bab ii kajian pustaka 2.1 landasan teoritis...modigliani dan miller juga menyatakan bahwa nilai...
Post on 02-Dec-2020
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
51
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teoritis
2.1.1 Teori-Teori Dividen
Kebijakan dividen menjadi topik yang paling diperdebatkan sejak dahulu
dalam keuangan. Studi-studi mengenai kebijakan dividen dikemukan oleh: Litner
(1956); Miller and Modigliani (1961); Bhattacharya (1979), DeAngelo et al.,.
(1996), Al-Malkawi (2007) and Al- Najjar and Hussainey (2009). Beberapa teori
yang berkaitan dengan kebijakan dividen yaitu :
2.1.1.1 Dividend Irrelevance Theory
Miller and Modigliani (1961) menyatakan bahwa kebijakan dividen
tidak mempunyai pengaruh (irrelevant) terhadap nilai perusahaan (yang
dicerminkan pada harga saham) atau biaya modalnya (cost of capital).
Modigliani dan Miller juga menyatakan bahwa nilai perusahaan hanya
ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan, secara rinci adalah dari
profitabilitas asset perusahaan dan kompetensi manajemen perusahaan.
Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan dibagikan
dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan.
Dalam merumuskan teori ini, Modigliani dan Miller mengasumsikan suatu
pasar yang sempurna, investor bersikap rasional, dan adanya suatu kepastian
yang sempurna (perfect certainty). Asumsi-asumsi tersebut menjadikan suatu
pasar dengan kondisi-kondisi sebagi berikut :
52
Semua pelaku pasar tidak ada yang dapat mempengaruhi harga pasar
Semua pelaku pasar memiliki akses yang sama dan tanpa biaya atas
semua informasi
Tidak ada biaya transaksi, misalnya biaya broker atau biaya transfer
yang terkait dengan perdagangan sekuritas
Tidak ada perbedaan tarif pajak atas dividen dan capital gain atau
antara laba yang didistribusikan dan yang tidak didistribusikan
Investor lebih menyukai kekayaan yang banyak daripada yang sedikit
Investor tidak mempermasalahkan apakah kenaikan kekayaan berasal
dari dividen atau capital gain
Setiap investor sangat yakin akan keberhasilan program investasi dan
laba perusahaan di masa depan
Karena adanya ketidakpastian mengenai masa depan, semua
perusahaan mengeluarkan satu jenis sekuritas, yaitu saham biasa.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Modigliani dan Miller
menyatakan bahwa harga setiap saham harus sedemikian rupa supaya required
rate of return setiap saham sama di seluruh pasar untuk interval waktu tertentu.
Berdasarkan asumsi tersebut, harga saham saat ini merupakan present value
dari seluruh aliran dividen pada periode-periode yang akan datang. Value of
the firm ditentukan sepenuhnya oleh laba operasi yang sedang dan akan
dihasilkan sepanjang perusahaan menjalankan semua proyek yang memiliki
NPV positif dan tidak ada biaya untuk akses dana di pasar modal maka
perusahaan dapat membayar dividen dari berbagai level dari tidak
53
membayarkan dividen hingga membayarkan seluruh laba sebagai dividen
(Ross et al., 2009:594). Hanya saja jika dividen tersebut dibayarkan,
perusahaan harus menggantinya dengan menerbitkan saham baru. Karena tidak
ada asumsi pajak dan tidak ada biaya transaksi maka pilihan membayarkan
dividen pada level manapun akan menghasilkan value of the firm yang sama
karena sedikit banyaknya saham baru yang harus diterbitkan sebagai pengganti
dividen, tidak memiliki biaya transaksi. Selain itu, value of the firm tidak
dipengaruhi oleh tingkat dividend payout ratio asalkan kebijakan investasinya
konstan. Dengan demikian, investor akan indiferrent terhadap pilihan apakah
perusahaan harus menahan seluruh laba dan menggunakannya untuk
membiayai kegiatan investasinya atau perusahaan membagikan laba sebagai
dividen dan menerbitkan saham baru untuk membiayai investasinya (Pratama,
2007). Sementara itu, tidak adanya floatation cost membuat perusahaan
menjadi indifferent terhadap sumber pembiayaan yang berasal dari retained
earnings maupun dari hasil penerbitan sekuritas baru. Di sisi lain, tidak adanya
pajak pendapatan baik atas dividen maupun capital gain, menyebabkan
investor menjadi indifferent terhadap dividen maupun capital gain.
Pada kenyatannya, asumsi-asumsi yang digunakan oleh Miller dan
Modigliani tidak dapat diterapkan dalam pasar modal Indonesia yang belum
dapat dikatakan efisien (Utama, 1998 dan Nurhayati, 2006). Investor umumnya
bertransaksi pada pasar modal yang tidak sempurna, di mana terdapat biaya
transaksi, biaya pajak, dan lainnya (Bawazer, 1991). Pengaruh biaya transaksi
terhadap kebijakan dividen dapat dilihat dari dua sisi yang saling bertentangan.
54
Pertama, dari sisi investor, jika investor merasa menjual saham dalam jumlah
kecil secara rutin akan menimbulkan biaya transaksi yang cukup besar,
pembayaran dividen akan lebih menarik bagi investor untuk menjaga
likuiditasnya. Penerimaan dividen secara reguler tidak akan menimbulkan
biaya transaksi dan uang yang diterima dividen dapat digunakan untuk
konsumsi atau untuk menyusun ulang portofolio. Jika transaksi membuat
investor memilih pembayaran dividen, mestinya pasar modal yang belum maju
akan membayar dividen lebih besar karena biaya transaksi di pasar modal
tersebut jauh lebih tinggi. Pada kenyataannya, pembayar dividen paling besar
adalah perusahaan yang terdaftar di bursa yang sudah maju adalah yang biaya
transaksinya paling rendah (Sumariyati dan Medyawati, 2012). Dari sudut
pandang perusahaan yang membayarkan dividen, biaya emisi untuk
menerbitkan saham di Indonesia cukup tinggi sehingga perusahaan akan lebih
memilih untuk menahan labanya daripada menerbitkan saham baru sebagai
pengganti laba yang digunakan untuk mendanai kegiatan investasinya (Astuty
dan Seregar 2008).
Kedua, dari sisi lain, adanya perbedaan pajak atas dividen dengan pajak
atas capital gain, tentunya akan membuat para investor memiliki preferensi
yang berbeda mengenai dividen yang dibayarkan. Investor yang menyukai
fixed income tentunya lebih menyukai dividen karena lebih pasti walaupun
pajaknya harus segera dibayar ketika dividen dibayarkan dibandingkan dengan
pajak atas capital gain yang dapat ditunda hingga terealisasi. Selain itu, Ross
55
et al., (2009:598) menyatakan investor akan diuntungkan dari sisi pajak ketika
corporate tax lebih besar dibandingkan dengan personal tax.
Miller dan Modigliani (1961) dalam Hussainey et al., (2011)
menyatakan bahwa kebijakan dividen perusahaan tidak relevan kepada
pemegang saham dan kekayaan pemegang saham tidak berubah saat semua
aspek kebijakan investasi tetap. Beberapa asumsi yang mendasari teori ini
diantaranya adalah terdapat pasar modal yang sempurna, yaitu tidak ada pajak
dan biaya transaksional, manajer bertindak sebagai agen terbaik bagi
pemegang saham, dan ada kepastian tentang kebijakan investasi perusahaan.
Teori Miller dan Modigliani (1961) menyatakan bahwa nilai
perusahaan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya dividend payout ratio, tetapi
hanya ditentukan oleh profitabilitas dasar dan risiko usahanya, dengan asumsi
bahwa tidak ada pajak yang dibayarkan atas dividen, saham dapat dibeli dan
dijual tanpa adanya biaya transaksi, semua pihak baik manajer maupun
pemegang saham memiliki informasi yang sama tentang laba perusahaan di
masa yang akan datang (Brigham dan Houston, 2011:211).
2.1.1.2 Bird in The Hand Theory
Lintner (1959) menyatakan bahwa uang yang diterima dalam bentuk
dividen nilainya lebih tinggi dari uang terdapat pada retained earning. Menurut
teori ini, pemegang saham memiliki preferensi terhadap pembayaran dividen
dibandingkan dengan retained earning sehingga kebijakan dividen relevan
terhadap nilai dari suatu perusahaan.
56
Nilai dari uang yang diterima dalam bentuk dividen adalah pasti,
sementara itu nilai dari uang yang diinvestasikan kembali ke dalam aset oleh
perusahaan tidak pasti (Kolb, 1988). Nilai dari uang yang diinvestasikan
kembali oleh perusahaan tersebut didiskontokan oleh investor untuk
mencerminkan ketidakpastian dari kapan uang itu diterima dalam bentuk tunai
di masa datang baik sebagai dividen maupun capital gain. Namun, jika
perusahaan menginvestasikan retained earning pada tingkat pengembalian
yang cukup tinggi untuk mengkompensasikan risiko yang ditanggung oleh
investor, teori ini mungkin tidak akan menjadi valid. Begitu juga jika alternatif
satu-satunya bagi investor selain menggunakan dividen yang diterima adalah
berinvestasi pada aset yang risikonya sama atau lebih besar, teori ini juga
mungkin tidak valid. Apabila jika investor memiliki alternatif lain di samping
menggunakan dividen yang diterimanya seperti berinvestasi pada aset dengan
risiko yang lebih rendah, maka teori bird-in-the-hand dapat berlaku. Validitas
dari teori ini bergantung dari sejauh mana persepsi pemegang saham mengenai
risiko yang ada dalam reinvestasi yang dilakukan perusahaan dengan
reinvestasi dividen di tempat yang lain.
Teori ini dikemukakan oleh Gordon (1962). Gordon (1962) dalam
Hashemijoo et al., (2012) mengemukakan bahwa kebijakan dividen
mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dalam harga saham (value of
stocks) bahkan dalam pasar sempurna. Investor beranggapan bahwa investor
memandang satu burung di tangan jauh lebih berharga daripada seribu burung
di udara, yang berarti bahwa investor lebih menyukai pembagian dividen pada
57
saat ini dibandingkan dengan capital gains di masa yang akan dating karena
masa dating bersifat tidak pasti bahkan dalam pasar sempurna.
Hussainey et al., (2011), disebutkan bahwa walaupun teori ini banyak
menuai banyak kritik dan tidak mempunyai bukti empiris yang kuat, tetapi teori
ini didukung oleh dari penelitian Gordon and Shapiro (1956), Lintner (1962)
and Walter (1963). Selain itu teori ini diperkuat oleh Al- Malkawi (2007), yang
menegaskan bahwa dalam dunia yang tidak pasti dan penuh dengan asimetri
informasi ini, dividen dinilai berbeda dari capital gain. Karena ketidakpastian
arus kas masa depan, investor akan sering cenderung memilih dividen daripada
saldo laba. Investor memiliki keyakinan bahwa dividen memiliki risiko yang
lebih kecil, sehingga investor lebih suka menerima kas tunai sekarang
dibanding mengharapkan capital gain di masa datang yang belum pasti.
Sementara itu, beberapa investor lebih memilih dividen karena adanya
ketidakpastian tentang arus kas masa depan perusahaan. Asumsi yang
digunakan dalam teori ini adalah :
a. Bahwa investor memiliki informasi sempurna tentang profitabilitas
perusahaan.
b. Bahwa dividen kas dikenakan pajak pada tingkat yang lebih tinggi
daripada ketika capital gain yang direalisasikan pada penjualan
saham.
c. Bahwa dividen berfungsi sebagai sinyal arus kas yang diharapkan.
58
2.1.1.3 Tax Preference Theory
Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy (1979), yang
menyatakan bahwa karena adanya pajak baik terhadap keuntungan dividen
maupun capital gains, tetapi para investor lebih menyukai capital gains karena
dapat menunda pembayaran pajak.
Tax Preference Theory yang dikemukakan Farrar dan Slewyn
(1967:444) dan Brennan (1970:417) menjelaskan bahwa investor lebih
menyukai laba ditahan (retained earning) daripada dividen. Teori ini
menyarankan agar perusahaan membayarkan dividen yang rendah jika ingin
memaksimalkan harga sahamnya. Teori perbedaan pajak ini menerangkan
bahwa kebijakan yang terbaik adalah tidak membayar pajak sama sekali.
Teori Miller Modigliani menyatakan bahwa pada pasar persaingan
sempurna tidak diperlukan pajak sehingga tidak ada perlakuan pajak yang
berbeda antara dividen dengan capital gain. Tetapi kenyataannya, pajak itu
selalu ada seperti yang dialami investor dimana setiap dividen yang dibayarkan
akan dikenakan pajak. Padahal seharusnya dividen yang diterima investor tidak
seharusnya dikenakan pajak dikarenakan perusahaan telah membayar pajak
atas bagian keuntungan yang dibagikan (dividen) tersebut. Bila investor
membayar kembali pajak atas dividen yang diterimanya, maka telah terjadi
pajak berganda karena perpindahan keuntungan (dividen) terjadi bukan
dikarenakan adanya nilai tambah yang dilakukan sehingga dividen tersebut
bertambah ketika sampai ditangan investor.
59
Adanya perlakuan pajak yang berbeda ini membuat investor selalu
berpikir agar dividen yang diterimanya sudah bersih tanpa ada lagi pembayaran
pajak sehingga jelas perhitungan pendapatannya yang siap dikonsumsikan.
Pemikiran investor ini diperhatikan oleh agen perusahaan agar agen tersebut
mengurangi dividen dalam rangka memaksimumkan nilai perusahaan sebab
pajak mempengaruhi pembayaran dividen perusahaan. Pembayaran dividen
yang kecil akan membuat biaya modal kecil dan harga saham mengalami
kenaikan dan bila diperhatikan dengan seksama bahwa pajak dividen selalu
lebih tinggi daripada capital gain.
Teori ini juga dikemukakan dalam Sartono (2010), berbunyi bahwa
jika capital gain dikenakan pajak dengan tarif lebih rendah daripada pajak atas
dividen, maka saham yang akan memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi
menjadi lebih menarik, tetapi sebaliknya jika capital gain dikenakan pajak
yang sama dengan pendapatan atas dividen, maka keuntungan dividen akan
berkurang.
Lebih jauh Sartono (2010) mengemukakan bahwa pajak atas capital
gain masih lebih baik dibandingkan pajak atas dividen, karena pajak atas
capital gain baru dibayar setelah saham dijual, sementara pajak atas dividen
harus dibayar setiap tahun setelah pembayaran dividen, selain itu periode
investasi juga mempengaruhi pendapatan investor. Jika investor hanya
membeli saham untuk jangka waktu satu tahun, maka tidak ada bedanya antara
pajak capital gain dan pajak dividen. Kemudian dividen cenderung dikenakan
pajak lebih tinggi dari pada capital gain, maka investor akan meminta tingkat
60
keuntungan yang lebih tinggi, sehingga disarankan agar perusahaan lebih baik
menentukan Dividend Payout Ratio yang lebih rendah atau bahkan tidak
membagikan sama sekali untuk meminimkan biaya modal dan memaksimalkan
nilai perusahaan.
2.1.1.4 Agency Theory of The Free Cash Fow Theory
Konflik antara manajemen dan pemegang saham timbul secara
alami pada perusahaan publik besar di mana terdapat pemisahan antara
kepemilikan dan kendali (Jensen, 1986). Severity dari konflik ini bisa
tercermin dari seberapa besar kecenderungan manajemen untuk overinvesting
pada proyek yang memiliki NPV nol atau bahkan negatif. Agency cost sendiri
merupakan fungsi dari:
a. Industri di mana perusahaan beroperasi, ukuran perusahaan, intensitas
modal dari proses produksi perusahaan, aliran kas bebas yang
dihasilkan dan banyaknya kesempatan investasi pada proyek dengan
NPV yang positif bagi perusahaan.
b. Jumlah pemegang saham, tightness atau diffuseness dari investor dan
kehadiran share-blockholder yang besar yang mau dan bisa
memonitor secara langsung manajemen perusahaan.
c. Manajer perusahaan yang membayarkan dividen akan mendapatkan
kompensasi berupa kenaikan harga saham perusahaan dan masa
jabatan yang lebih panjang. Sementara itu, manajer dari perusahaan
yang mengabaikan pereferensi investor akan mengalami penurunan
harga saham dan juga kehilangan pekerjaannya.
61
Agency cost adalah biaya konflik atas kepentingan yang ada antara
pemegang saham dan manajemen (Ross et al., 2009), hal ini muncul ketika
manajer bertindak sesuai dengan kepentingan sendiri daripada atas
kepentingan pemegang saham yang notabene adalah pemilik perusahaan.
Pendapat ini bertentangan dengan asumsi Miller dan Modigliani (1961) yang
berasumsi bahwa manajer adalah agen yang sempurna bagi pemegang saham
dan tidak ada konflik kepentingan di antara investor.
Manajer terikat untuk melakukan beberapa kegiatan dalam
perusahaan, yang mungkin bisa menimbulkan beban biaya besar untuk
pemegang saham, seperti misalnya melakukan unprofitable investment yang
akan menghasilkan keuntungan yang berlebihan dan memberikan kompensasi-
kompensasi manajemen yang tinggi yang sebenarnya tidak diperlukan (Al-
Malkawi, 2007). Biaya-biaya tersebut ditanggung oleh pemegang saham.
Pemegang saham perusahaan akan meminta pembayaran dividen yang lebih
tinggi sebagai ganti atas arus kas bebas (aliran kas bebas) tersebut.
Menurut agency theory, dividen dapat digunakan untuk
meminimalisir agency cost. Salah satu cara untuk mengurangi agency cost
adalah meningkatkan pembayaran dividen. Membayar dividen yang lebih
besar akan menurunkan arus kas internal yang berkaitan dengan kebijakan
manajemen dan memaksa perusahaan untuk mencari lebih banyak pendanaan
eksternal. Jadi, pembayaran dividen dapat sebagai alat untuk memonitor dan
mempertanggungjawabkan kinerja manajemen. Pernyataan ini didukung oleh
beberapa studi empiris, yaitu: Rozeff (1982) dalam Baker dan Powell (2012)
62
yang menemukan dukungan terhadap peranan dividen untuk memecahkan
kembali biaya keagenan di perusahaan yang dikendalikan oleh manajer
secara minoritas. Analisis ini menunjukkan hubungan negatif antara
pembayaran dividen dengan persentase insiders. Dengan persentase pihak
luar yang lebih rendah yang ada, lebih sedikit kebutuhan untuk membayar
dividen untuk menurunkan biaya keagenan.
Damodaran ( 1997 : 449 ) menjelaskan bahwa ”Teori aliran kas bebas
menggambarkan bahwa arus kas berasal dari operasi dan penggunaannya
berada di bawah control manajemen perusahaan, manajer menggunakan kas
bebas untuk membiayai proyek, membayar dividen kepada pemegang saham,
atau menahannya sebagai saldo kas”. Teori aliran kas bebas menyatakan bahwa
manajer yang memiliki arus kas bebas terlalu banyak, akan cenderung
melakukan investasi secara tidak optimal.
Pada dasarnya, aliran kas bebas seharusnya dibayarkan kepada
pemegang saham, karena perusahaan tidak dapat menginvestasikannya yang
memiliki NPV positif, akan tetapi membayarkan kelebihan kas (aliran kas
bebas) kepada pemegang saham yang berarti mengurangi dana dibawah
control manajemen. Membatasi kemampuan manajer untuk mendorong
pertumbuhan dan meningkatkan kemungkinan harus menggunakan dana
eksternal untuk membiayai investasi proyek yang akan dating, hal inilah yang
menyebabkan manajemen berusaha menahan kelebihan arus kas dan
mendorong penggunaannya untuk memaksimumkan kepentingan manajemen.
63
2.1.1.5 Signalling Hypothesis (Dividend Signalling Theory)
Dividend signalling theory pertama kali dicetuskan oleh
Bhattacharya (1979). Teori ini dikembangkan untuk menjelaskan bahwa para
insider (manajemen) memiliki informasi yang lebih baik mengenai kondisi
perusahaan dibandingkan dengan outsider (pemegang saham). Munculnya
informasi asimetri tersebut menyulitkan investor dalam menilai kualitas
perusahaan secara objektif sehingga hal ini akan membuat investor cenderung
memberikan penilaian yang lebih rendah terhadap semua saham perusahaan.
Kecenderungan ini disebut sebagai pooling equilibrium (Arifin, 2005: 12).
Perusahaan yang memiliki kinerja yang bagus dapat menggunakan dividen
sebagai salah satu signalling devices yang terpercaya dan sulit ditiru oleh
perusahaan yang kinerjanya lemah. Dividen merupakan signalling device
yang relatif mahal dan tidak memungkinkan perusahaan yang memiliki
kinerja lemah menirunya. Hanya perusahaan yang memiliki kinerja yang
bagus yang tetap dapat menghasilkan laba dan mendanai kegiatan
investasinya walaupun membayar dividen yang cukup besar, sedangkan
perusahaan yang memiliki kinerja yang lemah akan mengalami penurunan
laba karena tidak dapat membiayai kegiatan investasinya jika terus-menerus
membayar dividen. Karena investor memahami sinyal yang diberikan
perusahaan melalui pembagian dividen, investor akan memberikan nilai lebih
bagi perusahaan yang membayar dividen yang tinggi. Penilaian yang berbeda
ini disebut dengan separating equilibrium (Arifin, 2005: 12).
64
Dividend signaling theory diperkenalkan oleh Ross (1977) kemudian
dikembangkan oleh Bhattacharya (1979), serta John dan William (1985). Ross
(1977) berpendapat bahwa manajer sebagai orang dalam yang mempunyai
informasi yang lengkap tentang arus kas perusahaan, akan memilih untuk
menciptakan isyarat yang jelas mengenai masa depan perusahaan apabila
investor mempunyai dorongan yang tepat untuk melakukannya. Ross
membuktikan bahwa kenaikan pada dividen yang dibayarkan dapat
menimbulkan isyarat yang jelas kepada pasar bahwa prospek perusahaan telah
mengalami kemajuan.
Dikatakan oleh Ross et al., (2009) agar suatu isyarat bermanfaat harus
memenuhi empat hal. Pertama, manajemen harus selalu mempunyai dorongan
yang tepat untuk mengirimkan isyarat yang jujur, walaupun beritanya buruk.
Kedua, isyarat dari suatu perusahaan yang sukses tidak mudah diterima oleh
pesaingnya yang kurang sukses. Ketiga, isyarat itu harus mempunyai hubungan
yang cukup berarti dengan kejadian yang dapat diamati (misalnya dividen yang
lebih tinggi saat ini akan dihubungkan dengan arus kas yang tinggi di masa
yang akan datang). Keempat, tidak ada cara menekan biaya yang lebih efektif
dari pada pengiriman isyarat yang sama.
Selanjutnya dividend signaling theory dikembangkan oleh
Bhattacharya (1979) yaitu model yang dapat digunakan untuk menjelaskan
mengapa perusahaan-perusahaan menggunakan dividen untuk memberikan
isyarat walaupun menanggung kerugian saat melaksanakannya. Membagikan
kas untuk pembayaran dividen merupakan hal yang mahal, karena perusahaan
65
harus mampu menghasilkan kas yang cukup untuk mendukung pembayaran
dividen secara tetap, dan karena kas dibayarkan untuk dividen maka akan
mengurangi kesempatan berinvestasi dengan NPV positif, namun demikian
bagi perusahaan yang prospeknya bagus dapat mengganti biaya ini
(pembayaran dividen) melalui pengeluaran saham secara bertahap dengan
harga yang semakin meningkat. Tetapi bagi perusahaan yang kurang sukses
tidak dapat melakukan hal yang sama, dengan demikian, memberikan isyarat
melalui nilai dividen memberikan hasil yang positif.
John dan William (1985) juga mengembangkan teori tentang dividen
sebagai isyarat. John dan William menjelaskan bahwa pengumuman dividen
memberikan informasi penting untuk membentuk pendapatan perusahaan saat
ini yang akhirnya menjadi dasar untuk memprediksi pendapatan-pendapatan
di masa yang akan datang. Penggunaan dividen sebagai alat untuk
mengirimkan isyarat yang nyata kepada pasar mengenai hasil kerja perusahaan
pada masa mendatang merupakan cara yang tepat, walaupun mahal tetapi
berarti. Hanya perusahaan yang prospeknya baik yang dapat melakukan ini,
sedangkan perusahaan-perusahaan yang tidak sukses sulit untuk meniru cara
ini, karena investor tidak mempunyai arus kas yang cukup untuk
melakukannya, dengan demikian pasar akan bereaksi terhadap perubahan
dividen yang dibayarkan, karena pasar yakin bahwa pemberi isyarat adalah
perusahaan yang sukses.
Terdapat beberapa bukti empiris yang mendukung bahwa dividen
merupakan signalling device yang efektif mengenai prospek perusahaan di
66
masa mendatang. Lintner (1956) menyatakan manajemen menetapkan
dividend per share dengan sangat hati-hati karena tingkat dividen yang
ditetapkan akan menjadi kewajiban tetap perusahaan di periode berikutnya.
Lintner juga menyatakan manajemen lebih berfokus pada perubahan dividend
per share daripada menemuka dividend payout ratio yang tepat. Sementara itu,
Fama dan Babiak (1968) menyatakan bahwa manajer sebenarnya memiliki
target payout ratio, dan pembayaran dividend per share saat ini dikaitkan
dengan perkiraan laba yang akan diperoleh perusahaan di masa mendatang.
Berdasarkan dividend signalling theory, perubahan dividen, baik naik
atau turun dalam bentuk per lembar sahamnya dianggap memberikan sinyal
mengenai kinerja keuangan perusahaan di masa mendatang. Peningkatan
pembayaran dividen dianggap sebagai sinyal positif mengenai profitabilitas
dan likuiditas perusahaan di masa depan sehingga memberikan abnormal
return yang positif, sebaliknya penurunan pembayaran dividen dianggap
sebagai sinyal negatif mengenai profitabilitas dan likuiditas perusahaan di
masa depan sehingga memberikan abnormal return yang negatif. Fenomena
ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai dividen
dari pada capital gain.
2.1.1.6 Clientele Effects of Dividend Theories
Teori ini mengemukakan bahwa investor cenderung memilih saham
perusahaan yang memenuhi kebutuhan tertentu yang investor inginkan. Hal ini
karena investor menghadapi perlakuan pajak yang berbeda untuk dividen dan
capital gain dan juga menghadapi beberapa biaya transaksi ketika perdagangan
67
sekuritas. Teori ini muncul berawal dari pendapat Miller dan Modigliani
(1961) yang menyatakan bahwa investor cenderung ke arah perusahaan yang
akan memberi manfaat yang diinginkan. Perusahaan akan menarik pelanggan
yang berbeda berdasarkan kebijakan dividen masing- masing. Didukung oleh
Al-Malkawi (2007), yang menegaskan bahwa perusahaan yang masih dalam
fase pertumbuhan di mana cenderung untuk membayar dividen yang lebih
rendah, akan menarik klien yang menginginkan apresiasi modal. Sementara
perusahaan yang sudah dalam tahap matang, yang membayar dividen yang
lebih tinggi, akan menarik pelanggan yang membutuhkan penghasilan
langsung dalam bentuk dividen.
Al-Malkawi (2007) mengelompokkan clientele effect menjadi dua,
yaitu investor yang cenderung lebih dipengaruhi oleh pajak dan investor yang
lebih dipengaruhi oleh biaya transaksi. Al-Malkawi berargumen bahwa jika
investor berada dalam lingkungan berpajak tinggi maka investor akan lebih
memilih perusahaan yang membayar dividen sedikit atau bahkan tidak
mebayar dividen sama sekali untuk mendapatkan imbalan dalam bentuk
apresiasi harga saham, dan sebaliknya. Biaya transaksi lebih mempengaruhi
investor ketika investor tergantung pada pembayaran dividen untuk kebutuhan
investor (investor kecil), klien ini lebih menyukai perusahaan yang memenuhi
kebutuhan ini (membayar dividen) karena perusahaan tidak mampu membayar
biaya transaksi yang tinggi dari penjualan surat berharga.
Investor memiliki preferensi yang berbeda terhadap level dividend
payout dari suatu perusahaan. Jika suatu perusahaan memiliki kebijakan
68
dividen dengan tingkat payout yang tinggi, hal ini akan menarik kelompok
investor yang menyukai dividend payout yang tinggi (Bajaj dan Vijh, 1990).
Sementara itu, perusahaan dengan tingkat dividend payout yang rendah akan
menarik kelompok investor lainnya, yaitu kelompok investor yang menyukai
tingkat dividend payout yang rendah. Kelompok investor yang berbeda-
beda ini disebut clienteles, sementara itu argumen bahwa saham menarik
kelompok investor tertentu berdasarkan dividend yield dan hasil dari pengaruh
pajak di sebut clientele effect. Demikian ketika suatu perusahaan memilih
kebijakan dividen tertentu, hal itu akan menarik clientele tertentu. Jika
perusahaan tersebut merubah kebijakan dividennya, investor hanya akan
menarik clientele lainnya (Ross et al., 2009:603).
2.1.1.7 Teori Siklus Hidup (Life cycle theory)
Life cycle theory menyatakan bahwa dividen cenderung untuk
mengikuti pola siklus hidup perusahaan dan dividen yang dibagikan
mencerminkan analisis manajemen atas pentingnya ketidaksempurnaan pasar
termasuk di dalamnya aspek-aspek yang berkaitan dengan pemegang ekuitas
(pemilik saham), biaya keagenan, ketimpangan informasi, biaya penerbitan
sekuritas (ekuitas), dan biaya-biaya transaksi. Kebijakan dividen adalah fungsi
dari siklus hidup perusahaan. Artinya, perusahaan cenderung mulai membayar
dividen ketika tingkat pertumbuhan dan profitabilitas diperkirakan akan
menurun di masa depan (Mueller, 1972; Fama dan French, 2001; DeAngelo et
al.,, 2006.). Menurut teori ini, keputusan dividen dipengaruhi oleh kebutuhan
perusahaan untuk mendistribusikan aliran kasnya. Teori ini memprediksi
69
bahwa pada tahun-tahun awal sejak pendirian, perusahaan belum banyak
membayar dividen, tetapi semakin tua perusahaan dimana dana internal
perusahaan sudah melibihi peluang investasi dividen yang dibayarkan akan
meningkat (Fama dan French, 2001 dan DeAngelo dan DeAngelo, 2006).
Beberapa penelitian empiris membuktikan bahwa salah satu faktor
penentu kebijakan dividen adalah siklus hidup perusahaan. Siklus hidup
perusahaan tentu tidak bisa dilepaskan dari berapa lama perusahaan
menjalankan usahanya. Grullon et al., (2002) dalam maturity hypothesis
mengemukakan bahwa usia perusahaan mempunyai pengaruh terhadap
kemampuan perusahaan dalam membayarkan dividen. Hipotesis ini didukung
oleh penelitian Al-Malkawi (2008); Fama dan French (2001); Muji (2013)
yang menunjukkan bahwa usia perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kebijakan dividen.
Al-Malkawi (2008); Fama dan French (2001); Muji (2013)
mengkategorikan usia perusahaan kedalam tahap tumbuh (growth) dan tahap
mapan (mature). Al-Malkawi (2008); Fama dan French (2001) menyatakan
bahwa semakin bertambahnya usia perusahaan, peluang investasi menurun.
Akibatnya, kebutuhan dana perusahaan untuk belanja modal berkurang. Pada
tahap matang (mature), perusahaan cenderung untuk membayar dividen tinggi
kepada pemegang saham dan sebaliknya, perusahaan yang masih berusia muda
atau pada tahap tumbuh (growth) memerlukan cadangan dana yang besar untuk
membangun industrinya. Perusahaan pada tahap tumbuh (growth) cenderung
70
untuk mempertahankan laba perusahaan dengan membayar dividen rendah
atau bahkan tidak sama sekali.
Muji (2013) menyatakan bahwa perusahaan pada tahap mapan
(mature) cenderung membayar dividen karena perusahaan memiliki
profitabilitas tinggi dan laba ditahan yang tinggi dengan peluang investasi
rendah, sedangkan perusahaan pada tahap tumbuh (growth) cenderung untuk
mempertahankan pendapatan sebagai laba ditahan dan tidak membaginya
sebagai dividen karena perusahaan memiliki sumber dana yang terbatas dan
profitabilitas yang rendah serta kesempatan investasi yang tinggi.
2.1.1.8 Residual Dividend Theory
Residual dividend theory menyatakan bahwa dividen dibayarkan
apabila masih ada residual earnings setelah perusahaan memenuhi kebutuhan
investasinya (Ross et al., 2009:604). Teori dividend residual menyatakan
bahwa ketika perusahaan akan memutuskan berapa banyak uang kas yang
harus dibagikan kepada pemegang saham, ada dua hal yang harus tetap diingat,
yaitu: (1) tujuan utamanya adalah untuk memaksimumkan nilai pemegang
saham, dan (2) arus kas yang dihasilkan perusahaan merupakan milik
pemegang saham (Brigham dan Houston, 2011:110).
Manajemen harus menahan diri dengan upaya menahan laba kecuali
jika laba itu dapat diinvestasikan kembali guna menghasilkan pengembalian
yang lebih tinggi yang juga ikut dirasakan oleh pemegang saham daripada yang
diperoleh pemegang saham jika investor menginvestasikan uang itu dalam
71
investasi yang berisiko sama. Demikian ekuitas internal, laba ditahan, lebih
rendah biaya modalnya daripada ekuitas eksternal, saham biasa baru.
Kondisi ini mendorong perusahaan untuk menahan laba karena
menambah dasar ekuitas internal dan dengan demikian mengurangi
kemungkinan bahwa perusahaan harus menambah ekuitas eksternal di masa
mendatang untuk mendanai investasinya. Adanya biaya penerbitan saham baru
menonjolkan perbedaan antara modal internal dan eksternal. Tanpa biaya
penerbitan, perusahaan tidak akan bersusah payah menentukan berapa
besarnya dividen dan berapa besarnya laba ditahan, demikian pula berapa
besarnya pendanaan eksternal, dengan adanya biaya penerbitan itu, perusahaan
jelas akan mengutamakan pendanaan internal. Konsekuensinya, perusahaan
akan melakukan pembayaran dividen setelah dana-dana kebutuhan investasi
terpenuhi; dengan kata lain, hanya jika ada “pendapatan tersisa” atau
pendapatan residual, maka dividen akan dibayarkan. Inilah inti dari teori
dividen residual atau residual dividend theory (Elton dan Gruber, 1970:68).
Apabila fakta biaya-biaya penerbitan sekuritas diperhitungkan, maka
kebijakan dividen perusahaan memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)
mempertahankan rasio hutang optimum dalam pendanaan investasi
mendatang; (2) menerima suatu investasi hanya jika NPV (Net Present Value)
nya positif; (3) mendahulukan pendanaan internal, kalau ternyata tidak
mencukupi, barulah perusahaan akan menerbitkan saham tambahan; dan (4)
apabila setelah kebutuhan dana investasi terpenuhi masih ada sisa, maka
72
perusahaan akan membayar dividen, sedangkan apabila tidak ada dana yang
tersisa, maka dividen tidak dibayarkan (Elton dan Gruber, 1970:70).
Konsekuensi dari apa yang telah diuraikan di atas adalah bahwa, rasio
pembayaran dividen yang optimal merupakan fungsi dari empat faktor, yaitu:
(1) pilihan investor atas dividen lawan keuntungan modal, (2) peluang
investasi perusahaan, (3) struktur modal yang ditargetkan, dan (4) ketersediaan
dan biaya dari modal eksternal. Ketiga elemen terakhir digabungkan ke dalam
model dividen residual (residual dividend model). Menurut teori ini, kebijakan
dividen memiliki pengaruh yang pasif, jadi tidak bisa mempengaruhi secara
langsung harga saham umum di bursa (Brighamdan Houston, 2011:115).
2.1.1.9 Agency Theory
Agency Theory merupakan teori yang mengatur hubungan antara
pemegang saham (principal) dengan manajer (agent). Pemegang saham
(principal) memberikan wewenang kepada agen untuk menjalakan bisnis
perusahaan demi kepentingan principal, setiap keputusan manajer adalah
keputusan yang bertujuan untuk memaksimalkan sumber daya perusahaan.
Apabila manajer bertindak untuk mementingkan kepentingan individunya
daripada kepentingan pemegang saham maka Perusahaan akan dirugikan.
Keadaan inilah yang memunculkan konflik keagenan antara manajer dengan
pemilik perusahaan. Masing-masing pihak memiliki tujuan dan memiliki risiko
yang berbeda berkaitan dengan perilakunya. Manajer apabila gagal
menjalankan fungsinya akan berisiko tidak ditunjuk lagi sebagai manajer
perusahaan, sementara pemegang saham akan berisiko kehilangan modalnya
73
kalau salah memilih manajer, hal ini merupakan konsekuensi dari pemisahan
antara fungsi kepemilikan dengan pengelolaan.
Jika manajer juga sebagai pemilik perusahaan maka konflik keagenan
akan dapat diminimalkan atau bisa juga dengan sebaliknya pemilik sebagai
manajer. Manajer akan mementingkan kepentingan perusahaan jika manajer
berlaku sekaligus sebagai pemilik perusahaan, sehingga manajer akan
menselaraskan kepentingannya dengan kepentingan pemegang saham.
Perilaku Manajemen perusahaan dapat dikatakan sebagai keterbatasan rasional
dan manajer akan cenderung tidak menyukai risiko jika manajemen perusahaan
kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
biaya dari pihak lain. Jensen dan Meckling (1976) Agency Problem akan terjadi
bila proporsi kepemilikan manajerial atas saham perusahaan kurang dari
seratus persen (100%) sehingga manajer bertindak untuk mengejar
kepentingan dirinya dan sudah tidak berdasar maksimalisasi nilai dalam
pengambilan keputusan pendanaan. Kondisi diatas merupakan konsekuensi
dari pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi kepemilikan. Manajemen tidak
menanggung risiko atas kesalahan dalam mengambil keputusan karena risiko
tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemegang saham. Oleh sebab itu
manajemen biasanya akan mengeluarkan pengeluaran yang bersifat konsumtif
dan tidak produktif untuk kepentingan individu dengan cara peningkatan gaji
dan status.
Pihak manajemen (agent) memiliki banyak informasi tentang
perusahaan tersebut diantaranya informasi mengenai kemampuan dan risiko
74
perusahaan, serta tata cara mengelola perusahaan. Pemegang saham memiliki
sedikit informasi dan juga tidak begitu berminat untuk mengetahui cara dan
bagaimana perusahaan itu dijalankan. Perbedaan informasi tersebut
menyebabkan agen lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada
kepentingan perusahaan sehingga merugikan principal.
Penyebab lain konflik antara manajemen dan pemegang saham adalah
keputusan pendanaan. Dua hal yang mendasari menurut Fama (1980) bahwa
manajer yang bertanggung jawab atas keputusan pendanaan tidak mampu
melakukan diversifikasi investasi pada human capital dan manajer akan
terancam reputasinya jika perusahaan mengalami kebangkrutan, sehingga para
pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematis sedangkan manajer
peduli terhadap risiko secara keseluruhan.
Masalah keagenan ini akan menimbulkan agency cost, yaitu biaya yang
meliputi biaya pengawasan (monitoring), biaya ikatan (bonding), biaya sisa
(residual loss). Biaya pengawasan terhadap aktivitas manajer, biaya ikatan
dalam meyakinkan manajer bekerja untuk kepentingan prinsipal tanpa perlu
pengawasan, biaya sisa merupakan perbedaan return yang diperoleh karena
perbedaan keputusan investasi antara prinsipal dan agen. Beberapa alternatif
untuk mengurangi Agency Cost yaitu pertama dengan meningkatkan
kepemilikan saham oleh manajemen.
Jensen dan Meckling (1976) penambahan kepemilikan manajerial
memiliki keuntungan untuk mensejajarkan kepentingan manajer dan pemilik
saham. Kedua dengan menggunakan kebijakan hutang. Easterbrook (1984)
75
menyatakan bahwa pemegang saham akan melakukan monitoring terhadap
manajemen. Namun bila biaya monitoring tersebut tinggi maka investor akan
menggunakan pihak ketiga yaitu debtholders. Debtholders yang sudah
menanamkan dananya diperusahaan dengan sendirinya akan melakukan
pengawasan akan penggunaan dana tersebut. Ketiga melalui peningkatan
dividen payout ratio bahwa pembayaran dividen akan menjadi alat monitoring
sekaligus bonding menurut Crutchley dan Hansen (1989).
Rozeff (1982) menjelaskan bahwa pembayaran dividen meningkatkan
biaya eksternal pembiayaan, tetapi mengurangi biaya opportunistic manajer
(agent). Sebagai akibatnya, ada pembayaran yang optimal sehingga
meminimalkan jumlah dari biaya agensi dan masalah-masalah yang timbul
dari konflik tersebut. Easterbrook (1984) menunjukkan bahwa dividen yang
lebih tinggi juga mendorong perusahaan untuk mencari pendanaan eksternal,
dengan masuknya perusahaan ke pasar modal, maka perusahaan akan
mendapatkan pengawasan dari investor luar sehingga dapat menekan para
manajer untuk bertindak demi kepentingan para pemegang saham, dengan
demikian dividen dapat berfungsi untuk mengontrol perilaku manajer.
Perusahaan membutuhkan kegiatan manajemen agar tujuan perusahaan
tercapai. Persentase kepemilikan manajerial merupakan persentase saham yang
dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan suatu
keputusan. Adanya perbedaan proporsi saham yang dimiliki oleh investor luar
dapat mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan.
76
2.1.1.10 Pecking Order Theory
Suranta et al., (2011) teori ini pertama kali dikenalkan oleh Donaldson
pada tahun 196l dalam surveinya pada perusahaan di Amerika Serikat,
sedangkan penamaan pecking order theory (teori urutan pendanaan) dilakukan
oleh Myers (1984). Menurut Donaldson (1961:101), perusahaan mempunyai
urutan dalam melakukan pendanaan yang dimulai dengan urutan laba ditahan,
hutang kepada pihak ketiga baik dengan loan atau menjual obligasi dan terakhir
mengeluarkan saham baru. Pada tahun 1984, Myers mengembangkan suatu
teori altematif yang dikenal sebagai pecking order theory dalarn keputusan
pendanaan melalui tulisannya yang berjudul The Capital Structure Puzzle,
menyatakan bahwa ada semacam tata urutan pecking order bagi perusahaan
dalam keputusan pendanaan. Tata urutan pendanaan muncul jika biaya dari
penerbitan sekuritas baru meliputi biaya dan manfaat dari pembayaran dividen
dan penerbitan hutang.
Arifin (2005) dalam Suranta et al., (2011) Teori ini dapat menjelaskan
mengapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi justru
mempunyai tingkat hutang yang kecil, hal ini sesuai dengan konsep pecking
order theory dimana perusahaan yang memiliki dana intemal yang cukup tidak
akan menerbitkan hutang, sehingga tingkat hutangnya kecil.
Husnan (2010:324) mengatakan bahwa teori sumber pendanaan disebut
sebagai pecking order karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan
menentukan hierarki sumber dana yang paling disukai. Husnan (2010:324-325)
menyatakan Pecking Order Theory sebagai berikut: Teori tersebut dikemukaan
77
oleh Myers and Majluf (1984) dan Myers (1984). Teori ini mencoba menjelaskan
keputusan pendanaan yang diambil oleh perusahaan yang berbeda dengan
pemikiran teori struktur modal yang di bahas diatas. Secara ringkas teori tersebut
menyatakan bahwa (Brealey dan Myers, 1991):
1) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi
perusahaan).
2) Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian dividen yang
ditargetkan, dengan berusaha menghindari perubahan pembayaran
dividen secara drastis.
3) Kebijakan dividen yang relatif segan untuk diubah, disertai dengan
fluktuasi profitabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa diduga,
mengakibatkan bahwa dana hasil operasi kadang-kadang melebihi
kebutuhan dan untuk investasi, meskipun pada kesempatan yang lain,
mungkin kurang. Apabila dana hasil operasi kurang dari kebutuhan
investasi (capital expenditure), maka perusahaan akan mengurangi saldo
kas atau menjual sekuritas yang dimiliki.
4) Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka
perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling “aman” terlebih
dulu. Yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikutioleh
sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru
akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan.
Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target debt to equity ratio,
karena ada dua jenis modal sendiri, yaitu internal dan external. Modal sendiri
78
berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daripada modal sendiri yang
berasal dari luar perusahaan. Pecking order theory menjelaskan mengapa
perusahaan-perusahaan yang profitable meminjam dalam jumlah sedikit. Hal
tersebut bukan disebabkan karena perusahaan memerlukan external financing
yang sedikit. Perusahaan yang kurang profitable akan cenderung mempunyai
hutang yang lebih besar karena dua alasan, yaitu (i) dana tidak cukup, dan (ii)
hutang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai.
Pecking order theory menggambarkan sebuah tingkatan dalam
pencarian dana perusahaan yang menunjukkan bahwa perusahaan lebih
memilih menggunakan internal financing dalam membiayai investasi dan
mengimplementasikannya sebagai peluang pertumbuhan. Theory pecking
order menyatakan bahwa perusahaan lebih suka pendanaan internal
dibandingkan pendanaan eksternal, hutang yang aman dibandingkan hutang
yang berisiko serta yang terakhir adalah saham biasa (Myers & majluf, 1984
dalam Sugiarto 2009). Teori pecking order yang dibangun berdasarkan
beberapa asumsi menekankan pada pentingnya financial slack yang cukup di
perusahaan guna mendanai proyek-proyek bagus dengan dana internal.
Internal equity diperoleh dari laba ditahan dan depresiasi atau amortisasi.
Hutang diperoleh dari pinjaman kreditur, sedang eksternal equity di peroleh
karena perusahaan menerbitkan saham baru.
Penentuan struktur modal berdasarkan pecking order theory dimulai
ketika arus kas internal perusahaan tidak cukup (defisit) untuk mendanai
investasi real dan dividen, maka perusahaan akan menerbitkan hutang.
79
Chirinko dan Singha (2000) dalam penelitiannya menunjukkan koefisien
Pecking Order secara signifikan lebih kecil dari satu bahkan ketika perusahaan
mengambil keputusan pendanaan secara hierarki sesuai dengan pecking order
theory. Secara rasional, jika defisit perusahaan besar, perusahaan mungkin
mempunyai keterbatasan untuk menggunakan hutang (debt capacity) dan harus
mendanai defisitnya yang tersisa dengan ekuitas. Selain itu, Chirinko dan
Singha (2000) juga menyatakan bahwa keterbatasan untuk menggunakan
hutang akan tinggi ketika perusahaan mempunyai leverage ratio yang tinggi.
Maka dari itu perusahaan mendanai sisa defisit yang tidak bisa didanai oleh
penerbitan hutang melalui ekuitas. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh
Lemmon dan zender (2004), dengan menggunakan kapasitas hutang
perusahaan (firms’ debt capacities) untuk menguji pecking order theory.
Lemmon dan zender (2004) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa
perusahaan yang mempunyai rasio hutang pada level rata-rata tidak
mempunyai keterbatasan untuk menggunakan hutang.
Pecking Order Theory merupakan teori yang memprioritaskan sumber-
sumber pendanaan dari dalam terlebih dahulu. Menurut Wardani et al., (2016)
Pecking Order Theory menyatakan bahwa: (1) perusahaaan menyukai internal
financing (pendanaan dari hasil opersai perusahaan berwujud laba ditahan) dan
(2) apabila pendanaan dari luar (external financing) diperluakan, maka
perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu
dengan menerbitkan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang
80
berkarakteristik opsi (seperti, obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih
belum mencukupi, saham di terbitkan.
2.1.2 Kebijakan Dividen
Dividen merupakan pembayaran dari perusahaan kepada para pemegang
saham atas keuntungan yang diperolehnya, besarnya dividen yang dibagikan
perusahaan ditentukan oleh para pemegang saham pada saat berlangsungnya
RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Adelosa dan Okwong (2009),
kebijakan dividen suatu perusahaan menunjukkan kepada pemegang saham bahwa
perusahaan mengalami keuntungan dan dengan status finansial yang kuat.
Kebijakan dividen merupakan keputusan setelah perusahaan beroperasi dan
memperoleh laba, kebijakan dividen menyangkut masalah penggunaan laba
yang menjadi hak para pemegang saham atau keputusan apakah laba yang
diperoleh perusahaan akan dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen
atau ditahan guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang (Wiagustini,
2010:255).
Pada dasarnya, menurut Afzal dan Rohman (2012: 1-9) laba bersih
perusahaan bisa dibagikan kepada pemilik saham sebagai dividen atau ditahan
untuk membiayai investasi perusahaan. Kebijakan dividen merupakan keputusan
tentang bagaimana penggunaan laba yang menjadi hak dari pemilik saham.
Kebijakan dividen berimbas pada pengelolaan laba, yaitu antara membayar dividen
kepada para pemilik saham atau menginvestasikan kembali dalam perusahaan.
Laba ditahan merupakan salah satu alternatif dari sumber dana yang paling cepat
81
dan murah untuk membiayai pertumbuhan perusahaan, dilain pihak dividen
merupakan arus kas yang disisihkan untuk para pemilik saham (Horne, 2012 : 496).
Dividen adalah pembagian laba kepada para pemilik saham sesuai dengan
jumlah saham yang dimilikinya. Pembagian ini akan mengurangi laba ditahan dan
kas yang tersedia bagi perusahaan, tapi distribusi keuntungan kepada para pemilik
memang adalah tujuan utama suatu bisnis. Beberapa perusahaan mungkin memiliki
Rencana Investasi Ulang Dividen (dividend reinvestment), hal ini memungkinkan
para pemegang saham untuk menggunakan dividennya secara sistematis untuk
membeli sedikit saham yang biasanya tanpa komisi. Dalam beberapa kasus,
investor tidak perlu membayar pajak untuk investasi ulang dividen ini, namun
biasanya perlu membayar komisi (Horne, 2012 : 515).
Dividen merupakan pembagian laba perusahaan kepada para pemegang
saham yang besarnya sebanding dengan jumlah lembar saham yang dimiliki
(Baridwan, 2004:434). Dividen merupakan nilai pendapatan bersih perusahaan
setelah pajak dikurangi dengan laba ditahan yang ditahan sebagai cadangan
perusahaan menurut Ang 1997 (dalam Handayani, 2010:12). Menurut Hanafi
(2010:361), dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang saham,
disamping capital gain. Dividen ini untuk dibagikan kepada para pemegang saham
sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Dividen ditentukan berdasarkan rapat
umum anggota pemegang saham dan jenis pembayarannya tergantung kepada
kebijakan pimpinan. Menurut AL-Shubiri (2011), dividen dapat didefinisikan
sebagai distribusi laba dalam asset nyata diantara para pemegang saham sesuai
dengan proporsi kepemilikan investor. Semakin besar proporsi kepemilikan
82
saham yang investor miliki maka semakin besar pula dividen yang akan investor
dapatkan.
Dividen sebagai pembagian laba kepada para pemegang saham perusahaan
sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik, selain
itu pemegang saham juga dapat mengevaluasi kinerja perusahaan dengan menilai
besarnya dividen yang dibagikan. Bukti empiris ini didukung oleh penjabaran
Copeland dan Weston (2010), menyatakan pembayaran dividen dapat digunakan
sebagai mekanisme monitoring bagi manajemen. Rozeff (1982) dan Easterbrook
(1984) membuktikan bahwa perusahaan yang membagikan dividen lebih tinggi
cenderung lebih dapat mengurangi agency conflict daripada perusahaan yang
pembayaran dividennya lebih rendah (Suharli. 2006).
Frankfurter and Woods (2003), dividen biasanya didefinisikan sebagai
pembagian laba setelah pajak (tahun lalu atau tahun berjalan) dalam bentuk aktiva
riil kepada pemegang saham perusahaan sesuai dengan proporsi kepemilikan saham
perusahaan. Ada empat (4) hal penting dari definisi dividen tersebut yaitu: (1)
bahwa dividen hanya dapat dibagi dari sumber laba setelah pajak dan bukan dari
sumber ekuiti lainnya seperti harga saham; (2) dividen harus dibagikan dalam
bentuk aktiva riil bukan aset keuangan. Sudah merupakan praktek bisnis yang
lazim, perusahaan membagi dividen dalam bentuk uang tunai karena uang tunai
merupakan bentuk aktiva riil yang paling nyaman; (3) para pemegang saham
mendapat pembagian dividen sesuai dengan proporsi kepemilikan saham
perusahaan; (4) bagi para pemegang saham, dividen yang diterimanya merupakan
83
pendapatan yang teratur (reguler income) sehingga dividen merupakan obyek
pajak.
Sudana (2011:167) Kebijakan dividen merupakan bagian dari keputusan
pembelanjaan perusahaan. Khususnya berkaitan dengan pembelanjaan internal
perusahan. Hal ini karena besar kecilnya dividen yang dibagikan akan
mempengaruhi besar kecilnya laba yang ditahan. Kebijakan dividen menurut
Martono dan Harjito (2010:253) merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk
dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di
masa yang akan datang.
Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba akan dibayarkan
sebagai dividen atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Beberapa faktor
penting yang mempengaruhi kebijakan dividen adalah profitabilitas perusahaan,
kesempatan untuk bertumbuh, ukuran perusahaan, earned equity dan kebijakan
pajak (Denis dan Osobov, 2008), selain itu juga, kebijakan dividen adalah bagian
yang tidak terpisahkan dalam keputusan pendanaan perusahaan. Rasio pembayaran
dividen (Dividend Payout Ratio) menentukan jumlah laba yang dapat ditahan dalam
perusahaan sebagai sumber pendanaan, dengan menahan laba saat ini dalam jumlah
yang lebih besar dalam perusahaan juga berarti lebih sedikit uang yang akan
tersedia bagi pembayaran dividen pada saat ini. Jadi, aspek utama dalam kebijakan
dividen perusahaan adalah menentukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran
dividen dengan penambahan laba ditahan perusahaan (James 2007). Rasio yang
digunakan untuk mengetahui kebijakan dividen perusahaan yaitu Dividend Payout
84
Ratio (DPR) yang didapatkan dari perbandingan antara dividen perlembar saham
(dividend per share) dengan laba perlembar saham (earning per share). Dividend
Per Share itu sendiri merupakan perbandingan antara jumlah dividen yang
dibagikan kepada para pemegang saham dengan jumlah saham beredar perusahaan
tersebut (Brigham dan Houston 2010: 240).
Husnan dan Pudjiastuti (2006:297) kebijakan dividen menyangkut masalah
penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham, dan laba tersebut bisa
dibagi sebagai dividen atau laba yang ditahan untuk diinvestasikan kembali.
Hashemijoo et al., (2012) kebijakan dividen mengacu pada kebijakan perusahaan
yang menentukan jumlah pembayaran dividen dan jumlah saldo laba untuk
menginvestasikan kembali dalam proyek-proyek baru dan Hussalney et al.,
(2010) kebijakan dividen merupakan pembagian keuntungan antara pemegang
saham dan perusahaan. Riyanto (2010:265) mendefinisikan kebijakan dividen
bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan antara penggunaan
pendapatan untuk dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau
untuk digunakan di dalam perusahaan, yang berarti laba tersebut harus ditahan di
dalam perusahaan.
Kolb (1983) dalam Handayani (2010:18), kebijakan dividen penting karena
dua alasan, yaitu: 1) Pembayaran dividen mungkin akan mempengaruhi harga
saham. 2) Pendapatan yang ditahan biasanya merupakan sumber tambahan modal
sendiri yang terbesar dan terpenting untuk pertumbuhan perusahaan. Kedua alasan
tersebut merupakan dua sisi kepentingan perusahaan yang kontroversial. Agar
kedua kepentingan itu dapat terpenuhi secara optimal, manajemen perusahaan
85
seharusnya memutuskan secara hati-hati dan teliti kebijakan dividen yang harus
dipilih.
Kebijakan dividen merupakan keputusan mengenai seberapa banyak laba
saat ini yang akan dibayarkan sebagai dividen pengganti dari investasi yang
ditanamkan dan berapa banyak yang dipertahankan untuk investasi kembali
didalam perusahaan (Brigham dan Houston, 2010: 211). Apabila perusahaan
memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang
akan ditahan dan selanjutnya mengurangi sumber dana internal. Sebaliknya jika
perusahaan memilih untuk menahan laba yang diperoleh, maka kemampuan
pembentukan dana internal akan semakin besar.
Kebijakan dividen ini sangat penting bagi perusahaan, karena pembayaran
dividen mungkin mempengaruhi nilai perusahaan dan laba ditahan yang biasanya
merupakan sumber dana internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan
perusahaan. Kebijakan dividen dapat juga didefinisikan sebagai suatu perencanaan
tindakan perusahaan yang harus dituruti ketika keputusan dividen harus dibuat
(Gitman, 2003 dalam Rosdini, 2009:3), sedangkan Lee dan Finerty (1990) dalam
Rosdini (2009) mengartikan kebijakan dividen sebagai suatu keputusan perusahaan
apakah akan membagikan earnings yang dihasilkan kepada para pemegang saham
atau akan menahan earnings untuk kegiatan reinvestasi dalam perusahaan (Rosdini,
2009)
Ross et al., 2009, ada beberapa bentuk kebijakan dividen perusahaan,
seperti bentuk dasar dari dividen kas yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
86
1) Kebijakan konstan
Kebijakan dividen konstan merupakan kebijakan dividen yang membayar
jumlah dividen per lembar saham per tahun relatif sama selama jangka
waktu tertentu. Kebijakan ini banyak diminati oleh pemegang saham, baik
pemilik saham individual maupun korporasi, yang mengaharapkan
penghasilan tetap dari dividen.
2) Kebijakan regular ditambah dividen ekstra.
Kebijakan dividen ini menetapkan suatu jumlah minimal per lembar saham
setiap tahunnya. Apabila keadaan keuangan perusahaan lebih baik maka
perusahaan akan membayar dividen ekstra di atas jumlah minimal dividen
yang telah ditetapkan. Investor beranggapan bahwa dividen ekstra diberikan
karena perusahaan menghasilkan pendapatan lebih besar dari tahun-tahun
sebelumnya dan bersifat tidak permanen.
3) Kebijakan dividen dengan penetapan dividend payout ratio yang konstan.
Perusahaan menentukan jumlah dividend payout ratio yang tetap. Jumlah
dividen yang diterima pemegang saham untuk setiap per-lembar saham
akan berubah sesuai dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan, namun
secara rasio pembayaran adalah tetap.
4) Kebijakan dividen yang fleksibel
Kebijakan dividen ini menetapkan dividend payout ratio yang fleksibel,
disesuaikan dengan kondisi keuangan dan kebijakan keuangan perusahaan
setiap tahunnya.
87
Berdasarkan definisi di atas, kebijakan dividen merupakan suatu rencana
perusahaan dalam memutuskan apakah keuntungan yang diperoleh perusahaan
akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau digunakan kembali
sebagai modal investasi kerja bagi perusahaan.
Kebijakan dividen ini merupakan corporate action yang penting yang harus
dilakukan perusahaan kebijakan tersebut dapat menentukan berapa banyak
keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham. Keuntungan yang akan
diperoleh pemegang saham ini akan menentukan kesejahteraan para pemegang
saham yang merupakan tujuan utama perusahaan. Semakin besar dividen yang
dibagikan kepada pemegang saham, maka kinerja emiten atau perusahaan akan
dianggap semakin baik pula dan pada akhirnya perusahaan yang memiliki kinerja
yang baik dianggap menguntungkan dan tentunya penilaian terhadap perusahaan
tersebut akan semakin baik pula, yang biasanya tercermin melalui tingkat harga
saham perusahaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rozeff (1982) yang
menganggap bahwa dividen nampaknya memiliki atau mengandung informasi
(informational content of dividend) atau sebagai isyarat prospek perusahaan.
2.1.3 Stabilitas Dividen
Stabilitas dividen (Horne dan Wachowicz, 2014: 216-219) adalah
pembayaran dividen yang stabil dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan
kebalikannya adalah pembayaran dividen yang sesuai dengan persentase tetap dari
penghasilan perusahaan. Apabila semua faktor antara dua perusahaan sama tetapi
pembayaran dividennya berbeda, maka harga saham perusahaan yang membayar
dividen secara stabil akan lebih tinggi daripada harga saham perusahaan yang
88
membayar dividen tidak stabil. Kebijakan dividen yang stabil dapat memberikan
kesan kepada investor bahwa perusahaan tersebut mempunyai prospek yang baik
di masa mendatang dan kebanyakan pemegang saham yang hidup dari pendapatan
yang diterima dari dividen. Para investor menghendaki pendapatan periode tertentu
dengan dividen stabil daripada perusahaaan yang dividennya tidak stabil.
Stabilitas dividen merupakan hal yang penting. Laba dan arus kas dapat
berubah-ubah sepanjang waktu, demikian juga peluang investasi. Jadi,
memaksimalkan harga saham mengharuskan perusahaan menyeimbangkan
kebutuhan dana untuk internal dan keinginan para pemegang sahamnya.
Bagaimana keseimbangan ini dapat tercapai? Solusi yang relevan di
antaranya:
a) Setiap perusahaan yang dimiliki publik membuat peramalan keuangan lima
atau sepuluh tahun untuk laba dan dividen. Dan peramalan itu hanya untuk
internal. Tetapi dengan analisis sekuritas, peramalan tersebut dapat
diketahui oleh investor.
b) Kebijakan dividen saat ini dikatakan stabil apabila meningkatkan dividen
pada laju yang mantap.
Kebijakan paling stabil pertama, dari sudut pandang investor, yaitu
kebijakan perusahaan yang tingkat pertumbuhan dividennya dapat
diramalkan, seperti total pengembalian perusahaan itu akan relatif stabil
dalam jangka panjang dan sahamnya merupakan penangkal baik
terhadap kenaikan inflasi.
89
Kebijakan paling stabil kedua, adalah bila pemegang saham mendapat
cukup kepastian bahwa dividen saat ini tidak akan dikurangi, jumlahnya
mungkin tidak bertumbuh pada tingkat yang mantap, tetapi manajemen
mungkin akan mampu menghindari pemotongan dividen.
Situasi paling tidak stabil, yaitu bila laba dan arus kas begitu mudah
berubah sehingga investor tidak dapat mengandalkan perusahaan untuk
mempertahankan dividen saat ini.
c) Biaya ekuitas diminimumkan dan harga saham dimaksimumkan, jika suatu
perusahaan ingim berusaha sedapat mungkin menjaga kestabilan jumlah
dividennya.
1) Penilaian Stabilitas Dividen
Para investor mungkin mau membayar premi (lebih tinggi) untuk
dividen yang stabil karena adanya kandungan informasi dari dividen, keinginan
para investor untuk mendapatkan pendapatan sekarang, dan adanya
pertimbangan hukum.
a. Kandungan informasi
Apabila laba perusahaan turun dan perusahaan tidak mengurangi dividennya,
pasar akan lebih percaya terhadap saham perusahaan tersebut daripada
saham perusahaan yang mengurangi dividennya. Dividen yang stabil dapat
menyampaikan informasi atau pandangan manajemen bahwa di dalam
jangka panjang perusahaaan akan menjadi lebih baik pada saat laba turun.
Jadi, manajemen mampu mempengaruhi harapan para investor melalui
kandungan informasi dari dividen.
90
b. Keinginan pendapatan sekarang
Faktor kedua ini akan mendukung dividen stabil. Para investor
menghendaki pendapatan periode tertentu dengan dividen stabil daripada
perusahaaan yang dividennya tidak stabil, meskipun kedua perusahaan
tersebut mempunyai pola yang sama dari pendapatan dan dividend payout
ratio jangka panjang.
c. Pertimbangan hukum
Faktor ketiga ini adalah tentang aturan hukum dari pemerintah untuk
lembaga-lembaganya yang berinvestasi. Pemerintah hanya
memperbolehkan lembaganya untuk membeli saham perusahaan yang
selalu membayar dividen secara stabil.
2) Dividen Reguler dan Dividen Ekstra
Salah satu cara bagi perusahaan untuk menaikkan distribusi kasnya
kepada pemegang saham dalam periode-periode makmur adalah dengan
mengumumkan dividen ekstra (tambahan) di samping dividen reguler (tetap).
Dividen tambahan adalah pembayaran dividen yang diakibatkan adanya
peristiwa-peristiwa khusus, seperti pendapatan perusahaan yang melebihi
target. Sedangkan dividen reguler adalah dividen yang secara normal
diharapkan akan dibayar oleh perusahaan. Pemberian dividen ekstra secara
khusus cocok bagi perusahaan yang punya laba yang berubah-ubah.
Penggunaaan dividen ekstra memungkinkan perusahaan untuk memelihara
dividen reguler yang stabil dan juga untuk mendistribusikan beberapa imbalan
kemakmuran kepada para pemegang saham. Selain itu juga untuk membawa
91
informasi positif kepada pasar bahwa perusahaan sekarang ini sedang
berprestasi.
3) Pembayaran Dividen Yang Stabil
Perusahaan yang menganut kebijakan untuk membayarkan dividen per
lembar saham dalam jumlah yang stabil cenderung untuk memiliki payout ratio
yang rendah pada saat profit tinggi dan memiliki payout ratio yang tinggi pada
saat profit mengalami penurunan. Wiagustini (2014) Alasan untuk
memberikan dividen yang stabil dengan cara membiarkan payout ratio
berfluktuasi adalah agar harga pasar saham lebih tinggi. Hal ini mudah
dipahami, karena:
Dividen yang berfluktuasi lebih berisiko dari pada dividen yang stabil, oleh
karena itu tingkat discount rate yang lebih rendah akan diterapkan pada
dividen yang stabil sehingga nilai saham lebih tinggi.
Pemegang saham yang mengaharapkan pendapatan dari penerimaaan
dividen akan lebih suka untuk menerima dividen dalam jumlah yang stabil
(dividen minimum) dan mengharapkan adanya premium atas saham itu.
Persyaratan listing surat berharga mensyaratkan dividen yang stabil dan
tidak terputus.
Jika perusahaan memiliki sasaran rasio pembayaran dividen yang stabil
selama ini dan perusahaan dapat meningkatkan rasio tersebut, para investor
akan percaya bahwa manajemen mengumumkan perubahan positif pada
keuntungan yang diharapkan perusahaan. Isyarat yang diberikan kepada
investor adalah bahwa manajemen dan dewan direksi sepenuhnya merasa
92
yakin bahwa kondisi keuangan perusahaan lebih baik daripada yang
direfleksikan pada harga saham (Santhi dan Lee, 2011: 945).
Bagi para investor faktor stabilitas dividen akan lebih menarik dari pada
dividend payout ratio yang tinggi. Stabilitas disini dalam arti tetap
memperhatikan tingkat pertumbuhan perusahaan, yang ditunjukkan oleh
koefesien arah yang positif. Bagi para investor dividen yang stabi merupakan
indicator prospek perusahaan yang stabil pula sehingga risiko perusahaan juga
relatif lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang membayar dividen
tidak stabil (Sartono, 2010).
2.1.4 Dampak Pengumuman Dividen Terhadap Harga Saham
Penggunaan dividen sebagai signaling, cenderung berupa bagaimana
informasi dapat diteruskan ke pasar daripada berupa teori tentang kebijakan dividen
optimal. Pengumuman yang menyatakan bahwa suatu perusahaan telah
memutuskan untuk menaikkan dividen per-saham mungkin diartikan oleh penanam
modal sebagai berita yang baik, karena dividen per-saham yang lebih tinggi
menunjukkan bahwa perusahaan yakin arus kas pada masa mendatang akan cukup
besar untuk menanggung tingkat dividen yang tinggi (Subramaniam, et al., 2011).
Manajer, sebagai orang dalam yang mempunyai jalur informasi
monopolistik tentang arus kas perusahaan, akan memilih untuk menciptakan
signaling yang jelas mengenai masa depan perusahaan apabila manajer mempunyai
dorongan yang tepat untuk melakukannya. Ross et al., (2009:23-40) membuktikan
bahwa kenaikan pada dividen yang dibayarkan (atau dalam penggunaan hutang)
dapat menimbulkan signaling yang jelas dan tidak ada duanya pada pasar bahwa
93
prospek perusahaan telah mengalami kemajuan.
Untuk membuat suatu signal menjadi bermanfaat (Farooq, 2012), ada 4
keadaan yang harus dipenuhi:
1) Manajemen harus selalu mempunyai dorongan yang tepat untuk
mengirimkan signal yang jujur, meskipun beritanya buruk.
2) Signal dari suatu perusahaan yang sukses tidak mudah ditiru oleh
pesaingnya yang kurang sukses.
3) Signal itu harus mempunyai hubungan yang cukup berarti dengan
kejadian yang dapat diamati (misalnya dividen yang lebih tinggi saat ini
akan dihubungkan dengan arus kas yang tinggi pada masa mendatang).
4) Tidak ada cara menekan biaya yang lebih efektif daripada mengirimkan
signal yang sama.
Pendekatan incentive signalling approach menunjukkan bahwa manajemen
dapat memilih pengeluaran pembiayaan yang sesungguhnya seperti dividen (atau
pembayaran hutang) sebagai alat untuk mengirimkan signal yang nyata pada
masyarakat mengenai hasil kerja perusahaan pada masa mendatang. Signal ini tidak
dapat ditiru oleh perusahaan yang kurang berhasil karena perusahaan seperti ini
tidak mempunyai arus kas yang cukup untuk mendukung kegiatan keinginan
manajer dan karena manajer mempunyai dorongan yang tepat untuk mengatakan
kebenaran.
Bhattacharya (1979: 259-270) mengembangkan suatu model pengirim
signaling dividen yang mirip dengan model milik Ross et al., (2009: 23-40), yaitu
model yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan
94
menggunakan dividen untuk memberi signal walaupun menanggung kerugian
akibat pajak pada saat melaksanakannya. Apabila penanam modal percaya bahwa
perusahaan yang membayar dividen per-saham yang lebih besar mempunyai nilai
yang lebih tinggi, maka kenaikan dividen yang tidak diduga akan dianggap sebagai
signal yang menggembirakan. Rupanya dividen memberikan informasi tentang
nilai dari perusahaan yang tidak dapat disampaikan sepenuhnya oleh media lain
seperti laporan tahunan, prakiraan laba atau pengujian oleh analis jaminan. Bagi
perusahaan yang kurang sukses, meniru signal ini akan mahal, karena perusahaan
harus menangung biaya ekstra sehubungan dengan pengumpulan dana dari luar
untuk membayar dividen kas, dengan demikian, memberi signal melalui nilai
dividen memberi hasil yang positf dan dapat merupakan pengganti kerugian pajak
sebagai akibat dari pendapatan dividen (dibandingkan dengan keuntungan modal).
Perubahan dividen mempunyai dampak pada nilai saham, maka penting
bagi perubahan itu untuk memberikan informasi mengenai arus kas masa depan,
namun itu saja tidak cukup. Informasi yang sama dapat diberikan pada penanam
modal melalui sumber-sumber lain (Horne & Wachowicz, 2012: 501-503). Tetapi
menurut Hatta dalam Wijaya dan Wibawa (2010: 1), terdapat sejumlah perdebatan
mengenai bagaimana kebijakan dividen mempengaruhi nilai perusahaan. Pendapat
pertama menyatakan bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai
perusahaan, yang disebut dengan teori irrelevansi dividen. Pendapat kedua
menyatakan bahwa dividen yang tinggi akan meningkatkan nilai perusahaan, yang
disebut dengan Bird in The Hand Theory. Pendapat ketiga menyatakan bahwa
semakin tinggi dividen payout ratio suatu perusahaan, maka nilai perusahaan
95
tersebut akan semakin rendah.
Pendapat Hatta tersebut dikemukakan juga oleh Keown et al., (2008) dalam
Juma’h dan Olivares (2008 : 23) bahwa terdapat tiga perbedaan mendasar dari
pendapat- pendapat tentang pengaruh kebijakan dividen terhadap nilai saham.
Pendapat tersebut adalah:
1) Kebijakan dividen tidak relevan
Pendapat ini didasari oleh dua pemikiran. Pertama, diasumsikan
bahwa keputusan investasi dan penggunaan hutang telah dibuat dan keduanya
tidak mempengaruhi jumlah dividen yang akan dibayarkan. Kedua, ada pasar
sempurna, jadi :
a. Investor dapat menjual dan membeli saham tanpa kerugian biaya transaksi,
seperti komisi untuk broker. Dalam pasar yang sempurna, informasi
tersebar luas dengan demikian investor bisa membuat pertimbangan dan
keputusan oleh investor sendiri.
b. Masing-masing perusahaan bisa mengeluarkan saham tanpa berbagai
macam biaya.
c. Tidak ada pajak pendapatan pribadi maupun pajak perusahaan.
d. Informasi yang lengkap selau tersedia, dengan demikian investor tidak
melihat pengumuman khusus tentang pembayaran dividen sebagai
indikator penting dari kondisi perusahaan.
e. Tidak ada konflik antara manajemen dengan para pemegang saham.
Berdasarkan pada asumsi-asumsi tersebut, kebijakan dividen tidak
memiliki korelasi dengan harga saham. Para investor hanya melihat total
96
pengembalian, yang ditetapkan oleh keputusan investasi perusahaan. Investor
tidak peduli apakah hasil tersebut datang dari dividen atau capital gain.
2) Dividen yang lebih tinggi akan meningkatkan harga saham
Pendapat kedua mengatakan bahwa meningkatkan pembayaran
dividen akan meningkatkan nilai perusahaan. Moddiglini & Miller
mengatakan bahwa dalam pasar yang sempurna para investor bisa menjual
saham perusahaan dan menginvestasikan kembali dividen, dalam jangka
panjang, hasil dari penjualan saham dan reinvestasi tidaklah berbeda dengan
hasil yang diperoleh dari dividen jika dibayarkan secara teratur. Realitanya,
dalam kenyataan, pasar tidaklah sempurna. Kondisi tersebut membuat para
investor tidak tertarik untuk menjual saham investor. Para investor lebih
menyukai dividen dibandingkan menjual saham. Besarnya dividen yang
dibayarkan merupakan informasi tentang potensi perusahaan.
Berdasarkan pada dividen hari ini, para investor dan para pemegang
saham bisa memperkirakan remunation perusahaan di masa yang akan dating,
dengan harapan hasilnya lebih tinggi, para investor akan menghargai saham
investor lebih tinggi juga.
3) Dividen yang lebih rendah akan meningkatkan harga saham
Teori ketiga tentang pengaruh dari kebijakan dividen terhadap harga
saham mengatakan bahwa dividen sebenarnya menyebabkan kerugian bagi
para investor. Teori ini berdasarkan kepada perbedaan pajak penghasilan
dengan pajak perolehan modal (capital gain). Pajak dividen lebih tinggi
97
daripada pajak perolehan modal, dengan demikian para investor lebih
menyukai gain daripada capital gain dengan harapan hasil bersih investor
akan besar.
Pengaruh dividen terhadap harga saham terjadi karena dividen
memberikan informasi atau isyarat mengenai keuntungan perusahaan. Bukti
pemberian isyarat keuangan sejalan dengan pengaruh pengumuman dividen:
peningkatan dividen mengakibatkan kelebihan positif pengembalian saham,
sedangkan penurunan dividen mengakibatkan kelebihan negatif (Patricia et
al., 2000: 35-44).
Jika perusahaan memiliki sasaran rasio pembayaran dividen yang
stabil selama ini dan perusahaan dapat meningkatkan rasio tersebut, para
investor akan percaya bahwa manajemen mengumumkan perubahan positif
pada keuntungan yang diharapkan perusahaan. Isyarat yang diberikan kepada
investor adalah bahwa manajemen dan dewan direksi sepenuhnya merasa
yakin bahwa kondisi keuangan perusahaan lebih baik daripada yang
direfleksikan pada harga saham (Santhi dan Lee, 2011: 945).
Peningkatan dividen akan dapat memberikan pengaruh positif pada
harga saham, hal ini menunjukkan bahwa laba akuntansi yang dilaporkan
perusahaan bukan merupakan refleksi yang tepat terhadap laba ekonomis
perusahaan. Sampai pada batasan di mana dividen dapat memberikan
informasi mengenai laba ekonomi yang tidak dapat diberikan oleh laba yang
dilaporkan, harga saham akan terpengaruh (Horne, 2012: 501-503).
Arthur J Keown seperti yang dikutip berdasarkan jurnal menurut
98
Bhattacharya (1979: 259-270), apabila penanam modal percaya bahwa
perusahaan yang membayar dividen per-saham yang lebih besar mempunyai
nilai yang lebih tinggi, maka kenaikan dividen yang tidak diduga akan
dianggap sebagai isyarat yang menggembirakan.
2.1.5 Determinan Kebijakan Dividen
2.1.5.1 Aliran kas bebas
Jensen (1986) aliran kas bebas adalah kelebihan kas yang dipelukan
untuk mendanai semua proyek yang memiliki net present value (NPV) positif
setelah membagi dividen, sedangkan pengertian arus kas bebas menurut
Niswonger, Warren, Reeve, Fess dalam buku Accounting yang diterjemahkan
oleh Sirait dan Gunawan (2000:61) adalah sebagai berikut:“Arus kas bebas
(aliran kas bebas) adalah ukuran arus kas operasi yang tersedia untuk tujuan
perusahaan setelah menyediakan tambahan aktiva tetap yang cukup guna
mempertahankan kapasitas produktif saat ini dan dividen.”
Keown et al., (2008:47) aliran kas bebas adalah jumlah uang tunai yang
tersedia setelah investasi pada modal kerja operasional bersih dan aktiva tetap.
Uang tunai ini tersedia untuk didistribusikan pada pemilik perusahaan dan
kreditor, sedangkan menurut Gitman (2009:131) mendefinisikan bahwa aliran
kas bebas (aliran kas bebas) adalah jumlah arus kas yang tersedia bagi investor
(kreditur dan pemilik) setelah perusahaan telah memenuhi semua kebutuhan
operasi dan dibayar untuk investasi pada aktiva tetap bersih dan aktiva lancar.
Brigham dan Houston (2010:65) mendefinisikan aliran kas bebas sebagai arus
kas yang tersedia untuk didistribusikan kepada seluruh investor (pemegang
99
saham dan pemilik hutang) setelah perusahaan menempatkan seluruh
investasinya pada aktiva tetap, produk–produk baru dan modal kerja yang
dibutuhkan untuk mempertahankan operasi yang sedang berjalan.
Arus kas bebas atau aliran kas bebas sangat penting bagi perusahaan
karena memungkinkan perusahaan memanfaatkan peluang yang bisa
meningkatkan nilai pemegang saham (Guinan, 2010 : 131). Guinan (2010 : 131)
“Aliran kas bebas adalah arus kas yang menggambarkan berapa kas yang mampu
dihasilkan perusahaan setelah mengeluarkan sejumlah uang untuk menjaga dan
mengembangkan asetnya”, sedangkan menurut Prihadi (2012 : 220) Aliran kas
bebas adalah “Arus kas yang tersedia untuk pihak yang berkepentingan terhadap
perusahaan. Pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan disini dalam
pengertian penyandang dana, yaitu kredit dan investor”. Murhadi (2013:48)
Aliran kas bebas merupakan kas yang tersedia di perusahaan yang dapat
digunakan untuk berbagai aktivitas. Konsep aliran kas bebas memfokuskan pada
kas yang dihasilkan dari aktivitas operasi setelah digunakan untuk kebutuhan
reinvestasi”.
Aliran kas bebas mempunyai manfaat bagi pemegang saham atau pemilik
dan manajer. Manfaat bagi pemegang saham adalah aliran kas bebas akan
dibagikan dalam bentuk dividen. Dividen merupakan bentuk keuntungan yang
secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, oleh
karena itu pembagian dividen sangat diharapkan oleh pemegang saham. Besar
kecilnya jumlah dividen yang diterima oleh pemegang saham proporsional
dengan jumlah kepemilikan pemegang saham dalam perusahaan dalam bentuk
100
lembar sahamerapa manfaat aliran kas bebas bagi manajer selaku pengelola
perusahaan antara lain:
1) Aliran kas bebas dapat digunakan untuk mendanai kegiatan investasi
perusahaan yang mempunyai net present value positif (Ross et al., 2009).
2) Manajer dapat menggunakan aliran kas bebas untuk membiayai fasilitas-
fasilitas seperti fasilitas kantor dan fasilitas pribadi (Karsana dan Supriyadi,
2005).
3) Aliran kas bebas dapat digunakan untuk menambah investasi dalam
perusahaan dalam bentuk laba yang ditahan.
Pemegang saham dan manajer selalu menghendaki agar aliran kas bebas
yang dihasilkan perusahaan selalu meningkat dari tahun ke tahun karena dengan
adanya peningkatan aliran kas bebas yang dihasilkan akan sejalan dengan
meningkatnya kesejahteraan dan manfaat yang akan diperoleh baik bagi
pemegang saham maupun bagi manajer.
Beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa aliran kas bebas atau
arus kas bebas pada suatu perusahaan merupakan jumlah arus kas yang tersedia
bagi investor penyedia hutang (kreditur) dan ekuitas (pemilik) setelah
perusahaan telah memenuhi semua kebutuhan operasi dan dibayar untuk
investasi pada aktiva tetap bersih dan aktiva lancar. Itu semua merupakan
penjumlahan dari jumlah arus kas bersih yang tersedia bagi kreditur dan pemilik
saham selama periode berjalan. Aliran kas bebas penting karena memungkinkan
perusahaan memanfaatkan peluang yang bisa meningkatkan nilai pemegang
101
saham, apabila tidak ada kas, maka sangat sulit untuk mengembangkan produk
baru, melakukan akuisisi, membayar dividen dan mengurangi jumlah hutang.
Aliran kas bebas didefinisikan oleh Jensen (1986) sebagai kelebihan dana
kas setelah dipakai untuk mendanai seluruh proyek yang memberikan net
present value positif yang didiskontokan pada tingkat biaya modal relevan.
Menurut Ahmed dan Javid (2008) mengungkapkan bahwa perusahaan yang
menguntungkan dengan laba bersih lebih stabil mampu memberikan arus kas
bebas yang lebih besar dan karena itu mampu membayar dividen yang lebih
besar. Tersedianya aliran kas bebas, maka semakin besar pula potensi untuk
pembayaran dividen. Inti aliran kas bebas oleh Jensen terdapat masalah
keagenan antara manajer dengan pemegang saham atas distribusi aliran kas
bebas, atau aliran kas bebas menuntut adanya biaya agensi yang tinggi karena
diperlukan pengawasan terhadap aliran kas bebas yang dikelola perusahaan, hal
ini tidak akan terjadi jika aliran kas bebas dibagikan kepada pihak pemegang
saham dalam bentuk dividen.
Keown et al., (2010) mengatakan bahwa jika perusahaan mempunyai
aliran kas bebas, akan lebih baik bila dibagikan pada pemegang saham dalam
bentuk dividen, hal ini bertujuan untuk menghindari pengambilan keputusan
yang buruk bagi pihak manajemen, yang akhirnya berakibat pada naiknya
agency cost. Pernyataan ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan
Ahmadpour et al., (2006), Noroozani and Kheradmand (2014)¸ Hejazi dan
Moshtaghin (2014), Kargar dan Ahmadi (2013), Miko dan Kamardin (2015),
Cao dan Chaipoopirutana (2015), Wasike dan Ambrose (2015), Issa (2015),
102
Suartawan dan Yasa (2016), Paramita (2015), Arfan dan Maywindlan (2013),
Fong dan Astuti (2015), Suci dan Andayani (2016) yang menyatakan bahwa
aliran kas bebas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
Perusahaan yang memiliki aliran kas bebas dalam jumlah yang memadai
akan lebih baik dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen untuk
menghindari agency problem, hal ini dimaksudkan agar aliran kas bebas yang
ada tidak digunakan untuk sesuatu atau proyek-proyek yang tidak
menguntungkan (wisted on unprofitable) dengan demikian ketersediaan dana
dapat dipakai untuk kemakmuran pemegang saham. Begitu juga dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Parsian and Koloukhi (2014), Utami dan Inanga
(2011), Lopolusi (2013), Leo dan Putra (2014), Sindhu (2014), Parsian dan
Koloukhi (2014), Thanatawee (2013), Rehman dan Takumi (2012), Al-Kuwari
(2009), Puspitasari dan Darsono (2014), Osegbue et al., (2014) yang
menunjukkan aliran kas bebas tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
2.1.5.2 Leverage
Penggunaan sumber-sumber pembiayaan perusahaan, baik yang
merupakan sumber pembiayaan jangka pendek maupun sumber pembiayaan
jangka panjang akan menimbulkan suatu efek yang biasa disebut dengan
Leverage. Gibson (1990) menyatakan bahwa “the use of debt, called Leverage,
can greatly affect the level and degree of change is the common earning”, artinya
penggunaan hutang, disebut penggungkit, sangat dapat memengaruhi tingkat
derajat dan tingkat perubahaan pendapatan saham.
103
Schall dan Harley (1992) mendefinisikan Leverage sebagai “the degree
of firm borrowing”, artinya Leverage sebagai tingkat pinjaman perusahaan,
Leverage merupakan penggunaan biaya tetap dalam usaha untuk meningkatkan
profitabilitas (Horne dan Wachowicz, 2012 : 182). Jika perusahaan
menggunakan sumber pembelanjaan dari luar (modal asing), biaya tetap dapat
berupa bunga pinjaman, sedangkan bila perusahaan menggunakan mesin-mesin,
maka perusahaan harus menanggung biya tetap berupa penyusutan mesin
(depresiasi).
Harahap (2013) Leverage adalah rasio yang menggambarkan hubungan
antara hutang perusahaan terhadap modal, rasio ini dapat melihat seberapa jauh
perusahaan dibiayai oleh hutang atau pihak luar dengan kemampuan perusahaan
yang digambarkan oleh modal, sedangkan menurut Fahmi (2012) Leverage
merupakan ukuran yang dipakai dalam menganalisis laporan keuangan untuk
memperlihatkan besarnya jaminan yang tersedia untuk kreditur.
Fahmi (2012) rasio Leverage merupakan rasio yang mengukur seberapa
besar perusahaan dibiayai dengan hutang, sedangkan dalam arti luas Kasmir
(2012) mengatakan bahwa rasio Leverage digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka
panjang maupun jangka pendek apabila perusahaan dilikuidasi. Syamsudin
(2009) Leverage merupakan rasio yang dapat menunjukkan hubungan pinjaman
jangka panjang yang diberikan oleh kreditur dengan jumlah modal sendiri yang
diberikan oleh pemilik perusahaan.
104
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dinyatakan bahwa Leverage
digunakan oleh suatu perusahaan bukan hanya untuk membiayai aktiva, modal
serta menanggung beban tetap melainkan juga untuk memperbesar penghasilan.
Brigham dan Houston (2010:140) rasio Leverage merupakan “rasio yang
mengukur sejauh mana perusahaan menggunakan pendanaan melalui hutang
(financial Leverage). Brigham (2006:101) seberapa jauh perusahaan
menggunakan hutang (financial Leverage) akan memiliki 3 (tiga) implikasi
penting yaitu:
1) Dengan memperoleh dana melalui hutang, para pemegang saham dapat
mempertahankan kendali pemegang saham atas perusahaan tersebut dengan
sekaligus membatasi investasi yang investor berikan,
2) Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri,
sebagai suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari
jumlah modal yang diberikan pemegang saham, maka semakin kecil risiko
yang dihadapi kreditor.
3) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana
hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka
pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar, atau diungkit
(Leverage).
Ada beberapa macam rasio Leverage, antara lain debt ratio (debt to total
asset), debt to equity ratio, long term debt to equity, dan time interested earned.
Leverage dalam penelitian ini diukur dengan Debt to Equity ratio dikarenakan
DER mencerminkan besarnya proporsi antara total debt (total hutang) dengan
105
total modal sendiri. Total debt merupakan total kewajiban (baik hutang jangka
pendek maupun jangka panjang), sedangkan total modal sendiri merupakan total
modal saham yang disetor dan laba yang ditahan. Rasio ini menunjukan
komposisi dari total hutang terhadap total ekuitas. Semakin tinggi DER
menunjukan komposisi total hutang semakin besar dibandingkan dengan total
ekuitas, sehingga dampaknya beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur)
semakin besar (Ang, 1997).
Ang (1997) DER dapat digunakan untuk melihat struktur modal suatu
perusahaan karena DER yang tinggi menandakan srtuktur permodalan usaha
lebih banyak memanfaatkan hutang –hutang relatif terhadap ekuitas. Semakin
tinggi DER mencerminkan risiko perusahaan relatif tinggi karena perusahaan
dalam operasi relatif tergantung terhadap hutang dan perusahaan memiliki
kewajiban untuk membayar bunga hutang akibatnya para investor cenderung
menghindari saham-saham yang memiliki nilai DER yang tinggi. Penggunaan
hutang tidak selalu berdampak negatif bagi perusahaan karena pada kondisi
tertentu penggunanaan hutang. Perusahaan dengan hutang yang kecil sekilas
terlihat menguntungkan namun hal ini tidaklah benar, kita perlu
mempertimbangkan jumlah uang yang telah diinvestasikan oleh pemegang
saham, sedangkan perusahaan yang dalam operasinya menggunakan hutang
akan memiliki EBIT yang sama dalam setiap kondisi. Walaupun dalam
penggunaan hutang ini perusahaan akan dikenakan bunga dalam kondisi
usahanya namun bunga ini akan dikurangkan dengan EBIT untuk mendapatkan
laba kena pajak. Bunga ini juga dapat menjadi pengurang pajak, penggunaan
106
hutang akan mengurangi kewajiban pajak dan menyisakan laba operasi yang
lebih besar bagi investor dan perusahaan, hal ini dikarenakan dari pengertian
Debt to equity ratio (DER) itu sendiri, dimana Horne dan Wachoviz (2012:145)
“Debt to equity is computed by simply divideng the total debt of the firm
(lincluding current liabilities) by its shareholders equity”. Debt to equity ratio
merupakan perhitungan sederhana yang membandingkan total hutang
perusahaan dari modal pemegang saham.
Sawir (2010:13) menjelaskan bahwa debt to equity ratio adalah “Rasio
yang menggambarkan perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan
perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut
untuk memenuhi seluruh kewajibannya. ”Kreditur melihat ekuitas atau dana
yang diberikan oleh pemilik sebagai batas pengaman, dengan menghimpun dana
melalui hutang maka pemegang saham dapat mengendalikan perusahaan dengan
jumlah investasi ekuitas yang terbatas. Rasio ini dapat menggambarkan potensi
manfaat dan risiko yang berasal dari penggunaan hutang.
Husnan (2010:70) menjelaskan bahwa debt to equity ratio menunjukan
perbandingan antara hutang dengan modal sendiri. Menurut Gibson (2008:260)
“Debt equity ratio is another computation thats determines the entity’s long-
term debt-paying ability.”Debt to Equity Ratio mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh
berapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Menurut
Riyanto (2010:23), salah satu rasio yang termasuk dalam rasio solvabilitas atau
Leverage adalah debt to equity ratio. Rasio ini digunakan untuk mengetahui
107
berapa bagian dari setiap modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk
keseluruhan hutang perusahaan atau untuk menilai banyaknya hutang yang
dipergunakan oleh perusahaan.
Peningkatan hutang pada gilirannya akan mempengaruhi besar kecilnya
laba bersih yang tersedia bagi para pemegang saham termasuk dividend yang
akan diterima, karena kewajiban tersebut lebih diprioritaskan daripada
pembagian dividend. Jika beban hutang semakin tinggi, maka kemampuan
perusahaan untuk membagi dividend akan semakin rendah, sehingga DER
mempunyai pengaruh negatif dengan dividend payout ratio. Debt to equity ratio
dihitung dengan total hutang dibagi dengan total ekuitas (Jensen et al., 2012:59).
Penggunaan hutang yang terlalu tinggi akan membahayakan perusahaan
karena perusahaan akan masuk dalam kategori ekstreme Leverage (hutang
ekstrem) yaitu perusahaan terjebak dalam tingkat hutang yang tinggi dan sulit
untuk melepaskan beban hutang tersebut. Kasmir (2011:157) mendefinisikan
Debt to Equity Ratio adalah rasio yang digunakan untuk menilai hutang dengan
ekuitas. Rasio ini dicari dengan membandingkan antara seluruh hutang,
termasuk hutang lancar dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk
mengetahui jumlah dana yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik
perusahaan. Rasio ini berfungsi untuk mengetahui setiap rupiah modal sendiri
yang dijadikan untuk jaminan hutang.
Pendanaan perusahaan melalui hutang erat kaitannya dengan struktur
modal dan hutang dalam hal ini Leverage merupakan sumber pendanaan
ekternal (external financing) untuk membiayai kegiatan perusahaan. Menurut
108
Brigham dan Houston (2010:140) rasio Leverage merupakan rasio yang
mengukur sejauh mana perusahaan menggunakan pendanaan melalui hutang
(financial Leverage). Leverage pada penelitian ini diproksikan dengan rasio
Debt to Equity Ratio. Menurut Gill, Biger, dan Tibrewala (2010) mengatakan
bahwa DER adalah rasio keuangan yang mengindikasikan proporsi ekuitas dan
hutang yang digunakan untuk kegiatan pendanaan aset perusahaan.
Rasio DER yang tinggi berarti bahwa perusahaan lebih banyak
menggunakan hutang sebagai sumber pencarian dana. Penggunaan hutang
sebagai sumber pendanaan akan menimbulkan beban bunga yang kemudian
akan menurunkan laba perusahaan, sehingga semakin kecil jumlah hutang maka
semakin kecil pula beban bunga yang harus ditanggung oleh perusahaan.
Sedikitnya beban bunga yang ditanggung oleh perusahaan akan membuat laba
perusahaan menjadi lebih besar, dengan meningkatnya laba perusahaan maka
kemampuan perusahaan untuk memberikan dividen juga menjadi lebih tinggi.
Selain adanya beban bunga, pokok hutang yang tinggi juga akan menyebabkan
ketersediaan kas yang dapat dibagikan sebagai dividen berkurang hal ini
dikarenakan kas tersebut akan digunakan untuk pelunasan hutang. Pokok hutang
yang rendah berarti bahwa kas yang digunakan untuk melunasi hutang lebih
sedikit dan hal ini berarti bahwa kas yang tersedia dapat digunakan untuk
membagikan dividen, sehingga akan meningkatkan kemampuan perusahaan
untuk membayarkan dividen.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dikatakan bahwa debt to equity ratio
adalah rasio yang menunjukan perbandingan antara hutang yang dimiliki
109
perusahaan dan modal sendiri. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio ini maka
akan semakin sulit perusahaan menjamin kewajibannya dengan modal sendiri
dan sebaliknya apabila rasio ini semakin kecil maka kemampuan perusahaan
untuk menjamin kewajibannya akan semakin besar. Semakin besar proporsi
hutang yang digunakan untuk struktur modal suatu perusahaan, maka akan
semakin besar jumlah kewajiban.
Penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Banga (2010), Al-Kuwari
(2009), Ikbal et al., (2011), Husam-Aldin dan Al-Malkawi (2007), Sanjari dan
Zarei (2015), Sunday et.al., (2015), Jaryono et al., (2011), Awad (2015),
Nerviana (2015), Nghi (2014), Parsian dan Koloukhi (2014), Nuhu et al., (2014),
Banerjee (2016), Abbas et al., (2016), Kajola et al., (2015), Aqel (2016),
Osegbue (2014), Setiawan et al., (2016) yang menyatakan bahwa Leverage
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen, berikutnya
penelitian yang dilakukan oleh Mehta (2012), dan Zameer et al., (2013), Kargar
dan Ahmadi (2013), Rafique (2012), Alex dan Krishnan (2015), Maladjian dan
Khoury (2014), Ngan (2013), Gul et al., (2012), Shabibi dan Ramesh (2011),
Pasaribu et al., (2014), Devanadhen dan Karthik (2015), Sigo dan Selvam
(2013), Mubin et al.,., (2014), Roy (2015), Farizi dan Yani (2012), Segoro dan
Priani (2015), Risqia dan Sumiati (2013), Anhar dan Abdullah (2014), Setiawan
dan Yuyetta (2013), Putri (2014), Kuniawan et al., (2016) dari hasil
penelitiannya menyatakan bahwa Leverage tidak berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan dividen.
110
Penelitian Jensen et al. (1992) didukung oleh Megginson (1997),
Rafailov dan Trifonova (2011), Dita et al., (2011), Darmawan (2012), Vo dan
Nguyen (2014), Tamimi dan Takhtaei (2014), Al-Sabah (2015), Nnadi et al.,
(2013), Forti et al., (2015), Afza dan Mirza (2011), Puspitasari dan Darsono
(2014), Arfan dan Maywindlan (2013), Sugiarto (2015), Kuzucu (2015),
Thanatawee (2013), Moradi et al., (2012), Kumar dan Waheed (2015), Ranti
(2013) yang mengatakan bahwa Leverage mempengaruhi kebijakan dividen
secara negatif. Koefisien negatif yang signifikan berarti bahwa perusahaan
dengan pinjaman lebih banyak, maka akan membayar dividen lebih sedikit.
Temuan ini menegaskan hipotesis bahwa perusahaan lebih banyak
menggunakan hutang memiliki konflik kuat kepentingan antara pemegang
saham dan pihak pemberi pinjaman dan antara pemegang saham. Dividen
tersebut dihindari karena memperparah konflik tersebut.
Perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan berusaha
mengurangi agency cost of debt dengan mengurangi hutangnya. Pengurangan
hutang dapat dilakukan dengan membiayai investasinya dengan sumber dana
internal sehingga pemegang saham akan merelakan dividennya untuk
membiayai investasinya. Peningkatan penggunaan hutang akan menurunkan
tingkat konflik antar manager dan pemilik sehingga pemilik tidak terlalu
menuntut pembayaran dividen yang tinggi. Kebijakan hutang memiliki pengaruh
negatif terhadap kebijakan dividen, karena tingkat penggunaan hutang yang
relatif besar maka perusahaan akan membayar dividen yang tidak terlalu tinggi.
111
Tindakan ini dilakukan untuk memperhatikan kepentingan kreditur dan
pemegang saham.
2.1.5.3 Profitabilitas
Brigham dan Houston (2010:107) Profitabilitas adalah hasil akhir dari
sejumlah kebijakan dan keputusan yang dilakukan oleh perusahaan. Rasio
profitabilitas adalah sekelompok rasio yang menunjukkan gabungan efek-efek
dari likuiditas, manajemen aktiva, dan hutang pada hasil-hasil operasi. Rasio
profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan dari kegiatan bisnis yang dilakukan.
Rasio profitabilitas merupakan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan
keputusan yang dilakukan oleh perusahaan. Sartono (2010) profitabilitas adalah
kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Perusahaan yang mempunyai
profitabilitas yang baik bisa membayar dividen atau meningkatkan dividen. Bagi
pimpinan perusahaan profitabilitas dijadikan sebagai tolak ukur untuk
mengetahui keberhasilan perusahaannya dan bagi investor profitabilitas dapat
dijadikan sebagai sinyal dalam berinvestasi pada perusahaan.
Pendapat Sartono (2010:122) menyatakan Profitabilitas adalah
Kempauan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan,
total aktiva maupun modal sendiri. Menurut Harahap (2008:304),
mengemukakan bahwa Profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan
mendapatkan laba melalui semua kemampuan, dan sumber yang ada seperti
kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan
112
sebagainya, sedangkan Brigham dan Houston (2010:107), menyatakan bahwa:
“Profitabilitas adalah hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan yang
dilakukan oleh perusahaan.”
Dari pengertian profitabilitas diatas, dapat disimpulkan bahwa
profitabilitas adalah pengukur kemampuan perusahaan atas laba yang dihasilkan
dari berbagai aktivitas perusahaan melalui sejumlah kebijakan dan keputusan
yang dilakukan oleh perusahaan. Rasio profitabilitas merupakan salah satu alat
analisis dari rasio keuangan yang bertujuan untuk melakukan evaluasi
bagaimana suatu perusahaan berprestasi dan bagaimana menempatkan posisinya
di masa yang akan datang. Rasio profitabilitas yang merupakan salah satu
indikator dalam analisis rasio keuangan pun sebaiknya tidak dikerjakan secara
mekanistis, akan tetapi harus dengan pertimbangan sebagai bagian dari proses
evaluasi yang lebih luas.
Gitman (2009:65), “Terdapat banyak ukuran profitabilitas, yang
keseluruhannya merupakan ukuran untuk mengevaluasi keuntungan perusahaan
yang berhubungan dengan penjualan, tingkat aktiva tertentu, atau investasi
pemilik. Tanpa laba, perusahaan tidak dapat memperoleh modal dari luar.
Pemilik, kreditor, dan kemampuan membayar perusahaan menjadi hal yang
sangat penting dalam meningkatkan laba, dimana hal tersebut akan berpengaruh
terhadap pendapatan perusahaan.”
Perusahaan yang mampu mengelola asetnya secara efektif dan efisien
cenderung menghasilkan kinerja keuangan yang baik. Hal ini direalisasikan
dengan adanya laba yang tinggi. Profitabilitas dalam penelitian ini diukur
113
dengan menggunakan ROA. Return on asset menunjukkan perusahaan
menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan (Sartono, 2010). Investor
akan menyukai nilai ROA yang tinggi, karena perusahaan dengan nilai ROA
yang tinggi mampu menghasilkan tingkat keuntungan lebih besar (Andriyani,
2008).
Return On Asset adalah rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas
investasi (Mardiyanto, 2010:78). Rasio ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen dalam memperoleh keuntungan (laba) secara
keseluruhan (Dendawijaya, 2013:63). Semakin besar ROA, semakin besar pula
tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan tersebut dan semakin baik pula
posisi perusahaan tersebut dari segi penggunaan asset.
Return on Asset merupakan rasio keuntungan bersih pajak yang juga
berarti suatu ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian dari aset
yang dimiliki perusahaan (Bambang, 2010:79). Return on assets merupakan
salah satu rasio profitabilitas yang dapat mengukur kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Return on assets
merupakan perbandingan antara laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) dengan
total aktiva yang dimiliki perusahaan. Return on assets yang positif
menunjukkan bahwa dari total aktiva yang dipergunakan untuk beroperasi,
perusahaan mampu memberikan laba bagi perusahaan. Apabila return on assets
yang negatif menunjukkan bahwa dari total aktiva yang dipergunakan,
perusahaan mendapatkan kerugian. Jadi jika suatu perusahaan mempunyai ROA
114
yang tinggi maka perusahaan tersebut berpeluang besar dalam meningkatkan
pertumbuhan, tetapi jika total aktiva yang digunakan perusahaan tidak
memberikan laba maka perusahaan akan mengalami kerugian dan akan
menghambat pertumbuhan.
Pada dasarnya, perusahaan akan meningkatkan pembayaran dividen
apabila manajemen yakin bahwa perusahaan akan mencapai tingkat
profitabilitas tinggi di masa yang akan datang dan akan menurunkan dividen
apabila tidak terdapat arus kas yang mencukupi. Signalling theory menyatakan
bahwa perusahaan melakukan penyesuaian dividen untuk menunjukkan sinyal
akan prospek perusahaan. Lintner (1956) berpendapat bahwa perusahaan
cenderung untuk menaikkan dividen manakala manajer percaya bahwa laba
secara permanen mengalami kenaikan, selain Lintner, pendapat mengenai
dividen sebagai signal bagi prospek perusahaan dikemukakan oleh Ross (1977),
Bhattacarya (1979), Miller dan Rock (1985), serta John dan William (1985).
Return on Asset (ROA) merupakan salah satu rasio keuangan yang
mengukur profitabilitas perusahaan. Marlina dan Danica (2009) mengatakan
bahwa ROA menunjukkan kemampuan modal yang diinvestasikan dalam total
aktiva untuk menghasilkan laba perusahaan, dengan melihat rasio ROA dapat
diketahui bagaimana perusahaan menggunakan aset untuk menghasilkan laba.
Menurut Wasike dan Ambrose (2015) mengatakan bahwa, perusahaan yang
menghasilkan keuntungan yang besar cenderung untuk membayar dividen yang
tinggi.
115
Return On Asset yang tinggi berarti bahwa perusahaan dapat
menggunakan aset secara maksimal untuk mendapatkan keuntungan, sehingga
semakin tinggi ROA berarti laba yang dimiliki oleh perusahaan juga semakin
tinggi. Laba perusahaan yang tinggi akan membuat perusahaan memiliki lebih
banyak dana yang dapat digunakan baik untuk membagikan dividen ataupun
untuk ditahan. Peningkatan dana ini akan meningkatkan kemampuan perusahaan
untuk memberikan dividen. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mehta (2012), Al-Kuwari (2009), Husam-Aldin dan Al-Malkawi (2007),
Kowalewski et.al., (2007), Wang et.al., (2011), Sigo dan Selvam (2013),
Setiawan dan Phua (2013), Kargar dan Ahmadi (2013), Musiega et al., (2013),
Awad (2015), Leo dan Putra (2014), Sandy dan Asyik (2013), Marietta dan
Sampurno (2013), Denis & Osobov (2008), Ahmed & Javed (2009), Shubiri
(2011), Kim & Jang (2010), Patra et al., (2012), Velnampy et al., (2014),
Ajanthan (2013), Livoreka et al., (2015), Cao dan Chaipoopirutana (2015),
Thanatawee (2013), Rafailov dan Trifonova (2011), Mubin et al., (2014), Abbas
et al., (2016), Lai et al., (2016), Kajola et al., (2015), Bushra dan Mirza (2015),
Rasyid et al., (2015) mengatakan bahwa ROA berpengaruh positif dan
signifikan terhadap DPR. Menurut Bushra dan Mirza (2015) menunjukkan
bahwa ROA dan ROE memiliki dampak positif dan sangat signifikan terhadap
pendapatan dan pembayaran dividen.
Perusahaan yang telah menghasilkan keuntungan yang besar, lebih
senang untuk mengumumkan dividen karena yakin tentang prospek perusahaan
dan kemampuan untuk mempertahankan pembayaran dividen di masa depan
116
(Ahmad dan Javid, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Banga
(2010), Darmawan (2011), Ikbal et al., (2011), Taofiqkurochman dan Konadi
(2012), Rafique (2012), Lopolusi (2013), Arif dan Akbar (2013), Ahmed (2015),
Parsian dan Koloukhi (2014), Arhad et al., (2013), Nuhu et al., (2014), Tariq
(2015), Maladjian dan Khoury (2014), Aqel (2016), Osegbue et al., (2014), Suci
dan Andayani (2016), Susanto et al., (2016), Kuniawan et al., (2016), Setiawan
et al., (2016) menemukan hasil yang berbeda bahwa profitabilitas tidak
berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen. Hal tersebut dikarenakan
apabila perusahaan memiliki laba yang semakin tinggi maka perusahaan akan
menggunakan laba tersebut untuk kegiatan operasi perusahaan atau untuk
investasi sehingga akan mengurangi pembayaran dividen.
2.1.5.4 Likuiditas
Likuiditas merupakan salah satu faktor yang menentukan sukses atau
kegagalan perusahaan. Penyediaan kebutuhan uang tunai dan sumber-sumber
untuk memenuhi kebutuhan tersebut ikut menentukan sampai seberapakah
perusahaan itu menanggung risiko. Menurut Wild et al., (2005: 185) likuiditas
merupakan kemampuan untuk mengubah aktiva menjadi kas atau kemampuan
untuk memperoleh kas. Jangka pendek secara konvensional dianggap periode
hingga satu tahun meskipun jangka waktu ini dikaitkan dengan siklus operasi
normal suatu perusahaan (periode waktu yang mencakup siklus
pembelianproduksi-penjualan-penagihan).
Munawir (2002:31), “likuiditas adalah menunjukkan kemampuan suatu
perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera
117
dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan
pada saat ditagih”. Secara umum pengertian likuiditas (likuiditas) mengacu pada
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Suatu
perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar sedemikian besarnya
sehingga mampu memenuhi segala kewajiban finansialnya yang harus segera
dipenuhi, dikatakan bahwa perusahaan tersebut adalah likuid, dan sebaliknya
yang tidak mempunyai kemampuan membayar adalah likuid.
Pengertian likuiditas menurut Brigham dan Houston (2010:134),
mengatakan bahwa : Aset likuid merupakan asset yang diperdagangkan di pasar
aktif sehingga dapat dikonversi dengan cepat menjadi kas pada harga pasar yang
berlaku, sedangkan posisi likuiditas suatu perusahaan berkaitan dengan
pertanyaan, apakah perusahaan mampu melunasi hutangnya ketika hutang
tersebut jatuh tempo di tahun berikutnya.
Wild dan Subramanyam (2012:43) likuiditas, adalah: “Untuk
mengevaluasi kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek. Pengertian
likuiditas menurut Kasmir (2011:129) adalah: rasio yang menggambarkan
kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban (hutang) jangka pendek. Artinya
apabila perusahaan ditagih, maka akan mampu memenuhi hutang (membayar)
tersebut terutama hutang yang sudah jatuh tempo
Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan
untuk membayar semua kewajiban financial jangka pendek pada saat jatuh
tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia. Likuiditas tidak hanya
berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga
118
berkaitan dengan kemampuan untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi
uang kas. Rasio lancar (Current ratio) adalah ukuran yang umum digunakan atas
solvensi jangka pendek, kemampuan suatu perusahaan memenuhi kebutuhan
hutang ketika jatuh tempo (Fahmi, 2011:65).
Kasmir (2011:134) menyatakan bahwa rasio lancar merupakan rasio
untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka
pendek atau hutang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih secara
keseluruhan. Dalam hal ini para kreditur memperhatikan tingkat likuiditas
perusahaan. Ketika perusahaan mendapatkan dana dari para kreditur, maka
secara langsung tingkat rasio lancar perusahaan akan menurun. Begitu juga
sebaliknya, jika perusahaan melunasi kewajiban jangka pendeknya, maka rasio
lancar pun akan meningkat. Jumingan (2011:123) menuturkan bahwa rasio
lancar adalah rasio yang umum digunakan dalam analisis laporan keuangan.
Rasio lancar memberikan ukuran kasar tentang tingkat likuiditas perusahaan.
Current ratio diperoleh dengan menghitung total aktiva lancar dibagi
dengan kewajiban jangka pendek. Rasio ini menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk membayar kewajiban jangka pendeknya dengan
menggunakan aktiva lancarnya. Berdasarkan penjelasan di atas dan juga dari
bird in hand theory maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat
likuiditas suatu perusahaan maka tingkat dividen yang diterima investor juga
semakin besar.
Pengukuran likuiditas yang penting bukan besar kecilnya perbedaan
aktiva lancar dengan hutang lancar melainkan harus dilihat pada hubungannya
119
atau perbandingannya yang mencerminkan kemampuan membelikan hutang.
Current ratio yang tinggi mungkin menunjukkan adanya tingkat kebutuhan atau
adanya unsur aktiva lancar yang rendah likuiditasnya (seperti persediaan) yang
berlebihan.
Dividen erat kaitannya dengan arus kas perusahaan, salah satu cara untuk
mengukur arus kas dengan menggunakan likuiditas, maka likuiditas perusahaan
merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka
pendeknya tepat pada waktunya. Di dalam kaitannya dengan kebijakan dividen,
likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividen
kepada para pemegang saham. Pembayaran dividen tergantung pada arus kas
perusahaan, yang mencerminkan perusahaan dalam membayar dividen
(Maverick, 2015). Hal ini dikarenakan, untuk membayar dividen diperlukan
ketersediaan dana dalam hal ini adalah kas yang dimiliki oleh perusahaan.
Menurut Wasike dan Ambrose (2015) mengatakan bahwa sebuah posisi
likuiditas yang baik akan mampu meningkatkan kemampuan perusahaan untuk
membayar dividen.
Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam kebijakan
dividen. Karena dividen bagi perusahaan merupakan arus kas keluar, maka
semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan akan
semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen (Sartono,
2010). Semakin besar current ratio menunjukkan semakin tinggi kemampuan
perusahaan memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Sehingga makin tingginya
current ratio juga menunjukkan keyakinan investor terhadap kemampuan
120
perusahaan membayar dividen yang dijanjikan. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sanjari and Zarei (2015), Ahmed (2015), Zameer
et al., (2013), Musiega et al., (2013), Ahmed (2015), Kumar dan Waheed (2015),
Samuel dan Gbedi (2010), Ahmed dan Javid (2008), Rehman dan Takumi
(2012), Kuzucu (2015), Roy (2015), Abbas (2016), Farizi (2012), Badu (2013)
yang menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kebijakan dividen.
Penelitian yang dilakukan oleh Zameeret al.,(2013), Parsian dan
Koloukhi (2014), Alam dan Hossain (2012), Tariq (2015), Devanadhen dan
Karthik (2015), Rafailov dan Trifonova (2011), Widhicahyono dan Sudiyatno
(2015), Forti et al., (2015), Aqel (2016) yang menunjukkan likuiditas
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen, sedangkan
Sunday et.al., (2015), Lopolusi (2013), Sandy dan Asyik (2013), Afriani et al.,
(2015), Nerviana (2015), Adu-Boanyah et al., (2013), Asih (2014), Maladjian
dan Khoury (2014), Hossain et al., (2014), Susanto et al, (2016), Liwe (2012),
Kuniawan et al., (2016) justru menemukan bahwa likuiditas tidak berpengaruh
signifikan terhadap kebijakan dividen.
2.1.5.5 Struktur kepemilikan
Struktur kepemilikan dapat diklasifikasikan menjadi blok kepemilikan
eksternal (external block ownership) dan blok kepemilikan internal (insider
block ownership) atau kepemilikan manajerial (managerial block ownership).
Struktur kepemilikan dalam suatu perusahaan mengimplikasikan adanya
pengorbanan dalam penggunaan sumber daya secara efisien untuk
121
memaksimumkan profit yang diperoleh, di mana kepemilikan yang tersebar
akan mengurangi insentif bagi manajer untuk memaksimumkan profit. Dalam
penelitian terbaru, struktur kepemilikan dihubungkan dengan kerangka legal.
Pada negara yang perlindungan terhadap investornya lemah, pemusatan
kepemilikan menjadi pengganti dari perlindungan legal. Dengan demikian,
pemegang saham mayoritas dapat mengharapkan untuk memperoleh
pengembalian investasi investor (La Porta et al., 1998).
Struktur kepemilikan adalah perbandingan antara jumlah saham yang
dimiliki oleh orang dalam (insider) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
investor (Jahera dan Aurburn, 1996). Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa struktur kepemilikan perusahaan memiliki hubungan atau pengaruh
terhadap kinerja perusahaan. Kontrol yang berbeda dari kepemilikan manajerial
dan kepemilikan institusional adalah yang menjadi pengaruh terhadap kinerja
keuangan perusahaan. Istilah struktur kepemilikan juga dipakai untuk
menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting dalam struktur modal tidak
hanya ditentukan oleh jumlah hutang dan ekuitas, tetapi persentase kepemilikan
antara manajer dan institusional. Berdasarkan proporsi saham yang dimiliki,
struktur kepemilikan dikelompokkan menjadi:
1) Kepemilikan Manajerial
Manajer mempunyai kecenderungan untuk menggunakan hutang yang
tinggi bukan atas dasar maksimalisasi nilai perusahaan melainkan untuk
kepentingan oportunistik manajer (Ikbal et al., 2011). Investasi dengan risiko
tinggi menyebabkan peningkatan pada biaya keagenan (agency cost).
122
Peningkatan biaya keagenan berpengaruh pada penurunan nilai perusahaan.
Kepemilikan manajerial adalah persentase kepemilikan saham oleh pihak
manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan
(direktur dan komisaris).
Kepemilikan manajerial mensejajarkan kepentingan antara manajemen
dan pemegang saham, sehingga segala hasil atas keputusan manajer akan
dirasakan oleh pihak manajer secara langsung. Manajer ikut memiliki
perusahaan dan tidak akan mengambil keputusan yang oportunistik dalam
kebijakan hutang dengan meningkatkan jumlah hutang. Manajer akan berusaha
untuk mengurangi biaya keagenan dan akan meningkatkan nilai perusahaan.
2) Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional merupakan persentase kepemilikan saham
oleh investor institusional seperti perusahaan investasi, bank, perusahaan
asuransi maupun kepemilikan lembaga dan perusahaan lain. Kepemilikan
institusional akan mendorong pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja
perusahaan. Hal ini berarti semakin besar persentase saham yang dimiliki oleh
investor.
Kepemilikan institusional akan menyebabkan usaha monitoring menjadi
semakin efektif karena dapat mengendalikan perilaku oportunistik yang
dilakukan oleh para manajer (Jensen, 1986). Tindakan monitoring tesebut akan
mengurangi biaya keagenan karena memungkinkan perusahaan menggunakan
tingkat hutang yang lebih rendah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
financial distress dan kebangkrutan perusahaan (Crutchley et al, 1999).
123
Semakin besar persentase saham yang dimiliki oleh institutional
investors akan menyebabkan monitoring menjadi semakin efektif, melalui
pengendalian perilaku oportunistik para manajer (Bathala et al., 1994 dalam
Wahidahwati, 2001). Struktur kepemilikan dapat dibedakan menurut dua sudut
pandang yang berbeda (Ituriaga dan Zans, 1998 dalam Faizal, 2004) yaitu:
a. Pendekatan keagenan: struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme
untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang
saham.
b. Pendekatan informasi asimetri: struktur kepemilikan sebagai salah satu cara
untuk mengurangi ketidak seimbangan informasi antara insider dan outsider
melalui pengungkapan informasi.
Pengertian struktur kepemilikan yang dikemukakan oleh Sugiarto (2009)
adalah: ”Struktur kepemilikan (struktur kepemilikan) adalah struktur
kepemilikan saham, yaitu perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang
dalam (insiders) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor. Atau dengan
kata lain struktur kepemilikan saham adalah proporsi kepemilikan institusional
dan kepemilikan manajemen dalam kepemilikan saham perusahaan. Dalam
menjalankan kegiatannya, suatu perusahaan diwakili oleh direksi (agents) yang
ditunjuk oleh pemegang saham (principals)”
Struktur kepemilikan merupakan jenis institusi atau perusahaan yang
memegang saham terbesar dalam suatu perusahaan (Wahyudi dan Pawestri,
2006). Struktur kepemilikan dapat berupa investor individual, pemerintah, dan
institusi swasta. Struktur kepemilikan terbagi dalam beberapa kategori. Secara
124
spesifik kategori struktur kepemilikan meliputi kepemilikan oleh institusi
domestik, institusi asing, pemerintah, karyawan dan individual domestik.
Struktur kepemilikan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam memonitor
perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya. Struktur kepemilikan
dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang
nantinya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Agency problem dapat
dikurangi dengan adanya struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan merupakan
suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dan pemegang
saham (Faisal, 2005).
Jensen dan Meckling (1976) dalam Faisal (2005) menyatakan bahwa
kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme
corporate governance yang dapat mengendalikan masalah keagenan. Proporsi
jumlah kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan ada
kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham (Faisal,
2005), sedangkan pemegang saham institusional memiliki keahlian yang lebih
dibandingkan dengan investor individu, terutama pemegang saham institusional
mayoritas atau diatas 5%. Pemegang saham institusional besar diasumsikan
memiliki orientasi investasi jangka panjang. Kepemilikan institusional
umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan (Faisal, 2005).
Wahyudi dan Pawestri (2006) menemukan bahwa struktur kepemilikan
manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajer dan pemegang saham,
sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang diambil serta
menanggung kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang
125
salah. Penelitian ini tidak menemukan adanya pengaruh struktur kepemilikan
institusional terhadap keputusan keuangan maupun nilai perusahaan. Menurut
Sugiarto (2009:59) adalah: ”Struktur kepemilikan (struktur kepemilikan) adalah
struktur kepemilikan saham, yaitu perbandingan jumlah saham yang dimiliki
oleh orang dalam (insiders) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor.
Struktur kepemilikan saham adalah proporsi kepemilikan institusional dan
kepemilikan manajemen dalam kepemilikan saham perusahaan. Dalam
menjalankan kegiatannya, suatu perusahaan diwakili oleh direksi (agents) yang
ditunjuk oleh pemegang saham (principals)”.
Struktur kepemilikan dapat berupa kepemilikan publik, kepemilikan
manajerial dan kepemilikan institusional. Penelitian yang dilakukan oleh Afza
(2010) menyatakan bahwa struktur kepemilikan yaitu kepemilikan individu dan
kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap pembayaran dividen. Hal
ini menjelaskan bahwa struktur kepemilikan atas saham perusahaan memberikan
pilihan keputusan yang lain untuk melakukan kegiatan perusahaan di masa
sekarang dan masa depan. Kepemilikan manajerial adalah pemegang saham
yang berasal dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan perusahaan (Direktur dan Komisaris). Kepemilikan manajerial,
diukur sesuai dengan proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajerial
(Tarjo dan Jogiyanto Hartono, 2003).
Abdullah (2001) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang dimiliki
manajemen meningkat, maka manajer akan semakin berhati-hati dalam
menjalankan aktivitas operasionalnya, hal tersebut dapat menurunkan dividen
126
dengan asumsi perusahaan sedang melakukan ekspansi usaha. Hal ini
berbanding dengan yang dikatakan oleh Rozeff (1982) menyatakan bahwa
kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial digunakan sebagai subtitusi untuk
mengurangi biaya keagenan. Perusahaan dengan menetapkan presentase
kepemilikan manajerial yang besar, akan membayarkan dividen dalam jumlah
yang besar sedangkan pada presentase kepemilikan manajerial yang kecil, akan
cenderung menetapkan dividen dalam jumlah yang kecil. Kepemilikan saham
oleh manajemen merupakan insentif bagi para manajer untuk meningkatkan
kinerja perusahaan dan manajer akan menggunakan hutang secara optimal
sehingga akan meminimumkan biaya keagenan (Jensen dan Meckling, 1976).
Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan bahwa agency cost akan
rendah didalam perusahaan dengan kepemilikan manajerial
(managerial ownership) yang tinggi, karena hal ini memungkinkan adanya
penyatuan antara kepentingan pemegang saham dengan kepentingan manajer
yang dalam hal ini berfungsi sebagai agent dan sekaligus sebagai principal.
Rasionalnya adalah bahwa dengan insider ownership yang tinggi agency
problem menjadi rendah antara manajer dengan pemegang saham. Sementara
penelitian mengenai hubungan struktur kepemilikan dengan kebijakan dividen
yang dilakukan oleh Husam-Aldin dan Al-Malkawi (2007), Taofiqkurochman
dan Konadi (2012), Nasrum (2013), Zameer et al., (2013), Hidayah (2013), Vo
dan Nguyen (2014), Rasyid et al., (2015), Ali dan Miftahurrohman (2014),
Maskiyah dan Wahjudi (2012), Arshad et al., (2013), Al-Gharaibeh et al.,
(2013), Thanatawee (2013), Mardiyati et al., (2014), Tariq (2015), Rizkia dan
127
Sumiati (2013), Setiawan et al., (2016), Rasyid et al., (2015) menunjukkan
bahwa struktur kepemilikan atau struktur kepemilikan memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
Vo and Nguyen (2014) kepemilikan manajerial ditemukan memiliki
dampak positif pada dividen. Ini berarti bahwa perusahaan dengan tingkat dari
kepemilikan manajerial yang lebih tinggi secara nyata mengetahui akan
mendapatkan tingkat dividen yang lebih besar. Penelitian yang dilakukan oleh
Ikbal et al., (2011), Ullah et al., (2012), Kristianti (2013), Darmawan (2012),
Miko dan Kamardin (2015), Ibrahim dan Shuaibu (2016), Widhicahyono dan
Sudiyatno (2015), Hossai et al., (2014), Bushra dan Mirza (2015) yang
menemukan bahwa struktur kepemilikan berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kebijakan dividen . Sedangkan Gupta dan Banga (2010), Roy (2015),
Nnadi et al.,., (2013), Fong dan Astuti (2015) menyatakan bahwa struktur
kepemilikan atau struktur kepemilikan tidak memiliki pengaruh signifikan
terhadap kebijakan dividen.
2.1.5.6 Perputaran aktiva
Pengukuran rasio aktivitas (activity ratio) perusahaan bisa dilihat
seberapa besar aktivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumber dananya.
Semakin efektif dalam memanfaatkan dana, semakin cepat perputaran dana.
Menurut Fahmi (2011:132) rasio aktivitas adalah rasio yang menggambarkan
sejauh mana suatu perusahaan mempergunakan sumber daya yang dimilikinya
guna menunjang aktivitas perusahaan, di mana penggunaan aktivitas ini
dilakukan sangat maksimal dengan maksud memperoleh hasil yang maksimal,
128
sedangkan menurut Horne dan Wachowicz (2012:172) rasio aktivitas adalah
rasio yang mengukur bagaimana perusahaan menggunakan assetnya, dan
selanjutnya menurut Harmono (2011:234) rasio aktivitas adalah mengukur
tingkat efektivitas perusahaan dalam mengoperasikan aktiva mencakup
perputaran pihutang, perputaran persediaan, dan perputaran total aktiva.
Rasio Aktivitas merupakan rasio yang mengukur seberapa efektif
sebuah perusahaan mengatur asetnya dan dapat diukur melalui perputaran aktiva
yakni dengan membagi penjualan dengan total aset (Brigham dan Houston,
2010:139). Sudana (2011:22) : “Perputaran aktiva mengukur efektivitas
penggunaan seluruh aktiva dalam menghasilkan penjualan. Semakin besar rasio
ini berarti semakin efektif pengelolaan seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan,
sedangkan menurut Agnes (2001:56) perputaran aktiva adalah sebagai berikut :
“Rasio anatara jumlah aktiva yang digunakan dengan jumlah penjualan yang
diperoleh selama periode tertentu”.
Husnan dan Pudjiastuti (2010:75) menyatakan bahwa Perputaran aktiva
merupakan suatu rasio yang mengukur seberapa banyak penjualan bisa
diciptakan dari setiap rupiah aktiva yang dimiliki, sedangkan menurut Brigham
dan Houston (2010:100) menyatakan bahwa Perputaran aktiva merupakan rasio
yang mengukur perputaran dari seluruh aktiva perusahaan, rasio ini dihitung
dengan cara membagi penjualan dengan total aktiva. Menurut Syamsuddin
(2004:62) menyatakan bahwa Perputaran aktiva merupakan tingkat efisiensi
penggunaan keseluruhan aktiva perusahaan didalam menghasilkan volume
penjualan tertentu. Sedangkan menurut Sutrisno (2012:221) menyatakna bahwa
129
Perputaran aktiva merupakan ukuran efektivitas pemanfaatan aktiva dalam
menghasilkan penjualan. Semakin besar perputaran aktiva semakin efektif
perusahaan mengolah aktivanya.
Besarnya perputaran aktiva bermanfaat bagi pertumbuhan perusahaan
untuk memeriksa apakah pada kenyataannya perusahaan tumbuh dalam proporsi
pendapatan penjualan. Pada umumnya, perusahaan yang memiliki keuntungan
rendah biasanya memiliki rasio perputaran aktiva tinggi, sementara perusahaan
yang keuntungannya tinggi memiliki perputaran aktiva rendah. Beberapa
industri, perputaran aktiva biasanya tinggi karena dalam industri ini ada
persaingan harga yang sengit. Dengan kata lain untuk bisa memperoleh
penjualan yang tinggi sebuah perusahaan harus bekerja keras memutar asetnya.
Kasmir (2014:185), TATO atau perputaran total asset merupakan rasio
yang digunakan untuk mengukur perputaran semua aktiva yang dimiliki
perusahaan dan mengukur berapa jumlah penjualan yang diperoleh dari tiap
rupiah aktiva. Harahap (2013:309), perputaran aktiva menunjukkan perputaran
total aktiva diukur dari volume penjualan dengan kata lain seberapa jauh
kemampuan semua aktiva menciptakan penjualan. Pendapat lainnya menurut
Fahmi (2011:135), perputaran aktiva, rasio ini melihat sejauh mana keseluruhan
aset yang dimiliki oleh perusahaan terjadi perputaran secara efektif. Menurut
Hanafi dan Halim (2010:81) Perputaran aktiva adalah rasio untuk menghitung
efektivitas penggunaan total aktiva. Rasio yang tinggi biasanya menunjukan
manajemen yang baik, sebaliknya rasio yang rendah harus membuat manajemen
mengevaluasi strategi, pemasaran, dan pengeluaran modalnya (investasi).
130
Semakin tinggi perputaran aktiva ini berarti semakin efektif aktiva
tersebut dalam menghasilkan pendapatan. Hal ini berarti mendorong
kemampuan perusahaan dalam membagikan dividen, sebaliknya semakin
rendah tingkat perputaran asset perusahaan maka semakin rendah kemampuan
perusahaan dalam membagikan dividen. Jika rasio ini rendah maka ada
kemungkinan perusahaan menggunakan asset dibawah kapasitas, sehingga
perusahaan harus berusaha untuk meningkatkan harga jual. Masing-masing jenis
perusahaan memiliki karakteristik yang berbeda terhadap kepemilikan asset ini.
Apabila dalam menganalisis rasio TATO selama beberapa periode
menunjukkan suatu trend yang cenderung meningkat, memberikan gambaran
bahwa semakin efisien penggunaan aktiva. Perputaran aktiva dipengaruhi oleh
besar kecilnya penjualan dan total aktiva, baik lancar maupun aktiva tetap.
Karena itu, TATO dapat diperbesar dengan menambah aktiva pada satu sisi dan
pada sisi lain diusahakan agar penjualan dapat meningkat relatif lebih besar dari
peningkatan aktiva atau dengan mengurangi penjualan disertai dengan
pengurangan relatif terhadap aktiva, (Leunupun, 2003).
Total asset turnover merupakan rasio yang menggambarkan perputaran
aktiva diukur dari volume penjualan. Jadi semakin besar rasio ini semakin baik
yang berarti bahwa aktiva dapat lebih cepat berputar dan meraih laba dan
menunjukkan semakin efisien penggunaan keseluruhan aktiva dalam
menghasilkan penjualan. Ang (1997) semakin besar total perputaran aktiva akan
semakin baik, karena semakin efisien seluruh aktiva yang digunakan dalam
131
menunjang kegiatan. Jumlah asset yang sama dapat memperbesar volume
penjualan apabila assets turnover ditingkatkan atau diperbesar.
Rasio Aktivitas merupakan rasio yang mengukur seberapa efektif
sebuah perusahaan mengatur asetnya dan dapat diukur melalui perputaran aktiva
(TATO) yakni dengan membagi penjualan dengan total aset (Brigham dan
Houston, 2010:139). Perputaran aktiva menggambarkan kemampuan
perusahaan menghasilkan penjualan menggunakan asset yang ada. Sari dan
Budiasih (2014) menyatakan bahwa TATO adalah rasio yang menunjukkan
efisiensi perusahaan dalam menggunakan asset yang dimiliki agar menghasilkan
volume penjualan tertentu. Semakin tinggi rasio TATO, maka semakin efisien
pula penggunaan keseluruhan aset perusahaan dalam menghasilkan penjualan
sehingga penjualan perusahaan akan menjadi lebih besar. Jika penjualan yang
dimiliki oleh perusahaan besar dan tidak terdapat kenaikan beban, maka laba
yang dimiliki oleh perusahaan juga akan menjadi lebih besar. Laba yang lebih
besar akan menyebabkan laba yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham
juga semakin besar sehingga kemampuan perusahaan untuk membagikan
dividen juga mengalami peningkatan.
Perusahaan yang pendapatannya stabil cenderung membagikan
dividen lebih besar dibanding dengan perusahaan yang pendapatanya
tidak stabil (Sutrisno, 2012:267). Semakin tinggi perputaran aktiva perusahaan
berarti semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam membagikan
dividennya (Amalia, 2013). Perputaran aktiva berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kebijakan dividen ditemukan oleh Ike (2014), Rafailov dan
132
Trifonova (2011), Kuniawan et al., (2016), Marlim dan Aririfin (2015), Purnami
dan Artini (2016), Fuadi dan Satini (2015) menyatakan bahwa perputaran aktiva
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen, perusahaan
dengan manajemen aset yang lebih efisien, maka akan membayar dividen lebih
sering. Hasil yang berbeda ditemukan oleh Pasaribu et al., (2014), Dewi
(2013), Umi (2014), bahwa total perputaran aktiva berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen.
Umi (2014) arah pengaruh yang negatif dari hasil temuan ini
dikarenakan perusahaan tidak membagikan dividen tinggi karena perusahaan
membutuhkan dana internal untuk ekspansi perusahaan dan tambahan modal
untuk membiayai aktivitas perusahaan sehingga perusahaan cenderung menahan
labanya dibandingkan harus membagikan dividen kepada para pemegang
saham. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Nerviana (2015), Asih (2014),
Farizi dan Yani (2012), Winarto (2015) menunjukkan bahwa total perputaran
aktiva tidak mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen.
2.1.6 Variabel Moderasi (Kontingensi)
Variabel moderasi (kontingensi) merupakan variabel yang menentukan kuat
atau lemahnya hubungan antara variabel bebas (independen) dan variabel terikat
(dependen) atau variabel yang memiliki efek kontingensi (contingent effect).
Perubahan dalam variabel bebas (independen) secara langsung mengakibatkan
perubahan dalam variabel terikat (dependen), tetapi kuat atau lemahnya akibat
perubahan tersebut bergantung pada kondisi tertentu. Kondisi tertentu inilah yang
disebut dengan variabel moderasi (kontingensi) (Silalahi, 2012:137)
133
Variabel moderasi (kontingensi) menentukan kuat atau lemahnya hubungan
atau pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Jika kondisi
variabel moderasi tidak konsusif, hubungan variabel independen dan variabel
dependen akan lemah atau menurun, dan sebaliknya, jika kondisi variabel moderasi
kondusif, hubungan antara variabel independen dan dependen akan kuat atau
meninggi. Peningkatan dalam variabel moderasi memperkuat hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen, dan penurunan dalam variabel
moderasi melemahkan kekuatan hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen (Silalahi, 2012:138). Variabel Moderasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Collateralizable Asset, Umur perusahaan, Self Finance (SFR), Earning
Volatility dan Investment Opportunity Set.
2.1.6.1 Collateralizable Asset
Collateral assets adalah asset perusahaan yang dapat digunakan sebagai
jaminan peminjam. Kreditur seringkali meminta jaminan berupa aset ketika
memberi pinjaman kepada perusahaan yang membutuhkan pendanaan.
Collateral assets dapat diukur dengan membagi antara aset tetap terhadap total
aset. Tingginya jaminan yang dimiliki perusahaan akan mengurangi konflik
kepentingan antara pemegang saham dengan kreditur, sehingga kemungkinan
perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah yang besar karena tidak
adanya tekanan dari pihak kreditur (Fauz dan Rosidi, 2007).
Adanya pembayaran dividen yang tinggi akan mengakibatkan laba
ditahan kemungkinan berkurang, sehingga perusahaan perlu untuk melakukan
pembiayaan melalui hutang kepada kreditor. Titman dan Wessels (1988)
134
mengemukakan bahwa perusahaan yang memiliki lebih banyak aset yang
bersifat collateral memiliki agency problem yang lebih kecil antara kreditor
dengan pemegang saham karena aset demikian bisa berfungsi sebagai jaminan
atas hutang. Mengingat collateralizable assets berfungsi memperkecil agency
problem maka diharapkan besarnya collateralizable assets yang dimiliki oleh
perusahaan akan berhubungan positif dengan dividen.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi dan Baidori (2008) serta
Pujiastuti (2008) menunjukkan hasil bahwa collateralizable assets berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen yang diukur dengan variabel dividend payout
ratio. Pengaruh positif tersebut bermakna bahwa semakin besar collateralizable
assets akan mengakibatkan perusahaan menaikkan pembayaran dividen.
Besar kecilnya perusahaan membayarkan dividen kepada pemegang
saham tergantung kebijakan dividen masing-masing perusahaan dan didasarkan
atas pertimbangan beberapa faktor. Fauz dan Rosidi (2007) mengungkapkan
bahwa collateral assets berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Hal ini
dikarenakan collateral assets yang merupakan aset perusahaan dapat digunakan
sebagai jaminan peminjaman, sehingga perusahaan yang mempunyai collateral
assets yang lebih akan menghadapi masalah yang lebih sedikit antara pemegang
saham dengan pemegang obligasi, sehingga perusahaan dapat membayar
dividen dalam jumlah besar (Mollah, 2011).
Berdasarkan teori agensi, perusahaan dengan collateral assets yang
tinggi akan mengurangi konflik kepentingan antara pemegang saham dengan
kreditur, sehingga perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah besar,
135
sebaliknya semakin rendah collateral assets yang dimiliki perusahaaan akan
meningkatkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditur,
sehingga kreditur akan menghalangi perusahaan untuk membayar dividen dalam
jumlah besar kepada pemegang saham karena takut pihutang investor tidak
terbayar. Hal ini dikarenakan tidak adanya aset jaminan yang digunakan untuk
melunasi hutang (Fauz dan Rosidi, 2008).
Collateralizable assets adalah aset-aset perusahaan yang dapat
digunakan sebagai jaminan hutang. Variabel ini diukur dengan membandingkan
fixed Assets terhadap total assets. Berdasarkan teori agensi (Agency Theory),
`perusahaan dengan collateral assets yang tinggi akan mengurangi konflik
kepentingan antara pemegang saham dengan kreditur, sehingga perusahaan
dapat membayar dividen dalam jumlah besar. Penelitian Ahmadpour et al.,.,
(2006), Fauz dan Rosidi (2008), Santoso (2012), Arfan dan Maywindlan (2013),
Natalia dan Kusumastuti (2012), Darmayanti dan Mustanda (2016) menyatakan
bahwa collateralizable assets sebagai proksi untuk mengatasi konflik antara
pemegang saham dan kreditur, mempunyai hubungan positif signifikan antara
collateralizable assets terhadap rasio pembayaran dividen. Pengaruh positif
tersebut bermakna bahwa semakin besar collateralizable assets akan
mengakibatkan perusahaan menaikan pembayaran dividen.
Tingginya jaminan yang dimiliki perusahaan akan mengurangi konflik
kepentingan antara pemegang saham dengan kreditur, sehingga kemungkinan
perusahaan dapat membayar dividen dalam jumlah yang besar karena tidak
adanya tekanan dari pihak kreditur, dan sebaliknya semakin rendah collateral
136
assets yang dimiliki perusahaaan akan meningkatkan konflik kepentingan
antara pemegang saham dengan kreditur, sehingga kreditur akan menghalangi
perusahaan untuk membayar dividen dalam jumlah besar kepada pemegang
saham karena takut pihutang kreditur tidak terbayar, hal ini dikarenakan tidak
adanya aset jaminan yang digunakan untuk melunasi hutang. Pendapat ini di
dukung oleh penelitian Setiawan dan Yuyetta (2013), Putri (2014), Suci dan
Andayani (2016) yang menyatakan bahwa collateralizable asset memiliki
pengaruh yang negatif terhadap kebijakan dividen, sedangkan hasil kontradiktif
diperoleh Pujiastuti (2008), Haryanti (2012), Fadilah (2014), Liwe (2012), Asih
(2014), Hidayah (2013), Puspitasari dan Darsono (2014), Susanto et al, (2016),
yang tidak menemukan pengaruh signifikan antara collateralizable assets
dengan dividen.
2.1.6.2 Umur perusahaan
Umur perusahaan adalah umur sejak berdirinya perusahaan dan telah
mampu menjalankan aktivitas operasionalnya hingga dapat mempertahankan
going concern atau eksistensi perusahaan tersebut atau dalam dunia bisnis
(Nugroho, 2012). Farid (1998) menyatakan bahwa umur perusahaan adalah
umur sejak berdirinya perusahaan hingga perusahaan mampu menjalankan
operasinya. Umur perusahaan dapat menujukkan sebuah kondisi bahwa
perusahaan tersebut tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya dan mampu
bersaing dengan kompetitor. Umur perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut dapat bertahan hidup.
137
Idealnya umur perusahaan diukur berdasarkan tanggal pada saat
berdirinya perusahaan yang bersangkutan, namun umur perusahaan dalam
penelitian yang dilakukan diukur berdasarkan tanggal first issue (listed)
perusahaan tersebut di pasar modal (Owusu dan Ansah, 2000 dalam Catrinasari,
2006). Dengan umur perusahaan yang lebih lama menandakan bahwa
perusahaan mampu menghasilkan laba dari tahun ke tahun dan mampu
meminimalisasikan kerugian perusahaan sehingga perusahaan mampu
membayarkan dividen kas kepada stakeholders dalam perusahaan, demi
kesejahteraan para pemegang saham. Perusahaan yang sudah lama dan stabil
membayar sebagian labanya untuk dividen.
Umur perusahaan mempunyai pengaruh terhadap kemampuan
perusahaan untuk membayarkan dividen. Perusahaan yang sudah lama dan
mapan cenderung untuk membayarkan dividen dalam jumlah yang besar
(Grullon et al.,2002). Secara teoritis perusahaan yang telah lama berdiri akan
dipercaya oleh penanam modal (investor) daripada perusahaan yang baru berdiri,
karena perusahaan yang telah lama berdiri diasumsikan akan dapat
menghasilkan laba yang lebih tinggi daripada perusahaan baru berdiri. Umur
perusahaan menurut Farid (1998) adalah umur sejak berdirinya hingga
perusahaan telah mampu menjalankan operasinya.
Umur perusahaan dapat menunjukkan bahwa perusahaan tetap eksis dan
mampu bersaing dengan perusahaan lain. Umur perusahaan dapat dikaitkan
dengan kinerja keuangan suatu perusahaan. Perusahaan yang berumur lebih tua
memiliki pengalaman yang lebih banyak dan mengetahui kebutuhan constituent
138
atas informasi tentang perusahaan (Rahmawati & Utami, 2005: 8). Semakin
lama berdirinya suatu perusahaan, akan berdampak pada semakin tingginya
learning process suatu perusahaan, sehingga akan menyebabkan semakin
mapannya suatu organisasi dalam kegiatan operasional. (Rahutami, 2009).
Perusahaan yang lebih lama berdiri akan memiliki profitabilitas yang lebih baik
daripada perusahaan yang baru berdiri (Soejono, 2010). Semakin lama
berdirinya suatu perusahaan akan menyebabkan semakin berpengalamannya
perusahaan dalam meningkatkan kepercayaan penanam modal (investor),
dimana dengan adanya peningkatan kepercayaan dari investor hal ini akan
berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan (Zen dan Herman, 2007).
Umur perusahaan adalah umur sejak berdirinya perusahaan dan telah
mampu menjalankan aktivitas operasionalnya hingga dapat mempertahankan
going concern atau eksistensi perusahaan tersebut atau dalam dunia bisnis
(Nugroho, 2012). Pengukuran umur perusahaan dihitung sejak berdirinya
perusahaan sampai dengan data observasi (annual report) dibuat (Latifah et al.,
2011). Secara theoritis (maturity hypothesis yang dikemukan oleh Grullon et al.,
2002) umur perusahaan di duga mempunyai pengaruh terhadap kemampuan
perusahaan untuk membayarkan dividen. Hasil penelitian Nnadi et al., (2013)
menunjukkan bahwa Umur perusahaan berhubungan positif dengan kebijakan
dividen.
Umur perusahaan ditemukan menjadi faktor penting dalam keputusan
untuk membayar dividen. Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan yang
mature dengan pertumbuhan dan peluang investasi yang berkurang, maka
139
cenderung untuk membayar dividen yang lebih banyak, hal ini konsisten dengan
maturity dan aliran kas bebas hypothesis oleh Jensen (1986). Argumentasi ini
diperkuat dengan penelitian dari Al-Malkawi (2007), Al-Malkawi (2008), Lai
et.al., (2016), Darmawan (2012), Nnadi et al., 2014, Grullon et al., (2002),
Soejono (2010), Nugroho (2012), Tamimi dan Takhtaei (2014), Afza dan Mirza
(2011), Kristina (2015), Kuzucu (2015), Osman dan Mohammed (2010) pada
perusahaan non-keuangan, Sari dan Budiartha (2016), Badu (2013) menemukan
bukti umur perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan dengan arah
hubungan yang positif terhadap kebijakan dividen. Dan penelitian yang
dilakukan oleh Al-Sabah (2015), Alex dan Krishnan (2015), Osman dan
Mohammed (2010) pada perusahaan keuangan menunjukkan bahwa Umur
perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
Perusahaan yang sudah lama dan mapan cenderung untuk membayarkan dividen
dalam jumlah yang besar.
2.1.6.3 Self Finance Ratio
Self Finance (SFR) adalah suatu rasio untuk menilai keuangan
perusahaan dilihat dari pembayaran dividen, yang diukur dengan menghitung
retained earnings dibagi dengan perubahan pada capital employed, sesuai
dengan yang telah dilakukan oleh John dan Williams (1985) dan Ahmed dan
Attiya (2009). Besarnya capital employed dapat diperoleh dari total assets
dikurangi intangible. Sedangkan variabel SFR digunakan karena SFR
merupakan salah satu rasio untuk menilai keuangan perusahaan berkaitan
dengan rasio pembayaran dividen.
140
Self Finance merefleksikan kapasitas untuk mendukung investasi modal
melalui upaya pembiyaan internal. Tingkat SFR yang rendah merefleksikan
bahwa suatu infrastruktur tidak mampu mendukung pertumbuhannya sendiri
secara substansial dan akan harus bergantung pada pendanaan dengan
menggunakan hutang yamg besar. Hasil pengujian terhadap variabel SFR
menunjukkan arah hubungan yang positif dan signifikan terhadap kebijakan
dividen. Hasil ini konsisten penelitian yang dilakukan oleh Shah, et al., (2010)
dengan objek penelitian perusahaan-perusahaan yang terdaftar di China, yang
memberikan bukti empiris SFR signifikan terhadap dividend payout dengan arah
yang positif. Dapat dikatakan bahwa perusahaan menjaga keseimbangan antara
dividend payout dan simpanan keuangan perusahaan. Hasil ini menunjukkan
bahwa perusahaan yang membayarkan dividen lebih banyak memiliki keuangan
perusahaan yang lebih baik (Shah, et al., 2010).
Self Finance adalah suatu rasio untuk menilai keuangan perusahaan
dilihat dari pembayaran dividen, yang diukur dengan menghitung perbandingan
antara retained earnings dengan perubahan pada capital employed, sesuai
dengan yang telah dilakukan oleh John dan Williams (1985), Ahmed dan Attiya
(2009). Besarnya capital employed dapat diperoleh dari total assets dikurangi
intangible, dapat dikatakan bahwa perusahaan menjaga keseimbangan antara
dividend payout dan simpanan keuangan perusahaan. Penelitian Shah et al.,
(2010), Ekasiwi dan Ardiyanto (2012), Febriyanto (2014) menemukana bahwa
Self Finance berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakna dividen,
dimana perusahaan yang membayarkan dividen lebih banyak memiliki kinerja
141
keuangan perusahaan yang lebih baik, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Manisha Khanna dan Monika Khanna (2015), Aurangzeb dan Dilawer (2012),
menunjukkan bahwa hasil pengujian yang dilakukan dalam SFR mempunyai
arah yang negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen, dapat diartikan
ketika perusahaan mempunyai kinerja keuangan perusahaan baik tetapi pada sisi
yang lain perusahaan mempunyai kewajiban atau hutang yang harus dibayar
maka kemungkinan perusahaan akan berfokus pada hutang yang harus
dibayarkan terlebih dahulu. Tingkat SFR yang rendah merefleksikan bahwa
suatu infrastruktur tidak mampu mendukung pertumbuhannya sendiri secara
substansial dan akan harus bergantung pada pendanaan dengan menggunakan
hutang yang besar. Hal ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh
Haider et al., (2012) menunjukkan bahwa Self Finance (SFR) tidak berpengaruh
terhadap kebijakan dividen.
2.1.6.4 Earning Volatility
Earning volatility adalah tingkat volatilitas (perubahan yang cepat) dari
keuntungan yang didapatkan perusahaan. Laba sulit untuk diprediksi dan lebih
sulit diprediksi lagi ketika volatilitasnya tinggi (Antoniou et al., 2008). Naik
turunnya laba dapat membuat perusahaan sulit mendapatkan dana eksternal,
karena perusahaan tidak stabil. Suatu perusahaan yang mempunyai laba yang
stabil akan selalu dapat memenuhi kewajiban finansialnya sebagai akibat dari
penggunaan modal asing. Sebaliknya, perusahaan yang mempunyai laba yang
tidak stabil akan menanggung risiko tidak dapat membayar beban bunga atau
142
tidak dapat membayar angsuran-angsuran hutangnya pada tahun-tahun atau
keadaan yang buruk.
Volatilitas laba menunjukkan suatu risiko bisnis, di mana risiko bisnis
yang tinggi akan menimbulkan kebangkrutan. Hasil penelitian membuktikan
bahwa perusahaan dengan risiko yang tinggi seharusnya meng gunakan hutang
yan g lebih sedikit untuk menghindari kemungkinan kebangkrutan (Titman dan
Wessels, 1988).
Earning Volatility atau biasa disebut Business Risk adalah variabel
indikator yang menggambarkan risiko yang diciptakan akibat tidak efisiennya
operasional perusahaan, dimana terdapat kegagalan internal kontrol yang
mengakibatkan kerugian yang tidak diperkirakan sebelumnya (Pandey, 2001)
diukur dengan standard deviasi dari EBIT dibagi dengan total aktiva. Ini berarti
bahwa semakin besar proporsi hutang perusahaan dalam struktur modal, maka
semakin besar pula beban tetap pembayaran bunga hutang perusahaan sehingga
akan membawa kepada kesulitan keuangan (financial distress), dan akan
menyebabkan kebangkrutan.
Earning Volatility digunakan untuk mengukur tingkat risiko bisnis dan
potensi kebangkrutan perusahaan. Perusahaan yang memiliki risiko bisnis yang
besar cenderung memiliki rasio hutang yang rendah. Volatilitas keuntungan
tidaklah selalu harus diartikan sebagai risiko (Brigham dan Houston, 2010).
Perusahaan harus memikirkan penyebab dari volatilitas tersebut sebelum
menarik kesimpulan mengenai apakah volatilitas menunjukkan adanya risiko.
Beberapa perusahaan mengalami fluktuasi tersebut mengikuti pola-pola siklus
143
atau musiman, sehingga volatilitas tidak akan menjadi bagian yang signifikan
dari risiko, hal ini tidak akan menjadi kekhawatiran dari para investor, sehingga
harga saham perusahaan tidak akan terpengaruh.
Penelitian-penelitian kebijakan dividen, misalnya oleh Jensen, Solberg,
dan Zorn, (1992) dan Crutchley et al., (1989), menyebutkan bahwa kebijakan
dividen badan usaha dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain variabel risiko
yang mempunyai hubungan negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen,
dengan tingginya risiko bisnis yang dihadapi oleh badan usaha akan diantisipasi
dengan kebijakan pembayaran dividen yang rendah. Dividen yang rendah dapat
digunakan untuk menghindari pemotongan dividen di masa mendatang sehingga
pengalokasian sebagian keuntungan pada laba ditahan dapat digunakan untuk
investasi lebih lanjut. Jadi badan usaha dengan risikobisnis yang tinggi akan
memberikan dividen yang rendah kepada pemegang saham.(Jensen, Solberg,
dan Zorn, 1992), sebaliknya Crutchley et al., (1989), yang mengungkapkan
bahwa peningkatan earning volatility akan menaikkan biaya kebangkrutan (debt
agency cost) sehingga penurunan hutang menjadi solusi untuk mengontrol equity
agency cost.
Earning Volatility atau biasa disebut Business Risk adalah variabel
indikator yang menggambarkan risiko yang diciptakan akibat tidak efisiennya
operasional perusahaan, dimana terdapat kegagalan internal control yang
mengakibatkan kerugian yang tidak diperkirakan sebelumnya, yang diukur
dengan standard deviasi dari EBIT dibagi dengan total aktiva. Peningkatan
earning volatility akan meningkatkan biaya kebangkrutan (debt agency cost)
144
sehingga penurunan hutang menjadi solusi untuk mengontrol equity agency cost.
Bila manajer memilih kebijakan untuk mencapai trade off antara benefit dengan
cost sebagai akibat peningkatan earning volatility, maka para manajer tidak
hanya mengurangi hutang namun juga akan meningkatkan dividen.
Penelitian yang dilakukan oleh Widhicahyono dan Sudiyatno (2015),
Anupam (2012), Nguyen (2012), Musiega et al., (2013), Devanadhen dan
Karthik (2015), Aqel (2016), Osman dan Mohammed (2010) pada perusahaan
non-keuangan mendapatkan hasil bahwa risiko bisnis berpengaruh signifikan
dan positif pada kebijakan dividen, hasil yang berbeda dikemukakan oleh Turki
dan Ahmed (2013), Epayanti dan Yadnya (2013), Al-Kuwari (2012), Al-Shubiri
(2010), Tri Prabawa (2010), Michael dan Wijaya (2010), Al-Kuwari (2009),
Kumar dan Waheed (2015), Moradi et al., (2012), Issa (2015), Hossain et al.,
(2014), Osegue et al., (2014) bahwa risiko bisnis berpengaruh signifikan dan
negatif terhadap kebijakan dividen. Dengan tingginya risiko bisnis yang
dihadapi oleh perusahaan akan diantisipasi dengan kebijakan pembayaran
dividen yang rendah.
Anil dan Kapoor (2008) mengungkapkan bahwa perusahaan dengan
tingkat risiko yang tinggi (memiliki laba yang volatile) membayarkan dividen
yang rendah jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki laba yang
stabil. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari pemotongan dividen ketika
laba sedang turun. Dividen yang rendah dapat digunakan untuk menghindari
pemotongan dividen di masa mendatang sehingga pengalokasian sebagian
keuntungan pada laba ditahan dapat digunakan untuk investasi lebih lanjut. Jadi
145
perusahaan dengan risiko bisnis yang tinggi akan memberikan dividen yang
rendah kepada pemegang saham. Penelitian yang dilakukan oleh Nghi (2014),
Halim (2013), Osman dan Mohammed (2010) pada perusahaan keuangan
menemukan hasil risiko bisnis tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan
dividen.
2.1.6.5 Investment Opportunity Set
Konsep investment opportunity set diperkenalkan oleh Myers pada tahun
1977. Adam dan Goyal (2007: 3) investment opportunity set memainkan peran
yang sangat penting dalam keuangan perusahaan terkait dengan pencapaian
tujuan perusahaan. Investment opportunity set secara umum menggambarkan
tentang luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan,
namun sangat tergantung pada pilihan pembiayaan perusahaan untuk
kepentingan dimasa yang akan datang. Nilai perusahaan sangat tergantung pada
nilai aset yang dimiliki dan kesempatan investasi tidak hanya berwujud fi sik,
namun bisa juga berupa peluang kesempatan yang memberi keuntungan bagi
perusahaan.
Myers 1977 dalam Gaver dan Gaver (1993: 127) menggambarkan bahwa
nilai suatu perusahaan sebagai sebuah kombinasi aset yang dimiliki (assets in
place) dengan opsi investasi (investment options) dimasa depan. Gaver dan
Gaver (1993: 127) menyatakan bahwa nilai opsi investasi tergantung pada
kebebasan menentukan pembiayaan (discretionary expenditure) yang
dikeluarkan oleh manajer dimasa depan. Pilihan investasi merupakan suatu
kesempatan untuk berkembang, namun seringkali perusahaan tidak selalu dapat
146
melaksanakan semua kesempatan investasi di masa yang akan datang. Bagi
perusahaan yang tidak dapat menggunakan kesempatan investasi akan
mengalami pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
kesempatan yang hilang.
Opsi masa depan tidak semata-mata hanya ditunjukkan dengan adanya
proyek-proyek yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan saja, tetapi
juga dengan kemampuan perusahaan yang lebih dalam mengeksploitasi
kesempatan mengambil keuntungan dibandingkan dengan perusahaan lain yang
setara dalam suatu kelompok industrinya. Kemampuan perusahaan yang lebih
tinggi ini bersifat tidak dapat diobservasi (unobservable) (Rokhayati, 2005).
Berdasarkan pengertian tersebut para peneliti telah mengembangkan proksi
pertumbuhan perusahaan menjadi IOS sesuai dengan tujuan dan jenis data yang
tersedia dalam penelitiannya.
Secara umum dapat dikatakatan bahwa IOS menggambarkan tentang
luasnya kesempatan atau peluang investasi bagi suatu perusahaan, namun sangat
tergantung pada pilihan expenditure perusahaan untuk kepentingan di masa yang
akan datang. Dengan demikian IOS bersifat tidak dapat diobservasi, sehingga
perlu dipilih suatu proksi yang dapat dihubungkan dengan variabel lain dalam
perusahaan. Berbagai penelitian tentang IOS dapat dibuktikan bahwa IOS
dijadikan sebagai dasar untuk mengklasifikasikan perusahaan sebagai kategori
perusahaan bertumbuh dan tidak bertumbuh, dan IOS juga memiliki hubungan
dengan berbagai variabel kebijakan perusahaan (Norpratiwi, 2004).
147
Perusahaan yang memiliki set kesempatan investasi atau investment
opportunity set yang tinggi di masa depan akan memiliki tingkat pertumbuhan
yang tinggi pula. Tingkat pertumbuhan yang tinggi di asosiasikan dengan
penurunan dividen (Rozeff, 1982 dalam Budi Mulyono, 2009 ). Perusahaan
dengan pertumbuhan penjualan yang tinggi diharapkan memiliki kesempatan
investasi yang tinggi. Untuk meningkatkan pertumbuhan penjualan, perusahaan
memerlukan dana yang besar yang dibiayai dari sumber internal, dengan
menurunkan jumlah pembayaran dividen akan membuat perusahaan memiliki
sumber dana internal yang cukup untuk keperluan investasi yang akan
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa investment opportunity set (IOS)
perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen perusahaan.
Investment Opportunity Set (IOS) adalah set kesempatan investasi yang
merupakan pilihan investasi di masa yang akan datang dan mencerminkan
adanya pertumbuhan aktiva dan ekuitas. Perusahaan yang bertumbuh atau
memiliki kesempatan investasi di masa yang akan datang, memiliki rasio
pembayaran dividen yang rendah dibandingkan perusahaan yang tidak
bertumbuh, hal ini disebabkan karena perusahaan yang memiliki kesempatan
investasi yang baik akan lebih memilih dananya digunakan untuk investasi yang
menguntungkan perusahaan daripada membagikannya dalam bentuk dividen
kepada pemegang saham.
Investment opportunity set berfungsi sebagai prediktor pertumbuhan
perusahaan. Investment opportunity set juga digunakan sebagai proksi keputusan
investasi, karena investasi tidak dapat diamati secara langsung, maka perlu
148
dikonfi rmasikan dengan berbagai variabel yang terukur. Investment opportunity
set dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan klasifi kasi pertumbuhan
masa depan perusahaan. Para peneliti mengembangkan proksi pertumbuhan
perusahaan menjadi investment opportunity set sesuai dengan tujuan dan jenis
data yang tersedia dalam penelitiannya. Berbagai macam proksi pertumbuhan
perusahaan yang digunakan kemudian digolongkan kedalam tiga jenis proksi
yaitu: proksi investment opportunity set berbasis pada harga, proksi investment
opportunity set berbasis pada investasi dan proksi investment opportunity set
berbasis pada varian.
Investment opportunity set merupakan suatu kombinasi antara aktiva
yang dimiliki dan pilihan-pilihan investasi dimasa yang akan datang dengan
net present value positif. Penelitian ini menggunakan proksi tunggal yang
berbasiskan pada harga yaitu Market To Book Value Of Equity Ratio (MBVE).
Keown et al. (2010:214) menyatakan bahwa ketika peluang investasi
perusahaan naik, rasio pembayaran dividen harus turun. Terdapat hubungan
terbalik antara besarnya investasi dengan rasio pembayaran dividen. Pendapat
ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Subramaniam and Shaiban
(2011) menyatakan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan yang kuat antara
peluang pertumbuhan dan kebijakan dividen, memastikan untuk dicatat bahwa
adalah konsisten dan meluas literatur tentang teori kontrak berdasarkan teori
Aliran kas bebas oleh Jensen (1986). Aliran kas bebas (FCF) perusahaan juga
terkait dengan kebijakan investasi dan kebijakan dividen. Semakin tinggi
investasi, semakin kecil dividend payout atau ekuitas yang diterbitkan semakin
149
banyak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Denis dan
Osobov (2008), Kangarlouei et al., (2012), Budi (2009), Ogheneochuko dan
Abigirl (2015), Mardiyati et al., (2014), Rehman dan Takumi (2012), Wasike
dan Ambrose (2015), Rehman dan Takumi (2012), Bushra dan Mirza (2015)
yaitu investment opportunity set berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kebijakan dividen, karena perusahaan dengan tambahan peluang pertumbuhan
lebih mungkin menggunakan dana untuk keperluan investasi dan cenderung
untuk membayar dividen tunai.
Van Horne dan Wachowicz (2010:271) jika peluang investasi
perusahaan banyak jumlahnya, persentase laba yang dibayarkan perusahaan
akan cenderung nol. Jika perusahaan tidak menemukan peluang investasi yang
menguntungkan, dividen akan dibayarkan sejumlah 100% dari laba. Hasil yang
berbeda ditemukan oleh Samuel dan Gbegi (2010), Musiega et al., (2013), Kim
dan Jang, (2010), Saurdi et al., (2014), Cao dan Chaipoopirutana (2015),
Thanatawee (2013), Siboni dan Pourali (2015), Nuhu et al., (2014), Arif dan
Akbar (2013), Roy (2013), Issa (2015), Suartawan dan Yasa (2016), Sari dan
Budiartha (2016), Forti et al., (2015), Putri (2014), Setiawan dan Phua (2013),
Setiawan et al., (2016) menyatakan bahwa investment opportunity set
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen. Menurut Dithi
(2012) investasi yang dilakukan perusahaan memberikan tingkat keuntungan
yang baik sehingga perusahaan dapat membagikan dividen yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Purnami dan Artini (2016), Nghi (2014),
Devanadhen dan Karthik (2015), Leo dan Putra (2014), Alex dan Krishnan
150
(2015), Fuadi dan Satini (2015) menemukan bahwa investment opportunity set
tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan dividen.
2.1.7 Nilai Perusahaan
Myers (1997) mengemukakan konsep nilai perusahaan sebagai kombinasi
aktiva yang dimiliki dan opsi investasi di masa yang akan datang. Nilai perusahaan
adalah harga saham yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan
tersebut dijual (Husnan dan Pudjiastuti, 2006). Harga saham mencerminkan nilai
perusahaan. Nilai perusahaan juga dipengaruhi oleh besarnya tingkat pengembalian
(return) yang diharapkan oleh investor baik berupa dividen maupun capital gains.
Semakin tinggi dividen yang dibagikan maka semakin tinggi return yang diperoleh
investor. Semakin tinggi return yang akan diterima investor maka semakin tinggi
harga saham yang bersedia dibayar apabila saham dijual. Harga saham yang
semakin tinggi mengindikasikan nilai perusahaan yang tinggi juga.
Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang
sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai
perusahaan juga tinggi. Tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm adalah
untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan (value of the firm)
(Salvatore, 2005). Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting artinya bagi
suatu perusahaan, karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga
memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang merupakan tujuan utama
perusahaan. Menurut Husnan (2010) nilai perusahaan merupakan harga yang
bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual, sedangkan
menurut Keown et al., (2010) nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat
151
berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Nilai perusahaan merupakan
persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan
dengan harga saham.
Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang tinggi
akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham. Semakin tinggi harga
saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi
keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan
kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan
perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan
dari keputusan investasi pendanaan (financing) dan manajemen asset (Susanti,
2010). Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat
dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Adanya peluang investasi dapat
memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan
datang, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Susanti, 2010).
Dalam penelitian ini Nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai pasar,
seperti halnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurlela dan Islahudin (2008)
dalam Kusumadilaga (2010). Nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran
pemegang saham secara maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat.
Semakin tinggi harga saham, maka makin tinggi kemakmuran pemegang saham,
untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan
pengelolaannya kepada para professional. Para professional diposisikan sebagai
manajer ataupun komisaris (Kusumadilaga, 2010).
152
Samuel (2000), Nurlela dan Ishaluddin (2008) dalam Kusumadilaga (2010)
menjelaskan bahwa enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value
(nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan
indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Wahyudo (2005),
Nurlela dan Ishaluddin (2008) dalam Kusumadilaga (2010) menyebutkan bahwa
nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia di bayar oleh calon pembeli andai
perusahaan tersebut dijual. Terdapat beberapa konsep dasar penilaian yaitu : nilai
ditentukan pada harga yang wajar, penilaian tidak dipengaruhi oleh kelompok
pembeli tertentu. Secara umum banyak metode dan teknik yang telah
dikembangkan dalam penilaian perusahaan diantaranya adalah : a) pendekatan laba
antara lain metode rasio tingkat laba atau price earning ratio metode kapitalisasi ;
b) pendekatan arus kas antara lain metode diskonto arus kas ; c) pendekatan dividen
antara lain pertumbuhan dividen; d) pendekatan aktiva antara lain metode penilaian
aktiva; e) pendekatan harga saham ; f) pendekatan economic value added (Suharli,
2006 dalam Kusumadilaga, 2010).
Tujuan perusahaan pada dasarnya adalah tujuan manajemen keuangan yakni
memaksimumkan nilai perusahaan, untuk mencapai tujuan tersebut masih terdapat
konflik antara pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika
perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat,
sedangkan nilai hutang perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh sama
sekali. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa merupakan
indeks yang tepat untuk mengukur tingkat efektivitas perusahaan. Berdasarkan
alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan dinyatakan dalam bentuk
153
maksimalisasi nilai saham kepemilikan perusahaan, atau memaksimalisasikan
harga saham. Tujuan memaksimumkan harga saham tidak berarti bahwa para
manajer harus berupaya mencari kenaikan nilai saham dengan mengorbankan para
pemegang obligasi (Erlina, 2002).
Susanti (2010), Indikator- indikator yang mempengaruhi nilai perusahaan
diantaranya adalah:
1) PER (Price Earning Ratio) yaitu rasio yang mengukur seberapa besar
perbandingan antara harga saham perusahaan dengan keuntungan yang
diperoleh para pemegang saham (Mohammad Usman, 2001 dalam Malla
Bahagia, 2008). Rumus yang digunakan adalah :
Harga Pasar Saham
PER = x 100%
Laba Per Lembar Saham
Menurut Yusuf (2005) dalam Susanti (2010), hubungan faktor-faktor
tersebut terhadap price earning ratio dapat dijelaskan sebagai berikut :
Semakin tinggi pertumbuhan laba maka semakin tinggi price
earning ratio nya, dengan kata lain hubungan antara pertumbuhan
laba dengan price earning ratio nya bersifat positif. Di karenakan
bahwa prospek perusahaan dimasa yang akan datang dilihat dari
pertumbuhan laba, dengan laba perusahaan yang tinggi akan
menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola biaya
yang dikeluarkan secara efisien. Laba bersih yang tinggi
menunjukkan earning per share yang tinggi, yang berarti
perusahaan mempunyai tingkat profitabilitas yang baik, maka
154
meningkatkan kepercayaan pemodal untuk berinvestasi pada
perusahaan tersebut, sehingga saham-saham dari perusahaan yang
memiliki tingkat profitabilitas dan pertumbuhan laba yang tinggi
akan memiliki PER yang tinggi pula, karena saham-saham akan
lebih diminati di bursa sehingga kecenderungan harganya
meningkat lebih besar.
Semakin tinggi DPR maka semakin tinggi pula PER nya. DPR
memiliki hubungan positif dengan PER, di mana DPR menentukan
besarnya dividen yang diterima oleh pemilik saham dan besarnya
dividen ini secara positif dapat mempengaruhi harga saham
terutama pada pasar modal didominasi yang mempunyai strategi
mengejar dividen sebagai target utama, maka semakin tinggi
dividen semakin tinggi price earning ratio.
Semakin tinggi required rate of return (r) semakin rendah price
earning ratio, (r) merupakan tingkat keuntungan yang dianggap
layak bagi investasi saham, atau disebut juga sebagai tingkat
keuntungan yang diisyaratkan. Jika keuntungan yang diperoleh
dari investasi tersebut ternyata lebih kecil dari tingkat keuntungan
yang di isyaratkan, berarti hal ini menunjukkan investasi tersebut
kurang menarik, sehingga dapat menyebabkan turunnya harga
saham tersebut dan sebaliknya. Dengan begitu (r) memiliki
hubungan yang negatif dengan price earning ratio, semakin tinggi
155
tingkat keuntungan yang di isyaratkan semakin rendah nilai price
earning ratio nya.
Price earning ratio adalah fungsi dari perubahan kemampuan
laba yang diharapkan di masa yang akan datang. Semakin besar price
earning ratio, maka semakin besar pula kemungkinan perusahaan
untuk tumbuh sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
2) PBV (Price Book Value)
Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada
manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang
terus tumbuh (Brigham, 2006)., yang diproksikan dengan :
Nilai Pasar
PBV = x 100%
Harga Saham
Price to Book Value (PBV) menunjukkan kemampuan perusahaan
menciptakan nilai perusahaan dalam bentuk harga terhadap modal yang
tersedia. Dengan semakin tinggi PBV berarti perusahaan dapat dikatakan
berhasil menciptakan nilai dan kemakmuran pemilik. Menurut Husnan
(2012) semakin besar nilai PBV semakin tinggi perusahaan dinilai
oleh para pemodal relatif dibandingkan dengan dana yang telah
ditanamkan di perusahaan. Semakin baik kinerja keuangan suatu
perusahaan semakin baik nilai perusahaan. Semakin tinggi nilai
perusahaan semakin tinggi return yang diperoleh, dan semakin tinggi
return saham semakin makmur pemegang sahamnya. Keputusan-
keputusan keuangan yang diambil manajer keuangan dimaksud untuk
156
meningkatkan kemakmuran pemilik perusahaan, hal ini ditunjukkan
oleh meningkatnya nilai perusahaan.
Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang
sering dikaitkan dengan harga saham. Nilai perusahaan sangat penting karena
dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti dengan tingginya kemakmuran
pemegang saham (Brigham dan Houston, 2010). Tujuan perusahaan adalah
memaksimalisasi nilai pemegang saham. Nilai pemegang saham akan meningkat
apabila nilai perusahaan juga meningkat yang ditandai dengan tingkat
pengembalian investasi yang tinggi kepada pemegang saham. Nilai perusahaan
dapat diproksikan dengan price to book value (PBV).
Price to book value merupakan pembagian nilai pasar saham dengan nilai
buku per lembar saham (Brigham dan Houston, 2010). Price to book value yang
tinggi akan membuat pasar percaya pada prospek perusahaan pada masa yang akan
datang. Kondisi ini akan mendorong pada peningkatan harga saham perusahaan.
Hal ini sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan, dimana nilai perusahaan yang
tinggi mencerminkan kemakmuran pemegang saham yang tinggi pula. Namun
kalau harga saham terlalu tinggi juga akan berdampak buruk bagi perusahaan
karena saham menjadi kurang likuid di pasaran. Harga saham dijaga supaya tidak
terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah.
Graver dan Gaver (2000) dalam Lifessy (2011), mengemukakan bahwa nilai
perusahaan dapat diartikan sebagai nilai jual perusahaan maupun nilai tambah bagi
pemegang saham. Manurung (2005:5) dalam Lifessy (2011) nilai perusahaan
sebagai nilai sekarang dari arus kas tunai yang diharapkan perusahaan, atau nilai
157
perusahaan masa depan yang didiskon pada tingkat biaya modal. Weston dan
Thomas (1997) dalam Lifessy (2011) memaksimumkan nilai berarti
mempertimbangkan pengaruh waktu terhadap nilai uang, dana yang diterima tahun
ini bernilai lebih tinggi daripada dana yang diterima tahun yang akan datang dan
berarti juga mempertimbangkann berbagai risiko terhadap arus pendapatan.
Alfredo (2011) menjelaskan bahwa nilai perusahaan (enterprise value/firm value)
merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar
dalam menilai perusahaan secara keseluruhan
Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham sangat
dipengaruhi oleh peluang-peluang investasi. Pengeluaran investasi memberikan
sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa datang, sehingga
meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan (signaling theory).
Semakin tinggi nilai perusahaan, semakin besar kemakmuran yang diterima oleh
pemilik perusahaan, maka tujuan peningkatan nilai perusahaan dipergunakan
sebagai tujuan normatif.
Horne dan Wachowicz (2012) menyatakan bahwa harga pasar saham
perusahaan mencerminkan penilaian khusus dari semua pelaku pasar atas nilai
suatu perusahaan. Penilaian tersebut memperhitungkan EPS saat ini dan perkiraan
EPS di masa mendatang, waktu, periode, dan risiko dari laba ini, kebijakan dividen
perusahaan, serta berbagai faktor lainnya yang dapat berpengaruh pada harga pasar
saham. Harga pasar berfungsi sebagai barometer kinerja bisnis, harga tersebut
menunjukkan seberapa baiknya kinerja manajemen sejauh ini atas nama para
pemegang sahamnya. Pihak manajemen terus menerus berada di bawah kajian.
158
Pemegang saham yang tidak puas dengan kinerja manajemen dapat menjual saham
investor dan berinvestasi pada perusahaan lainnya. Tindakan ini, jika dilakukan
oleh para pemegang saham lainnya yang tidak puas, akan memberi tekanan pada
harga pasar per lembar saham.
Nilai perusahaan yang di proksikan dengan price to book value (PBV) dapat
dilihat dari kemampuan perusahaan membayar dividen. Besarnya dividen ini dapat
mempengaruhi harga saham. Apabila dividen yang dibayar tinggi, maka harga
saham cenderung tinggi sehingga nilai perusahaan juga tinggi. Apabila dividen
yang dibayarkan kecil maka harga saham perusahaan tersebut juga rendah.
Kemampuan membayar dividen erat hubungannya dengan kemampuan perusahaan
memperoleh laba. Jika perusahaan memperoleh laba yang besar, maka kemampuan
membayar dividen juga besar. Oleh karena itu, dengan dividen yang besar akan
meningkatkan nilai perusahaan ( Matono dan Harjito dalam Susanti 2010).
Perusahaan meningkatkan pembayaran dividen, mungkin diartikan oleh
pemodal sebagai sinyal harapan manajemen tentang akan membaiknya kinerja
perusahaan di masa yang akan datang, sehingga kebijakan dividen memiliki
pengaruh terhadap nilai perusahaan. Hal ini sesuai dengan penelitian Gordon
(1963) & Bhattacharya (1979), Myers & Majluf (1984). Menurut Lew (2015)
menyatakan bahwa nilai perusahaan secara positif terkait dengan kedua rasio
pembayaran dividen tunai dan dividen kas smoothing. Ini berarti bahwa perusahaan
dengan rasio pembayaran dividen kas yang tinggi memiliki harga saham yang
tinggi. Pendapat ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Baker dan Powel
(2012), Rasyid et al., (2015), Nasrum (2013), Engombe (2014), Kristianti (2013),
159
Hardiyanti (2012), Rizqia et al., (2013), Allazy (2013), Rasyid et al., (2015),
Taofiqkurochman dan Konadi (2012), Winarto (2015), Suartawan, dan Yasa
(2016), Lew (2015) menunjukkan hasil bahwa kebijakan dividen berpengaruh
positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Ikbal et al., (2011), Ali dan Miftahurrohman (2014), Ayako dan
Wamalma (2015), Abdilah (2014), Wahid et al., (2015), Mayasari et al., (2015),
Baah et al.,., (2014), Kaur dan Saraf (2014) menunjukkan bahwa kebijakan dividen
tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
2.2 Pemetaan Posisi Penelitian
Berikut dalam tabel ini dikemukakan beberapa hasil penelitian yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yaitu berkaitan dengan variabel-
variabel independen maupun dependen bahkan variabel moderasi. Perlu
dikemukakan bahwa penelitian yang dikemukakan dalam tabel ini tidak
sepenuhnya sama persis dengan penelitian disertasi ini namun diangkat dari
beberapa hasil penelitian terdahulu, sebagaimana tertera dalam Tabel 2.1:
160
Tabel 2.1
Pemetaan Posisi Penelitian
Peneliti Z Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 M
Mehta (2012) X X X X
Baker and Powell (2012) X X
Winarto, (2015) X X X X X
Sigo and Selvam (2013) X X X
Wang, et.al., (2011) X X X
Marjani dan Puspitosarie, (2013)
X X
Al-Kuwari (2009) X X X X X
Hidayah (2013) X X X
Ahmadpour et al., (2006) X X
Ikbal et.al., (2011) X X X X
Putu et.al., (2014) X X X
Rasyid et.al., (2015) X X X X X
Kristianti (2013) X X X
Sanjari and Zare (2015) X X X X X
Ahmed (2015) X X X
Kajola et.al., 2015 X X X X X
Noroozani and Kheradmand,
(2014)
X X X X X
Zameer et.al, (2013) X X X X X X
Musiega et.al., (2013) X X X X
Hejazi dan Moshtaghin (2014) X X X X X
Parsian and Koloukhi (2014) X X X X X
Nasrum, 2013 X X X
Jaryono dan Adawiyah (2011) X X X
Utami dan Inanga (2011) X X X X X
Siahaan et.al., (2014) X X X X
Andini dan Wirawati (2014) X X X
Handini, (2014) X X X
Wulandari, (2013) X X X X
Ali dan Miftahurrohman,
(2014)
X X X
Mangantar and Ali, (2015) X X X
Sujoko dan Soebiantoro,
(2007)
X X X
161
Naini danWahidahwati, (2014) X X X X
Lai et.al., (2016) X X X
Shah et.al., (2010) X X X
Haider et al, 2012; X X X
Aurangzeb dan Dilawer (2012)
X X X
Mathanika T, et.al., (2015) X X X
Wang, (2010) X X
Kargar dan Ahmadi (2013) X X X X
Hardiyanti, (2012) X X X X X X
Pratama dan Wiksuana (2016) X X X
Hoque et.al., (2014) X X X
Ayako dan Wamalwa (2015) X X X X
Rafique (2012) X X X
Lapolusi (2013) X X X X X X
Musiega, et.al., (2015) X X X X
Awad (2015) X X X
Leo dan Putra (2014) X X X X X
Odongo Kodongo, et.al.,
(2014)
X X X X
Rasyid (2015) X X X X X
Chen dan Chen (2011) X X X
Rizqia, et.al., (2013), X X X X X X
Cheung, et.al. (2015) X X X
Arian, et.al., (2014) X X X
Pourali dan Arasteh (2013) X X
Arabsalehi, et.al., (2014) X X X X X
Sidhu (2016) X X X
Khidmat dan Rehman (2014) X X X X
Iman Heydari, et.al., (2014) X X X X
Mansourlakoraj dan Sepasi
(2015)
X X
Allazy (2013) X X X X X X
Devianasari dan Suryantini
(2015)
X X X
Sumiadji (2011) X X X X
Marlim dan Arifin (2015) X X X
162
Purnami dan Artini (2016) X X X X
Murtini et.al., (2016) X X X X
Saifi et.al., (2015) X X
Jatmiko (2016) X X
Gamayuni (2015) X X X X X
Gregorius Paulus Tahu, 2017 X X X X X X X X X
Keterangan: Tanda silang (X) menunjukkan posisi obyek studi yang dilakukan.
Z = Firm Value ;
Y = Kebijakan Dividen
X1 = Aliran kas bebas
X2 = Profitabilitas
X3 = Leverage
X4 = Likuiditas
X5 = Struktur kepemilikan
X6 = Perputaran aktiva
M = Variable Moderation (contingent effect)
top related