bab i pendahuluan - abstrak.uns.ac.id · syi'ah irak ke iran. di dalam negeri irak sendiri,...
Post on 24-Sep-2019
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Irak merupakan area studies yang sangat menarik. Teritorial Irak terletak di
sebuah kawasan yang subur, yaitu lembah Sungai Eufrat dan Tigris, tepatnya disebut
dengan Mesopotamia Kuno. Pada zaman kuno, Irak juga dikenal dengan sebutan
Lembah Babilonia. Kawasan Irak menyimpan pelbagai masa gemilang dan sampai
sekarang terus disenandungkan oleh para budayawan, seniman, dan ilmuwan; mulai
dari peradaban kuno Mesopotamia; Babilonia dengan taman gantungnya; dan
Baghdad sebagai kota seribu menara; serta kota seribu satu malam Harun ar-Rasyid.1
Negara yang berada di bagian barat daya Asia ini, memiliki batas-batas
wilayah; di selatan dengan Kuwait dan Arab Saudi, di barat dengan Yordania dan
Syria, di utara dengan Turki, dan di timur dengan Iran. Negara Republik Irak
(al-Jumhuriyah al-Iraqiyah) beribukota di Baghdad, dengan populasi penduduknya
pada sensus 1990 sebesar 18.317.000 jiwa. Luas wilayahnya mencapai 435.052 km²
dengan kepadatan penduduk 42,1/km². Bahasa resminya adalah bahasa Arab. Dan
agama Islam menempati peringkat pertama dengan jumlah pengikutnya sebesar
95,8%, kemudian Kristen 3,5% dan sedikit Yahudi.2
1 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Cahaya Hikmah,
halaman 12-13. 2 Ajid Thohir, 2009, Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta:
Rajawali Pers, halaman 174.
2
Islam di Irak terbagi menjadi dua kelompok besar yakni Sunni dan Syi’ah.
Perpecahan antara kedua kelompok ini penting karena merupakan faktor utama
terjadinya perang antara Irak dan Iran yang berlarut-larut sejak tahun 1980.
Perpecahan antara dua sekte itu dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. pada
tahun 632 M, karena adanya perbedaan pendapat tentang siapa yang dianggap ahli
waris yang sah untuk menggantikan Nabi saw. dalam menangani kepemimpinan umat
Islam. Orang-orang Syi’ah mengklaim bahwa satu-satunya yang sah sebagai
pengganti Nabi saw. adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Mereka tidak mengakui
para Khalifah ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan)
sebelumnya. Akan tetapi, selama berabad-abad kaum Sunni-lah yang berhasil dalam
memenangkan calon-calon mereka untuk terpilih sebagai khalifah atau pemangku
tugas kenabian Muhammad saw., khususnya di dunia politik. Disebabkan jarangnya
kaum Syi’ah memegang kekuasaan politik, maka sistem keimaman mereka pun telah
menjadi bagian dari gerakan politik yang secara tidak langsung memprotes Sunni.3
Di Irak, kaum Syi'ah adalah mayoritas yang mencakup sekitar 55-60% dari
keseluruhan jumlah penduduk Irak. Bahkan, dua kali lipat dari jumlah kaum Arab
Sunni.4 Walaupun demikian, posisi elite pemerintahan Irak selalu dikuasai oleh Arab
Sunni. Adapun kaum Syi'ah yang memegang peranan penting dalam pemerintahan
hanyalah kaum Syi'ah Arab. Kemiskinan banyak menyebar pada masyarakat Syi'ah,
termasuk mereka yang berdomisili di ibukota Baghdad.5
3 Ibid, halaman 174-175. 4 Ibid, halaman 175. 5 Alauddin al-Mudarris, 2004, Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman, Yogyakarta: Cahaya Hikmah,
halaman 14-15.
3
Pada tahun 1958 (setelah kudeta militer berdarah), Irak berubah menjadi
negara republik yang sebelumnya berbentuk kerajaan sejak 1921 sampai 1958. Sejak
tahun 1968, hanya Partai Ba'ath-lah yang menjadi partai politik tunggal di Irak. Di
bawah kepemimpinan diktator Saddam Hussein, politik regional dan luar negeri Irak
menjadi ambisius, meskipun harus menghadapkan Irak pada risiko tinggi. Irak gagal
meruntuhkan pemerintahan Islam Iran dan bahkan menghadapi kehancuran setelah
menginvasi Kuwait pada 1991.6
Sejak masa pemerintahan Ahmad Hasan al-Bakr (1968-1979) dan terlebih
masa pemerintahan Saddam Hussein (1979-2003) inilah, panggung politik Baghdad
justru didominasi kelompok minoritas Arab Sunni khususnya Partai Ba'ath, lebih
khusus lagi keluarga Saddam dan "klan" al-Takriti (adalah nama daerah kelahiran
Saddam Hussein). Kondisi inilah yang disebut "Sunnisasi" panggung politik
Baghdad.7
Terhitung semenjak tahun 1968 sampai 1977, dari lima belas anggota Dewan
Pimpinan Revolusi yang penting, tak satu pun yang berasal dari kalangan Syi'ah.
Pemerintahan Irak berhasil dikuasai oleh orang-orang yang berasal dari desa Tikrit,
kota kelahiran Ahmad Hassan al-Bakr dan Saddam Hussein.8 Sehingga dengan
adanya "Sunnisasi" dan "Ba'athisasi" panggung politik Baghdad inilah, kaum Syi'ah
melakukan penentangan terhadap rezim di Irak.9
Saddam Hussein, bersama Partai Ba'ath memimpin pemerintahan Irak
6 Ibid, halaman 15. 7 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, 1993, Konflik dan Diplomasi di
Timur Tengah, Bandung: PT Eresco, halaman 101. 8 Chibli Mallat dalam Shireen T. Hunter, 2001, Politik Kebangkitan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,
halaman 124. 9 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 102.
4
berlandaskan pada empat pilar; ideologi totalitarian, pemerintahan partai tunggal,
ekonomi terpimpin, serta kontrol yang ketat terhadap media dan tentara. Lewat Partai
Ba'ath-lah ia mengembangkan sistem politik Irak, yakni menempatkan suku-suku dan
klan-klan tradisional sebagai institusi negara kunci.10
Upaya penjilatan, pemenjaraan, penindasan, bahkan pemusnahan terhadap
kaum Syi'ah, terus dilakukan Saddam Hussein guna mengontrol pemerintahannya.
Seperti pengeksekusian Imam Syi'ah Irak "Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr" pada
8 April 1980 bersama saudarinya "Amina binti al-Huda", yang setahun sebelumnya
berada dalam tahanan. Juga, upaya penumpasan Saddam terhadap gerakan kaum
Syi'ah yang menyebabkan terjadinya eksodus (antara 200.000 sampai 350.000) warga
Syi'ah Irak ke Iran. Di dalam negeri Irak sendiri, tindakan Saddam tersebut justru
membangkitkan kerusuhan anti-Saddam yang lebih luas di kalangan umat Syi'ah Irak.
Sedangkan di luar Irak, tindakan Saddam tersebut menjadi penyebab munculnya
Perang Teluk 1 (perang Iran-Irak September 1980-Agustus 1988).11
Selama lebih dari dua dasawarsa kaum Sunni telah menikmati kekuasaan.
Mereka merasakan kenyamanan dan ketentraman di bawah rezim Saddam. Namun,
keadaan berubah semenjak Baghdad berhasil dikuasai pihak koalisi pada 9 April 2003,
yang ditandai dengan perobohan Patung Saddam di perempatan Firdaus. Rezim
Saddam tumbang. Ini menandakan kehidupan baru dan pemerintahan baru di Irak.
Sementara kaum Sunni harus menghadapi kenyataan baru setelah Saddam jatuh;
mereka kehilangan kekuasaan dengan segala fasilitasnya, mereka kehilangan
10 Trias Kuncahyono, 2005, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman
126-127. 11 M. Riza Sihbudi, M. Hamdan Basyar, dan Happy Bone Zulkarnain, op. cit, halaman 101.
5
dominasi dengan segala keuntungannya.12
Di sisi lain, jatuhnya Saddam justru
menandakan kebangkitan baru bagi kaum Syi'ah dan Kurdi dalam peranan politik
mereka pada pemerintahan baru Irak.
Hilangnya sosok figur Saddam Hussein (pemimpin Sunni, pemimpin Irak)
selanjutnya, menjadikan konflik antara Sunni dan Syi'ah di Irak pasca Saddam
berlarut-larut dan semakin intensif, bahkan berujung konfrontasi di antara mereka.
Sementara masing-masing dari kelompok masyarakat harus terus memperjuangkan
eksisitensi dan pengaruhnya dalam pemerintahan baru di bawah pendudukan AS dan
sekutu. Terlebih keadaan kependudukan Irak yang terpecah dalam hal persoalan
ideologi agama dan etnis, —yaitu Irak bagian selatan dikuasai kaum Syi'ah, Irak
bagian tengah dikuasai kaum Sunni, dan Irak bagian utara di tangan suku
Kurdi—dipandang banyak pihak sebagai batu sandungan utama bagi pembentukan
negara baru.13
Kemudian, siapakah yang akan berkuasa selanjutnya? Dari kelompok
mana? Sunni? Syi'ah? Kurdi?
Isu demokrasi pasca perang Irak-AS pun menyeruak ke permukaan. Jika
memang hal tersebut terbukti di kemudian hari, berdasarkan sistem demokrasi yang
selalu diagung-agungkan AS dengan pemberian hak memilih bagi setiap individu,
maka dapat dipastikan kaum Syi'ah lah yang akan berkuasa. Lalu, bagaimanakah
dengan kaum Sunni, yang berada di bawah kekuasaan Syi'ah pasca Saddam. Akankah
sebuah pemerintahan otoriter kembali terwujud sesudah digulingkannya Saddam
Hussein oleh AS dan sekutu, atau sekurang-kurangnya sebuah pemerintahan yang
12 Trias Kuncahyono, op. cit, halaman 181-182. 13 Ibid, halaman 123-124.
6
mempunyai kekuasaan berlebih sehingga mampu mengendalikan semua pihak.14
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengkajian fenomena konflik antara
Sunni dan Syi'ah di Irak pasca Saddam Hussein menjadi suatu wacana kajian yang
menarik untuk dikaji dan dianalisis. Untuk itulah penelitian ini hadir dalam bentuk
skripsi yang penulis beri judul Perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak (Pendekatan
Teori Konflik Ibn Khaldun), sebagai wadah untuk menyoroti perkembangan Sunni
dan Syi'ah di Irak, tepatnya perkembangan fenomena konflik Sunni dan Syi'ah di Irak
pasca pemerintahan Saddam Hussein.
Penelitian tentang Sunni dan Syi'ah di Irak telah dilakukan oleh beberapa
orang, berikut ini penjelasannya. Beberapa penelitian terdahulu, yang telah membahas
konflik Sunni-Syi'ah di Irak, di antaranya: Pertama, oleh Musrifa Ilam (2010) dengan
judul Peranan Kaum Syi'ah dalam Peristiwa Jatuhnya Rezim Saddam Pada Tahun
2003 (Suatu Tinjauan Sejarah). Penelitian ini menjelaskan sebab-sebab terjadinya
konflik internal antara Syi’ah Irak dengan Saddam Hussein dan peranan Syi'ah dalam
menyukseskan penggulingan rezim Saddam yang tergabung dalam beberapa
kelompok oposisi yang direkrut oleh AS.
Kedua, oleh Mehdinsareza Wiriarsa, melalui penelitiannya yang berjudul
Konflik Komunal Sunni-Syi'ah di Irak Pasca Saddam Hussein (2004-2006), berhasil
membuktikan hipotesisnya. Empat variabel yang menjadi sumber konflik dalam
masyarakat, yaitu: adanya differensiasi kelompok, pemenuhan kebutuhan manusia,
kebijakan pemerintah, serta keterlibatan internasional yang dipicu oleh gagalnya
upaya AS untuk merekonstruksi Irak berupa pembentukan badan administrasi
14 Ibid, halaman 124
7
transisional, pemulihan keamanan, pembangunan ekonomi, dan penetapan sistem
demokrasi.
Penelitian ketiga, oleh Ardian Muthahar (2013), yang berjudul Konflik Antar
Kelompok di Irak Pasca Penarikan Pasukan Amerika Serikat Tahun 2011. Penelitian
ini mengkhususkan pada interaksi di antara ketiga kelompok (Sunni, Syi'ah, dan
Kurdi) pasca penarikan pasukan AS tahun 2011. Terdapat beberapa faktor penyebab
konflik antar kelompok tersebut yaitu, adanya infiltrasi dari kelompok al-Qaeda,
militan Sunni, dan ekstrimis Syi’ah yang melakukan aksi kekerasan di berbagai
wilayah di Irak.
Perubahan situasi domestik Irak pasca penarikan pasukan Amerika Serikat di
mana menunjukkan terjadi peningkatan konflik antara kelompok Sunni, Syiah, dan
Kurdi disebabkan oleh faktor-faktor yaitu: Pertama, tingginya nasionalisme
kelompok dan sektarianisme di tengah masyarakat Irak, tidak adanya rasa saling
menghormati antara Sunni, Syi’ah, maupun Kurdi terus menyebabkan friksi di antara
mereka. Kedua, pergeseraran kekuatan kelompok dari Sunni ke Syiah menyebabkan
terbentuknya konflik elite di pemerintahan dan parlemen. Di samping itu,
meningkatnya konflik antar kelompok di Irak turut memengaruhi hubungan Irak
dengan negara-negara di sekitaranya, seperti Iran dan Turki. Penelitian ini mampu
memaparkan interaksi antar kelompok di Irak pasca penarikan pasukan Amerika di
Irak tahun 2011 dengan baik, juga mampu mendeskripsikan faktor-faktor penyebab
konflik di antara ketiga kelompok, serta pengaruhnya bagi internal maupun eksternal
Irak.
8
Keempat, penelitian Ahmad Sahide (2013) yang berjudul Konflik Syi'ah-Sunni
Pasca The Arab Spring. Dihasilkan data bahwa konflik Sunni-Syi'ah yang terjadi di
wilayah Timur Tengah berupa dua bentuk; pertama, konflik antara kelompok
masyarakat dengan rezim, baik rezim yang Syi'ah dan kelompok masyarakat yang
Sunni maupun sebaliknya. Kedua, konflik antarnegara (rezim). Sahide juga
menjelaskan konflik antara Sunni-Syi'ah dewasa ini adalah konflik politik yang
kemudian merosot kepada konflik agama (fiqhi) yang dampaknya terasa sampai ke
Indonesia.
Keadaan Irak secara keseluruhan dapat diketahui dari beberapa penelitian:
pertama, Andriyansyah (2011), yang berjudul Penyerbuan Amerika Serikat Atas Irak
dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Masyarakat Irak 2003-2007. Dihasilkan data
bahwa kondisi masyarakat Irak dalam bidang ekonomi, politik dan kerukunan agama,
etnis, serta aliran agama mengalami kemelut yang berdampak panjang.
Kedua, penelitian Sumargono (2010) yang berjudul Irak Setelah Jatuhnya
Rezim Saddam Hussein Tahun 2003-2005. Dihasilkan data bahwa pasca invansi AS,
negara Irak mengalami berbagai macam perubahan baik perubahan sosial, ekonomi,
dan politik yang mengarah pada pembangunan pemerintahan sementara di Irak.
Seperti, pembentukan dewan pemerintahan sementara Irak, struktur pemerintahan
sementara Irak, dan proses pemilu.
Beberapa buku terkait perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak sendiri, baru
tampak dalam buku yang berjudul Politik Kebangkitan Islam karya Shireen T. Hunter
(2001). Buku tersebut membahas tentang politik kebangkitan Islam di beberapa
9
negara, salah satunya ialah di Irak dan bagian tersebut ditulis oleh Chibli Mallat.
Dalam memaparkan perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak, Mallat membatasinya
sejak awal kemerdekaan Irak hingga era pemerintahan Saddam Hussein. Ia mampu
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada dan menganalisisnya dengan baik.
Sejauh penelusuran penulis, karyanya-lah yang sejauh ini mampu memaparkan
keadaan sosial-politik masyarakat Irak secara runtut dan jelas, khususnya dua
kelompok besar "Syi'ah dan Sunni."
Pengkajian masyarakat Irak secara utuh, baik dari segi ekonomi, sosial, agama,
dan terkhusus politiknya. Antara lain adalah buku karangan: Trias Kuncahyono
(2005), seorang wartawan KOMPAS, berhasil membukukan perjalanan jurnalistiknya
sewaktu tiba di Irak. Bagaimanakah situasi sosial politik di Negeri 1.001 Malam itu,
juga bagaimanakah gambaran yang jelas perihal warga Syi'ah, Sunni, dan Kurdi,
situasi Baghdad, dan perkembangan pesat media massa, hingga penangkapan Saddam
Hussein. Buku tersebut berhasil memberikan catatan lengkap dan sangat
memudahkan dalam memahami situasi terakhir di Irak. Buku tersebut ia beri judul,
Bulan Sabit di Atas Baghdad.
Dua orang wartawan TEMPO, Rommy Fibri dan Ahmad Taufik (2008) juga
membukukan laporannya mengenai situasi terakhir di Baghdad. Buku tersebut diberi
judul, Detik-detik Terakhir Saddam:Kesaksian Wartawan Tempo dari Baghdad, Irak.
Buku lainnya adalah karya cendikiawan Irak, 'Alauddin al-Mudarris (2004),
yang berjudul Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman. Dalam karyanya, al-Mudarris
mendeskripsikan hal ihwal huru-hara Irak, yang muasal kronologisnya dirunut dari
10
semenjak Perang Teluk 1 pada dekade 1990-an silam. Ia juga berusaha menyingkap
tabir-tabir gelap di seputar berita-berita perang Irak yang simpang siur kala itu,
terutama perihal kejatuhan kota Baghdad yang tak dinyana-nyana, juga tragedi dan
ironi yang menyelimuti invansi Sekutu ke Irak.
Buku Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam juga hadir sebagai referensi
terkait situasi dan kondisi Irak pasca kejatuhan Saddam Hussein. Karya Musthafa
Abd. Rahman (2003) ini berhasil merangkum fakta-fakta dan menceritakan keadaan
Irak atas invasi AS, tepatnya sejak kedatangan AS di Irak sampai terbentuknya
pemerintahan baru Irak yang berlandaskan demokrasi.
Sejarah negara Irak sebenarnya sudah dituliskan dengan lengkap dan jelas
oleh Charles Tripp (2000) dalam bukunya A History of Iraq. Yakni, sejarah Irak mulai
dari masa kekhalifahan Turki Utsmani hingga pemerintahan terakhir Saddam
Hussein.
Hala Fattah dan Frank Caso (2009), membukukan tulisan mereka ke dalam
sebuah karya yang diberi judul, A Brief History of Iraq. Dalam buku tersebut Fattah
dan Caso berhasil menuliskan sejarah Irak jauh lebih dalam lagi dengan kisaran
waktu awal peradaban manusia di Irak sampai masa terakhir era pemerintahan
Saddam Hussein. Dan ditutup dengan pembahasan perihal Perang di Irak (2003-2008).
Dalam bab tersebut, dijelaskan fakta-fakta terkait kondisi masyarakat dan
pemerintahan Irak pasca invasi AS, dengan serba-serbi konflik yang melanda sampai
dengan pembentukan pemerintahan tetap Irak pasca Saddam Hussein.
Berdasarkan penjelasan di atas, dari beberapa buku dan penelitian terdahulu,
11
dapat ditarik kesimpulan bahwa sudah ada penelitian-penelitian yang fokus dalam
mengkaji perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak. Namun kajian yang sudah ada
berbeda dengan penelitian ini, yang mana fokus mengkaji perkembangan Sunni dan
Syi'ah di Irak; terhitung sejak pasca Saddam Hussein hingga era Nouri al-Maliki.
Oleh karena itu, penelitian ini hadir sebagai langkah lanjutan dari
penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.
Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai penambahan wawasan dan
pengetahuan dalam bidang kajian Timur Tengah, khususnya sejarah negara Irak
modern, lebih khusus lagi perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak. Dengan wawasan
ini, diharapkan dapat diterapkan sebagai acuan dalam pembentukan pemerintahan
baru Irak yang lebih adil, merata, dan sejahtera. Di pihak lain, juga bermanfaat
sebagai referensi bagi para pengemban kebijakan di negeri ini dalam upaya menjaga
stabilitas nasional dan keutuhan NKRI.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apa latar belakang munculnya konflik Sunni-Syi'ah pasca Saddam Hussein?
2. Bagaimana kehidupan Sunni dan Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki?
3. Bagaimana fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak menurut teori konflik Ibn
Khaldun?
B. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan tentang latar belakang munculnya konflik Sunni-Syi'ah
pasca Saddam Hussein.
12
2. Menjelaskan mengenai kehidupan Sunni dan Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri
al-Maliki.
3. Menganalisis fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak menurut teori konflik Ibn
Khaldun.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah sangatlah diperlukan agar sebuah penelitian dapat terarah
dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sehingga tidak terjadi penyimpangan
pada pokok permasalahan. Masalah dalam penelitian ini dibatasi hanya pada
pengkajian dua kelompok besar di Irak, yakni Sunni dan Syi’ah. Terlepas dari
pembahasan suku Kurdi yang juga ambil bagian dalam konflik internal Irak.
Pembahasan penelitian ini mencakup kehidupan Sunni dan Syi'ah di Irak
pasca Saddam Hussein, dimulai sejak jatuhnya rezim Saddam Hussein sampai dengan
kehidupan Sunni dan Syi'ah di bawah rezim Syi'ah Nouri al-Maliki. Agar diperoleh
data yang lengkap dan runtut dalam menyoroti perkembangan Sunni dan Syi'ah di
Irak, maka dalam penelitian ini akan dipaparkan keadaan kedua kelompok (Sunni dan
Syi'ah) dalam dua era kepemimpinan terakhir di Irak: "era rezim Sunni Saddam
Hussein" dan "era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki". Dengan demikian, akan didapatkan
data berupa peristiwa-peristiwa penting dan fakta-fakta seputar hubungan kedua
kelompok itu.
Teori konflik perspektif Ibn Khaldun kemudian diterapkan guna mengkaji dan
menganalisis fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak. Maka diharapkan, penelitian ini
mampu memberikan salah satu bentuk penyelesaian terhadap fenomena konflik yang
13
ada di Irak, khsususnya antara Sunni dan Syi'ah.
D. Landasan Teori
Teori adalah proses membangun ide yang membuat seorang ilmuwan bisa
menjelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi. Teori bisa mengikat sejumlah fakta
sehingga dapat memahami semuanya. Ahli sosiologi, Jonathan H. Turner, secara
singkat merumuskan, bahwa sebuah teori dibangun sebagai kegiatan intelektual, yang
dikenal dengan ilmu pengetahuan, untuk mencapai tiga tujuan utamanya, yaitu (1)
untuk mengklasifikasikan dan mengorganisasikan peristiwa-peristiwa di dunia
sehingga peristiwa tersebut dapat ditempatkan pada perspektif tertentu; (2) untuk
menjelaskan sebab terjadinya peristiwa masa lampau dan meramalkan bilamana, di
mana, dan bagaimana peristiwa di masa mendatang akan terjadi; dan (3) untuk
menawarkan sebuah pengertian yang secara naluriah memuaskan mengenai mengapa
dan bagaimana peristiwa itu terjadi.15
Maka dalam penelitian ini, teori konflik Ibn
Khaldun digunakan sebagai landasan teorinya. Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut.
1. Definisi Konflik
Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti
suatu "perkelahian, peperangan, atau perjuangan", yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan
masuknya "ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan,
ide, dan lain-lain". Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh
15 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 71-72.
14
aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu
sendiri. Secara singkat, istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga berisiko
kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.16
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mendefinisikan konflik sebagai
persepsi mengenai perbedaan kepentingan (preceived divergence of interest).
Sementara kepentingan, atau orang kadang menyebutnya dengan istilah
"nilai-nilai" (values) atau "kebutuhan" (needs), adalah perasaan orang mengenai
apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral
dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan,
dan niat. Ada beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan
kepentingan. Beberapa kepentingan bersifat universal seperti kebutuhan akan
rasa aman, identitas, restu sosial (social approval), kebahagiaan, kejelasan
tentang dunianya, dan beberapa harkat kemanusiaan yang bersifat fisik.17
Secara ringkas, konflik—yang didefinisikan sebagai perbedaan persepsi
mengenai kepentingan—terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat
memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Konflik dapat terjadi hanya karena salah
satu pihak memiliki aspirasi lebih tinggi atau karena alternatif yang bersifat
integratif dinilai sulit didapat. Pruitt dan Rubin juga menambahkan bahwa
adanya ketidakpercayaan di antara kedua belah pihak sangat mungkin mendorong
timbulnya konflik.18
16 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman
9. 17 Ibid halaman 21. 18 Ibid, halaman 21-36.
15
Konflik merupakan konsep sosial yang sering dimaknai secara berbeda,
bahkan pluralitas makna konflik ini membuatnya menjadi ambigu. Setidaknya
pandangan seperti ini diwakili oleh dua perspektif perubahan sosial. Pertama,
perspektif struktural fungsional cenderung memandang konflik sebagai gejala
patologi sosial yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dari subsistem dalam
proses adaptasi menuju perubahan. Pandangan ini menyatakan bahwa sumber
konflik terjadi karena salah satu sub-sistem tidak berfungsi. Konflik dipahami
sebagai penghambat perubahan sosial. Oleh karena itu, pandangan ini melihat
bahwa konflik merupakan gejala yang traumatik dan harus dihindari.19
Kedua, perspektif kelas cenderung memandang konflik sebagai gejala
yang sehat dalam masyarakat, bahkan menunjukkan berjalannya fungsi dari
sub-sistem masyarakat. Oleh sebab itu, konflik tidak dilihatnya sebagai gejala
patologi, tetapi dilihatnya sebagai dinamika dalam proses perubahan. Energi
konflik inilah yang dianggap sebagai embrio perubahan, bahkan jika konflik
tidak ada dalam masyarakat justru ini tanda masyarakat yang tidak sehat.20
2. Teori Konflik Ibn Khaldun
Penjelasan mengenai bangunan teori konflik perspektif Ibn Khaldun
dikutip dari buku yang berjudul Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi
Pemikiran Ibn Khaldun karya Hakimul Ikhwan Affandi (2004) halaman 79-111.
Adalah sebagai berikut:
Ibn Khaldun memandang konflik sebagai sesuatu yang tidak berdiri
19 Surwandono dalam Ahmad Sahide, 2013, Ketegangan Politik Syi'ah-Sunni di Timur Tengah
(Sejarah Politik di Sekitar Laut Tengah Pada Aban x M), Yogyakarta: The Phinisi Press, halaman 16. 20 Ibid, halaman 16.
16
sendiri. Konflik lahir dari interaksi antara individu maupun kelompok dalam
berbagai bentuk aktivitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Berbicara
mengenai teori konflik perspektif Ibn Khaldun, setidaknya ada tiga pilar utama
yang harus mendapatkan perhatian yaitu: pertama, watak psikologis yang
merupakan dasar sentimen dan ide yang membangun hubungan sosial di antara
berbagai kelompok manusia (keluarga, suku, dan lainnya); kedua, adalah
fenomena politik, yaitu berhubungan dengan perjuangan memperebutkan
kekuasaan dan kedaulatan yang melahirkan imperium, dinasti, dan negara; dan
ketiga, fenomena ekonomi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
ekonomi baik pada tingkat individu, keluarga, masyarakat maupun negara.21
Namun demikian, dari ketiga pilar tersebut, penulis hanya membahas lebih
detail pilar yang kedua, yaitu fenomena politik karena penelitian ini hanya
mengkaji dinamika dan konflik politik Sunni-Syi'ah di Irak. Di samping
penjelasan tentang pilar pertama (watak psikologis) dirasa perlu untuk
menyempurnakan pemahaman pemikiran Ibn Khaldun.
2.1 Watak Psikologis Manusia
Menurut Ibn Khaldun, tiga potensi yang dimiliki manusia, yaitu
kemampuan intelligibia (al-ma'qulat), sensibilia (al-mahsusat), dan
spiritualia (ar-ruhaniat) yakni intelek, penginderaan, dan kerohanian adalah
potensi yang mampu mengembangkan eksistensi kemanusiaan dalam diri
manusia. Apabila ketiga potensi tersebut mampu dikembangkan dengan baik,
21 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 80.
17
maka manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Namun, manusia juga memiliki potensi lain yang bisa mendorongnya
bertindak agresif. Potensi tersebut muncul karena adanya pengaruh animal
power dalam dirinya. Karena potensi inilah, manusia juga dikenal sebagai
rational animal atau animale rationale atau chayawaanun natiqun.22
Dalam hubungannya dengan konflik, ada dua potensi dalam diri
manusia yang menjadi perhatian Ibn Khaldun, yaitu pertama, cinta terhadap
(identitas) kelompok, dan kedua, agresif.
1) Cinta Terhadap (Identitas) Kelompok
Menurut Ibn Khaldun, manusia secara fitrah telah dianugerahi rasa
cinta terhadap garis keturunan dan golongannya. Rasa cinta ini
menimbulkan perasaan senasib dan sepenanggungan serta harga diri
kelompok, kesetiaan, kerja sama, dan saling membantu dalam
menghadapi musibah atau ancaman yang pada akhirnya akan membentuk
kesatuan dan persatuan kelompok. Ketika manusia hidup bersama-sama
dalam suatu kelompok maka fitrah ini mendorong terbentuknya rasa cinta
terhadap (identitas) kelompok. Dalam terminologi Ibn Khaldun, hal ini
disebutnya dengan 'ashabiyah. Secara etimologi, 'ashabiyah dapat
diartikan sebagai kedekatan hubungan seseorang dengan golongan atau
kelompoknya dan berusaha sekuat tenaga untuk memegang
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tersebut.23
22 Ibid, halaman 81. 23 1986, Al-Munjid Fil-Lughah Wal-'Alam, Lebanon: Daarul Masyriq, halaman 805.
18
Manusia tidak akan rela jika salah satu anggota kelompoknya
terhinakan dan dengan segala daya upaya akan membela dan
mengembalikan kehormatan kelompok mereka. Sebagai sebuah fitrah,
maka rasa cinta terhadap (identitas) kelompok ini terdapat pada semua
bentuk masyarakat baik dalam bentuknya yang primitif maupun dalam
perkembangannya yang menetap/modern. Perbedaannya hanya pada
faktor pengikat. Dalam masyarakat primitif, faktor pengikatnya adalah
ikatan darah atau garis keturunan. Sedangkan dalam masyarakat
menetap/modern yang ikatan darahnya sudah tidak murni satu suku lagi
maka ikatannya didasarkan atas kepentingan-kepentingan anggota
kelompok maupun yang secara imajiner menjadi kepentingan
kelompok.24
Berdasar penjelasan di atas maka, 'ashabiyah dapat dibedakan
menjadi dua pengertian, pertama, secara sempit (khusus) dan kedua,
secara luas (umum). Pengertian pertama didasarkan pada ikatan keturunan
walaupun dalam kenyataannya 'ashabiyah semacam ini juga
bertingkat-tingkat. 'Ashabiyah yang didasarkan pada satu keturunan ayah
dan ibu akan lebih kuat dibandingkan dengan 'ashabiyah yang didasarkan
pada garis paman dan bibi atau lainnya.25
Pengertian kedua, 'ashabiyah tidak hanya didasarkan pada suatu
keturunan, tetapi bisa berdasarkan pada hubungan bertetangga yang
24 Hakimul Ikhwan Affandi, op. cit, halaman 82-83. 25 Ibid, halaman 110.
19
harmonis, persekutuan, hubungan antara budak dengan majikannya atau
hubungan antara pekerja dengan majikannya. Termasuk di dalamnya
kelompok-kelompok yang diikat oleh suatu kepentingan tertentu. Hal ini
didasarkan pada sifat 'ashabiyah yang khayali (imagine).
Individu-individu dalam suatu kelompok mengikatkan diri dalam suatu
komunitas yang lebih besar untuk memperjuangkan kepentingan mereka
dan disertai imaginasi tercapainya kepentingan tersebut.26
Disebabkan karena sifat yang imagine ini, maka 'ashabiyah dalam
struktur pemikiran Ibn Khaldun bukanlah sesuatu yang kaku atau tidak
bisa berubah, melainkan bisa tumbuh menjadi kuat atau sebaliknya akan
hancur dan berakhir. Lalu berganti dengan 'ashabiyah lain. 'Ashabiyah
dalam pengertian kedua ini pada gilirannya menghasilkan hal yang sama
dengan apa yang terjadi pada pengertian pertama, yaitu rasa cinta, senasib
dan sepenanggungan dalam segala suka maupun duka.27
2) Agresif
Manusia memiliki watak agresif sebagai akibat adanya animal
power dalam dirinya yang mendorong untuk melakukan kekerasan atau
penganiayaan. Agresifitas manusia ini bisa berakibat terjadinya
pertumpahan darah dan permusuhan, bahkan pemusnahan umat manusia
itu sendiri. Pandangan Ibn Khaldun ini sejalan dengan banyak penjelasan
para filosof lainnya bahwa yang membedakan manusia dengan hewan
26 Ibid. 27 Ibid, halaman 111.
20
adalah akal atau pikiran. Agresifitas manusia tersebut kemudian menjadi
pemicu terjadinya konflik antar mereka. Apalagi bila tidak terdapat
institusi atau seorang pemimpin yang mampu mengendalikan agresifitas
manusia atas yang lainnya. Argumen inilah yang kiranya dapat digunakan
untuk menjelaskan berbagai konflik dan kekerasan yang begitu lekat
dengan sejarah manusia.28
2.2 Fenomena Politik
Ibn Khaldun dikenal sebagai ilmuwan politik. Beberapa penelitian
mengenai teori-teori politiknya telah dipublikasikan dan mendapat perhatian
banyak kalangan. Dalam bidang politik, ia bukanlah ilmuwan yang hanya
menghabiskan banyak waktu di belakang meja untuk menulis atau
melakukan penelitian terhadap berbagai fenomena politik. Tetapi, selama
bertahun-tahun ia terlibat langsung dalam berbagai intrik politik, perebutan
kekuasaan dan mendirikan kekuasaan baru di atas kekuasaan lama. Di
samping juga menyaksikan berbagai fenomena politik di berbagai wilayah
yang membentang di Afrika dan Spanyol.29
Pengkajian mengenai fenomena politik yang berhubungan dengan
konflik dalam masyarakat, terdapat dua hal penting yang perlu untuk dibahas.
Yaitu, pertama, akar berdirinya negara. Pentingnya hal ini dibahas karena
mengingat negara sebagai perkembangan paling maju dalam kehidupan
berkelompok manusia seringkali dipandang sebagai arena pertarungan antar
28 Ibid, halaman 83-84. 29 Ibid, halaman 85-86.
21
kelompok dalam masyarakat. Bila benar demikian adanya, maka tentu saja
bertentangan dengan semangat hidup berkelompok manusia pada awal
mulanya. Pertarungan terjadi karena masing-masing kelompok ingin
memegang kekuasaan, dan puncak kekuasaan tersebut adalah kekuasaan
negara.30
Hal inilah yang terjadi antara Sunni dengan Syi'ah yang
masing-masing memperkuat ikatan solidaritasnya dalam membedakan
dirinya dengan yang lain, kemudian saling menyerang karena perbedaan
ikatan solidaritas tersebut ('Ashabiyah). Inilah yang melahirkan
ketegangan-ketegangan atau konflik dalam perkembangan Sunni-Syi'ah di
Irak.
Kedua, kekuasaan raja atau kepala negara. Dalam hubungan dengan
konflik, pembahasan mengenai hal ini menjadi sangat penting mengingat
peran yang semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin diharapkan mampu
menjadi penengah dan pemisah di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Menurut Ibn Khaldun kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk
melarang orang lain melakukan tindakan yang merusak dan larangan itu
untuk didengarkan dan dipatuhi oleh orang lain. Namun, seorang pemimpin
dalam menjalankan kekuasaannya tidak menjamin dapat berlaku adil.
Bahkan kekuasaannya dapat membuatnya berlaku zalim dan aniaya.31
1) Akar Berdirinya Negara
Ibn Khaldun mengilustrasikan bahwa dalam hal makanan saja
30 Ibid, halaman 86-87. 31 Ibid, halaman 87.
22
manusia saling membutuhkan satu sama lain. Selain dalam hal makanan,
keterkaitan manusia satu dengan yang lainnya juga terjadi dalam hal
keamanan jiwa. Tiap manusia memerlukan bantuan dari sesamanya dalam
pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Manusia supaya dapat bertahan
hidup diperlukan makan dan untuk aman harus dapat membela diri dari
makhluk lain. Dua hal tersebut tidak dapat dilakukan seorang diri. Oleh
karenanya, diperlukan adanya kerja sama antar sesama manusia. Kerja
sama tersebut kemudian membentuk suatu organisasi kemasyarakatan.
Dari sinilah Ibn Khaldun menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan
(al-ijtima' al-insani) adalah merupakan suatu keharusan. Karenanya,
peradaban umat manusia tidak bisa terlepas dari organisasi tersebut. Ini
berarti, manusia memerlukan suatu organisasi kemasyarakatan yang
dinamakan "kota" (Arab; al-madinah, Latin; polis).32
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban
merupakan suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan
seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah
dan pemisah antara anggota masyarakat. Watak agresif, sebagai akibat
dari adanya potensi-potensi kebinatangan (animal power) dalam diri
manusia dapat menyebabkan terjadinya pertikaian, permusuhan,
perusuhan, pertumpahan darah, bahkan pemusnahan umat manusia itu
32 Ibid, halaman 87-89.
23
sendiri.33
Senjata-senjata yang dipergunakan untuk melindungi manusia
terhadap watak agresif manusia terhadap sesamanya. Oleh karena itu,
diperlukan sesuatu yang dapat menangkal atau mengatasi watak agresif
manusia terhadap sesamanya. Itulah yang dapat diperankan oleh
penengah atau pemisah yang berasal dari kelompok mereka sendiri.
Menurut Ibn Khaldun, tindakan agresif dan detensif hanya berhasil
dengan bantuan solidaritas sosial (Ashabiyah).34
Namun pada umumnya
semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman
terhadap kepentingan hayati. Perilaku agresif binatang merupakan respon
terhadap "segala sesuatu yang mengancam kelangsungan hidup".35
2) Kekuasaan Raja atau Kepala Negara
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pandangan Ibn Khaldun
mengenai kehadiran seorang raja atau kepala negara adalah sebagai
penengah, pemisah, dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu
keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara.
Terkait hal ini, Ibn Khaldun berpandangan bahwa tugas pokok yang harus
dilakukan manusia adalah, pertama, berusaha dengan segala kemampuan
untuk dapat melestarikan kehidupan umat manusia, dan kedua,
melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini. Menurutnya,
33 Ibid, halaman 91. 34 Ibn Khaldun, 2008, Muqaddimah Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, halaman 228-229. 35 Erich Fromm dalam Ahmad Sahide, 2013, Ketegangan Politik Syi'ah-Sunni di Timur Tengah
(Sejarah Politik di Sekitar Laut Tengah Pada Abad x M), Yogyakarta: The Phinisi Press, halaman 19.
24
hubungan orang yang diperintah (rakyat) dengan orang yang memerintah
adalah hubungan kepemilikan. Orang yang memerintah adalah orang
yang memiliki rakyat dan rakyat adalah mereka yang memiliki orang
yang memerintah.36
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang
pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya didasarkan pada
wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut di atas.
Tetapi, lebih ditekankan pada hasil pengamatannya terhadap
perkembangan kehidupan umat manusia dalam kehidupan berkelompok
atau bermasyarakat.
Di dalam suatu organisasi kemasyarakatan akan terjadi hubungan
atau interaksi antar sesama anggotanya. Dari sinilah akan memunculkan
berbagai persoalan, di antaranya adalah persoalan konflik. Mengingat
watak agresif atau animal power yang ada pada manusia, sehingga
seseorang atau sekelompok orang akan begitu saja mengambil milik atau
usaha orang lain secara tidak sah. Maka, terjadilah pertikaian yang
menimbulkan permusuhan, yang mana pada gilirannya dapat sampai pada
pemusnahan umat manusia itu sendiri.37
Selanjutnya, diperlukan seseorang yang dapat menjadi pengendali
dan mampu memerintah, yang mana untuk dapat bertindak sebagai raja
atau kepala negara adalah dia yang memiliki superioritas atau keunggulan,
36 Ibn Khaldun, op. cit, halaman 230. 37 Ibid, halaman 228-229.
25
sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Selain itu,
seorang penguasa juga harus memiliki tentara yang kuat dan loyal
kepadanya guna menjamin keamanan negara atau wilayah kekuasaannya
dari ancaman orang luar. Sedangkan aparat birokrasi diperlukan untuk
membantu menjalankan pemerintahan termasuk untuk menarik dan
mendapatkan dana bagi pembiayaan operasional negara. Namun yang
terpenting adalah orang tersebut memiliki 'ashabiyah yang kuat.38
Adapun ketika seorang pemimpin telah sampai pada puncak
kekuasaan negara akan menjalankan kekuasaannya dengan cara yang
berbeda-beda. Ibn Khaldun membedakan pola kepemimpinan ke dalam
tiga bentuk. Pertama, kekuasaan dijalankan dengan lemah lembut dan
penuh keadilan. Sehingga salah satu ciri yang menonjol dalam
masyarakat ini adalah ketaatan bahwa setiap orang dapat mengemukakan
pendapat secara bebas, tanpa rasa takut dan tekanan. Kedua, kekuasaan
dijalankan dengan dominasi, kekerasan, dan teror. Masyarakat di bawah
kepemimpinan pola kedua ini akan hidup dalam tekanan dan rasa takut.
Tidak ada kebebasan dalam menyatakan pendapat. Ketiga, kekuasaan
dijalankan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi atau hukuman-hukuman.
Dalam keadaan seperti ini moral rakyat akan hancur dan rakyat akan
mengalami demoralisasi.39
Mengingat kekuasaan negara adalah kekuasaan tertinggi dan tidak
38 Hakimul Ikhwan Affandi, 2004, Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman 94-95. 39 Ibid, halaman 98-99.
26
terdapat kekuasaan lain di atasnya, maka seorang kepala negara
mempunyai tanggung jawab moral yang amat tinggi di hadapan
masyarakat. Adapun politik bagi Ibn Khaldun sendiri adalah salah satu
ciri khas yang hanya dimiliki manusia. Karenanya, dalam berpolitik
manusia hendaknya menunjukkan segi-segi terbaik dalam dirinya.
Segi-segi terbaik tersebut dapat dibangun dari kehidupan agama dan
moralitas.40
3. Strategi Dalam Menyikapi Konflik
Setiap orang yang berkonflik akan selalu mencari cara dalam menyikapi
konflik tersebut. Pruitt dan Rubin menjelaskan bahwa setidaknya ada 5 strategi
yang biasanya ditempuh dalam menyikapi konflik. Kelima strategi tersebut
adalah contending (bertanding), yielding (mengalah), problem solving
(pemecahan masalah), withdrawing (menarik diri), inaction (diam).
Strategi contending adalah mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai
oleh salah satu pihak atas pihak yang lain. Strategi kedua, yielding, yaitu strategi
yang menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang
sebetulnya diinginkan. Strategi ketiga adalah problem solving, yaitu mencari
alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Strategi keempat adalah
withdrawing, strategi ini memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik
maupun psikologis. Strategi terakhir adalah inaction, yaitu tidak melakukan
apapun. Ketiga strategi konflik: contending, yielding, dan problem solving dapat
40 Ibid, halaman 99.
27
dianggap sebagai strategi untuk mengatasi konflik, dalam arti bahwa
masing-masing melibatkan beberapa usaha yang relatif konsisten dan koheren
untuk mengatasi konflik. Sebaliknya, withdrawing dan inaction adalah strategi
yang tidak dimaksudkan untuk mengatasi tetapi untuk menghentikan atau untuk
mengabaikan konflik.41
Ibn Khaldun membangun sikap yang berbeda dalam mempelajari sejarah,
dengan mencoba lebih meneliti berbagai peristiwa atau fakta-fakta dan mencari
hubungan yang niscaya ada antar satu peristiwa dengan lainnya. Sebagai perintis
sosiologi, ia membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai ilmu serta
memberikan penjelasan atas fakta-fakta. Hingga akhirnya ia menemukan hukum
sebab akibat dalam kehidupan masyarakat. Apabila sebab yang melingkupinya
sama maka akan menimbulkan akibat yang sama pula. Ibn Khaldun menarik
kesimpulan bahwa masa lalu dan masa depan mengandung hukum sosial yang
sama dan dapat dipahami dari masa sekarang. Kesamaan antara masa lalu dan
masa depan lebih tepat ketimbang dua tetes air. Peristiwa-peristiwa tersebut
berlangsung berdasarkan hukum sosial yang sama, perbedaannya hanyalah pada
bentuk-bentuk kemunculannya.42
E. Sumber Data dan Data
Menurut Heddy Shri Ahimsa (2009), "data" adalah fakta yang relevan, yang
berkaitan secara logis dengan (a) masalah yang ingin dijawab atau masalah penelitian,
41 Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, halaman
4-7. 42 Hakimul Ikhwan Affandi, op. cit, halaman 74.
28
dan dengan (b) kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab
masalah tersebut. Jadi data adalah fakta yang telah dipilih, diseleksi, berdasarkan atas
relevansinya.43
Istilah "fakta" di sini diartikan sebagai pernyataan tentang realita, tentang
kenyataan. Seseorang yang menceritakan suatu kejadian pada dasarnya adalah orang
yang sedang mengemukakan fakta-fakta, mengemukakan pernyataan-pernyataan
tentang suatu kenyataan. Oleh karena itu, suatu fakta selalu bersifat "subjektif",
karena suatu kenyataan yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang
berbeda. Adapun "kenyataan" di sini secara sederhana diartikan sebagai "segala
sesuatu yang dianggap ada". Kata "dianggap" di sini menduduki posisi penting, sebab
kata tersebut mencerminkan relativitas. Artinya, apa yang "ada" bagi seseorang belum
tentu "ada" bagi yang lain, karena masing-masing memiliki pandangan yang berbeda
tentang suatu hal.44
Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif artinya tidak
berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai sisi, sifat, ciri, keadaan,
dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan antara sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, atau
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam suatu masyarakat.45
Sumber data dalam penelitian ini berupa: data primer dan data sekunder. Data
43 Heddy Shri Ahimsa-Putra, "Paradigma Ilmu Sosial-Budaya-Sebuah Pandangan-", Makalah
disampaikan pada Kuliah Umum "Pardigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora", Program Studi Linguistik, Sekolah
Pascasarjana, UPI, Bandung, 7 Desember 2009, halaman 13. 44 Ibid, halaman 12-13. 45 Ibid, halaman 13.
29
primer bersumber dari buku karya Hala Fattah dan Frank Caso yang berjudul A Brief
History of Iraq, Bulan Sabit di Atas Baghdad karya Trias Kuncahyono, Geliat Irak
Menuju Era Pasca Saddam karya Musthafa Abd. Rahman, Detik-detik Terakhir
Saddam: Kesaksian Wartawan Tempo dari Baghdad, Irak karya Rommy Fibri dan
Ahmad Taufik, Maliki's Authoritarian Regime karya Marisa Sullivan, serta Akar
Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun karya Hakimul
Ihkwan Affandi.
Buku-buku lain yang dijadikan sebagai data sekunder, seperti: karya Shireen T.
Hunter yang berjudul Politik Kebangkitan Islam, Konflik dan Diplomasi di Timur
Tengah karya Riza Sihbudi, dkk., serta Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman karya
'Alauddin al-Mudarris. Adapun buku-buku penunjang lain seperti beberapa buku
tentang perbedaan Sunni dan Syi'ah. Selain buku, data sekunder juga diperoleh dari
jurnal-jurnal, majalah-majalah, surat kabar dan website internet yang terkait dengan
perkembangan Sunni dan Syi'ah di Irak pasca Saddam Hussein.
F. Metode dan Teknik Penelitian
Metode, menurut Heddy Shri Ahimsa (2009) adalah cara, sedang penelitian
adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang
digunakan untuk mengumpulkan data.46
Dalam penelitian ini digunakan metode
penelitian kualitatif atau metode pengumpulan data kualitatif.
1. Metode Analisis Data
Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah,
46 Ibid, halaman 15.
30
mengelompokkan data (kualitatif), agar kemudian dapat ditetapkan relasi-relasi
tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana
halnya metode penelitian, metode analisis kualitatif harus diartikan sebagai
metode menganalisis data kualitatif.47
Tahap pertama analisis data dalam penelitian ini berupa pengkajian hasil
kepustakaan yang telah terkumpul sebelumnya. Kedua, data yang kurang
relevan kemudian direduksi. Ketiga, reduksi data dilakukan dengan membuat
pengelompokan dan abstraksi (pemisahan). Tahap keempat, yaitu menentukan
metode analisis data.
Metode analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif-teoritis.
Maksudnya, data yang telah tereduksi dan telah dikelompokkan, serta
diabstraksi kemudian, dianalisis berdasarkan teori yang digunakan (teori konflik
Ibn Khaldun). Analisis bersifat terbuka dan induktif. Maksudnya, analisis
bersifat longgar, tidak kaku, dan tidak statis. Sedangkan, analisis induktif adalah
perumusan umum mengenai suatu gejala dengan cara mempelajari kasus atas
kejadian khusus yang berhubungan dengan hal itu.48
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
library research atau studi pustaka, baik dari buku-buku, jurnal nasional
maupun internasional dan media surat kabar ataupun media internet.
47 Ibid. 48 www.kateglo.com/kamus/induktif. diakses pada Kamis, 17 September 2015, pukul 16:52.
31
G. Sistematika Penyajian
Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab. Bab I
merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, tujuan
penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, sumber data dan data, metode dan
teknik penelitian, serta sistematika penyajian.
Bab II berisi pembahasan tentang latar belakang munculnya konflik
Sunni-Syi'ah pasca Saddam. Bahasan di bab ini terdiri dari tiga sub-bab. Sub-bab
pertama ialah penjelasan tentang sejarah singkat lahirnya Sunni dan Syi'ah, yaitu
meliputi penjelasan definisi Syi'ah, asal muasal ajaran Syi'ah, kelompok-kelompok
dalam Syi'ah, serta definisi Ahlussunnah Waljamaah. Sub-bab kedua adalah
kehidupan Sunni dan Syi'ah di bawah pemerintahan Saddam Hussein, yaitu meliputi
Sunnisasi dan Ba'athisasi, respon terhadap Sunnisasi negara: dari al-Sadr sampai
al-Hakim. Sub-bab ketiga menjelaskan kondisi Irak pasca Saddam Hussein dan
pengaruhnya terhadap kehidupan Sunni-Syi'ah yang meliputi, merebaknya anarkisme,
munculnya pemberontakan, aksi perlawanan Sunni dan Syi'ah, serta pemerintahan
sementara.
Bab III mengenai kehidupan Sunni dan Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri
al-Maliki, yang terdiri dari: penjelasan perihal pemerintahan Nouri al-Maliki dan
konflik Sunni-Syi'ah era rezim Syi'ah Nouri al-Maliki. Di bab ini juga dijelaskan
analisis Ibn Khaldun terhadap fenomena konflik Sunni-Syi'ah di Irak.
Bab IV adalah bab penutup, yang terdiri dari hasil analisis/teori (kesimpulan)
dan saran.
top related