bab ii landasan teori `2.1 ergonomi 2.1.1 definisi ergonomi
Post on 22-Nov-2021
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
3
BAB II
LANDASAN TEORI
`2.1 Ergonomi
2.1.1 Definisi Ergonomi
Menurut Wignosoebroto (2006) disiplin keilmuan lahir dan berkembang
sekitar pertengahan abad 20 ini berkaitan dengan perancangan peralatan dan
fasilitas kerja yang memperlihatkan aspek-aspek manusia sebagai pemakainya
dikenal dengan nama Ergonomi.
Ergonomi atau ergonomics (dalam bahasa inggris) sebenarnya berasal dari
kata Yunani yaitu ‘ergo’ yang berarti kerja dan ‘nomos’ yang berarti hukum.
Dengan demikian dimaksudkan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari
manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan. Disiplin ergonomi secara khusus akan
mempelajari keterbatasan dari kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan
teknologi dan produk-produk buatannya. Disiplin berangkat dari kenyataan bahwa
manusia memiliki batas-batas kemampuan baik jangka panjang ataupun jangka
pendek pada saat berhadapan dengan lingkungan sistem kerjanya yang berupa
perangkat keras atau hardware (mesin, peralatan kerja, dll) dab perangkat lunak
atau software (sistem kerja, metode kerja, prosuder, dll). Dengan demikian
ergonomi adalah suatu keilmuan yang multidisiplin, karena disini akan mempelajari
pengetahuan-pengetahuan dari ilmu kehayatan (kedokteran, biologi), ilmu
kejiwaan (psikologi), dan kemasyarakatan (sosiologi). (Sritomo Wignjosoebroto,
2006)
Menurut Kuswana (2014), dalam penyelidikannya Ergonomi pada dasarnya
dikelompokkan atas empat bidang penyelidikan, yaitu:
1. Penelitian Interface
Interface (perangkat antara), yang mengidentifikasi, menganalisis dan
mengkaji mengenai informasi tentang suatu lingkungan serta
4
mendeskripsikannya dengan simbol-simbol, tanda-tanda, langkah-langkah,
peta dan variabel (waktu jarak) serta konstanta lainnya.
2. Kekuatan Fisik Pekerja
Penelitian tentang aktivitas pelayanan sistem kerja, melalui pengukuran dan
menganalisis gerakan fisik, beban yang diterima dan peralatan yang
digunakan objek pekerjaan. Data-data yang diperoleh, dijadikan bahan
perancangan peralatan kerja sesuai dengan rata-rata kemampuan fisik para
pekerja.
3. Dimensi dan Bentuk Tempat Kerja
Penelitian mengenai dimensi dan bentuk ruang tempat kerja, dimensi ukiran
kebutuhan para pekerja, jenis pekerjaan, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi karakteristik aktivitas kerja.
4. Lingkungan Kerja
Penelitian mengenai kondisi lingkunga kerja, seperti pengaturan,
pencahayaan, pengaturan ventilasi udara, dan faktor yang mempengaruhi fisik
pekerja, seperti kebisingan, getaran, temperatur, dan limbah cairan kimia.
Ada berbagai bidang dalam aplikasi ergonomi untuk perancangan kerja
dengan ergonomi, Sutalaksana (1979) membaginya dalam empat kategori:
1. Antropometri
Antropometri berhubungan dengan ukuran dari tubuh dimensi linier,
termasuk berat dan volume. Jangkauan jarak, puncak kedudukan mata, dan
pantat utama sendiri seperti kekurangan yang layak diantara dimensi dan
rancangan dari tempat kerja ini solusi untuk memodifikasi rancangan dan
membuat kesesuaian.
2. Ergonomi Kognitif
Membahas tentang terjadinya pengolahan informasi dalam diri manusia mulai
dari diterimanya sensor sampai dengan dilakukannya tindakan atau action
sebaga umpan balik. Materi ini terkait dengan Human Reliability atau
keandalan manusia dengan melakukan pengukuran kesalahan bakerja atau
5
human error. Human Error dapat menjadi kriteria baik buruknya rancangan
mesin dan fasilitas kerja terutama dari sisi perancangan kontrol dan display.
3. Ergonomi Fisik atau Physical Ergonomic
Merupakan bidang yang paling luas dan paling berkembang pada era abad 20.
Membahas tentang pengukuran kerja atau work measurement dari sisi tenaga
yang diperlukan, tegangan atau kontraksi otot maupun besarnya gaya yang
bkerja pada tulang (biomekanika).
4. Lingkungan Fisik Kerja
Berisi kajian tentang pengaruh kondisi lingkungan fisik kerja seperti
kelembapan, pencahayaan, kebisingan, temperatur, getaran, warna serta bau-
bauan terhadap performansi kerja dan kesehatan kerja. Perancangan
lingkungan fisik ini terkait dengan desain area kerja secara keseluruhan
seperti ventilasi, pencahayaan, ruang, dan usaha mengurangi getaran maupun
kebisingan.
2.1.2 Risiko Ergonomi
Risiko ergonomi merupakan risiko yang menyebabkan cedera akibat kerja,
hal itu termasuk hal-hal berikut ini:
1. Penggunaan tenaga atau kekuatan (mengangkat, mendorong, menarik, dan
lain-lain)
2. Pengulangan, melakukan jenis kegiatan yang sama dari suatu kegiatan yang
sama dari suatu pekerjaan dengan menggunakan otot atau anggota tubuh
berulang kali.
3. Kelenturan tubuh (lenturan, punter, jangkauan atas).
4. Pekerjaan statis, diam di dalam satu posisi pada suatu periode waktu tertentu.
5. Getaran mesin-mesin.
6. Kontak tegangan, ketika memperoleh permukaan benda tajam dari suatu alat
atau benda kerja terhadap bagian atau tubuh.
6
2.2 Muscoluskeletal Disorder (MSDs)
Menurut NIOSH (2000) yang dimaksud muscoluskeletal disorder (MSDs)
adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari
jaringan halus sistem sistem musculoskeletal yang mencakup sistem syaraf, tendon,
otot, dan struktur penunjang seperti discus invertebral. Muscoluskeletal disorder
(MSDs) merupakan gangguan kronik secara repetitive, pergerakan yang cepat,
penggunaan tenaga yang besar, kontak dengan tekanan, postur janggal atau ekstrim,
dan temperatur yang rendah (ACGIH, 2010). Muscoluskeletal Disorder (MSDs)
sangat menyakitkan dan sering terjadi umumnya berkembang secara bertahap
selama beberapa minggu, bulan, dan tahun. Keluhan muskoluskeletal ini dapat
menyebabkan sejumlah kondisi termasuk nyeri, mati rasa, kesemutan, sendi kaku,
kesulitan bergerak, dan kadang-kadang kelumpuhan. Seringkali pekerja harus
kehilangan waktu dari pekerjaan untuk kembali pulih (OSHA, 2000).
Musculoskeletal disorder adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan
oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot
menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat
menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sandi, ligamen, dan tendon
(Grandjen, 1993).
Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan
antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lain-lain. Sikap
kerja tersebut dilakukan tergantung dari kondisi dari sistem kerja yang ada. Jika
kondisi sistem kerjanya yang tidak sehat akan menyebabkan kecelakaan kerja,
karena pekerja melakukan pekerjaan yang tidak aman. Menurut Bridger (1995)
sikap kerja yang salah, canggung, dan diluar kebiasaan akan menambah risiko
cidera pada bagian sistem muskoluskeletal.
1. Sikap kerja berdiri
Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering dilakukan
ketika melakukan sesuatu pekerjaan. Berat tubuh manusia akan ditopang oleh salah
satu kaki atau kedua kaki ketika melakukan posisi berdiri. Aliran beban berat tubuh
7
mengalir pada kedua kaki menuju tanah. Hal ini disebabkan oleh gaya gravitasi
bumi.
Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi posisi kedua kaki. Kaki yang
sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan menjaga tubuh dari
tergelincir. Selain itu perlu menjaga kelurusan antara anggota bagian atas dengan
anggota bagian bawah.
Sikap kerja berdiri memiliki beberapa kondisi permasalahan Work Related
Muscoluskeletal Disorder (WMSDs). Nyeri punggung bagian bawah (low back
pain) adalah salah satu masalah pada sikap kerja berdiri dengan sikap punggung
condong ke depan. Sikap kerja berdiri terllau lama akan mengakibatkan
penggumpalan dara di vena, karena aliran darah berlawanan dengan gravitasi.
Kejadian ini dapat mengakibatkan pembengkakan pergelangan kaki.
2. Sikap yang membungkuk
Salah satu sikap kerja yang tidak nyaman untuk diterapkan dalam pekrjaan
adalah membungkuk. Posisi ini tidak menjaga kestabilan tubuh ketika bekerja.
Pekerja mengalami keluhan nyeri pada bagian punggung bagian bawah (low back
pain) bila dilakukan secara berulang dan periode yang cukup lama.
Gambar 2.1 Mekanisme Rasa Nyeri Pada Posisi Membungkuk
(Sumber: Bridger 1995)
Pada saat membungkuk, tulang bergerak ke sisi depan tubuh. Otot perut dan
bagian depan invertebratal discs pada bagian lumbar mengalami tekanan. Pada
bagian ligament sisi belakang dari invertebratal discs justru mengalami regangan.
Kondisi ini menyebabkan nyeri punggung bagian bawah (low back pain).
8
Sikap kerja membungkuk dapat menyebabkan “slipped disks”, bila dibarengi
dengan pengangkatan beban berlebih. Prosesnya sama dengan sikap kerja
membungkuk, tetapi akibat tekana yang berlebih menyebabkan ligamen pada sisi
belakang lumbar rusak dan penekanan pembuluh saraf. Kerusakan ini disebabkan
oleh keluarnya material pada invertebratal discs.
3. Sikap Kerja Duduk
Sikap kerja duduk mengakibatkan munculnya keluhan pada punggung bagian
bawah, karena pada saat duduk maka otot bagian paha tertarik dan bertentangan
dengan bagian pinggul. Akibatnya tulang pelvis akan miring ke belakang dan tulang
belakang bagian lumbar L3/L4 akan mengendor. Kondisi ini akan membuat sisi
depan invertebratal discs tertekan dan sekelilingnya melebar atau merenggang.
Kondisi ini akan membuat rasa nyeri pada punggung bagian bawah dan menyebar
pada kaki.
Gambar 2.2 Kondisi Invertebral Disk bagian lumbar pada saat duduk
(Sumber: Bridger 1995)
Ketegangan rasa sakit saat bekerja dengan sikap duduk dapat dikurangi
dengan merancang tempat duduk yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
posisi duduk tanpa sandaran menaikkan tekanan invertebratal discs sebanyak
sepertiga sampai setengah lebih banyak dari pada posisi berdiri (Bridger,1995).
Sikap kerja duduk pada kursi membutuhkan sandaran untuk menopang punggung,
yang memungkinkan pergerakan maju-mundur untuk melindungi bagian lumbar.
sandaran harus dirancang dengan tonjolan ke depan untuk memberi ruang bagi
lumbar untuk menekuk.
9
4. Pengangkatan beban
Kegiatan ini menjadi penyumbang terbesar terjadinya kecelakaan kerja pada
bagian punggung. Penelitian yang dilakukan NIOSH meperlihatkan sebuah statistic
yang menyatakan bahwa dua-pertiga dari kecelakaan akibat tekanan secara
berlebihan berkaitan dengan aktivitas menaikkan atau mengangkat beban (lifting
loads activity). Pengangkatan beban yang melebihi kekuatan manusia
menyebabkan penggunaan tenaga yang lebih besarpula atau over exertion (Bernard
dan Fine,1997). Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa over exertion menjadi
penyebab cedera punggung paling besar, presentasenya sekitar 64% - 74%. Adapun
pengankatan beban akan mempengaruhi lumbar, dimana aka nada tekanan pada
bagian L5/S1.
Penekanan pada daerah ini mempunyai batas tertentu untuk menahan tekanan.
Invertebratal disc pada bagian L5/S1 lebih banyak menahan tekanan dibandingkan
tulang belakang. Bila pengangkatan yang dilakukan melebihi kemampuan maka
kan menyebar disc herniation akibat lapisan pembungkus pada invertebral disc
pada bagian L5/S1 pecah.
Cara untuk mengurangi risiko cidera yang mungkin ditimbulakn saat
mengankat beban adalah
a. Pikirkan dan rencanakan cara mengangkat beban. Usahakan untuk tidak
mengangkat beban melebihi batas kemampuan dan jangan mengangkat beban
dengan gerakan cepat dan tiba-tiba.
b. Tempatkan beban sedekat mungkin dengan ousat tubuh. Karena makin dekat
beban, makin kecil pengaruhnya dalam memberi tekanan pada punggung, bahu,
dan lengan. Makin dekat beban maka makin mudah untuk menstabilkan tubuh.
c. Tempatkan kaki sedekat mungkin dengan beban saat mulai mengangkat dan
usahakan dalam posisi seimbang. Tekuk lutut dalam posisi setengah jongkok
sampai sudut paling nyaman.
d. Jaga sikap punggung dan bahu tetap lurus, artinya tidak membungkuk,
menyamping atau miring (bending and twist)
e. Turunkan beban dengan menekuk lutut dalam posisi setengah jongkok dengan
sudut paling nyaman.
10
5. Membawa beban
Membawa beban merpakan pekerjaan manual hadling yang sering dilakukan
saat bekerja. Penentuan beban normal untuk tiap orang ada perbedaanya. Hal ini
dipengaruhi oleh frekuensi dari pekerjaan yang dilakukan. Faktor yang berpengaruh
dari kegiatan membawa beban adalah jarak. Jarak yang ditempuh semakin jauh
akan menurunkan batasan beban yang dibawa.
6. Kegiatan mendorong beban
Hal yang penting menyangkut kegiatan mendorong beban adalah tinggi tangan
pendorong. Tinggi pegangan antara siku dan bahu selama mendorong beban
dianjurkan dalam kegiatan ini. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga
maksimal untuk mendorong beban berat dan menghindari kecelakaan kerja bagian
bahu dan tangan.
7. Menarik beban
Kegiatan ini biasanya tidak dianjurkan sebagai metode pemindahan beban,
karena beban sulit untuk dikendalikan dengan anggota tubuh. Beban dengan mudah
akan tergelincir keluar dan melukai pekerjanya. Kesulitan yang lain adalah
pengawasan beban yang dipindahkan serta perbedaan jalur yang dilintasi. Menarik
beban hanya dilakukan pada jarak yang pendek dan bila jarak yang ditempuh lebih
jauh biasanya beban didorong ke depan.
2.2.1 Faktor Risiko Muscoluskeletal Disorder (MSDs)
Muscoluskeletal Disorder (MSDs) biasanya dihasilkan dari beberapa paparan
faktor risiko yang dapat menyebabkan atau memperburuk gangguan, bukan
diakibatkan dari suatu peristiwa seperti jatuh, tabrakan, dan lain-lain (OSHA,
2000). Penyebab Muscoluskeletal Disorder (MSDs) adalah beberapa factor
(Standers, 2004). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan Muscoluskeletal Disorder
(MSDs) adalah sebagai berikut:
11
a. Faktor Pekerjaan
1) Postur kerja
Postur tubuh dapat didefinisikan sebagai orientasi relative dari bagian tubuh
terhadap ruang. Untuk melakuakan orientasi tubuh tersebut selama beberapa
rentang waktu yang dibutuhkan kerja otot untuk menyangga atau menggerakkan
tubuh. Postur dapat diartikan sebagi konfigurasi dari tubuh manusia, yang meliputi
kepala, punggung, dan tukang belakang (Pheasant, 1991). Secara alamiah postur
tubuh dapat terbagi menjadi:
Statis
Postur kerja statis didefinisikan sebagai postur kerja isometris dengan sangat
sedikit geraka sepanjang waktu kerja sehingga dapat menyebabkan beban statis
pada otot, khususnya otot pinggang, seperti duduk terus-menerus atau posisi kerja
berdiri terus menerus (Bernard er al, 1997).
Pada postur statis persendian tidak bergerak, dan beban yang ada adalah
beban statis. Dengan keadaan statid suplai nutrisi kebagian tubuh akan terganggu
begitu pula dengan suplai oksigen dan proses metabolisme pembuangan tubuh.
Posisi tubuh yang senantiasa berada pada posisi yang sama dari waktu ke waktu
secara alamiah akan membuat bagian tubuh tersebut stres (bridger, 2003).
Dinamis
Stres akan meningkat ketika posisi tubuh menjahui posisi normal tersebut.
Pekerjaan yang dilakukan secara dinamis menjadi berbahaya ketika tubuh
melakukan pergerakan yang terlalu ekstrim sehingga energy yang dikeluarkan otot
menjadi lebih besar atau tubuh menahan beban yang cukup besar sehingga timbul
hentakan tenaga yang tiba-tiba dan hal tersebut bisa menimbulkan cidera.
Sedangkan untuk jenis bentuk postur tubuh terdiri dari (Pheasant, 1991)
Postur netral
Merupakan postur ketika seseorang melakukan proses pekerjaannya sesuai dengan
struktur anatomi tubuh seseorang dan tidak terjadi penekanan atau pergeseran
tubuh pada bagian penting tubuh, serta tidak menimbulkan keluhan.
12
Postur janggal
Merupakan postur yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh seseorang untuk
membawa beban dalam jangka waktu yang lama dan dapat menyebabkan terjadinya
berbagai akibat yang merugikan tubuh seperti kelelahan otot, rasa nyeri, serta
menjadi tidak tenang.
2) Beban
Istilah beban tidak smaa dengan berat, beban menunjuk kepada tenaga. Dalam
penilaian risiko, berat hanyalah salah satu aspek dari beban terhadap tubuh, beban
maksimal yang diperbolehkan untuk orang dewasa yaitu 23-25kg untuk
pengangkatan single (tidak berulang). Bentuk dan ukuran objek ikut mempengaruhi
hal tersebut, semakin kecil objek semakin baik agar dapat diletakkan sedekat
mungkin dengan tubuh.
3) Durasi
Durasi adalah waktu terpajan faktor risiko. Durasi dapat dilihat sebagai
menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpajan risiko. Secara umum, semakin
besar pajanan durasi pada faktor risiko, semakin besar pula tingkat risikonya.
4) Frekuensi
Banyaknya frekuensi aktifitas (mengangkat atau memindahkan) dalam
satuam waktu (menit) yang dilakukan oleh pekerja dalam satu hari. Frekuensi
gerakan postur janggal dilakukan ≥2kali/menit merupakan faktor risiko terhadap
pinggang. Pekerjaan yang dilakukan berukang-ulang dapat meyebabkan rasa lelah
bahkan nyeri/sakit pada otot.
5) Alat perangkai atau genggaman
Terjadi tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak sebagai contoh pada
ssat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan
menerima tekanan langsung dari pegangan alat. Apabila hal ini sering terjadi, dapat
menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka, 2004).
13
b. Fakor pekerja
1) Usia
2) Jenis Kelamin
3) Waktu Kerja
4) Kebiasanan merokok
5) Kebiasaan olahraga
6) Masa kerja
7) Indeks masa tubuh
8) Riwayat penyakit MSDs
9) Kekuatan fisik
c. Faktor lingkungan
1) Suhu dan kelembapan
2) Getaran
3) Iluminasi
4) Faktor psikologis
2.3 Postur dan Pergerakan Kerja
Postur kerja merupakan pengaturan sikap tubuh saat bekerja. Sikap kerja
yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula. Pada saat bekerja
sebaiknya postur dilakuakan secara alamiah sehingga dapat meminimalisasi
timbulnya cidera muscoluskeletal. Kenyaman tercipta bila bekerja telah
melakuakan postur kerja yang baik dan aman.
a. Korset Bahu memiliki jangkauan gerakan normal meliputi elevasi, depresi,
adduksi dan abduksi
Gambar 2.3 Jangkauan Gerakan Korset Bahu
(Sumber: www.brianmac.co.uk)
14
Abduction adalah pergerakan menyamping menjauhi sumbu tengah tubuh (the
median plane).
Adduction adalah pergerakan ke arah sumbu tengah tubuh (the median plane).
Elevasition adalah pergerakan kearah atas (bahu diangkat keatas)
Depression adalah pergerakan kearah bawah (bahu diturunkan kebawah).
a. Persendihan bahu memiliki jangkauan gerakan normal meliputi: elevasi,
depresi, adduksi dan abduksi.
Gambar 2.4 Jangkauan Gerakan Persendihan Bahu
(Sumber: www.brianmac.co.uk)
Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjadi pengurangan.
Extension adalah gerakan merentangkan dimana terjadi peningkatan sudut
antara dua tulang.
Abduction adalah pergerakan menyamping menjauhi dari sumbu tengah tubuh.
Adduction adalah pergerakan kearah sumbu tengah tubuh.
Rotation adalah gerakan perputaran bagian atas lengan atau kaki depan.
Circumduction adalah gerakan perputaran lengan menyamping secara
keseluruhan.
15
b. Persendihan siku memiliki gerakan normal meliputi: fleksi, ekstensi, adduksi,
abduksi, dan rotasi medial.
Gambar 2.5 Jangkauan gerakan persendian siku
(Sumber: www.brianmac.co.uk)
Supination adalah perputaran kearah samping dari anggota tubuh.
Pronation adalah perputaran bagian tengah dari anggota tubuh.
Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjad pengurangan.
Extension adalah gerakan merentangkan dimana terjadi peningkatan sudut
antara dua tulang.
c. Persendihan pergelangan tangan memiliki jangkauan gerakan normal meliputi:
fleksi, ekstensi. Adduksi, abduksi, dam sirkumduksi.
Gambar 2.6 Jangkauan gerakan pergelangan tangan
(Sumber: www.brianmac.co.uk)
Supination adalah perputaran kearah samping dari anggota tubuh.
Pronation adalah perputaran bagian tengah dari anggota tubuh.
Flexion adalah gerakan dimana sudut antara dua tulang terjad pengurangan.
16
Extension adalah gerakan merentangkan dimana terjadi peningkatan sudut
antara dua tulang.
2.4 Rapid Entire Body Assesment (REBA)
Menurut Mc Atamney dan Hignett (2000) Rapid Entire Body Assesment
adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomic dan dapat
digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung,
lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga
dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta
aktifitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan Rapid Entire Body Assesment
(REBA) tidak membutuhkan waktu lama untuk melengkapi dan melakukan scoring
general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan
risiko yang dilibatkan postur kerja operator.
Penilaian menggunakan metode REBA yang telah dilakukan oleh Dr. Sue
Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
Tahap 1: Pengambilan data postur kerja dengan menggunakan bantuan video
atau foto
Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto.
Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan,
pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan supaya mendapatkan
data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman atau hasil foto
bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.
Tahap 2: Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja
Setelah didapatkan hasil rekaman atau foto postur kerja tubuh dari pekerja
dilakukan perhitungan besar sudut dari masing-masing segmen tubuh yang meliputi
punggung (batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan
kaki. Pada metode REBA segmen-segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok A dan kelompok B. Kelompok A meliputi punggung
(batang tubuh), leher, dan kaki. Sementara kelompok B meliputi lengan atas, lengan
bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing-masing
17
kelompok dapat dikethui skornya, kemudian skor tersebut digunakan untuk melihat
tabel A untuk kelompok A dan tabel B untuk kelompok B agar diperoleh skor untuk
masing-masing tabel.
Gambar 2.7 Range pergerakan punggung
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Pada gambar 2.5 menunjukkan jangkauan gerakan punggung (batang tubuh),
pergerakan ini dibagi menjadi 4 range yang oertama pergerakan tegaj alamiah
dengan skor 1, pergerakan 0o sampai dengan 20o flexion dan extension dengan skor
2, pergerakan antara 20o sampai dengan 60o flexion dan lebih dari 20o extension
dengan skor 3, pergerakan lebih dari 60o dengan skor 4. Penentuan sudutnya didapat
antara sumbu vertical batang tubuh dengan sumbu horizontal dengan pusat titik
sudut di pinggul. Adapun perubahan skornya, jika batang tubuh memutar atau
miring kesamping maka skor postur ditambah 1.
Tabel 2.1 Skor Pergerakan Punggung (Batang Tubuh)
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Pergerakan Skor Perubahan skor
Tegak / alamiah 1
+1 jika memutar atau
kesamping
0o – 20o flexion
0o – 20o extension 2
20o – 60o flexion
˃20o extension 3
˃60o flexion 4
18
Gambar 2.8 Pergerakan leher
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Untuk pergerakan leher yang terlihat pada gambar 2.7, jangkauan
pergerakannya dibagi menjadi 2 range yaitu 0o sampai dengan 20o flexion dengan
skor 1, pergerakan lebih dari 20o flexion dan extension dengan skor 2. Apabila pada
pergerakan leher terjadi memutar atau miring kesamping maka skor postur
ditambah 1.
Tabel 2.2 Skor Pergerakan Leher
Pergerakan Skor Perubahan Skor
0o – 20o Flexion 1 +1 jika memutar atau miring
kesamping ˃20o Flexion atau Extension 2
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Gambar 2.9 Range Pergerakan Kaki
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Gambar 2.3 diatas menunjukkan range pergerakan kaki, pada pergerakan kaki
dibagi menjadi dua range, range pertama apabila kaki tertopang, bobot tersebar
19
merata, jalan atau duduk maka skornya 1. Untuk range yang kedua kaki tidak
tertopang, bobot tidak tersebar merata, postur tidak stabil maka skornya 2. Adapun
perubahan skornya, apabila kaki memutar atau miring kesamping skor postur
ditambahkan 1, jika lutut antara 30o sampai dengan 60o flexion skor postur
ditambahkan 1 dan jika lutut bersudut lebih dari 60o flexion (tidak ketika duduk)
maka skor ditambah 2.
Tabel 2.3 Skor Pergerakan Kaki
Pergerakan Skor Perubahan Skor
kaki beropang ketika berjalan atau
duduk dengan bobot seimbang rata-
rata
1
+1 jika lutut antara 30o – 60o
Flexion
Kaki tidak bertopang atau bobot
tubuh tidak tersebar merata 2
+2 jika lutut ˃60o Flexion
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Gambar 2.10 Pergerakan Lengan Atas
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Seperti yang terlihat pada gambar 2.9 pergerakan lengan atas dibagi menjadi 4
range. Yang pertama pergerakan 20o extension sampai dengan 20o flexion dengan
skor 1. Yang kedua pergerakan lebih dari 20o extension dan antara 20o samapai
dengan 45o flexion dengan skor 2. Untuk yang ketiga antara 45o sampai dengan 90o
flexion dengan skor 3. Yang keempat lebih dari 90o flexion diberi skor 4. Untuk
perubahan skornya, apabila posisi lengan abducted/rotated dan bahu ditinggikan
20
maka perubahan skornya ditambah 1, jika lengan bersandar atau bobot lengan
ditopang atau sesuai gravitasi perubahan skornya dikurangi 1.
Tabel 2.4 Skor Pergerakan Lengan Atas
Pergerakan Skor Perubahan Skor
20o Extension – 20o
Flexion 1 +1 jika lengan atas abducted
˃20o Extension 2 +1 jika pundak atau bahu ditinggikan
20o – 45o Flexion
45o – 90o Flexion 3 -1 jika operator bersandar atau bobot
lengan ditopang ˃90o Flexion 4
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Gambar 2.11 Pergerakan Lengan Bawah
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Untuk pergerakan lengan bawah seperti tampak pada gambar 2.10, dalam
menentukan besarnya sudut gerakan, titik sudut berada pada siku dan sudut 0o
didapat dengan manrik garis lurus sesuai dengan gerakan lengan atas atau lengan
tangan posisi lurus. Pergerakan lengan bawah dibagi menjadi 2 rangeyaitu
pergerkan antara 60o sampai dengan 100o flexion dengan skor pergerakan 1
sedangakn pergerakan lebih dari 60o flexion atau kurang dari 100o extension skornya
2. Dalam pergerakan lengan bawah tidak ada perubahan skor.
21
Tabel 2.5 Skor Pergerakan Lengan Bawah
Pergerakan Skor
60o – 100o Flexion 1
˂60o Flexion atau ˃100o Flexion 2
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Gambar 2.12 Pergerakan Tangan
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Menunjukkan range pergerakan pergelangan tangan, pada pergerakan pergelangan
tangan ini apabila sudut yang terbentuk 0o, maka pergerakan pergelangan tangan
dikatakan normal, pada pergerakan pergelangan tangan ini dibagi menjadi 2 range
yaitu pergerakan antara 0o sampai dengan 15o flexion atau extension dengan skor
pergerakan 1 sedangkan pergerakan lebih 15o flexion atau extension skornya 2,
apabila pergelangan tangan menyimpang atau berputar maka perubahan skor
ditambah 1.
Tabel 2.6 Skor Pergerakan Tangan
Pergerakan Skor Perubahan Skor
0o – 15o Flexion atau
Extebsion
1 +1 jika pergelangan tangan menyimpang
atau berputar
˃15o Flexion atau Extension 2
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Setelah menentukan skor tiap-tiap pergerakan tubuh, selanjutnya hasil skor
tersebut digunakan untuk mengetahui skor pada tabel A dan tabel B. Skor tabel A
dan tabel B diperoleh dengan cara menarik atau menentukan kolom baris sesuai
dengan skor pergerakan tubuh yang telah diperoleh.
22
Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Hasil penilaian
dari pergerakan punggung (batang tubuh), leher kemudian kaki yang digunakan
untuk menentukan skor A dengan menggunakan tabel 2.9 dibawah ini:
Tabel 2.7 Perhitungan A
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Untuk grup B meliputi lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan.
Hasil pergerakan lengan atas, lengan bawah, dan pergelangan tangan digunakan
untuk menentukan skor B dengan menggunakan tabel 2.10 dibawah ini:
Tabel 2.8 Perhitungan B
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Hasil skor yang diperoleh dari tabel A dan tabel B digunakan untuk
melihat tabel C sehingga didapatkan skor dari tabel C.
23
Tabel 2.9 Perhitungan C
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Tahap 3: Penentuan berat benda yang dapat diangkat, coupling dan aktivitas
pekerja
Selain skoring pada masing-masing segmen tubuh, faktor lain yang perlu
disertakan adalah berat beban yang diangkat, coupling dan aktivitas pekerjanya.
Masing-masing faktor tersebut juga mempunyai kategori skor. Untuk faktor
beban yang diangkat mempunyai 3 range dengan satu perubahan skor, ramge
yang pertama untuk beban kurang dari 5 kg skor yang berikan 0, range kedua
beban antara 5 kg sampai 10 kg skornya 1, dan range ketiga jika beban dari 10
kg maka sor yang diberikan 2. Untuk perubahan skornya ditambah 1, apabila
penambahan beban dilakukan secara tiba-tiba atau secara cepat.
Tabel 2.10 Beban Yang Diangkat
Beban Skor Skor Perubahan
˂5 kg 0 +1 jika terjadi penambahan
beban dilakukan secara tiba-
tiba atau secara cepat
5kg – 10kg 1
˃10kg 2
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Untuk penentuan skor coupling range pertama diberi skor 0 (good) apabila
pegangan pas dan tepat ditengah atau genggaman kuat, range kedua 1 (fair) jika
24
pegangan tangan bisa diterima tapi tidak ideal atau coupling lebih sesuai
digunakan oleh bagian lain dari tubuh, untuk range ketiga yang diberi skor 2
jika pegangan tangan tidak bisa diterima walaupun memungkinkan. Apabila
pegangan dipaksakan genggaman yang tidak aman, tanpa pegangan coupling
tidak sesuai digunakan oleh bagian lain dari tubuh maka skornya ditambah 1.
Tabel 2.11 Coupling
Genggaman Skor Deskripsi
Good 0 Memegang dengan baik dan menggunakan setengah
tenaga untuk menggenggam
Fair 1 Pegangan tangan masih dapat diterima meskipun tidak
ideal
Poor 2 Pegangan tangan tidak dapat diterima meskipun masih
memungkinkan
Unacceptable 3
Buruk sekali genggaman tidak aman, tidak ada pegangan.
Menggegam tidak dapat diterima jika menggunakan
bagian tubuh yang lain.
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Untuk aktivitas pekerjaan skor ditambahkan 1, apabila satu atau lebih bagia
tubuh statis dan ditahan lebih dari satu menit terjadi pengulangan gerakan dalam
rentang waktu singkat dan diulang lebih dari 4 kali per menit (tidak termasuk
berjalan), serta gerakan yang menyebabkan perubahan atau pergeseran postur yang
cepat dari posisi awal.
Tabel 2.12 Nilai Aktivitas
Aktivitas Skor Deskripsi
Sikap kerja
statis
+1
Satu atau lebih bagian tubuh dalam keadaan statis atau
diam, seperti memegang selama lebih dari 1 menit
Perulangan +1
Mengulangi sebagian kecil aktivitas, seperti
mengulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit (dalam hal
ini berjalan tidak termasuk)
25
Tidak stabil +1
Aktivitas yang mengakibatkan secara cepat terjadi
perubahan yang besar pada sikap kerja atau
mengakibatkan ketidakstabilan pada sikap kerja
(Sumber: Higgnett danMC Atamney, 2000)
Tahap 4: Perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan
Setelah didapatkan skor dari tabel A kemudian dijumlahkan dengan skor
untuk berat beban yang diangkat sehingga didapatkan nilai bagian A. sementara
skor dari tabel B dijumlahkan dengan skor dari tabel coupling sehingga
didapatkan nilai dari bagian B. dari nilai bagin A dan bagian B digunakan untuk
mencari nilai bagian C dari tabel C yang ada.
Nilai REBA didapatkan dari hasil penjumlahan nilai bagian C dengan nilai
aktivitas pekerja. Dari nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko pada
muscoluskeletal dan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengurangi risiko
serta perbaikan kerja. Untuk lebih jelasnya, alur cara kerja dengan
menggunakan metode REBA serta level risiko yang terjadi dapat dilihat pada
tabel 2.12 berikut ini:
Tabel 2.13 Level Risiko dan Tindakan
REBA Skor Level Risiko Action Level Tindakan Perbaikan
1 Dapat diabaikan 0 Tidak diperlukan
2-3 Rendah 1 Mungkin diperlukan
4-7 Sedang 2 Diperlukan
8-10 Tinggi 3 Diperlukan secepatnya
11-15 Sangat tinggi 4 Diperlukan saat itu juga
(Sumber: Higgnett dan MC Atamney, 2000)
Dari tabel risiko dapat diketahui nilai REBA yang didapatkan dari hasil
perhitungan sebelumnya dapat diketahui level risikonya yang terjadi dan perlu atau
tidaknya tindakan dilakukan untuk perbaikan. Perbaikan kerja berdasarkan prinsip-
prinsip ergonomi.
26
2.5 Nordic Body Map
Corlett (1922) menyatakan bahwa Nordic Body Map merupakan salah satu alat
ukur yang biasanya digunakan untuk mengenali sumber penyebab keluhan
muscoluskeletal. Melalu nordic body map dapat diketahui bagian-bagian otot yang
mengalami keluhan dengan tingkat keluhan mulai rasa tidak nyaman (agak sakit)
sampai sangat sakit. Dengan melihat dan menganalisis peta tubuh maka
diestimasikan jenis dan tingkay keluhan otot skeletal yang dirasakan pekerja.
Gambar 2.13 Peta Tubuh
(Sumber: Corlett 1992)
27
Keterangan
0 leher bagian atas
1 leher bagian bawah
2 bahu kiri
3 bahu kanan
4 lengan atas kiri
5 Punggung
6 lengan atas kanan
7 Pinggang
8 pantat (buttock)
9 pantat (buttom)
10 siku kiri
11 siku kanan
12 lengan bawah kiri
13 lengan bawah kanan
14 pergelangan tangan kiri
15 pergelangan tangan kanan
16 tangan kiri
17 tangan kanan
18 paha kiri
19 paha kanan
20 lutut kiri
21 lutut kanan
22 betis kiri
23 betis kanan
24 pergelangan kaki kiri
25 pergelangan kaki kanan
26 kaki kiri
27 kaki kanan
top related