bab ii kerangka pemikiran sinkronisasi dan sistem ...lontar.ui.ac.id/file?file=digital/120074-t...
Post on 01-Dec-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Universitas Indonesia
15
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
SINKRONISASI DAN SISTEM PENEGAKAN HUKUM
2.1. Sinkronisasi Penegakan Hukum
Proses penegakan hukum serta proses peradilan pidana di Indonesia
dijalankan oleh sub sistem yang terdiri dari penyidikan ( Kepolisian dan PPNS ),
penuntutan ( kejaksaan ), pemeriksaan sidang pengadilan ( pengadilan ) dan
pemasyarakatan ( lembaga pemasyarakatan ). keempat komponen atau sub sistem
tersebut saling bekerja sama membentuk apa yang dikenal dengan nama “ integrated
criminal justice administration “11 Untuk membangun sistem hukum dalam rangka
modernisasi dan pembaharuan hukum di Indonesia menurut Indrianto Seno Adji,
ada tiga aspek pendekatan, yaitu pendekatan segi struktur ( structure ) pendekatan
substansi ( subtance ) dan pendekatan budaya hukum ( legal culture ) yang semuanya
berjalan secara integral simultan dan paralel.12 Berkaitan dengan sinkronisasi
struktural ( Structural Syncronization ) mencakup sinkronisasi sistem peradilan dalam
arti bahwa mekanisme hubungan antara sub – sistem penegak hukum harus jelas,
tidak boleh campur aduk dan bertumpang tindih dalam melaksanakan tugas dan
wewenang mencakup keselarasan dan mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana,
misalnya dalam hal ini melaksanakan tindakan penyidikan, bahwa berdasarkan
ketentuan KUHAP, ada beberapa lembaga yang diberikan kewenangan untuk
menjalankan tugas tersebut antara lain kepolisian, Penyidik PNS, Kejaksaan dan
lainnya. Sedangkan Sinkronisasi Substanial ( Substansial Syncronization ) mencakup
sinkronisasi peraturan perundang – undangan berkaitan dengan Sistem Peradilan
11 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.cit., hlm. 85. 12 Amir Syamsudin dan Nurhasyim Ilyas, Perilaku Aparat Hukum Dalam Menegakan Supremasi Hukum di Indonesia, Jurnal Keadilan, Vol. 1 November 2000, hlm. 27.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
16
Pidana mengenai tugas dan wewenang aparat penegak hukum dan hakim.13 Sebagai
contoh sinkronisasi KUHP dengan peraturan lainnya sehingga diharapkan dapat
memberi acuan yang jelas bagi aparat penegak hukum. Karena menurut Satjipto
Rahardjo yang harus diperhatikan bukan saja mengenai kepastian peraturan tetapi
juga kepastian hukum. Kepastian hukum menyangkut nilai – nilai yang dikandung
oleh sebuah produk undang – undang. 14
2.1.1. Sinkronisasi Struktural
Dalam penegakan hukum untuk menanggulangi tindak pidana keimigrasian
yang dilakukan secara integrated criminal justice system atau dengan sistem
peradialan pidana (SPP) terpadu, maka harus diciptakan suatu sinkronisasi di antara
lembaga yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakan sistem peradilan pidana
dalam hal ini lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang – undang untuk
melakukan sistem penyidikan yaitu antara kepolisian, penyidik pegawai negeri sipil (
PPNS ) dengan lembaga penuntutan ( kejaksaan ) terhadap setiap bentuk pelanggaran
dan kejahatan atas Undang-Undang Keimigrasian. Bentuk pelaksanaannya adalah
dengan melakukan suatu koordinasi di antara para lembega tersebut. Menurut Ricky
W. Griffin bahwa Koordinasi merupakan suatu proses menghubungkan kegiatan dari
bermacam – macam bagian organisasi. 15 Pada Prinsipnya koordinasi dilakukan untuk
membantu penyelesaian proses penyidikan sehingga dapat ditemukan dan dilengkapi
suatu syarat formil maupun syarat materil atas suatu pelanggaran hukum yang terjadi
sehingga pada akhirnya perkara tersebut dapat dimajukan ke tahap selanjutnya yaitu
tahap penuntutan dari sidang pengadilan.
13Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Kaitannya Dengan Pembaharuan Kejaksaan, Makalah pada Forum Dengar Pendapat Publik : Pembaharuan Kejaksaan, diselenggarakan oleh KHN, Kejaksaan Agung dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta, tanggal 24 – 25 Juni 2003. 14 Amir Syamsudin dan Nurhasyim Ilyas, Perilaku Aparat Hukum Dalam Menegakan Supremesi Hukum di Indonesia, Jurnal Keadilan, Vol. 1 November 2000, hlm. 28. 15 Ricky W. Griffin, Op.cit.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
17
2.1.2. Sinkronisasi Substansial
Dalam kaitanya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan
teorinya mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie), dimana ia berpendapat
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
heararki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber,
dan dasar pada norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis
dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).16 Kemudian Hans Nawiasky, salah
seorang murid dari Hans Kelsen, mengembangkan teori tersebut yaitu tentang teori
jenjang norma hukum (die Theorie vom Stufenordnung derrechtnomen).
Mengemukakan bahwa sesuai dengan teori hans kelsen bahwa suatu norma hukum
dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang dimana norma yang
di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi lagi, sampai suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Tetapi
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok.173
sehingga berdasarkan hal tersebut diatas, Maria Farida Indrati Soeprapto
menyimpulkan bahwa sistem norma hukum indonesia merupakan pencerminan dari
sistem norma hukum Stufentheorie dari Hans Kelsen dan die theorie vom
stufentordnung der rechtsnormen dari Hans Nawiasky.17 Bila dikatkan dengan
sistem hukum di negara kita, maka terhadap teori Hans Nawiasky tersebut telah
diwujudkan dalam bentuk :
a) Staatsfundamental norm Pancasila yang terkandung dalam pembuka UUD 1945.
b) Staasgrundgesetz Batang tubuh UUD 1945 Ketetapan MPR konvensi ketatanegaraan.
c) Formel gesetz Undang – Undang
16Maria farida indrati Soeprapto, ilmu perundang-undangan,dasar- dasar dan pembentukannya, Yogyakarta, Penerbit Kanisius,1998, hlm.25. 17Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:Kelompok I : staatsfundamentalnorm (Norma fundamental Negara);Kelompok II : staasgrundgesetz (Aturan dasar / pokok negara); Kelompok III : formel gesetz (undang-undang 'formal'); Kelompok IV : verordnung & autonome satzung (aturan pelaksanaan & aturan otonom)kelompok-kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
18
d) Verordnung & Autonome Satzung Peraturan Pelaksana dengan demikian, Bagir Manan membagi bentuk hukum perundang-undangan yang
ada di Indonesia ke dalam enam bagian:18
1. Undang – undang Dasar 1945 2. Ketetapan MPR 3. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Keputusan Presiden 6. Peraturan Pelaksana lainya, seperti :
a) Peraturan menteri b) Instruksi menteri c) Dan lain – lainya
Pada saat ini telah dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menetapkan jenis
dan hierarki peraturan perudang-undangan yang baru di indonesia. Pada pasal 7
ditetapkan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah
Melihat tata susunan perundang-undangan Indonesia yang didasarkan pada
teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, yang menyatakan bahwa aturan hukum di
bawah didasarkan pada aturan hukum di atasnya, hal tersebut berarti aturan hukum di
bawahnya tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum diatas.
1. Dalam kaitanya dengan penegakan hukum tindak pidana di bidang
keimigrasian, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kewenangan
penyidik pegawai negeri sipil Imigrasi sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) dalam melakukan penyidikan diberikan berdasarkan pasal 6 ayat (1)
KUHP Jo Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Keimigrasian. bila kita kaji
kedudukan undang-undang di dalam hierarki perundangan negara kita maka
undang-undang merupakan peraturan peraturan perundang-undangan yang
18 Nukthoh Arfawie Kurde, Editor : Muryid, Telaah kritis teori negara hukum. Konstitusi dan demokrasi dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, dan otonomi daerah berdasarkan UUD 1945, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm.26.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
19
tertinggi di Negara Republik Indonesia ; di dalamnya telah dapat dicantumkan
adanya sanksi pidana dan sanksi pemaksa, serta merupakan peraturan yang
sudah dapat langsung berlaku dan meningkat umum. Dalam pembentukan
Presiden harus mendapat persetujuan dari dewan perwakilan rakyat,
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 (1) UUD 1945.19
2. Sedangkan peraturan pemerintah merupakan peraturan yang
dibentuk/ditetapkan oleh Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2)
UUD 1945 yang berisi peraturan peraturan untuk menjalankan undang-
undang bisa berjalan/diberlakukan.20
Dalam pembuatan peraturan tersebut tidak boleh saling bertentangan, baik dengan
peraturan perundang-undangan di bawahnya maupun yang sederajat, misalnya
anatara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain harus terjadi
sinkronisasi. Apabila antara suatu undang-undang dengan peraturan pemerintah
sebagai peraturan pelaksanaanya. A Hamid S Attamimi mengemukakan beberapa
karakteristik peraturan pemerintah sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada undang-
undang yang menjadi 'induknya';
2. peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila
undang-undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana;
3. Ketentuan peraturan pemerintah tidak dapat menambah dan mengurai
ketetntuan undang-undang yang bersangkutan;
4. Untuk 'menjalankan', menjabarkan, atau merinci ketentuan undang-undang,
peraturan pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan undang-undang semata-
mata.
Namun bila kita melihat dan mengaitkan antara aturan-aturan yang terdapat dalam
KUHP dengan peraturan pemerintah No. 55 tahun 1996 dalam pembahasannya
19 Ibid. Hal .92 20 Ibid . Hal . 98
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
20
mengenai koordinasi antara penyidik PPNS dengan polri, maka masih ada
pertentangan atau ketidak singkronan disini. Pasal yang dipertentangkan yaitu pada
pasal 107 ayat (1),(2) dan (3) KUHP, yang disebutkan bahwa :
1. Untuk kepentingan penyidikan, peyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a
(Polri) memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1)
huruf b (PPNS) dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
2. Dalam hal satu peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana
sedangkan dalam penyidikan oleh penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1)
huruf b (PPNS) dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan
kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b
(PPNS) melaporkan hal tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a (polri).
Hal ini berarti PPNS dalam melakukan penyidikan suatu perkara pidana wajib
melaporkan hal tersebut kepada Polisi Negara RI, dalam rangka koordinasi dan
pengawas. Kemudian dalam pasal 107 ayat (3) juga disebutkan bahwa apabila PPNS
telah selesai melakukan penyidik, maka hasil tersebut diserahkan kepada penuntut
umum, dimana cara penyerahannya dalam bentuk berita acara kepada penuntut umum
dilakukan melalui Penyidik Polisi Negara RI. Artinya, sebelum penyidik Polri
meneruskan hasil penyidikan pegawai negeri sipil, penyidik Polri berwenang untuk
memeriksa segala kekurangan yang dilakukan PPNS. Mengenai penyerahan berkas
perkara hasil penyidikan dari penyidik pegawai negeri sipil, Menteri Kehakiman
dalam keputusannya tanggal 10 desember 1983 Nomor M.14-PW.07.03 tahun 1983
telah memberikan penjelasan sebagai berikut: dalam hal penyidik pegawai negeri
sipil mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang patut diduga merupakan suatu
tindak pidana, ia harus melaporkan hal tersebut kepada penyidik Polri dengan
ketentuan yang diatur dalam pasal 107 ayat (2) KUHAP, dan setelah selesai
melakukan penyidikannya, ia harus segerah meyerahkan hasil penyidiknya kepada
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
21
penuntut umum melalui penyidik Polri.21 Bila kita melihat isi pasal 5 ayat (1) dan (2)
yang pada intinya menyebutkan bahwa penyidik pegawai negeri sipil, dalam hal ini
PPNS Imigrasi, ketika akan melakukan penyidikan diserahkan kepada penuntut
umum beserta hasil penyidikannya. Sedangkan kepada penyidik kepolisian negara RI
hanya diberikan tembusannya saja. Dapat dilihat disini adanya ketidaksinkronan
antara undang-undang dengan peraturan yang mengatur di bawahnya yaitu peraturan
pemerintah. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu disatu
pihak Polri akan merasa berhak untuk mengetahui setiap tindakan penyidik atas setiap
tindak pidana, namun di lain pihak PPNS Imigrasi merasa hanya perlu
menyampaikan tembusannya.
2.2. Sistem Penegakan Hukum
Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara, bilamana tiap-
tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam
masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa
dalam masyarakat yang disebut Pemerintah. Meskipun peraturan-peraturan ini telah
dikeluarkan, masih ada saja orang yang melanggarnya, misalnya dalam hal pencurian
di mana mengambil barang yang dimiliki orang lain dan yang bertentangan dengan
hukum.22 Terhadap orang ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan
21 P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan secara Yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru,1984), hlm. 273. 22Adanya prinsip LexCerta (undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat), dikenal juga dengan nama Bestimmtheitsgebot, perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Norma-norma yang tidak jelas atau ambigu dari pembuat undang-undang tidak selamanya dapat memenuhi persyaratan di atas. Dalam ikhwal Culpa, takkala norma yang secara faktual dipermasalahkan dan tidak jarang diterjemahkan lebih lanjut oleh (hukum) kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Hal serupa juga berkenaan dengan Garantenstellung yang dibicarakan dalam konteks tidak berbuat atau melalaikan (nalaten), dalam bagian penyertaan (deelneming) dan percobaan (poging) telah memperluas ruang lingkup (kemungkinan) penetapan suatu perilaku sebagai tindak pidana, sekalipun hal itu terjadi melalui cara yang sangat umum dan abstrak. Perlu dicatat pula adanya kebebasan hakim pidana yang memungkinkan pengunaan metode
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
22
perbuatannya yang bertentangan dengan hukum itu. Segala peraturan-peraturan
tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya diatur
oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam satu Kitab Undang-Undang yang
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (wetboek van Strafrecht) yang
disingkat “KUHP” (WvS). Hukum Pidana itu ialah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukum yang merupakan suatu penderitaan atau
siksaan.23Dari definisi di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa Hukum Pidana
tidaklah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru melainkan hanya
mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-
norma hukum yang mengenai kepentingan umum. Adapun yang termasuk dalam
pengertian kepentingan umum, ialah:24
interpretasi teleologis maupun fungsional, selanjutnya perlu diingat bahwa ilmu bahasa modern telah mengajarkan pada kita untuk tidak mengaitkan makna yang terlalu statis atau tetap pada kata-kata maupun jalinan kata-kata. Lihat, Termorshuizen Marjanne, Juridische Semantiek: Een bijdrage tot de methodologie van de rechtsvergelijking, de rechtsvinding en het juridisch vertalen, Nijmegen Tilburg, Wolf Legal Publishers, 2003, sebagaimana dikutip dalam Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 358. 23Hal ini memperlihatkan bahwa hukum merupakan salah satu perhatian manusia beradab yang paling utama karena hukum dapat menawarkan perlindungan terhadap nurani di satu pihak dan terhadap anarki di lain pihak. Hukum merupakan salah satu instrumen utama masyrakat untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dan gangguan yang arbitrer, baik oleh perorangan, golongan masyarakat atau pemerintah. Lihat, Harold J.Berman, Latar Belakang Sejarah Hukum Amerika Serikat, dalam Talks on American Law, Random House, Inc., Edisi Indonesia, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat, diterjemahkan oleh Gregory Churchill, Jakarta, P.T. Tatanusa, 1996, hlm. 3. 24 Seorang ahli hukum dari Swiss, Carl Stooss menamakan penjatuhan pidana alternatif demikian tidak jarag juga dijatuhkan secara kumulatif sebagai: Zweispurikeit (sistem dua jalur). Meskipun penjatuhan suatu tindakan juga setiap kali dilandaskan pada adanya pelanggaran hukum pidana, sanksi demikian itu pada asasnya tidak mengandung sifat menistakan yang sebaliknya merupakan ciri khas pidana. Karakter demikian juga tidak akan kita temukan dalam sanksi-sanksi yang diatur dalam bidang hukum lainnya. Menurut G.E. Mulder, gurubesar emiritus hukum dari Universitas Nijmegen, lebih dibandingkan dengan hukum sipil yang secara khusus menyoal pentaatan hukum dan ganti rugi, berkaitan dengan hal ini adalah kenyataan bahwa hukum pidana dibandingkan dengan hukum sipil hanya mencangkup bidang yang lebih sempit. Hukum pidana tidak menawarkan perlindungan menyeluruh atas kepentingan atau kebendaan hukum (rechtsgoederen) maupun pengaturan hubungan-hubungan hukum, melainkan hanya berkenaan dengan upaya melawan sebagian kecil dari bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang harus dianalisis lebih lanjut. Lihat, Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar ...., Op.Cit., hlm. 8.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
23
a. Badan dan peraturan perundang-undangan negara, seperti Negara, Lembaga-
lembaga Negara, Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, dan sebagainya.
b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga atau tubuh, kemerdekaan,
kehormatan, dan hak milik atau harta benda.
Antara pelanggaran dan kejahatan terdapat perbedaan, yaitu:
a. Pelanggaran ialah mengenai hal-hal yang bersifat kecil atau ringan yang
diancam dengan hukuman denda, misalnya: sopir mobil yang tidak memiliki
Surat Izin Mengemudi (SIM), bersepeda pada malam hari tanpa lampu, dan
lain-lain.
b. Kejahatan ialah mengenai soal-soal yang besar, seperti: pembunuhan,
penganiayaan, penghinaan, pencurian, dan sebagainya. Contoh pelanggaran
kejahatan terhadap kepentingan uum berkenaan dengan:25
a) Badan atau Peraturan Perundangan Negara, misalnya pemberontakan,
penghinaan, tidak membayar pajak, melawan pengawai negeri yang
menjalankan tugasnya.
b) Kepentingan hukum tiap manusia:
terhadap jiwa, pembunuhan,
terhadap tubuh, penganiayaan,
terhadap kemerdekaan, penculikan,
terhadap kehormatan, penghinaan,
terhadap milik, pencurian.
25 Di dalam penegakan hukum konstitusi negara Republik Indonesia sangat menghormati persamaan di muka hukum. Di mana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam batang tubuhnya juga menerangkan hubungan dan keterkaitan yang erat antara hukum dan keadilan dengan nilai-nilai kemanusian. Pada Pasal 27 ayat (1) dan (2) Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk, yang menerangkan:“Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”Pada Pasal 28B ayat (2) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang menerangkan:“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum.”Pada Pasal 28I ayat (1) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yang menerangkan:“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
24
Mengenai pelanggaran terhadap kepentingan hukum tiap manusia ada kalanya
menimbulkan pertanyaan, apakah hal-hal itu bukanlah mengenai kepentingan
perseorangan yang sudah diatur dalam Hukum Perdata. Hukum Pidana tidak
membuat peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan umum.
Memang sebenarnya peraturan-peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya,
dari tiap orang telah termasuk Hukum Perdata. Hal pembunuhan, pencurian, dan
sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata diurus oleh Pengadilan Pidana.
Kita mengetahui bahwa Pengadilan Perdata baru bertindak apabila sudah ada
pengaduan (klacht) dari pihak yang menjadi korban. Orang itu sendirilah yang harus
mengurus perkaranya ke dan di muka Pengadilan Perdata. Sedangkan dalam Hukum
Pidana yang bertindak dan yang mengurus perkara ke dan di muka Pengadilan Pidana
tidaklah korban sendiri melainkan alat-alat kekuasaan negara seperti polisi, jaksa, dan
hakim.26 Oleh karena orang-orang yang kepentingan hukumnya diserang merasa
malu, segan atau takut mengurus sendiri perkaranya ke muka Pengadilan Perdata,
maka akhirnya banyak perkara yang tidak sampai ke pengadilan sehingga merajalela
pelanggaran atas kepentingan hukum orang.27 Keadaan demikian itu tentu tidak
26Pengertian Tindak Pidana (strafbaar feit) – dalam arti penguraian unsur-unsur pembentuknya – akan bermanfaat jika pertama-tama secara umum menelaah titik tolak dan kriteria yang telah dipilih oleh pembuat undang-undang ketika menentukan perbuatan tertentu yang dapat atau tidak dipidana. Berkenaan dengan istilah feit dan strafbaar feit, terminologi yang dipergunakan di Indonesia agak membinggungkan. Kita temukan, misalnya Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana, keduanya tergantungg pada aliran atau universitas mana yang mengunakannya. Di Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro misalnya strafbaar feit lazim diterjemahkan dengan Tindak Pidana seperti juga dalam Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1999-2000. Di Universitas Gajah Mada sebaliknya digunakan istilah Perbuatan Pidana.. Di mana straafbaar feit (perbuatan) dan feit (tindakan), perilaku (gedraging), di dalam hukum pidana “tindakan” mempunyai dua arti: 1) perbuatan dan 2) sanksi tertentu (maatregel). Lihat, Op.Cit., Jan Remmelink, hlm. 60. 27Suatu negara hukum, baik yang berkembang di negara-negara Eropa Kontinental maupun negara-negara Anglo Saxon, yang memiliki ”basic requirement” pengakuan jaminan hak-hak dasar manusia yang dijunjung tinggi. Dengan demikian, di dalam negara hukum yang pokok adalah adanya pembatasan kekuasaan oleh hukum sedemikian rupa sehingga hak-hak dasar rakyat terbebas dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Di dalam negara, kekuasaan penguasa tidak didasarkan pada kekuasaan semata-mata tetapi kekuasaannya dibatasi atau didasarkan pada hukum dan disebut dengan negarahukum (rechtsstaat). Konsepsi demikian di negara-negara Anglo Saxon terutama di negara Inggris disebut dengan the rule of law. Beberapa ahli hukum mencoba merumuskan unsur-unsur negara hukum. Friedrich Julius Stahl menyatakan bahwa suatu negara hukum ditandai oleh 4 (empat) unsur pokok, yaitu: a) Pengakuan dan perlindungan HAM, b) Negara didasarkan pada Teori Trias Politica, c) Pemerintah didasarkan pada undang-undang (wetmatig bestuur), d) Ada peradilan
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
25
membawa ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, berhubung dengan hal
tersebut dan didorong oleh perubahan zaman yang menganggap setiap orang adalah
anggota masyarakat maka sekarang setiap serangan atas kepentingan hukum
perseorangan dipandang juga sebagai serangan terhadap masyarakat. Dikarenakan
masyarakat yang tertinggi itu adalah negara, maka negaralah dengan perantaranya
polisi, jaksa dan hakim yang bertindak mengurus setiap warga yang diserang
kepentingan hukumnya. Pelanggaran atas kepentingan hukum setiap orang adalah
urusan Hukum Perdata, sekaligus termasuk urusan Hukum Pidana.
Pembunuhan, penganiayaan, penculikan, penghinaan, pencurian, dan
sebagainya, sekalipun antara orang-orang biasa telah menjadi kepentingan umum
pula. Untuk menjaga keselamatan kepentingan umum itu, Hukum Pidana
mengadakan satu jaminan yang istimewa terhadapnya, yaitu seperti tertulis pada
bagian terakhir dari definisi Hukum Pidana, “ ... perbuatan mana diancam dengan
suatu hukuman yang berupa siksaan”.28 Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang
administrasi negara yng bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Demikian juga oleh Scheltema menyatakan unsur-unsur Rechtsstaat adalah: a) Kepastian hukum, b) Persamaan, c) Demokrasi. Selanjutnya Philipus M. Hadjon mengemukakan ciri-ciri Rechtsstaat, meliputi: a) Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, b) Adanya pembagian kekuasaan negara, c) Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat. Atas dasar ciri-ciri Rechtsstaat tersebut dengan jelas bahwa ide sentral Rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap HAM yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan, ungkapan ini dikaitkan dengan pandangan pakar hukum Anglo-Saxon, sebagaimana diungkapkan oleh A.V. Dicey pada arti the rule of law, yaitu a) Supremasi hukum untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan yang luas oleh pemerintah, b) Kesamaan di hadapan hukum atau menundukkan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land, c) prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen. Lihat, Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabay, PT. Bina Ilmu, 1987, hlm. 76. 28 Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Adapun kebenaran materil ini dapat diuji kembali, sedangkan kebenaran formil merupakan kebenaran yang menurut undang-undang dianggap benar (contohnya pada kasus perdata) yang dapat dibuktikan dengan alat bukti surat. Akan tetapi usaha Hakim dalam upaya menemukan kebenaran materil itu dibatasi oleh surat dakwaan Jaksa. Hakim tidak dapat menuntut supaya Jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah perbuatan yang didakwakan. Lihat, Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta, PT.Refika Aditama, 2007, hlm. 19.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
26
merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting Hukum Pidana.29 Sifat dari
hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan, dan paksaan itu perlu untuk menjaga
ketertiban, diturutnya peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si perusak
memperbaiki keadaan yang dirusakknya atau menganti kerugian yang disebabkannya.
Inti pokoknya untuk menjaga dan memperbaiki keseimbangan atau keadaan semula.
Dalam pelaksanaannya hukum pidana terdiri atas:
a. Pidana hukum pokok (utama):
b. Pidana mati
c. Pidana penjara: a) pidana seumur hidup, b) pidana penjara selama waktu
tertentu (setinggi-tingginya 20 (dua puluh) tahun dan sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun)
d. Pidana kurungan (sekurang-kurangnya 1 (satu) haru dan setinggi-tingginya 1
(satu) tahun)
e. Pidana denda
f. Pidana tutupan
g. Pidana (hukuman) tambahan:
h. Pencabutan hak-hak tertentu
i. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu
j. Pengumuman keputusan tertentu.
k. Hukuman-hukuman itu dipandang perlu agar kepentingan umum dapat lebih
menjamin keselamatannya.30
29 Menurut Muladi, doktrin dasar di mana negara kita sebagai negara hukum harus tercermin dalam struktur, subtansi, dan kultur hukum. Hal ini kiranya dapat dilihat melalui corak-corak antara lain: berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior), pendekatan yang bersifat menyeluruh (wholism), keterbukaan dalam kerangka interaksi dengan sistem yang lebih besar (openness), transformasi nilai antar subsistem (transformation), keterkaitan antar subsistem (interrelatedness), dan adanya mekanisme kontrol (control mechanism) yang efektif guna berperan menjaga dinamika keseimbangan (dynamic equilibrium). Sebagaimana dikutip dalam, Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2004, hlm. 8. 30 Pandangan Van Bemmelen, bahwa ilmu hukum acara pidana adalah mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena ada dugaan terjadinya pelanggaran undang-undang hukum pidana. Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran yang materil bukan kebenaran formil. Perkembangan hukum acara pidana teah menyangkut ruang lingkup banyak hal yang harus dipelajari yakni meliputi aturan hukum tentang wewenang alat negara penegak hukum, tindakan penyidikan untuk mengumpulkan barang bukti, wewenang melakukan penangkapan atau
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
27
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut: 1) Hukum Pidana Objektif (Jus
Punale), yang dapat dibagi ke dalam: a) Hukum Pidana Materil, b) Hukum Pidana
Formal (Hukum Acara Pidana); 2) Hukum Pidana Subjektif (Jus Puniendi); 3)
Hukum Pidana Umum; 4) Hukum Pidana Khusus, yang dapat dibagi ke dalam: a)
Hukum Pidana Militer, b) Hukum Pidana Pajak (Fiskal).31
Hukum Pidana Objektif (Jus Punale) adalah semua peraturan yang
mengandung keharusan atau larangan terhadap pelanggaran mana diancam dengan
hukuman yang bersifat siksaan. Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana
Material dan Hukum Pidana Formal: dimana a) Hukum Pidana Material adalah
peraturan-peraturan yang menegaskan: perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum,
penahanan, tindakan penuntutan dengan surat dakwaan, pemeriksaan sidang untuk pembuktian sebagai bahan keputusan, penerapan hukum dengan penetapan atau putusan, berbagai upaya hukum dan pelaksanaan putusan yang terdapat dalam hukum acara pidana tersebut masing-masing dapat dipelajari tersendiri karena setiap bidang kegiatan proses perkara pidana dapat tumbuh objek, metode, sistematika dan pengertian khusus sendiri. Perkembangan ilmu hukum acara pidana sudah meliputi bagian hukum acara pidana formil dan hukum acara materiil. Hukum acara pidana formil dimaksudkan berbagai aturan hukum yang meliputi tata cara perkara pidana, dan hukum acara pidana materiil dimaksudkan segala aturan hukum tentang sistem, beban, alat-alat, dan kekuatan pembuktian serta sarana ilmu pengetahuan yang mendukung pembuktian. Kegiatan berpekara pidana dengan tata cara dan pembuktian yang sedemikian itu menyebabkan materi yang terkandung dalam hukum acara pidana sangat luas. Lihat, J.M. Van Bemmelen, Stravordering, Leeboek, v.h Nederlanse Strafrecht, S’gravenhage Martinus Nyhoff, 1950, hlm. 4 dan Bambang Poernomo, Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, Yokyakarta, Liberty, 1985, hlm. 34. 31 Menurut Satjipto Raharjo, peraturan hukum acara pidana memang menciptakan peraturan hukum akan tetapi sulit untuk disebut mengandung norma hukum. Hukum acara pidana itu merupakan peraturan hukum yang tidak mengandung norma hukum yang berisikan suruhan dan larangan. Pandangan hukum acara yang demikian itu tumbuh berdasarkan anggapan tentang norma hukum harus memuat suatu penilaian mengenai baik buruknya perbuatan tertentu. Hal ini disebabkan norma hukum itu pencerminan kehendak masyarakat untuk mebuat pilihan antara perbuatan menurut hukum dan tidak menurut hukum. Tujuan dan tugas ilmu hukum acara pidana, pada dasarnya searah dengan tujuan dan tugas ilmu hukum pada umumnya, yaitu mempelajari hukum untuk tujuan kedamaian yang meliputi ketertiban (orde) dan ketenangan (rust), memberian kepastian dalam hukum (zekerheid), dan keadilan hukum (bilijkheid). Sehubungan dengan tujuan dan tugas umum tersebut, hukum acara pidana mempunyai kekhususan yakni tidak hanya tertuju pada penyelidikan dan penuntutan perkara pidana saja melainkan untuk menetapkan dalam hal-hal tertentu yang di mana tidak perlu menetapkan hukum pidana yang berdasarkan asas opurtunitas, menutup perkara demi kepentingan hukum, penyampingan acara ringan, alasan pembenar, alasan pemaaf, dan alasan tidak meneruskan perkara yang lainnya. Cara yang digunakan tentunya tidak melalui saluran tatanan hukum acara pidana (misalnya: tersangka meninggal, bukti kurang, dan sebagainya). Dengan demikian tugas dan fungsi dalam hukum acara pidana melalui alat perlengkapannya, ialah: 1) Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, 2) Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat, 3) Menetapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan, 4) Melaksanakan keputusan secara adil. Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, Penerbit Alumni, 1982, hlm. 12.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
28
siapa yang dapat dihukum, dengan hukuman apa menghukum seseorang. Singkatnya
Hukum Pidana Material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta
syarat-syarat apa seseorang dapat dihukum. Hukum Pidana Material dapat
membedakan adanya:32 Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus, misalnya
Hukum Pidana Pajak (orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor,
hukumannya tidak terdapat dalam Hukum Pidana Umum akan tetapi diatur sendiri
dalam undang-undang (Pidana Pajak); b) Hukum Pidana Formal ialah hukum yang
mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana
(merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Material). Dapat juga dikatakan bahwa
Hukum Pidana Formal atau Hukum Acara Pidana memuat peraturan-peraturan
tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana Material, dan
karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan
pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana
terkumpul atau diatur dalam Reglemen Indonesia yang diperbaharui disingkat dahulu
R.I.B. (Herziene Inlandsche Reglement – HIR) sekarang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981.33
32 Menurut Gustav Radbruch, sehubungan dengan berbagai tatanan dan sifat-sifatnya dalam kehidupan masyarakat, dapat dilihat sebagi perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu, hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula ia berupa norma. Dalam masyarakat ternayat tidak hanya dijumpai satu macam norma atau perlengkapan untuk menertibkan masyarakat yang demikian itu. Masyarakat kita perlu dengan berbagai macam norma sehingga dapat dijumpai adanya beragam satu tatanan. Selanjutnya, Gustav Radbruch berpendapat bahwa tujuan hukum meliputi keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum. Sebagaimana dikutip dalam, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Ibid., hlm. 13. Sebagaimana dikutip dalam Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, Bandung, PT. Refika Aditama, 2007, hlm. 13. 33 Dalam penegakan hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan adanya disparitas penerapan hukuman dan hal-hal lain yangbermuara pada pengunaan kebebasan hakim (meskipun diakui oleh undang-undang) namun sering terjadi kebablasan. Oleh karena itu, para hakim dan para penegak hukum lainnya sangat diharapkan untuk berlaku arif, sambil mencari dan mengali hukum dalam masyarakat dan hukum modern. Di dalam memutuskan hukum, mereka diminta untuk tidak hanya melakukan pekerjaan rutin, sebab rutinitas tersebut dapat menghambat kreativitas. Kebiasaan untuk menerima, memahami, dan menerapkan sesuatu (norma dan pengetahuan hukum) yang bersifat “statis” dan “rutin” inilah, terlebih apabila diterima sebagai “dogma”, dapat mejadi salah satu faktor penghambat upaya pengembangan dan pembaharuan hukum pidana. Secara garis besar Barda Nawawi Arief mengemukakan ide dasar tentang “ide keseimbangan” dalam implementasi dan reevaluasi pokok-pokok pikiran dalam konsep KUHP, yang antara lain mencangkup: keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum dan masyarakat dengan kepentingan individu atau perorangan, keseimbangan antara perlindungan atau kepentingan pelaku tindak pidana (ide
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
29
Hukum Pidana Subjektif (Jus Puniendi) adalah hak negara atau alat-alat untuk
menghukum berdasarkan hukum Pidana Objektif. Pada hakekatnya Hukum Pidana
Objektif itu membatasi hak negara untuk menghukum. Hukum Pidana Subjektif ini
baru ada setelah ada peraturan-peraturan dari Hukum Pidana Objektif terlebih dahulu.
Dalam hal ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh negara, yang berarti
bahwa setiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan
tindakan pidana (perbuatan melanggar hukum = delik).34 Hukum Pidana Umum
adalah Hukum Pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapa
pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan. Hukum Pidana Khusus
adalah Hukum Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu. Contoh: a)
Hukum Pidana Militer berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang
dipersamakan dengan militer, b) Hukum Pidana Pajak berlaku khusus untuk
perseroan dan mereka yang membayar pajak (wajib pajak).35
individualisasi pidana dan korban tindak pidana), keseimbangan antara unsur atau faktor dan “subjektif” (orang/bainah/sikap batin) ide “daad-dader strafrecht”, keseimbangan antara kriteri “formal” dan “material”, keseimbangan antara kepastian hukum dan kelenturan/elastisitas/fleksibelitas dan keadilan, dan keseimbangan nilai-nilai rasional dan nilai-nilai global/internasional/universal. Ide dasar “keseimbangan” itu diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok hukum pidana, yaitu: a) Masalah tindak pidana, b) Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban, serta masalah pidana dan pemidanaan. Lihat, Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1998, hlm. 104 dan Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, makalah pada seminar tentang asas-asas hukum pidana nasional, yang diselengarakan oleh BPHN dan Fakultas Hukum UNDIP di Semarang 26-27 April, 2004, hlm. 10-11. 34 Dilihat dari ilmu politik, F. Magnis Suseno mengambil 4 (empat) ciri negara hukum yang secara etis relevan, yaitu: i) Kekuasaan yang dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku, ii) Kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif iii) Berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia, dan iv) Menurut pembagian kekuasaan, Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 295-298. 35Hubungan antara asas hukum dan hukum, bahwa asas hukum menentukan isi hukum. Secara tegas Roeslan Saleh menyatakan bahwa peraturan hukum positif hanya mempunyai arti hukum jika dikaitkan dengan asas hukum. Maka norma hukum memiliki arti keberlakuannya secara yuridik atau memiliki validitas yuridik jika dikaitkan dengan asas-asas hukum. Lihat, Roeslan Saleh, Pembinaan citra Hukum dan Asas-Asas hukum Nasional, Jakarta, Karya Dunia Fikir, hlm. 5. Sedangkan, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum merupakan konkretisasi dari sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dan sistem nilai tersebut. Konsekuensinya, perubahan pada nilai akan diikuti dengan perubahan hukum yang berada di bawahnya, sedangkan perubahan yang terjadi di bagian bawah belum tentu diikuti oleh pergeseran nilai yang mendasarinya. Lihat, Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum Masyarakat, Jakarta, Penerbit Rajawali, hlm. 159.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
30
Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu
peninjauan bahan-bahan mengenai Hukum Pidana terutama dilakukan dari sudut
pertanggungjawaban manusia tentang ”Perbuatan yang dapat dihukum”. Apabila
seseorang melanggar peraturan pidana, maka akibatnya ialah orang itu dapat
dipertanggungjawabkan tentang perbuatannya itu sehingga ia dapat dikenakan hukum
(kecuali orang gila, di bawah umur dan sebagainya).36 Tujuan Hukum Pidana itu
memberi sistem dalam bahan-bahan dari hukum itu: Asas-asas dihubungkan satu
sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu sistem, penyelidikan secara
demikian adalah dogmatis yuridis. Selain itu, Hukum Pidana dilihat sebagai ilmu
pengetahuan kemasyarakatan, sebagai ilmu pengetahuan sosial maka diselidiki sebab-
sebab dari kejahatan dan dicari cara-cara untuk memberantasnya. Penyelidikan
tentang sebab dari kejahatan (crime) itu dapat dicari pada diri orang (keadaan badan
dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakat. Seperti juga pada setiap Ilmu
Pengetahaun membutuhkan bantuan dan keterangan-keterangan dari Ilmu
Pengetahuan yang lain, demikian juga Ilmu Hukum Pidana ini mempunyai ilmu-ilmu
pengetahuan pembantunya, diantaranya: 1) Antropologi, 2) Filsafat, 3) Etika, 4)
Statistik, 5) Medis forensik (ilmu kedokteran bagian kehakiman), 6) Psikatri
kehakiman, 7) Kriminologi, hanya Kriminologi yang akan ditinjau dikarenakan ilmu
pengetahuan ini yang memberikan bantuan yang terbesar, bahkan merupakan dasar
36Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Sebagai sistem hukum yang memiliki sifat umum dari suatu sistem. Paling tidak ada 3 (tiga) ciri umum, yaitu: a) menyeluruh, b) memiliki elemen (elements), c) semua elemen saling terkait (relations) dan, d) kemudian membentuk struktur (structure). Lihat, Charles Sampford, The disorder of Law: A Critique of Legal Theory, New York, Brasil Blackwell. Inc., hlm. 16. Oleh sebab itu, sistem hukum memiliki cara kerja sendiri untuk mengukur validitas suatu norma dalam suatu sistem hukum tersebut, Lawrence Friedman memberikan konsep sistem hukum dalam arti yang luas, meliputi 3 (tiga) elemen sistem hukum, yaitu: a) elemen struktur (structure), subtansi (subtance), dan budaya hukum (legal culture), selanjutnya ia menambahkan elemen keempat, yaitu dampak (impact). Elemen subtantif dari suatu sistem hukum pidana memiliki 4 (empat) elemen, yaitu adanya nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principles), adanya norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules), dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem hukum tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini terseusun dalam suatu rangkaian yang membentuk suatu sistem subtantif hukum (nasional) yang diperagakan seperti piramida, bagian atas adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat. Elemen-elemen subtantif ini memiliki jalinan yang menyatukan,meskipun demikian masing-masing dapat berubah sesuai dengan sifatnya dan perubahan itu tidak selalu sesuai dalam waktu yang bersamaan. Lihat, Lawrence M. Friedman, American Law: An Invaluahle Guide to The Nearly Faces of the Law, and How it Affecis Our Daily Live, New York, W.W. Norton & Company, 1984, hlm. 1-8.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
31
dari Hukum Pidana. Kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencari apa
dan sebab dari kejahatan dan berusaha untuk memberantasnya. Sebagai ilmu
pengetahuan pembantu Hukum Pidana,37 Kriminologi menyelidiki sebab-sebab
kejahatan itu dari sudut masyarakat dan sebagai alat penyelidikannya ialah Statistik
Kriminal. Kriminologi dapat di bagi ke dalam:
a. Antropologi Kriminologi di mana ilmu pengetahuan yang mencari sebab-sebab
dari kejahatan dalam diri si penjahat pada keadaan badan penjahat (ajaran
Lombroso).
b. Sosiologi Kriminil di mana ilmu pengetahuan yang mencari sebab-sebab dari
kejahatan di dalam masyarakat, misalya: keadaan ekonomi yang menyebabkan
tingginya harga-harga dari barang-barang keperluan sehari-hari, upah yang sangat
rendah, tempat tinggal yang buruk dan kotor, dan lain-lain.
c. Politik Kriminil di mana ilmu pengetahuan yang mencari cara-cara untuk
memberantas kejahatan.
d. Statistik Kriminil di mana ilmu pengetahuan yang dengan angka-angka mencatat
tentang kejadian-kejadian dan macam-macam kejahatan.
Antropologi Kriminil dan Sosiologi Kriminil termasuk Aetiologi Kriminil,
yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab timbulnya kejahatan. Di
37 Pembaruan hukum hukum tidak identik dengan menganti aturan hukum lama dengan aturan hukum yang baru. Perubahan hukum yang tidak mengubah makna subtantif dari hukum bersangkutan tidak berarti suatu perubahan atau pembaruan hukum, melainkan hanya menganti rumusan kata-kata lama dengan rumusan kata-kata yang lebih baik atau mungkin nilai perubahan itu relatif kecil yang tidak menyentuh lapisan atasnya. Pembaruan hukum yang membawa konsekuensi perubahan hukum adalah perubahan aspek nilai yang mendasari suatu sistem hukum (bagian atas atau nilai) dan membawa pengaruh pada asepk subtantif lainnya secara hierarki berkedudukan di bawahnya. Pembaruan seperti ini membawa perubahan secara revolusioner di bidang hukum, perubahan perspektif, atau perubahan paradigma. Pembaruan hukum yang memiliki karakter tersebut dapat terjadi karena dipengaruhi oleh: pertama, perubahan pada unsur masyarakat hukum atau perubahan dari elemen bawah ke atas (bottom up); kedua, pembaruan karena adanya pengeseran makna yang mendasari hukum itu sendiri atau elemen atas memengaruhi ke bawah (top down). Keadaan pertama dan kedua mempengaruhi pemahaman terhadap hukum, yakni meskipun tidak secara langsung mengubah hukum tetapi hukum yang ada diberi perspektif baru yang berbeda dari perspektif sebelumnya. Salah satu contoh adanya perubahan hukum pidana yang mengatur korban kejahatan di Belanda sebagai contoh di mana perubahan hukum pidana dimulai dari kebijakan dalam praktik hukum, yakni melalui suart edaran yang kemudian setelah melalui pengkajian yang mendalam baru dibentuk hukum baru (de wet terwee) yang mengubah cara pandang terhadap korban kejahatan dan pemidanaan. Lihat, Parman Soeparman, Pengaturan Hak ...., Op.Cit., hlm. 26.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
32
dlaam Etiologi terdapat beberapa aliran (mahzab = sekolah) tentang sebab-sebab
kejahatan dan yang terpenting diantaranya: 1) Mahzab Italia atau aliran Biologi
Kriminil (Antropologi Kriminil), 2) Aliran Sosiologi Kriminil atau Mahzab Prancis,
3) Aliran Bio Sosiologi.38 Mahzab Italia atau aliran Biologi Kriminil (Antropologi
Kriminil), di mana ahli penyelidikan kejahatan dalam mahzab ini yang terkenal
adalah Dr Cesare Lombroso yang mengemukakan pendapatnya dalam bukunya
L’Homo Delinquente, ia merupakan maha guru sebuah Universitas di Turryn (Italia)
dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman dan Psikiatri dan menjadi dokter jiwa di sebuah
penjara di Italia. Dr Cesare Lombroso telah menyelidiki dan mengukur bentuk badan
dan tengkorak dari kurang lebih 350 (tiga ratus lima puluh) orang hukuman, di mana
dari penyelidikannya tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada orang jahat
semenjak lahirnya, dan setiap penjahat itu punya banyak sekali sifat-sifat yang
menyimpang dari orang-orang biasa. Hal ini dapat dilihat dari:
a. Keadaan fisiknya (bentuk badannya): a) Kening kepala yang menonjol ke depan
dan dahi agak miring, b) Mata kecil yang letaknya sangat dalam yang berada pada
rongga mata besar, c) Rahang yang menonjol ke depan, d) Lubang hidung yang
terlalu besar, e) Rambut Keriting.
b. Keadaan psikis (jiwanya): a) Tidak mempunyai perasaan menyesal dan rasa belas
kasihan, b) Perasaan sakit kurang jika dipukul, c) Gila hias, d) Kejam, e) Tak tahu
agaman, tak berperikemanusiaan, dan lain-lain.
c. Tabiatnya: a) Suka tatouage (membuat lukisan pada lengan, dada, dan lain-lain),
b) Suka minuman keras, c) Main judi, dan lain-lain.
38 Pengeseran perspektif sistem peradilan pidana yang lebih berorientasi kepada korban, pelaku, dan masyarakat. Pengeseran tersebut merupakan pengeseran perspektif dari keadilan retributif (retributive justice) menuju keadilan yang berorientasi pada keadilan restorative (restorative justice). Pada hakikatnya, pengeseran perspektif tersebut ditandai dengan pengeseran dalam hukum pidana. Pada dasarnya, teori keadilan restroratif menempatkan sejumlah nilai yang lebih tinggi pada keterlibatan langsung oleh pihak-pihak. Nilai bagian dari aspek filosofis dari hukum. nilai yang mendasari sistem hukum pidana, demikian juga sistem peradilan pidana, adalah keadilan. Oleh sebab itu jika konsep keadilan berubah, perubahan itu akan mempengaruhi konsep-konsep yang mendasar dalam hukum pidana dan penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Lihat, Ezzat A. Fatah, From a Guilt Orientation to a Consequence Orientation: A Proposed New Paradigm for the Criminal Law in the 21st Century, di dalam Wilfried Kupper and Jurgen Welp, Bretrage zur Rechtswissenschafil Festschrift fur Walter Stree und Xhanes Wessels zum 70 Geburtsag, Heidelberg, C.F. Muller Juristischer Verlag, hlm. 771-792.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
33
Sifat-sifat tersebut menurut Lombroso terjadi karena keturunan (orang itu
dilahirkan sebagai penjahat). Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut di atas
adalah orang-orang yang akan atau kemungkinan dapat menjadi penjahat. Orang-
orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut (memenuhi syarat-syarat tersebut) ada
kemungkinan, dan dikhawatirkan akan menjadi penjahat (lambat atau cepat) dan
dikatakan bahwa orang itu mempunyai ”Type Lombroso”. Sebab-sebab dari
kejahatan dicari pada diri orang, yaitu pada bentuk rupa dan mukanya atau pada
keadaan jiwanya yang selalu menyimpang dari kebanyakan orang lain. Si penjahat
dipandang sebagai manusia yang lebih rendah derajatnya dari pada manusia biasa.
Menurut Lambroso orang itu menjadi penjahat karena memang ia dilahirkan sebagai
seorang penjahat (geboren misdadiger). Pendapat Lomroso ini mendapat perhatian
dari masyarakat, tetapi juga dicela keras, di mana tidak setiap orang yang memenuhi
syarat-syarat penjahat dari Lombroso menjadi penjahat. Lama kelamaan terbukti
bahwa kesimpulan Lombroso itu banyak kesalahannya karena penyelidikannya
ditekankan pada faktor perseorangan (mencari sebab-sebab kejahatan pada diri si
penjahat itu sendiri).39
39 Penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materil menjadi lebih polemis mengingat pengakuan asas keadilan menjadi suatu akseptasi dari implementasi analogi yang tidak dikehendaki dalam Hukum Pidana, karenanya para ahli Hukum Pidana Belanda maupun Indonesia memberi makna secara limitif artinya perbuatan melawan hukum haruslah diartikan negatif. Ini berarti bahwa meskipun perbuatan telah memenuhi delik (melawan hukum secara formal), namun dilihat dari subtansinya ternyata perbuatannya tidak melawan hukum secara materil atau perbuatan tidak dipandang secara tercela (materiele wederrechtelijk) sehingga pelaku (terdakwa) dilepas dari tuntutan hukum. Menginggat ajaran perbuatan melawan hukum materil ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas sekaligus pengakuan Analogi yang terlarang dalam Hukum Pidana, yurisprudensi Belanda atas ajaran perbuatan melawan hukum Material dalam fungsi negatifnya hanya ditemui melalui Arrest Dokter Hewan dari Hogeraad tanggal 20 Februari 1933. Dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi di Indonesia ajaran perbuatan melawan hukum materil dengan fungsi negatif diterima sebagai penghargaan atas eksistensi legalitas. Suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum (wederrechtelijkeid) yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut atau dipidana, sesuai dengan prinsip crimen sine lege stricta: konsep melawan hukum yang secara formal trtulis (formele wederrechtelijk) yang mewajibkan pembuat undang-undang merumuskan secara cermat dan serinci mungkin, merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau yang dikenal juga dengan bestimmheidsgebot). Fungsi positif , diartikan sebagai pemidanaan maka meskipun perbuatan pelaku atau terdakwa tidak memenuhi rumusan delik (formal tidak melawan hukum atau formal tidak wederrechtelijk), tetapi bila perbuatannya dianggap tercela atau materi perbuatannya adalah wederrechtelijk maka perbuatan pelaku (terdakwa) dapat dijatuhi
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
34
Aliran Sosiologi Kriminil atau Mahzab Prancis, di mana penganjur dari teori
ini adalah A. Lacassagne (1843-1942) seorang maha guru di Perancis dalam Ilmu
Kedokteran Kehakiman. Aliran ini adalah suatu reaksi terhadap aliran Antropologi
Kriminil, yaitu meonal pendapat tentang adanya orang jahat karena pembawaan atau
penjahat semenjak lahirnya. Aliran ini berpendapat bahwa sebetulnya si penjahat itu
tidak bersalah. Seseorang itu menjadi atau berbuat jahat disebabkan karena susunan
corak dan sifat masyarakat di mana penjahat itu hidup. Mudah dimengerti bahwa
umpamanya perumahan yang sangat jelek di mana orang-orang tinggal berjejal-jejal,
terdapat kemiskinan ataupun pendidikan yang buruk sehingga anak-anak terlantar
bergelandangan di jalan-jalan dengan mudah akan menimbulkan kejahatan. Selain itu
jika harga barang-barang tinggi, misalnya karena peperangan sedangkan pendapatan
masyarakat tidak mencukupi sudah tentu kejahatan pencurian, korupsi akan lebih
besar jumlahnya daripada zaman normal. Pada kota-kota besar pengaruh film-film
yang tidak baik serta buku-buku porno tak kurang mempengaruhi jiwa anak-anak
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat dan mereka tiru dari film-film atau
buku-buku tersebut. Dalam hal ini Politik Kriminil (ilmu yang mencari cara-cara
untuk memberantas kejahatan) itu teristimewa harus ditujukan kepada perbaikan-
perbaikan dalam masyarakat, midalnya dengan jalan pemberantasan tuna susila,
sensor film, buku-buku porno, dan lain-lain, sedang si penjahat itu diberi pendidikan
dan dipindahkan ke lingkungan yang baik. Akan tetapi sebenarnya salah pula jika
hanya menitikberatkan penyelidikan tentang sebab-sebab kejahatan pada keadaan
masyarakat saja dan menyampingkan faktor individual dari seseorang karena ternyata
bahwa keadaan masyarakat atau pendidikan yang sebaik-baiknya saja tidak dapat
menghindarkan sifat-sifat jahat dari seorang penjahat.
Undang-Undang Hukum Pidana adalah peraturan hidup (norma) yang
ditetapkan oleh instansi kenegaraan yang berhak membuatnya, norma yang ditambah
dengan ancaman hukuman yang merupakan penderitaan (sanksi) terhadap barang
siapa yang melanggarnya, lazim juga dikatakan bahwa undang-undang Hukum
pemidanaan. Lihat, O.C Kaligis & Associates, Kumpulan Kasus Menarik II, Jakarta, O.C Kaligis & Associates, 2007, hlm. 102.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
35
Pidana adalah “Norma plus Sanksi”. Di dalam pembuatannya undang-undang Hukum
Pidana itu diartikan sempit sebagai undang-undang maka yang berhak membuatnya
adalah badan legislatif (DPR) bersama Pemerintah. Apabila diartikan secara luas
maka yang berhak membuat peraturan pidana adalah semua badan legislatif dan
semua orang yang mempunyai kekuasaan eksekutif (Presiden, Menteri, Kepala
Daerah, Kepala Kepolisian, dan lain-lain). Dalam hal ini tentunya badan-badan dan
orang-orang yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh lagi membuat peraturan-
peraturan pidana yang sudah dibuat oleh instansi-instansi yang lebih tinggi, apa lagi
yang bertentangan atau melampaui batas-batas kekuasaannya, jika terjadi demikian
maka dengan sendirinya peraturan pidana dari instansi bawahannya itu tdak sah
(menjadi batal).40 Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang adalah
sesudah diundangkan oleh Pemerintah (dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara)
dalam Lembaran Negara (LN). Pada zaman Hindia Belanda, undang-undang
diundangkan dalam Staatsblad (Stb = S).41 Setelah diundangkan dalam Lembaran
Negara undang-undang tersebut diumumkan dalam Berita Negara (Zaman Hindia
Belanda: De Javasche Courant, dan berita resmi di zaman Jepang: Kan Po). Tanggal
muali berlakunya undang-undang itu menurut tanggal yang ditetapkan dalam undang-
undang itu sendiri dan kalau tanggal itu disebutkan maka undang-undang itu mulai
berlaku untuk Jawa dan Madura 30 (tiga puluh) hari sesudah diundangkan dalam
Lembaran Negara dan untuk daerah yang lain 100 (seratus) hari sesudah
40 Hak Asasi Manusia dari seorang tersangka/terdakwa dan hak-hak penasehat hukum dalam suatu proses pidana seperti halnya perkara yang dihadapi bertitik tolak pada konsepsi negara hukum “rule of law”, dalam arti menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal seperti “Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak Asasi”. legalitas dar tindakan negara atau aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas. Lihat, O.C. Kaligis & Associates, Kumpulan Kasus Menarik I, Jakarta, O.C Kaligis & Associates, 2007, hlm. 43. 41 Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap Hak Asasi Manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut (menentang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya. Hal ini untuk mejamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan menjamin Hak Asasi Manusia. Lihat, Loebby Loqman, Praperadilan di Indonesia, Jakarta Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 54, sebagaimana dikutip dalam O.C. Kaligis & Associates, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus Dalam Pemberantasan Korupsi, Jakarta, O.C. Kaligis & Associates, 2006, hlm. 82.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
36
pengundangan itu. Sesudah syarat tersebut di atas dipenuhi maka setiap orang telah
dianggap mengetahui undang-undang itu.42 Tidak boleh ada orang yang melanggar
undang-undang itu sambil membela atau membebaskan diri dengan alasan: “Saya
tidak tahu peraturan itu”. Mulai tidak berlakunya dinyatakan dengan tegas oleh
instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih dengan menyatakan: undang-
undang nomor sekian dicabut, dapat juga suatu undang-undang tidak berlaku lagi
dengan tidak disebut-sebutkan, yaitu hal itu telah diatur dengan undang-undang yang
baru oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi, juga apabila
waktu berlakunya undang-undang itu telah habis. Secara singkat: a) Suatu peraturan
tidak berlaku lagi apabila waktu yang telah ditentukan oleh peraturan itu sudah
lampau, b) Bila keadaan untuk mana bunyi peraturan itu diadakan sudah tidak ada
lagi, c) Bila peraturan itu dicabut (dengan tegas atau tidak langsung), d) Bila telah ada
peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan peraturan yang terdahulu
(kebijaksanaan dalam ketatanegaraan). Kekuasaan berlakunya undang-undang
Hukum Pidana Indonesia dapat dipandang dari dua sudut: a) Yang bersifat negatif, b)
Yang bersifat positif. Berlakunya undang-undang pidana berhubung dengan waktu, di
mana undang-undang pidana tidak berkuasa (berlaku) terhadap sesuatu perbuatan
yang dilakukan sebelum undang-undang pidana itu diadakan.43 Maka suatu undang-
42 Instrumen internasional, secara khusus mengatur larangan penyiksaan terhadap anak-anak serta mengatur masalah kompensasi untuk semua korban kejahatan hak asasi manusia, terutama kejahatan penyiksaan, seperti yang dimuat dalam Panduan Untuk Aksi Tentang Anak-Anak dalam Sistem Peradilan Pidana. Bagi anak-anak yang kebebasannya ditanda (dalam penahanan), dimuat larangan bagi semua personil atau aparat dalam institusi penahanan yang diperbolehkan melakukan atau memberikan toleransi terhadap praktek penyiksaan terhadap anak-anak. Demikian juga telah diatur pelarangan penyiksaan terhadap anak-anak dalam keadaan atau situasi darurat dan konflik bersenjata. Larangan yang srupa, ditujukan untuk perlindungan perempuan serta buruh migrant dan anggota keluarganya. Selanjutnya, diadopsi juga instrumen yang mengatur perlindungan tahanan dan narapidana dari praktek penyiksaan yang dilakukan aparat atau petugas penegak hukum, dan personil medis. Secara khusus instrumen internasional mewajibkan penyusunan laporan autopsy yang detail terhadap korban penyiksaan dalam proses pencegahan dan investigasi perkara penghukuman yang sewenang-wenang dan melanggar hukum. Hal ini perlu dicatat, Jaksa atau Penuntut Umum diwajibkan menolak pembuktian yang didapat dari praktik penyiksaan terhadap tersangka, dan diwajibkan untuk mengupayakan proses hukum terhadap orang atau pihak yang bertanggngjawab melakukan penyiksaan tersebut Lihat, Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 40. 43 John Locke merupakan tokoh pertama yang melahirkan teori Hak Asasi Manusia, sehingga revolusi yang berhasil di Inggris tersebut bergema dan bertiup kencang dengan membawa ide-ide pembaharuan ke koloninya di seberang lautan di benua Amerika. Pada akhirnya meledakkan Revolusi
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
37
undang Pidana itu hanya berlaku untuk masa depannya (datang) dan tidak dapat
diperlakukan terhadap perbuatan-perbuatan sebelum diadakannya undang-undang
pidana tersebut. Pendirian tersebut dengan tegas dinyatakan oleh Anselm von
Feuerbach, yang merumuskan:
“Nulla poena sine lege
Nulla poena sine Crimine
Nullum Crimen sine poena legali”
artinya:
“Tidak ada hukuman kalau tak ada undang-undang
Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
Tidak ada kejahatan kalau tidak ada hukuman
yang berdasarkan undang-undang”.
Hal ini diharapkan untuk: a) adanya Hukum Pidana yang mencegah pejatuhan
hukuman secara sewenang-wenang oleh Pengadilan (Hakim), b) dapat dicapai
kepastian hukum, c) Hukum pidana itu bersumber kepada hukum tertulis. Undang-
undang hukum pidana tak dapat berlaku surut (Strafrecht heeft geen
terugwerkendekracht). Dalam sifatnya positif, undang-undang hukum pidana
berhubungan dengan tempat, di mana: Asas Territorial, undang-undang pidana
Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan sesuatu pelanggaran atau
kejahatan di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia. Maka undang-
undang pidana Indonesia tidak hanya berlaku terhadap warga negara Indonesia
sendiri saja, namun juga berlaku terhadap orang asing yang melakukan kejahatan di
wilayah kekuasaan Indonesia. Dasar dari pemikiran ini adalah tempat di mana
perbuatan melanggar itu terjadi, dan karena itu dasar kekuasaan undang-undang Amerika Serikat yang ditandai dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika (The America Declaration of independence). Di mana gagasan dalam deklarasi tersbeut disusun oleh Thomas Jefferson yang diungkapkan dengan kata-kata yang dikutip oleh Scott Davidson, yaitu:“Kami menganggap kebenaran-kebenaran (berikut) ini sudah jelas dengan sendirinya: bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa penciptanya telah mempenganugerahi mereka hak-hak ini adalah hak untuk hidup, bebas, dan mengejar kebahagian. Bahwa untuk menjamin hak-hak ini orang-orang mendirikan pemerintahan, yang memperoleh kekuasaannya yang benar berdasarkan persetujuan (kawula) yang diperintahnya. Bahwa kapan saja suatu bentuk pemerintahan merusak tujuan-tujuan ini, rakyat berhak untuk mengubah atau menyingkirkannya”. Lihat, Azhary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1995, hlm. 19.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
38
pidana ini dinamakan asas daerah atau asas teritorial.44 Wilayah kekuasaan undang-
undang pidana itu selain daerah daratan (teritoir), lautan dan udara teritorial, juga
kapal-kapal yang memakai bendera Indonesia (kapal-kapal Indonesia) yang berada di
luar perairan Indonesia. b) Asas nasional aktif, di mana undang-undang pidana
Indonesia berlku juga terhadap Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri,
dalam asas teritorial yang dipentingkan adalah “tempat terjadinya” kejahatan, maka
nasional aktif yang menjadi dasar adalah orang (kebangsaan) yang melakukan
kejahatan itu. Pengertian “orang” di sini adalah warga negara Indonesi, oleh karena
itu asas ini dinamakan “asas personaliteit atau asas nasional aktif”. Untuk dapat
menuntut warga negara kita di luar negeri maka diperlukan dulu “penyerahannya”
oleh negara asing yangbersangkutan kepada kita, mengenai “penyerahannya” akan
dibicarakan lebih lanjut. Asas Universal (Universaliteit), di mana undang-undang
Pidana kita dapat juga diperlakukan terhadap perbuatan-perbuatan jahat yang bersifat
merugikan keselamatan internasional yang terjadi dalam daerah yang tidak bertuan.
Maka di sini mengenai perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang
tidak termasuk kedaulatan sesuatu negara manapun, seperti: di lautan terbuka atau di
daerah kutub. Kejahatan-kejahatan yang bersifat erugikan kselamatan internasional
adalah: pembajakan di laut, pemalsuan mata uang negara manapun juga, karena di
sini yang dipentingkan keselamatan internasional maka dinamakan “Asas
Universal”.
Landasan asas atau prinsip, diartikan sebagai dasar patokan hukum yang
melandasi Sistem Peradilan Pidana merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran
aparat penegak hukum dalam menerapkan peraturan (norma) hukum yuridis normatif
44 Menurut Antonio Cassese, 2 (dua) kovenan (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights) itu secara moral dan politik mengikat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) Maka menurut Abdul Hakim G.Nusantara 3 (tiga) dokumen Universal Declarations of Human Rights, International Covenant on Economic, Social, and Cultural rights dan International Covenant on Civil and Political Rights tersebut merupakan perangkat normatif internasional dalam Hak Asasi Manusia yang setiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa diminta, bahkan didesak oleh masyarakat dunia untuk memenuhinya. Lihat, Antonio Cassese, HAM di Dunia Yang Berubah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm. xii.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
39
yang berlaku. Asas Legalitas, di mana pelaksanaan sistem peradilan pidana harus
bersumber pada titik tolak the rule of law, semua tindakan penegak hukum haruslah:
a) Berdasarkan ketentuan hukum dan undang-undang, b) Menempatkan kepentingan
hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya “supremasi hukum” yang
selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan
bangsa Indonesia. Adanya supremasi hukum menjadikan para jajaran penegak hukum
tidak dibenarkan; a) bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) dan (under
process, b) bertindak sewenang-wenang (abuse of power), setiap orang memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum (equal before the law), c) memiliki
perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection on the law), d) mendapatkan
perlakuan adil yang sama di bawah hukum (equal justice under the law).Asas
Keseimbangan, di mana perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan
perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Aparat penegak
hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh
berorientasi kepada kekuasaan semata. Di dalam melaksanakan sistem penegakan
hukum, aparat penegak hukum menghindari pelanggaran hak asasi manusia, di mana
dalam mempertahankan kepentingan masyarakat (sosial interest) yang bersamaan
dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi human dignity (martabat manusia)
dan individual protection (perlindungan individual). Asas Pra Duga Tidak Bersalah
(Presumption of innocent), di mana dalam proses penyidikan dinamakan “prinsip
akusatur” (accusatory procedure) yang menempatkan kedudukan tersangka atau
terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan, untuk: a) adalah subjek, tidak objek
pemeriksaan karena tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan
dalam kedudukan manusia yang mempunyai martabat harga diri, b) menjadi objek
pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindak pidana) yang
dilakukan tersangka atau terdakwa ke arah itulah pemeriksaan tersebut ditujukan.
Prinsip Pembatasan Penahanan, di mana masalah penahanan merupakan persoalan
yang paling esensial dalam sejarah kehidupan manusia, berkaitan dengan: a)
perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan, b) menyangkut nilai-
nilai perikemanusian dan harkat martabat kemanusian, c) menyangkut nama baik dan
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
40
pencemaran atas kehormatan diri pribadi, tegasnya setiap penahanan sendirinya
menyangkut pembatasn sementara sebagian hak-hak asasi manusia.
Selanjutnya diatur juga Asas Ganti Rugi Dan Rehabilitasi, di mana alasan
pengantian kerugian dan permintaan rehabilitasi ini, yaitu: a) penangkapan atau
penahanan secara melawan hukum, b) penangkapan atau penahanan dilakukan tidak
berdasarkan undang-undang, c) penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan
kepentingan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, d) apabila
penangkapan atau penahanan dilakukan tidak mengenai orangnya (disqualification in
person), artinya orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan dan yang
bersangkutan sudah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap atau ditahan
tidaklah dirinya (kesalahan penahanan). Ganti rugi dapat dilakukan apabila tindakan
memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum (tanpa perintah dan surat izin dari
Ketua Pengadilan), permohonan ini diajukan dalam sidang praperadilan apabila
perkara belum diajukan pada sidang pengadilan apabila sudah disidangkan dimajukan
ke pengadilan. Pengabungan Pidana Dengan Tuntutan Ganti Rugi, di mana: a)
terbatas “kerugian yang dialami” korban sebagai akibat langsung dari tindak pidana
yang dilakukan terdakwa. Misalnya kerugian yang timbul akibat pelanggaran lalu
lintas, b) jumlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya sebatas sebesar
kerugian materiil yang diderita korban, c) pengabungan perkara pidana dan gugatan
ganti rugi yang bersifat perdata dapat diajukan pihak korban sampai proses perkara
pidana belum memasuki taraf penuntut umum memajukan rekuisitur.
Asas Unifikasi, di mana perlunya pembaruan dan penyempurnaan hukum
nasional dengan mengadakan: a) pembaruan kodifikasi, b) unifikasi hukum dalam
rangkuman pelaksanaan secara nyata. Prinsip Diferensiasi Fungsional, di mana
penegasan pembagian jajaran aparat penegak hukum secara instansional. Adanya
suatu asas penjernihan (clarification) dan modifikasi (modification) fungsi dan
wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan pengelompokkan
tersebut diatur untuk membina korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan
hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi
yang lain, pada proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
41
pelaksanaan eksekusi dalam satu rangkaian integrated criminal justice system. Hal
ini dilakukan untuk:
1. Melenyapkan tindakan proses penyidikan yang “saling tumpah tindih” (over
lapping).
2. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan.
3. Untuk menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara.
4. Pengawasan yang lebih efektif dan efisien.
Prinsip Saling Koordinasi, di mana adanya koordinasi secara menyeluruh dari
mulai instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan, penasehat
hukum dan keluarga tersangka atau terdakwa. Hal ini akan melahirkan, pertama: built
in control di mana pengawasan dilaksanakan berdasar struktur masing-masing
instansi (span of control), kedua: adanya sistem saling periksa antar instansi penegak
hukum. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan, di mana
pelaksanaan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana berpedoman pada asas
cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan. Prinsip Peradilan Terbuka Untuk
Umum, di mana proses penegakan sistem hukum pidana haruslah dilandasi oleh
persamaan dan keterbukaan. Tujuan dalam sistem peradilan pidana adalah
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, di mana menjadikan setiap anggota
masyarakat mengetahui apa hak yang diberikan hukum atau undang-undang
kepadanya serta apa kewajiban yang dibebankan hukum pada dirinya. Apabila setiap
orang telah menghayati hak dan kewajiban yang ditentukan hukum kepadanya maka
masing-masing akan berdiri di atas hak yang diberikan oleh hukum tersebut.
Masyarakat yang tinggi kesadaran hukumnya tidak akan mudah dipermainkan dengan
sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dalam sebuah sistem peradilan pidana.
Tujuan sistem peradilan pidana selanjutnya adalah meningkatkan sikap mental aparat
penegak hukum, di mana sebuah gerak pembaruan hukum yang tidak dibarengi
dengan peningkatan pembinaan para aparatnya mengakibatkan hukum yang
diperbaharui tidak berarti apa-apa. Perubahan sikap mental ini dapat dilakukan
dengan: a) meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai dengan
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
42
fungsi dan wewenang masing-masing, b) peningkatan pembinaan profesionalisme, c)
peningkatan sikap mental. Tujuan sistem peradilan pidana adalah untuk menegakkan
hukum dan keadilan, melindungi harkat dan martabat manusia. Memperhatikan nilai
fundamental tujuan melindungi harkat martabat manusia dalam tindakan penegakan
hukum haruslah ada ketentuan pedomana yang manusiawai tanpa mengorbankan
ketentuan hukum, sebagaimana gambaran Prof. Mr. Roeslan Saleh, yaitu:45
a. Perlakuan cara adil dan tepat (due process)
b. Penjelasan yang terang atas tindakan yang dikenakan
c. Hasil penyelidikan jangan dipublikasikan
d. Hindari perlakuan yang kasar
e. Beri kesempatan mengutarakan pendapat
f. Mengenal lebih dari perihidup tersangka atau terdakwa.
Menegakkan ketertiban dan kepastian hukum guna mencapai arti dan tujuan
masyarakat untuk mencari dan mewujudkan ketentraman dan ketertiban. Hal ini
memerlukan: a) Pelaksanaan dan penegakan hukum dan undang-undang secara tepat,
b) Penegakan hukum yang tegas, c) Terciptanya tindakan penegakan hukum dan
keputusan peradilan yang seragam mengenai kasus yang sama. Di dalam pelaksanaan
sistem peradilan pidana dianutnya prinsip “sistem peradilan pidana terpadu”
(integrated criminal justice system), sistem terpadu tersebut diletakkan di atas prinsip
“diferensiasi fungsional” di antara penegak hukum sesuai dengan “tahap proses
kewenangan” yang diberikan oleh undang-undang pada penegak hukum. Berdasarkan
prinsip tersebut criminal justice system merupakan “fungsi gabungan” (collection of
function) dari: legislatif, polisi, jaksa, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Hal
ini dapat dilakukan dengan 4 (empat) fungsi utama:
a. Fungsi Pembuat Undang-Undang (Law Making Function), yang dilaksanakan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah atau badan lain
berdasarkan delegated legislation, diharapkan hukum yang diatur dalam
45 Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusian, Jakarta, Aksara Baru, 1979, hlm. 7.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
43
undang-undang tidak bersifat kaku, sedapat mungkin bersifat fleksibel,
akomodatif terhadap kondisi perubahan sosial (social conditions);
b. Fungsi Penegakan Hukum (Law Enforcement Function), dengan tujuan
objektif adanya tata tertib sosial (social order): a) Penegakan hukum secara
aktual (the actual enforcement law), b) Efek preventif (preventive effect) guna
mencegah orang-orang melakukan tindak pidana.
c. Fungsi Pemeriksaan Persidangan Pengadilan (Function of Adjudication),
merupakan fungsi penegakan hukum yang dilakukan oleh kejaksaan dan
pengadilan yang terkait untuk menentukan: a) kesalahan terdakwa (the
determination of guilty), b) penjatuhan hukuman (the imposition of
punishment).
d. Fungsi Memperbaiki Terpidana (The Funtion of Correction), fungsi ini
meliputi aktivitas dari Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan Sosial terkait,
dan Lembaga Kesehatan Metal. Tujuan utama seluruh lembaga tersebut
berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana. Melakukan
rehabilitasi pelaku pidana (to rehabilitate the offender) agar dapatkembali
menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive
life).
Dengan melihat kesinambungan dan pelaksanaan integrated criminal justice
system dapat dilihat keberhasilan dan kegagalan fungsi proses pemeriksaan sidang
pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menyatakan
terdakwa bersalah dan memidanakannya sangatlah bergantung dari proses penyidikan
yang dilakukan pihak penyidik. Di dalam pelaksanaannya sebaiknya pihak penyidik
melakukan berbagai upaya guna mendorong sebuah integrated criminal justice system
dengan melakukan:
a. Penyidikan dilakukan secara independen dengan melaksanakan fungsi
operasional ketertiban umum tenpa campur tangan (intervensi) dan kontrol
dari kekuasaan Pemerintah mana pun.
b. Penyidikan yang dilakukan sebaiknya mengandung aspek supervisi.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
44
c. Penyidikan yang dilakukan menuntut independensi pada personel yang
kualifaid yang memadai jumlahnya (Adeguate number of sufficiently qualified
personel).
d. Aspek kondisi kerja dan perlengkapan peralatan teknologi modern yang baik
dan cukup memadai.
e. Adanya pembatasan aspek dalam izin membunuh (licensed to kill).
Prinsip untuk melaksanakan Due Process Of Law, di mana pelaksanaan hak
dan kewenangan istimewa tersebut haruslah tunduk kepada prinsip the right of due
process dengan landasan sesuai dengan hukum acara. Permasalahan ini terkait erat
dengan masih banyaknya keluhan yang disuarakan oleh anggota masyarakat tentang
berbagai pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan yang menyimpang dari ketentuan
hukum acara akibat “diskresi” yang dilakukan dalam proses penyelidikan dan
penyidikan.46 Diperlukan sebuah prinsip ketaatan pada penegakan hukum pidana
yang berlandaskan prinsip the right of due process of law. Hak due process dalam
melaksanakan tindakan penegakan hukum bersumber pada cita-cita negara hukum
yang menjunjung tinggi supremasi hukum (the law is supreme) yang diperintahkan
oleh hukum dan tidak oleh orang per orang (government of law and not of men).
Konsep ini menuntut penegakan hukum yang menempatkan dirinya tidak di atas
hukum dengan prinsip kejujuran dan perlakuan yang jujur. Eksistensi due process
adalah penyesuaian terhadap persyaratan konstitusi dan taat hukum. Oleh karena itu
due process tidak boleh melanggar terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan
46 Sistem Peradilan Pidana, diartikan sebagai suatu penegakan hukum atau law enforcement maka di dalamnya terkandung aspek hukum yang menitikberatkan kepada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum (legal certainty). di lain pihak apabila pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defence yangterkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka dalam sistem pidana terkandung aspek sosial yang menitikberatkan kepada kegunaan (expediency). Ciri pendekatan “sistem” dalam peradilan pidana, ialah:
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, dan Penasehat Hukum).
b. Pengawasan dan pengunaan kekuasaan oleh peradilan pidana. c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara. d. Pengunaan hukumsebagai instrumen untuk memantapkan “the administration of justice”.
Lihat, Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law itu?, Bandung, Penerbit Alumni, 1966, hlm. 202.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
45
dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain. Hal ini dapat diwujudkan dengan
prinsip-prinsip:
a. Tidak seorang pun dapat dipaksakan menjadi saksi yang memberatkan dirinya
dalam suatu tindak pidana (the right of self incrimination).
b. Dilarang mencabut atau menghilangkan hak hidup, kemerdekaan, atau harta
benda tanpa sesuai dengan hukum acara (without due process of law).
c. Setiap orang harus terjamin hak terhadap dirinya, kediaman, surat-surat atas
pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan (unrereasonable searches
and seizures).
d. Adanya hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang
melakukan penuduhan (cross-examination).
e. Adanya hak untuk memperoleh pemeriksaan (peradilan) yang cepat (the right
to a speed trial).
f. Adanya hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum
(equal protection and equal treatment of the law), terutama dalam menangani
kasus yang sama dengan tidak ada perlakuan yang berbeda atau diksriminatif.
g. Adanya hak untuk mendapatkan bantuan penasehat hukum (the right to have
assistance of counsil). Dalam hal ini terkait dengan Miranda Rule yang
melarang adanya praktek pemaksaan untuk memperoleh pengakuan (brutality
to coerce confession) dan melakukan intimidasi kejiwaan (psychological
intimidation).47
Beberapa pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) menyebutkan salah
satu unsur khusus dari suatu tindak pidana tertentu adalah wederrechtelijke atau sifat
47 Di mana pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan. Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki organisasi kerja yang bersifat horizontal dan vertikal. Sedangkan dari aspek pendekatan sosial, keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan aparatur penegak hukum tersebut. Lihat, Geofrey Hazard Jr. dalam Stanford Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, The Free Press Mcmillan Company, hlm. 20.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
46
melanggar hukum. Adakalanya dengan penyebutan ini ditekankan bahwa sifat
melanggar hukum ini terutama mengenai satu bagian dari tindak pidana.48
Penyebutan “sifat melanggar hukum” dalam pasal-pasal tertentu ini menimbulkan
tiga pendapat tentang arti dari melanggar hukum, yaitu:49 a. bertentangan dengan
hukum (objektif); b. bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain; dan c. tanpa hak.
Menurut Wirjono perbedaan antara ketiga pendapat tersebut jelas ada. Apabila suatu
perbuatan bertentangan dengan suatu peraturan hukum tertentu (objektif), belum
tentu dengan perbuatan itu terlanggar suatu hak (subjektif) orang lain, misalnya
apabila peraturan hukum yang terlanggar mengenai tata tertib, tanpa menyinggung
hak orang lain.50 Untuk itu, hal inilah yang membedakan hukum pidana dari bidang
hukum lain yaitu sanksi yang berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggaran
normanya. Sanksi dalam hukum pidana ini ialah sanksi yang negatif, oleh karena itu
hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif.51
Sifat pidana sebagai “ultimum remedium” menghendaki apabila tidak perlu
sekali hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Menurut pendapat
sarjana, hukum pidana itu hendaknya dipandang sebagai ultimum remidium atau
sebagai suatu upaya yang harus digunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki
kelakuan manusia.52 Sejalan dengan sifat pidana tersebut di atas, ialah melukai benda
hukum orang yang dikenai (rechtsguterverletzung), maka untuk mengenakannya
perlu ada pembatasan, ada syarat-syarat atau jaminan (guarantees). Kemudian,
masalah kedua yaitu syarat-syarat untuk memungkinkan pengenaan pidana. Syarat-
syarat ini ditetapkan oleh pembentuk undang-undang dan ilmu pengetahuan
(doctrine), sedang yang harus memperhatikan syarat-syarat ini dalam masalah yang
48 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 1. 49 Ibid, hlm. 2 50 Ibid. 51 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 22 52 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia , Sinar Baru bandung 1990, Hal.16
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
47
konkret adalah hakim, jaksa, dan lain-lain.53 Syarat-syarat itu pada dasarnya dilihat
kepada perbuatan dan kepada orang yang berbuat itu. Dalam hukum pidana terdapat
nilai-nilai atau azas-azas yang penting, ialah azas legalitas dan azas kesalahan
(culpabilitas). Azas yang pertama menyangkut perbuatan, sedang yang kedua
menyangkut orangnya. Azas-azas ini disebut azas nullum crimen sine lege dan azas
nulla poena sine culpa.54
53 Ibid, hal 24-25. 54 Ibid.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
48
BAB III
GAMBARAN UMUM
PENEGAKAN HUKUM DI BIDANG KEIMIGRASIAN
Penegakam Hukum Di Bidang Keimigrasian
Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian dan Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-
337.IL.02.01 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Penyidikan Tindak Pidana
Keimigrasian, yang dimaksud dengan tindak pidana keimigrasian adalah setiap
perbuatan yang melanggar peraturan keimigrasian baik berupa kejahatan maupun
pelanggaran yang diancam dengan hukuman pidana terhadapnya. Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Imigrasi mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak
pidana keimigrasian sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 48 sampai Pasal 61
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Pembagian tindak
pidana keimigrasian menurut Pasal 62 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian dibagi menjadi Kejahatan dan Pelanggaran yaitu tindak pidana
keimigrasian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48, 49, 52, 54, 56, 57, 58, dan
Pasal 59 adalah Kejahatan, sedangkan tindak pidana keimigrasian sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 51, 60 dan Pasal 61 adalah Pelanggaran.Di dalam proses
penyelesaian tindak pidana keimigrasia dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Tindakan keimigrasian. Tindakan Keimigrasian adalah tindakan administrasi di
bidang Keimigrasian yang dilakukan oleh pejabat Imigrasi berupa:
a. Pembatasan, perubahan atau pembatalan izin keberadaan;
b. Larangan untuk berada di suatu atau beberapa tempat tertentu di wilayah Indonesia;
c. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah Indonesia;
d. Pengusiran atau deportasi dari wilayah Indonesia atau penolakan masuk ke wilayah Indonesia.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
49
Tindakan Keimigrasian dilakukan sebagai sanksi administratif terhadap orang
asing yang melanggar peraturan Keimigrasian dan ketentuan-ketentuan lainnya
mengenai orang asing sesuai dengan dimaksud dalam pasal 19 Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.02-PW.09.02 tanggal 14 Maret Tahun
1995 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengajuan Keberatan Orang Asing dan
Tindakan Keimigrasian. Tindakan Keimigrasian dapat dilakukan terhadap orang
asing pemegang izin Keimigrasian atau tanpa izin Keimigrasian, mulai saat
masuk, berada dan akan meninggalkan wilayah Indonesia. Jenis Tindakan
Keimigrasian: a). Penolakan masuk Indonesia terhadap orang asing yang
tergolong dalam Pasal 8 dan 17 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian; b). Penolakan pemberian tanda bertolak terhadap orang asing yang
dikenakan tindakan pencegahan sebagaimana dalam Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan penjelasannya; c). Tindakan
Keimigrasian terhadap orang asing sebagaimana tersebut dalam Pasal 42 ayat (1)
Undang-Undang No.9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
2. Tindakan justisial. Orang asing yang telah cukup bukti melakukan tindak pidana
keimigrasian diajukan ke Pengadilan. Penyidikan, pemberkasan, penyampaian
perkara dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.Tata Cara Penyidikan dan
pemberkasan tindak pidana keimigrasian diatur dengan Keputusan Direktur
Jenderal Imigrasi.
Pengertian penyidikan diatur dalam pasal 1 butir 2 Kitab Undang – undang
Hukum Acara Pidana ( KUHP ) .55 yang dimaksub dengan peyidik berdasarkan Pasal
1 butir 1 dan dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1) KUHP hanya terdapat dua lembaga
saja, yaitu:
1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
55 Pasal I ke-2 KUHP menguraikan bahwa penyidikan adalah serangkai tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
50
2. Pejabat Pegawai Negara Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan peyidikan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia,56 maka di dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d disebutkan bahwa Kejaksaan RI
juga diserahi tugas dan wewenang untuk melakukan tindakan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu seperti yang berkaitan dengan pelanggaran / kejahatan terhadap
Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. Selain Kejaksaan, maka komisi
Pemberantasan korupsi (KPK) juga diberikan kewenangan untuk melakukan
penyidikan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi57 Pasal 6 hurup c.58
Sehingga bila kita melihat perkembangan peristiwa diatas maka dalam Draf
rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 6 disebutkan bahwa
yang dapat disebut sebagai penyidik yaitu :
1. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
2. Pejabat pagawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan ( antara lain seperti pejabat imigrasi, pejabat bea cukai, pajabat pajak, pejabat Bapepam, pejabat tera, pejabat telekomonukasi ataupun pejabat lalu lintas jalan raya ).
3. Pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan ( antara lain seperti anggota komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dan jaksa).
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP tersebut, pejabat pegawai negeri sipil diberikan
tugas dan kewenangan untuk malakukan tindakan penyidikan. Pengaturan tersebut
juga terdapat dalam pasal 1 ke-9 undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang
56 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, LN Tahun 2004 No.67 -tanggal 26 Juli 2004 TLN No. 4401
57 undang-undang No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tidak pidana korupsi, LN RI tahun 2002 No.137 tanggal 27 desember 2002 TLN No.4250
58 Pasal 6 huruf c UU KPK berbunyi : “Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas melakukan peyelidikan, peyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
51
kepolisian negara RI, sedangkan menurut petunjuk lapangan Kapolri No,
Juklap/05/XII/1988 tentang proses penyidikan tindak pidana oleh PNS dijelaskan
bahwa :
a. PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan suatu
departeman/Instansi yang berdasarkan undang-undang yang ditunjuk selaku
penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak
pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya serta
telah memperoleh pengangkatan dari menteri kehakiman RI.
b. Pengawasan dan/atau pengamatan adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang oleh atau kuasa undang-undang ditunjuka untuk melakukan pengawasan
dan/atau pengamatan terhadap ditaatinya ketentuan undang-undang dan atau
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dalam lingkup tugas dan
kewenangan dari departemen/instalasi di mana PNS tersebut bertugas serta
yang terjadi dalam wilayah kerjanya.
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi pembinaan keimigrasian, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan tindak pidana keimigrasian. Hal tersebut diatur dalam Pasal 47 Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian.59 Disamping menjalankan tugas
59Hukum sebagai norma mempunyai ciri kekhususan, yaitu hendak melindungi, mengatur dan memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum. Pelanggaran ketentuan hukum dalam arti merugikan, melalaikan, atau menganggu keseimbangan kepentingan umum dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat. Reaksi yang diberikan berupa pegembalian ketidakseimbangan yang dilakukan dengan mengambil tindakan terhadap pelanggarnya. Pengembalian ketidakseimbangan bagi suatu kelompok sosial yang teratur dilakukan oleh petugas yang berwenang dengan memberikan hukuman. Ketentuan-ketentuan yang diberlakukan kepada seseorang yang melalaikan atau menganggu keseimbangan kepentingan umum adalah ketentuan hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial saat itu, bukan ketentuan hukum masa lalu yang sudah tidak berlaku atau yang sedang direncanakan berlakunya. Dengan kata lain, bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku itu merupakan hukum positif. Hukum positif yang sering juga disebut ius constitutum ialah ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku pada suatu saat, waktu, dan tempat tertentu. Lihat, R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 3.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
52
sebagai aparat pelayanan keimigrasian aparat imigrasi juga bertugas sebagai aparat
penegak hukum dan keamanan (security), maka dalam konteks ini aparat imigrasi
atau pejabat imigrasi dapat diangkat sebagai Penyidik pegawai negeri Sipil (PPNS)
sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun1981 tentang KUHAP. Dalam
melakukan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi, berada dibawah
koordinasi dan pengawasan Penyidik Polisi Republik Indonesia yang dilaksanakan
berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Untuk membekali
keterampilan sebagai penyidik maka sebelum diangkat sebagai Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Imigrasi, Pejabat Imigrasi tersebut harus terlebih dahulu mengikuti
pendidikan khusus dibidang penyidikan yang dilaksanakan oleh Kepolisian Republik
Indonesia.60 Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi diatur dalam Pasal
47 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan
dilaksanakan berdasarkan Hukum Acara Pidana , sebagai berikut:
a. Menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian; b. Memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan
seseorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian; c. Memeriksa dan/atau menyita surat-surat, dokumen-dokumen, Surat
Perjalanan, atau benda-henda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian;
d. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi, baik saksi yang meringankan/memberatkan maupun saksi ahli;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tertentu yang diduga terdapat surat-surat, dokumen-dokumen, surat perjalanan, atau benda-benda lain yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian;
f. Mengambil sidik jari serta memotret tersangka.
Pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi
tersebut diatas, tidak mengurangi kewenangan Penyidik Polisi Republik Indonesia
untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Penyidik Polisi Republik
60 Republik Indonesia, Pasal 2 angka 4 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.18.PW.07.03 Tahun 1993 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengusulan Pengangkatan, Mutasi, dan Pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
53
Indonesia diminta atau tidak diminta dapat memberi petunjuk dan bantuan
penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Pemberian petunjuk dan
bantuan tersebut meliputi hal-hal yang berkaitan dengan tehnik dan taktik
penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan tersangka serta pemeriksaan
barang bukti di laboratorium. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Imigrasi sejak awal dimulainya penyidikan tindak pidana
keimigrasian harus memberitahukan tentang penyidikan yang sedang dilakukan
kepada Penyidik Polisi Republik Indonesia. Setelah itu, hasil penyidikan berupa
berkas perkara, penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum
untuk kepentingan penuntutan diserahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi
melalui Penyidik Polisi Republik Indonesia . Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Imigrasi dilakukan dalam rangka tujuan pemidanaan, yaitu:
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri;
b. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan;
c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tindak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.61
Menurut Wiryono Prodjodikoro bahwa tujuan dari hukum pidana ialah untuk
memenuhi rasa keadilan. Disamping itu, beberapa sarjana hukum lainnya
mengemukakan tentang tujuan hukum pidana, yaitu :62
a. Untuk menakuti-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun menakuti
orang tertentu yang sudah menjalankan agar di kemudian hari tidak
melakukan kejahatan lagi (speciale preventie);
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka
melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya;
c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman Negara
masyarakat dan penduduk, yakni untuk membimbing agar terpidana insaf dan
61 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984, hlm. 11
62 Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 3
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
54
menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna dan untuk
menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Tujuan hukum pidana sebagaimana tertera di atas, pada hakikatnya
merupakan tujuan umum Negara. Dengan demikian, maka politik hukum pidana
adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.63 Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.18.PW.07.03 Tahun 1993 tanggal 15 September 1993 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengusulan Pengangkatan, Mutasi, dan Pemberhentian Penyidik
Pegawai Negeri Sipil, pengusulan, pengangkatan dan pemberhentian penyidik
pegawai negeri sipil diajukan oleh Menteri yang membawahi pegawai negeri sipil
yang bersangkutan kepada Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia). dan Menteri tersebut dapat melimpahkan wewenangnya kepada
Sekretaris Jenderal Departemen yang bersangkutan dengan menyampaikan tembusan
pengusulan pengangkatan dan pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil kepada
Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk
mendapatkan pertimbangan.64Pegawai Negeri Sipil yang dapat diusulkan menjadi
penyidik pegawai negeri sipil adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:65
a. Berpangkat minimal Pengatur Muda Tingkat 1 (Golongan II/b);
b. Berpendidikan minimal Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLA);
c. Ditugaskan dibidang teknis operasional;
d. Telah mengikuti pendidikan khusus di bidang penyidikan;
e. Mempunyai nilai baik atas Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3)
Pegawai Negeri Sipil selama 2 (dua) tahun terakhir berturut-turut;
f. Berbadan sehat dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
63 Ibid.
64 Republik Indonesia, Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.18.PW.07.03 Tahun 1993, Loc.cit, hal 2. 65 Pasal 2 jo Pasal 3, Ibid.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
55
Kemudian didalam surat pengusulan pengangkatan penyidik pegawai negeri
sipil, harus dicantumkan nomor, tahun dan nama Undang-undang yang menjadi dasar
hukum pemberian kewenangan sebagai penyidik pegawai negeri sipil dan wilayah
kerja penyidik pegawai negeri sipil yang diusulkan. Apabila semua persyaratan telah
dipenuhi serta pertimbangan dari Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia telah diterima oleh Menteri Kehakiman, maka Menteri akan mengeluarkan
Surat Keputusan Pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil bagi pegawai negeri
sipil yang bersangkutan dalam waktu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterimanya
kedua pertimbangan tersebut. Tata cara penyidikan tindak pidana keimigrasian diatur
dalam Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-337.IL.02.01 Tahun
1995 sedangkan untuk pelaksanaan penyidikannya didasarkan pada Hukum Acara
Pidana dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.Penyidikan
yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana keimigrasian yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya, dalam hal dan menurut. cara yang diatur dalam Hukum
Acara Pidana .Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Imigrasi harus memperhatikan azas-azas yang terdapat dalam Kitab Hukum Acara
Pidana , yaitu :
a. Praduga Tak Bersalah. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,
dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum yang tetap, persamaan dimuka hukum, perlakuan
yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan
perbedaan.
b. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum/penasehat hukum.
c. Kepada tersangka wajib diberitahukan apa yang dipersangkakan kepadanya dan
haknya untuk mendapat bantuan hukum/didampingi penasehat hukum untuk
kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak dilakukan pemeriksaan, pcnangkapan
dan atau penahanan.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
56
d. Hak untuk didampingi Juru bahasa.
e. Kepada tersangka yang tidak bisa dan mengerti Bahasa Indonesia maka Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Imigrasi wajib menghadirkan/menyediakan tenaga Juru
bahasa sesuai bahasa yang dipergunakan dan dimengerti oleh tersangka.
f. Hak untuk menghubungi pihak Perwakilan Negara yang bersangkutan.
g. Tersangka sejak saat ditangkap dan atau ditahan berhak untuk menghubungi pihak Perwakilan negaranya untuk kepentingan pemberitahuan kepada keluarganya atau pihak lainnya, bahwa ia sedang dalam proses penyidikan tindak pidana keimigrasian di Indonesia.
Setiap tindakan penyidikan dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh
pejabat yang berwenang dan dengan cara yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan. Penyidik tindak pidana keimigrasian di dalam melaksanakan tindakan
penyidikan dengan sengaja atau karena kelalaiannya terjadi suatu pelanggaran hukum
dapat dikenakan pra peradilan. Suatu tindak pidana keimigrasian dapat diketahui
melalui laporan, tertangkap tangan, diketahui langsung oleh petugas imigrasi dan dari
hasil pemantauan keimigrasian.66 Dasar hukumnya adalah Pasal 102 ayat (2) dan (3) ,
Pasal 106 , Pasal 108, Pasal 109 ayat (1), Pasal 111 Hukum Acara Pidana dan Pasal
47 sampai Pasal 61 Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Laporan tentang terjadinya dugaan tindak pidana keimigrasian yang diketahui, dilihat
dan didengar oleh masyarakat, instansi terkait dan petugas Imigrasi yang disampaikan
secara tertulis maupun lisan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi akan
dicatat dan dituangkan dalam laporan keimigrasian yang ditandatangani oleh pelapor
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Selanjutnya kepada pelapor tadi akan
diberikan surat tanda penerimaan laporan. Sedangkan dalam hal tersangka tertangkap
tangan, maka: Setiap petugas imigrasi tanpa surat perintah dapat melakukan tindakan
penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan melakukan tindakan lain rnenurut
hukum yang berlaku dan dilakukan dengan tindakan bertanggung jawab dan setelah
itu memberitahukan dan atau menyerahkan tersangka beserta atau tanpa barang bukti
66 Pemantauan keimigrasian adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui secara dini setiap peristiwa yang diduga mengandung unsur-unsur pelanggaran keimigrasian.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
57
kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi, untuk dilakukan penyidikan lebih
lanjut. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi yang menerima penyerahan tersangka
beserta atau tanpa barang bukti, wajib:
a. Membuat laporan keimigrasian;
b. Melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan;
c. Membuat berita acara atas setiap tindakan yang dilakukannya tersebut.
d. Kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana keimigrasian
dalam petunjuk pelaksanaan tersebut digolongkan atas penindakan, pemeriksaan
dan penyelesaian serta penyerahan berkas perkara.
e. PPNS Imigrasi dalam melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian harus
mengkoordinasikan penyidikan tersebut ke pihak POLRI berupa surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan, kemudian membuat surat ke kedutaan
negara tersangka bahwa seorang warga negaranya sedang dalam proses
penyidikan hukum Indonesia
f. Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun
benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian yang terjadi.
yang terdiri dari pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan.
g. Pemanggilan tersangka dan saksi, dasar hukumnya adalah Pasal 7 ayat (2), Pasal
112, Pasal 113 Hukum Acara Pidana , dan Pasal 47 ayat (2) huruf b Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. dasar pertimbangan
pengeluaran surat panggilan adalah laporan keimigrasian, pengembangan hasil
pemeriksaan yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan. Pejabat yang
berwenang menandatangani surat panggilan adalah Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Imigrasi, dalam hal pimpinan instansi Imigrasi bukan penyidik, maka surat
panggilan ditanda-tangani oleh penyidik dengan diketahui oleh pimpinannya.
Dalam hal seorang yang dipanggil tidak berada ditempat, surat panggilan
tersebut diterimakan kepada keluarganya atau kepada Ketua RT atau Ketua RW atau
Ketua Lingkungan atau Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
58
surat panggilan tersebut akan disampaikan kepada yang bersangkutan. Dalam hal
seorang menolak untuk menanda tangani panggilan, maka petugas yang
menyampaikan panggilan berusaha memberikan pengertian arti pentingnya surat
panggilan tersebut. Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi panggilan
tanpa alasan yang patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani
surat panggilan untuk kedua kalinya, maka untuk panggilan ketiga disertai surat
perintah membawa yang bersangkutan dengan bantuan Polisi. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam kegiatan pemanggilan dalam tindak pidana keimigrasian ini
adalah:
a. Sebagai peringatan terhadap orang yang menolak memenuhi panggilan dan
adanya sanksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 216 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana .Dalam hal tersangka atau saksi yang dipanggil untuk kedua
kalinya, tetapi tidak memenuhi tanpa alasan yang patut dan wajar atau tetap
menolak untuk menerima dan menandatangani surat panggilan kedua, berlaku
surat perintah membawa yang bersangkutan dengan bantuan Polisi.
b. Dalam hal pelaksanaan pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana maka
surat panggilan ditanda tangani Polisi.
c. Penangkapan dasar hukumnya adalah Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 17,
Pasal 75, Pasal 111 Hukum Acara Pidana dan Pasal 47 ayat (2) huruf b
Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian. Dasar
pertimbangan untuk melakukan penangkapan dan pembuatan surat perintah
penangkapan, adalah laporan keimigrasian, pengembangan hasil pemeriksaan
yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan. Pejabat yang berwenang
menanda-tangani surat perintah penangkapan adalah Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Imigrasi, dalam hal pimpinan instansi Imigrasi bukan penyidik, maka
surat penangkapan ditanda-tangani oleh penyidik dengan diketahui oleh
pimpinannya. Penangkapan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Imigrasi terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana
keimigrasian berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
59
Penangkapan terhadap tersangka harus dilengkapi dengan surat perintah tugas
dan surat perintah penangkapan yang sah. Kemudian setelah melakukan
penangkapan, harus dibuat berita acara penangkapan yang ditanda-tangani oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi dan tersangka yang ditangkap. Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam kegiatan penangkapan dalam tindak pidana keimigrasian
adalah:
a. Setelah penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksaan untuk dapat
menentukan apakah perlu diadakan penahanan atau tidak mengingat jangka
waktu penangkapan yang diberikan o1eh Hukum Acara Pidana hanya l x 24
jam.
b. Terhadap tersangka pelanggaran sebagaimana tersebut dalam pasal 51,60 dan
61 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, tidak dapat
dilakukan penangkapan, kecuali bila telah dipanggil secara sah dua kali
berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.
c. Segera setelah dilakukan penangkapan, maka kepada tersangka dan
keluarganya dan atau perwakilannya diberikan masing-masing 1 (satu) lembar
tembusan surat perintah penangkapan tersebut.
d. Setelah dilakukan penangkapan Penyidik PNS Imigrasi membuat surat
pemberitahuan kepada kedutaan negara tersangka.
Penahanan, sebelum dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI
Nomor M.01.PR.07.04 tahun 2004 tentang organisasi dan tata kerja rumah Detensi
imigrasi penahanan tersangka tindak pidana keimigrasian atur dalam Keputusan
Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor M.02—PW. 09.02 athun 1995 tentang tata
cara pengawasan orang asing, pengajuan keberatan orang asing dan tindakan
keimigrasian yaitu pada pasal 17. setelah dikeluarkan Keputusan tentang Organisasi
dan tata kerja Rumah Detensi Imigrasi ketentuan mengenai penahan tersangka tindak
pidana keimigrasian dilaksanakan sesuai KUHAP dasar hukumnya adalah Pasal 7
ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 29, Pasal 30,
Pasal 31, Pasal 75, Pasal 123 Hukum Acara Pidana dan Pasal 47 ayat (2) huruf b
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
60
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, yang berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan adalah Kepala Instansi selaku Penyidik
Pegawai Negeri Sipil , dalam hal Kepala Instansi bukan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil maka Surat Perintah ditanda-tangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
dengan diketahui oleh Kepala Instansi. Penyitaan dasar hukumnya adalah Pasal 7 ayat
(2), Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 75, Pasal 128, Pasal 131 Hukum Acara Pidana dan Pasal 47 ayat (2)
huruf c Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, pertimbangan
untuk melakukan penyitaan dan pengeluaran surat perintah penyitaan adalah adanya
laporan keimigrasian, hasil pemeriksaan, hasil penggeledahan. Yang berwenang
mengeluarkan surat perintah penyitaan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Imigrasi.
a. Penyitaan dilakukan dengan surat perintah setelah mendapat izin/izin khusus
dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak, karena memerlukan tindakan segera, penyitaan dapat dilakukan
tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri tetapi terbatas pada benda-benda
bergerak dan sesudahnya segera dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat guna mendapatkan persetujuan.
b. Surat atau Dokumen yang dapat disita untuk kepentingan penyidikan terdiri
dari: a). Surat Perjalanan RI. atau Dokumen keimigrasian; b). Surat perjalanan
dari Negara sing; c). Surat Perjalanan RI. dan atau Dokumen keimigrasian
yang diduga diperoleh secara tidak sah; d). Surat atau dokumen lain yang
berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dalam tindak pidana
keimigrasian.
c. Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan,
keidentikan tersangka atau saksi dan atau barang bukti maupun tentang unsur-
unsur tindak pidana keimigrasian yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau
peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana keimigrasian
tersebut menjadi jelas. Dasar hukumnya adalah Pasal 7 ayat ( 2 ), Pasal 51,
Pasal 53, Pasal 75, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116,
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
61
Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120 Hukum Acara Pidana dan Pasal
47 ayat ( 2 ) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian. Dasar pertimbangan dilakukan pemeriksaan adalah adanya
laporan keimigrasian, berita acara pemeriksaan, penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan serta adanya petunjuk dari Penuntut Umum
untuk melakukan pemeriksaan tambahan. Pejabat yang berwenang melakukan
pemeriksaan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Pemeriksaan
terhadap tersangka dan atau saksi dilakukan dengan cara wawancara,
interogasi dan konfrontasi yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan
yang diperlukan untuk dituangkan dalam berita acara pemeriksaan,.
Sebelum dimulainya pemeriksaan terhadap tersangka, Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Imigrasi wajib memberitahukan hak tersangka untuk mendapatkan
bantuan hukum atau dalam perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56
Hukum Acara Pidana khususnya yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih
dimana tersangkanya tidak mampu untuk membayar Penasehat Hukum maka
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi harus menunjuk Penasehat Hukum.
Kemudian dalam pemeriksaan diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti oleh tersangka tentang apa yang dipersangkan, pada waktu Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Imigrasi sedang me1akukan pemeriksaan tersangka, Penasehat
Hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar
pemeriksaan, selama dalam pemeriksaan juga ditanyakan apakah tersangka
menghendaki saksi yang menguntungkan dirinya dan bila ada, maka Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Imigrasi wajib memanggil saksi yang meringankan tersangka
dan memeriksanya. Dalam proses pemeriksaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Imigrasi tidak diperkenankan menggunakan penekanan da1am bentuk apapun.
Pemeriksaan Saksi / Saksi Ahli tidak disumpah, kecuali terdapat cukup alasan diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir di Pengadilan. Pemeriksaan dilaksanakan sesuai
dengan tempat dan waktu yang telah ditetapkan dalam surat panggilan. Pemeriksaan
harus membangkitkan rasa simpati dan menumbuhkan niat memberikan keterangan
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
62
yang lebih jelas dengan menghindarkan sifat konfrontasi. Bila dianggap perlu untuk
kepentingan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil lmigrasi dapat meminta
pendapat ahli yang memiliki keahlian khusus dengan terlebih dahulu diambil
sumpahnya. Dasar hukum pembuatan berita acara pemeriksaan tersangka dan Saksi /
Saksi ahli adalah Pasal 75 Hukum Acara Pidana . Dalam melakukan pemeriksaan
tersangka dan atau saksi/saksi ahli atau tindakan-tindakan lain dalam rangka
pemeriksaan tersebut harus dituangkan dalam berita acara yang memenuhi
persyaratan formil dan materil. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan
pemeriksaan tersangka dan Saksi/Saksi ahli adalah: Disediakan ruangan yang
konstruksinya memenuhi persyaratan untuk pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan
dapat menampung kebutuhan bantuan hukum bagi tersangka tanpa mengganggu
kelancaran jalannya pemeriksaan.
a. Tersangka dan saksi harus dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
b. Dalam hal tersangka tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan,
hal tersebut dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
c. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan terakhir dari
pada proses penyidikan tindak pidana keimigrasian. Penyelesaian dan
penyerahan berkas perkara merupakari kegiatan akhir dari pada proses
penyidikan tindak pidana keimigrasian.
Dasar hukumnya adalah Pasal 3, Pasal 107 ayat (3), Pasal 109 ayat (2), Pasal
110 dan Pasal 138 Hukum Acara Pidana . Dasar pertimbangan penyelesaian dan
penyerahan berkas perkara adalah hasil pemeriksaan tersangka dan saksi/saksi ahli
serta kelengkapannya, memenuhi unsur-unsur tindak pidana keimigrasian dan demi
hukum. Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri dari pembuatan resume,
penyusunan isi berkas perkara, pemberkasan, penyerahan berkas perkara dan
penghentian penyidikan. Pembuatan resume merupakan kegiatan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Imigrasi untuk menyusun ikhtisar dan kesimpulan berdasarkan hasil
penyidikan suatu tindak pidana keimigrasian yang terjadi. Penyusunan isi berkas
perkara antara lain : sampul berkas perkara, daftar isi berkas perkara, resume, laporan
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
63
keimigrasian, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara, surat perintah
penyidikan, surat perintah tugas penyidikan, surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan, surat panggilan saksi/tersangka, surat perintah membawa, berita acara
pemeriksaan saksi, berita acara pemeriksaan tersangka, berita acara penyumpahan
saksi, berita acara konfrontrasi, surat perintah penangkapan, berita acara
penangkapan, surat perintah penahanan, berita acara penahanan, surat perintah
penangguhan penahanan, berita acara penangguhan penahanan, surat perintah
pengalihan jenis penahanan, berita acara pengalihan jenis penahanan, surat perintah
perpanjangan penahanan, surat permohonan perpanjangan penahanan, berita acara
perpanjangan penahanan, surat perintah pengeluaran tahanan, berita acara
pengeluaran dari tahanan, surat izin/penggeledahan/penyitaan dari Pengadilan Negeri
setempat, berita acara penggeledahan, surat perintah penyitaan, berita acara penyitaan
barang bukti, surat tanda penerimaan, berita acara penyisihan barang bukti, berita
acara pengembalian barang bukti, berita acara pembungkusan dan penyegelan barang
bukti, berita acara pemeriksaan surat, berita acara penyitaan surat, berita acara
tindakan-tindakan lain, dokumen-dokumen bukti, daftar tersangka, daftar barang
bukti, surat kuasa tersangka kepada Penasehat Hukum, lain-lain yang perlu
dilampirkan. Pemberkasan merupakan kegiatan untuk memberkas isi berkas perkara
dengan susunan dan syarat-syarat, penyampulan, pengikatan dan penyegelan yang
ditentukan serta penomorannya. Penyerahan berkas perkara merupakan merupakan
kegiatan pengiriman berkas perkara berikut tanggung jawab atas tersangka dan
barang buktinya yang diserahkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil kepada Penuntut
Umum melalui penyidik Kepolisian Republik Indonesia yang dilakukan dalam dua
tahap sebagai berikut:
a. Pada tahap pertama berkas perkara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi
hanya menyerahkan berkas perkara;
b. Tahap berikutnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan penyelesaian dan penyerahan berkas
perkara, adalah:
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
64
a. Dengan tidak adanya ketentuan berapa kali Penuntut Umum mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi, maka penyerahan berkas
perkara harus diteliti secara cermat, apakah berita acara pemeriksaan tersangka
dan saksi/saksi ahli sudah memenuhi persyaratan formil dan materil meupun
kelengkapan administrasinya.
b. Bila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara diserahkan tidak
dikembalikan oleh Penuntut Umum, maka penyidikan dianggap selesai.
c. Pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada penyidik harus
disertai dengan petunjuk tertulis secara jelas yang memuat hal-hal yang harus
dilengkapi.
Penghentian penyidikan merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara
yang dilakukan apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana keimigrasian atau dan dihentikan demi hukum. Dalam
penghentian penyidikan ini berkas perkara tidak diserahkan kepada Penuntut Umum,
tetapi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi melalui Penyidik Kepolisian Republik
Indonesia wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan kepada
Penuntut Umum. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi bertanggung jawab secara
yuridis atas tindakan penyidikan yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan tanggung
jawab kedinasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi dilaksanakan secara
hierarkhis keatasan langsung yang membawahi Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Imigrasi dimaksud. Direktorat yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang
Penyidikan dapat memberikan petunjuk, pengarahan dan mendukung kegiatan
penyidikan baik ditingkat wilayah maupun Kantor Imigrasi dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana keimigrasian. Selain itu Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Imigrasi dalam pelaksannan penyidikan selalu berada dibawah
koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Republik Indonesia .
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
65
3.2. Koordinasi Penegakan Hukum Di Bidang Keimigrasian
Koordinasi yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi dengan
penyidik Kepolisian Republik Indonesia selaku koordinator dan pengawasan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut : Pertama adalah pada saat
pemenuhan persyaratan bagi Pegawai Negeri Sipil di Kantor Imigrasi untuk menjadi
Penyidik Pegawai Negeri Sipil maka Pegawai tersebut harus terlebih dahulu
mengikuti pendidikan khusus di bidang penyidikan yang dilaksanakan oleh
Kepolisian Republik Indonesia, diantaranya meliputi kegiatan penindakan,
pemeriksaan dan penyelesaian serta penyerahan berkas perkara. Setelah lulus,
pegawai tersebut memperoleh sertifikat pendidikan khusus dari Kepolisian Republik
Indonesia, yang dapat digunakan olehnya sebagai salah satu syarat untuk mengajukan
permohonan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. agar ia diangkat
sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. Selain itu, ia juga harus
memperoleh pertimbangan yang positif dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia
agar permohonan yang dajukannya tadi dapat dikabulkan oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI. Kedua adalah pada saat proses kegiatan penyidikan yang
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi berlangsung, seperti:
a. Setelah diketahui dari laporan, hasil pemantauan keimigrasian, tertangkap tangan
dan dugaan terjadinya suatu tindak pidana keimigrasian, maka Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Imigrasi segera melakukan penyidikan dengan memberitahukan
kepada Penuntut Umum melalui penyidik Kepolisian Republik Indonesia bahwa
proses penyidikan tindak pidana keimigrasian telah dimulai.
b. Terhadap tersangka atau saksi yang tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang
patut dan wajar atau menolak untuk menerima dan menandatangani surat pangilan
untuk kedua kalinya, maka untuk panggilan ketiga disertai surat perintah
membawa yang bersangkutan dengan bantuan Polisi dan yang menandatangani
surat panggilan tersebut adalah Polisi.
c. Dalam hal penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan dan penyitaan,
Penyidik Kepolisian Republik Indonesia diminta atau tidak diminta dapat
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
66
memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Imigrasi. Pemberian petunjuk dan bantuan tersebut meliputi hal-hal yang
berkaitan dengan tehnik dan taktik penyidikan.
d. Dalam hal bantuan teknis penyidikan. yaitu untuk kepentingan pembuktian dalam
rangka penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi memerlukan
lembaga-lembaga ilmiah yang menggunakan kelengkapan teknologi dan
mempunyai peranan yang penting seperti dalam hal mengidentifikasi seseorang
melalui sidik jari, benda, potret dan pemotretan. Pemeriksaan psikologi terhadap
kejiwaan dari tersangka agar dapat memberikan keterangan yang diperlukan
secara benar dan sebagai bahan pertimbangan dalam penuntutan dan peradilan.
Dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia dapat menyediakan fasilitas berupa
Laboratorium Forensik untuk mempermudah tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Imigrasi.
e. Dalam hal penyelesaian dan penyerahan berkas perkara berikut tanggung jawab
tersangka dan barang buktinya kepada Penuntut Umum diserahkan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Imigrasi melalui penyidik Kepolisian Republik Indonesia .
Untuk dilakukan penelitian secara cermat apakah berita acara pemeriksaan
tersangka dan saksi/saksi ahli sudah memenuhi persyaratan formil dan materil
maupun kelengkapan bukti dalam berkas perkara tersebut.
Wewenang petugas Keimigrasian sebagai penyidik dalam tindak pidana
tindak pidana keimigrasian sangat luas, karena di samping kewenangan yang
diberikan oleh Undang – Undang Keimigrasian ( Undang – Undang No 9 Tahun 1992
tentang keimigrasian ) juga berlaku padanya kewenangan yang diberikan oleh
KUHAP. Apabila kita teliti wewenang yang dimiliki oleh petugas Imigrasi , ternyata
wewenang tersebut terdiri atas tindakan yang penegakan hukum (Represif) dan
Keamanan/ sekuriti (Preventif) bahkan bersifat Pelayanan (administratif).
Selanjutnya usaha Preventif, yaitu usaha untuk mencegah timbulnya tindak pidana
keimigrasian dengan meniadakan sebab terjadinya. Hal ini merupakan tugas seluruh
petugas Imigrasi, Usaha preventif ini tercermin dalam trifungsi Imigrasi. Sedangkan
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
67
Reprensive yaitu menanggulangi, mengambil tindakan lebih lanjut dari akibat telah
terjadinya keimigrasian, dimana pada saat ini dengan diterbitkannya Undang –
Undang Keimigrasian No. 9 Tahun 1992 maka tugas ini beralih menjadi tugas aparat
Direktorat Jenderal Imigrasi Khususnya pada Direktorat DAKIM dan RUDENIM
tindak pidana keimigrasian. Usaha reprensive tersebut tercermin dari pernyataan
fungsi Direktorat DAKIM dan RUDENIM pada bagian ke – 4, ke – 5 dan ke – 6 yaitu
usaha pembinaan, pengendalian, bimbingan, koordinasi dilakukan dalam rangka
penindakan dan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang keimigrasian. Usaha
refrensive dalam hal penegakan hukum di Kantor imigrasi klas I soekarno-hatta
dilakukan di bawah Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian pada bidang
ini terdapat seksi Pengawasan dan Seksi Penindakan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
( PPNS ) itu sendiri berada di bawah Seksi Penindakan. Dalam melaksanakan
tugasnya, PPNS Keimigrasian seringkali menggantungkan pada adanya laporan yang
didapat dari Seksi Pengawasan , untuk kemudian ditindak lanjuti ke tahap penyidikan
dalam rangka penemuan alat bukti dan tersangkanya. Untuk itu PPNS Keimigrasian,
memiliki wewenang sebagaimana tercantum dalam pasal 47 ayat ( 2 ) Undang –
undang Keimigrasian yaitu :
a. Menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana di bidang keimigrasian ;
b. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ;
c. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak
pidana dibidang Keimigrasian ;
d. Melakukan penagkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka
melakukan tindak pidana di bidang Keimigrasian ;
e. Meminta keterangan dan bukti dari orang yang disangka melakukan tindak di
bidang Keimigrasian ;
f. Memotret dan / atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang,
barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya
tindak pidana di bidang keimigrasian ;
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
68
g. Memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang –
undang Keimigrasian dan pembukuan lainnya yang terkait ;
h. Mengambil sidik jari orang ;
i. Menggeledah rumah tinggal, pakaian atau badan ;
j. Menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang
terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang
keimigrasian ;
k. Menyita benda – benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang keimigrasian ;
Dalam melakukan tindakan penyitaan ini seringkali dilakukan dalam keadaan
mendesak, dalam arti bahwa tindakan penyitaan tersebut dilakukan terlebih dahulu
tanpa adanya surat penetapan izin menyita dari Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya
setelah penyitaan tersebut dilakukan, surat tersebut menyusul. Hal ini dilakukan
sebagai tindakan pengamanan atas barang yang diduga terkait dengan tindak pidana
keimigrasian, dan untuk memudahkan pembuktiannya dalam proses peradilan nanti.
a. Memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang keimigrasian ;
b. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang keimigrasian ;
c. Menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang
keimigrasian serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
d. Melakukan tindakan lain yang perlu umtuk kelancaran penyidikan tindak
pidana di bidang keimigrasian menurut hukum yang bertangguang jawab.
Kewenangan PPNS Keimigrasian seperti yang tercantum di atas adalah
meliputi tindakan untuk melakukan upaya paksa sebagaimana yang tercantum dalam
KUHAP Pasal 6 ayat ( 1 ) huruf a. tindakan untuk melakukan penyitaan tetap harus
mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri. Namun, dalam hal ini tindakan
upaya paksa lainnya, seperti penangkapan dan penahanan, PPNS Keimigrasian
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
Universitas Indonesia
69
diberikan kewenangan tersendiri, hal mana merupakan suatu langkah yang baik
dalam menciptakan sistem peradilan pidana yang cepat, karena hal ini menyangkut
waktu penahanan bagi seseorang. Karena sebelumnya kewenangan untuk melakukan
upaya paksa yang dilakukan oleh PPNS Keimigrasian dilakukan oleh pihak
Kejaksaan Republik Indonesia.
Analisis Penegakan..., Najarudin Safaat, Program Pascasarjana, 2008
top related