bab ii isi runtuhnya kekaisaran turki utsmani (ottoman ... · bab ii isi a. runtuhnya kekaisaran...
Post on 30-Aug-2019
51 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
ISI
A. Runtuhnya Kekaisaran Turki Utsmani
Peta sejarah Islam menyatakan bahwa Turki pernah menjadi pusat
kekuasaan dunia Islam selama kurang lebih delapan abad dan sangat disegani oleh
bangsa Eropa. Pada rentang waktu inilah masa keemasan Turki mencapai
puncaknya, yaitu pada masa pemerintahan dinasti Utsmani (Ottoman Empire) yang
berkuasa dengan sistem pemerintahan monarkhi absolut (Lubis, 2005: 189-190).
Dalam buku yang berjudul “Facts about Turkey” yang diterbitkan oleh
Ankara State Information Organization (1972: 28) menyatakan bahwa kekaisaran
Ottoman adalah Kekaisaran terbesar dan paling kuat yang ada dalam sejarah Turki.
Pada masa pemerintahan Sultan Murat III (1574-1595), kekaisaran menguasai
seluas sekitar 20 juta km persegi dan juga menguasai tiga benua. Asal-usul
Ottoman diketahui berasal dari salah satu kerajaan yang didirikan setelah
kehancuran negara Seljuk oleh bangsa Mongol. Kerajaan ini didirikan oleh suku
Kayl, anggota dari konfederasi Oghuz dari suku Turki. Kerajaan Ottoman berada
di daerah Sogut dan Bilecik di Anatolia barat dan pertama kali diperintah oleh
Ertugrul Gazi. Anak Osman terakhir, meluaskan daerah perbatasan sampai laut
Marmara di barat dan laut Hitam di utara. Kemudian di bawah Orhan Gazi, seluruh
segitiga yang dibatasi oleh laut Aegea, laut Marmara dan laut Hitam jatuh ke
dalam kekuasaan Ottoman, yang juga menyeberang inti Eropa. Hal ini terjadi pada
saat Byzantium kehilangan benteng penting mereka di Izmit dan
20
Iznik. Di sebelah timur, Kekaisaran Ottoman menduduki kekuasaan di Ankara,
sehingga mengambil langkah pertama menuju reunifikasi Anatolia.
Awal mula kesultanan Turki Utsmani merupakan sebuah suku yang hidup
secara nomaden (hidup yang selalu berpindah-pindah). Dapat dikatakan bahwa
kebudayaan Turki Utsmani tidak hanya dipengaruhi dan didominasi oleh satu
kebudayaan saja, melainkan sebuah proses panjang yang pada akhirnya
menghasilkan sebuah perpaduan antara berbagai budaya yang pernah bersentuhan
dengannya. Diantara kebudayaan itu adalah Persia, Byzantium, dan Arab.
Kemudian, dalam tata pemerintah dan kemiliteran kerajaan Turki Utsmani terlihat
lebih mengadopsi dari budaya Byzantium dan Persia, yang lebih mengambil
ajaran-ajaran mengenai tata krama dan etika. Terkait dengan ajaran prinsip-prinsip
ekonomi, perkembangan keilmuan dan sosial kemasyarakatan, Turki Utsmani
lebih mengadopsi budaya Arab (Badri, 1997: 136).
Sucipto (2014: 60) dalam Sri Mulyati mengatakan bahwa salah satu
kehebatan Turki Utsmani adalah negara dan kerajaan yang mampu
mengakomodasi dan menyatukan berbagai macam suku bangsa yang majemuk dan
heterogen untuk hidup damai, aman dan sejahtera di wilayah kekuasaannya.
Semuanya, baik yang beragama Yahudi, Nasrani, dan Islam dapat hidup
berdampingan. Berbagai etnik pun terdapat di Turki Utsmani, seperti misalnya
Yunani, Serbia, Bulgaria, Rumania, Armenia, Arab dan Turki yang disebut millet.
Meskipun begitu lambat laun perbedaan etnik yang terdapat di Turki Utsmani
menimbulkan sebuah pertentangan dan konflik hingga peperangan.
Namun dalam 88 tahun berikutnya (1595-1683) Turki Utsmani tidak hanya
menderita kerugian teritorial, tetapi daerah penaklukan mereka diambil alih. Pada
saat di bawah pimpinan Sultan Murat IV, kekaisaran tampaknya menghidupkan
kembali kemegahan yang telah dicapai di bawah Sultan Sulaiman. Tapi
penampilan eksternal ini menipu, benih disintegrasi menyerang struktur dalam
negara dengan hasil yang menjadi nyata dalam abad berikutnya. Bencana melanda
kerajaan antara 1683 dan 1699. Dalam enam belas tahun yang diikuti kegagalan
upaya Turki Utsmani kedua untuk menyerbu Wina, kekaisaran harus bersatu
dalam menghadapi negara Eropa.
Di bawah perjanjian Carlowitz, Turki Utsmani mengakui kekalahannya.
Mereka harus kehilangan Polandia, Hungaria dan Transylvania. Meskipun
demikian memulihkan keadaan dan membangun kembali posisi mereka sebagai
kekuatan tunggal terkuat di daerah sampai tahun 1768. Beberapa wilayah
menyerahkan pada Carlowitz kembali, dan reformasi internal tertentu dilakukan.
Namun reformasi tidak menyentuh organisasi yang paling membutuhkan itu, yaitu
korps militer Jennisari. Ini adalah penyebab kekalahan Turki Utsmani dalam
perang melawan Rusia pada tahun 1768-1774. Antara tahun 1768-1838 di bawah
Sultan Abdul Hamid I, Selim III, dan Mahmud II terguncang oleh munculnya
sejumlah perang-perang yang ada. Pada suatu waktu keadaan mandiri dengan
surplus untuk ekspor, kekaisaran Turki Utsmani mulai mengandalkan impor
mondar-mandir Eropa. Mahmud II meniadakan perang, membangun kembali
kewenangan pemerintah pusat, melakukan sejumlah reformasi ekonomi, dan saat
jatuh untuk mencapai standar Eropa, memastikan keberadaan lanjutan dari
kerajaan di tiga benua untuk abad selanjutnya.
Pada awal abad ke-18, usaha-usaha pembaruan itu sifatnya lain sebab
Kerajaan Utsmai mulai membuka pintu bagi Barat. Kontak-kontak diplomatik dan
kultural dengan negara-negara Eropa meyakinkan para negarawan Utsmani akan
keunggulan teknik Barat, dan menjadikan mereka berupaya mencari bantuan
teknis dalam urusan-urusan kemiliteran dari para ahli Barat (Ankara State, 1972:
30-31).
Namun, pada akhir abad ke-18, kekuasan Turki Utsmani tidak mampu lagi
untuk mempertahankan dirinya menghadapi perkembangan kekuasaan dan
kekuatan militer Eropa, serta tidak mampu mengelak dari penetrasi komersial
Eropa. Tahun 1908 terjadi krisis politik internal di dalam tubuh kekuasaan Turki
Utsmani yang mengganggu perimbangan kekuatan. Perang Dunia I
menyempurnakan proses kesendirian Turki Utsmani, sehingga pada bulan
Desember 1914 Turki Utsmani melibatkan diri dalam perang Dunia dan masuk ke
dalam kubu Jerman dan Austria (Lapidus, 2000: 66).
Akibat kekalahan Turki dalam pengepungan kota Wina pada tahun 1683,
kerajaan Turki Utsmani mengalami kemunduran dan mendorong para sultan
pemerintahannya mengadakan pembaharuan dan perubahan (Bernard, 1993: 218).
Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh Turki Utsmani dari Barat menjadi
awal isu tentang pembaharuan, modernisasi dan westernisasi. Zürcher (dalam
Atika, 2010: 18) menyatakan bahwa kekhalifahan Utsmaniyyah runtuh pada masa
pemerintah Sultan Mehmet VI Vahdettin. Runtuhnya Kekhalifahan Utsmani
digantikan dengan pemerintah Republik Turki yang ditandai dengan
ditandatanganinya perjanjian damai Lausanne oleh Mustafa Kemal Ataturk.
Menjelang akhir abad ke-18, hubungan-hubungan yang dijalin dengan
Barat itu mengakibatkan meningkatnya “pencarian jati diri” karena kaum
intelektual dan negarawan Utsmani mulai memandang Westernisasi sebagai
prasyarat pembaruan Kerajaan Utsmani. Karena itu, abad ke-19, perhatian pokok
para pembaru Utsmani ialah membaratkan angkatan bersenjata, lembaga-lembaga
pendidikan, hukum dan politik Kerajaan Utsmani. Permasalahan yang mereka
hadapi ialah bagaimana cara melakukannya dalam suatu masyarakat, di mana
Islam sudah berpenetrasi ke dalam sub-struktur sistem sosio-politik Turki Utsmani
(Toprak, 1999: 59).
Selain itu, Isputaminigsih dalam bukunya yang berjudul “Negara Turki
Modern Ala Mustafa Kemal” (2009: 63) menjelaskan faktor-faktor runtuhnya
kekaisaran Turki Utsmani diantaranya adalah:
1) Luasnya wilayah kekuasaan, sehingga kurangnya kontrol dari pusat. Hal
ini menyebabkan banyak penguasa daerah yang ingin memperluas daerah
kekuasaannya, sementara heterogenitas penduduk memerlukan organisasi
pemerintahan yang teratur.
2) Lemahnya para penguasa. Sepeninggal Sulaiman al-Qanuni, Kerajaan
Utsmani diperintah oleh Sultan-sultan yang lemah, sehingga semakin
rendahnya kualitas aparat pemerintah pusat yang diimbangi dengan
rendahnya kualitas kepemimpinan individual para sultan menyebabkan
pemerintahan menjadi kacau.
3) Pemberontakan tentara Yenissari sebagai pasukan elite Kerajaan Utsmani,
yang sebelumnya menjadi tulang punggung suksesnya militer kerajaan
berubah menjadi sebuah pasukan yang disiplin dan loyalitasnya sangat
merosotnya bahkan mereka sering memberontak.
4) Merosotnya ekonomi. Hal ini terjadi akibat karena peperangan yang tidak
berhenti, pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar
untuk biaya perang.
5) Terjadinya stagnasi dalam sains dan teknologi, sehingga tidak dapat
mengimbangi kebangkitan Eropa dengan kemajuan sains dan teknologinya.
Akibatnya, Turki tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari
Eropa yang sudah menguasai seluruh lapangan kehidupan, termasuk
angkatan militernya sudah terorganisir dengan rapi dan dapat memukul
mundur kekuatan militer Turki.
Benturan-benturan antara Kesultanan Turki Utsmani dengan kekuatan
Eropa menyadarkan Sultan bahwa mereka memang sudah jauh tertinggal. Kondisi
ini menyadarkan Sultan Salim III (1789-1807 M) sebagai penguasa dinasti
Utsmani pada saat itu melihat kemajuan Eropa Barat ini sebagai sesuatu yang
mempesona. Ia terpesona karena Eropa Barat yang pernah kalah dalam perang
Salib melawan Islam, dalam tempo yang relatif singkat berhasil membangun
negaranya secara pesat. Ia pun khawatir karena kemajuan Barat berarti ancaman
bagi Turki Utsmani, sehingga dengan segala upaya, Salim berusaha melakukan
pembaharuan bagi negaranya (Isputaminingsih, 2009: 64).
Kebangkitan dunia Barat bukanlah karena kemajuan sains dan teknologi-
nya, karena ini hanya merupakan alat untuk mencapai kemajuan. Sebab pokok dari
kemajuan Barat adalah “jiwa dan kekerasan hati rakyat Eropa untuk
menumpahkan energi dan kemampuan mereka dalam rangka meningkatkan
tingkatan hidup dan kesejahteraan umum, kemakmuran dan kebahagiaan
masyarakatnya” (Ali, 1994: 17).
Tampaklah kemajuan Eropa memang bersumber dari metode berpikir Islam
yang rasional sebagai implementasi peradaban Islam yang masuk ke Eropa pada
waktu terjadinya perang Salib. Maka dapatlah dikatakan benturan-benturan antara
kerajaan Islam dan kekuatan Eropa, telah menyadarkan umat Islam untuk terpaksa
belajar dari Eropa.
Demikianlah Turki, pada abad ke-19/20, merupakan sebuah negara yang
tidak memiliki kewibawaan lagi dimana negara tetangganya yaitu Eropa Barat,
harus mengakui keunggulan bangsa Eropa dan berusaha mengadakan
pembaharuan-pembaharuan di berbagai bidang kehidupan baik ekonomi, politik,
sosial dan budaya maupun militer dalam rangka menghadapi modernisasi
(Isputaminingsih, 2009: 64-65).
B. Munculnya Mustafa Kemal
Dalam kondisi sosial politis Turki yang berada dalam kehancuran, lahir
tokoh pembaharuan Turki yang monumental dan spektakuler yaitu Mustafa Kemal
Ataturk. Berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya yang pada umumnya gagasan
mereka masih bersifat akademis, namun Mustafa Kemal lebih pada mengutamakan
gerakan pembaharuan melalui perjuangannya dengan perombakan institusi dan
peradaban masyarakat Turki.
Mustafa Kemal melihat bahwa Turki Utsmani berada diambang
kehancuran terutama setelah kekalahannya dalam perang Dunia I (1914-1918),
gerakan yang dapat memobilisasi massa dan kaum intelektual Turki waktu itu
adalah ideologi nasionalisme dan sekulerisme. Ideologi kekhalifahan tidak lagi
memiliki daya panggil untuk berjihad melawan kekuatan sekutu dan membangun
Turki dalam era modern, namun Mustafa Kemal menyadari kekuatan Islam tetap
sebagai pemersatu kekuatan awal dalam melawan kekuatan asing
(Isputaminingsih, 2009: 16).
Kemajuan sains dan teknologi modern ini pada awal abad ke-19 telah
memasuki dunia Islam dan dipandang sebagai permulaan periode modern, dimana
ide-ide Barat seperti rasionalisme, nasionalisme, dan demokrasi menandai
perkembangan baru pemikiran politik islam kontemporer. Munawir Sjadzali
(1990: 129) dalam Isputamingsih mengatakan perkembangan tersebut di
latarbelakangi oleh desakan Barat di bidang ekonomi, militer dan politik yang
mengancam kebutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir
dengan dominasi Barat atas sebagian besar wilayah daerah. Sementara Donald
Eugeun Smith (1985: 41) menyatakan bahwa krisis politik yang ditimbulkan oleh
dominasi Barat bersamaan dengan dengan krisis spiritual yang menyadarkan para
pembaharu Islam untuk secara fundamental mengkaji ulang doktrin-doktrin agama
agar dapat teraktualisasi dalam wacana perkembangan sejarah modern. Dalam
negara Republik Turki, ruang lingkup modern ini sangat berkaitan dengan Mustafa
Kemal Ataturk, yaitu seorang tokoh yang hidup pada masa Turki saat berada
diambang kehancurannya dan ia terlibat dalam proses-proses penambahan di
berbagai bidang kehidupan masyarakat Turki yang ia bangun dalam suatu atmosfir
global perkembangan wacana politik Islam pada abad ke-19/20 (Isputamingsih,
2009: 30).
Mustafa Kemal merupakan tokoh yang mempelopori gerakan Turki Muda
dengan tokoh-tokoh lainnya yaitu, Ahmed Riza (1839-1931), Mahmud Murad
(1853-1912) dan Pangeran Sabahuddin (1877-1948). Gerakan Turki Muda ini
berusaha menggalang opini publik dan melancarkan kritikannya terhadap Sultan
lewat penerbitan surat kabar dan majalah seperti Terekki (Kemajuan) dan Mizan
(Timbangan). Ketiga tokoh ini berpendapat bahwa sebetulnya bukan Islam yang
menyebabkan kemunduran kerajaan Turki Utsmani dan bukan pula terletak pada
rakyatnya, tetapi semua ini diakibatkan oleh “Sultan yang memerintah secara
absolut. Oleh sebab itu kekuasaan Sultan harus dibatasi” (Nasution, 2003: 114).
Mustafa Kemal juga merupakan sosok pemimpin baru di Turki, yang
menyelamatkan Kerajaan Utsmani dari kehancuran total dan bangsa Turki dari
penjajahan Eropa. Ialah pencipta Turki modern dan atas jasanya, ia mendapat gelar
“Ataturk” (Bapak Turki) (Nasution, 2014: 134).
Kinross (1985: 142) dalam Isputaminingsih menyatakan bahwa Mustafa
Kemal dilahirkan di Salonika pada tahun 1881, Latip (2011: 11) lebih menjelaskan
bahwa Mustafa Kemal lahir pada tanggal 19 Mei tahun 1881. Ia berasal dari
keluarga yang taat beragama. Andrew Mango dalam bukunya yang berjudul
“Ataturk” menyatakan dalam bukunya bahwa:
Ataturk was born in salonica in 1880 into a family which muslim, Turkish- speaking and precariously meddle-class. He was born during the rign of AbdulHamit II, the last Ottoman sultan to exercise autoratic power (Mango, 1999:31).
Ataturk lahir di Salonika pada tahun 1880 dalam sebuah keluarga muslim
Turki, dan berasal dari kelas menengah. Dia hidup pada masa
pemerintahan Abdul Hamid II, sultan Ottoman terakhir yang menjalankan
kekuasaan otokratis.
Ayahnya, Ali Reza adalah seorang karyawan pada suatu pemerintah.
Ibunya, seorang yang menginginkan Mustafa Kemal mengikuti jejak keluarga
menjadi orang yang taat beragama, setidak-tidaknya menjadi hafiz atau boja
(guru). Karena itu ia dimasukan ke Madrasah Fatimah Mollahh Kadin, yang
sisitem penngajarannya masih tradisional. Ia tidak menyukai sekolah di madrasah
ini dan sering melawan gurunya. Melihat hal ini, ayahnya memindahkannya ke
sekolah umum Shemsi Effendi, dan di sinilah Mustafa Kemal sukses dalam belajar.
Mustafa Kemal menyelesaikan sekolah dasar swasta modern pertama di
Salonika, dan melanjutkan ke sekolah Militer tahun 1893. Setelah menyelesaikan
sekolah Militer di Monnastir tahun 1899, dia melanjutkan Sekolah Tinggi Militer
di Istanbul kelas infantri. Di Sekolah Perang ini, ia menemukan jati dirinya.
Ketertarikannya pada Matematika dan pengetahuan kemiliterannya serta
kepintarannya berbicara berkembang di sini, sehingga salah seorang gurunya
memberikan nama kepadanya “Kemal” yang berarti “Kesempurnaan” (Jameelah
1965: 162).
Mustafa Kemal kemudian dipromosikan menjadi pejabat pengajaran,
sebuah posisi yang baginya menunjukan kewibawaannya. Tahun 1905, ia lulus
Akademi Perang dengan pangkat Kapten pada umur 24 tahun. Kondisi sosial-
politik Turki selama Mustafa Kemal melaksanakan studi di Istanbul adalah dalam
keadaan kacau dimana terjadi konflik, disatu sisi rakyat Turki mengecam dan
menentang kekuasaan absolut Kesultanan Utsmani dan besarnya peran lembaga
Syaikh al-Islam dalam pemerintahan. Di sisi lain rakyat-pun sedang berhadapan
dengan Perang Dunia I (1941-1918) yang melibatkan Turki sebagai sekutu Jerman
melawan Inggris dan sekutunya. Dalam kondisi ini pun banyak wilayah kekuasaan
Turki Utsmani yang melepaskan diri dari pemerintahan Istanbul, seperti Arab dan
Mesir (Qardhawy, 1996: 140).
Lembaga pendidikan Militer pada akhirnya menjadi salah satu pusat
kegiatan oposisi. Mustafa Kemal dan teman-temannya membentuk organisasi
rahasia bernama Vaton Ve Hurriyet (Tanah Air dan kebebasan). Tindakan Mustafa
Kemal ini menunjukkan keinginannya untuk menentang nasionalisme Arab
dengan membentuk nasionalisme Turki melalui organisasinya sebagai wadah
perjuangannya.
Masuknya Mustafa Kemal dalam dunia politik semakin kuat setelah ia
berkenalan langsung dengan peradaban Barat, terutama mengenai konstitusi, pada
waktu ia dikirim ke Swiss sebagai atase militer. Titik balik karirnya dimulai ketika
Mustafa Kemal memimpin Turki dalam perang kemerdekaan (1919-1922)
melawan Sekutu, dan Mustafa Kemal berhasil merebut kembali Turki setelah
Jerman sebagai sekutu Turki mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I.
Keberhasilannya ini mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Momentum ini
tidak disia-siakan oleh Mustafa Kemal. Dalam upayanya, ia melancarkan
perjuangannya membangun Negara Turki Modern, dengan cara mengadakan
westernisasi terutama dalam sistem ketatanegaraan yang berdasarkan kepada
konstitusi yang dianggap Mustafa Kemal dapat mewakili kepentingan seluruh
rakyat yang tergabung dalam satu bangsa dan negara (Anwar, 1989: 86).
Kemudian ia mendirikan Partai Rakyat Republik (Republican People’s Party) dan
membentuk Majelis Nasional Agung sebagai kendaraan politik dalam
melaksanakan reformasinya (Nasution, 2003:136). Dan pada tanggal 29 Oktober
1923 terbentuklah Republik Turki dan Mustafa Kemal menjadi Presiden
pertamanya (Isputaminingsih 2009: 13-15).
Sebagai seorang militer yang berpengalaman terjun kelapangan peperangan
baik di Hijaz, Libya, Mesir dan beberapa negara lainnya, Mustafa Kemal selalu
mencari kesempatan dalam perjuangannya. Ia juga memanfaatkan waktunya ini
untuk mendapatkan perhatian dari pasukan yang dipimpinnya, sehingga
dimanapun ia dikirim dalam peperangan, kepintaran dasar dan pengetahuan militer
serta kemampuannya dalam memimpin anggotanya selalu membawa kemenangan.
Keberhasilan ini membawa dirinya pada puncaknya di masa disintegrasi sedang
terjadi pada zaman Turki \Utsmani. Walaupun Sultan menolak untuk mengakui
posisinya, namun Mustafa Kemal menggerakkan kekuatan rakyat biasa untuk
mendukungnya dalam melawan pemerintah Pusat di Istanbul (Sabiq, 2008: 70).
Pengalaman politik Mustafa Kemal jelas mempengaruhi bentuk
pemikirannya secara signifikan. Bagi Mustafa Kemal, Sultan dan agama tidak
berpengaruh untuk pembangunan kembali kerajaan. Pandangannya tentang negara
bagian adalah tidak berdasarkan agama. Tentu saja, konsepsi tersebut bukanlah
keputusan yang dibuat secara mendadak tetapi sebuah ungkapan yang
berkelanjutan dengan pandangan aliran politik yang bermacam-macam dimana
Mustafa Kemal muncul (Isputaminingsih, 2009: 48).
Kesultanan Turki Utsmani memasuki Perang Dunia I pada tahun 1914
dengan bergabung dengan pihak Jerman dan Austria – Hungaria. Mustafa Kemal
yakin bahwa keputusan-keputusan untuk turut ikut dalam perang telah diambil
terlalu cepat. Dia dapat memprediksi bahwa hasil buruklah yang akan didapatkan
dan berusaha untuk memperingatkan penguasa kerjaan terhadap konsekuensi dari
keputusan mereka. Namun pada 1915 dia diberikan tugas yaitu perintah divisi 19
yang juga terbentuk di kota Thrace, dan ia ditempa menjadi tenaga tempur yang
efisien. Selanjutnya dia bergerak bersama pasukannya menuju semenanjung
Gallipoli dimana “Anglo-French” pesawat sekutu diperkirakan mendarat. Saat
pendaratan berlangsung, Mustafa Kemal berhasil memeriksa sekutu terlebih
dahulu di Ariburnu, dan kemudian melawan dan memenangkan peperangan
Anafartalar dimana dia berada di komando sebuah kelompok dari lima divisi,
dengan pangkat kolonel. Tentara Inggris terpojok hingga ke pantai dimana mereka
mendarat. Mustafa Kemal menaklukkan mereka dengan serangan terus menerus,
mengharuskan mereka untuk pergi dari semenanjung pada 19 Desember 1915.
Perancis juga pergi secara bersamaan karena tidak mampu bertahan.
Kemenangan ini menyelamatkan Istanbul, ibukota Kekaisaran (Kesultanan), dan
menghindari kemungkinan Rusia mendapatkan pijakan di selat, Mustafa Kemal
menjadi salah satu komandan besar dalam sejarah. Pada tahun 1915 ia diangkat ke
Diyarbakir di timur depan, sebagai komandan korps militer. Dalam perintah baru
ini ia pertama kali menghentikan kemajuan Rusia dan kemudian mendapatkan
kembali kota-kota Bitlis dan Mus. Tahun-tahun berikutnya ia diberi komando
tentara 7 disebut juga dengan “Lightning Group of Armies on The Southern Front
in Palestine”. Namun, ia tidak setuju dengan komandan Jerman mengenai rencana
serangan yang terakhir, ia mengundurkan diri dari perintah tersebut dan kembali
ke Istanbul. Ditunjuk sekali lagi di Palestina bagian depan pada tahun 1918, ia
berhasil menahan gempuran sekutu pada garis utara dari Aleppo yaitu di sepanjang
perbatasan selatan Turki yang sekarang. Pada 30 Oktober 1918 kekaisaran
(kesultanan) Ottoman menandatangani gencatan senjata Moudros dengan pihak
sekutu, dimana Mustafa Kemal mengambil alih komando “Lightning Group of
Armies” dari Jendral Jerman Liman Von Sanders.
Ketika kelompok itu tersebar, ia kembali ke Istanbul. Setelah memastikan
bahwa senjata dan amunisi dibagi, ia kemudian membawa dan bersembunyi di
utara pegunungan Taurus sebagai persiapan untuk operasi perlawanan masa depan.
Pada saat yang sama ia memperingatkan pemerintah di Istanbul dari bahaya yang
dihadapi oleh negara dan perlu untuk mengambil tindakan sesegera mungkin untuk
mencegah interpretasi yang tidak menguntungkan dari ketentuan gencatan senjata.
Di Istanbul, Mustafa Kemal berhubungan terus dengan teman yang
memiliki pemikiran sepaham dan juga dengan koresponden pers asing. Ia
mempunyai pandangan bahwa negara itu hanya bisa diselamatkan dengan
mengorganisir pasukan perlawanan di Anatolia. Kesempatan untuk menempatkan
rencananya untuk dijalani muncul ketika ia dikirim oleh pemerintah Sultan ke
Samsun untuk menekan gangguan.
Mustafa Kemal diangkat menjadi inspektur tentara dan diberi kekuasaan
yang luas, membawahi otoritas sipil setempat. Pada 19 Mei 1919, Mustafa Kemal
tiba di Samsun, tiga hari setelah pendaratan Yunani di Izmir, dan segera memulai
persiapan untuk perang kemerdekaan Turki. Dia melakukan perjalanan dari
Samsun ke Erzurum, mengundurkan diri jabatannya dan terpilih sebagai presiden
dari kongres nasional yang diadakan di kota. Mustafa Kemal membujuk kongres
untuk menetapkan prinsip-prinsip perjanjian nasional yang kemudian diadopsi
oleh dewan deputi Ottoman. Dari Erzurum, Mustafa Kemal pindah ke barat
menuju Sivas dimana kongres lain diadakan. Mustafa Kemal melihat bahwa
prinsip-prinsip yang disepakati di Erzurum kini lebih luas, perumusan seluruh
negeri. Kemudian Mustafa Kemal terpilih sebagai presiden eksekutif permanen
(komite perwakilan) dari kongres, dan meneruskan ke Ankara untuk mengatur
perjuangan nasional. Mustafa Kemal kemudian ditekan pemberontakan di
berbagai belahan Anatolia oleh pemerintah Istanbul yang berkolaborasi dengan
sekutu. Akhirnya Mustafa Kemal memutuskan untuk membentuk tentara reguler,
atas dasar perjuangannya pada kehendak rakyat. Dengan tujuan tersebut, Mustafa
Kemal mengamankan pembukaan Majelis Agung Nasional Turki di ankara pada
23 April 1920. Sejak saat itu perjuangan dilakukan dan dipimpin dengan sukses
oleh Majelis Pemerintahan. Dua perjanjian terpisah dicapai dengan perwakilan
Perancis, di mana Perancis mengevakuasi wilayah Turki yang mereka duduki di
selatan - sekarang Icel dan Gaziantep - dan senjata dan material yang digunakana
diamankan untuk tentara Turki. Di barat, Turki memenangkan pertempuran Inönü
dan Sakarya, dan akhirnya pada 30 Agustus 1922 Mustafa Kemal mengarahkan
kekuatan ke pertempuran besar yang dikenal sebagai pertempuran “Commander-
in-Chief” yang mengarah pada pembebasan seluruh Anatolia.
Ketika Mustafa Kemal masuk Izmir kekuatan sekutu bergegas untuk
menjalin kontak dengannya, dan melalui negosiasi menghasilkan kesepakatan dari
gencatan senjata mudanya pada 11 Oktober 1922. Hal ini menyatakan kembalinya
Istanbul dan Thrace ke Turki. Pada 17 November 1922 sultan Utsmaniyah terakhir
melarikan diri dari Istanbul dan Kekaisaran Ottoman menghilang dari sejarah
(Ankara States, 1972: 36-38).
Setelah melalui keputusan Dewan Mustafa Kemal mendirikan negara
Republik Turki. Kemudian pada tanggal 29 Oktober 1923, beliau menjadi presiden
pertama Republik Turki (Latip, 2011: 14).
Latip (2011: 11-16) menuliskan tentang kronologi sejarah hidup Mustafa
Kemal dan peristiwa-peristiwa penting yang dialami olehnya sebagai berikut:
1) 19 Mei 1881
Mustafa Kemal lahir di Salonika
2) Tahun 1905
Pada tahun ini, Mustafa Kemal dilantik menjadi kapten
3) Oktober 1906
Beliau mulai aktif dalam politik, lalu membuat perkumpulan “Tanah
Air dan Kemerdekaan” di Damsyik
4) 1 Februari 1915
Beliau dinaikkan pangkat menjadi Brigadir Jenderal
5) Tahun 1916
Beliau dinaikkan pangkat sebgai basya, yaitu pangkat yang lebih tinggi
dari brigadir
6) Tahun 1917 dan 1918
Beliau di hantar ke wilayah Balkan untuk memimpin dan menentang
tentara Rusia tetapi misi yang dibwanya itu gagal. Kemudian ia dihantar
ke Hijaz untuk membantu pemberontakan yang disokong oleh pihak
Inggris. Kemudian ia ditugaskan ke Palestina. Namun, kedua misi yang ia
pimpin itu gagal.
7) 23 Agustus 1919
Beliau di tarik menjadi Gubernur di Ardhrum, atau yang sekarang
terkenal dengan kota Erzurum yang terletak di Turki bagian timur
8) 19 September 1921
Beliau di naikkan pangkat menjadi Masryal, yaitu tingkat tertinggi
setara dengan Jenderal Besar
9) Tahun 1922
Selepas pulang dari medan perang, yaitu perang Shaqariya, beliau
meminta supaya diberi julukan Ghazi beserta uang tunai sebanyak empat
juta lira
10) 11 September 1923
Beliau mendirikan Partai Rakyat
11) Tahun 1923
Beliau menandatangani perjanjian Laussane
12) 29 Oktober 1923
Beliau menjadi presiden Turki yang pertama
13) 24 November 1934
Beliau memakai gelar Ataturk yang mempunyai arti Bapak Turki
14) 4 Mei 1931
Terpilih menjadi presiden untuk yang ketiga kalinya
15) 1 Maret 1935
Terpilih menjadi presiden yang ke empat kali
16) 10 November 1938
Beliau meninggal dunia di Istana Dulamah Baghjah Istanbul karena
menghidap penyakit radang hati dan penyakit lainnya.
17) 21 November 1938
Mayat beliau diletakkan di Muzium Etnografi di Ankara.
C. Pemikiran Mustafa Kemal
Dari upaya-upaya pembaharuan dalam Kesultanan Turki, tampak bahwa
gerakan-gerakan pembaharuan yang diupayakan oleh kekuatan dari luar elite
Kesultanan maupun dari Sultan sendiri belum memberikan hasil yang memuaskan.
Kenyataan yang ada bahwa Turki Utsmani justru semakin melemah, bahkan
mendapatkan predikat orang sakit Eropa. Wilayah Kesultanan yang masih cukup
luas menyisakan suatu kesulitan yang tidak tertangani secara ekonomi dan politik.
Perkeonomian tidak mampu membungkam rasa tidak puas di banyak kalangan
masyarakat. Secara horizontal, majemuknya masyarakat karena adanya perbedaan
agama maupun etnis, membuat persatuan Kesultanan Turki Utsmani semakin
melemah dan sulit dicarikan simbol pemersatu (Isputaminingsih, 2009: 78).
Fragmentasi dalam mensikapi persoalan kemunduran Kesultanan dan
ideologi dari solusi pembaharuan itu dapat dibagi menjadi tiga golongan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Harun Nasution (2003: 119) ada tiga aliran
pembaharuan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat Turki saat itu,
yaitu:
1) Golongan Barat yang menghendaki peradaban Barat sebagai dasar
pembaharuan. Tokoh utamanya adalah Tewfik Fikret dan Dr. Abdullah
Jewdat. Keduanya termasuk pengkritik tajam faham keagamaan
tradisional dan fatalisme, sehingga mereka cenderung dimusuhi oleh
kalangan agama dan dianggap sebagai musuh agama.
2) Golongan Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar pembaharuan
dan mereka menganggap agama atau Islam bukanlah penghambat
kemajuan seperti yang dituduhkan selama ini. Tokoh utamanya Mehmed
Akif, yang memberikan contoh bahwa kemajuan yang dialami Jepang
dengan tidak mengabaikan nilai-nilai kemasyarakatan. Jepang hanya
mengambil sains dan teknologi Barat saja. Sementara nilai yang menjadi
pedoman kehidupan tetap dipertahankan.
3) Golongan Nasionalis Turki yang muncul paling akhir dan melihat bahwa
pasukan peradaban Barat dan bukan Islam yang harus dijadikan dasar
pembaharuan, tetapi jiwa nasionalisme Turki-lah yang harus dijadikan
senjata dalam pembaharuan Turki. Tokoh utamanya adalah Ziya Gokalp.
Menurut Gokalp kelemahan bangsa Turki disebabkan keengganan umat
Islam dalam mengakui adanya perubahan dalam kehidupan disekeliling
mereka serta tidak mau mengadakan interpretasi baru yang sesuai dengan
kondisi zaman. Gokalp menghendaki Turki dibangun diatas kebudayaan
nasional yang unsur-unsurnya berasal dari Barat namun dijiwai oleh Islam
(Isputamingsih 2009: 79).
Ziya Gokalp adalah tokoh yang mengilhami kebijakan sekular Mustafa
Kemal. Ziya Gokalp merupakan seorang ahli sosiologi Turki yang mengamati
kondisi psikologi dan filsafat masyarakat Turki. Gokalp melihat kelemahan bangsa
Turki adalah karena “adanya keengganan dari umat Islam dalam mengakui adanya
perubahan dalam kondisi kehidupan mereka serta tidak mau mengadakan
interpretasi baru yang sesuai dengan keadaan zaman atas ajaran-ajaran Islam”
(Berkes, 1959: 7). Gokalp menginginkan Turki merupakan sebuah sintesis dari
Nasionalisme Turki, Islamisme dan Westernisme. Inilah yang menjadi pioner dari
pemikiran Mustafa Kemal dalam mewujudkan pembaharuan kerajaan Utsmani
menjadi Republik Turki yang menganut paham sekular. Jameelah (1965: 155)
mengatakan bahwa Ziya Gokalp adalah seorang diantara tokoh Turki yang
mempelopori sebuah negara sekular Turki yang dilaksanakan oleh Mustafa Kemal
Ataturk. Jameelah dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Modernisme” juga
mengkritik tajam pemikiran Gokalp yang dianggapnya tidak orisinil dan menjiplak
barat serta mencerminkan pendirian nasionalis tulen yang ingin menghancurkan
Islam.
Ziya Gokalp sebenarnya menginginkan pemisahan antara hukum ibadat
dan muamalat. Hukum ibadat menjadi urusan kaum ulama dan hukum muamalat
menjadi urusan negara. Dengan demikian, apa yang hendak dipisahkan oleh
golongan nasionalis dari negara bukanlah agama tetapi kekuasaan kaum ulama
yang terdapat di Biro Syaikh al-Islam, itu pun hanya masalah muamalat. Namun,
soal ibadah tetap berada di tangan kaum ulama (Nasution, 2003: 128).
Dalam pemikiran tentang pembaharuan, Mustafa Kemal dipengaruhi
bukan oleh ide golongan Nasionalis Turki saja, tetapi juga oleh ide golongan Barat.
Turki dapat maju hanya dengan meniru Barat. Setelah perjuangan kemerdekaan
selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru mulai, yaitu perjuangan untuk
memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di Turki. Peradaban \\Barat akan
diambil bukan hanya sebagian-sebagian, tetapi dalam keseluruhannya. Menurut
Argouglu seorang pengikut Mustafa Kemal, ketinggian suatu peradaban terletak
dalam keseluruhannya, bukan dalam bagian-bagiannya tertentu. Peradaban barat
dapat mengalahkan peradaban-peradaban lain, bukan hanya karena kemajuan ilmu
pengetahauan dan teknologi nya saja, tetapi karena keseluruhannya, keseluruhan
unsur-unsur nya, dan bukan unsur baiknya saja tetapi juga unsur tidak baiknya.
Peperangan antara timur dan barat adalah peperangan antara dua peradaban,
peradaban Islam dan peradaban Barat. Di dalam peradaban Islam, agama
mencangkup segala-galanya “mulai dari pakaian dan perkakas rumah sampai ke
sekolah dan institusi”. Turut campurnya Islam dalam segala lapangan kehidupan
membawa kepada mudurnya Islam, dan di Barat sebaliknya sekulerisasi-lah yang
menimbulkan peradaban yang tinggi itu. Jika ingin terus mempunyai wujud rakyat
Turki harus mengadakan sekulerisasi terhadap pandangan keagamaan, hubungan
sosial dan hukum mereka.
Mustafa Kemal berpendapat di dalam salah satu pidatonya bahwa
kelanjutan hidup di dunia peradaban modern menghendaki dari suatu masyarakat
supaya mengadakan perubahan dalam diri sendiri. Di zaman yang di dalamnya
ilmu pengetahauan membawa perubahan terus menerus bangsa yang berpegang
teguh pada pemikiran dan tradisi yang tua dan usang, tidak akan dapat
mempertahankan wujudnya. Masyarakat Turki harus diubah menjadi masyarakat
yang mempunyai peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner harus
dihancurkan (Nasution 2014: 140).
Westernisasi, Sekulerisme dan Nasionalisme itulah yang menjadi dasar
pemikiran pembaharuan Mustafa Kemal. Pembaharuan pertama ditujukan
terhadap perubahan negara. Mustafa Kemal berpendapat bahwa dalam hal ini harus
diadakan sekulerisasi. Pemerintah harus dipisahkan dari agama. Mustafa Kemal
juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik barat bahwa kedaulatan terletak
di tangan rakyat.
Pada konstitusi 1921, ditegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat, maka bentuk negara baru ini haruslah Republik. Pada bulan Oktober tahun
1923, Majelis Nasional Agung memutuskan bahwa Turki adalah negara Republik
(Nasution 2014: 142).
Binnaz Toprak dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Perkembangan
Politik di Turki” (1999: xviii-xxii) menjelaskan bahwa Mustafa Kemal mempunyai
prinsip yang disebut Kemalisme. Ideologi ini terbagi menjadi 5. Yaitu,
Republikanisme, nasionalisme, populisme, sekulerisme, dan etatisme.
1) Republikanisme : merupakan garis demarkasi dari sistem kekuasaan
yang semula berada di tangan Sultan lalu beralih ke tangan rakyat
diwakili oleh parlemen. Republik Turki yang diproklamirkan pada 29
Oktober 1923 menandai berakhirnya kekuasaan Kesultanan Turki
Utsmani yang kemudian beralih menjadi Republik Turki. kemenangan
gerakan rakyat ini telah mengundang reaksi keras dari Sultan dan
sebagian Ulama. Kebencian para Sultan di dunia Arab terhadap kelahiran
Republik Turki barangkali disebabkan antara lain oleh ancaman pudarnya
kekuasaan yang berciri dinastiisme lalu digantikan parlemen rakyat.
2) Nasionalisme : nasionalisme juga merupakan kekuatan kritik dan
perlawanan terhadap ideologi Ottomanisme dan Islamisme yang secara
geografis dan etnis meliputi berbagai wilayah, agama dan suku bangsa
mulai Iran, Irak, Balkan, Afrika Utara, bahkan pengaruhnya pernah
sampai Aceh. Salah satu sebab Mengapa republikanisme dan
nasionalisme muncul dan meraih kemenangan karena merosotnya
kekuasaan Kesultanan Utsmani pada awal abad ke-20.Otot-otot birokrasi
dan para pendukung kerajaan kian melemah, sementara kekuatan
ekonomi, ilmu pengetahuan dan militer Barat mulai bangkit. Kebangkitan
dan supremasi Barat baru disadari oleh penguasa Ottoman ketika Jerman
dan kawan-kawannya, termasuk Dinasti Utsmani kalah dalam Perang
Dunia I.
Kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I ini semakin mendorong
keyakinan para pendukung nasionalisme-turkisme yang dipimpin oleh
Mustafa Kemal untuk menggalang dan menghidupkan semangat
kebangsaan, bukannya kesultanan dan keislaman karena menurut Mustafa
Kemal, hanya ideologi dan bendera kebangsaan yang mampu
membangkitkan masyarakat dan bangsa Turki utnuk mempertahankan
identitas dan kehormatan dirinya di hadapan ancaman Eropa, terutama
Inggris. Untuk mewujudkan semangat ini maka rakyat harus diberi ruang
yang lebih luas dan hak-hak politiknya harus dihargai karena mereka
inilah sesungguhnya pemilik, pewaris dan penerus perjuangan bangsa
Turki.
3) Populisme : untuk mendukung itu semua maka ditetapkan sila
populisme yang berarti kerakyatan, yaitu the governance of the people,
with the people, for the people. Prinsip ini jelas berbeda dari prinsip
Kesultanan karena yang memegang dan mengendalikan politik adalah
Sultan, bukan rakyat.
4) Etatisme : pemikiran ini berasal dari Barat yang berkembang
di abad ke-19, yaitu campur tangan negara terhadap perencanaan dan
pengaturan ekonomi rakyat, sebagai kritik terhadap faham ekonomi
liberalisme. Di Turki, prinsip etatisme tidak hanya diberlakukan dalam
aspek ekonomi saja melainkan juga aspek sosial politik. Hal inilah yang
menyebabkan sampai hari ini peranan negara masih cukup kuat meskipun
mereka menyatakan diri sebagai pelopor demokrasi bagi dunia Islam.
5) Sekulerisme : sebagai salah satu prinsip ideologi Kemalisme yang
mengundang kontroversi dan caci maki serta kemarahan para ulama.
Prinsip Sekulerisme di Turki sulit dipahami tanpa melihat jauh ke
belakang praktik kehidupan politik di abad ke-16 dan berakhirnya dengan
berdirinya Republik Turki pada tahun 1923. Bangsa Turki yang berasal
dari daratan Asia Tengah ini datang ke wilayah Anatolia pada abad ke-11
melalui dua jalur, yaitu: daerah Balkan di sebelah Barat dan melalui Iran
di sebelah Timur. Mereka di kenal sebagai “warrior nation” karena
keahliannya mengendarai kuda dan keberaniannya di medan perang.
Dinasti Utsmani menjadi kekuatan politik yang di dalamnya terdapat
semangat keislaman dan ke-Turki-an dengan wilayah yang meliputi tidak
hanya benua Arab melainkan juga sampai ke Afrika, anak benua India dan
Eropa. Oleh karena itu Dinasti Utsmani meliputi wilayah dengan
penduduk wilayah non-Muslim.
Faham Sekulerisme muncul sebagai kritik atau perlawanan balik dari
gerakan republikanisme terhadap kekuasaan Turki Utsmani yang menggunakan
kekuatan jajaran Ulama dari simbol keagamaan sebagai alat legistimasi kekuasaan
politiknya. Tidak bisa diingkari bahwa kekuatan Dinasti Utsmani tidak semata
terletak pada kekuatan militernya namun juga pada dukungan dan kepandaian
penguasa untuk menggunakan agama sebagai sandarannya. Pada awalnya,
penggunaan simbol dan ideologi agama ini diterima oleh rakyat bahkan memiliki
daya panggil ideologis untuk memperthankan dan memperluas wilayah kekuasaan
Utsmani.
Di mata Mustafa Kemal dan para pengikutnya, satu-satunya jalan keluar
untuk menyelamatkan Turki waktu itu ialah dengan cara menyingkirkan peran
ulama dan merobohkan mitos “Kekhalifahan”. Sejarah munculnya sekulerisme di
Turki bukannya ditujukan untuk memusnahkan Islam dari bumi Turki melainkan
mengeliminasi peran ulama yang dipandang tidak cakap dan tidak mampu lagi
memberikan keamanan dan harga diri bangsa Turki terutama setelah Turki kalah
dalam Perang Dunia I. Kekalahan Turki yang bergabung bersama Jerman ini telah
menimbulkan ke-kagetan karena sebelumnya mereka memandang dirinya sebagai
kekuatan yang paling besar di bumi (Toprak, 1999: xviii-xxii).
Meskipun awal sekularisasi bermula sekitar abad ke-18, baru setelah tahun
1923 hubungan historis antara Islam dan negara itu ambruk. Sejalan dengan
sejarah panjang upaya westernisasi, program sekulerisasi Mustafa Kemal
bertujuan untuk menggantikan kebudayaan Islam dengan kebudayaan Barat
(Toprak, 1999: 2).
Perlunya pembaruan di Kerajaan Turki untuk pertama kalinya diakui di
abad ke-17 ketika Kerajaan itu mulai kehilangan kekuatannya. Pembaruan-
pembaruan di abad ke-17 itu merupakan upaya-upaya pribumi yang pada
umumnya berpusat di sekitar usaha untuk memperkuat otoritas pemerintah pusat.
Para pembaru Turki abad ke-19 berupaya mengatasi kontradiksi ini dengan
cara menerima arus modernisasi yang menyingkirkan pembaruan pribumi tentang
struktur-struktur sosio-politik Islam. Setelah runtuhnya Kerajaan Utsmani pada
akhir Perang Dunia I dan dilanjutkan berdirinya pemerintah Republik Turki tahun
1923, dualitas dalam tujuan-tujuan ini pada akhirnya bisa diselesaikan dengan cara
menerima peradaban Barat (Toprak, 1999: 61).
Program sekulerisasi Kemalis (sebutan bagi pendukung Mustafa Kemal)
setelah berdirinya Republik Turki pada tahun 1923 dan reaksi lanjutan terhadap
pembaruan-pembaruan Kemalis, memperkuat pentingnya kedua faktor ini dalam
kasus Turki. Serangan kubu Kemalis terhadap Islam pada dasarnya timbul dari
adanya pemahaman bahwa agama memainkan peranan konservatif dalam struktur
sosio-politik Kerajaan Utsmani (Toprak, 1999: 68).
Dalam suatu wawancara yang dilakukan oleh wartawan Perancis yang
bernama Maurice Pernot pada tahun 1923 (TurkInkilap Tarihi Enstitusu Yayinlari,
Ataturk 'un Soyley ve Demecleri 1918-1937, vol III Ankara Turk Tarih Kurumu
Basimevi 1961, hal 68), Mustafa Kemal mengatakan bahwa:
“Kami ingin memodernisasi negeri kami. Tujuan kami adalah
mendirikan sebuah negara modern, dengan demikian, sebuah negara Barat di
Turki. adakah suatu bangsa yang telah menunjukkan keinginannya untuk
memasuki peradaban tetapi tidak mau menoleh ke Barat?” ( Toprak, 1999: 70).
Toprak (1999: 72) menyatakan bahwa serangkaian pembaruan sekuler yang
dilancarkan pada dekade pertama setelah berdirinya Republik Turki, dirancang
untuk mengurangi peranan Islam dalam kehidupan Institusional dan kultural.
Dengan demikian program sekulerisasi itu menempuh empat fase:
1) Sekulerisasi simbolis, yakni melakukan pembaruan dalam aspek-aspek
kebudayaan nasional atau kehidupan sosial yang memiliki identifikasi
simbolis Islam.
2) Sekulerisasi Institusioanl, yakni perubahan-perubahan tatanan
organisasi yang dirancang untuk menghancurkan kekuatan institusional
Islam.
3) Sekulerisasi fungsional, yakni melakukan perubahan-perubahan fungsi
khusus institusi-institusi keagamaan dan pemerintahan,
4) Sekulerisasi legal, yakni perubahan-perubahan dalam struktur hukum
masyarakat.
Berawal dari pemikiran-pemikirannya inilah Mustafa Kemal banyak
melakukan perubahan Kebudayaan di Turki. Kebudayaan Turki yang sarat akan
budaya Islam akibat pengaruh dari kesultanan Turki Utsmani dihapuskan oleh
Mustafa Kemal. Melalui pemikirannya, ia membawa perubahan yang sangat
signifikan dalam terbentuknya negara Republik Turki. Kebudayaan sendiri
mempunyai arti keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.
Koentjaraningrat juga menyatakan dalam bukunya yang berjudul
“Pengantar Antropologi” (1998: 38) bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur
pembentuk kebudayaan. Yaitu:
1. Sistem Religi/ agama
2. Sistem Pengetahuan
3. Sistem Mata Pencaharian
4. Sistem Kemasyarakatan/ Organisasi Sosial
5. Sistem Bahasa
6. Sistem Teknologi
7. Kesenian
Dari ketujuh unsur tersebut, maka penulis menemukan bahwa unsur budaya
menurut Koentjaraningrat sesuai dengan perubahan-perubahan yang dilakukan
oleh Mustafa Kemal. Mustafa Kemal melakukan perubahan yang mencangkup
ketujuh unsur tersebut. Penulis menguraikan ke tujuh unsur ini sesuai dengan
perubahan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal, yaitu:
1. Sistem Religi/Agama
Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa Turki merupakan negara di
mana tempat kekhalifahan terakhir berdiri. Selama tujuh abad dari abad ke-14
hingga ke-20, kekhalifahan Turki Utsmani merasakan kejayaannya. Pandangan
mengenai pemerintahan dibawah naungan islam yang maju dan berjaya sudah
terdengar oleh seluruh bangsa di dunia. Islam-pun dipilih sebagai agama resmi dari
kekhalifahan Turki Utsmani yang tercatat dalam konstitusi negara (Furqon, 2012:
35).
Namun setelah masa pemerintahan Mustafa Kemal berlangsung, terjadi
banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang agama. Menurut Niyazi
Berkes (1964: 293-284) dalam Isputaminingsih menyatakan bahwa sekularisasi
yang dilakukan oleh Mustafa Kemal tidaklah dimaksudkan untuk menghapus
agama, tetapi lebih merupakan upaya menasionalkan agama. Hal ini dapat dilihat
dari sambutan persidangan Majelis Nasional Agung 1923, Mustafa Kemal
mengatakan bahwa agama Islam adalah satu dari agama yang paling logis dan
wajar dan karena itu menjadi agama yang paling terakhir. Untuk itu, agama
haruslah sesuai dengan kearifan, ilmu pengetahuan dan logika. Agama kita sesuai
sekali dengan semuanya ini.
Pada tanggal 7 Februari 1923 Mustafa Kemal menyatakan penggunaan
bahasa Turki pada khutbah Jumat di Masjid Baliksir. Ia berpendapat bahwa tujuan
khutbah adalah untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada rakyat dan tidak
lebih dari itu. Oleh karena itu, membaca khutbah yang sudah hampir berumur 100
tahun, 200 tahun, atau bahkan 1000 tahun berarti membiarkan umat manusia
dalam kebodohan dan ketertinggalan. Dengan demikian, merupakan suatu
keharusan bahwa orang yang memberikan khutbah harus selalu memberikan
khutbahnya dalam bahasa rakyat yang di khutbahi. Perubahan agama yang
dilakukan Mustafa Kemal bertujuan untuk men-Turki kan Islam, sehingga Islam
mudah dimengerti oleh rakyat Turki (Ali, 1994: 98-99).
Mustafa Kemal juga melakukan perubahan fungsi dan kedudukan Syaikhul
Islam serta Institusi Agama di Turki. Ia memutuskan untuk menghapuskan
kedudukan Syaikhul Islam pada 3 Maret 1924 (Ali, 1994: 107). Syaikhul Islam
merupakan lembaga yang mendapat kedudukan sebagai pemimpin yang
mempunyai peranan penting dalam semua urusan kenegaraan. Sejak
dikeluarkannya Konstitusi 1876, wilayah otoritas Syaikhul Islam tidak sebatas
hanya pada wilayah eksekutif tapi juga meliputi wilayah legislatif dan yudikatif
(Nasution, 1992:136). Selain menghapus kedudukan Syaikhul Islam, Mustafa
Kemal juga menghapus Kementrian Syari’ah dan Wakaf. Kementrian Wakaf
adalah kementrian yang mempunyai tanggung jawab untuk memberi bantuan
kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Kemudian uang yang berasal dari
kementrian wakaf ia gunakan untuk membuat patung-patung dengan wajah dirinya
(Latip, 2011: 353-354). Penghapusan institusi ini terjadi setelah disetujuinya
undang-undang pada tahun 1924 oleh Dewan Nasional Agung mengenai
penghapusan institusi tersebut (Toprak, 1999: 87).
Pada tahun 1925 ditetapkan undang-undang baru mengenai pembubaran
aliran-aliran agama yang berada di Turki. Undang-undang yang dimaksud adalah
Pasal 75 Konstitusi Negara Turki (Furqon, 2012: 41). Pelaksanaan dari Undang-
undang tersebut diwujudkan dengan ditutupnya pusat-pusat kegiatan, melarang
upacara-upacara keagamaan dan semua aktifitas-aktifitasnya. Sehingga semua
aliran yang ada dihapuskan oleh Mustafa Kemal pada tahun 1925. Kebijakan
Mustafa Kemal ini bukan tanpa perlawanan, ini dibuktikan dengan adanya
pemberontakan dari pemimpin Naqshabandiyah yang bernama Syaikh Said di
Anatolia Timur, dimana ia menentang tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
pemerintahan Mustafa Kemal (Ali, 1994: 85).
Perlawanan ini merupakan pemberontakan yang paling membahayakan,
sehingga setelah itu dibuatlah Pengadilan Kemerdekaan yang dibuat untuk
mengadili para pemimpin pemberontakan. Setelah itu majelis juga mengeluarkan
Undang-undang Pemeliharaan Ketertiban yang intinya memberikan kekuasaan
luar biasa kepada pemerintah dan berfungsi sebagai dasar partai untuk menumpas
semua oposisi politik (Toprak, 2000: 128). Walaupun Musatafa Kemal telah
melarang perkembangan aliran-aliran Islam, tetapi semua aliran tetap berkembang
meskipun dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi (Esposito, 2001: 66).
Pada tahun yang sama, yaitu 1925 Mustafa Kemal berhasil membuat
perubahan bentuk peribadatan. Ia mengubah masjid Aya Sophia menjadi museum.
Aya sophia memang awalnya berupa gereja. Namun pada tanggal 29 Mei tahun
1453 Aya Sophia berubah menjadi Masjid pada masa kepemimpinan Sultan
Muhammad Al-Fatih atas persetujuan penduduk Kristian di Kota Istanbul.
Kemudian, Masjid-masjid yang lain ditutup dengan alasan masjid-masjid itu
digunakan untuk menentang pemerintah, Masjid Al-Fatih ditutup dan dijadikan
gudang. Sedangkan Masjid Abu Ayub Al-Anshari tidak ikut ditutup.Sejak
dikeluarkannya perintah itu orang-orang dilarang untuk mengerjakan solat di
masjid Aya Sophia. Ukiran ayat-ayat Al-Quran di hapus dan diganti dengan
gambar-gambar lama (Latip, 2011: 374). Akan tetapi, penulis menemukan
perbedaan tahun pergantian Aya Sophia menjadi museum. Freely (2012: 410)
menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Istanbul Kota Keisaran” bahwa masjid
Aya Sophia dirubah menjadi museum pada tahun 1934. Setelah menutup masjid-
masjid, Mustafa Kemal juga menutup tempat-tempat suci (türbe) dan pusat-pusat
perkumpulan darwis (tekke) pada bulan September 1925. Tekke dan türbe
memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari (Zürcher, 2003: 224).
Kebijaksanaan Mustafa Kemal sejak awal adalah memisahkan agama dari
masalah politik, sosial dan kebudayaan. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi
praktek agama hanya disekitar tempat-tempat ibadah. Perubahan yang dilakukan
oleh Mustafa Kemal dalam agama Islam adalah pada bentuk beribadatan, bahasa
ibadah, ciri sholat dan segi pemikiran ibadah. Fungsi dan cara peribadatan di
masjid mulai mengalami suatu perubahan ketika muncul komite yang dibentuk
oleh Fakultas Teologi Universitas Istanbul di bawah pimpinan Profesor Mehmed
Fuad Koprulu. Ia melakukan perubahan masjid-masjid yang ada di Turki pada
tahun 1928. Tujuan dari dibentuknya komite ini adalah untuk merencanakan guna
memordenisasi Islam. Pembaharuan yang menjadi sasaran salah satunya adalah
yang berhubungan dengan tempat peribadatan (Ali, 1994: 108).
Dalam melaksanakan tugasnya, komite melakukan perombakan mengenai
tata cara di masjid. Mereka melakukan rekomendasi untuk mengenalkan kursi
gereja dan ruang penyimpanan tempat mantel kedalam masjid. Setiap orang yang
ingin memasuki masjid harus menggunakan sepatu yang bersih (Isputaminingsih,
2009: 139). Ketentuan yang telah ditetapkan oleh komite tersebut telah dijalankan
sesuai dengan kebijakannya dan dilaksanakan pada tahun yang sama. Alasan yang
dikemukakan oleh komite adalah untuk menenkanakan pentingnya masjid yang
bersih dan teratur dengan bangku dan kamar untuk menyimpan jubah. Dengan
demikian, hal ini sangat berbeda dengan fungsi masjid sebenarnya (Furqon, 2012:
37).
Komite agama juga melakukan banyak perubahan-perubahan terhadap
fungsi masjid sekaligus cara peribadatan di dalamnya. Komite lalu berpikir untuk
menyiapkan penyanyi-penyanyi dan imam-imam yang mempunyai pengetahuan
tentang musik. Mereka mempunyai tujuan untuk menjadikan sholat lebih indah,
memberi inspirasi dan spiritual. Hal tersebut juga mendorong mereka untuk
menyediakan alat-alat musik dalam tempat sholat (Ali, 1994: 108-109) .
Mustafa Kemal terus meneruskan perjuangannya dalam merubah agama
baik dalam bentuk dan suasananya seperti perubahan bahasa dalam peribadatan.
Selain itu tempat peribadatan harus dibuat sebagaimana yang lazim di Barat
seperti:
“mesjid dibangun dengan bentuk dan suasana gereja di negara-negara
barat, dengan menekankan pada pentingnya mesjid yang bersih, dengan
bangku-bangku dan ruang menyimpan mantel, mewajibkan jamaah masuk
dengan sepatu yang bersih, menggantikan bahasa Arab dengan bahasa
Turki, menyediakan alat-alat musik ditempat shalat untuk memperindah
bentuk shalat, dan mengubah teks-teks khutbah yang telah ada dengan
khutbah yang berisi pemikiran agama berdasarkan filsafat Barat.”
(Jameelah 1965:159).
Mukti Ali (1994: 168), menjelaskan penekanan sangat dilakukan dalam
bentuk peribadatan. Tempat peribadatan harus bersih, teratur, mudah didatangi
dan patut dihuni. Untuk itu tempat ibadah harus menyediakan bangku dan kamar
untuk menggantungkan baju diluar. Rakyat juga diharuskan untuk memasuki
tempat-tempat ibadah dengan sepatu yang bersih. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga kesehatan dan kebersihan dalam melakukan ibadah. Alasan penyediaan
kamar dalam tempat-tempat ibadah adalah karena Turki mengalami musim dingin,
maka dalam musim itu orang-orang Turki memakai baju luar yang tebal yang akan
dilepaskan sewaktu akan melakukan sholat. Orang-orang Turki memakai sepatu
boot dan sepatu tersebut dilepas pada waktu masuk tempat-tempat ibadah, dan
mereka melakukan sholat dengan sepatu dalam.
Fadlullah Jamil dalam Furqon (2012: 45) menyatakan bahwa pada masa
pemerintahannya, Mustafa Kemal membuat peraturan pelarangan naik haji bagi
masyarakat Muslim di Turki. Sebagaimana umat muslim di dunia, umat muslim
yang berada di Turki juga melakukan ibadah Haji setiap tahunnya. Ditambah
dengan kondisi letak geografis Turki yang berdekatan dengan Saudi Arabia
memudahkan rakyat Turki untuk melaksanakan kewajiban dari rukun islam yang
kelima tersebut. Kegiatan tersebut pasti sering terlihat tatkala kekhalifahan Turki
Utsmani masih berkuasa di Turki, akan tetapi hal ini jarang dilaksanankan atau
dirasakan pada masa pemerintahan Mustafa Kemal. Ketika mulai dilakukannya
revolusi agama pada tahun 1928, Mustafa Kemal mulai mengeluarkan kebijakan
pelarangan untuk melaksanakan ibadah Haji. Dengan adanya kebijakan ini, banyak
penduduk Muslim di Turki tidak dapat melakukan ibadah Haji di Makkah.
Akhirnya kebijakan pelarangan Haji ini dicabut pada tahun 1948 setelah Mustafa
Kemal wafat, sehingga penduduk Muslim di Turki dapat kembali melaksanakan
ibadah Haji.
Pada tahun 1928 Mustafa Kemal menghapuskan artikel 2 Konstitusi Turki
tahun 1921 tentang pencantuman Islam sebagai agama negara, sehingga antara
agama dan negara sudah tidak ada lagi sangkut pautnya (Nasution, 2003:143).
Perubahan yang diinginkan Mustafa Kemal adalah islam yang di Turki-kan dan
tidak terikat oleh peradaban Timur (Arab). Menurutnya agama merupakan suatu
lembaga sosial dan karena itu harus disesuaikan dengan sosial dan budaya
masyarakat Turki (2003: 144).
Pada tahun yang sama, 1928 Mustafa Kemal juga merubah bahasa Arab
sebagai bahasa dalam ibadah dengan bahasa Turki (Ali, 1994: 90). Ia mengambil
secara penuh pemikiran Ziya Gokalp. Ia juga melakukan sebuah transformasi
bahasa peribadatan dengan tujuan untuk membersihkan bahasa Turki dari kosa
kata Arab Persia (Mughni, 1997: 157). Pemikiran Ziya Gokalp adalah ia
berpendapat bahwa beribadah akan mudah di mengerti apabila kita bisa
memahami bahasa yang kita gunakan dalam peribadatan. Gokalp juga menyatakan
bahwa sebagai bangsa Turki menjadi suatu keharusan melaksanakan sholat dalam
bahasa Turki. Hingga demikian, bangsa Turki bisa mengerti sholat mereka dan
memperoleh rasa berupa ilham dari agama mereka. Jadi, menurutnya bahasa
peribadatan dalam sholat agar dilakukan dalam bahasa Turki (Ali, 1994: 64).
Perubahan demi perubahan terus berlanjut. Agama Islam yang sebelumnya
memiliki peranan yang penting dalam pemerintahan dan masyrakat Turki, bergeser
peranannya. Tidak hanya perubahan bahasa dalam sholat, bahasa Al-Qur’an juga
dirubah dalam bahasa Turki. Oleh karena itu, Al-Qur’an harus disajikan dalam
bahasa Turki (Furqon, 2012: 30). Selain itu, ia juga memerintahkan untuk
menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Turki dengan Tulisan Latin. Dan Al-
Qur’an dalam bahasa arab juga dibakar (Latip,2011: 231).
Pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengganti
pengucapan adzan dari bahasa arab ke dalam bahasa Turki (Jameelah 1965: 159).
Tepatnya pada bulan Januari 1932, adzan berbahasa Turki secara resmi juga
dikumandangkan. Dalam bahasa Turki Lafadz Allahu Akbar digantikan dengan
Allahu Buyuk. Mustafa Kemal menginginkan azan dirubah kedalam bahasa Turki
supaya mudah dipahami oleh semua orang (Latip,2011: 301). Adzan dalam bahasa
Turki disiapkan oleh himpunan linguistik dan disiarkan oleh kantor kepresidenan
urusan agama. Melodi adzan dalam versi Turki disetujui oleh konservatori musik
nasional Ankara. Pada tahun 1933 dikeluarkan keputusan pemerintah yang
menyatakan bahwa adzan dalam bahasa Arab merupakan suatu pelanggaran
(Husaini, 2005: 273).
Kebijakan yang terkait dengan adzan yang berbahasa Turki tentunya
mendapat perlawanan dan tantangan dari berbagai ulama dan masyarakat muslim
Turki. Salah satunya yaitu kelompok Naqsabandiyah. Pengikut Naqsabandiyah
mengadakan perlawanan dalam pemeberontakan Bursa pada tahun 1933,
dilanjutkan dengan perlawanan terhadap kebijakan kali ini sampai tahun 1936 di
daerah Timur. Respon pemerintah cukup keras dengan melakukan penumpasan,
penganiayaan dan hukuman mati (Toprak, 1999: 131).
Selain itu pada waktu itu dibentuk sebuah komite di Fakultas Teologi di
Universitas Istanbul untuk memodernisasikan Islam sebagai usaha menyebarkan
keinginan kemal untuk “menghapuskan penggantian bahasa arab dalam sholat dan
praktek ibadah harus menggunakan bahasa Turki” dapat digagalkan kaum Ulama
(Ali, 1994: 89). Namun kebijakan adzan berbahasa Turki berlangsung cukup lama
yaitu selama 19 tahun. Sekitar tahun 1950, adzan berbahasa Arab baru kembali
dikumandangkan (Esposito, 2001: 66).
Sebenarnya tujuan Mustafa Kemal yang merasionalkan agama adalah
dalam rangka memajukan Turki agar dapat menguasai sains dan teknologi
merupakan langkah yang bijaksana, tetapi tindakan Mustafa Kemal yang radikal
dalam merubah bacaan Sholat dan Adzan dan praktek keagamaan lainnya kedalam
bahasa Turki merupakan tindakan yang tidak dapat di toleransi (Isputaminingsih,
2009: 141).
2. Sistem Pengetahuan Dan Pendidikan
Dalam proses perubahan kebudayaan di Turki, pendidikan memainkan
peranan yang penting, tetapi kondisi pendidikan yang ada sedang dalam keadaan
yang menyedihkan, sarana fisik dan sumber daya sangat tidak memadai. Mayoritas
penduduknya buta huruf dan struktur warisan kekhalifahan Turki Uutsmani tidak
dimanfaatkan untuk membangun dan memperbaiki kondisi negara. Sejak awal,
Mustafa Kemal menerapkan kebijakan yang sengaja untuk mengatur kembali
seluruh sistem pendidikan dan memperluasnya dengan sistematis serta
memanfaatkannya untuk tujuan nasional (Djainuri,2001: 257).
a. Penghapusan Sekolah-Sekolah Keagamaan
Masyrakat Turki Utsmani tradisional memahami istilah pendidikan
sebagai upaya untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan tentang ilmu agama.
Sekolah-sekolah yang didirikan adalah sekolah yang berbasis agama yang
dinamakan medrese (madrasah) (Toprak, 1999: 91).
Pelajaran yang diajarkan dalam sekolah yang berbasis agama-agama itu
secara keseluruhan mengenai ajaran agama. Majunya kebudayaan dan peradaban
serta perkembangannya yang pesat membuat pengaruhnya tidak bisa dihindari dan
ditahan lagi, menyebabkan sistem pendidikan modern mulai masuk dan menggeser
ajaran-ajaran agama yang sebelumnya diterapkan di sekolah. Tahap selanjutnya,
terjadi sebuah perubahan sistem dimana Mustafa Kemal melakukan pembaharuan
dengan menghapus sekolah-sekolah agama.
Keputusan penghapusan agama di dalam sekolah-sekolah merupakan
upaya pengontrolan atas perkembangan Islam di Turki dan menjatuhkan pengaruh
agama dalam urusan pendidikan (Ali, 1994: 107-108). Pengontrolan dan perubahan
yang dilakukan yaitu dengan mengganti sekolah keagamaan yang telah dihapuskan
dengan mendirikan sekolah baru dibawah Yuridiksi Kementrian Pendidikan. Pada
tahun 1924, ia mendirikan Fakultas Teologi. Pada awal berdirinya, mahasiswa
yang mendaftar di fakultas Teologia berjumlah 244 orang, namun angka ini
menurun menjadi 20 orang pada tahun 1933. Kemudian Fakultas Teologi ditutup
dan digantikan dengan sebuah Institut untuk Studi Islam yang didirikan di
Universitas Istanbul. Namun demikian, Insititut ini hanya bertahan selama tiga
tahun. Pada tahun 1936 Insitusi ini di tutup karena sebagian besar tenaga
akademisnya mengeluarkan diri (Toprak, 1999:92-93). Mustafa Kemal kemudian
menutup sekolah-sekolah agama dan mengeluarkan surat yang memerintahkan
sekolah agama untuk ditutup. Ia juga mewajibkan pengajaran huruf latin di semua
sekolah (Latip,2011: 231).
Pembangunan sistem pendidikan modern oleh pemerintahan Mustafa
Kemal mengeluarkan undang-undang penyatuan pada tahun 1924. Penyatuan
pendidikan yang dilakukan oleh Mustafa bertujuan untuk menghilangkan dualisme
dalam sistem pendidikan, yaitu pendidikan tradisional (agama) dan pendidikan
modern (umum). Seluruh sekolah agama/madrasah, baik yang dikelola kementrian
wakaf atau yayasan wakaf swasta ditutup. Undang-undang tersebut mewajibkan
seluruh sekolah berada dibawah penguasaan Kementrian Pendidikan. Negara
mengambil alih sistem pendidikan Agama dari para Ulama, yang dimaksudkan
untuk menerapkan sistem pendidikan nasional modern yang tersentralisasi (An-
Na’im, 2007: 369).
Sejak saat itu pendidikan umum dipisahkan dari pengaruh agama,
madrasah-madrasah ditutup dan diganti dengan sekolah-sekolah modern. Secara
keseluruhan 479 madrasah ditutup. Langkah ini menandai berakhirnya sistem
ganda dalam pendidikan yaitu, sekolah agama dan sekolah umum. Hal itu
menyebabkan kesenjangan antara orang-orang yang dididik di sekolah-sekolah
modern dan yang dididik di sekolah agama. Selain itu kurikulum sekolah juga
diperbaiki agar sesuai dengan ideologi yang baru yaitu, dengan menghapus
pelajaran sejarah Kesultanan Turki Utsmani dan wilayah Islam. Buku-buku
pelajaran ditulis ulang dengan memasukan pembahasan tentang sejarah
pembentukan \Republik Turki beserta prinsip dan tujuannya. Dalam rangka
menasionalkan pelajaran-pelajaran tersebut, pemerintah mengubah program yang
secara teoritis sangat berorientasi pada warisan masa lalu (Djainuri, 2001: 264-
265).
b. Penghapusan Pelajaran Agama di Sekolah Formal
Pendidikan agama merupakan hal yang penting untuk diberikan sebagai
bahan transfer dalam ilmu. Pendidikan agama menjadi pelajaran dan ilmu
terpenting yang diajarkan agar membentuk karakter yang agamis. Pemahaman
yang mendalam mengenai agama akan membuat seseorang mendekatkan dirinya
kepada Sang Pencipta. Walaupun agama penting untuk diajarkan, namun hal itu
tidak sejalan dengan pemikiran para tokoh nasionalis dan modernis. Mereka
berpendapat bahwa agama merupakan masalah individu dan tidak ada kaitannya
dengan negara (Ali, 1994: 110).
Pendidikan agama ditiadakan di sekolah-sekolah pada tahun 1933, akan
tetapi pemerintah masih mengurus masalah agama melalui Departemen Urusan
Agama, termasuk sekolah-sekolah pemerintah untuk Iman dan Khotib dan
Fakultas Ilahiyat dari perguruan tinggi Negara Universitas Istanbul (Nasution,
2003: 144).
Peraturan untuk melarang pendidikan agama yang diajarkan dikelas
dikeluarkan pada tahun yang sama dengan dihapuskannya sekolah-sekolah
keagamaan pada tahun 1924 (Ali, 1994: 107). Peraturan tersebut berupa dekrit
presiden yang dikeluarkan pada tanggal 7 Februari 1924. Isi dari dekrit itu adalah
melepaskan semua unsur keagamaan dari sekolah-sekolah asing dan menyatakan
penyatuan pendidikan dibawah satu Kementrian Pendidikan (Isputaminingsih,
2001: 145).
Stokhof dalam Jameelah (1965: 145) menyatakan pada tanggal 7 Febuari
1924 Mustafa Kemal mngeluarkan dekrit yang isinya melepaskan semua unsur
keagamaan dari sekolah-sekolah asing dan menyatakan penyatuan pendidikan
dibawah satu atap yaitu berada dibawah Kementrian Pendidikan. Ini berarti
penghapusan semua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh badan-badan Islam
terhadap sekolah. Adanya peraturan menghapuskan pendidikan agama di sekolah-
sekolah dimaksudkan agar membatasi pemahaman dan praktik agama dan
keagamaan. Hal tersebut merupakan salah satu cara pengontrolan pemerintahan
dalam perkembangan Islam agar sesuai dengan kebijakan (Ali, 1994: 109).
Peraturan yang telah dibuat tersebut dapat dikatakan bahwa hal tersebut
diupayakan oleh Mustafa Kemal dengan tujuan ingin menjauhkan agama dari
dunia pendidikan. Pembatasan pengetahuan agama akan menjadi sebuah gagasan
yang menciptakan sebuah generasi untuk menciptakan negara yang jauh dari
pengaruh agama (Furqon, 2012: 62). Kemudian, pada tanggal 1 November 1928
pelajaran bahasa Arab dan Persia dihapuskan dan tulisan Arab diganti dengan
tulisan Latin dimaksudkan agar sains dan teknologi Barat dapat dengan seluas
luasnya dipelajari oleh bangsa Turki (Isputaminingsih, 2009: 146).
c. Penghapusan Pelajaran Bahasa Arab di Sekolah-sekolah
Sekolah agama di Turki yang sudah ada sejak 600 tahun yang lalu akan
ditutup. Ia berpendapat bahwa di sekolah tidak perlu ada pelajaran bahasa Arab.
Bagi Mustafa bahasa Arab bukan bahasa Ilmu dan bahasa Arab tidak dapat
digunakan dalam melawan musuh (Latip, 2011: 229-230).
Mustafa Kemal melaksanakan revolusi pendidikan. Ia ingin melahirkan
pelajar yang maju dan mengikuti zaman. Pelajaran bahasa Inggris, Matematika,
ilmu Sains dan juga sastra Inggris akan dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah-
sekolah. Namun, pelajaran agama Islam dan bahasa Arab tidak lagi diajarkan di
sekolah. Sekolah agama akan ditutup (Latip, 2011: 226).
Agar mudah dalam mempelajari ilmu seperti bahasa Inggris dan ilmu Sains
maka tulisan Arab akan dihapus dan digantikan dengan tulisan latin (Latip, 2011:
226-227). Disamping hasil-hasil yang diperoleh, perubahan yang bersifat terburu-
buru ini menimbulkan kesukaran yang barangkali tak terpikirkan sebelumnya,
yakni bahwa murid-murid sekolah tidak mempunyai buku bacaan karena
perpustakaan masih tertulis dalam huruf Arab (Suwirjadi, 1952: 98).
d. Pembatasan dan Pelarangan Media Islam Sebagai Sarana Pendidikan
dan Media Dakwah
Banyak cara yang dilakukan untuk menyebarkan dakwah, seperti melalui
pendidikan, media massa, atau ceramah-ceramah keagamaan. Dakwah merupakan
cara yang dipakai untuk menyebarkan syi’ar Islam dalam memberikan
pengetahuan kepada umat muslim. Tujuannya untuk memberikan pengetahuan dan
pemahaman yang luas mengenai ajaran agama yang benar. Melatar belakangi hal
tersebut, maka cara yang dipilih dalam penyebaran dakwah yaitu melalui media
dakwah yang mudah untuk didapatkan publik. Pembatasan penyebaran agama
yang dilakukan oleh Mustafa Kemal terhadap aliran-aliran Islam memberikan
dampak terhadap media-media penyebaran dakwah. Ia mencoba untuk membatasi
penyebaran dakwah dengan menghapuskan pendidikan agama di sekolah-sekolah,
melarang siaran keagamaan di radio dan pembatasan dalam ceramah-ceramah
keagamaan (Ali, 1994: 122).
Langkah pertama yang dilakukan oleh Mustafa Kemal untuk membatasi
penyebaran dakwah Islam adalah dengan menghapuskan pendidikan agama di
sekolah-sekolah. Langkah ini diambil agar bisa mengontrol perkembangan dan
pemahaman Islam agar nantinya tidak merugikan kebijakan pemerintah yang pro
akan Barat. Sehingga dalam memenuhi kebutuhan pengetahuan agama, ia
mendirikan sekolah-sekolah keagamaan dibawah institusi pemerintahan dengan
pengontrolan yang ketat dari pemerintahannya. Langkah yang diambil oleh
Mustafa kemal selanjutnya yaitu pelarangan siaraan keagamaan di stasiun radio
Turki. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an di radio-radio harus dihilangkan. Acara
keagamaan diganti dengan acara lain. Kebijakan tersebut ditetapkan dalam
Konstitusi Negara Pasal 77 yang intinya semua media berada dalam pengawasan
pemerintah (Furqon, 2012: 43).
e. Peningkatan Pendidikan Bagi Kaum Perempuan
Mustafa Kemal juga sangat memperhatikan pendidikan bagi perempuan
Turki. Antara tahun 1923-1924 perempuan di Turki diberikan kesempatan untuk
mengikuti pelajaran yang sama dengan laki-laki pada semua fakultas di
Universitas. Pada tahun 1927 pendidikan bersama antara pria dan wanita secra
resmi dibuka di semua jenjang dalam sistem pendidikan. Semua warga Turki
berusia 15-45 tahun diwajibkan mengikuti pelajaran kewarganegaraan,
kesusastraan, matematika dan kesehatan. Bahasa dan sejarah merupakan pelajaran
utama disetiap jenjang pendidikan. Hal ini bertujuan untuk membangkitkan dan
memperkuat kesadaran nasional Turki. Mustafa Kemal mendukung pelajaran
sebelum masa Utsmani dan Teori Bahasa Matahari. Teori ini menyatakan bahwa
semua bahasa pada mulanya berasal dari satu bahasa purba yang dipakai di Asia
Tengah, bahwa bahasa Turki merupakan bahasa yang paling erat dengan bahasa
asal ini dan semua bahasa dikembangkan dari bahasa purba itu melalui bahsa
Turki. Tujuan dari pelajaran sejarah ini adlah untuk mengajarkan kepada siswa
bahwa bangsa Turki pernah memimpin peradaban (Zürcher, 2003: 246-247).
Mustafa Kemal juga mengirim tenaga pendidik ke desa-desa yang bertugas
antara lain:
Mengatur dan mengajar disekolah desa
Mengadakan upacara hari libur nasional
Mengembangkan tingkat ekonomi masyarakat desa dengan
mengajarkan cara membuat dan mengelola ladang dan kebun. Selain itu
mereka juga mengajarkan cara pemakaian alat dan mesin yang benar
terhadap warga, dan membentuk kerjasama, mempopulerkan olahraga
atletik dikalangan pemuda desa dan bertanggung jawab mengelola
serta melindungi utan beserta peninggalannya (Djainuri, 2001:283).
Usaha Mustafa Kemal dalam membentuk sistem pendidikan yang modern
telah terbentuk dan dapat mencapai hasil yang baik. Data statistik pendidikan
memperlihatkan tingkat kemajuan yang dicapai dalam pendidikan. Tingkat
kemampuan membaca dan menulis menjadi dua kali lipat, tingkat kemampuan
membaca dan menulis pada laki-laki meningkat 17,6% menjadi 35,5%. Dan pada
Wanita meningkat dari 4,8% menjadi 9,9% (Djainuri, 2001: 289).
Lapangan lain yang sangat diutamakan oleh Mustafa Kemal ialah
pendidikan pemuda. Pendidikan yang hingga masa revolusi kebanyakan hanya
dijalankan di dalam surau-surau, yang pada tahun 1926 berjumlah kurang lebih
30.000 dibandingkan dengan sekolah rakyat yang hanya berjumlah 5.000. Dengan
penghapusan kedudukan agama Islam sebagai agama negara, berakhirlah pengaruh
dari campur tangan para alim ulama dalam urusan pengajaran. Pemerintah
berupaya untuk menambahkan sekolah rakyat yang pada dalam masa permulaan
itu lebih diutamakan dari sekolah menengah dan perguruan tinggi. Dari tahun 1924
sampai 1927 jumlah sekolah rakyat meningkat menjadi 25% sedangkan sekolah
menengah turun hingga 8%. Kemudian sambil menunggu penyusunan rencana
pengajaran tinggi yang sesuai dengan semangat baru, kemudian beberapa sekolah
tinggi ditutup (Suwirjadi, 1952: 98).
Tak dapat diteliti disini secara lengkap, seberapa jauh Turki sudah mencapi
cita-cita pemimpinnya. Turki juga mempunyai faktor penghambat, diantaranya
pendidikan umum sangat terhambat akibat kekurangan guru, dan pada tahun 1930
baru 25% dari anak-anak di desa-desa bersekolah. Dikota-kota kurang lebih baru
80% anak-anak yang bersekolah. Jumlah permasalahan buta huruf pun masih
terbilang tinggi, pada tahun 1935 penderita buta huruf mencapai 80% dari 16,2
juta jumlah penduduk (Suwirjadi, 1952: 106).
3. Sistem Mata Pencharian Dan Ekonomi
Kerajaan Utsmani adalah sebuah negara prakapitalis. Kebijakan-kebijakan
perekonomian negara, sebagaimana adanya di zaman dulu bertujuan untuk
memberikan nafkah hidup bagi penduduk, menyediakan kebutuhan sebagai pusat-
pusat populasi yang besar dan menarik pajak dalam bentuk uang dan yang sejenis
lainnya (Zürcher, 2003: 12).
Pada masa Utsmani produksi pertanian dan pengumpulan pajak merupakan
basis utama bagi negara, hal ini dilakukan dimana-mana melalui sistem pajak
pertanian (Iltizam). Adanya pajak pertanian ini berarti negara memiliki hak untuk
menarik pajak pada periode tertentu. Sistem ini memberikan keuntungan bagi
pemerintah pusat yaitu pendapatan kerajaan yang terjamin. Perdagangan kerajaan
Turki Utsmani sebagian besar bersifat lokal yaitu dari desa ke pasar dikota atau
antar distrik yang berdekatan. Perdagangan jarak jauh terbatas pada barang-barang
yang relatif ringan dan mahal. Dari volume total perdagangan, perdagangan
internasional hanya merupakan bagian kecil saja. Para saudagar dan Muslim
mempunyai peranan penting dalam perdagangan di laut Merah dan teluk Persia
(Zürcher, 2003: 13).
Status ekonomi kaum petani Utsmani selama berabad-abad secara
substansial tidak mengalami peningkatan. Selama periode klasik Kerajaan
Utsmani, struktur sosial di pedesaan didasarkan pada sistem timar-sipahi. Timar
adalah “tanah militer” atau satuan tanah terkecil yang dipegang oleh sipahi,
kemudian hasil pengelolahan tanah tersebut diberikan kepada sipahi. Sipahi adalah
pemegang tanah atau yang mempunyai tanah tersebut. Sebagai imbalannya, dia
menyediakan kavaleri bagi negara, ukurannya ditentukan oleh penghasilan dan
timar-nya. Namun, sistem timar-sipahi ini hanya bertahan hanya sampai abad ke-
19 (Toprak, 1999: 112-113).
Merosotnya perekonomian Turki Utsmani disebabkan oleh kekacauan
pengumpulan pajak yang berasal dari negara-negara vasal, negara vasal merupakan
negara bawahan atau taklukan yang berada dibawah kekuasaan dan pemerintahan
pusat kekaisaran Ottoman/Utsmani. Pengeluaran untuk biaya perang yang terus
menerus terjadi untuk pembangunan militer yang modern serta korupsi yang
terjadi di pemerintahan, semakin memperparah keadaan perekonomian di Turki.
Keterlibatan Turki dalam perekonomian dunia menyebabkan Turki Utsmani
mempunyai hutang. Pinjaman pertama kali diberikan pada tahun 1854 semenjak
saat itu perkembangan perekonomian Turki Utsmani bergantung kepada pinjaman
Eropa (Lapidus, 2007: 87).
Selain itu, faktor yang menyebabkan kemerosotan Turki Utsmani adalah
krisis ekonomi yang dihadapi pemerintah. Krisis ekonomi yang terjadi sangat
berimbas kepada seluruh masyarakat umum, misalnya sektor perdagangan yang
juga mengalami kejatuhan. Hal tersebut terjadi di Salonika yang merupakan salah
satu kota pusat perdagangan, sehingga hal tersebut membuat frustasi para pelaku
ekonomi (Stanford dan Ezel, 1997: 265). Beberapa wilayah lain seperti Anatolia,
penduduknya harus menanggung kesulitan ekonomi akibat dari buruknya panen
yang terjadi. Salah satu kemuduran Turki Utsmani adalah adanya sistem Ekonomi
yang kurang begitu bagus yang disebabkan karena melemahnya sistem politik dan
akibat terjadinya pemberontakan-pemberontakan. Muculnya kapitalisme bangsa
Eropa dan dominasi bangsa Eropa di bidang perdagangan, mengakibatkan terus
menurunnya produksi industri kerajinaan masyarakat Turki Utsmani. Ekspansi
bangsa Eropa di bidang perdagangan dan meningkatnya perputaran modal telah
memunculkan sejumlah industri baru di sektor industri logam dan tekstil
(Azyumardi, 1996: 32).
Sebagai orang militer, Mustafa kemal dan menterinya Ismet Pasha tidak
biasa mengerjakan hal-hal yang bersangkutan dengan perekonomian dan
kesejahteraan rakyat. Dalam menjalankan pemerintahan, mereka berpegang teguh
pada pedoman bahwa kemerdekaan negara harus diwujudkan dalam arti kata
sebenarnya. Bahwa, negara tidak boleh menerima atau menggantungkan usahanya
pada pinjaman asing yang akan memberatkan mereka. Mengingat keadaan
keuangan dan perekonomian yang waktu itu tidak dapat memberi jaminan kepada
suatu pinjaman. Maka segala pengeluaran uang dibebankan kepada rakyat, rakyat
harus membayar pajak yang besar kepada pemerintah walaupun pembagian
kewajiban pembayaran pajak diatur secara lebih adil daripada masa pemerintahan
Sultan atau Utsmani. Kemudian, Mustafa Kemal memerintahkan untuk
menggunakan hukum dagang Jerman dalam pemerintahannya (Suwirjadi, 1952:
94).
Tindakan-tindakan yang dilakukan Mustafa dilapangan perekonomian
sangat keras. Akibat peperangan yang terjadi terus menerus semenjak 1914, negara
rusak dan juga pertanian terlantar. Selain itu akibat lain adalah peperangan
meninggalkan kurang lebih satu juta korban jiwa diberbagai medan peperangan.
Rakyat Turki yang berjumlah sekitar 12- 13 Juta jiwa itu tidak siap untuk memikul
kewajiban baru di lapangan pertanian. Tetapi karena Mustafa Kemal menetapkan
bahwa Turki harus memenuhi sendiri segala kebutuhannya, maka bea impor untuk
segala barang keluaran luar negeri dinaikkan, batas negeri ditutup untuk barang
asing, juga bahan-bahan makan (Suwirjadi, 1952:95). Biaya peperangan yang terus
menerus sangat menekan rakyat. Penahanan yang dilakukan orang dalam dinas
tentara mengacaukan pertanian dan banyak ladang yang tidak digarap.
Namun, Mustafa Kemal sebagai presiden pertama Turki berusaha
memperbaiki keadaan perekonomian Turki yang pertama pada awal Februari tahun
1923 di Izmir. Dalam kongres tersebut Mustafa Kemal menekankan pentingnya
kemandirian perekonomian (Zürcher, 2003: 253).
Dengan kepergian orang Yunani dan Armenia, orang Turki terpaksa
memasuki berbagai lapangan usaha yang tidak saja asing bagi mereka melainkan
juga bertentangan dengan pekerjaan yang dahulu dilakukan. Pada tahun 1925-1926
Turki mempunyai kurang lebih 340 bengkel kerajianan kecil-kecil, dan untuk
memenuhi segala keperluan hanya ada satu pabrik gula dengan kapasitas yang
hanya menghasilkan 535 ton selama setahun. Untuk kerajinan tenun, banyak
mengalami kemunduran. Barangkali hanya ada satu pabrik tenun yang masih utuh.
Perindustrian yang mengolah hasil bumi Turki adalah pabrik tenun kapas di
Kaiseri.
Walaupun begitu, pemerintah tidak mengizinkan untuk pengadaan
pemasukan barang-barang konsumsi, dikarenakan keuangan negara tidak
mengizinkan impor semacam itu. Sebaliknya dari semula, segala sesuatu di atur
untuk menganjurkan dan memajukan usaha bumiputera atau hasil negeri sendiri.
Negara tidak mampu membiayai pembangunan kerajinan, maka dari itu segala
sesuatu di serahkannya kepada insisiatip partikelir. Inisiatip partikelir adalah
semacam badan usaha yang bukan milik negara/swasta. Pemerintah juga membuat
undang-undang industrialisasi yang berfungsi untuk melindungi kerajinan nasional
terhadap saingan asing, selain itu usaha-usaha partikelir/swasta juga mendapat
hak-hak seperti pajak diperingan, pemberian premi, dan sebagainya. Sementara itu
pemerintah sendiri tidak berdiam diri, melainkan menyelenggarakan persiapan-
persiapan untuk pembangunan industrialisasi besar-besaran jika keadaan
mengizinkan nanti. Pertambangan disempurnakan agar dapat memenuhi keperluan
industri dikemudian hari, banyak orang dikirim ke Rusia untuk mempelajari
berbagai teknik, dan alat-alat yang sudah ada di perbaiki (Suwirjadi, 1952: 95-96).
Burus dalam Isputaminingsih (2009: 132) menyatakan bahwa meskipun Turki
banyak menyerap peradaban Barat, akan tetapi Mustafa Kemal membatasi diri
untuk berkerjasama dengan Barat dalam bidang ekonomi. Ia tidak ingin negerinya
dikuasai oleh kekuasaan asing seperti yang pernah dialami kekuasaan Utsmani.
Untuk itu sumber-sumber vital dalam negeri diambil alih negara.
Pada tahun 1925 pemerintah memonopoli industri asing seperti tembakau,
alkohol, gula, korek api, garam, kartu mainan, senjata dan amunisi (Zürcher, 2003:
254). Pada tahun yang sama, usaha-usaha juga telah dilakukan untuk mendorong
program reformasi dalam bidang agraria. Pada tahun 1925, sepersepuluh hasil dari
pertanian yang biasanya diserahkan kepada negara dihapuskan oleh pemerintahan
Mustafa Kemal. Dari tahun 1927 hingga 1929, tanah-tanah milik negara
didistribusikan kepada para petani yang tidak mempunyai tanah sebanyak 731.000
hektar, namun distribusi pada antara tahun 1934 hingga 1938 mengalami
peningkatan, yakni sebanyak 1.500.000 hektar (Toprak, 1999: 132).
Kemudian pada tahun 1930, dunia mengalami keruntuhan perdagangan
dunia. Turki pun tak luput dari pengaruh keruntuhan perdagangan dunia tersebut.
Rakyat Turki menjadi khawatir karena mereka bertambah susah, sehingga
melumpuhkan perdagangan dan perkebunan kecil yang merupakan urat nadi
perekonomian Turki. Pada awal tahun 1931 roda pemerintahan Turki berangsur-
angsur mulai teratur, dan setelah negara berhasil mengatasi akibat-akibat
keguncangan perdagangan dunia sekitar tahun 1930, rakyat Turki boleh dikatakan
telah melalui dengan selamat cobaan-cobaan terberat. Masa itu juga merupakan
permulaan tingkat kedua dalam usaha pelaksanaan kemerdekaan ekonomis. Pada
tahun 1931 Etatisme secara resmi dijadikan sebagai kebijakan ekonomi baru di
Turki. Sistem kebijakan ekonomi Etatisme adalah sistem dimana jalannya
perekonomian diatur oleh negara dan menjadi tanggung jawab negara. Kebijakan
ini mengambil contoh ekonomi Rusia (Ali, 1994: 88). Berkat daya upaya para
petani dan pemerintah mampu memproduksi bahan makanan. Pada tahun 1933
produksi mengalami peningkatan dari 3.600.000 ton menjadi 5.900.000 ton
(Suwirjadi, 1952: 104).
Rata-rata angka-angka produksi telah meningkat semuanya, terlebih lagi
dalam penghasilan batu bara dan semen yang dikerjakan sebagai persiapan untuk
pembangunan yang akan dilakukan secara besar-besaran. Dengan perbekalan itu,
pemerintah dapat menentukan langkah selanjutnya dalam usaha membuat Turki
menjadi suatu negara yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri. Selaras dengan
tujuan tersebut, pemerintah juga menyusun suatu rencana lima tahun sebagai
bagian pertama rencana jarak panjang mengenai pembangunan suatu industri
nasional. Hal ini dilakukan bukan sebagai sumber ekspor, melainkan semata-mata
ditujukan kepada keperluan dalam negeri, yang berasal dari bahan-bahan mentah
bumi itu sendiri.
Dengan alasan bahwa usaha kerajinan yang diserahkan kepada inisiatip
partikelir itu tidak mencapai hasil yang di harapkan, pemerintah mengambil
pimpinan dengan mendasarkan usaha pembangunan-pembangunan industri pada
kapitalisme kenegaraan. Adapun perusahaan-perusahaan yang di rencanakan itu
dibagi atas pabrik-pabrik yang menghasilkan barang-barang keperluan. Seperti
barang tenun, kertas, gelas, dan tembikar. Dan perusahaan-perusahaan yang
diperlukan untuk pembikin alat-alat produksi. Sebagai rangka dari bangun
perindustrian itu ditentukan macam pabrik tekstil sellulose, besi, kimia dan
barang-barang tembikar. Pemerintah menititik beratkan pada perusahaan tekstil
dan sellulose yang mengolah hasil pertanian dan juga kehutanan. Pada tahun 1935
industri agraris ini menghasilkan produksi sebanyak 54% dari sejumlah 1.500
perusahaan kecil-kecil yang berada di Turki.
Salah satu unsur paling penting dalam pembangunan ekonomi negara
adalah peningkatan infrastruktur finansial. Bank-bank yang ada dikontrol
pemerintah. Kebijakan-kebijakan finansial pemerintah bersifat konservatif yang
bertujuan untuk menciptakan anggaran yang seimbangan, inflasi yang rendah dan
nilai uang Lira yang kuat dengan diterapkannya kebijakan moneter yang ketat
(Zürcher, 2003 :255).
Pelaksanaan rencana pemerintah ini diawasi oleh satu bank sentral yang
didirikan khusus untuk keperluan rencana lima tahun dan yang membiayai segala
sesuatu dengan modal nasional semata-mata. Sudah tentu didalam merencanakan
pembangunan besar-besaran ini pemerintah sangat memperhatikan pendidikan
buruh. Maka pada perincian uang juga tercantum pengeluaran untuk mengirim
buruh tadi keluar negeri agar dapat mempelajari teknik dan perindustrian negara-
negara yang sudah lebih maju.
Boleh dikatakan bahwa usaha yang di mulai pada tahun 1933 itu dapat
mencapai semua angka-angka produksi sebagaimana ditetapkan dalam rencana,
dan terlebih lagi dalam cabang tekstil. Kemajuan dalam bidang tersebut sungguh
mengagumkan. Tetapi, walaupun Turki mengalami perkembangan industri, Turki
tetap besifat negara agraris. Tidak kurang dari 80% dari penduduk memperoleh
mata pencahariannya langsung dari pertanian dan perternakan. Dan berkat
pendidikan kaum tani yang disertai dengan peraturan keuangan yang melancarkan
pekerjaan para tani, produksi hasil-hasil bumi, baik tanaman pabrik maupun bahan
makanan meningkat, dan mereka juga ikut serta dalam memberikan
sumbangannya dalam usaha meninggikan kesejahteraan rakyat. Dari semua
pemerintahan, Mustafa Kemal sadar akan perbaikan derajat penghidupan, sebagai
dasar-dasar dan bukti dari pembaharuan yang di perjuangkannya. Langkah-
langkah selalu berdasarkan kenyataan bahwa negeri Turki adalah negeri agraris,
dan pokok tujuan yang hendak dicapai adalah memperkuat kedudukan kaum tani
dengan jalan menyempurnakan teknik pertanian, sehingga menambah penghasilan
kaum tani dari hasil ekspor hasil bumi, disamping itu perindustrian agraris juga
didirikian dengan maksud membuat kaum tani Turki lebih kuat terhadap pengaruh
turun naiknya harga-harga dipasar Internasional (Suwirjadi, 1952: 105). Upaya-
upaya lainnya yang dilakukan Mustafa Kemal dalam pembaharuan pertanian
selama periode ini adalah pendirian bank-bank pertanian, kerjasama bidang
pertanian, penghapusan pajak atas mesin-mesin dan alat pertanian, dan juga
perluasan pinjaman pertanian (Toprak, 1999: 132-133).
Kebijakan ekonomi yang telah dilakukan Mustafa Kemal ini sangat baik,
pertanian mengalami surplus, kebutuhan pangan dalam negeri selalu terpenuhi.
Dampak keberhasilan Mustafa Kemal dalam menjaga kesejahteraan ekonomi
rakyat dapat terjaga, dengan demikian Mustafa Kemal dapat mempertahankan
kekuasaannya selama 15 tahun (Isputaminingsih, 2009: 141).
4. Sistem Kemasyarakatan/ Organisasi Sosial
1. Pelarangan Pemakaian Fez atau tutup kepala dan Pakaian-pakaian
yang Berkaitan dengan Agama.
Pakaian merupakan salah satu wujud dari kebudayaan yang memiliki corak
yang berbeda satu sama lain. Pakaian yang dipakai dalam suatu wilayah akan
mencerminkan bentuk kekhasan kebudayaan yang ada dalam wilayah tersebut.
Zaman kekhalifahan Turki Utsmani, pakaian yang dikenakan oleh masyarakat
Turki pada saat itu mencerminkan sekali identitas mereka sebagai seorang muslim,
Laki-laki menggunakan tutup kepala yang disebut fez atau topi turbus dan
wanitanya mengenakan jilbab dan cadar (Ali, 1994: 86).
Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan tradisi agama yang
merupakan simbol pakaian Islam menjadi kebudayaan masyarakat Turki pada
masa itu. Hal tersebut berubah ketika Turki mengupayakan peniruan budaya Barat.
Mulai ada perubahan ketika Mustafa Kemal menjadi pemimpin Turki. Mustafa
Kemal dan para tokoh nasionalis dalam pemerintahan berpandangan bahwa bangsa
Turki tidak hanya harus berpikir rasional seperti orang Barat. Tetapi harus meniru
tata cara berperilaku dan berpkaian seperti Barat (Isputaminingsih, 2001: 144).
Pemerintahan Mustafa Kemal mengeluarkan Undang-undang pada 25
November 1925 melarang pemakaian fez dan pakaian tradisional lainnya (Freely,
2012: 378). Pada bulan November 1925 Mustafa mengeluarkan undang-undang
yang menyatakan bahwa diwajibkan untuk pemakaian topi bagi laki-laki dan bagi
yang memakai fez atau turbus merupakan suatu pelanggaran (Ali, 1994: 86). Hal
ini juga diperkuat oleh tulisan yang dimuat oleh Ankara State (1972: 38) yang
menyatakan adanya pelarangan pemakaian penutup kepala yang biasa disebut Fez.
Fez atauTurbus merupakan Tutup kepala yang sebenarnnya berasal dari
Yunani tetapi kemudian diambil dan menjadi perlambang pada masa pemerintahan
Otomman yang beragama Islam. Setelah menguji pendapat kalangan tentera
tentang pemakaian peci yang berbentuk lain dari Turbus dihapuskan, dan diganti
topi ala barat (Suwirjadi, 1952: 93).
Kebijakan tentang undang-undang ini kembali mendapat perlawanan dari
kalangan kaum Naqsabandiyah. Naqsabandiyah adalah salah satu tarekat sufi
terbesar di Turki. Mereka mulai melakukan demonstrasi-demonstrasi di beberapa
kota dengan alasan menentang undang-undang topi (Toprak, 1999: 130). Hal ini
dibuktikan dengan adanya pidato pada Oktober 1927:
Tuan-tuan, sangat penting untuk menghapuskan fez, yang diletakkan di
kepala negara kita sebagai simbol kebodohan, kelalaian, fanatisme, dan
kebencian atas kemajuan dan peradaban. Sebagai gantinya, kita akan
mengenakan topi, tutup kepala yang digunakan oleh seluruh dunia beradab.
Cara ini menunjukkan agar bangsa Turki, baik dalam mentalnya maupun
aspek-aspek lain, kini tak berbeda dengan kehidupan sosial masyarakat
beradab (Freely,2012:378).
Tahun 1928 Kaum wanita diarahkan supaya mengikuti cara berpakaian
barat, dan kaum laki-laki diarahkan supaya memakai topi koboi (Latip, 2011: 15).
Mustafa Kemal mengambil tindakan penting, pertama negara ini akan menjadi
Republik, kedua ia akan mengambil tindakan ke atas Sultan dan keluarganya,
ketiga wanita Turki boleh melepaskan hijab dan keempat dihapuskan pemakaian
sorban dan akan memkai topi koboi supaya mengikuti bangsa yang maju (2011:
222).
Mustafa Kemal mengarahkan para pegawainya membeli topi koboi dari
Eropa dalam jumlah yang banyak. Kemudian, ia membangun beberapa buah
perusahaan untuk membuat topi koboi di Ankara (2011: 225). Namun, para
pemimpin golongan Tua yang berada di Siwas dan Ardhrum mengatakan bahwa
pemakaian topi koboi haram karena bertentangan dengan sunah nabi dan menurut
Syeikh Abdullah topi koboi merupakan lambang orang-orang kristian. Ia
berpendapat bahwa alasan Mustafa Kemal mengharamkan pemakaian sorban
adalah untuk menjauhkan rakyat Turki dari Islam. Mustafa Kemal segera
mengirimkan tentara bagi siapapun yang menentangnya. Siapapun yang memakai
sorban akan ditangkap dan dijatuhkan hukuman gantung di khalayak ramai (2011:
226). Seiring berjalannya waktu, kebiasaan pemakaian topi koboi ini menghilang
bersamaan dengan menghilangnya kebiasaan memakai topi itu pada masyarakat
Eropa (Isputaminingsih, 2009: 144).
Mustafa Kemal juga membuat aturan tentang pelarangan untuk
menggunakan pakaian –pakaian yang dianggap pakaian agama di tempat-tempat
umum dan menganjurkan masyarakat Turki untuk berpakaian seperti orang-orang
barat (2009: 143). Keputusan Undang-undang pada tanggal 3 Desember 1924
menyebutkan tentang aturan cara berpakaian di Turki. Keputusan itu menyatakan
larangan mengenakan pakaian agama oleh orang yang tidak mempunyai jabatan
agama dan mewajibkan semua pegawai negeri sipil untuk mengenakan pakaian ala
barat (Toprak, 1999: 84). Pernyataan diperkuat oleh Jameelah (1965: 168) yang
membahas Undang-undang tentang larangan menggunakan pakaian asli Turki
dibuat pada tanggal 3 Desember 1924. Pada bulan September 1925 dikeluarkan
Undang-undang resmi yang melarang pemakaian pakaian agama bagi orang yang
tidak mempunyai jabatan agama dan mewajibkan semua pegawai sipil memakai
pakaian ala barat dan topi (Ali, 1994: 86).
2. Pelarangan Pemakaian Jilbab bagi Wanita di Turki
Selain mengeluarkan aturan tentang Fez dan aturan tentang cara
berpakaian, Mustafa Kemal juga menentang penggunaan kerudung bagi wanita
Turki. Menurut Mustafa Kemal kerudung telah membuat wanita turki terhalang
untuk maju dan berkembang. Pemakaian kerudung membuat wanita-wanita Turki
dipandang rendah oleh wanita Eropa karena masih terikat oleh agama. Jewdat
seorang modernis pendukung Mustafa Kemal dalam tulisannya menggunakan
moto : “Buka Al-Quran dan buka kerudung wanita”. Jewdat, selaku pegawai
Mustafa Kemal mendukung pelarangan pemakaian kerudung bagi wanita Turki
(Nasution, 1975: 137).
Kemudian Mustafa Kemal mengeluarkan aturan bahwa pemakaian
kerudung atau penutup kepala pada wanita dihapuskan (Suwirjadi, 1952:44).
Kemal mengkritik pemakaian jilbab oleh wanita-wanita Turki, namun semasa
hidupnya tidak ada undang-undang yang jelas tentang melarang pemakaian jilbab
tersebut (Isputaminingsih, 2009: 144). Pelarangan pemakaian kerudung bagi
wanita Turki ditujukan agar mereka mendapatkan haknya dalam pendidikan dan
pekerjaan bagi wanita Turki. Dengan adanya kontrol dari pemerintah terhadap
pendidikan, wanita Turki yang menggunakan jilbab tidak bisa mendapatkan
kesempatan untuk menikmati pendidikan tinggi (An-Na’im, 2007: 38).
3. Pergantian Sistem Penanggalan
Banyak sistem penanggalan yang di pakai dalam menentukan waktu di
dunia. Diantara sistem penanggalan tersebut yang paling populer adalah sistem
penanggalan Gregorian dan Hijriyah. Sistem penanggalan Gregoria dihitung
berdasarkan perputaran bulan mengelilingi matahari sedangkan sistem
penanggalan hijriyah dihitung berdasarkan perputaran bulan mengelilingi bumi.
Penanggalan Gregoria banyak dipakai di hampir setiap negara-negara barat,
sedangkan penanggalan Hijriyah banyak di pakai di negara-negara Arab atau
Timur Tengah (kompasiana.com: 14 Desember 2015).
Ketika khalifah Turki Utsmani berkuasa, sistem penanggalan yang
digunakan di Turki adalah sistem penanggalan Hijriyah. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, penanggalan Hijriyah banyak berlaku di negara-negara
Arab dan sudah berlangsung dari masa kekuasaan Khulafa>ur-Ra>syidi>n. Sehingga
sebagai sebuah penerus kekhalifahan Islam, Turki Utsmani juga mengadopsi
sistem penanggalan Hijriyah pada sebagai kalender resmi di kerajaannya (Furqon,
2012: 50).
Satu bulan setelah mengeluarkan undang-undang pelarangan fez, sebuah
undang-undang dikeluarkan untuk melarang kalender bulan Islam dan harus
menggunakan kalender Gregorian (Freely, 2012: 378). Pada tahun 1925 Mustafa
Kemal mengadopsi Kalender dan waktu dari bangsa Eropa (Ankara, 1972: 38).
Kalender Hijriyah mulai di berlakukan di Turki pada 26 Desember 1925 bersamaan
dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai pengadopsian sistem
Penanggalan Gregorian (Ali, 1994: 86). Sama dengan yang dikatakan Ali, Zürcher
(2003: 224) juga berpendapat pada tanggal 26 Desember 1925 kalender Hijriah
diganti dengan kalender Masehi. Penulis menemukan perbedaan pendapat tentang
kapan kalender Hijriyah digantikan dengan kalender masehi. Sebagian besar
berpendapat bahwa pergantian kalender Hijriyah ke kalender Masehi terjadi pada
tahun 1925, akan tetapi ada juga yang berpendapat sistem kalender dirubah pada
tahun 1926. Seperti yang diambil dari tulisan bahwa tahun 1926 tanggal Hijriyah
digantikan tanggal Masehi (Latip, 2011: 15). Selain itu, ada juga yang berpendapat
bahwa sistem perubahan kalender dari sistem Hijriyah ke Masehi terjadi pada
tahun 1935. Seperti yang diambil dari tulisan bahwa pada tahun 1935 sistem
kalender hijriyah diganti dengan sistem kalender Masehi (Isputaminingsih, 2009:
144).
Keputusan Mustafa Kemal ini diambil sebagai Usaha untuk menyamakan
kalender yang berlaku di negara-negara barat. Sama dengan peraturan yang ia
jelaskan sebelumnya bahwa peraturan ini dibuat sebagai upaya pembaharuan dan
westernisasi (Furqon, 2012: 50). Kebijakan pergantian penanggalan tersebut juga
berdampak pada perhitungan hari yang menjadi 24 jam. Jika pada zaman
kekhalifahan Turki Utsmani perhitungan hari berdasarkan terbit dan
tenggelamnya matahari, berdasarkan kalender Gregorian perhitungan hari
ditentukan selama 24 jam. Pergantian ini memang ditujukan untuk penyamaan
waktu antara perhitungan waktu di negara-negara barat dengan Turki agar
memudahkan hubungan diantara keduanya (Esposito, 2000: 64).
4. Derajat Kaum Wanita di Tingkatkan
Pada masa kekhalifahan Turki Utsmani kedudukan wanita tidak sama
dengan laki-laki. Wanita tidak mempunyai kebebasan untuk meningkatkan
kedudukan dan mendapatkan hak mereka. Seorang ulama yang bernama Said
Halim mengatakan sejarah telah berkali-kali menunjukkan bahwa peradaban jatuh
disebabkan oleh kebebasan dan kekuasaan yang diberikan kepada wanita
(Nasution, 1975: 137).
Kaum wanita yang dulunya terpencil dari pergaulan ramai, tiba-tiba
menjadi warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-
laki (Suwirjadi, 1952: 94). Pada tanggal 31 Januari 1923 Mustafa Kemal
menekankan peranan kaum wanita dalam masyrakat Turki. Mustafa Kemal
menyatakan bahwa agama Islam tidak pernah menuntut supaya wanita berada di
belakang laki-laki. Allah memerintahkan setiap muslim, baik laki-laki maupun
perempuan untuk mencari sains dan ilmu pengetahuan dimana saja, dan untuk
melengkapi dirinya dengan sains dan ilmu pengetahuan (Ali, 1994: 98).
Dalam undang-undang Swiss yang diadopsi oleh Turki, perempuan
mempunyai hak yang sama dalam perceraian dan dalam warisan. Perkawinan
seseorang wanita muslim dengan laki-laki non muslim diperbolehkan. Semua
orang yang sudah dewasa diberikan hak untuk mengubah agama mereka jika
mereka mau. Menurut Undang-undang tersebut, wanita diperbolehkan bekerja di
kantor-kantor dan tempat-tempat umum, mencari nafkah serta menduduki jabatan
di bidang ekonomi dan kehidupan intelektual bernegara (1994: 87).
Selain itu, adanya izin berpoligami dianggap sangat merendahkan status
wanita dan oleh karena itu harus dihapus. Mereka juga menginginkan wanita Turki
terlibat dalam masalah sosial ekonomi serta juga diberi hak yang sama dalam
pendidikan dan warisan (Nasution, 1975: 137). Setelah adanya undang-undang
yang diadopsi dari perdata Swiss, poligami resmi dilarang di Turki (Freely, 2012:
378). Selain itu, kaum wanita juga diberikan hak talaq dan kaum laki-laki tidak
boleh bermadu (Suwirjadi, 1952: 94).
Pada tahun 1934, dikeluarkan suatu amandemen yang memberi hak suara
bagi kaum wanita dan setelah itu banyak wanita yang menjadi wakil rakyat di
Dewan Nasional Agung (Lenezowski, 1992: 81). Pernyataan ini didukung oleh
Ankara State (1972: 38-39) yang menyatakan bahwa :
In 1934, Turkish women were given the franchise and the right to stand for election –a step which many European nations had not dared to take. Pada tahun 1934 perempuan-perempuan di Turki mendapatkan kesempatan
untuk ikut turut serta dalam pemilihan Dewan, dimana banyak negeri-
negeri Eropa tidak berani mengambil keputusan itu.
Selain ungkapan dari Ankara State, Freely (2012: 378-379) juga
menyatakan bahwa reformasi penting berikutnya terjadi pada Desember 1934, saat
wanita untuk pertama kalinya diberikan hak untuk memilih. Hal ini diterapkan
pada pemilihan parlemen pada tahun 1935, saat tujuh belas wanita dipilih untuk
menduduki kursi majelis.
5. Pergantian Hari Libur
Selain berdampak pada perhitungan hari yang menjadi 24 jam, kebijakan
pengadopsian kalender Gregorian juga berdampak pada hari libur mingguan yang
berubah dari hari Jumat menjadi hari Minggu (Toprak,1999: 84). Perubahan hari
libur ini juga diperjelas dengan pernyataan Jemeelah (1965: 173) bahwa hari
minggu dijadikan sebagai hari Libur menggantikan hari Jumat.
Pergantian ini mulai berlaku pada 1 Maret 1935, hari libur Jumat diganti
menjadi hari Minggu (Latip, 2011: 15). Hari libur mulai diganti dari jam 01.00
Sabtu hingga Senin pagi. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak
mengakibatkan kesulitan dalam bertransaksi bisnis dengan perusahaan atau
pemerintahan asing (Ali, 1994: 90), karena itu semua kantor pemerintahan ditutup
sejak tengah hari Sabtu hingga Senin pagi (Freely, 2012: 379).
6. Penggunaan Nama Keluarga
Dalam kalangan bangsa Arab, mereka menandakan setiap anggota
keluarganya dengan menggunakan nama dari ayahnya sebagai tanda keturunan
dalam Islam. Penanda keluarga dengan menambahkan nama ayah dibelakangnya
juga pernah berlaku di Turki pada masa khalifah Turki Utsmani. Namun pada masa
pemerintahan Mustafa Kemal sistem pemberian nama keluarga ini mengalami
perubahan (Ali, 1994: 90).
Pada tahun 1934, Mustafa Kemal mengeluarkan Undang-undang
pemakaian nama keluarga dan penghapusan gelar-gelar dan tanda kehormatan
yang digunakan pada masa Kesultanan \\Turki Utsmani. Karena Undang-undang ini,
Mustafa Kemal sendiri mengadopsi panggilan Ataturk, “Bapa bangsa Turki”, yang
menjadi nama populernya sejak saat itu (Freely,2012: 379).
Kemudian pada tanggal 28 Juni 1934 disetujui undang-undang yang
berbunyi bahwa setiap orang Turki mempunyai nama keluarga. Undang-undang
tersebut mulai diberlakukan pada 1 Januari 1935 (Ali, 1994: 90). Namun, Suwandi
(1952: 95) menuliskan bahwa pada tahun 1934 Mustafa Kemal menetapkan bahwa
setiap warga selanjutnya harus mengambil nama keluarga di nama belakang
mereka. Pengadopsian nama keluarga menggantikan sistem nama keturunan yang
digunakan sebelumnya sebagai penanda keluarga di Turki. Langkah ini diambil
untuk menyesuaikan dengan cara barat dalam menandakan anggota keluarganya
(Toprak, 1999: 85).
Nama-nama marga keluarga di Turki biasanya diambil dari berbagai
macam sumber. Misalnya nama tempat, nama hewan, nama julukan, profesi dan
lain sebagainya. Nama marga yang merupakan julukan contohnya adalah Ataturk
yang berarti Bapak Bangsa Turki, dimana nama ini dipakai oleh Mustafa Kemal
sebagai julukannya yang telah membawa perubahan bagi bangsa Turki (Ali, 1994:
90).
Nama marga yang diambil dari nama tempat contohnya “Inönü” yang
merupakan nama tempat terjadinya peperangan dibawah pimpinan Ismet Inönü.
Nama marga yang diambil dari nama hewan contohnya “Kartal” yang berarti
burung elang, “Karga” yang berarti burung gagak, “Tilki” yang berarti rubah.
Nama marga yang merupakan profesi contohnya “Avci” yang berarti pemburu dan
“Terzi” yang berarti Penjahit (Furqon,2012: 54-55). Selain itu, Mustafa Kemal
menghapuskan segala macam gelar dan sebutan dan kemudian setiap orang di
Turki disapa dengan bay atau bayyan yakni tuan dan nyonya (Suwirjadi,1952:
105).
Mustafa Kemal juga merubah system hukum di Turki sesuai dengan isi
pemikirannya. Diantaranya adalah:
1. Pengadopsian Hukum Perdata Swiss
Hukum perdata yang digunakan pada saat kekuasaan Turki Utsmani adalah
hukum perdata yang berlandaskan Islam (Toprak,1999:84). Semua peraturan sipil
yang berlaku disesuaikan dengan konsep syari’ah yang telah ditentukan pada masa
nabi Muhammad SAW. Jika adanya suatu perubahan dalam peraturan tersebut,
maka para ulama akan mencoba untuk menentukannya sesuai dengan persetujuan
sultan yang berkuasa (Nasution,2003: 135).
Dalam sistem perundang-undangan, Mustafa Kemal memutuskan untuk
mengadopsi hukum perdata Swiss sebagai pengganti dari hukum Syari’ah. Untuk
menciptakan produk undang-undang yang baru Mustafa Kemal membuat komite
yang terdiri dari ahli-ahli Hukum, dimana ahli hukum tersebut membuat undang-
undang yang baru yang mengacu kepada hukum perdata Swiss. Hasil dari Komite
tersebut kemudian diserahkan kepada Dewan Nasional Agung, yang akhirnya pada
tanggal 17 Februari 1926 Dewan tersebut mensahkan undang-undang sipil yang
baru bagi rakyat Turki. Akhirnya undang-undang tersebut mulai diberlakukan pada
tanggal 4 Oktober 1926 (Ali, 1994: 86).
Evrenol dalam Furqon (2012: 51) menjelaskan bahwa pemberlakuan
hukum Perdata Swiss sangat berpengaruh pada hak-hak kaum perempuan, dimana
hak-hak kaum perempuan lebih diperhatikan dan disamaratakan dengan kaum laki-
laki. Hal tersebut terbukti dengan amandemen Konstitusi Negara pada bulan
Desember 1934, dimana perempuan Turki diperbolehkan dipilih dalam parlemen
Turki. Bukti berikutnya terdapat dalam isi Undang-undang perkawinan, dimana
isi dari undang-undang tersebut menyamakan hak perempuan dan laki-laki.
Undang-undang perkawinan baru tersebut secara fundamental mempunyai
beberapa perbedaan dengan hukum syariah yang berlaku sebelumnya. Perbedaan-
perbedaan yang dimaksud adalah sebagai berikut,
a. Kebebasan individu untuk memilih afiliasi agamanya. Ini bertentangan
sekali dengan larangan yang ada sebelumnya. Yaitu, larangan
meninggalkan akidah Islam.
b. Sekulerisasi upacara pernikahan. Perkawinan legal harus didaftarkan
kepada para pejabat sipil dan penyelenggaraannya harus dihadiri oleh
mereka. Upacara perkawinan dijadikan pilihan tanpa kekuatan hukum.
c. Pengadopsian prinsip monogami. Dalam UU Syari’ah, muslim pria bisa
menikahi sampai empat orang istri. Namun dalam UU ini diberlakukan
prinsip monogami.
d. Sekulerisasi dalam pelaksanaan perceraian. Dalam UU Syari’ah, hak talak
berada di tangan pria. Namun, UU baru memberikan hak yang sama kepada
kedua belah pihak untuk menuntut talak.
e. Dalam UU Syari’ah, sementara pria Muslim bisa menikahi wanita non-
Muslim, wanita Muslim dilarang melakukan kawin campuran. UU Perdata
baru menghapuskan larangan ini.
f. Sebagai orang tua, pria maupun wanita mempunyai hak-hak yang sama
atas anak-anak mereka.
g. Pria dan wanita diberi hak warisan yang sama.
Bisa dilihat dari perbedaan tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum sipil
yang baru memang lebih mengutamakan tentang pemberian hak-hak kepada kaum
wanita. Status wanita yang tidak sama dibandingkan dengan status kaum pria
menurut undang-undang syari’ah dirubah secara drastis. Pemberian hak yang sama
antara pria dan wanita menjadi inti dari pembaharuan yang dilakukan dalam
hukum sipil yang baru ini (Furqon,2012: 52).
2. Penghapusan Jabatan Khilafah
Khalifah Islamiyah berdiri sejak pemerintahan Khulafa>ur-Ra>syidi>n sampai
pemerintahan Turki Utsmani. Sistem pemerintahan khilafah merupakan sistem
kesatuan bukan sistem federal. Sistem pemerintahan khilafah bersifat sentralisasi.
Sedangkan administrasinya bersifat desentralisasi. Sistem pemerintahan khilafah
didasarkan kepada empat pilar.
a. Kedaulatan ada di tangan syar’i
b. Kekuasaan ada di tangan rakyat
c. Mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib bagi umat Islam
d. Hanya ada seorang khalifah yang berhak mengadopsi hukum syara’
yaitu hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan As Sunnah.
(Khasanah,2003:18).
Pada masa pemerintahan Sultan abdul Hamid II, perdana menteri Midhat
Pasha mengeluarkan konstitusi tahun 1876. Dalam konstitusi tersebut tecantum
bahwa agama kerajaan Turki Utsmani adalah Islam. Dengan demikian Turki
merupakan negara Islam. Dalam negara Islam, pembuat hukum hanyalah Tuhan
dan yang mampu untuk membuat interpretasi dan melakukan penafsiran tentang
hukum Tuhan adalah Ulama bukan parlemen. Dengan adanya konstitusi 1876
kekuasaan Syaikh al-Islam bertambah kuat dan bukan hanya memiliki kekuasaan
eksekutif, tetapi juga kekuasaan mengontrol yudikatif dan badan legislatif
(Nasution, 1975: 135).
Pada tahun 1920 Kemal berhasil membentuk Majelis Nasional Agung
tahun 1920 dan mengambil keputusan (Nasution,2003: 19) diantaranya:
a. Kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat Turki
b. Majelis Nasional Agung merupakan perwakilan rakyat tertinggi
c. Majelis Nasional Agung bertugas sebagai badan legislatif dan bidang
eksekutif
d. Majelis Negara yang anggotanya dipilih dari Majelis Nasional Agung
akan menjalankan tugas pemerintah
e. Ketua Majelis Nasional Agung merangkap jabatan ketua Dewan
Negara
Keputusan-keputusan tersebut di atas memberikan gambaran bahwa
konstitusi yang di majukan Mustafa Kemal merupakan bentuk baru dan berbeda
dari pemikiran elite birokrat tradisional yang kedaulatannya terletak ditangan
Sultan dan Khalifah (Isputaminingsih, 2009: 130).
Dalam sidang Majelis Nasional Agung tahun 1920, ide ini telah diterima
oleh Majelis. Setahun kemudian disusun konstitusi baru dalam pasal 1 menjelaskan
bahwa kedaulatan adalah milik rakyat. Sultan di Istanbul memang sudah tidak
berkuasa lagi akan tetapi masih dianggap oleh sekutu sebagai penguasa satu-
satunya di Turki, dan oleh karena itu pemerintahan Sultanlah yang diundang ke
Perundingan Perdamaian Laussane. Keadaan ini membangkitkan amarah Mustafa
Kemal dan kaum nasionalis bukan terhadap sekutu saja, tetapi juga terhadap
Sultan yang mau menerima undangan itu. Peristiwa ini dipakai oleh Mustafa
Kemal untuk menghilangkan kedudukan Sultan.
Di dalam sidang majelis Nasional Agung yang diadakan tahun 1922,
Mustafa Kemal menjelaskan bahwa jabatan Khalifah dan jabatan Sultan dalam
sejarah terpisah, dalam arti dipegang oleh dua orang. Khalifah di Baghdad dan
Sultan di daerah. Oleh karena itu tidak ada salahnya kalau kedua jabatan yang
dipegang oleh raja Turki dipisahkan, dan kalau jabatan Sultan dihapuskan dan
jabatan Khalifah dipertahanakan. Usul penghapuskan jabatan Sultan diterima oleh
Majelis Nasional Agung dan Raja Turki dengan demikian hanya memegang
jabatan Khalifah yang tidak mempunyai kekuasaan duniawi, tetapi hanya
kekuasaan spiritual (Nasution,2014: 140-141).
Pada 3 Maret 1924, Majelis Nasional Agung mengeluarkan undang-undang
yang mengakhiri kekhalifahan, memutuskan ikatan lemah terakhir yang
menghubungkan Turki dengan kekaisaran Turki Utsmani. Undang-undang yang
sama ini juga mengakhiri Abdul Majid sebagai khalifah, dan dia serta
keturunannya dilarang untuk tinggal di perbatasan Republik Turki (Freely,
2011:375). Pernyataan ini diperkuat dengan penyataan Nasution (2014: 143)
bahwa pada tanggal 3 Maret 1924, suara di Majelis memutuskan penghapusan
jabatan Khalifah. Khalifah Abdul Majid diperintahkan meninggalkan Turki, ia
bersama keluarganya pergi ke Swiss.
Dalam sistem Khilafah Kesultanan Turki Utsmani, pemerintah dikepalai
oleh seorang Sultan yang mmepunyai kekuasaan temporal atau duniawi dan
kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai penguasa dunia, ia bergelar Sultan dan
sebagai kepala rohani, ia bergelar Khalifah. Dalam melaksanakan
pemerintahannya Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi, yaitu Sadrazam untuk
urusan pemerintahan, dan Syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Namun kedua
lembaga ini tidak mempunyai suara dalam soal pemerintahan dan hanya
menjalankan perintah Sultan. Walaupun demikian, keduanya memiliki kekuasaaan
yang besar dalam kekuasaan yudikatif, dan apabila Sultan berhalangan atu
berpergian, maka yang menjalankan tugas pemerintahan adalah Sadrazam.
Kedudukan ini menampakan diri bahwa kedua lembaga ini mendapat legitimasi
dari sultan (Nasution, 2003: 85).
Sistem Khilafah Turki Utsmani yang diperintahkan oleh Sultan dimana
mereka ini berkuasa secara turun temurun sehingga dalam pergantian Sultan sering
terjadi perebutan kekuasaan antar Pangeran, sehingga dapat melemahkan situasi
kerajaan (Isputaminingsih, 2009: 54). Kebesaran kerajaan Turki ini memiliki
kemorosotan sejak wafatnya Sultan Al-Qanuni (1566 M). Namun, sebagai
kerajaan yang besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat, karena
masih ada usaha para Sultan dalam menyelamatkan negara, namun keadaan ini
sangat mengganggu pola kehidupan Kerajaan Turki (Isputaminingsih, 2009: 55).
Esposito dalam Isputaminigsih (2009: 55) menjelaskan bahwa kegagalan
militer dan kemerosotan ekonomi kesultanan menyebabkan pemerintah tidak
mampu lagi melakukan pengerahan politik dan memenuhi kewajiban-kewajiban
sosialnya yang mana hal ini sangat menurunkan wibawa pemerintah. Dalam dunia
politik tentunya “Tanpa kesultanan yang kuat dan didukung oleh perangkat
birokrasi yang sehat, militer yang tangguh dan loyal serta kemampuan pemerintah
mensejahterakan rakyat, maka kesultanan tidak lagi lagi mempunyai arah dan
tujuan yang jelas dalam bernegara.”
Setelah Mustafa Kemal membentuk negara Republik dan mengangkat
dirinya sebagai seorang Presiden, ia menyingkirkan kekuasaan Khalifah dengan
mengangkat keluarganya yaitu Abdul Majid sebagai Khalifah yang akan
dijadikannya hanya sebagai lambang atau simbol pemersatu agama dan tidak
menjadi penguasa politik (Jansen 1983: 162).
Dalam perkembangan pemerintahan, kemudian Mustafa Kemal
menghapuskan jabatan Khilafah yang merupakan penguasa spiritual dan politik
tertinggi yang berkuasa selama berabad-abad di Kesultanan Turki, karena jabatan
Khalifah yang dipegang Sultan Abdul Madjid masih menimbulkan kekacauan
dalam teori dan praktek. Jabatan Khalifah masih diberi pengertian lama oleh
rakyat Turki, yaitu sebagai Kepala negara dengan segala tugas dan
kewenangannya (Isputaminingsih, 2009: 136). Disinilah Mustafa Kemal melihat
sebuah negara tidak akan berjalan baik jika dikuasai oleh dua Kepala negara
sehingga ia menghapuskan jabatan Khalifah.
Dengan dihapuskan jabatan Khilafah di Turki, rakyat masih belum
mempunyai gambaran yang jelas mengenai sistem pemerintahan di negara mereka.
Pada artikel 2 dari konstitusi masih tetap ada, yaitu agama dan negara adalah
Islam. Hal ini mempunyai arti bahwa kedaulatan bukan sepenuhnya berada di
tangan rakyat, tetapi pada syariat. Oleh karena itu usaha Mustafa Kemal
selanjuutnya adalah menghilangkan Artikel 2 dari konstitusi 1921. Ini terjadi pada
tahun 1928. Negara tidak ada lagi hubungannya dengan agama. Sembilan tahun
kemudian, yaitu sesudah prinsip sekulerisme dimasukkan ke dalam Konstitusi di
tahun 1937, barulah Republik Turki dengan resmi menjadi negara sekuler
(Nasution, 2014: 143). Akan tetapi pemisahan jabatan Khalifah ini sebenarnya
tidak dapat diterima masyarakat Turki yang masih terbelenggu kepada adat-
istiadat, apalagi penghapusan Kesultanan (Suwirjadi, 1965: 78).
3. Pergantian Hukum Syariat dengan Hukum Sekuler
Langkah ekstrim Mustafa Kemal adalah untuk mengganti hukum syari’ah
dengan mengadopsi hukum dari Barat. Mustafa melakukan eliminasi peraturan-
peraturan yang ada dalam undang-undang Perdata, Perdagangan dan Pidana
(Toprak, 1999: 97). Langkah pertama Mustafa Kemal dalam mengganti hukum
syari’ah menjadi hukum sekuler adalah membentuk komisi-komisi khusus di
Kementrian Kehakiman pada tahun 1922-1923. Mereka nantinya bertugas untuk
membentuk kerangka dasar bagi terciptanya perundang-undangan yang bersifat
sekuler. Hasil dari laporan komisi tersebut masih memasukan unsur syari’ah,
sehingga Mustafa Kemal mengambil langkah untuk mengadopsi hukum dari
beberapa negara Barat, seperti Swiss, Italia dan Jerman.
Adopsi dari hukum sekuler mulai dilaksanakan pada tahun 1926, dimana
Hukum Perdata Swiss diambil untuk menggantikan hukum syari’ah. Perbedaan
yang nampak jelas dari kedua hukum tersebut yaitu terletak pada status antara pria
dan wanita. Sedangkan, Hukum Perdata Swiss menempatkan status kaum wanita
sama dengan pria (Toprak, 1999: 99).
Langkah yang diambil oleh Mustafa Kemal ini merupakan sebuah bentuk
keinginannya untuk menciptakan sebuah negara yang sekuler. Dengan kata lain,
Mustafa Kemal ingin memisahkan peranan negara dan agama. Hukum yang ada
harus dirubah seperti kacamata Barat. Mustafa Kemal ingin membuktikan bahwa
Turki sudah tidak lagi berada di bawah pemerintahan Islam, tetapi Turki
merupakan negara bebas yang berpandangan bahwa agama hanya urusan dari
masing-masing individu dan lebih mengarah kepada peribadatan (Furqon, 2012:
34).
Undang-undang sipil yang berlaku mulai tanggal 4 Oktober 1926:
a. Menerapkan monogami
b. Melarang poligami
c. Memberikan hak dan persamaan wanita dalam memutuskan perceraian.
d. Hukum waris Islam dihapuskan
e. Membebaskan perkawinan antar agama dan boleh pindah agama
sekehendaknya (Isputaminingsih, 2009: 142).
Hukum barat menjadi acuan bagi Mustafa Kemal, seperti hukum-hukum
baru yang dibuat seperti hukum kelautan, hukum dagang, hukum pidana dan
hukum obligasi. Jadi, sangatlah jelas tindakan Mustafa Kemal dalam menerapkan
hukum Swiss menggantikan Undang-undang syari’ah di Turki, adalah suatu hal
yang menampakan diri sebagai suatu tindakannya dalam melaksanakan
sekulerisasi (Isputaminingsih, 2009: 142-143). Dan pada tahun 1937 negara
Republik Turki memberlakukan prinsip sekulerisme sebagai dasar konstitusional
(Nasution 2003: 143).
4. Penghapusan Agama dalam Hukum Konstitusi
Turki merupakan negara dimana tempat kekhalifahan Islam terakhir
berdiri. Selama tujuh abad, dari abad ke-14 hingga abad ke-20 kekhalifahan Turki
Utsmani merasakan kejayaannya. Pandangan tentang pemerintahan dan negara
dibawah naungan Islam yang maju dan berjaya dengan gemilang sudah terdengar
dan diketahui oleh seantero bangsa di dunia. Islam pun dipilih sebagai agama resmi
dari kekhalifahan Turki Utsmani yang tercatat dalam konstitusi negara. Pada awal
berdirinya Republik Turki, Mustafa Kemal tetap mempertahankan Islam sebagai
agama resmi. Sesuai dengan konstitusi negara pasal 2 konstitusi 24 yang berbunyi:
“Agama negara Turki adalah Islam, bahasa resminya adalah bahasa Turki, ibu
kotanya adalah Ankara” (Toprak, 1999: 86).
Namun stigma yang sudah melekat harus berakhir. Hal itu berawal dari
keputusan Dewan Nasional Agung pada tanggal 3 Maret 1924 yang telah
menyetujui tiga buah undang-undang yaitu:
a. Penghapusan Kekhalifahan, menurunkan Khilafah dan
mengasingkannya bersama keluarganya.
b. Menghapuskan kementrian Syari’ah dan Wakaf.
c. Menyatukan sistem pendidikan dibawah kementrian pendidikan (Ali,
1994: 85).
Dihapuskannya Kementrian Syari’ah ini bertujuan untuk mempermudah
usaha Mustafa Kemal dalam menghilangkan artikel 2 konstitusi 1921 yang
menyatakan Islam sebagai agama negara, sehingga antara agama dan negara tidak
ada sangkut pautnya lagi, karena sekulerisme merupakan bagian dari
perjuangannya. Sembilan tahun kemudian pada tahun 1937, prinsip sekulerisme
baru resmi sebagai dasar konstitusional dan sejak itulah Turki secara resmi
menjadi negara sekular. Menurut Mustafa Kemal, kekuasan Khalifah yang
dihapuskan oleh Dewan Nasional Agung merupakan kondisi yang positif untuk
perkembangan lembaga-lembaga baru dan birokrasi yang modern. Penghapusan
kekhalifahan tersebut juga mengandung pengertian, bahwa Turki sudah tidak
terikat dengan urusan agama. Khalifah Abdul Majid sebagai Khalifah terakhir
Turki Utsmani diturunkan dan dengan demikianlah berakhir kekhalifahan umat
Islam (An Na’im, 2007: 361).
Peraturan hukum yang lain juga di buat, pada bulan Maret 1925
pengadilan-pengadilan kemerdekaan memainkan peranan penting dalam
menumpas perlawanan rakyat di bawah undang-undang pemeliharaan ketertiban.
Hampir 7.500 rakyat yang melawan ditangkap dan 660 orang dihukum mati.
(Zürcher, 2003: 224). Namun, penulis menemukan perbedaan tentang kapan
hukuman mati mulai dilaksanakan. Suwirjadi (1952: 90) menyatakan dalam
bukunya menyatakan bahwa hukuman mati di Turki dimulai pada tanggal 13 Juli
1926.
5. Sistem Bahasa
Evenol dalam Furqon (2012: 55) menjelaskan bahwa Tulisan pertama yang
digunakan di Turki adalah berjenis Hierogliyph. Hal ini sesuai dengan bukti
penemuan yang ditemukan di lembah sungai Tigris dan Eufrat kepunyaan bangsa
Sumeria yang merupakan nenek moyang dari bahasa Turki. Lalu tulisan kedua
yang digunakan disebut Alfabet Orthon yang memiliki 38 karakter. Tulisan
tersebut ditemukan di daerah Turkestan. Kemudian tulisan berikutnya yang
digunakan oleh bangsa Turki di bagian selatan yang disebut Uygur. Tulisan
tersebut diperkenalkan pada abad ke tujuh. Hal ini sesuai dengan bukti lembaran
yang ditemukan di Cina-Turki.
Pada masa kekuasaan Kekhalifah Turki Utsmani, di Turki semua rakyatnya
menggunakan huruf Arab sebagai tulisannya. Hal ini sejalan dengan
pemerintahannya yang bercorakan Islam, dimana banyak dipengaruhi oleh
kerajaan-kerajaan Arab dahulu, sehingga tulisan Arab menjadi tulisan yang
digunakan di Turki. Seiring dengan melemahnya kekuasaan Kekhalifahan Utsmani
di Turki, muncul gerakan-gerakan untuk menyederhanakan bahasa Turki.
Walaupun sebenarnya pergerakan yang sama pernah muncul sebelumnya, dimana
pergerakan tersebut diprakarsai oleh tokoh-tokoh sastra Turki pada abad sembilan
belas (Furqon, 2012: 55-56). Pergerakan lainnya juga muncul pada saat
pemerintahan Turki Muda yang dilakukan surat kabar yang terbit pada awal abad
ke-20 (Ali, 1994: 117).
Dengan adanya keputusan untuk menggunakan bahasa Latin untuk bahasa
turki Azerbaijan pada bulan Mei 1925, membuat ahli-ahli bahasa Turki
mengadakan sebuah kongres. Akhirnya kongres tersebut dapat terwujud dengan
diadakannya kongres para Turkologis yang dilaksanakan di Baku pada 26 Februari
1926 (Ali, 1994: 88). Kongres yang mendapat dukungan penuh oleh pemerintahan
Bolsevik ini dihadiri oleh profesor Fuad Koprulu. Kongres tersebut akhirnya
menghasilkan keputusan bahwa huruf Latin supaya dipergunakan untuk
mengganti huruf Arab di semua bahasa Turki dari Asia Tengah (Ali, 1994: 117).
Hasil kongres tersebut membuat pemerintahan Mustafa Kemal mengganti
tulisan Arab menjadi tulisan Latin pada tanggal 3 November 1928. Alasan yang
dikeluarkan secara resmi oleh pemerintahannya adalah adanya kecocokan dan
kesederhanaan antara tulisan latin dengan bahasa Turki. Alasan lain yang
dikeluarkan juga adalah tulisan arab menyebabkan kebutahurufan yang menyebar
luas karena kesulitan untuk membacanya (Toprak, 1990: 74). Namun Freely
menyatakan pada bukunya yang berjudul “Istanbul Kota Kekaisaran” bahwa,
majelis mengeluarkan undang-undang menetapkan abjad Latin untuk
menggantikan huruf Arab yang biasa digunakan bangsa Turki dalam keseharian
mereka pada 9 Agustus 1928 (Freely, 1996: 378). Penulis menemukan perbedaan
tanggal tentang keputusan penggunaan huruf Arab menjadi huruf Latin. Akan
tetapi, beberapa sumber yang ditemukan penulis hanya menyebutkan tahunnya
saja. Yaitu pada tahun 1928. Ankara state information organisation (1972: 38)
menjelaskan:
In 1928 the Constution was secularised and the Latin alphabet adopted –a turning point in the history of Turkish Culture. Pada tahun 1928 Pemerintah mengadopsi Tulisan Latin yang merubah dari
sejarah kebudayaan Turki.
Latip Talib (2011: 15) juga mengemukakan bahwa pergantian tulisan
sistem huruf Arab digantikan dengan sistem huruf Latin pada tahun 1928. Huruf
vokal yang digunakan dalam abjad Turki berjumlah delapan huruf dan
konsonannya berjumlah dua puluh satu huruf (Furqon, 2012: 57). Setelah
disahkannya undang-undang yang menjadikan penggunaan tulisan Latin sebagai
pengganti tulisan Arab di Turki, Mustafa Kemal mulai mengadakan kunjungan-
kunjungan di banyak daerah dari negaranya untuk mengajarkan tulisan tersebut
kepada rakyatnya (Ali, 1994: 88).
Didalam memikirkan pemecahan masalah pemberantasan buta huruf,
Mustafa Kemal sampai pada kesimpulan bahwa jumlah buta huruf mencapai
sebesar 91%. Hal itu disebabkan oleh pemakaian abjad Arab yang dinilai terlalu
sulit. Beberapa sarjana asing diundang untuk menyesuaikan huruf latin a-b-c pada
keperluan bahasa Turki, dan pada pertengahan tahun 1928, mulailah ia dengan
mengganti alif –ba- ta dengan a-b-c. Tanpa mengenal lelah Mustafa Kemal pergi
keliling negeri untuk mengajar huruf-huruf baru, dan setiap kesempatan ia gunakan
untuk menguji kepandaian seseorang menulis namanya. Dalam waktu yang
singkat, kota-kota di Turki berubah menjadi taman sekolah besar, dikedai-kedai,
di toko-toko, didalam maupun diluar rumah rakyat berusaha menghafalkan ajaran
mahaguru tertinggi (demikianlah sebutan Mustafa Kemal pada masa itu). Surat-
surat kabar segera dicetak dalam huruf Latin, dan memakai huruf yang besar-besar
agar memudahkan pembaca yang belum begitu fasih membaca (Suwirjadi, 1952:
98).
Ellen dalam Furqon (2012) menyatakan bahwa Mustafa Kemal juga segera
membuat kebijakan untuk memberlakukan semua tulisan lain di sekolah-sekolah
yang ada. Tujuan pengadopsian tulisan latin adalah agar bangsa Turki tidak susah
payah dalam memberantas buta huruf, sehingga bangsa Turki dapat disejajarkan
dengan bangsa barat yang maju.
Dengan diberlakukannya tulisan latin sebagai pengganti tulisan Arab di
Turki membuat tingkat melek huruf secara signifikan mengalami peningkatan
(Toprak, 1999:75). Hal ini disebabkan penggunaan huruf latin yang mulai
diterapkan di sekolah-sekolah dan juga pelaksana pendidikan umum yang
digancarkan oleh pemerintah sejak 1930 yang lebih memfokuskan tingkat melek
huruf daripada sekedar pembaharuan alfabet.
Perubahan dalam bahasa ini menyebabkan banyak perubahan. Perubahan
terutama terjadi pada bidang Pendidikan dan juga dalam bidang Agama. Dalam
bidang agama, agar rakyat Turki dapat memahami adzan, maka Mustafa Kemal
mengharuskan azan dilakukan dalam bahasa Turki bukan bahasa Arab. Demikian
juga Al-Quran perlu diterjemahkan dalam bahasa Turki agar dapat dipahami
rakyat termasuk Khutbah pada hari Jumat pun menggunakan bahasa Turki
(Isputaminingsih 2009:138-139). Mustafa Kemal berpendapat bahwa perlunya
menasionalisasi bahasa Turki agar dapat menemukan bahasa Turki yang murni
walaupun harus mengorbankan bahasa dalam peribadatan (Furqon, 2012: 29).
Sedangkan perubahan yang terjadi pada bidang pendidikan adalah Mustafa
Kemal berpendapat bahwa di sekolah tidak perlu ada pelajaran bahasa Arab. Bagi
Mustafa bahasa Arab bukan bahasa Ilmu dan bahasa Arab tidak dapat digunakan
dalam melawan musuh (Talib, 2011: 229-230). Maka dari itu, Mustafa Kemal
menghapuskan pelajaran bahasa Arab dan Persia di sekolah-sekolah pada tanggal
1 November 1928 (Ali,1994: 109). Hal itu dilakukan dengan alasan agar para murid
mudah dalam mempelajari ilmu seperti bahasa Inggris dan ilmu Sains maka tulisan
Arab akan dihapus dan digantikan dengan tulisan Latin (Talib, 2011: 226-227). Ia
juga mewajibkan bagi para guru untuk melakukan pengajaran menggunakan huruf
Latin di semua sekolah (Talib, 2011: 231).
Toprak (1999: 77), mengatakan bahwa pada tahun 1931, didirikanlah
Himpunan Pengkajian Sejarah Turki. Setahun kemudian, disusul dengan
didirikannya Himpunan Pengkajian Bahasa Turki. Sementara tujuan himpunan
yang pertama adalah untuk mengkaji sejarah Turki sebelum periode Utsmani, dan
tujuan Himpunan Kajian Bahasa Turki adalah sebagai pemurnian bahasa dengan
cara memasukkan kosa kata bahasa asli Turki ke dalam pembicaraan formal serta
menciptakan kosa kata baru dari akar-akar bahasa Turki.
6. Sistem Teknologi
Sistem Teknologi menurut Koentjaraningrat adalah jumlah keseluruhan
teknik yang dimiliki oleh para nggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara
bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan
mentah, pemprosesan bahan bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja,
penyimpanan, pakaian, perumahan, alat trasportasi dan kebutuhan lain yang
berupa benda meterial.
Mustafa Kemal juga memperhatikan kemajuan teknologi pada masa
pemerintahannya. Dari tahun 1925-1926 rakyat Turki mengalami perubahan kecil
maupun besar yang disertai dengan kecepatan yang menakjubkan, walaupun
pelaksanaannya tidak berjalan secepat arus yang dipancarkan dari Ankara. Mulai
akhir 1926 Mustafa Kemal memfokuskan perhatian kepada penyempurnaan
pemerintahan dan pembangunan segala yang dibumihanguskan dan terlantar dari
masa lampau. Tenaga terutama dikerahkan kepada reparasi dijalan kereta api dan
gerobak untuk menyempurnakan distribusi bahan makanan. Selain itu ia gemar
sekali pada rencana pembangunan kota Ankara.
Mustafa Kemal membuat bendungan besar untuk mengairi tanah Ankara
yang sebenarnya terlalu tandus dan kering untuk didiami manusia. Ia meminta
Ahli-ahli bangunan Eropa untuk membuat gedung-gedung yang indah dan sebagai
awal mula bangunan-bangunan itu timbul mendahului jalan jalan dan keperluan
lain yang lazim yang terdapat didalam suatu kota.
Terdorong oleh hasrat hendak mencontoh dunia barat, pemerintah gugup
mendatangkan alat-alat pertanian modern, tetapi banyak mesin-mesin yang di
datangkan dengan susah payah itu terlantar karena kaum tani tak tahu bagaimana
mempergunakan maupun memeliharanya. Sementara itu idam-idaman Mustafa
Kemal sudah mulai mengambil wujud. Turki merupakan suatu laboratorium besar
dimana semua orang mau tidak mau mengambil bagian dalam percobaan untuk
mengangkat negara dan rakyat agar sepadan dengan dunia Barat. Pembangunan
pabrik gula dan tekstil menjadi salah satu proses pembangunan teknologi yang
terjadi pada masa pemerintahannya (Suwirjadi, 1952: 96).
Dengan keinginan Mustafa Kemal memajukan teknologi Turki, Ia
mengembangkan tingkat ekonomi masyarakat desa dengan mengajarkan cara
membuat dan mengelola ladang dan kebun. Selain itu mereka juga mengajarkan
cara pemakaian alat dan mesin yang benar terhadap warga (Djainuri, 2001: 283).
7. Sistem Kesenian
Secara sederhana kesenian dapat diartikan sebagai segala hasrat manusia
terhadap keindahan. Menurut KBBI kesenian mempunyai arti karya yang
diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tarian, lukisan, ukiran dan
bangunan. Turki Utsmani meninggalkan warisan kesenian yang beragam, yang
kemudian pada masa pemerintahan Mustafa Kemal dirubah sesuai dengan
pemikirannya. Diantaranya adalah:
a. Tari Sufi
Salah satu kesenian yang terdapat di negara Turki adalah Tari Sufi. Adapun
fase perkembangan Tarian Sufi yakni awal mulanya terjadi pada abad ke 17M,
tariqah mevlevi atau mawlawiyah dikendalikan oleh Kerajaan Utsmaniyah.
Meskipun kebebasan mereka dalam mengekspresikan diri dibatasi, tetapi Sang
Raja memberikan perlindungan kepada tariqah ini. Karena tariqah ini
mendapatkan perlindungan raja maka mereka semakin menyebarkan luaskan
keberbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak orang tentang musik dan
tradisi yang ada. Pada abad ke18 M, Sultan Salim II masuk dalam Tariqah ini dan
menjadi anggotanya. Sang Sultan menciptakan musik untuk upacara-upacara
dalam tariqah ini.
Tari sufi berasal dari seorang darwis bernama Shalahuddin Faridun Zarkub.
Dia adalah seorang pandai besi. Ketika dia memukul besi yang membentuk irama
musik seketika itu Rumi menari dalam keadaan ekstase karena beliau kecewa dan
sedih ditinggal gurunya. Karena Rumi menjadikan Shalahuddin sebagai wakil dari
Syam yakni guru Rumi yang meninggal. Tarian ini dilakukan Rumi setelah salat
isya’ usai dilakukan di Konya dan diikuti oleh darwis yang lainnya (Iqbal, 2010:
85).
Tarian ini juga disebut sebagai sama’. Tarian mistis yang membuka pintu
gerbang surga. Salah satu hal yang membuat tarian ini mistis karena poros dari
tarian ini adalah puisi dari Maulana Rumi. Tarian ini dilakukan oleh para sahabat
dan santri perempuan mengadakan pesta sama’. Kekuatan pada pesta ini adalah
kehadiran.
Kehadiran sang kekasih atau Ruh yang ada didalam tubuh. Sama’ adalah
tangga menuju surga karena seluruh alam semesta sibuk menari berputar cepat dan
menghenttakkan kaki yang tidak dibatasi oleh waktu. Tarian ini dilakukan oleh
penari dalam keadaan merindu dengan sang kekasih terlebih mencapai cinta ilahi
secara murni. Dalam menggapai cinta Ilahi ini Rumi pun mengungkapkannya
dalam Syair (Schimel,2002: 246).
Pada abad ke 19 M, Tariqah Mawlawiyah merupakan kelompok yang
sangat berpengaruh di Turki dan kelompok yang besar. Karena mendapat
perlindungan dari Raja Utsmaniyah. Pada abad ini pula, Tarian Sufi mulai dikenal
bangsa barat. Para darwis sering mempertunjukkan tarian ini kepada banyak orang.
Namun seiring berkembangnya kemajuan Turki. Kelompok ini sering
mendapatkan perlakuan yang tidak baik yakni mereka ssering dibubarkan dan
dilarang mempertunjukkan tarian sufi kepada banyak orang. Hal ini dilakukan oleh
pemerintah semasa Mustafa Kemal Ataturk. Beliau melakukan ini agar Turki bisa
lebih modern dengan kemajuan dunia yang ada dan Turki bisa seperti dunia barat
yang maju dengan segala kemajuan ilmu dan pengetahuan (Iqbal,2010: 85).
b. Aya Sophia
Pada tanggal 29 Mei 1453, gereja Aya Sophia dikuasai oleh tentara Islam
yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Al-Fateh. Atas persetujuan penduduk
kristian di kota Istanbul, maka gereja ini di alih fungsikan sebagai masjid. Semua
patung dan lambang salib-pun di turunkan (Latip, 2011: 365).
Aya Sophia yang mempunyai arti kebijaksanaan suci. Bangunan ini
diperbaiki dan ditambah pada beberapa kesempatan, baik pada masa Byzantium
maupun Utsmani. Bangunan ini adalah gereja Justinian, yaitu gereja yang
dibangun oleh umat Kristiani. Bangunan ini dijadikan sebagai gereja sampai tahun
1453 saat Sultan Al-Fateh merubahnya. Empat menara ditambahkan dalam waktu
yang berbeda pada suatu abad setelah penaklukan. Beberapa tembok penopang
adalah bagian dari bangunan asli, sementara lainnya ditambahkan baik dalam masa
Byzantium maupun Utsmani. Bangunan ini dipugar pada tahun 1847-1849. Aya
Sophia digunakan sebagai masjid hingga tahun 1934. Kemudian diperbaiki dan
dibuka untuk umum sebagai Museum (Freely, 2012: 410).
Pada tahun 1925, bangunan aya sophia di tukar menjadi museum oleh
Mustafa Kemal. Ayat-ayat Al-Quran di dalam bangunan di hapuskan dan
digantikan dengan gambar-gambar lama (Latip, 2011: 377). Namun penulis
menemukan perbedaan tahun pengalih fungsian Aya Sophia dari masjid menjadi
museum. Freely (2012: 410) menyatakan dalam bukunya yang berjudul “Istanbul
Kota Keisaran” bahwa masjid Aya Sophia dirubah menjadi museum pada tahun
1934.
Menurut sumber lain yang penulis dapat, Mustafa Kemal mengubah status
Aya Sophia dari sebuah masjid menjadi museum pada tahun 1937. Sejak saat itu
Aya Sophia menjadi salah satu objek wisata yang terkenal oleh pemerintah Turki
di Istanbul. Nilai sejarahnya tertutupi gaya arsitektur Byzantium yang indah
mempesona.
Bangunan Aya Sophia terdiri dari dua lantai. Lantai dasar yang juga
merupakan hall yang dulu digunakan sebagai tempat ibadah terdapat ornamen-
ornamen gereja seperti gambar Yesus yang berdampingan dengan kaligrafi Islam
dan Lafadz Allah dan Muhammad. Kaligrafi-kaligrafi Islam juga terdapat didalam
hall tersebut. Bangunan ini sudah menghadap kiblat, jadi tidak perlu lagi merubah
mihrab tempat imam, hanya sedikit saja untuk menggeser arahnya beberapa
derajat (bersatulahdalamgerejakatolik.com: 29 Maret 2016).
Sejak tahun 1985 oleh UNESCO Aya Sophia ditetapkan menjadi salah satu
warisan budaya dunia yang harus dilindungi. Aya Sophia, menyimpan banyak
sejarah di masa Kekaisaran Byzantium. Dibangun di atas tanah dengan lebar 70
meter dan ketinggian 75 meter dengan dome (kubah) berdiameter 31 meter,
bangunan ini bisa dibilang sangatlah megah. Pada tahun 306 di masa Kekaisaran
Byzantium, di kota Konstantinopel yang merupakan cikal bakal kota Istanbul,
Gereja Konstantin dibangun. Lokasi Gereja Konstantin inilah yang
merupakanlokasi Gereja Aya Sophia. Sebelum dijadikan gereja, Lokasi Gereja
Konstantin itu sendiri awalnya juga merupakan tempat penyembahan masyarakat.
Jadi, lokasi Aya Sophia memang merupakan lokasi yang menyimpan banyak cerita
masa lalu tentang kehidupan beragama manusia di masa lalu (kompasiana.com: 25
Februaru 2016).
Saat Mustafa Kemal Ataturk, memerintahkan untuk mengubah Aya
Sophia menjadi sebuah museum. Mulailah pembongkaran Aya Sophia, dengan
menampakkan kembali simbol lukisan-lukisan sakral kekristenan, seperti yang
dapat lihat saat ini. Dimana ada dua simbol agama Islam dan Kristen dalam
bangunan ini.
Di langit-langit terlihat lukisan dari potongan mozaik merupakan ilustrasi
gambar nabi Isa, Bunda Maria dan malaikat bersayap. Dari ribuan atau jutaan
kepingan mozaik ini terbentuk berbagai gambar khas abad ke enam.Selain
ornament lukisan yang menunjukkan bahwa bangunan ini adalah gereja, juga
terdapat tulisan kaligrafi Allah SWT dan nabi Muhammad SAW, serta para
sahabatnya. Serta sebuah tempat untuk azan, sebuah mimbar, dan tempat imam
untuk memimpin shalat. Dan juga tempat air seperti gentong dari marmer untuk
berwudhu. Di lantai dua, ada sebuah galeri di mana banyak foto dan gambar-
gambar. Di lantai dua ini banyak lukisan simbol-simbol agama Kristen. Ada juga
lukisan Kaisar Constantine dan istrinya yang mengapit bunda Maria
(kompasiana.com: 30 Maret 2016).
c. Masjid Biru/Blue Mosque/ Sultan Ahmet Mosque/ Sultan Ahmet Camii
Masjid ini dibangun antara tahun 1609 dan 1616 atas perintah Sultan Ahmed
I, yang kemudian menjadi nama masjid tersebut. Ia dimakamkan di halaman
masjid. Masjid ini terletak di kawasan tertua di Istanbul, dimana sebelum 1453
merupakan pusat dari kota Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantin/Bizantium.
Masjid ini dibangun untuk menandingi Aya Sophia. Istanbul adalah lambang
kemegahan dan kehormatan Turki. Di Istanbul banyak tersimpan warisan sejarah
silam, seperti Masjid Biru, Aya Sofia, makam Sultan Muhammad Al-Fateh dan
makan Abu Ayub Al-Ansari. Rakyat Turki menganggap Istanbul sebagai tempat
suci (Latip, 2011: 152).
Menurut sejarah, arsitektur Masjid Biru ini adalah Sedefhar Mehmet Aga.
Gaya arsitektur masjid-masjid di Turki mengikuti dua gaya, yaitu gaya arsitektur
Saljuq dan Turki Utsmani. Adapun Masjid Biru mengikuti gaya arsitektur Turki
Utsmani (travel.detik.com: 19 Maret 2016).
Penduduk lokal menyebut Masjid Biru sebagai Sultan Ahmet Mosque
(Masjid Sultan Ahmad) atau Sultan Ahmet Camii. Masjid ini mempunyai luar
masjid kekaisaran yang paling indah di Istanbul, dengan bagian depan kubah dan
kubah setengah lingkaran yang anggun serta enam menara yang menjulang dari
sudut bangunan dan halaman depannya. Bagian dalam masjid memiliki panjang 51
meter dan lebar 53 meter, dinaungi sebuah kubah dengan garis tengah sepanjang
23,5 meter, dan ditopang dengan empat rangka penopang kubah, dengan puncak
berada 43 meter diatas lantai. Bagian dalam masjid terkena cahaya dari 250
jendelanya. Semua ini diisi oleh kaca warna-warni Turki dari awal abad ke-17.
Lukisan bergaya Arab dibagian atas dilakukan di zaman modern dengan desain
yang suram dan warna yang kasar.
Masjid ini di dominasi dengan warna biru yang sangat cerah. Ini lah yang
menjadi asal-usul Masjid Biru. Ubin yang digunakan berasal dari Iznik yang
digunakan untuk mendekorasi bagian bawah tembok. Di bawah ujung timur masjid
tampak sejumlah ruangan berkubah yang dahulu menjadi gudang dan kandang
kuda. Namun ruangan itu sudah dirubah menjadi Museum Karpet, yang
memamerkan berbagai karya seni mulai dari abad ke-15 hingga abad ke-18 (Freely,
2012 : 440).
Penulis tidak menemukan tentang perubahan yang dilakukan oleh Mustafa
Kemal pasha kepada Masjid Biru ini. Sampai sekarang Masjid Biru masih
digunakan untuk sholat lima waktu dan juga sholat pada saat hari raya.
d. Dolmabahce Sarahyi
Istana Dolmabahce merupakan sebuah istana yang menjadi tempat tinggal
enam Sultan dan keluarganya. Istana ini merupakan pusat pemerintahan
Kesultanan Turki sejak 1856 M hingga 1922 M. Namun, antara tahun 1887 M
hingga 1909 M, tempat tinggal Sultan dan keluarganya dan pusat pemerintahan
berpindah ke Istana Yildiz. Istana Dolmabahce adalah tempat tinggal dari Sultan
Turki yang terakhir.
Pada bagian Eropa dari selat Bosphorus, Kesultanan Turki menjadikannya
sebagai pusat dari berbagai keindahan arsitektur. Dolmabahce yang memiliki gaya
arsitektur baroque, rococo, neo-classic, dan Islam. Arti dari kata “Dolmabahce”
dalam bahasa Turki adalah “penuh dengan taman”, karena sejak awal area tersebut
telah dipenuhi dengan taman bunga.
Dolmabahce Sarayi merupakan monumen yang paling mengesankan di
pantai Eropa selat Bosporus, bagian depan yang menghadap laut dan terbuat dari
marmer putih sepanjang 248 meter dan kebun serta bangunan tambahannya
terhampar di sepanjang dermaga sepanjang 600 meter. Istana ini dibangun oleh
Karabet Balyan dan putranya Nikogos yang diselesaikan pada tahun 1835. Saat
sultan dan keluarganya pindah ke istana tersebut, istana ini dijadikan sebagai pusat
kekaisaran Turki Utsmani. Namun, pada saat akhir kekaisaran Utsmani
Dolmabahce menjadi kediaman presiden Mustafa Kemal. (Freely, 2012: 444).
Dengan luas 45,000 m2, Istana Dolmabahce menjadi Istana terluas yang ada
di Turki. Dibandingkan Istana Topkapi yang dihiasi oleh keramik iznik dan ukiran
khas Ottoman, hiasan Istana Dolmabahce lebih didominasi oleh emas dan
kristal. Bohemian Crystal Chandelier terbesar di dunia yang ada di aula utama
Istana adalah hadiah dari Ratu Victoria. Bohemian Crystal Chandelier itu
memiliki 750 lampu dengan berat 4.5 ton. Di istana ini terdapat tangga besar yang
terbuat dari kayu mahogany yang dihiasi oleh kristal baccarat kuningan. Istana
Dolmbahce memiliki koleksi kristal bohemian dan baccarat yang paling banyak di
Dunia. Istana Dolmabahce dibangun, karena Sultan merasa bahwa Istana Topkapi
sudah terlalu lama dalam bentuk Istana maupun kemewahannya
(HijUpblog.tumblr.com: 30 Maret 2016).
Istana ini selain menjadi tempat tinggal juga menjadi kantor untuk
pemerintahan kerajaan Ottoman atau kekhalifahan Ustmaniyah hingga
penghapusan kekhalifahan pada tahun 1924. Sultan terakhir yang tinggal di istana
ini adalah Sultan Abdul Mecid Effendi. Selanjutnya istana ini digunakan oleh
Mustafa Kemal Attaturk, sebagai pendiri dan presiden pertama Republik Turki
(kompasiana.com: 30 Maret 2016). Mustafa Kemal meninggal di istanan ini pada
10 November 1938. Istana ini telah di perbaiki dan sampai saat ini telah di jadikan
museum (Freely, 2012: 444).
Mustafa \\\Kemal jelas membawa perubahan yang sangat besar bagi negara
Republik Turki yang baru. Diantara tujuh unsur yang sudah disebutkan diatas,
perubahan pada bidang ekonomi dapat dikatakan sangat pesat. Musatafa Kemal
berhasil meningkatkan perekonomian Turki. Kondisi perekonomian Turki yang
kala itu hancur akibat perang, ia kembalikan dengan kebijakan-kebijakan yang ia
jalankan akibat pemikirannya. Kaum tani diberikan kesempatan untuk mengelola
tanah tanpa harus membayar pajak yang besar terhadap pemerintah. Pabrik-pabrik
dibangun untuk memenuhi kebutuhan rakyat Turki. Kerjasama dengan negara lain
dibatasi karena Mustafa Kemal tidak ingin negara lain ikut campur dalam
perekonomian di negaranya. Walaupun Mustafa Kemal sangat mengikuti Barat,
tetapi ia tidak ingin negaranya dikuasai Barat. Musatafa Kemal berhasil
mensejahterakan masyarakat Turki dalam bidang perekonomian.
Dalam bidang pendidikan, ia banyak membangun sekolah rakyat. Hal itu ia
lakukan agar Turki memiliki kemajuan pendidikan sehingga dapat mengikuti
Barat. Pergantian bahasa Arab menjadi bahasa Turki dan tulisan Arab menjadi
tulisan Latin merupakan kendala yang cukup besar karena pada saat itu
masyarakat umum menggunakan bahasa Arab dan tulisan Arab. Mustafa Kemal
turun langsung ke masyarakat untuk mengajarkan tulisan Latin pada masyarakat
umum. Ia berpendapat bahwa dengan menguasai tulisan latin itu akan sangat
membantu dalam mengejar keterlambatan Turki dalam menuntut ilmu umum,
seperti ilmu sains dan matematika. Kebutaan huruf dalam masyarakat berangsur-
angsur menurun karena usaha Mustafa Kemal dalam mengajarkan huruf Latin pada
masyarakat.
D. Peninggalan Mustafa Kemal Ataturk
Pemikiran Mustafa Kemal sangat berpengaruh terhadap perubahan
kebudayaan di Turki. setelah ia wafat, perubahan akibat pemikirannya masih ada
sampai sekarang. Penulis kemudian melakukan wawancara kepada salah satu
warga Indonesia yang tinggal di Turki tentang peninggalan Mustafa Kemal yang
masih ada di Turki. Berikut adalah peninggalan dari Mustafa Kemal:
1) Sampai saat ini bahasa yang dipakai adalah bahasa TurkiSetelah Mustafa
Kemal menghapuskan bahasa Arab, masyarakat di Turki menggunakan
bahasa Turki. Pasca pemerintahan Mustafa Kemal bahasa Turki masih
tetap menjadi bahasa resmi di negara Turki sampai sekarang.
2) Partai politik yang didirikan Mustafa Kemal yang bernama CHP
(Cumhuriyet Halk Partisi atau Partai Rakyat) pada saat ia menjadi presiden
masih ada dan eksis sampai sekarang.
3) Adanya hari anak (Ulusal Egemenlik Ve Çocuk Bayrami) hasil pemikiran
Mustafa Kemal adalah dengan adanya hari Anak. Hari anak ini masih di
peringati di Turki sampai sekarang
4) Setiap tanggal 19 Mei diperingati sebagai hari Ataturk , yaitu hari pemuda
dan olahraga. Tanggal ini dianggap sebagai titik bangkitnya Gerakan
Kebebasan Nasional. Mustafa Kemal dianggap sebagai pelopor bangkitnya
negara Turki.
5) Makam Mustafa Kemal berada di Ankara. Makamnya disebut Anitkabir,
dan jasadnya diawetkan disana.
6) Nama belakang Ataturk tidak boleh digunakan oleh orang lain sampai saat
ini. Karena nama itu hanya boleh dipakai oleh Mustafa Kemal.
7) Patung Mustafa Kemal banyak terdapat di berbagai kota di Turki. pada
saat Mustafa Kemal menjadi presiden, beliau membuat patung wajahnya
yang di letakkan di berbagai kota di Turki.
top related