bab ii kajian pustaka dan penelitian …11 bab ii kajian pustaka dan penelitian terdahulu a....
Post on 06-Feb-2020
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERDAHULU
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Banyak penelitian tentang pragmatik yang dilakukan oleh peneliti-peneliti
terdahulu, baik tentang tindak tutur, pelanggaran maksim, dan lain sebagainya.
Penelitian tentang tindak tutur telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu,
baik tindak tutur lisan maupun tindak tutur tertulis. Beberapa penelitian terdahulu
yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis akan menjadi
referensi untuk penulis. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang pernah
dilakukan peneliti terdahulu dan memiliki relevansi dalam penelitian kali ini.
Skripsi Rahmad Tri Hidayat (2014) yang berjudul “Tindak Tutur dan
Kesantunan Berbahasa dalam Acara Olahraga Barclays Premier League di Global
TV dan MNCTV: Suatu Tinjauan Pragmatik” mendeskripsikan hasil
penelitiannya sebagai berikut: (1) terdapat empat jenis tindak tutur dalam acara
olahraga Barclays Premier League di Global TV dan MNCTV, yaitu tindak tutur
asertif atau representatif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak
tutur komisif; (2) bentuk kesantunan berbahasa yang terdapat dalam acara
olahraga Barclays Premier League di Global TV dan MNCTV ini terjadi karena
mematuhi maksim kesantunan Leech yang terdiri dari 6 maksim, yaitu maksim
kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati,
maksim kesepakatan, dan maksim simpati.
Skripsi Ririn Linda Tunggal Sari (2011) yang berjudul “Tindak Tutur
Direktif dan Kesantunan Negatif dalam Reality Show Minta Tolong di Rajawali
12
Citra Televisi Indonesia, mendeskripsikan hasil penelitiannya sebagai berikut: (1)
wujud tindak tutur yang terdapat pada RSMT sebanyak 7 jenis tindak tutur direktif
yang digunakan oleh A dalam mengutarakan maksudnya. Tindak tutur direktif
tersebut meliputi tindak tutur meminta, menasihati, melarang, menyarankan,
memperingati, mengingatkan, dan membujuk. Dari hasil analisis data, tindak tutur
membujuk paling sering digunakan oleh A untuk mengutarakan maksudnya; (2)
wujud realisasi kesantunan negatif yang terdapat dalam RSMT sebanyak lima
bentuk kesantunan negatif yang digunakan A, untuk mengurangi potensi ancaman
muka negatif B1.
Kelima straregi itu yaitu (a) strategi 1, yaitu menggunakan ungkapan yang
tidak langsung, (b) strategi 2, yaitu pertanyaan berpagar, (c) strategi 4, yaitu
meminimalkan paksaan, (d) strategi 5, yaitu memberi penghormatan, (e) strategi
7, yaitu menghindari penyebutan penutur dan lawan tutur. Dalam RSMT juga
ditemukan lima bentuk kombinasi strategi kesantunan negatif yang digunakan
oleh A, untuk mengurangi potensi ancaman muka negatif B1. Kelima kominasi
strategi itu yaitu (a) strategi 1 dan strategi 5, yaitu menggunakan ungkapan secara
tidak langsung dan memberi penghormatan, (b) strategi 1 dan strategi 7, yaitu
menggunakan ungkapan secara tidak langsung dan menghindari penyebutan
penutur dan lawan tutur, (c) strategi 2 dan strategi 5, yaitu menggunakan
pertanyaan berpagar dan memberi penghormatan, (d) strategi 4 dan 5, yaitu
meminimalkan paksaan dan memerikan penghormatan, serta (e) strategi 1,
strategi 4, dan strategi 7, yaitu menggunakan ungkapan secara tidak langsung,
meminimalkan paksaan dan menghindari penyebutan penutur dan lawan tutur.
13
Skripsi Jamilatun (2011) yang berjudul “Tindak Tutur Direktif dan
Ekspresif Pada Rubrik Kriiing Solopos (Sebuah Tinjauan Pragmatik)”
mendeskripsikan penelitiannya sebagai berikut : (1) wujud tindak tutur direktif
yang terdapat dalam RKS sebanyak 12 jenis tinda ktutur. Tindak tutur direktif itu
meliputi tindak tutur ‘mengajak’, ‘mengingatkan’, ‘melarang’, ‘menasihati’,
‘meminta’, ‘memohon’, ‘menyarankan’, ‘menyuruh’, ‘mengharap’,
‘mengusulkan’, ‘memperingatkan’, dan ‘mempertanyakan’. Wujud tindak tutur
direktif yang paling banyak ditemui adalah tindak tutur ‘meminta’ dan
‘memohon’; (2) wujud tindak tutur ekspresif yang terdapat dalam RKS sebanyak
43 jenis tindak tutur. Tindak tutur ekspresif itu meliputi tindak tutur ‘memprotes’,
‘mengkritik’, ‘mendukung’, ‘menyetujui’, ‘menyindir’, ‘menyayangkan’,
‘berterima kasih’, ‘mengeluh’, ‘membenarkan’, ‘memuji’, ‘mencurigai’, ‘meminta
maaf’, ‘mengklarifikasi’, ‘mengungkapkan rasa iba’, ‘mengungkapkan rasa
bangga’, ‘mengungkapkan rasa salut’, ‘mengungkapkan rasa malu’,
‘mengungkapkan rasa kecewa’, ‘mengungkapkan rasa jengkel’, ‘mengungkapkan
rasa prihatin’, ‘mengungkapkan ketidaksetujuan’, ‘mengungkapkan rasa heran’,
‘mengungkapkan rasa khawatir’, ‘mengungkapkan rasa ketidakpedulian’,
‘mengungkapkan rasa yakin’, ‘mengungkapkan rasa bingung’, ‘mengungkapkan
rasa sakit hati’, ‘mengungkapkan rasa senang’, ‘mengungkapkan rasa simpati’,
‘mengungkapkan rasa marah’, ‘mengungkapkan rasa muak’, ‘mengungkapkan
rasa resah’, ‘mengungkapkan rasa ngeri’, ‘mengungkapkan rasa sedih’,
‘mengungkapkan rasa syukur’, ‘mengucapkan selamat’, ‘mengejek’, ‘menghina’,
‘menyesal’, ‘menolak’, ‘mengevaluasi’, ‘mengungkapkan rasa berduka cita’, dan
14
‘mengumpat’. Wujud tindak tutur ekspresif yang paling banyak ditemui adalah
tindak tutur ‘berterima kasih’ dan ‘mengkritik’.
Penelitian-penelitian terdahulu membahas tentang tindak tutur ekspresif dan
direktif, kesantunan berahasa. Walaupun penelitian terdahulu membahas tentang
tindak tutur direktif dan kesantunan berbahasa, tetapi penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis kali ini berbeda dengan penelitian terdahulu di atas.
Perbedaan-perbedaan itu adalah sumber data yang akan menjadi bahan untuk
dilakukan penelitian dan fokus pembahasan atau analisisnya. Penelitian tindak
tutur yang dilakukan oleh peneliti terdahulu berkaitan dengan percakapan lisan,
dan salah satunya membahas tindak tutur tertulis. penelitian kali ini penulis fokus
pada tindak tutur direktif pada papan-papan informasi dan himbbauan yang ada di
wilayah Surakarta, dan kesantunan imperatif yang ada pada papan-papan
informasi dan himbauan yang ada di wilayah Surakarta.
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang membahas
tentang penggunaan bahasa beserta konteks yang menyertainya. Pada awalnya
pragmatik tidak menjadi topik penting dalam penelitian linguistik, karena
penelitian linguistik fokus pada struktural bahasa saja dan tidak membahas
konteks yang menyertai bahasa ketika dituturkan atau diaplikasikan sebagai alat
komunikasi.
Pragmatik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik mulai dikenal dalam
bidang linguistik Amerika pada tahun 1970-an. Istilah pragmatik sudah dikenal
15
sejak masa hidupnya oleh seorang filsuf terkenal bernama Charles Morris, dan
membagi ilmu tanda dan ilmu lambang itu ke dalam tiga cabang ilmu, yaitu (1)
sintaktika ‘studi relasi formal tanda-tanda’, (2) semantika ‘studi relasi tanda-tanda
dengan objeknya’, dan (3) pragmatika ‘studi relasi antara tanda-tanda dengan
penafsirannya’ (dalam Kunjana Rahardi, 2005: 47).
Leech sebagai salah satu ahli linguis memberikan definisi dan batasan pada
penelitian tentang pragmatik untuk tujuan-tujuan linguistik. Definisi pragmatik
menurut Leech adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-
situasi ujar (speech situations) (Leech edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993:
8).
Pragmatik adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang membahas tentang
ujaran atau tuturan baik lisan ataupun tertulis. Harimurti Kridalaksana dalam
Kamus Linguistik menyebutkan bahwa pragmatik adalah aspek-aspek pemakaian
bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna
ujaran (2008: 198). Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa
pragmatik tidak hanya membahas tentang bahasa dalam tuturan saja tetapi juga
membahas mengenai konteks yang melingkupi ketika tuturan/ ujaran disampaikan
oleh penutur kepada mitra tutur.
Levinson (dalam Kunjana Rahardi, 2005: 48) mendefinisikan pragmatik
sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks
yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan
dari struktur bahasanya.
Definisi lain tentang pragmatik diberikan oleh Parker (dalam Kunjana
Rahardi, 2005: 48) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa
16
yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud
dengan hal itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam
komunikasi yang sebenarnya. Parker memedakan pragmatik dengan studi tata
bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk beluk bahasa secara internal.
Menurutnya, studi ahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi
pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks.
George Yule (1996: 3) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics
memberikan definisinya mengenai pragmatik. Pragmatics is concerned with the
study of meaning as communicated by a speaker (or writer) and interpreted by a
listener (or reader). “pragmatik adalah studi tentang makna dalam komunikasi
dari seorang penutur (atau penulis) dan diinterpretasikan oleh mitra tutur (atau
pembaca)’.
Berdasarkan pada definisi-definisi yang telah disampaikan oleh ahli bahasa
di atas maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah adalah cabang ilmu
bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana
satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik tidak hanya
membahas bahasa yang diucapkan secara lisan atau tertulis, tetapi membahas
bahasa dan konteks yang menyertainya ketika tuturan itu diucapkan secara lisan
atau tertulis.
2. Situasi Tutur
Sesuai dengan definisi tentang pragmatik, situasi tutur merupakan
komponen penting dalam penelitian pragmatik. Situasi tutur menjadi poin dimana
makna yang diutarakan atau dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur dapat
dipahami dengan jelas. Leech (edisi terjemahan M. D. D. Oka, 1993: 19-21)
17
membagi aspek-aspek situasi ujar untuk mengetahui apakah suatu percakapan
tersebut merupakan fenomena pragmatis atau semantis. Aspekaspek situasi ujar
tersebut sebagai berikut:
a) Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)
Orang yang menyapa diberi simbol n (penutur) dan orang yang disapa
disimbolkan dengan t (petutur). Simbol-simbol ini merupakan singkatan untuk
‘penutur/ penulis’ dan ‘petutur/pembaca’. Jadi penggunaan n dan t tidak
membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja. Aspek-aspek yang berkaitan dengan
penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban.
b) Konteks sebuah tuturan
Konteks merupakan aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang
terkait-mengait dengan ujaran tertentu. Pengetahuan yang sama-sama dimiliki
pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksudkan
pembicara. Konteks adalah pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki
oleh n dan t yang membantu t menafsirkan makna tuturan.
c) Tujuan sebuah tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra petutur
dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah salah satu
hal yang ingin dicapai oleh penutur dalam berkomunikasi.
d) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar
Tindak tutur merupakan suatu aktivitas. Menuturkan sebuah tuturan
dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act). Tindak tutur sebagai suatu
tindakan itu sama dengan tindakan mencubit dan menendang. Hanya saja, bagian
18
tubuh yang berperan berbeda. Pada tindakan bertutur bagian tubuh yang berperan
adalah alat ucap.
e) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi
dalam situasi tertentu. Tuturan tercipta melalui tindakan verbal, mtuturan itu
merupakan hasil tindak verbal. Tindakan verbal adalah tindakan mengekspresikan
kata-kata atau bahasa.
3. Tindak Tutur
Di dalam pragmatik, tuturan merupakan suatu bentuk tindakan dalam
konteks situasi tutur sehingga aktivitasnya disebut tindak tutur. Dalam
berkomunikasi setiap penutur akan melakukan kegiatan mengujarkan tuturan.
George Yule berpendapat bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang
ditampilkan lewat tuturan. Setiap tindak tutur yang diucapkan oleh seorang
penutur mempunyai makna tertentu. Tindak tutur dapat berwujud permohonan,
permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan atau janji.
Austin adalah orang yang pertama kali mengungkapkan gagasan bahwa
bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui peredaan antara ujaran
konstantif dan ujaran performatif. Ujaran konstantif mendeskripsikan atau
melaporkan peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan di dunia. Dengan demikian,
ujaran konstantif dapat dikatakan benar atau salah. Ujaran performatif tidak
mendeskripsikan atau melaporkan atau menyatakan apapun, tidak benar atau salah.
Selanjutnya pengujaran kalimat merupakan, atau merupakan bagian dari
melakukan tindakan , yang sekali lagi biasanya tidak dideskripsikan sebagai atau
19
hanya sebagai tindak untuk mengatakan sesuatu (Austin dalam Louise Cumings,
2007: 8).
Austin (dalam Geoffrey Leech edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993:
280) berkesimpulan bahwa dengan atau tanpa adanya verba performatif, dalam
semua tuturan biasa terdapat unsur berbuat (doing) dan unsur berkata (saying).
Kesimpulan tersebut membawa Austin untuk membedakan antara tindak lokusi
(tindak ini kurang lebih dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang
mengandung makna dan acuan) dengan tindak ilokusi (tuturan yang mempunyai
daya konvensional tertentu), dan kemudian melengkapinya dengan menambah
tindak perlokusi (tindak yang mengacu pada apa yang kita hasilkan atau kita capai
dengan mengatakan sesuatu).
Austin dalam bukunya yang berjudul How to Do Things with The Words
(1962) lebih jelas mendeskripsikan tentang tindak tutur performatif yaitu, lokusi,
ilokusi, dan perlokusi.
a) Tindak lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan
sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang
bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying
Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi ini dengan istilah tindak
bahasa preposisi (prepositional act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan
dengan makna.
20
b) Tindak ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to do
something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang
mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.
c) Tindak perlokusi (perlocutionary act)
Sebuah tuturan yang diucapkan seorang penutur sering memilki efek atau
daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan
sesuatu itulah yang oleh Austin (162:101) dinamakan tindak perlokusi. Efek atau
daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara
tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan tindak perlokusi.
Selanjutnya Austin membagi tindak ilokusi menjadi lima kategori, yaitu:
a) Tindak Tutur Verdiktif
Tindak tutur verdiktif dilambangkan dengan pemberian keputusan
misalnya, keputusan juri atau wasit. Contoh verba tindak tutur verdiktif antara lain,
perkiraan, perhitungan, penilaian,menempatkan,menguraikan, dan menganalisis.
b) Tindak Tutur Eksersitif
Tindak tutur eksersitif adalah tindak tutur yang menggunakan kekuatan,
hak, atau pengaruh. Contoh verba tindak tutur eksersitif antara lain, penetapan,
permintaan, menasehati, memperingatkan.
c) Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yanmg dilambangkan dengan
kalimat perjanjian atau harapan. Menjanjikan untuk melakukan sesuatu,
mendeklarasikan, atau memberitahukan. Contoh verba tindak tutur komisif
21
misalnya, berjanji, mengambil-alih atau tanggungjawab, mengajukan, menjamin,
bersumpah, menyetujui.
d) Tindak Tutur Behabitif
Tindak tutur behabitif adalah reaksi-reaksi terhadap kebiasaan dan
keberuntungan orang lain dan merupakan sikap serta ekspresi seseorang terhadap
kebiasaan orang lain, misalnya meminta maaf, berterima kasih, bersimpati,
menantang, mengucapkan salam, mengucapkan selamat.
e) Tindak Tutur Ekspositif
Tindak tutur ekspositif merupakan tindak tutur yang memberi penjelasan,
keterangan, atau perincian kepada seseorang, misalnya menyangkal, menguraikan,
menyebutkan, menginformasikan, mengabarkan, bersaksi.
Searle (dalam Geoffrey Leech edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993:
164) mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis tindak tutur
ilokusi, yaitu:
a) Asertif
Tindak tutur ini terikat pada kebnaran proposisi yang diungkapkan,
misalnya menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan
pendapat, melaporkan.
b) Direktif
Tindak tutur ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang
dilakukan oleh petutur (mitra tutur). Contoh verba tindak tutur direktif antara lain,
memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasehat.
22
c) Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya pada
suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan melaksanakan
segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Misalnya tuturan berjanji, bersumpah,
berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan mengancam.
d) Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan salah satu tindak ilokusi yang
bermaksud untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur
terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi. Contoh verba tindak tutur ekspresif
misalnya, mengucapkan terimakasih, mengucapkan selamat, memberi maaf,
mengecam, memuji, dan mengucapkan belasungkawa.
e) Deklarasi
tindak tutur deklarasi merupakan salah satu jenis tindak tutur ilokusi yang
khusus, karena akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan
realitas, dan biasanya digunakan oleh penutur yang memiliki wewenang untuk
melakukannya. Contoh verba tindak tutur deklarasi misalnya, mengundurkan diri,
membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/
membuang, mengangkat (pegawai).
Berbeda dengan Leech, Leech (edisi terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993:
327-329) membedakan tindak tutur ilokusi menjadi 6 jenis, yaitu:
a) Asertif
Tindak tutur asertif merupakan salah satu jenis tindak tutur ilokusi yang
mengacu pada kebenaran proposisi yang dituturkan, misalmya menguatkan,
menduga, menegaskan, meramalkan, memprediksi, mengumumkan, dan mendesak.
23
b) Direktif
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang mengandung perintah atau
membuat mitra tutur melakukan suatu tindakan sesuai dengan apa yang
dikehendaki penutur, misalnya, meminta, meminta dengan sangat, memohon
dengan sangat, memberi perintah, menuntut, melarang, menganjurkan, dan
memohon.
c) Komisif
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyatakan janji atau
penawaran, misalnya menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan, berkaul,
bersumpah.
d) Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk
menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami
oleh mitra tutur, misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih,
merasa ikut bersimpati, meminta maaf
e) Deklarasi
Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang menghubungkan isi
tuturan dengan kenyataannya, misalnya memecat, membaptis, menikahkan,
mengangkat, menghukum, memutuskan.
f) Rogatif
Tindak tutur rogatif merupakan salah satu tindak tutur khusus untuk
mengawali pertanyaan taklangsung sebagai komplemen. Contoh verba dalam
tindak tutur rogatif adalah meminta, bertanya, menyangsikan, dan
mempertanyakan.
24
Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics juga memberikan lima
klasifikasi mengenai tindak tutur performatif yang hampir sama dengan klasifikasi
tindak tutur ilokusi menurut Leech, Austin, dan Searle, klasifikasi tersebut yaitu:
a) Deklarasi
Tindak tutur deklarasi adalah salah satu jenis tindak tutur yang mampu
merubah dunia melalui tuturan dari penutur. Contohnya adalah ucapan dari
seorang pendeta,keputusan juri, dan keputusan dari wasit pertandingan.
b) Representatif
Tindak tutur representatif merupakan salah satu tindak tutur yang
disampaikan oleh penutur, dan bias dipercaya atau tidak dipercaya oleh mitra tutur.
Contohnya adalah pernyataan tentang kenyataan atau fakta, tuntutan, kesimpulan,
dan deskripsi atau pemaparan.
c) Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan salah satu tindak tutur yang berkaitan
dengan apa yang sedang dirasakan oleh penutur. Penutur mengekspresikan
keadaan psikologinya ketika melakukan pembicaraan dengan mitra tutur. Contoh
tindak tutur ini adalah memberikan pernyataan tentang kesenangan, kegembiraan,
suka dan tidak suka, dan berbelasungkawa.
d) Direktif
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang digunakan untuk
mempengaruhi mitra tutur melakukan sesuatu sesuai yang diharapkan oleh
penutur. Contoh verba tindak tutur direktif adalah perintah, memesan, meminta,
dan saran atau anjuran.
25
e) Komisif
Tindak tutur komisif merupakan salah satu tindak tutur yang dilakukan
oleh penutur yang berdampak pada tindakan pada mitra tutur atau berdampak
tindakan untuk penutur dan mitra tutur. Bisa dikatakan bahwa tindak tutur komisif
merupakan tindak tutur yang menyatakan janji antara penutur dan mitra tutur.
Contoh verba tindak tutur komisif yaitu berjanji, ancaman atau mengancam, dan
penolakan.
Fraser (dalam F.X. Nadar 2009: 16-17) membuat taksonomi tentang tindak
ilokusi dan membagi menjadi delapan macam, sebagai berikut:
a) Acts of Asserting (tindakan menyatakan)
b) Acts of Evaluating (tindakan mengevaluasi)
c) Acts of Reflecting Speaker Attitude (tindakan yang mencerminkan sikap
penutur)
d) Acts of Stipulating (tindakan menetapkan)
e) Acts of Requesting (tindakan meminta)
f) Acts of Suggesting (tindakan mengusulkan)
g) Acts of Exercising Authority (tindakan yang menggunakan kekuasaan)
h) Acts of Commiting (tindakan melakukan)
4. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Selain tindak tutur terbagi menjadi tindak tutur lokusi, ilokusi, dan
perlokusi, tindak tutur juga terbagi menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur
tidak langsung. Tindak tutur langsung adalah tuturan yang sesuai dengan modus
kalimatnya, misalnya kalimat berita untuk memberitakan, kalimat perintah untuk
menyuruh, mengajak ataupun memohon, dan kalimat Tanya untuk menanyakan
26
sesuatu. Sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang berbeda
dengan modus kalimatnya, maka maksud dari tindak tutur tidak langsung dapat
beragam dan tergantung pada konteksnya (F.X. Nadar, 2009: 18-19).
Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics (1996) memberikan
definisi tentang tindak tutur langsung (direct speech act) dan tindak tutur tidak
langsung (indirect speech act). Tindak tutur langsung (direct speech act) terjadi
ketika ada hubungan langsung antara struktur dengan fungsi. Sedangkan pada
tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) terjadi ketika ada hubungan tidak
langsung antara struktur dengan fungsi. Jika bentuk deklaratif digunakan sebagai
sebuah pernyataan, maka bisa dikatan bahwa tuturan itu berupa tindak tutur
langsung. Tetapi jika bentuk deklaratif digunakan sebagai sebuah permintaan,
maka tuturan tersebut dikatakan sebagai tindak tutur tidak langsung.
Selain tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, ada sejumlah
tindak tutur yang mempunyai tuturan sesuai denhandan tidak sesuai dengan kata-
kata yang menyusunnya. Misalnya seseorang yang memakan tiga piring nasi
dengan lauknya dan kemudian orang tersebut mengatakan “saya kenyang” maka
dapat dikatakan orang tersebut benar-benar mengatakan demikian. Tindak tutur
tersebut dinamakan dengan tindak tutur literal (F.X. Nadar, 2009:19).
Wijana (dalam F.X. Nadar, 2009:19) menjelaskan mengenai tindak tutur
literal dan tindak tutur tidak literal. Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang
maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Tindak tutur tidak
literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan
dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
27
5. Imperatif
Imperatif adalah bentuk kalimat atau verba untuk mengungkapkan perintah
atau keharusan atau larangan untuk melaksanakan suatu perbuatan (Harimurti
Kridalaksana, 2008: 91). Definisi lain dari imperatif adalah bersifat memerintah
atau memberi komando, mempunyai hak memberi komando, dan bersifat
mengharuskan (KBBI).
Moeliono (dalam Kunjana Rahardi, 2005:2) menyatakan bahwa bila
didasarkan pada nilai komunikatifnya, kalimat dalam bahasa Indonesia dapat
dibedakan menjadi lima, yakni (1) kalimat berita atau deklaratif, (2) kalimat
perintah atau imperative, (3) kalimat Tanya atau interogatif, (4) kalimat seruan
atau eksklamatif, (5) kalimat penegas atau emfatik. Sesuai dengan sebutannya,
kalimat perintah atau imperatif
Berbeda dengan Moeliono, Ramlan (dalam Kunjana Rahardi, 2005:2)
menyatakan bahwa berdasarkan fungsinya dalam hubungannya dengan situasi,
kalimat dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya,
(3) kalimat suruh. Kalimat berita berfungsi untuk memberi tahu sesuatu kepada
orang lain sehingga tanggapan yang diberikan berupa perhatian. Kalimat tanya
berfungsi untuk menanyakan sesuatu, sedangkan kalimat suruh mengharapkan
tanggapan yang berupa tindakan tertentu dari orang yang diajak berbicara.
Keraf (dalam Kunjana Rahardi, 2005:2) juga memberikan definisi kalimat
perintah sebagai kalimat yang digunakan untuk menyuruh orang lain melakukan
sesuatu, kalimat berita adalah kalimat yang mendukung suatu pengungkapan
peristiwa atau kejadian, dan kalimat tanya adalah kalimat yang mengandung
permintaan agar diberitahu orang sesuatu karena ia tidak mengetahui hal tertentu.
28
Selain itu, sosok perintah, suruh, dan direktif sesungguhnya adalah
pembicaraan dalam kategori linguistik yang tidak sama. Bentuk yang pertama
berada dalam lingkup gramatik, bentuk kedua berada dalam lingkup situasional,
dan bentuk ketida berada dalam lingkup wacana (Kunjana Rahardi, 2005:3).
Kenyataan ini menunjukan bahwa dalam praktik komunikasi interpersonal
sesungguhnya, makna imeratif dalam bahasa Indonesia tidak hanya diungkapkan
dengan onstruksi lainnya. Makna pragmatik imperatif sebuah tuturan tidak selalu
sejalan dengan wujud konstruksinya, melainkan ditentukan oleh konteks situasi
tutur yang menyertai, melingkupi, dan melatarinya (Kunjana Rahardi, 2002:5).
Bisa dikatakan bahwa dalam melakukan penelitian imperatif bahasa
Indonesia, harus melihat konteks situasi yang melatari munculnya sebuah tuturan
agar bisa menjelaskan berbagai kemungkinan makna pragmatik imperatif bahasa
Indonesia. Imperatif dan tindak tutur saling berkaitan erat dalam hubungannya,
sebagai tindak lokusioner tuturan imperatif merupakan pernyataan makna dasar
dari konstruksi imperatif. Sebagai tindak ilokusioner makna imperatif pada
dasarnya merupakan maksud yang disampaikan penutur dalam menyampaikan
tuturan imperatif. Selanjutnya sebagai tindak perlokusioner, sosok imperatif yang
berkaitan dengan dampak yang timbul sebagai akibat dari tindak tutur.
Alisjahbana (dalam Kunjana Rahardi, 2005:19) mengartikan sosok
kalimat perintah sebagai ucapan yang isinya memerintah, memaksa, menyuruh,
mengajak, meminta agar orang yang diperintah itu melakukan apa yang
dimaksudkan dalam perintah itu. Berdasarkan pada maknanya, yang dimaksud
dengan aktivitas memerintah adalah praktik memberitahukan kepada mitra tutur
29
bahwa penutur menghendaki orang yang diajak bertutur itu melakukan apa yang
sedang diberitahukannya.
Menurut Alisjahbana (dalam Kunjana Rahardi, 2005: 21), sosok kalimat
perintah dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu, (1) perintah yang
menunjuk pada suatu kewajiban, (2) perintah yang bermakna mengejek, (3)
perintah yang bermaksud memanggil, (4) perintah yang merupakan permintaan.
Selain menunjukan macam makna dan wujud imperatif, Alisjahbana juga
memberikan contoh kalimat perintah yang didalamnya memanfaatkan ungkapan
penanda kesantunan seperti, mudah-mudahan, moga-moga, coba, tolong, mari,
baiklah, hendaklah, kiranya, dan silakan.
Mess (dalam Kunjana Rahardi, 2005:23) sekilas menyhinggung tentang
kalimat pentah dalam pembicaraan kKalimat Verbal Fungsi Finit. Bentuk finit
mencakup dua macam hal, yaitu cara peintah dan bentuk pesona. Cara perintah
tidk dapat disubstantifkan dan selamanya berfungsi predikat dalam kalimat
tunggal. Kata kerja transitif maupun kata kerja intransitif di dalam bahasa
Indonesia, dapat berfungsi sebagai pembentuk kalimat perintah.
Slametmuljana (dalam Kunjana Rahardi, 2005:24) menyatakan bahwa
disamping kalimat berita, dalam pemakaian bahasa Indonesia itu masih terdapat
kalimat yang lainnya, yakninkalimattanya dan suruh. Slametmuljana juga
menyebutkan adanya kalimat suuh yang menggunakan penanda khusus
kesantunan mudah-mudahan, moga-moga, hendaklah, dan sudi kiranya. Kalimat
suruh yang demikian dapat dikatakan sebagai kalimat suruh harapan, karena
mengandung makna pragmatik harapan.
30
Fokker (dalam Kunjana Rahardi, 2005:25) menyebutkan bahwa seperti
juga pada kalimat-kalimat yang lain, sosok kalimat perintah itu lazimnya dapat
dikenali dari lagu kalimat atau intonasinya. Selain dari lagu kalimat atau
intonasinya, kalimat perintah juga dapat dikenali dari pemakaian bentuk-bentuk
tata bahasanya, misalnya tidak digunakannya bentuk awalan Men-, dan sering
digunakannya partikel –lah pada kalimat imperatif.
Gorys Keraf (dalam Kunjana Rahardi, 2005:27) mendefinisikan kalimat
perintah sebagai kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang
lain melakukan sesuatu, seperti yang diinginkan oleh orang yang memerintahkan
itu. Menurutnya kalimat perintah itu dapat berkisar antara suruhan yang sangat
kasar sampai dengan permintaan yang sangat halus. Lebih lanjut Keraf
menyatakan bahwa kalimatperintah lazimnya dapat mengandung ciri-ciri berikut:
(1) mengunakan intonasi keras, terutama perintah biasa dan larangan, (2) kata
kerja yang mendukung isi perintah itu, biasanya kata dasar, dan (3) menggunakan
partikel pengeras –lah.
Keraf juga menguraikan bahwa kalimat perintah dalam bahasa Indonesia
itu sedikitnya dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yakni (1) perintah biasa,
(2) permintaan, (3) perintah mengizinkan, (4) perintah ajakan, (5) perintah
bersyarat, (6) perintah sindiran, (7) perintah larangan, (8) perintah harapan, (9)
seru.
Kunjana Rahardi (2005: 29) mengatakan bahwa ada beberapa hal
mendasar yang perlu diperhatikan dari pernyataan beberapa ahli tata bahasa
Indonesia yang telah disampaikan sebelumnya, dan dapat disebutkan satu demi
satu sebagai berikut. Pertama, kajian ihwal tuturan imperatif berfokus pada aspek
31
struktural saja memang belum cukup untuk studi linguistik, karena kajian yang
berancangan struktural tidak mampu mengungkap secara jelas masalah-masalah
yang berada di luar lingkup struktural satuan lingual imperatif tersebut.
Kedua, tuturan imperatif yang disampaikan oleh penutur dan diterima
mitra tutur itu menuntut reaksi atau tanggapan. Reaksi yang diharapkan lazimnya
dapat berupa tanggapan verbal maupun tanggapan nonverbal, atau gabungan dari
keduannya yang kesemuanya berwujud tindakan.
Ketiga, untuk menyatakan maksud tertentu, sosok imperatif di dalam
bahasa Indonesia dapat pula diwujudkan dengan bentuk pasif. Pemasifan tuturan
imperatif lazimnya mengandung makna lebih formal dan lebih santun
dibandingkan dengan tuturan imperatif yang tidak berbentuk pasif.
Keempat, kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dapat juga berbentuk
negatif, kalimat imperatif yang demikian itu lazim disebut dengan kalimat
larangan. Kelima, untuk memperhalus maksud tuturan imperatif di dalam bahasa
Indonesia, sosok kalimat imperatif itu dapat pula dinyatakan dengan
membubuhkan awalan Men-.
Keenam, imperatif di dalam bahasa Indonesia biasanya juga digunakan
bersama dengan kata-kata atau ungkapan tertentu yang lazim disebut penanda-
penanda kesantunan misalnya, yakni, ayo, biar, coba, harap, hendaklah,
hendaknya, lah, mari, mohon, silakan, dan tolong. Penggunaan penanda
kesantunan yang demikian pada tuturan imperatif akan dapat dengan jelas
menunjukan apakan tuturan imperatif itu merupakan tuturan imperatif permintaan,
harapan, dan sebagainya.
32
Kunjana Rahardi (2005: 79) mengklasifikasikan kalimat imperatif bahasa
Indonesia secara formal menjadi lima macam, yakni (1) kalimat imperatif biasa,
(2) kalimat imperatif permintaan, (3) kalimat imperatif pemberian izin, (4) kalimat
imperatif ajakan, dan (5) kalimat imperatif suruhan.
a) Kalimat Imperatif Biasa
Di dalam bahasa Indonesia, kalimat imperatif biasa lazimnya memiliki
ciri-ciri berikut: (1) berintonasi keras, (2) didukung dengan kata kerja dasar, dan
(3) berpatikel pengeras –lah. Kalimat imperatif jenis ini dapat berkisar antara
imperatif yang sangat halus sampai dengan imperatif yang sangat kasar.
b) Kalimat Imperatif Permintaan
Kalimat imperatif permintaan adalah kalimat imperatif dengan kadar
suruhan sangat halus. Lazimnya, kalimat imperatif permintaan disertai dengan
sikap penutur yang lebih merendah dibandingkan dengan sikap penutur pada
waktu menuturkan kalimat imperatif biasa. Kalimat imperatif permintaan ditandai
dengan pemakaian penanda kesantunan tolong, coba, harap, mohon, sudilah
kiranya, dapatkah seandainya, diminta dengan hormat, dan dimohon dengan
sangat.
c) Kalimat Imperatif Pemberian Izin
Kalimat imperatif yang dimaksudkan untuk memberikan izin ditandai
dengan pemakaian penanda kesantunan silakan, biarlah, diperkenankan,
dipersilakan, dan diizinkan.
d) Kalimat Imperatif Ajakan
Kalimat imperatif ajakan biasanya digunakan dengan penanda kesantunan
ayo, biar, mari, harap, hendaknya, dan hendaklah.
33
e) Kalimat Imperatif Suruhan
Kalimat imperatif suruhan biasanya digunakan bersama penanda
kesantunan ayo, biar, coba, harap, hendaklah, hendaknya, mohon, silakan, dan
tolong.
Kunjana Rahardi (2002) menjelaskan bahwa wujud imperatif mencakup
dua macam hal, yaitu (1) wujud imperatif formal atau struktural, (2) wujud
imperatif pragmatik atau nonstruktural.
a) Wujud Formal Imperatif
Wujud formal imperatif adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa
Indonesia menurut ciri struktural atau formalnya. Secara formal, tuturan imperatif
dalam bahasa Indonesia meliputi dua macam perwujudan, yakni (1) imperatif
aktif dan (2) imperatif pasif.
i. Imperatif Aktif
Imperatif aktif dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan berdasarkan
penggolongan verbanya menjadi dua macam, yakni imperatif aktif yang berciri
tidak transitif dan imperatif aktif yang berciri transitif.
a. Imperatif Aktif Tidak Transitif
Imperatif aktif di dalam bahasa Indonesia dapat berciri tidak transitif.
Imperatif yang demikian dapat dengan mudah dibentuk dari tuturan deklaratif,
yakni dengan menerapkan ketentuan (1) menghilangkan subjek yang lazimnya
persona kedua seperti Anda, Saudara, kamu, kalian, Anda sekalian, Saudara
sekalian, kamu sekalian, dan kalian-kalian; (2) mempertahankan bentuk verba
yang dipakai dalam kalimat deklaratif itu seperti apa adanya; dan (3)
34
menambahkan partikel –lah pada bagian tertentu untuk memperhalus maksud
imperatif aktif tersebut.
b. Imperatif Aktif Transitif
Untuk membentuk tuturan imperatif aktif transitif, tuturan imperatif aktif
tidak transitif tetap berlaku. Perbedaannya adalah untuk membentuk imperatif
aktif transitif, verbanya harus dibuat tanpa berawalan me-N.
ii. Imperatif Pasif
Di dalam komunikasi keseharian, maksud tutran imperatif lazim
dinyatakan dalam tuturan yang berdiatesis pasif. Digunakan bentuk tuturan yang
demikian dalam menyatakan maksud imperatif karena pada pemakaian imperatif
pasif itu, kadar suruhan yang dikandung di dalamnya cenderung menjadi rendah.
Kadar permintaan dan kadar suruhan yang terdapat di dalam imperatif itu tidak
terlalu tinggi karena tuturan itu tidak secara langsung tertuju kepada orang yang
bersangkutan. Dalam pemakaian tuturan imperatif pasif terdapat maksud
penyelamatan muka yang melibatkan muka si penutur maupun diri si mitra tutur.
b) Wujud Pragmatik Imperatif
Wujud pragmatik adalah realisasi maksud imperatif dalam bahasa
Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks situasi tutur yang
melatarbelakanginya. Makna pragmatik imperatif tuturan yang demikian itu
sangat ditentukan oleh konteksnya. Konteksyang dimaksud dapat bersifat
ekstralinguistik dan dapat pula bersifat intralinguistik. Ada tujuh belas macam
makna pragmatik imperatif di dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
a. Tuturan yang Mengandung Mkana Pragmatik Imperatif Perintah
b. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imoeratif Suruhan (coba)
35
c. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permintaan
(tolong, minta, mohon)
d. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permohonan
(mohon, -lah)
e. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Desakan (ayo,
mari, harap, harus)
f. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Bujukan (ayo,
mari, tolong)
g. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Imbauan (-lah,
harap, mohon)
h. Tuturan Yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Persilaan (silakan,
dipersilakan)
i. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Ajakan (mari,
ayo)
j. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Permintaan Izin
(mari, boleh)
k. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Mengizinkan
(silakan)
l. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Larangan (jangan)
m. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Harapan (harapan,
semoga)
n. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Umpatan
o. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Pemberian
Ucapan Selamat
36
p. Tuturan yang Mengandung Makna Pragmatik Imperatif Anjuran
(hendaknya, sebaiknya)
q. Tuturan yang Mengandung Makna Imperatif ‘ngelulu’.
6. Kesantunan Imperatif
Kunjana Rahardi (2005: 119) mengatakan bahwa dalam tuturan imperatif
terdapat dua hal mendasar, yaitu adanya tuturan langsung dan tuturan tidak
langsung. Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat diukur berdasar jarak ilokusi
penutur dan mitra tutur. Semakin dekat jarak ilokusi antara penutur dengan mitra
tutur, akan semakin langsung tuturan tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin
jauh jarak ilokusi penutur dengan mitra tutur, semakin tidak langsung tuturan
tersebut.
Tuturan imperatif langsung dan tidak langsung, mempunyai dampak yang
sangat kuat dalam hal kadar kesantunan sebuah tuturan. Semakin tidak langsung
tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur, semakin santun tuturan
yang disampaikan, tetapi semakin langsung tuturan yang disampaikan oleh
penutur kepada mitra tutur, semakin tidak santun pula tuturan tersebut.
Kadar kesantunan berkaitan langsung dengan langsung atau tidaknya
tuturan penutur kepada mitra tutur. Hal ini terkait dalam hal tuturan yang
mengandung perintah yang disampaikan penutur kepada mitra tutur. Semakin
langsung atau semakin jelasnya perintah yang diberikan kepada mitra tutur,
semakin tidak santun tuturan tersebut, dan begitu juga sebaliknya.
Kesantunan dalam berbicara banyak dijelaskan oleh para ahli bahasa di
dunia, diantaranya adalah Fraser, Leech, Brown Levinson, dan Robin Lakof.
37
Empat ahli bahasa tersebut mengkaji masalah kesantunan dalam berbahasa sesuai
dengan pandangan masing-masing.
Fraser (dalam Kunjana Rahardi, 2005:38) mengatakan bahwa ada empat
pandangan yang digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.
Pertama, pandangan kesantunan berkaitan dengan norma-norma sosial.
Kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma sosial dan kultural yang
berlaku di dalam masyarakat bahasa itu.
Kedua, pandangan melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan,
dan sebagai upaya penyelamatan muka. Kesantunan dalam bertutur dianggap
sebagai kontrak percakapan. Prinsip kesantunan ini mengatur tujuan relasional
yang berkaitan erat dengan upaya pengurangan friksi dalam interaksi personal
antarmanusia pada masyarakat tertentu.
Pandangan ketiga, kesantunan sebagai tindakan untuk emmenugi
persyaratan terpenuhinya kontrak percakapan. Kontak percakapan itu sangat
ditentukan oleh hak dan kewajiban peserta tutur yang terlibat di dalam kegiatan
bertutur itu. Fraser memandang bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang
penuh pertimbangan etiket berbahasa. Pandangan kesantunan yang keempat
berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Kesantunan dipandang sebagai sebuah
indeks sosial.
Lakoff (dalam Kunjana Rahardi, 2005:41) berpendapat bahwa terdapat
tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan memiliki ciri santun, yaitu formalitas,
ketidaktegasan, dan kesamaan atau kesekawanan. Lakoff memandang suatu
tuturan akan dapat dikatakan santun apabila tuturan itu bersifat formal, tidak
memaksa, dan tidak berkesan angkuh, terdapat pilihan tindakan bagi mitra tutur,
38
dan tuturan tersebut hendaknya mampu membuat mitra tutur merasa sama, merasa
memiliki sahabat, merasa gembira, dan sejajar dengan si penutur.
Leech (dalam edisi terjemahan M. D. D. Oka, 1993: 170) menggambarkan
kesantunan sebagai “usaha untuk membuat kemungkinan adanya keyakinan-
keyakinan dan pendapat-pendapat tidak sopan menjadi sekecil mungkin”. Leech
membagi maksim kesantunan menjadi enam maksim, yaitu (1) maksim kearifan
atau kebijaksanaan (tact maxim), (2) maksim kedermawanan (generosity maxim),
(3) maksim pujian (approbation maxim), (4) maksim kerendahan hati (modesty
maxim), (5) maksim kesepakatan (agreement maxim), (6) maksim simpati
(sympathy maxim).
Kunjana Rahardi (2005: 118) menyebutkan ada dua wujud kesantunan
yang berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia.
Wujud pertama menyangkut ciri linguistik yang selanjutnya mewujudkan
kesantunan lnguistik. Wujud kedua, menyangkut ciri nonlinguistik tuturan
imperatif yang selanjutnya mewujudkan kesantunan pragmatik.
1) Kesantunan Linguistik Tuturan Imperatif
Kesantunan linguistik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia terbagi
menjadi empat faktor, yaitu (1) panjang-pendeknya tuturan, (2) urutan tuturan, (3)
intonasi tuturan dan isyarat kinesik, (4) pemakaian ungkapan penanda. Faktor
pertama adalah panjang-pendeknya tuturan. Panjang-pendeknya sebuah tuturan
merupakan faktor pertama dalam hal kesantunan dalam berbicara antara penutur
kepada mitra tutur. Semakin panjang tuturan yang disampaikan oleh penutur
kepada mitra tutur, maka semakin santun pula tuturan itu. Hal ini maksudnya
adalah, penutur menyampaikan maksud tuturannya dengan menggunakan unsur
39
basa-basi. Semakin banyak basa-basi yang digunakan, semakin santun pula
tuturan tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin sedikit atau semakin pendek
tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur, semakin tidaksantun tuturan
tersebut.
Faktor yang kedua adalah urutan tutur. Banyak orang yang ingin
mengutarakan maksud tertentu dengan berbagai pertimbangan, apakah tuturan
yang ingin disampaikan akan menyakiti mitra tuturnya atau tidak, maka penutur
akan menata kembali urutannya. Untuk mengutarakan maksud tertentu, kadang
orang merubah tuturannya agar menjadi semakin tegas, keras, dan bahkan
mungkin kasar. Bisa dikatakan bahwa urutan tutur mempengaruhi tinggi-
rendahnya peringkat kesantunan.
Faktor ketiga adalah intonasi dan isyarat kinesik. Intonasi sangat
mempengaruhi tinggi rendahnya kesantunan sebuah tuturan. Hal ini sedikit
bertolak belakang dengan faktor pertama yaitu panjang-rendahnya tuturan. Jika
tuturan yang disampaiakan kepada mitra tutur panjang, tetatpi menggunakan
intonasi tinggi, maka tuturan tersebut dikatakan tidak santun. Tetapi jika tuturan
itu sangat singkat dan menggunakan indonasi yang rendah, maka bisa dikatakan
tuturan itu memiliki tingkat kesantunan yang tinggi. Jadi dalam hal ini,semakin
rendah, semakin lembut intonasi yang digunakan, maka tuturan tersebut memiliki
tingkat kesantunan yang tinggi.
Selanjutnya adalah isyarat kinesik. Isyarat kinesik merupakan bahasa
tubuh yang digunakan berdampingan ketika penutur menyampaikan maksudnya
kepada mitra tutur. Isyarat kinesik tersebut antara lain (1) ekspresi wajah, (2)
40
sikap tubuh, (3) gerakan jari, (4) gerakan tangan, (5) ayunan lengan, (6) gerakan
pundak, (7) goyangan pinggul, (8) gelengan kepala.
Faktor keempat adalah ungkapan penanda kesantunan. Secara linguistik
kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat
ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan penanda kesantunan.
Adapun bebrapa penanda kesantunan itu sebagai berikut; tolong, mohon, silakan,
mari, ayo, biar, coba, harap, hendaknya, hendaklah, -lah, sudi kiranya, sudilah
kiranya, sudi apalah kiranya.
2) Kesantunan Pragmatik Tuturan Imperatif dalam Bahaa Indonesia
Makna pragmatik imperatif banyak yang diwujudkan dengan tidak
menggunakan tuturan imperatif melainkan dengan tuturan nonimperatif. Banyak
didapatkan bahwa makna pragmatik imperatif banyak digunakan dalam tuturan
deklaratif dan tuturan interogatif. Tuturan nonimperatif untuk menyatakan makna
pragmatik imperatif biasanya mengandung unsur ketidaklangsungan. Dengan
demikian dalam tuturan nonimperatif terkandung aspek kesantunan pragmatik
imperatif.
a. Kesantunan Pragmatik Imperatif dalam Tuturan Deklaratif
Ada beberapa macam kesantunan pragmatik imperatif dalam bahasa
Indonesia yaitu, (1) kesantunan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik
impeartif, (2) tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik imperatif
ajakan, biasanya menggunakan penanda lingual mari, ayo, (3) tuturan deklaratif
yang menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan, biasanya ditandai
dengan mohon, dimohon, (4) tuturan deklaratif yang menyatakan makna
pragmatik imperatif persilaan, (5) tuturan deklaratif yang menyatakan makna
41
pragmatif imperatif larangan, biasanya ditandai dengan penanda lingual jangan,
dilarang, tidak diperkenankan, dan tidak diperbolehkan.
b. Kesantunan Pragmatik Imperatif dalam Tuturan Interogatif
Kesantunan pragmatik tidak hanya terdapat pada tuturan deklaratif, tetapi
juga terdapat dalam tuturan interogatif. Tuturan pragmatik imperatif dalam tuturan
interogatif mengandung makna ketidaklangsungan yang besar, dan hal itu
berkaitan erat dengan tingkat kesantunan dalam bertutur. Kesantunan pragmatik
imperatif dalm tuturan interogatif terbagi menjadilima macam yaitu, (1) tuturan
interogatif yang memyatakan makna pragmatik larangan, (2) tuturan interogatif
yang menyatakan makna pagmatik imperatif ajakan, (3) tuturan interogatif yang
menyatakan makna pragmatik imperatif permohonan, (4) tuturan interogatif yang
menyatakan makna pragmatik imperatif persilaan, (5)tuturan interogatif yang
menyatakan maknapragmatik imperatif larangan.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah cara kerja yang dilakukan peneliti untuk
menyelesaikan masalah yang akan diteliti. Kerangka pikir yang terkait dengan
penelitian ini digambarkan pada bagan di bawah ini.
42
Bagan Kerangka pikir
Papan Pengumuman dan Informasi di
Wilayah Surakarta
Tindak Tutur Leech
Tindak Tutur pada Papan
Pengumuman dan Informasi di
Wilayah Surakarta
Kesantunan Leech
Imperatif pada Papan
Pengumuman dan
Informasi di Wilayah
Surakarta
Tuturan pada Papan
Pengumuman dan Informasi di
Wilayah Surakarta
Hasil Analisis:
Tindak tutur direktif yang ada pada
papan pengumuman dan informasi di
wilayah Surakarta
Kesantunan imperatif yang ada pada
papan pengumuman dan informasi di
wilayah Surakarta
43
Sumber data dalampenelitian ini adalah papan pengumuman dan informasi
di wilayah Surakarta. Penelitian ini mendasarkan analisisnya pada teori tindak
tutur direktif dan kesantunan Leech. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini
adalah bentuk tindak tutur direktif dan kesantunan imperatif pada papan
pengumuman dan informasi.
Pragmatik menempatkan tindak tutur sebagai objek kajian dengan
memperhitungkan konteks pemakaiannya, sehingga tuturan yang terdapat pada
papan pengumuman dan informasi di wilayah Surakarta dianalisis dengan
mendasar, memperhitungkan dan mengaitkan dengan konteks yang ada.
top related