bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · “kajian bahasa tabu dan eufemisme pada kumpulan...
Post on 31-Aug-2019
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri (Kridalaksana, 2008: 24). Bahasa merupakan media penyampai pesan dalam
berkomunikasi. Manusia sebagai makhluk sosial, tentu tidak terlepas dari
komunikasi. Komunikasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Komunikasi langsung dapat berupa tatap muka atau face to face,
sedangkan secara tidak langsung dapat melalui media perantara, baik media
elektronik seperti radio, televisi, maupun melalui media cetak seperti majalah,
koran, tabloid. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi memiliki peran penting
dalam penyampaian pesan kepada komunikan.
Bahasa, dalam penggunaannya selalu bersifat dinamis, artinya selalu
berubah seiring pekembangan zaman. Dinamisme bahasa nampak pada perubahan
makna yang terjadi, dapat berupa perluasan, penyempitan, pengasaran, dan
penghalusan makna. Eufemisme (Leech, 17: 53) itu dibangun dalam rangka
rekayasa asosiatif dan dalam rangka pembentukan citra atau “associative
engineering and image building”. Jadi, untuk menghadirkan asosiasi dan
pembentukan citra (lebih santun, lebih hormat) digunakanlah eufemisme.
Eufemisme menghadirkan kesan bahasa menjadi lebih santun. Sebaliknya,
disfemisme merupakan kebalikan dari eufemisme, yang berarti menggunakan
kata-kata yang bernilai rasa kasar atau mengungkapkan sesuatu bukan dengan
kata yang sebenarnya. Eufemisme digunakan untuk menghaluskan bahasa yang
2
terkesan tidak sopan dan kurang pantas atau pun tabu untuk dibaca dan diketahui
oleh pembaca, sehingga eufemisme berperan untuk membuat bahasa menjadi
lebih santun. Disfemisme digunakan untuk mengungkapkan atau menghadirkan
bahasa yang terkesan menimbulkan suatu penegasan, suasana ngeri dan
sebagainya. Disfemisme mampu menimbulkan kesan yang kurang baik bagi
pembacanya. Adanya eufemisme dan disfemisme menimbulkan kesan tersendiri
bagi mitra tutur baik positif maupun negatif. Eufemisme dan disfemisme sering
dijumpai dalam bahasa sehari, dapat berupa bahasa lisan maupun tulis. Bahasa
yang digunakan masyarakat tidak terlepas dari eufemisme dan disfemisme
sementara itu penggunaannya dalam bahasa tulis dapat dijumpai pada majalah,
surat kabar, tabloid, dan sebagainya. Penggunaan eufemisme dan disfemisme
dipilih untuk mencapai tujuan tertentu.
Sarana komunikasi semakin berkembang seiring dengan kemajuan
teknologi di era globalisasi. Salah satu sarana komunikasi yang sudah tidak asing
bagi masyarakat berupa media massa cetak seperti majalah, surat kabar, tabloid.
Majalah merupakan sarana komunikasi berupa media cetak yang memuat berbagai
informasi di masing-masing rubrik. Majalah sebagai ruang informasi yang
tersedia bagi masyarakat untuk mengetahui berita ataupun kabar yang sedang
menjadi topik pembicaraan. Bahasa pengantar majalah dapat berupa bahasa
Indonesia maupun bahasa Jawa. Panjebar Semangat merupakan majalah tertua di
Indonesia yang terbit pertama kali pada tanggal 2 September 1933. Pendiri
Panjebar Semangat adalah Dr. Soetomo yang merupakan tokoh pendiri Budi
Utomo, sebagai salah satu media untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Majalah Panjebar Semangat adalah majalah berbahasa Jawa yang ditebitkan di
3
kota Surabaya. Panjebar Semangat merupakan majalah yang terbit berkala
mingguan, yaitu terbit setiap hari Sabtu. Majalah ini memuat berbagai rubrik
sebagai ruang informasi masyarakat seperti, rubrik kriminal, sastra, humor. Salah
satu rubrik yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat adalah rubrik
Pethilan. Rubrik Pethilan adalah rubrik yang memuat tentang pernyataan dan
tanggapan suatu masalah yang sedang menjadi pembicaraan.
Media massa cetak pada umumnya memuat rubrik sebagai wadah
menyampaikan opini baik dari pembaca maupun dari redaksi. Salah satu rubrik
yang terdapat dalam majalah Panjebar Semangat adalah rubrik Pethilan. Rubrik
ini terdapat di halaman 6 dan terletak di pinggir kanan. Dalam setiap rubrik
biasanya memuat sekitar 7 sampai 9 cuplikan peristiwa beserta tanggapannya.
Pethilan berarti semacam cuplikan atau menceritakan sebagian atau sedikit dari
suatu kejadian. Rubrik Pethilan memuat suatu cuplikan dan tanggapan terhadap
suatu peristiwa. Peristiwa yang disajikan berupa peristiwa terkini yang menjadi
perbincangan di masyarakat. Tanggapan yang diberikan merupakan tanggapan
dari redaksi majalah Panjebar Semangat, tanggapan dapat berupa kritikan, saran,
sindiran, dan lainnya. Bahasa yang digunakan dalam rubrik ini adalah bahasa
Jawa ragam ngoko, dan juga bahasa Jawa ragam krama, bahasa Indonesia, dan
bahasa asing.
Penggunaan bahasa dalam rubrik Pethilan juga menampilkan eufemisme
dan disfemisme baik berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata majemuk, kata
ulang, maupun frasa. Penggunan eufemisme dan disfemisme dalam rubrik
Pethilan pada majalah Panjebar Semangat mempunyai fungsi tersendiri, misalnya
bentuk eufemisme sebagai bentuk penghalusan untuk menunjukkan kesopanan
4
dalam bidang sosial masyarakat terkait kelas sosial, eufemisme dalam penyebutan
sesuatu yang dianggap kurang sopan di masyarakat, dan lainnya. selain
eufemisme, disfemisme yang digunakan dalam rubrik Pethilan pada majalah
Panjebar Semangat juga mempunyai tujuan tertentu, misalnya untuk
menunjukkan kejengkelan, menimbulkan suasana yang tidak enak terhadap
pembaca atau pun pendengar.
Contoh:
A: 25.000 tenaga kerja asing siap mbanjiri Banten.
B: Tenaga kerja lokal siap ngaplo
A: ‟25.000 tenaga kerja asing siap membanjiri Banten‟.
B: „Tenaga kerja lokal siap melongo‟.
(Panjebar Semangat, 26 September 2015)
Frasa tenaga kerja lokal pada data di atas menunjukkan penggunaan
eufemisme dari kata buruh. Bentuk kebahasaan eufemisme yang digunakan
berupa frasa nomina yang terdiri dari 3 kata dan inti dari frasa tersebut adalah
tenaga kerja. Dilihat dari nilai rasanya, frasa tenaga kerja lokal mempunyai nilai
rasa yang lebih sopan dan hormat jika dibandingkan dengan kata buruh
„karyawan/pegawai‟. Kata buruh sering diidentikkan dengan tenaga kerja tingkat
bawah dan melakukan pekerjaan kasar dan berat. Penggunaan eufemisme frasa
tenaga kerja lokal bertujuan untuk menimbulkan kesan positif, lebih santun dan
hormat daripada kata buruh. Penggunaan eufemisme tersebut juga dapat
menimbulkan ketidaknampakkan adanya ketimpangan kelas sosial dari segi
ekonomi. Kata buruh terkesan menampakkan kelas sosial ekonomi yang berada
pada tataran rendah, sedangkan frasa tenaga kerja lokal lebih bersifat netral dan
dapat mencakup semua kelas sosial ekonomi. Kata ngaplo menunjukkan
penggunaan disfemisme, yang bersinonimi dengan kata nganggur. Bentuk
5
kebahasaan disfemisme yang digunakan berupa kata dasar. Dilihat dari nilai
rasanya, kata ngaplo mempunyai nilai rasa yang lebih kasar daripada kata
nganggur. Kata ngaplo menunjukkan bahwa tenaga kerja lokal seolah-olah tidak
dapat berbuat apa-apa, dan hanya bisa melongo karena kedatangan tenaga kerja
asing dalam jumlah banyak. Kata ngaplo menggambarkan bahwa dengan
kedatangan tenaga kerja asing tersebut, peluang kerja tenaga lokal menjadi sangat
sedikit. Tujuan digunakannya kata ngaplo sebagai bentuk disfemisme dari kata
nganggur adalah untuk menegaskan bahwa peluang kerja tenaga lokal benar-
benar terancam. Dari data di atas nampak adanya keterkaitan antara penggunaan
eufemisme dan disfemisme frasa tenaga kerja lokal yang merupakan bentuk
eufemisme dan berpadanan dengan buruh digunakan kata ngaplo untuk
menggantikan kata nganggur. Nampak bahwa buruh atau tenaga kerja kasar
dipasangkan dengan kata-kata yang bernilai rasa kurang sopan seperti ngaplo.
A: Praktek dol tinuku ijazah palsu nguwatirake
B: Herane, isih akeh diburu
A: „Praktik jual beli ijazah palsu mengkhawatirkan‟
B: „Herannya, masih banyak diburu‟
(Panjebar Semangat, 6 Juni 2015)
Kata diburu pada data di atas menunjukkan penggunaan disfemisme, yang
berpadanan dengan kata digoleki. Bentuk kebahasaan disfemisme yang digunakan
berupa kata berimbuhan di awal atau prefiks. Kata diburu biasanya ditujukan pada
binatang, namun pada data di atas digunakan untuk kata ijazah. Nilai rasa yang
ditunjukkan dari kata diburu terkesan kasar dan kurang sopan. Penggunaan kata
diburu bertujuan untuk penegasan bahwa masih banyaknya ijazah palsu yang
dicari. Penggunaan kata diburu menunjukkan bahwa perbuatan mencari ijazah
palsu adalah perbuatan yang melanggar hukum, sehingga disfemisme tersebut
6
bertujuan untuk memberikan penegasan tentang tindakan seharusnya tidak
dilakukan. Penggunaan kata diburu menggambarkan tentang pemerolehan ijazah
yang terkesan hanya ingin mencari kemudahan, tanpa harus menempuh
pendidikan dalam memperoleh ijazah.
Berikut adalah tesis, skripsi, penelitian, dan jurnal terkait eufemisme dan
disfemisme.
1. “Eufemisme Surat Kabar Jawa Pos dan Relevansinya dengan Pengajaran
Bahasa Indonesia di SMA” yang ditulis oleh Syawaludin Nur Rifa‟i dari
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan UNS pada tahun 2016. Tesis ini membahas tentang bentuk
kebahasaan eufemisme surat kabar Jawa Pos, bentuk nilai rasa eufemisme
surat kabar Jawa Pos, jenis referensi eufemisme yang digunakan surat kabar
Jawa Pos, dan relevansi surat kabar Jawa Pos dengan pengajaran bahasa
Indonesia di SMA.
2. “Disfemia dalam Rubrik Bola Nasional pada Tabloid Bola” yang ditulis oleh
Triyana Puji Lestari, dari Fakultas Bahasa dan Seni UNY pada tahun 2013.
Skripsi ini membahas tentang bentuk kebahasaan disfemia dalam rubrik Bola
Nasiona Tabloid Bola, nilai rasa yang timbul akibat penggunaan disfemia
dalam rubrik Bola Nasional Tabloid Bola, dan tujuan penggunaan disfemia
dalam rubrik Bola Nasional Tabloid Bola.
3. “Pemakaian Disfemisme dalam Kolom Berita Utama Surat Kabar Joglo
Semar” yang ditulis oleh Auriga Maulana Khasan dari Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan UNS pada tahun 2011. Skripsi ini membahas tentang bentuk
7
disfemisme yang digunakan dalam kolom berita utama surat kabar Joglo
Semar, alasan digunakannya disfemisme dalam kolom berita utama surat
kabar Jolgo Semar, dan efek yang ditimbulkan dari pemakaian bentuk
disfemisme dalam kolom berita utama surat kabar Joglo Semar.
4. “Kajian Bahasa Tabu dan Eufemisme pada Kumpulan Cerpen Senyum
Karyamin Karya Ahmad Tohari” yang ditulis oleh Eko Supriyadi dari
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS pada tahun 2013. Penelitian ini
berupa naskah publikasi yang membahas mengenai bentuk penggunaan
bahasa tabu yang digunakan dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya
Ahmad Tohari, bentuk eufemisme yang digunakan dalam Senyum Karyamin
karya Ahmad Tohari, dan subjek yang ditabukan dan dieufemismekan dalam
Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari.
5. “Eufemia pada Halaman Depan Surat Kabar Suara Merdeka Edisi Maret-
April 2014” yang ditulis oleh Winda Puspitasari S., dkk. dari Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMP tahun 2014. Penelitian
ini membahas tentang bentuk eufemia pada halaman depan surat kabar Suara
Merdeka edisi Maret-April 2014, dan konotasi yang digantikan oleh bentuk
eufemia pada halaman depan surta kabar Suara Merdeka edisi Maret-April
2014.
6. “Pemakaian Disfemisme dalam Berita Utama Surat Kabar Solopos” yang
ditulis oleh Rofik Almuqontirin dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
UMS pada tahun 2013. Penelitian ini berupa naskah publikasi yang
membahas bentuk disfemisme yang digunakan dalam berita utama surat kabar
8
Solopos, serta nilai rasa disfemisme yang terdapat dalam berita utama surat
kabar Solopos.
7. “Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia” yang ditulis oleh Tia Rubby dan
Darnadila dari Fakultas Sastra USU pada tahun 2008 dalam LOGAT Jurnal
Ilmiah Bahasa dan Sastra. Penelitian ini membahas tentang bentuk
penggunaan eufemisme pada Harian Seputar Indonesia.
8. “Eufemisme Sebagai Tindak Komunikasi yang Beradab dalam Bahasa Jawa”
penelitian ini ditulis oleh Dwi Sutana dari Balai Bahasa Yogyakarta.
Penelitian ini membahas tentang penggunaan eufemisme dalam tindak
komunikasi yang beradab dalam bahasa Jawa, penggunaan eufemisme dirasa
penting dalam berkomunikasi karena akan menimbulkan sikap sopan bagi
mitra tutur.
9. “Kesinonimian Disfemisme dalam Surat Kabar Terbitan Palembang” yang
ditulis oleh Ali Masri, dkk. Dalam LINGUA Jurnal Bahasa dan Sastra.
Penelitian ini membahas tentang pemakaian kesinonimian disfemisme dalam
surat kabar terbitan Palembang.
Dari penelitian di atas sangat bermanfaat dalam penelitian ini sebagai
referensi dan acuan untuk menambah wawasan peneliti. Peneliti memilih
“Eufemisme dan Disfemisme dalam Rubrik Pethilan pada Majalah Panjebar
Semangat”. Adapun alasannya, (1) pernyataan dan tanggapan dalam rubrik
Pethilan banyak mengandung eufemisme dan disfemisme dengan cara
penyampaian yang khas, (2) topik-topik yang dibahas menarik, yaitu mengenai isu
yang sedang beredar di masyarakat, (3) penelitian mengenai “Eufemisme dan
9
Disfemisme dalam Rubrik Pethilan pada Majalah Panjebar Semangat” belum
pernah diteliti.
B. Batasan Masalah
Masalah dalam peneltian ini dibatasi pada bentuk kebahasaan eufemisme
dan disfemisme yang terdapat dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar
Semangat, serta fungsi dan nilai rasa penggunaan eufemisme dan disfemisme
dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk, fungsi, dan nilai rasa eufemisme yang digunakan dalam
rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat?
2. Bagaimanakah bentuk, fungsi, dan nilai rasa disfemisme yang digunakan
dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat?
D. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan nilai rasa eufemisme yang digunakan
dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat.
2. Mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan nilai rasa disfemisme yang digunakan
dalam rubrik Pethilan majalah Panjebar Semangat.
10
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan di
bidang semantik, khususnya mengenai eufemisme dan disfemisme.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi penelitian
selanjutnya.
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi tentang penggunaan
eufemisme dan disfemisme dalam rubrik Pethilan pada majalah Panjebar
Semangat.
c. Penelitian ini dapat memberi informasi bagi para jurnalis tentang
penggunaan eufemisme dan disfemisme bahasa Jawa.
F. Kajian Teori
1. Semantik
Semantik berasal dari bahasa Yunani, yang bermakna to signify atau
memaknai. Semantik mengandung pengertian studi tentang makna. Semantik
adalah salah satu bidang kajian atau cabang linguistik yang mengkaji arti bahasa
atau arti linguistik (lingual meaning atau linguistic meaning) secara ilmiah
(Subroto, 2011: 1).
Menurut Palmer (dalam Aminudin, 2001:15) semantik berasal dari bahasa
Yunani, yang berarti to signify atau memaknai. Semantik sebagai istilah teknis
11
mengandung pengertian studi tentang makna dengan anggapan bahwa makna
menjadi bagian dari linguistik.
Menurut John Lyons (1971:1) menjelaskan bahwa semantik pada
umumnya diartikan sebagai studi tentang makna “semantic is generally defined as
the study of meaning”.
Huford dan Harsley (1984, dalam Subroto, 2011: 1) menyatakan bahwa
semantik mengkaji arti di dalam bahasa. Arti dalam bahasa itu disebut arti bahasa
atau arti lingual. Arti bahasa tersebut merupakan objek kajian semantik.
Semantik (Parera, 2004: 42) sebagai lafal dari istilah la semantique,
semantik adalah studi dan analisis tentang makna-makna linguistik dan
mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya.
Semantik adalah telaah mengenai makna (George, 1964:1 dalam Tarigan,
1985:2). Istilah semantik dipakai dalam pengertian luas dan pengertian sempit.
Semantik dalam pengertian luas dibagi atas tiga pokok bahasan, yaitu sintaksis,
semantik, dan pragmatik. Semantik dalam pengertian sempit dibagi atas dua
pokok bahasan, yaitu teori referensi (denotasi, ekstensi) dan teori makna
(konotasi, intensi) (Tarigan, 1985:2-6).
Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau
tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang
lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Semantik mencakup
makna-makna kata, perkembangannya, dan pengaruhnya. Semantik menelaah
12
makna kata dan makna yang diperoleh oleh masyarakat dari kata-kata (Tarigan,
1985:7-8).
Kridalaksana, (2008: 216) menyatakan bahwa semantik adalah (1) bagian
struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan
struktur makna suatu wicara; (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam
suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa semantik
adalah cabang linguistik yang mengkaji dan menelaah makna suatu bahasa.
Semantik dapat dibagi menjadi empat (Abdul Chaer, 1995: 7-12):
1. Semantik Leksikal
Semantik leksikal mengkaji makna yang ada pada leksem atau kata dari
sebuah bahasa. Oleh karena itu, makna-makna yang terdapat pada leksem-leksem
itu disebut makna leksikal.
2. Semantik Gramatikal
Semantik gramatikal mengkaji dan mempelajari makna-makna gramatikal
dari tataran morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat.
3. Semantik Sintaksial
Semantik sintaksial mengkaji segala sesuatu yang berhubungan dengan
sintaksis, yaitu frasa, klausa, kalimat.
13
4. Semantik Maksud
Semantik maksud mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan pemakaian
bentuk-bentuk gaya bahasa seperti, metafora, ironi, litotes.
Objek kajian semantik adalah arti bahasa atau arti linguistik. Arti bahasa
pada dasarnya adalah bentuk pengalaman yang tersimpan di dalam dan terstruktur
di dalam bahasa, dikuasai secara lebih kurang sama oleh para pengguna bahasa,
serta digunakan dalam komunikasi secara umum dan wajar. Arti itu tersimpan di
dalam bahasa, maksudnya adalah bahasa sebagai sistem tanda lingual (tanda
bahasa) merupakan paduan dari aspek bentuk (form aspect of the sign) dan aspek
arti (semantic aspect of the sign). Tanda lingual juga terdiri dari aspek bentuk
(bunyi bahasa yang terdengar yang mengikuti urutan tertentu atau deretan huruf
yang dituliskan, jadi berkaitan dengan bahasa lisan atau bahasa tulisan) dan aspek
arti. Aspek arti adalah bentuk pengetahuan yang ditangkap saat orang mendengar
atau membaca satuan kata atau frase atau satuan klausa tertentu yang dilisankan
atau dituliskan (Subroto, 2011: 1-4). Hal tersebut dapat dilihat dalam segitiga
semantik yang digambarkan oleh Richards dan Ogden.
B
A C
Gambar 01. Segitiga Semantik
14
Keterangan:
A adalah bentuk kata (form of the word)
B adalah konsep (concept)
C adalah reference
A adalah bentuk kata (expression of the word); B adalah konsep atau designasi; C
adalah referen. Relasi antara Adan B bersifat asosiatif; relasi antara B dan C
bersifat referensial; relasi antara A dan C adalah arti. Relasi antara adalah asosiatif
yang digambarkan dengan garis lurus, maksudnya terdapat asosiasi langsung
antara bunyi [kursi] dengan konsep yang terkandung dalam bunyi itu yaitu
„perabot rumah tangga yang...‟. Relasi langsung antara B dan C bersifat
referensial, karena didalam penggunaan bahasa yang nyata, benda-benda yang
disebut kursi memiliki diabstrasikan sebagai benda untuk tempat duduk,
mempunyai kaki penyangga, dan sebagainya. Relasi antara A dan C adalah arti.
Arti bahasa, pada hakikatnya adalah hubungan antara tanda lingual dengan
sesuatu yang diacu oleh tanda tersebut. Relasi itu digambarkan dengan garis
patah-patah karena tidak terdapat hubungan sspesifik antara tanda dengan sesuatu
yang diacu oleh tanda itu.
Makna dapat dibedakan menjadi empat (Wijana dan Rohmadi, 2008:21-
26), yaitu:
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna yang dapat diidentifikasikan tanpa
menggabungkan suatu unsur dengan unsur yang lain, makna leksikal merupakan
makna yang terdapat pada suatu kata itu sendiri. Contoh: makna beli berarti
15
melakukan aktivitas tukar menukar, dapat diidentifikasikan tanpa menggabungkan
dengan unsur lain.
Makna gramatikal adalah makna yang dapat diidentifikasikan setelah suatu
satuan bergabung dengan satuan lain. Contoh: makna membeli dapat
diidentifikasikan setelah digabungkan dengan unsur lain yaitu unsur me+beli,
unsur me- tidak dapat berdiri sendiri dan baru memiliki makna setelah bergabung
dengan kata beli yang membentuk makna aktivitas pembelian sesuatu atau tukar
menukar barang dan uang, seperti dalam kalimat Ibu membeli gula.
2. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif merupakan keseluruhan komponen makna yang dimiliki
oleh sebuah kata. Makna konotatif merupakan nilai emotif yang terdapat pada
suatu bentuk kebahasaan. Contoh : makna wanita dan perempuan, keduanya
mengacu kepada referen diluar bahasa, makna denotatif dari kedua kata tersebut
adalah „orang yang berjenis kelamin feminim‟. Makna konotatif dari wanita
mempunyai nuansa yang lebih halus daripada perempuan.
3. Makna Literal dan Makna Figuratif
Makna literal adalah makna yang sesungguhnya dari suatu bentuk bahasa.
Contoh: kata kambing bermakna hewan mamalia berkaki empat. Makna figuratif
adalah makna bentuk bahasa yang menyimpang dari referennya. Contoh: kata
kambing dalam kambing hitam, tidak bermakna sebagai binatang mamalia berkaki
empat, tetapi makna kambing hitam adalah sumber masalah.
16
4. Makna Primer dan Makna Sekunder
Makna primer adalah makna satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi
tanpa bantuan konteks. Jadi makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal
termasuk dalam makna primer. Makna sekunder adalah makna yang hanya dapat
diidentifikasikan lewat konteks pemakaian bahasa. Jadi makna gramatikal, makna
konotatif, dan makna figuratif termasuk dalam makna sekunder.
Makna menurut Mansoer Pateda (2001: 88-96) mempunyai empat aspek:
1. Aspek Pengertian
Aspek pengertian dalam hal ini disebut juga tema, aspek ini terbentuk atau
muncul dari pemahaman mengenai hubungan dari kata-kata yang mewakili
sebuah tema yang dimaksud, ketika berbicara kata menggunakan kata-kata yang
mewakili atau mendukung ide yang diinginkan.
2. Aspek Nilai Rasa
Aspek nilai rasa merupakan wujud dari perasaan yang sedang dirasakan
ataupun perwujudan dari penilaian terhadap sesuatu yang diwakili oleh kata-kata
yang digunakan. Aspek ini berhubungan dengan sikap pembicara, keinginan dan
proses penilaian terhadap sesuatu.
3. Aspek Nada
Aspek nada adalah sikap pembicara kepada lawan pembicara, aspek
makna nada ini ditentukan oleh hubungan antara pembicara dan pendengar
melalui kata-kata yang diinginkan.
17
4. Aspek Maksud
Aspek makna maksud ini merupakan maksud yang diinginkan dari sebuah
tuturan, aspek ini lebih bersifat pada tujuan, apakah bersifat deklaratif, imperatif,
persuatif, atau naratif.
2. Eufemisme
Eufemisme (dalam bahasa Yunani berarti „wellspeaking‟) adalah praktik
berbahasa atau praktik membahasakan sesuatu yang menghindari sifat kasar,
jorok, tabu, tidak santun menjadi pembahasaan yang bersifat menyenangkan,
santun, halus, dan sebagainya. Eufemisme dibentuk dalam rangka pembentukan
citra yang positif. Hal itu berkaitan dengan tatakrama sosial (Subroto, 2011: 154).
Menurut Leech (1967: 53) eufemisme dibangun dalam rangka rekayasa
asosiatif dan dalam rangka pembentukan citra atau “associative engineering and
image-building”.
Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemizein yang berarti
„bebicara dengan kata-kata yang jelas dan wajar‟; yang diturunkan dari eu „baik‟ +
phanai „berbicara‟. Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai
pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan, atau yang
tidak menyenangkan (Tarigan, 1985:143).
Kridalaksana (2008: 59) menjelaskan bahwa eufemisme (euphemism)
adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau
tabu; misal frase ke belakang untuk menggantikan kata berak.
18
Kata eufemisme berasal dari kata Yunani euphemizein yang berarti
„mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik‟
(Keraf, 2004:132). Sebab itu eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan-ungkapan yang
halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Dari beberapa pengertian eufemisme di atas dapat disimpulkan bahwa
eufemisme merupakan bentuk gaya bahasa yang bertujuan untuk membuat bahasa
yang bernilai rasa kasar atau tidak pantas menjadi bahasa yang bernilai rasa sopan,
santun, dan pantas didengar.
Berikut contoh penggunaan eufemisme
A: Kasus tambang pasir, Kapolri selidiki Kapolres lan mantan
Kapolres Lumajang.
B: Dhuwit pasir kaya Bengawan Solo, mili nganti adoh.
A: „Kasus tambang pasir, Kapolri menyelidiki Kapolres dan mantan
Kapolres Lumajang‟.
B: „Uang pasir seperti Bengawan Solo, mengalir sampai jauh‟.
(Panjebar Semangat, 31 Oktober 2015)
Kata mantan merupakan bentuk eufemisme yang berpadanan dengan kata
tilas. Penggunaan kata mantan bernilai rasa lebih sopan jika dibandingkan dengan
kata tilas, pangkat sosial sangat berpengaruh dalam penggunaan eufemisme dalam
pernyataan di atas, yaitu pangkat sosial tinggi tentu tidak pantas jika
menggunakan kata tilas.
A: Ora ana anggaran, pengangkatan tenaga honorer dibatalake.
B: Sabar, mbok menawa ana ing paket kebijakan ekonomi jilid 13.
A: „Tidak ada anggaran, pengangkatan tenaga honorer dibatalkan‟.
B: „Sabar, mungkin ada di paket kebijakan ekonomi jilid 13‟.
19
(Panjebar Semangat, 14 November 2015)
Frasa tenaga honorer merupakan bentuk eufemisme yang berpadanan
dengan frasa tenaga bayaran. Eufemisme di atas berfungsi untuk membuat nilai
rasa menjadi lebih santun.
2.1 Manfaat Eufemisme
Eufemisme sebagai alat untuk mengemas bentuk-bentuk yang ditabukan,
sehingga para pemakai bahasa memungkinkan untuk membicarakan aspek yang
tidak menyenangkan. Eufemisme memiliki lima manfaat, yaitu:
a. Eufemisme sebagai Alat untuk Menghaluskan Ucapan
Eufemisme sebagai alat untuk menghaluskan ucapan merupakan fungsi
yang paling umum. Kata-kata yang memiliki denotata yang tidak senonoh, tidak
menyenangkan, tidak sopan, dan lainnya harus diganti atau diungkapkan dengan
cara-cara yang tidak langsung untuk menghindari berbagai hambatan atau konflik
sosial, misal kata pegawai diganti dengan karyawan dan kata pembantu diganti
dengan kata pramuwisma yang memiliki nilai lebih santun.
b. Eufemisme sebagai Alat untuk Merahasiakan Sesuatu
Eufemisme tidak hanya digunakan untuk menghaluskan nilai rasa ucapan,
tetapi juga sering kali digunakan untuk merahasiakan sesuatu, misalnya dalam
dunia kedokteran untuk mengungkapkan penyakit-penyakit tertentu, misalnya
dalam penyebutan nama-nama penyakit serius seperti kanker dan sipilis adalah
penyakit yang dijaga kerahasiaannya oleh para dokter. Untuk itu, dalam
20
penyebutannya diganti dengan singkatan CA dan GO agar aman didengar oleh
orang lain.
c. Eufemisme sebagai Alat untuk Berdiplomasi
Eufemisme digunakan oleh seorang diplomat atau pemimpin untuk
memberikan penjelasan yang memuaskan kepada bawahannya atau masyarakat
sedemikian rupa agar tidak menimbulkan akses-akses yang tidak diinginkan,
misalnya kata ditahan, ditangkap, atau dimasukkan ke dalam tahanan sering
diganti dengan diamankan, diinapkan, dimintai keterangan, dan sebagainya.
d. Eufemisme sebagai Alat Pendidikan
Penghalusan ucapan yang ditanamkan sejak dini kepada anak-anak
memiliki tujuan yang bersifat edukatif. Sejak dini anak-anak diajarkan cara-cara
menghindari penyebutan secara langsung kata-kata yang memiliki nilai rasa
kurang sopan, misalnya kata tidur (bobok), mandi (pakpung). Nama-nama
beberapa binatang juga dihindari dalam penyebutannya secara langsung, dan
diganti dengan bentuk onomatopenya, misalnya anjing diganti guguk, kambing
diganti mbek, dan kucing diganti pus.
e. Eufemisme sebagai Alat Penolakan Bahaya
Pemakaian sejumlah eufemisme merupakan salah satu pencerminan usaha
manusia untuk memperoleh ketentraman, keselamatan, dan kesejahteraan, misal
nya dalam bahasa Melayu, kata harimau dan ular diganti dengan nenek dan akar
oleh orang-orang yang sedang berjalan di hutan agar mendapat keselamatan.
21
3. Disfemisme
Disfemisme berasal dari bahasa Yunani dys atau dus (bad, abnormal,
difficult= bahasa inggris) yang berarti „buruk‟ adalah kebalikan dari eufemisme,
lebih lanjut berarti menggunakan kata-kata yang bermakna kasar atau
mengungkapkan sesuatu yang bukan sebenarnya (Lestari,2013: 16). Abdul Chaer
(2009: 144) menyatakan bahwa disfemia adalah usaha untuk mengganti kata yang
bermakna halus atau biasa dengan kata yang bermakna kasar. Disfemia digunakan
karena berbagai alasan, disfemia biasa digunakan untuk menunjukkan
kejengkelan atau dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah. Disfemia juga
digunakan untuk memberi tekanan, tetapi tanpa terasa kekasarannya (Chaer,1990:
149). Pemakaian disfemisme bertujuan untuk mencapai efek-efek tertentu dalam
pembicaraan, seperti menunjukkan ketegasan, memunculkan nilai rasa yang
mengerikan, menakutkan dan lainnya. Disfemisme dalam media cetak digunakan
untuk menggantikan kata-kata yang bernilai rasa positif menjadi bernilai rasa
negatif, seperti contoh berikut.
- Dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir.
Kata mencaplok merupakan bentuk disfemisme untuk menggantikan frasa
mengambil dengan begitu saja.
- Polisi menjebloskannya ke dalam penjara.
Kata menjebloskannya merupakan bentuk disfemisme untuk menggantikan kata
memasukkannya.
Disfemisme digunakan dengan berbagai alasan. Disfemisme biasanya
digunakan untuk mengungkapkan kejengkelan atau dalam situasi yang tidak
ramah, seperti contoh berikut.
22
A: Pelanggaran pra pilkada akeh.
B: Pengecut, durung berjuang wis curang.
A: „Pelanggaran pra pilkada banyak‟.
B: „Pengecut, belum berjuang sudah curang‟.
(Panjebar Semangat, 15 Agustus 2015)
A: Rega brambang ambruk.
B: Ora perlu diiris, ndadekake wong tani saya nangis
A: „Harga bawang merah jatuh‟..
B: „Tidak perlu dipotong, menjadikan petani semakin menangis‟.
(Panjebar Semangat, 26 September 2015)
Pada contoh di atas nampak penggunaan disfemisme yaitu kata curang
yang berpadanan dengan tumindak ala, penggunaan disfemisme diatas
menunjukkan adanya kejengkelan mengenai terjadinya pelanggaran pra pilkada.
Disfmemisme yang menunjukkan kejengkelan juga terlihat dalam contoh kedua
yaitu berupa ambruk, diiris, nangis, yang menunjukkan kejengkelan dan
menimbulkan situasi yang tidak ramah. Kata ambruk berpadanan dengan kata
murah atau cendhek, kata diiris berpadanan dengan kata disuda, dan kata nangis
berpadanan dengan kata nelangsa.
Menurut Fakhrurradzie (2004, dalam sumber internet), disfemisme ialah
pengerasan atau pengasaran fakta melalui kata atau kalimat sehingga maknanya
berbeda dari yang sebenarnya atau sesungguhnya. Selain itu, menjadikan sesuatu
terdengar lebih buruk atau lebih jelek.
A: Kisah thuyul gawe gegere masyarakat .
B: Dhuwit sing dicolong koruptor luwih akeh ko
A: „Kisah tuyul membuat gempar masyarakat‟.
B: „Uang yang dicuri kuroptor lebih banyak ko‟.
(Panjebar Semangat, 18 Juli 2015)
Pada contoh di atas nampak penggunaan disfemisme, yaitu kata dicolong
yang berpadanan dengan kata dijupuk. Penggunaan disfemisme tersebut
23
menimbulkan kesan atau nilai rasa yang lebih buruk dan negatif daripada kata
dijupuk.
Disfemisme juga digunakan untuk memberikan tekanan, tetapi tanpa
terasa kekerasannya (Chaer,1990: 149).
A: Istana nyirep isu reshuffle.
A: „Istana menyembunyikan isu reshuffle‟.
B: Wusanane ana reshuffle uga, reshuffle isu.
B: „Akhirnya ada reshuffle, reshuffle isu‟.
(Panjebar Semangat, 18 Juli 2015)
Pada contoh di atas penggunaan disfemisme barupa kata nyirep yang
berpadanan dengan kata ndhelikake.
Disfemisme merupakan bentuk gaya bahasa yang berusaha memunculkan
nilai rasa kasar, dan menimbulkan kesan negatif yaitu dengan menggantikan kata-
kata yang bernilai halus dengan kata-kata yang bernilai kasar. Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, disfemisme atau disfemia adalah
bentuk gaya bahasa yang berusaha memunculkan nilai rasa kasar, buruk, tidak
pantas dengan cara mengganti kata-kata bernilai rasa halus dengan kata-kata
bernilai rasa kasar.
4. Bentuk Kebahasaan Eufemisme dan Disfemisme
Eufemisme dan disfemisme terbentuk dari satuan kebahasaan, mulai dari
tataran terkecil sampai pada tataran yang lebih tinggi. Bentuk kebahasaannya
dapat berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang, kata majemuk, frasa.
24
a. Kata Dasar
Kata dasar (Rohmadi dkk, 2012:26) adalah bentuk linguistik berupa kata
asal maupun bentuk kompleks yang menjadi dasar bentukan bagi suatu bentuk
kompleks. Kata dasar biasanya berupa morfem bebas artinya dapat berdiri sendiri,
misalnya kobong, mlarat, mati, kapok. Kata dasar tersebut dapat diturunkan
menjadi kata baru melalui proses morfologi berupa kata berimbuhan, kata ulang,
kata majemuk.
b. Kata Berimbuhan
Kata berimbuhan (Rohmadi dkk, 2012:40) adalah kata yang sudah berubah
bentuk karena mengalami proses morfologis berupa afiksasi atau imbuhan. Proses
perubahan ini melalui afiksasi, dapat berupa prefiks atau awalan, infiks atau
sisipan, sufiks atau akhiran, konfiks atau imbuhan awal dan akhir, dan simulfiks
atau imbuhan awal dan akhir. Kata berimbuhan biasanya berbentuk morfem
terikat, penulisannya selalu bergabung dengan kata dasarnya. Macam-macam
afiks (Rohmadi dkk, 2012:46) adalah sebagai berikut:
1. Prefiks atau awalan adalah imbuhan yang melekat di depan bentuk
dasar atau kata dasar, contoh: diburu berasal dari kata dasar buru,
nyopot berasal dari kata dasar copot.
2. Infiks atau sisipan adalah imbuhan yang terletak ditengah bentuk dasar
atau kata dasar, contoh: tinulis dari kata dasar tulis, sumingkir berasal
dari kata singkir.
3. Sufiks atau akhiran adalah imbuhan yang terletak diakhir bentuk dasar
atau kata dasar, contoh: sandhungan berasal dari kata sandhung.
25
4. Konfiks adalah imbuhan yang treletak diawal dan akhir bentuk dasar
atau kata dasar yang hadir secara serentak atau bersamaan, contoh:
kelungguhan berasal dari kata lungguh.
5. Simulfiks adalah imbuhan yang terletak di awal dan akhir bentuk dasar
atau kata dasar yang hadir secara bertahap, contoh: nyokoti berasal dari
kata cokot.
c. Kata Ulang
Kata ulang atau reduplikasi merupakan kata yang berasal dari proses
morfologis yang berupa pengulangan kata, baik secara keseluruhan, sebagian atau
parsial, maupun perubahan bunyi (Chaer, 2014:182). Pengulangan dapat
dilakukan terhadap kata dasar, kata berimbuhan, maupun kata gabung.
Kata ulang atau reduplikasi adalah perulangan bentuk atas suatu bentuk
dasar (Rohmadi dkk, 2012:83).
Reduplikasi dibagi menjadi empat (Rohmadi dkk, 2012:83-84)
1. Reduplikasi seluruh atas bentuk dasar, seperti mlaku-mlaku.
2. Reduplikasi sebagian atas bentuk dasarnya, seperti tetuku, rerasan.
3. Reduplikasi bentuk dasar dengan variasi fonem, seperti mloya-mlayu.
4. Reduplikasi bentuk dasar dengan imbuhan, seperti bantah-bantahan,
oknum-oknume.
d. Kata Majemuk
Kata majemuk atau komposisi adalah hasil dari proses penggabungan
morfem dasar dengan morfem dasar, baik bebas maupun terikat, sehingga
terbentuk terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang baru
atau berbeda (Chaer, 2104:185). Gabungan dua kata atau lebih tersebut pada kata
26
majemuk mempunyai makna baru yang berbeda dari kata pembentuknya, contoh:
para baya, gagal ambegan.
Kata majemuk (Rohmadi dkk, 2012:103) adalah dua kata atau lebih yang
menjadi satu dengan lainnya erat sekali dan menunjukkan atau menimbulkan satu
pengertian baru. Kata majemuk disebut juga bentuk senyawa atau susunan
senyawa (kompositum).
e. Frasa
Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat
nonpredikatif, atau lazim disebut sebagai gabungan kata yang mengisi salah satu
fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 2014:222). Contoh, bocah ayu, omah
gedhe, latar amba.
Frase (Kridalaksana, 2008:66) adalah gabungan dua kata atau lebih yang
sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang.
Frase dibagi menjadi empat (Chaer, 2014:225-228).
1. Frase eksosentrik adalah frase yang komponen-komponennya tidak
mempunyai perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya, contoh:
di pasar.
2. Frase endosentrik adalah frase yang salah satu unsurnya atau komponennya
memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan keseluruhannya, contoh:
sedang membaca.
3. Frase koordinatif adalah frase yang komponen pembentuknya terdiri dari
dua komponen atau lebih yang sama dan sederajat, dan secara potensial
dapat dihubungkan oleh konjungsi koordinatif, baik yang tunggal seperti
dan, atau, tetapi, maupun terbagi seperti baik...baik, makin...makin, dan
27
baik...maupun. Frase koordinatif mempunyai kategori sesuai dengan
kategori komponen pembentuknya, contoh: sehat dan kuat, buruh atau
majikan, makin terang makin baik.
4. Frase apositif adalah frase koordinatif yang kedua komponennya saling
merujuk sesamanya; dan oleh karena itu, urutan komponennya dapat
dipertukarkan.
5. Nilai Rasa
Nilai rasa (Tarigan, 1985: 58-59) disebut juga konotasi. Menurut Tarigan,
nilai rasa adalah kesan-kesan atau asosiasif bersifat emosional yang ditimbulkan
sebuah kata. Nilai rasa berhubungan erat dengan makna halus dan kasarnya suatu
bentuk bahasa. Nilai rasa dapat bersifat positif (baik, hormat, sopan) dan negatif
(kasar, tidak sopan, kotor, dan lainnya). Konotasi suatu kata merupakan lingkaran
gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang mengelilingi kata tersebut, dan juga
emosi-emosi yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Denotasi dan konotasi termasuk
dalam makna leksikal. Denotasi adalah makna kata, sedangkan konotasi adalah
pancaran impresi-impresi yang tidak dapat dirasa dan tidak dapat dinyatakan
secara jelas yang mengelilinginya. Konotasi merupakan segala sesuatu yang kita
pikirkan apabila kita melihat kata tersebut, yang mungkin tidak sesuai dengan
makna kata sebenarnya. Ragam konotasi dalam bahasa Indonesia terbagi atas
konotasi yang bersifat individual dan konotasi yang bersifat kolektif. Konotasi
individual adalah nilai rasa yang hanya menonjolkan diri bagi orang
perseorangan. Konotasi kolektif adalah nilai rasa yang berlaku untuk para anggota
sesuatu golongan atau masyarakat.
28
Nilai rasa dalam bahasa Indonesia secara garis besar dibagi menjadi
konotasi baik dan konotasi tidak baik (Tarigan, 1985:60).
1. Konotasi baik mencakup
a. Konotasi tinggi yaitu nilai rasa yang terasa atau terdengar indah dan anggun,
misalnya kata-kata sastra dan klasik. Kata-kata asing pada umumnya
menimbulkan anggapan rasa segan, terutama bila orang kurang atau sama
sekali tidak memahami makna kata tersebut lantas memperoleh nilai rasa
tinggi, misalnya kata perahu diganti dengan kata bahtera.
b. Konotasi ramah yaitu nilai rasa pada suatu kata atau ungkapan yang secara
akrab, saling merasakan satu sama lain, ramah tanpa ada rasa canggung dalam
pergaulan, misalnya kata cocok atau digantikan dengan kata akur.
2. Konotasi tidak baik mencakup
a. Konotasi berbahaya yaitu nilai rasa yang berhubungan dengan kepercayaan
masyarakat, terutama bersifat magis. Pada saat tertentu, ada kata-kata yang
dihindari pengucapannya karena dapat mengundang marabahaya. Misalnya,
pada saat orang berjalan ditengah hutan biasanya mengganti kata ular dengan
tali, dan kata harimau diganti dengan kata nenek untuk menghindari bahaya
dan menjaga keselamatan.
b. Konotasi tidak pantas yaitu nilai rasa yang berhubungan dengan kelas sosial
masyarakat. Pemakaian kata yang berkonotasi tidak pantas dapat menyinggung
perasaan mitra tutur. Hal tersebut dapat terjadi terutama apabila kelas sosial
penutur lebih rendah daripada kelas sosial mitra tutur. Konotasi tidak pantas
juga dapat menimbulkan perasan jorok atau jijik apabila digunakan. Misalnya
29
kata beranak diganti dengan melahirkan, kata berak diganti dengan kata buang
air besar.
c. Konotasi tidak enak yaitu nilai rasa yang berhubungan dengan hubungan sosial
masyarakat. Kata-kata yang berkonotasi tidak enak akan terdengar tidak enak
dan kurang baik oleh mitra tutur. Misalnya pengangguran diganti dengan
tunakarya, kata bodoh diganti dengan kurang pandai.
d. Konotasi buruk, konotasi ini hampir sama dengan konotasi tidak enak, yaitu
ungkapan yang terasa tidak enak dan mengandung nilai brutal, misalnya unjuk
rasa sebagai bentuk penghalusan dari kata demo.
e. Konotasi kasar yaitu nilai rasa yang sering digunakan oleh rakyat jelata dan
biasanya merupakan suatu dialek. Ungkapan-ungkapan tersebut sering diganti
karena dianggap kurang sopan apabila digunakan dalam pembicaraan dengan
orang yang disegani dan terasa kasar sehingga dapat menyinggung mitra tutur,
misalnya bego, goblok.
f. Konotasi keras yaitu nilai rasa yang bersifat mengeraskan makna, nilai rasa
yang terkandung pada sebuah kata atau ungkapan yang digunakan untuk
melebih-lebihkan suatu tindakan atau hiperbola, misalnya lembah kemiskinan,
jurang kemelaratan.
6. Majalah Panjebar Semangat
Majalah Panjebar Semangat merupakan salah satu media cetak berbahasa
Jawa yang terbit di kota Surabaya. Panjebar Semangat berdiri dan terbit pertama
kali tanggal 2 September 1933. Media ini didirikan oleh Dr. Soetomo yang
merupakan tokoh pendiri Budi Utomo sebagai media perjuangan kemerdekaan.
Sebelum berganti menjadi Panjebar Semangat, majalah ini bernama Soeara
30
Oemoem. Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti merupakan semboyan
majalah ini yang berarti segala kekuatan yang buruk akan tunduk pada kebaikan.
Majalah ini merupakan majalah mingguan yang terbit setiap hari Sabtu
dengan 55 halaman. Setiap edisinya, majalah berbahasa Jawa ini mampu
mencapai oplah sebanyak 22.000 eksemplar setiap edisinya. Majalah Panjebar
Semangat berkantor di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jalan Bubutan 87.
Harga jual untuk pembaca di area Jawa seharga Rp. 9500, sedangkan untuk di luar
Jawa seharga Rp. 10.000, sedangkan harga untuk berlangganan selama satu bulan
di area Jawa adalah Rp. 38.000 dan di luar Jawa Rp. 40.000. Majalah Panjebar
Semangat memuat berbagai rubrik baik yang ditulis oleh redaksi majalah maupun
sumbangan dari penulis, diantaranya rubrik alaming lelembut, taman geguritan,
apa tumon, pethilan.
G. Metode Penelitian
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan
menjelaskan suatu fenomena. Dalam metode penelitian ini akan dibahas beberapa
hal, yaitu: (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) alat penelitian, (4)
metode pengumpulan data, (5) metode analisis data, (6) metode penyajian hasil
analisis data.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode kualitatif adalah
metode pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak
didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik. Penelitian
31
kualitatif bersifat deskriptif, peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang
berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar atau foto, catatan harian,
memorandum, video-tape. Dari data yang bersifat deskriptif tersebut dilakukan
analisis data untuk membuat generalisasi atau kesimpulan umum yang merupakan
sistem atau kaidah yang bersifat mengatur atau gambaran dari orang-orang yang
dijadikan subjek penelitian (Subroto, 1992: 5-7).
Kajian deskriptif kualitatif merupakan kajian mendeskripsikan satuan
lingual berdasarkan variasi dan kaidah-kaidah yang mengatur berdasarkan kondisi
objektif dari objek penelitian. Jadi, jenis penelitian ini dilakukan berdasarkan
fakta yang ada dilapangan atau fenomena yang benar-benar terjadi pada
penuturnya dengan menggambarkan data analisis dan laporan menggunakan kata-
kata atau satuan lingual.
2. Data dan Sumber Data
Data adalah semua informasi yang disediakan alam (dalam arti luas) yang
harus dicari dan disediakan dengan sengaja oleh peneliti yang sesuai dengan
masalah yang diteliti (Subroto, 1992:34). Data dapat diidentifikasikan sebagai
bahan mentah penelitian dan bukan sebagai objek. Data dalam penelitian ini
berupa data tulis, yaitu berupa kalimat bahasa Jawa dalam rubrik Pethilan di
majalah Panjebar Semangat edisi Juni 2015-Nopember 2015 yang mengandung
eufemisme dan disfemisme.
Sumber data adalah sumber perolehan data. Sumber data adalah hal-hal
yang dapat dijadikan serta menghasilkan data yang lengkap, benar, dan sahih
32
(Sudaryanto, 1992:35). Sumber data dalam penelitian adalah rubrik Pethilan di
majalah Panjebar Semangat edisi Juni 2015-Nopember 2015.
3. Alat Penelitian
Alat dalam penelitian ini berupa alat utama dan alat bantu. Alat utama
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri secara langsung mencari dan
mengumpulkan data. Alat bantu dalam penelitian ini berupa alat tulis seperti pena,
buku catatan, dan alat elektronik berupa laptop.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara mendekati, mengamati, dan menganalisis gejala yang
ada. Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan metode simak,
yaitu metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa
(Sudaryanto, 1993:133). Teknik dasar yang digunakan dalam metode simak
adalah teknik simak dan teknik lanjutannya adalah teknik catat.
1. Teknik Simak
Adapun teknik dasar pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
dengan teknik simak, yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa tulis berupa
kata, frasa, klausa, dan kalimat. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik
pustaka dan menggunakan teknik lanjutan berupa teknik catat. Teknik pustaka
adalah peneliti berperan sebagai instrumental kunci, melakukan penyimakan
secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data utama dalam rangka
memperoleh data yang dibutuhkan. Hasil penyimakan kemudian dicatat
sebagai data (Subroto, 1992:42).
33
2. Teknik Catat
Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
catat, yaitu dengan mencatat semua data yang telah ditandai pada rubrik
Pethilan dalam majalah Panjebar Semangat pada kartu data yang telah
disiapkan. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam
menganalisis data.
Contoh kartu data:
Keterangan
P : menunjukkan nama rubrik Pethilan
PS : menunjukkan nama majalah Panjebar Semangat
7 : menunjukkan urutan data dalam rubrik
24 : menunjukkan edisi terbit majalah
13 : menunjukkan tanggal data diterbitkan
6 : menunjukkan bulan data diterbitkan
2015 : menunjukkan tahun data diterbitkan
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah upaya peneliti menangani langsung masalah
yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 1993:6). Metode yang digunakan untuk
menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode distribusional dan metode
padan.
1. Metode distibusional atau agih adalah metode analisis data yang alat
penentunya adalah unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri
(Sudaryanto, 1993: 15). Teknik yang digunakan dalam metode agih ini adalah
Kode : (P/PS/7/24/13/6/2015)
Disfemisme
A: Dhuwit sogokan Fuad Amin ditransfer liwat
rekening mbok nome.
B: Jurus lawas para baya.
34
teknik ganti dan teknik sisip. Teknik ganti digunakan untuk mencari bentuk
padanan kata dari eufemisme dan disfemisme dalam rubrik Pethilan pada
majalah Panjebar Semangat, dan teknik sisip digunakan untuk mengetahui
bentuk kebahasaan eufemisme dan disfemisme berupa kata majemuk dalam
rubrik Pethilan pada majalah Panjebar Semangat. Metode ini digunakan untuk
menganalis bentuk eufemisme dan disfemisme yang digunakan dalam rubrik
Pethilan pada majalah Panjebar Semangat.
2. Metode padan adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data yang
alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue)
yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik yang digunakan dalam
metode padan adalah teknik hubung banding, yaitu mencari dan perbedaan
yang ada di antara kedua hal yang dibandingkan, dapat berupa hubungan
penyamaan dan pemerbedaan. Metode ini digunakan untuk menganalisis fungsi
dan nilai rasa penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam rubrik Pethilan
pada majalah Panjebar Semangat.
Berikut ini merupakan contoh penerapan kedua metode analisis data:
(9) A: DPR ngresmekake pembangunan Alun-alun Demokrasi.
B: Ya, arep unjuk rasa mampir kono.
A: „DPR meresmikan pembangunan Alun-alun Demokrasi‟.
B: „Ya, kalau mau unjuk rasa mampir disana‟.
(Panjebar Semangat, 6 Juni 2015)
Kata unjuk rasa merupakan eufemisme yang berpadanan dengan kata
demo. Bentuk kebahasaan eufemisme yang digunakan berupa kata majemuk, kata
unjuk rasa tidak dapat disisipi atau diparafrasekan misal menjadi unjuk sing rasa,
unjuke rasa yang tidak memiliki makna yang sama dengan kata unjuk rasa. Kata
unjuk rasa dipilih untuk menunjukkan kesan lebih santun daripada kata demo.
35
Pemilihan kata unjuk rasa mencoba untuk menetralkan pandangan masyarakat
mengenai demo yang dianggap sebagai sikap menyampaikan pendapat secara
anarki dan perbuatan yang tidak sopan. Pemilihan kata unjuk rasa juga berfungsi
untuk membuat keadaan dan suasana menjadi aman di mata masyarakat, hal
tersebut bertujuan untuk menghindari konflik antara pihak-pihak tertentu,
daripada digunakan kata demo yang bernilai negatif di mata masyarakat.
A: Kasasi ditulak, Anas Urbaningrum diukum luwih abot maneh.
B: Isih lumayan to timbang digawa menyang Monas.
A: „Kasasi ditolak, Anas Urbaningrum dihukum lebih berat lagi‟.
B: „Masih lumayan lah daripada dibawa ke Monas‟.
(Panjebar Semangat, 20 Juni 2015)
Kata diukum merupakan disfemisme dari kata dipidana. Bentuk
kebahasaan disfemisme yang digunakan berupa kata berimbuhan awal atau prefiks
yang berasal dari bentuk {di}+{ukum} dan merupakan kata kerja aktif. Nilai rasa
dari penggunaan kata diukum menimbulkan kesan kasar dan menakutkan
daripada kata dipidana. Kata diukum menegaskan bahwa Anas Urbaningrum
benar-benar melakukan kesalahan. Kata diukum menimbulkan nuansa kejam dan
mengerikan, seolah-olah kesalahan yang telah dilakukan oleh Anas Urbaningrum
adalah kesalahan yang berat dan hukuman yang diberikan juga berat.
6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode formal dan metode informal. Metode formal adalah perumusan
dengan menggunakan tanda dan lambang-lambang, sedangkan metode informal
adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang
sifatnya teknis.
36
Teknik formal diuraikan perumusan tanda, sepeti tanda hubung (-), tanda
kurung (), tanda titik (.), tanda koma (,), tanda garis miring (/). Teknik informal,
perumusan dengan bentuk uraian berupa kalimat-kalimat yang diikuti pemerian
secara terperinci. Hasil analisis data berupa tuturan-tuturan.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi tiga bab, yaitu
pendahuluan, pembahasan, dan penutup.
Bab I Pendahuluan, pada bab ini berisi latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kajian teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan, pada bab ini berisi bentuk, fungsi, nilai rasa
eufemisme dan disfemisme yang terpada dalam rubrik Pethilan pada majalah
Panjebar Semangat.
Bab III Penutup, pada bab ini berisi simpulan dan saran.
top related