bab ii kewenangan notaris membuat akta pengakuan …
Post on 04-Nov-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KEWENANGAN NOTARIS MEMBUAT AKTA PENGAKUAN HUTANG DALAM
PERJANJIAN KREDIT PADA BANK PEMERINTAH
2.1. Notaris Sebagai Jabatan Publik
Jabatan adalah lingkungan pekerjaan yang bersifat tetap. Oleh karena itu, notaris
merupakan suatu jabatan. Munculnya jabatan Notaris1 dilandasi adanya kebutuhan akan suatu
alat bukti yang mengikat. Dalam system Civil Law yang diatur dalam Pasal 1 Ord, stbl. 1860
Nomor 3 tentang Jabatan Notaris di Indonesia mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860 disebutkan
bahwa Notaris adalah :
Pejabat umum, khususnya (satu-satunya) yang berwenang untuk membuat akta-akta
otentik tentang semua tindakan, perjanjian-perjanjian, dan keputusan-keputusan yang
diharuskan oleh perundang-undangan umum untuk dikehendaki oleh yang
berkepentingan bahwa hal itu dinyatakan dalam surat otentik, menjamin tanggalnya,
menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse, salinan-salinan (turunan-turunan) dan
kutipan-kutipannya, semuanya itu apabila pembuatan akta-akta demikian itu atau
dikhususkan itu atau dikhususkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.
Sejak Negara Indonesia dijajah oleh Belanda sebagai salah satu warisan peninggalan
adalah lembaga notariat yang semula lembaga ini diperuntukkan bagi golongan Eropa dalam
bidang hukum perdata, hal ini menjadikan lembaga notariat sangat dibutuhkan oleh masyarakat
Indonesia karena setiap perbuatan hukum dalam perjanjian dapat dilakukan di hadapan Notaris.
Kehidupan masyarakat yang memerlukan kepastian hukum memerlukan sektor pelayanan
jasa publik yang saat ini semakin berkembang seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat atas
pelayanan jasa. Hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa Notaris. Peran Notaris
1Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat Akte otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu Akte otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktenya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akte itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Tobing, G.H.S. Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit
Erlangga, Jakarta, hal. 31.
dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh negara untuk
melayani masyarakat dalam bidang perdata khususnya pembuatan akta otentik. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. ”
Memperhatikan uraian Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dijelaskan bahwa
Notaris adalah :
a. pejabat umum
b. berwenang membuat akta
c. otentik
d. ditentukan oleh undang-undang
Jabatan Notaris merupakan jabatan yang keberadaannya dikehendaki guna mewujudkan
hubungan hukum diantara subyek subyek hukum yang bersifat perdata. Notaris sebagai salah
satu pejabat umum mempunyai peranan penting yang dipercaya oleh pemerintah dan masyarakat
untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat dalam menjamin kepastian, ketertiban,
ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapannya,
mengingat akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam
setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat.
Produk hukum yang dikeluarkan oleh Notaris adalah berupa akta-akta yang memiliki
sifat otentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Sebagaimana definisi akta
otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu
akta yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. ” Selanjutnya
pada Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri,
sedangkan untuk dapat diangkat sebagai Notaris harus dipenuhi persyaratan dalam Pasal 3
UUJN, antara lain :
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh tahun);
4. sehat jasmani dan rohani;
5. berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
6. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagaikaryawan Notaris dalam
waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau
atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;
7. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang
memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk dirangkap dengan
jabatan Notaris.
Pengertian pejabat umum dijelaskan paada Pasal 1 angka 1 UUJN bahwa notaris sebagai
satu satunya pejabat umum. Selanjutnya pengertian berwenang meliputi berwenang terhadap
orangnya, yaitu untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh orang yang
berkepentingan. Berwenang terhadap aktanya, yaitu yang berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan undang-undang atau yang
dikehendaki yang bersangkutan. Serta berwenang terhadap waktunya dan berwenang terhadap
tempatnya, yaitu sesuai tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris dan notaris menjamin
kepastian waktu para penghadap yang tercantum dalam akta.2
2Habieb Adjie, 2009, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 14.
Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang agar suatu akta menjadi
otentik, seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib untuk “Melaksanakan
tugasnya dengan penuh disiplin, professional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa
yang tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggungjawab notaris adalah ungkapan
yang mencerminkan keadaan yang sebenarbenarnya pada saat pembuatan akta”.3 Apabila suatu
akta merupakan akta otentik, maka akta tersebut akan mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para
pihak yang membuatnya yaitu :4
1. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian
tertentu;
2. sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah
menjadi tujuan dan keinginan para pihak;
3. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali jika
ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi
perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Berdasarkan sejarahnya, Notaris adalah seorang pejabat Negara/pejabat umum yang
dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum
kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik
dalam hal keperdataan. Pemerintah menghendaki notaris sebagai pejabat umum yang diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam membantu membuat perjanjian, membuat akta beserta
pengesahannya yang juga merupakan kewenangan notaris. Meskipun disebut sebagai pejabat
umum, namun notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan
3Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve,Jakarta,, hal.
166 4Salim HS, 2006, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,Jakarta, hal. 43
perundangundangan yang mengatur tentang Kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan
jabatan pemerintah, notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi memperoleh
gaji dari honorarium atau fee dari kliennya5.
Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari
pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pension dari
pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja notaris yang harus dilindungi tetapi juga para
konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa notaris. Notaris sebagai pejabat publik, dalam
pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian, dengan mengkategorikan notaris
sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik yang bermakna hukum.6Notaris sebagai pejabat
publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan
sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-
masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta
otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian7.
Seorang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki keterampilan
profesi di bidang hukum juga harus dilandasi dengan tanggungjawab dan moral yang tinggi serta
pelaksanaan terhadap tugas jabatannya maupun nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan
tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat. Notaris dalam
melaksanakan tugasnya secara profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur,
tidak berpihak dan penuh rasa tanggungjawab dan memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum (public).
5Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 16.
6Suhrawardi K. Lubis, 2006, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 34.
7Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai PejabatPublik, Refika
Aditama, Bandung, hal. 31.
Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang notaris harus berpegang teguh pada Kode
Etik Jabatan Notaris sebab tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang.
2.2. Kewenangan Notaris Untuk Membuat Grosse Akta Pengakuan Hutang
Notaris di Indonesia mempunyai fungsi melayani masyarakat umum dalam pembuatan
akta. Mereka dalam melaksanakan tugasnya bersifat pasif dalam artian menunggu masyarakat
datang ke mereka untuk kemudian dilayani. Oleh karena itu, Notaris dilarang memasang iklan
untuk popularitas jabatannya. Pada pihak lain, Notaris dalam menjalankan jabatannya wajib
netral dan tidak memihak (imparsial). Tidak seperti Advokat, seorang Notaris tidak dapat
membela salah satu kliennya karena Notaris berperan sebagai penengah dari permasalahan yang
dihadapi kliennya, bukan sebagai pembela atau pengambil keputusan.8
Sebagai pejabat umum yang memberikan pelayanan terhadap publik, Notaris merupakan
suatu profesi di bidang hukum yang dikaulifikasikan sebagai profesi mulia (nobile officium).
Profesi Notaris merupakan jabatan yang terhormat dan bermartabat dalam melayani masyarakat
akan suatu kepastian hukum. Dalam membuat suatu akta otentik, Notaris harus
mempertimbangkan dan menganalisa persoalan yang dihadapi dengan cepat, akurat, dan cermat,
sejak para pihak datang menghadap kepadanya dan mengemukakan keterangan-keterangan, baik
berupa syarat-syarat formil maupun administrasi yang menjadi dasar pembuatan akta sampai
dengan selesainya suatu akta otentik.
Sebagai pejabat umum maka Notaris bukanlah pejabat seperti pada umumnya pejabat-
pejabat Negara lainnya, walaupun jabatan Notaris merupakan jabatan yang diberikan oleh
8Ira Koeswati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, cet.1, Raih Asa Sukses, Depok, hal 27-28.
Negara namun seorang Notaris tidak mendapatkan gaji dari Negara. Dalam UU Jabatan Notaris,
mengenai kewenangan Notaris dapat dijumpai pada Pasal 15, berupa :
a. Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundangan dan/atau yang dikhendaki oleh yang
berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Mengesahkan tanda tangan dan menetapakan kepastian tanggal pembuatan surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi).
c. Legalisasi adalah tindakan mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian
tanggal surat dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh
para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup yang di tanda tangani di hadapan
notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris.
d. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
(waarmerking).
e. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
f. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir).
g. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
h. Membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan.
i. Membuat akta risalah lelang.
j. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta
akta yang telah di tanda tangan, dengan membuat berita acara (BA) dan memberikan
catatan tentang hal tersebut padaminuta akta asli yang menyebutkan tanggal dan
nomor BA pembetulan, dan salinan tersebut dikirimkan ke para pihak.
Sementara itu, pada Pasal 16 dijumpai kewajiban untuk dilakukan oleh Notaris, yakni sebagai
berikut :
(1). Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum;
(2). Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari
protokol notaris, dan notaris menjamin kebenarannya, kecuali untuk akta yang dibuat
dalam bentuk akta originali.
(3). Mengeluarkan grosse akta, salinan akta dan kutipan akta berdasarkan minuta akta;
(4). Wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada
alasan untuk menolaknya.
(5). Adapun yang dimaksud dengan alasan menolaknya adalah alasan:
1 Yang membuat notaris berpihak,
2 Yang membuat notaris mendapat keuntungan dari isi akta;
3 Notaris memiliki hubungan darah dengan para pihak;
4 Akta yang dimintakan para pihak melanggar asusila atau moral.
(6). Merahasiakan segala suatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan
yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah \ jabatan.
(7). Kewajiban merahasiakan yaitu merahasiakan segala suatu yang berhubungan
dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua
pihak yang terkait.
(8). Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 bulan menjadi 1 buku/bundel yang memuat
tidak lebih dari 50 akta, dan jika jumlahnya lebih maka dapat dijilid dalam buku
lainnya, mencatat jumlah minuta akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul
setiap buku;Hal ini dimaksudkan bahwa dokumen-dokumen resmi bersifat otentik
tersebut memerlukan pengamanan baik terhadap aktanya sendiri maupun terhadap
isinya untuk mencegah penyalahgunaan secara tidak bertanggung jawab.
(9). Membuat daftar dan akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya
surat berharga;
(10). Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut uraian waktu
pembuatan akta setiap bulan dan mengirimkan daftar akta yang dimaksud atau daftar
akta nihil ke Daftar Pusat Wasiat Departemen Hukum Dan HAM paling lambat
tanggal 5 tiap bulannya dan melaporkan ke majelis pengawas daerah selambat-
lambatnya tanggal 15 tiap bulannya;
(11). Mencatat dalam repotrorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir
bulan;
(12). Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan
pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan
yang bersangkutan;
(13). Membacakan akta di hadapan pengahadap dengan dihadiri minimal 2 orang saksi
dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh para penghadap, notaris dan para saksi;
(14). Menerima magang calon notaris.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimak bahwa Notaris berwenang untuk membuat akta otentik
hanya apabila hal tersebut dikehendaki atau diminta oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Jadi
kewenangan Notaris hanya terbatas pada pembuatan akta-akta dibidang hukum perdata saja.
Menurut Sudikno Mertokusumo,9 akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tandatangan
yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian. Pembuktian merupakan salah satulangkah dalam proses
perkara perdata. Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau penyangkalan dari pihak
lawan atau untuk membenarkan sesuatu hak yang menjadi sengketa.
Menurut Subekti,10
akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk
membuktikan sesuatu hal peristiwa, karenanya suatu akta harus ditandatangani. Ketentuan Pasal
1 angka 7 UUJN menyatakan bahwa akta notaris adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan
notaris menurut bentuk dan tata cara tang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Dari beberapa pengertian mengenai Akta yang penulis kutip tersebut diatas, jelaslah
bahwa tidak semua dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi
beberapa syarat tertentu saja yang disebut Akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu
akta disebut bukti adalah :
1. Surat itu harus ditandatangani.
Keharusan ditanda tangani sesuatu surat untuk dapat disebut akta ditentukan dalam Pasal
1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tujuan dari keharusan ditanda tangani itu untuk
memberikan ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta yang satu dengan akta yang
lainnya, sebab tanda tangan dari setiap orang mempunyai cirri tersendiri yang berbeda dengan
9Sudikno Mertokusumo, 1981, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 149
10Subekti, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermesa, Cetakan ke XVIII, Jakarta, hal.178
tanda tangan orang lain. Dan dengan penanda tangannya itu sesesorang dianggap menjamin
tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Jadi untuk dapat digolongkan
sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak
cakapnya pegawai dimaksud di atas (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) atau
karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun
demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para
pihak.
Keharusan adanya tandatangan bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta
yang lainnya atau akta yang dibuat oleh orang lain, jadi fungsi tandatangan tidak lain adalah
untuk memberikan ciri sebuah akta atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi
dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut dan dengan penandatanganan
itu seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta itu. Yang
dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda
tangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup,
nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri.
Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari
atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang
notaris atau pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal
orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta
itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di
hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking.
2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan.
Suatu surat harus berisikan suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan,
dan peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu haruslah merupakan peristiwa hukum yang
menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan.
3. Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti.
Surat pada dasarnya memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Menurut
ketentuan aturan Bea Materai Tahun 1921 dalam Pasal 23 ditentukan antara lain bahwa semua
tanda yang ditanda tangani yang diperbuat sebagai buktinya perbuatan kenyataan atau keadaan
yang bersifat hukum perdata dikenakan bea materai tetap sebesar Rp.25,-. Oleh karena itu
sesuatu surat yang akan dijadikan alat pembuktian di pengadilan harus ditempeli bea materai
secukupnya (sekarang sebesar Rp.6.000,-).
Pasal 224 HIR/258 RBg. Mengenal 2 (dua) bentuk grosse akta, yaitu grosse akta
pengakuan hutang dan grosse akta hipotik. Masing-masing grosse tersebut haruslah murni dan
berdiri sendiri menurut hukum sendiri-sendiri pula dan padanya melekat kekuatan hukum
eksekusi. Antara kedua bentuk dimaksud tidak boleh dicampuradukan atau saling tumpang tindih
dalam satu obyek hutang yang sama. Yang diperkenankan oleh hukum ialah memilih salah satu
di antara dua bentuk itu. Para pihak yang mengadakan perjanjian kredit boleh memilih bentuk
hipotik atau grosse akta pengakuan hutang. Jika sudah jatuh pilihan pada bentuk grosse akta
pengakuan hutang, perjanjian kredit yang bersangkutan seharusnya tidak lagi diikuti dengan
bentuk perjanjian hipotik. Sebaliknya, kalau bentuknya telah dipilih hipotik, seharusnya tidak
perlu lagi membuat grosse akta pengakuan hutang.
Mengenai dokumen yang diperlukan grosse akta sebagai dokumen yang mendukung
keabsahannya tidak terlepas hubungannya dengan jenis perikatan grosse akta itu sendiri. Oleh
karena itu, untuk memahami kejelasan dan rincian dokumen yang diperlukan grosse akta,
tergantung pada jenis ikatan grosse akta yang dipilih oleh pihak debitur dan kreditur.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan dimuka bahwa Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg mengenal dua
bentuk grosse akta, yaitu grosse akta pengakuan hutang (Notarieele schuldbrieven) dan grosse
akta hipotik (grosse van akte van hypotheek).
Pasal 1 angka 11 UUJN grosse akta adalah salah salah satu salinan akta pengakuan utang
dengan kepala akta “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” yang mempunyai
kekuatan eksekutorial. Jadi merupakan salinan akta yang dibuat notaris atas permintaan kreditor
setelah debitor wanprestasi atas prestasi yang disanggupinya dalam perjanjian yang dibuatnya,
Praktik pemberian kredit pada lembaga perbankan sering diikat dengan suatu jaminan pokok dan
jaminan tambahan, yang kadang diformulasikan dalam bentuk akta pengakuan hutang baik
dalam bentuk akta otentik (notaril) maupun dalam bentuk akta di bawah tangan. Kedua bentuk
akta pengakuan hutang baik pengakuan hutang dalam bentuk akta dibawah tangan maupun
dalam bentuk akta notaril merupakan akta pengakuan hutang sepihak. Artinya pengakuan hutang
tersebut dibuat oleh pihak debitur sebagai pihak berhutang yang didalamnya mengadung janji-
janji manakala debitur lalai melaksanakan prestasi yang diperjanjikan, maka kreditor dapat
melaksanakan eksekusi terhadap benda yang secara khusus disebutkan dalam akta tersebut.
Terhadap akta pengakuan hutang yang dibuat debitor dihadapan seorang notaris, maka
kekuatan hukumnya adalah sempurna dalam arti mempunyai kekuatan sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrack van gewisjde). Hal ini
sebagaimana dinyatakan pasal 55 ayat (3) UUJN dinyatakan bahwa; grosse akta sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) pada bagian kepala akta memuat frasa “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pada bagian akhir atau penutup akta memuat frasa “diberikan
sebagai grosse pertama” dengan menyebutkan nama orang yang memintanya dan untuk siapa
grosse dikeluarkan dan tanggal pengeluarannya.Grosse akta bukanlah perjanjian atau perikatan
pokok asli. Perjanjian pokok aslinya adalah perjanjian hutang/kredit itulah sebabnya untuk
mewujudkan lahirnya ikatan grosse akta dari perjanjian pokok, diperlukan tindakan hukum
tambahan. Dengan perkataan lain untuk mewujudkan ikatan grosse akta diperlukan lagi tindakan
lain berupa persetujuan atau mendampingi perjanjian pokok.
Kekuatan Pembuktian dari Grosse Akta dalam Pasal 302 RBg berbunyi selengkapnya
sebagai berikut : Apabila titel yang asli tidak adalagi maka saiinan-salinannya mempunyai
kekuatan bukti dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diuraikan di bawahini :
1) Grosse-grosse dan salinan-salinan pertama mengandung kekuatan bukti yang setaraf dengan
aktanya yang ash, hal yang serupa berlaku juga tentang salinan-salinan yang diperbuat atas
perintah hakim di hadapan pihak-pihak yang berperkara atau setelah pihak-pihak itu dengan
sempurna telah dipanggil untuk ikut menghadirinya, begitu juga tentang salinan-salinan yang
diperbuat di hadapan dan dengan persetujuan masing masing pihak yang berperkara (Rv
856).
2) Salinan-salinan yang tanpa perantaraannya hakim atau di luar persetujuannya pihak pihak
yang bersangkutan dan setelah grosse-grosse dan salinan-salinan pertama dikeluarkan,
kemudian diperbuat oleh notaris sesuai dengan minuta dari akta yang dilangsungkan di
hadapannya atau oleh pejabat-pejabat pemerintah yang dalam jabatan mereka dan selalu
menyimpan minuta-minuta tersebut berhak mengeluarkan salinan-salinannya, dapat diterima
oleh hakim sebagai suatu bukti penuh apabila akta yang asli telah hilang.
3) Apabila salinan-salinan yang disalin sesuai dengan minutanya, tidak diperbuat oleh notaris di
hadapan siapa akta itu telah dilangsungkan atau oleh salah satu penggantinya atau oleh
pejabat-pejabat umum yang dalam kedudukannya itu juga penyimpan akta-akta tersebut,
maka salinan-salinan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti dengan surat.
4) Salinan-salinan autentik dari salinan-salinan autentik atau dari akta-akta di bawah tangan
dapat dalam keadaan keadaan tertentu mengandung suatu permulaan pembuktian dengan
surat (BW. 1889, 1902).
Dari bunyi ketentuan di atas jelaslah bahwa grosse itu kendatipun sedikit berbeda dengan aslinya
sebab pada aslinya maupun minutanya tiada dijumpai kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa" yang terdapat pada grosse itu mempunyai kekuatan pembuktian
yang sama dengan akta aslinya. Karena grosse akta itu mempunyai kekuatan pembuktian yang
sama dengan akta aslinya, maka grosse akta itu juga merupakan bukti sempurna bagi para pihak
dalam akta itu dan para ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBg.
Grosse akte merupakan ikatan lanjutan yang lahir dari perjanjian pokok dan Grosse akta
itu harus memuat di atasnya kata-kata: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa" dan di bagian bawahnya harus dicantumkan kata-kata : "diberikan sebagai grosse pertama,
dengan rnenyebutkan nama dari orang yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal
pemberiannya". Maksud dan tujuan dari keharusan adanya kepala grosse akta, dan kata-kata
penutup yang demikian itu adalah untuk memberikan kekuatan eksekutorial dari grosseakta itu,
yang berarti untuk memenuhi bentuk eksekutorial dari grosse akta sehingga dapat dilakukan
eksekusi tanpa melalui proses perkara di depan pengadilan, sebab grosse akta itu disamakan
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, artinya terdapat kekurangan pada bagian
atas atau bagian bawah dari grosse itu maka dalam hal itu grosse tersebut tidak dapat
dipergunakan untuk eksekusi. Hanya dengan grosse yang dibuat dengan memenuhi syaratsyarat
bentuk eksekutorial dapat dilakukan eksekusi tanpa perantaraan hakim. Notaris bukan hanya
berwenang melainkan juga wajib untuk memberikan grosse dari minuta-minuta akta yang
disimpannya, kewajiban mana adalah merupakan kewajiban jabatan sehingga menimbulkan
pertanyaan, apakah seluruh grosse akta yang dibuat oleh notaris itu mempunyai kekuatan
eksekutorial dalam arti dapat dieksekusi tanpa melalui proses perkara di depan hakim.
Peraturan Jabatan Notaris tidak dapat memberi jawaban, sehingga untuk mencari
jawabannya berdasarkan peraturan hukum, kita harus melihat peraturan hukum positif di luar
P.J.N. Pasal 258 RBg yang bersamaan isinya dengan Pasal 224 HIR dapat memberi jawaban
atas pertanyaan tersebut. Pasal 258 RBg berbunyi sebagai berikut :
1) Grosse-grosse dari akta-akta hipotek dan dari surat-surat hutang materiil yang berkepala
kata-kata : "Atas Nama Sri Baginda Maharaja" mempunyai kekuatan hukum sama
dengan keputusan-keputusan hukum.
2) Terhadap pelaksanaannya apabila tidak dipenuhi secara rela, berlaku peraturan dari
bagian ini akantetapi dengan pengertian bahwa penyanderaan itu diizinkan dalam suatu
keputusan hukum.
Kata-kata "Atas Nama Sri Baginda Maharja" pada ayat 1 tersebut di atas harus dibaca "Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang No.
14 Tahun 1970.
Pasal 224 HIR berbunyi sebagai berikut : Surat asli dari surat hipotek dan surat utang,
yang diperbuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan "Atas
Nama Undang-Undang" berkekuatan sama dengan putusan hakim, jika surat yang demikian itu
tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjaiankannya dilangsungkan dengan perintah
dan pimpian ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berutang itu
diam atau tinggal atau memilih tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan pada pasal-pasal
di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan itu hanya dapat
dilakukan, jika sudah diizinkan dengan putusan hakim. Jika hal menjalankan putusan itu harus
dijalankan sama sekali atau sebagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya
memerintahkan menjatankan itu, maka peraturan-peraturan pada Pasal 195 ayat (2) dan yang
berikutnya dituruti.
Akta pengakuan hutang merupakan suatu akta yang dibuat dalam bentuk notariil, dimana
akta tersebut hanya memuat pengakuan hutang seseorang, berikut dengan jumlah hutang, suku
bunga, jangka waktu, tempat pembayaran, hal-hal yang dapat menyebabkan hutang dapat
ditagih atau dibayar seketika (opeisbaarheid), jaminan dan tidak disertai dengan persyaratan-
persyaratan lain terlebih apabila persyaratan tersebut berbentuk perjanjian.
Salinan atau turunan dari akta pengakuan hutang disebut juga sebagai grosse akta
pengakuan hutang. Notaris dapat memberikan grosse akta pengakuan hutang kepada pihak yang
berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang-orang yang memperoleh hak kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Empat syarat agar grosse akta mempunyai kekuatan
eksekutorial, yaitu :
1. Grosse akta tersebut harus berkepala “Demi Ketuhanan Yang Maha Esa”;
2. Di bawah grosse akta harus dicantumkan kata-kata “Diberikan sebagai grosse
pertama”;
3. Dicantumkan pula nama orang yang meminta diberikan grosse akta;
4. Dicantumkan pula tanggal pemberian grosse akta
Walaupun grosse akta mempunyai kekuatan sama dengan putusan hakim pengadilan, namun hal
tersebut tidak serupa dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga
adanya bantahan terhadap eksekusinya dapat tunduk kepada putusan hakim. Dengan demikian,
akta pengakuan hutang dan beserta penyerahan grosse akta bersangkutan menjadi kewenangan
dari seorang Notaris.
2.3. Kemanfaatan dan Urgensi Grosse Akta Pengakuan Hutang
2.3.1. Pengertian Grosse Akta
Grosse akta dengan persoalan eksekusi atas grosse akta yang diatur Pasal 224 HIR/258
RBg telah menjadi topik yang aktual. Luasnya frekuensi dan intensitas perjanjian pinjaman uang
dalam lalu lintas dunia bisnis dan industri pada 15 tahun terakhir ini telah menyeret Pasal 224
HIR ke kancah arena perputaran hubungan dunia keuangan dan perbankan.
Badan penyedia modal seperti perbankan pun masih dapat dihitung dengan jari karena
pembangunan dan kegiatan dunia bisnis pada saat itu, masih dalam tahap konvensional dan
belum menuntut pendanaan modal menengah dan besar. Dari segi pengamatan praktek hukum,
urgensi dan relevansi Pasal 224 HIR berkaitan erat dengan dunia bisnis dan industri, tetapi juga
sekaligus tidak lepas kaitannya dengan fluktuasi kehidupan perekonomian itu sendiri. Sesuai
dengan dinamika pada masa sebelum digalakan usaha pembangunan, Pasal 224 HIR boleh
dikatakan merupakan rumusan yang diam dan tertidur. Pasal itu jarang tersentuh dan berperan
dalam karpet peradilan.
Praktek grosse akta ini sangat urgent dan relevan serta erat hungungannya dengan dunia
bisnis dan industri apalagi dalam kehidupan perekonimian stabil atau menanjak. Pasal 224 HIR
tidak banyak menimbulkan masalah, karena ikatan perkreditan yang dituangkan dalam grosse
akta jarang sekali berakhir dengan tindakan eksekusi penjualan lelang atau eksekution
berdasarkan Pasal 224 HIR, karena perjanjian krediturnya dihutangkan dalam bentuk grosse
akta. Jadi dilihat dari segi praktek hukum, jelaslah bahwa, demikian pula grosse akta erat
kaitannya dengan fluktuasi kehidupan perekonomian. Melihat grosse akta diatas, maka perlu
diberikan suatu pembahasan, sehingga dapat dipahami sesuai dengan ketentuan praktek sehari
hari terlebih-lebih dalam praktek lalu lintas hukum yang semakin pesat dan kompleks dewasa ini.
Grosse akta adalah salah satu akta notaris yang mempunyai sifat dan karakteristik yang
khusus, yang juga semakin banyak dibutuhkan dalam praktek sehari-hari. Grosse akta ini
berbeda dengan akta-akta notaris lain, sebab disamping sebagai alat bukti yang sempurna bagi
para pihak, juga memiliki kekuatan eksekutorial.11
Menurut Pasal 1 angka 11 UUJN, grosse akta
adalah salah salah satu salinan akta pengakuan utang dengan kepala akta “demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Jadi
merupakan salinan akta yang dibuat notaris atas permintaan kreditor setelah debitor wanprestasi
atas prestasi yang disanggupinya dalam perjanjian yang dibuatnya.Praktik pemberian kredit pada
lembaga perbankan sering diikat dengan suatu jaminan pokok dan jaminan tambahan, yang
kadang diformulasikan dalam bentuk akta pengakuan hutang baik dalam bentuk akta otentik
(notaril) maupun dalam bentuk akta di bawah tangan. Kedua bentuk akta pengakuan hutang baik
pengakuan hutang dalam bentuk akta dibawah tangan maupun dalam bentuk akta notaril
merupakan akta pengakuan hutang sepihak. Artinya pengakuan hutang tersebut dibuat oleh pihak
debitur sebagai pihak berhutang yang didalamnya mengadung janji-janji manakala debitur lalai
melaksanakan prestasi yang diperjanjikan, maka kreditor dapat melaksanakan eksekusi terhadap
benda yang secara khusus disebutkan dalam akta tersebut.
Dokumen yang diperlukan grosse akta sebagai dokumen yang mendukung keabsahannya
tidak terlepas hubungannya dengan jenis perikatan grosse akta itu sendiri. Oleh karena itu, untuk
memahami kejelasan dan rincian dokumen yang diperlukan grosse akta, tergantung pada jenis
11
Situmorang V.M & Sitanggang Cormentyna,Op.Cit., hal. 3.
ikatan grosse akta yang dipilih oleh pihak debitur dan kreditur. Sebagaimana yang sudah
dijelaskan dimuka bahwa Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg mengenal dua bentuk grosse akta, yaitu
grosse akta pengakuan hutang (Notarieele schuldbrieven) dan grosse akta hipotik (grosse van
akte van hypotheek).
Masing-masing grosse tersebut haruslah murni dan berdiri sendiri menurut hukum sendiri-
sendiri pula dan padanya melekat kekuatan hukum eksekusi. Antara kedua bentuk dimaksud
tidak boleh dicampuradukan atau saling tumpang tindih dalam satu obyek hutang yang sama.
Adapun yang diperkenankan oleh hukum ialah memilih salah satu di antara dua bentuk itu. Para
pihak yang mengadakan perjanjian kredit boleh memilih bentuk hipotik atau grosse akta
pengakuan hutang. Jika sudah jatuh pilihan pada bentuk grosse akta pengakuan hutang,
perjanjian kredit yang bersangkutan seharusnya tidak lagi diikuti dengan bentuk perjanjian
hipotik. Sebaliknya, kalau bentuknya telah dipilih hipotik, seharusnya tidak perlu lagi membuat
grosse akta pengakuan hutang.
2.3.2 Grosse akta Pengakuan Hutang
Grosse adalah salinan atau (secara pengecualian) kutipan, dengan memuat di atasnya (di
atas judul akta) kata-kata “Demi Keadilan Bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan
dibawahnya dicantumkan kata-kata “Diberikan sebagai grosse pertama “, dengan menyebutkan
nama dari orang yang atas permintaan grosse itu di berikan dan tanggal pemberiannya.12
Apabila
syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, artinya terdapat kelemahan pada bagian atas atau bagian
bawah dari grosse itu, maka dalam hal itu grosse tersebut tidak dapat di pergunakan untuk
eksekusi. Hanya dengan grosse yang di buat dengan memenuhi syarat-syarat bentuk eksekutorial
dapat di lakukan eksekusi tanpa perantaraan Hakim.
12
G.H. S. Lumban Tobing,1980,Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta,hal. 228.
Keharusan untuk mencantumkan perkataan “pertama” dan memberitahukan nama dari
yang berkepentingan, kepada siapa grosse itu diberikan, adalah perlu untuk mencegah
kemungkinan diberikannya lebih dari satu grosse kepada orang yang sama, mengingat ketentuan
dalam pasal 42 PJN jo. Pasal 856 Kitab Undang-undang Acara perdata yang lama/sebelum
HIR/RBg yang menentukan bahwa pemberian grosse akta hanya dapat terjadi berdasarkan
ketetapan Hakim.
Menurut G.H.S. Lumban Tobing13
bahwa Undang-undang memang tidak mewajibkan
pemberitahuan tanggal grosse diberikan, namun sangat dianjurkan agar ada bahan perbandingan
dengan catatan yang harus diadakan mengenai pemberian grosse di atas minuta yang
bersangkutan berdasarkan ketentuan Pasal 38 PJN. Kepada setiap orang yang langsung
berkepentingan, para ahli waris atau penerima haknya dapat diberikan satu grosse dari akta. Oleh
karena itulah di bawah grosse harus diberitahukan atas permintaan siapa itu diberikan.sedangkan
Pasal 38 terakhir PJN menentukan, bahwa pada pemberian suatu grosse pertama harus
dicantumkan oleh Notaris di atas minuta yang bersangkutan nama dari orang, atas permintaan
siapa itu diberikan, dengan ancaman denda Rp 100,- sampai Rp 200,-.
Undang-undang juga tidak mewajibkan pemberitahuan kepada siapa grosse itu diberikan,
hanya mengharuskan pemberitahuan nama dari orang, atas permintaan siapa itu diberikan. Di
dalam praktek sering terjadi, bahwa permintaan dan penerimaan grosse akta dilakukan atas yang
berkepentingan melalui kuasa (misalnya pengacara). Adalah suatu kebiasaan yang baik, bahwa
di dalam praktek para Notaris di dalam hal demikian, juga mencantumkan di bawah grosse mana
dari orang kepada siapa grosse itu diberikan, disamping pemberitahuan nama dari orang, atas
permitaan siapa grosse itu diberikan.
13
Ibid., hal. 229
Kepada para ahli waris bersama atau para penerima hak bersama dari ”orang yang
langsung berkepentingan” dapat diberikan hanya satu grosse pertama, sepanjang grosse pertama
belum diberikan kepada “orang yang langsung berkepentingan “itu, setiap orang yang langsung
berkepentingan dapat tanpa formalitas khusus memperoleh satu grosse dan tidak boleh lebih dari
satu grosse. Apabila terdapat hanya seorang penerima hak maka hanya kepadanya dapat
diberikan grosse pertama.
Pihak yang menghendaki grosse kedua dan seterusnya mengajukan permohonan untuk itu
kepada pengadilan Negeri, di dalam daerah hukum siapa penyimpan minuta akta yang
bersangkutan berkedudukan, yang akan mengeluarkan surat perintah (ketetapan) kepada
penyimpan minuta itu untuk memberikan grosse kedua kepada yang berkepentingan pada hari
dan jam yang ditentukan dalam surat perintah itu. Di bawah grosse kedua itu harus diberitahukan
mengenai surat perintah itu dan juga untuk jumlah berapa itu dapat di laksanakan, apabila
sebagian dari tagihan itu telah dilunasi atau dibebaskan.
2.3.3 Ciri-ciri Grosse Akta Pengkuan Hutang
Pasal 224 HIR/258 RBg mengenal 2 (dua) bentuk grosse akta, yaitu grosse akta
pengakuan hutang dan grosse akta hipotik. Masing-masing grosse tersebut haruslah murni dan
berdiri sendiri menurut hukum sendiri-sendiri pula dan padanya melekat kekuatan hukum
eksekusi. Seandainya suatu perjanjian hutang telah diikat dengan bentuk grosse akta pengakuan
hutang dan bentuk ini oleh para pihak (kreditur) kurang menjamin kepentingan, para pihak dapat
mengubahnya dengan bentuk grosse akta hipotik. Agar perubahan itu tetap dapat menjamin
kemurniannya, maka harus berupa “pembaharuan” perjanjian. Pembaharuan mana harus
menyebut secara tegas pembaharuan perjanjian, secara tegas membatalkan ikatan grosse akta
pengakuan hutang dan mengalihkannya berupa pembaharuan ikatan grosse akta hipotik.
Kalau cara ini tidak ditempuh akan tetapi langsung dibuat bentuk ikatan grosse akta
pengakuan hutang yang telah diterbitkan lebih dahulu, menurut hukum diangkap terdapat
kekacauan bentuk ikatan yang saling tumpang tindih. Begitu pula sebaliknya kalau bentuk ikatan
grosse akta hipotik akan diubah menjadi grosse akta pengakuan hutang, harus melalui
pembaharuan perjanjian yang menegaskan pembatalan ikatan grosse akta hipotik dan dari
pembatalan grosse akta pengakuan hutang. Perikatan grosse akta pengakuan hutang seperti
dijelaskan dimuka,lebih sederhana bentuk dan tata cara pembuatannya, jika dibandingkan dengan
grosse akta hipotik, dengan demikian syarat dokumen yang mendukung grosse akta pengakuan
hutang lebih sedikit atau lebih minim dari syarat (dokumen) grosse akta hipotik.
Ikatan grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik merupakan pendamping yang
melekat pada perjanjian pokok. Itulah sebab,ditinjau dari segi yuridis, ikatan grosse akta
merupakan perjanjian “tambahan” yang bertujuan untuk memperkokoh perlindungan hukum
terhadap pihak kreditur. Artinya terhadap perjanjian pokok utang piutang semula, pihak debitur
rela mengikatkan diri kepada pihak kreditur dengan ikatan tambahan, yaitu pihak debitu
memberi barang/benda sebagai jaminan khusus kepada kreditur dan sifat ikatan tambahan
pemberan barang jaminan tersebut memberi hak kepada pihak kreditur bahwa barang jaminan
dapat langsung dimintakan eksekusinya tanpa melalui proses gugatan biasa apabila pihak debitur
melakukan wanprestasi.
Pendapat ini menekankan bahwa karakteristik grosse akta, yang merupakan perikatan
tambahan atau Bijkomende Verbintenis atau dalam istilah hukum Inggris disebut Addition
Contract. Tidak mungkit terjadi perikatan grosse akta tanpa didahului oleh perjanjian pokok
berupa perjanjian hutang/kredit. Eksistensi grosse akta berumber dari perjanjian hutang/kredit
yag mendahuluinya. Tidak mungkin lahir perikatan grosse akta tanpa dilahirkan lebih dahulu
perjanjian hutang. Perjanjian hutang inilah yang disebut perjanjian “pokok”. Jika pihak debitur
dan kreditur setuju, agar pihak kreditur diberi hak yang bersifat executoriale kracht terhadap
barang jaminan hutang tanpa melalui proses akta. Dengan perikatan tambahan yang berbentuk
grosse akta dimaksud, bartambah kuatlah perlindungan yang diberikan hukum kepada pihak
kreditur, berupa hak yang bersifat excutoriale kracht sebagaimana yang ditegaskan oleh Pasal
224 HIR, yakni ikatan grosse akta tersebut :
a. Sama nilai kekuatannya dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap (inkracht van gewijsde); dan
b. Pada saat debitur lelai memenuhi pembayaran yang ditentukan, maka ikatan grosse akta
dengan sendirinya menurut hukum (van rechtswege) telah mengandung kekuatan hukum
eksekusi, dengan jalan mengajukan permintaa eksekusi penjualan lelang kepada
pengadilan tanpa melalui gugatan.
Grosse akta bukanlah perjanjian atau perikatan pokok asli. Perjanjian pokok aslinya adalah
perjanjian hutang/kredit.n itulah sebabnya untuk mewujudkan lahirnya ikatan grosse akta dri
perjanjian pokok, diperluakan tindakan hukum tambahan. Dengan perkataan lain untuk
mewujudkan ikatan grosse akta diperlukan lagi tindakan lain berupa persetujuan atau
mendampingi perjanian pokok. Tindakan ikatan tambahan ini merupakan syarat formal
keabsahan grosse akta. Agar syarat formal ikatan tambahan memenuhi syarat formalitas, ikatan
tambahan tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis berupa akta Notaris atau akta PPAT.
Untuk mengetahui apakah benar telah ada perikatan grosse akta antara debitur dengan kreditur
sesuai dengan kebutuhan Pasal 224 HIR, dapat ditelusuri dari dokumen perjanjian. Jika
perjanjian dokumen tambahan yang melampiri perjanjian pokok benar ada, dan keadaannya telah
memenuhi ketentuan undang-undang atau peraturan, barulah perikatan grosse akta dianggap sah
secara formal.
2.4. Doktrin Grosse Akta Pengakuan Hutang
Pada umumnya, karena tidak semua grosse akta didahului dengan perjanjian pokok,
sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Pernyataan pengakuan hutang itu dituangkan dalam akta
bentuk akta notaris. Dengan demikian sahnya grosse akta pengakuan hutang itu. Pada grosse akta
pengakuan hutang itu dengan sendirinya telah melekat kekuatan hukum eksekusi atau absolute
force for execution. Tata cara pembuatan dokumen akta pengakuan hutang, haruslah bersumber
pada ketentuan perundang-undangan antara lain Pasal 224 HIR/258 RBg, dan lain-lain.
Berdasarkan sumber tersebut tata cara pokok dan bentuk pembuatan dokumen grosse akta
pengakuan hutang adalah sebagai berikur :
a. Harus Berbentuk Pengakuan Sepihak
Sesuai dengan nama grosse akta pengakuan hutang, maka penafsiran dan penerapn yang
tepat akan maksud akta yang demikian tiada lain dari pada penyataan sepihak dari debitur bahwa
ia benar-benar mengaku berhutang kepada pihak kreditur. Pengakuan mana nilainya/kekuatan
mengikatnya adalah sempurna sebagaimana telah disinggung di muka.
Bila demikian, sangatlah keliru jika dalam praktek dan penerapan akta pengakuan hutang
sebagai grosse akta berisi bukan pernyataan sepihak dari debitur. Hal ini sering dijumpai dalam
praktek. Akibatnya disebut dan dibuat Notaris berkepala grosse akta pengakuan hutang, akan
tetapi isi dan rumusannya tiada lain daripada persetujuan bersama antara pihak debitur dengan
pihak kreditur. Akta yang demikian jelas mengandung cacat sebagai grosse akta pengkuan
hutang, karena bentuk ikatannya masih bersifat perjanjian atau persyaratan secara partai antara
debitur dan kreditur. Di samping itu isinya pun tidaklah murni pernyataan pengakuan dari pihak
debitur, tetapimasih memuat syarat-syarat perjanjian.
b. Harus Dibuat dengan Akta Notaris
Di dalam ketentuan Pasal 224/HIR/258 RBg telah ditegaskan mengenai bentuk grosse
akta pengakuan hutang. Menurut penegasan pasal tersebut, grosse akta pengakuan hutang, harus
berbentuk akta notaris. Undang-undang tidak memperkenankan bentuk lain, kecuali bentuk akta
notaris. Ketentuan mengenai bentuk ini bersifat “wajib”. Secara formal harus dituangkan dalam
akta notaris. Grosse akta pengakuan hutang tidak boleh dibuat dalam bentuk akta di bawah
tangan. Sehubungan dengan keharusan grosse akta pengakuan hutang berbentuk akta notaris,
maka ada beberapa ketentuan pokok yang harus secara jelas an tegas terdapat di dalamnya,
yaitu :
1. Kepala akta notarisnya harus memuat kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat ini merupakan syarat yang harus ada. Tanpa
adanya rumusan kalimat tersebut pada bagian kepala akta, pengakuan hutang yang
disebut Pasal 224 HIR/Pasal 258/RBg.
2. Isi rumusan akta harus merupakan pernyataan pengakuan sepihak dari debitur. Pihak
debitur menghadap pejabat notaris, minta agar dibuatkan suatu akta yang berisi
pernyataan pengakuan hutangnya kepada pihak debitur. Pengakuan itulah yang
dirumuskan notaris dalam grosse akta pengakuan hutang.
c. Pernyataan pengakuan tersebut di atas biasa didasarkan pada perjanjian pokok dan dapat
juga tanpa perjanjian pokok. Dalam hal grosse akta yang dibuat dengan perjanjian pokok,
maka peryataan pengakuan harus tersurat secara jelas korelasi antara pejanjian pokok
dengan grosse akta pengakuan hutang. Misalnya, dapat berupa penegasan bahwa
pernyataan pengakuan hutang semula yang dibuat tangal sekian antara debitur dengan
kreditur. Maka atas dasar perjanjian hutang pokok dimaksud, debitur menyatakan
pengakuannya. Penegasan korelasi antara perjanjian pokok dengan akta pengakuan hutang
harus terbaca secara jelas dan tegas dalam grosse aktanya, guna memenuhi syarat grosse
akta pengakuan hutang sebagai perikatan yang bersifat assessor.
Timbul pertanyaan lebih lanjut bilamana perjanjian pokoknya berbentuk lisan. Terhadap
hal ini tidak ada masalah, jika bentuk perjanjian pokok berbentuk lisan, maka perjanjian lisan itu
dikonstruksi sebagai syarat pertama (perjanjian pokok). Cara menghubungkan antara perjanjian
pokok lisan dengan grosse akta pengakuan hutang berupa penegasan dalam akta notaris, bahwa
pengakuan hutang tersebut didasarkan atas pernjanjian lisan yang dibuat antara debitur dengan
kreditur. Dengan cara penegasan korelasi yang demikian, maka sudah cukup memeadai memberi
dukungan hukum terhadap kelahiran dan eksistensi grosse akta pengakuan hutang bersangkutan.
Bentuk grosse akta yang diatur didalam Pasal 224 HIR RBg, terdiri dari grosse akta
pengakuan hutang dang rose akta hipotik. Antara grosse akta pengakuan hutang dengan grosse
akta hipotik tidak boleh saling berkaitan. Masing-masing berdiri sendiri dan tidak boleh
dicampur adukkan dalam grosse akta pengakuan hutang harus murni berdiri sendiri, agar sah
sebagai grosse akta (Sertifikat) hipotik, harus murni dan bersih dari pengaruh grosse akta
pengakuan hutang. Apabila tidak murni sifatnya akan mengakibatkan grosse akta yang
bersangkuta mengandung cacat yuridis. Terhadap grosse akta yang tidak murni, pihak Pengadilan
Negeri dapat menilainya :
a. Sebagai grosse akta yang mengandung cacat yuridis;
b. Sebagai grosse akta yang tidak dapat dieksekusi dan;
c. Pemenuhan pembayarannya hanya dapat dimintakan kreditur melalui gugatan biasa.
Grosse akta yang dimaksud Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg hanya satu bentuk grosse akta
saja, bukan dua bentuk. Sedangkan perkataan surat hutang yang terdapat di situ bukan bentuk
grosse akta, tetapi surat pengakuan hutang yang berkaitan dengan hipotik itu sendiri yang
berfungsi sebagai dokumen pelengkap hipotik yang penerbitannya mendahului akta hipotik.
Grosse akta pengakuan hutang yang didahului dengan perjanjian pokok, lazim disebut
dengan grosse akta yang bersifat assessor. Grosse aktaya merupakn perjanjian tambahan
(sampingan atau lanjutan) yang melekat pada perjanjian pokok. Untuk perjanjian pokok hutang
itulah, Undang-undang memberi kemungkinan untuk memberi kedudukan dan jaminan yang
kuat pada pihak kreditur tentang pembayaran pelunasan hutang oleh pihak debitur. Tanpa adanya
perjanjian pokok hutang piutang, tidak mungkin lahir perikatan grosse akta.
Penentuan sah atau tidaknya perikatan grosse akta, harus lebih dulu ditelusuri
keabsahannya perjanjian pokoknya. Pengadilan berwenang menilai, apakah perjanjian pokok
yang melahirkan perikatan grosse akta akta itu sah atau tidak. Misalnya, perjanjian pokoknya
tidak sah karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian pokok yang
demikian mengandung cacat yuridis yang mengakibatkan persetujuan dapat dibatalkan atau batal
demi hukum.Walaupun demikian harus pula diakui bahwa untuk dapat menilai sah atau tidaknya
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata merupakan pekerjaan yang sulit, terutama jika
dibuat secara lisan dan terhadap syarat subyektif dari Pasal tersebut, yang membutuhkan
permohonan pembatalan dari pihak yang bersangkutan atau yang berhak untuk itu. Lain halnya
terhadap syarat obyektif dari pasal tersebut atau tidak adanya persetujuan otentik dari suami, bila
isteri mengadakan perikatan hipotik atas harta kekayaan. Dalam hal yang demikian penilaiannya
adalah mudah dan tidak perlu lebih dulu adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan
ketidakabsahan perjanjian pokok.
Sehubungan dengan disadari bahwa sulitnya menilai keabsahan perjanjian pokok
berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata dari syarat subyektif, karena harus didahului dengan
putusan Pengadilan, sedangkan pihak kreditur mengajukan permintaan eksekusi atas grosse akta,
debitur mengajukan keberatan atas perjanjian pokoknya, maka Pengadilan berhak untuk
memerintahkan penundaan eksekusi, sampai adanya Putusan Pengadilan tentang sah atau
tidaknya perjanjian pokok tersebut. Dalam hal terjadi kasus yang demikian Pengadilan harus
menganjurkan pihak debitur mengajukan gugatan pembatalan perjanjian pokok untuk
memastikan sah atau tidaknya perjanjian pokok tersebut. Selama pemeriksaan perjanjin pokok ,
eksekusi grosse aktanya memang sebaiknya ditunda demi untuk menjaga kesulitan pemulihan
hanya dibelakang hari bila perjanjian pokok dinyatakan batal.
2.5. Akta Pengakuan Hutang dalam Perjanjian Kredit Bank
2.5.1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan overeenkomstdan dalam bahasa
Inggris diistilahkan dengan contract. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan “Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”. Rumusan Pasal 1313 KUH Perdata dapat diartikan bahwa suatu perjanjian
adalah merupakan suatu perbuatan antara dua orang atau lebih yang melahirkan perikatan dari
orang-orang yang berjanji tersebut. Sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van
Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah :
Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-
mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga
tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu :
1. tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,
2. tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,
3. dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.14
Munculnya hubungan hukum adalah dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian oleh dua orang
atau lebih tersebut, hal tersebut dinamakan perikatan. Dengan demikian Perikatan adalah
hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak dimana pihak yang satu berhak menuntut
suatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
tersebut karena adanya perjanjian.15
Dalam perjanjian kredit hubungan hukum tersebut akan
muncul apabila telah ditandatanganinya perjanjian kredit antara kreditur dan debitur yang telah
menyepakati terjadinya perjanjian tersebut.
Difinisi “perikatan” menurut doktrin (para ahli)adalah hubungan hukum dalam bidang
harta kekayaan diantara dua orang (atau lebih), dimana pihak yang satu (debitor) wajib
melakukan suatu prestasi , sedangkan pihak yang lain (kreditur) berhak atas prestasi itu.16
Menurut Salim H.S. mengatakan unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai
berikut :
1. Adanya perbuatan hukum
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang,
3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan,
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih,
5. Ppernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung satu sama
lain,
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum,
14
Salim H.S., 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kedelapan, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 26. 15
Sunu Widi Purwoko, 2011, Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan. Cetakan Pertama,
Nine Seasons Communication, Jakarta, hal. 1-2 16
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, Edisi I
cetakan ke-1, LaksBang Mediatama Yogyakarta, Surabaya, hal. 17.
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik,
dan
8. persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.17
2.5.2. Kredit Perbankan
Kegiatan usaha perbankan terus menerus selalu berhubungan dengan berbagai bentuk
resiko kerugian yang dikaitkan dengan kemungkinan kegagalan nasabah melakukan
kewajibannya atau resiko dimana tidak dapat melunasi hutangnya. Oleh karena itu, pelepasan
kredit oleh bank harus dilandasi oleh prinsip kehati-hatian, karena terdapat adanya tenggang
waktu antara pelepasan kredit dengan waktu pembayaran kembali oleh debitur. Prinsip kehati-
hatian ini juga didasari oleh adanya resiko sebagai salah satu unsur kredit.
Pelepasan kredit oleh bank juga didasari oleh unsur prestasi. Hal ini berarti bahwa setiap
kesepakatan terjadi antara bank dengan debiturnya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada
saat itu pula terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi. Keadaan ini mengandung pengertian
bahwa di salah satu pihak bank memiliki kewajiban untuk menyerahkan dana kredit kepada
nasabah (debitur) dan di lain pihak nasabah memiliki kewajiban untuk melunasi kredit beserta
bunganya ke pada bank berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.18
Kredit yang diberikan oleh bank juga harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang
sehat. Pelaksanaan asas-asas perkreditan yang sehat akan terlaksana apabila ditopang oleh sistem
perbankan yang sehat. Kebijakan moneter oleh pemerintah terhadap bank untuk mencapai
sasaran kestabilan perekonomian tidak akan efektif apabila tidak didukung oleh sistem
17
Salim H.S., Op. Cit, hal. 25. 18
. Imam Gozali, 2007, Manajemen Resiko Perbankan , Badan Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang, , hal. 12.
perbankan yang sehat.19
Dalam kaitan itu, Bank wajib melakukan analisis terhadap kemampuan
debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Bank dalam hal itu perlu membangun sikap
kehati-hatian dalam memeriksa reputasi dan kepastian hukum serta kapasitas financial dan mitra
berkontrak.20
Sementara itu, kata kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “credere” yang berarti
kepercayaan. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang Perbankan, bahwa Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Istilah yang biasanya digunakan dalam dunia perbankan untuk pemberi dana disebut
dengan kreditur, sedangkan pihak yang menerima dana kredit disebut debitur. Kredit tanpa
kepercayaan tidak mungkin dapat terjadi. Dalam dunia perdagangan, kepercayaan tidak dapat
diberikan atau diterima dalam bentuk uang, barang ataupun jasa. Sedangkan dalam dunia
perbankan, kepercayaan dapat diberikan atau diterima dalam bentuk uang dan jasa.Kreditur
mempercayai debitur dalam proses pemberikan kredit, dalam hal ini berbentuk uang ataupun
jasa. Kreditur memberikan kredit kepada debitur dengan harapan debitur dapat menggunakan
uang dan jasa tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam kegiatan usaha. Dengan demikian
kredit merupakan wujud pemberian prestasi oleh pihak kreditur kepada debitur dan wujud dari
kontraprestasinya berupa pengembalian kredit disertai bunga oleh debitur pada waktu yang telah
ditentukan.
19
Ricardo Simandjutak, 2006,Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT Gramedia, Jakarta, hal. 11. 20
Soedradjad Djiwandono, 2001, Bergulat dengan Krisisdan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 132.
Gatot Supramono menjelaskan bahwa kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam
uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur. Dalam hal perjanjian ini bank
sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabahnya dalam jangka waktu yang disepakatinya
akan dikembalikan (dibayar) lunas.21
Seorang bankir memberikan pinjaman kepada perorangan
atau perusahaan, banker’s tersebut membutuhkan penilaian kredit dalam bentuk analisis kredit
untuk membantu menentukan risiko yang ada atau yang mungkin terlibat dari pinjaman yang
diberikan. Anailis tersebut sangat penting untuk dapat digunakan sebagai :
a) Menentukan berbagai risiko yang akan dihadapi oleh bank dalam memberikan kredit
kepada seseorang atau badan hukum suatu usaha.
b) Mengantisipasi kemungkinan pelunasan kredit tersebut karena bank telah mengetahui
kemampuan pelunasan melalui analisis cashflow usaha debitur.
c) Mengetahui jenis kredit, jumlah kredit dan jangka waktu kredit yang dibutuhkan oleh
usaha debitur, sehingga bank dapat melakukan penyesuaian dengan struktur dan yang
dipersiapkan untuk digunakan.
d) Mengetahui kemampuan dan kemauan debitur untuk melunasi kreditnya, baik dari
sumber pelunasan primer maupun sekunder.
2.5.3. Klasifikasi Perjanjian Kredit Bank
Perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam UU Perbankan maupun KUH Perdata,
sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian terdahulu. Beberapa pakar hukum berpendapat
perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUH Perdata,
yang berbunyi:
Perjanjian pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yanglain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis
21
Gatot Supramono, 1997, Perbankan dan Masalah Kredit, Cetakan II, Djambatan, Jakarta, 1997, hal.52.
karenapemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian pinjam-meminjam ini terdapat persetujuan dengan mana pihak kreditur memberikan
kepada pihak debitur suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaiannya,
dengan syarat bahwa pihak debitur akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama kepada pihak yang memberikan pinjaman/ kreditur. Terjadinya perjanjian
kredit harus memenuhi kriteria sebagai berikut22
:
a) Terdapat kedua belah pihak serta ada persetujuan pinjammeminjam
antar kreditur dengan debitur.
b) Mempunyai jangka waktu tertentu.
c) Hak kreditur untuk menuntut dan memperoleh pembayaran serta
kewajiban debitur untuk membayar prestasi yang diterima.
Pengertian perjanjian kredit sebagian mirip dengan perjanjian pinjam-meminjam dalam
Pasal 1754 KUH Perdata dan sebagian lainnya tunduk pada peraturan dalam Perubahan Undang-
undang Perbankan. Jadi perjanjian kredit dapat dikatakan memiliki identitas sendiri. Dengan
mengacu pada undang-undang perbankan yang berlaku, sehingga dapat disimpulkan bahwa
perjanjian kredit sebagian masih dapat berdasarkan pada ketentuan KUH Perdata. Perjanjian
kredit perbankan, harus dilaksanakan secara tertulis yang berdasarkan pada ketentuan :
1) Instruksi Presiden Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang
Perkreditan tanggal 3 Oktober 1996 Juncto Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit
1 Nomor 2/649/UPK/Pemb, tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presiden Kabinet
Nomor 10/ EK / 2 / 1967, tanggal 6 Februari 1967 yang menyatakan bahwa dilarang
melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk apapun tanpa adanya perjanjian
22
Ibid., hal. 53.
kredit yang jelas antara bank dengan nasabah atau bank-bank sentral dengan bank-
bank lainnya.
2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 2/162/KEP/DIR dan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 27 / 7 / UPPB tertanggal 31 Maret 1993 tentang Kewajiban
Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum yang
menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati permohonan
kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.
Suatu perjanjian kredit terjadi berdasarkan asas kebebasan berkontrak diantara kedua belah pihak
yang memiliki kedudukan yang sama kuat atau seimbang. Kedua belah pihak berusaha untuk
mencapai kesepakatan yang dianggap perlu bagi terjadinya perjanjian itu melalui negosiasi
diantara mereka. Di sini unsur kesamaan kedudukan dan unsur keadilan suatu perjanjian terlihat
secara jelas.
2.5.4. Keberlakuan Perjanjian Kredit Perbankan
Setiap realisasi kredit yang dilakukan pihak bank selalu akan diawali dengan adanya
berbagai pertimbangan serta penelusuran secara nyata terhadap calon debitur tentang berbagai
data yang diperlukan terhadap debitur itu sendiri. Maksud dari penelusuran tentang identitas
debitur tersebut adalah untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadinya misalnya
tunggakan atau kredit bermasalah yang dapat mempengaruhitingkat kesehatan bank itu sendiri.
Dengan demikian, didalam perjanjian pinjam meminjam uang sangat dipentingkan adanya
jaminan kredit, karena secara umum pada saat perjanjian kredit atau pinjam meminjam uang
dilaksanakan maka jaminan kredit itu akan selalu dipersyaratkan. Tujuannya adalah untuk
memberikan keyakinan kepada kreditur bahwa uang yang dipinjam oleh debitur akan dapat
dikembalikan dengan baik oleh debitur. Apabila dikemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak
melunasi hutangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan dilakukan
pencairan (penjualan) atas obyek jaminan kredit yang bersangkutan.23
Pemberian kredit oleh pihak bank harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip yang
digunakan oleh bank dalam melakukan penilaian kredit kepada pihak debitur yang biasa disebut
dengan prinsp 5 C yang meliputi :
1. Character (watak) yaitu watak dari calon debitur merupakan hal yang sangat penting
diketahui oleh pihak bank (kreditur) sebelum memutuskan untuk memberikan kredit
kepada debitur. Dalam artian bahwa calon debitur memiliki reputasi yang baik dan
untuk melakukan pembayaran atau pelunasan atas utang-utangnya dan tidak terlibat
kriminalitas.
2. Capital ( Modal), Dalam hal ini bank harus meneliti modal dari calon debiturnya baik
mengenai besaran modalnya akan tetapi juga struktur modalnya. Hal ini dimaksudkan
untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitas berkaitan dengan pemberian
kredit baik jangka pendek maupun jangka panjang.
3. Capacity (Kemampuan), dalam hal ini bank harus mengetahui secara pasti akan
kemampuan calon debiturnya dengan melakukan analisis secara cermat dan
berkelanjutan untuk mengetahui tingkat kemajuan usahanya berkaitan dengan
kemampuan pembayaran atas utang-utangnya.
4. Condition of Economi (Kondisi Ekonomi), dalam hal ini kondisi ekonomi menjadi
perhatian khusus bagi pihak bank karena hal tersebut sangat berpengaruh besar baik
secara positif maupun negatif terhadap keberlangsungan usaha debitur.
23
M. Bahsan, 2010,Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Cetakan ke-3, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 103.
5. Collateral (Jaminan), dalam hal ini jaminan merupakan unsur yang sangat penting
yang harus diperhatikan oleh pihak bank (kreditur) hal ini berkaitan dengan
keamanan kredit yang akan diberikan kepada debitur. Jaminan yang diberikan oleh
debitur dalam keadaan tertentu dapat diambil alih, dijual atau dilelang oleh bank
setelah mendapat pengesahan dari pengadilan untuk melunasi utang-utang debitur.24
R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.”25
Menurut Salim HS, perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan
subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya
sesuai dengan yang telah disepakatinya.”26
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat
beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :
1. Adanya hubungan hukum Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan
akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
2. Adanya subjek hukum Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek
dalam hukum perjanjian termasuk subyek hukum yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata
mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia dan badan
hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya
manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson,
misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.
24
Johanes Ibrahim , Op Cit, hal. 17. 25
R. Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet.19, Jakarta: Intermasa, hal 1. 26
Salim MS, 2008, Hukum Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 27.
3. Adanya prestasi Prestasi menurut Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdiri atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat
sesuatu.
4. Di bidang harta kekayaan Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua
atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda
tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau
“Kontrak Dagang”.27
Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti,
Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain
yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan
ada perikatan yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari undangundang dapat
dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata)
dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu,
perikatan yang lahir dari undangundang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam
suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu
perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
27
Subekti, Op.Cit, hal.l.
top related