bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir a. kajian … · 2. situasi tutur rustono (1999:25)...
Post on 12-Mar-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur sudah
banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan
terlebih dahulu dan relevan dengan masalah yang diteliti penulis dalam penelitian
ini akan dipaparkan sebagai berikut.
Waluyo (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Pelanggaran Prinsip Kerja
Sama dan Prinsip Kesopanan Dalam Percakapan Lum Kelar di Radio SAS FM”
menyimpulkan penelitian sebagai berikut, pertama, ditemukan adanya
pelanggaran terhadap prinsip kerjasa dalam tuturan Lum Kelar. Pelanggaran
prinsip kerjasama terjadi terhadap empat maksim, yaitu (a) pelanggaran maksim
kuantitas, (b) pelanggaran maksim kualitas, (c) pelanggaran maksim relevansi,
dan (d) pelanggaran maksim pelaksanaan. Pelanggaran prinsip kerja sama yang
paling banyak terjadi terhadap maksim kualitas. Kedua, ditemukan adanya
pelanggaran terhadap prinsip kesopanan dalam percakapan Lum Kelar.
Pelanggaran hanya terjadi terhadap lima maksim dari enam maksim yang tercakup
dalam prinsip ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud adalah (a) pelanggaran
maksim kebijaksanaan, (b) pelanggaran maksim penerimaan, (c) pelanggaran
maksim kemurahan, (d) pelanggaran maksim kerendahan hati,dan (e) pelanggaran
maksim kecocokan. Pelanggaran terhadap maksim kesimpatian tidak ditemukan
dalam penelitian ini. Ketiga, tuturan Lum Kelar mengandung beberapa macam
implikatur percakapan. Implikatur-implikatur tersebut digunakan antara lain
10
untuk (a) menegaskan, (b) mengeluh, (c), menciptakan humor, (d) menyindir, (e)
memastikan, (f) menolak, (g) menyombongkan diri, (h) mengejek, dan (i)
menyatakan rasa kesal. Dalam percakapan Lum Kelar, implikatur percakapan
terbanyak digunakan untuk humor. Hal ini merupakan salah satu strategi untuk
menarik minat pendengar, agar mau mendengarkan Lum Kelar dari awal hingga
akhir.
Nurul Hidayati (2010) dalam skripsi yang berjudul, “Implikatur
Percakapan sebagai Unsur Pengungkapan Humor dalam Komedi OKB di
Trans 7 (Sebuah Tinjauan Pragmatik)” menyimpulkan penelitian sebagai berikut
terdapat 4 bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam komedi
OKB. Pelanggaran itu meliputi pelanggaran maksim kuantitas,
pelanggaran maksim kualitas, pelanggaran maksim relevansi
(hubungan), dan pelanggaran maksim cara (pelaksanaanan). Pelanggaran
prinsip kerja sama yang terjadi didominasi oleh pelanggaran terhadap
maksim cara (palaksanaan), hal ini terjadi karena cara bertutur yang tidak
secara langsung, ambigu, berkepanjangan dan tidak teratur.
Pada pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam komedi OKB di
Trans 7 terdapat 10 implikatur sebagai unsur pengungkapan humor. Implikatur itu
meliputi menyindir, mengejek, menolak, menunjukkan suatu keadaan/
memberitahu, menyarankan, berjanji, berspekulasi, mengeluh, mengkritik, dan
menyombongkan diri. Di dalam komedi OKB implikatur sebagai unsur
pengungkapan humor yang terjadi didominasi oleh implikatur menyindir dan
mengejek yang menimbulkan jenis humor satire dan implikatur yang lain
menimbulkan jenis humor plesetan, sinisme, dan guyon parikena.
11
Durratun Nasihah Assholihah (2012) dalam skripsi yang berjudul,
“Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Talk Show Provocative
Proactive di Metro TV” menyimpulkan penelitian sebagai berikut, pertama, dari
analisis yang dilakukan pada talk show PP di Metro TV terdapat
pelanggaran prinsip kerja sama. Pelanggaran tersebut meliputi empat maksim
yang dikemukakan oleh Grice yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, dan maksim pelaksanaanan. Kedua, implikatur yang terdapat dalam
talk show PP di Metro TV sebanyak 19 jenis implikatur. Implikatur tersebut
adalah implikatur berjanji, implikatur kebanggaan, implikatur pemberitahuan,
implikatur alasan, implikatur harapan, implikatur tidak setuju, implikatur
sindiran, implikatur mengkritik, implikatur keraguan, implikatur pertanyaan,
implikatur gurauan, implikatur rayuan, implikatur perintah, implikatur
memuji, implikatur larangan, implikatur tawaran, implikatur pemberian saran,
implikatur ejekan, dan implikatur simpulan.
Penelitian-penelitian di atas merupakan kajian yang pernah mengkaji obyek
penelitian membahas mengenai masalah pelanggaran prinsip kerja sama dan
implikatur. Letak perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
pada sumber data. Dalam penelitian ini sumber data penelitian berupa tuturan
yang diperoleh dari acara “Raja Gombal” di Trans 7.
Adanya ruang lingkup pemakaian bahasa yang diteliti berbeda, maka
kemungkinan hasil yang diperoleh pun akan berbeda. Dengan demikian,
penelitian ini membahas pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur dengan
sumber data penelitian yang berbeda dari penelitian terdahulu.
12
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Definisi pragmatik dalam Kamus Linguistik ada dua. Pertama, pragmatik
adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam
komunikasi. Kedua, pragmatik adalah aspek-aspek pemakaian bahasa atau
konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran
(Harimurti Kridalaksana, 2008:176-177).
Yule mendefinisikan pragmatik ke dalam 4 definisi (dalam Indah Fajar
Wahyuni, 2006: 3-4). Pertama menurutnya pragmatik adalah studi tentang
maksud penutur. Hal tersebut karena pragmatik mempelajari makna yang
disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh petutur. Kedua, pragmatik adalah
studi tentang makna kontekstual. Pendekatan ini menjelaskan tentang bagaimana
cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan dan disesuaikan dengan
orang yang diajak berbicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa. Ketiga,
pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan
daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari
jarak hubungan. Keakraban antara penutur dan petutur mengisyaratkan adanya
pengalaman yang sama.
Menurut Kreidler dalam bukunya Introducing English Semantics (1998:
18), menyatakan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang
berhubungan dengan arti. Perbedaan antara pragmatik dan semantik dapat
ditunjukkan dari penyusun atau aspek kajian secara umum. Keduanya
berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa dengan
tepat. Dan memberikan batasan mengenai pengertian pragmatik, yaitu:
13
“The chief focus of pragmatics is a person’s ability to derive meanings
from specific kinds of speech situations-to recognize what the speaker is referring
to, to relate new information to what has gone before, to interpret what is said
from background knowledge about the speaker and the topic of discourse, and to
infer or ‘fill in’ information that the speaker takes for granted and doesn’t bother
to say.” (Kreidler, 1998: 19)
Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa fokus utama pragmatik adalah
kemampuan seseorang untuk mengartikan suatu tuturan berdasar situasi tutur
tertentu. Hal tersebut berfungsi untuk mengetahui maksud pembicaraan penutur,
menghubungkan informasi baru dengan apa yang telah terjadi sebelumnya,
menyimpulkan atau 'mengisi' informasi yang penutur tuturkan sehingga tidak
perlu repot-repot untuk mengatakannya secara mendetail berdasar latar belakang
pengetahuan penutur dan mitra tutur mengenai topik pembicaraan.
Prakmatik menurut Levinson dalam Kunjana Rahardi (2005:48) adalah studi
bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang
dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari
struktur bahasanya. Batasan Levinson mengenai pragmatic, yaitu:
Pragmatics is the study of those relations between language and context that
are grammaticalized, or encoded in the structure of a language (Levinson,
1983:9)
Pemberian batasan dalam ilmu pragmatik juga dilakukan oleh Leech (dalam
edisi terjemahan M. D. D. Oka, 1993:8) bahwa pragmatik merupakan studi
tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations).
Pragmatik mempelajari makna secara eksternal atau makna yang terikat
dengan konteks. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur
bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di
dalam komunikasi (I Dewa Putu Wijana, 1996: 1).
14
Rustono (1999:4) mendefinikan pragmatik sebagai bidang linguistik yang
mengkaji hubungan timbal balik antara fungsi dan bentuk. Di dalam batasan yang
sederhana itu, secara implisit tercakup penggunaan bahasa, komunikasi, konteks,
dan penafsiran.
2. Situasi tutur
Rustono (1999:25) mengemukakan bahwa Situasi tutur adalah situasi yang
melahirkan tuturan. Di mana tuturan merupakan akibat yang disebabkan oleh
situasi tutur. Maksud dari sebuah tuturan yang sebenarnya hanya bisa
teridentifikasi apabila kita mengetahui situasi tutur yang melatarbelakangi dan
mendukungnya.
Leech mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus
dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik (dalam edisi terjemahan M. D. D.
Oka, 1993:19-21), yakni.
a. Penyapa (yang menyapa) atau pesapa (yang disapa)
Orang yang menyapa dinyatakan sebagai penutur, sedangkan orang
yang disapa sebagai petutur. Dalam hal ini perlu dibedakan antara
„penerima‟ (orang yang menerima dan menafsirkan pesan) dan „yang
disapa‟ (orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran pesan).
Seorang „penerima‟, berusaha mengartikan isi wacana hanya berdasarkan
bukti kontekstual yang ada tanpa menjadi sasaran pesan si penutur,
sedangkan „yang disapa‟ atau „si petutur‟ selalu menjadi sasaran tuturan.
15
b. Konteks sebuah tuturan
Konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang
sama-sama dimiliki oleh penutur dan membantu petutur menafsirkan
makna tuturan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks menjadi latar
belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama
oleh penutur dan petutur serta yang menunjang interpretasi petutur
terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.
c. Tujuan sebuah tuturan
Istilah tujuan atau fungsi sering dianggap lebih berguna daripada
maksud penutur mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan lebih netral daripada
maksud, karena tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau
motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk
kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan.
d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar
Pragmatik berkaitan dengan tindak-tindak atau performansi-
performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan
demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret
daripada hanya mengacu pada tata bahasa saja, karena jelas keberadaan
siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya,
dan seperti apa konteks situasi tutur secara keseluruhan.
e. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal, dalam pragmatik kata
„tuturan‟ dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (bukan
tindak verbal itu sendiri). Hal tersebut pada dasarnya dikarenakan tuturan
16
yang ada dalam suatu pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta
tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan
mewadahinya.
3. Teori Tindak Tutur
a. Tindak Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (dalam Leech edisi terjemahan M. D. D. Oka, 1993:316) dan
Searle (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996: 17) mengemukakan bahwa secara
pragmatis setidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh
seorang penutur, yakni tindak lokusi (melakukan tindakan mengatakan
sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tindakan dalam mengatakan sesuatu), dan
tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu).
a) Tindak Lokusi
Tidak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Konsep lokusi itu
adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. (Nababan dalam I
Dewa Putu Wijana 1996: 18). I Dewa Putu Wijana sendiri berpendapat bahwa
pengidentifikasian tindak tutur lokusi dapat dilakukan tanpa
mengikutsertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur.
b) Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan
sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu sejauh situasi
tuturnya dipertimbangkan secara seksama. Tindak ilokusi harus
mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak
tutur itu terjadi, dan sebagainya (I Dewa Putu Wijana, 1996: 18).
17
c) Tindak Perlokusi
Dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 18) dijelaskan bahwa sebuah tuturan yang
diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh
(perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Tindak tutur
yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut
dengan tindak perlokusi (the act of affecting someone).
b. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung
Searle (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:30 menyatakan bahwa secara
formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita
(deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu,
dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau
permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk
mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah
untuk menyuruh, mengajak, dan memohon, maka tindak tutur yang terbentuk
adalah tindak tutur langsung (direct speech act).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Kreidler. Penulis menganggap
bahwa teori ini sejalan dengan objek kajian yang penulis teliti. Karena rayuan
gombal menurut teori Kreidler termasuk dalam tidak tutur ekspresif. Hal tersebut
terjabarkan dalam macam-macam tidak tutur menurut Kreidler (1998:183).
a. Tindak Tutur Asertif
Bahasa berfungsi untuk mengungkapkan fakta atau untuk
menginformasikan sesuatu hal yang dapat dinilai benar atau tidaknya suatu
18
tuturan. Kreidler membagi menjadi beberapa bagian kelas verba yaitu sebagai
berikut.
a) Verba asertif untuk menyampaikan informasi, misalnya:
mengumumkan, menyatakan, mengungkapkan, menjelaskan,
mengindikasikan, menyebutkan, memberitakan, dan melaporkan.
b) Verba asertif yang berfokus pada kebenaran ucapan, antara lain:
menuduh, menegaskan, mengakui, menjamin, bersumpah, mengklaim,
bertaruh, membuktikan, berpendapat, dan mempertahankan pendapat.
c) Verba asertif yang berfokus pada komitmen penutur atau keterlibatan
penutur dalam topik pembicaraan, antara lain: menyangkal, mengaku, dan
protes.
d) Verba asertif yang berfokus pada cara berkomunikasi, yaitu:
menekankan, menunjukkan, menyiratkan, mendesak, menekan, dan
menyatakan secara tidak langsung.
e) Verba asertif yang berfokus pada sifat pesan, yaitu: mendikte (secara
lisan supaya ditulis oleh orang lain), narasi rekon (tuturan yang
menggambarkan suatu rangkaian peristiwa), menasihati (tuturan itu
memiliki muatan moral atau etika).
f) Verba asertif yang berfokus pada aspek tuturan, yaitu: memprediksi
(tuturan mengenai kejadian yang mungkin akan terjadi di masa depan),
recall (tuturan yang berisi tentang peristiwa sebelumnya).
b. Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif adalah penutur berusaha supaya petutur melakukan
tindakan tertentu atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan. Namun
19
begitu, sebuah permintaan atau perintah tidak berarti bahwa penutur
mengontrol penuh pada mitra tutur. Adapun yang termasuk ke dalam jenis
tindak tutur ini antara lain mengajak, meminta, menyuruh, menasihatkan,
memohon, menyarankan, merekomendasikan, mengusulkan, memerintah,
mengizinkan, menugaskan, berpesan, mengatakan, memperingatkan,
melarang, menghalangi, dan menantang.
Kreidler menjelaskan bahwa tindak tutur direktif tergantung pada bentuk
sintaksis, pilihan predikat (harus, meminta, menyarankan), situasi, peserta
tutur, dan status relatif penutur dan mitra tutur. Kondisi felisitas meliputi
kelayakan tindakan dan kemampuan mitra tutur; mitra tutur harus menerima
otoritas penutur, kondisi ini sering ditemui pada tuturan memerintah,
menyuruh, memperingatkan, melarang; sedangkan yang menggambarkan
tindak tutur meminta, menyarankan, berpesan biasanya berupa keinginan
penutur, saran dari penutur, dan penilaian penutur.
c. Tindak Tutur Verdiktif
Verdiktif merupakan tindak tutur menilai, di mana penutur memberikan
penilaian terhadap penampilan mitra tutur sebelumnya atau dari apa yang
telah dialami penutur sebelumnya. Kondisi felisitas (kondisi kelayakan) untuk
tindak tutur verdiktif adalah kemungkinan dari tindakan; kemampuan mitra
tutur untuk mempercayai ketulusan penutur dalam bertutur; dan keyakinan
mitra tutur bahwa penutur tulus. Verba tindak tutur verdiktif yang
meliputinya, antara lain: menuduh, menyalahkan, mengucapkan selamat,
memuji, mengkritik, menilai, mengucapkan terima kasih, meminta izin, dan
menegur.
20
d. Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Verba komisif
diilustrasikan dengan pernyataan persetujuan, bertanya, berikrar,
menawarkan, menolak, bersumpah, berjanji, berkaul, menyatakan
kesanggupan, mengancam. Harapan dan kepedulian mitra tutur pada
komitmen penutur untuk tindakan di masa depan merupakan dasar dari tindak
tutur ini. Kondisi felisitas tindak tutur komisif, yakni penutur berniat untuk
melakukan sesuatu dan mampu menjalankannya. Mitra tutur mempercayai
kemampuan dan niat penutur.
e. Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan tuturan mengenai sesuatu hal yang telah
terjadi sebelumnya, atau ungkapan ekspresif dari penutur mengenai tindakan
yang sebelumnya. Kreidler meyebutkan kata kerja ekspresif yang paling
umum (dalam arti „ekspresif‟) adalah mengakui, meminta maaf, menyangkal
atau menolak.
Kondisi felisitasnya serupa dengan tindak tutur verdiktif, yaitu perbuatan
itu layak; penutur memiliki kemampuan; penutur berbicara dengan tulus; dan
mitra tutur mempercayai penutur. Jenis lain dari tindak tutur ekspresif yaitu
membual atau berbohong.
f. Tindak Tutur Performatif
Tindak tutur performatif berlaku jika diucapkan oleh seseorang yang tepat,
yaitu tindakan resmi yang mempengaruhi keadaan mitra tutur, seperti
tindakan bertaruh dan tuturan pada saat upacara. Verba yang termasuk tindak
21
tutur performatif, antara lain: memutuskan, membaptis, pemberian nama,
menominasikan, menawarkan, memberkati, memecat, menikahkan,
menyatakan pembatalan sidang.
Tindak tutur performatif bukan mengenai benar atau salah. Tujuan tindak
tutur ini dilakukan untuk membuat suatu keadaan sesuai dengan apa yang
dikatakan penutur. Kondisi felisitas tindak tutur performatif, yaitu pada
otoritas penutur dalam membuat tuturan; kesesuaian waktu, tempat dan
keadaan lain; dan dapat diterima oleh mitra tutur.
g. Tindak Tutur Fatis
Tindak tutur fatis merupakan pertukaran salam, ucapan selamat tinggal,
dan basa-basi sopan tentang cuaca, kesehatan satu sama lain, atau apa pun
yang diharapkan dalam masyarakat tertentu. Tuturan fatis meliputi, sapaan,
ucapan perpisahan, dan formula kesopanan pada tuturan misalnya, "terima
kasih", "terima kasih kembali", "permisi". Tuturan-tuturan tersebut tidak
benar-benar tergolong dalam tindak tutur verdiktif maupun ekspresif. Tuturan
ini, meliputi: komentar pada cuaca, bertanya tentang kesehatan seseorang,
dan apa pun yang biasa karena itu diharapkan, dalam masyarakat tertentu.
Dapat dikatakan bahwa tujuan dari ucapan-ucapan fatis seperti di atas
adalah untuk menjalin hubungan antara anggota masyarakat yang sama dan
menjaga ikatan sosial. Kondisi felisitas tindak tutur ini dapat terpenuhi ketika
penutur dan mitra tutur berbagi kebiasaan sosial yang sama dan mengenali
ucapan-ucapan fatis mereka.
22
4. Teori Prinsip Kerja Sama
Grice merumuskan kaidah bertutur prinsip kerja sama atau cooperative
principle. Menurut Grice, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang
berupaya membimbing para peserta percakapan agar dapat melakukan percakapan
secara kooperatif. Prinsip kerja sama oleh Grice dirumuskan sebagai
berikut.
“Make your conversational contribution such as required, at the stage at which it
occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you
are engaged!” (Buatlah sumbangan informasi Anda seinformatif yang dibutuhkan
pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah
percakapan yang sedang diikuti). Grice juga mengungkapkan bahwa setiap
penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yaitu
maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality),
maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of
manner) (H. P. Grice, 2006:68; Leech, terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993: 11-
12; I Dewa Putu Wijana, 1996:46-53; Rustono, 1999: 54-59; Kunjana Rahardi,
2005: 53-58; George Yule, terjemahan oleh Indah Fajar Wahyuni, 2006:64;
Nadar, F. X., 2009:24).
Maksim-maksim prinsip kerja sama Grice dapat diidentifikasi sebagai
berikut.
a. Maksim Kuantitas
- Berikanlah informasi sesuai kebutuhan.
- Jangan memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan.
Jadi dapat dikatakan maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur
23
memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan dan melebihi apa yang
dibutuhkan lawan tutur.
Contoh:
Konteks tuturan:
Omesh mengomentari penampilan Voland. Omesh menegaskan Voland
terlihat sangat grogi dan sangat berpengaruh pada konsentrasi sehingga
banyak rayuan yang lupa dan datar.
Bentuk tuturan:
Soraya : “Grogi dia nampaknya.”
Omesh : “Grogi namun nampak pria jujur, ya! Gak nyambung,
ya? Gimana komentator?”
(079/170312/RG/MMKuan)
Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim kuantitas,
yaitu submaksim memberikan kontribusi yang berlebihan. kontribusi yang
berlebihan tersebut ditujukkan oleh tuturan Omesh, “Grogi namun
nampak pria jujur, ya!”. Tuturan tersebut merupakan penanda lingual
pelanggaran maksim kuantitas. Omesh menegaskan pernyataan Soraya,
tetapi dengan memberikan kontribusi yang berlebihan. Semestinya, Omesh
bisa menjawab dengan “iya” atau “dia memang terlihat grogi”, tetapi
Omesh menambahkan informasi yang tidak dibutuhkan oleh Soraya
“nampak pria jujur, ya!”.
b. Maksim Kualitas
- Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar.
- Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan
secara memadai.
Jadi dapat dikatakan maksi kualitas menghendaki setiap peserta tutur
mengatakan sesuatu yang logis. Informasi yang diberikan hendaknya
disertai dengan bukti.
24
Contoh:
Konteks tuturan:
Di pertengahan acara RG berlangsung, Bedu mengeluh kesakitan. Laras
merasa khawatir dengan keadaan Bedu karena peristiwa ini terjadi secara
tiba-tiba. Laras mempertanyakan bagian apa yang dirasakan sakit oleh
Bedu. Bedu menjawabnya dengan rayuan kepada Laras.
Bentuk tuturan:
Bedu : “Aduh…Aduh!”
Laras : “Kenapa, Bang?”
Bedu : “Kok hati aku sakit, ya?”
Laras : “Kok bisa sakit?”
Bedu : “ Ooo… ternyata ada yang mengukir nama kamu di
hati aku.”
(052/100312/RG/MMKual)
Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim kualitas yaitu
submaksim jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Pelanggaran
tersebut ditunjukkan oleh tuturan Bedu, “Ooo… ternyata ada yang
mengukir nama kamu di hati aku.” Tuturan tersebut dituturkan Bedu
kepada mitra tuturnya yaitu Laras. Tuturan tersebut sebagai penanda
lingual pelanggaran maksim kualitas. Tuturan Mucle, “Ooo… ternyata
ada yang mengukir nama kamu di hati aku.” mengandung tuturan yang
tidak logis. Bedu mengatakan bahwa hatinya yang sakit disebabkan karena
Laras mengukir namanya di hati Bedu. Sebuah hal yang tidak benar bahwa
hati manusia dapat diukir. Pelanggaran maksim kualitas juga berfungsi
menimbulkan “nilai rasa gombal”.
c. Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur memberikan
kontribusi yang relevan dengan apa yang sedang dibicarakan.
25
Konteks tuturan:
Arie terpilih menjadi komentator yang mengomentari penampilan Udin
tetapi, dia selalu lebih memilih merayu dewi cinta.
Bentuk tuturan:
Arie : “Sejak saya ketemu Gina dari kemaren karena dia seorang
ibu dokter, saya nanya terus sama dia. Bagaimana caranya
saya bisa dapetin obat bius?”
Tike : “Buat apaan?”
Arie : “Buat nahan sakitnya kalau Soraya udah punya
pacar.”
(096/170312/RG/MMRel)
Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim relevansi.
Pelanggaran tersebut ditunjukkan oleh tuturan Arie, “Buat nahan
sakitnya kalau Soraya udah punya pacar.” Tuturan tersebut dituturkan
Arie kepada mitra tuturnya yaitu Soraya. Tuturan tersebut sebagai penanda
lingual pelanggaran maksim relevansi. Pelanggaran maksim relevansi
dilakukan karena Arie memberikan kontribusi yang tidak relevan. Arie
ingin mendapatkan obat bius jika nanti mendengar kabar Soraya telah
mempunyai pacar. Tidak ada relevansinya antara obat bius dengan Soraya
yang sudah mempunyai pacar. Penyembuhan kecewa karena sakit hati
tidak membutuhkan obat bius. Pelanggaran maksim relevansi yang
dilakukan Voland juga berfungsi menimbulkan “nilai rasa gombal”.
d. Maksim Pelaksanaan
- Hindari ungkapan yang tidak jelas.
- Hindari ungkapan yang membingungkan.
- Hindari ungkapan yang panjang.
- Sebisa mungkin mengukapkan sesuatu secara runtut.
Contoh:
26
Konteks tuturan:
Tuturan ini terjadi antara perayu cinta dengan dewi cinta. Ricky
memberikan sebuah pernyataan tentang sebuah kata “tumbang”. Ricky
menggunakan kata itu untuk menaklukkan hati Ale. Tangan Ricky pun
menunjuk ke hatinya Ale.
Bentuk tuturan:
Ricky : “Kalau pohon bisa tumbang, aku tumbang kalau aku
capek. Aku tumbang waktu aku gak makan, tapi ada
tumbang yang gak sedih.”
Ale : “Apa itu?”
Ricky : “Tumbang dihati kamu.”
Ale : “Hahaha.”
(006/030312/RG/MMPel)
Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim pelaksanaan.
Pelanggaran tersebut ditunjukkan oleh tuturan Ricky, “Tumbang dihati
kamu.” Tuturan tersebut dituturkan Ricky kepada mitra tuturnya yaitu
Ale. Tuturan tersebut sebagai penanda lingual pelanggaran maksim
pelaksanaan. Pelanggaran maksim pelaksanaan dikarenakan Ricky
menyumbangkan informasi yang ambigu. Ricky menanyakan kepada Ale
bahwa ada tumbang yang tidak sedih. Ale merasa apa yang dikatakan oleh
Ricky itu membingungkan. Ale merasa bahwa segala sesuatu yang
tumbang itu menyakitkan. Ketika Ricky menjawab dengan, “Tumbang
dihati kamu.” menjadi sebuah ketertidakdugaan untuk Ale yang
menimbulkan efek humor dan menambah nilai rasa gombal. Jadi, tuturan
Arie adalah tuturan yang melanggar maksim pelaksanaan karena Arie
memberikan kontribusi yang membingungkan sehingga menimbulkan
penafsiran yang berbeda pada Ayu.
5. Implikatur Percakapan
27
Menurut Mey implikatur (implicature) berasal dari kata kerja to imply
sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa
latin plicare yang berarti to fold „melipat‟, sehingga untuk mengerti apa yang
dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Jadi
untuk memahami apa yang dimaksud oleh seorang penutur, lawan tutur harus
selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya (dalam Nadar, F. X.,
2009:60).
George Yule (edisi terjemahan oleh Indah Fajar Wahyuni, 2006:70)
mengatakan dalam implikatur, penuturlah yang menyampaikan makna implikatur
dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat
inferensi itu. George Yule membedakan implikatur menjadi empat yaitu:
- Implikatur percakapan umum.
implikatur percakapan umum terjadi jika pengetahuan khusus tidak
dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang
disampaikan.
Contoh:
“ I was sitting in a garden one day. A child ovel the force”.
(Pada suatu hari saya duduk di sebuah kebun. Seorang anak kecil
melongok lewat pagar)
Implikatur di atas, menginformasikan bahwa kebun dan anak yang
disebutkan di atas bukan milik penutur, diperhitungkan pada prinsip
bahwa apabila penutur mampu lebih spesifik. Seharusnya pantur
mengatakan kebunku dan anakku.
- Implikatur percakapan khusus.
28
Terjadi ketika dalam konteks yang khusus dimana seseorang
mengasumsikan informasi yang diketahui secara local. Inferensi-
inferensi yang demikian dipersyaratkan untuk memnentukan maksud
yang disampaikan menghasilkan implikatur khusus.
- Implikatur konvensional.
Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan dan
tidak tergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya.
Implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan
menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata
itu digunakan.
- Implikatur berskala.
Adalah informasi tertentu selalu disampaikan bahwa implikatur
berskala adalah informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih
sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai.
Implikatur yang dihasilkan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan
yang mungkin tidak kita pikirkan dengan cepat sebagai bagian dari
suatu skala.
Grice (dalam Rustono, 1999:77) menyebutkan bahwa implikatur
percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan
yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan
dengan batasan tentang implikasi pragmatis, implikatur percakapan itu adalah
proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan,
disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dari apa yang
sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam percakapan. Grice membedakan
29
implikatur menjadi dua, yaitu: 1) implikatur konvensional, adalah makna
suatu ujaran yang secra konvensional atau secara umum diterima oleh
masyarakat, 2) implikatur nonkonvensional, adalah ujaran yang menyiratkan
sesuatu yang berbeda dengan sebenarnya.
C. Kerangka Pikir
30
Kerangka pikir adalah cara kerja yang digunakan oleh penulis untuk
menyelisaikan masalah yang sedang diteliti. Kerangka pikir yang terkait dengan
penelitian ini secara garis besar digambarkan pada bagan di bawah ini.
Objek yang diteliti adalah bentuk tuturan gombal yang dituturkan oleh
perayu cinta, dewi cinta, komentator, dan pembawa acara dalam Acara RG di
Acara Raga Gombal di Trans 7
Pendekatan Pragmatik
Dialog yang berupa tuturan gombal baik dari pembawa acara,
perayu cinta, dewi cinta, dan komentator dalam acara Raja
Gombal di Trans 7
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama:
1. Maksim Kuantitas
2. Maksim kualitas
3. Maksim Relevansi
4. Maksim Pelaksanaan
Implikatur
Hasil analisis:
1. Bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam
acara RG di Trans .
2. Bentuk implikatur percakapan dalam acara RG
di Trans 7.
31
Trans 7. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data penelitian selama bulan Maret
2012. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pelanggaran prinsip
kerjasama dan implikatur tuturan gombal dalam acara RG di Trans 7. Data yang
tersaji, akan dikaji menggunakan teori prinsip kerja sama dan implikatur.
Setelah semua tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip kerja sama
beserta konteks tersaji, maka tuturan itu diklasifikasikan ke dalam masing-masing
maksim seperti apa yang dikemukakan oleh Grice, yaitu: maksim kuantitas,
maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Setelah itu, tuturan
tersebut dianalisis sesuai dengan teori yang digunakan. Selanjutnya adalah
mencari implikatur yang diakibatkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama.
top related