam urat setiap hari dan sepertiga lainnya diekresikan melalui
47
traktus gastrointestinal. Lebih dari 90% dari seluruh kasus hiperurisemia terjadi
akibat gangguan dari ekskresi asam urat oleh ginjal (Cain, et al., 2010). Prevalensi
dari hiperurisemia meningkat secara paralel dengan penurunan laju filtrasi
glomerulus, sehingga kejadian hiperurisemia dapat ditemukan pada 40-60%
pasien PGK stadium 1 sampai 3, dan 70% pada pasien PGK stadium 4 dan 5.
Pada pasien yang menjalani hemodialisis, prevalensi hiperurisemia juga
meningkat paralel seiring dengan lamanya menjalani hemodialisis. Berdasarkan
beberapa penelitian epidemiologi, rata-rata kadar asam urat serum berkisar antara
5,2 sampai 6,9 mg/dL pada pasien PGK stadium 1 sampai 3 (rerata 5,9 mg/dL),
5,9 sampai 7,8 mg/dL pada pasien PGK stadium 4 dan 5 (rerata 6,8 mg/dL), dan
6,7 sampai 8,6 mg/dL pada pasien yang menjalani dialisis (rerata 7,6 mg/dL).
Kadar asam urat serum pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan pasien
yang menjalani peritoneal dialisis (PD) adalah sama. Kurang dari 5% pasien yang
menjalani hemodialisis memiliki kadar asam urat serum<5,5 mg/dL dan hampir
20% dengan kadar asam urat serum>8,5 mg/dL. Pasien Asia yang menjalani
hemodialisis memiliki kadar asam urat serum yang lebih tinggi (rerata 8,4 mg/dL)
dibandingkan dengan pasien dari Amerika atau Eropa (rerata 8,1 mg/dL)
(Mariana,2012; Satirapoj, et al., 2010; Hag, et al., 2010).
Hiperurisemia umum ditemukan pada penyakit ginjal karena berkurangnya
klirens asam urat. Meskipun demikian, peran hiperurisemia terhadap progresivitas
penyakit ginjal masih diperdebatkan. Awalnya kondisi hiperurisemia ini diduga
sebagai penanda dari kerusakan ginjal dan secara sekunder sebagai faktor risiko
independen terhadap perburukan penyakit ginjal dan progresivitasnya. Dari
48
beberapa penelitian terakhir, asam urat juga memiliki kontribusi terhadap penyakit
kardiovaskular (Filiopoulos, et al., 2011; Busuioc, et al., 2007).
Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya hiperurisemia pada pasien
PGK, diantaranya adalah hilangnya filtrasi asam urat sebagai akibat dari
berkurangnya laju filtrasi glomerulus, penurunan sekresi tubular asam urat karena
penyakit tubulointerstisial, dan terapi dengan diuretik. Peningkatan kadar asam
urat sudah mulai terlihat pada stadium awal PGK (laju filtrasi glomerulus antara
90-100 mL/min) (Mariana, 2012; Feng, et al., 2013; Malinda dan Bonnie, 2008).
2.5.2 Asam Urat dan Klirens pada Dialisis
Asam urat memiliki berat molekul yang kecil (168 Da) yang bersifat
sangat hidrofilik dan memiliki konstan difusi yang tinggi antara kompartemen
intraselular dan ekstraselular. Lebih dari 95% asam urat tidak berikatan dengan
albumin. Klirens asam urat dengan hemodialisis hampir sama dengan klirens urea,
yaitu mendekati 70% sampai 80% ekstraksi. Klirens yang terjadi adalah sama
pada hemodialiser yang low-flux maupun yang high-flux (Cain, et al., 2010;
Satirapoj, et al., 2010).
Pada setiap sesi hemodialisis, kadar asam urat serum berkurang antara 1,1
dan 2,4 mg/dL. Kadar peningkatan kembali (rebound) asam urat setelah
hemodialisis belum dapat dievaluasi. Dibandingkan dengan hemodialisis standar
(3x4 jam per sesi per minggu), hemodialisis yang dilakukan setiap hari dengan
waktu singkat (6x2 jam per sesi per minggu) memiliki 10% reduksi pada kadar
asam urat predialisis. Pada pasien yang menerima dialisis, hiperurisemia
berhubungan dengan adanya hipertensi predialisis dan tidak berhubungan dengan
49
volume, nutrisi, dan berat badan dari pasien pediatri (Feng, 2013; Kang, et al.,
2002).
2.5.3 Asam Urat dan Risiko Mortalitas pada Hemodialisis
Serupa dengan hasil yang ditemukan pada populasi umum, bukti terhadap
hubungan asam urat dengan kejadian kardiovaskular dan mortalitas pada pasien
dengan penyakit ginjal masih menjadi kontroversi. Pada pasien dengan PGK,
asam urat menunjukkan gambaran yang linear atau berbentuk J dalam
hubungannya dengan mortalitas oleh semua sebab atau oleh akibat
kardiovaskular, meskipun pada beberapa penelitian hubungan ini tidak
menunjukkan signifikansi atau tidak berhubungan setelah disesuaikan dengan
kadar proteinuria atau laju filtrasi glomerulus. Pada populasi dialisis, penelitian
menunjukkan hasil yang berbeda, dari hubungan berbentuk J sampai hubungan
terbalik antara kadar asam urat dan mortalitas. Namun demikian, hubungan
terbalik antara kadar asam urat yang tinggi dengan rendahnya angka kematian
oleh semua sebab dan akibat kardiovaskular pada populasi dialisis diperkirakan
berhubungan dengan status nutrisi yang lebih baik pada pasien hemodialisis
dengan kadar asam urat yang lebih tinggi (Feng, et al., 2013).
Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada populasi
pasien hemodialisis. Tingginya insiden dan prevalen penyakit kardiovaskular pada
pasien yang menjalani hemodialisis berhubungan dengan tekanan darah tinggi,
gangguan metabolisme lipid, stres oksidatif, mikroinflamasi,
hiperhomosisteinemia, anemia, hiperparatiroidisme sekunder, dan aliran pintas
vaskular sebagai akses hemodialisis sebagai faktor risiko. Angka mortalitas
50
tahunan oleh sebab kardiovaskular pada pasien adalah 9% dengan hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung iskemik, dan gagal jantung kongestif sebagai
penyebab yang sering ditemukan (Petrovic, et al., 2011).
Pasien yang menjalani hemodialisis juga berisiko tinggi mengalami
kematian jantung mendadak karena hipertrofi ventrikel kiri, gangguan sirkulasi
koroner, berkurangnya cadangan pembuluh darah koroner, peningkatan aktivitas
simpatik dan konsentrasi angiotensin II plasma, dan perubahan elektrolit yang
cepat selama dialisis (kalium, kalsium, dan magnesium) (Petrovic, et al., 2011;
Busuioc, et al., 2007).
Selain angka mortalitas, morbiditas kardiovaskular pada pasien yang
menjalani dialisis juga memiliki prevalensi yang tinggi. Rata-rata 75% pasien
mengalami hipertrofi ventrikel kiri yang ditentukan lewat echocardiography.
Rata-rata prevalensi dari penyakit arteri koroner atau gagal jantung kongestif pada
pasien yang menjalani dialisis adalah 40%. Tingginya risiko morbiditas dan
mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis berhubungan dengan tinggi
prevalensi dari faktor risiko yang sudah diketahui sebelumnya untuk penyakit
kardiovaskular pada populasi umum (hipertensi, diabetes, dan dislipidemia).
Sebagai tambahan, karakteristik khusus pada pasien hemodialisis juga memiliki
peran yang penting, diantaranya adalah adanya kondisi komorbid multipel,
kondisi kelebihan cairan, dan gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Selain
itu, PGK sendiri adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular
(Busuioc, et al., 2007; Jager, et al., 2009; Cirillo, et al., 2006).
51
Konsep yang dianut saat ini adalah tingginya mortalitas pada pasien yang
menjalani dialisis secara garis besar dapat dijelaskan oleh karena peningkatan
mortalitas oleh sebab kardiovaskular. Angka harapan hidup pada populasi pasien
ini dikatakan memendek sebagai konsekuensi akibat kematian kardiovaskular
yang prematur (Jager, et al., 2009).
2.6 Status Nutrisi pasien Hemodialisis
Ada beberapa cara menilai status nutrisi, diantaranya adalah anamnesis
dan pemeriksaan fisik, antropometri, laboratorium, dan penilaian komposisi tubuh
dengan Dual Energy X-ray Reabsorptiometry (DEXA) dan Bioelectric Impedance
Analysis (BIA). Pada pemeriksaan fisik, gejala dan tanda dari malnutrisi sulit
diketahui secara dini karena baru timbul bila dalam keadaan lanjut.
2.6.1 Pemeriksaan Antropometri
Pada pasien dialisis, berat badan ataupun IMT merupakan alat skrining
yang berguna dalam mengevaluasi status nutrisi. IMT dihitung dengan rumus
berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat. IMT dibagi atas: <
18,5 kg/m2
(berat badan kurang/ underweight),18,5-22,9 kg/m2 (normal), 23-27,4
kg/m2 (berat badan lebih/ overweight), >27,5 kg/m
2 (obese). IMT dilakukan
berdasarkan berat badan setelah dialisis atau berat badan kering (dry weight)
untuk meminimalkan efek berat air sehubungan dengan retensi cairan (Schmidt
dan Sahaludeen, 2007; Jaeger dan Mehta, 1999).
Beberapa studi menggunakan IMT sebagai petanda nutrisi melaporkan
IMT yang rendah dan IMT >30 kg/m2 pada pasien HD berhubungan dengan
peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. IMT tidak dapat dipakai untuk
52
membedakan massa otot dan jaringan lemak (Beddhu, et al, 2003). Pasien yang
mengalami IMT yang rendah atau penurunan IMT, perlu diperiksa komposisi
tubuhnya untuk mengidentifikasi dan mengobati secara dini hilangnya Fat Free
Mass (FFM), demikian juga pada IMT normal untuk meyakinkan bahwa FFM
masih normal (Schmidt dan Salahudeen, 2007).
Lingkar lengan atas dan Triceps Skinfold Thickness (TST) juga dapat
mengukur status nutrisi pada pasien PGK. Pengukuran dilakukan setelah dialisis
pada pasien saat berat badan kering, dilakukan pada lengan kanan atas kecuali
merupakan akses HD, luka atau stroke. Posisi lengan paralel dengan tubuh dan
siku membentuk sudut 90o, Dengan pita yang fleksibel lingkar lengan atas tengah
diukur dengan pendekatan 0,1 cm. Nilai normal untuk laki-laki 25-27 cm, untuk
perempuan 21-23 cm. TST diukur di tengah sisi belakang dari lengan atas kanan
dengan posisi lurus paralel dengan tubuh, kaliper pengukur dijepitkan ke kulit dan
subkutan (jangan mengenai otot). Nilai dicatat dengan pendekatan 0,1 cm. Nilai
normal untuk laki-laki 12,5 cm, untuk perempuan 16,5 cm (Howell, 1998; Moran,
1989). Pengukuran Lingkar Lengan atas dan TST berguna untuk\ menilai
perubahan jaringan lemak subkutan dalam jangka lama, pengukuran bisa salah
pada perubahan akut cadangan glikogen, lemak, dan adanya edema (Howell,
1998).
2.6.2 Laboratorium
Pemeriksaan seperti prealbumin, albumin, kreatinin, ferritin dan transferin
serum dapat digunakan untuk menilai status nutrisi (Fleischmann, et al., 1999).
Pada studi Fleischmann dkk (1999) nilai prealbumin, albumin, kreatinin dan
53
transferin dijumpai lebih tinggi pada pasien berat badan lebih (overweight) dan
paling rendah pada berat badan kurang (underweight). Hipoalbuminemia pada
pasien dialisis tidaklah harus menunjukkan malnutrisi. Transferin serum
merupakan petanda yang lebih sensitif dibanding albumin untuk menilai status
nutrisi (sehubungan dengan waktu paruhnya yang singkat), tetapi interpretasi
transferin sering sulit karena meningkatnya kebutuhan zat besi yang diinduksi
oleh perdarahan kronik dan terapi eritropoetin (Wolfson, 1999; Saxena, 2004).
Feritin serum dijumpai lebih tinggi secara statistik bermakna pada pasien yang
memiliki berat badan kurang dibandingkan dengan berat badan normal
(Fleischmann, 1999). Rendahnya kadar kreatinin serum menunjukkan asupan
protein yang rendah dan atau hilangnya massa otot skelet dan ini berhubungan
dengan meningkatnya mortalitas. Tetapi kreatinin serum sebagai indikator
malnutrisi belumlah dipastikan (Saxena, 2004).
2.6.3 Dual Energy X Ray Absorptiometry (DEXA)
DEXA merupakan metode akurat, non invasif dan sensitif untuk menilai 3
komponen komposisi tubuh yaitu FM, FFM, mineral dan densitas tulang. DEXA
menggunakan sumber sinar x. Keterbatasan alat ini adalah tidak dapat
membedakan antara cairan intra dan ekstraseluler, paparan radiasi, mahal dan
tidak mudah dilakukan pada bed side sehingga tidak direkomendasikan untuk
pemeriksaan reguler (Halim, et al., 2007; Saxena, 2004).
2.6.4 Bioelectrical Impedance Analysis (BIA)
BIA ditemukan di awal tahun 1960, merupakan metode pengukuran
komposisi tubuh yang cocok untuk klinis dan lapangan. BIA bekerja berdasarkan
54
sifat konduksi jaringan tubuh. BIA telah dipakai secara luas untuk menilai
komposisi cairan tubuh dan status nutrisi pada pasien-pasien HD (Saxena, 2004).
BIA adalah metode noninvasif dalam mengevaluasi komposisi cairan
tubuh, sederhana, aman, murah, mudah digunakan, hasil segera didapat, dapat
dibawa kemana-mana, dan banyak dipakai di unit HD. BIA menganalisis
komposisi cairan tubuh secara tidak langsung dengan mencatat perubahan
impedance arus listrik segmen tubuh (Guida, et al., 2001; Woolard, 2009).
Prinsip BIA adalah mengukur perubahan arus listrik jaringan tubuh yang
didasarkan pada asumsi bahwa jaringan tubuh adalah merupakan konduktor
silinder ionik dimana lemak bebas ekstraselular dan intraseluler berfungsi sebagai
resistor dan kapasitor. Arus listrik dalam tubuh adalah jenis ionik dan
berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan asam, juga
berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium. Jaringan
terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar listrik
yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang buruk
(Shumei, et al., 2001; Russel dan Mc Adams, 1998; Kyle, et al., 2004).
2.6.5 Subjective Global Assessment
Subjective Global Assessment (SGA) adalah alat yang digunakan oleh
petugas kesehatan untuk menilai status nutrisi, dan membantu memprediksikan
outcome klinis akibat status nutrisi tersebut, seperti pada kondisi infeksi pasca
operasi, dan atau mortalitas. Alat ini memiliki banyak keunggulan setelah dinilai
pada berbagai penelitian klinis, alat ini murah, mudah, dan dapat dilakukan
dengan cepat. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa SGA dapat
55
direproduksi, valid, dan reliabel. Karena keunggulan-keunggulan tersebutlah,
NKF-KDOQI merekomendasikan penggunaan SGA untuk menilai status nutrisi
pada populasi dialisis dewasa (K/DOQI, 2000; Jones, et al., 2004; Coper, et al.,
2002).
Destky, et al., mempublikasikan alat menilai status nutrisi yang disebut
SGA, yang awalnya ditujukan untuk menilai status nutrisi pasien pasca operasi
dan memprediksikan infeksi pasca operasi. SGA kemudian banyak digunakan
pada populasi lainnya seperti pada populas geriatri, populasi pasien dengan
kanker atau yang menjalani tranplantasi hati, dan pasien dewasa yang menjalani
hemodialisis reguler. Formulir SGA yang asli, terdiri dari 5 komponen anamnesis
(perubahan berat badan, intake nutrisi, gejala gastrointestinal, kapasitas
fungsional, penyakit dan hubungannya dengan kebutuhan nutrisi), 3 komponen
pemeriksaan fisik singkat (tanda-tanda penurunan massa lemak dan massa otot,
perubahan dalam keseimbangan cairan yang terkait dengan nutrisi). Pasien
kemudian dikelompokan menjadi nutrisi baik (kelompok A), malnutrisi sedang
(kelompok B), dan malnutrisi berat (kelompok C). SGA banyak dimodifikasi
untuk memenuhi beberapa tujuan tertentu, seperti misalnya Patient Generated
SGA (PG-SGA) yang dibuat untuk meminimalkan bias pada anamnesis dengan
mempermudah skoring anamnesis sehingga dapat diisi sendiri oleh pasien
(Detsky, et al., 1987; Kalantar, et al., 2004)
Hirsch, et al., memvalidasi SGA pada 175 pasien gastroenterologi pada
tahun 1990 dan penelitiannya membuktikan adanya perbedaan yang signifikan
pada kelompok A SGA (nutrisi baik), dan kelompok B dan C (malnutrisi sedang
56
dan berat) dengan parameter serum albumin, berat badan, MAMC, dan tebal
triceps (Hirsch, et al., 1991).
Malnutrition-Inflammation Score (MIS) dikembangkan oleh Kalantar-
Zadeh dan merupakan alat pengembangan dari 7 komponen SGA dan dilengkapi
dengan 3 komponen tambahan (BMI dan konsentrasi albumin serum dan TIBC).
Masing-masing komponen dari MIS memiliki 4 derajat keparahan dari 0 (normal)
sampai 3 (sangat berat). Jumlah dari 10 komponen MIS berkisar antara 0 sampai
30, menunjukkan derajat beratnya malnutrisi. Pada tahun 2001, sebuah penelitian
prospektif dengan 83 pasien hemodialisis membandingkan antara MIS dan SGA,
dengan parameter kuantitatif antropometri, persentase lemak dengan sinar
infrared, parameter laboratorium mencakup CRP, dan angka hospitalisasi dan
mortalitas dalam 12 bulan secara prospektif dan menemukan bahwa MIS memiliki
korelasi yang lebih tinggi dibandingkan SGA dalam memprediksi outcome
(Lawson, et al., 2001).
2.7 Malnutrisi dan Kematian pada Penyakit Ginjal Kronik
Malnutrisi didefinisikan sebagai gangguan yang disebabkan diet abnormal
atau tidak adekuat (Mitch, 2006). Malnutrisi adalah berkurangnya cadangan
protein tubuh dengan atau tanpa deplesi lemak atau hilangnya kapasitas
fungsional, yang disebabkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dibanding
kebutuhan nutrisi dan atau keadaan tersebut membaik dengan replesi nutrisi
(Sadeh, et al., 2003).
Pada pasien dialisis, ada beberapa penyebab malnutrisi. Tidak hanya diet
yang tidak adekuat yang dapat menyebabkan berat badan menurun, massa otot
57
berkurang dan hipoalbuminemia pada pasien dialisis, tetapi juga proses inflamasi,
uremia, asidosis metabolik, respons insulin yang tidak adekuat, kehilangan darah
(perdarahan gastrointestinal, pengambilan sampel darah yang berulang, darah
terbuang saat HD) dan proses dialisis itu sendiri (Saxena dan Sharma, 2004).
Asupan makanan yang tidak adekuat ini bisa sekunder akibat sindroma uremia,
tidak selera karena perubahan rasa, dan depresi. Asidosis metabolik menstimulasi
degradasi protein di otot (Mitch, 2006).
Perubahan kecil pada metabolisme protein ini akan menyebabkan
kehilangan cadangan protein yang nyata bila berlangsung berminggu-minggu,
karena laju sintesis dan degradasi protein akan jauh berbeda (Mitch, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara nutrisi dan
hasil akhir dari pasien yang menjalani hemodialisis. Diantara parameter
laboratorium yang dapat digunakan untuk menilai status nutrisi, pengukuran
kadar albumin serum merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian mortalitas
dan morbiditas. Penelitian ini menilai pentingnya status nutrisi dan inflamasi dan
faktor komorbid lainnya sebagai prediktor terjadinya mortalitas pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Status nutrisi dievaluasi pada 128 pasien yang menjalani
hemodialisis dengan menggunakan Subjective Global Nutritional Assessment
(SGNA) dan dengan melakukan pengukuran antropometrik (berat badan aktual,
persentase berat badan aktual terhadap berat badan yang diinginkan, lingkar
lengan atas, tebal lipatan kulit triceps), serum albumin, insulin plasma, seperti
insulin growth factor-1 (IGF-1) sebagai penanda inflamasi, kadar CRP serum.
Mortalitas dalam 36 bulan dianalisis menurut umur,jenis kelamin, penyakit
58
kardiovaskukar, SGNA, serum albumin, CRP, dan beberapa faktor dengan
menggunakan analisis multivariat (Qureshi, et al., 2002; Ebrahimzadehkor, et al.,
2014; Salim, et al., 2007).
Meskipun terapi dialisis untuk PGK tahap akhir sudah digunakan selama
hampir 40 tahun, angka mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis tetap
tinggi. Beberapa faktor risiko sebagai penyebab hal tersebut sudah diidentifikasi
seperti, usia lanjut, penyakit kardiovaskular, dan diabetes melitus. Penyakit
kardiovaskular menyebabkan lebih dari 50% kematian pada pasien yang
menjalani hemodialisis reguler, selain itu infeksi merupakan penyebab tersering
kedua (kurang lebih 15%) (Qureshi, et al., 2002; Jones dan Bengt, 1999; Afsar, et
al., 2006).
Peran nutrisi sebagai faktor yang berperan dalam mortalitas pada pasien
yang menjalani hemodialisis belum jelas karena beberapa faktor yang
meningkatkan risiko perburukan pada pasien hemodialisis juga menyebabkan
malnutrisi. Dari beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai status
nutrisi, kadar albumin serum merupakan prediktor mortalitas yang paling kuat.
Namun demikian, meskipun albumin selain merupakan indeks dari status nutrisi
dan menggambarkan cadangan protein viseral, pembentukan, distribusi, dan
eliminasinya dipengaruhi oleh beberapa faktor non-nutrisi, seperti hidrasi,
permiabilitas kapiler, eliminasi melalui urin dan dialisis, infeksi, inflamasi, dan
malignansi (Qureshi, et al.,2002; Ebrahimzadehkor, et al., 2014).
Pada tahun 1998,sebuah penelitian potong lintang status nutrisi yang
dilakukan pada 128 pasien hemodialisis dengan tujuan untuk menentukan faktor
59
yang dapat memprediksikan terjadinya malnutrisi. Peneliti menemukan bahwa
65% sampel mengalami malnutrisi yang ditentukan melalui SGNA. Pasien-pasien
yang mengalami malnutrisi berusia lebih tua, memiliki kadar albumin serum,
plasma IGF-1, dan kreatinin serum yang lebih rendah dibandingkan dengan
sampel dengan status nutrisi yang normal. Gejala dari malnutrisi lebih sering
ditemukan pada pasien hemodialisis dengan penyakti kardiovaskular
dibandingkan dengan sampel tanpa penyakit kardiovaskular. Inflamasi, yang
digambarkan oleh kadar CRP lebih sering ditemukan pada pasien malnutrisi
dibandingkan dengan pasien dengan status nutrisi yang baik, dan kadar CRP
berkorelasi negatif dengan kadar albumin serum (Jonas dan Bengt, 1999; Qureshi,
et al., 2002).
2.7.1 Status Nutrisi dan Outcome Klinis
Penelitian yang dilakukan mengkonfirmasi bahwa status nutrisi dapat
memprediksikan mortalitas pada pasien yang menjalani hemodialisis. Malnutrisi
yang dinilai berdasarkan SGNA, antropometri, dan parameter biokimia lainnya,
lebih sering ditemukan pada pasien yang meninggal dibandingkan dengan yang
bertahan hidup. Lebih lanjut, setelah dilakukan analisis, ditemukan bahwa
masing-masing faktor tersebut merupakan prediktor yang signifikan terhadap
terjadinya mortalitas (Afsar, et al., 2006).
2.7.2 Malnutrisi dan Penyakit Kardiovaskular
Pada banyak penelitian, penyakit kardiovaskular adalah penyebab
kematian tersering pada pasien yang menjalani hemodialisis (kurang lebih 50%),
diikuti dengan infeksi (15 sampai 20%), meskipun malnutrisi atau kakeksia bukan
60
merupakan penyebab kematian yang sering dijumpai, malnutrisi berperan sebagai
prediktor mortalitas yang kuat. Foley, et al melaporkan bahwa hipoalbuminemia
berhubungan dengan kejadian baru dan perburukan dari gagal jantung dan
penyakit jantung iskemik pada pasien hemodialisis dan pada pasien yang
menjalani continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), hal inilah yang
mensugestikan adanya hubungan antara malnutrisi dan penyakit kardiovaskular
meskipun kadar albumin serum bukan merupakan indikator yang ideal
menggambarkan status gizi (Jonas dan Bengt, 1999; Qureshi, et al.,2002).
Beberapa penelitian pada pasien tanpa PGK menunjukkan pada bahkan
gagal jantung ringan dapat menyebabkan malnutrisi, hal ini mungkin disebabkan
oleh peran sitokin proinflamasi yang menstimulasi katabolisme protein dan
menimbulkan anoreksia. Inflamasi juga merupakan faktor penting dalam
terjadinya malnutrisi dan penyakit kardiovaskular. Malnutrisi dapat memperberat
gagal jantung dengan menginduksi perburukan morfoloagi dan fungsi miokardium
pada penelitian eksperimental (Qureshi, et al.,2002, Salim, et al., 2007).
Penelitian ini menunjukkan bahwa malnutrisi adalah prediktor independen
yang signifikan terhadap mortalitas pada pasien hemodialisis. Malnutrisi pada
penelitian ini menyebabkan outcome yang fatal, karena memperberat efek dari
penyakit kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya dan dengan meningkatkan
kerentanan akan infeksi (Ebrahimzadehkor, et al., 2014).
Pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa kadar albumin serum yang
rendah adalah prediktor mortalitas yang kuat. Namun tidak ditemukan hubungan
yang independen, sehingga masih dapat berhubungan dengan faktor lainnya sperti
61
umur, adanya penyakit kardiovaskular sebelumnya, dan infeksi atau inflamasi,
yang mungkin dapat memberikan efek secara langsung terhadap kematian
(Qureshi, et al.,2002).
2.7.3 Inflamasi sebagai Faktor Risiko Mortalitas
Pada sebuah penelitian potong lintang yang dilakukan ditemukan bahwa
terutama pada pasien dengan usia tua atau dengan penyakit kardiovaskular
sebelumnya, memiliki kadar CRP serum yang tinggi (≥10 mg/dL). Beberapa
penelitian juga mengkonfirmasi bahwa inflamasi yang digambarkan dengan
peningkatan kadar CRP atau sitokin proinflmasi adalah faktor risiko independen
yang signifikan sebagai prediktor terjadinya mortalitas pada pasien hemodialisis.
Inflamasi dapat berperan dalam terjadinya malnutrisi atau hipoalbuminemia dan
terhadap terjadinya aterosklerotik. Sitokin proinflamasi dapat mempengaruhi
status nutrisi dengan menginduksi proteolisis otot, meningkatkan pemakaian
energi, dan mengurangi nafsu makan. Karenanya inflmasi dapat merupakan
penyebab terjadinya malnutrisi pada pasien hemodialisis. Penelitian ini juga
menemukan bahwa CRP berkorelasi negatif dengan kadar albumin serum,
menunjukkan terjadinya hipoalbuminemia sebagai bagian dari respon akut
inflamasi (Afsar, et al., 2006; Salim, et al., 2007).
Beberapa penelitian pada populasi umum menemukan bahwa inflamasi,
yang dilihat dari peningkatan kadar CRP serum dan sitokin proinflamasi plasma,
berhubungan dengan perburukan dari aterosklrerotik pada penyakit
kardiovaskular. Stenvinkel, et al., menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara aterosklerosis, malnutrisi, dan peningkatan kadar CRP pada pasien
62
PGK tanpa dialisis. Pasien yang mengalami malnutrisi juga memiliki kadar
lipoprotein (a) dan fibrinogen, dua reaktan fase akut yang diperkirakan merupakan
faktor aterogenik independen pada populasi umum. Simmermann et al
melaporkan bahwa inflamasi (kadar CRP yang tinggi) pada pasien hemodialisis
berhubungan dengan hipoalbuminemia dan peningkatan kadar lipoprotein (a) dan
fibrinogen. Pada sebuah analisis multivariat, umur dan CRP tetap merupakan
prediktor independen kuat terhadap kejadian kematian oleh semua sebab dan
kematian oleh sebab kardiovaskular. Hal ini menunjukkan bahwa inflamasi, yang
dimediasi oleh sitokin proinflamasi, mungkin berperan sentral sebagai penyebab
terjadinya malnutrisi dan penyakit kardiovaskular pada PGK stadium akhir,
sehingga juga berperan terhadap tingginya mortalitas (Qureshi, et al., 2002).
Sumber inflamasi pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler masih
belum jelas. Infeksi bakteri kronik atau infeksi viral dan inflamasi lainnya
mungkin menyebabkan peningkatan sitokin. Berkurangnya fungsi ginjal juga
memegang peranan penting, dimana pada pasien PGK yang belum menjalani
dialisis terjadi peningkatan kadar sitokin proinflamasi dan inhibitor spesifiknya
seiring dengan berkurangnya LFG (Qureshi, et al., 2002).
Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa mortalitas pada 90 hari
setelah memulai hemodialisis tetap tinggi, dan merupakan 34,7% dari seluruh
kematian dalam satu tahun pertama pada dialisis. Peningkatan usia dan penyakit
kardiovaskular adalah prediktor dari outcome yang buruk. Sebuah penelitian juga
mengidentifikasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada periode awal dimana
angka mortalitasnya tinggi pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penggunaan
63
kateter vena sentral, indeks massa tubuh (IMT) yang rendah (penanda malnutrisi),
dan ketidakpatuhan menjalani hemodialisis adalah beberapa faktor risiko yang
menyebabkan hal tersebut (McQuillan, et al., 2012).
Pasien yang menjalani hemodialisis reguler memiliki prevalensi yang
tinggi mengalami protein energi malnutrisi (PEM) dan inflamasi. Karena kedua
hal tersebut sering terjadi pada pasien hemodialisis reguler, maka kondisi ini
sering disebut sebagai Malnutrition-Inflammation Complex Syndrome (MICS),
atau sindrom malnutrisi-inflamasi aterosklerosis (MIA) untuk menggambarkan
komplikasi aterosklerosis dari kondisi ini (Kamyar, et al., 2004; Jonas dan Bengt,
1999).
MIA juga berhubungan dengan hasil akhir yang buruk, diantaranya adalah
penurunan kualitas hidup, anemia refrakter, dan angka hospitalisasi yang lebih
tinggi, dan mortalitas pada pasien hemodialisis reguler. Karenanya MIA dapat
merupakan suatu gejala epidemiologi terbalik dari risiko penyakit kardiovaskular
pada pasien hemodialisis reguler (Kamyar, et al., 2004).
Nafsu makan, keinginan subjektif untuk mengkonsumsi makanan, hilang
pada sebagian besar pasien hemodialisis. Namun penyebab dan derajat
berkurangnya nafsu makan ini belum dapat diketahui secara pasti. Anoreksia
mungkin berhubungan dengan elemen dari MIA, terutama inflamasi. Anoreksia
dapat merupakan elemen kunci yang menyebabkan PEM, inflamasi, dan MIA
pada pasien. Nafsu makan yang sangat rendah dapat menyebabkan hasil yang
buruk pada pasien dengan hemodialisis reguler seperti respon yang kurang baik
pada pemberian eritropoietin, kualitas hidup yang buruk, dan peningkatan
64
mortalitas dan hospitalisasi (Salim, et al., 2007; Afsar, et al., 2006; Kamyar, et al.,
2004).
Penelitian menunjukkan bahwa nafsu makan yang buruk berhubungan
dengan kurangnya asupan protein dan inflamasi. Konsentrasi serum dari penanda
inflamasi seperti CRP, dan dua sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF-α), lebih
tinggi pada pasien dialisis reguler yang mengalami anoreksia. Selain itu, nafsu
makan yang rendah berhubungan dengan peningkatan kebutuhan eritropietin
sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami anemia refrakter. Namun
demikian, penanda dari komposisi tubuh seperti indeks massa tubuh, persentasi
lemak tubuh, dan tebal lipatan lengan atas, dan lingkar otot tidak berhubungan
dengan intensitas nafsu makan. Pasien yang menjalani hemodialisis reguler juga
melaporkan kualitas hidup yang lebih buruk secara subjektif, dan hospitalisasi dan
mortalitas lebih tinggi secara signifikan pada pasien anoreksia (Salim, et al., 2007;
Kamyar, et al., 2004).
Penelitian ini menemukan hubungan yang kuat dan konsisten antara
kurangnya nafsu makan dan kadar penanda inflamasi yang tinggi. Pasien yang
menjalani hemodialisis reguler memiliki prevalensi inflamasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi umum. MISC juga dilaporkan berhubungan
dengan outcome yang buruk, termasuk berkurangnya kualitas hidup, anemia
refrakter, dan angka hospitalisasi dan mortalitas yang lebih tinggi. Karenanya
fenomena MICS merupakan epidemiologi yang terbalik dari faktor risiko
kardiovaskular pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler (Kamyar, et al.,
2004).
65
Pada penelitian dengan 331 pasien yang menjalani hemodilisis reguler
menemukan bahwa nafsu makan secara signifikan berhubungan dengan inflamasi
dan status nutrisi. Nafsu makan yang rendah berhubungan dengan asupan protein
yang rendah dan inflamasi. Kadar penanda inflamasi pada serum seperti CRP, IL-
6,dan TNF-α ditemukan lebih tinggi pada pasien hemodialisis reguler yang
mengalami anoreksia. Selain itu juga ditemukan hubungan antara penanda dari
nutrisi seperti normalized Protein Nitrogen Appearance (nPNA), Total Iron-
Binding Capacity (TIBC), dan anoreksia (Kamyar, et al., 2004).
Pasien dengan PGK memiliki prevalensi yang tinggi terhadap kejadian
malnutrisi. Beberapa survei melaporkan malnutrisi protein kalori yang terjadi
pada sampai 40% dari pasien PGK. Malnutrisi pada PGK disebabkan oleh
multifaktor, namun banyak penelitian yang secara konsisten melaporkan
kurangnya asupan oral sebagai faktor mayor yang berperan penting terhadap
malnutrisi pada populasi pasien ini (Krenitsky, et al., 2004).
Indikator dari status nutrisi, di antaranya adalah berkurangnya asupan
nutrien dan massa otot secara terpisah berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dalam 12 bulan. Keluhan yang terkait dengan gastrointestinal sering
terlihat pada populasi pasien ini dan sangat mungkin berhubungan dengan asupan
dan malnutrisi. Penelitian-penelitian saat ini sedang dilakukan untuk menentukan
bahwa apakah dengan memperbaiki status nutrisi akan memperbaiki outcome dari
pasien-pasien dengan PGK (Krenitsky, et al., 2004).
top related