bab ii tinjauan pustaka · 2020. 10. 20. · urutan sirkulasinya secara singkat adalah sebagai...
Post on 04-Dec-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
Universitas Muhammadiyah Riau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
PLTU adalah jenis pembangkit listrik tenaga termal yang banyak
digunakan, karena efisiensinya tinggi sehingga menghasilkan energi listrik yang
ekonomis. PLTU merupakan mesin konversi energi yang mengubah energi kimia
dalam bahan bakar menjadi energi listrik. PLTU adalah pembangkit tenaga listrik
yang dihasilkan dari eksitasi turbin uap. Pada prinsipnya memproduksi listrik
dengan sistem tenaga uap adalah dengan mengambil energi panas yang terkandung
didalam bahan bakar, untuk memproduksi uap kemudian dipindahkan ke dalam
turbin, uap yang dipindahkan kedalam turbin tersebut akan merubah energi panas
yang diterima menjadi energi mekanis dalam bentuk gerak putar. Gerakan putar ini
kemudian dikopel dengan generator yang akhirnya dapat menghasilkan energi
listrik, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) energi panas dalam bahan
bakar tidak langsung diberikan ke turbin, akan tetapi terlebih dahulu diberikan ke
dalam steam generator atau disebut juga boiler/ketel uap.
Proses konversi energi pada PLTU berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu:
- Pertama, energi kimia dalam bahan bakar diubah menjadi energi panas dalam
bentuk uap bertekanan dan temperatur tinggi.
- Kedua, energi panas (uap) diubah menjadi energi mekanik dalam bentuk
putaran.
- Ketiga, energi mekanik diubah menjadi energi listrik.
Gambar 2.1 Proses konversi energi pada PLTU
Sumber : http://dandwipras.blogspot.com/2015/04/proses-produksi-listrik-pada-
pltu.html
6
Universitas Muhammadiyah Riau
PLTU menggunakan fluida kerja air uap yang bersirkulasi secara tertutup.
Siklus tertutup artinya menggunakan fluida yang sama secara berulang-ulang.
Urutan sirkulasinya secara singkat adalah sebagai berikut:
- Pertama air diisikan ke boiler hingga mengisi penuh seluruh luas permukaan
pemindah panas. Didalam boiler air ini dipanaskan dengan gas panas hasil
pembakaran bahan bakar dengan udara sehingga berubah menjadi uap.
- Kedua, uap hasil produksi boiler dengan tekanan dan temperatur tertentu
diarahkan untuk memutar turbin sehingga menghasilkan daya mekanik berupa
putaran.
- Ketiga, generator yang dikopel langsung dengan turbin berputar menghasilkan
energi listrik sebagai hasil dari perputaran medan magnet dalam kumparan,
sehingga ketika turbin berputar dihasilkan energi listrik dari terminal output
generator.
- Keempat, Uap bekas keluar turbin masuk ke kondensor untuk didinginkan
dengan air pendingin agar berubah kembali menjadi air yang disebut air
kondensat. Air kondensat hasil kondensasi uap kemudian digunakan lagi
sebagai air pengisi boiler. Demikian siklus ini berlangsung terus menerus dan
berulang-ulang.
Untuk detail proses produksi listrik pada PLTU berbahan bakar batubara
adalah sebagai berikut:
- Batubara dari dermaga (jetty) dialirkan menuju coal yard oleh ship unloader
dengan menggunakan conveyor, kemudian dialirkan lagi melalui crusher house
untuk kemudian batubara digiling menjadi butiran yang lebih kecil. Setelah itu
batubara di alirkan menuju coal bunker.
- Kemudian batubara halus tersebut dicampur dengan udara panas oleh forced
draught fan (FDF) sehingga menjadi campuran udara panas dan bahan bakar
(batubara).
- Dengan tekanan yang tinggi, campuran udara panas dan batubara disemprotkan
ke dalam boiler sehingga akan terbakar dengan cepat seperti semburan api.
7
Universitas Muhammadiyah Riau
- Kemudian air dialirkan keatas melalui pipa yang ada dinding boiler, air tersebut
akan dimasak dan menjadi uap, dan uap tersebut dialirkan ke tube boiler untuk
memisahkan uap dari air yang terbawa.
- Selanjutnya uap dialirkan ke superheater untuk melipatgandakan suhu dan
tekanan uap hingga mencapai suhu 570°C dan tekanan sekitar 200 bar yang
meyebabkan pipa ikut berpijar merah.
- Uap dengan tekanan dan suhu yang tinggi inilah yang menjadi sumber tenaga
turbin tekanan tinggi yang merupakan turbin tingkat pertama dari 3 tingkatan.
- Untuk mengatur turbin agar mencapai set point, kita dapat menyeting steam
governor valve secara manual maupun otomatis.
- Suhu dan tekanan uap yang keluar dari turbin tekanan tinggi akan sangat
berkurang drastis, untuk itu uap ini dialirkan kembali ke boiler re-heater untuk
meningkatkan suhu dan tekanannya kembali.
- Uap yang sudah dipanaskan kembali tersebut digunakan sebagai penggerak
turbin tingkat kedua atau disebut turbin tekanan sedang, dan keluarannya
langsung digunakan untuk menggerakkan turbin tingkat 3 atau turbin tekanan
rendah.
- Uap keluaran dari turbin tingkat 3 mempunyai suhu sedikit diatas titik didih,
sehingga perlu di alirkan ke kondensor agar menjadi air untuk dimasak ulang.
- Air tersebut kemudian dialirkan melalui deaerator oleh feed water pump untuk
dimasak ulang. Awalnya dipanaskan di feed water heater yang panasnya
bersumber dari high pressure set, kemudian ke economiser sebelum di
kembalikan ke tabung boiler.
- Sedangkan air pendingin dari kondensor akan di semprotkan kedalam cooling
tower, dan inilah yang meyebabkan timbulnya asap air pada cooling tower.
Kemudian air yang sudah agak dingin dipompa balik ke kondensor sebagai air
pendingin ulang.
- Ketiga turbin di gabung dengan shaft yang sama dengan generator 3 phase.
Generator ini kemudian membangkitkan listrik tegangan menengah (20 kV).
8
Universitas Muhammadiyah Riau
- Dengan menggunakan transformer 3 phase, tegangan dinaikkan menjadi
tegangan tinggi berkisar 150 kV yang kemudian dialirkan ke sistem transmisi 3
phase.
- Sedangkan gas buang dari boiler di isap oleh kipas pengisap (induced draught
fan) agar melewati ESP (electrostatic precipitator) untuk mengurangi polusi
dan kemudian gas yg sudah disaring akan dibuang melalui cerobong (chimney).
Gambar 2.2 Skema proses produksi listrik PLTU
Sumber : http://kitadanenergi.blogspot.com/2014/07/sistem-operasional-dan-
peralatan-utama.html
2.2 Conveyor System PLTU Tenayan
Sistem penanganan batubara berfungsi menangani mulai dari
pembongkaran batubara dari kapal/tongkang (unloading area), penimbunan/
penyimpanan di stock area atapun pengisian ke coal bunker yang digunakan untuk
pembakaran di boiler. Secara garis besar, coal handling area di PLTU dapat
dikelompokkan menjadi : coal stock area, coal handling area, dan bunker/silo.
Batubara diperoleh dari tambang batubara, biasanya letaknya di pulau Kalimantan,
9
Universitas Muhammadiyah Riau
untuk menstransportasikan batubara dari lokasi tambang ke PLTU diangkut dengan
menggunakan kapal tongkang sampai di dermaga (jetty). Di jetty dilakukan
pembongkaran batubara dengan menggunakan ship unloader. Ship Unloader
adalah suatu peralatan yang digunakan untuk pembongkaran batubara dari kapal
yang tidak mempunyai peralatan bongkar sendiri (non-self unloading). Setelah
dilakukan bongkar batubara dengan ship unloader, batubara disalurkan ke coal
yard menggunakan belt conveyor, belt conveyor tidak hanya memindahkan
batubara dari jetty ke coal yard, tetapi memindahkan batubara dari unloading area
(intake hopper) sampai coal bunker. Saluran belt conveyor unloading area (intake
hopper) sampai coal bunker sangat panjang maka arah dari belt conveyor tidak bisa
lurus untuk mengatur arah aliran tersebut dilakukan disuatu bangunan yang memuat
alat pemindah arah aliran yang dinamakan transfer tower.
Didalam proses penyaluran batubara dari jetty ke coal bunker terdapat
beberapa sampling batubara, sampling system merupakan suatu sistem yang
diintegrasikan dengan peralatan utama dan difungsikan untuk mengambil sampling
batubara pada belt conveyor tertentu untuk keperluan analisa kandungan batubara.
Coal yard mampu memenuhi kebutuhan bahan bakar PLTU hingga 2 bulan. Dari
coal yard, batubara di ambil menggunakan stacker reclaimer. Stacker Reclaimer
merupakan peralatan ini digunakan untuk penimbunan (stacking) dan pengerukan
(reclaiming) batubara di coal yard ke belt conveyor, selanjutnya disalurkan kembali
menuju crusher house, didalam perjalanan menuju crusher house batubara
melewati magnetic separator. Magnetic separator berfungsi untuk memisahkan
logam besi dari batubara. Prinsip kerja magnetic separator ini berdasarkan induksi
elektromagnetik, logam besi yang terbawa pada aliran batubara akan ditarik oleh
medan elektromagnetik lalu menempel pada conveyor yang berputar dan akan jatuh
pada sisi penampungan, karena crusher house dirancang hanya untuk
menghancurkan batubara, bukan untuk batu atau material lain, karena peralatan ini
menggunakan motor dengan daya yang sangat tinggi, batu baru di crusher house
dihancurkan dari bongkahan menjadi ukuran lebih kecil, sebelum masuk ke coal
silo, coal silo merupakan tempat penampungan batubara terakhir sebelum
digunakan untuk pembakaran di boiler. Batubara dari coal silo akan diteruskan
10
Universitas Muhammadiyah Riau
menuju ke coal feeder untuk diatur jumlah aliran yang masuk ke pulverizer guna
dilakukan penggerusan ke ukuran yang sangat lembut, tujuannya untuk mencapai
pembakaran sempurna karena memaksimalkan luas permukaan kontak pembakaran
dari partikel batubara. Batubara serbuk hasil keluaran pulverizer di dihembuskan
menuju furnace melalui burner sehingga terjadi proses pembakaran.. Udara
penghembus dihasilkan oleh primary air fan.
Gambar 2.3 Siklus transportasi batubara pada PLTU
Sumber : https://dokumen.tips/documents/siklus-bahan-bakar-batubara-pada-
pltudocx.html
2.2.1 Komponen-Komponen Pada Conveyor System
Pada pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara, conveyor system
merupakan komponen dasar dalam sistem transportasi batubara. Pada dasarnya,
conveyor merupakan suatu sistem pita besar terbuat dari karet dan terbentang antara
dua pulley atau lebih dengan kecepatan tertentu membawa material dengan jumlah
tertentu.
Conveyor merupakan peralatan yang relatif sederhana. Fungsi dasarnya
didesain untuk mengangkut material dengan berbagai kondisi, baik beban lebih,
terendam air, dan sebagainya. Conveyor yang didesain, dioperasikan dan dipelihara
11
Universitas Muhammadiyah Riau
dengan baik akan menurunkan biaya operasi maupun biaya pemeliharaannya.
Umumnya, lebar belt conveyor bervariasi dari 300 mm hingga 3000 mm atau lebih,
dengan panjang bervariasi. Kapasitas angkut dipengaruhi oleh lebar dan kecepatan
dari conveyor.
Pada dasarnya, setiap conveyor system terdiri dari enam elemen yaitu:
1. Belt conveyor, berupa permukaan gerak dimana material diletakkan.
2. Pulley, penggerak belt dan menjaga tingkat ketegangan pada conveyor.
3. Penggerak, memberikan daya pada satu pulley atau lebih untuk menggerakkan
conveyor.
4. Struktur, memberikan support dan mengatur posisi rolling.
5. System support belt, memberikan support pada idler.
6. Sistem transfer, titik pemberian muatan atau pelepasan muatan.
Gambar 2.4 Komponen conveyor
Sumber : Management Trainee PT PJB Services, 2010
Berdasarkan gambar di atas, bagian-bagian dari conveyor adalah sebagai
berikut:
1. Belt Conveyor, merupakan peralatan yang berfungsi untuk membawa/
memindahkan batubara dari tongkang menuju ke coal yard atau coal bunker.
Komponen-komponen dari belt conveyor adalah sebagai berikut:
- Carrying Idler, berfungsi untuk menjaga belt pada bagian yang berbeban
atau sebagai roll penunjang belt bermuatan material. Posisi carrying idler
12
Universitas Muhammadiyah Riau
berada di atas conveyor table. Komposisinya terdiri dari tiga buah roll
penggerak berbentuk V.
- Impact Idler, posisinya berada di bawah chute. Pada bagian luarnya dilapisi
dengan karet dan jarak antara satu sama lain lebih rapat dari carrying idler.
Fungsinya untuk menahan belt agar tidak sobek/rusak akibat batubara yang
jatuh dari atas.
- Return Idler, berada di bawah belt pada sisi balik conveyor. Komposisinya
hanya terdiri dari satu buah roll penyangga dan berfungsi untuk menyangga
belt dengan arah putar balik.
- Steering Idler, merupakan idler yang berfungsi untuk menjaga kelurusan
belt agar tidak jogging (bergerak ke kanan/kiri), posisinya di bagian tepi
belt.
Gambar 2.5 Steering idler
Sumber : Management Trainee PT PJB Services, 2010
- Motor, berfungsi sebagai penggerak utama dari belt conveyor. Dalam
pengoperasinnya dihubungkan dengan gearbox dan fluid coupling.
- Gear Reducer, peralatan yang menghubungkan sumber daya ke pulley dan
berfungsi menyesuaikan putaran dan torsi dari motor agar sesuai dengan
kebutuhan.
- Fluid Coupling, berperan dalam mentransferkan putaran dari motor menuju
gearbox. Jika pulley atau gearbox macet dan tidak dapat bergerak karena
13
Universitas Muhammadiyah Riau
beberapa faktor, fluid coupling tidak akan melakukan transfer putaran dari
motor, sehingga tidak terjadi kerusakan lebih lanjut pada peralatan lainnya.
Gambar 2.6 Motor, Gearbox dan Fluid Coupling
Sumber : Management Trainee PT PJB Services, 2010
- Drive Pulley, merupakan pulley yang secara langsung atau tidak langsung
terhubung dengan motor listrik dan dikopling dengan gearbox. Fungsinya
untuk memutar belt menuju ke depan. Posisi drive pulley tidak harus selalu
di depan, bisa dipasang dimana saja yang dianggap memungkinkan.
Gambar 2.7 Drive Pulley
Sumber : Management Trainee PT PJB Services, 2010
MOTOR GEARBOX
FLUID COUPLING
14
Universitas Muhammadiyah Riau
- Take-up Pulley, berfungsi untuk menjaga tingkat kekencangan belt. Take-
up pulley terhubung dengan counter weight.
- Counter Weight, merupakan bandul yang terhubung dengan take-up pulley
yang berfungsi untuk memberi/menjaga ketegangan belt.
- Bend Pulley, berfungsi untuk membelokkan arah belt.
- Head Pulley, merupakan pulley terakhir yang berada pada ujung depan
conveyor. Tidak semua head pulley dapat dipakai sebagai drive pulley.
Head pulley yang tidak dapat dihubungkan dengan drive pulley tidak dapat
disebut sebagai drive pulley.
- Snub Pulley, merupakan pulley yang digunakan untuk memperbesar sudut
lilitan kontak antara pulley dengan belt. Biasanya snub pulley terletak di
dekat drive pulley.
- Tail Pulley, berada di sisi belakang conveyor, berfungsi untuk memutar
kembali belt conveyor menuju ke arah drive pulley. Tail pulley dilengkapi
dengan belt cleaner yang berfungsi untuk mecegah batubara agar tidak
masuk ke tail pulley. Pada conveyor jenis light duty, tail pulley juga sering
dijadikan sebagai take-up pulley.
- Scrapper (pembersih), merupakan perangkat yang berfungsi membersihkan
material yang menempel pada belt.
- Rubber Skirt, merupakan peralatan yang berfungsi mencegah agar material
tidak tumpah keluar dari belt pada saat muat.
- Plough Scapper, berfungsi untuk membersihkan material yang tertumpah
pada arah balik belt. Biasanya terdiri dari primary dan v-plough scapper.
2. Magnetic Separator, suatu peralatan yang berfungsi untuk menarik logam yang
bercampur dalam batubara dengan pengaruh gaya magnetnya. Magnetic
Separator ini berada belt conveyor.
3. Belt Weigher, merupakan suatu alat untuk merekam jumlah tonase batubara per
jam, serta totalizer coal dari tongkang ke coal yard atau ke coal bunker dengan
sistem digital.
15
Universitas Muhammadiyah Riau
4. Metal Detector, berfungsi memberi tanda (sinyal) apabila dalam beroperasinya
conveyor, batubara bercampur dengan logam. Metal detector biasanya dipasang
di bagian atas dan bawah belt conveyor.
5. Stacker Reclaimer, berfungsi untuk penataan batubara (staking) di area coal
yard dan pengambilan batubara (reclaiming) di coal yard untuk dikirim ke coal
bunker.
6. Telescopic Chute, merupakan alat bantu pembongkaran batubara dalam
keadaan darurat. Dilengkapi dengan chute untuk mencegah abu batubara yang
beterbangan saat pembongkaran. Peralatan ini bisa naik secara otomatis jika
level batubara di bawahnya sudah mencapai jarak minimal sesuai setting
tertentu.
Gambar 2.8 Telescopic Chute
Sumber : Management Trainee PT PJB Services, 2010
7. Diverter Gate, berfungsi untuk mengatur arah aliran batubara yang letaknya
pada two way chute atau three way chute. Diverter gate dapat dioperasikan
secara manual ataupun otomatis dengan menggunakan sistem hidrolik.
8. Coal Crusher, berfungsi untuk menghancurkan atau menggiling batubara
menjadi bentuk yang lebih kecil dari 300 mm menjadi kurang dari 30 mm.
9. Transfer Tower, merupakan tempat tertutup tempat mentransfer batubara.
10. Control Gate, berfungsi untuk mengarahkan perpindahan jalur transportasi
batubara.
11. Vibration Feeder, berfungsi untuk penyaring dan penggetar batubara supaya
tidak terjadi penumpukan yang akan menghambat operasi transportasi batubara.
16
Universitas Muhammadiyah Riau
12. Scrapper Conveyor, berfungsi untuk membersihkan material yang menempel
pada belt conveyor.
13. Tripper Car, merupakan peralatan yang berfungsi hampir sama seperti stacker
reclaimer untuk mengarahkan batubara dari conveyor menuju ke coal bunker.
Tripper ini bisa juga disebut tripper car karena bisa bergerak/berjalan menuju
ke masing-masing coal bunker.
14. Coal Bunker, digunakan untuk tempat penampungan batubara sebelum masuk
ke dalam boiler.
15. Pullcord Switch, merupakan peralatan proteksi belt conveyor yang berfungsi
untuk menghentikan laju conveyor jika dalam keadaan bahaya. Dalam satu jalur
conveyor biasanya terdapat dua sampai 3 pullcord switch yang dihubungkan
dengan kawat penarik.
Gambar 2.9 Pullcord Switch
Sumber : Management Trainee PT PJB Services, 2010
16. Belt Sway Switch, berfungsi untuk memberi tanda (sinyal) pada operator jika
conveyor bergeser. Jika conveyor bergeser melebihi batas yang diijinkan secara
otomatis conveyor tersebut akan berhenti.
17
Universitas Muhammadiyah Riau
Gambar 2.10 Belt Sway Switch
Sumber : Management Trainee PT PJB Services, 2010
2.2.2 Spesifikasi Conveyor PLTU Tenayan
Terdapat 6 jalur conveyor di PLTU Tenayan, yaitu conveyor 01, conveyor
02, conveyor 03, conveyor 04, conveyor 05, dan conveyor 06. Berikut ini
merupakan spesifikasi conveyor tersebut:
Tabel 2.1 Spesifikasi Conveyor PLTU Tenayan Satuan C01 C02 C03 C04 C05 C06
BELT CONVEYOR
Belt width mm 1000 800 800 800 1000 800
Speed m/s 2,0 1,6 1,6 1,6 2,0 1,6
Level length m 225 165 130 85 239 80
Angle of
inclination
degree 6 15 18 0 0 11
Hoist height m 9,9 28,1 40,3 0 0 10,9
Capacity t/h 300 300 300 300 300 300
Central
height of
wheel
mm 1200 1000 1000 1000 1200 1000
MOTOR
Type Y280S-
4
Y315M1-
4
Y315M1-
4
Y180L-
4
Y1250M-
4
Y225M-
4
Voltage v 400 400 400 400 400 400
Power kW 90 132 132 22 110 45
Speed rpm 1480 1480 1480 1480 1480 1480
Quantity set 2 2 2 2 2 2
Frequency Hz 50 50 50 50 50 50
Cos 𝚽 0,88 0,88 0,88 0,88 0,88 0,88
Ambient
Temperature
ºC 40 40 40 40 40 40
Sumber : Bagan DRD Conveyor PLTU Tenayan, 2016
18
Universitas Muhammadiyah Riau
2.3 Pemeliharaan (Maintenance)
2.3.1 Definisi Pemeliharaan
Pemeliharaan atau maintenance merupakan suatu kegiatan untuk
memelihara dan menjaga kualitas yang ada serta memperbaiki, melakukan
penyesuaian atau penggantian yang diperlukan untuk mendapatkan suatu kondisi
operasi produksi agar sesuai dengan perencanaan yang ada (O'Connor, 2001).
Pemeliharaan adalah sebuah pekerjaan yang dilakukan secara berurutan untuk
menjaga atau memperbaiki fasilitas yang ada sehingga sesuai standar dengan
standar (sesuai dengan standar fungsional dan kualitas) (Sehrawat & Narang, 2001).
Pemeliharaan sangat berperan penting dalam kegiatan produksi dari suatu
perusahaan yang menyangkut kelancaran produksi, volume produksi serta agar
produk dapat diproduksi dan diterima konsumen tepat pada waktunya dan menjaga
agar tidak ada sumber daya yang menganggur karena kerusakan (downtime) pada
mesin sewaktu proses produksi sehingga dapat meminimalkan biaya kehilangan
produksi.
2.3.2 Jenis Pemeliharaan
Menurut Sudradjat (2011), jenis pemeliharaan diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Preventive Maintenance
Preventive maintenance merupakan pemeliharaan yang dilakukan
sebelum terjadi kerusakan. Kebijakan ini cukup baik dapat mencegah
berhentinya mesin yang tidak direncanakan. Keuntungan kebijakan
pemeliharaan ini akan menjamin keandalan dari suatu sistem tersebut,
menjamin keselamatan bagi pemakai, umur pakai mesin menjadi lebih panjang,
downtime proses produksi dapat dikurangi. Sedangkan kerugian yang terjadi
diantaranya waktu operasi akan banyak terbuang, kemungkinan akan terjadi
human error dalam assembling atau lainnya. Tujuan pemeliharaan pencegahan
diarahkan untuk memaksimalkan availability, dan meminimalkan ongkos
melalui peningkatan reliability.
19
Universitas Muhammadiyah Riau
2. Breakdown Maintenance
Breakdown maintenance dapat diartikan sebagai kebijakan
pemeliharaan dengan cara peralatan dioperasikan hingga rusak, kemudian baru
diperbaiki atau diganti. Kebijakan ini merupakan strategi yang kasar dan kurang
baik karena dapat menimbulkan biaya tinggi, kehilangan kesempatan untuk
mengambil keuntungan bagi perusahaan karena diakibatkan terhentinya mesin,
keselamatan kerja tidak terjamin, kondisi mesin tidak diketahui dan tidak ada
perencanaan waktu, tenaga kerja, maupun biaya yang baik.
3. Scheduled Maintenance
Scheduled maintenance bertujuan mencegah terjadinya kerusakan dan
pemeliharaannya dilakukan secara periodik dalam rentang waktu tertentu.
Rentang waktu pemeliharaan ditentukan berdasarkan pengalaman, data masa
lalu atau rekomendasi dari pabrik pembuat mesin tersebut.
4. Predictive Maintenance
Predictive maintenance merupakan bagian dari pemeliharaan
pencegahan. Predictive maintenance ini dapat artikan sebagai strategi
pemeliharaan dimana pelaksanaannya didasarkan kondisi mesin itu sendiri.
Predictive maintenance disebut juga pemeliharaan berdasarkan kondisi
(condition based maintenance) atau juga disebut monitoring kondisi mesin
(machinery condition monitoring), yang artinya sebagai penentuan kondisi
mesin dengan cara memeriksa mesin secara rutin, sehingga dapat diketahui
keandalan mesin serta keselamatan kerja terjamin.
5. Corrective Maintenance
Menurut Nachnuk dan Imron (2013), corrective maintenance adalah
kegiatan pemeliharaan yang dilakukan setelah terjadinya kerusakan pada
peralatan sehingga peralatan tidak dapat berfungsi dengan baik. Kegiatan
corrective maintenance meliputi seluruh aktifitas mengembalikan sistem dari
keadaan rusak menjadi beroperasi kembali. Perbaikan baru terjadi ketika
mengalami kerusakan, walaupun terdapat beberapa perbaikan yang diundur.
Aktifitas corrective maintenance meliputi kegiatan persiapan (preparation
20
Universitas Muhammadiyah Riau
time) berupa persiapan tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan ini, adanya
perjalanan, adanya alat dan peralatan tes, dan lain-lain.
2.4 Reliability Centered Maintenance (RCM)
Reliability Centered Maintenance (RCM) didefinisikan sebagai suatu
proses yang digunakan untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan untuk
menjamin setiap asset fisik atau suatu sistem dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan fungsi yang diinginkan oleh penggunanya. Reliability Centered
Maintenance adalah suatu proses untuk menjamin suatu aset fisik berjalan sesuai
keinginan pengguna (Moubray, 1997). Secara definisi bahwa disebutkan
penggunaan RCM diharapkan menjadi sistem perawatan yang bisa menekan angka
kerusakan mendadak yang seharusnya bisa diketahui oleh pengguna. Selain itu
untuk menjaga alur produksi tetap pada porosnya sesuai permintaan yang diolah
untuk diserahkan ke bagian produksi.
2.4.1 Prinsip-Prinsip Reliability Centered Maintenance
Penelitian tentang RCM pada dasarnya berusaha menjawab tujuh
pertanyaan utama tentang asset atau peralatan yang diteliti. Ketujuh pertanyaan
mendasar tersebut antara lain:
1. Apakah fungsi dan hubungan performasi standar dari item dalam konteks pada
saat ini (system failure)?
2. Bagaimana item/peralatan tersebut rusak dalam menjalankan fungsinya
(functional failure)?
3. Apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi tersebut (failure mode)?
4. Apakah yang terjadi pada saat terjadi kerusakan (failure effect)?
5. Bagaimana masing-masing kerusakan tersebut terjadi (failure consequence)?
6. Apakah yang dapat dilakukan untuk memprediksi atau mencegah masing-
masing kegagalan tersebut (proactive task and task interval)?
7. Apakah yang harus dilakukan apabila kegiatan proaktif yang sesuai tidak
berhasil ditemukan?
21
Universitas Muhammadiyah Riau
2.4.2 Tujuan Reliability Centered Maintenance
Tujuan dari penggunaan RCM ini adalah sebagai berikut (Moubray, 1997):
1. Untuk mengembangkan desain yang sifat mampu dipeliharanya
(maintainability) baik.
2. Untuk memperoleh informasi yang penting dalam melakukan improvement
pada desain awal yang kurang baik.
3. Untuk mengembangkan sistem pemeliharaan yang dapat mengembalikan
kepada reliability dan safety seperti awal mula peralatan dari deteriorasi yang
terjadi setelah sekian lama dioperasikan.
4. Untuk mewujudkan semua tujuan di atas dengan biaya minimum.
Reliability Centered Maintenance merupakan suatu teknik yang dipakai
untuk mengembangkan preventive maintenance. Hal ini didasarkan pada prinsip
bahwa keandalan dari peralatan dan stuktur dari kinerja yang akan dicapai adalah
fungsi dari perencanaan dan kualitas pembentukan preventive maintenance yang
efektif. Perencanaan tersebut juga meliputi komponen pengganti yang telah
diprediksikan dan direkomendasikan. Reliability Centered Maintenance
didefinisikan sebagai sebuah proses yang digunakan untuk menentukan kebutuhan
pemeliharaan terhadap aset yang bersifat fisik dalam konteks operasinya. Secara
mendasar, metodologi RCM menyadari bahwa semua peralatan pada sebuah
fasilitas tidak memiliki tingkat prioritas yang sama. RCM menyadari bahwa disain
dan operasi dari peralatan berbeda-beda sehingga memiliki peluang kegagalan yang
berbeda-beda juga. Adapun keuntungan dari RCM adalah sebagai berikut:
1. Dapat menjadi program perawatan yang paling efisien
2. Biaya yang lebih rendah dengan mengeliminasi kegiatan perawatan yang tidak
diperlukan
3. Minimasi frekuensi overhaul
4. Minimasi peluang kegagalan peralatan secara mendadak
5. Dapat memfokuskan kegiatan perawatan pada komponen-komponen kritis
6. Meningkatkan reliability komponen
7. Menggabungkan root cause analysis
22
Universitas Muhammadiyah Riau
2.4.3 Langkah-Langkah Penerapan RCM
Sebelum menerapkan RCM, kita harus menentukan dulu langkah-langkah
yang diperlukan dalam RCM. Adapun tujuh langkah dalam RCM, yaitu (Smith &
Hinchcliffe, 2004):
1. Pemilihan sistem dan pengumpulan informasi
2. Pendefinisian batasan sistem
3. Deskripsi sistem dan Diagram Blok Fungsi (Function Block Diagram)
4. Fungsi sistem dan kegagalan fungsi
5. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
6. Logic Tree Analysis (LTA)
7. Pemilihan tindakan
2.4.4 Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi
Ketika memutuskan untuk menerapkan metode RCM pada fasilitas, ada dua
hal yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu:
- Sistem yang akan dilakukan analisis, proses analisis RCM pada tingkat sistem
akan memberikan informasi yang lebih jelas mengenai fungsi dan kegagalan
fungsi komponen.
- Seluruh sistem akan dilakukan proses analisis dan bila tidak bagaimana
dilakukan pemilahan sistem.
Biasanya tidak semua sistem akan dilakukan proses analisis. Hal ini
disebabkan karena bila dilakukan proses analisis secara bersamaan untuk dua
sistem atau lebih proses analisis akan sangat luas. Selain itu, proses analisis akan
dilakukan secara terpisah, sehingga dapat lebih mudah untuk menunjukkan setiap
karakteristik sistem dari fasilitas (mesin/peralatan) yang dibahas. Pemilihan sistem
dapat dilakukan pada beberapa aspek kriteria yaitu:
- Sistem yang mendapat perhatian tinggi karena berkaitan dengan masalah
keselamatan (safety) dan lingkungan.
- Sistem yang memiliki preventive maintenance dan/atau biaya preventive
maintenance yang tinggi.
23
Universitas Muhammadiyah Riau
- Sistem yang memiliki tindakan corrective maintenance dan/atau biaya
corrective maintenance yang banyak.
- Sistem yang memiliki kontribusi yang besar atas terjadinya full atau partial
outage (shutdown).
Pengumpulan informasi berfungsi untuk mendapatkan gambaran dan
pengertian yang lebih mendalam mengenai sistem dan bagaimana sistem bekerja.
Informasi-informasi yang dikumpulkan dapat melalui pengamatan langsung di
lapangan, wawancara dan sejumlah buku referensi. Untuk dokumen atau informasi
yang dibutuhkan dalam analisis RCM antara lain:
- Blok diagram merupakan sebuah gambaran dari sistem, rangkaian atau program
yang masing-masing fungsinya diwakili oleh gambar kotak berlabel dan
hubungan diantaranya digambarkan dengan garis penghubung.
- Vendor manual yaitu berupa dokumen data dan informasi mengenai desain dan
operasi tiap peralatan dan komponen
- Riwayat peralatan yaitu kumpulan data kegagalan (failure) komponen dan
peralatan dengan data corrective maintenance yang pernah dilakukan.
2.4.5 Pendefinisian Batasan Sistem
Jumlah sistem dalam suatu fasilitas sangat banyak karena itu perlu
dilakukan definisi batas sistem. Pendefinisian bertujuan untuk menghindari
tumpang tindih antara satu sistem dengan sistem lainnya. Dalam melakukan
pendefinisian batas sistem harus (Smith & Hinchcliffe, 2004):
- Memiliki pengetahuan apa yang harus dimasukkan dalam sistem dan mana yang
tidak, sehingga fungsi penting yang potensial tidak terabaikan.
- Mengetahui batas sistem dan temukan faktor atau parameter yang masuk ke
dalam sistem serta faktor keluaran sistem.
Hal-hal yang didokumentasikan dalam proses pendefinisian batas sistem yaitu
berupa:
- Gambaran umum batas sistem yang meliputi pendefinisian elemen-elemen
setiap sistem dan batas fisik primer sistem.
24
Universitas Muhammadiyah Riau
- Gambar detail batas sistem yang melibatkan masukan dan keluaran setiap
sistem.
2.4.6 Deskripsi Sistem dan Fuctional Block Diagram (FBD)
Tahap ketiga dari RCM adalah mengidentifikasi dan mendokumentasikan
data-data atau informasi detail bagaimana sistem tersebut bekerja. Langkah
pendeskripsian sistem diperlukan untuk mengetahui komponen-komponen yang
terdapat di dalam sistem tersebut dan bagaimana komponen-komponen yang
terdapat dalam sistem tersebut beroperasi. Sedangkan informasi fungsi peralatan
dan cara sistem beroperasinya dapat dipakai sebagai informasi untuk membuat
dasar untuk menentukan kegiatan pemeliharaan pencegahan.
Functional Block Diagram memperlihatkan interaksi antara satu blok
diagram fungsi dengan blok diagram fungsi lainnya. Melalui pembuatan blok
diagram fungsi suatu sistem maka masukan, keluaran dan interaksi antara sub-sub
sistem tersebut dapat tergambar dengan jelas.
2.4.7 Fungsi Sistem dan Kegagalan Fungsi
Fungsi sistem merupakan kinerja yang diharapkan oleh sistem agar dapat
beroperasi sedangkan kegagalan fungsi merupakan suatu sistem yang berjalan tidak
sesuai dengan standar fungsi sistem tersebut. Harus diingat prinsip RCM adalah
menjaga fungsi sistem, oleh karena itu perlu untuk berpikiran bahwa:
- Pada tahap proses analisa, fokus pada kegagalan fungsi bukan kegagalan
peralatan.
- Kerusakan fungsi biasanya dinyatakan dalam sebuah pernyataan kegagalan
fungsi.
Pembuatan daftar fungsi sistem yang lengkap akan membantu dalam
menentukan tindakan pemeliharaan dalam menjaga fungsi sistem tetap bekerja
sesuai dengan yang diinginkan.
25
Universitas Muhammadiyah Riau
2.4.8 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
FMEA merupakan suatu metode yang bertujuan untuk mengevaluasi desain
sistem dengan mempertimbangkan bermacam-macam mode kegagalan dari sistem
yang terdiri dari komponen dan menganalisis pengaruh terhadap keandalan sistem
tersebut. Tahap ini merupakan tahap analisa penyebab terjadinya kegagalan fungsi
pada bagian mesin yang diteliti. Kegagalan fungsi pada bagian mesin yang diteliti
akan ditampilkan dalam bentuk matriks. Pembuatan matrik ini menggambarkan
hubungan antara kegagalan fungsi (baris) dengan bagian-bagian mesin yang diteliti
(kolom) yang akan menjadi dasar pembuatan tabel FMEA. Melalui pembuatan
tabel FMEA dapat diketahui mode kerusakan dan penyebab kerusakan bagian-
bagian mesin yang diteliti. Dengan penelusuran pengaruh-pengaruh kegagalan
komponen sesuai dengan level sistem, item-item khusus dapat dinilai dan tindakan-
tindakan perbaikan diperlukan untuk memperbaiki desain dan mengeliminasi atau
mereduksi probabilitas dari mode kegagalan yang kritis. Teknik analisis ini lebih
menekankan pada bottom-up approach. Dikatakan demikian karena analisis yang
dilakukan, dimulai dari peralatan yang mempunyai tingkat terendah dan
meneruskannya ke sistem yang merupakan tingkat yang lebih tinggi. Komponen
berbagai mode kegagalan berikut dampaknya pada sistem dituliskan pada sebuah
FMEA Worksheet.
Dalam proses analisa FMEA sumber informasi yang dapat digunakan antara
lain sebagai berikut:
- Data historis keruakan peralatan, melalui data historis dapat memberikan
informasi mode kerusakan yang sebenarnya terjadi pada komponen.
- Original Equipment Manufacture (OEM) yang merupakan dokumen mengenai
perancangan, operasi dan pemeliharaan peralatan yang bersangkutan.
Tahap akhir proses FMEA adalah menentukan akibat dari mode kerusakan
terhadap tiga tingkatan yaitu akibat kerusakan untuk lokal, akibat kerusakan untuk
sistem, dan akibat kerusakan untuk fasilitas. Redudansi berfungsi untuk mencegah
terjadinya kegagalan fungsi, oleh karena itu apabila redudansi dapat menghapus
mode kerusakan, proiritas analisi untuk mode kerusakan tersebut akan dikeluarkan
dari analisis dan dicatat pada daftar Run to Failure (RTF).
26
Universitas Muhammadiyah Riau
Kerusakan suatu mesin yang terjadi pada suatu kurun waktu dapat
menimbulkan dampak yang cukup besar bagi perusahaan. Jenis-jenis kerusakan
yang terjadi dapat menimbulkan efek dan akibat yang berbeda-beda juga terhadap
kinerja mesin yang ada. Kerusakan yang timbul pasti ada potensi yang bisa dicari.
Maka dari itu, apabila potensi penyebab bisa diketahui, pencegahan dan antisipasi
akan menjadi hal yang penting untuk perusahaan. Berikut ini adalah contoh tabel
analisa kegagalan dan efeknya atau biasa disebut Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA):
Tabel 2.2 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) RCM Information
Worksheet
Sistem :
Sub-Sistem :
Fungsi Sub-Sistem :
No. Equipment Function Function
Failure
Effect Of
Failure
S O D RPN
Sumber : (Gaspersz, 2002)
Pada Tabel 2.2 kolom Equipment diisikan dengan nama komponen, kolom
Function diisikan dengan fungsi komponen tersebut, pada kolom Function Failure
diisikan dengan kegagalan fungsi komponen tersebut, kolom Effect Failure diisikan
dengan akibat dari kegagalan komponen tersebut. Selanjutnya pada kolom S
(Severity), O (Occurance), dan D (Detection) pengisiannya menurut tabel yang
telah ada.
Pada skala yang pertama yaitu tingkat keparahan (Severity) merupakan
penilaian terhadap seberapa serius kerusakan dan efeknya. Dalam skala ini dapat
diketahui dari tingkat keparahannya apabila tinggi, maka efek yang ditimbulkan
akan juga besar dan sebaliknya jika tingkat keparahannya rendah, maka efek yang
27
Universitas Muhammadiyah Riau
ditimbulkan juga rendah. Dibawah ini merupakan tabel penilaian skala severity atau
tingkat keparahan.
Tabel 2.3 Rating Tingkat Keparahan (Severity) Effect Severity Effect For FMEA Rating
Tidak Ada Bentuk kegagalan tidak memiliki pengaruh 1
Sangat Minor Gangguan minor pada lini produksi, Sebagian kecil produk harus
dikerjakan ulang ditempat, Pelanggan yang jeli menyadari defect
tersebut
2
Minor Gangguan minor pada lini produksi, Sebagian produk harus
dikerjakan secara on-line ditempat, Sebagian pelanggan
menyadari defect tersebut
3
Sangat Rendah Gangguan minor pada lini produksi Produk harus dipilah dan
sebagian dikerjakan ulang, , Pelanggan secara umum menyadari
defect tersebut
4
Rendah Gangguan minor pada lini produksi 100% produk harus
dikerjakan ulang, Produk dapat beroperasi, tetapi sebagian item
tambahan beroperasi dengan performansi yang berkurang
5
Sedang Gangguan minor pada lini produksi, Sebagian produk harus
dikerjakan ulang (tanpa ada pemilahan), Produk dapat beroperasi,
tetapi sebagian item tambahan tidak dapat berfungsi
6
Tinggi Gangguan minor pada lini produksi, Produk harus dipilah dan
sebagian dibongkar ulang, Produk dapat beroperasi,
performansinya berkurang
7
Sangat Tinggi Gangguan major pada lini produksi 100% produk harus
dibongkar, Produk tidak terdapat dioperasikan dan kehilangan
fungsi utamanya
8
Berbahaya
dengan
peringatan
Dapat membahayakan operator mesin Kegagalan dapat
mempengaruhi keamanan operasional produk atau tidak sesuai
dengan peraturan, Kegagalan akan terjadi dengan didahului
peringatan
9
Berbahaya tanpa
adanya
peringatan
Dapat membahayakan operator mesin, Kegagalan dapat
mempengaruhi keamanan operasional produk atau tidak sesuai
dengan peraturan pemerintah, Kegagalan akan terjadinya tanpa
adanya peringatan terlebih dahulu
10
Sumber : (Gaspersz, 2002)
28
Universitas Muhammadiyah Riau
Skala yang kedua yaitu tingkat kejadian (Occurence) merupakan
kemungkinan bahwa mesin akan terjadi kegagalan selama masa periode tertentu.
Penilaian tingkat kejadian ini menggunakan rating yang telah disesuaikan dengan
frekuensi yang diprediksi dari kumulatif kegagalan yang terjadi. Dibawah ini
merupakan tabel penilaian untuk skala occurance atau tingkat kejadian.
Tabel 2.4 Rating Tingkat Kejadian (Occurance) Ranking
Occurance
Kejadian Kriteria Verbal Tingkat Kejadian
Kerusakan
1 Hampir tidak
pernah
Kerusakan hampir tidak
pernaj terjadi
> 10.000 jam operasi
mesin
2 Remote Kerusakan jarang terjadi 6.001 – 10.000 jam
operasi
3 Sangat sedikit Kerusakan terjadi sangat
sedikit
3.001 – 6000 jam
operasi
4 Sedikit Kerusakan terjadi sedikit 2.001 – 3.000 jam
operasi
5 Rendah Kerusakan terjadi pada
tingkat rendah
1.001 – 2.000 jam
operasi
6 Medium Kerusakan terjadi pada
tingkat medium
401 – 1.000 jam
operasi
7 Agak tinggi Kerusakan terjadi agak tinggi 101 – 400 jam operasi
8 Tinggi Kerusakan terjadi tinggi 11 – 100 jam operasi
9 Sangat tinggi Kerusakan terjadi sangat
tinggi
2 – 10 jam operasi
10 Hampir selalu Kerusakan selalu terjadi < 2 jam operasi
Sumber : (Gaspersz, 2002)
Yang ketiga adalah skala deteksi (Detection) merupakan pengukuran
terhadap kemampuan mengontrol kegagalan yang dapat terjadi. Dibawah ini
merupakan tabel penilaian untuk skala detection atau tingkat deteksi.
29
Universitas Muhammadiyah Riau
Tabel 2.5 Rating Tingkat Deteksi (Detection) Ranking
Detection
Akibat Kriteria Verbal
1 Hampir
Pasti
Perawatan preventif akan selalu mendeteksi penyebab atau
mekanisme kegagalan dan mode kegagalan
2 Sangat
Tinggi
Perawatan preventif memiliki kemungkinan sangat tinggi untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan
3 Tinggi Perawatan preventif memiliki kemungkinan tinggi untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan
4 Moderate
Highly
Perawatan preventif memiliki kemungkinan moderate highly
untuk mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan
dan mode kegagalan
5 Moderate Perawatan preventif memiliki kemungkinan moderate untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan
6 Rendah Perawatan preventif memiliki kemungkinan rendah untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan
7 Sangat
Rendah
Perawatan preventif memiliki kemungkinan sangat rendah untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan
8 Remote Perawatan preventif memiliki kemungkinan remote untuk
mendeteksi penyebab potensial atau mekanisme kegagalan dan
mode kegagalan
Sumber : (Gaspersz, 2002)
Setelah didapat ketiga skala maka dicari nilai RPN atau Risk Priority
Number untuk menunjukkan tingkat prioritas mesin yang dianggap membahayakan
dan memerlukan perlakuan khusus dan cepat. RPN dapat dituliskan rumusannya
sebagai berikut (Gaspersz, 2002):
𝑅𝑃𝑁 = 𝑆𝑒𝑣𝑒𝑟𝑖𝑡𝑦 × 𝑂𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑛𝑐𝑒 × 𝐷𝑒𝑡𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 (2.1)
30
Universitas Muhammadiyah Riau
2.4.9 Logic Tree Analysis (LTA)
Logic Tree Analysis (LTA) dimaksudkan untuk membedakan prioritas pada
setiap jenis kerusakan dan melakukan peninjauan fungsi serta kegagalan fungsi dari
mesin atau komponen. Dalam setiap kegagalan atau kerusakan akan diprioritaskan
dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada LTA. Penggolongan
jenis kerusakan menurut kekritisannya dapat digolongkan menjadi empat, yaitu
sebagai berikut (Smith & Hinchcliffe, 2004):
1. Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, terlah terjadi
gangguan dalam sistem?
2. Safety, yaitu apakah kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan?
3. Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau sebagian
mesin terhenti?
4. Category, yaitu pengkategorian setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan. Pengkategorian terbagi menjadi empat kategori yaitu:
a. Kategori A (Safety Problem), jika failure mode mempunyai konsekuensi
safety terhadap personal maupun lingkungan.
b. Kategori B (Outage Problem), jika failure mode mempunyai konsekuensi
terhadap operasional plant sehingga dapat menyebabkan kerugian ekonomi
yang siginifikan.
c. Kategori C (Economic Problem), jika failure mode tidak berdampak pada
safety maupun operasional plant dan hanya menyebabkan kerugain ekonomi
yang relatif kecil untuk perbaikan.
d. Kategori D (Hidden Problem), jika failure mode tergolong sebagai hidden
failure, yang kemudian digolongkan lagi kedalam kategori D/A, kategori
D/B dan kategori D/C.
31
Universitas Muhammadiyah Riau
Gambar 2.11 Logic Tree Analysis
Sumber : (Smith & Hinchcliffe, 2004)
2.4.10 Pemilihan Tindakan (Task Selection)
Pemilihan tindakan merupakan tahap terakhir dari proses analisa RCM. Dari
tiap mode kerusakan dibuat daftar tindakan yang mungkin untuk dilakukan dan
selanjutnya memilih tindakan yang paling efektif. Proses analisa ini akan
menentukan tindakan preventive maintenance yang tepat untuk mode kerusakan
tertentu. Tugas yang dipilih dalam kegiatan preventive maintenance harus
memenuhi syarat berikut:
1. Jika tindakan pencegahan tidak dapat mengurangi resiko terjadinya kegagalan
majemuk sampai suatu batas yang dapat diterima, maka perlu dilakukan tugas
menemukan kegagalan secara berkala. Jika tugas menemukan kegagalan
berkala tersebut tidak menghasilkan apa-apa, maka keputusan standar
selanjutnya yang wajib dilakukan adalah mendesain ulang sistem tersebut
(tergantung dari konsekuensi kegagalan majemuk yang terjadi).
2. Jika tindakan pencegahan dilakukan, akan tetapi biaya proses total masih lebih
besar daripada jika tidak dilakukan, yang dapat menyebabkan terjadinya
TIDAK
TIDAK
TIDAK
YA
YA
YA
(3) Outage
(2) Safety
(1) Evident
Pada kondisi normal, apakah operator
mengetahui bahwa sesuatu telah terjadi
Jenis kegiatan
Apakah mode kegagalan menyebabkan
masalah keselamatan? Hidden Failure
Safety Problem Apakah mode kegagalan
mengakibatkan seluruh/sebagian
sistem terhenti?
Outage Problem Kemungkinan kecil
economic problem
A
B C
D
32
Universitas Muhammadiyah Riau
konsekuensi operasional, maka keputusan awalnya adalah tidak perlu dilakukan
maintenance terjadwal (jika hal ini telah dilakukan dan ternyata konsekuensi
operasional yang terjadi masih terlalu besar, maka sudah saatnya untuk
dilakukan desain ulang terhadap sistem).
3. Jika dilakukan tindakan pencegahan, akan tetapi biaya proses total masih lebih
besar dari pada jika tidak dilakukan tindakan pencegahan, yang dapat
menyebabkan terjadinya konsekuensi non operasional, maka keputusan
awalnya adalah tidak perlu dilakukan maintenance terjadwal, akan tetapi
apabila biaya perbaikannya terlalu tinggi, maka sekali lagi sudah saatnya
dilakukan desain ulang terhadap sistem.
Gambar 2.12 Diagram Alir Pemilihan Tindakan
Sumber : (Smith & Hinchcliffe, 2004)
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak Ya
Apakah umur keandalan yang berhubungan
dengan kegagalan ini diketahui?
Tentukan tindakan TD
Apakah tindakan TD bisa digunakan?
Apakah tindakan CD bisa digunakan?
Tentukan tindakan CD
Apakah termasuk mode kerusakan D?
Apakah tindakan FF dapat digunakan?
Tentukan tindakan FF
Apakah tindakan yang dipilih efektif?
Dapatkah modifikasi
menghilangkan mode kerusakan?
Tentukan tindakan TD, CD, FF Terima Mode Kerusakan Lakukan Modifikasi
Tidak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
33
Universitas Muhammadiyah Riau
Dalam pelaksanaannya pemilihan tindakan dapat dilakukan dengan empat cara
yaitu:
- Time Directed (TD) yaitu suatu tindakan yang bertujuan melakukan
pencegahan langsung terhadap suber kerusakan peralatan yang didasarkan
pada waktu atau umur komponen.
- Condition Directed (CD) yaitu suatu tindakan yang bertujuan untuk
mendeteksi kerusakan dengan cara memeriksa alat. Apabila dalam
pemeriksaan ditemukan gejala-gejala kerusakan peralatan maka dilanjutkan
dengan perbaikan atau penggantian komponen.
- Failure Finding (FF) yaitu suatu tindakan yang bertujuan untuk
menemukan kerusakan peralatan yang tersembunyi dengan pemeriksaan
berkala.
- Run to Failure (RTF) yaitu suatu tindakan yang menggunakan peralatan
sampai rusak, karena tidak ada tindakan yang ekonomis dapat dilakukan
untuk pencegahan kerusakan.
2.5 Keandalan (Reliability)
Pemeliharaan komponen atau peralatan tidak bisa lepas dari pembahasan
mengenai keandalan (reliability). Selain keandalan merupakan salah satu ukuran
keberhasilan sistem pemeliharaan juga keandalan digunakan untuk menentukan
penjadwalan pemeliharaan sendiri. Keandalan dalam berbagai hal dianggap sebagai
parameter suatu hal dikatakan “baik” atau “jelek”. Tidak sedikit stigma yang
diperoleh suatu produk tentang keandalan berdampak tidak dipercayainya kualitas
suatu barang untuk dikonsumsi atau digunakan. Definisi keandalan sendiri
seringkali masih berbeda-beda walaupun banyak sekali definisi-definisi yang
dikeluarkan oleh lembaga atau peneliti. Menurut Mohammad Rosyid (2007)
keandalan sebuah komponen atau sistem adalah peluang komponen atau sistem
tersebut untuk memenuhi tugas yang telah ditetapkan tanpa mengalami kegagalan
selama kurun waktu tertentu apabila dioperasikan dengan benar dalam lingkungan
tertentu. Akhir-akhir ini konsep keandalan digunakan juga pada berbagai industri,
34
Universitas Muhammadiyah Riau
misalnya dalam penentuan jumlah suku cadang dalam kegiatan perawatan. Ukuran
keberhasilan suatu tindakan perawatan (maintenance) dapat dinyatakan dengan
tingkat reliability.
Menurut (Ebeling, 1997) dapat didefenisikan sebagai probabilitas suatu
sistem dapat beroperasi dengan baik tanpa mengalami kerusakan pada suatu kondisi
tertentu dan waktu yang telah ditentukan. Menurut (Birolini, 2003) reliability dapat
didefenisikan sebagai karakteristik probabilitas suatu sistem dapat melakukan
fungsinya dalam kondisi tertentu dan waktu yang telah ditentukan. Secara umum
reliability dapat didefinisikan sebagai probabilitas suatu sistem atau produk dapat
beroperasi dengan baik tanpa mengalami kerusakan pada suatu kondisi tertentu dan
waktu yang telah ditentukan, Tujuan utama dari studi keandalan adalah untuk
memberikan informasi sebagai basis untuk mengambil keputusan. Selain itu teori
reliability dapat digunakan untuk memprediksi kapan suatu komponen pada suatu
mesin akan mengalami kerusakan, sehingga dapat menentukan kapan harus
dilakukan perawatan, pergantian dan penyediaan komponen.
Secara konseptual untuk memudahkan konsep keandalan dapat
menggunakan kurva bak mandi (bathtub curve). Secara fundamental ada 2 konsep
laju kegagalan yang berimplikasi dengan perlakuan terhadap sistem atau
komponen. Yang pertama adalah Fungsi Laju Bahaya atau Hazard Rate Function
yang disimbolkan dengan 𝑧(𝑡) dan yang kedua adalah laju kegagalan (failure rate).
Perbedaan dari kedua konsep adalah perlakuan khusus terhadap komponen yang
repaireable dan non-repaireable. Untuk konsep Fungsi Laju Bahaya komponen
yang dilukiskan dalam kurva yaitu yang bersifat non-repaireable sedangkan untuk
Laju Kegagalan untuk komponen yang repaireable dalam menyusun suatu sistem.
35
Universitas Muhammadiyah Riau
Gambar 2.13 Bathtub Curve
Sumber : (Wikipedia, 2019)
Sebagaimana digambarkan kurva di atas, sebuah komponen yang khas akan
bekerja dengan lifetime yang terbagi dalam tiga fase pada bathtub curve ini yaitu:
Fase 1
Pada fase ini, 𝑧(𝑡) menunjukkan gejala menurun akibat terjadinya kegagalan
dini (premature). Gejala ini juga dapat diamati pada definisi genetika yang
menyebabkan kematian dini bayi. Oleh sebab itu, fase ini disebut fase kematian
bayi (infant mortality phase).
Fase 2
Pada fase ini komponen 𝑧(𝑡) yang kurang lebih konstan. Pada fase ini
kegagalan umumnya terjadi secara tidak wajar, seperti tegangan berlebihan,
atau kecelakaan. Kegagalan yang terjadi pada fase ini lazim disebut kegagalan
acak (constant random failures). Fase ini umum disebut fase operasi normal.
Fase 3
Fase ini menunjukkan 𝑧(𝑡) yang berkecenderungan meningkat. Ini berarti
bahwa selama fase 3 ini, peluang kegagalan komponen selama interval yang
sama berikutnya bertambah besar. Ini merupakan gejala yang sama pada proses
penuaan (ageing) sehingga fase ini lazim disebut fase pengausan (wear-out
phase).
36
Universitas Muhammadiyah Riau
Dalam teori reliability (Ebeling, 1997) terdapat empat konsep yang dipakai
dalam pengukuran tingkat keandalan (reliability) suatu sistem atau produk, yaitu:
1. Fungsi Kepadatan Probabilitas
Pada fungsi ini menunjukkan bahwa kerusakan terjadi secara terus-menerus
(continuous) dan bersifat probabilistik dalam selang waktu (0, ∞). Pengukuran
kerusakan dilakukan dengan menggunakan data variabel seperti tinggi, jarak,
jangka waktu. Dimana fungsi 𝑓(𝑥) dinyatakan fungsi kepadatan probabilitas.
2. Fungsi Distribusi Kumulatif
Fungsi ini menyatakan probabilitas kerusakan dalam percobaan acak, dimana
variabel acak tidak lebih dari 𝑥.
3. Fungsi Keandalan
Bila variabel acak dinyatakan sebagai suatu waktu kegagalan atau umur
komponen maka fungsi keandalan dinotasikan dengan 𝑅(𝑡) memiliki range 0 <
𝑅(𝑡) < 1, dimana:
𝑅 = 1 sistem dapat melaksanakan fungsi dengan baik.
𝑅 = 0 sistem tidak dapat melaksanakan fungsi dengan baik.
Maka rumus fungsi keandalan adalah:
𝑅(𝑡) = 1 − 𝑃(𝑇 < 3) (2.2)
𝑅(𝑡) = ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡∞
𝑡
(2.3)
𝑅(𝑡) = 1 − 𝑓(𝑡) (2.4)
Fungsi keandalan 𝑅(𝑡) untuk preventive maintenance dirumuskan sebagai
berikut:
𝑅(𝑡 − 𝑛𝑇) = 1 − 𝐹(𝑡 − 𝑛𝑇) (2.5)
keterangan :
𝑛 : jumlah penggantian pencegahan yang telah dilakukan sampai
kurun waktu 𝑡
37
Universitas Muhammadiyah Riau
𝑇 : interval penggantian komponen
𝐹(𝑡) : frekuensi distribusi kumulatif komponen
4. Fungsi Laju Kerusakan
Fungsi laju kerusakan didefinisikan sebagai limit dari laju kerusakan dengan
panjang interval waktu mendekati nol, maka fungsi laju kerusakan adalah laju
kerusakan sesaat.
2.5.1 Pola Distribusi Data Dalam Keandalan
Untuk mengetahui pola data yang terbentuk, maka digunakan 4 macam
distribusi. Distribusi tersebut adalah distribusi normal, lognormal, weibull, dan
eksponensial. (Ebeling, 1997)
1. Distribusi Normal
Distribusi normal menggambarkan dengan cukup baik banyak gejala yang
muncul di alam, industri, dan penelitian. Dalam pengukuran fisik di bidang
meteorologi, penelitian curah hujan, dan pengukuran suku cadang yang diproduksi
seiring dengan baik dapat diterangkan menggunakan distribusi normal (Walpole,
1995). Berikut adalah gambar kurva dari distribusi normal:
Gambar 2.14 Kurva distribusi normal
Sumber : (Walpole, 1995)
38
Universitas Muhammadiyah Riau
Fungsi-fungsi dari distribusi normal adalah sebagai berikut: (Ebeling, 1997)
a. Fungsi kepadatan probabilitas
𝑓(𝑡) =1
𝜎√2𝜋𝑒
(−(𝑡−𝜇)2
2𝜎2 ) (2.6)
Untuk −∞ < 𝑡 < ∞, dimana 𝑡 = waktu
b. Fungsi distribusi kumulatif
𝐹(𝑡) = 𝜙 (𝑡 − 𝜇
𝜎) (2.7)
c. Fungsi keandalan
𝑅(𝑡) = 1 − 𝐹(𝑡) (2.8)
𝑅(𝑡) = 1 − 𝜙 (𝑡 − 𝜇
𝜎) (2.9)
d. Fungsi laju kerusakan
𝜆(𝑡) =𝑓(𝑡)
𝑅(𝑡) (2.10)
𝜆(𝑡) =𝑓(𝑡)
1 − 𝜙 (𝑡 − 𝜇
𝜎 ) (2.11)
keterangan:
𝑡 : Waktu Kerusakan
𝜇 : Nilai Rata-Rata
𝜎 : Standar Deviasi
𝜙 : Fungsi Distribusi normal
2. Distribusi Lognormal
Distribusi lognormal memiliki dua parameter yaitu parameter bentuk (𝑠)
dan parameter lokasi (𝑡𝑚𝑒𝑑) yang menjadi nilai tengah waktu kerusakan. Seperti
ditribusi weibull, distribusi lognormal memiliki bentuk yang bervariasi. Yang
39
Universitas Muhammadiyah Riau
sering terjadi, biasanya data yang didekati dengan distribusi weibull juga bisa
didekati dengan distribusi lognormal (Ebeling, 1997). Dibawah ini adalah gambar
fungsi lognormal:
Gambar 2.15 Kurva distribusi lognormal
Sumber : (Ebeling, 1997)
Fungsi-fungsi dari distribusi lognormal adalah sebagai berikut:
a. Fungsi kepadatan probabilitas
𝑓(𝑡) =1
𝑡𝑠√2𝜋𝑒
{−1
2𝑠2[ln(𝑡)𝑡𝑚𝑒𝑑
]2
} (2.12)
Untuk −∞ < 𝑡 < ∞, dimana 𝑡 = waktu
b. Fungsi distribusi kumulatif
𝐹(𝑡) = 𝜙 [ln(𝑡) − 𝜇
𝜎] (2.13)
c. Fungsi keandalan
𝑅(𝑡) = 1 − 𝜙 [ln(𝑡) − 𝜇
𝜎] (2.14)
d. Fungsi laju kerusakan
40
Universitas Muhammadiyah Riau
𝜆(𝑡) =𝑓(𝑡)
1 − 𝜙 [ln(𝑡) − 𝜇
𝜎]
(2.15)
keterangan:
𝑡 : waktu kerusakan
𝑠 : standar deviasi
𝑡𝑚𝑒𝑑 : nilai tengah waktu kerusakan
𝜙 : fungsi distribusi normal
3. Distribusi Weibull
Distribusi weibull adalah distribusi yang akhir-akhir ini biasa digunakan
untuk menangani masalah dengan teknologi sekarang yang sangat rumit
perancangan sistemnya, sistem keamanannya dan juga keandalan dari sistem
tersebut. Sebagai contoh, suatu sekering putus, tiang baja melengkung, atau alat
pengindra panas tidak bekerja. Komponen yang sama dalam lingkungan yang sama
akan rusak dalam waktu yang berlainan yang tidak dapat diramalkan (Montgomery,
2005). Dibawah ini adalah gambar fungsi distribusi weibull:
Gambar 2.16 Kurva distribusi weibull
Sumber : (Walpole, 1995)
41
Universitas Muhammadiyah Riau
Fungsi-fungsi dari distribusi weibull adalah sebagai berikut:
a. Fungsi kepadatan probabilitas
𝑓(𝑡) =𝛽
𝛼(
𝑡
𝛼)
𝛽−1
𝑒 [(−𝑡
𝛼)
𝛽
] (2.16)
Untuk 𝑡 > 0
b. Fungsi distribusi kumulatif
𝐹(𝑡) = 1 − 𝑒[(−
𝑡𝛼
)𝛽
]
(2.17)
c. Fungsi keandalan
𝑅(𝑡) = 𝑒[(−
𝑡𝛼
)𝛽
]
(2.18)
d. Fungsi laju kerusakan
𝜆(𝑡) =𝛽
𝛼(
𝑡
𝛼)
𝛽−1
(2.19)
keterangan:
𝛼 : parameter skala
𝛽 : parameter bentuk
𝑡 : waktu kerusakan
Distribusi weibull dapat memenuhi beberapa periode kerusakan yang
terjadi, yaitu periode awal (early failure), periode normal, dan periode pengausan
(wear out). Periode tersebut tergantung dari nilai parameter bentuk fungsi distribusi
weibull. Distribusi ini mempunyai laju kerusakan menurun untuk 𝛽 < 1, laju
kerusakan konstan untuk 𝛽 = 1, laju kerusakan naik 𝛽 > 1.
42
Universitas Muhammadiyah Riau
Gambar 2.17 Nilai 𝜷 pada distribusi weibull
Sumber : (Ebeling, 1997)
Tabel 2.6 Jenis Pemeliharaan sesuai nilai 𝜷 distribusi weibull Nilai Jenis Perawatan
𝜷 < 𝟏 Reactive, Inspection, dan Preventive Maintenance
𝜷 = 𝟏 Reactive, Inspection, dan Predictive Maintenance
𝜷 > 𝟏 Preventive dan Time Based Maintenance
Sumber : (Ebeling, 1997)
4. Distribusi Eksponensial
Distribusi eksponensial secara luas digunakan dalam bidang keandalan
sebagai model dari interval waktu kerusakan dari sebuah komponen atau sebuah
sistem (Montgomery, 2005). Dibawah ini adalah gambar fungsi distribusi
eksponensial:
43
Universitas Muhammadiyah Riau
Gambar 2.18 Kurva distribusi eksponensial
Sumber : (Montgomery, 2005)
Fungsi-fungsi dari distribusi eksponensial adalah sebagai berikut:
a. Fungsi kepadatan probabilitas
𝑓(𝑡) = 𝜆𝑒−𝜆𝑡 (2.20)
Untuk −∞ < 𝑡 < ∞, dimana 𝑡 = waktu
b. Fungsi distribusi kumulatif
𝐹(𝑡) = 1 − 𝑒𝜆𝑡 (2.21)
c. Fungsi keandalan
𝑅(𝑡) = 𝑒−𝜆𝑡 (2.22)
d. Fungsi laju kerusakan
𝜆(𝑡) = 𝜆 (2.23)
keterangan :
𝜆 : laju kerusakan
𝑡 : waktu
44
Universitas Muhammadiyah Riau
2.5.2 Uji Kecocokan
Distribusi yang telah diamati selanjutnya harus dipertimbangkan agar sesuai
dengan harapan. Ditribusi yang telah diamati harus sesuai dengan nilai teoritis yang
telah ada agar bisa dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Uji kecocokan distribusi yang
gunakan adalah uji Goodness of Fit. Pengujian tersebut digunakan karena memiliki
probablitas yang lebih besar dalam menolak suatu distribusi yang tidak sesuai
(Ebeling, 1997).
Uji Goodness of Fit dibagi menjadi dua jenis yaitu uji umum (General Test)
dan uji khusus (Spesific Test). Untuk General Test digunakan untuk ukuran sampel
yang lebih besar dan menggunakan Chi Square Test. Sedangkan untuk Spesific Test
digunakan untuk ukuran sampel yang lebih kecil dan menggunakan Least Square
Test. Yang termasuk dalam Spesific Test yaitu Kolmogorov-Smirnov Test untuk
distribusi normal dan lognormal, Barlett Test digunakan untuk untuk distribusi
eksponensial, dan Mann’s Test untuk distribusi weibull (Ebeling, 1997).
1. Kolmogorov-Smirnov Test untuk distribusi normal dan lognormal
𝐻0 : data time to failure berdistribusi normal/lognormal
𝐻1 : data time to failure tidak berdistribusi normal/lognormal
𝐷𝑛 = 𝑚𝑎𝑥(𝐷1, 𝐷2) (2.24)
𝐷1 = 𝑚𝑎𝑥 {𝜙 (𝑡𝑖 − 𝑡̅
𝑠) − (
𝑖 − 1
𝑛)} (2.25)
𝐷2 = 𝑚𝑎𝑥 {(1
𝑛) − 𝜙 (
𝑡𝑖 − 𝑡̅
𝑠)} (2.26)
𝑠 = √∑ (𝑡𝑖 − 𝑡̅)2𝑛
𝑖=1
𝑛 − 1 (2.27)
keterangan:
𝑡𝑖 : time to failure ke-𝑖
45
Universitas Muhammadiyah Riau
𝑡̅ : rata-rata time to failure
𝑠 : standar deviasi
𝑛 : banyaknya data
2. Mann’s Test untuk distribusi weibull
𝐻0 : data time to failure berdistribusi weibull
𝐻1 : data time to failure tidak berdistribusi weibull
𝑀 =𝑘1 ∑[(ln 𝑡𝑖+1 − ln 𝑡𝑖) 𝑀𝑖⁄ ]
𝑘2 ∑[(ln 𝑡𝑖+1 − ln 𝑡𝑖) 𝑀𝑖⁄ ] (2.28)
𝑘1 = [𝑟
𝑛] (2.29)
𝑘2 = [𝑟 − 1
2] (2.30)
𝑀𝑖 = 𝑍𝑖+1 − 𝑍𝑖 (2.31)
𝑍𝑖 = ln [− ln (1 −𝑖 − 0,5
𝑛 + 0,25)] (2.32)
keterangan:
𝑡𝑖 : data antar waktu kerusakan ke-𝑖
𝑛 : jumlah data antar kerusakan suatu komponen
𝑀𝑖 : nilai pendekatan mann untuk data ke-𝑖
𝑀 : nilai perhitungan distribusi weibull
𝑀0,05;𝑘2;𝑘1 : nilai distribusi weibull
𝑟 : banyaknya data
3. Barlett Test untuk distribusi eksponensial
𝐻0 : data time to failure berdistribusi eksponensial
𝐻1 : data time to failure tidak berdistribusi eksponensial
46
Universitas Muhammadiyah Riau
𝐵 =
2𝑟 {[ln ((1𝑟) ∑ 𝑡𝑖
𝑟𝑖=1 )] − [(
1𝑟) ∑ ln(𝑡𝑖)
𝑟𝑖=1 ]}
1 +(𝑟 + 1)
6𝑟
(2.33)
keterangan:
𝑡𝑖 : waktu kerusakan ke-𝑖
𝑟 : jumlah kerusakan
Data waktu antar kerusakan terdistribusi eksponensial apabila:
Χ(1−
𝛼
2,𝑟−1)
2 < 𝐵 < Χ(
𝛼
2,𝑟−1)
2 tabel chi kuadrat (2.34)
2.5.3 Identifikasi Distribusi TTF dan TTR
1. Nilai Tengah Kerusakan
𝐹(𝑡𝑖) =𝑖 − 0,3
𝑛 + 0,4 (2.35)
keterangan:
𝑖 : kerusakan ke-𝑖
𝑛 : banyaknya data kerusakan
2. Index of Fit
𝑟 =𝑛 ∑ 𝑥𝑖 . 𝑦𝑖 − (∑ 𝑥𝑖
𝑛𝑖=1 )(∑ 𝑦𝑖
𝑛𝑖=1 )𝑛
𝑖=1
√[𝑛(∑ 𝑥𝑖2𝑛
𝑖=1 ) − (∑ 𝑥𝑖𝑛𝑖=1 )2][𝑛(∑ 𝑦𝑖
2𝑛𝑖=1 ) − (∑ 𝑦𝑖
𝑛𝑖=1 )2]
(2.36)
2.5.4 Estimasi Parameter
Estimasi parameter masing-masing distribusi menggunakan Maximum
Likelihood Estimator (MLE) untuk menentukan estimasi parameter paling
maksimal. Di bawah ini adalah MLE untuk masing-masing distribusi:
1. Distribusi Normal
47
Universitas Muhammadiyah Riau
𝜇 = ∑ 𝑡𝑖
𝑛
𝑖=1 (2.37)
𝜎 = √∑ (𝑡𝑖 − 𝜇)2𝑛
𝑖=1
𝑛 − 1 (2.38)
keterangan:
𝑡𝑖 : data waktu kerusakan ke-𝑖
𝑛 : banyaknya data kerusakan
𝜇 : nilai tengah
𝜎 : standar deviasi
2. Distribusi Lognormal
𝜇 =∑ ln 𝑡𝑖
𝑛𝑖=1
𝑛 (2.39)
𝑠 = √∑ [ln(𝑡𝑖) − 𝜇]2𝑛
𝑖=1
𝑛 (2.40)
𝑡𝑚𝑒𝑑 = 𝑒𝜇 (2.41)
keterangan:
𝑡𝑖 : data waktu kerusakan ke-𝑖
𝑛 : banyaknya data kerusakan
𝜇 : nilai tengah
𝜎 : standar deviasi
3. Distribusi Weibull
𝛼 =∑ 𝑦𝑖
𝑛−
∑ 𝑥𝑖
𝑛 (2.42)
𝛽 = 𝑏 =𝑛 ∑ 𝑥𝑖𝑦𝑖 − ∑ 𝑥𝑖 ∑ 𝑦𝑖
𝑛 ∑ 𝑥𝑖2 − (∑ 𝑥𝑖)2
(2.43)
𝜃 = 𝑒−
𝛼𝛽 (2.44)
48
Universitas Muhammadiyah Riau
keterangan:
𝑡𝑖 : data waktu kerusakan ke-𝑖
𝑛 : banyaknya data kerusakan
𝛼 : parameter skala
𝛽 : parameter bentuk
4. Distribusi Eksponensial
𝜆 =𝑛
𝑇 (2.45)
keterangan:
𝑛 : banyaknya data kerusakan
𝑇 : jumlah waktu kerusakan
2.5.5 Mean Time to Failure (MTTF)
Mean Time to Failure (MTTF) adalah rata-rata selang waktu kerusakan dari
distribusi kerusakan dan digunakan untuk memprediksi atau mempertimbangkan
terjadinya suatu kerusakan saat suatu mesin atau suatu sistem berjalan normal. Di
bawah ini adalah nilai MTTF untuk masing-masing distribusi (Ebeling, 1997):
1. Distribusi Normal
𝑀𝑇𝑇𝐹 = 𝜇 (2.46)
2. Distribusi Lognormal
𝑀𝑇𝑇𝐹 = 𝑡𝑚𝑒𝑑. 𝑒𝑠2
2 (2.47)
3. Distribusi Weibull
𝑀𝑇𝑇𝐹 = 𝜃Γ (1 +1
𝛽) (2.48)
nilai Γ (1 +1
𝛽) didapat dari Γ(𝑥) = tabel fungsi gamma
49
Universitas Muhammadiyah Riau
4. Distribusi Eksponensial
𝑀𝑇𝑇𝐹 =1
𝜆 (2.49)
2.5.6 Mean Time to Repair (MTTR)
Mean Time to Repair (MTTR) adalah rata-rata selang waktu kerusakan dari
probabilitas waktu perbaikan dan digunakan untuk memprediksi atau
mempertimbangkan dilakukannya suatu perbaikan saat kerusakan terjadi. Di bawah
ini adalah nilai MTTR untuk masing-masing distribusi (Ebeling, 1997):
1. Distribusi Normal
𝑀𝑇𝑇𝑅 = 𝜇 (2.50)
2. Distribusi Lognormal
𝑀𝑇𝑇𝑅 = 𝑡𝑚𝑒𝑑. 𝑒𝑠2
2 (2.51)
3. Distribusi Weibull
𝑀𝑇𝑇𝑅 = 𝛼Γ (1 +1
𝛽) (2.52)
nilai Γ (1 +1
𝛽) didapat dari Γ(𝑥) = tabel fungsi gamma
4. Distribusi Eksponensial
𝑀𝑇𝑇𝑅 =1
𝜆 (2.53)
2.5.7 Model Perawatan
1. Model Perawatan Age Replacement Berdasarkan Downtime
Pada model ini penggantian pencegahan dilakukan tergantung pada
umur pakai dari komponen. Tujuan model ini menentukan umur optimal
dimana penggantian pencegahan harus dilakukan sehingga dapat meminimasi
50
Universitas Muhammadiyah Riau
total downtime. Formulasi perhitungan model Age Replacement adalah sebagai
berikut (Jardine, 1973):
𝐷(𝑡𝑝) =𝑇𝑝. 𝑅(𝑡𝑝) + 𝑇𝑓[1 − 𝑅(𝑡𝑝)]
(𝑡𝑝 + 𝑇𝑝). 𝑅(𝑡𝑝) + [𝑀(𝑡𝑝) + 𝑇𝑓][1 − 𝑅(𝑡𝑝)] (2.54)
keterangan:
𝐷(𝑡𝑝) : total downtime per unit waktu untuk penggantian preventif
𝑡𝑝 : panjang siklus (interval waktu) preventif
𝑇𝑝 : downtime karena tindakan preventif (waktu yang diperlukan untuk
penggantian komponen karena tindakan preventif)
𝑇𝑓 : downtime karena kerusakan komponen (waktu yang diperlukan
untuk penggantian komponen karena kerusakan)
𝑅(𝑡𝑝) : peluang dari siklus preventif (pencegahan)
𝑀(𝑡𝑝) : nilai harapan panjang siklus kerusakan (kegagalan)
2. Keandalan Komponen Sebelum dan Sesudah Diterapkan Metode Perawatan
Pencegahan
Dalam teknologi yang semakin rumit, untuk melakukan peningkatan
keandalan dapat menggunakan model perawatan pencegahan. Model perawatan
pencegahan dapat meminimalisir wearout suatu komponen atau sistem dan
dapat mengetahui umur mesin dengan signifikan. Model perawatan ini
mengasumsikan bahwa keandalan mesin atau suatu sistem kembali ke kondisi
semula setelah dilakukannya perawatan pencegahan (Ebeling, 1997). Formulasi
keandalan saat 𝑡 adalah sebagai berikut :
𝑅𝑚(𝑡) = 𝑅(𝑡) (2.55)
untuk 0 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇
𝑅𝑚(𝑡) = 𝑅(𝑡). 𝑅(𝑡−𝑇) (2.56)
51
Universitas Muhammadiyah Riau
untuk 𝑇 ≤ 𝑡 ≤ 2𝑇
keterangan:
𝑇 : interval waktu penggantian pencegahan kerusakan
𝑅𝑚(𝑡) : keandalan dari sistem perawatan pencegahan
𝑅(𝑡) : keandalan sistem tanpa perawatan pencegahan
𝑅(𝑇) : peluang dari keandalan hingga perawatan pencegahan pertama
𝑅(𝑡−𝑇) : peluang dari keandalan antar 𝑡 − 𝑇 setelah sistem dikembalikan
pada kondisi awal saat 𝑇
3. Interval Waktu Pemeriksaan Berdasarkan Downtime
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah suatu komponen atau
perlatan masih dalam keadaan baik atau perlu dilakukannya perbaikan atau
penggantian. Dibawah adalah formulasi menghitung interval waktu
pemeriksaan:
𝑘 =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑛
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑛 (2.57)
𝜇 =𝑡
𝑀𝑇𝑇𝑅 (2.58)
𝑖 =𝑡
𝑡𝑖 (2.59)
𝑛 = √𝑘. 𝑖
𝜇 (2.60)
𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎𝑎𝑛 =1
𝑛× 𝑡 (2.61)
keterangan:
𝑡 : jam kerja per bulan
𝑡𝑖 : rata-rata waktu pemeriksaan
𝑘 : rata-rata jumlah kerusakan tiap bulan
52
Universitas Muhammadiyah Riau
𝜇 : rasio jam kerja sebulan terhadap rata-rata waktu perbaikan
𝑖 : rasio jam kerja sebulan terhadap waktu pemeriksaan
𝑛 : frekuensi pemeriksaan optimal tiap bulan
top related