bab ii landasan teori a. teori keagenaneprints.mercubuana-yogya.ac.id/3073/3/bab ii.pdf ·...
Post on 18-Sep-2019
27 Views
Preview:
TRANSCRIPT
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Keagenan
Teori agensi merupakan teori yang menjelaskan hubungan antara
pemilik modal (principal) yaitu investor dengan manajer (agent). Teori agensi
terjadi ketika pemilik modal (principal) menyewa manajemen (agent) untuk
melaksanakan suatu jasa, dan dalam menyewa manajemen, pemilik modal
(principal) memberikan wewenang kepada manajemen (agent) untuk
membuat keputusan.
Hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau
lebih (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan layanan
tertentu demi kepentingan principal yang melibatkan pendelegasian beberapa
kewenangan pengambilan keputusan kepada agen (Jensen dan Meckling,
1976). Principal memperkerjakan agent untuk melakukan tugas demi
kepentingan principal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan
keputusan dari principal kepada agent. Principal memberikan suatu
wewenang kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan
kontrak kerja yang telah disepakati. Wewenang dan tanggungjawabagen
maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.
2
Adanya kepentingan yang saling bertentangan (conflict of interest),
menyebabkan hubungan kontrak yang baik antara pemilik (principal) dan
manajemen (agent) sulit terjalin. Dalam praktiknya dapat terjadi konflik
kepentingan ketika tidak semua keadaan diketahui oleh semua pihak, dan sebagai
akibatnya, ketika konsekuensi-konsekuensi tertentu tidak dipertimbangkan oleh
pihak-pihak tersebut, hal tersebut dapat mengakibatkan adanya
ketidakseimbangan informasi (asymmetry information) yang dimiliki principal
dan agent. Ketidakseimbangan informasi merupakan suatu kondisi dimana
principal tidak memiliki informasi yang mencukupi mengenai kinerja agent dan
tidak dapat merasa pasti bagaimana usaha agent memberikan kontribusi pada hasil
aktual perusahaan. Akibat adanya informasi yang tidak seimbang ini, dapat
menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan karena kesulitan principal
mengawasi dan kesulitan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agent.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:
1. Moral Hazard, yaitu permasalaan yang muncul jika agent tidak
melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agent didasarkan
pada informasi yang telah diperoleh, atau terjadi sebagai kelalaian dalam
tugas.
Selain itu menurut Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa
pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan merupakan salah
3
satu faktor yang memicu timbulnya konflik kepentingan yang disebut konflik
keagenen sehingga dapat menimbulkan biaya keagenan. Biaya tersebut terdiri
dari:
1. Monitoring Cost
Merupakan suatu biaya yang dikeluarkan oleh pemilik untuk mengawasi
perilaku manajer dalam mengelola perusahaan, termasuk juga usaha untuk
mengendalikan perilaku manajer melalui pembatasan anggaran dan
kebijakan kompensasi.
2. Bonding Cost
Merupakan suatu biaya yang dikeluarkan oleh manajer untuk menjamin
bahwa manajer tidak akan bertindak yang akan merugikan pemlik.
3. Residual Cost
Merupakan penurunan tingkat kesejahteraan, baik bagi pemilik maupun
manajer setelah adanya hubungan keagenan.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), ada dua cara untuk meredam
tindakan para agent yang tidak sesuai dengan kepentingan principal, yaitu:
1. Mengawasi perilaku agent dengan mengadopsi fungsi audit dan
mekanisme corporate governance lain yang dapat meluruskan kepentingan
agent dengan kepentingan principal.
2. Menyediakan insentif kepegawaian yang menarik kepada agent dan
mengadakan struktur reward yang dapat membujuk para agent untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan terbaik principal.
4
Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas
kepentingan mereka. Principal diasumsikan tertarik hanya pada hasil
keuangan yang bertambah dari investasi mereka dalam perusahaan. Para agent
diasumsikan menerima kepuasan bukan saja dari kompensasi keuangan, tetapi
juga dari syarat-syarat yang terlibat dalam hubungan agensi, seperti jam kerja
yang fleksibel, kondisi kerja yang menarik, dan kemurahan jumlah waktu
luang. Perbedaaan kepentingan tersebut mendorong agent untuk menyajikan
informasi yang tidak sebenarnya kepada principal. Istilah bahaya moral
diberikan kepada seorang agent, dimana dalam situasi tertentu seorang agent
dengan sengaja termotivasi menyajikan informasi yang salah.
B. Manajemen Laba
1. Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan
untuk mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan
tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja
perusahaan dan kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008). Stakeholder
adalah orang yang memiliki minat maupun kepentingan didalam suatu
perusahaan.
Menurut Schipper (1989), manajemen laba adalah intervensi atau
campur tangan dalam prosese penyusunan laporan keuangan dengan
tujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Maksud dari definisi
5
tersebut yaitu bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik
manajer untuk memaksimalkan kepuasan mereka. Manajer melakukan
manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi untuk
menaikkan laba atau menurunkan laba, pada saat menaikkan laba manajer
menggeser laba periode-periode yang akan datang ke periode sekarang dan
pada saat manajer menurunkan laba yaitu dengan menggeser laba periode
masa sekarang ke periode-periode berikutnya (Widodo, 2005).
Sugiri (2013) menyatakan definisi laba dibagi menjadi dua, yaitu
definisi luas manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk
meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit
dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan
(penurunan) profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.
Sedangkan definisi sempit manajemen laba yaitu sebagai perilaku manajer
untuk “bermain” dengan komponen discretionary accrual dalam
menentukan besarnya laba.
Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa manajemen laba
terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan
dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna
menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan
atau mempengaruhi akibat-akibat perjanjian yang mempunyai kaitan
dengan angka-angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Dan
6
Menurut Fisher dan Rozenwig(1995), manajemen laba adalah
tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode
berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan
kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.
Dari beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
manajemen laba merupakan aktivitas manejerial untuk mempengruhi dan
mengintervensi laporan keuangan.
2. Faktor Pendorong Manajemen Laba
Menurut Scott (2009), faktor-faktor yang mendorong manajer
melakukan kegiatan manajemen laba yaitu:
a. Kontrak Bonus
Laba sering dijadikan indikator penilaian prestasi manajer.
Oleh karena itu, jika manajer perusahaan yang memperole laba
dibawah target laba, maka akan melakukan manipulasi laba agar
memperoleh bonus yang maksimal di periode mendatang.
b. Stock Price Effect
Manajer melakukan manajemen laba dalam laporan keuangan
bertujuan untuk mempengaruhi pasar.
c. Faktor Politik
Untuk mengurangi biaya politis dan pengawasan dari
pemerintah, dilakukan dengan cara menurunkan laba, untuk
memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah. Misalnya
7
dilakukan dengan cara menurunkan laba untuk meminimalkan tuntutan
serikat buruh.
d. Faktor Pajak
Pada periode terjadi kenaikan harga (inflasi), penggunaan LIFO
akan menghasilkan laba yang dilaporkan lebih rendah dan pajak yang
dibayarkan juga menjadi lebih rendah. Sehingga manajer perusahaan
berusaha menurunkan laba dengan tujuan mengurangi beban pajak
yang dikenakan perusahaan.
e. Penawaran Saham Perdana (IPO)
Biasanya perusahaan yang akan melakukan penawaran saham
perdana (IPO) melakukan aktifitas manajemen laba pada periode
terakhir sebelum IPO. Ketika perusahaan go public, maka informasi
keuangan merupakan sumber informasi yang penting dan utama.
Informasi tersebut dapat dipakai untuk mempengaruhi calon investor
tentang nilai perusahaan, maka manajer berusaha menaikkan laba yang
dilaporkan agar harga saham tinggi pada saat IPO.
3. Bentuk-bentuk Manajemen Laba
Scott (2009) menyatakan bentuk-bentuk manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer antara lain:
a. Taking a Bath
Taking a bath terjadi pada periode stress atau reorganisasi
termasuk pengangkatan CEO yang baru. Jika perusahaan harus
8
melaporakan laba yang tinggi, maka manajer merasa dipaksa untuk
melaporkan laba yang tinggi, konsekuensinya manajer akan
menghapus aktiva dengan harapan laba yang akan datang dapat
meningkat.
b. Income Minimization
Bentuk ini dilakukan sebagai alasan politis pada periode laba
yang tinggi dengan mempercepat penghapusan aktiva tetap dan aktiva
tak berwujud dan mengakui pengeluaran sebagai biaya. Pada saat
profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak
mendapat perhatian secara politis, kebijakan yang diambil dapat
berupa penghapusan barang modal dan aktiva tak berwujud, biaya
iklan dan pengeluaran untuk Research and Development, hasil
akuntansi untuk biaya eksplorasi minyak, gas, dan sebagainya.
c. Income Maximization
Tindakan atas income maximization bertujuan untuk
melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih
besar. Perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang,
maka manajer cenderung untuk memaksimalkan laba.
d. Income Smoothing
Income smoothing merupakan bentuk manajemen laba yang
paling popular dan sering dilakukan oleh manajer. Manajemen laba
dilakukan oleh manajer dengan cara menaikkan atau menurunkan laba
9
untuk mengurangi fluktuasi dalam melaporkan laba, sehingga
perusahaan terlihat stabil dan tidak berisiko tinggi.
e. Offetting extradionary / unusual gains
Teknik ini dilakukan dengan memindahkan efek-efek laba yang
tidak biasa atau temporal yang berlawanan dengan trend laba.
f. Aggressive acconting applications
Teknik yang diartikan sebagai salah saji dan dipakai untuk
membagi laba antar periode.
g. Timing revenue dan Expense Recognition
Teknik ini dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu yang
berkaitan dengan timing suatu transaksi.
4. Teknik dalam Manajemen Laba
Menurut Setiawati dan Na’im (2000) ada tiga teknik yang dapat
dilakukan dalam manajemen laba, yaitu:
a. Memanfaatkan Peluang untuk Membuat Estimasi Akuntansi
Manajemen mempengaruhi laba melalui perkiraan estimasi
akuntansi, antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi
kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tetap tak
berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
b. Mengubah Metode Akuntansi
10
Untuk dapat menaikkan dan menurunkan angka laba yaitu
dengan mengubah metode akuntansi yang berbeda dengan metode
sebelumnya. Perubahan metode akuntansi tersebut yang digunakan
untuk mencatat suatu transaksi, contoh; mengubah metode depresiasi
tetap, dari metode depresiasi angka tahunan ke metode depresiasi garis
lurus.
c. Menggeser Periode Biaya atau Pendapatan
Beberapa orang menyebutkan rekaya jenis ini sebagai
manipulasi keputusan operasional (Fischer dan Rozenweig, 1995).
Contoh merekayasa periode biaya atau pendapatan yaitu; seperti
mempercepat atau menunda pengeluaran untuk meneliti dan
mengembangkan sampai pada periode akuntansi berikutnya,
mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan,
mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai.
C. Kinerja Keuangan
1. Pengertian Kinerja Keuangan
Kinerja perusahaan adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan
perusahaan untuk mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari aktivitas
perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode wktu tertentu. Menurut
Jumingan (2006) kinerja merupakan gambaran prestasi yang dicapai
perusahaaan dalam kegiatan operasionalnya baik menyangkut aspek
11
keuangan, aspek pemasaran, aspek penghimpunan dana dan penyaluran
dana, aspek teknologi, maupun aspek sumber daya manusianya. Kinerja
dapat diartikan sebagai prestasi yang dicapai perusahaan dalam suatu
periode tertentu yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan
tersebut.
Menurut Sucipto (2003) pengertian kinerja keuangan adalah
penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan
suatu organisasi atau perusahaan dalam menghasilkan laba. Sedangkan
menurut IAI (2007) Kinerja Keuangan adalah kemampuan perusahaan
dalam mengelola dan mengendalikan sumberdaya yang dimilikinya.
Fahmi (2012) mengatakan kinerja keuangan adalah suatu analisis
yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah
melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan
secara baik dan benar.
Menurut Mulyadi (2007:2), pengertian kinerja keuangan adalah
penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi dan
karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang ditetapkan
sebelumnya. Selain itu, hal serupa juga dikemukakan oleh Sawir (2005)
yang menyatakan bahwa kinerja keuangan merupakan kondisi yang
mencerminkan keadaan keuangan suatu perusahaan berdasarkan sasaran,
standar, dan kriteria yang ditetapkan.
12
Kesimpulan dari beberapa pengertian kinerja keuangan diatas yaitu
kinerja keuangan adalah usaha yang dilakukan perusahaan supaya dapat
mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba. Perusahaan
dikatakan berhasil apabila berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Pengukuran Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan perusahaan berkaitan erat dengan pengukuran
dan penilaian kinerja. Pengukuran kinerja didefinisikan sebagai
“performing measurement“, yaitu kualifikasi dan efisiensi serta efektifitas
perusahaan dalam pengoperasian bisnis selama periode akuntansi.
Perusahaan menggunakan pengukuran kinerja dengan tujuan untuk
melakukan perbaikan pada kegiatan operasionalnya, supaya dapat bersaing
dengan perusahaan lainnya.
Kinerja keuangan dapat dinilai dengan beberapa alat analisis.
Menurut Jumingan (2006), berdasarkan tekniknya anlisis keuangan
dibedakan menjadi 8 (delapan) macam, yaitu:
a. Analisis Perbandingan Laporan Keuangan, merupakan teknik analisis
dengan cara membandingkan laporan keuangan dua periode atau lebih
dengan menunjukkan perubahan, baik dalam jumlah (absolut) maupun
dalam persentase (relatif).
b. Analisis Tren (tendensi posisi), merupakan teknik analisis untuk
mengetahui tendensi keadaan keuangan apakah menunjukkan kenaikan
atau penurunan.
13
c. Analisis Persentase per-Komponen (common size), merupakan teknik
analisis untuk mengetahui persentase investasi pada masing-masing
aktiva terhadap keseluruhan atau total aktiva maupun utang.
d. Analisis Sumber dan Penggunaan Modal Kerja, merupakan teknik
analisis untuk mengetahui besarnya sumber dan penggunaan modal
kerja melalui dua periode waktu yang dibandingkan.
e. Analisis Sumber dan Penggunaan Kas, merupakan teknik analisis
untuk mengetahui kondisi kas disertai sebab terjadinya perubahan kas
pada suatu periode waktu tertentu.
f. Analisis Rasio Keuangan, merupakan teknik analisis keuangan untuk
mengetahui hubungan di antara pos tertentu dalam neraca maupun
laporan laba rugi baik secara individu maupun secara simultan.
g. Analisis Perubahan Laba Kotor, merupakan teknik analisis untuk
mengetahui posisi laba dan sebab-sebab terjadinya perubahan laba.
h. Analisis Break Even, merupakan teknik analisis untuk mengetahui
tingkat penjualan yang harus dicapai agar perusahaan tidak mengalami
kerugian.
3. Tujuan Pengukuran Kinerja Keuangan
Menurut Munawir (2012) menyatakan bahwa tujuan dari
pengukuran kinerja keuangan adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui tingkat likuiditas
14
Likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk
memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera diselesaikan pada
saat ditagih.
b. Mengetahui tingkat solvabilitas
Solvabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangannya apabia perusahaan tersebut dilikuidasi, baik
keuangan jangka pendek maupun jangka panjang.
c. Mengetahui tingkat rentabilitas
Rentabilitas atau yang sering disebut dengan profitabilitas
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
selama periode tertentu.
d. Mengetahui tingkat stabilitas
Stabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk melakukan
usahanya dengan stabil, yang diukur dengan mempertimbangkan
kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutangnya serta
membayar beban bunga atas hutang-hutangnya tepat pada waktunya.
D. Rasio Keuangan
1. Pengertian Rasio Keangan
Menurut Harahap (2010), rasio keuangan adalah angka yang
diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan
15
pos lainnya yang mempunyai hubungan relevan dan signifikan. Kasmir
(2012) mengatakan, rasio keuangan merupakan kegiatan membandingkan
angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu
angka dengan angka lainnya. Perbandingan dapat dilakukan antara satu
komponen dengan komponen dalam satu laporan keuangan atau antar
komponen yang ada di antara laporan keuangan.
Analisis laporan keuangan yang mencakup analisis rasio keuangan,
analisis kelemahan dan kekuatan di bidang financial akan sangat
membantu dalam menilai prestasi manajemen masalalu dan prospeknya
dimasa akan datang. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi apakah
perusahaan memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban
finansialnya, besarnya piutang yang cukup rasional, efisiensi manajemen
persedian, perencanaan pengeluaran investasi yang baik, dan struktur
modal yang baik sehingga tujuan kemakmuran pemegang saham dapat
dicapai (Sartono, 2010).
2. Jenis-jenis Rasio Keuangan
Berdasarkan sumbernya rasio keuangan perusahaan digolongkan sebagai
berikut (Kasmir, 2012):
a. Rasio – rasio neraca ( Balance Sheet Ratio ), yaitu ratio – ratio yang
disusun dari data yang berasal dari neraca, misalnya current ratio, acid
test ratio, current asset to total asset ratio, current liabilities to total
asset ratio dan lain sebagainya.
16
b. Rasio – rasio Laporan Laba Rugi ( Income Statement Ratio ), ialah data
yang disusun dari data yang berasal dari income statement, misalnya
gross profit, net margin, operating margin, operating ratio dan
sebagainya.
c. Rasio – rasio antar Laporan Keuangan ( Intern Statement Ratio), ialah
ratio – ratio yang disusun dari data yang berasal dari neraca dan data
lainya berasal dari income statement, misalnya asset turnover,
Inventory turn over, receivable turnover, dan lain sebagainya.
Rasio keuangan dapat dibagi kedalam tiga bentuk umum yang sering
dipergunakan yaitu : Rasio Likuiditas, Rasio Solvabilitas ( Leverage ),
dan Rasio Profitabilitas
1) Liquidity Ratio (Rasio Likuiditas)
Menurut Kasmir (2012) Rasio likuiditas atau sering juga disebut
dengan nama rasio modal kerja merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur seberapa likuidnya suatu perusahaan. Caranya adalah dengan
membandingkan komponen yang ada di neraca, yaitu total aktiva lancar
dengan total passiva lancar (utang jangka pendek). Penilaian dapat
dilakukan untuk beberapa periode sehingga terlihat perkembangan
likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu.
Tujuan dan manfaat rasio likuditas untuk perusahaan menurut
Kasmir (2012) adalah sebagai berikut:
17
1. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban atau
utang yang secara jatuh tempo pada saat ditagih. Artinya, kemampuan
untuk 20 membayar kewajiban yang sudah waktunya dibayar sesuai
jadwal batas waktu yang telah ditetapkan (tanggal dan bulan tertentu).
2. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka
pendek dengan aktiva lancar secara keseluruhan. Artinya jumlah
kewajiban yang berumur di bawah satu tahun atau sama dengan satu
tahun, dibandingkan dengan total aktiva lancar.
3. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka
pendek dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan sediaan atau
piutang. Dalam hal ini aktiva lancar dikurangi sediaan dan utang yang
dianggap likuiditasnya lebih rendah.
4. Untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah sediaan yang ada
dengan modal kerja perusahaan.
5. Untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk
membayar utang.
6. Sebagai alat perencanaan ke depan, terutama yang berkaitan dengan
perencanaan kas dan utang.
7. Untuk melihat kondisi dan posisi likuiditas perusahaan dari waktu ke
waktu dengan membandingkannya untuk beberapa periode.
8. Untuk melihat kelemahan yang dimiliki perusahaan, dari masing-
masing komponen yang ada di aktiva lancar dan utang lancar.
18
9. Menjadi alat pemicu bagi pihak manajemen untuk memperbaiki
kinerjanya, dengan melihat rasio likuiditas yang ada pada saat ini.
a. Current Ratio (Rasio Lancar)
Current ratio atau rasio lancar merupakan rasio untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka
pendek atau utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih secara
keseluruhan. Dengan kata lain, seberapa banyak aktiva lancar yang
tersedia untuk menutupi kewajiban jangka pendek atau utang yang
segera jatuh tempo.
Rumus untuk menghitung current ratio sebagai berikut:
CR =
Keterangan:
CR = Current Ratio / Rasio Lancar
Current Assets = Aktiva lancar
Current Liabilities = Kewajiban lancar
b. Quick Ratio (Rasio Cepat)
Quick Ratio merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam memenuhi atau membayar kewajiban atau utang
lancar (utang jangka pendek) dengan aktiva lancar tanpa
memperhitungkan nilai sediaan (inventory). Artinya mengabaikan nilai
sediaan, dengan cara dikurangi dari total aktiva lancar. Hal ini
19
dilakukan karena sediaan dianggap memerlukan waktu relatif lebih
lama untuk diuangkan, apabila perusahaan membutuhkan dana cepat
untuk membayar kewajibannya dibandingkan dengan aktiva lancar
lainnya.
Quick Ratio dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut:
Quick Ratio =
Keterangan:
Quick Ratio = Rasio cepat
Current Assets = Aktiva lancar
Inventory = Persediaan
Current Liabilities = Kewajiban lancar
c. Cash Ratio (Rasio Kas)
Cash Ratio merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang.
Ketersediaan uang kas dapat ditunjukkan dari tersedianya dana kas
atau setara dengan kas seperti rekening giro atau tabungan di bank
(yang dapat ditarik setiap saat). Dapat dikatakan rasio ini menunjukkan
kemampuan sesungguhnya bagi perusahaan untuk membayar utang-
utang jangka pendeknya.
20
Rumus untuk menghitung cash ratio sebagai berikut:
Cash Ratio =
2) Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam memenuhi segala kewajibannya baik jangka pendek
maupun jangka panjang apabila perusahaan dilikuidasi. Perusahaan yang
mempunyai aktiva/kekayaan yang cukup untuk membayar semua hutang-
hutangnya disebut perusahaan yang solvable, sedang yang tidak disebut
insolvable. Perusahaan yang solvabel belum tentu ilikuid , demikian juga
sebaliknya yang insolvable belum tentu ilikuid.
Jenis-jenis rasio solvabilitas adalah sebagai berikut:
a. Total Debt to Total Assets Ratio (Rasio Hutang terhadap Total
Aktiva)
Total debt to total asset ratio merupakan persentase besarnya
dana yang berasal dari hutang. Total debt to total assets ratio
membandingkan antara hutang jangka pendek dan hutang jangka
panjang dengan jumlah keseluruhan aktiva yang dimiliki. Total debt to
total asset ratio bertujuan untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam menjamin hutang-hutangnya dengan sejumlah aktiva yang
dimiliki perusahaan.
21
Rumus untuk menghitung total debt to total asset ratio yaitu
sebagai berikut:
Debt Ratio =
x 100%
b. Total Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas)
Total debt to equity ratio adalah imbangan antara hutang yang
dimiliki perusahaan dengan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini
berarti modal sendiri semakin sedikit dibanding dengan hutangnya.
Bagi perusahaan sebaiknya, besarnya hutang tidak boleh melebihi
modal sendiri agar beban tetapnya tidak terlalu tinggi. Semakin kecil
rasio ini semakin baik. Maksudnya, semakin kecil porsi hutang
terhadap modal, semakin aman. Total debt to equity ratio digunakan
untuk mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai oleh pihak
kreditur dibandingkan dengan equity.
Rumus untuk menghitung total debt to equity ratio yaitu
sebagai berikut:
Debt to Equity Ratio =
x 100%
3) Rasio Profitabilitas
Menurut Kasmir (2012), Rasio profitabilitas merupakan rasio
untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio
22
ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu
perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan
dan pendapatan investasi. Intinya adalah penggunaan rasio ini
menunjukkan efisiensi perusahaan.
Tujuan penggunaan rasio profitabilitas bagi perusahaan, maupun
bagi pihak luar perusahaan, yaitu:
1. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan
dalam satu periode tertentu.
2. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun
sekarang.
3. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu.
4. Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal
sendiri.
5. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang
digunakan baik modal pinjman maupun modal sendiri.
6. Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang
digunakan baik modal sendiri.
7. Dan tujuan lainnya.
Jenis-jenis rasio profitabilitas adalah sebagai berikut:
a. Grosss Profit Margin (Margin Laba Kotor)
Gross Profit Margin merupakan perbandingan antara penjualan
bersih dikurangi dengan Harga Pokok penjualan dengan tingkat
23
penjualan, rasio ini menggambarkan laba kotor yang dapat dicapai dari
jumlah penjualan.
Rasio ini dapat dihitung menggunakan rumus yaitu:
Gross Profit Margin =
b. Net Profit Margin (Margin Laba Bersih)
Net Profit Margin merupakan ukuran keuntungan dengan
membandingkan antara laba setelah bunga dan pajak dibandingkan
dengan penjualan. Rasio ini menunjukkan pendapatan bersih
perusahaan atas penjualan.
Rumus untuk menghitung net profit margin, sebagai berikut:
Net Profit Margin =
c. Return On Equity (ROE)
Return On Equity merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan dari modal sendiri untuk menghasilkan
keuntungan bagi seluruh pemegang saham, baik saham biasa maupun
saham preferen.
24
Rumus untuk menghitung ROE (Return On Equity) adalah
sebagai berikut:
ROE =
d. Return On Invesment (ROI)
Hasil pengembalian investasi atau lebih dikenal dengan nama
return on investment (ROI) merupakan rasio yang menunjukkan hasil
(return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan. ROI
juga merupakan suatu ukuran tentang efektivitas manajemen dalam
mengelola investasinya. Semakin kecil rasio ini semakin kurang baik,
demikian pula sebaliknya. Artinya rasio ini digunakan untuk mengukur
efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan.
Rumus untuk menghitung ROE (Return On Equity) adalah
sebagai berikut:
ROI =
e. Return On Asset (ROA)
Return on Assets atau sering disebut dengan Tingkat
Pengembalian Aset adalah rasio profitabilitas yang menunjukan
persentase keuntungan (laba bersih) yang diperoleh perusahaan
sehubungan dengan keseluruhan sumber daya atau rata-rata jumlah
25
aset. Return on Assets (ROA) adalah rasio yang mengukur seberapa
efisien suatu perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan
laba selama suatu periode. ROA dinyatakan dalam persentase (%).
ROA sering dianggap sebagai imbal hasil investasi bagi perusahaan
karena pada umumnya asset modal (capital assets) seringkali
merupakan asset terbesar bagi kebanyakan perusahaan. Semakin tinggi
nilai ROA suatu perusahaan maka semakin baik pula kemampuan
perusahaan dalam mengelola asetnya.
Return On Assets (ROA) dapat dihitung menggunkan rumus
persamaan sebagai berikut:
ROA =
Keterangan:
ROA = Return On Asset
EAT (Earning After Tax) = Laba setelah pajak / Laba bersih
Total Assets = Total aktiva
E. Good Corporate Governance
1. Pengertian Good Corporate Governance
Menurut The Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG,
2012), Corporate Governance (CG) merupakan serangkaian mekanisme
yang mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan agar operasional
26
perusahaan berjalan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan
(stakeholder). Good Corporate Governance merupakan sistem yang
mengatur serta mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah
(value added) untuk pemegang sahamnya. Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI, 2001) menyatakan bahwa corporate
governance merupakan suatu peraturan yang berkaitan dengan hak-hak
dan kewajiban yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus yaitu yang mengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,
dan karyawan serta para pemegang kepentngan lainnya atau intinya adalah
suatu system yang mengendalikan perusahaan.
Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan Good corporate
governance merupakankonsep yang diajukan demi peningkatan kinerja
perusahaan melalui supervisi ataumonitoring kinerja manajemen dan
menjamin akuntabilitas manajemen terhadapstakeholder dengan
mendasarkan pada kerangka peraturan.
2. Tujuan Pedoman Good Corporate Governance
Tujuan penyusunan Pedoman Good Corporate Governance
Indonesia yaitu sebagai acuan perusahaan untuk melaksanakan GCG
dalam rangka:
a. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui
pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.
27
b. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing
bagian perusahaan, yaitu Dewan Komisaris, Direksi, dan Rapat Umum
Pemegang Saham.
c. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota
Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya
dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan.
d. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggungjawab sosial perusahaan
terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar
perusahaan.
e. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap
memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
f. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun
internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat
mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang
berkesinambungan (KNKG, 2006)
3. Prinsip Pokok Good Corporate Governance
Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006)
menyatakan bahwa setiap perusahaan harus memiliki prinsip-prinsip
pokok Good Corporate Governance, yaitu:
a. Transparency (Keterbukaan Informasi) yaitu prinsip untuk menjaga
obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan
28
informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan.
b. Accountability (Akuntabilitas) yaitu prinsipperusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar.
c. Responsibility (Pertanggungjawaban) yaitu prinsip perusahaan harus
mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat
terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai good corporate citizen.
d. Independency (Independensi) yaitu prinsip untuk melancarkan
pelaksanaan asas good corporate governance dimana perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan
tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
e. Fairness (Kesetaraan dan kewajaran) yaitu prinsip dalam
melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
4. Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme adalah suatu aturan, prosedur, dan cara kerja yang
harus ditempuh untuk mencapai kondisi tertentu (Bukhori, 2012).
Mekanisme corporate governance merupakan suatu mekanisme yang
berdasarkan pada aturan main, prosedur, dan hubungan yang jelas antara
29
pihak-pihak yang ada dalam suatu perusahaan untuk menjalankan peran
dan tugasnya.
Struktur merupakan salah satu elemen penting dalam mekanisme
corporate governance. Struktur corporate governance berperan sebagai
kerangka dasar manajemen perusahaan yang menjadi pendistribusian hak-
hak dan tanggung jawab diantara organ-organ perusahaan. Struktur
corporate governance dibagi menjadi dua bagian, yaitu struktur
pengendalian internal dan struktur pengendalian eksternal.
a. Struktur internal corporate governance
1. Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan bagian dari corporate
governance. Jensen (1993) dan Lipton dan Lorsch (1992) merupakan
yang pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris
merupakan bagian dari mekanisme corporate governance. Hal tersebut
diperkuat oleh pendapat Allen dan Gale (2000) yang menegaskan
bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang
penting.
Menurut Komite Nasional Kebijakan GCG (2004), komisaris
independen adalah anggota komisaris yang tidak terafiliasi dengan
manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham
pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis dan hubungan lainnya
30
yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak
independenatau semata-mata demi kepentingan perusahaan.
Yemark (1996), Beaslley (1996), dan Jensen (1993) dalam
penelitiannya juga menyimpulkan bahwa dewan komisaris yang
berukuran kecil akan lebih efektif dalam melakukan tindakan
pengawasan dibandingkan dewan komisaris berukuran besar. Ukuran
dewan komisaris yang besar dianggap kurang efektif dalam
menjalankan fungsinya karena sulit dalam komunikasi, koordinasi, dan
pembuatan keputusan.
Ukuran dewan komisaris yang dimaksud adalah banyaknya
jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Menurut
Coller dan Gregory (1999) semakin besar jumlah dewan komisaris,
maka semakin mudah untuk mengendalikan Chief Executive Officer
(CEO) dan semakin efektif dalma memonitor aktivitas manajemen.
Penelitian Lorsch dan Maclver (1989) yang berbasis
wawancara menemukan bahwa peranan pemberian saran (advisory)
mendominasi aktivitas anggota dewan. Dengan menekankan fungsi ini
Dalton dan Daily (1999) menyatakan bahwa peranan keahlian atau
konseling yang diberikan oleh anggota dewan tersebut merupakan
suatu jasa yang berkualitas bagi manajemen dan perusahaan yang tidak
dapat diberikan oleh pasar. Anggota dewan komisaris yang memiliki
31
keahlian dalam bidang tertentu juga dapat memberikan nasehat yang
bernilai dalam penyusunan strategi dan penyelenggaraan perusahaan.
Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris diambil
dari teori agensi. Dari perspektif teori agensi, dewan komisaris
mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol perilaku
oportunistik manajemen sehingga dapat membantu menyelaraskan
kepentingan pemegang saham dan manajer.
Dalam KNKG (2006), agar pelaksanaan tugas dewan komisaris
dapat berjalan secara efektif perlu dipenuhi beberapa prinsip yaitu:
a. Komposisi dewan komisaris harus memungkinkan pengambilan
keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak
independen.
b. anggota dewan komisaris harus profesional, yaitu berintegritas dan
memiliki kemampuan sehingga dapat menjalankan fungsinya
dengan baik termasuk memastikan bahwa direksi telah
memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan.
c. Fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dewan komisaris
mencakup tindakan pencegahan, perbaikan, sampai kepada
pemberhentian sementara.
Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris yang tidak berasal
dari pihak terafiliasi yang dikenal sebagai komisaris independen dan
komisaris yang terafiliasi. Pihak yang terafiliasi adalah pihak yang
32
mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang
saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, serta
dengan perusahaan.Jumlah komisaris independen harus dapat
menjamin agar mekanisme pengawasan berjalan secara efektif dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (KNKG, 2006).
Dalam melaksanakan tugasnya, dewan komisaris dapat
membentuk komite. Salah satu komite penunjang dewan komisaris
adalah adanya komite audit dimana komite audit disini bertugas
membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa laporan
keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum, struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan
dengan baik, pelaksanaan audit internal maupun eksternal
dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan tindak
lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen. Jumlah
anggota komite audit harus disesuaikan dengan kompleksitas
perusahaan dengan tetap memperhatikan efektiitas dalam pengambilan
keputusan. Bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek,
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun
dan mengelola dana masyarakat, perusahaan yang produk atau jasanya
digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai
dampak luas terhadap kelestarian lingkungan, komite audit diketuai
oleh komisaris independen dan anggotanya dapat terdiri dari komisaris
dan atau pelaku profesi dari luar perusahaan.(KNKG, 2006).
33
2. Komite Audit
Komite audit merupakan bagian dari dewan komisaris dan
memiliki tanggung jawab untuk mengawasi proses pelaporan keuangan
perusahaan (Klein, 2002) dan meningkatkan prosedur pengendalian
internal, pelaporan eksternal dan manajemen resiko perusahaan.
Komite audit juga berperan penting sebagai saluran untuk
memfasilitasi komunikasi antara dewan komisaris, auditor eksternal,
dan auditor internal.
Berdasarkan Kep-315/BEJ/06/2000 komite audit dibentuk oleh
dewan komisaris perusahaan tercatat. Menurut Bradbury (2004),
komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor
proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan
kredibilitas laporan keuangan. Adanya komunikasi antara komite audit,
auditor internal, dan auditor eksternal akan menjamin proses audit
internal dan eksternal dilakukan dengan baik. Proses audit internal dan
eksternal yang baik akan meningkatkan akurasi laporan keuangan dan
kemudian meningkatkan kepercayaan terhadap laporan keuangan
(Anderson, 2003).
Komite audit bertugas sebagai penengah apabila terjadi selisih
pendapat antara manajemen dan auditor mengenai interpretasi dan
penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, untuk mencapai
keseimbangan akhir sehingga laporan lebih akurat (Klein, 2002).
34
Menurut Hasnati (2006), tugas, tanggung jawab, dan
wewenang komite audit adalah membantu dewan komisaris, yaitu
sebagai berikut:
1) Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang
memadai.
2) Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan.
3) Mengkaji ruang lingkup dan ketepatan audit eksternal, kewajaran
biaya audit eksternal, serta kemandirian dan objektivitas audit
eksternal.
4) Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggungjawab komite audit
selama tahun buku yang sedang diperiksa eksternal audit.
3. Kepemilikan Manajerial
Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Susanti (2010)
kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti
dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen
yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu
perusahaan yang bersangkutan. Manajer dalam hal ini memegang
peranan penting karena manajer melaksanakan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengawasan serta pengambil
keputusan.
Menurut Yuli Soesetio (2007), kepemilikan manjerial adalah
perbandingan antara kepemilikan saham manajerial dengan jumlah
saham yang beredar. Pemegang saham dan manajer masing-masing
35
berkepentingan memaksimalkan tujuannya. Kepemilikan manajerial
adalah persentase suara yang berkaitan dengan saham option yang
dimiliki oleh manajer dan komisaris suatu perusahaan (Melinda, 2008).
Kepemilikan manajerial merupakan salah satu cara untuk mengurangi
masalah keagenan, karena kepemilikan manajerial merupakan alat
pengawasan terhadap kinerja manajer yang bersifat internal.
Kepemilkan manajerial diukur dengan proporsi saham yang
dimiliki perusahaan pada akhir tahun dan dinyatakan dalam persentase.
Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial dalam perusahaan
maka manajemen akan berusaha lebih giat untuk kepentingan saham
yang notabene adalah mereka sendiri (Putu Anom, 2003). Kepemilian
manajerial dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
MNJR =
4. Ukuran Perusahaan
Menurut Butar dan Sudarsi (2012), ukuran perusahaan
merupakan nilai yang menunjukkan besar atau kecilnya perusahaan.
Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan
besar kecil perusahaan menurut berbagai cara (total aktiva, log size,
nilai pasar saham, dan lain-lain) (Machfoedz, 1994 dalam Widaryanti,
2009). Pada dasarnya ukuran perusahaan terbagi dalam 3 kategori
36
yaitu perusahaan besar (large firm), peusahaan menengah (medium
firm), dan perusahaan kecil (small firm).
UU No. 20 Tahun 2008 mengklasifikasikan ukuran perusahaan
ke dalam 4 kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah,
dan usaha besar.
1) Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorang dan
badan usaha perorang yang memiliki kriteria usaha mikro
sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
2) Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri
yang dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha kecil dari usaha menengahh atau
usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
3) Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahuhanan sebagaimana diatur
dalam undang-undang.
37
4) Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh
badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha
nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing
yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 pasal 6, kriteria ukuran
perusahaan dilihat dari segi keuangan dalam modal yang dimilikinya
adalah:
1) Kriteria Usaha Makro yaitu:
a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,- tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) Memeiliki hasil penualan tahunan paling banyak Rp
300.000.000,-
2) Kriteria Usaha Kecil yaitu:
a) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,- sampai
dengan paling banyak Rp 500.000.000,- tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; atau
b) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,-
sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,-
38
3) Kriteria Usaha Menengah yaitu:
a) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,- sampai
dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,- tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,-
sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,-
4) Kriteria Usaha Besar yaitu:
a) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 10.000.000.000,- tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp
50.000.000.000,-
Menurut Prasetyantoko (2008), aset total dapat
menggambarkan ukuran perusahaan, semakin besar aset biasanya
perusahaan tersebut semakin besar. Ukuran aktiva digunakan untuk
mengukur besarnya perusahaan, ukuran aktiva tersebut diukur sebagai
logaritma dari total aktiva (Jogiyanto, 2013).
b. Struktur eksternal corporate governance
1. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham
perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti
perusahaan asuransi, bank, dan kepemilikan institusi lain (Tarjo,
2008). Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki
39
kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk
investasi saham, sehingga biasanya institusi menyerahkan tanggung
jawab kepada divisi tertentu untuk mengeloa investasi perusahaan
tersebut.
Kepemilikan institusional memiliki peran penting dalam
memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh
institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih
optimal. Peran kepemilikan institusional sebagai agen pengawas
dipengaruhi oleh investasi yang mereka berikan cukup besar dalam
pasar modal. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan
menimpukan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor
institusional sehingga dapat menghalangi perilaku oportunistik
manajer (Purwandari, 2011).
2. Kualitas Audit
Kualitas audit adalah kemungkinan dimana seorang auditor
akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam system
akuntansi kliennya (De Angelo, 1981). Menurut Akmal (2006),
kualitas audit adalah suatu hasil yang telah dicapai oleh subjek atau
objek untuk memperoleh tingkat kepuasan, sehingga akan
menimbulkan hasrat subjek atau objek untuk menilai suatu kegiatan
tersebut. Kualitas audit adalah kemungkinan dimana auditor akan
menemukan dan melaporkan salah saji material dalam laporan
keuangan klien (Watkins, 2004). Berdasarkan Standar Profesi Akuntan
40
Publik (SPAP) audit yang dilaksanakan auditor dikatakan berkualitas
baik, jika memenuhi ketentuan atau standar pengauditan.
Menurut Wooten (2003), indikator yang digunakan untuk
mengukur kualitas audit adalah sebagai berikut:
1) Deteksi salah saji
Salah saji dapat terjadi akibat dari kekeliruan atau kecurangan.
Apabila laporan keuangan mengandung salah saji yang dampaknya
secara individual atau keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat
mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar
dalam semua hal yang sesuai standar akuntansi keuangan. Auditor
harus memiliki sikap skeptisme professional, yaitu sikap yang
mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan
evaluasi secara kritis bukti audit dalam mendeeteksi salah saji.
2) Kesesuaian dengan standar umum yang berlaku
Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) merupakan acuan yang
ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib dipatuhi oleh akuntan
publik dalam pemberian jasanya (UU No. 5 Tahun 2011). Auditor
bertanggung jawab untuk mematuhi standar auditing yang
ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.
3) Kepatuhan terhadap SOP
Standar Operasional Perusahaan (SOP) adalah penetapan tertulis
mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, dimana, oleh siapa,
41
bagaimana cara melakukan, apa saja yang diperlukan, dan lain-lain
yang semuanya merupakan prosedur kerja yang harus ditaati dan
dilakukan. Dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan, auditor
harus memperoleh pengetahuan tentang bisnis yang cukup untuk
mengidentifikasi dan memahami peristiwa, transaksi, dan praktik
yang menurut pertimbangan auditor kemungkinan berdampak
signifikan atas laporan keuangan.
Berdasarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keungan Republik
Indnesia No. 1 Tahun 2007 mengenai Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara (SPKN), kualitas audit diukur berdasarkan hal-hal sebagai
berikut (Efendy, 2010):
1) Kualitas proses (keakuratan temuan audit, sikap skeptisme)
Besarnya manfaat yang diperoleh dari pekerjaan pemeriksaan tidak
terletak pada temuan pemeriksaan yang dilaporkan atau
rekomendasi yang dibuat, tetapi terletak pada efektivitas
penyelesaian yang ditempuh oleh entitas yang diperiksa. Selain itu
audit harus dilakukan dengan cermat, sesuai prosedur, dengan terus
mempertahankan sikap skeptisme.
2) Kualitas hasil (nilai rekomendasi, kejelasan laporan, manfaat audit)
Manajemen entitas yang diperiksa bertanggung jawab untuk
menindak lanjuti rekomendasi serta menciptakan dan memelihara
suatu proses sistem dan informasi untuk memantau status tindak
lanjut atas rekomendasi pemeriksa.
42
3) Kualitas tindak lanjut hasil audit
Pemeriksa wajib merekomendasikan supaya manajemen memantau
status tindak lanjut atas rekomendasi pemeriksa. Perhatian secara
terus-menerus terhadap temuan pemeriksaan yang material beserta
rekomendasinya dapat membantu pemeriksa untuk menjamin
terwujudnya manfaat pemeriksaan yang dilakukan.
Faktor yang mempengaruhi kualitas audit yaitu sebagai berikut:
1) Kompetensi
Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki
keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Dalam
pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, audito wajib
menggunakan kemahiran profesionalitasnya dengan cermat dan
seksama (due professional care).
2) Tekanan Waktu
Dalam setiap melakukan kegiatan audit, auditor akan menemukan
adanya suatu kendala dalam menentukan waktu untuk
mengeluarkan hasil audit yang akurat dan sesuai dengan aturan
yang ditetapkan. Tekanan waktu yang dialami oleh auditor dapat
berpengaruh terhadap menurunya kualitas audit karena auditor
dituntut untuk menghasilkan hasil audit yang baik dengan waktu
yang telah dijanjikan dengan klien.
43
3) Pengalaman Kerja
Dalam pelaksanaan audit untuk sampai pada suatu pernyataan
pendapat, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam
bidang akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian seorang
auditor dimulai dengan pendidikan formalnya, yang diperluas
melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam praktik audit.
Pengalaman kerja auditor adalah pengalaman yang dimiliki auditor
dalam melakukan audit yang dilihat dari segi lamanya bekerja
sebagai auditor dan banyaknya tugas pemeriksaan yang telah
dilakukan.
4) Etika
Etika adalah suatu prinsip moral dan perbuatan yang menjadi
landasan bertindaknya seseorang sehingga apa yang dilakukannya
dipandang oleh masyarakat sebagi perbuatan yang terpuji dan
meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang.
5) Independensi
Independensi merupakan sikap mental yang bebas dari pengaruh,
tidak dikendalikan oleh pihak lain, dan tidak tergantung pada orang
lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor
dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang
objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan
menyatakan pendapatnya.
44
Kantor Akuntan Publik yang besar dianggap mencerminkan
kualitas auditor yang baik. Kantor Akuntan Publik yang besar
memiliki auditor-auditor yang handal dan memiliki keterampilan yang
lebih. Di dunia, empat Kantor Akuntan Publik terbesar dan mempunyai
reputasi baik disebut dengan The Big Four. Perusahaan yang
merupakan The Big Four yaitu:
1) Pricewaterhouse Coopers (PWC)
2) Deloitte Tohce Tomatsu Limited
3) Ernst & Young (EY)
4) KPMG
Kantor Akuntan Publik yang berafiliasi dengan perusahaan
yang termasuk dalam The Big Four yaitu :
1) KAP Haryanto Sahari yang berafiliasi dengan PWC
2) KAP Osman Bing Satrio yang berafiliasi dengan Deloitte
3) KAP Purwantono, Suherman & Surja yang berafiliasi dengan Ernst
& Young
4) KAP Sidharta dan Widjaja yang berafiliasi dengan KPMG
F. Hasil Penelitian Terdahulu
Hayati dan Gusnardi (2012) tentang pengaruh penerapan mekanisme
good corporate governance terhadap manajemen laba menemukan bahwa
kepemilikan manajerial dan komite audit tidak berpengaruh terhadap
manajemen laba, kepemilikan institusional dan komisaris independen
berpengaruh terhadap manajemen laba, dan secara simultan kepemilikan
45
manajerial, kepemilikan institusional, komisaris independen dan komite audit
berpengaruh terhadap manajemen laba.
Agustia (2013) menguji pengaruh faktor good corporate governance,
free cash flow, dan leverage terhadap manajemen laba pada perusahaan tekstil
di BEI tahun 2007-2011. Hasil penelitian membuktikan proporsi dewan
komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan
ukuran komite audit tidak mempunyai pengaruh signifikan pada manajemen
laba. Rasio leverage berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba dan free
cash flow berpengaruh negatif dan signifikan pada manajemen laba. Reni
Yendrawati (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dewan komisaris,
kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba, sedangkan komite audit berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Naftalia dan Marsono (2013) menguji
pengaruh leverage terhadap manajemen laba dengan corporate governance
(kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kualitas audit dan dewan
komisaris independen) sebagai variabel pemoderasi. Penelitian dilakukan pada
perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek
Indonesia tahun 2009-2011. Pengukuran manajemen laba menggunakan
Modified Jones. Hasil penelitian membuktikan bahwa leverage berpengaruh
signifikan terhadap manajemen laba. Kepemilikan institusional memoderasi
hubungan leverage terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan
46
manajerial, dewan komisaris independen dan kualitas audit tidak memoderasi
hubungan leverage terhadap manajemen laba.
Pada penelitian yang dilakukan Kristiani, dkk. (2014) tentang
pengaruh mekanisme corporate governance dan ukuran perusahaan terhadap
manajemen laba menemukan bahwa: kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, komposisi dewan komisaris, dan ukuran perusahaan tidak
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Ukuran dewan komisaris
berpengaruh signifikan positif terhadap manajemen laba. Komite audit
berpengaruh tidak signifikan terhadap manajemen laba. Secara simultan
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris,
komposisi dewan komisaris, komite audit dan variabel ukuran perusahaan
berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba pada perusahaan manufaktur
sektor food and beverages yang terdaftar di BEI periode 2013-2016.
Pada penelitian yang dilakukan Uwuigbe, Peter, dan Oyeniyi (2014)
mengungkapkan bahwa ukuran dewan direksi memiliki dampak negatif yang
signifikan terhadap manajemen laba yang diproksikan dari nilai discretionary
akrual. Di sisi lain, kualitas CEO memiliki dampak positif yang signifikan
terhadap manajemen laba untuk perusahaan sampel di Nigeria. Sedangkan
Patrick, Paulinus, dan Nympha (2015) dalam penelitiannya menemukan
bahwa praktik tata kelola perusahaan atau corporate governance, seperti
ukuran dewan direksi, ukuran perusahaan, independensi dewan, dan kekuatan
komite audit memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba
pada perusahaanperusahaan di Nigeria.
47
Izza (2016) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa variabel proporsi
komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional
terbukti tidak berpengaruh untuk mengurangi tindakan manajemen laba.
Sedangkan ukuran perusahaan terbukti berpengaruh untuk mengurangi
tindakan manajemen laba. Secara simultan variabel corporate governance
(proporsi komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional) dan ukuran perusahaan terbukti berpengaruh untuk mengurangi
tindakan manajemen laba.
G. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
pernyataan. Dikatakan sementara karena jawwaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori. Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka pemikiran
yang merupakan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan
(Sugiyono, 2009). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Kinerja Keuangan terhadap Manajemen Laba
Laporan keuangan sering dijadikan dasar untuk penilaian kinerja
perusahaan. Sehingga memotivasi manajer untuk melakukan manajemen
laba. Menurut Healy dan Whalen (1999:368) dalam Liukani (2013),
manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian dalam
pelaporan keuangan dan transaksi penataan untuk mengubah laporan
48
keuangan baik menyesatkan beberapa stakeholder tentang kinerja ekonomi
yang mendasari perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang
tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.
: Kinerja keuangan berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
2. Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba
Fama dana Jensen (1983) menyatakan bahwa komisaris
independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang
terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan
manajemen serta memberikan nasehat kepada manajemen. Jika anggota
dewan komisaris dari luar meningkatkan tindakan pengawasan, maka hal
tersebut akan berhubungan dengan makin rendahnya penggunaan
discretionary accruals (Cornett, 2006)
: Dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
3. Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk
mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif
sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Cornett (2006) menyatakan
bahwa tindakan pengawasan perusahaan oleh kepemilikan institusional
dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya
terhadap kinerja perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku
oportunistik atau mementingkan diri sendiri.
49
: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba
4. Independensi Komite Audit terhadap Manajemen Laba
Independensi anggota komite audit merupakan faktor utama dari
sebagian besar penelitian komite audit. Anggota komite audit yang
independen akan memastikan laporan keuangan yang lebih berkualitas.
Karena semakin independen anggota komite audit, maka kualitas
pelaporan keuangan oleh perusahaan lebih dapat dipercaya. Sehingga
independensi yang dimiliki oleh komite audit dapat meminimalisasi
adanya manajemen laba. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Kristiani, dkk (2014) menyatakan bahwa proporsi direktur independen
berpengaruh negative terhadap manajemen laba.
: Independensi komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen
laba.
5. Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba
Kualitas audit ditunjukkan dengan auditor berpengalaman yang
digunakan oleh perusahaan. KAP Big Four memiliki kredibilitas yang baik
dan dipercaya oleh masyarakat. KAP Big Four dalam proses auditnya
lebih terstruktur dan terperinci sehingga dapat lebih mudah untuk
mendeteksi adanya kecurangan. Penelitian Rachmawati dan Triatmoko
(2007) membuktikan bahwa ukuran KAP berpengaruh negatif terhadap
discretionary accrual.
top related