bab ii pengertian tindak pidana dan unsur-unsur tindak...
Post on 13-Mar-2019
259 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana Dan Unsur-unsur Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam kepustakaan
tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan
pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan
istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak
pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar
dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit
dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti
yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan
dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat
(Kartonegoro, 1990 : 62).
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu
Moeljatno (1987:54) yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang
menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.”
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak
pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana
senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu
aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai
dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan
sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang
melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini
maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang
berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai
pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah
diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat,
oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian
juga mempunyai hubungan yang erat pula.
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang
Poernomo (1992:130) berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan
pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.”
Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan
hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia
yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang
tidak tertulis, Bambang Poernomo (1992:130) juga berpendapat mengenai
kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat
perbuatan terlarang dengan diancam pidana.
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan
pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk
mengalihkan bahasa dari istilah asing straftbaar feit namun belum jelas
apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah straftbaar feit dimaksudkan
untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar
kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian
istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan
pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengah-tengah masyarakat juga
dikenal istilah kejahatan yang menunjukkan pengertian perbuatan melanggar
norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan Hakim agar
dijatuhi pidana (Diktat Kuliah Asas-Asas Hukum Pidana, 1993:30).
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam
menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas
dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya,
tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu
mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas.
(Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu
dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin
sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak
ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari Von
Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud
mengandung tiga pengertian yaitu:
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-
undang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang
dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk
adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang
menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan
bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk
kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat
menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut
telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga
atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawab atas segala
bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan
bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman
pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya (Kartonegoro, 1990 : 165).
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-
unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu
tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu
tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang
terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada
umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur
subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif
adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di
dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di
lakukan (Lamintang, 1997:193).
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP (Lamintang, 1997:193).
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai
negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas
di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 1997:194).
Seorang ahli hukum yaitu Simons (dalam Andi Hamzah, 2004:88)
merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
a. Diancam dengan pidana oleh hukum;
b. Bertentangan dengan hukum;
c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;
d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
Di bawah ini akan diberikan berturut-turut pendapat para penulis
mengenai tindak-pidana ( strabaar feit ) dan disebutkan mengenai unsur-
unsurnya. Golongan pertama adalah mereka yang bisa di maksudkan kedalam
“ aliran monistis “ dan kemudian akan di kemukakan mereka yang dapat
disebut sebagai yang mempunyai pandangan ’’ dualistis “.
Golongan monistis atau pertama adalah :
Simons ( dalam Sudarto, 1990:40-41 ) mengemukakan unsur-unsur tindak
pidana adalah :
a. Perbuatan manusia (positief atau negatief ; berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
b. Diacam dengan pidana ( Stratbaar gesteld );
c. Melawan hukum ( onrecht matig );
d. Dilakukan dengan kesalahan ( met schuld in verband staand );
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab ( toerekenings vat baar
persoon ).
Van Hamel ( dalam Sudarto, 1990:41 ) mengemukakan unsur-unsurnya
tindak pidana adalah :
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang;
b. Melawan hukum;
c. Dilakukan dengan kesalahan;
d. Patut dipidana.
Emezger ( dalam Sudarto, 1990 : 41-42 ) mengemukakan:” Tindak pidana
adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana” unsur-unsur tindak pidana
adalah :
a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia ( aktif atau
membiarkan );
b. Sifat melawan hukum ( baik bersifat obyektif maupun yang
subyektif );
c. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;
d. Diancam dengan pidana.
J Baumann ( dalam Sudarto,1990 : 42 ) mengemukakan :“ Perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan “.
Karni ( dalam Sudarto,1990 : 42 ) mengemukakan : Delik itu mengadung
perbuatan yang mengadung perlawan hak yang dilakukan dengan salah dosa,
oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut
dipertanggungkan.
Wirjono Prodjodikoro ( dalam Sudarto, 1990 : 42 ) beliu mengemukakan
definisi pendek yakni: Tindak-pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan pidana jelas sekali dari definisi-definisi tersebut diatas tidak
adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.
Mereka yang bisa dimasukkan sebagai golongan yang mempunyai
pandangan “ dualistis “ tentang syarat-syarat pemindanaan meraka yaitu :
H.B. Vos mengemukakan bahwa untuk syarat-syarat pidananya adalah:
a. kelakuan manusia dan
b. diancam pidana dalam undang-undang
Moeljatno mengemukakan “ perbuatan pidana “ sebagai perbuatan yang
diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk
adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
1. Perbuatan
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
3. Bersifat melawan hukum
4. kelakuan manusia dan
5. diancam pidana dalam undang-undang.
Menurut jenisnya, tindak pidana terdiri atas :
1. Tindak pidana sengaja ( delik sengaja )
Delik ini disyaratkan adanya unsur sengaja ( opzettelijk ). Menurut
MvT ( Memorie van Toelichting ) / Memori penjelasan, yang
dimaksud dengan sengaja adalah sama dengan dikehendaki atau
diketahui ( Ranoemihardja, 1984: 97 ).
2. Tindak pidana kealpaan ( delik Culpa )
Adapun jenis culpa adalah sebagai berikut :
a. Culpa Lata : Kealpaan yang berat, besar atau mencolok;
b. Culpa Levis : Kealpaan yang ringan;
c. Culpa Levissima : Kealpaan yang sangat ringan
(Ranoemihardja, 1984:101).
Pompe mengemukakan hal-hal mengenai adanya kelalaian sebagai berikut :
a. Si pembuat dapat menduga atau sebelumnya dapat mengerti agak
pasti akan terjadinya akibat dari perbuatannya.
b. Si pembuat sebelumnya melihat kemungkinan akan terjadinya
akibat dari perbuatannya.
c. Si pembuat sebelumnya dapat melihat kemungkinan akan terjadinya
akibat dari perbuatannya (Ranoemihardja, 1984:102 ).
B. Rumusan Tindak Pidana
Telah dikatahui bahwa sumber hukum pidana ada yang tertulis dan ada
yang tidak tertulis (hukum pidana adat). Agar supaya orang dapat mengetahui
bagaimana hukumnya tentang sesuatu persoalan, maka aturan hukum itu
dirumuskan. Demikian pula keadaanya dalam hukum pidana. Perumusan
aturan hukum pidana yang tertulis terdapat dalam KUHP dan dalam peraturan
undang-undang lainnya.
Syarat pertama untuk memungkinkan penjatuhan pidana ialah adanya
perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Ini
adalah konsekuensi dari azas legalitas. Rumusan delik ini penting artinya
sebagai prinsip kepastian. Undang-undang hukum pidana sifatnya harus pasti,
didalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa
yang diperintahkan. Pernah ada peraturan di Jerman, ketika diduduki oleh
pihak sekutu setelah perang dunia II, yang berbunyi : “Barang siapa berbuat
bertentangan dengan kepentingan angkatan perang sekutu dipidana (“ Wer
gegen Interessen der allierten Streitkrarte handelt, wird bestraft”). Perumusan
delik sedemikian itu tidak cukup karena lukisan syarat-syarat untuk
pemidanaan tidak pasti. Perumusan semacam itu bisa disebut pasal “karet”
(Sudarto, 1990:51).
Arti perbuatan “yang memenuhi atau mencocoki rumusan delik dalam
undang-undang” yakni perbuatan konkrit dari sipembuat itu harus mempunyai
sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan
dalam undang-undang, perbuatan itu harus “masuk” dalam rumusan delik itu.
(Sudarto, 1990:51).
Dalam rumusan delik itu undang-undang melukiskan perbuatan yang
dimaksud secara skematis, tidak secara konkrit. Misalnya Pasal 338 KUHP
menggambarkan secara skematis syarat-syarat apa yang harus ada pada suatu
perbuatan agar dapat dipidana berdasarkan Pasal (pembunuhan) tersebut.
Syarat-syarat itu juga disebut unsur-unsur delik. Pengertian unsur disini
dipakai dalam arti sempit, ialah unsur yang terdapat dalam rumusan undang-
undang. Rumusan dalam undang-undang ini tidak terikat akan tempat dan
waktu. Tidak demikian halnya dengan perbuatan yang dimaksud. Ini adalah
perbuatan konkrit, yang berlangsung disuatu tempat pada suatu waktu dan
yang dapat ditangkap dengan pancaindera (Sudarto, 1990:52-53).
Untuk delik pembunuhan (Pasal 338 KUHP) harus ada perbuatan
misalnya: menusuk dengan belati atau menembak dengan pistol, yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang tertentu.
Untuk bisa menerapkan Pasal 338 KUHP dirumuskan terlebih dahulu
unsur-unsurnya, lalu perbuatannya yang mempunyai ciri sebagaimana tertulis
kedalam unsur-unsur delik itu. Kalau semua unsur dalam rumusan itu terdapat
didalam perbuatan itu, maka berarti bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi
atau mencocoki rumusan delik yang terdapat dalam undang-undang yang
bersangkutan. Maka dengan ini peraturan undang-undang itu dapat diterapkan
kepada perbuatan tersebut (Sudarto, 1990:52-53).
Didalam KUHP perumusan delik itu biasanya dimulai dengan “barang
siapa” dan selanjutnya dimuat lukisan perbuatan yang dilarang atau yang tidak
dikehendaki atau yang diperintahkan oleh undang-undang. Lukisan ini
merupakan suatu abstraksi dan tidak dihubungkan dengan tempat dan waktu,
seperti telah dikemukakan diatas (Sudarto, 1990:52-53).
Untuk perumusan norma dalam peraturan pidana ada tiga cara :
a. Menguraikan atau menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan,
misalnya dalam tindak pidana yang disebut dalam Pasal :
1) 154-157 KUHP : Haatzaai delicten (menabur kebencian).
2) 281 KUHP : Pelanggaran kesusilaan.
3) 305 KUHP : Meninggalkan anak dibawah umur 7 tahun.
4) 413 KUHP : Seorang panglima tentara yang lalai terhadap
permintaan pejabat sipil.
5) 435 KUHP : Seorang pegawai yang melakukan pemborongan
pekerjaan jawatannya sendiri.
Cara perumusan demikian ini yang paling banyak digunakan.
b. Hanya disebut kualifikasi dari delik, tanpa menguraikan unsur-
unsurnya, misalnya :
1) Pasal 184 KUH : Duel (perkelahian tanding)
2) Pasal 297 KUHP : Perdagangan wanita
3) Pasal 351 KUHP : Penganiayaan
Oleh karena untuk delik-delik tidak ada penyebutan secara tegas apa
unsur-unsurnya, maka untuk mengetahui apa yang dimaksud perlu ada
penafsiran yang didasarkan atas sejarah terbentuknya pasal itu.
Misalnya : penganiayaan itu adalah tiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja dan ditujukan kepada orang lain dan yang
mengakibatkan sakit atau luka (elke opzettelijke veroorzaking van pijn
of letsel) (Sudarto, 1990:53).
Cara penyebutan delik semacam ini kurang dapat dibenarkan, sebab ia
memberi kemungkinan untuk penafsiran yang berbeda-beda, sehingga
menimbulkan ketidak pastian hukum (Sudarto, 1990:53).
c. Penggabungan cara pertama dan kedua yaitu disamping menyebutkan
unsur-unsurnya, ialah menyebutkan perbuatan, akibat dan keadaan yang
bersangkutan, juga disebutkan pula kualifikasi dari delik, misalnya :
1) Pasal 124 KUHP : Membantu musuh
2) Pasal 263 KUHP : Memalsukan surat
3) Pasal 338 KUHP : Pembunuhan
4) Pasal 362 KUHP : Pencurian
5) Pasal 372 KUHP : Penggelapan
6) Pasal 378 KUHP : Penipuan
7) Pasal 425 KUHP : Kerakusan pejabat (knevelarij)
8) Pasal 438 KUHP : Perompakan (zoeroef)
Dalam hubungan ini dapat ditambahkan, bahwa para Hakim dalam
diktum keputusannya kerap kali hanya menyebutkan kualifikasinya saja
dari tindak pidana yang telah terbukti dilakukan oleh terdakwa
(Sudarto, 1990:53-54).
Selanjutnya mengenai cara penempatan norma dan sanksi pidana
dalam undang-undang terdapat pula tiga cara :
a. Penempatan norma dan sanksi sekaligus dalam satu pasal.
Cara ini dilakukan misalnya dalam buku ke-2 dan ke-3 dari KUHP,
kecuali yang disebut dalam nomor 3 dibawah ini.
b. Penempatan terpisah.
Sanksi pidana ditempatkan dalam pasal lain, atau kalau dalam pasal
yang sama, penempatannya dalam ayat yang lain. Cara ini banyak
dipakai dalam peraturan pidana diluar KUHP, misalnya : Peraturan
Pengendalian Harga, Deviden, Bea dan Cukai dan sebagainya.
c. Sanksi sudah dicantumkan terlebih dahulu, sedang normanya belum
ditentukan. Ini disebut ketentuan hukum pidana blangko (blanket
strafgesetze), misalnya Pasal 122 sub 2 KUHP.
Normanya baru ada jika ada perang dan dibuat dengan
menghubungkannya kepada pasal tersebut.
Pembicaraan tentang norma dan sanksi tidak akan lengkap apabila
tidak membicarakan tentang Binding dengan teori normanya (normentheorie).
Kalau pada umumnya orang berpendirian, bahwa norma dalam hukum pidana
itu terdapat didalam rumusan delik dalam undang-undang, tidaklah demikian
pendirian Binding. Binding membedakan secara tajam antara norma yang
menjadi pedoman tingkah laku manusia (norma agendi) dan peraturan pidana
(strafgesets) yang memuat sanksi pidana (Sudarto, 1990:55).
Norma tersebut tidak terdapat didalam peraturan pidana, melainkan
didalam aturan-aturan diluar hukum pidana, baik tertulis misalnya dalam
hukum perdata, hukum dagang dan sebagainya atau dalam hukum tak tertulis
(moral, kesusilaan). Aturan pidana (strafgesetz atau strafwet) itu hanya
mengatur hubungan antara Negara dengan pejabat, aturan ini tidak memuat
norma melainkan ancaman “pidana belaka” (Sudarto, 1990:55).
Pembuatan peraturan pidana yang memuat sanksi itu berarti, bahwa
Negara memakai haknya untuk mempidana orang yang tidak mentaati
normanya. Jadi apabila jalan pikiran Binding itu diikuti, maka orang yang
melakukan pencurian itu tidak boleh dikatakan melanggar Pasal 362 KUHP
dan orang yang sengaja membunuh orang lain itu tidak boleh dikatakan
melanggar Pasal 338 KUHP, sebab mereka itu justru memenuhi syarat-ayarat
atau unsur-unsur yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut, dan oleh karena
itu dapat dipidana ex pasal-pasal tersebut.
Menurut Binding normanya selalu ada lebih dulu daripada aturan
hukum pidana, walaupun tidak lebih dulu menurut waktu (zeitlich), setidaknya
lebih dulu dalam pengertiannya (begriffilich). Norma yang terdapat dalam
pasal 362 berbunyi : orang dilarang mencuri, dan didalam Pasal 338, orang
dilarang membunuh.
C. Pengertian Dan Bentuk-bentuk Kesalahan
1. Pengertian Kesalahan
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti
seluas-luasnya, dibawah ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai
penulis.
a. MEZGER mengakatakan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap sipembuat
tindak pidana.
b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang social
ethich, mengatakan antara lain : sebagai dasar untuk
pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang berupa keadaan
psychisch dari sipembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya
dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) dapat dicelakan
kepada sipembuat.
c. VAN HAMEL mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik
merupakan pengertian psycologis, berhubungan antara keadaan jiwa
sipembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya.
kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de
verant woor delijkheid rechtens).
d. VAN HATTUM berpendapat pengertian kesalahan yang paling luas
menurut semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum,
meliputi semua hal yang bersifat psychis yang terdapat dalam
keseluruhan yang berupa strafbaar feit, termasuk sipembuatnya.
e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa”, mengatakan salah
dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasar dari tanggungjawab
terhadap hukum pidana. Salah dosa berada jika perbuatan dapat dan
patut dipertanggungjawabkan atas sipembuat, harus boleh dicela karena
perbuatan itu dilakukan dengan sengaja maupun dengan salah.
f. POMPE mengatakan antara lain pada pelanggaran norma yang
dilakukan karena kesalahannya biasanya sifat melawan hukum itu
merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah
perbuatannya. Segi dalamnya yang bertalian dengan kehendak
sipembuat adalah kesalahanya (Sudarto, 1990:88).
Dari pendapat-pendapat tersebut diatas maka dapatlah dimengerti
bahwa kesalahan mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah
melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan suatu
perbuatan dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan disini bukannya pencelaan
berdasarkan kesusilaan melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang
berlaku, bukan “ethische schuld” melainkan “verant woor delijkheid rechtens”
(Sudarto, 1990:89).
Menurut Sehatapy (1995:89) untuk adanya kesalahan harus ada
pencelaan ethis betapapun kecilnya. Pernyataan bahwa kesalahan mengandung
unsur ethis (kesusilaan) tidak boleh dibalik. Tidak senantiasa orang yang
melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati kepatutan dalam
masyarakat dapat dikatakan tidak susila, tetapi dapat dikatakan bersalah dalam
arti patut dicela menurut hukum.
Sedangkan kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan
dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, didalamnya
terkandung makna dapat dicelanya (verwijk baarheid) sipembuat atas
perbuatannya. Jadi apabila dikatakan bahwa orang bersalah melakukan sesuatu
tindak pidana, maka ia dapat dicela atas perbuatannya. Dalam arti yuridis
kesalahan berupa :
a. Kesengajaan (dolus, opzet atau intention);
b. Kealpaan (culpa) (Sudarto, 1990:89-90).
Dengan diterimanya kesalahan dalam arti luas sebagai dapat dicelanya
sipembuat atas perbuatannya, maka barulah kesalahan yang psycologis
menjadi kesalahan normatif (normative schuld).
a. Pengertian kesalahan psycologis
Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psycologis
(batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa
berupa kesengajaan atau kealpaan. Pada kesengajaan hubungan batin itu
menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak
ada kehendak demikian. Jadi disini hanya digambarkan (deskriptif)
keadaan batin sipembuat, sedangkan yang menjadi ukuran
(kriteriumnya) adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap
perbuatan atau akibat perbuatan.
b. Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan yang normatif tentang kesalahan menentukan kesalahan
seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara
pembuat dengan perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur
penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya (Sudarto, 1990:90-
91).
Secara extreme dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah
terdapat dalam kepala sipembuat, melainkan dalam kepala orang-orang lain”
ialah didalam kepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap sipembuat
itu, dan yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah Hakim
Sahetapy (1995:90).
Di dalam pengertian ini sikap batin sipembuat ialah yang berupa
kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan
unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggungjawaban pidana. Disamping
itu ada pula unsur yang lain yaitu penilaian mengenai keadaan jiwa sipembuat,
ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan penghapusan
kesalahan Sahetapy (1995:90).
Unsur-unsur dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya terdiri atas
beberapa unsur ialah :
a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipembuat artinya,
keadaan jiwa sipembuat harus normal;
b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan (dolus), kealpaan (culpa) yang disebut bentuk-bentuk
kesalahan;
c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya
alasan pemaaf (Sudarto, 1990:91).
Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan
dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya
pertanggungjawaban. Jan Remmelink (2003:142) mendefinisikan:
“Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang
menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap
manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat
dihindarinya”, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat
hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari
perbuatan yang dicela oleh umum, yang dipertegas oleh Jan Remmelink
yakni berperilaku dengan menghindari egoisme yang tidak dapat diterima
oleh kehidupan dalam masyarakat”
Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis dalam hukum
positif Indonesia yang menyatakan ‘tiada pidana tanpa kesalahan’. Artinya,
untuk dapat dipidananya suatu perbuatan diharuskan adanya kesalahan yang
melekat pada diri pembuat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atasnya.
Chairul Huda yang melihat kesalahan secara normatif menyatakan:
“Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari
segi masyarakat sebenarnya ia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh tiga komponen utama, yaitu:
“dapat dicela”, “dilihat dari segi masyarakat” dan “dapat berbuat lain”
(Remmelink 2003:142).
“Dapat dicela” suatu perbuatan dapat diartikan sebagai ‘dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana’ dan “dapat dijatuhi pidana”.
Arti pertama merupakan kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi
preventif hukum pidana dan arti yang kedua dalam hubungannya dengan
fungsi represif dalam hukum pidana. Dapat dicelanya pembuat bersumber dari
celaan yang ada pada tindak pidana yang diteruskan secara subyektif sebagai
celaan terhadap pembuat. Dalam hal ini celaan terhadap tindak pidana tidak
terikat pada moral yang berarti dalam menentukan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana, Negara tidak terikat pada sistem moral yang ada dalam
masyarakat, tidak terikat pada pandangan “baik” dan “buruk”, “pantas” dan
“tidak pantas” yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat
sebagai ukuran ‘moral’ dan ‘tidak moral’. Walaupun lepas dari sistem moral
yang ada dalam masyarakat, namun sebagi perbuatan tercela, pada hakikatnya
tindak pidana selalu merupakan perbuatan yang secara moral dicela
(Remmelink 2003:142).
Selanjutnya untuk dinyatakan bersalah, suatu perbuatan harus
dipandang dari segi masyarakat. Diuraikan oleh Chairul Huda (2006:74)
sebagai berikut:
“’dilihat dari segi masyarakat’ merupakan penegasan penilaian normatif
terhadap kesalahan. Pada subjek hukum manusia, ‘ada tidaknya kesalahan
tidaklah ditentukan sebagaimana dalam keadaan senyatanya batin
terdakwa, tetapi tergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai
keadaan batin itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada
kesalahan”…….”.
Persoalannya justru pada ‘penilaian normatif’ terhadap keadaan batin
pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan tindak
pidananya, sedemikian rupa sehingga orang itu ‘dapat dicela’ karena
perbuatan tadi. Dengan kata lain sepanjang subjek hukum manusia,
pengertian kesalahan yang normatif berpangkal tolak pada penilaian
hukum terhadap psikologis pembuat. Jadi bukan psikologis yang penting,
tetapi penilai normatif terhadap keadaan psikologis pembuat. Memang
pengertian kesalahan normatif mengandung di dalamnya pengertian
psikologis”.
“Dapat berbuat lain” dapat diartikan sebagai adanya pilihan bagi pembuat
untuk ‘berbuat’ atau ‘tidak berbuat’ suatu perbuatan yang oleh hukum dicela.
Pilihan ini menunjukkan adanya kemungkinan bagi pembuat untuk berbuat lain
dan menghindari terjadinya tindak pidana, artinya ada kemungkinan untuk dapat
menghindari perilaku menyimpang yang bertentangan dengan pandangan
masyarakat. “kemungkinan dapat dihindari (terjadinya) perilaku menyimpang
merupakan lapis pertama untuk menetapkan kesalahan…”. Perlu diingat, bahwa
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang melaku
kesalahan. Artinya, kesalahan adalah unsur penting dalam pertanggungjawaban
pidana, tidak ada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (Chairul Huda
2006:74).
2. Bentuk-bentuk Kesalahan Dalam Hukum Pidana
Sebelum membahas bentuk-bentuk kesalahan, kesengajaan dan
kealpaan sebagai bagian khusus dari rumusan delik, ada manfaatnya untuk
mengetahui bahwa dalam literatur hukum pidana istilah kesalahan mempunyai
dua arti yang masing-masing berbeda jangkauan dan isinya.
a. Pengertian kesalahan dipakai sebagai syarat umum untuk dapat
dipidananya perbuatan disamping sifat melawan hukum. Dalam arti ini
kesalahan didefinisikan sebagai sifat dapat dicela dalam arti digunakan
kalau kita berbicara tentang “tanpa sila” (avas dalam bahasa belanda)
atau tentang alasan-alasan penghapusan pidana.
b. Pengertian kesalahan dipakai juga untuk bagaian khusus rumusan delik.
Yaitu sebagai sinonim dari sifat berhati-hati. Misalnya dalam Pasal 359
KUHP, karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan matinya
orang lain. Sekalipun mirip kealpaan disini dapat dicela sebagai kurang
kehati-hatian. Lazimnya untuk pengertian kesalahan dalam arti sempit
digunakan kealpaan atau istilah culpa (Sahetapy, 1993:85).
Adagium ”tiada pidana tanpa kesalahan” dalam hukum pidana lazimnya
dipakai arti tiada pidana tanpa kesalahan subyektif atau kesalahan tanpa dapat
dicela. Tetapi sesungguhnya di dalam hukum pidana orang tidak dapat
berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut
(Sahetapy, 1993:85).
Oleh karena itu azas kesalahan disini diartikan sebagai tiada pidana
tanpa perbuatan tidak patut obyektif yang dapat dicelakan kepada pelakunya.
Azas kesalahan adalah azas yang fundamental dalam hukum pidana. Demikian
fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran
dalam hukum pidana. Tetapi harus disadari bahwa ini tidak mengenai
keharusan menurut undang-undang yang empiris, tetapi azas normatif
(Sahetapy, 1993:85)
Sementara itu azas “geen straf zonder schuld” tampak jelas dalam teori
maupun praktek bahwa kesalahan tidak selalu harus dibalas. Banyak dan
beraneka ragamnya kesalahan yang tidak perlu dibalas, bagaikan sebuah
gedung bertumpukan pada fundamentalnya, demikian juga pidana bertumpu
padanya. Karena kesalahan, pidana menjadi sah dengan perkataan lain pidana
adalah dasar yang mensahkan pidana. Untuk dapat dipidananya, kejahatan
inilah yang menjadi inti sesungguhnya dari hukum pidana, adanya kesengajaan
atau sekurang-kurangnya kealpaan mutlak disyaratkan. Jadi kesengajaan atau
kealpaan merupakan keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya kesalahan,
dengan sendirinya tidak dapat dihindari, apakah arti yang tepat dari kesalahan
dalam adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” (Adami Chazawi, 2002:90).
Kesalahan adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran bathin orang
sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena unsur ini selalu melekat
pada diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur
melawam hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif,
bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak
pidana.
Unsur kesalahan yang mengenai keadaan bathin pelaku adalah berupa
unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan
hukum perbuatan dengan sipelaku, hanya dengan adanya hubungan antara
ketiga unsur tersebut, keadaan bathin pembuatnya dapat
dipertanggungjawabkan dan dibebankan pada pelaku (Adami Chazawi,
2002:90).
Istilah kesalahan (schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama
dengan pengertian harfiah, fout, kesalahan dalam hukum pidana adalah
berhubungan dengan pertanggunganjawab, atau mengandung beban
pertanggunganjawab hukum pidana yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau
opzet) dan kelalaian (culpa) (Adami Chazawi, 2002:90).
Seperti halnya unsur melawan hukum, unsur kesalahan ada disebagian
rumusan tindak pidana yakni kejahatan tertentu dengan dicantumkan secara
tegas misalnya Pasal (104, 179, 362, 368 KUHP).
Unsur kesalahan baik sengaja maupun kelalaian dalam tindak pidana
pelanggaran tidak pernah dicantumkan dalam rumusan. Apakah dengan
demikian tidak berlaku azas geen straf zonder schuld pada pelanggaran, sesuai
dengan keterangan dalam MvT WvS Belanda yang menyatakan bahwa pada
pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang
adanya kesengajaan atau kelalaian dan tidak diperlukan memberikan putusan
tentang hal itu, maka praktek hukum sebelum tahun 1916 mengenai
pelanggaran dianut ajaran perbuatan jasmani (perbuatan materiil), artinya jika
perbuatan jasmani telah terwujud, maka terwujudlah pelanggaran tanpa harus
mempersoalkan kesalahan pada pelakunya, tetapi sejak tahun 1916 pendirian
perbuatan jasmani itu telah ditinggalkan (Adami Chazawi, 2002:91).
D. Pengertian Dan Bentuk Kealpaan
1. Pengertian Kealpaan
Menurut doktrin, schuld yang sering diterjemahkan dengan “kesalahan”
terdiri atas :
a. Kesengajaan, dan;
b. Kealpaan (Marpaung, 2005:25).
Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah dikehendaki,
sedangkan “kealpaan” adalah tidak dikehendaki. Umumnya para pakar
sependapat bahwa “kealpaan” adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari
“kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap
pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan “kealpaan”, lebih ringan
(Marpaung, 2005:25).
Simons (dalam Marpaung, 2005:25) menerangkan “kealpaan” tersebut
sebagai berikut.
“umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati
melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu.
Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin
juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari
perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang oleh undang-
undang.
Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun
ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih
dahulu oleh sipelaku adalah suatu syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat
diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai
kealpaan.
Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya “dapat diduga lebih
dahulu” itu, harus diperhatikan pribadi sipelaku. Kealpaan tentang keadaan-
keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan
hukuman, terdapat kalau sipelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan
itu tidak ada.
Satochid kartanegara (dalam Marpaung, 2005:26) menjelaskan
“kealpaan”sebagai berikut.
“akan tetapi, kapankah dapat dikatakan bahwa seseorang telah berbuat kurang
hati-hati?
a. Pertama-tama untuk menentukan apakah seseorang “hati-hati”, harus
digunakan kriteria yang ditentukan tadi, yaitu menentukan apakah
setiap orang yang tergolong sipelaku tadi, dalam hal yang sama akan
berbuat lain? Untuk dapat menentukan hal itu, harus digunakan ukuran,
yaitu pikiran dan kekuatan dari orang itu.
Dalam pada itu, untuk orang desa misalnya, harus digunakan ukuran
orang desa, tidak digunakan ukuran orang kota, misal saja mengenai
lalu lintas. Orang desa tidak memahami aturan lalu lintas. Dengan
ukuran tadi, apabila setiap orang yang termasuk segolongan dengan
sipelaku akan berbuat lain, sipelaku dapat dikatakan telah berbuat lalai
atau culpa.
b. Di samping itu, dapat digunakan ukuran lain sebagai berikut.
Dalam hal ini, diambil orang yang terpandai yang termasuk golongan
sipelaku. Lalu, ditinjau apakah ia berbuat lain atau tidak. Dalam hal ini,
syaratnya lebih berat, dan jika orang yang terpandai itu berbuat lain,
dikatakan bahwa sipelaku telah berbuat lalai atau culpa”.
2. Bentuk-bentuk Kealpaan
Pada umumnya, kealpaan (culpa) dibedakan atas :
a. Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, sipelaku
telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi
walaupun ia berusaha untuk mencegah, akan tetapi timbul juga akibat
tersebut.
b. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewestu schuld). Dalam hal ini, sipelaku
tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia
seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat (marpaung,
2005:27).
Dalam hal unsur kesalahan ini, perlu dicermati perbedaan antara
“kealpaan yang disadari” dengan dolus eventualis yang hampir memiliki
persamaan.
Hazewinkel dan Suringa (dalam Tirtaamidjaja, 1995:58-59)
mengutarakan perbedaan antara kedua hal tersebut, sebagai berikut.
“kealpaan dengan kesadaran ini ada, kalau yang melakukan perbuatan itu ingat
akan akibat yang berbahaya itu. Tetapi, ia berani melakukan tindakan itu
karena ia tidak yakin bahwa akibat itu benar akan terjadi dan ia tidak akan
bertindak demikian kalau ia yakin bahwa akibat itu akan timbul”.
Pada waktu membicarakan dolus eventualis telah diuaraikan tentang “kealpaan
yang disadari”. Keadaan-keadaan yang objektif memberi kesimpulan yang
sama, tetapi karena keadaan subjektif memberikan kesimpulan yang sangat
berlainan, dari sudut hukum pidana ditinjau dengan pandangan yang lain. Van
Dijk memberikan gambaran tentang hal ini dengan memberi contoh beberapa
pekerja yang sedang bekerja di atas sebuah rumah kemudian melemparkan
sebuah balok kebawah dan menimpa orang. Jika rumah itu dikelilingi oleh
sebuah kebun partikelir dimana biasanya tidak pernah ada orang, kejadian itu
adalah kejadian yang tiba-tiba dan tidak disengaja, jadi pekerja-pekerja itu
tidak usah menyangka-nyangka bahwa sedang ada orang yang berlalu disitu.
Namun, apabila disekeliling rumah ada orang yang lewat, kemudian balok itu
dilempar tanpa memikirkan kemungkinan besar ada orang yang berjalan disitu,
dapat dikatakan ada “kealpaan yang disadari” sehingga pekerja-pekerja
tersebut telah melakukan suatu kelalaian besar. Demikian pula apabila para
pekerja tersebut mempertimbangkan kemungkinan itu, tetapi mereka
mengharapkan bahwa pada saat itu tidak ada orang yang berjalan disitu, sedang
hal itu tidak boleh diharapkan, kejadian itu dinamakan “kealpaan yang
disadari” sehingga mereka dikatakan sangat tidak berhati-hati.
Sedangkan apabila mereka mengingat ada kemungkinan bisa terbunuhnya
seseorang yang sedang berlalu lalang disitu, namun balok itu tetap dilemparkan
karena orang-orang itu lebih suka melempar balok itu daripada mengangkutnya
dengan susah payah, hal itu dinamakan dolus eventualis (Tirtaamidjaja,
1995:58-59)
Berdasarkan uraian diatas, nampak jelas bahwa faktor subjektif dari
sipelaku tersebut menentukan jenis kesalahan, apakah dolus atau kealpaan yang
disadari. Hal ini harus dapat diformulasikan dari keterangan tersangka atau
terdakwa yang mengungkapkan pertimbangannya mengapa ia melakukan
perbuatan yang menimbulkan akibat tersebut.
Selain dari bentuk “kealpaan” tersebut, ada juga pakar yang
membedakan “kealpaan” sebagai berikut:
a. Kealpaan yang dilakukan secara mencolok, yang disebut dengan culpa
lata;
b. Kealpaan yang dilakukan secara ringan, yang disebut dengan culpa
levis (Tirtaamidjaja, 1995:58-59)
E. Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Raya
Berfungsinya hukum sangat tergantung pada usaha-usaha menanamkan
pengertian hukum dan kesadaran hukum, serta jangka waktu menanamkan
ketentuan hukum tersebut. Masalah kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum
merupakan salah satu usur dari badan kesadaran hukum, sedangkan masalah
pengakuan dan penghargaan terhadap hukum merupakan unsur dari pada
pengertian hukum. Usaha-usaha menanamkan hukum dan jangka waktu
menanamkan hukum, dengan unsur-unsur pentaatan, pengakuan dan
penghargaan terhadap hukum merupakan faktor-faktor efektifikasi hukum.
Dengan rangkaian faktor-faktor tersebut itulah yang diperankan oleh setiap
orang yang menjadi warga masyarakat sebagai subyek hukum. Jadi dalam
efektifikasi hukum akan terdapat dua pihak yang saling bekerja sama yaitu
peranan hukum dan peranan subyek hukum. Hukum menentukan peranan apa
sebaiknya dilakukan oleh para subyek hukum dan hukum semakin efektif
apabila peranan yang dijalankan oleh para subyek hukum semakin mendekati
apa yang telah ditentukan dalam hukum. Dengan demikian hukum itu
berproses, atau benar-benar hidup dalam masyarakat (Bambang Poernomo,
1982:65)
Maraknya kecelakaan lalu lintas sungguh saat ini sudah sangat
memprihatinkan, apalagi ditambah dengan sumber daya manusia yang memang
masih sangat jauh dari yang diharapkan entah itu dalam kondisi ekonomi,
psikologi, sosial dan ilmu pengetahuan serta banyak lagi. Tidak itu saja,
ditambah dengan daya beli ekonomi manusia ikut berpengaruh terhadap jumlah
populasi kendaraan yang semakin banyak
Terjadinya kecelakaan menurut konstruksi hukum pidana haruslah
ditimbulkan oleh kelakuan orang dalam hubungan sebab akibat, karena tanpa
batasan yang demikian itu akan menimbulkan kesulitan pada peranan hukum
pidana. Didalam hukum pidana telah tumbuh berkembang tentang penentuan
kelakuan seseorang yang menjadi sebab akibat terhadap kejadian yang dilarang
dan diberi sanksi oleh hukum pidana yaitu kejadian yang dalam hal ini
dikhususkan pada kecelakaan. Banyak konstruksi yang dapat dibuat menurut
hukum pidana dalam hubungannya antara peran pengemudi dengan kecelakaan
lalu lintas, namun dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu kelakuan
pengemudi yang secara positif menimbulkan akibat yang dilarang dan
kelakuan pengemudi yang tidak berbuat padahal seharusnya wajib berbuat
sehingga menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana.
Banyak sekali faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti
halnya cuaca, jalan, keadaan kendaraan, penumpang, dan lain-lain akan tetapi
faktor manusia sebagai orang yang mengemudikan kendaraan adalah lebih
penting bagi hukum pidana, karena melalui keterangan atau keadaan sekitar
dari orang yang mengemudi dapat diungkap atas kejadian materiil (materiil
waarheid) dalam proses perkara pidana. Melalui kelakuaan dari pengemudi itu
dapat ditentukan apakah hukum pidana dapat berperan atau tidak, dengan cara
membuat konstruksi hubungan antara kelakuan itu dengan sifat melawan
hukum karena adanya peraturan hukum dan yang terakhir masih diperlukan
hubungan antara kelakuan yang berakibat menimbulkan kejadian yang
melawan hukum dengan pertanggungjawaban atau kesengajaan atau kelalaian
atau unsur subyektif lainnya, yang pelaksanaannya menurut proses beracara.
Tidak memperhatikan bagian-bagian serta unsur-unsur yang terdapat
dijalur inti hukum pidana (delik) akan berakibat peranan hukum menjadi
merosot kewibawaannya, bahkan jauh dari tujuan keadilan dan dimata
masyarakat, hukum pidana bukan sebagai pengayoman melainkan menakut-
nakuti serta tidak mendapat simpati. Keadaan terakhir ini sangat tergantung
pada sikap tindak petugas pelaksana hukum yang disatu pihak harus nyata-
nyata dibedakan antara bersikap mengurus kecelakaan semata-mata dan
bertindak mengusut kecelakaan yang melanggar hukum dilain pihak
mengeterapkan bagian-bagian serta unsur-unsur dari inti huku pidana (delik)
secara filosofis, yuridis, sosiologis yang tujuannya sebagai pengayom. Akan
manpak jalinan peranan pengemudi dihadapan peranan hukum apabila terjadi
pelanggaran hukum, maka perlu diimbangi secara tepat untuk memperlakukan
hukum secara filosofis, yuridis, sosiologis dan imbangan diantara peranan ini
harus terwujud karena dorongan dari falsafah maupun kebudayaan bangsa
Indonesia (Bambang Poernomo, 1982:68).
Kita tidak sepenuhnya sadar bahwa mengemudikan mobil harus
dilakukan secara fungsional. Jadi orang yang menolak pendekatan sungguh-
sungguh melakukan kegiatan tersebut, entah karena malas atau enggang repot,
tidak layak mengeluh jika ia dikoreksi melalui penjatuhan pidana karena
kurang hati-hati atau teliti atau memandang remeh resiko yang mungkin
muncul sehingga benar-benar tujuan hukum pidana (pembalasan prevensi
umum atau khusus). Didalam praktek tidak ditemukan banyak fiksi berkenaan
dengan pendekatan diatas, lagi pula pengemudi berpengalaman tidak akan
memandang kesalahan diatas sebagai suatu fiksi (Jan Remmelink, 2003:176).
Penyebab kecelakaan yang terjadi dijalan raya, antara lain disebabkan
oleh faktor manusia. Menurut Naning (1983 : 57) hal ini disebabkan adanya
pengaruh yang berasal dari dalam jiwa manusia itu sendiri, yang disebabkan
antara lain oleh:
1. Kurang konsentrasi
Dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas jalan raya tersebut pengemudi
dipengaruhi dengan adanya perasaan yang tidak menentu atau kurang
adanya pusat perhatian dalam mengendarai atau mengemudikan
kendaraannya.
2. Kelelahan fisik dan mental
Merupakan suatu keadaan fisik dari pengemudi yang tidak
memungkinkan untuk mengemudikan kendaraannya atau keadaan
mentalnya yang kurang memungkinkan untuk mengemudikan
kendaraannya di jalan raya.
3. Kelainan jiwa
Merupakan penyakit jiwa dari pengmudi yang dapat sewaktu-waktu
dapat kambuh terutama ketika mengendari kendaraan bermotornya di
jalan raya yang memungkinkan terjadinya hilang kesadaraan sehingga
kehilangan kemampuan mengendalikan kendaraannya.
4. Minuman Keras
Pengemudi atau pengendara sebelum mengemudikan kendaraannya telah
minum minuman keras sehingga mabuk, maka dapat menyebabkan
hilangnya kesadaran dan konsentrasi dalam mengendalikan
kendaraannya dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain
karena dapat menimbulkan kecelakaan
Selanjutnya faktor-faktor lain yang menyebabkan kecelakaan lalau
lintas jalan raya menurut Naning (1983:23) adalah :
1. Faktor manusia
Manusia adalah pelaku kejahatan dalam kecelakaan lalu lintas jalan raya,
oleh karena tingkah lakunya kurang memperhatikan rambu-rambu lalu
lintas dan perundang-undangan lalu lintas, baik sebagai penggemudi atau
pemakai jalan raya.
2. Faktor Kendaraan
Maksudnya adalah kendaraan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam UU Lalu lintas dan Angkutan Jalan Raya, seperti tidak
lengkapnya peralatan standar pada kendaraan.
3. Faktor Jalan adalah keadaan dimana kendaraan tidak memungkinkan
secara aman berlalu lintas dijalan raya, misalnya jalan sempit, berkelok-
kelok atau berlobang. Hal ini salah satu faktor terjadinya kecelakaan lalu
lintas
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat mementukan
terjadinya kecekakaan, hal ini disebabkan antara lain dengan tidak
adanya petugas yang bertugas menjaga lingkungan tersebut, maka
pengemudi cenderung untuk melakukan pelanggaran. Hal ini biasanya
terjadi pada daerah yang sepi atau rawan, pada daerah macet atau daerah
yang berbahaya.
Pada umumnya kecelakaan lalu lintas menimbulkan dampak yang
merugikan bagi korban atau pelaku baik secara langsung maupun tidak
langsung, pada korban dapat mengakibatkan :
1. korban mengalami luka ringan, luka berat atau meninggal dunia
Hal tersebut diatas disebabkan oleh adanya benturan atau yang
menimbulkan luka pada tubuh yang dapat berakibat fatal seperti
pendarahan dan patah tulang, jika tidak tertolong dapat menyebabkan
kematian
2. korban mengalami kerugian materiil
Akibat kecelakaan selain menimbulkan luka pada tubuh juga
menyebabkan kerusakan pada kendaraan korban juga barang-barang dari
korban
3. pelaku atau tersangka dapat dikenakan hukuman
4. adanya kemacetan jalan raya (Projodikoro, 1976:93).
Menurut Naning (1983:28) masalah kejahatan pengemudi atau pemakai
jalan raya, usaha penanggulangannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Secara Preventif
Yang dimaksud upaya penanggulangan secara preventif disini adalah
upaya-upaya yang dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan tau dengan
kata lain upaya pencegahan, yaitu dengan cara :
a. penjagaan ditempat-tempat rawan;
b. mengadakan pengaturan lalu lintas;
c. perbaikan dan pelebaran jalan;
d. sosialisasi masalah UU Lalu Lintas.
2. Secara Kuratif
Usaha yang dimaksud adalah upaya-upaya yang dilakukan setelah
terjadinya kecelakaan yaitu dengan jalan menindak pelaku sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Pihak penegak hukum dalam hal ini
Polantas harus melakukan :
a. penegakan hukum lalu lintas yang dilakukan secara sederhana
namun intensif yaitu menindak;
b. mengadakan kerjasama dengan penegak hukum lainnya agar para
pelaku kejahatan lalu lintas dihukum yang seberat-beratnya;
c. mengadakan razia-razia terutama ditempat-tempat yang rawan
kecelakaan.
top related