bab ii kajian pustaka · bab ii kajian pustaka 2.1 ketersediaan infrastruktur pembangunan ekonomi...
Post on 09-Jul-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
32
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi
Menurut Todaro (1977) pembangunan bukan hanya bersifat fenomena
semata, namun pembangunan tersebut harus juga meliputi sisi materi dan sisi non-
materi dari kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan secara ideal
merupakan suatu proses multidimensi, yang menyertakan dimensi ekonomi,
sosial, lingkungan, dan dimensi lainnya. Secara ringkas, multi dimensi pada
proses pembangunan memiliki arti bahwa pembangunan dengan segenap
aktivitasnya harus melibatkan dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi.
Terdapat tiga atribut penting pada proses dan aktivitas pembangunan
(Sukirno, 2001), yaitu: (1) terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik secara
kontinyu, (2) adanya peningkatan pendapatan masyarakat, dan (3) peningkatan
pendapatan masyarakat berlangsung secara berkelanjutan. Secara umum,
pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran
pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil
pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah
pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif
menunjukan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya pertumbuhan
ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Simon Kuznets
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh
33
akumulasi modal (investasi pada tanah, peralatan, prasarana dan sarana dan
sumber daya manusia), sumber daya alam, sumber daya munusia (human
resources) baik jumlah maupun kualitas penduduknya, kemajuan teknologi, akses
terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri
serta budaya kerja. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses
perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju
keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat
diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian
yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya
pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu
negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode
tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan
kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan
pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi
keberhasilan pembangunan ekonomi. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi adalah sebagai berikut :
1. Faktor sumber daya manusia. Sama halnya dengan proses pembangunan,
pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia
(SDM). SDM merupakan faktor terpenting dalam proses pembangunan, di
mana cepat lambatnya proses pembangunan akan sangat ditentukan oleh
kualitas dan kuantitas SDM yang dimilikinya yang berperan sebagai
subjek pembangunan;
34
2. Faktor Sumber daya Alam. Sebagian besar negara berkembang bertumpu
kepada sumber daya alam (SDA) dalam melaksanakan proses
pembangunannya. Meskipun demikian, SDA secara terisolasi tidak
menjamin keberhasilan proses pembanguan ekonomi, apabila tidak
didukung oleh kemampaun SDM dalam mengelola SDA yang tersedia.
SDA yang dimaksudkan diantaranya adalah kesuburan tanah, kekayaan
mineral, tambang, kekayaan hasil hutan dan kekayaan laut;
3. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) yang semakin pesat mendorong adanya percepatan
proses pembangunan, pergantian pola kerja yang semula menggunakan
tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada
aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas serangkaian aktivitas pembangunan
ekonomi yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada percepatan laju
pertumbuhan perekonomian;
4. Faktor Budaya. Budaya memberikan dampak tersendiri terhadap
pembangunan ekonomi yang dilakukan. Budaya ini dapat berfungsi
sebagai pembangkit atau pendorong proses pembangunan tetapi dapat juga
menjadi penghambat pembangunan. Budaya yang dapat mendorong
pembangunan diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet
dan sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat proses
pembangunan diantaranya sikap anarkis, egois, boros, KKN, dan
sebagainya;
35
5. Sumber daya kapital. Sumber daya kapital (SDK) dibutuhkan manusia
untuk mengolah SDA dan meningkatkan kualitas IPTEK. SDK yang
berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan
kelancaran pembangunan ekonomi mengingat sifatnya yang dapat
meningkatkan produktivitas.
Pembangunan, dari sudut pandang tujuannya, diartikan sebagai kondisi
suatu negara yang ditandai dengan adanya: a) kemampuan konsumsi yang besar
pada sebagian besar masyarakat, b) sebagian besar kegiatan perekonomian adalah
kegiatan non-pertanian, dan c) sangat berbasis perkotaan. Teori pembangunan
ekonomi dari Rostow ini sangat populer dan paling banyak mendapatkan
komentar dari para ahli. Teori ini pada mulanya merupakan artikel (Rostow, 1960)
yang dimuat dalam Economics Journal (Maret) dan kemudian dikembangkannya
lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth (1960).
Menurut pengklasifikasian Todaro, teori Rostow ini dikelompokkan ke dalam
model jenjang linear (linear stages model).
Sebagai bagian dari teori modernisasi, teori ini mengkonsepsikan
pembangunan sebagai modernisasi yang dicapai dengan mengikuti model
kesuksesan Barat. Para pakar ekonomi menganggap bahwa teori pertumbuhan
ekonomi Rostow merupakan contoh terbaik dari apa yang diistilahkan sebagai
teori modernisasi. Menurut Rostow (1960: 4-16), proses pertumbuhan
ekonomi bisa dibedakan ke dalam 5 tahap, yaitu : masyarakat tradisional (the
traditional society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take-off),
tinggal landas (the take-off), menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan masa
36
konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption). Dasar pembedaan tahap
pembangunan ekonomi menjadi 5 tahap tersebut adalah: karakteristik perubahan
keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi.
Rostow berpendapat, pembangunan ekonomi atau proses transformasi
suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses
yang multidimensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan
struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor
pertanian dan peningkatan peranan sektor industri saja. Disamping perubahan
seperti itu, pembangunan ekonomi berarti pula sebagai suatu proses yang
menyebabkan antara lain : perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan
sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi
ke luar. Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga,
yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil. Perubahan dalam
kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak produktif
(menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi yang
produktif. Perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang
merangsang pembangunan ekonomi (misalnya penghargaan terhadap waktu,
penghargaan terhadap prestasi perorangan dan sebagainya).
Terdapat beragam pengertian tentang infrastruktur publik. World Bank
(1994) mendefinisikan infrastruktur dalam konteks ekonomi sebagai terminologi
yang memayungi berbagai aktivitas yang terkait biaya-biaya overhead yang
dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan-kepentingan sosial (sosial overhead
capital). Pembangunan infrastruktur publik di Indonesia sangat mendapat
37
perhatian sehingga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
tahun 2015-2019, pemerintah Indonesia bertekad melakukan percepatan dalam
penyediaan, kuantitas dan kualitas infrastruktur publik.
Tekad pemerintah ini didasari bukan hanya dari sisi pandang ekonomi semata,
tetapi juga dari berbagai perspektif kepentingan nasional yang strategis dan bersifat
prioritas, yang ditujukan untuk menunjang program revitalisasi pertanian, pengentasan
kemiskinan dan keterisolasian, maupun tujuan untuk mengatasi berbagai masalah
lingkungan seperti polusi air, udara dan tanah, atau banjir.
Mengacu kepada daftar skala prioritas nasional, pembangunan infrastruktur di
Indonesia menduduki peringkat ke enam dari sebelas program. Pada pembangunan
infrastruktur di Indonesia, terdapat tujuh substansi inti dari program aksi di bidang
infrastruktur yaitu pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan : (1) tanah dan
tata ruang, (2) jalan, (3) perhubungan, (4) perumahan rakyat, (5) pengendalian banjir,
(6) telekomunikasi, dan (7) transportasi perkotaan. Meskipun demikian, pada periode
1993 – 2002, data menunjukkan bahwa besaran nilai investasi infrastruktur
dibandingkan dengan PDB Indonesia ternyata menunjukkan penurunan. Pada tahun
fiskal 1993/1994 rasionya 5,34 sedangkan pada tahun fiskal 2002, rasio ini menurun
tajam lebih dari 50 persen menjadi hanya 2,33. Di Asia, angka-angka tersebut masih di
bawah rasio di beberapa negara lainnya di Asia pada tahun 2005, misalnya Laos dan
Mongolia dengan rasio 4 – 7 persen serta China, Thailand, dan Vietnam dengan rasio
diatas 7 persen (Mustajab, 2009).
Sementara itu, investasi yang dilakukan oleh swasta ternyata tidak
menunjukkan kondisi yang menggembirakan, setidaknya pada periode 1990 – 2000.
38
Pada periode ini, investasi swasta mencapai puncaknya pada tahun 1996 dengan nilai
investasi sebesar US$ 8,4 miliar (Dikun, 2003). Namun, seiring dengan menurunnya
stabilitas politik di Indonesia pasca Kabinet Orde Baru yang diikuti dengan terjadinya
krisis ekonomi, pada tahun 2000 jumlah investasi swasta di Indonesia yang dilakukan
oleh sektor swasta (asing dan nasional) tidak mencapai US$ 1 miliar.
2.1.1 Peran infrastruktur dalam pembangunan
Infrastruktur diketahui memiliki peran yang luas dan mencakup berbagai
konteks dalam pembangunan, baik dalam konteks fisik-lingkungan, ekonomi,
sosial, budaya, politik, dan konteks lainnya. Salah satu infrastruktur yang besar
perannya dalam pengembangan dan pembangunan ruang, baik dalam lingkup
negara ataupun lingkup wilayah adalah infrastruktur transportasi.
Transportasi adalah infrastruktur yang mampu menciptakan mobilitas
sosial dan ekonomi masyarakat (barang dan manusia/penumpang), dan
menghubungkan resources dan hasil produksi ke pasar (perdagangan/ trade).
Infrastruktur transportasi akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat seperti
memungkinkan terjadinya perdagangan antar wilayah, perluasan pasar,
terciptanya kompetisi, penyebaran pengetahuan, dan meningkatnya aksesibilitas
penduduk terhadap sarana pendidikan dan kesehatan dimana pada akhirnya akan
meningkatkan pula kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat.
Infrastruktur merupakan driving force dalam pertumbuhan ekonomi.
Perannya dalam mengembangkan sebuah wilayah tak terbantahkan. Beberapa
fakta empiris menyatakan bahwa perkembangan kapasitas infrastruktur di suatu
wilayah akan berjalan seiring dengan perkembangan output ekonomi. World Bank
39
(1994) bahkan secara tegas menyatakan bahwa secara average peningkatan stok
infrastruktur sebesar 1 persen akan berasosiasi dengan peningkatan PDB sebesar 1
persen pula. Fakta empirik ini merupakan pernyataan yang menjanjikan sekaligus
menantang (challenging) bagi semua negara untuk menindaklanjutinya melalui
meningkatkan pasokan infrastrukturnya.
Semakin maju negara, maka peran jasa infrastruktur untuk menyumbang
nilai tambah akan semakin besar. Data World Bank (1994) menunjukkan
umumnya infrastruktur jenis transportasi dan komunikasi memiliki peran yang
lebih besar dalam menyumbang nilai tambah dengan proporsi terhadap PDB
sebesar 5,34 persen untuk low-income countries; 6,78 persen untuk middle-income
countries; dan 9,46 persen untuk high-income countries, dibandingkan dengan
infrastruktur kelistrikan dan air dengan nilai proporsi terhadap PDB yang
bervariasi antara 1,29 persen untuk low-income countries; 2,24 persen untuk
middle-income countries; dan 1,87 persen untuk high-income countries.
Pada sebuah industri, peran infrastruktur juga sangat vital karena diyakini
mampu meningkatkan produktivitas yang akan bermuara pada meningkatnya
kinerja ekonomi secara keseluruhan. Sementara itu, peran infrastruktur dalam
ekonomi bukan sekedar ketersediaan (availibility) infrastruktur dari sisi pandang
kuantitas dan kualitasnya. Peran penting yang dijalankan oleh infrastruktur dapat
menjadi sandungan ketika besaran investasi atau pengeluaran yang dikucurkan
oleh pemerintah untuk infrastruktur publik mengalami penurunan. Hal inilah yang
menjadi salah satu penyebab menurunnya peran sektor pertanian dalam
menunjang output ekonomi baik secara nasional maupun secara regional saat
40
investasi di sektor ini menurun. World Bank (2008) memperoleh temuan dari
pengamatannya terhadap beberapa negara di dunia, bahwa terdapat trend yang
cukup signifikan bahwa negara berbasis ekonomi pertanian (agriculture-based
countries) sedang mengalami metamorfosis menuju ke negara berbasis ekonomi
transisi (transforming countries), sedangkan trend serupa juga terjadi dimana
negara berbasis ekonomi transisi (transforming countries) juga sedang
bertransformasi ke negara berbasis ekonomi kota (urbanized countries).
Tabel 2. 1 Nilai Tambah dari Beberapa Jenis Infrastruktur Berdasarkan
Kelompok Negara (dalam persen)
Sektor Low-income Countries
Middle-income Countries
High-income Countries
Transportasi,
Pergudangan,
dan Komunikasi
5,34
(9)
6,78
(26)
9,46
(3)
Gas, Kelistrikan,
dan Air
1,29
(22)
2,24
(36)
1,87
(5)
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan peringkat nilai tambah Sumber : World Bank (1994)
Fakta empiris menurunnya kinerja infrastruktur disajikan dalam format
infrastructure gap antara negara-negara Amerika Latin dengan negara-negara Asia
Timur dimana dalam kurun waktu 1980-1997 terjadi peningkatan gap sampai sebesar
40-50 persen untuk panjang jalan, 50-60 persen untuk telekomunikasi, dan 90-100
persen untuk kelistrikan. Dampaknya adalah penurunan kinerja ekonomi yang sangat
signifikan dalam bentuk terjun-bebasnya pertumbuhan output ekonomi. Di Indonesia,
dengan menggunakan data nasional tahun 2000-2007, Mustajab (2009) melakukan
41
penelitian yang berkaitan dengan peran infrastruktur di Indonesia, dan hasil
penelitiannya menunjukkan temuan yang positif dimana pengembangan infrastruktur
memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
2.1.2 Pengaruh infrastruktur terhadap kemajuan ekonomi
Keterkaitan antara infrastruktur dan ekonomi sudah lama menjadi
perbincangan bagi para pengambil kebijakan. Bagi para penentu kebijakan,
pengembangan dan pembangunan prasarana diharapkan akan menjadi driving
force bagi pengembangan ekonomi. Dalam ranah akademis, keterkaitan antara
keduanya masih menjadi bahan perdebatan. Dalam World Development Report
tahun 1994 dinyatakan bahwa keterkaitan antara investasi pada infrastruktur dan
pertumbuhan ekonomi belum merupakan suatu keniscayaan. Artinya, apakah
investasi di infrastruktur menyebabkan pertumbuhan ekonomi atau apakah
pertumbuhan ekonomi menyebabkan tumbuhnya investasi di infrastruktur belum
sepenuhnya dapat dijelaskan (established).
Upaya pembenahan kondisi infrastruktur disadari peran penting dalam
mengurangi kesenjangan pendapatan dan dampak jangka panjangnya bagi PDB per
kapita (Calderón & Servén, 2004). Perbaikan infrastruktur memiliki kontribusi dalam
meningkatkan produktivitas dan diharapkan mampu mendukung pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang. Merujuk pada publikasi World Development Report
(World Bank, 1994), infrastruktur berperan penting dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dijumpai
pada wilayah dengan tingkat ketersediaan infrastruktur yang mencukupi.
Identifikasi terhadap program pembangunan infrastruktur di beberapa negara
42
menyimpulkan bahwa pada umumnya program ditargetkan dalam jangka
menengah dengan fokus pada peningkatan kebutuhan dasar dan konektivitas
manusia, mulai dari air, listrik, energi, hingga transportasi (jalan raya, kereta api,
pelabuhan, dan bandara). N. Weil (2009) juga menyatakan bahwa disparitas
ketersediaan kapital fisik dan human capital berperan dalam menjelaskan adanya
perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara.
Selain penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data antar negara,
terdapat beberapa penelitian dengan menggunakan data regional di suatu negara.
Wu (1998) yang menyatakan bahwa derajat disparitas antar wilayah di China
berbeda antara wilayah Coastal, Central, dan Western. Sementara itu, dengan
menggunakan data 24 provinsi di China, Démurger (2001) menyimpulkan bahwa
selain reformasi dan derajat keterbukaan, kondisi infrastruktur berperan signifikan
dalam mempengaruh disparitas pertumbuhan regional. Calderon (2011)
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan positif dan signifikan
dengan stok dan kualitas infrastruktur di suatu wilayah.
Di Indonesia, banyak penelitian yang mendalami pengaruh infrastruktur
terhadap perekonomian dengan hasil yang bervariasi. Sibarani (2002) menemukan
bahwa infrastruktur, dalam hal ini listrik dan pendidikan, memberikan pengaruh
yang positif dan signifikan pada pendapatan per kapita masyarakat Indonesia,
sedangkan variabel jalan dan telepon tidak signifikan. Kebijakan pembangunan
infrastruktur yang terpusat di Jawa dan Indonesia bagian barat menimbulkan
disparitas pendapatan per kapita masing-masing daerah di Indonesia, terutama di
Kawasan Indonesia Timur. Lebih lanjut, Yanuar (2006) dengan menggunakan
43
data panel 26 provinsi menunjukkan bahwa modal fisik, infrastruktur jalan,
telepon, kesehatan, dan pendidikan memberikan pengaruh positif pada output
perekonomian. Sementara itu, Prasetyo R. B. (2008) menyimpulkan bahwa listrik,
panjang jalan, stok modal, dan otoritas daerah berpengaruh positif terhadap
pembangunan ekonomi Kawasan Indonesia Barat, sementara variabel air bersih
tidak signifikan. Penelitian oleh Prasetyo & Firdaus (2009) menyimpulkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur, di
antaranya elektrifikasi, jalan beraspal, dan air bersih.
2.2.2.1 Kondisi jalan
Jalan sebagai salah satu prasarana infrastruktur transportasi merupakan
unsur sentral dalam membentuk struktur ruang dan mengarahkan pola
pengembangan wilayah atau kawasan. Sebagai bagian dari sistem transportasi
nasional, pembangunan jalan mendorong komunikasi dan interaksi antar
masyarakat sehingga diharapkan dapat membangun toleransi dan
menghilangkan kendala akibat perbedaan budaya yang ada di masyarakat. Hal
ini dapat mendukung pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan
pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh
kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional
dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.
Menurut Ernawati (2009) jaringan jalan harus mampu mengedepankan
fungsi pelayanan ekonomi yang memperhatikan dengan seksama secara
seimbang aspek ekonomi, sosial dan lingkungan yang ada. Keberadaan jalan
tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat maupun lingkungan
44
lainnya yang ada di sekitarnya. Pembangunan jalan harus diselenggarakan
dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Untuk menjamin terpenuhinya peran jalan dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi pemerintah berkewajiban
menyelenggarakan pembangunan jalan agar dapat berdaya guna dan berhasil
guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan jaringan jalan pada hakekatnya ditujukan sebagai
rencana dan arah dari pengembangan wilayah. Pembangunan jalan harus
mempertimbangkan kondisi wilayah, baik dari segi potensi wilayah dan
sumber daya alam maupun kondisi strategisnya. Sehingga dengan adanya
jaringan jalan yang telah terstruktur dengan baik, maka berbagai kegiatan
investasi akan berkembang dengan efisien dan efektif, yang pada akhirnya
akan menghasilkan nilai manfaat yang tinggi bagi perkembangan suatu
wilayah.
Menurut Suprapti (2012) dampak atau pengaruh keberadaan suatu
infrastruktur jalan akan dapat menimbulkan dampak positif (manfaat) dan
dampak negatif pada masyarakat. Manfaat pembangunan dan peningkatan jalan
dapat kita ketahui dengan mengevaluasi keuntungan yang diberikan sebelum
adanya proyek dan setelah adanya proyek. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
perbaikan jalan atau pembangunan jalan baru akan berdampak cukup
signifikan terhadap beberapa aspek, misalnya sebagai berikut :
45
a. Investasi pada jalan penghubung pedesaan yang membuka daerah terisolasi
atau mampu mengurangi biaya transportasi memiliki peluang lebih besar
membangkitkan pembangunan sosial ekonomi;
b. Dengan adanya jalan akan memudahkan akses transportasi jalan antar
daerah, sehingga bisnis berjalan dengan lancar;
c. Terbentuknya akses jalan semakin memudahkan dan mempersingkat waktu
tempuh ke pusat-pusat perdagangan, pendidikan dan ke tempat wisata;
d. Terbentuknya kegiatan ekonomi baru di sepanjang jalan;
e. Menekan angka pengangguran karena adanya lapangan kerja baru.
2.2.2.2 Ketersediaan dan kondisi moda transportasi
Transportasi memegang peranan penting dalam pertumbuhan
perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi.
Pemerintah perlu mengedepankan pentingnya transportasi untuk memperlancar
kegiatan perekonomian. Berbagai aktifitas terkait dengan pemenuhan
kebutuhan dasar memerlukan ketersediaan infrastruktur yang baik, sekarang
transportasi berperan penting dalam mengakomodasi aktifitas sosial dan
ekonomi masyarakat. Peran lain pada tahap ini adalah sebagai fasilitas bagi
sistem produksi dan investasi sehingga memberikan dampak positif pada
kondisi ekonomi baik pada tingkat nasional maupun daerah.
Pembangunan sarana dan prasarana transportasi dapat membuka
aksesibilitas sehingga meningkatkan produksi masyarakat yang berujung pada
peningkatan daya beli masyarakat. Transportasi dalam ruang lingkup ekonomi
46
transportasi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan transportasi yang
senantiasa meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
ekonomi diperlukan pengembangan jalan, terminal, pelabuhan, pengaturan
serta sarana untuk mendukung sistem transportasi yang efisien, aman dan
lancar serta berwawasan lingkungan. Sistem transportasi yang efisien ini
menggunakan pertimbangan ekonomi sebagai acuan dalam investasi sarana dan
prasarana transportasi. Salah satu media transportasi adalah angkutan umum.
Infrastruktur transportasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan
ekonomi. Keberadaan infrastruktur transportasi dapat menstimulasi aktivitas
ekonomi dan akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah.
Menurut penelitian yang dilakukan Sulistyo (2008), Infrastruktur transportasi
merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur
transportasi dapat menstimulasi aktivitas ekonomi dan akhirnya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Efek infrastruktur transportasi
berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah sendiri, tetapi juga
terhadap wilayah tetangganya. Hal tersebut ditunjukkan oleh Provinsi Jawa
Timur (Jatim) yang pada awal 2011 hingga saat ini mencapai 7,12 persen
belum diimbangi dengan kontribusi dari infrastruktur transportasi. Infrastruktur
transportasi hanya menyumbang sekitar 3 persen dari pertumbuhan ekonomi di
Jatim. Pertumbuhan ekonomi Jatim yang tergolong baik tersebut sejauh ini
belum didukung infrastruktur transportasi yang cukup memadai.
Pertumbuhan ekonomi di Jatim pada 2010 mencapai 6,5 persen. Target
pertumbuhan ekonomi pada 2011 sebesar 7 persen -7,5 persen. Pertumbuhan
47
ekonomi yang tergolong baik tersebut ternyata hanya 3 persen saja yang
berasal dari kontribusi infrastruktur transportasi. Pertumbuhan ekonomi akan
lebih baik lagi jika didukung oleh infrastruktur transportasi yang baik. Studi
lain menunjukan upaya menaikkan highway capital pada suatu wilayah
berasosiasi positif terhadap produk (output) di wilayah sendiri (wilayah dimana
highway tersebut dibangun). Tetapi berasosiasi negatif terhadap produk
(output) di wilayah tetangganya.
Lebih lanjut diungkapkan Sulistyo (2011) bahwa pertumbuhan ekonomi
yang baik harus didukung infrastruktur transportasi yang cukup memadai.
Kondisi transportasi di Indonesia masih jauh dari kondisi yang ideal, untuk itu
perlu dibuat strategi dan terobosan yang tepat untuk memajukan transportasi.
Infrastruktur transportasi di Indonesia memberikan kontribusi sekitar 3,81
persen bagi pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut masih jauh dibawah
negara maju yang mampu memberikan kontribusi sebesar 12 persen. Suatu
upaya peningkatan pelayanan transportasi angkutan umum adalah dengan
melakukan reformasi transportasi angkutan umum. Prinsip yang terus
dikembangkan dalam reformasi transportasi umum adalah memperbaiki sistem
manajemen transportasi umum dan meningkatkan penggunaan angkutan
umum.
Apparicio et al (2007) meneliti hubungan antara aksesibilitas wilayah
dengan pertumbuhan kesempatan kerja di Canada. Salah satu temuan risetnya
menunjukkan bahwa terbangunnya sebuah moda transportasi (sebagai misal
pelabuhan atau lapangan udara) tidak secara otomatis meningkatkan
48
aksesibilitas wilayah. Adanya interaksi antar moda merupakan kondisi awal
yang dibutuhkan agar terjadi peningkatan aksesibilitas.
Apparacio et al (2007) juga memverifikasi bahwa infrastruktur
transportasi yang mensinergikan sisi permintaan dan sisi penawaran mampu
menciptakan peningkatan peluang pasar bagi produk yang dihasilkan wilayah
yang sebelumnya memiliki tingkat aksesibilitas rendah. Hal ini selanjutnya
akan berpengaruh pada peningkatan lapangan kerja bagi komunitas lokal.
Analisis yang dilakukannya menunjukkan bahwa pada dekade 1971 – 2001,
pembangunan moda-moda transportasi di Canada ternyata mampu
meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja bagi komunitas lokal antara 4,6
persen hingga 8,0 persen.
Kajian tentang jenis infrastruktur fisik lainnya seperti infrastruktur
komunikasi, listrik, dan air serta pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah juga banyak diteliti dengan kesimpulan yang diperoleh
bervariasi antar penelitian sesuai dengan jenis hubungan dan wilayah yang
dijadikan pusat kajian. Meskipun demikian, seperti yang diutarakan oleh Hull
(1999), terdapat sebuah kesamaan yaitu pembangunan infrastruktur bukan
merupakan syarat cukup melainkan lebih bersifat syarat perlu agar terjadi
pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Infrastruktur semata tidak akan
mampu untuk menggerakkan roda pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
walaupun mengacu kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh The World
Bank (1994), sistem infrastruktur memiliki peranan yang sangat erat pada
pertumbuhan ekonomi suatu negara, di mana dengan adanya kenaikan
49
ketersediaan infrastruktur mengakibatkan Pendapatan Domestik Bruto
perkapita juga meningkat dengan besaran yang variatif antara 0,07 dengan 0,44
(World Bank, 1994).
2.2.2.3 Ketersediaan dan kondisi suplai listrik
Sejak adanya listrik, manusia mengalami kemajuan yang sangat cepat
dalam berbagai bidang. Yang paling menonjol adalah dalam bidang teknologi
dan elektronika. Manfaat energi listrik bagi kehidupan manusia sehari-sehari
sangatlah banyak, seperti belajar, memasak, dan bekerja. Bila diamati secara
lebih dalam, maka kehidupan manusia sudah sangat bergantung pada listrik.
Hal ini dapat dilihat jika ada pemadaman listrik sehari saja, maka akan banyak
sekali masyarakat yang mengeluh, terutama dari kalangan pengusaha yang
mengeluh rugi akibat dari pemadaman listrik tersebut.
Pengertian listrik tidak bisa lepas dari kehadiran PLN. PLN (Perusahaan
Listrik Negara) sebagai penyuplai listrik di seluruh Indonesia memiliki motto
“Listrik Untuk Hidup Yang Lebih Baik”. Tentunya motto tersebut sangatlah tepat
mengingat listrik memang telah mengubah sejarah kehidupan manusia. Listrik telah
memberikan manfaat yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia.
Listrik merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang sangat penting dan
sebagai sumber daya ekonomis yang paling utama yang dibutuhkan dalam suatu
kegiatan usaha. Dalam waktu yang akan datang kebutuhan listrik akan meningkat
seiring dengan adanya peningkatan dan perkembangan baik dari jumlah penduduk,
jumlah investasi yang semakin meningkat akan memunculkan berbagai industri-
industri baru. Penggunaan listrik merupakan faktor yang penting dalam kehidupan
50
masyarakat, baik pada sektor rumah tangga, penerangan, komunikasi, industri dan
sebagainya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, pembangunan
teknologi industri berkaitan erat dengan tenaga listrik yang merupakan salah satu
faktor yang penting yang sangat mendukung perkembangan pembangunan
khususnya sektor industri, dalam kehidupan modern tenaga listrik merupakan
unsur mutlak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat oleh karena itu
energi listrik merupakan tolak ukur kemajuan masyarakat.
Kapasitas pembangkit tenaga listrik sangat dipengaruhi oleh laju
ekonomi, sedangkan sektor industri merupakan sektor yang mempunyai andil
sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia.
Apabila industri berkembang dengan pesat akan berakibat kepada
meningkatnya laju ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap peningkatan
perkiraan kapasitas pembangkit tenaga listrik (Muchlis, 2008). Untuk
masyarakat yang sering menggunakan listrik untuk produksi dan juga
konsumsi baik itu penggunaan listrik untuk menjalankan mesin produksi dan
untuk kebutuhan sehari-hari tanpa disadari telah terjadi pemborosan listrik
yang seharusnya dapat dicegah atau dihemat mengingat perekonomian yang
tidak stabil, maka dapat dimulai suatu penghematan atau penggunaan alternatif
lain yang lebih efisien dengan suatu tindakan konservasi bagi sumber daya
alam bersifat dapat pulin (renewable resource) dapat dilakukan dengan hati-
hati, misalkan konservasi hutan dapat dilakukan dengan beberapa pilihan
antara lain reboisasi dan penghijauan.(Suparmoko, 2002).
51
2.2.2.4 Ketersediaan air bersih
Perkembangan pembangunan di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa
dari berbagai infrastruktur lingkungan yang dibutuhkan masyarakat (air minum,
air limbah, persampahan dan drainase), infrastruktur air bersih merupakan sarana
yang paling banyak mendapatkan perhatian. Air bersih adalah salah satu jenis
sumber daya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia
untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari termasuk
diantaranya adalah sanitasi.
Menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat
dan pengawasan kualitas air bersih, air minum adalah air yang kualitasnya
memenuhi syarat-syarat kesehatan dan langsung dapat diminum. Menurut
Permendagri No. 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara
Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum, Departemen
dalam Negeri Republik Indonesia, Air minum adalah air yang melalui proses
pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum.
2.2.2.5 Ketersediaan fasilitas telekomunikasi
Telekomunikasi merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk
menyampaikan pesan suara (terutama pesan yang berbentuk percakapan).
Kebanyakan telepon beroperasi dengan menggunakan transmisi sinyal listrik
dalam jaringan telepon sehingga memungkinkan pengguna telepon untuk
berkomunikasi dengan pengguna lainnya.
52
Teknologi komunikasi infrastruktur adalah suatu alat atau perangkat keras
yang digunakan untuk melakukan komunikasi melalui perantara tertentu. Telepon
adalah alat yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua orang atau lebih yang
bisa dilakukan secara berjauhan atau biasa dibilang tidak face to face.
2.2 Budaya
Konsep budaya sejak awal telah menjadi bahasan utama dalam bidang
antropologi, dan telah memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi
perilaku organisasi (organizational behavior). Konsep budaya pertama kali
muncul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama di dalam memahami perilaku
organisasi sehingga banyak karya terakhir berpendapat tentang peran kunci
budaya dalam mencapai keunggulan organisasi (Schein, 2004). Budaya dan
masyarakat merupakan dua buah sisi yang tidak terpisahkan. Pemahaman yang
benar terhadap suatu masyarakat akan membantu memahami budaya masyarakat
tersebut secara utuh dan benar.
Kesadaran mengenai pentingnya peranan budaya dalam sebuah organisasi
semakin mengemuka dan mendapat tempat yang semakin penting dalam kajian
ilmu manajemen. Kajian tersebut kemudian diaplikasikan dalam konteks praktik-
praktik ilmu manajemen sehingga melahirkan istilah budaya perusahaan
(corporate culture) yang dalam perkembangannya telah meluas menjadi kajian
budaya organisasi (organization culture).
Hodgetts & Luthan (2003) mengungkapkan bahwa budaya merupakan suatu
pengetahuan di mana masyarakat menggunakan pengalamannya untuk menghasilkan
suatu sikap diri dan perilaku sosial. Pengetahuan ini akan membentuk nilai-nilai,
53
menciptakan sikap, dan mempengaruhi perilaku masyarakat sebagai anggota
masyarakat atau keluarga masyarakat tertentu yang tidak mungkin dihindari.
Koentjaraningrat (2005) mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti
yang amat luas, yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia
yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan
oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep ini amat luas, karena meliputi
hampir seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya. Hal-hal yang tidak
termasuk kebudayaan adalah hanyalah beberapa refleks yang berdasarkan naluri,
dan kalaupun suatu kegiatan didasarkan naluri seperti makan misalnya, seperti
peralatan, tata cara dan sopan santun makan, yang diperoleh melalui proses
belajar, maka hal itupun temasuk dalam kebudayaan.
Selanjutnya Koentjaraningrat (2005) menyebutkan bahwa wujud
kebudayaan terdiri dari : wujud pertama, wujud idiil dari kebudayaan yang
sifatnya abstrak, tak dapat dilihat tidak dapat diraba atau difoto, lokasinya ada
didalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang
bersangkutan hidup, dan juga kalau sudah dalam bentuk gagasan dan tulisan,
maka lokasinya ada dalam buku dan bentuk penyimpan tulisan lainnya.
Kebudayaan idiil ini, disebut sebagai tata kelakuan. Wujud kedua dari
kebudayaan, disebut dengan sistem sosial, terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia
yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, selalu
mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan atas tata kelakuan. Sebagai
rangkaian aktifitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat
kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi dan
54
didokumentasikan. Wujud ketiga dari kebudayaan adalah kebudayaan fisik, dan
memerlukan keterangan banyak, karena merupakan seluruh aktifitas fisik,
perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling kongkrit,
berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan.
Susanto, et al (2008) mendefinisikan budaya sebagai sekumpulan
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas serta
kebiasaan yang diperoleh sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas
tertentu. Kumpulan budaya yang ada inilah nantinya membentuk budaya nasional
yang membedakan mereka di dalam menetapkan tujuan. Berdasarkan uraian
tersebut diatas, maka implementasi budaya merupakan bentuk perilaku, artinya
perilaku individu akan diwarnai oleh perilaku budaya yang bersangkutan. Hersey
& Blanchard (1992), mengatakan bahwa perilaku pada dasarnya berorientasi pada
tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan
untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku yang terjadi pada hakekatnya adalah
hasil interaksi diantara individu yang ada.
I Wayan Geriya (2000) mengungkapkan, dalam transformasi kebudayaan
Bali, perubahan bentuk kebudayaan berimplikasikan dan mempunyai aspek yang
sangat besar dan luas. Cakupan itu tidak saja berupa dimensi, cara, jaringan relasi
fungsional, juga struktur yang terkait dengan pembesaran skala secara horizontal
dan vertikal, tanpa meninggalkan esensi jati diri kebudayaan yang berkelanjutan.
McKean, (1973) menyebutkan bahwa dorongan kreativitas berpikir dan
bekerja orang Bali yang disertai pula dengan tingginya intensitas komunikasi
lintas budaya antara pendukung kebudayaan Bali dengan kebudayaan luar
55
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kebudayaan Bali. Secara
historis, kehidupan masyarakat Bali pada masa kini yang menunjukkan
percampuran unsur-unsur kebudayaan dengan ciri-ciri tradisi kecil, tradisi besar,
dan tradisi modern sesungguhnya merupakan bagian dari proses dinamika
kebudayaan yang telah berlangsung sejak berabad-abad.
Budaya yang kerap diacu dalam studi-studi tentang kebudayaan di
Indonesia adalah pengertian kebudayaan yang diajukan oleh pakar ilmu
antropologi Indonesia yakni Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan. Menurut
Koentjaraningrat (1997), kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan dari
sistem nilai, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang
diperoleh melalui proses belajar. Sementara Parsudi Suparlan (1986),
mendefinisikan kebudayaan sebagai seperangkat model pengetahuan yang
digunakan manusia sebagai pedoman dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
2.2.1 Kebiasaan
Kebiasaan adalah perilaku yang sering kita ulang-ulang baik secara
sengaja atapun tidak sengaja dan perilaku atau kebiasaan tersebut sudah kita
lakukan sejak kecil hingga dewasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kebiasan (folkways) merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang (bentuk
yang sama) dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan jelas dan dianggap baik
dan benar (KBBI, 2008). Kebiasaan menurut para psikolog didefinisikan sebagai
perilaku mendapatkan keterampilan-keterampilan gerak dan kemampuan untuk
mempergunakan secara sadar.
56
Seorang psikolog menyatakan bahwa kebiasaan itu terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu sebagai berikut :
a. Kebiasaan yang bersifat otomatis seperti gerakan berjalan dan yang sejenis
dengannya. Kebiasaan ini sangat menyerupai dengan gerakan reflek, hanya
saja ada beberapa hal yang membedakan antara keduanya. Kebiasaan otomatis
ini kadang kala berlaku dan muncul sebagai hasil dari proses pengamatan dan
berfikir yang kemudian kebiasaan itu terbentuk dengan sendirinya. Hal ini
jelas berbeda dengan apa yang sering kita sebut dengan gerakan refleks yang
keberadaannya justru tanpa adanya pengaruh pada perasaan serta tanpa
disertai proses berfikir sama sekali.
b. Kebiasaan gerak indra tubuh. Dalam kebiasaan ini, perasaaan sedikit
memerankan perannya, seperti kebiasaan makan, berpakaian dan apa yang
menyerupai kebiasaan itu. Dalam hal ini, penglihatan seseorang terhadap
makanan akan mendorong ia untuk memakannya. Begitulah pula pada saat
seseorang melihat peralatan makan yang ada dihadapannya, maka
penglihatannya akan merangsangnya untuk menggunakan peralatan itu. Sama
halnya pada saat ia memandang perhiasan, maka akan ada dorongan untuk
memakainya.
c. Kebiasaan gerakan berfikir. Kebiasaan ini berbeda dengan 2 jenis yang
disebutkan diatas. Pendoronganya adalah pikiran atau sesuatu yang yang
bersifat maknawi (bukan materi). Contoh kebiasaan ini seperti kebiasaan
berbicara atau berorasi. Seseorang punya kebiasaan seperti ini akan berupaya
untuk memilih kalimat dan kata-kata yang sekiranya pantas yang kemudian
57
proses ini mengubahnya menjadi suatu kebiasaan yang ia lakukan pada saat
berbicara. Contoh kebiasaan ini sangat banyak, yaitu segala kebiasaan yang
motif pendorongnya membutuhkan daya nalar dan kemampuan untuk
memilih. Kebiasaan lain yang bisa dikelompokkan kedalam kebiasaan berfikir
adalah kebiasaan beretika dan kebiasaan sosial. Contoh kebiasaan ini cukup
banyak. Misalnya kebiasaan menjaga kebersihan bersikap jujur, menjalani
hidup dengan baik, serta segala bentuk kebiasaan yang memiliki korelasi
dengan etika berperilaku dan kebiasaan sosial yang menjadi ciri tersendiri bagi
manusia.
Kebiasaan dipengaruhi 3 faktor, yaitu faktor lingkungan, tata aturan dan
nilai-nilai.
1) Lingkungan atau tempat tinggal (misalnya rumah) mempengaruhi kita dalam
beraktivitas yang akhirnya membentuk suatu kebiasaan. faktor usia. Walaupun
ini bukan faktor penentu, usia dapat mempengaruhi kebiasaan seseorang.
Pengalaman dalam bersosialisasi / pergaulan. Jika seseorang memiliki
kematangan emosional yang baik, maka akan terbentuk pribadi yang baik
yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat, sehingga
dimanapun kita berada dapat terjalin keharmonisan dalam pergaulan dengan
masyarakat yang mempengaruhi perilaku kita dalam masyarakat yang
mengarah pada kebiasaan.
2) Tata Aturan
Tata aturan kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan,
organisasi politik, norma atau hukum, perkawinan, kenegaraan, kesatuan
58
hidup dan perkumpulan. Sistim organisasi adalah bagian kebudayaan yang
berisikan semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi manusia
mengkoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan
orang lain (Syani, 1995).
3) Nilai-nilai
Nilai dalam bahasa Yunani Axia yang berarti berharga, namun ada
perbedaan konsep antara harga dan nilai dalam bahasa Indonesia. Nilai sama
dengan sesuatu yang menyenangkan kita, nilai identik dengan apa yang
diinginkan, nilai merupakan sarana pelatihan kita, nilai pengalaman pribadi
semata, nilai ide platonic esensi. Menurut Driyarkara (1980), nilai adalah
hakekat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia.
Menurut Koentjaraningrat (2005), sisten nilai budaya terdiri dari konsep-
konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat,
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.
Darmodiharjo (2006) mengatakan bahwa nilai adalah kualitas atau
keadaan sesuatu yang bermanfat bagi manusia, baik lahir maupun batin.
Sementara itu Widjaya (1985) mengemukakan bahwa menilai berarti
menimbang, yaitu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain
(sebagai standar), untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu
dapat menyatakan : berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, indah
atau tidak indah, baik atau tidak baik dan seterusnya. Menurut Fraenkel,
sebagaimana dikutip oleh Soenarjati & Cholisin (1989), nilai pada dasarnya
59
disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah,
berharga atau tidak.
Pengertian nilai itu bersifat subyektif artinya bahwa nilai dari suatu
obyek itu tergantung pada subyek yang menilainya. Pandangan bahwa nilai itu
subyektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens (1990), yang mengatakan
bahwa nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya
suatu obyek akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Untuk
memahami tentang nilai, ia membandingkannya dengan fakta. Ia
mengilustrasikan dengan obyek peristiwa letusan sebuah gunung pada suatu
saat tertentu. Hal itu dapat dipandang sebagai suatu fakta, yang oleh para ahli
dapat digambarkan secara obyektif. Misalnya para ahli dapat mengukur
tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kekuatan gempa yang
menyertai letusan itu, jangka waktu antara setiap letusan dan sebagainya.
Selanjutnya bersamaan dengan itu, obyek peristiwa tersebut dapat dipandang
sebagai nilai.
Bertens menyebutkan bahwa nilai memiliki sekurang-kurangnya tiga
ciri., pertama nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang
menilai, maka juga tidak ada nilai. Kedua, nilai tampil dalam suatu konteks
praktis, dimana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang
semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai. Dalam hal ini ia mengajukan
pertanyaan kepada pandangan idealis, apakah pendekatan yang murni teoritis
dapat diwujudkan ? Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh
60
subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh
obyek pada dirinya.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas,
dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga
atau berguna bagi kehidupan manusia. Sifat-sifat nilai menurut Daroeso dalam
Kalangie (1994) adalah sebagai berikut: 1) nilai itu suatu realitas abstrak dan
ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra.
Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai. 2) Nilai memiliki sifat
normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan
sehingga nilai memiliki sifat ideal. Nilai diwujudkan dalam bentuk norma
sebagai landasan manusia dalam bertindak. 3) Nilai berfungsi sebagai daya
dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan
didorong oleh nilai yang diyakininya.
Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu: 1) nilai logika
adalah nilai benar salah; 2) nilai estetika adalah nilai indah tidak indah; dan 3)
nilai etika/moral adalah nilai baik buruk. Nilai moral adalah suatu bagian dari
nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia.
Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai
moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai
moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta
bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
61
2.2.2 Keterbukaan
Keterbukaan merupakan wujud sikap jujur, rendah hati, adil, serta mau
menerima pendapat dan kritik dari orang lain. Keterbukaan atau transparansi
berasal dari kata dasar terbuka dan transparan. Secara harafiah transparansi berarti
jernih, tembus cahaya, nyata, jelas, mudah dipahami, tidak keliru, dan tidak sangsi
atau tidak ada keraguan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterbukaan
berarti hal terbuka, perasaan toleransi dan hati-hati, serta adalah landasan untuk
berkomunikasi.
Dengan demikian keterbukaan atau transparansi adalah tindakan yang
memungkinkan suatu persoalan menjadi jelas mudah dipahami dan tidak
disangsikan lagi kebenarannya. Kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan,
keterbukaan atau transparansi berarti kesediaan pemerintah untuk senantiasa
memberikan informasi faktual mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan
proses penyelenggaraan pemerintahan.
Keterbukaan diri atau self disclosure menurut De Janasz (2006) adalah the
process of letting others know what you think, feel, and want. Keterbukaan diri
adalah proses memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengetahui cara kita
berpikir, mengenai perasaan kita tentang sesuatu dan tentang keinginan.
Keterbukaan diri berbeda dengan pengenalan diri (self description). Pengenalan
diri adalah memberikan informasi tentang nama, tempat dan tanggal lahir, nomor
telepon, alamat dan tempat kerja yang sifatnya umum. Keterbukaan diri juga
berarti memberitahukan cara kita bereaksi terhadap suatu situasi, kemudian
menjelaskan dan mendiskusikan pandangan serta pengalaman yang kita miliki
62
tentang situasi tersebut. Keterbukaan diri terhadap pihak tertentu dapat membantu
mereka memahami tentang motivasi, kekuatan, kelemahan dan cara kerja kita.
Berdasarkan uraian di atas, keterbukaan dengan demikian akan
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di suatu negara. Dilihat dari aspek sosial
budaya, keterbukaan akan memberikan ruang gerak bagi masuknya budaya-
budaya Barat yang sama sekali berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia.
Dilihat dari aspek ideologi, keterbukaan akan memberikan ruang bagi tumbuh dan
berkembangnya ideologi-ideologi dari luar yang kadang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa. Oleh sebab itu, munculnya era keterbukaan akan membawa
dampak yang sangat buruk, jika kita tidak dapat mempersiapkan diri.
Keterbukaan juga adalah sikap yang dibutuhkan dalam harmonisasi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan penjelasan
tersebut, ciri-ciri keterbukaan sebagai berikut.
a. Terbuka (transparan) dalam proses maupun pelaksanaan kebijakan publik.
b. Menjadi dasar atau pedoman dalam dialog dan berkomunikasi.
c. Berterus terang dan tidak menutup-nutupi kesalahan dirinya maupun
kesalahan yang dilakukan orang lain.
d. Tidak merahasiakan sesuatu yang berdampak pada kecurigaan orang lain.
e. Bersikap hati-hati dan selektif dalam menerima dan mengolah informasi
dari mana pun sumbernya.
f. Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang lain.
g. Mau mengakui kelemahan atau kekurangan dirinya atas segala yang
dilakukan.
63
h. Sangat menyadari keberagaman dalam berbagai bidang kehidupan.
i. Mau bekerja sama dan menghargai orang lain.
j. Mau dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.
2.2.3 Kerjasama
Kerjasama berasal dari bahasa Inggris “Cooperation” yang memiliki arti
yang sama yakni kerjasama. Kerjasama merupakan kegiatan bersama antara dua
orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang sama. Kerjasama kemudian
berkembang dengan munculnya pengertian-pengertian baru yang lebih
kontemporer sesuai dengan pergerakan zaman. Kerjasama pada masa lalu identik
dalam usaha perdagangan, pada masa sekarang kerjasama menyentuh semua
bidang baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Menurut Zainudin (dalam website www.etd.library.ums.ac.id)
mengemukakan yang dimaksud kerjasama yaitu kepedulian satu orang atau satu
pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang
menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan
adanya norma yang mengatur, makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama
dalam konteks organisasi, yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai
tujuan organisasi (seluruh anggota).
Menurut Dougherty & Pfaltzgraff. (1997), kerjasama merupakan
serangkaian hubungan yang tidak didasarkan atas unsur paksaan dan telah
terlegitimasi. Menurut Kusumohamidjojo (1987) mengenai pengertian kerjasama
yaitu sikap kooperatif dapat bangkit bila ada perkiraan bahwa kerjasama akan
membawa pada dampak yang menguntungkan bila dibandingkan dengan hanya
64
mengandalkan kekuatan sendiri. Tetapi pada umumnya juga disadari bahwa
kerjasama senantiasa membawa konsekuensi tertentu namun demikian suatu
kerjasama senantiasa diusahakan justru karena manfaat yang diperoleh secara
proporsional adalah masih lebih besar daripada konsekuensi yang harus
ditanggung. Perbandingan yang nampak antara manfaat dan konsekuensi dari
suatu kerjasama internasional, salah satu faktor utama yang menentukannya
adalah sifat dari tujuan kerjasama yang hendak dicapai dalam persoalan yang
tidak mengandung banyak risiko. Orang misalnya lebih berani memulai suatu
kerjasama di bidang kebudayaan dari pada di bidang militer.
Cooley menyampaikan bahwa kerjasama dapat terjadi dan timbul apabila
orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama
dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian
terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut.
Kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya
organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.
(Cooley, 1994).
2.2.4 Kearifan lokal
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak
dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal sebagai suatu
pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan
pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap
budaya dan keadaan alam suatu tempat.
65
Menurut Oding,S (2002) kearifan lokal dicirikan dengan dasar
kemandirian dan keswadayaan, memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses
pemberdayaan, menjamin daya hidup dan keberlanjutan, mendorong teknologi
tepat guna, menjamin tepat guna yang efektif dari segi biaya dan memberikan
kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan program
yang sesuai.
Perekonomian berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang
untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan
mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun
(development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi
ekonomi, serta pada kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan
politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan
sosial dari suatu masyarakat (society), dimana tujuan tersebut merupakan atribut
dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut
tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi
dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang
lebih merata, dan sebagainya. Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan
sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor pembangunan tadi tidak
berkurang sejalan dengan waktu (Pearce et al., 1992)
Tiga tujuan inti pembangunan yaitu peningkatan ketersediaan serta
perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang,
papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan. Peningkatan standar hidup yang
66
tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penyediaan
lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas
nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk
memperbaiki kesejahteraan materiil melainkan juga untuk menumbuhkan harga
diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Perluasaan pilihan-pilihan
ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni
dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan
bukan hanya terhadap orang atau negara lain, namun juga terhadap setiap
kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
(Todaro,2006)
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan
pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat.
Tidak dapat dipungkiri pembangunan telah membawa kita pada kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan
sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain,
pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan
keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian
dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar
antara kecanggihan dan keterbelakangan.
Setiap tindakan manusia yang berpedoman pada nilai, norma, aturan,
hukum, dan adat-istiadat disebut “tindakan berpola” atau action. Sebagai mahluk
berbudaya, sebagian besar tindakan manusia tergolong tindakan berpola dan
hanya sebagian kecil saja yang bukan tergolong tindakan berpola atau behavior
67
(seperti gerak refleks dan gerakan naluriah lainnya). Demikian pula kearifan lokal
dapat dikatakan sebagai suatu bentuk mekanisme kontrol terhadap pengelolaan
sumber-sumber daya alam. Kearifan lokal tersebut kerap tersembunyi di balik
konsepsi keyakinan yang tertuang dalam mitos-mitos dan upacara ritual berkaitan
dengan hal-hal yang dianggap suci dan keramat. Namun sesungguhnya di balik
mitos dan praktik-praktik ritual tersebut sesungguhnya tersembunyi manfaat
ekologis yang besar, yakni sebagai mekanisme control terhadap pengelolaan
lingkungan yang cukup efektif.
Jadi dengan adanya kepercayaan seperti dikemukakan di atas, manusia
tidak dapat mengeksploitasi lingkungannya sekehendak hati, sehingga kelestarian
ekologis akan tetap terjaga. Contohnya di Bali, seperangkat kepercayaan
tradisional yang merupakan bagian integral dari sistem kepercayaan agama Hindu
juga terbukti memberi manfaat positif bagi kelestarian dan pelestarian sistem
ekologi. Masyarakat desa adat Sangeh (Badung), Kukuh (Tabanan), dan Padang
Tegal (Gianyar), dan lainnya, selalu menjaga keberadaan kawasan hutan-hutan
setempat beserta isinya karena sebagai tempat bersemayamnya dewa-dewa yang
melindungi kehidupan mereka. Masyarakat di sekitarnya pantang mengganggu
keberadaan flora dan fauna serta sumber daya lainnya yang ada di dalam
lingkungan hutan, karena percaya bahwa para dewa selalu mengawasi dan akan
memberi ganjaran kepada siapa saja yang berani mengusik keberadaan hutan
tersebut. Diakui atau tidak, kepercayaan tersebut telah terbukti memberikan
manfaat ekologis bahkan juga manfaat ekonomis bagi masyarakat setempat.
Manfaat ekologis yang dimaksud adalah terjaganya kelestarian ekosistem hutan
68
dan satwa keranya, sedangkan manfaat ekonomisnya berupa devisa yang
diperoleh melalui pengelolaan kawasan hutan berikut satwa kera di dalamnya
sebagai daya tarik wisata.
Kearifan lokal juga tercermin dalam konsep zonasi yang memandang
gunung sebagai zone luan (hulu atau kepala) yang bernilai suci atau sakral.
Berlandaskan konsepsi tersebut maka kawasan pegunungan yang membentang di
wilayah Bali Tengah merupakan kawasan yang dianggap suci dan merupakan ulu
atau kepala baik bagi wilayah Bali Utara maupun Bali Selatan.
Kearifan lokal merupakan suatu kelembagaan informal yang mengatur
hubungan atas pengolahan sumber daya di suatu masyarakat. Hal ini dapat
diuraikan bahwa tradisi (invented tradition) sebagai seperangkat aksi atau
tindakan yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang dapat diterima secara
jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan,
yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu.
Diantara fenomena atau wujud kearifan lokal, yang merupakan bagian inti
kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah
bagi berbagai tindakan. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara
mewarisi dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya
daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas suatu daerah, yang
memiliki korelasi menciptakan langkah – langkah strategis dan nyata dalam
memberdayakan dan mengembangkan potensi (sosial, budaya, ekonomi, politik
69
dan keamanan) daerah secara optimal serta sebagai filter dalam menyeleksi
berbagai pengaruh budaya dari luar.
2.2.5 Pola pikir
Pola adalah bentuk atau patron atau model atau juga cara. Dengan
demikian pola pikir itu sebenarnya adalah bentuk pikir atau cara kita berpikir
yang disebut “ mindset“. Kata mindset terdiri atas dua kata yakni “mind” dan
“set”. Mind merupakan sumber pikiran dan memori atau pusat kesadaran yang
menghasilkan pikiran, perasaan, ide, dan menyimpan pengetahuan dan memori
tentang segala macam hal-hal yang pernah dilakukan sendiri maupun kejadian apa
saja yang dibaca, dilihat, dan dijalani diri sendiri maupun orang lain. Set adalah
kepercayaan-kepercayaan yang mempengaruhi sikap seseorang; atau suatu cara
berpikir yang menentukan prilaku dan pandangan, sikap dan masa depan
seseorang.
Mindset atau pola pikir itu adalah kepercayaan (belief) atau sekumpulan
kepercayaan (set of biliefs) atau cara berpikir yang mempengaruhi prilaku (behavior)
dan sikap (attitude) seseorang yang akhirnya menentukan level hasil akhir dari
hidupnya. Setiap orang atau manusia secara individu pada dasarnya memiliki ide,
pendapat, rencana, cita-cita. Unsur-unsur tersebut diolah oleh otak / akal / pikiran dan
selalu dipengaruhi atau ditentukan oleh attitude atau sikap perilakunya.
Pola pikir dalam penelitian ini mengacu pada sistem nilai atau disebut
kebudayaan dalam wujud idea, antara lain mencakup nilai, norma, aturan, hukum,
dan adat-istiadat. Sifatnya sangat abstrak (tidak dapat dilihat, atau diambil) dan
tersimpan di setiap kepala individu warga masyarakat termasuk pengrajin industri
70
kayu. Meskipun bersifat abstrak, namun ia ada dan berfungsi sebagai pedoman
yang menata tindakan atau tingkah laku manusia. Kerjasama, kebiasaan, dan
keterbukaan merupakan kebudayaan dalam wujud sistem tindakan atau perilaku
terdiri dari berbagai tindakan atau tingkah laku manusia yang berpedoman atau
ditata oleh nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, hukum, dan adat-istiadat yang
berlaku.
Sikap perilaku menurut Thomas dalam Ahmadi (1999) diartikan sebagai
tingkatan kecenderungan yang bersifat positif maupun negatif, yang berhubungan
dengan obyek psikologi. Obyek psikologi di sini meliputi : simbol, kata-kata,
slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Sementara menurut Sarnoff dalam
Sarwono (2000) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi
(disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif (unfavorably)
terhadap obyek – obyek tertentu. D.Krech dan R.S Crutchfield dalam (Sears,
1999) berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari
proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia
individu.
La Pierre dalam Azwar (2003) memberikan definisi sikap sebagai suatu
pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan
diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap
stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno (1994) memberikan
definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk
bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu
71
artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang,
peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat
dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek
situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan
kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau
situasi.
Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap
berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap adalah sebagai berikut :
a. Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,
pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,
sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi,
penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama
berbekas.
b. Kebudayaan. B.F. Skinner dalam, Azwar (2005) menekankan pengaruh
lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk kepribadian
seseorang. Kepribadian tidak lain dari pada pola perilaku yang konsisten
yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang
72
dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku
tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
c. Orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu bersikap
konformis atau searah dengan sikap orang orang yang dianggapnya
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
d. Media massa. Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti
televisi, radio, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila
cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam mempersepsikan dan
menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan
dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap
dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral
dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
f. Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
73
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera
berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan lebih tahan lama, contohnya bentuk sikap yang
didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.
g. Pola tindak. Pola tindak merupakan corak atau cara berpikir dan bertindak
yang dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Suatu peristiwa disebut
pola tindakan tertentu jika dilakukan oleh setiap anggota kelompok
masyarakat dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Pola tindakan terdiri atas beberapa unsur antara lain:
1) Gotong Royong
Persatuan dan kesatuan hanya terwujud melalui gotong royong, suatu
sikap kebersamaan dan tenggang rasa, baik dalam suka maupun duka,
kehidupan keluarga dan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan gotong royong itu setiap orang menemui dirinya dalam
persatuan dan kesatuan dalam pribadi/keluarga maupun masyarakat.
2) Prasaja
Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat tidak akan terwujud apabila
kehidupan yang sederhana, hemat, cermat, disiplin, profesional dan
tertib tidak dilaksanakan. Kesederhanaan itu bahkan memudahkan
terjadinya gotong royong yang mewujudkan kesatuan dan persatuan.
74
3) Musyawarah untuk Mufakat
Mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan golongan atau
perorangan dapat menemui perbedaan yang tidak dapat diakhiri
dengan perpecahan dan perpisahan, maupun pertentangan. Agar
persatuan dan kesatuan tetap terbina, maka musyawarah untuk mufakat
tentang kepemimpinan, pengelolaan dan pengenalian adalah syarat
mutlak.
4) Kesatria
Persatuan dan kesatuan, maupun keadilan sosial tidak dapat terwujud
tanpa keberanian, kejujuran, kesetiaan, pengabdian dan perjuangan
yang tidak mengenal menyerah demi kehidupan bersama. Dengan
kesatria, cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara maupun sikap
perjuangan dan profesional dapat berlangsung sepanjang masa.
5) Dinamis
Kehidupan pribadi/keluarga, bangsa dan negara juga bersifat dinamis
sesuai dengan zaman, sehingga waktu sangat penting dalam rangka
persatuan dan kesatuan, maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2.3 Orientasi Kewirausahaan
Pengertian orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation = EO)
berkaitan dengan aspek psikometrik yang dilihat dari inovasinya, sifat proaktifnya
dan keberanian mengambil risiko. Dari ketiga dimensi ini bisa dilihat orientasi
kewirausahaan seseorang (Covin dan Slevin,1989). Miller dan Friesen (1982)
75
berpendapat bahwa kewirausahaan menjadi berbeda karena memiliki titik berat
pada inovasi produk baru. Hal ini ditandai oleh beberapa organisasi yang
mempunyai kemauan berinovasi secara berani dan regular pada pengambilan
risiko yang cukup besar dalam strategi pemasaran produknya.
Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan
dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa
literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari
kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni
kemampuan inovasi, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif
(Weerawardeena, 2003; Matsuno, Mentzer dan Ozsomer, 2002). Kewirausahaan
dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini,
tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit
dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-
sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi
perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.
Orientasi kewirausahaan memiliki tiga karakteristik utama, yaitu inovasi,
pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Milleret al., 1982;
Miller dan Friesen, 1982). Sementara menurut G. T. Lumpkin and Gregory G.
Dess (2008) bahwa orientasi kewirausahaan menyebutkan lima karakteristik yaitu
kemandirian, inovasi, pengambilan risiko, proaktif dan keagresifan dalam
bersaing.
Menurut Covin dan Slevin (1991), orientasi kewirausahaan ditunjukkan oleh
sejauh mana manajer puncak cenderung untuk mengambil risiko yang terkait dengan
76
bisnis (dimensi risiko), mendukung perubahan dan inovasi dalam rangka untuk
mendapatkan keuntungan kompetitif bagi perusahaan mereka (dimensi inovasi), dan
bersaing secara agresif dengan perusahaan lain (dimensi proaktif). Selanjutnya Covin
dan Slevin (1991) dalam Kreiser et al. (2002) mengungkapkan bahwa orientasi
kewirausahaan (entrepreneurial orientation) berkaitan dengan aspek psikometrik yang
dilihat dari motivasinya, sifat proaktifnya dan keberanian mengambil risiko. Dari tiga
dimensi ini bisa dilihat orientasi kewirausahaan seseorang.
Lumpkin dan Dess (1996) memberi pengertian bahwa orientasi
kewirausahaan mengacu pada suatu strategi orientasi perusahaan untuk
memperoleh gaya, praktek, dan metoda pengambilan keputusan. Selanjutnya
diungkapkan juga bahwa orientasi kewirausahaan mencerminkan bagaimana suatu
perusahaan beroperasi dibandingkan dengan apa yang direncanakan.
Definisi orientasi wirausaha yang digunakan Miller dan Friesen (1982)
dicirikan oleh unsur innovationess, proactiveness dan risk taking. Kebanyakan
penelitian dilakukan berdasar pada kerja dari Miller et al. (1982) misalnya Covin
dan Slevin (1991) dan Miles, Arnold dan Thompson (1993). Kurang lebih terdapat
12 penelitian yang dilakukan berdasarkan instrumen yang dikembangkan Milleret
al. (1983), Covin dan Slevin (1991). Hal ini menunjukkan bahwa instrumen
tersebut dapat terus digunakan untuk mengukur tingkat wirausaha organisasi
(Wiklund, 1995 dalam Lumpkin dan Dess,1996).
Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar
dalam memperkuat lapangan pekerjaan. Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan
manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai/
77
menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata
lain, wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu
pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha
dinamakan wirausahawan. Bentuk dari aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan
dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan dengan indikasi kemampuan
inovasi, proatifitas, dan kemampuan mengambil risiko (Looy et al. 2003).
Lumpkin dan Dess (1996) menyatakan bahwa penerapan konsep orientasi
wirausaha terdapat dalam literatur strategi. Selanjutnya dijelaskan bahwa orientasi
wirausaha mengacu pada proses, praktek dan aktivitas pembuatan keputusan.
Meskipun banyak penelitian empiris mengenai kewirausahan terfokus pada
analisis tingkat individual, namun para peneliti saat ini lebih berfokus pada
kewirausahaan sebagai perilaku tingkat organisasi. Wiklund (1995) dan Miller (1983)
dalam Lumpkin dan Dess (1996) mendefinisikan organisasi wirausaha sebagai
organisasi yang pertama dalam inovasi produk pasar, berani mengambil sejumlah risiko
dan pertama secara proaktif memperkenalkan inovasi produk yang memukul
kompetitor dengan telak. Dia menggunakan tiga dimensi wirausaha dari total tujuh
dimensi seperti yang diusulkan oleh Miller dan Friesen (1982). Lumpkin dan Dess
(1996) menambah dua dimensi orientasi wirausaha yakni kecenderungan untuk
bertindak otonomi (autonomy) dan kecenderungan untuk menjadi agresif ketika
berhadapan dengan pesaing (competitive aggressiveness). Jadi mereka mendefinisikan
orientasi wirausaha sebagai innovativeness, proactiveness, risk taking, autonomy dan
competitive aggressiveness dengan penjelasan sebagai berikut.
78
2.3.1 Kemandirian
Kewirausahaan telah berkembang karena orang yang berpikir mandiri
untuk meninggalkan posisi aman dalam rangka untuk mempromosikan ide-ide
baru atau usaha ke pasar baru, daripada membiarkan atasan organisasi dan proses
untuk menghambat mereka. Dalam organisasi juga, itu adalah kebebasan yang
diberikan kepada individu dan tim yang dapat melatih kreativitas mereka.
Dengan demikian, konsep kemandirian adalah dimensi utama dari
orientasi kewirausahaan. Kemandirian mengacu pada tindakan independen dari
individu atau tim dalam menghasilkan ide atau visi dan membawanya sampai
selesai. Secara umum, itu berarti kemampuan dan kemauan untuk menjadi
mandiri dalam mengejar peluang. Dalam konteks organisasi, mengacu pada
tindakan yang diambil bebas dari kendala organisasi. Jadi, meskipun faktor-faktor
seperti ketersediaan sumber daya, tindakan oleh pesaing yang kompetitif, atau
pertimbangan organisasi internal dapat mengubah jalannya inisiatif perusahaan
baru.
Mintzberg (1973) dan Mintzberg dan Waters (1985) menggambarkan
strategi seseorang melakukan wirausaha yaitu karena tindakan tegas dan berisiko
diambil oleh seorang pemimpin yang kuat. Hal tersebut ditambah dengan
kemampuan untuk memaksakan bahwa visi organisasi melalui kontrol tindakan
pribadi sang pemimpin (Mintzberg & Waters, 1985: 260, penekanan
ditambahkan).
Bourgeois dan Brodwin (1984) mengemukakan bahwa strategi dimulai
dalam organisasi melalui kewirausahaan individu. Model ini menunjukkan bahwa
79
dorongan untuk usaha baru sering terjadi pada tingkat yang lebih rendah dalam
suatu organisasi (Bower, 1970) dan mencerminkan pentingnya kemandirian
kepada anggota organisasi yang mungkin ditemukan dalam pengaturan usaha
internal perusahaan. Miller (1983) menemukan bahwa sebagian besar perusahaan
kewirausahaan memiliki pemimpin yang mandiri. Artinya, di perusahaan-
perusahaan kecil sederhana, tingginya tingkat aktivitas kewirausahaan dikaitkan
dengan kepala eksekutif yang mempertahankan otoritas pusat yang kuat dan juga
bertindak sebagai pemimpin pengetahuan perusahaan dengan menyadari teknologi
yang muncul dan pasar.
Dalam sebuah studi dari pengambilan keputusan oleh 32 perusahaan India,
Shrivastava dan Grant (1985) menemukan ketergantungan yang kuat serupa di otokrasi
manajerial antara 10 perusahaan di mana manajer kunci tunggal adalah pengambilan
keputusan utama agen. Dari 10 perusahaan tersebut, 8 diklasifikasikan sebagai
"kewirausahaan". Untuk mempromosikan intrapreneurship (Pinchot, 1985), banyak
perusahaan besar telah terlibat dalam perubahan struktur organisasi seperti perataan
hierarki dan mendelegasikan wewenang untuk unit operasi. Langkah ini dimaksudkan
untuk mendorong otonomi, tetapi proses otonomi organisasi membutuhkan lebih dari
perubahan desain. Perusahaan harus benar-benar memberikan otonomi dan mendorong
pemain organisasi untuk latihan itu (Quinn, 1979).
2.3.2 Kecenderungan untuk berinovasi (innovativeness)
Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap
aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik (Schumpeter dan Milton, 1989).
Kemampuan berinovasi adalah titik penting dari kewirausahaan dan esensi dari
80
karakteristik kewirausahaan (Koh, 1997). Para peneliti menganggap bahwa inovasi
merupakan jantung dari kewirausahaan (Covin dan Miles, 1999; Jennings dan Young,
1990; Schollhammer, 1982; Schumpeter; 1934, 1942) dalam Kreiseret al, 2010)).
Dimensi innovatiness mencerminkan kecenderungan organisasi untuk menggunakan
dan mendukung ide-ide baru, eksperimen dan proses kreatif yang mungkin berhasil
dalam memperkenalkan produk atau jasa baru, hal-hal baru atau proses teknologi
(Lumpkin dan Dess, 1996). Dengan demikian, innovatiness merupakan kemauan dasar
untuk meninggalkan teknologi atau praktik-praktik yang lama dan sudah ada untuk
mencari hal-hal baru untuk menuju ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan hasil penelitian Frese, Brantjes dan Hoorn (2002)
kecenderungan organisasi untuk inovasi (innovativeness) secara positif
berhubungan dengan sukses organisasi karena dengan ide baru, organisasi dapat
menangkap segmen penting dalam pasar. Tingkat inovasi yang tinggi akan
meningkatkan kinerja organisasi (Kreiser et al., 2010).
2.3.3 Kecenderungan bertindak proaktif (proactiveness)
Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain
dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu
perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan
tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis
mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003,424). Perusahaan dengan
aktifitas kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang
tidak pernah padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan
dinamis adalah kata kuncinya. (Doukakis, 2002).
81
Dimensi kedua dari orientasi wirausaha, yaitu proactiveness. Sikap
proaktif mengacu pada perspektif forward looking (cara pandang ke depan) dalam
pengambilan inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar peluang baru dan
berpartisipasi dalam pasar yang muncul (Lumpkin dan Dess, 1996). Senada
dengan Yeoh dan Joeng (1995) dalam Kreiseret al. (2010) yang mendefinisikan
proaktif untuk bersaing dengan pesaingnya. Organisasi proaktif cenderung
menjadi pemimpin daripada pengikut, karena memiliki keinginan dan pandangan
ke depan untuk menangkap peluang baru sekalipun tidak selalu menjadi yang
pertama melakukan hal tersebut.
2.3.4 Kecenderungan berani mengambil risiko (risk taking)
Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai
seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks
pengambilan keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang
membedakan perusahaan dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari
tingginya orientasi kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran
risiko dan pengambilan risiko secara optimal (Looy et al. 2003).
Konsep risk taking telah lama dihubungkan dengan kewirausahaan.
Dimensi ini mencerminkan kemauan aktif organisasi untuk mengejar peluang
meskipun peluang tersebut mengandung risiko dan hasilnya tidak pasti (Caruana
et al., 2001). Dimensi ini menangkap tingkat pengambilan risiko dalam berbagai
keputusan alokasi sumber daya seperti halnya pilihan produk dan pasar
(Venkatraman, 1989). Meskipun pengambilan risiko biasanya dipandang sebagai
ciri atau sifat individu, namun Venkatraman memandangnya sebagai suatu
82
konstruk tingkat organisasi. Risiko diperhitungkan dalam arti bahwa pengusaha
secara objektif mengidentifikasi faktor-faktor kunci risiko dan sumber-sumber
risiko dan kemudian secara sistematis mencoba untuk mengelola atau mengurangi
faktor-faktor ini.
Perilaku pengambilan risiko oleh organisasi dapat berupa tindakan
pengambilan risiko yang berisiko kecil seperti mendepositokan uang di bank
hingga tindakan yang berisiko tinggi seperti meminjam uang di bank, investasi
dalam teknologi yang belum dieksplorasi ataupun membawa produk baru ke
dalam pasar yang baru (Lumpkin dan Dess, 1996). Senada dengan Frese, Brantjes
dan Hoorn (2002) yang menyatakan bahwa pengambilan risiko dapat dilihat
sebagai usaha organisasi terhadap hal yang tidak diketahui misalnya penyelidikan
dalam teknologi yang belum dieksplorasi.
Begley dan Boyd (1987) dalam Kreiseret al. (2010) menemukan bahwa
kecenderungan organisasi untuk berani mengambil risiko (risk taking) memiliki
pengaruh positif pada kinerja organisasi. Kecenderungan sikap risk taking
berhubungan secara positif dengan sukses organisasi karena manajer ataupun
pemilik organisasi dapat membuat perjanjian yang menguntungkan bagi
organisasinya (Frese, Brantjes dan Horn, 2002).
Menurut Gima dan Anthony (2001), organisasi dengan kemampuan
orientasi kewirausahaan yang tinggi cenderung mampu berkinerja lebih baik
dibandingkan dengan para pesaing dalam hal; pangsa pasar, kecepatan di dalam
memasuki pasar, dan tingkat kualitas produk. Dijelaskan pula bahwa orientasi
83
kewirausahaan akan mampu membawa organisasi menuju kinerja unggul
(Becherer dan Maurer, 1999; Vitale et. al., 2003; Todorovic dan Ma, 2008).
2.3.5 Keagresifan bersaing
Stinchcombe (1965) dalam Lumpkin and Dess (2008) menyatakan bahwa
perusahaan-perusahaan muda sangat rentan terhadap "kewajiban kebaruan" dan
karena itu harus mengambil langkah-langkah untuk membangun legitimasi dan
kekuasaan relatif terhadap pemasok, pelanggan, dan pesaing lainnya. Karena
usaha baru yang jauh lebih mungkin untuk gagal daripada bisnis yang didirikan.
Lumpkin and Dess (2008) mengutip MacMillan (1982) dan Porter (1985)
menyatakan bahwa banyak sarjana berpendapat bahwa sikap agresif dan
persaingan yang ketat sangat penting untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan
pendatang baru. Dengan demikian, agresivitas bersaing adalah kelima dimensi
kewirausahaan yang sering disebutkan dalam literatur.
Agresivitas kompetitif mengacu pada kecenderungan perusahaan untuk
secara langsung dan intens menantang pesaingnya. Keagresifan bersaing ditandai
dengan respon, yang mungkin mengambil bentuk konfrontasi secara head-to-
head. Pentingnya variabel ini sebagai dimensi orientasi kewirausahaan disorot
dalam sebuah studi dari proses kewirausahaan dari perusahaan AS di pasar global,
di mana Dean (1993) menemukan bahwa keagresifan bersaing menjelaskan jauh
lebih varians (37 persen) dalam kewirausahaan perusahaan daripada strategi lain
atau variabel struktural dianalisis.
84
2.4 Kinerja Usaha
2.4.1 Pengertian kinerja usaha
Kinerja merupakan gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau
kegagalan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya dalam rangka
mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misinya. Dengan kata lain, kinerja
merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu.
Menurut Fauzi (1995: 207) “Kinerja merupakan suatu istilah umum yang
digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu
organisasi pada suatu periode, seiring dengan referensi pada sejumlah standar
seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, suatu dasar efisiensi,
pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya”.
Menurut Mulyadi (2001: 337) Kinerja adalah keberhasilan personil, tim,
atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan
sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. Kinerja perusahaan merupakan
sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan
mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan
hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan
dari berbagai ukuran yang disepakati.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah kemampuan, usaha, dan
kesempatan personel, tim, atau unit organisasi dalam melaksanakan tugasnya
untuk mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan. Keberhasilan
pencapaian strategik yang menjadi basis pengukuran kinerja perlu ditentukan
ukurannya, dan ditentukan inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran-sasaran
85
tersebut. Sasaran strategik beserta ukurannya kemudian digunakan untuk
menentukan target yang dijadikan basis penilaian kinerja. Oleh karena itu,
pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap
aktivitas dari berbagai rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran
tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan
informasi tentang pelaksanaan suatu rencana dimana perusahaan memerlukan
penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian tersebut.
Demirbag et al. (2006) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan usaha kecil
dan menengah (small-medium enterprises) memiliki dampak langsung terhadap
pembangunan ekonomi baik pada negara maju maupun negara berkembang. Usaha
kecil dan menengah memiliki kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja dengan
biaya minimum, mereka adalah pelopor dalam dunia inovasi dan memiliki fleksibilitas
tinggi yang memungkinkan usaha tersbut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan
(Brock dan Evans, 1986; ACS dan Audretsch, 1990).
2.4.2 Aspek-aspek kinerja usaha
2.4.2.1 Pertumbuhan penjualan
Menurut Warren et al. yang diterjemahkan oleh Farahmita dkk. (2006)
“penjualan adalah jumlah yang dibebankan kepada pelanggan untuk barang
dagang yang dijual, baik secara tunai maupun kredit”. Definisi penjualan
tersebut menekankan bahwa penjualan merupakan suatu proses pembebanan
sejumlah biaya baik secara tunai maupun kredit kepada pelanggan atas barang
atau jasa yang didapatkannya. Pertumbuhan atas penjualan merupakan indikator
dari penerimaan pasar atas produk atau jasa yang dihasilkan, dan pendapatan yang
86
dihasilkan dari penjualan tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat
pertumbuhan penjualan.
Adapun rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan piutang adalah sebagai berikut :
1) Perputaran Piutang Usaha
Menurut Stice et al. yang diterjemahkan oleh Akbar (2009)
“perputaran piutang menggambarkan rata-rata jumlah penjualan/siklus
penagihan yang dilaksanakan perusahaan selama tahun berjalan.
Semakin tinggi perputaran, semakin cepat periode penagihan
piutang”. Menurut Kasmir (2010) “perputaran piutang merupakan
rasio yang digunakan untuk mengukur berapa lama penagihan piutang
selama satuperiode atau berapa kali dana yang ditanam dalam piutang
ini berputar dalam satu periode”. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa semakin tinggi rasio perputaran piutang menandakan bahwa
modal yang digunakan oleh perusahaan semakin efisien.
2) Likuiditas
Menurut Horne dan Wachowicz yang diterjemahkan oleh
Fitriasari dan Kwary (2005: 206) “likuiditas adalah kemampuan
aktiva untuk diubah ke dalam bentuk tunai tanpa adanya konsesi harga
yang signifikan”. Menurut Stice et al. yang diterjemahkan oleh Akbar
(2009: 805) “hal penting yang harus diperhatikan tentang perusahaan
adalah likuiditasnya atau kemampuan untuk memenuhi kewajiban
87
lancarnya”. Jadi, tingkat likuiditas menggambarkan seberapa besar
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.
2.4.2.2 Pertumbuhan modal
Munawir (2001) menyebutkan modal adalah hak atau bagian yang
dimiliki oleh pemilik perusahaan yang ditunjukkan dalam pos modal (modal
saham), surplus dan laba yang ditahan, atau kelebihan nilai aktiva yang
dimiliki oleh perusahaan terhadap seluruh utang-utangnya. Dalam praktik
kadang-kadang nampak adanya suatu klasifikasi di dalam neraca yang pada
umumnya membingungkan pembaca (sulit untuk ditafsir-kan) dengan nama
reserve (cadangan). Seharusnya cadangan ini diklasifikasikan sesuai dengan
klasifikasi Neraca yaitu aktiva, utang dan milik sendiri (modal) sehingga
cadangan pada prinsipnya juga terdiri dari tiga golongan yaitu: (Munawir,
2001).
1) Cadangan sebagai pengurang aktiva (reserve that offseting assets). Misalnya
cadangan penyusutan (reserve for depreciation), cadangan ini merupakan
pengurangan terhadap aktiva yang disusut, sehingga dalam neraca nampak di
sebelah debet mengurangi aktiva yang bersangkutan. Cadangan penyusutan itu
akan lebih tepat bila diberi nama lain yaitu "akumulasi penyusutan", atau
"akumulasi depresiasi".
2) Cadangan sebagai utang (liability reserve), misalnya reserve for taxes
(cadangan untuk pajak) merupakan suatu utang yang dicatat sebagai cadangan,
ini tidak benar, seharusnya cadangan untuk pajak ini dimasukkan dalam utang
lancar (current liability), yaitu Utang Pajak atau Taksiran Utang Pajak.
88
3) Cadangan yang merupakan surplus, yang betul-betul merupakan hak para
pemilik perusahaan, misalnya "cadangan untuk ekspansi" adalah
merupakan pemisahan sebagian dari laba yang ditahan (retained earning),
dan dalam neraca masuk dalam klasifikasi modal (appropriated surplus).
Atmaja (1999) menyebutkan bahwa modal adalah dana yang
digunakan untuk membiayai pengadaan aktiva dan operasi perusahaan. Modal
terdiri dari item – item yang ada di sisi kanan suatu neraca, yaitu hutang,
saham biasa, saham preferen dan laba ditahan. Harnanto (2001) menyebutkan
bahwa modal sendiri adalah modal dalam suatu perusahaan yang
dipertaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha maupun risiko kerugian –
kerugian lainnya. Tiap – tiap perusahaan harus memiliki sejumlah minimum
modal yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Struktur permodalan dan pengalokasian modal suatu perusahaan akan
sangat berperan penting di dalam menjaga stabilitas financial dan going
concern perusahaan. Peran penting permodal dan pengalokasian modal
terutama disebabkan oleh perbedaan karakteristik di antara tiap – tiap
sumber/jenis permodalan tersebut. Perbedaan karakteristik di antara tiap–tiap
jenis/sumber permodalan itu secara umum mempunyai akibat atau pengaruh
pada dua aspek penting didalam kehidupan setiap perusahaan, yaitu sebagai
berikut :
1) Terhadap kemampuannya untuk menghasilkan laba dan;
2) Terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar kembali hutang/
kewajiban-kewajiban panjangnya (solvabilitas).
89
`Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa stabilitas financial
dan going concern suatu perusahaan dipengaruhi oleh pertumbuhan struktur
permodalannya, dimana salah satunya adalah modal sendiri. Bringham (1996:
184) menyebutkan berbagai faktor dapat mempengaruhi pertumbuhan modal
sendiri suatu perusahaan.
2.4.2.3 Pertumbuhan tenaga kerja
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja adalah setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Batas usia
kerja yang dianut oleh Indonesia adalah minimum 10 tahun, tanpa batas umur
maksimum. Jadi setiap orang atau penduduk yang sudah berusia 10 tahun ke
atas tergolong tenaga kerja.
Tenaga kerja terdiri atas 2 kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia
kerja yang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak
bekerja, dan yang sedang mencari pekerjaan. Bukan Angkatan Kerja adalah
tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak
mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan, yaitu orang-orang
yang kegiatannya menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan
langsung atas jasa kerjaanya (Dumairy, 1996).
Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari
lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang
tersedia maka akan menyebabkan semakin meningkatnya total produksi di
90
suatu negara, dimana salah satu indikator untuk melihat perkembangan
ketenagakerjaan di Indonesia adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK). Tingkat partisipasi angkatan kerja adalah menggambarkan jumlah
angkatan kerja dalam suatu kelompok umur sebagai presentase penduduk
dalam kelompok umur tersebut, yaitu membandingkan jumlah angkatan kerja
dengan jumlah tenaga kerja.
Pertumbuhan tenaga kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya tenaga kerja akan
mendorong terjadinya peningkatan produktivitas dan dampaknya akan
mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.4.2.4 Pertumbuhan laba
Pengertian laba secara operasional merupakan perbedaan antara
pendapatan yang direalisasi yang timbul dari transaksi selama satu periode
dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Pengertian laba
menurut Harahap (2008: 113) “kelebihan penghasilan diatas biaya selama
satu periode akuntansi”. Sementara pengertian laba yang dianut oleh struktur
akuntansi sekarang ini adalah selisih pengukuran pendapatan dan biaya. Besar
kecilnya laba sebagai pengukur kenaikan sangat bergantung pada ketepatan
pengukuran pendapatan dan biaya. Menurut Harahap (2005: 263) laba
merupakan angka yang penting dalam laporan keuangan karena berbagai
alasan antara lain: laba merupakan dasar dalam perhitungan pajak, pedoman
dalam menentukan kebijakan investasi dan pengambilan keputusan, dasar
dalam peramalan laba maupun kejadian ekonomi perusahaan lainnya di masa
91
yang akan datang, dasar dalam perhitungan dan penilaian efisiensi dalam
menjalankan perusahaan, serta sebagai dasar dalam penilaian prestasi atau
kinerja perusahaan.
Chariri dan Ghozali (2003: 214) menyebutkan bahwa laba memiliki
beberapa karakteristik antara lain sebagai berikut:
a. laba didasarkan pada transaksi yang benar-benar terjadi,
b. laba didasarkan pada postulat periodisasi, artinya merupakan prestasi
perusahaan pada periode tertentu,
c. laba didasarkan pada prinsip pendapatan yang memerlukan pemahaman
khusus tentang definisi, pengukuran dan pengakuan pendapatan,
d. laba memerlukan pengukuran tentang biaya dalam bentuk biaya historis
yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan pendapatan tertentu, dan
e. laba didasarkan pada prinsip penandingan (matching) antara pendapatan
dan biaya yang relevan dan berkaitan dengan pendapatan tersebut.
Perbandingan yang tepat atas pendapatan dan biaya tergambar dalam
laporan laba rugi. Penyajian laba melalui laporan tersebut merupakan fokus
kinerja perusahaan yang penting. Kinerja perusahaan merupakan hasil dari
serangkaian proses dengan mengorbankan berbagai sumber daya. Adapun
salah satu parameter penilaian kinerja perusahaan tersebut adalah
pertumbuhan laba. Pertumbuhan laba dihitung dengan cara mengurangkan
laba periode sekarang dengan laba periode sebelumnya kemudian dibagi
dengan laba pada periode sebelumnya (Warsidi dan Pramuka, 2000).
92
2.5 Kesejahteraan Rumah Tangga
Kesejahteraan didefinisikan sebagai perwujudan tingkat pemenuhan
utilitas seluruh masyarakat dalam suatu perekonomian, yang besarnya tergantung
dari kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing individu (Sen, 1982).
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Kesejahteraan Sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 yang merupakan
amandemen Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, menyatakan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan
ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan
mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan
kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Maka kesejahteraan masyarakat adalah
suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang
dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin: 2012).
Kesejahteraan itu sendiri merupakan fungsi dari seluruh utilitas individu
sebagai anggota masyarakat dalam suatu perekonomian. Utilitas masing-masing
individu merupakan fungsi dari berbagai konsumsi atas barang. Kesejahteraan
sosial dianggap meningkat jika, paling tidak, ada satu individu yang mengalami
peningkatan kesejahteraan dimana individu lainnya tidak mengalami penurunan
tingkat kesejahteraan. Dari sini, langkah awal untuk melihat kesejahteraan
masyarakat adalah pengukuran terhadap kesejahteraan individu.
93
Arsyad dan Sukirno mengemukakan bahwa tingkat pendapatan perkapita
tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan karena kelemahan yang
bersumber dari ketidaksempurnaan dalam penghitungan pendapatan nasional dan
pendapatan perkapita dan kelemahan yang bersumber dari kenyataan bahwa
tingkat kesejahteraan masyarakat bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan
tetapi juga faktor-faktor lain (Badrudin: 2012).
Menurut Todaro (2006: 20) banyak negara Dunia Ketiga yang dapat
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun gagal meningkatkan
taraf hidup penduduk di daerah tersebut. Untuk memantau tingkat kesejahteraan
masyarakat dalam satu periode tertentu, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas mengambil informasi
keadaan ekonomi masyarakat sebagai dasar untuk memperoleh indikator
kesejahteraan.
Delapan indikator kesejahteraan rumah tangga menurut Badan Pusat
Statistik tahun 2016 adalah kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,
ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan,
kemiskinan, dan sosial lainnya yang menjadi acuan dalam upaya peningkatan
kualitas, yang selanjutnya diuraikan sebagai berikut :
2.5.1 Kesehatan dan gizi
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya
kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Tujuan kesehatan secara
94
nasional adalah memajukan kesejahteraan bangsa, yang berarti memenuhi
kebutuhan dasar manusia.
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama
dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masing-
masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Suprajitno, 2004).
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari dua
orang atau lebih yang dihubungankan melalui ikatan perkawinan, hubungan darah,
adopsi dan saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai keunikan nilai dan
norma hidup yang didasari oleh sistem kebudayaan keluarga yang terorganisasi
dibawah asuhan kepala rumah tangga dalam menjalankan peran dan fungsi
anggota keluarga serta mempunyai hak otonomi dalam mengatur keluarganya,
misalnya dalam hal kesehatan keluarga (Zaidin Ali, 2009).
2.5.2 Pendidikan
Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang
merata adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek
huruf. Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Angka
Melek Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun
ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun
ke atas. Batas maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas
minimum 0 (standar UNDP). Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau
95
semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan
kondisi sebaliknya.
Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan yang
dicapai oleh masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah
berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Asumsi yang berlaku
secara umum bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin
tinggi pula kualitas seseorang, baik pola pikir maupun pola tindakannya. Tobing
dalam Hastarini (2005), mengemukakan bahwa orang yang memiliki tingkat
pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan
memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding dengan orang yang
pendidikannya lebih rendah. Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun
dihabiskan oleh penduduk yang berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua
jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. Batas maksimum untuk rata-rata
lama sekolah adalah 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun (standar
UNDP). Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan
maksimum yang ditargetkan adalah setara Sekolah Menengah Atas (SMA).
Pendidikan (formal dan non formal) bisa berperan penting dalam
mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung melalui
perbaikan produktivitas dan efesiensi secara umum, maupun secara langsung
melalui pelatihan golongan miskin dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk
meningkatkan produktivitas mereka dan pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan mereka (Lincolin, 1999). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
dan semakin lama seseorang sekolah, maka pengetahuan dan keahlian juga akan
96
meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas seseorang.
Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan
tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan
bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada
akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh
kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan
pendapatan maupun konsumsinya.
2.5.3 Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan aspek yang penting dalam pembangunan
ekonomi karena tenaga kerja merupakan salah satu balas jasa faktor produksi.
Topik mengenai masalah kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi baik dalam
skala nasional maupun regional mendapat perhatian banyak orang. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi membutuhkan penambahan investasi dan kebijakan ekonomi
yang kondusif merupakan hal penting. Dengan penambahan investasi baru
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya juga
dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Dalam istilah Badan Pusat Statistik (2007), beberapa istilah ketenagakerjaan
yang mesti dipahami sebagai dasar dalam memahami masalah tersebut di Indonesia di
antaranya (1) tingkat partisipasi angkatan kerja yang merupakan indikator yang dapat
menggambarkan keadaan penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang berpartisipasi
dalam kegiatan ekonomi, (2) tingkat pengangguran terbuka, dan (3) penyerapan tenaga
kerja yaitu mereka yang terserap diberbagai lapangan pekerjaan pada suatu periode.
97
Dalam teori ketenagakerjaan menurut BPS (2007) digunakan Konsep
Dasar Angkatan Kerja (Standar Labour Force Concept) seperti yang digunakan
dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Konsep ini merupakan konsep
yang disarankan dan rekomendasikan International Labour Organization (ILO).
Lebih lanjut disebutkan bahwa penduduk dibedakan atas usia kerja dan penduduk
bukan usia kerja. Sedang penduduk usia kerja dibedakan atas dua kelompok, yaitu
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk
yang bekerja dan pengangguran. Bukan angkatan kerja terdiri dari penduduk yang
tidak mempunyai/melakukan aktivitas ekonomi, baik karena sekolah, mengurus
rumah tangga atau lainnya (pensiun, penerima transfer/kiriman, penerima
deposito/bunga bank, jompo atau alasan yang lain).
Sementara itu, United Nation (1962) mendefinisikan angkatan kerja atau
penduduk yang aktif secara ekonomi sebagai penduduk yang memproduksi
barang dan jasa secara ekonomi yang juga mencakup mereka yang tidak bekerja
tapi bersedia bekerja. Sedang yang dimaksud dengan penduduk bekerja adalah
penduduk yang melakukan kegiatan melakukan pekerjaan penghasilan atau
keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja
dalam satu jam tersebut harus dilakukan secara berturut-turut dan tidak terputus.
2.5.4 Taraf dan pola konsumsi
Kesejahteraan masyarakat juga ditandai oleh hidup layak. Banyak
indikator alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung unsur standar hidup
layak. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara internasional, maka
98
United Nations Development Programs (UNDP) memilih GDP perkapita riil yang
telah disesuaikan sebagai indikator standar hidup layak.
Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi
riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
Keterangan:
D = Konsumsi perkapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/Unit (hasil tahapan 6)
Z = Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan (Biasanya menggunakan garis kemiskinan yang dalam perhitungan ini nilai Z ditetapkan sebesar Rp.1.500,- perkapita sehari atau Rp.547.500,- perkapita setahun).
2.5.5 Perumahan dan lingkungan
Dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan
permukiman, perumahan diartikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana. Secara fisik perumahan merupakan sebuah lingkungan yang terdiri dari
kumpulan unit-unit rumah tinggal dimana dimungkinkan terjadinya interaksi sosial
diantara penghuninya, serta dilengkapi dengan prasarana sosial, ekonomi, dan budaya.
Hal utama yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan perumahan
adalah manajemen lingkungan yang baik dan terarah. Karena lingkungan
perumahan merupakan aspek yang sangat menentukan dan keberadaannya tidak
dapat diabaikan. Hal tersebut dapat terjadi karena baik buruknya kondisi
99
lingkungan akan berdampak terhadap penghuni perumahan. Lingkungan
perumahan harus disehatkan dengan beberapa program yaitu pengelolaan air
limbah, pengelolaan air bersih, pengelolaan sampah dan penanganan drainase.
2.6 Faktor Kontekstual
Faktor konteksual adalah faktor-faktor yang penting yang sedang dimiliki
atau dilakukan oleh pengusaha industri kecil dan menengah yang dapat berkaitan
langsung terhadap kelangsungan hidup dari perusahaan. Faktor-faktor tersebut
dapat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan. Beberapa jenis
dimensi dari faktor konteksual adalah sistem pemasaran, teknologi, akses
permodalan, akses informasi, adanya perencanaan bisnis, sikap kewiraswastaan
yang dimiliki oleh pengelola, dan bantuan yang diberikan pemerintah, dan lain-
lain.
2.6.1 Pemasaran produk
Masalah umum yang dihadapi pengusaha industri kecil dan menengah
adalah masalah pemasaran (Saleh, 1985). Umumnya IKM di Indonesia melakukan
pemasaran produknya secara tradisional, yaitu menunggu pembeli. Dengan
adanya persaingan yang serba ketat, seharusnya pengusaha industri kecil dan
menengah mengantisipasinya dengan mengembangkan pasar secara proaktif.
Adanya pasar yang baru akan berpengaruh terhadap pertumbuhan penjualan pada
IKM.
2.6.2 Akses permodalan
Masalah penting lainnya yang sering dihadapi pengusaha industri kecil dan
menengah adalah akses terhadap permodalan. Kekurangan modal pada IKM akan
100
menyebabkan terhambatnya kegiatan produksi maupun berinovasi, yang pada
akhirnya berdampak terhadap terhambatnya kesuksesan usaha (Swuerczek dan
Ha, 2003). Sumber utama modal dari IKM umumnya dari tabungan pribadi,
pinjaman dari keluarga atau kelompok, koperasi, dan lembaga-lembaga keuangan
lainnya
2.6.3 Pemanfaatan teknologi informasi
Faktor penting lainnya dalam perusahaan adalah teknologi. Kurangnya
teknologi, termasuk teknologi informasi yang dimiliki atau diterapkan oleh IKM
akan menghambat perkembangannya. (Rizki Masyita Sari, 2012) dalam
penelitianya menyimpulkan bahwa penerapan teknologi, khususnya internet dapat
meningkatkan kinerja IKM.
2.6.4 Adanya perencanaan bisnis
Rencana usaha atau business plan dapat menunjukkan arah kegiatan dan
pengembangan usaha. Penelitian Trisninawati dan Irwan Septhayuda (2012)
menyebutkan bahwa IKM yang memiliki rencana usaha dalam pengembangan
usaha memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan usaha.
2.6.5 Bantuan pemerintah
Umumnya pengusaha industri kecil dan menengah adalah dalam segala hal
adalah lemah, sehingga perlu uluran tangan pemerintah untuk memberdayakannya
agar dapat berkembang. Beberapa bantuan pemerintah misalnya dalam hal
meningkatkan kapasitannya (capacity building) pelatihan meningkatkan
keterampilan manajemen, operasional, asistensi keuangan, dan lain sebagainya.
top related