bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
Post on 07-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Perdagangan manusia (human trafficking) dewasa ini merupakan bentuk
perbudakan modern yang memprihatinkan. Kejahatan ini termasuk ke dalam isu
keamanan yang serius karena mengancam kehidupan manusia, dimana manusia di
jadikan sebagai komoditi perdagangan, khususnya perempuan dan anak (women and
children trafficking). Persoalan ini merupakan isu global yang serius dan kompleks,
karena banyaknya aktor serta negara yang terkait, baik sebagai negara asal, tujun
maupun transit1. Oleh sebab itu, upaya memerangi perdagangan manusia ini harus
melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah, buruh migran itu sendiri, para
penegak hukum, masyarakat sipil, media, serta negara transit dan negara tujuan
migran.2
Pihak yang memberi perhatian kepada fenomena perdagangan manusia
semakin berkembang saat ini, karena seyogyanya perdagangan manusia tidak hanya
menjadi bahasan dan tanggung jawab negara sebagai aktor tunggal. Hal ini akan
1 Sukawarsini Djelantik, 2010, Globalisasi, migrasi tenaga kerja, kejahatan lintas negara dan
perdagangan perempuan dan anak-anak, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Volume 6 No.2. Di
Akses dalam http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/621098116_1693-556X.pdf (diakses 5 mei
2012) 2 Upaya Memerangi Perdagangan Manusia Harus Libatkan Banyak Pihak.
Di akses dalam http://www.unpad.ac.id/prof-denny-indrayana-upaya-memerangi-perdagangan-
manusia-harus-libatkan-banyak-pihak/ (Diakses tanggal 5 oktober 2012)
2
memperkuat kebutuhan untuk memperhatikan aktor-aktor non negara3. Urgensi peran
non state actor, terutama yang bersifat transnasional perlu diperhatikan karena
permasalahan ini terjadi hampir di seluruh negara di dunia. Salah satu organisasi
besar yang juga turut memberi perhatian pada masalah ini adalah ICMC
(International Catholic Migration Commission) yang berdiri pada tahun 1951.
ICMC4 merupakan salah satu badan donor Internasional yang membantu
Indonesia dalam upaya penanggulangan Trafficking. ICMC bermarkas besar di
Jenewa, Swiss. ICMC mempunyai kantor perwakilan di lebih dari 100 negara seperti
di Kawasan Asia dan Timur Tengah, Indonesia, Timor Timur, Thailand, India,
Pakistan dan Libanon5. ICMC bersama arganisasi lainnya
6 yang bergerak di bidang
perdagangan perempuan dan anak lainnya, memulai proyek penanggulangan
trafficking yang berjangka waktu dua tahun. Proyek ini di namai Creating an
Enabling Environment to Overcome Trafficking of Women and Children in Indonesia
(Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk Mengatasi Perdagangan Perempuan
dan Anak di Indonesia). ICMC mengembangkan pendekatan multiaspek dalam
memberikan bantuan teknis keahlian, pelatihan dan bantuan finansial kepada lembaga
3 Yulius P Hermawan. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional; Aktor Isu dan
Metodologi, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal 14. 4 ICMC didirikan pada tahun 1951 untuk membantu dan memberikan pelayanan kepada pengungsi
eksternal, pengungsi internal (IDP), korban perdagangan, dan buruh migran dengan mencari solusi
yang adil, bermartabat, dan berkelanjutan. Dari antara kelompok-kelompok penduduk ini, ICMC
memprioritaskan terutama mereka yang paling rentan dan marginal, tanpa memandang kepercayaan, etnik, ras atau keyakinan politik.
Dapat di akses di ICMC;who we are, dalam http://icmc.net/who-we-are (diakses pada tanggal 3 mei
2012) 5Ibid 6 Organisasi yang yang turut mendukung proyek ini adalah ACILS, USAID, dll.
3
pemerintah, LSM dan serikat buruh / serikat pekerja untuk program-program dan
kebijakan-kebijakan penanggulangan perdagangan.7
Dalam skala domestik, ICMC membantu pemerintah Indonesia dalam usaha
untuk membangun jaringan dan koordinasi dengan sejumlah provinsi di Indonesia,
khusunya provinsi-provinsi di perbatasan yang dianggap lebih rentan dengan kegiatan
trafficking, terutama perdagangan perempuan dan anak. Sedangkan dalam kasus
perdagangan perempuan dan anak berskala internasional, ICMC mengupayakan
jaringan dan koordinasi dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, salah satunya
adalah membangun jarigan dengan Malaysia melalui Archdiocesan Human
Development Committee (AHDC), mengingat Malaysia merupakan tujuan utama
perdagangan perempuan dan anak dari Indonesia. ICMC juga melibatkan civil society
di negara tersebut dalam upaya ini.
Indonesia disorot oleh dunia Internasional akibat keberadaannya sebagai salah
satu negara sumber terjadinya aktivitas perdagangan manusia. Berdasarkan Annual
Trafficking in Person Report dari US Departement of State kepada Kongress
sebagaimana diamanatkan dalam The Trafficking Victims Protection Act of 2000,
untuk periode April 2001-maret 2002, Indonesia masuk dalam kelompok negara
7 Ruth Rosenberg (ed), 2003, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: ICMC dan
ACILS hal.307
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&sqi=2&ved=0CB
wQFjAA&url=http%3A%2F%2Fpdf.usaid.gov%2Fpdf_docs%2FPNACU645.pdf&ei=29iAUKTQJY
vMrQeSp4HoCA&usg=AFQjCNGxesacfSHESCQZSR6gFwx2Ai63kA (diakses tanggal 4 mei 2012)
4
dengan kategori Tier-38, Klasifikasi Tier yang ditentukan dalam Annual Report ini
adalah sebagai berikut :
TIER 1 merupakan negara yang pemerintahannya sepenuhnya mematuhi
Standart Minimum Perlindungan Korban Trafficking .
TIER 2 merupakan negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya
memenuhi standar minimum TVPA, tetapi membuat upaya yang signifikan
untuk menjadi sesuai dengan standar tersebut.
TIER 2 Watch List merupakan negara yang pemerintahannya tidak
sepenuhnya memenuhi standar minimum TVPA, tetapi membuat upaya yang
signifikan untuk sesuai dengan standar-standar, serta:
a) Jumlah absolut dari korban perdagangan sangat signifikan atau secara
signifikan meningkat;
b) Ada kegagalan untuk memberikan bukti meningkatkan upaya untuk
memerangi perdagangan orang dari tahun sebelumnya, atau
c) Penentuan bahwa suatu negara membuat upaya yang signifikan untuk
membawa dirinya menjadi sesuai dengan standar minimum didasarkan pada
komitmen oleh negara untuk mengambil langkah-langkah tambahan di masa
depan.
8 Tier adalah ukuran/ standard untuk menilai tingkat keberhasilan/ upaya yang dilakukan oleh suatu
negara dalam memerangi perdagangan manusia.
5
TIER 3 merupakan negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya
memenuhi standar minimum dan tidak melakukan upaya signifikan untuk
melakukannya.9
Indonesia maerupakan negara yang sama sekali tidak memenuhi standar
minimum dalam memerangi perdagangan manusia (trafficking in person), oleh
karena itu, Indonesia masih masuk kedalam katagori negara Tier-310
. Disamping itu,
Indonesia diindikasikan sebagai negara asal perdagangan perempuan dan anak, selain
negara transit dan negara tujuan11
. UNICEF memperkirakan bahwa sebanyak 100ribu
perempuan dan anak diperdagangkan setiap tahun untuk dipekerjakan sebagai Pekerja
Seks Komersil di Indonesia maupun diluar negeri. Dari angka itu, 30% diantaranya
berusia 18tahun, dan sebanyak 40-70 ribu anak Indonesia merupakan korban
eksploitasi seksual.
9Tier Placement , dapat diakses dalam http://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/2013/210548.htm
(diakses tanggal 11 juli 2013) 10 Hal yang menyebabkan Indonesia masuk kedalam katagori Tier-3 adalah :Indonesia merupakan
sumber trafficking, tidak memenuhi standar minimum dalam penghapusan trafficking, belum ada usaha
yang signifikan untuk memberantasnya, belum ada hukum yang mengatur mengenai trafficking, belum
adanya usaha membantu para korban, lemahnya pengawasan perbatasan Indonesia, belum adanya
proteksi/perlindungan terhadap para korban, perlindungan minimal kepada korban dari negara asing
dalam arti mereka tidak dipenjara atau langsung dideportasi, belum adanya usaha pencegahan,
misalnya pendidikan mengenai trafficking, masih kurangnya investigasi dan penuntutan terhadap
pelaku trafficking yang hukumannya masih kurang di bandingkan pelaku pemerkosaan. Dapat dilihat
dalam :
Zaky Alkazar Nasution, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban
Perdagangan Manusia. Thesis. UNDIP, Semarang. Hal.14 Dapat diakses di http://eprints.undip.ac.id/17904/1/Zaky_Alkazar_Nasution.pdf (diakses tanggal 5 mei
2012) 11 Pada tahun 2004 terjadi 76 kasus, tahun 2005 terjadi 71 kasus, tahun 2006 tercatat 84 kasus, tahun
2007 terdapat 177 kasus, dan tahun 2008 tercatat 199 kasus
Ibid. hal 14
6
Para korban sering dijadikan buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja
seks komersial, perbudakan berkedok pernikahan dan pengantin pesanan, dan bentuk-
bentuk eksploitasi lainnya. Para korban ini sering dikirim ke negara-negara di Asia
Tenggara, Timur Tengah, Jepang, Australia, dan Amerika Utara12
. Isu trafficking
perempuan dan anak ini kemudian berkembang menjadi ancaman keamanan non-
tradisional bagi Indonesia. Hal inilah yang mendasari munculnya kepedulian
pemerintah Indonesia yang ditandai oleh lahirnya Keputusan Presiden No.88 Tahun
2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak (RAN P3A). RAN P3A merupakan landasan dan pedoman bagi pemerintah dan
masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
RAN P3A tersebut dirancang untuk dapat dilaksanakan dalam program lima
tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan kembali setiap lima tahun. Pada
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2001, para wakil
rakyat menugaskan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menyusun kebijakan dan
program untuk memerangi perdagangan perempuan dan anak Indonesia. Program ini
ditindak lanjuti oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) sebagai lembaga
pemerintah yang akan memimpin penyusunan kebijakan dan implementasi program
penanggulangan trafficking. KPP membentuk suatu gugus tugas (yang kemudian
disebut sebagai “Tim Kecil”) untuk membantu membuat dan mengumpulkan
masukan bagi draf RAN. Tim Kecil terdiri dari berbagai elemen msyarakat,
12 Widayatun, 2008, Trafficking di Perbatasan, Jurnal Masyarakat dan Budaya Volume 10. Hal 4
Dapat di akses dalam http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1010881102.pdf (diakses 3 mei
2012)
7
diantaranya perwakilan berbagai departemen dan masyarakat sipil13
. KPP juga
mengumpulkan komentar dari para ahli internasional mengenai kesesuaian RAN
dengan standar internasional penanggulangan perdagangan. Salah satu badan
Internasional yang terlibat didalamnya adalah ICMC. Sejak saat itulah ICMC mulai
berkoordinasi dengan pemerintah, sekaligus mampu menjadi penyeimbang
kebijakan penanganan kasus perdagangan perempuan dan anak di Indonesia.
Peningkatan perhatian pemerintah Indonesia atas kasus-kasus perdagangan
manusia dari tahun ke tahun bersama dengan ICMC dan pihak-pihak yang terkait,
mendapatkan hasil dengan dikelompokkannya negara Indonesia dalam Tier-2
berdasarkan Annual Trafficking in Person Report dari US Departement of State pada
periode juni 200714
. Momen ini merupakan peningkatan hasil upaya mereka dalam
memerangi perdagangan perempuan dan anak di Indonesia. Hal inilah yang menjadi
ketertarikan penulis untuk meneliti strategi dan peran ICMC dalam proyek
penanggulangan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, terutama yang
bersifat transnasional.
1.2 RUMUSAN MASALAH
13 Ruth Rosenberg (ed), Op. Cit., hal 267 14Menurut Annual Traficking In Person Report, hal yang menyebabkan Indonesia masuk ke dalam
Tier-2 adalah bahwa pemerintah Indonesia telah mensahkan hukum tentang perdagangan manusia,
hukum anti-trafficking inu merupakan alat untuk mengadili dan menghukum para pedagang agar
mereka mendapat hukuman penjara dan denda. Undang-undang baru menggabungkan semua unsur
penting yang diusulkan masyarakat sipil dan masyarakat internasional, termasuk definisi kerja ijon,
eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi seksual, dan perdagangan transnasional dan internal. Bisa dilihat dalam Zaky Alkazar Nasution,SH, Op. Cit., hal.15
(diakses 5 mei 2012)
8
Berdasarkan gambaran latar belakang diatas, maka rumusan permasalahannya
adalah “bagaimana peranan ICMC dalam upaya penanggulangan perdagangan
perempuan dan anak lintas negara dari Indonesia?”
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan ICMC dalam
memerangi perdagangan perempuan dan anak di Indonesia yang bersifat
transnasional. Serta strategi ICMC sebagai Global Civil Society yang dapat
berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dalam kasus ini.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Manfaat akademis
Secara teoritis, penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu hubungan
internasional, khususnya kajian tentang perdagangan manusia sebagai bentuk
ancaman keamanan kontemporer yang serius. Selain itu, penelitian ini
menggambarkan signifikansi peran Global Civil Society sebagai aktor non-negara
yang juga turut merespon pemerintah dalam rangka penanggulangan perdagangan
perempuan dan anak.
1.3.2.2 Manfaat Praktik
Secara praktik, penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu sumber
informasi bagi para praktisi di bidang perlindungan perempuan dan anak untuk
mengetahui kondisi factual perlindungan perempuan dan anak di Indonesia, Di
9
samping itu, penelitian ini menjadi ajang kampanye bagi penulis agar semua lapisan
masyarakat lebih responsif serta membantu merumuskan langkah-langkah kongkrit
dalam upaya penanggulangan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia
1.4 PENELITIAN TERDAHULU
Sebagai dasar untuk melengkapi tinjauan pustaka, maka disajikan penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Penelitian pertama sebagai
pembanding adalah skripsi yang ditulis oleh Ika Farida Septyani15
. Skripsi yang
berjudul “peran hukum internasional terhadap tindak pidana perdagangan manusia
(human trafficking) di Indonesia” ini, menjelaskan tentang konvensi internasional di
ratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Selain itu, menjelaskan berbagai kebijakan di
era SBY mengenai human trafficking. Persamaan penelitian ini dengan penulis,
adalah menjelaskan tentang fenomena human trafficking di Indonesia, namun
perbedaannya Ika Farida Septyani menganalisa tentang peran Hukum Internasional
sedangkan penulis disini menganalisa tentang peran ICMC dalam upaya
menanggulangi perdagangan perempuan dan anak di Indonesia. Penulis menganggap
bahwa hasil penelitian ika farida septyani ini tentang semua hukum internasional
yang telah di ratifikasi oleh pemerintah mengenai perdagangan perempuan dan anak,
akan stagnan begitu saja jika tidak di imbangi dengan aplikasi di lapangan yang
maksimal. Kebutuhan untuk melibatkan aktor non-pemerintah dalam hal ini tidak bisa
15 Ika Farida Septyani, 2012, Peran Hukum Internasional Terhadap Tindak Pidana Perdagangan
Manusia (human trafficking) di Indonesia, skripsi,Jurusan Hubungan Internasional, Universitas
Muhammadiyah Malang.
10
dipungkiri, terutama yang bersifat transnasional. Mengingat fenomena ini merupakan
isu transnasional dan global, maka dari itu peneliti menganalisa tentang peran ICMC
menggunakan alat analisa Global Civil Society.
Penelitian kedua adalah penelitian yang berjudul Globalisasi, migrasi tenaga
kerja, kejahatan lintas negara dan perdagangan perempuan dan anak16
. Penelitian
yang ditulis oleh Sukawarsini Djelantik menjelaskan bahwa lemahnya penegakan
hukum dan birokrasi pemerintah merupakan kendala dalam upaya memerangi
perdaangan perempuan dan anak di Indonesia. Oleh karena itu,. rekomendasi yang
ditawarkan oleh oleh Sukawarsini Djelantik meliputi, Pertama, pemeritah Indonesia
perlu meningkatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi non-pemerntah dan
organisasi-organisasi internasional untuk membuat program-program peningkatan
kesadaran masyarakat. Kedua, pemerintah perlu mendirikan lembaga perekrutan
pekerja dan sistem penempatan yang melibatkan upaya perlindungan terhadap
pekerja. Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan kerjasama internasional. Keempat,
pemerintah harus lebih meningkatkan kerjasama antar instansi yang terkait dengan
masalah perdagangan manusia. Komunikasi antar instansi perlu di efektifkan dan
tidak bersifat insidentil.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian penulis disini, yaitu
menganalisa perdagangan perempuan dan anak. Namun perbedaannya adalah, penulis
16 Sukawarsini Djelantik, 2010, Globalisasi, migrasi tenaga kerja, kejahatan lintas negara dan
perdagangan perempuan dan anak-anak, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Volume 6 No.2. Di
Akses dalam http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/621098116_1693-556X.pdf (diakses 5 mei
2012)
11
disini tidak menggunakan pendekatan globalisasi dan tidak menjelaskan tentang
hubungan antara migrasi dan maraknya perdagangan perempuan dan anak di
Indonesia. Penulis hanya menjelaskan peran global civil society dalam upaya
penanggulangan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, dalam hal ini ICMC.
Penelitian ketiga adalah skripsi yang berjudul peran UNICEF dalam
mengatasi perdagangan anak (child trafficking) di Indonesia17
. Penelitian yang di tulis
oleh Tika Ifrida Takayasa ini menjelaskan tentang bagaimana UNICEF melakukan
peranan sesuai fungsi Organisasi Internasional dalam fenomena perdagangan anak di
Indonesia. UNICEF sebagai badan internasional yang di concern terhadap
perlindungan anak, melakukan beberapa peranan utnutk membantu pemerintah
Indonesia dalam menanggulangi perdagangan anak di Indonesia. Peranan UNICEF
ini di klasifikasikan mulai dari fungsi normatif, fungsi pengawasan dan pelaksanaan
peraturan, fungsi operasional, sampai pada fungsi informasi.
Penelitian ini di gunakan penulis untuk mengetahui pola penelitian yang di
lakukan oleh Tika Ifrida Takaya, karena menganalisa peranan Organisasi
Internasional dalam menanggulangi perdagangan manusia di Indonesia. Perbedaan
penelitian ini adalah penulis berkonsentrasi pada perdagangan perempuan dan anak
(women and children trafficking), sementara Tika Ifrida Takayasa berkonsentrasi
pada fenomena perdagangan anak (child trafficking).
TABEL 1.1 POSISI PENELITIAN
17 Tika Ifrida Takayasa, 2011, Peran UNICEF dalam mengatasi perdagangan anak (child trafficking)
di Indonesia, skripsi, Universitas Muhammadyah Yogyakarta, Jurusan Hubungan Internasional.
12
NO
JUDUL DAN NAMA PENELITI
JENIS
PENELITIAN
DAN ALAT
ANALISA
HASIL
1 Skripsi: Peran Hukum Internasional
Terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Manusia (human
trafficking) di Indonesia
Oleh: Ika Farida Septyani
Deskriptif
Pendekatan:
Hukum
nasional,
Human
Security
Konvensi internasional yang
di ratifikasi oleh pemerintah
Indonesia. Serta, kebijakan
pemerintah Indonesia era
SBY dalam memberantas
tindak pidana perdagangan
manusia.
2 Jurnal: Globalisasi, migrasi tenaga
kerja, kejahatan lintas negara dan
perdagangan perempuan dan anak-
anak.
Oleh: Sukawarsini Djelantik
Deskriptif
Pendekatan:
Globalisasi,
kejahatan
transnasional
Hubungan antara migrasi dan
maraknya perdagangan
perempuan dan anak di
Indonesia ditengah arus
globalisasi. Serta rekomendasi
bagi pemerintah Indonesia untuk
merumuskan langkah yang lebih
efisien dalam menanggulangi
perdagangan perempuan dan
anak.
3 Skripsi: Peran UNICEF dalam
mengatasi perdagangan anak (child
trafficking) di Indonesia
Oleh: Tika Ifrida Takayasa
Deskriptif.
Pendekatan:
Fungsi
organisasi
internasional
UNICEF melakukan fungsi
organisasi Internasional mulai
dari fungsi normatif, fungsi
pengawasan dan pelaksanaan
peraturan, fungsi operasional,
sampai pada fungsi informasi.
4 Peranan ICMC dalam upaya
memerangi perdagangan perempuan
dan anak lintas negara dari Indonesia.
Oleh: Putri Adenin
Deskriptif
Pendekatan:
Peranan
Organisasi
internasional,
Global Civil
Society
Peran dan strategi ICMC sebagai
global civil society dalam upaya
menanggulangi perdagangan
perempuan dan anak lintas
negara di Indonesia.
13
1.5 LANDASAN KONSEP DAN TEORI
1.5.1 Role Theory
Peranan (role) berasal dari kata peran. Peranan ini lebih menunjuk
pada fungsi penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Dengan peranan
tersebut, sang pelaku peran baik itu individu maupun organisasi akan berprilaku
sesuai dengan harapan orang atau lingkungannya.
Peranan menurut K.J Holsti yang diterjemahkan Wawan Juanda dalam
bukunya yang berjudul “Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis” yaitu:
“Konsep peranan bisa dianggap sebagai definisi yang
dikemukakan oleh para pengambil keputusan terhadap bentuk-
bentuk umum, keputusan, aturan, dan fungsi Negara dalam suatu
atau beberapa masalah internasional. Peranan juga merefleksikan
kecenderungan pokok, kekhawatiran, serta sikap terhadap
lingkungan eksternal dan variable sistematik geografi dan
ekonomi”
Peranan dapat diartikan sebagai orientasi atau konsepsi dari bagian yang
dimainkan oleh suatu pihak dalam posisi sosialnya. Peran sendiri merupakan
seperangkat prilaku yang dapat terwujud sebagai perorangan sampai dengan
kelompok, baik kecil maupun besar, yang kesemuanya menjalankan berbagai
peranan. Baik prilaku yang bersifat individual maupun jamak dapat dinyatakan
sebagai struktur.
1.5.2 Peranan Organisasi Internasional
Peranan organisasi internasional dapat digambarkan sebagai individu yang
berada dalam lingkungan masyarakat internasional. Sebagai anggota masyarakat
14
internasional, organisasi internasional harus tunduk pada peraturan-peraturan yang
telah disepakati bersama. Selain itu, melalui tindakan anggotannya, setiap anggota
tersebut melakukan kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuannya.
A. LeRoy Bennett menjelaskan mengenai peranan organisasi internasional, yaitu
:
1. Menyediakan sarana kerjasama diantara negara-negara dalam berbagai
bidang, dimana kerjasama tersebut memberikan keuntungan bagi
sebagian besar ataupun keseluruhan anggotannya. Selain sebagai
tempat dimana keputusan tentang kerjasama dibuat serta memastikan
agar keputusan tersebut menjadi sebuah tindakan.
2. Menyediakan berbagai jalur komunikasi antar pemerintah negara-negara,
sehingga dapat dieksplorasi dan akan mempermudah aksesnya apabila
timbul masalah.18
Semua organisasi internasional memiliki struktur organisasi untuk mencapai
tujuannya. Apabila struktur-struktur tersebut telah menjalankan fungsinya, maka
organisasi tersebut telah menjalankan peranan tertentu. Dengan demikian, peranan
dapat dianggap sebagai fungsi baru dalam rangka pengejaran tujuan-tujuan
kemasyarakatan.
Dari penjelasan di atas, maka ICMC melakukan peranan sebagai INGO yang
menyediakan sarana kerjasama diantara negara-negara yang terkait dalam kejahatan
18 A.LeRoy Bennett, 1995, International Organization: Principles and Issues, Prentice Hall, New
Jersey. Hal 3
15
perdagangan perempuan dan anak. ICMC mencoba menyediakan berbagai jalur
komunikasi untuk menjembatani antar pemerintah sekaligus antar NGO dalam dua
negara atau lebih. Khususnya dalam hal ini antara NGO di Indonesia dengan NGO di
negara lain yang terkait dengan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia.
1.5.3 Organisasi Internasional
1.5.3.1 Definisi dan klasifikasi Organisasi Internasional
Organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai sebuah struktur
formal yang berkesinambungan, yang pembentukannya didasarkan pada
perjanjian antar anggota-anggotanya dari dua atau lebih negara berdaulat untuk
mencapai tujuan bersama dari para anggotannya19
.
Menurut Clive Archer, organisasi internasional dapat diklasifikasikan
berdasarkan keanggotaan, tujuan, aktivitas dan strukturnya. Organisasi
internasional bila dilihat dari keanggotaannya dapat dibagi lagi berdasarkan tipe
keanggotaan dan jangkauan keanggotaan (extend of membership). Bila
menyangkut tipe keanggotaan, organisasi internasional dapat dibedakan menjadi
organisasi internasional dengan wakil pemerintahan negara-negara sebagai
anggota atau Intergovermental Organizations (IGO), serta organisasi
internasional yang anggotanya bukan mewakili pemerintah atau International
Non-Govermental Organizations (INGO). Archer juga menyebutkan bahwa
19 Clive, Archer, 1983, International Organizations: second edition, Routledge, New York. hal
35
16
dalam hal jangkauan keanggotaan, organisasi internasional ada yang
keanggotaannya terbatas dalam wilayah tertentu saja, dan satu jenis lagi dimana
keanggotaannya mencakup seluruh wilayah di dunia20
.
INGO terdiri atas anggota-anggota yang bukan merupakan perwakilan
atau delegasi dari pemerintah suatu negara, namun, kelompok-kelompok,
asosiasi-asosiasi, organisasi-organisasi ataupun individu-individu dari suatu
negara. Definisi tersebut lebih dikenal dengan aktor-aktor non-negara pada
tingkat internasional, dimana aktivitas mereka mengakibatkan meningkatnya
interaksi-interaksi internasional.21
INGO ini mampu menjadi jembatan
penghubung antara NGO dua negara bahkan lebih.
ICMC dapat dikatagorikan sebagai INGO dalam hal ini, karena
anggotanya yang bukan delegasi dari pemerintah. Selain itu, ICMC berupaya
menjadi jembatan antara civil society lokal di Indonesia dengan civil society
lokal di negara lain, misalnya Malaysia sebagai negara yang menjadi tujuan
utama perdagangan perempuan dan anak dari Indonesia. Serta dalam hal
jangkauan keanggotaan, ICMC juga memiliki keanggotaan yang mencakup
hampir seluruh dunia.
1.5.4 Global Civil Society
20 ibid. 21 Ibid, hal 40
17
Pergeseran persepsi keamanan menjadi people-centered berdampak pada
kebutuhan untuk merubah persepsi bahwa negara adalah pihak yang paling
bertanggung jawab atas keamanan, namun juga ditentukan pula oleh kerjasama
transnasional antara aktor-aktor non negara (civil society). Masalah civil society baru
hangat dibicarakan tahun 1990-an di Indonesia. Konsep ini awalnya lebih ditekankan
pada keadaan masyarakat yang mengalami pemerintahan terbatas, kebebasan,
ekonomi pasar dan timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat mandiri, dimana satu sama
lainnya saling menopang. Dengan demikian, civil society merupakan satu space atau
ruang yang terletak diantara negara di satu pihak, dan masyarakat dipihak lain.
Asosiasi tersebut bisa dalam berbagai macam bentuk seperti koperasi, ikatan gereja,
ikatan profesi, LSM dan lain sebagainya.22
Civil society merupakan satu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah
kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi masyarakat dan
gerakan-gerakan sosial dalam negara, namun sifatnya independen dengan negara.
Civil society mengacu pada organisasi-organisasi diantara lembaga-lembaga negara
disatu pihak dan kehidupan perorangan dan komunitas-komunitas dipihak lain.
Global civil society tidak ada hubungannya dengan negara, dimana tidak ada batas
untuk melakukan hubungan dengan negara lain serta memiliki kekuatan untuk
menuntut dilaksanakannya nilai-nilai seperti hak-hak azasi manusia dan lain-lain.
Kekuatan mereka berasal dari kemampuannya untuk memanfaatkan arus globalisasi.
22 Dalam Michael Walker. 1995. toward a global society, provide RY, bergham books, hal 16
Diambil dari Sinta Yuningtias, Op. Cit., hal.
18
Konsepsi global civil society tidaklah hendak meminimalisasi peran negara. Akan
tetapi mereka bertujuan untuk mengadvokasinya, agar daya responsif dari institusi
politik bernama „negara‟ menguat untuk menjalankan perannya dalam memajukan
kesejahteraan bersama warganya di tengah proses globalisasi.
Konsep global civil society ini digunakan penulis untuk membantu
menjelaskan peran ICMC sebagai global civil society dalam upaya penanggulangan
perdagangan perempuan dan anak di Indonesia. ICMC dapat digolongkan dalam
global civil society karena ICMC independen dari pemerintah serta memprioritaskan
program pada mereka yang paling rentan dan marginal, tanpa memandang
kepercayaan, etnik, ras atau keyakinan politik. Selain itu ICMC juga mampu menjadi
“jembatan” antara pemerintah Indonesia dengan civil society lokal sekaligus dengan
pemerintah dan civil society negara lain yang terkait dalam upaya pemberantasan
perdangan perempuan dan anak.
1.5.5 Transnational Organized Crime
Secara konsep, transnational crime merupakan tindak pidana atau kejahatan
yang melintasi batas negara. Konsep ini diperkenalkan pertama kali secara
internasional pada era tahun 1990-an dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang membahas pencegahan kejahatan. Pada tahun 1995, PBB
mengidentifikasi 18 jenis kejahatan transnasional yaitu
19
“..money laundering, terrorism, theft of art and cultural
objects, theft of intellectual property, illicit arms trafficking,
aircraft hijacking, sea piracy, insurance fraud, computer
crime, environmental crime, trafficking in persons, trade in
human body parts, illicit drug trafficking, fraudulent
bankruptcy, infiltration of legal business, corruption and
bribery of public or party officials..”23
.
PBB telah mensahkan UN Convention Against Transnational Organized
Crime (UNCATOC) atau yang dikenal dengan sebutan Palermo Convention pada
plenary meeting ke-62 tanggal 15 November 2000. Konvensi ini memiliki empat
protokol yaitu:
1. United Nations Convention against Transnational Organized Crime.
2. Protocol against the Smuggling of Migrants by Land Air and Sea,
supplementing the United Nations Convention against Transnational
Organized Crime.
3. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children, supplementing the United Nations Convention against
Transnational Organized Crime.
4. Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms,
Their Parts and Components and Ammunition, supplementing United Nations
Convention against Transnational Organized Crime24
.
23 Allan Castle, 1997, Transnational Organized Crime and International Security, Institute of
International Relations. The University of British Columbia 24
20
Substansi dan struktur UNCATOC ini meliputi beberapa hal, diantaranya,
definisi dan terminologi standar, persyaratan agar setiap negara memiliki specific
crime, langkah-langkah khusus untuk memonitor korupsi, money laundering, dsb,
perampasan hasil kejahatan (proceeds of crime), kerjasama internasional (yang
mencakup antara lain ekstradisi, mutual legal assistance, penyelidikan/penyidikan dan
bentuk lainnya), pelatihan dan penelitian langkah pencegahan, penandatanganan,
ratifikasi, dsb.
Dalam konvensi ini telah ditetapkan bahwa yang karakteristik
“Transnational” adalah dilakukan di lebih dari satu negara, persiapan, perencanaan,
pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain, melibatkan organized criminal
group dimana kejahatan dilakukan di lebih satu negara, Berdampak serius pada
negara lain. Disamping itu, Organized criminal group juga telah ditetapkan dalam
beberapa karakteristik yaitu, memiliki sturktur grup, terdiri dari 3 orang atau lebih,
dibentuk untuk jangka waktu tertentu, tujuan dari kejahatan adalah melakukan
kejahatan serius atau kejahatan yang diatur dalam konvensi, bertujuan mendapatkan
uang atau keuntungan materil lainnya25
. Kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku
dapat di golongkan kedalam kejahatan serius, dengan dua ketetapan, yaitu ditentukan
oleh negara yang bersangkutan sebagai kejahatan (serius), dan diancam pidana
penjara minimal 4 tahun26
.
25Dapat dilihat dalam United Nation Conventio Against Transnational Organized Crime, article 2. 26 Ibid.
21
Konsep ini penulis gunakan untuk menjelaskan bahwa perdagangan manusia,
khususnya perempuan dan anak, tergolong kejahatan transnasional yang terorganisir.
Hal ini terbukti dengan banyaknya negara yang terlibat, baik sebagai negara asal,
negara tujuan, maupun negara transit. Selain itu telah terbukti bahwa kejahatan ini
juga melibatkan kelompok kriminal yang terorganisir rapi dimana mereka membuat
jaringan diberbagai negara sehingga berdampak serius pada negara lain. Tujuan para
criminal ini adalah mencari keuntungan dari perempuan dan anak yang mereka
perdagangkan.
Melihat realita bahwa perdagangan perempuan dan anak yang saat ini telah
berkembang menjadi kejahatan lintas negara, maka dibutuhkan peranan yang
signifikan dari organisasi internasional, terutama organisasi internasional yang
berbasis masyarakat. Dalam hal ini INGO sangat dibutuhkan perannya karena INGO
pada dasarnya membangun jaringan antar dua negara sampai pada level masyarakat.
Hal ini penting untuk mencapai penanggulangan yang komprehensif.
1.6 METODELOGI
1.6.1 Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah model kajian
kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode deskriptif. Data
diperoleh dari buku-buku, literatur yang berkaitan dengan permasalahn, dokumen-
dokumen dan jurnal-jurnal,serta dilengkapi dengan informasi yang didapatkan dari
media cetak dan elektronik.
22
1.6.2 Teknik pengumpulan data
Peneliti menggunakan penelitian studi pustaka, yaitu mengumpulkan data
yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan judul yang
dibahas oleh peneliti, kemudian data akan dianalisa berdasarkan pokok bahasan
penelitian.
1.6.3 Teknik analisa data
Data yang dikumpulkan disusun secara sistematis dan digunakan sebagai
bahan analisa atas permasalahan yang dibahas. Analisa data ditempuh setelah data
yang diperlukan ditemukan dalam penelitian untuk dipaparkan, kemudian
dianalisa.
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.4.1 Batasan materi
Batasan materi dalam penelitian ini adalah membahas peranan yang
dilakukan ICMC dalam upaya memerangi perdagangan perempuan
dan anak lintas negara dari Indonesia.
1.6.4.2 Batasan waktu
Peneliti membatasi penelitian, dengan menggunakan periode laporan
tahun 2002-2012. Pertimbangannya adalah tahun 2002 telah disahkan
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak (RAN) Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002, sebagai
pertanda mulai masuknya ICMC kedalam gugus tugas RAN-P3A.
Selain itu, dalam skala Internasional juga tercatat tahun 2012
23
Indonesia masuk ke dalam katagori negara Tier-2, yang menjadi
pertanda perkembangan upaya pemerintah dalam penanggulangan
perdagangan perempuan dan anak di mata dunia internasional.
1.7 ARGUMEN DASAR
Berdasarkan latar belakang dan konsep yang telah dipaparkan diatas,
argumentasi dasar penulis dalam penelitian ini adalah, ICMC berperan sebagai
Global Civil Society dalam memerangi perdagangan perempuan dan anak lintas
negara di Indonesia. Program kerja dan bantuan ICMC melibatkan civil society lokal
terkait serta tetap meminta dukungan dari pemerintah untuk perancangan dan
pengkajian legislasi. Selain itu, dalam skala Internasional ICMC sebagai INGO
membantu pemerintah Indonesia dalam usaha untuk membangun jaringan dan
koordinasi dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Namun disisi lain, peran
ICMC ini juga akan menghadapi beberapa kendala yang dapat menjadi tantangan
bagi ICMC dalam membantu upaya pemerintah untuk menanggulangi perdagangan
perempuan dan anak di Indonesia, khususnya yang bersifat transnasional.
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN
Hasil penelitian akan disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB 1
Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
24
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Manfaat Akademis
1.3.2.2 Manfaat Praktis
1.4 Penelitian Terdahulu
1.5 Landasan Konsep dan Teori
1.5.1 Role Theory
1.5.2 Organisasi Internasional
1.5.3 Global civil Society
1.5.4 Transnational Organized Crime
1.6 Metodelogi
1.6.1 Metode Penelitian
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
1.6.3 Teknik Analisa Data
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.4.1 Batasan materi
1.6.4.2 Batasan waktu
1.7 Argumentasi Dasar
1.8 Sistematika Penulisan
BAB II
Perdagangan Perempuan
dan Anak sebagai Isu
Global
2.1 Isu Perdagangan Perempuan dan Anak
2.2 Perkembangan fenomena perdagangan perempuan dan anak di
Indonesia
2.3 Peran civil society lokal dalam menanggulangi perdagangan
perempuan dan anak di Indonesia
BAB III
Peranan ICMC dalam
memerangi Perdagangan
perempuan dan anak
Lintas Negara dari
Indonesia
3.1 Peranan ICMC dalam menanggulangi perdagangan perempuan
dan anak di Indonesia
3.2 Strategi ICMC dalam menanggulangi perdagangan perempuan
dan anak di Indonesia
BAB IV
Penutup 4.1 Kesimpulan
top related