bab i pendahuluan a. latar belakang...
Post on 17-Sep-2018
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Potensi kekayaan hayati Indonesia sangat besar termasuk yang dapat
digunakan sebagai obat. Masyarakat sudah sejak lama menggunakan obat
tradisional secara turun temurun. Umumnya obat tradisional digunakan untuk
memelihara kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit, maupun memulihkan
kesehatan (Anonim, 2000a). Obat tradisional sudah menjadi bagian penting dalam
pengobatan di negara berkembang hingga negara maju. Hasil Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2010 menyebutkan secara nasional, 59,12 % penduduk
Indonesia pernah mengkonsumsi jamu atau obat tradisional (Anonim, 2010a).
Obat tradisional adalah bahan obat atau ramuan bahan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan sediaan sarian (galenik), atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Anonim,
2010b). Berdasarkan hasil survei nasional, pada tahun 2000 penggunaan obat
tradisional untuk swamedikasi mencapai 15,6% dan meningkat sebesar 31,7% di
tahun 2001 (Nurhadiyanto et al., 2003). Namun meskipun penggunaannya
semakin banyak, obat tradisional belum banyak digunakan dalam sistem layanan
kesehatan formal. Alasan utamanya adalah minimnya bukti ilmiah mengenai
khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia (Dewoto, 2007). Oleh karena
itu, diperlukan banyak penelitian untuk menjamin efikasi, keamanan, dan standar
kualitasnya (Anonim, 2000b).
2
Salah satu jenis obat tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat
adalah cacing tanah (Lumbricus rubellus). Sejak ribuan tahun lalu, cacing tanah
telah banyak digunakan oleh masyarakat Cina sebagai obat berbagai macam
penyakit (Mihara et al., 1991). Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi,
terutama kandungan proteinnya yang mencapai 64-76% (Palungkun, 2008).
Kandungan protein cacing ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya,
misalnya daging (65%) dan kacang kedelai (45%).
Selain bermanfaat untuk kesuburan tanah, cacing tanah banyak
dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kosmetika dan obat-obatan. Sejak 1990 di
Amerika Serikat cacing tanah dimanfaatkan sebagai penghambat pertumbuhan
kanker. Ekstrak cacing tanah juga diketahui mampu menghambat pertumbuhan
bakteri patogen penyakit tipus dan diare (Rukmana, 1999). Cacing tanah juga
diketahui memiliki aktivitas antipiretik dan antiinflamasi (Balamurugan et al.,
2009), antimikroba (Indriati et al., 2012 ; Lestari, 2011), antitumor (Chen et al.,
2007), antitrombotik dan trombolitik (Trisina et al., 2011).
Penggunaan cacing tanah sangat beragam di masyarakat namun masih
belum ada penelitian ilmiah yang memastikan bahwa cacing tanah aman
dikonsumsi. Untuk mengetahui keamanan cacing tanah apabila digunakan untuk
bahan makanan, kosmetika maupun pengobatan, maka diperlukan suatu uji
toksisitas.
Uji toksisitas akut merupakan salah satu uji pra-klinik. Uji ini dilakukan
untuk mengukur derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu
singkat, yaitu 24 jam setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Tolok ukur
3
kuantitatif yang paling sering digunakan adalah Lethal Dose 50% (LD50). Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi ketoksikan cacing
tanah apabila dipejankan secara akut. Penelitian ini dilakukan secara in vivo,
menggunakan hewan uji mencit galur Swiss menggunakan metode OECD 423,
yaitu suatu pedoman untuk uji toksisitas akut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Berapakah harga LD50 cut off dari serbuk cacing tanah yang dipejankan
secara akut pada mencit betina galur Swiss?
2. Apa saja gejala toksik yang timbul setelah pemberian serbuk cacing tanah
secara akut pada mencit betina galur Swiss?
3. Bagaimanakah wujud efek toksik serbuk cacing tanah berdasarkan gambaran
histopatologis organ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memperoleh informasi LD50 cut off dari serbuk cacing tanah yang dipejankan
secara akut pada mencit betina galur Swiss.
2. Mengetahui apa saja gejala toksik yang timbul setelah pemberian serbuk
cacing tanah secara akut pada mencit betina galur Swiss.
3. Mengetahui wujud efek toksik serbuk cacing tanah berdasarkan gambaran
histopatologis organ.
4
D. Tinjauan Pustaka
1. Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)
a. Deskripsi
Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah
segmen yang dimiliki sekitar 90-195 dan kliteliumnya terletak pada segmen
27-32 (Budiarti & Palungkun, 1990). Jumlah segmen pada klitelium
berjumlah 6-7 segmen (Rukmana, 1999). Klitelium merupakan alat yang
membantu perkembangan dan baru muncul saat cacing mencapai dewasa
kelamin, sekitar 2 bulan. Lumbricus rubellus memiliki panjang tubuh antara 8-
14 cm, warna tubuh bagian dorsal berwarna coklat merah sampai ungu
kemerahan, sedangkan bagian ventral berwarna krem dan bagian ekor
kekuningan (Rukmana, 1999).
Di bagian akhir tubuhnya sekitar segmen ke-13 terdapat anus untuk
mengeluarkan sisa-sisa makanan dan tanah yang dimakannya (Rukmana,
1999). Kotoran yang keluar dari anusnya dikenal dengan istilah kascing.
Kascing terdiri dari berbagai komponen biologis (giberelin, sitokinin, auxin)
maupun kimiawi (nitrogen, fosfor, kalium, belerang, magnesium, besi) yang
sangat diperlukan untuk perkembangan dan pertumbuhan tanaman. Selain itu,
kascing bersifat netral dengan pH 6,5-7,4 dan rata-ratanya adalah 6,8
(Palungkun, 2008).
b. Taksonomi
Taksonomi cacing tanah adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
5
Filum : Annelida
Kelas : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Lumb ricidae
Genus : Lumbricus
Spesies : Lumbricus rubellus
(Desportes & Schrevel, 2013)
c. Nama Lain
Di luar negeri cacing tanah disebut juga dengan red earthworm, red
riggler, (European) earthworm, driftworm, gardenworm, red marsh worm
(Davidson, 2007; Wardhani, 2007). Di Indonesia, cacing ini dikenal dengan
sebutan cacing merah atau cacing lumbricus (Palungkun, 2008).
d. Kandungan dan Manfaat
Sejak ribuan tahun lalu cacing tanah telah banyak digunakan oleh
masyarakat Cina sebagai obat berbagai macam penyakit (Mihara et al., 1991).
Bagian yang dapat dimanfaatkan dari cacing tanah adalah biomas atau cacing
itu sendiri dan kascing. Biomas cacing tanah merupakan sumber protein
hewani (72%-84,5 %) (Rukmana, 1999). Kandungan asam amino cacing tanah
yang amat penting dibandingkan dengan hewan lain disajikan dalam Tabel 1.
Kandungan gizi cacing tanah cukup tinggi, terutama kandungan
proteinnya yang mencapai 61% (Palungkun, 2008). Kandungan protein cacing
ini ternyata lebih tinggi dari sumber protein lainnya, misalnya daging (51%)
dan ikan (60%) (Rukmana, 1999). Oleh karena itu, di Jepang, Hongaria,
6
Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat cacing ini juga dimanfaatkan sebagai
bahan makanan manusia selain digunakan untuk ramuan obat dan bahan
kosmetik (Rukmana, 1999).
Tabel I. Kandungan asam amino (%) cacing tanah, ikan, daging (Simanjuntak & Waluyo,
1982)
No Kandungan Asam
Amino
Cacing Tanah (%) Daging (%) Ikan (%)
1 Arginin 4,13 3,48 3,909
2 Sistein 2,29 1,07 0,80
3 Asam Glutamat - - 3,40
4 Glisin 2,92 2,09 4,40
5 Histidin 1,56 0,97 1,50
6 Isoleusin 2,58 1,33 3,60
7 Leusin 4,84 3,54 5,10
8 Lisin 4,33 3,08 6,40
9 Methionin 2,18 1,45 1,80
10 Fenilalanin 2,25 2,17 2,60
11 Serin 2,88 2,15 -
12 Threonin 2.95 1,77 2,80
13 Triptofan - - 0,70
14 Tirosin 1,36 1,29 1,80
15 Valin 3,01 2,22 3,50
Protein kasar 61,00 51,00 60,00
Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah ini terdiri dari
setidaknya sembilan asam amino esensial dan empat macam asam amino non-
esensial. Asam amino esensial tersebut antara lain arginin, histidin, leusin,
isoleusin, valin, metionin, fenilalanin, lisin, dan treonin. Asam amino non-
esensial yang terkandung antara lain sistin, glisin, serin, dan tirosin
(Palungkun, 2008).
Cacing tanah diketahui memiliki banyak aktivitas farmakologis.
Banyaknya asam amino yang terkandung dalam tubuh cacing tanah
memberikan gambaran bahwa tubuhnya mengandung berbagai jenis enzim
yang sangat berguna bagi kesehatan manusia. Mihara et al (1991)
menyebutkan bahwa enzim lumbrokinase telah ditemukan dalam ekstrak
7
cacing tanah yang bersifat fibrinolitik. Lumbrokinase juga dilaporkan
mencegah agregasi platelet, memperpanjang waktu penggumpalan darah, dan
memiliki aktivitas antitrombotik (Trisina et al., 2011). Selain itu enzim
lumbrokinase memiliki aktivitas antitumor pada sel hepatoma (Chen et al.,
2007).
Jenis enzim lain yang ditemukan dalam cacing tanah adalah lumbricin I.
Lumbricin I merupakan peptida dengan 62 asam amino yang sebagian besar
adalah prolin. Lumbricin I memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas (Cho
et al., 1998). Rebusan air cacing tanah mampu menghambat pertumbuhan
E.coli (Indriati et al., 2012). Pemberian cacing tanah juga mampu menurunkan
kadar enzim transaminase (SGOT dan SGPT) pada tikus yang terinfeksi
Salmonella thypi (Lestari, 2011). Inilah sebabnya cacing tanah secara empiris
sering digunakan sebagai obat typus dan diare.
Ekstrak cacing tanah memiliki kandungan lain selain jumlah proteinnya
yang besar. Ekstrak cacing tanah dalam methanol 80% diketahui memiliki
kadar fenolik 247 mg/l dan memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi
(Aldaraji et al., 2013). Penelitian yang dilakukan Balamurugan et al (2009)
menyimpulkan adanya aktivitas antiinflamasi dan antipiretik pada cacing
tanah.
2. Toksikologi
a. Definisi Toksikologi
Istilah toksikologi berasal dari Bahasa Latin yang terdiri dari dua kata
yaitu toxicus yang berarti racun dan logos yang artinya pengetahuan (James et
8
al., 2000). Toksikologi mempunyai definisi yang bermacam-macam sesuai
dengan sejarah perkembangannya. Sejak awal manusia telah mengenal dua
jenis bahan, yaitu yang aman bagi tubuh disebut makanan dan yang berbahaya
bagi tubuh disebut dengan racun. Oleh karena itu pada mulanya toksikologi
didefinisikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005). Definisi tersebut
dinilai kurang tepat setelah Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa yang
membedakan antara racun dan bukan racun adalah takarannya (Gallo, 2008).
Definisi toksikologi kemudian berkembang menjadi ilmu yang mempelajari
pengaruh kuantitatif zat kimia pada sistem biologi dan mendasari
perkembangan toksikologi modern.
Lu mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan
mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem
biologik lainnya (Lu, 1999). Oleh Loomis, toksikologi diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu.
Sampai saat ini, definisi Loomis belum banyak mengalami perubahan. Doull
dan Bruce mendefinisikan toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari
berbagai pengaruh zat kimia yang merugikan atas sistem biologi, sedangkan
oleh Timbrell (2002) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari antaraksi zat
kimia dengan sistem biologi. Definisi ini mengandung makna bahwa objek
yang dipelajari dalam toksikologi adalah antaraksi suatu senyawa kimia atau
senyawa asing dengan suatu sistem biologi atau makhluk hidup. Adapun pusat
perhatiannya ada pada pengaruh berbahaya racun atas kehidupan makhluk
hidup.
9
b. Asas Umum Toksikologi
Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun atas
makhluk hidup terjadi melalui beberapa proses. Pada awalnya, makhluk hidup
terpejani dengan racun. Setelah mengalami absorbsi dari lokasi pemejanan,
racun atau metabolitnya akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau
reseptor) tertentu di dalam makhluk hidup. Setelah sampai di tempat aksi,
akan terjadi antaraksi antara racun atau metabolitnya dan komponen penyusun
sel sasaran atau reseptor di tempat aksi. Kemudian pengaruh berbahaya atau
efek toksik akan muncul dengan wujud dan sifat tertentu setelah melalui
serangkaian peristiwa biokimia dan biofisika. Jadi ketoksikan suatu senyawa
ditentukan dari keberadaan (kadar dan lama tinggal) senyawa itu atau
metabolitnya di tempat aksi dan keefektifan antaraksinya (mekanisme aksi).
Keadaan ini bergantung pada kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup
(Donatus, 2005).
Berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat asas
utama dalam toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan dan
kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau
pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2005). Pemahaman terhadap asas-asas
umum toksikologi tersebut berguna untuk evaluasi tingkat keamanan suatu
zat. Evaluasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan atau memperkirakan
batas keamanan suatu zat apabila digunakan pada manusia serta cara
penggunaannya agat tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009).
10
Pemahaman terhadap kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup
akan mempermudah memahami penyebab timbulnya efek toksik. Pemahaman
tentang mekanisme aksi akan mempermudah dalam menghayati penyebab
timbulnya efek toksik. Pemahaman terhadap wujud dan sifat efek toksik akan
mempermudah memahami respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa
dan tolok ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif toksisitas suatu senyawa
dapat dengan mudah diketahui dengan memahami kekerabatan antara kondisi
pemejanan dan wujud efek toksik (Donatus, 2005).
c. Kondisi efek toksik
Kondisi yang memperngaruhi efek toksik dapat diartikan sejumlah
faktor yang mempengaruhi efektifitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi suatu
senyawa di dalam tubuh (Priyanto, 2009). Kondisi tersebut menentukan
keberadaan zat racun di dalam tubuh yang terdiri dari kondisi pemejanan dan
kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama,
kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Kondisi makhluk hidup mencakup
keadaan fisiologi dan patologi yang mempengaruhi ketersediaan xenobiotik di
sel sasaran (Donatus, 2005).
Terdapat dua jenis pemejanan yaitu akut dan kronis. Pemejanan akut
berkaitan dengan peristiwa tunggal dimana sejumlah racun tertentu masuk
dalam satu kali kejadian ke dalam makhluk hidup. Namun karena dosisnya
berlebih, maka keberadaan racun tersebut di tempat aksinya cukup untuk
menimbulkan efek toksik. Jenis pemejanan kronis adalah kondisi dengan
11
pemejanan racun yang berulang kali sehingga menyebabkan efek toksik secara
kumulatif (Donatus, 2005).
Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi yang
dapat mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan keefektifan antar
aksi antara kedua variabel tersebut. Keadaan fisiologi tersebut antara lain berat
badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran
darah, status gizi, kehamilan, dan jenis kelamin. Keadaan patologi meliputi
aneka ragam penyakit, diantaranya penyakit saluran cerna, kardiovaskular,
hati dan ginjal. Keadaan patologi ini merupakan faktor penting yang harus
dipertimbangkan dalam pelaksanaan uji toksikologi, terutama berkaitan
dengan pemilihan dan penentuan subyek uji (Donatus, 2005).
d. Mekanisme efek toksik
Pemahaman tentang mekanisme aksi toksik suatu senyawa berguna
untuk mengetahui penyebab timbulnya keracunan yang berkaitan dengan
wujud dan sifat efek toksik (Donatus, 2005). Secara umum mekanisme aksi
toksik senyawa digolongkan menjadi tiga, yaitu mekanisme berdasarkan sifat
dan tempat kejadian awal, berdasarkan sifat antaraksi antara senyawa dan
tempat aksinya, dan berdasarkan resiko penumpukan racun dalam gudang
penyimpanan tubuh (Donatus, 2005).
Mekanisme aksi toksik berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal
dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka
ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel yang diawali oleh aksi
langsung zat beracun atau metabolitnya pada tempat aksi tertentu di tempat sel
12
sasaran. Oleh karena itu mekanisme jenis ini seringkali dikenal dengan
mekanisme langsung atau primer. Sebaliknya mekanisme luka ekstrasel terjadi
secara tidak langsung. Artinya zat beracun pada awalnya beraksi di
lingkungan luar sel yang berakibat terjadinya luka di dalam sel (Donatus,
2005).
e. Wujud efek toksik
Wujud efek toksik suatu racun dapat berwujud perubahan biokimia,
fisiologi (fungsional) dan struktural. Perubahan ini memiliki sifat yang khas,
yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan (Donatus, 2005). Wujud efek toksik
berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respon dan perubahan atau
kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat antaraksi antara zat beracun dan
tempat aksi tertentu yang sifatnya terbalikkan. Contohnya penghambatan
respirasi sel, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. Perubahan
fungsional berkaitan dengan antaraksi zat beracun dan reseptor atau tempat
aktif enzim yang sifatnya terbalikkan sehingga dapat mempengaruhi fungsi
homeostatis tertentu. Contohnya adalah anoksia, gangguan pernafasan,
perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit. Perubahan struktural berkaitan
dengan perubahan morfologi sel yang terwujud sebagai kekacauan struktural.
Contohnya adalah respon degenerasi, proliferasi dan inflamasi (Donatus,
2005).
f. Sifat efek toksik
Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi terbalikkan
(reversible) dan tak terbalikkan (irreversible) (Priyanto, 2009). Ciri dari efek
13
toksik yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat
aksi atau reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan kembali kepada
keadaan semula, efek toksik yang ditumbulkan akan segera kembali kepada
kondisi normal, toksisitas racun tergantung pada takaran serta kecepatan
absorbsi, distribusi, dan eliminasi racun (Donatus, 2005).
Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang terjadi
sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang
sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik,
dan efek yang ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka
penjang sama dengan pemaparan dosis besar jangka pendek. Zat yang dapat
menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi
atau sangat sukar dieliminasi (Priyanto, 2009).
3. Uji Toksikologi
Setiap zat yang dikonsumsi manusia termasuk obat-obatan tradisional
harus memiliki kepastian keamanan. Untuk memastikan keamanan dari zat-zat
tersebut uji toksisitas sangat penting untuk dilakukan. Secara umum,
pengujian terhadap obat tradisional diawali dari skrining guna mencari
senyawa aktifnya, lalu dilanjutkan uji efektivitas dan mekanisme kerjanya
pada hewan coba maupun mikroba. Setelah dinyatakan mempunyai aktivitas
farmakologi tertentu, zat yang dimaksud akan menjalani serangkaian tes
keamanan pada hewan coba (Priyanto, 2009).
Uji toksisitas merupakan salah satu uji pra klinik yang dilakukan pada
hewan uji untuk tes keamanan suatu obat baru yang akan dikembangkan.
14
Penelitian toksikologi merupakan sumber data utama bagi evaluasi toksisitas
karena mengungkapkan serangkaian efek akibat pemejanan zat toksik pada
berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi serta
menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh atau toksisitas khusus
yang muncul (Lu, 1999). Hewan yang dapat digunakan adalah galur tertentu
dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, atau anjing (Sukandar, 2004).
Tujuan uji toksisitas secara umum adalah untuk menentukan dosis suatu
sediaan uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ
atau jaringan, mengidentifikasi hubungan antara dosis yang diberikan dengan
terjadinya perubahan fisiologis, dan morfologis suatu organisme, serta
melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap
sediaan uji (Donatus, 2005).
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas tak khas dan khas (Donatus,
2005). Uji toksisitas khas adalah uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu senyawa atas fungsi organ
atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan uji. Termasuk uji toksisitas
khas adalah: uji potensiasi, kekarsinogenikan, kemutagenikan, reproduksi (uji
kesuburan, uji keteratogenikan, uji pra natal, dan pasca natal), uji kulit dan
mata, dan uji perilaku (Donatus, 2005).
Uji toksisitas tak khas bertujuan untuk mengevaluasi keseluruhan efek
toksik suatu zat beracun pada aneka ragam hewan uji. Termasuk dalam uji
tosksitas tak khas adalah uji toksisitas akut, sub kronis, dan kronis (Priyanto
2009). Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas yang dirancang untuk
15
mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh
hewan uji yang hasilnya diekstrapolasi pada manusia.
Pengamatan dilakukan selama 24 jam kecuali pada kasus tertentu
selama 6-14 hari. Uji tosksitas sub kronis yaitu uji toksisitas senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu. Pengamatan
dilakukan dengean 3 dosis selama 4 minggu - 3 bulan dan dengan 2 spesies
yang berbeda. Uji toksisias kronis menggunakan hewan rodent dan non rodent
selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan dengan uji toksisitas sub kronis terletak
pada lamanya pemberian atau pemejanan takaran dosis sediaan uji, masa
pengamatan, dan pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji toksisitas kronis
diperlukan jika obat nantinya akan digunakan dalam waktu yang cukup
panjang (Priyanto, 2009).
4. Uji Toksisitas Akut
Suatu keadaan yang menandai adanya efek toksik atau racun yang
terdapat pada suatu bahan dengan dosis tunggal atau campuran dinamakan
toksisitas (Hodgson, 2010). Keberbahayaan suatu senyawa terutama berkaitan
dengan jumlah senyawa tersebut dalam badan. Hal tersebut dapat dikatakan
dengan cara lain bahwa faktor yang menentukan tingkat keberbahayaan suatu
senyawa adalah dosis senyawa tersebut (Donatus, 2005).
Uji toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui atau menentukan suatu
gejala sebagai akibat pemberian suatu senyawa, juga untuk menentukan
peningkatan letalitas senyawa tersebut. Uji toksisitas akut dilakukan dengan
sekali pemberian suatu senyawa pada hewan uji.
16
Uji toksisitas akut termasuk ke dalam uji ketoksikan tak khas. Uji ini
dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi
dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberian senyawa uji
dengan takaran tertentu. Uji ini dikerjakan dengan cara memberikan dosis
tunggal senyawa uji pada satu atau lebih hewan uji tertentu dan
pengamatannya dilakukan selama 24 jam. Untuk kasus tertentu
pengamatannya dapat dilakukan selama 7-14 hari (Donatus, 2005).
Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ialah lethal
dose 50% cut off (LD50 cut off). Data kualitatifnya berupa gejala klinis dan
morfologis efek toksik senyawa uji. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal
suatu zat yang diharapkan akan mematikan setengah hewan uji. Data LD50 cut
off yang diperoleh digunakan untuk menentukan potensi ketoksikan akut
senyawa relatif terhadap senyawa lain (Donatus, 2005). Kategori potensi
ketoksikan menurut Lu (1999) dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II. Kategori ketoksikan suatu senyawa (Lu, 1999)
Kategori LD 50
Supertoksik <5 mg/kg
Amat sangat toksik 5-50 mg/kg
Sangat Toksik 50-500 mg/kg
Toksik Sedang 0,5-5 g/kg
Toksik Ringan 5-15 g/kg
Praktis Tidak Toksik >15 g/kg
Pelaksanaan uji toksisitas akut umumnya dilakukan pada mencit atau
tikus karena murah, mudah didapat, ukurannya kecil, dan mudah ditangani.
Selain itu terdapat banyak data toksisitas antar suatu zat. Hewan yang
digunakan sebelumnya diaklimatisasi dan observasi minimal 1 minggu dan
17
berada dalam tingkat kesehatan yang baik. Hewan yang dipilih harus homogen
dan memunyai metabolisme yang mirip dengan manusia (Priyanto, 2009).
Beberapa metode uji toksisitas akut oral untuk senyawa kimia telah
dipublikasikan oleh Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) yaitu OECD 420, OECD 423, dan OECD 425. Masing-
masing metode tersebut memiliki kelebihan dan keterbatasan (Sitzel & Carr,
1999).
a. OECD Guideline 401 Acute Oral Toxicity
Pedoman OECD 401 merupakan pedoman uij toksisitas akut oral
konvensional. Prinsipya adalah hewan uji dikelompokkan dalam beberapa
kelompok dosis yang telah ditetapkan dengan jenis kelamin yang sama.
Setiap kelompok dosis terdiri dari 5 hewan uji dengan jenis kelamin yang
sama. Pemberian sediaan dilakukan secara oral dan dosis bertingkat pada
setiap kelompok perlakuan. Apabila uji pada satu jenis kelamin selesai, uji
dilanjutkan menggunakan jenis kelamin yang berbeda. Pedoman OECD
401 menyatakan bahwa toksisitas adalah respon kuantal. Sehingga penentu
ketoksikan hanya dilihat dari ada atau tidaknya kematian sebagai endpoint
(Sitzel & Carr, 1999). Kelemahan lain dari OECD 401 adalah
menggunakan banyak hewan uji (minimal 20 hewan untuk setiap
senyawa) sehingga sekarang sudah tidak digunakan lagi (Ningrum, 2012).
b. OECD Guideline 420 Fixed Dose Procedure
Pedoman OECD 420 pertama kali diajukan sebagai pengganti dari
uji penentuan LD50 konvensional. Metode ini menggunakan hewan uji
18
yang lebih sedikit, mengurangi morbiditas dan menghasilkan data
ketoksikan yang dapat diklasifikasi berdasarkan Globally Harmonized
System (GHS). Prinsip metode ini adalah pemejanan sediaan uji secara
bertahap pada kelompok dosis perlakuan yang ditentukan, yaitu dosis 5,
50, 300, dan 2000 mg/kg BB. Jumlah hewan uji yang digunakan adalah 5
ekor pada masing-masing kelompok. Ketoksikan dilihat bukan hanya dari
kematian, namun juga berdasarkan gejala-gejala toksik yang muncul
(Anonim, 2001a).
c. OECD Guideline 423 Acute Toxic Class Method
Pedoman OECD 423 merupakan prosedur uji toksisitas bertahap
menggunakan 3 hewan uji pada masing-masing tahapan. Dosis yang
digunakan yaitu dosis 5, 50, 300, dan 2000 mg/kg BB. Penentu
ketoksikan berdasarkan kematian dan mempertimbangkan gejala toksik
yang muncul (Barile, 2008). Metode ini menggunakan sedikit hewan uji
dan memungkinkan untuk mengklasifikasikan sediaan uji menurut
ketoksikan relatifnya (Anonim, 2001b).
d. OECD Guideline 425 Up and Down Procedure
Berdasarkan panduan OECD 425 Up and Down Procedure,
sejumlah dosis tertentu, biasanya 175 mg/kg BB sebagai dosis awal
dipejankan ke satu ekor hewan uji. Kemudian hewan tersebut diamati 14
hari. Jika hewan uji bertahan selama 48 hari setelah pemejanan, maka
dosis ditingkatkan secara logaritmik pada hewan kedua. Sebaliknya
19
penurunan dosis diberikan apabila selama 48 jam terjadi kematian pada
hewan uji yang pertama (Anonim, 2001c; Barile, 2008).
Jenis kelamin hewan uji yang biasanya digunakan adalah betina
dikarenakan hewan betina umumnya lebih sensitif terhadap pemejanan
xenobiotik. Hewan uji dengan jenis kelamin jantan dapat digunakan jika
pengetahuan tentang toksikologi atau sifat toksikokinetik bahan kimia terkait,
secara struktural menunjukkan bahwa hewan jantan relatif lebih sensitif
(Anonim, 2001b).
Nilai LD50 cut off merupakan parameter kuantitatif penentu ketoksikan
suatu senyawa. LD50 cut off sangat berguna untuk klasifikasi zat kimia sesuai
dengan ketoksikan relatifnya. Pedoman OECD 423 menetapkan besarnya
LD50 bersumber dari kategori-kategori yang terdapat dalam Globally
Harmonized Classification System (GHS). Kategori Globally Harmonized
Classification System (GHS) beserta nilai LD50 cut off yang terdapat dalam
pedoman OECD 423 dapat dilihat pada tabel III.
Kegunaan dilakukan uji toksisitas akut selain menentukan nilai LD50
adalah untuk mengetahui hubungan antara dosis dengan timbulnya efek
seperti perilaku dan kematian, mengetahui gejala-gejala toksisitas akut yang
bermanfaat dalam diagnosis adanya keracunan, memenuhi persyaratan
regulasi jika zat uji akan dikembangkan menjadi obat. Uji ini juga
memberikan informasi tentang pengaruh umur, jenis kelamin, cara pemberian,
dan faktor lingkungan terhadap toksisitas suatu obat, mengetahui variasi
respon antar spesies dan antar galur (hewan, mikroba) serta adanya reaktivitas
20
suatu populasi hewan. LD50 juga digunakan sebagai salah satu indikasi
keamanan suatu obat yaitu indek terapi (IT), yang nilainya didapatkan dari
LD50 dibagi dengan ED50. Adapun ED50 merupakan dosis yang akan
menimbulkan respon 50% pada populasi (Priyanto, 2009).
Tabel III. Kategori globally harmonized classification system (GHS) beserta nilai LD50
Jumlah
hewan uji
tiap
langkah
Dosis
(mg/kg
BB)
Jumlah
Hewan
Kriteria GHS (mg/kg
BB) LD50 cut-off (mg/kg BB)
3
5
2-3* Kategori I (>0-5) 5
3
50
2-3* Kategori II (>25-50) 25-50
3
300
2-3* Kategori III (>50-300) 200-300
3 2000 2-3* Kategori VI (>300-2000)
500 (jika 3*)
1000 (jika 2*)
2000
3 2000 0-1* Kategori V (>2000-5000)
2500 (jika 1*)
5000 (jika 0*)
(tidak terklarifikasi)
3 5000 0* Kategori V (tidak
terklasifikasikan)
5000 (jika 0*)
(tidak terklasifikasi)
Keterangan: (*) = hewan uji menunjukkan gejala toksik atau hewan mati
5. Histopatologi
Histopatologi adalah cabang dari patologi, yaitu ilmu yang dipusatkan
untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan
jaringan. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan makroskopik jaringan
disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan mikroskopik.
Histopatologis merupakan teknik paling sensitif untuk mendeteksi adanya
kerusakan pada sistem organ tertentu, misalnya sistem reproduksi (Greaves,
2007).
Uji histopatologis bukan hanya prosedur untuk mencocokkan gambar
antara hasil histologis organ normal dengan organ yang mengalami kerusakan.
21
Histopatologis menggambarkan evaluasi dari pola jaringan tubuh, meliputi
penentuan ukuran, bentuk dan karakter pewarnaan. Teknik yang digunakan
dalam pemeriksaan histopatologis meliputi pemilihan jaringan, penutupan dan
pemotongan jaringan lain, pewarnaan imunokimia dan teknik dasar lain
(Greaves, 2007). Mayoritas diagnosis histopatologis dilakukan dari potongan
jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood,
2000).
Proses pewarnaan jaringan merupakan proses yang sangat penting dalam
pemeriksaan histopatologis organ. Jaringan yang telah diseleksi dan dipotong
harus dilakukan proses pengecatan agar dapat diamati di bawa mikroskop.
Metode pewarnaan jaringan dirancang agar jaringan terlihat dan dapat
dibedakan dengan jaringan lain. Kebanyakan zat pewarna bersifat sebagai
asam atau basa yang memungkinkan membentuk interaksi elektrostatik
dengan ion radikal pada jaringan.
Hematoksilin dan eosin (H&E) merupakan pewarna yang paling banyak
digunakan untuk pengecatan jaringan. Hematoksilin akan memberikan warna
biru pada nukleus sedangkan eosin memberikan warna merah muda pada
sitoplasma (Junqueira & Carneiro, 2003). Warna biru yang ditimbulkan oleh
hematoksilin disebabkan oleh proses oksidasi hematoksilin yang membentuk
kompleks dengan suatu mordant (Avwioro, 2011).
22
E. Keterangan Empirik
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui dan menetapkan harga
potensi ketoksikan akut (LD50 cut-off), mengetahui gejala toksik, wujud dan
spektrum efek toksik pada organ mencit meliputi hati, paru-paru, lambung, limpa,
ginjal, usus, jantung, dan uterus akibat pemejanan oral serbuk cacing tanah .
top related