bab ii pluralisme sebagai realitas sosial 2.1....
Post on 03-Mar-2019
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
13
Bab II
Pluralisme Sebagai Realitas Sosial
2.1. Pengantar
Pluralisme adalah suatu keniscayaan untuk hidup bersama dalam konteks
Indonesia. Bangsa Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk
yang banyak dan terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, kebudayaan
dan lain-lain. Jumlah penduduk Indonesia yang dikeluarkan badan statistik
kependudukan Indonesia adalah 237.641.326 jiwa tahun 2010.1 Dengan demikian
Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Jumlah penduduk yang besar
dan juga keanekagaman itu membuat Indonesia di satu sisi kaya akan potensi
untuk perkembangan dan pembangunan bangsa, di sisi lain potensi juga untuk
terjadinya perpecahan bangsa dan negara.
Meningkatnya sektarian dan radikalisme agama yang sebagian berujung
pada tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia, merupakan kenyataan
yang menyedihkan. Hidup bersama di masyarakat yang plural ini sering kali
terjadi sesuatu yang melibatkan kekuatan massa atau jumlah, mayoritas minoritas,
pada suatu daerah dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan, sehingga ada
satu kelompok yang merasa mempunyai hak untuk menghakimi kelompok yang
lainnya. Disinilah kehadiran Negara sangat diperlukan dalam menyelesaikan
persoalan tersebut.
Potensi konflik SARA yang menyebabkan perpecahan bangsa, diantaranya
dikarenakan masalah agama, berusaha dicegah dan diminimalisir, sehingga negara
1 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267 ... diakses tanggal 01 Oktober 2016.
14
melindungi kebebasan dalam beragama warganya dengan melindungi dalam
hukum dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu UUD 1945.
Masing-masing warga negara bebas memeluk agama dan kepercayaannya, serta
melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Pasal 28E ayat
(1) yang menyatakan, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya….” dan Pasal 28E ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.” Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal
29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”2
Setiap agama tidak terpisah satu dengan yang lainnya dalam kemanusiaan.
Keterpisahan mereka dalam kemanusiaan bertentangan dengan prinsip pluralisme
yang merupakan watak dasar masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari.
Dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia
termasuk satu negara yang paling majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan
salah satu Negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini disadari oleh para
founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
2.2. Pluralisme dan Sikap beragama
Pengertian Pluralisme asal katanya dari “plural” yang berarti jamak atau
lebih dari satu. Isme artinya paham yang berarti beragam pemahaman, atau
bermacam-macam paham. Sedangkan pluralis artinya bersifat jamak (banyak).
2 Tim Redaksi Balai Siasat, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, hasil amanden II
(Jakarta: Balai Siasat,2009).
15
Kejamakan atau lebih dari satu Pluralisme adalah jamak atau tidak satu;
kebudayaan: berbagai kebudayaan yang berbeda-beda di suatu masyarakat.3
Pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mereduksikan segala sesuatu
pada satu prinsip terakhir, melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme
dapat menyangkut bidang kultural, politik dan religius, sebagaimana terdapat
dalam kamus teologi.4
Setiap agama masing-masing mempunyai perspektif sendiri dengan paham
pluralisme yang ada. Mereka mempunyai penekanan pada hal-hal tertentu dalam
pluralisme, dengan mempunyai dasar teologis masing-masing. Namun demikian
yang menjadi nilai universal dalam paham pluralisme, dalam hal ini pluralisme
agama, adalah adanya pengakuan akan perbedaan-perbedaan yang ada namun tetap
saling menghormati. Ini sangat berbeda, ketika masing-masing agama saling
menjelekkan dan mencampuri ke dalam urusan agama lain, maka bisa terjadi
konflik.
Sedangkan menurut Alwi Shihab, pengertian pluralisme dapat
disimpulkan menjadi 3 yaitu: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme
adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua,
pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Dalam hal ini
kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa
hidup berdampingan di suatu lokasi. Maksudnya walaupun suatu ras dan bangsa
3 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakar ta : Balai Pustaka,1990),
691.
4 Gerald O’ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius,
1996), 257.
16
tersebut hidup berdampingan tetapi tidak ada interaksi sosial. Ketiga, konsep
pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Paham relativisme
menganggap “semua agama adalah sama”. Keempat, pluralisme agama bukanlah
sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan
bagian integral dari agama tersebut.5
Sedangkan mengenai pluralisme agama, menurut Wilfred Cantwell Smith,
merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut
agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami
tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri.
Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi.
Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan
menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada
tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa
kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai
dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus
juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.
Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis
mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang
berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan
teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai
penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai
contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang
5 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, (Bandung: Mizan, 1999), 41-42.
17
menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu
berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah
suatu berhala.
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau
kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan
sebagaimana di wahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu
Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami
sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan
manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar
umat beragama yang berbeda-beda tersebut.6
Sementara Mahmoud Mustafa Ayoub mengatakan suka atau tidak, kita
hidup hari ini dalam sebuah dunia yang pluralistik. Namun, kita tetaplah manusia
yang tidak harusnya dibeda-bedakan, kita adalah umat manusia, tapi kita juga
bangsa yang berbeda, budaya, dan agama. Al-Qur'an berulang kali mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan kita semua dari satu jiwa,dan dari satu jiwa diciptakan
pasangan, sehingga berkembang menjadi banyak keturunan laki dan perempuan.
Ayat penting dan sering dikutip lainnya yang terkait dengan ini adalah Al-Hujarat
ayat 13. Demikian pendapat beliau:
Whether we like it or not, we live today in a pluralistic world. Yet, we
are not and cannot be an undifferentiated mass of humankind. Yes, we
are one humanity, but we are also different peoples, cultures, and
religious communities. The Qur'an repeats many times the idea that God
created us all from one soul, and from that soul created its mate; and
from the two He scattered many men and women. The other important
and often-quoted verse related to this is the following Qur'anic challenge:
"humankind we have created you from one male and one female and
made you into different nations and tribes that you may know one
another, surely the noblest view in God's sight is the most righteous."
6 http://limasdodi.blogspot.co.id/2012/09/teologi-pluralisme.html...diakes tanggal 26
Februari 2017.
18
Humanity is one in essence and substance but diverse in culture and in
race, that is, ethnic composition. Moreover, humanity is one in its quest
to comprehend and do the will of God, for "surely the noblest in God's
sight is one who is the most righteous" (Q.49:13).7
Pluralisme bukan bersifat teologis saja, namun juga sebuah kesadaran
sosial. Manusia tidak dapat dipungkiri hidup di tengah-tengah masyarakat yang
yang majemuk atau jamak itu, baik dalam segi agama, etnis, budaya, dan
keragaman sosial lainnya. Karenanya dalam pluralisme mengandung konsep
sosiologis dan sekaligus juga teologis.8 Pluralisme melindungi kesetaraan dan
menumbuhkan rasa persaudaraan di antara manusia baik sebagai individu maupun
kelompok. Pluralisme menuntut upaya untuk memahami pihak lain dan kerjasama
mencapai kebaikan bersama. Pluralisme adalah bahwa semua manusia dapat
menikmati hak dan kewajibannya setara dengan manusia lainnya.
Kelompok-kelompok minoritas dapat berperan serta dalam suatu masyarakat
sama seperti peranan kelompok mayoritas. Hukum negara dan hukum
internasional melindungi pluralisme.9
Dalam tulisan ini penulis memakai pluralisme bukan hanya soal agama,
namun juga sebagai fenomena sosial yang memerlukan penanganan yang baik
oleh berbagai pihak, agar tidak sampai ada masalah yang tidak diinginkan
dikemudian hari, seperti hal pertikaian, atau bahkan disintegrasi bangsa.
7 Irfan A. Omar (Editor), A Muslim View of Christianity: Essays on Dialogue by
Mahmoud Ayoub (New York: Orbis Books, 2007), 9. 8 Moh. Shofan, Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama (Yogyakarta: Samudra Biru,
2011), 48. 9 Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan Pandangan al-
Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Terj. Irfan Abubakar (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2006), 3.
19
2.3. Sejarah Pluralisme Dunia
Pada abad ke-18 sejarah pemikiran pluralisme untuk pertama kali muncul,
disebabkan adanya peristiwa yang disebut masa Enlightenment (pencerahan) di
Eropa. Pada masa ini gerakan pemikiran modern mulai bangkit, diwarnai dengan
gagasan-gagasan baru pemikiran manusia yang berorientasi pada pengandalan
kekauatan akal pikiran atau rasionalisme dan pembebasan akal dari kekangan
doktrin agama. Paham liberalisme yang di dalamnya memuat gagasan tentang
kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme akibat adanya
pencerahan.10
Pluralisme berakar dari paham liberalisme. Sedangkan pengertian
liberalisme adalah:
....berasal dari bahasa latin liberalis kata yang diturunkan dari kata liber
yang artinya “bebas”, “merdeka”, “tak terikat”, “tak tergantung”.
Liberalisme adalah kecenderungan luas dalam politik dan agama yang
mengikuti pandangan zaman pencerahan dalam mendukung kebebasan dan
perkembangan dalam menerima pandangan-pandangan baru dalam ilmu
kebudayaan sezaman. Dalam arti positif, liberalisme mendorong sistem
pendidikan yang terbuka dan terciptanya keadilan sosisal. Dalam arti
negatif, liberalisme menjadi satu bentuk humanisme sekular yang menolak
kewibawaan agama.....11
Di abad ke-18 M ini di kalangan kristen Eropa berkembang liberalisme, akibat
adanya keadaan sosial masyarakat yang plural atau majemuk dalam sekte atau
kelompok. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk inilah menyebabkan
konflik-konflik di kalangan gereja. Pergolakan pemikiran kristen ini yang
melahirkan liberalisme yang dikarenakan adanya pluralisme. Baru setelah abad
10 Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Prespekif Kelompok Gema Insani,
2005), 16. 11 Gerald dan Edward, Kamus Teologi…, 178.
20
ke-20 M paham pluralisme dan liberalisme ini berkembang ke komunitas-
komunitas lain di dunia.12
Liberalisme berkembang juga dalam politik. Liberalisme politik yang
muncul di era reformasi Barat, melahirkan paham baru yaitu pluralisme.
Kebebasan nurani dalam urusan-urusan agama lebih dulu muncul dan kemudian
diperluas dalam bidang-bidang lain. Toleransi terhadap perbedaan dan berbagai
pemahaman dalam bidang agama menjadi topik utama dalam pembahasan
liberalisme politik. Liberalisme politik mengusung hak-hak individual dalam
pemisahan sektor publik dan sektor private (pribadi) tanpa campur tangan pihak
manapun. Hak-hak yang melindungi sektor private yang paling penting adalah
kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, khususnya yang berkaitan dengan
agama.13
Dari uraian di atas kita mengetahui bahwa paham pluralisme pertama kali
berkembang dunia kekristenan dalam menanggapi interaksi dan toleransi antara
kekristenan dan agama-agama lainnya, dan juga antar sekte-sekte yang ada di
dalam kekristenan itu sendiri yang sering terjadi ketegangan bahkan pertikaian.
Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi agama
atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19 M,
yang di pelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834).14 Protestanisme
liberal adalah bentuk modernisme dalam bidang agama yang di dalamnya terdapat
12 Anis, Tren Pluralisme Agama…, 17. 13 Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama Keniscayaan Pluralitas Agama
sebagai Fakta Sejarah Dan Kerancuan Konsep Pluralisme Agama Dalam Liberalisme, Terj. Arif
Mulyadi dan Ana Farida (Jakarta: Lentera Basritama, 2010), 10. 14 Anis, Tren Pluralisme Agama..., 18.
21
doktrin bahwa inti agama terletak pada pengalaman religius pribadi daripada
dogma, aturan, komunitas dan ritual.15
Schleiermacher menyatakan jiwa manusia yang melebur dalam perasaan
dekat dengan Yang Tak Terbatas merupakan hakekat agama, dan hakekat agama
tidak terletak pada doktrin keagamaan maupun penampakan secara lahiriah
tertentu. Intisari dari semua agama adalah terletak pada pengalaman religius
manusia dengan Tuhannya.16 Itulah latar belakang dari mundulnya paham
pluralisme yang berkembang di dunia barat. Memasuki abad ke-20, gagasan
pluralisme agama semakin menguat dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi
Barat.
Perkembangan gagasan pluralisme pada abad ke-18 hingga abad ke-20 ini
lebih tampak sebagai fenomena yang dominan dalam masyarakat Kristen di
Eropa. Akan tetapi ada juga yang mengatakan, sikap pluralistik sebagai cikal
bakal lahirnya pluralisme agama telah muncul di India pada akhir abad ke-15
dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya Guru Nanak ( 1469-
1538) pendiri agama “Sikhisme”. Namun gagasan ini tidak begitu dikenal di
dunia, hanya terbatas populer di India. Dengan begitu artinya, gagasan pluralisme
agama bukan hanya hasil dominasi dari pemikiran barat saja, namun juga berakar
dari pemikiran agama timur, khususnya India.17
Terdapat perbedaan mendasar antara gagasan pluralisme yang dicetuskan
oleh teolog India dengan pemikirian teolog Barat, khususnya Eropa. Konsep
pluralisme agama di India lebih mempunyai akar teologisnya, karena dasar
pemikiran tersebut tetap bersumber kepada Kitab Suci Hindu, seperti saling
15 Legenhausen, Pluralitas dan Pluralisme Agama..., 17. 16 Ibid, 19. 17 Anis, Tren Pluralisme Agama…, 20.
22
dimilikinya kebenaran yang mengantarkan kepada jalan menuju Tuhan. Konsep
pluralisme agama di India muncul dalam wacana teologis, sedangkan di Barat
gagasan ini merupakan produk filsafat modern yang muncul pada masa
pencerahan Eropa.18
Dari pemaparan di atas, dapat dimengerti bahwa, sejarah paham
pluralisme di seluruh belahan dunia selalu diawali dengan intoleransi yang
berakar dari agama dalam suatu masyarakat majemuk. Kesadaran manusia akan
pentingnya menjaga hubungan baik dengan pihak lain yang berbeda keyakinan
mendorong munculnya paham pluralisme. Paham pluralisme membawa manusia
kepada paham universal bahwa keberagaman manusia di dunia ini sudah
merupakan takdir dari Sang Pencipta. Keberagaman manusia merupakan
ketentuan Allah agar manusia saling bersatu dan membentuk warna-warni
peradaban yang rukun dan saling toleran terhadap sesamanya di muka bumi ini.
2.4. Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid di Indoensia
Riwayat hidup singkat Gus Dur sebagai berikut; Kyai Haji Abdurrahman
Wahid, akrab dipanggil Gus Dur adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin
politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga
2001. Ia menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil
Pemilu 1999. Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan
Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999
dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,
kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya
18 Anis, Tren Pluralisme Agama..., 23.
23
dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan
eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam
tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan
Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, namun
kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam
yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang
Penakluk”.19 Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”,
dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan
kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kyai yang berati “abang” atau
“mas“.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam
keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari
ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara
kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama
yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim,
terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949.
Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar
Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah
dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan
Inayah.
19 Muhammad Zaairul Haq, Tasawuf Gus Dur (Malang: Aditya Media Publishing, 2012),
155.
24
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah
Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan
Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan
Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini
merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden
Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang
peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul
Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
2.4.1. Pendidikan Gus Dur
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya
terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang
saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal
17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama
perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949,
Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta ketika memasuki Sekolah Dasar. Wahid
juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya
untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan
keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun
1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah
Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus
25
Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH.
Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957,
setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan
Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid
berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun
(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren
Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri,
Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan
nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai
jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.20
Tahun 1970-an, di masa mahasiswa, Gus Dur adalah seorang pencari
kebenaran tanpa henti. Ia tak mau berhenti pada satu tafsir tentang Islam. Ketika
studi di Mesir dan terutama di Irak, Gus Dur mengenal varian nasionalisme Arab
dan sosialisme. Ia mengagumi sosok Gamal Abdul Nasr, pemimpin nasionalis
Mesir, yang membuka peluang pemikiran-pemikiran Islam masuk dan
berkembang. Di Universitas Baghdad, Irak, ia terkagum-kagum dengan sosok
Saddam Husein.21
Abdurrahman Wahid sebagai tokoh pemuka agama Islam yang taat dalam
berteologi dan memiliki sikap terbuka pada sesama manusia tanpa mengenal suku,
ras dan agamanya. Pemikiran pluralis dan toleransi Gus Dur terbentuk oleh
ekspedisi intelektualnya yang panjang. Gus Dur tumbuh di lingkungan pesantren
20 https://mypresidentmyhero.wordpress.com/2012/06/25/riwayat-hidup-lengkap-
presiden-kyai-haji-abdurrahman-wahid/... Diakses tanggal 20 Desemeber 2016.
21 M. Hamid, Gus Gerr: Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa (Yogyakarta, Penerbit
Pustaka Marwa, 2010), 93.
26
tradisional Tebu Ireng Jombang, Krapyak Yogyakarta, dan Tunggalrejo
Magelang. Dari ketiga pondok pesantren tersebut, Gus Dur menimba disiplin
keilmuan Islam tradisional.22
Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Gus Dur adalah bahwa ia
seorang penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas,
khususnya pada waktu itu Cina Indonesia, juga peganut Kristen dan kelompok-
kelompok lain yang tidak diuntungkan pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto (masa Orde Baru). Gus Dur adalah figur yang memperjuangkan untuk
dapat diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu beragam. Gus Dur
dikenal sebagai seorang yang memiliki pemikiran liberal. Ia selalu dikenal dengan
sikapnya yang konsisten dalam membela minoritas dan perjuangan untuk
diterimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul nyata dalam
masyarakat Indonesia.23
Gus Dur mempunyai konstruksi pemikiran tentang Islam di Indonesia
yang terbangun berdasarkan pada tiga nilai; universalisme Islam,
kosmopolitanisme Islam, dan pribumisasi Islam.
2.4.2. Idiologi Agama Wahid dalam Universalisme Islam
Kata Universalisme Islam yang dmaksud disini adalah nilai-nilai
kemanusiaan di dalam Islam. Universal bermakna umum. Universalisme adalah
paham atau aliran yang meliputi segala-galanya; penerapan nilai-nilai; norma-
norma secara umum; pendekatan-pendekatan linguistik yang menganggap semua
22 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Beragama (Bandung:
Mizan Pustaka, 2011), 134. 23 Greg Barton, Memahami Abdurrahman Wahid, dalam pengantar Abdurrahman Wahid,
Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), xxii.
27
bahasa di dunia ini mempunyai dasar yang sama dengan sistem logika.24 Ia
bersifat universal karena ditetapkan sebagai tujuan utama syariat. Nilai
kemanusiaan itu terdapat di dalam perlindungan atas lima hak dasar manusia
meliputi perlindungan atas hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan,
dan hak berkeluarga.25
Universalisme Islam menampakan diri dalam berbagai manifestasi ajaran-
ajaran yang mengandung nilai-nilai dalam kemanusiaan. Bahasa sederhananya
adalah memanusiakan manusia. Pemikiran Gus Dur ialah pertemuan kemanusiaan
dan keislaman. Hanya saja prinsip keislaman ini bukanlah satu-satunya yang
digunakan olehnya. Prinsip keislaman merupakan landasan awal bagi bagi
keseluruhan pemikirannya. Selain dilandasi oleh prinsip keislaman, ketertarikan
Gus Dur kepada kebudayaan Eropa juga berpengaruh pada pemikiran-
pemikirannya. Budaya yang menjunjung tinggi nilai humanisme, rasionalisme,
dan demokrasi merupakan inti dari universalisme Islam. Humanisme adalah
perjuangan pengangkatan harkat manusia di atas intuisi apa pun. Atas
rasionalisme, Gus Dur terpikat dengan penggunaan akal budi untuk
menyempurnakan peradaban manusia. Pada sistem demokrasi merupakan sistem
politik ideal yang mampu menjamin terpenuhinya hak dasar manusia.26
Ketiga nilai tersebut merupakan akar dari konsep universalisme yang
kemudian dalam perspektif Gus Dur digabungkan dengan prinsip keislaman.
Universalisme Islam adalah nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam yang bersifat
universal karena ditetapkan sebagai tujuan utama syariat. Universalisme Islam
24 Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., 992. 25 Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2013), 11. 26 Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2013), 64.
28
yang diuraikan Gus Dur jalan untuk mencapai kebaikan umat manusia.
Universalisme Islam adalah lima jaminan dasar yang diberikan kepada warga
masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Lima jaminan dasar itu
berupa perlindungan atas hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak atas
keselamatan keluarga dan keturunan, serta hak atas kepemilikan.27
Penempatan hak hidup pada urutan pertama, bagi Gus Dur menganggap
bahwa itu terkait dengan hak yang paling dasar dari manusia, berupa kehidupan.
Jaminan atas hak hidup dalam masyarakat mensyaratkan adanya pemerintahan
berdasarkan hukum. Hukum adalah perwujudan keadilan sosial dalam arti
sebenarbenarnya. Setiap individu maupun kelompok diharapkan akan mendapat
perlakuan yang adil tanpa terkecuali, yaitu dengan adanya hukum yang
diberlakukan dalam masyarakat.28
Pada hak beragama dan hak berpikir menjamin manusia untuk bisa
menentukan pandangan hidup dan keyakinannya. Kedua hak ini diharapkan akan
berimplikasi pada keyakinan agama yang melandasi hubungan masyarakat atas
dasar sikap saling menghormati yang akan mendorong tumbuhnya sikap tenggang
rasa dan saling pengertian. Dalam konteks ini tiap individu mempunyai kebebasan
untuk menentukan alur yang akan dipilihnya.29 Sebagaimana yang sudah dijamin
kebebasannya oleh negara dalam UUD 1945.
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang
sangat kuat. Hak inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi
dan dalam derajat yang tinggi. Jaminan dasar atas hak kepemilikan merupakan
27 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia & Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 4. 28 Wahid, Islam Kosmopolitan…, 5. 29 Arif, Humanisme Gus Dur…, 65.
29
sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar. Dengan hak itulah
warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang untuk mengembangkan
diri melalui pola yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur kehidupan
masyarakat.30
Selanjutnya yang paling mendasar diperjuangkan oleh Gus Dur secara
konsisten adalah hubungan individu dan masyarakat. Ia mengemukakan, karena
tingginya kedudukan manusia dalam kehidupannya manusia sebagai individu
harus memperoleh perlakuan yang seimbang. Individu memiliki hak-hak dasar
yang tidak dapat dilanggar. Hak-hak itu disebut sebagai hak-hak asasi manusia
yang menyangkut perlindungan hukum, perlakuan keadilan, penyediaan
kebutuhan pokok, peningkatan kecerdasan dan kebebasan keyakinan dan
keimanan.31
2.4.3. Idiologi Wahid dalam Kosmopolitanisme Islam
Sementara itu kosmopolitanisme peradaban Islam adalah keterbukaan
Islam terhadap kebenaran dan peradaban lain, sejak filsafat Yunani kuno hingga
pemikiran Eropa modern. Kosmopolitan adalah mempunyai wawasan dan
pengetahuan luas; terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari
berbagai penjuru dunia; terdapat di berbagai belahan dunia, sedangkan
kosmopolitanisme adalah paham atau gerakan yang berpandangan bahwa
seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan tetapi menjadi warga dunia,
paham internasional.32 Sifat kosmopolitan dari Islam ini membuat Islam bisa
duduk secara berdampingan setara dengan rasionalisme Barat, meskipun mulai
dari titik pijak yang berbeda. Pertemuan Islam dengan kosmopolitanisme Barat
30 Wahid, Islam Kosmopolitan ..., 7. 31 Aziz, Neo-modernisme Islam…, 33 32 Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., 463.
30
dimulai dari gagasan Gus Dur tentang pandangan dunia Islam yang dibangun oleh
tiga nilai yaitu demokrasi, keadilan dan persamaan. Kosmopolitanisme peradaban
Islam memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di
sekitar dunia Islam. Proses seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas
budaya dan heterogenitas politik dalam suatu lingkup masyarakat, merupakan
implikasi dari kosmopolitanisme peradapan Islam.33
2.4.4. Idiologi Wahid dalam Pribumisasi Islam
Pribumisasi Islam adalah kontruksi pemikiran Gus dur yang ketiga, yang
terkait dengan lokalitas yang dapat dipahami dalam dua konteks. Konteks
Pertama adalah manifestasi ajaran Islam melalui kultur lokal. Dalam konteks ini,
ajaran Islam yang universal didakwahkan dengan meminjam bentuk budaya lokal
pra-Islam. Konteks Kedua yaitu kontekstualisasi Islam. Dalam konteks ini
pribumisasi Islam merupakan upaya Gus Dur dan para ulama NU untuk
mengakomodasi kebutuhan realitas dengan memanfaatkan keilmuan yang ada.34
Pribumisasi berasal dari kata pribumi yang memiliki makna penduduk asli (warga
negara; penduduk asli suatu negara).35 Akan tetapi yang dimaksud dengan
pribumisasi Islam disini adalah kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan
dalam kerangka kebudayaan. Di Indonesia pribumisasi Islam merupakan gagasan
yang melandasi apa yang saat ini disebut sebagai Islam Nusantara.36
Pribumisasi Islam merupakan salah satu gagasan Gus Dur yang populer.
Pribumisasi Islam terkait dengan lokalitas atau yang disebut sebagai Islam
33 Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia..., 9. 34 Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan..., 15. 35 Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ..., 701. 36 Arif, Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan..., 85.
31
Nusantara. Pribumisasi Islam merupakan corak keberislaman yang melekat
dengan keindonesiaan atau gagasan yang menandai suatu bentuk Islam Indonesia.
Secara sederhana, wacana Gus Dur terhadap pribumisasi Islam dapat
dipahami sebagai upaya untuk melindungi proses kontekstualisasi nilai-nilai Islam
dengan kebudayaan lokal Indonesia yang berlangsung alamiah. Pribumisasi Islam
menjadi penting dalam konteks lokal ini untuk dilakukan, karena membuka ruang
apresiasi yang luas bagi kaum Muslimin di Indonesia agar pada saat yang sama
tetap mempertahankan identitas keindonesiaannya yang khas dan sekaligus
mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Jadi
umat Islam Indonesia dapat menjadi islami tanpa harus kehilangan ciri khas
Indonesianya.
2.5. Perjuangan Gus Dur dalam Pluralisme di Indonesia
Ketika membicarakan teologi hanya menyentuh pada aspek ketuhanan
saja, akan banyak sekali tindakan yang mengatasnamakan Tuhan, tetapi praktek
dan dampaknya justru menodai nilai-nilai kemanusiaan. Maka dari itu, Gus Dur
memformulakan konsep iman tidak hanya dalam domain ketuhanan saja, tetapi
juga dalam domain kemanusiaan (sebagaimana sifat keuniversalan Islam).
Manusia sebagai individu maupun kelompok mempunyai kedudukan yang sama
dimata hukum negara maupun agama.
Dalam perjuangan semasa hidupnya Gus Dur selalu konsisten terhadap
tiga hal, yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Indonesia telah
memilih demokrasi sebagai sistem politik yang digunakan dalam pemerintahan,
32
maka implikasinya tidak ada diskriminasi. Hal ini berkaitan erat dengan konsep
hak asasi manusia dan pluralisme sebagai kenyataan bahwa Indonesia beragam.37
Pluralisme dalam padangan Gus Dur bukanlah menganggap bahwa semua
agama sama, pluralisme bukan hanya masalah agama, tetapi juga masalah
sosiologis dan kemasyarakatan. Masing-masing agama menjalankan akidahnya,
tetapi hubungan antar agama dan toleransi harus tetap terjalin dengan baik. Secara
teologis dalam setiap keyakinan tidak dibenarkan adanya anggapan agama adalah
sama, akan tetapi agama menjadi dasar untuk setiap umat beragama menjalin
hubungan baik dengan siapa pun.
Pluralisme ini menjadi pondasi penting dalam kehidupan dan kemanusiaan
yang digagas Gus Dur adalah bagian penting dalam usaha mencita-citakan bangsa
ini hidup rukun dan aman dalam kebhinekaannya, sebab sebuah bangsa yang
begitu majemuk seperti Indonesia ini jika salah dalam mengelola berbagai
perbedaan paham keagamaan, aliran, suku, dan lain-lain akan memunculkan
ketegangan, permusuhan, dan kekerasan sosial yang mengarah pada disintregasi
bangsa.38
Misi Gus Dur dalam konsep pluralismenya adalah berusaha
menghilangkan sikap kebencian antara agama satu dengan lainnya, sebab
kebencian dapat menimbulkan permusuhan. Timbulnya permusuhan bertolak
belakang dengan misi suci agama yang menyerukan perdamaian. Pluralisme
meniscayakan adanya keterbukaan sikap toleran dan saling menghargai kepada
manusia secara keseluruhan.39
37 Mukhlas Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid, Gus Dur Seorang Mujaddid,
(Jakarta: PPPKI, 2013), 12. 38 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 264. 39 Aziz, Neo-modernise Islam…, 60.
33
Menurut Gus Dur agama adalah kekuatan inspiratif yang membentuk
kekuatan moral. Agama harus membentuk etika dari masyarakat. Menurut Gus
Dur hakikat Islam itu damai dan anti kekerasan, Islam menghendaki kebebasan.
Agama mengajarkan knosep etika kepada pemeluknya. Tetapi etika tidak harus
dijadikan sebagai aturan formal dalam sebuah tatanan kehidupan. Agama tidak
boleh dikaitkan dengan urusan negara, agama diposisikannya sebagai sesuatu
yang individual (bersifat pribadi) dan mengandung ajaran moral.40
Pada dasarnya, mengembangkan rasa saling pengertian dalam kondisi
masyarakat yang heterogen seperti negara Indonesia bukanlah hal mudah. Dalam
hubungan antar umat beragama membutuhkan rasa saling pengertian yang tulus
dan bekelanjutan. Gus Dur menyatakan, Muslim sebagai mayoritas umat
beragama memikul tanggung jawab besar untuk menumbuhkan rasa memiliki
terhadap semua warga masyarakat bangsa.41
Agama berfungsi sebagai petunjuk dan penyelesai terhadap setiap
persoalan yang tumbuh di tengah kehidupan manusia. Gus Dur adalah ulama
pembaharu yang berusaha membawa Islam agar tetap relevan sebagai pemecah
persoalan dalam perkembangan zaman khususnya di Indonesia.42
Tujuan utama gagasan pluralisme Gus Dur adalah menciptakan
harmonisasi di masyarakat Indonesia yang mejemuk. Sebagai konsekuensi dari
gagasannya ini, Gus Dur selalu berada di garda depan ketika ada kekuatan, baik
itu kekuatan negara atau masyarakat, yang ingin mencederai kebhinekaan republik
ini. Bagi Gus Dur, kebhinekaan adalah sunatullah (dari Tuhan/kehendak Tuhan)
yang tidak berhak bagi siapa pun untuk mengubahnya. Justru keanekaragaman
40 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 3. 41 Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, 15-18. 42 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 14.
34
dapat menjadi berkah jika dikelola dengan baik, sehingga menjadi mutlak
diperlukan pemahaman yang sama untuk menghormati dan menghargai dalam
upaya mewujudkan harmonisasi di kalangan anak bangsa.43
Gus dur menyadari bahwa sifat truht claim memang selalu melekat dalam
diri pemeluk agama, tetapi justru karena adanya perbedaan pengalaman dan
penghayatan keagamaan itu dimungkinkan tercapainya titik temu. Usaha
pencarian titik temu ini dicari dengan jalan dialog, saling terbuka dan belajar
bersama-sama dalam menjaga perbedaan.44
2.6. Pluralisme Menurut Jeremy Menchik
Jeremy Menchik adalah seorang asisten profesor di Pardee Sekolah Studi
Global di Boston University dan afiliasi fakultas Ilmu Politik dan Studi Agama.
Penelitian Jeremy Menchik berfokus pada politik agama, dengan kepentingan
tertentu di Indonesia dan dunia Muslim.
Jeremy Menchik menjelaskan kalau ormas-ormas Islam yang ada di
Indonesia banyak memberikan peran, terutama dalam menjaga toleransi dan
pluralisme dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Bagi Menchik,
kesemuanya itu dikarenakan ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, senantiasa menjunjung tinggi demokrasi.45 Pertanyaan Menchik
adalah mengapa ormas Islam di Indonesia bisa toleransi dengan agama lain?
Bagaimana mereka memahami demokrasi dan toleransi? Apa pengaruhnya
terhadap kehidupan bersama dalam demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan-
43 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 265. 44 Aziz, Neo-modernisme Islam…, 63. 45 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism
(Boston: Cambrige Unersity Press, 2016), 5-6.
35
pertanyaan itu Menchik melakukan penelitian terhadap ormas Islam di Indonesia
yang mewakili yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammdiyah dan Persatuan Islam
(Persis).
Secara garis besar penulis melihat pikiran pokok Jeremy Menchik dalam
melihat pluralisme dan toleransi umat Islam dalam ormas-ormasnya sebagai
berikut:
a. Indonesia bukan negara agama, namun juga bukan negara sekuler.
Menurut Jeremy Menchik Indonesia ini bukanlah negara agama, artinya
tidak mendasarkan pada salah satu agama yang mayoritas, namun juga bukan
negara sekuler yang liberal. Dalam menerapkan demokrasi Indonesia layak
berbangga dengan kemajemukannya, bisa menjadi negara demokrasi yang
berdasarkan Pancasila. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa disana-sini juga terjadi
kekerasan-kekerasan yang bisa merusak demokrasi, demokrasi Indonesia adalah
contoh yang baik bagi dunia berkembang, bagi dunia Muslim, dan bagi Asia
Tenggara.46
Jeremy Menchik tertarik melihat pluralisme dengan interaksi dengan
kelompok yang berbeda. Supremasi hukum di Indonesia harus dipahami melalui
sudut pandang UUD 1945. Konstitusi, yaitu negara hukum yang menempatkan
Ketuhanan Yang Maha sebagai prinsip utama serta nilai-nilai agama yang
mendasari gerakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bukan sebagai negara
46 Jeremy Menchik, Nasionalisme Ketuhanan dan Demokrasi Beragama di Indonesia,
dalam buku Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina), 93.
36
yang memberlakukan pemisahan negara dan agama atau hanya memegang prinsip
individual atau komunal tertentu.47
b. Peranan Ormas Islam dalam Menjaga Toleransi dan Pluralisme
Seperti diuraikan di atas, bahwa bangsa Indonesia yang mejemuk ini
mempunyai agama mayoritas yaitu Islam. Umat Islam mempunyai peran yang
besar bagi tegaknya demokrasi dan pluralisme di Indonesia ini. ini disebabkan
juga adanya ormas-ormas Islam yang menjunjung tinggi demokrasi, diantaranya
ormas yang terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah.48
Dalam penelitiannya Jeremy Menchik menggali bagaimana pemuka
Muslim memahami toleransi, bagaimana implikasinya terhadap demokrasi, dan
membandingkannya dengan demokrasi lain. Para pemuka umat Muslim di
Indonesia sangat menghargai demokrasi Pancasila yang ada di Indoensia,
sehingga toleransi antar umat bisa terjadi. Seharusnyalah bahwa para pemuka
agama Islam yang mempunyai sikap toleransi dan menghargai demokrasi serta
pluralisme, hendaknya menyampaikan itu pada umatnya yang ada di bawahnya
atau tergabung dalam organisasinya masing-masing. Dengan adanya toleransi
komunal, yaitu toleransi yang dimiliki secara komunal oleh sebuah organisasi atau
kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini ormas Islam, pluralisme dan
toleransi terjaga.49
47 Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism...., 1. 48 Ibid 5-6. 49 Ibid, 124-158.
37
c. Toleransi Tanpa Liberalisasi
Nilai inti toleransi komunal adalah iman. Sementara nilai dari sebuah
paham liberal adalah otonomi dan kebebasan. Menurut Menchik NU dan
Muhammadiyah termasuk pada paham yang tidak liberal, dikarenakan mereka
tidak mengakui adanya otonomi dan kebebasan atau yang disebut hak individu,
namun bukan berarti bahwa mereka tidak toleran. Toleransi dibangun berdasarkan
iman bersama dalam toleransi komunal itu. 50
Toleransi di Indoensia ini bukanlah toleransi yang liberal, namun toleransi
yang berdasarkan komunal. Dengan demikian, posisi pemimpin umat dan mereka
tergabung dalam ormas Islam yang seperti apa, menuntukan sikap tolerasi dan
pemahaman pluralisme mereka terhadap umat yang lainnya. Sebagai contoh
bahwa mereka mendahulukan iman dari pada toleransi adalah mereka umumnya
membolehkan non-Muslim menduduki jabatan pemerintahan atau mengajar di
sekolah negeri, tapi sedikit sekali yang membolehkan non-Muslim mengajar di
Pesantren atau membangun Gereja di lingkungannya.51
d. Kedekatan dalam Berinteraksi dengan Agama yang lain Dipengaruhi oleh
Pergaulan dan Sejarah
Dalam penelitiannya ditemukan bahwa NU lebih toleran daripada
Muhammadiyah, dan Muhammadiyah lebih toleran daripada Persis.52 Penelitian
Menchik dilakukan dengan survey kepada 1000 tokoh NU, Muhammadiyah dan
Persis. Islam di Indonesia toleran, tetapi menolak campur tangan terhadap iman
50 Ibid, 159. 51 Ibid, 162. 52 Ibid, 155-157.
38
agama lain. Sehingga toleransi yang terjadi bukan toleransi yang liberal, tetapi
bisa toleransi dengan yang lain namun disatu sisi tetap menjalankan iman sendiri
kepada Tuhan. Liberalisasi yang diangkat tentang hak individu, namun dalam
iman umat Islam di Indonesia ada toleransi komunal. Toleransi komunal adalah
berbeda dengan toleransi liberal, toleransi komunal lebih mengutamakan iman dan
kelompok. Lalu dengan toleransi tersebut, kebebasan berargumentasi, bertindak
secara individual bisa dibatasi. Kesimpulan bahwa NU di Jawa Timur lebih
pluralis menarik karena dia melihat NU tidak mengalami ancaman oleh misi
Kristen di sana. Itu berarti Menchik berasumsi bahwa pluralisme itu dibangun dari
hubungan yang baik dengan komunitas yang berbeda.
Jeremy menchik juga menyebutkan adanya godly nationalism atau
Nasionalisme Ketuhanan. Dalam Nasionalisme Ketuhanan, negara menuntut
warganya beriman kepada Tuhan. Silahkan mengambl yang terbaik, tidak spesifik
pada salah satu agama, namun sebatas agama yang disahkan atau diakui oleh
negara. Kelemahan ortodoksi agama dan kelemahan pluralisme ini dianggap
karena adanya nasionalisme keagamaan yang selanjutnya disebut oleh Menchik
sebagai “nasionalisme ketuhanan”.53 Dengan demikian selain agama yang diakui
resmi oleh negara, agama atau keyakinan itu tidak mendapatkan keadilan atau
pengakuan. Nasionalisme agama ini yang menurut Menchik merusak adanya
pluralisme. Namun nasionalisme keagaamaan ini masih sejalan dengan
demokrasi, meski bukan seperti demokrasi yang dipahami seperti negara sekuler
dan liberal.
53 Ibid, 161-167.
39
2.7. Model-model yang Dipakai dalam Menyikapi Hubungan Antar Agama
Pada awalnya ada tiga model yang umumnya dipakai dalam menyikapi
hubungan antar agama. Tiga model tersebut adalah Eksklusif, Inklusif dan
Pluralis. Ketiga model ini berasal dari pengelompokan yang dilakukan oleh Alan
Race. Menurut Nurcholis Madjid, juga sama dengan Alan Race dalam menyikapi
pluralisme agama, dapat diambil melalui tiga sikap agama:54
a. Sikap eksklusif dalam melihat agama lain: sikap ini memandang agama-
agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan umat.
b. Sikap inklusif: sikap ini memandang agama-agama lain adalah bentuk
implisit agama kita.
c. Sikap pluralis: sikap ini bisa terekspresikan dalam macam-macam
rumusan, misalnya “agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah
untuk mencapai kebenaran yang sama”, “agama-agama lain berbicara
secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “setiap
agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah kebenaran”.
Ketiga sikap seperti di atas tidaklah cukup dalam menentukan sikap dalam
menanggapi pluralisme agama. Model-model teologi agama-agama ternyata terus
mengalami perkembangan sesuai dengan pemikiran para teolog agama-agama.
Namun ada model-model teologi agama-agama yang sering dipakai oleh orang-
orang Kristen dalam menentukan sikap terhadap agama-agama lain. Model-model
54 Nurcholis Madjid, Mencari Akar-Akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman
Indonesia. Dalam Jalan Baru, editor Mark R. Woodward (Bandung: Mizan, 1998), 56.
40
teologi agama-agama tersebut adalah model teologi agama-agama yang
dikelompokkan oleh Paul F. Knitter.
Paul F. Knitter membagi perbedaan penilaian orang Kristen terhadap
orang beragama lain dalam model-model yaitu:
a. Model Replacement / penggantian : berarti di luar agama Kristen tidak ada
keselamatan, maka untuk diselamatkan orang yang beragama lain harus
mengganti agama mereka menjadi agama Kristen. Cara terbaik untuk
berhubungan dengan agama lain adalah berbagi berita baik tentang Yesus
dengan mereka dan berharap bahwa hal ini akan membawa mereka ke
dalam komunitas pengikut Yesus. Model ini memiliki semua persyaratan
komitmen yang penting dalam berdialog, tetapi kurang melengkapi dalam
keterbukaan.
b. Model Fulfillment / pemenuhan, berarti dalam agama-agama lain juga ada
tanda-tanda kehadiran Allah, persiapan untuk keselamatan tetapi
keselamatan akhirnya hanya berasal dari Yesus Kristus, maka orang
beragama lain hanya bisa diselamatkan melalui Yesus Kristus.
c. Model Mutuality / timbal balik, berarti agama-agama lain juga diakui
sebagai jalan-jalan keselamatan dan melalui dialog dicari perbedaan dan
kebersamaan antar agama. Ada tiga jembatan untuk bertemu satu sama
lain: jembatan filosofis-historis, jembatan religius-mistik dan jembatan
etis-praktis.
d. Model Acceptance / penerimaan itu bahwa dari segi-segi postmodern
diterima kehadiran agama-agama lain setiap manusia berhak untuk
mencari jalan tersendiri sebagai jalan keselamatan. Maka ada macam-
41
macam keselamatan dan setiap agama bisa mencoba untuk membuktikan
bahwa agamanya sendiri yang paling benar.55
Demikian model-model sikap keberagamaan yang bisa dikelompokan dan biasa
terjadi dalam pergaulan atau perjumpaan agama-agama di masyarakat.
2.8. Kesimpulan
Perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang ada di Indonesia.
Pluralisme juga dijamin oleh negara bagi masyarakat yang berbeda-beda
merupakan hak asasi manusia dalam UUD 1945. Gus Dur tokoh besar Islam
adalah tokoh yang konsisten untuk memperjuangkan pluralisme di Indonesia ini.
Islam harus menjadi pendukung pluralisme dan melindungi minoritas yang ada,
demi tercapainya demokrasi dan keadilan sosial bagi masyarakat yang majemuk
ini.
Gus Dur mengemukakan tiga hal tetang Islam agar bisa memperjuangkan
pluralisme itu, yaitu pertama dengan universalisme Islam, kedua
kosmopolitanisme Islam dan yang ketiga adalah pribumisasi Islam. Sementara itu
Jeremy Menchik meneliti umat Islam dalam ketiga ormas yang ada, Persis, NU
dan Muhammadiyah, berpendapat bahwa umat Islam mempunyai peran dalam
menjaga pluralisme dan demokrasi di Indonesia. Meski pemahaman demokrasi
yang melahirkan toleransi itu tidak sama dengan yang terjadi di dunia barat, yaitu
dengan adanya toleransi umat tanpa liberalisasi. Negara Indonesia bukan negara
agama, yang melandaskan pada salah satu agama di Indonesia, tetapi bukan
negara sekuler. Kehidupan bernegara dialaskan pada UUD 1945 dan Pancasila.
55 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 129.
top related