bab i pendahuluan · kekuatan tarik (ultimate tensile strength), dan modulus young yang baik [1]...
Post on 06-Sep-2020
24 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kevlar yang terbuat dari serat para-poliamida aromatik merupakan salah satu serat yang
memiliki karakteristik yang unik. Kombinasi sifat mekanik toughness, kekukuhan (tenacity),
kekuatan tarik (ultimate tensile strength), dan modulus Young yang baik [1] menyebabkan
material ini digunakan sebagai pengganti pelat baja dalam berbagai aplikasi, salah satunya
adalah rompi balistik. Serat ini memiliki rasio kekuatan tarik dibanding massa lima kali lebih
besar dibanding serat baja.[2] Walaupun demikian, kevlar memiliki sifat higroskopis, ketahanan
kompresif yang buruk, sulit untuk dipotong, dan memiliki harga relatif mahal.[3] Akibat sulitnya
pemotongan serat kevlar dan harganya yang relatif mahal, rompi balistik yang berbahan dasar
kevlar kurang terjangkau bagi masyarakat umum.
Di sisi lain, serat alam berbahan dasar tanaman telah menarik minat para ilmuwan saat ini.
Serat alam memiliki karakteristik ringan, mudah didapat, dapat diperbaharui, mudah diolah, non-
abrasif, memiliki nilai kekuatan dan modulus yang cukup, relatif murah, dan mudah didaur ulang
[4], [5], [6], [7], [8]. Keunggulan serat alam di atas menyebabkan beberapa jenis serat alam
mulai mengambil tempat dalam berbagai aplikasi menggantikan material sintetis, seperti
komponen insulator menggantikan serat kaca dan komponen furnitur dan ubin menggantikan
plastik dan keramik. Di antara berbagai aplikasi serat alam, salah satu aplikasi yang menarik
adalah rompi balistik.
Studi mengenai ketahanan impak komposit serat alam dicampur serat sintetis guna
diaplikasikan pada rompi balistik telah banyak dilakukan hingga saat ini. Pada umumnya,
pembuatan material komposit tersebut bertujuan untuk mengurangi pemakaian serat sintetis,
seperti kevlar maupun fiberglass, guna menekan harga produksi. Beberapa studi yang telah ada
yakni, komposit sabut kelapa-kevlar-fiberglass dengan matrix resin ABS yang berhasil menahan
peluru 9 mm FMJ (NIJ IIA), komposit S-glass cloth-sabut kelapa dengan matrix resin epoksi
yang berhasil menahan peluru .45 ACP FMJ (NIJ IIA), dan komposit serat ramie-kevlar dengan
matrix poliester resin yang berhasil menahan peluru FMJ bermassa 5-7 gram berkelajuan 250-
656,8 m/s (NIJ II) [9], [10], [11]. Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada inovasi rompi balistik
yang murni terbuat dari serat alam murni. Studi balistik serat alam murni tersebut penting untuk
dilakukan guna mengetahui lebih jauh potensi serat alam sebagai material rompi balistik,
mengurangi biaya produksi rompi balistik, dan menciptakan rompi balistik alternatif yang mudah
dibuat sehingga terjangkau oleh masyarakat.
2
Berangkat dari permasalahan di atas, dilakukanlah penelitian yang berjudul Rompi Balistik
dari Material Komposit Epoksi-SiO2 Nanopartikel diperkuat Serat Alam. Di dalam
penelitian ini, digunakan dua jenis serat alam yakni serat kapas yang terdiri dari kain katun dan
kain jeans dan serat ramie sebagai reinforcement serta epoksi resin sebagai matrix dengan
nanopartikel SiO2 sebagai filler. Penambahan nanopartikel SiO2 berdiameter 5 – 35 nm ke dalam
matrix epoksi hingga 13% volume dapat meningkatkan energi fraktur epoksi resin dari 100 J/m2
menjadi 460 J/m2 [12].
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana ketahanan impak material komposit epoksi-SiO2 nanopartikel diperkuat serat
alam?
2. Bagaimana efektivitas rompi balistik dari material komposit epoksi-SiO2 nanopartikel
diperkuat serat alam dalam menahan terjangan peluru sampai memenuhi batas aman yang
ditentukan?
3. Berapa biaya yang diperlukan guna membuat rompi balistik dari material komposit epoksi-
SiO2 nanopartikel diperkuat serat alam?
1.3. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis uji ketahanan impak yang dilakukan pada penelitian ini berjenis Charpy Impact
Strength Test.
2. Jenis serat alam yang digunakan sebagai reinforcement pada penelitian ini adalah serat
kapas, yang terdiri dari kain katun dan kain jeans dan serat ramie.
3. Jenis epoksi resin dan hardener yang digunakan sebagai matrix pada penelitian ini berturut-
turut adalah bisphenol-A dan polyaminamida dengan aseton sebagai thinner.
4. Uji balistik yang dilaksanakan pada penelitian menggunakan empat jenis proyektil
bergolongan I, IIA, dan II (.38 S&W Lead, .45 ACP FMJ, 9 mm FMJ RN, dan 9 mm FMJ
Hollow Point).
5. Standar yang digunakan untuk menentukan batas aman uji balistik adalah NIJ 0101.04.
3
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari pengaruh rasio massa serat ramie, kain katun, dan kain jeans terhadap nilai
ketahanan impak Charpy impacts strength serta rasio optimumnya.
2. Mempelajari pengaruh rasio epoksi resin dibanding hardener terhadap nilai ketahanan
impak Charpy impacts strength serta rasio optimumnya.
3. Mengetahui efektivitas material komposit dalam menahan terjangan peluru level I (.38
S&W Lead), level IIA (.45 ACP FMJ), level II (9 mm FMJ RN), dan peluru 9 mm FMJ
Hollow Point.
4. Menghitung dan membandingkan biaya yang dikeluarkan untuk menciptakan rompi
balistik dari material komposit epoksi-SiO2 nanopartikel diperkuat serat alam dengan biaya
rompi balistik yang terbuat dari kevlar.
1.5. Manfaat Penelitian
A. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur ilmiah dan mengembangkan ilmu
terutama di bidang ilmu material.
B. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengurangi tingkat alokasi dana pemerintah terhadap
biaya impor maupun sintesis kevlar sebagai bahan dasar rompi balistik
C. Bagi Masyarakat
Rompi balistik alternatif yang telah disusun ini diharapkan dapat terjangkau oleh
masyarakat umum, baik dari segi biaya maupun proses pembuatan sehingga tingkat
keamanan masyarakat terhadap terjangan peluru meningkat.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Epoksi Resin
Epoksi resin atau juga disebut poliepoksida merupakan salah satu jenis prapolimer dan
polimer reaktif yang mengandung gugus epoksida. Resin ini dapat direaksikan (cross-linked)
dengan senyawa itu sendiri melalui homopolimerisasi katalitik atau dengan ditambahkan
senyawa koreaktan, seperti gugus polifungsional amina, anhidrat asam, fenol, alkohol, dan tiol.
Dalam kehidupan sehari-hari, senyawa koreaktan tersebut disebut juga hardener atau kuratif.
Setelah melalui tahap reaksi, epoksi resin akan mengeras. Kondisi tersebut diperlukan guna
meningkatkan sifat mekanik dan termal epoksi resin, menghasilkan resin yang memiliki nilai
modulus Young dan ultimate strain test yang tinggi [13], [14]. Ilustrasi polimer resin yang telah
bereaksi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Figur 2.1. : Polimer epoksida yang telah bereaksi (cross-linked)
Sumber : https://en.wikipedia.org/wiki/Epoxy
Dari figur 2.1. di atas, dapat diamati bahwa ikatan kovalen unsur nitrogen (berwarna merah)
antar polimer tersebut menandakan bahwa epoksi resin telah bereaksi. Karena tingginya jumlah
ikatan kovalen tersebut, epoksi resin memiliki sifat mekanik, termal, dan ketahanan kimia yang
baik. Dari figur di atas, dapat diamati pula bahwa poliepoksida memiliki banyak gugus –OH
yang berkontribusi sifat adhesivitas epoksi yang baik [15].
Terdapat berbagai jenis epoksi resin. Akan tetapi, yang paling sering digunakan dan sering
dijadikan objek studi para peneliti adalah bisphenol A diglisidil eter (DGEBA). Sebagai hardener
atau agen kuratifnya, digunakan (diurutkan dari yang paling tidak reaktif) fenol, anhidrida, amina
aromatis, sikloalifatik amina, alifatik amina, dan tiol [15].
Emad (2004), telah melaksanakan studi mengenai pengaruh rasio epoksi resin DGEBA
dibanding hardener trietilena tetramina (TETA) dan hardener diamina difenil metana (DDM)
terhadap sifat mekanik epoksi resin. Pencampuran dilaksanakan dengan empat variabel, yaitu
reaksi cross-linking di bawah stoikiometrik, sesuai stoikiometrik, dan di atas stoikiometrik. Hasil
5
uji impak, tarik, kekerasan, flexural, kompres, dan bending menunjukkan bahwa rasio optimum
epoksi resin dibanding hardener adalah sesuai stoikiometrik. [16]
Walaupun reaksi cross-linking diperlukan guna meningkatkan sifat mekanik, termal, dan
ketahanan kimia epoksi resin, terdapat beberapa kekurangan dari reaksi tersebut. Beberapa
peneliti berkesimpulan bahwa densitas cross-linked polimer epoksida yang tinggi akan
menurunkan nilai fracture toughness akibat adanya tegangan internal yang terinduksi selama
reaksi epoksi resin terjadi [17], [18], [19]. Untuk meningkatkan nilai fracture toughness,
nanofiller seperti partikel SiO2, carbon-nanotube maupun graphene [20], [21], [22], [23] atau
senyawa kimia CTBN (carboxyl-terminated butadiene acrylonitrile) [24] dan HTPB (hydroxyl
terminated polybutadiene) biasa ditambahkan ke dalam epoksi resin [25], [26], [27].
Perbandingan sifat mekanik poliester, vinilester, dan epoksi resin dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.1.
Perbandingan Sifat Mekanik Poliester, Vinilester, dan Epoksi Resin
Keterangan Poliester Epoksi Vinilester
Densitas (g/cm3) 1,2-1,5 1,1-1,4 1,2-1,4
Modulus Young (GPa) 2-4,5 3-6 3,1-3,8
Ultimate tensile strength (MPa) 40-90 35-100 69-83
Kekuatan kompres (MPa) 90-250 100-200 -
Elongation at break (%) 2 1-6 4-7
Cure shrinkage (%) 4-8 1-2 -
Absorpsi air (24 jam pada 20oC) 0,1-0,3 0,1-0,4 -
Energi Fraktur (KPa) - - 2,5
Sumber : Ekhlas (2013)
Dalam kehidupan sehari-hari epoksi resin biasa digunakan sebagai pelapis logam, insulator
listrik, lem, matriks fiberglass, maupun matriks kevlar sebagai bahan rompi balistik.
2.2. Rompi Balistik
Rompi balistik merupakan rompi pelindung tubuh yang bekerja dengan cara menyerap energi
kinetik suatu proyektil peluru atau ledakan sehingga dapat mengurangi atau menghalangi
penetrasi proyektil tersebut ke dalam tubuh penggunanya. Pada proses penyerapan energi kinetik
peluru tersebut, serat yang menjadi bahan rompi balistik tersebut bertugas “menangkap” dan
mendeformasikan bentuk peluru tersebut menjadi lebih lebar, sehingga penyerapan energi
kinetik peluru menjadi lebih besar.
6
Walaupun rompi balistik mampu menyerap energi kinetik peluru, tidak berarti bahwa rompi
balistik dapat melindungi tubuh pengguna sepenuhnya dari terjangan peluru. Pada saat peluru
menghantam material rompi balistik, material tersebut akan terdeformasi ke dalam menyebabkan
efek pukulan atau blunt force trauma pada tubuh penggunanya [10]. Efek tersebut dapat
menyebabkan cedera internal atau bahkan patang tulang. Batas maksimum kedalaman deformasi
yang dikategorikan aman adalah 44 mm. Bila deformasi mencapai kedalaman lebih dalam
daripada nilai tersebut, pengguna dapat mengalami luka serius [28].
Berdasarkan tingkat perlindungannya, rompi balistik dapat dikategorikan menjadi beberapa
golongan sebagai berikut.
Tabel 2.2.
Klasifikasi Tingkat Perlindungan Rompi Balistik
Level Level Proteksi
I Peluru LR LRN kaliber .22 dengan massa minimum 2,6 g berkecepatan 329 m/s.
Peluru .380 ACP FMJ RN dengan massa minimum 6,2 g berkecepatan 322 m/s.
IIA Peluru 9 mm FMJ RN dengan massa minimum 8,0 g berkecepatan 332 m/s.
Peluru .40 S&W FMJ dengan massa minimum 11,7 g berkecepatan
312 m/s.
Peluru .45 ACP FMJ dengan massa minimum 14,9 g berkecepatan 275 m/s.
II Peluru 9 mm FMJ RN dengan massa minimum 8,0 g berkecepatan 358 m/s
Peluru .357 Magnum JSP dengan massa minimum 10,2 g berkecepatan 427 m/s
IIIA Peluru 9 mm FMJ RN dengan massa minimum 8,0 g berkecepatan 427 m/s
Peluru .44 Magnum JHP dengan massa minimum 15,6 g berkecepatan 427 m/s
III Peluru 7,62 mm FMJ dengan massa minimum 9,6 g berkecepatan 838
m/s
IV Peluru .30 AP (Armor-piercing) dengan massa minimum 10,8 g
berkecepatan 869 m/s
Sumber : National Institute of Justice standard-0101.04
Berdasarkan sifat materialnya, rompi balistik dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni rompi
balistik lunak (soft ballistic vest) dan rompi balistik kaku (hard ballistic vest).
7
2.2.1. Rompi Balistik Lunak
Rompi balistik lunak merupakan rompi balistik yang tersusun atas serat-serat kuat yang
memiliki karakteristik tipis, ringan, dan fleksibel. Jenis rompi balistik ini dapat melindungi
tubuh pengguna dari sebagian besar peluru pistol maupun revolver yang terdapat pada level
proteksi I hingga IIIA. Agar suatu material serat dapat digunakan sebagai material rompi
balistik lunak, nilai toughness suatu serat tersebut harus cukup tinggi, sehingga mampu
menyerap energi kinetik peluru sebanyak-banyaknya sebelum serat tersebut putus atau rusak.
Sifat tersebut dapat ditemui pada serat-serat sintetis seperti para-aramid atau kevlar, serat
polietilena berantai sangat panjang atau UHMWPE, dan serat kaca jenis S-glass.
Walaupun serat-serat tersebut memiliki nilai toughness yang cukup tinggi, hingga saat ini,
belum terdapat rompi balistik lunak yang dapat melindungi tubuh pengguna dari terjangan
peluru senjata laras panjang kategori III hingga IV. Hal ini dikarenakan material yang
digunakan sebagai ujung dari peluru senjata laras panjang tergolong keras dan sulit
terdeformasi, sehingga serat rompi balistik lunak tidak dapat bekerja menyerap energi kinetik
peluru [29]. Untuk perlindungan senjata level III hingga IV, digunakan rompi balistik kaku.
2.2.2. Rompi Balistik Kaku
Rompi balistik kaku merupakan rompi balistik yang digunakan guna melindungi pengguna
dari terjangan peluru senjata laras panjang atau peluru dengan ujung yang sulit terdeformasi.
Material yang dipakai sebagai rompi balistik jenis ini dapat digolongkan menjadi tiga, yakni
komposit keramik, aliase baja, dan anyaman serat diperkuat resin. Komponen material
tersebut biasa ditambahkan ke dalam komponen rompi balistik lunak guna menyerap sisa
energi kinetik peluru setelah menghantam komponen utama rompi balistik jenis ini. Keramik
Al2O3, BC, dan SiC merupakan jenis keramik yang paling sering digunakan [30].
Penggunaan pelat keramik sebagai komponen rompi balistik akan meningkatkan massa
per luas permukaan material 5-8 kali lipat dibanding rompi balistik lunak. Massa dan nilai
stiffness dari pelat tersebut merupakan salah satu masalah teknis yang utama dibalik
perancangan material pelat tersebut. Hal ini dikarenakan keseimbangan densitas, kekerasan,
dan nilai impact toughness dari material tersebut patut diperhitungkan. Sebagai contoh,
keramik memiliki ketahanan balistik yang sangat tinggi terhadap peluru akan tetapi memiliki
nilai fracture toughness yang cukup rendah. Hal ini mengakibatkan keramik mudah rusak
atau pecah bila terkena hantaman peluru. Sehingga keramik tersebut tidak dapat melindungi
penggunanya dari terjangan peluru selanjutnya [31]. Oleh sebab itu, material keramik tersebut
biasa dikompositkan dengan material lain guna meningkatkan nilai fracture toughness. Di
bagian depan adalah keramik sedangkan di bagian belakang adalah resin diperkuat serat. Sifat
8
kekerasan dari keramik di depan akan mencegah penetrasi peluru sedangkan sifat kuat tarik
resin diperkuat serat di belakang akan mengurangi kemungkinan pecah atau rusaknya keramik
akibat hantaman peluru.
2.3. Serat Alam
Sesuai dengan namanya, serat alam merupakan material berbentuk filamen panjang atau
benang yang didapat dengan cara mengambil langsung dari alam. Serat ini dapat dijadikan
komponen material komposit maupun dianyam untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Serat alam terdiri dari dua macam, yakni serat yang berasal dari tanaman dan serat yang berasal
dari hewan. Komposisi kimia beberapa serat alam yang berasal dari tanaman dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 2.3.[34]
Komposisi Kimia Serat Tanaman
Jenis Serat Selulosa (%) Lignin (%) Hemiselulosa atau
Pentosan (%)
Pektin (%) Abu (%)
Serat Kulit Pohon
Serat flax 71 2,2 18,6-20,6 23 -
Biji flax 43-47 21-23 24-26 - 5
Kenaf 31-57 15-19 21,5-23 - 2-5
Jute 45-71,5 12-26 13,6-21 0,2 0,5-2
Hemp 57-77 3,7-13 14-22,4 0,9 0,8
Rami 68,6 0,6-0,7 5-16,7 1,9 -
Serat Inti
Kenaf 37-49 15-21 18-24 - 2-4
Jute 41-48 21-24 18-22 - 0,8
Serat Daun
Abaca 56-63 7-9 15-17 - 3
Sisal 47-78 7-11 10-24 10 0,6-1
Henequen 77,6 13,1 4-8 - -
Sumber : Mohanty, dkk (2001) dan Rowell, dkk (1997)
Serat tanaman memiliki potensi besar guna menggantikan serat sintetis dalam berbagai
aplikasi. Selain karena karakteristiknya yang ringan, murah, mudah didapat, dapat diperbaharui,
mudah diolah, dan mudah didaur ulang [4], [5], [6], [7], [8], beberapa jenis serat tanaman seperti
serat rami dan flax memiliki nilai modulus Young lebih besar bahkan daripada serat kaca [34].
9
Sedangkan beberapa jenis serat tanaman seperti serat sisal dan sabut kelapa memiliki nilai
toughness yang hampir sama dengan serat kaca jenis E-glass [34]. Sifat mekanikal beberapa
jenis serat tanaman serta perbandingannya terhadap serat sintetis dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.4.[34]
Sifat Mekanikal Serat Tanaman
Jenis Serat Densitas (g/cm3) Elongasi (%) Kuat tarik (MPa) Modulus Young (GPa)
Kapas 1,5-1,6 3,0-10,0 287-597 5,5-12,6
Jute 1,3-1,46 1,5-1,8 393-800 10-30
Flax 1,4-1,5 1,2-3,2 345-1500 27,6-80
Hemp 1,48 1,6 550-900 70
Rami 1,5 2,0-3,8 220-938 44-128
Sisal 1,33-1,5 2,0-14 400-700 9,0-38,0
Sabut Kelapa 1,2 15,0-30,0 175-220 4,0-6,0
Kayu lunak 1,5 - 1000 40,0
E-glass 2,5 2,5-3,0 2000-3500 70,0
S-glass 2,5 2,8 4570 86,0
Aramid 1,4 3,3-3,7 3000-3150 63,0-67,0
Karbon 1,4 1,4-1,8 4000 230,0-240,0
Sumber : Bledzki dan Gassan (1999), Paul, dkk (1997), Frederick, dkk (2004).
Sifat mekanik serat tanaman yang relatif setara dengan serat kaca tersebut menyebabkan serat
tanaman mulai menggantikan serat kaca, plastik, dan keramik dalam berbagai aplikasi seperti
insulator, komponen furnitur, dan ubin. Di antara berbagai aplikasi serat alam, salah satu aplikasi
yang menarik adalah rompi balistik.
Iqbal dan Kevin (2014) telah melaksanakan studi mengenai komposit serat s-glass cloth-sabut
kelapa dengan menggunakan epoksi resin sebagai matriks. Hasil studi menunjukkan bahwa 32
lapisan s-glass cloth dan 4 lapisan chopped strand mat (CSM) sabut kelapa mampu menahan
peluru .45 ACP FMJ golongan IIA [10]
Dan dan Yuhazri (2008) telah melaksanakan studi mengenai komposit serat para-aramid
(Kevlar)-fiberglass-sabut kelapa dengan menggunakan ABS resin sebagai matriks. Hasil studi
menunjukkan bahwa komposit ketiga material tersebut dengan dimensi 10 cm x 11 cm dan berat
tidak lebih dari 1,5 kg mampu menahan peluru 9 mm FMJ golongan IIA [9]
Zainab, dkk (2011) telah melaksanakan studi mengenai komposit serat Kevlar-rami dengan
menggunakan poliester resin sebagai matriks. Hasil studi menunjukkan bahwa 8 lapisan kevlar
10
dan 8 lapisan serat rami mampu menahan peluru bermassa 5-7 g berkecepatan 250 hingga 656,8
m/s golongan II [11].
2.3.1. Serat Rami
Serat rami merupakan salah satu serat tanaman kuat dan dapat diproduksi secara cepat
dengan frekuensi panen tiga kali per tahun. Serat ini dapat diekstrak dengan cara mengambil
serat kulit tanaman rami tersebut. Biasanya, panjang dan diameter ekstrak serat tersebut
bervariasi berturut-turut antara 6 hingga 50 cm dan antara 20 hingga 35 mikrometer. Jika
dibandingkan dengan serat alam lain, serat ini tergolong salah satu serat terkuat dengan
komposisi selulosa (65-75%) dan lignin (1-2%). Sebagai perbandingan, kayu memiliki
kandungan selulosa 40-50% dan kandungan lignin 15-35%. Bila serat rami ditarik atau
dikupas dari batang tanamannya, akan didapatkan serat rami dalam bentuk gumpalan.
Gumpalan tersebut dapat diproses lebih lanjut guna memisahkan masing-masing serat yang
menempel bersamaan atau digunakan secara langsung untuk mencegah kerusakan serat. [35].
Gambar serat rami dalam bentuk serat maupun anyaman dapat dilihat di bawah ini.
Figur 2.2 : (kiri) serat ramie dalam bentuk serat dan (kanan) serat ramie yang sudah dianyam
Sumber : www.hydrogenlink.com dan www.grassclothwallpaper.net
2.3.2. Serat Kapas
Serat kapas merupakan serat tanaman yang paling banyak dipakai saat ini. Serat ini berasal
dari berbagai spesies genus tanaman Gossypium, akan tetapi hanya terdapat 4 spesies utama
yang sering dipakai, yakni Gossypium hirsutum, spesies yang paling banyak dipakai sebagai
sumber serat kapas (90%) ; Gossypium barbadense (8%) ; Gossypium arboretum (kurang dari
2%) ; dan Gossypium herbaceum (kurang dari 2%) [36]. Serat ini memiliki komposisi
selulosa tertinggi di antara serat tanaman lain dan memiliki karakteristik panjang serat dan
diameter berturut-turut antara 10 hingga 65 mm dan antara 11 hingga 22 mikrometer. Oleh
karena tingginya komposisi selulosa pada serat kapas, serat ini mudah menyerap air sehingga
anyaman serat kapas (katun) nyaman dipakai pada saat cuaca panas [37].
11
Sekitar 60% serat kapas digunakan sebagai benang untuk dianyam menjadi kain katun.
Penggunaan kain katun tersebut dapat ditemui pada berbagai produk pakaian, seperti kaos, T-
shirts, jeans, jaket, pakaian dalam, dll. Selain itu, serat ini juga dipakai sebagai komponen
furnitur rumah tangga, seperti gorden, seprei, tirai jendela, sarung bantal, handuk, dan lap
[37]. Gambar serat kapas sebelum dan sesudah diolah dapat dilihat di bawah ini.
Figur 2.3. : (kiri) serat kapas dan (kanan) anyaman serat kapas atau kain katun
Sumber : cottoncloudblog.wordpress.com dan www.konig-uk.co.uk
2.4. Silika Dioksida (SiO2)
Silika dioksida merupakan senyawa konstituten utama pasir yang memiliki rumus kimia SiO2.
Senyawa ini merupakan mineral paling kompleks dan paling melimpah yang ada di alam serta
memiliki berbagai macam aplikasi di kehidupan sehari-hari. Seperti material penyusun kaca,
serat kaca, komponen mikroelektronik, sebagai bahan aditif produksi makanan, sebagai filler
berbagai jenis resin, dll.
Penggunaan silika dioksida sebagai filler epoksi resin dengan konsentrasi tertentu dapat
meningkatkan sifat mekanik epoksi resin. Kinloch, dkk (2007) telah melaksanakan studi
mengenai mekanisme peningkatan nilai toughness epoksi resin akibat keberadaan nanopartikel
silika dioksida. Hasil studi menunjukkan bahwa nilai fracture toughness dan stiffness epoksi
resin meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi massa nanopartikel silika dioksida.
Peningkatan nilai fracture toughness dan stiffness tersebut mencapai puncak pada konsentrasi
13% dimana nilai fracture toughness epoksi resin meningkat dari 100 J/m2 menjadi 460 J/m
2
sedangkan nilai stiffness meningkat sebanyak 30%
[12].
Lebih lanjut, Kinloch, dkk (2005) telah melaksanakan studi mengenai pengaruh penambahan
senyawa CTBN dan nanosilika terhadap sifat mekanik epoksi resin. Epoksi resin murni memiliki
nilai modulus Young 2,96 GPa. Penambahan 4% massa karet CTBN ke dalam epoksi resin dapat
12
meningkatkan nilai stiffness sebesar 8,1%. Akan tetapi, penambahan 4,5% nanosilika dan 9,0%
CTBN justru mengurangi nilai stiffness sebesar 6,4% [32].
Mekanisme peningkatan nilai toughness akibat penambahan nanopartikel silika dan senyawa
CTBN tersebut telah diinvestigasi oleh Liu, dkk (2011) dengan menggunakan SEM. Berdasarkan
hasil studi, adanya ikatan antara nanosilika dengan matriks epoksi resin dan deformasi epoksi
resin berkontribusi terhadap disipasi energi yang mengarah pada peningkatan nilai toughnessnya.
Lebih lanjut lagi, studi mikroskopis terhadap patahan permukaan CTBN menunjukkan bahwa
terdapat nano kavitasi dan deformasi geser yang menyebabkan kenaikan nilai fracture toughness
secara signifikan [33].
Sifat mekanik, termal, dan elektrikal silika dioksida dengan berbagai bentuk kristal dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.5.
Sifat Mekanikal, Termal, dan Elektrikal Silika Dioksida
Properti Quartz Fused Silica
Densitas (g/cm3) 2,65 2,2
Konduktivitas Termal (WoK/m) 1,3 1,4
Koefisien Ekspansi Termal
(10-6
/oK)
12,3 0,4
Ultimate tensile strength (MPa) 55 110
Kuat tekan (MPa) 2070 690-1380
Rasio Poisson’s 0,17 0,165
Fracture Toughness (MPa) - 0,79
Titik leleh (oC) 1830 1830
Modulus elastisitas (GPa) 70 73
Thermal shock resistance Baik Baik
Permitivitas (ε’) pada 1 MHz
dan 25oC
3,8-5,4 3,8
Tan (δ x 104) pada 1 MHz dan
25oC
3 -
Loss factor (ε’’) pada 1 MHz
dan 25oC
0,0015 -
Kuat medan dielektrik (kV/mm) 15.0-25,0 15,0-40,0
Resistivitas (Ωm) 1012
-1016
>1018
Sumber : Azo Materials (2001)
13
2.5. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka pada subbab di atas, peneliti mengajukan beberapa hipotesis
sebagai berikut.
1. Ketahanan impak lapisan komposit epoksi-SiO2 nanopartikel diperkuat serat alam akan
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya rasio kain jeans dibanding serat kain
pada reinforcementnya.
2. Rasio epoksi resin dibanding hardener 1 : 1 menghasilkan lapisan komposit epoksi-SiO2
nanopartikel diperkuat serat alam dengan nilai ketahanan impak lebih tinggi dibanding
rasio 2 : 1.
3. Lapisan komposit optimum yang dihasilkan mampu menahan peluru 9 mm FMJ RN
(tingkat proteksi II) berdasarkan standar NIJ 0101-04.
4. Analisis biaya produksi rompi balistik epoksi-SiO2 nanopartikel diperkuat serat alam akan
menunjukkan bahwa rompi balistik alternatif tersebut akan memiliki biaya produksi lebih
rendah dibanding biaya produksi rompi balistik yang telah ada di pasaran.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode R&D (Research and Development) yang berfokus untuk
terus mengembangkan dan menyempurnakan produk berdasarkan efektifitas prototipenya. Model
ADDIE (Analysis-Design-Develop-Implement-Evaluate) [38] digunakan sebagai kerangka
jalannya penelitian. Untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu mengetahui komposit serat alam
optimum sebagai material rompi balistik, dilakukan optimasi bahan sebanyak tiga tahap. Tahap
pertama bertujuan untuk mengetahui rasio optimum serat ramie dibanding kain katun. Tahap
kedua bertujuan untuk mengetahui rasio optimum serat ramie-katun dibanding kain jeans.
Sedangkan tahap ketiga bertujuan untuk mengetahui rasio optimum epoksi resin dibanding
hardener.
3.2. Waktu, Lokasi, dan Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara ekstensif pada tanggal 6 September – 18 Januari 2016.
Rincian waktu, lokasi, dan kegiatan penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.1.
Waktu, Lokasi, dan Kegiatan Penelitian
Tanggal Lokasi Kegiatan
6-9 September 2015 Rumah peneliti, SMA Negeri 3
Semarang Pemilihan ide penelitian
9-24 September 2015 Rumah peneliti, SMA Negeri 3
Semarang Studi literatur
24-26 September 2015 SMA Negeri 3 Semarang, FMIPA
Universitas Diponegoro Konsultasi ide penelitian
26 September – 30
Oktober 2015
Rumah peneliti, Lab. Fisika SMA
Negeri 3 Semarang, Lab. UPT
Universitas Diponegoro,
Politeknik Negeri Semarang
Perancangan desain penelitian
Pengumpulan dan preparasi alat
dan bahan penelitian
23-30 Oktober 2015 Rumah peneliti, Asrama Polisi
Sendang Mulyo Ketileng
Trial and Error dan evaluasi
hasil trial and error
5-6 November 2015 Rumah peneliti Optimasi I (Pembuatan sampel
uji ketahanan impak)
15
13-14 November 2015 Politeknik Negeri Semarang
Optimasi I (Karakterisasi
Charpy Impact Strength) dan
evaluasi hasil optimasi
14-15 November 2015 Rumah peneliti Optimasi II (Pembuatan sampel
uji ketahanan impak)
16 November 2015 Politeknik Negeri Semarang
Optimasi II (Karakterisasi
Charpy Impact Strength) dan
evaluasi hasil optimasi
15-17 November 2015 Rumah peneliti Optimasi II (Pembuatan sampel
uji balistik)
17-18 November 2015
Lapangan tembak Batalyon
Infanteri Yonif 400/Raider
Semarang
Optimasi II (Pengujian balistik
performa sampel terhadap
peluru 9 mm FMJ RN (II))
25 November 2015 Lab. Forensik Akademi
Kepolisian Semarang
Optimasi II (Pengujian balistik
performa sampel terhadap
peluru .38 S&W Lead RN (I))
25-30 November 2015 Rumah peneliti, SMA Negeri 3
Semarang
Evaluasi dan konsultasi hasil
penelitian.
1-6 Desember 2015 Rumah peneliti, SMA Negeri 3
Semarang
Pengolahan data, penyusunan
laporan penelitian, dan
persiapan penelitian lanjutan.
8 Desember 2015 Rumah peneliti Optimasi III (Pembuatan sampel
uji ketahanan impak)
10-11 Desember 2015 Rumah peneliti, Politeknik Negeri
Semarang
Optimasi III (Karakterisasi
Charpy Impact Strength,
evaluasi hasil optimasi, dan
pembuatan sampel uji balistik)
16 Januari 2016 Brimob Pasadena Semarang
Optimasi III (pengujian balistik
performa sampel terhadap
peluru .45 ACP FMJ (IIA), 9
mm FMJ RN (II), dan 9 mm
FMJ Hollow Point)
16 Januari – 1 Februari
2016
Rumah peneliti, SMA Negeri 3
Semarang
Evaluasi, pengolahan data, dan
penyusunan laporan penelitian.
16
3.3. Desain Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap optimasi. Ketiga tahapan optimasi tersebut
dilakukan guna mengetahui rasio bahan reinforcement dan matrix optimum supaya dapat
menghasilkan lapisan komposit dengan nilai ketahanan impak setinggi mungkin. Oleh karena itu,
dilaksanakan karakterisasi Charpy Impact Strength sebagai parameter justifikasi terhadap
performa rasio bahan reinforcement dan matrix tertentu.
Optimasi tahap pertama bertujuan untuk mengetahui rasio serat ramie dibanding kain katun
guna menghasilkan lapisan komposit dengan nilai ketahanan impak setinggi mungkin. Pada
tahap ini, bahan reinforcement kain jeans ditetapkan sebagai variabel kontrol. Selanjutnya,
optimasi tahap kedua bertujuan untuk mengetahui rasio serat ramie-katun dibanding kain jeans
optimum guna menghasilkan lapisan komposit dengan nilai ketahanan impak setinggi mungkin.
Pada tahap optimasi kedua ini, akan dilaksanakan uji balistik guna mengetahui performa tiap
rasio bahan dalam menahan terjangan peluru golongan I dan II. Kemudian optimasi tahap tiga
bertujuan untuk mengetahui rasio epoksi resin dibanding hardener optimum guna menghasilkan
lapisan komposit dengan nilai ketahanan impak setinggi mungkin. Pada optimasi tahap akhir ini,
akan dilaksanakan uji balistik dengan peluru golongan I, IIA, dan II. Alur jalannya penelitian
dapat dilihat pada ilustrasi di halaman selanjutnya.
17
Figur 3.1. : Alur jalannya penelitian “Rompi Balistik dari Material Komposit Epoksi-SiO2
Nanopartikel diperkuat Serat Alam.”
18
3.4. Rancangan Lapisan Komposit
Penyusunan sampel dilaksanakan dengan metode hand-lay up. Rasio massa reinforcement
dibanding matrix dikontrol 1 : 1 dengan komposisi matrix : (1) Konsentrasi SiO2
nanopartikel/epoxy resin (wt) sebesar 10%. (2) Rasio epoksi-SiO2 nanopartikel : hardener :
thinner (wt) adalah 100 : 50 : 2 dan 100 : 100 : 2. Massa per luas permukaan sampel dan
ketebalan dikontrol berturut-turut sebesar 24,4 kg/m2 dan 1,5 cm.
3.4.1. Rancangan Lapisan Optimasi tahap I
Illustrasi rancangan lapisan komposit optimasi tahap I dapat dilihat pada figur berikut.
Figur 3.2. : Rancangan lapisan komposit optimasi tahap I
Pada rancangan lapisan komposit tahap ini, komposit serat ramie-katun ditetapkan sebagai
variabel independen dengan total massa 50% massa total reinforcement. Rasio yang
ditetapkan sebagai variabel independen adalah sebagai berikut : ramie (R) : katun (C) = (100 :
0), (75 : 25), (50 : 50), (25 : 75), (0 : 100).
3.4.2. Rancangan Lapisan Optimasi tahap II
Illustrasi rancangan lapisan komposit optimasi tahap II dapat dilihat pada figur berikut.
Figur 3.3. : Rancangan lapisan komposit optimasi tahap II
Pada rancangan lapisan komposit tahap ini, komposit serat ramie-katun dibanding kain
jeans ditetapkan sebagai variabel independen. Rasio yang ditetapkan sebagai variabel
independen adalah sebagai berikut : ramie-katun (R-C) : jeans (J) = (100 : 0), (75 : 25), (50 :
50), (25 : 75), (0 : 100).
3.4.3. Rancangan Lapisan Optimasi Tahap III
Rancangan lapisan komposit pada optimasi tahap ini sama dengan optimasi tahap II. Tiga
sampel terbaik pada optimasi tahap II akan disintesis ulang dengan rasio epoksi : hardener ::
thinner = 100 : 100 : 2.
19
3.5. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.2.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat Bahan
Kompressor hidrolik Anyaman serat rami (0,126 kg/m2)
Penekan besi berdimensi 15 cm x 15 cm x
0,5 cm dan 5,5 cm x 1 cm x 0,5 cm Anyaman kain katun (0,199 kg/m
2)
Cetakan kayu berdimensi 16 cm x 16 cm x
6 cm, 16 cm x 16 cm x 2,5 cm, 6 cm x 1,5
cm x 1 cm.
Anyaman kain jeans (0,406 kg/m2)
Neraca digital (ketelitian 0,01 g) Epoksi resin (bisphenol A diglisidil eter)
Penggaris, meteran, dan jangka sorong Hardener (poliaminamida)
Gunting Thinner (aseton)
Spidol hitam, spidol putih, dan kuas cat SiO2 nanopartikel (5-35 nm)
Mesin Charpy Impact Strength Test Plastisin setebal 6 cm
Revolver Colt Detective Plastik mika
Pistol Glock G17 9 mm Peluru .38 S&W Lead RN
Revolver Smith & Wesson Peluru 9 mm FMJ RN & FMJ Hollow Point
Peluru .45 ACP FMJ
Tali rafia
3.6. Metode Karakterisasi Sampel
3.6.1. Charpy Impact Strength
Pengukuran nilai ketahanan impak sampel dilaksanakan dengan menggunakan alat
bernama mesin Charpy Impact Strength. Alat ini bekerja dengan cara mengukur selisih energi
potensial bandul sebelum dan setelah menghantam sampel. Besarnya selisih energi potensial
tersebut ditafsirkan sebagai besar energi minimum yang diperlukan guna mematahkan
sampel. Persamaan guna menghitung besarnya energi fraktur dapat dilihat di bawah ini.
Keterangan :
m : Massa bandul (kg)
g : Percepatan gravitasi (9,81 m/s2)
R : Radius lengan (meter)
: Sudut lengan setelah menghantam sampel (°)
: Sudut lengan sebelum menghantam sampel (120-130°)
20
Adapun spesifikasi mesin tersebut adalah sebagai berikut :
1. Merek : Shimadzu
2. Kapasitas : 30 Kg.m
3. Radius lengan : 0,749 m
4. Sudut angkat max. : 144°
5. Massa bandul : 25,70 kg
6. Sistem pengereman : Manual
7. Panjang, lebar, tinggi : 78 cm, 55 cm, 110 cm.
Dimensi sampel yang digunakan pada karakterisasi ini mengacu pada ASTM A370 [39],
yaitu 5,5 cm x 1 cm x 1 cm. Sedangkan sudut awal hantaman palu ditetapkan sebesar 120°
hingga 130°.
3.6.2. Uji Balistik
Uji balistik pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan empat jenis proyektil
tingkat proteksi I, IIA, dan II, yaitu berturut-turut .38 S&W Lead RN, .45 ACP FMJ, 9 mm
FMJ RN, dan 9 mm FMJ Hollow Point. Keempat jenis peluru tersebut ditembakkan dengan
menggunakan senjata jenis berturut-turut Revolver Colt Detective, Revolver S&W, dan Glock
G17 pada jarak berturut-turut 5 m, 17 m, dan 17 m.
Figur 3.4. : (kiri) Revolver Colt Detective, (tengah) Revolver S&W, dan (kanan) Glock G17
Sumber : en.wikipedia.org dan dokumentasi peneliti
Pengujian balistik di atas mengacu pada standar NIJ 0101.04 [28] dengan sedikit
modifikasi. Dimensi sampel yang digunakan pada pengujian ini adalah 15 cm x 15 cm x 1,5
cm dengan massa per luas permukaan dikontrol 24,4 kg/m2. Plastisin setebal 6 cm digunakan
sebagai material backface. Lapisan komposit dianggap lolos suatu tingkat proteksi bila tidak
mengalami penetrasi total setelah dihantam oleh peluru dan deformasi ke dalam tidak
melebihi 44 mm.
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Uji Ketahanan Impak
4.1.1. Optimasi Tahap I
Hasil uji ketahanan impak pada sampel optimasi tahap I dapat dilihat pada tabel dan
diagram di bawah ini.
Tabel 4.1.
Hasil Uji Ketahanan Impak Optimasi Tahap I
No.
Sampel
R : C (wt) Luas
permukaan
(cm2)
Sudut awal
(°)
Sudut akhir
(°)
Energi fraktur
(Joule)
Impact
Strength
(kJ/m2)
I 100 : 0 6,531
120
113 20,640 37,53
II 75 : 25 6,542 111 26,745 48,63
III 50 : 50 6,039 112 23,679 43,05
IV 25 : 75 5,829 111 26,745 48,63
V 0 : 100 5,944 110 29,832 54,24
Figur 4.1. : Diagram hasil uji ketahanan impak optimasi tahap I.
20,64
26,745 23,679
26,745 29,832
37,53
48,63
43,05
48,63
54,24
0
10
20
30
40
50
60
100 ; 0 75 ; 25 50 ; 50 25 ; 75 0 ; 100
Imp
act
Str
eng
th (
kJ
/m2)
Rasio massa serat ramie (R) : katun (C)
Energi Fraktur
(Joule)
Impact Strength
22
Berdasarkan data kuantitatif pada halaman sebelumnya, dapat diamati bahwa besarnya
rasio katun dibanding serat ramie berbanding lurus terhadap kenaikan nilai impact strength
lapisan komposit. Puncak dari nilai impact strength lapisan komposit pada tahap optimasi ini
dicapai pada rasio R : C = 0 : 100. Fenomena kenaikan nilai impact strength di atas
bersesuaian dengan data sifat mekanik serat alam pada tabel 2.4 bab II.
Pada tabel 2.4 bab II, dapat diamati bahwa nilai elongasi maksimum rata-rata serat kapas
lebih besar daripada serat rami. Hal ini menandakan bahwa serat kapas dapat mengalami
pertambahan panjang lebih besar saat diberi gaya daripada serat rami. Besarnya pertambahan
panjang serat kapas tersebut menyebabkan serat kapas dapat menyerap lebih banyak gaya
sebelum mengalami failure atau putus. Sehingga, nilai fracture toughness atau impact
strengthnya lebih besar daripada serat rami.
Untuk menguatkan data, struktur patahan sampel setelah dihantam oleh palu mesin Charpy
Impact Strength dapat diamati pada figur di bawah ini.
Figur 4.2. : Struktur patahan sampel optimasi I setelah karakterisasi Charpy Impact Strength.
Berdasarkan figur di atas, dapat diamati bahwa sampel I, II, dan III mengalami fraktur
sempurna setelah dihantam palu mesin Charpy. Kemudian pada sampel IV dan V, dapat
diamati bahwa sampel tersebut hanya mengalami fraktur parsial setelah dihantam palu mesin
Charpy. Hal ini menandakan bahwa penambahan rasio massa katun dibanding serat
berdampak positif terhadap nilai ketahanan impak lapisan komposit. Sehingga, berdasarkan
hasil yang dicapai pada optimasi tahap ini, diambil nilai 100% massa katun sebagai rasio
optimum lapisan komposit.
23
4.1.2. Optimasi Tahap II
Hasil uji ketahanan impak pada sampel optimasi tahap II dapat dilihat pada tabel dan
diagram di bawah ini.
Tabel 4.2.
Hasil Uji Ketahanan Impak Optimasi Tahap II
No.
Sampel
C : J (wt) Luas
permukaan
(cm2)
Sudut awal
(°)
Sudut akhir
(°)
Energi fraktur
(Joule)
Impact
Strength
(kJ/m2)
I 100 : 0 8,080
130
105 72,5 89,73
II 75 : 25 9,091 109 59,9 65,90
III 50 : 50 8,540 104 75,7 88,64
IV 25 : 75 8,374 105 72,5 86,58
V 0 : 100 8,610 105 72,5 84,20
Figur 4.3. : Diagram hasil uji ketahanan impak optimasi tahap II
Berdasarkan data kuantitatif di atas, dapat diamati bahwa terdapat kecenderungan
penurunan nilai ketahanan impak lapisan komposit seiring dengan bertambahnya rasio massa
kain jeans. Walaupun demikian, penurunan nilai tersebut tergolong kurang signifikan. Hal ini
dikarenakan sumber serat alam kedua bahan tersebut sama, yakni serat kapas. Akan tetapi,
terdapat hasil yang menarik pada struktur patahan sampel yang dapat dilihat pada figur di
halaman selanjutnya.
72,5
59,9
75,7 72,5 72,5
89,73
65,9
88,64 86,58 84,2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
100 ; 0 75 ; 25 50 ; 50 25 ; 75 0 ; 100
Imp
act
Str
eng
th (
kJ
/m2)
Rasio massa kain katun (C) : jeans (J)
Energi Fraktur
(Joule)
Impact Strength
24
Figur 4.4. : Struktur patahan sampel optimasi II setelah karakterisasi Charpy Impact Strength.
Berdasarkan figur 4.4 di atas, dapat diamati bahwa semua sampel kecuali sampel I
mengalami fraktur sempurna. Hal ini menandakan bahwa serat kapas yang dianyam menjadi
kain katun menghasilkan anyaman yang memiliki nilai ketahanan impak lebih tinggi
dibanding anyaman kain jeans. Padahal anyaman kain katun memiliki massa per luas
permukaan lebih rendah daripada kain jeans.
Untuk menjelaskan fenomena di atas, peneliti berhipotesis bahwa massa per luas
permukaan kain jeans yang lebih besar daripada kain katun mengakibatkan kain jeans sulit
mengalami pertambahan dimensi saat diberi impak atau gaya. Sulitnya pertambahan dimensi
kain jeans tersebut menyebabkan nilai elongasi maksimum kain jeans berkurang. Sehingga,
besarnya energi fraktur yang diperlukan guna memutuskan lapisan komposit berkurang akibat
nilai elongasi maksimum kain jeans berkurang.
Berdasarkan hasil optimasi tahap I dan II, diketahui bahwa serat kapas yang dianyam
menjadi kain katun murni menghasilkan lapisan komposit dengan nilai ketahanan impak
tertinggi. Oleh karena itu, hipotesis peneliti pada bab II poin pertama tertolak.
4.1.3. Optimasi Tahap III
Berdasarkan hasil optimasi tahap II, diambil tiga sampel pertama (I, II, dan III) guna
dilaksanakan optimasi tahap III dengan komposisi rasio epoksi : hardener : SiO2 nanopartikel
= 100 : 100 : 2. Hasil uji ketahanan impak optimasi tahap ini dapat dilihat pada halaman
selanjutnya.
25
Tabel 4.3.
Hasil Uji Ketahanan Impak Optimasi Tahap III
Sampel Epoksi :
Hardener
(wt)
Luas
permukaan
(cm2)
Sudut awal
(°)
Sudut akhir
(°)
Energi fraktur
(Joule)
Impact
Strength
(kJ/m2)
I 2 : 1 8,080
130
105 72,5 89,73
1 : 1 5,66 104 75,7 133,75
II 2 : 1 9,091 109 59,9 65,90
1 : 1 5,68 112 50,6 89,08
III 2 : 1 8,540 104 75,7 88,64
1 : 1 5,53 102 82,11 148,48
Figur 4.5. : Diagram hasil uji ketahanan impak optimasi tahap III
Berdasarkan data kuantitatif di atas, dapat diamati bahwa lapisan komposit dengan rasio
massa epoksi : hardener = 1 : 1 mengalami kenaikan nilai ketahanan impak sebesar 35,17
hingga 67,51 % dibanding lapisan komposit dengan rasio epoksi : hardener = 2 : 1.
Untuk menguatkan data, analisis struktur patahan sampel hasil optimasi tahap III dapat
dilihat pada figur di halaman selanjutnya.
89,73
133,75
65,9
89,08 88,64
148,48
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2 ; 1 1 ; 1
Imp
act
Str
eng
th (
kJ
/m2)
Rasio massa Epoksi : Hardener
Sampel I (C : J = 100 : 0)
Sampel II (C : J = 75 : 25)
Sampel III (C : J = 50 : 50)
26
Figur 4.6. : Struktur patahan sampel optimasi III setelah karakterisasi Charpy Impact Strength.
Dari figur di atas, dapat diamati bahwa sampel II dan III dengan komposisi resin : hardener
= 2 : 1 mengalami fraktur sempurna setelah dihantam palu Charpy Impact machine.
Sedangkan seluruh sampel dengan komposisi resin : hardener = 1 : 1 mengalami fraktur
parsial. Hal ini menandakan bahwa nilai ketahanan impak sampel berbanding lurus terhadap
penambahan massa hardener dibanding resin.
Untuk menjelaskan data di atas, peneliti berhipotesis bahwa kenaikan nilai ketahanan
impak sampel tersebut disebabkan oleh banyaknya gugus epoksida yang mengalami reaksi
cross-linking. Pada rasio 2 : 1, banyaknya jumlah gugus reaktif hidrogen pada polimer
hardener lebih sedikit daripada gugus epoksida pada polimer epoksi resin. Hal ini
menyebabkan ada beberapa gugus epoksida yang tidak bereaksi. Sehingga sifat mekaniknya
kurang optimum. Akan tetapi, pada rasio 1 : 1, jumlah gugus reaktif hidrogen polimer
hardener sama atau mendekati sama banyaknya dengan jumlah gugus epoksida polimer
epoksi resin (mendekati stoikiometrik). Sehingga terdapat lebih banyak gugus epoksi yang
bereaksi. Hal ini mengakibatkan sifat mekaniknya lebih optimal.
Fenomena tersebut sejalan dengan studi yang telah dilakukan oleh Emad S. (2004)
mengenai pengaruh rasio massa epoksi resin dibanding hardener terhadap nilai ketahanan
impak, kuat tarik, kekerasan, kuat flexural, kuat kompres, dan kuat bending. Pencampuran
dilakukan dengan tiga variabel utama, yaitu di bawah stoikiometrik, sesuai stoikiometrik, dan
di atas stoikiometrik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa rasio optimum guna menghasilkan
sifat mekanik sebaik mungkin adalah sesuai stoikiometrik.
Berdasarkan hasil optimasi tahap III, hipotesis peneliti pada bab II poin kedua diterima.
27
4.2. Hasil Uji Balistik
4.2.1. Hasil Uji Balistik Optimasi Tahap II
Selanjutnya, seluruh sampel lapisan komposit pada optimasi tahap II direplikasi menjadi
berdimensi 15 cm x 15 cm x 1,5 cm guna memasuki tahap uji balistik. Adapun hasil uji
balistik seluruh sampel tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.4.
Hasil Uji Balistik Sampel Optimasi Tahap II
No.
Sampel
C : J
(wt) Proyektil
Jarak
(m) Senjata api Keterangan Kriteria NIJ
I 100 : 0
.38 S&W Lead
RN (I) 5
Revolver Colt
Detective
Ricochet
Backface tetap Lolos
9 mm FMJ RN
(II) 10 Glock G20 9 mm
Penetrasi Total Tidak lolos
II 75 : 0
.38 S&W Lead
RN (I) 5
Revolver Colt
Detective
Ricochet
Backface tetap Lolos
9 mm FMJ RN
(II) 10 Glock G20 9 mm
Penetrasi Total Tidak lolos
III 50 : 50
.38 S&W Lead
RN (I) 5
Revolver Colt
Detective
Ricochet
Backface tetap Lolos
9 mm FMJ RN
(II) 10 Glock G20 9 mm
Penetrasi Total Tidak lolos
IV 25 : 75
.38 S&W Lead
RN (I) 5
Revolver Colt
Detective
Ricochet
Backface tetap Lolos
9 mm FMJ RN
(II) 10 Glock G20 9 mm
Penetrasi Total Tidak lolos
V 0 : 100
.38 S&W Lead
RN (I) 5
Revolver Colt
Detective
Ricochet
Backface tetap Lolos
9 mm FMJ RN
(II) 10 Glock G20 9 mm
Penetrasi Total Tidak lolos
Keterangan : Ricochet : Peluru memantul, tidak terdapat penetrasi
Berdasarkan hasil uji balistik yang telah dilaksanakan terhadap kelima sampel, dapat
diamati bahwa kelima sampel hasil optimasi tahap II lolos proyektil tingkat I NIJ, tetapi tidak
lolos proyekil tingkat II NIJ. Foto sampel setelah dilakukan uji balistik dapat dilihat pada
halaman selanjutnya.
28
Figur 4.7. : Foto sampel setelah pelaksanaan uji balistik sampel optimasi tahap II
29
Dari figur 4.7 di halaman sebelumnya, dapat diamati bahwa tidak terdapat perbedaan
performa balistik yang signifikan antara kelima sampel tersebut. Permukaan sampel relatif
tetap setelah dihantam peluru .38 S&W Lead RN. Berdasarkan hasil uji balistik yang telah
dilaksanakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kelima sampel memenuhi kriteria sebagai
material rompi balistik tingkat proteksi I.
4.2.2. Hasil Uji Balistik Optimasi Tahap III
Hasil uji balistik lapisan komposit hasil optimasi tahap III dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 4.5.
Hasil Uji Balistik Sampel Optimasi Tahap III
No.
Sampel
E : H
(wt) Proyektil
Jarak
(m) Senjata api Keterangan Kriteria NIJ
I 1 : 1
.45 ACP FMJ (IIA)
17 m
Revolver S&W Ricochet
Backface tetap Lolos
9 mm FMJ Hollow
Point (lain)
Glock G17 9
mm
Backface
terdeformasi 7 mm Lolos
9 mm FMJ RN (II) Penetrasi parsial Tidak lolos
II 1 : 1
9 mm FMJ Hollow
Point (lain)
Backface
terdeformasi 0 mm Lolos
9 mm FMJ RN (II) Penetrasi total Tidak lolos
III 1 : 1
9 mm FMJ Hollow
Point (lain)
Penetrasi parsial Tidak lolos
9 mm FMJ RN (II) Penetrasi total Tidak lolos
Keterangan : Ricochet : Peluru memantul, tidak terdapat penetrasi.
Berdasarkan hasil uji balistik yang telah dilaksanakan terhadap hasil optimasi tahap III,
dapat diamati bahwa sampel I dan II lolos proyektil tingkat lain (9 mm Hollow Point) akan
tetapi tidak lolos proyektil tingkat II. Sedangkan sampel III tidak lolos proyektil tingkat lain
maupun tingkat II. Adapun karena keterbatasan jumlah proyektil pada saat pengujian, uji
balistik tingkat IIA dilaksanakan hanya kepada sampel yang memiliki performa balistik
terbaik, yakni sampel I. Pengujian menunjukkan bahwa sampel I lolos uji balistik proyektil
tingkat IIA.
Adapun foto sampel setelah pengujian dapat dilihat pada figur di halaman selanjutnya.
30
Figur 4.8. : Foto sampel setelah pelaksanaan uji balistik sampel optimasi tahap III.
Berdasarkan hasil uji balistik optimasi tahap III, maka hipotesis peneliti pada bab II poin
ketiga tertolak. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan penelitian lanjutan guna menghasilkan
lapisan komposit yang lolos proyektil tingkat II (9 mm FMJ RN).
4.3. Analisis Biaya Produksi
Untuk mengetahui perbandingan biaya produksi rompi balistik dari material komposit epoksi-
SiO2 nanopartikel diperkuat serat alam dengan harga jual rompi balistik konvensional,
dilakukanlah analisis biaya produksi material yang dapat dilihat pada tabel di halaman
selanjutnya. Material yang dianalisis biaya produksinya merupakan sampel I, II, dan III hasil
optimasi tahap III. Dimensi sampel yang diasumsikan pada analisis biaya produksi ini adalah 27
cm x 27 cm x 1,5 cm.
31
Tabel 4.6.
Analisis Biaya Produksi Rompi Balistik dari Material Komposit Epoksi-SiO2 Nanopartikel
diperkuat Serat Alam
I (C : J = 100 : 0)
Material Kuantitas Harga per satuan Total Harga
Reinforcement Kain katun 70 x 2 lapis Rp.13.333,33/m2 Rp.136.080,00
Matrix
Epoksi Resin/SiO2
nanopartikel
445,55 g x 2 resin
49,51 g x 2 SiO2
Rp.68,750/kg
Rp.105.000/kg Rp.71.660,78
Hardener 495,06 g x 2 Rp.68,750/kg Rp.68.070,75
Thinner (Aseton) 11,4912 g x 2 Rp.26.000/kg Rp.600,00
Rompi 1 Rp.90.000/pcs Rp.90.000,00
TOTAL Rp.366.411,53
II (C : J = 75 : 25)
Material Kuantitas Harga per satuan Total Harga
Reinforcement Kain katun 53 x 2 lapis Rp.13.333,33/m
2 Rp.103.032,00
Kain jeans 9 x 2 lapis Rp.14.444,44/m2 Rp.18.954,00
Matrix
Epoksi Resin/SiO2
nanopartikel
445,55 g x 2 resin
49,51 g x 2 SiO2
Rp.68,750/kg
Rp.105.000/kg Rp.71.660,78
Hardener 495,06 g x 2 Rp.68,750/kg Rp.68.070,75
Thinner
(Aseton) 11,4912 g x 2 Rp.26.000/kg Rp.600,00
Rompi 1 Rp.90.000/pcs Rp.90.000,00
TOTAL Rp.352.317,53
III (C : J = 50 : 50)
Material Kuantitas Harga per satuan Total Harga
Reinforcement Kain katun 35 x 2 lapis Rp.13.333,33/m
2 Rp.68.040,00
Kain jeans 18 x 2 lapis Rp.14.444,44/m2 Rp.37.908,00
Matrix
Epoksi
Resin/SiO2
nanopartikel
445,55 g x 2 resin
49,51 g x 2 SiO2
Rp.68,750/kg
Rp.105.000/kg Rp.71.660,78
Hardener 495,06 g x 2 Rp.68,750/kg Rp.68.070,75
Thinner (Aseton) 11,4912 g x 2 Rp.26.000/kg Rp.600,00
Rompi 1 Rp.90.000/pcs Rp.90.000,00
TOTAL Rp.336.279,53
32
Dari tabel di atas, berikut merupakan perbandingan biaya produksi rompi balistik dari
material komposit epoksi-SiO2 nanopartikel diperkuat serat alam dengan harga jual rompi
balistik konvensional.
Tabel 4.7.
Perbandingan Biaya Produksi dan Harga Jual Rompi Balistik
Tingkat Proteksi Keterangan Harga
IIA dan 9 mm
FMJ Hollow
Point
C : J = 100 : 0 Rp.366.411,53
C : J = 75 : 25 Rp.352.317,53
C : J = 50 : 50 Rp.336.279,53
Para-aramid*) Rp.2.152.777,78
*) : Harga jual rompi balistik konvensional mengacu pada www.ebay.com.
Dari tabel di atas, dapat diamati bahwa inovasi rompi balistik pada penelitian ini secara
signifikan memiliki biaya produksi lebih rendah daripada rompi balistik konvensional. Sehingga,
hipotesis peneliti pada bab II poin keempat diterima.
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang dicapai pada bab IV, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Komposisi optimum reinforcement komposit serat alam dengan nilai impact strength
tertinggi pada penelitian ini adalah kain katun murni diperkuat epoksi-SiO2 nanopartikel.
2. Rasio optimum epoksi resin dibanding hardener guna menghasilkan lapisan komposit
dengan nilai impact strength tertinggi pada penelitian ini adalah 1 : 1.
3. Sampel material komposit rompi balistik pertama, kedua, dan ketiga, keempat, dan kelima
hasil optimasi tahap II dapat menahan peluru .38 S&W Lead RN tingkat I dengan
ketebalan minimal 1,5 cm dan massa minimal 3,58 kg tanpa menimbulkan efek trauma
pukulan, ditinjau dari kedalaman deformasi material backfacenya.
4. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara sampel rompi balistik pertama, kedua,
ketiga, keempat, dan kelima hasil optimasi tahap II dalam menahan hantaman peluru
tingkat I.
5. Sampel material komposit rompi balistik pertama dan kedua hasil optimasi tahap III dapat
menahan peluru 9 mm FMJ Hollow Point dengan ketebalan minimal 1,93 cm dan massa
minimal 3,58 kg dengan deformasi sedalam 0 hingga 7 mm, di bawah batas maksimum
deformasi yang diperbolehkan NIJ 0101.04.
6. Sampel material komposit rompi balistik pertama hasil optimasi tahap III dapat menahan
peluru .45 ACP FMJ tingkat IIA tanpa menimbulkan efek trauma pukulan, ditinjau dari
kedalaman deformasi material backfacenya.
7. Inovasi rompi balistik pada penelitian ini memiliki biaya produksi material secara
signifikan lebih rendah dibanding harga jual rompi balistik konvensional dengan biaya
produksi rata-rata yaitu Rp.351.669,53.
34
5.2. Saran
Di akhir penelitian, peneliti mengajukan dua saran terkait penelitian ini sebagai berikut.
1. Sebaiknya dilaksanakan penelitian lanjutan guna meningkatkan tingkat proteksi rompi
balistik menuju II dengan cara mengoptimasi rasio SiO2 nanopartikel dibanding campuran
resin dan memadukan serat kapas dengan serat alam jenis lain.
2. Sebaiknya dilaksanakan pengujian tusukan guna mengetahui performa rompi balistik
dalam menahan proyektil tajam.
35
REFERENSI
[1] M. Jassal, S. Ghosh. Aramid fibers: an overview. Indian J Fibre Text Res, 27 (2002), pp.
290–306
[2] DuPont. Kevlar Technical Guide. Richmond : DuPont
[3] Federal Aviation Administrasion. (2014). Chapter 7 : Advanced Composite Materials.
Washington DC : U.S. Department of Transportation.
[4] Z. Leman, S.M. Sapuan, M. Azwan, M.M.H.M. Ahmad, M.A. Maleque. The effect of
environmental treatments on fiber surface properties and tensile strength of sugar palm-
reinforced epoxy composites. Polym Plast Technol Eng, 47 (2008), pp. 606-612.
[5] U.M.K. Anwar, M.T. Parida, H. Hamdan, S.M. Sapuan, E.S. Bakar. Effect of curing time on
physical mechanical properties of phenolic-treated bamboo strips. Ind Crops Prod, 29 (2009),
pp. 214-219.
[6] S.M. Sapuan, M. Harimi, M.A. Maleque. Mechanical properties of epoxy/coconut shell filler
particle composites. Arad J Sci Eng, 28 (2003), pp. 171-181.
[7] A.A.A. Rashdi, S.M. Sapuan, M.M.H.M. Ahmad, A. Khalina. Combined effects of water
absorption due to water immersion, soil buried and natural weather on mechanical properties of
kenaf fibre unsaturated polyester composites (KFUPC). Int J Mech Mater Eng, 5 (2010), pp. 11-
17.
[8] M. Jawaid, H.P.S. Abdul Khalil, A. Abu Bakar. Woven hybrid composites: tensile and
flexural properties of oil palm-woven jute fibres based epoxy composites. Mater Sci Eng A, 528
(2011), pp. 5190-5195
[9] Dan, M.M.P., Yuhazri, M.Y. (2008). High Impact Hybrid Composite Material For Ballistic
Armor. Faculty of Manufacturing Engineering, Universiti Teknikal Malaysia Melaka. ISSN :
1985-3157 Vol. 2 No. 1
[10] Fauzi, Muhammad Iqbal, Aristo Kevin A.P. (2014). Stab-Resistant and Ballistic Vest made
from Coconut Fiber. SMA Negeri 3 Semarang. Semarang.
[11] Radif, Zainab Shakir, Aidy Ali, Khalina Abdan. (2011). Development of a Green Combat
Armour from Ramie-Kevlar-Polyester Composite. Pertanika J. Sci. & Technol. 19 (2) : 339-348
(2011)
[12] Kinloch, A.J., B.B. Johnsen, R.D. Mohammed, A.C. Taylor, S. Sprenger. (2007).
Toughening mechanisms in novel nano-silica epoxy polymers. 5th
Australasian Congress on
Applied Mechanics, ACAM 2007. 10-12 December 2007, Brisbane, Australia
[13] A. J. Kinloch, S. H. Leem dan A. C. Taylor, Improving the fracture toughness and the
cyclic-fatigue resistance of epoxy-polymer blends, Polymer, 2014, 55, 6325–6334
[14] J. M. Wernik dan S. A. Meguid, On the mechanical characterization of carbon nanotube
reinforced epoxy adhesives, Mater. Des., 2014, 59, 19–32
[15] Wikipedia. (2015). Epoxy. https://en.wikipedia.org/wiki/Epoxy. Diakses pada tanggal 25
November 2015.
[16] Aziz, Mariad Emam. (2004). A Study On The Effect of Hardener On The Mechanical
Properties of Epoxy Resin. Thesis. M.Sc. in Chemical Engineering. University of Technology.
Iraq.
[17] T. D. Chang dan J. O. Brittain, Studies of epoxy resin systems: Part D: Fracture toughness
of an epoxy resin: A study of the effect of crosslinking and sub-Tg aging, Polym. Eng. Sci.,
1982, 22(18), 1228–1236
[18] R. A. Pearson dan A. F. Yee, Toughening mechanisms in elastomer-modified: Part 3 The
effect of cross-link density, Mater. Sci., 1989, 24, 2571–2580
[19] A. C. Garg, Failure Mechanisms in toughened epoxy resins - A review, Compos. Sci.
Technol., 1988, 31(3), 179–223
36
[20] A. Martone, C. Formicola, M. Giordano dan M. Zarrelli, Reinforcement efficiency of multi-
walled carbon nanotube/epoxy nano composites, Compos. Sci. Technol., 2010, 70(7), 1154–1160
[21] Y. Zhao, Z.-K. Chen, Y. Liu, H.- M. Xiao, Q.-P. Feng dan S.-Y. Fu, Simultaneously
enhanced cryogenic tensile strength and fracture toughness of epoxy resins by carboxylic nitrile-
butadiene nano-rubber, Composites, Part A, 2013, 66, 178–187
[22] Y. Zhou, F. Pervin, V. K. Rangari dan S. Jeelani, Fabrication and evaluation of carbon
nano fiber filled carbon/epoxy composite, Mater. Sci. Eng., A, 2006, 426(1–2), 221–228
[23] X. Wang, J. Jin dan M. Song, An investigation of the mechanism of graphene toughening
epoxy, Carbon, 2013, 65, 324–333
[24] M. R. Dadfar dan F. Ghadami, Effect of rubber modification on fracture toughness
properties of glass reinforced hot cured epoxy composites, Mater. Des., 2013, 47, 16–20
[25] R. Thomas, D. Yumei, H. Yuelong, Y. Le, P. Moldenaers, Y. Weimin, T. Czigany dan S.
Thomas, Miscibility, morphology, thermal and mechanical properties of a DEBA based epoxy
resin toughened with a liquid rubber, Polymer, 2008, 49(1), 278–294
[26] B. Philippe dan I. Hatsuo, Partially miscible blends of epoxy resin and epoxidzed rubber:
Structural characterization of epoxidized rubber and mechanical properties of the blends,Appl.
Polym. Sci., 1994, 53(4), 441–454
[27] B. Philippe dan I. Hatsuo, Composition of the continous phase in partially miscible blends
of epoxy resin and epoxidized rubber by dynamic mechanical analysis, Polymer, 1994,35(5),
956–966
[28] National Institute of Justice. (2000). NIJ Standard-0101.04, Ballistic Resistance of Personal
Body Armor. Washington DC : U.S. Department of Justice.
[29] Wikipedia. (2015). Bulletproof Vest. https://en.wikipedia.org/wiki/Bulletproof_vest.
Diakses pada tanggal 27 November 2015
[30] Holmquist, T J Rajendran, A J; Templeton, dan D W; Bishnoi K D. (1999). A Ceramic
Armor Material Database.TACOM RD&E Center.
[31] Savage, G. (1990).Ceramic Armour. Journal of the Institute of Metals 6 (8): 487–492.
[32] A. J. Kinloch, R. D. Mohammed, dan A. C. Taylor, The effect of silica nano particles and
rubber particles on the toughness of multiphase thermosetting epoxy polymers, Mater. Sci.,
2005, 40 (18), 5083–5086.
[33] H.-Y. Liu, G.-T. Wang, Y.-W. Mai, dan Y. Zeng, On fracture toughness of nano-particle
modified epoxy, Composites, Part B, 2011, 42(8), 2170–2175.
[34] Li, Xue, Lope G. Tabil, dan Satyanarayan Panigrahi. Chemical Treatments of Natural Fiber
for Use in Natural Fiber-Reinforced Composites : A Review. J Polym Environ (2007) 15:25-33
DOI 10.1007/s10924-006-0042-3.
[35] Nam, Sunghyun dan Anil N. Netravali. (2006). Green Composites I. Physical Properties of
Ramie Fibers for Environment-friendly Green Composites. Fiber Science Program 2006, Vol.7,
No.4, 372-379. Cornell University. Ithaca. NY 14853-4401. USA.
[36] Wikipedia. (2015). Cotton. https://en.wikipedia.org/wiki/Cotton. Diakses pada tanggal 28
November 2015.
[37] FAO. (2009). Natural fibres Cotton.
http://www.naturalfibres2009.org/en/fibres/cotton.html. Diakses pada tanggal 28 November
2015
[38] Molenda, Michael. (2003). In Search of the Elusive ADDIE Model. Performance
improvement. Number 42 Volume 5 Page 2.
[39] ASTM. (2012). Standard Test Methods and Definitions for Mechanical Testing of Steel
Products. USA : ASTM.
37
LAMPIRAN
A. Alat dan Bahan Penelitian
Kompresor hidrolik dan pengukur tekanan.
Epoksi resin dan hardener.
Kain katun, kain jeans, neraca digital, dan SiO2 nanopartikel.
38
B. Dokumentasi Uji Balistik
Pelaksanaan uji balistik tingkat I di Laboratorium Forensik Akademi Kepolisian, Semarang.
Pelaksanaan uji balistik tingkat II di Lapangan Tembak Batalyon Yonif 400/Raider, Semarang.
Pelaksanaan uji balistik tingkat IIA, II, dan 9 mm FMJ Hollow Point di Lapangan Tembak
Brimob Pasadena, Semarang.
top related