bab ii tinjauan kepustakaan...kontrak, serta bagaimana status hukum warga negara indonesia dan warga...
Post on 30-Nov-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Bab ini berisi tinjauan pustaka. Uraian pertama akan
menyangkut hakikat kontrak, yang di dalamnya membahas
mengenai definisi kontrak, bagaimana status subjek hukum dalam
kontrak, serta bagaimana status hukum warga negara Indonesia dan
warga negara asing. Perlu dikemukakan bahwa kontrak (contract)
yang dirujuk dalam bab ini adalah Kontrak sebagai nama Ilmu
Hukum, sebagai dasar untuk menganalisis dan menilai perbandingan
status orang asing yang diatur oleh hukum, baik di Skotlandia,
maupun dalam sistem hukum di Indonesia. Selanjutnya akan
dikemukakan tentang prinsip persamaan di depan hukum (equality
before the law). Pembahasan diakhiri dengan prinsip hukum equality
before the law sebagai suatu kontrak.
2.1. Hakikat Kontrak
Pengertian Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum adalah:
“It is the group of kinds of obligations all concerned withlegal duties undertaken by persons, by promises to, oragreement with, another, to give or do or refrain from doingsomething to or for another, or with legal duties imposed by
law to give or do something to or for another where justicerequires is though there is no promise.” (Artinya: Segenapkewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakatdengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atautidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang laintersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yangdituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikanatau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atauuntuk orang lain, apabila keadilan menghendaki, meskipuntidak diperjanjikan sebelumnya.)1
Segenap kewajiban yang harus dilakukan, sebagaimana
dimaksud dalam pengertian atau definisi Kontrak di atas; baik
kewajiban yang lahir karena perjanjian (promise), ataupun segenap
kewajiban yang lahir karena kesepakatan (agreement), maupun
kewajiban yang lahir karena hukum (the Law), dan kewajiban
karena ada tuntutan keadilan (justice), seringkali disederhanakan
atau dianalogikan sebagai suatu sistem kewajiban (obligations) atau
perikatan yang harus dilakukan oleh setiap orang.2
Beberapa peristilahan sering digunakan secara paralel
dengan istilah kontrak dengan pengertian yang relatif sama. Istilah
kontrak sering disamakan pengertiannya dengan konsep
“obligation” atau kewajiban. Dalam literatur, para penulis hukum di
1 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 2, dalamThesis berjudul: A Comparative Study of the Indonesian Law of Leases withReference to the Scottish Law of Leases as a Model for Reform of Its IndonesianCounterparts, June 2005, Faculty of Law and Financial Studies University ofGlasgow, Scotland.2 Ibid., hlm. 3.
Indonesia3 kadangkala menyamakan kontrak atau perjanjian dengan
kata perikatan. Sedangkan dalam literatur di negara-negara common
law, perkataan obligation dapat samakan artinya dengan hubungan
hukum, atau kewajiban, dan perikatan itu digunakan pula konsep4
debt atau hutang, duty on a debtor atau kewajiban seorang debitur
atau obligor. Konsep terakhir ini berhubungan dengan hak
perorangan atau klaim (claim) yang bersifat personal (in personam).
3 Ibid., hlm. 5. Tidak banyak penulis hukum Indonesia yang Jeferson Kameokategorikan sebagai penulis hukum pionir. Subekti, satu dari si pionir yangdimaksudkan itu, dalam buku berjudul Hukum Perjanjian, Cetakan ke IX (cetakanpertama buku itu diterbitkan tahun 1963), Penerbit Intermasa, 1984, hlm. 1.,mengatakan: “Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan pada perjanjianatau persetujuan tertulis.” Dalam buku itu, Subekti berusaha membedakan kontrakdengan konsep-konsep seperti: perikatan, perjanjian, dan persetujuan. SedangkanKoesoemadi Poedjosewodjo, dalam buku berjudul Sistematik Kuliah Asas-AsasHukum Perdata, Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1960, memakai istilahperutangan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda untuk perikatan(verbintenis). Dalam buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, diminta perhatianpembaca untuk tidak kemudian menjadi berasumsi bahwa Kontrak yangdimaksudkan sebagai nama Ilmu Hukum itu adalah KUHPerdata, buku hukumyang isinya ditulis kembali dalam berbagai buku penulis-penulis pionir itu. Tidak!Tetapi, bahwa faktanya, tak terhindarkan (niscaya) isi dari KUHPerdata dan istilahyang dipergunakan di sana hampir jatuh sama dengan isi Kontrak sebagai namaIlmu Hukum. Hanya saja, kontrak atau perikatan atau apapun istilah yangdipergunakan untuk menjelaskan isi dan ruh KUHPerdata, dan berbagai peraturanperundang-undangan lainnya, hanya mengenai satu buku atau satu undang-undangsaja. Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum lebih dahsyat dari KUHPerdata, sudahada jauh sebelum KUHPerdata, memerintah KUHPerdata dan peraturanperundang-undangan yang datang setelah KUHPerdata.4 Kembali Jeferson Kameo meminta perhatian pembaca untuk melihat KeputusanMahkamah Agung RI No. 536K/Pid/2005. Menurut Keputusan tersebut, suatukonsep tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Jika konsep saja tidakmengikat, maka teori hukum pun berarti tidak mengikat. Sementara itu, kalaumelanggar konsep bukan melanggar hukum, namun melanggar asas adalahmelanggar hukum. Mahkamah Agung RI dalam putusan perkara Tata UsahaNegara No. 213K/TUN/2007, mengatakan bahwa Pejabat TUN melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas kecermatan dan asas kehati-hatian.
Sering pula ditemui istilah seperti dokumen atau surat untuk
kontrak. Masih berkaitan dengan hal itu, orang juga menggunakan
istilah bond atau surat pertanggungan atau surat perikatan, atau suatu
deed atau surat akta yang mencantumkan, atau berisi (constituting)
atau untuk membuktikan (evidencing)5 adanya suatu kewajiban
kontraktual.
Secara populer (colloquial) perikatan atau perjanjian berarti
suatu kewajiban dalam pengertian kewajiban untuk membayar, atau
suatu hutang yang harus ditunaikan oleh obligor. Dalam kaitan
dengan itu, kewajiban adalah merupakan counterpart atau sisi lain
dari suatu hak yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum
yang bersifat personal.6
5 Ibid., hlm. 6. Mengenai hal ini, belakangan, dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronikditegaskan bahwa selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/ataudokumen yang tertuang di atas kertas semata. Padahal, hakikatnya informasidan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk mediaelektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengansalinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sebab Sistem Elektronik padadasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasiyang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya. Kecuali, seperti yang diaturoleh Pasal 5 ayat (4) dan Penjelasannya, bahwa: “Ketentuan mengenai InformasiElektronik dan/atau Dokumen Elektronik atau hasil cetakannya merupakan alatbukti hukum yang sah, itu tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undangharus dibuat dalam bentuk tertulis, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada suratberharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam prosespenegakan aturan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.”Ditambah dengan surat beserta dokumen lainnya yang menurut undang-undangharus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabatpembuat akta. Suatu requirement of writing.6 Ibid.
2.1.1. Definisi Kontrak
Istilah kontrak selain memiliki makna yang sama dengan
nama ilmu hokum, sering atau umum dipahami berasal dari kata
“contract” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis “contrat”,
dan dalam bahasa Belanda “overeenkomst”, sekalipun kadang-
kadang juga digunakan istilah “contract”.7 Dalam bahasa Indonesia
istilah kontrak sama pengertiannya dengan perjanjian. Kedua istilah
ini merupakan terjemahan dari “contract”,”overeenkomst”, atau
“contrat”. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa bisnis
atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk,8 sedangkan
istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian
pembedaan dua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika
kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis,
sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.9
Terdapat dua fungsi penting dalam kontrak, yaitu: pertama,
untuk menjamin terciptanya harapan atas janji yang telah
dipertukarkan; dan kedua, mempunyai fungsi konstitutif untuk
7 Misalnya dalam istilah “contractsoverneming” yang terdapat dalam Bagian 3Bab 2 Buku 6 NBW.8 Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Loc. Cit.9 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Loc. Cit.
memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan
bagi kelanjutannya ke depan.10 Semakin kompleks suatu transaksi
akan semakin tinggi kebutuhan mengenai perencanaan dan semakin
rinci pula ketentuan-ketentuan (dalam kontrak) yang dibuat. Dalam
kaitan dengan fungsi kontrak bagi perencanaan transaksi, perlu
diperhatikan pada empat hal, yaitu:
a. Kontrak pada umumnya menetapkan nilai pertukaran (the
value of exchange);
b. Dalam kontrak terdapat kewajiban timbal balik dan standar
pelaksanaan kewajiban;
c. Kontrak membutuhkan alokasi pengaturan tentang resiko
ekonomi (economic risk) bagi para pihak; dan
d. Kontrak dapat mengatur kemungkinan kegagalan dan
konsekusensi hukumnya.11
2.1.2. Status Subjek Hukum dalam Kontrak
Menurut Mochtar Kusumaatmaja yang dikutip dalam
Chaidir Ali, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat. Hukum meliputi pula lembaga-lembaga (institutions)
10 J. Beatson, Op. Cit., p. 3.11 Ibid.
demi proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-
kaidah ini dalam kenyataan. Hal ini diperkuat lagi oleh Cicero yang
mengatakan: “dimana ada masyarakat, disana ada hukum.”12
Hukum hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hukum
bukan hanya seperangkat aturan, namun termasuk juga di dalamnya
lembaga-lembaga (institusi) dalam proses-proses yang menyebabkan
terjadinya kaidah-kaidah tersebut.
Sebagai bagian dari masyarakat, tiap-tiap orang adalah
pembawa hak. Dalam artian, tiap orang memiliki hak dan kewajiban.
Sehingga, tiap-tiap orang disebut sebagai subyek hukum (subjetcum
juris).
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, subjek hukum
ialah: “Siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak
dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut
hukum untuk bertindak.”13
Adalah merupakan suatu yang sangat mendasar, dan oleh
sebab itu harus ada dalam suatu perikatan konvensional, perjanjian
atau suatu kontrak, apa yang disebut dalam Kontrak sebagai nama
Ilmu Hukum sebagai pihak atau para pihak. Dalam setiap perikatan
12 Chaidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hlm. 1.13 C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta,Harapan, 2002), hlm. 1.
konvensional, selalu ada dua atau lebih pihak (legal persons), atau
apa yang di dalam sistem hukum di Indonesia disebut dengan
subyek hukum. Pihak itu berdiri sendiri-sendiri, tertentu, dan nyata.
Paling sedikit harus ada satu pihak dalam tiap sisi dari perikatan itu,
baik satu pihak di sisi kreditur, maupun satu pihak lagi di sisi
debitur.14
Jeferson Kameo mengemukakan suatu maxim Latin yang
telah sering dikutip berbagai jurists untuk menunjuk kepada prinsip
hukum, yaitu: “Pactum, atau suatu pakta di dalam hukum, telah
diartikan sebagai duorum pluriumve in idem placitum consensus
atque convention… atau sepakat dari dua atau lebih pihak (orang)
mengenai beberapa hal untuk dilaksanakan oleh masing-masing
pihak. Baik hal itu dilaksanakan oleh satu pihak di satu sisi, maupun
hal itu dilaksanakan oleh pihak lainnya di sisi yang lain.”15
Apabila maxim tersebut di atas diperhatikan secara selintas,
maka orang mungkin saja bakal terjatuh dalam suatu pandangan
bahwa seseorang tidak dapat membuat suatu perikatan atau suatu
kontrak oleh dirinya sendiri.16 Demikian pula, satu orang atau satu
14 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 179,15 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum….16 Subekti, menerjemahkan Pasal 1315 KUHPerdata bahwa pada umumnya tiadaseorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya
pihak tidak dapat memasuki suatu perikatan, atau mengikatkan diri
(dalam pengertian) memikul kewajiban-kewajiban atau
menyanggupi memberikan sesuatu, atau menyanggupi melakukan
sesuatu, atau sepakat untuk tidak melakukan sesuatu dengan dirinya
sendiri.17 Demikian pula satu orang saja tidak dapat menggunakan
akta apapun untuk membuat suatu hutang kepada dirinya sendiri,
dengan atau tanpa jaminan.18 Lebih jauh, di dalam sistem hukum
Inggris, telah diatur suatu ketentuan yang tidak benar, bahwa suatu
perjanjian yang diadakan oleh seorang bernama (B) dengan (B) yang
bersekutu dengan orang lain adalah batal.19
Di Skotlandia, suatu rekan (partner) dapat melakukan
perjanjian dengan firma atau associate di mana orang itu menjadi
anggota dari firma tersebut bersama-sama dengan rekannya orang
lain.20 Apabila seseorang pada suatu waktu menjadi kreditur
sekaligus menjadi debitur dalam suatu perikatan konvensional, maka
hutang yang ada dengan sendirinya hapus,21 kecuali apabila si
suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri; yang disebut dengan privity ofcontract dalam sistem hukum Inggris, atau oleh sejumlah penerjemahKUHPerdata dinamakan asas kepribadian. Ibid., hlm. 180.17 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…18 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum….19 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…20 Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…21 Dalam rekaman pada jurists Romawi, hapusnya hutang ketika debitur pada saatyang bersamaan juga adalah seorang kreditur dalam perikatan konvensional yang
kreditur mempunyai kepentingan tertentu. Misalnya, si kreditur
ingin membiarkan hutang yang ada tetap sebagai hutang. Dalam
suatu keputusan, apabila hal yang demikian itu terjadi, maka apa
yang sesungguhnya, hapusnya hutang yang demikian itu, semata-
mata hanya ditunda untuk tidak berlaku seketika itu juga.22
Tambahan lagi, masing-masing pihak yang melakukan
perikatan konvensional, haruslah merupakan para pihak atau orang
yang sudah harus ada pada saat perikatan atau suatu perjanjian
diadakan. Dalam hal ini berlaku kaedah bahwa suatu perikatan
konvensional adalah batal, apabila satu pihak, untuk kepentingannya
seorang agen melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dikuasakan
kepadanya adalah suatu perusahaan yang belum berbadan hukum
sama disebut confusione. Di Indonesia, prinsip dalam Ilmu Hukum ini sudahdikenal oleh KUHPerdata dengan penghapusan hutang secara otomatis,menggunakan istilah percampuran hutang. Dalam sistem Indonesia, ada contoh,terjadi, misalnya si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan hartakawin. Di Skotlandia, dikatakan bahwa apabila seorang yang berhutangmenggantikan kedudukan, atau juga cara yang lain, misalnya dia mendapatkanhak-hak dari krediturnya, maka hutangnya hapus secara confusione. Hal ini terjadisebab si debitur menyatakan dalam dirinya kedudukan kreditur dan debitur.Misalnya, apabila seorang pemilik atau pengelola sebagian tanah yang disewanya(the proprietor of the servient) menjadi pemilik tanah yang ditempati oleh pemiliktanah yang bergandengan dengan tanah yang disewa (the proprietor of thedominant), maka secara otomatis, servitude; antara lain hak untuk membiarkanternaknya makan rumput di atas tanah si proprietor of the dominant, makaservitude itu menjadi hapus secara confusione.22 Bell Prin § 580-581. Bandingkan juga dengan Murray v Parlane’s Trustees(1890) 18 R 287; King v Johnston 1908 SC 684. Ibid., hlm. 181.
(not yet incorporated).23 Demikian pula, dinyatakan batal apabila
suatu pihak dalam suatu perjanjian yang belum benar-benar
sempurna, pihak itu meninggal dunia. Atau apabila pihak itu adalah
badan hukum, maka badan hukum itu sudah dinyatakan bubar
(dissolved) tanpa sepengetahuan pihak yang ditunjuk untuk
bertindak sebagai agen untuknya.24 Kaitan dengan pihak dalam
perikatan , perlu dikemukakan juga bahwa suatu badan atau
perkumpulan dari beberapa orang yang memperoleh hak untuk
mengelola suatu rumah, tidak dapat disebut sebagai pihak; dalam
arti pihak yang bercirikan berdiri sendiri-sendiri, tertentu, dan nyata
(a distinct legal person).25 Dalam kaitan dengan pihak yang
berhubungan dengan kepentingan publik, ada kaedah bahwa seorang
pemegang jabatan publik, pada saat adanya suatu gugatan yang
diajukan kepadanya atas dasar suatu perjanjian, maka si pejabat itu,
siapapun yang berada dalam jabatan tersebut, karena hukum,
23 Lihat Gunn v London and Lancashire Fire Insurance Co., (1862) 12 CB (NS)694; juga dalam Kelner v Baxter (1866) LR 2 CP 174; Tinnevelley Sugar RefiningCo., v Mirrlles, Watson and Yaryan Co., Ltd., (1894) 21 R 1009; Cumming vQuartzag 1980 SC 276. Singkatan LR CP adalah untuk Law Reporting dengannama lengkap Law Reports Common Pleas.24 Dalam Cotsonic v Dezione (1991) BCC 200.25 Barclay v Penman (1984) SLT 396.
haruslah dianggap sebagai orang yang ada ketika perjanjian tersebut
dibuat.26
Sementara itu, dalam kaitan dengan pihak dalam suatu
kontrak, maka perlu pula dikemukakan bahwa suatu perjanjian
asuransi pengangkutan laut, dapat saja dibuat atas nama semua
orang yang berkepentingan terhadap benda yang diasuransikan, dan
akhirnya polis asuransi itu ditandatangani atau diratifikasi oleh
orang yang belakangan ditentukan sebagai pihak yang mempunyai
kepentingan terhadap barang yang diasuransikan tersebut.27
a. Subjek Hukum Manusia
Pelajaran pengetahuan tentang hukum, yang perlu diketahui
adalah apa dan siapa subjek hukum itu. Dimaksud dengan subjek
hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum
tersebut adalah orang (persoon). Menurut hukum, pengertian
orang (persoon) itu dibagi dalam dua golongan. Manusia (natuurlijk
persoon), dan badan hukum (rechtspersoon). Dalam kacamata
hukum, manusia mempunyai dua wujud, yaitu:28 Sebagai pribadi
26 Yegvigrdo Castaneda v Clydebank Engineering and Shipbuilding Co., (1902) 4F (HL) 31. Singkatan F (HL) adalah untuk Law Reporting dengan nama lengkapHouse of Lords Cases in Fraser’s Session Cases.27 Kaedah ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Asuransi PengangkutanLaut Skotlandia (Marine Insurance Act 1906) dalam (bagian) atau Pasal 5 danPasal 86. Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Ibid., hlm. 182.28 C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, Loc. Cit.
kodrati/manusiawi (human personality) yang memiliki jasmani dan
rohani, fisik, dan mental; dan. Sebagai pribadi hukum (legal
personality) yang dinamakan manusia sebagai subjek hukum.
Manusia dapat disebut oleh hukum sebagai telah mencapai
usia dewasa,29 apabila waras dan tidak berada di dalam kategori
ketidakmampuan menurut hukum. Seperti misalnya, telah
dinyatakan bangkrut atau pailit oleh Pengadilan. Pengecualian
terhadap kaedah demikian dimungkinkan, namun hal itu merupakan
suatu penyimpangan dari standar yang telah ditentukan oleh hukum.
Orang, dalam hal ini manusia dewasa yang normal, seperti telah
dikemukakan di atas, bertindak untuk dirinya sendiri, dan itu berarti
orang atau manusia tersebut mempunyai kapasitas yang penuh untuk
berkontrak, atau melakukan setiap perikatan dan sekaligus
mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas untuk berkontrak
(unlimited power to contract). Adapun yang dimaksudkan dengan
29 Bahasa Inggris Hukum bagi usia dewasa adalah full age. Dapat dicapai, apabilaseorang manusia telah berumur 18 tahun. Di Skotlandia, pengaturan mengenai halini ditempatkan dalam undang-undang khusus untuk itu. Lihat Undang-UndangUsia Dewasa (Age of Majority (Scotland) Act 1969). Di Indonesia, hal ini diatursecara terpisah-pisah, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan, ditegaskan bahwa usia dewasa setiap orang adalah 18tahun. Perhatikan Pasal 1 angka (26). Sedangkan usia dewasa untuk perkawinan,diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan, diatur: Pasal 7 ayat (1), “Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapaiumur 16 tahun.” Terhadap hal ini, dalam ayat (2) pasal tersebut, diatur pulakemungkinan penyimpangan dengan dispensasi yang diminta, misalnya dariPengadilan. Ibid., hlm. 209.
hal itu adalah bahwa manusia tersebut dapat secara sah mengikatkan
dirinya terhadap jenis perikatan atau kontrak apapun. Ia jugaterikat,
terhadap setiap syarat dan ketentuan apa saja yang dipilih olehnya
untuk diterima. Hanya saja, kaedah seperti baru saja dikemukakan
tersebut, masih harus tunduk kepada sejumlah kualifikasi. Antara
lain, memperhatikan semua persyaratan yang berkaitan dengan
kepentingan pihak lain yang ada sangkut-paut dengan obyek atau
subject matter of contract. Itulah sebabnya, seorang penyewa tanah
seumur hidup (liferenter) hanya mempunyai kekuasaan yang
terbatas, dalam menggunakan property yang disewakan kepadanya
selama hidupnya.30 Demikian juga seseorang yang mempunyai hak
atas alimentasi, tidak mempunyai kekuasaan untuk mengalihkan (to
assign) hak alimentasi itu kepada pihak lain.31 Yang dimaksud
dengan alimentasi ini adalah uang yang diberikan oleh seorang
suami kepada istrinya ketika mereka memutuskan untuk pisah
ranjang. Dalam hukum Inggris, hal ini dikenal dengan istilah
alimony.32
30 Mengenai kekuasaan untuk menyewakan bidang tanah seperti itu, dapat dilihatdalam putusan Abbot v Mitchell (1870) 8 M 791. Dapat dilihat pula dalam Fraserv Croft (1898) 25 R 496; serta Ritchie v Scott (1899) 1 F 728, dan Mackenzie vFinlay’s Trustees 1912 SC 685.31 Rogerson v Rogerson’s Trustees (1885) 13 R 154.32 Saat ini, di Inggris, istilah yang oleh mereka dalam sistem hukum Inggris sudahdianggap barang rongsokan ini berganti nama yang lebih trendi, namun dengan isi
b. Subjek Hukum Badan Hukum
Perlu diketahui bahwa pengertian siapa yang mempunyai hak
dan cakap untuk bertindak dalam hukum, di samping mengarah
kepada orang sebagai subyek hukum, juga dengan kondisi yang
berkembang di masyarakat dewasa ini tidak hanya terbatas pada
orang saja, tetapi ada hal lain, yaitu yang disebut sebagai badan
hukum (rechtspersoon).
Untuk lebih jelasnya, Soenawir Soekowati yang dikutip
dalam Chaidir Ali memberikan batasan subyek hukum sebagai
berikut: “Subyek hukum adalah manusia yang berkepribadian (legal
personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan
kebutuhan. Masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak
dan kewajiban.”33
Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa
dewasa ini subyek hukum terdiri dari:
a. Manusia (naturlijke persoon) yang disebut orang dalam
wujud manusia atau manusia pribadi; dan
yang sama, yaitu manintenance atau uang pemeliharaan atau financial provision.Skotlandia masih mempertahankan istilah yang sama, meskipun menerima olok-olok sebagai jadul pakai barang rongsokan. Jeferson Kameo, Kontrak SebagaiNama Ilmu Hukum, Ibid., hlm. 210.33 Chaidir Ali, Badan Hukum, Loc. Cit.
b. Rechtspersoon yang disebut orang dalam bentuk badan
hukum atau orang yang diciptakan hukum secara fiksi atau
persona ficta.
Badan hukum ini oleh hukum diberi status sebagai “person”
yang mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum sebagai
pembawa hak dapat melakukan/bertindak sebagai pembawa hak
manusia, yaitu badan hukum dapat melakukan persetujuan-
persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari
kekayaan anggotanya.
Adapun di samping kesamaan status yang dimiliki oleh
badan hukum, namun ada juga perbedaannya jika dibandingkan
dengan persoon, yaitu antara lain tidak dapat melakukan
perkawinan, tidak dapat dihukum penjara (kecuali hukumnya
denda). Badan hukum merupakan kumpulan dari manusia-manusia
secara pribadi ataupun kumpulan dari badan hukum atau bahkan
gabungan dari keduanya.34
Menurut E. Utrecht dalam Kansil, badan hukum
(rechtpersoon) yaitu badan yang menurut hukum berkuasa
(berwenang) menjadi pendukung hak. Selanjutnya dijelaskan bahwa
34 Ibid., hlm. 2.
badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau
lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala
kemasyarakatan adalah suatu gejala riil, merupakan fakta benar-
benar, dalam pergaulan hukum, biarpun tidak berwujud manusia
atau benda yang dibuat dari besi kayu dan sebagainya. Menjadi
penting bagi hokum, ialah badan hukum itu mempunyai kekayaan
(vermogen) yang sama sekali terpisah dari hak kewajiban
anggotanya. Bagi bidang perekonomian, atau terutama lapangan
berdagang, gejala ini sangat penting.35
R. Rochmat Soemitro mengemukakan, badan hukum
(rechtpersoon) ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak,
serta kewajiban seperti orang pribadi. Sedangkan menurut Sri
Soedewi Maschun Sofwan menerangkan bahwa manusia adalah
badan pribadi (itu adalah manusia tunggal). Selain dari manusia
tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan
pribadi kepada wujud lain, disebut badan hukum, yaitu kumpulan
dari orang-orang bersama mendirikan suatu badan (perkumpulan)
dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan
tertentu (yayasan), kedua-duanya merupakan badan hukum.36
35 C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Op. Cit., hlm. 2.36 Ibid.
Menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah
suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan
sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.37
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, badan
hukum adalah suatu badan hukum yang memiliki harta kekayaan
terlepas dari anggota-anggotanya, dianggap sebagai subyek hukum,
mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum,
mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak serta kewajiban-
kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang. Pribadi hukum ini
memiliki kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus atau pengelola,
dan dapat bertindak sendiri sebagai pihak dalam suatu perjanjian.38
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan, suatu badan hukum
yaitu badan yang disamping manusia perseorangan juga dianggap
dapat bertindak dalam hukum, dan yang mempunyai hak-hak
kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan
lain.39
37 Ibid.38 Ibid., hlm. 3.39 Ibid.
Menurut J.J. Dormeier, istilah badan hukum dapat diartikan
sebagai berikut:40
a. Persetujuan orang-orang yang di dalam pergaulan
hukum bertindak selaku seorang saja; dan
b. Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan, yang
dipergunakan untuk suatu maksud yang tertentu, yayasan
itu diperlukan sebagai oknum.
Sehingga berdasarkan uraian di atas, ditarik suatu
kesimpulan tentang pengertian badan hukum, yaitu memiliki unsur-
unsur antara lain:
1. Pendukung (memiliki) hak dan kewajiban;
2. Memiliki kekayaan tersendiri;
3. Suatu badan (kumpulan orang);
4. Dapat melakukan tindakan hukum; dan
5. Dapat digugat dan menggugat di depan pengadilan.
Di samping ciri-ciri tersebut di atas, badan hukum bentuknya
terbagi atas:41
1. Badan hukum publik; dan
40 Ibid.41 Ibid., hlm. 4.
2. Badan hukum perdata.
Ad.1. Badan hukum publik (public rechtspersoon) adalah
badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik, atau yang
menyangkut kepentingan publik, atau orang banyak, atau negara
umumnya.
Badan hukum ini merupakan badan-badan negara dan
mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang
dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang
dijalankan secara fungsional oleh eksekutif atau pemerintah, atau
badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu.
Adapun contohnya adalah:
a. Negara Republik Indonesia, yang menjadi dasarnya ialah
konstitusi tertulis dalam bentuk Undang-Undang Dasar,
yang dalam menjalankan kekuasaan diberikan tugas
kepada Presiden dan pembantunya ialah para Menteri.
b. Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, Kecamatan, Desa
yang dibentuk menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1975 dan undang-undang lainnya.
Ad.2. Badan hukum privat ialah badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum perdata. Menyangkut kepentingan pribadi orang
di dalam bentuk hukum itu. Badan hukum itu merupakan badan
swasta yang didirikan oleh pribadi orang itu untuk tujuan tertentu
yaitu mencari keuntungan, sosial, politik, kebudayaan, kesenian,
olah raga, dan lain-lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah.
Adapun contohnya ialah:
a. Perseroan Terbatas (PT) didirikan untuk mencari
keuntungan dan kekayaan yang dalam kegiatan
pelaksanaannya dilakukan oleh Direksi, pengaturannya
dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas, yang telah diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007;
b. Koperasi yang didirikan oleh para anggotanya untuk
tujuan kesejahteraan bersama para anggota dengan sistem
kekeluargaan dan usaha bersama, dengan kepribadian
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1992 tentang Koperasi dan dalam pelaksanaan
kegiatannya dilakukan oleh pengurus; dan
c. Yayasan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan.
Mengenai badan hukum, ada beberapa teori mengenai badan
hukum, yaitu:42
Teori Fiksi. Pelopor teori ini ialah sarjana Jerman, Fredrich
Carl Von Savigny. Menurut Savigny hanya manusia saja yang
mempunyai kehendak. Badan hukum itu sebenarnya tidak ada.
Hanya orang-orang menghidupkan bayangannya untuk menerangkan
sesuatu, dan terjadi karena manusia membuat berdasarkan hokum.
Dengan kata lain, merupakan buatan hukum atau person ficta.
Menurut teori ini, kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu.
Apa yang disebut hak-hak badan hukum sebenarnya hak-hak tanpa
subyek hukum. Karena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan
yang terikat suatu tujuan.
Teori Organ. Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori fiksi
Von Savigny tersebut di atas, teori ini dikemukakan oleh Otto Von
Gierke, menurut Von Gierke badan hukum itu seperti manusia.
Menjadi benar-benar ada (exist), dalam pergaulan hukum. Badan
hukum itu adalah suatu badan yang membentuk kehendaknya
dengan alat-alat atau organ-organ badan tersebut. Apa yang
diputuskan oleh alatnya adalah kehendak badan hukum itu sendiri.
42 Ibid., hlm. 5.
Sehingga badan hukum itu justru nyata dalam kualitasnya sebagai
subyek hukum.
Teori Harta Karena Jabatan (Leer van het ambfilijk
vermogen). Teori ini diajukan oleh Holder dan Binder. Menurut,
teori ini, badan hukum ialah suatu harta yang berdiri sendiri, yang
dimiliki oleh badan hukum itu tetapi oleh pengurusnya dan karena
jabatannya ia diserahkan tugas untuk mengurus harta tersebut.
Teori Kekayaan Bersama (propriete collectieve). Teori ini
diajarkan oleh Molengraaf, Marcel Planiol, dan Rudolf Von Ihering.
Menurut teori ini, badan hukum itu sebagai kumpulan manusia.
Kepentingan badan hukum itu adalah kepentingan seluruh
anggotanya. Badan hukum abstraksi dan bukan organisasi. Pada
hakekatnya, hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan
kewajiban anggota bersama-sama. Mereka bertanggung jawab
bersama-sama, harta kekayaan badan itu adalah harta kekayaan
bersama-sama. Para anggotanya berhimpun dalam satu kesatuan dan
membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum.
Teori Kekayaan Bertujuan. Teori ini diajukan oleh A. Brinz
dan Van der Heidjen. Menurut teori ini, hanya manusia yang dapat
menjadi subyek hokum. Karena itu, badan hukum bukan subyek
hukum, dan hak-hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada
hakekatnya adalah hak-hak dengan tiada subyek hukum.
Teori Kenyataan Yuridis. Teori ini merupakan penghalusan
dari Teori Organ. Teori ini dikemukakan oleh E. M. Mejers dan Paul
Scholten. Menurut Mejers, badan hukum tidak dapat diraba, bukan
khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebutkan
kenyataan yang sederhana. Diartikan sederhana, karena menekankan
bahwa hendaknya dalam mempersamakan manusia dengan badan
hukum itu terbatas pada bidang hukum saja.
Beranjak dari teori tentang badan hukum, maka jika dilihat
menurut sifatnya, badan hukum itu terbagi atas dua, yaitu korporasi
(corporate) dan yayasan.
2.1.3. Status Subjek Hukum Warga Negara Indonesia
Dalam Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pasal 26 dinyatakan: bahwa, yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Sedangkan
penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia.
Menurut Peraturan MK (PMK) No.06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang, Pasal 5 huruf
b istilah kedudukan hukum yang dipersamakan dengan istilah legal
standing. Hal serupa juga dapat dilihat dari putusan-putusan MK
dalam perkara permohonan pengujian undang-undang yang
menggunakan istilah kedudukan hukum sebagai padanan istilah
legal standing. Hal ini dapat dibaca pada bagian Pertimbangan
Hukum. Ditulis, istilah legal standing dalam tanda kurung
mendampingi istilah kedudukan hukum.43 Dengan demikian, kajian
tentang kualifikasi pemohon merupakan salah satu aspek kunci
dalam menentukan kedudukan hukum pemohon dalam perkara
pengujian undang-undang.
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK menyebut: perorangan
Warga Negara Indonesia (WNI), bukan perorangan sebagai
pemohon PUU. Secara a contratrio, siapa saja yang bukan WNI
tidak memiliki hak untuk bertindak sebagai pemohon. Artinya,
Warga Negara Asing dalam hal ini tidak bisa menjadi pemohon
dalam PUU. Warga negara yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
huruf a adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945:
43 12Lihat sebagai contoh: Putusan No. 006/PUU-I/2003, Putusan No. 014/PUU-I/2003, dan Putusan No. 007/PUU-II/2004.
“ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.”
Namun, pembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal 51
ayat (1) huruf a tersebut bertentangan dengan pasal tentang HAM.
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, terdapat pengaturan bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Padahal dalam hal ini, equality before the law merupakan HAM
yang berkategori non-derogable right.
2.1.4. Status Subjek Hukum Warga Negara Asing
Seperti yang telah diuraikan dalam Sub bab nomor 2.1.3 di
atas, bahwa status subyek hukum warga negara asing hanya sebagai
penduduk. Prinsip ini adalah prinsip hukum universal yang juga ada
di Skotlandia. Sebagai penduduk, pada diri orang asing itu melekat
hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku (berdasarkan prinsip yurisdiksi teritorial), sekaligus
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum internasional
yang berlaku umum (general international law).44
44 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Cetakan Kesepuluh Januari 2011, Jakarta, hlm. 160.
Orang asing, Dalam judul tesis adalah jika suatu warga
negara tertentu hendak berkontrak bisnis dengan warga negara asing,
maka mereka akan berkontrak dengan “orang asing”. Karena,
berkontrak dengan pihak asing yang bukan warga negara mereka
sendiri. Definisi “asing” menurut The New Roget’s Thesaurus
adalah: foreigner; alien; outlander; dan outsider.45
Dimaksud dengan orang asing adalah seseorang yang bukan
warga negara suatu negara.46 Kaedah tentang kapasitas dan
kekuasaan untuk perikatan bagi orang asing ini terbagi ke dalam dua
bagian. Dalam keadaan damai dan dalam keadaan perang. Dalam
keadaan damai, orang asing mempunyai47 kapasitas penuh dan juga
kekuasaan, atau kapasitas yang terbatas apabila orang asing itu
adalah anak di bawah umur, atau orang yang tidak mempunyai
kapasitas mental dan yang sama dengan itu. Hanya saja, si orang
asing tersebut tidak bisa menjadi atau tidak bisa tercatat sebagai
pemilik kapal dari suatu negara48 tempat si orang asing itu berdiam.
Orang asing tersebut juga tidak mempunyai kekuasaan untuk
45 Norman Lewis, The New Roget’s Thesaurus, Loc. Cit.46 Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 262.47 Sejauh hal itu diakui oleh hukum positif suatu negara.48 Dalam hal ini kapal Britania Raya (British Ship), masih berlaku di Inggris dandiatur di dalam Pasal 1 Undang-Undang Kapal Para Pedagang dan PengusahaAngkutan Laut (Merchant Shipping Act 1894).
memiliki pesawat terbang yang tercatat sebagai kapal berkebangsaan
negara tempat dia berdiam.49 Sedangkan dalam keadaan perang,
maka setiap orang asing yang berdiam di Skotlandia, apabila orang
asing tersebut tidak dikurung, ditahan (rumah maupun kota), atau
berada dalam penjara, maka orang asing itu tetap mempertahankan
kapasitas untuk berkontrak yang ia miliki, demikian pula dengan
kekuasaan untuk perikatan yang juga ia miliki, sehingga orang asing
tersebut secara hukum sah untuk berkontrak. Orang asing yang
memiliki kapasitas dan kekuasaan berkontrak tersebut juga dapat
menuntut seseorang ke pengadilan. Demikian pula, sebaliknya ia
dapat dituntut di hadapan pengadilan sehubungan dengan seluruh
klaim yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh dan melibatkan
orang asing tersebut.50 Tambahan lagi, dalam waktu perang, orang-
orang yang termasuk ke dalam kategori orang asing, musuh, adalah
termasuk di dalamnya semua orang yang tinggal dan menjalankan
usaha di daerah lawan. Dalam hal ini, dipisahkan dengan orang-
49 Diatur di dalam Peraturan tentang Navigasi Pengangkutan Udara (AirNavigation Order 1972).50 Dalam Schulze Gow & Co. v Bank of Scotland 1914, 2, Law Reporting atauJurnal (dalam bahasa Indonesia) yang berjudul Scots Law Time. Lihat dalamJeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, supra foot note no. 48.Lihat dalam Schaffenius v Goldberg (1916) 1 King’s Bench Division 284. KBadalah Law Report Inggris (England). Singkatan KB adalah Law Reports yangdipergunakan secara umum atau dirujuk publik sebagai tempat di mana hukumada di Inggris, bukan Skotlandia.
orang yang melakukan penyerangan, tidak peduli apakah masuk
dalam kategori itu adalah sekutunya, kebangsaan, atau tempat
tinggal. Artinya, termasuk di dalam mereka itu adalah tidak saja
warga negara musuh, tetapi juga warga negara Inggris, jika dia
berdiam di wilayah musuh.51
Demikian pula dengan firma atau badan hukum yang berada
dalam wilayah yang netral. Namun, sekutu firma tersebut tercatat
sebagai partner dalam firma atau badan hukum yang beroperasi di
wilayah musuh,52 atau dalam kasus yang sama dengan itu.
Pada saat pertempuran, maka adalah merupakan suatu
tindakan yang dinyatakan ilegal berdasarkan kebijakan publik,
terkecuali apabila ada ijin yang diberikan oleh kepala negara53 untuk
memasuki atau membuat suatu perjanjian dengan orang asing
(musuh). Dengan demikian, apabila ada perjanjian yang telah terjadi,
maka perjanjian-perjanjian itu adalah batal, sebab hal itu sama
dengan apa yang disebut sebagai “berdagang dengan musuh”.54
Suatu perjanjian tidak dapat dipengaruhi oleh perang yang sedang
51 Daimler Co. v Continental Tyre and Rubber Co. (1916) 2. Lihat dalam JefersonKameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Ibid.52 Van Uden v Burrell 1916 dalam Jurnal Session Cases. Kata “Session” menunjukkepada pengadilan tertinggi atau Mahkamah Agung di Skotlandia. Ibid.53 Royal License.54 “Something like sleeping with enemy” atau “musuh dalam selimut” (tradingwith the enemy). Lihat Daimler Co. v Continental Tyre and Rubber Co. (1916) 2AC 307. Ibid.
berkecamuk, atau adanya ancaman peperangan yang mempercepat
atau mendorong perjanjian tersebut.55 Suatu perjanjian yang bersifat
eksekutorial tidak seluruhnya otomatis menjadi hapus (discharged)
oleh pecahnya suatu peperangan.56 Peperangan tidak mempengaruhi
suatu perjanjian, terutama sejumlah perikatan yang dalam dokumen
mana sudah dicantumkan perikatan dengan sifat hubungan
hukumnya adalah berkelanjutan. Misalnya sejumlah perjanjian
pinjam pakai tanah pertanian57 atau sewa tanah pertanian, dan bagi
hasil58 produksi tanah pertanian.
Hal yang sama berlaku pula untuk perjanjian yang berkaitan
dengan hubungan hukum antara suatu perusahaan dengan para
pemegang saham perusahaan itu.59 Demikian pula dalam Kontrak
sebagai nama Ilmu Hukum, peperangan tidak mempengaruhi
perikatan atau hubungan hukum antara suatu perusahaan asuransi
55 Blomart v Earl of Roxburgh (1664) Mor 16091. Mor adalah Law Reportingbernama lengkap Morison’s Dictionary of Decisions, Court of Session atausemacam Law Reporting yang terhitung otoritatif, disusun secara alfabetisterhadap putusan-putusan Mahkamah Agung Skotlandia; Janson v DriefonteinConsolidated Mines (1902) AC 484.56 Ertel Bieber & Co. v Rio Tinto & Co. (1918) AC 260.57 Halsey v Lowenfeld (1916) 2 KB 707.58 Di Skotlandia, perjanjian seperti ini disebut dengan feu-contracts atau sewatanah pertanian dari para landlord atau pemilik tanah-tanah pertanian di bawahpenguasaan orang-orang yang ditunjuk oleh kerajaan sebagai bangsawan kerajaanyang menguasai atau pemilik sejumlah areal tanah pertanian tertentu.59 Robson v Premier Oil and Pipe Line Co., (1915) 2 Ch 124.
(Penanggung) dengan para Tertanggungnya.60 Hanya saja, secara
umum memang harus diakui bahwa perjanjian-perjanjian yang
bersifat eksekutorial yang dibuat dengan seseorang yang adalah
merupakan orang asing musuh (masih dalam konteks pembicaraan
perikatan dalam situasi perang) maka perjanjian itu gugur dengan
pecahnya peperangan, asalkan didasarkan pada alasan, baik alasan
bahwa pelaksanaan perjanjian itu tidak mungkin dilakukan dengan
seorang asing musuh negara, dan belum lagi apabila kontrak itu
dilaksanakan, maka akan menguntungkan si asing musuh negara
tersebut, atau bisa juga gugurnya perjanjian itu dikarenakan
musnahnya barang, sepanjang hal itu sudah dinyatakan secara jelas
dalam perjanjian tersebut.61
60 Seligmann v Eagle Insurance Co., (1917) 1 Ch 519. Ch adalah singkatan dariLaw Reports (LR) di Inggris, bukan Skotlandia, dengan nama lengkap ChanceryDivision. Mulai diterbitkan sejak 1891 secara reguler dan masih terbit hingga saatini, serta dokumen itu masih tersimpan dengan rapi dan dalam cetakan yangsangat bagus, serta dapat diakses di perpustakaan-perpustakaan dengan reputasitinggi di dunia, dan sudah barang tentu dengan biaya yang sangat mahal dankeahlian tinggi dan istimewa untuk memperoleh akses tersebut. Jeferson Kameo,Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 264.61 Di Inggris, hal seperti itu dikenal dengan istilah frustrasi atau on the ground offrustration, atau dalam hukum di Indonesia dikenal dengan adanya syarat batal.Lihat, misalnya ketentuan dalam Pasal 1265 KUHPerdata Indonesia. Hanya saja,dengan mengutip KUHPerdata, kembali Jeferson Kameo mengingatkan bahwabuku yang beliau tulis ini tidak dimaksudkan sebagai buku Hukum Perdata, tetapiBuku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum. Beberapa putusan pengadilan yangmerekam kaedah dikte hukum seperti ini misalnya: Dishington Hematlite Iron Co.Ltd., v Possehl & Co., (1916) 1 KB 811; Davis and Primrose v Clyde Shipbuildingand Engineering Co. Ltd., 1917 1 SLT 297; Penney v Clyde Shipbuilding andEngineering Co. Ltd., 1920 SC (HL) 68. Ibid., hlm. 265.
Adapun beberapa perjanjian yang oleh pengadilan telah
dinyatakan sebagai aneka perikatan yang gugur karena sebab yang
baru saja dikemukakan di atas itu adalah perjanjian asuransi
pengangkutan laut,62 jual beli barang,63 konosemen,64 carterparti
(charterparties),65 keagenan,66 dan persekutuan firma
(partnership)67 atau & Rekan.
Persoalan telah mengemuka, sehubungan dengan akibat dari
suatu ketentuan perjanjian yang dibuat untuk menunda
beroperasinya suatu perjanjian ketika perang sedang berlangsung.
Pengadilan, ketika kasus seperti itu diajukan kepadanya, telah
memutuskan bahwa klausula atau ketentuan dalam perjanjian yang
demikian itu tidak berlaku. Adapun hakim dalam putusannya
menyatakan bahwa klausula penundaan pelaksanaan itu
bertentangan dengan kebijakan publik, sebab klausula semacam itu
telah dengan sengaja dibuat untuk membatasi penggunaan
62 Furtado v Rogers (1862) 3 B & P 191.63 Esposito v Bowden (1857) 7 E & B 763; Zine Corp. v Hirsch (1916) 1 KB 541;Ertel Bieber & Co. v Rio Tinto & Co. (1918) AC 260. Jeferson Kameo, KontrakSebagai Nama Ilmu Hukum, supra foot note no. 48.64 Arnold Karberg & Co v Blythe Green Lourdain & Co., (1915) 2 KB 379; Fox vSchrimpft & Bonke (1915) 3 KB 355. Ibid.65 Clapham SS Co. Ltd. V Handels en Transport Maatshappij Vulcan of Roterdam(1917) 2 KB 639.66 Tingley v Muller (1917) 2 Ch 144.67 Stevenson v Cartonnagen Industrie (1918) AC 239; Rodriguez v Speyer Bros(1919) AC 59. Ibid.
komoditas tertentu di Inggris, dan bahkan memudahkan pihak
negara musuh untuk menggunakan68 komoditas itu.
Hukum juga mengatur, di Skotlandia, bahwa harta benda
yang dikuasai oleh asing musuh di negara tersebut tidak dilepaskan
secara otomatis (forfeited) ketika peperangan pecah dan
berkecamuk. Hal yang sama juga terjadi dengan harta benda yang
diperoleh oleh si orang asing musuh tersebut menurut perjanjian-
perjanjian yang dibuat oleh orang asing musuh tersebut, sebelum
pecah dan berkecamuknya peperangan. Selama peperangan
berkecamuk, dimana pihak yang membela negara orang asing musuh
itu sangat bengis, maka si orang asing musuh yang berada di dalam
negara Inggris, misalnya, tidak dapat mengajukan penuntutan ke
pengadilan untuk mengklaim kembali hak-haknya. Hanya saja,
apabila situasi perang sudah reda, atau tatkala ada perdamaian, maka
orang asing musuh itu sudah bukan musuh lagi, sehingga dia dapat
mengajukan tuntutan untuk memperoleh kembali harta bendanya.
Demikian pula, dia juga mungkin dapat mengklaim kembali nilai
barang-barang miliknya, bersama-sama dengan “buah” yang
dihasilkan oleh harta benda dari si orang asing musuh itu yang
68 Zine Corp. v Hirsch (1916) 1 KB 541; Ertel Bieber & Co. v Rio Tinto & Co.(1918) AC 260. Ibid.
dihasilkan dalam rentang waktu (interval), yaitu sebelum perang,
ketika perjanjian-perjanjian itu dibuat, dan ketika masa damai
tercapai.69
Hal yang sama juga berlaku terhadap hutang-hutang yang
dibuat oleh si asing musuh itu. Atau dengan piutang milik si asing
musuh tersebut, tidak dapat dibayarkan kepada si asing musuh
tersebut selama masa berkecamuknya pertempuran atau perang, baik
pembayaran tersebut dilakukan secara langsung, maupun dengan
pembayaran dengan melalui pihak ketiga yang netral.70 Hanya saja,
dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas itu,
perlu juga ditegaskan kembali di sini, bahwa meskipun demikian,
harta benda termasuk piutang yang dimiliki oleh si asing musuh itu
tidak dilepaskan haknya (forfeited) oleh si asing musuh itu.
Piutang-piutang itu wajib untuk dikonsinyasikan (should be
paid into court), supaya harta benda si asing musuh tersebut
bersama-sama dengan segala piutangnya dapat diurus oleh apa yang
di Skotlandia dikenal dengan badan penampungan barang-barang
69 Hugh Stevenson & Sons v AktfÜr Cartonnagen Industrie (1918) AC 239;Penney supra. Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit.,hlm. 266.70 R v Kupfer (1915) 2 KB 321; Orenstein and Koppel v Egyptian Phospate Co.,1915 SC 55.
atau hak atas harta benda milik asing (musuh).71 Artinya, semua
dividen atas saham yang menjadi milik si asing musuh,72 hanya saja
untuk dividen dari perusahaan yang telah dinyatakan pailit oleh
pengadilan, harus dibatalkan.73 Sedangkan pembayaran-pembayaran
yang telah dibuat di depan (misalnya uang muka) untuk perjanjian-
perjanjian yang hapus (frustrated) oleh perang, harus dinyatakan
dibatalkan oleh pengadilan, supaya tidak dapat dibayar kembali
kepada si asing musuh.74
Uang yang dipegang atau ditaruh di bank oleh si asing
musuh, tetap memperoleh bunga,75 tetapi hal itu dapat dibekukan
(arrested).76 Orang, misalnya bank yang menguasai uang dan bunga
bank tersebut harus dapat dimintakan pertanggungjawaban atas
penguasaan dan pengelolaan uang itu, sebagaimana halnya apabila
suatu firma dibubarkan, maka prinsip yang berlaku di sana adalah,
71 Guyot-Geuinin & Son v Clyde Soap Co., 1916 SC 6. Badan itu disebut denganthe Custodians of Enemy Property.72 Robson, supra. Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit.,hlm. 267.73 Ex Parte Boussmaker (1866) 13 Ves 71. Ves adalah singkatan dari LawReporting bernama lengkap Vesey Reports.74 Cantiere San Rocco v Clyde Shipbuilding and Engineering Co. Ltd., 1923 SC(HL) 105.75 Hugh Stevenson & Sons, supra.76 Davis and Primrose, supra.
bahwa satu dari rekan dalam firma atau perkumpulan tersebut adalah
sama dengan orang asing musuh.77
Demikian pula dengan prinsip bahwa mengingat suatu
pelaksanaan perjanjian dapat dinyatakan ilegal dengan pecahnya
perang, maka pengadilan tidak akan menerima klaim yang diajukan
oleh pihak orang asing musuh yang menuntut wanprestasi
pembayaran sejumlah uang sebagaimana perjanjian yang harus
dilaksanakan tersebut. Pengadilan juga tidak akan mengabulkan
tuntutan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum. Tambahan lagi,
si orang asing musuh itu tidak dapat mengajukan penuntutan, baik
yang dilakukan sendiri maupun dengan cara penyerahan mandat
untuk itu kepada pihak ketiga.78 Namun demikian, apabila tuntutan
atau penuntutan yang pernah diajukan oleh si asing musuh itu
ternyata pernah ditunda pemeriksaan dan putusannya oleh
pengadilan sebelum pecah perang, maka pengadilan menetapkan
bahwa pada saat damai, hal itu akan dibuka kembali.79
77 Hugh Stevenson & Sons, supra.78 Arnauld and Gordon v Boik (1704) Mor 10159; Johnson and Wright vGoldsmid 15 Februari 1809 FC. FC adalah singkatan dari suatu Law ReportingSkotlandia Resmi yang bernama lengkap Faculty Collection, Law Reporting itumenampung putusan-putusan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Skotlandia.Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 268.79 Orenstein and Koppel v Egyptian Phopspate Co., 1915 SC 55; Craig Line SSCo., v North British Storage and Transit Co., 1915 SC 113; Van Uden v Burrel1916 SC 391. Ibid.
2.2. Prinsip Persamaan di Depan Hukum (Equality
Before The Law)
Prinsip ini direkam di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Mengingat konstitusi itu adalah suatu kontrak, maka equality before
the law adalah bagian dari konstitusi juga dapat disebut sebagai
suatu kontrak.
2.3. Prinsip Persamaan di Depan Hukum (Equality
Before The Law) Sebagai Suatu Kontrak
Prinsip ini telah terurai dalam sub bab 2.2 di atas. Karena
konstitusi yang juga adalah suatu kontrak yang merekam prinsip ini,
maka secara otomatis Indonesia telah menjadi suatu negara yang
berdasarkan atas hukum. Hakikat dapat dipahami dengan melihat
pengertian dari sesuatu. Secara spesifik, negara hukum dimengerti,
manakala Hukum (the law) dilihat sebagai panglima
tertinggi/supreme80 dalam negara yang menggeser kedudukan
penggunaan kesewenang-wenangan.
Dalam hakikat yang dipahami dari pengertian negara hukum
seperti demikian itu, maksud tujuan dari adanya berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, adalah untuk memungkinkan
atau membantu orang, terutama rakyat, menyadari bahwa mereka
telah memiliki suatu dasar yang pasti, dan tanpa perasaan takut
dan/atau segan berhak (entitle) menuntut atau menagih piutang atau
hak-hak (rights) mereka, dari para penyelenggara negara yang telah
diberikan kepercayaan oleh Hukum untuk mengurus negara, bagi
kepentingan si tuan, yaitu rakyat.
Apakah hal di atas berarti bahwa dalam suatu hubungan
hukum antara rakyat sebagai tuan (gusti) dengan penyelenggara
negara sebagai hamba atau pelayan atau servant (public servant),
maka bukanlah adil bila hubungan hukum itu bersifat hubungan
80 Jeferson Kameo, Menegakkan Negara Hukum yang Berkedaulatan Rakyat,Makalah untuk Diskusi Perkumpulan Praxis, YLSKAR, SPPQT, PerkumpulanPerdikan, Yayasan Tifa dalam Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat (FBBPR)dan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 29 November2011, hlm. 1. Restatement, dalam Pasal 1 ayat (3) TAP MPR yang mengaturPerubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD45), Bab 1, Bentuk dan Kedaulatan, distipulasi bahwa: “Negara Indonesia adalahnegara hukum.” Agar dapat memperoleh gambaran (ideas) yang lain tentangkepanglimaan atau kedigdayaan Hukum, Jeferson Kameo menganjurkan kepadakita untuk membandingkan tulisan Ronald Dworkin, dalam Dworkin, R. (1986),Law’s Empire, Fontana.
antara rakyat atau atasan yang lebih tinggi status dan kedudukannya
jika dibandingkan dengan penyelenggara negara atau bawahan yang
jauh lebih rendah statusnya?
Mengacu pada dasar yang dianggap pasti itu, nilai yang juga
penting ditambahkan di sini adalah, bahwa mereka (rakyat) atau para
pihak yang merupakan gabungan dari subyek-subyek hukum itu
dapat dengan mudah memastikan bagaimana nantinya pemerintah
yang telah mereka pilih, karena sebelumnya mereka telah didikte
oleh hukum untuk memilih pemimpin tersebut, akan mengelola
kekuasaan yang ada di dalam tangannya dalam keadaan-keadaan
tertentu, dalam keadaan susah maupun dalam keadaan duka, hanya
untuk kepentingan dan semata-mata sebesar-besarnya kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
Dengan perkataan lain, apabila rakyat meyakini bahwa
sebenarnya sudah ada di dalam diri mereka suatu dasar yang pasti,
yang tercermin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku itu, maka pada gilirannya rakyat dapat merencanakan apa
yang akan mereka lakukan sesuai dengan kepentingan yang menurut
rakyat tersebut merupakan kepentingan mereka yang paling baik.
Ada yang berpendapat, bahwa secara prinsipiil, tanpa aturan-
aturan, baik itu yang sudah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maupun yang diterapkan oleh
hakim dalam berbagai putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap, yang di dalamnya mengandung kaedah-
kaedah terhadap suatu aktivitas tertentu, maka pemerintah yang
bersangkutan tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk intervensi
ke dalam kemerdekaan setiap orang yang ada di dalam negara yang
mau mendeklarasikan dirinya sebagai suatu negara hukum
tersebut.81
Dalam pengertian yang menunjuk hakikat negara hukum,
sebagaimana telah dikemukakan di atas itu, maka tuntutan yang
harus (niscaya) atau mau tidak mau wajib ada, adalah bahwa semua
penyelenggara negara, termasuk di dalamnya kepala negara (the
head of state) harus ditundukkan kepada hukum yang berlaku (take
it or simply leave it). Inilah yang telah menyebabkan seorang ahli
Hukum Tata Negara Inggris (England) yang sangat terkemuka,
81 Prinsip seperti ini pernah dinyatakan dalam suatu keputusan pengadilan, yangmengadili perkara antara Entick v Carrington (1765) 19 St Tr 1030 at 1066 perlord Camden CJ. Perlu dikemukakan di sini, bahwa semua keputusan pengadilandan beberapa literatur klasik yang dicantumkan dalam makalah tersebut (makalahJeferson Kameo), adalah putusan-putusan pengadilan dan kepustakaan temuandalam penelitian individual Jefferson Kameo ketika diundang tanpa syarat(unconditional) ke Faculty of Law and Financial Studies University of Glasgow,Scotland.
bernama Dicey82 bertekuk lutut dan mengakui kebenaran hukum di
negara tetangganya Skotlandia, yang memaksa setiap orang untuk
patuh kepada prinsip yang didikte oleh Hukum, bahwa setiap warga
negara harus dimampukan untuk dapat meminta
pertanggungjawaban setiap pejabat pemerintah atas setiap
perbuatannya di pengadilan (the ordinary courts of law).
Bukankah uraian tersebut di atas secara terang-benderang
telah memperlihatkan latar belakang atau kausa (a case), bahwa
negara hukum yang ditulis secara eksplisit dalam dokumen
perjanjian atau konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia itu
pada prinsipnya, karena dikte hukum (the dictate of the law) harus
selalu dimengerti sebagai kaedah yang lebih berpihak kepada
kedaulatan rakyat? Jawabannya sudah barang tentu ya.
Benar, sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa kaedah
negara hukum itu mengandung suatu spirit yang lebih berpihak
kepada kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, untuk apalagi hal itu;
82 Dicey adalah seorang penulis Inggris yang sudah mati, namun sangat terkenaldalam bidang Hukum Tata Negara. Dikatakan bahwa karyanya banyak sekalidirujuk tanpa catatan oleh penulis-penulis Indonesia yang terkenal. Tetapi, Diceytelah menulis sejak tahun 1885. Karyanya kemudian dicetak ulang untukkesepuluhkalinya pada tahun 1959. Lihat, Dicey A. V. (1885, 1959), Introductionto the Study of the Constitution (1885, 10th ed, 1959), hlm, 187-188. Dikutip dariJeferson Kameo, Menegakkan Negara Hukum yang Berkedaulatan Rakyat, suprafoot note no. 137.
nilai yang lebih berpihak kepada kedaulatan rakyat yang ditegakkan
atau kita sekalian pertanyakan “kedigdayaannya”?
a. Berlaku Sebagai Subjek Hukum pada Umumnya
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, di dalamnya
ditempatkan asas equality before the law termasuk dalam Pasal 27
ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”83 Ini merupakan pengakuan dan jaminan hak kesamaan
semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan.
Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut
oleh Pasal 27 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945
tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar
diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Hal ini
dimaksud, bahwa semua orang diperlakukan sama di depan hukum.
Tidak ada perbedaan antara orang asing atau warga Negara.
Equality before the law dalam arti sederhananya, semua
orang sama di depan hukum. Persamaan di hadapan hukum atau
equality before the law adalah satu asas terpenting dalam hukum
83 Yasir Arafat, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 danperubahannya, Permata Press, tanpa tahun, hlm. 26.
modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang
juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kalau dapat disebutkan, asas equality before the law ini
merupakan salah satu manifestasi dari Negara Hukum (rechtstaat),
sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan
hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).84 Dengan demikian,
elemen yang melekat mengandung makna perlindungan sama di
depan hukum (equal justice under the law), dan mendapatkan
keadilan yang sama di depan hukum.
Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak
masa kolonial lewat Burgerlijke Wetboek (KUHPerdata) dan
Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30
April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu,
asas ini tidak sepenuhnya diterapkan, karena politik pluralisme
hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum
adat di samping hukum kolonial.
Asas persamaan di hadapan hukum merupakan asas dimana
terdapatnya suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu
tanpa ada suatu pengecualian. Asas persamaan di hadapan hukum itu
84 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm.20.
bisa dijadikan sebagai standar untuk mengafirmasi kelompok-
kelompok marjinal atau kelompok minoritas. Namun, di sisi lain,
karena ketimpangan sumberdaya (kekuasaan, modal, dan informasi)
asas tersebut sering didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai
tameng untuk melindungi aset dan kekuasaannya.
Asas equality before the law bergerak dalam payung hukum
yang berlaku umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu
menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain, misalnya
terhadap ekonomi dan sosial. Persamaan “hanya” di hadapan hukum
seakan memberikan sinyal di dalamnya, bahwa secara sosial dan
ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan
perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah
sosial, dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas equality
before the law tergerus di tengah dinamika sosial dan ekonomi.
b. Berlaku pada Subjek Hukum Manusia
Equality before the law adalah pilar utama dari bangunan
Negara Hukum (state law) yang mengutamakan hukum di atas
segalanya (supreme of law). Pengakuan kedudukan tiap individu di
muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang sama tanpa
memandang status sosial (social stratum).85
Keberlakuan prinsip equality before the law dalam praktek
penegakan negara hukum yang berdasarkan supremasi hukum
(kedaulatan hukum), ternyata mengalami “penghalusan”, kalau tidak
mau dikatakan “exception” (pengecualian) demi mempertahankan
kewibawaan hukum itu sendiri. Pengecualian mana berlaku bagi
orang-orang/kelompok orang-orang tertentu, yaitu mereka yang oleh
karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-
Undang tidak dapat dihukum atau dipidana. Terhadap orang-orang
ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena apabila mereka terbukti
melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dan
kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka lebih berat
daripada hukuman yang seharusnya diterima oleh orang biasa. Jadi
terhadap orang-orang ini, jika melakukan suatu perbuatan guna
melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dapat dihukum
(bukan kebal hukum), sebaliknya apabila yang bersangkutan
melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan
85 Yelina Rachma P., Tinjauan tentang Pengaturan Asas Penyampingan PerkaraDemi Kepentingan Umum (Asas Opportunitas) dalam KUHAP dan Relevansinyadengan Asas Persamaan Kedudukan di Muka Hukum (Equality Before The Law),Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm. 45-48.
menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangannya (abuse de droit),
maka hukumannya diperberat.86
Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.” Ayat ini mengisyaratkan asas hukum
yang sangat fundamental, yaitu asas persamaan kedudukan dalam
hukum (asas persamaan kedudukan di muka hukum), atau dikenal
dengan istilah “equality before the law”. Demikian pula setelah
perubahan (amandemen) ke-2 UUD 1945, hal tersebut dipertegas di
dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) dan (2). Isyarat
senada ditemukan pula baik di dalam Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (KRIS) 1949 maupun di dalam UUDS 1950 melalui
ketentuan Pasal 7, yang dapat dibaca bahwa: a. Setiap orang diakui
sebagai manusia pribadi terhadap Undang-Undang. b. Segala orang
berharap menuntut perlakuan dan lindungan yang sama oleh
Undang-Undang.
Di dalam dokumen internasional, yaitu Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) 1948, tentang Asas
Persamaan di Muka Hukum atau Equality Before The Law dapat
86 Ibid.
dibaca melalui Pasal 6 yang menyatakan: “Everyone has the right to
recognition everywhere as a person before the law.” Dan Pasal 7
yang menegaskan antara lain: “All are equal before the law and are
entitled without any discrimination to equal protecion of the law.”
Demikian pula keberadaan asas persamaan di muka hukum,
dipertegas lebih lanjut di dalam International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) 1966. Pasal 16 ICCPR 1966 menyatakan
bahwa: “Everyone has the right to recogniton everywhere as a
person before the law.” Pasal 17 ayat (2) menegaskan bahwa:
“Everyone has the right to the protection of the law against such
interference or attacks.” Demikian pula dalam Pasal 26 antara lain
menyatakan: “All person are equal before the law.”87
c. Berlaku pada Subjek Hukum Badan Hukum
Umum diketahui, bahwa selain orang, badan hukum juga
masuk dalam kategori subyek hukum. Secara prinsip, hak dan
kewajiban badan hukum ini sama dengan hak dan kewajiban orang-
perorangan dalam melakukan perbuatan hukum.88
87 Mien Rukmini. 2007. Perlindungan HAM melalui Asas Praduga TidakBersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum pada Sistem PeradilanPidana Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 64-65.88 Lihat subbab b di atas.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan, bahwa dalam rangka
merumuskan kembali ide-ide pokok konsepsi Negara Hukum, dan
pula penerapannya dalam situasi Indonesia dewasa ini, menurut
pendapatnya, dapat merumuskan kembali adanya tiga belas prinsip
pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman
sekarang. Ketigabelas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar
utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern,
sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law,
ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, salah satunya
yaitu:89
Dalam rangka membatasi kekuasaan, di zaman sekarang
berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan
yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara,
dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga
baru, seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan, atau
organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada
89 Dapat dibaca dalam makalah Jimly Asshiddiqie, yang berjudul Gagasan NegaraHukum Indonesia, beliau adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RepublikIndonesia dan Ketua Asosiasi Hukum Tata Negara dan Hukum AdministrasiNegara Indonesia.
dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi
independen, sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak
seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun
pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-
organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena
fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk
melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang
memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi
prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol
sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan
mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau
organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan.
Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat
penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
Badan hukum juga mempunyai hak yang sama dengan
subyek hukum orang-perseorangan. Lembaga, badan, atau
organisasi-organisasi ini yang sebelumnya dianggap sepenuhnya
berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang
menjadi independen, menjadi bukti bahwa lembaga sebagai badan
hukum ini dapat melakukan perbuatan hukum tanpa intervensi dari
manapun.
d. Berlaku pada Subjek Hukum Orang Asing
1. Manusia
Terdapat suatu contoh kasus, yaitu dalam putusan Nomor
137/PUU-XII/2014 tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Pemohon Warga Negara Asing dalam Pengujian Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD
1945.
Para Pemohon 1 dalam tersebut adalah para advokat dan
sebagai perseorangan warga Indonesia yang merasa terhambat dalam
memenuhi hak para pemberi kuasa dengan adanya ketentuan Pasal
55 ayat (1) UU MK. Adapun Pemohon 2 adalah perseorangan warga
negara Nigeria.
Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu: Pasal
28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1), ayat (2),
dan ayat (5).
Alasan permohonannya yaitu: 1). Pemohon 2 telah
diperlakukan secara tidak adil dalam proses peradilannya sebagai
seseorang yang telah dinyatakan bersalah melanggar Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sementara
dalam barang bukti sendiri, baik yang ditetapkan dalam tingkat
pengadilan negeri maupun tingkat kasasi tidak ada satu pun di
dalamnya dinyatakan barang bukti berupa narkotika;
2). Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara
dinamis dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses untuk
memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa
memperdulikan latar belakangnya. Dengan demikian, Pemohon 2
meskipun mempunyai status warga negara asing, namun hak untuk
memperoleh keadilan adalah wajib diberikan kepadanya. Karena,
hak tersebut adalah milik setiap orang, bukan hanya warga negara
tertentu saja;
3). Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela
umum adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap
orang, dan oleh karena itu merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all). Sehingga
dengan demikian, para Pemohon 1, telah dipermalukan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia, karena semua upaya yang dilakukan
para Pemohon 1 dalam kepentingan pembelaan perkara yang dialami
Pemohon 2 dianggap tidak bernilai, dianggap sia-sia, dan penurunan
nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi dalam semangat
keadilan dan persamaan di hadapan hukum;
4). Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan
“Warga Negara Indonesia”, bukan “setiap orang”, maka jelas pasal
dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut tidak sejalan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
5). Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi secara jelas dan nyata telah
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, karena
seharusnya setiap orang berhak atas persamaan dan keadilan.
Artinya, kedudukan atas persamaan dan keadilan adalah hak setiap
orang, bukan hanya golongan, kelompok, atau bahkan warga negara
tertentu saja, namun persamaan dan merupakan hak dasar setiap
orang yang telah terikat sejak lahir di dunia;
6). Pemohon 2 sesungguhnya telah diperlakukan sama,
dengan telah dinyatakan dirinya bersalah atas perbuatannya
melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, dan sedang menjalani hukuman untuk perbuatannya
itu. Namun dalam hal untuk mendapatkan keadilan, upaya hukum
terhadap Pemohon 2 tidak sama. Adanya Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi justru
membatasi dan membedakan upaya hukum Pemohon 2;
7). Selama menyangkut persoalan persamaan dan keadilan
yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, tanpa kecuali, setiap
negara dan perangkat atau lembaga yang ada di dalam negara
memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak asasi manusia
pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang
asing sekalipun;
8). Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 mengandung makna bahwa
hak asasi manusia dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia dapat
disebut sebagai manusia. Para Pemohon 1 telah diperlakukan tidak
sama dengan sebagaimana para advokat yang membela kliennya
yang berstatus warga negara Indonesia. Para Pemohon 1, telah
dibatasi ruang pembelaannya, dimana seharusnya upaya pembelaan
yang dilakukan para Pemohon 1 didukung dengan peraturan
perundang-undangan;
9). Pemohon 2 yang telah dihukum berdasarkan undang-
undang pemidanaan yang berlaku di Indonesia, seharusnya juga
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di Indonesia, karena
Indonesia sebagai Negara Hukum, yang dalam konstitusinya
maupun Undang-Undang Hak Asasi Manusianya tidak membeda-
bedakan hak asasi manusia. Dengan adanya Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Pemohon 2 telah dirugikan hak konstitusionalnya
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hal tersebut bertentangan
dengan 28I ayat (1) UUD 1945 dan ketentuan tentang Hak Asasi
Manusia di Indonesia;
10). Para Pemohon 1 maupun Pemohon 2, telah
mendapatkan perlakuan diskriminatif dengan tidak memperoleh
ketentuan mengenai upaya hukum yang sama berdasarkan peraturan
perundang-undangan, dimana perlakuan diskriminatif itu sendiri
muncul pada forum Mahkamah Konstitusi pada Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang secara jelas dan nyata pasal tersebut bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan juga bertentangan dengan
ketentuan hak asasi manusia di Indonesia;
11). Seharusnya Pemohon 2 memperoleh hak asasi manusia
yang sama dimanapun ia berada, demikian pula juga jika berada di
Indonesia yang notabene sebagai negara hukum yang secara pasti
melindungi setiap hak asasi manusia. Akan tetapi penjaminan hak
asasi manusia di Indonesia telah terbentur, terhalangi, dan terbatasi
oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Maka sudah patut dan wajar bahwa
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi adalah bertentangan dengan Pasal 28I ayat (5)
UUD 1945, dan ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berlaku
di Indonesia.
MK menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon
untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal
28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat; dan serta memerintahkan untuk memuat putusan ini
dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
2. Badan Hukum
Contoh kasus di atas, yaitu putusan Nomor 137/PUU-
XII/2014 tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Warga Negara Asing dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945,
maka selain orang, badan hukum juga masuk dalam kategori subyek
hukum. Secara prinsip, hak dan kewajiban badan hukum ini sama
dengan hak dan kewajiban orang-perorangan dalam melakukan
perbuatan hukum.
top related