bab ii kajian pustaka dan rumusan hipotesis ii.pdf · ini terdiri atas dua bagian utama, ... komite...
Post on 20-Mar-2019
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
Bab ini menguraikan mengenai kajian pustaka dan rumusan hipotesis. Bab
ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian 2.1 menguraikan mengenai
landasan teori dan bagian 2.2 menguraikan mengenai rumusan hipotesis.
2.1 Landasan Teori
Secara terperinci bagian 2.1 menguraikan mengenai agency theory, agency
cost, mekanisme untuk mengurangi konflik keagenan, corporate governance, nilai
perusahaan, dewan direksi, dewan komisaris, komisaris independen, komite audit,
struktur utang, struktur remunerasi, kepemilikan institusional, kompetisi pasar,
dan efektivitas kompetisi pasar sebagai mekanisme pengendalian.
2.1.1 Agency Theory
Agency theory merupakan konsep yang menjelaskan hubungan
kontraktual di mana satu atau lebih orang (prinsipal) memberikan mandat kepada
pihak lain (agen) untuk melakukan kegiatan atau layanan atas nama mereka dan
memberikan wewenang kepada agen sebagai pengambil keputusan (Jensen dan
Meckling, 1976). Agency theory berfokus untuk mengatasi dua masalah yang
terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama masalah keagenan akan muncul
ketika adanya konflik kepentingan dari prinsipal dan agen, selain itu sulit bagi
prinsipal untuk memastikan apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen. Kedua,
17
masalah mengenai pembagian risiko yang muncul ketika prinsipal dan agen
memiliki sikap yang berbeda mengenai risiko yang dihadapi (Eisenhardt, 1989).
Tujuan dari teori agensi adalah:
1) Untuk meningkatkan kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen)
dalam mengevaluasi lingkungan dimana keputusan harus diambil (The belief
revision role).
2) Untuk mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil guna
mempermudah pengalokasian hasil antara prinsipal dan agen sesuai dengan
kontrak kerja (The performance evaluation role).
Tabel 2.1 Agency Theory Overview
Ide Kunci Hubungan prinsipal-agen harus mencerminkan pengaturan
informasi dan biaya risiko yang efisien
Unit analisis Kontrak antara prinsipal dan agen
Asumsi manusia 1. Self interest
2. Bounded rationality
3. Risk aversion
Asumsi organisasi
atau kelompok
1. Konflik kepentingan diantara prinsipal dan agen
2. Efesiensi sebagai standar dari efektivitas
3. Asimetri informasi antara prinsipal dan agen
Asumsi informasi Informasi sebagai komoditas yang dibeli
Masalah kontrak 1. Agency (moral hazard dan adverse selection)
2. Pembagian risiko
Masalah utama Hubungan dimana prinsipal dan agen memiliki perbedaan tujuan
dan pilihan risiko (contoh: kompensasi, aturan, kepemimpinan,
integrasi vertikal, harga transfer)
Sumber: Kathleen M. Eisenhardt/Academy of Management Review 14 (1) 57-74
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga
asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri
(self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
18
averse). Dari asumsi sifat dasar manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik
agensi yang sering terjadi antara manajer dengan pemegang saham dipicu adanya
sifat dasar tersebut. Pemegang saham dan manajer memiliki tujuan yang berbeda
dan masing–masing menginginkan tujuan mereka terpenuhi. Akibat yang terjadi
adalah munculnya konflik kepentingan.
Dalam perkembangannya, terdapat suatu kecenderungan timbulnya
masalah keagenan yang muncul sebagai akibat dari kemustahilan tercapainya
perikatan secara sempurna bagi pihak agen dan prinsipal. Masalah agensi awalnya
diangkat oleh Berle dan Means (1932), yang berpendapat bahwa biaya agensi
mungkin terjadi karena pemisahan kepemilikan dan kontrol sehingga akan
menimbulkan kepentingan pribadi manajemen dan pemegang saham. Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan kontrak yang tidak lengkap antara
principal (pemegang saham) dan agent (manajemen) dapat menyebabkan masalah
keagenan. Dimana munculnya masalah keagenan dijelaskan dalam beberapa
faktor, sebagai berikut.
1) Moral hazard (MH)
Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang
tinggi), dimana manajer cenderung untuk memanfaatkan insentif yang sesuai
dengan kepentingannya atau berdasarkan keahliannya untuk bayaran yang
diterima dari perusahaan dan kemungkinan hal tersebut tidak termasuk dalam
kontrak.
19
2) Penahanan laba (Earning Retention)
Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang
berlebihan oleh pihak manajemen melalui peningkatan dana pertumbuhan
dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau memperbesar
kemampuan untuk mendominasi dewan komisaris, maupun penghargaan bagi
dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan prinsipal.
3) Horizon waktu
Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana prinsipal
lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum
pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang
berkaitan dengan pekerjaan mereka.
4) Penghindaran risiko manajerial
Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang
berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,
sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari
keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih
senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari pendanaan yang
berasal dari utang, karena dapat memperkecil beban dengan tidak adanya
beban bunga.
Sartono (2001:12) dalam Putri (2011) menyatakan bahwa dalam usaha
meminimumkan masalah keagenan dalam perusahaan maka diperlukan biaya
yang disebut dengan kos keagenan (agency cost) dan tercemin dalam empat
alternatif, yaitu:
20
1) Pengeluaran untuk monitoring seperti halnya biaya untuk pemeriksaan
akuntansi dan prosedur pengendalian intern.
2) Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi
yang konsisten.
3) Fidelity bond adalah kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga,
dimana pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan
jika manajer berbuat tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian bagi
perusahaan.
4) Golden parachutes dan poison pill dapat digunakan pula untuk mengurangi
konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Golden parachutes
adalah suatu kontak antara manajemen dan pemegang saham yang
menjamin bahwa manajemen akan mendapat kompensasi sejumlah tertentu
apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan
pengendalian perusahaan. Dengan demikian manajemen tidak perlu
khawatir akan kehilangan pekerjaan. Sedangkan poison pill adalah usaha
pemegang saham untuk menjaga agar perusahaan tidak diambil alih oleh
perusahaan lain. Usaha ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan hak
penjualan saham pada harga tertentu atau mengeluarkan obligasi disertai
dengan hak penjualan obligasi pada harga tertentu. Sehingga apabila
perusahaan dibeli oleh perusahaan lain, pembeli perusahaan wajib membeli
saham dan obligasi pada harga yang telah ditentukan sebelumnya.
21
2.1.2 Agency Cost
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan agency cost sebagai
penjumlahan dari pengeluaran monitoring oleh prinsipal, pengeluaran bonding
oleh agen dan kerugian residual. Semakin besar perusahaan, semakin besar pula
agency cost-nya karena meningkatnya kebutuhan monitoring dalam perusahaan
besar. Agency cost yang lebih rendah diasosiasikan dengan nilai perusahaan yang
semakin tinggi.
Alternatif untuk mengurangi agency cost yaitu melalui mekanisme
pengendalian internal dan mekanisme pengendalian eksternal atau pengendalian
pasar. Mekanisme pengendalian internal didesain untuk menyamakan kepentingan
antara manajer dengan pemegang saham.
Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa terdapat tiga macam
kos keagenan, diantaranya adalah sebagai berikut.
1) Monitoring cost (biaya monitoring)
Biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemegang saham
untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer, yang dirancang untuk
membatasi kegiatan menyimpang yang dilakukan manajer. Contoh:
membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan.
2) Bonding cost (biaya bonding)
Kos ini ditanggung oleh manajer untuk memberi jaminan kepada
pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan
perusahaan. Contoh: penyelenggaraan sistem akuntansi yang baik
22
sehingga mampu menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan
kebutuhan prinsipal
3) Residual loss (kerugian residual)
Kos yang timbul akibat adanya perbedaan antara keputusan yang
diambil oleh manajemen dengan keputusan yang seharusnya dapat
memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Contoh: penurunan
nilai perusahaan, serta memanfaatkan fasilitas perusahaan secara
berlebihan seperti pengeluaran untuk perjalanan dinas dan akomodasi
kelas satu.
2.1.3 Mekanisme untuk Mengurangi Konflik Keagenan
Arifin (2002) menyatakan mekanisme untuk mengurangi masalah agensi
adalah sebagai berikut.
1) Mekanisme kontrol dengan monitoring
Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut
mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai
untuk mengurangi masalah keagenan:
a) Pembentukan dewan komisaris
Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu
mekanisme yang banyak dipakai untuk memonitor manajer.
Namun penelitian Mace (1986) dalam Putri (2011) menemukan
bahwa pengawasan dewan komisaris pada manajemen pada
umumnya tidak efektif. Hal ini terjadi karena proses pemilihan
23
dewan komisaris kurang demokratis, dimana kandidat dewan
komisaris sering dipilih oleh manajemen, sehingga setelah terpilih
tidak berani mengkritik manajemen.
Untuk menjamin pelaksanaan good corporate governance
maka diperlukan komisaris independen yang berintegritas,
berkemampuan, tidak cacat hukum dan independen, serta yang
tidak memiliki hubungan bisnis (kontraktual) ataupun hubungan
lainnya dengan pemegang saham mayoritas (pemegang saham
pengendali) dan dewan direksi (manajemen) baik secara langsung
maupun tidak langsung. Disamping itu, jika dewan komisaris
didominasi oleh anggota luar (Independent Board of Director)
maka monitoring dewan komisaris terhadap manajer menjadi
efektif.
b) Pasar corporate control
Manne (1965) dalam Wiratmaja (2011) menyatakan bahwa
adanya pasar untuk corporate control, dimana perusahaan yang
menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan akan diambil
alih oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme yang lebih baik,
sehingga masalah agensi dapat dikurangi.
c) Pemegang saham besar
Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen
dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham
terdiri dari investor-investo kecil. Biaya monitoring pada
24
manajemen oleh para investor tersebut menjadi sangat besar,
sehingga mereka cenderung tidak melakukan monitoring.
d) Kepemilikan terkonsentrasi
Kepemilikan diartikan lebih terkonsentrasi untuk mencapai
kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih
sedikit investor.
e) Pasar manajer
Fama (1980), meyatakan bahwa masalah keagenan akan
berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat
kinerjanya oleh pasar manajer, baik yang ada dalam perusahaan
sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan.
2) Mekanisme kontrol dengan peningkatan kepemilikan manajer
Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat,
maka mereka berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek
yang memiliki Net Present Value (NPV) yang positif dan mengurangi
konsumsi untuk kepentingan pribadinya. Insentif kepemilikan dapat
memberikan manajer dan pemegang saham untung maupun rugi yang
sama.
3) Mekanisme kontrol dengan bonding
Jensen (1986) melihat masalah keagenan dari sudut keterbatasan
uang yang dapat digunakan manajer untuk kegiatan „konsumtif‟. Dana
tersebut adalah free cash flows yaitu kelebihan dana yang ada dalam
perusahaan setelah semua proyek yang menghasilkan net present value
25
positif dilaksanakan. Jika kos keagenan ingin dikurangi maka free cash
flows harus dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain manajer harus
menunjukan kepada pemegang saham bahwa dia telah melakukan upaya
menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan
penyimpangan-penyimpangan.
2.1.4 Corporate Governance
Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan good corporate governance
(GCG) sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib
dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk
berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang
berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara
keseluruhan. Implementasi prinsip-prinsip GCG secara konsisten di perusahaan
akan menarik minat para investor, baik domestik maupun asing. Hal ini sangat
penting bagi perusahaan yang akan mengembangkan usahanya, seperti melakukan
investasi baru maupun proyek ekspansi.
Prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) mengemukakan 5
hal berikut ini.
1) Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (the rights of
shareholders)
2) Perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham (the equitable
treatment of shareholders)
26
3) Peranan pemangku kepentingan berkaitan dengan perusahaan (the role of
stakeholders)
4) Pengungkapan dan transparansi (disclosure and transparency)
5) Tanggung jawab dewan komisaris atau direksi (the responsibilities of the
board)
Prinsip-prinsip GCG sesuai Pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-
MBU/2002 Tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan GCG pada BUMN ialah.
1) Transparancy (Transparansi)
Informasi yang disediakan harus material dan relevan serta mudah
diperoleh dan dipahami oleh pengguna informasi. Oleh karena itu, inisiatif
dari perusahaan diperlukan untuk mengungkapkan hal-hal penting dalam
mengambil keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
2) Accountability (Akuntabilitas)
Kinerja perusahaan wajib dipertanggungjawabkan dengan transparan dan
wajar. Tata kelola perusahaan dijalankan secara benar, sesuai, dan terukur.
Akuntabilitas menjadi syarat yang diperlukan untuk mewujudkan kinerja
yang berkesinambungan.
3) Responsibility (Pertanggungjawaban)
Perusahaan wajib untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan memiliki tanggung jawab kepada masyarakat dan
lingkungan agar usaha yang dijalankan dapat tetap bertahan dalam waktu
jangka panjang.
27
4) Independency (Independensi)
Asas good corporate governance dapat terlaksana dengan lancar jika
perusahaan dikelola secara independen. Setiap bagian perusahaan tidak
dapat diintervensi oleh pihak lain dan tidak saling mendominasi.
5) Fairness (Keadilan)
Asas keadilan dan kesetaraan harus diterapkan pada setiap perusahaan
dalam melaksanakan usahanya. Sikap adil ditunjukkan kepada semua
pihak yang berkepentingan.
Sistem corporate governance pada perusahaan modern dibagi menjadi dua
bagian yaitu mekanisme internal governance dan mekanisme external governance
yang sifatnya beragam tergantung lingkungan tertentu yang dianjurkan (Short,
Keasy, Wright dan Hull, 1999, dalam Wulandari, 2006). Dengan berjalannya
kedua mekanisme tersebut secara bersamaan, maka sistem corporate governance
perusahaan mencoba memotivasi manajer agar memaksimalkan nilai pemegang
saham.
28
Gambar 2.1 Corporate governance:a board framework
Sumber: S.L. Gillan/Journal of Corporate Finance 12 (2006)381-402
2.1.5 Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang
tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham (Bringham
Gapensi,1996 dalam Susanti, 2010). Semakin tinggi harga saham semakin tinggi
pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para
pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran
pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan
dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari
keputusan investasi, pendanaan (financing), dan manajemen asset.
Menurut Fama (1978), nilai perusahaan akan tercermin dari harga
sahamnya. Harga pasar dari saham perusahaan yang terbentuk antara pembeli dan
penjual disaat terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan, karena harga pasar
saham dianggap cerminan dari nilai aset perusahaan sesungguhnya. Nilai
29
perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat dipengaruhi
oleh peluang-peluang investasi. Adanya peluang investasi dapat memberikan
sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga
dapat meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.6 Dewan Direksi
Dewan direksi (board of directors) berfungsi untuk mengurus atau
mengelola perusahaan. Dewan direksi dipilih oleh pemegang saham dalam Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mewakili kepentingan para pemegang
saham tersebut.
Menurut Swatha & Sukotjo (2002) dalam Novany dkk (2015) direktur
adalah individu yang ditunjuk untuk memimpin sebuah perusahaan, tugas dari
seorang direktur adalah mengambil keputusan strategis yang berhubungan dengan
kebijakan perusahaan. Salah satu bentuk direktur yang dikembangkan didalam
sebuah perusahaan adalah direktur eksekutif. Jabatan direktur eksekutif pada
umumnya diberikan kepada orang yang dianggap berpengalaman didalam suatu
organisasi.
Sedangkan non-eksekutif direktur merupakan perpanjangan tangan dari
dewan komisaris yang bertugas membantu perusahaan untuk mencapai sasaran
tertentu (Inclaw, 2008 dalam Novany dkk, 2015). Non-eksekutif direktur adalah
individu yang tidak terkait dengan pihak manapun, yang ditunjuk sebagai alat
untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh direktur
eksekutif. Setiap perusahaan memiliki jumlah non-eksekutif direktur yang
30
berbeda antara satu dengan lain. Non-eksekutif direktur juga dikenal dengan
direktur independen. Pada bagian III.1.5.1 Peraturan Nomor 1-A Surat Keputusan
Direksi Bursa Efek Indonesia, ditentukan bahwa direktur independen “Berjumlah
paling kurang 1 (satu) orang dari jajaran anggota direksi yang dapat dipilih
terlebih dahulu melalui RUPS sebelum pencatatan dan mulai efektif bertindak
sebagai direktur independen setelah saham perusahaan tersebut tercatat”. Pada
bagian III.1.5.2 Peraturan Nomor 1-A ditentukan bahwa Direktur Independen
disyaratkan:
1. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pengendali perusahaan
tercatat yang bersangkutan paling kurang selama 6 (enam) bulan sebelum
penunjukan sebagai direktur independen.
2. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan komisaris atau direksi lainnya
dari calon perusahaan tercatat.
3. Tidak bekerja rangkap sebagai direksi pada perusahaan lain.
4. Tidak menjadi orang dalam pada lembaga atau profesi penunjang pasar
modal yang jasanya digunakan oleh calon perusahaan tercatat selama 6
(enam) bulan sebelum penunjukan sebagai direktur.
2.1.7 Dewan Komisaris
Effend (2009) dalam Lizarti (2012) menjelaskan bahwa dewan komsaris
(board of commissioners) berfungsi untuk melakukan pengawasan. Selain itu,
komisaris independen (independent commissioner) berfungsi sebagai kekuatan
penyeimbang (conterveiling power) dalam pengambilan keputusan oleh dewan
31
komsaris. Dewan komisaris merupakan mekanisme pengendalian intern tertinggi
yang bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan
memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan
melaksanakan GCG. Berdasarkan Forum for Corporate Governance Indonesia
(FCGI), Dewan Komisaris merupakan inti corporate governance (tata kelola
perusahaan) yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan,
mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan serta mewajibkan
terlaksananya akuntabilitas. Dewan komisaris dipilih melalui Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
Dewan komisaris dibagi menjadi komisaris terafiliasi dan komisaris
independen. Komisaris terafiliasi (komisaris dalam), yang dimaksud dengan
terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan
dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain,
serta dengan perusahaan itu sendiri. Komisaris dalam mewakili kepentingan dari
para pemegang saham, dan terkadang memiliki pengetahuan yang dalam atas
kinerja, keuangan, penguasaan pangsa pasar dari organisasi tersebut.
Sedangkan komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang
bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan organisasi
tersebut, dan tidak mewakili pemegang saham. Sebagai contoh adalah seorang
komisaris yang diangkat yang sedang atau pernah menjabat posisi presiden sebuah
perusahaan dari sektor industri yang berbeda. Komisaris luar diangkat karena
pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa
mengawasi komisaris dalam dan mengawasi bagaimana organisasi tersebut
32
dijalankan. Komisaris luar biasanya berguna dalam melerai sengketa antara
komisaris dalam, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris. Komisaris
luar dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan memiliki resiko
kecil dalam conflict of interest. Di sisi lain, komisaris luar mungkin kekurangan
pengalaman dalam menangani masalah spesifik yang dihadapi oleh organisasi
tersebut.
Menurut Muntoro, komposisi merupakan kombinasi karakteristik yang
diinginkan dari anggota dewan komisaris. Ada tiga karakterisitik utama yang
diperhatikan dalam melihat komposisi dewan komisaris, yaitu (1) kesenioran (atau
kejunioran) dari anggota dewan komisaris, (2) jenis keahlian yang dimiliki, dan
(3) komisaris independen versus komisaris non-independen. Jumlah anggota
dewan komisaris disesuaikan dengan industri dimana perusahaan berada karena
hal tersebut akan turut menentukan jenis kompetensi yang sebaiknya dimiliki oleh
dewan komisaris.
Sesuai Keputusan Direksi Bursa Efek Jakarta No. Kep-339./BEJ/07-2001
butir C mengenai board governance yang terdiri dari komisaris independen,
komite audit dan sekretaris perusahaan bahwa untuk mencapai good corporate
governance, jumlah komisaris independen yang harus terdapat dalam perusahaan
sekurang-kurangnya 30% dari seluruh anggota dewan komisaris.
Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan (komisaris) diambil dari teori
agensi. Dari persepektif teori agensi, dewan komisaris mewakili mekanisme
internal utama untuk mengontrol perilaku oportunistik manajemen sehingga dapat
33
membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer (Wahyudi.,
2010).
2.1.8 Komisaris Independen
Komisaris luar (komisaris independen) adalah anggota dewan komisaris
yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan langsung dengan
organisasi tersebut, dan tidak mewakili pemegang saham. Sebagai contoh adalah
seorang komisaris yang diangkat yang sedang atau pernah menjabat posisi
presiden sebuah perusahaan dari sektor industri yang berbeda. Komisaris luar
diangkat karena pengalamannya dianggap berguna bagi organisasi tersebut.
Mereka bisa mengawasi komisaris dalam dan mengawasi bagaimana organisasi
tersebut dijalankan. Komisaris luar biasanya berguna dalam melerai sengketa
antara komisaris dalam, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris.
Komisaris luar dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan
memiliki resiko kecil dalam conflict of interest. Di sisi lain, komisaris luar
mungkin kekurangan pengalaman dalam menangani masalah spesifik yang
dihadapi oleh organisasi tersebut.
Komite Nasional Good Corporate Governance (KNGCG) mengeluarkan
pedoman tentang komisaris independen yang ada di perusahaan publik. Pedoman
tersebut menyebutkan bahwa pada prinsipnya, komisaris bertanggung jawab dan
berwenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan direksi, serta memberikan
nasihat kepada direksi jika diperlukan.
34
Dalam kaitannya dengan implementasi GCG dalam perusahaan,
diharapkan bahwa keberadaan komisaris maupun komisaris independen tidak
hanya sebagai pelengkap, karena dalam diri komisaris melekat tanggung jawab
secara hukum (yuridis). Oleh karena itu, peranan komisaris independen sangat
penting.
2.1.9 Komite Audit
Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan komite audit
sebagai berikut: “Suatu komite yang bekerja secara professional dan independen
yang dibentuk oleh dewan komisaris dan, dengan demikian, tugasnya adalah
membantu dan memperkuat fungsi dewan komisaris (atau dewan pengawas)
dalam menjalankan fungsi pengawasan (oversight) atas pelaporan keuangan,
manajemen risiko, pelaksanaan, audit dan implementasi corporate governance di
perusahaan-perusahaan”.
Salah satu alat untuk menerapkan Good Corporate Governance adalah
dengan adanya komite audit yang efektif. Komite audit bersifat independen dalam
bertugas. Komite audit bertanggung jawab kepada para stakeholder yang
dipublikasikan didalam rapat umum pemegang saham yang dilakukan satu kali
dalam setahun (Herwidayatmo, 2000). Surat edaran dari direksi PT Bursa Efek
Jakarta No. SE-008/BEI/12-2001 Tanggal 7 perihal keanggotaan komite audit
disebutkan bahwa, komite audit sukarang-kurangnya terdiri dari 3 orang yang
diketuai oleh 1 orang komisaris independen. Dan anggota komite audit lainnya
berasal dari pihak eksternal yang independen.
35
2.1.10 Struktur Utang
Menurut Weston dan Brigham (1997) dalam Putri (2011) leverage adalah
tingkat penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Menurut
Sawir (2004) dalam Widanaputra dan Ratnadi (2008) leverage keuangan adalah
penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap
keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa mempedulikan tingkat laba
perusahaan. Adapun rasio pengelolaan utang dibagai menjadi tiga, yaitu: rasio
utang, rasio kemampuan membayar bunga atau Time Interest Earnd (TIE), dan
rasio kemampuan membayarkan beban tetap.
Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dalam
hubungannya dengan leverage, sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber
pembiayaannya agar tidak terjadi biaya keagenan antara pemegang saham dengan
manajemen perusahaan, sebaliknya perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang
rendah sebaiknya menggunakan utang sebagai sumber pembiayaannya karena
penggunaan utang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga
secara teratur. Leverage keuangan menyiratkan dua hal penting, dengan
menaikkan dan melalui utang, pemilik dapat mempertahankan pengendalian atas
perusahaan dengan investasi terbatas. Kreditor mensyaratkan adanya ekuitas atau
dana yang disediakan oleh pemilik sebagai margin pengaman, jika pemilik hanya
menyediakan sebagian kecil dari pembiayaan total, maka risiko perusahaan
dipikul terutama oleh kreditornya (Widanaputra dan Ratnadi 2008).
36
2.1.11 Struktur Remunerasi
Struktur remunerasi ialah total tunjangan dan kompensasi tahunan yang
diberikan kepada semua anggota dewan. Besarnya remunerasi yang diterima oleh
dewan komisaris dan direksi ditentukan melalui rapat bersama dengan presiden
direktur yang membahas kebijakan remunerasi dewan komisaris dan direksi,
melalui rekomendasi kebijakan komite nominasi dan remunerasi yang adil dan
layak, sesuai dengan tugas, tanggung jawab serta kinerjanya masing-masing
berdasarkan sistem remunerasi perusahaan. Diprediksi dalam literatur sebelumnya
bahwa semakin tinggi remunerasi direksi maka biaya agensi semakin rendah
karena insentif ini akan mendorong manajer bekerja untuk kepentingan pemegang
saham perusahaan dalam rangka untuk terus menerima manfaat dan untuk
melindungi keamanan pekerjaan mereka.
2.1.12 Kepemilikan Institusional
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan
yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor
institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam
setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor
institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah
percaya terhadap tindakan manipulasi laba.
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang
dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
37
investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti
penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh
institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal.
Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang
saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan
melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.
2.1.13 Kompetisi Pasar
Dalam teori ekonomi, persaingan sempurna mengacu pada pasar di mana
tidak ada peserta yang cukup besar untuk memiliki kekuatan pasar untuk
menetapkan harga produk yang homogen. Jelas, dasar untuk persaingan dalam
pengertian ini adalah untuk mengejar kepentingan pribadi yang merupakan motto
dari ekonom klasik dan neoklasik. Oleh karena itu, persaingan dalam kapitalisme
didasarkan pada jumlah modal keseluruhan dan keuntungan pribadi. Persaingan
dalam kegiatan ekonomi adalah salah satu faktor utama dalam organisasi dan unit
bisnis ( Setayesh dan Kargar , 2011 dalam Prawibowo dan Juliarto, 2014).
Praktik kompetisi yang dinamis akan berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan daya saing perusahaan, industri, dan negara. Pertumbuhan dan
pembangunan daya saing industri dijelaskan lebih rinci oleh Porter (1996) melalui
model persaingan, penelitiannya menyatakan bahwa ada 4 (empat) daya atau
faktor yang dapat dimiliki dan diakses untuk menentukan derajat persaingan antar
perusahaan di suatu industri yaitu konsumen, pemasok sumber daya, calon
pesaing potensial, dan produk substitusi.
38
2.1.14 Efektivitas Kompetisi Pasar Sebagai Mekanisme Pengendalian
Hart (1983) menyatakan bahwa dengan adanya persaingan di pasar produk
akan jelas mengurangi kekenduran manajerial (managerial slack). Peningkatan
persaingan akan meningkatkan kemungkinan bahwa perusahaan dengan biaya
yang tinggi maka tidak mendapatkan laba yang optimal dan dapat membuat
tingkat likuidasi perusahaan akan meningkat (Schmidt, 1997).
Perusahaan yang memiliki persaingan yang kompetitif baik dalam
persaingan internal maupun secara global dituntut agar memiliki tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance). Hal ini dapat membantu agar
seorang agen membatasi keleluasaan mereka dalam pengambilan keputusan
ekonomi. Teori ekonomi mikro menunjukkan bahwa persaingan dinilai dapat
menyamai biaya marjinalnya dan menciptakan efisiensi perusahaan. Dalam
persaingan yang kompetitif akan dipastikan bahwa perusahaan yang yang
memiliki daya saing yang baik akan bertahan dan hal tersebut akan mendorong
pemberian kompensasi yang lebih untuk manajer.
39
2.2 Rumusan Hipotesis
Bagian 2.2 menguraikan mengenai pengaruh persentase non-eksekutif dan
eksekutif direktur pada agency cost, pengaruh proporsi komisaris independen
pada agency cost, pengaruh komite audit pada agency cost, pengaruh struktur
utang pada agency cost, pengaruh struktur remunerasi pada agency cost, pengaruh
kepemilikan institusional pada agency cost, dan pengaruh kompetisi pasar pada
agency cost.
2.2.1 Pengaruh Persentase Non-Eksekutif dan Eksekutif Direktur pada
Agency Cost
Agency cost timbul karena adanya mekanisme pengawasan untuk
menyeimbangkan antara kepentingan prinsipal dan agen. Susunan dewan direksi
dalam suatu mekanisme corporate governance memegang peran penting dalam
memonitor manajer, keefektifan para dewan tergantung pada ukuran dan
komposisinya. Jumlah dewan yang besar, akan lebih kuat dari pada jumlah dewan
yang kecil, karena lebih mempertimbangkan keperluan untuk keefektifan
organisasi (Florackis dan Ozkan, 2004). Sejalan dengan pendapat Pearce dan
Zahra (1991) dalam Linda (2012), dewan yang mempunyai kuasa membantu
dalam menguatkan hubungan antara perusahaan dengan lingkungannya,
memberikan saran mengenai opsi strategik untuk perusahaan dan berperan
penting dalam menciptakan indentitas perusahaan.
Keberadaan dewan direksi eksternal pada susunan corporate governance
meningkatkan monitoring sekaligus juga memperbaiki nilai perusahaan (Fama
and Jensen, 1983). Hasil penelitian yang lainnya juga mengemukakan reputasi dan
40
ancaman dapat memotivasi pihak direksi eksternal untuk bertindak yang lebih
baik dalam mementingkan kepentingan investor. Keefektifan susunan corporate
governance akan tercapai apabila direktur non-eksekutif dan direktur ekskutif
memiliki kepentingan yang sama dengan pemegang saham, yang juga membantu
mengurangi biaya agensi. Penelitian Faisal (2005) dan Lindawati (2010)
menemukan bahwa ukuran dewan direksi berpengaruh signifikan negatif pada
agency cost. Selain itu, penelitian Novany dkk (2015) menemukan bahwa
persentase eksekutif dan non eksekutif memiliki pengaruh signifikan dalam
meminimumkan agency cost.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H1a: besarnya persentase non-eksekutif direktur pada susunan dewan direksi
perusahaan berpengaruh negatif pada monitoring cost
H1b: besarnya persentase non-eksekutif direktur pada susunan dewan direksi
perusahaan berpengaruh negatif pada bonding cost
H1c: besarnya persentase non-eksekutif direktur pada susunan dewan direksi
perusahaan berpengaruh negatif pada residual loss
H1d: keberadaan eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan
berpengaruh negatif pada monitoring cost
H1e: keberadaan eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan
berpengaruh negatif pada bonding cost
H1f: keberadaan eksekutif direktur pada susunan dewan direksi perusahaan
berpengaruh negatif pada residual loss
41
2.2.2 Pengaruh Proporsi Komisaris Independen pada Agency Cost
Menurut Forum for Corporate Governance Indonesia (FCGI), inti dari
corporate governance adalah dewan komisaris. Dewan komisaris yang ditugaskan
untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam
mengelola perusahaan serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Komposisi
dewan komisaris yang terdiri dari komisaris independen dan komisaris terafiliasi
memberikan perlindungan baik pemegang saham mayoritas maupun minoritas
(pemegang saham publik). Dalam kaitannya dengan implementasi GCG di
perusahaan, diharapkan bahwa keberadaan komisaris maupun komisaris
independen tidak hanya sebagai pelengkap, karena dalam diri komisaris melekat
tanggung jawab secara hukum (yuridis). Keberadaan dewan komisaris independen
dapat meningkatkan nilai perusahaan, karena komisaris independen membantu
merencanakan strategi jangka panjang dan secara berkala melakukan review atas
implementasi strategi tersebut (Zanera dkk, 2013). Penelitian Sajid (2012)
menyebutkan bahwa semakin besar komposisi dewan komisaris independen
dianggap sebagai mekanisme yang memainkan peran penting dalam membatasi
atau mengendalikan masalah agensi. Hasil dari penelitian Henry (2004)
menyimpulkan bahwa biaya agensi akan lebih rendah apabila semakin tinggi
jumlah komisaris independen di dalam komposisi dewan komisaris.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H2a: Keberadaan komisaris independen berpengaruh negatif pada monitoring cost
H2b: Keberadaan komisaris independen berpengaruh negatif pada bonding cost
H2c: Keberadaan komisaris independen berpengaruh negatif pada residual loss
42
2.2.3 Pengaruh Komite Audit pada Agency Cost
Komite audit merupakan perpanjangan tangan dari dewan komisaris.
Sehingga komite audit membantu fungsi dewan komisaris dalam melakukan
pengawasan terhadap agen perusahaan. Semakin efektif pengawasan yang
dilakukan dewan komisaris bersamaan dengan komite audit, maka agency cost
dapat dikurangi. Keberadaan komite audit dalam perusahaan juga dapat
meningkatkan kualitas laba dan nilai perusahaan (Arifianti, 2010). Saputro dan
Syafrudin (2012) menemukan bahwa komite audit berpengaruh negatif terhadap
biaya keagenan, dan hasil penelitian Linda (2012) menyebutkan bahwa komite
audit dapat menekan agency cost.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H3a: Komite Audit berpengaruh negatif pada monitoring cost
H3b: Komite Audit berpengaruh negatif pada bonding cost
H3c: Komite Audit berpengaruh negatif pada residual loss
2.2.4 Pengaruh Struktur Utang pada Agency Cost
Peningkatan utang merupakan salah satu cara untuk mengurangi kos
keagenan. Semakin besar utang, maka perusahaan harus mencadangkan lebih
banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman sehingga akan
memperkecil dana yang menganggur. Dari sudut pandang pemegang saham,
kebijakan peningkatan utang dapat mengurangi pengawasan pada manajemen
karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bond holder) akan melakukan
pengawasan pada manajemen agar pinjamnannya tidak disalahgunakan, sehingga
43
nantinya akan mengurangi kos keagenan. Namun, pada umumnya perusahaan
yang terlalu banyak melakukan pembiayaan dengan utang, dianggap tidak sehat
karena dapat menurunkan laba. Peningkatan dan penurunan tingkat utang
memiliki pengaruh terhadap penilaian pasar. Kelebihan utang yang besar akan
memberikan dampak yang negatif pada nilai perusahaan (Ogolmagai, 2013). Pada
penelitian Nazir dan Saita (2013) menemukan bahwa leverage dapat menurunkan
agency cost. Sejalan dengan penelitian Putri (2011) dan Punia (2012)
menyebutkan bahwa semakin tinggi leverage maka agency cost yang ditimbulkan
semakin rendah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H4a: Struktur utang berpengaruh negatif pada monitoring cost
H4b: Struktur utang berpengaruh negatif pada bonding cost
H4c: Struktur utang berpengaruh positif pada residual loss
2.2.5 Pengaruh Struktur Remunerasi pada Agency Cost
Remunerasi merupakan total kompensasi, komisi dan tunjangan yang
diterima oleh para dewan sebagai imbalan dari jasa yang telah dikerjakannya.
Tunjangan yang diberikan perusahaan kepada dewan komisaris maupun direksi
dapat memotivasi kinerja para dewan dalam memonitor ataupun mengelola
perusahaan untuk kepentingan pemegang saham. Penelitian Dogan dan Smyth
(2002) menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara remunerasi dewan
dengan tingkat penjualan. Selain itu, penelitian Gul et al (2012) dan Yegon et al
44
(2014) menemukan bahwa struktur remunerasi dewan dapat meminimumkan
agency cost.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H5a: Struktur remunerasi berpengaruh negatif pada monitoring cost
H5b: Struktur remunerasi berpengaruh negatif pada bonding cost
H5c: Struktur remunerasi berpengaruh negatif pada residual loss
2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Agency Cost
Peran kepemilikan institusional timbul karena adanya konflik antara
manajer dengan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976), untuk
mengendalikan konflik tersebut maka timbul aturan-aturan yang berfungsi untuk
mengatasi konflik tersebut. Faizal (2004) menyatakan kepemilikan institusional
umumnya betindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Iswantaya (2007)
dalam Kamil (2014) berpendapat bahwa institusi dengan kepemilikan saham
yang relatif besar dalam perusahaan mungkin akan mempercepat manajemen
perusahaan untuk menyajikan pengungkapan secara sukarela. Hal ini terjadi
karena investor institusional dapat melakukan monitoring dan dianggap
sophisticated investor yang tidak mudah dibodohi oleh tindakan manajer.
Tingginya tingkat pengendalian oleh pihak eksternal ini akan mempengaruhi
jalannya perusahaan yang akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan sehingga
akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian Faizal (2004)
menunjukkan bahwa kehadiran institusional ownership pada perusahaan-
perusahaan non-keuangan di BEI mempunyai pengaruh yang signifikan pada
45
agency cost. Penelitian Gul et al (2012) yang mengambil kasus di Pakistan,
menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional dapat mengurangi
timbulnya agency cost.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H6a: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada monitoring cost
H6b: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada bonding cost
H6c: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada residual loss
2.2.7 Pengaruh Kompetisi Pasar pada Agency Cost
Penelitian sebelumnya Valipour et.al. (2013) dalam Prawibowo dan
Juliarto (2014) menemukan hubungan yang berbanding terbalik atau negatif
antara CPS (Cost per Sale) terhadap agency cost. Hal tersebut menunjukkan
adanya peningkatan CPS menjadikan suatu ukuran perusahaan akan meningkat
seiring peningkatan persaingan yang semakin kompetitif. Wang (2013)
menyatakan bahwa persaingan yang kompetitif merupakan salah satu praktik
good corporate governance, hal tersebut menuntut pihak agen (manajer) agar
melakukan keputusan yang efektif agar dapat bersaing dan tidak bertindak
oportunis. Dengan demikian, adanya peningkatan CPS sebagai proksi dari
persaingan akan mengurangi masalah keagenan dengan penurunan agency cost.
Prawibowo dan Juliarto (2014) menyatakan bahwa tingkat persaingan yang tinggi
akan ditunjukkan dengan rasio HPP terhadap penjualan yang semakin meningkat.
Rasio HPP yang tinggi menandakan laba semakin kecil. Laba yang semakin kecil
akan mengindikasikan bahwa tingkat persaingan yang tinggi. Dengan demikian,
46
penelitian Prawibowo dan Juliarto (2014) membuktikan bahwa persaingan yang
tinggi dapat menurukan monitoring cost yang diproksikan dengan audit fee.
Sejalan dengan penelitian Heshmatzadeh et al (2013) juga menyatakan bahwa
kompetisi pasar dapat menurunkan agency cost.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H7a: Kompetisi pasar berpengaruh negatif pada monitoring cost
H7b: Kompetisi pasar berpengaruh negatif pada bonding cost
H7c: Kompetisi pasar berpengaruh negatif pada residual loss
top related