bab 6 pembahasan
Post on 04-Aug-2015
37 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 6
PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan diuraikan pembahasan setiap hasil pengujian
hipotesis penelitian.
6.1. Deskripsi Variabel Penelitian
Berdasarkan statistik deskriptif variabel core service quality, aitem yang
memiliki skor dibawah mean total adalah perhatian perawat, alat medis baru,
fungsi alat medis, dan kelengkapan alat medis, artinya sebagian besar pasien
rawat inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam
penelitian ini menilai bahwa perhatian perawat kepada pasien, serta peralatan
rumah sakit masih perlu ditingkatkan, baik peremajaan peralatan, keandalan
fungsional serta kelengkapannya. Berdasarkan hasil observasi peneliti di
lapangan terkait aitem core service quality yang memiliki penilaian di bawah
rata-rata, core service quality, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor
analysis (CFA) pada konstrak core service quality, diketahui indikator yang
memiliki factor loading paling besar adalah perawat (X1.2), artinya keramahan
perawat, perhatian perawat, keterampinan perawat dan sopan santun perawat
terhadap pasien merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk
kualitas layanan inti dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan dokter dan
peralatan medis.
Berdasarkan statistik deskriptif variabel peripheral service quality, aitem
yang memiliki skor dibawah mean total adalah kebersihan kamar rawat inap,
kenyamanan kamar rawat inap, variasi menu makanan, serta kesesuaian porsi
218
219
makanan bagi pasien. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat
inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian
ini menilai bahwa kebersihan dan kenyamanan kamar rawat inap, variasi dan
porsi menu makanan bagi pasien rawat inap di rumah sakit swasta di Surabaya
perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terkait aitem
peripheral service quality yang memiliki penilaian di bawah rata-rata,
peripheral service quality , Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis
(CFA) pada konstrak peripheral service quality, diketahui indikator yang
memiliki factor loading paling besar adalah kamar pasien (X2.1), artinya kamar
pasien dalam hal kebersihan, kenyamanan, rapi dan sirkulasi udara yang baik
merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk peripheral service
quality dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan menu makan.
Berdasarkan statistik deskriptif variabel appraisal emotion, aitem yang
memiliki skor dibawah mean total adalah perasaan dalam menerima layanan
dokter, layanan perawat, menempati kamar rawat inap, serta penyajian menu
makanan. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah
sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai
bahwa emosi pasien dalam hal layanan dokter, layanan perawat, menempati
kamar rawat inap, dan penyajian menu makanan bagi pasien rawat inap di rumah
sakit swasta di Surabaya perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti
di lapangan terkait aitem appraisal emotion yang memiliki penilaian di bawah
rata-rata, appraisal emotion, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis
(CFA) pada konstrak appraisal emotion, diketahui indikator yang memiliki
220
factor loading paling besar adalah takut atau fear (Y1.2), artinya perasaan takut
pasien dalam menerima layanan dokter, perawat, dan peralatan medis
merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk appraisal emotion
dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan perasaan bahagia atau happy dan
marah atau angry.
Berdasarkan statistik deskriptif variabel perceived value, aitem yang
memiliki skor dibawah mean total adalah kesesuaian biaya dengan kecepatan
layanan, kesesuaian biaya dengan fasilitas kamar, dan kesesuaian biaya dengan
image. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah sakit
swasta di Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai bahwa
kecepatan layanan, fasilitas kamar, dan image pasien masih perlu disesuaikan
lagi dengan biaya yang dikeluarkan pasien. Berdasarkan hasil observasi peneliti
di lapangan terkait aitem perceived value yang memiliki penilaian di bawah rata-
rata, perceived value, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis (CFA)
pada konstrak perceived value, diketahui indikator yang memiliki factor loading
paling besar adalah nilai harga (Y2.2), artinya nilai harga merupakan indikator
yang paling besar dalam membentuk perceived value dari suatu rumah sakit
swasta, dibandingkan nilai emosional dan nilai sosial.
Berdasarkan statistik deskriptif variabel customer satisfaction, aitem
yang memiliki skor dibawah mean total adalah kesesuaian layanan perawat
dengan harapan pasien, kepuasan terhadap layanan rawat inap, kepuasan
terhadap layanan perawat, dan kepuasan terhadap layanan dokter. Hal ini
menjelaskan bahwa sebagian besar pasien rawat inap rumah sakit swasta di
221
Surabaya yang menjadi responden dalam penelitian ini menilai bahwa kepuasan
pasien terhadap layanan perawat, dokter, dan layanan rawat inap masih perlu
ditingkatkan. Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terkait aitem
customer satisfaction yang memiliki penilaian di bawah rata-rata, customer
satisfaction, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis (CFA) pada
konstrak customer satisfaction, diketahui indikator yang memiliki factor loading
paling besar adalah harapan/ expectation (Y3.2), artinya kesesuaian pelayanan
dokter, perawat, fasilitas kamar inap dan makanan dengan harapan pasien
merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk customer satisfaction
dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan pengalaman dan kepuasan secara
keseluruhan.
Berdasarkan statistik deskriptif variabel Switching Cost, aitem yang
memiliki skor dibawah mean total adalah “banyak waktu yang saya korbankan
untuk mendapatkan pengetahuan tentang layanan rumah sakit lain jika saya
pindah rumah sakit”. Berdasarkan hasil observasi peneliti di lapangan terkait
aitem switching cost yang memiliki penilaian di bawah rata-rata, switching cost,
Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor analysis (CFA) pada konstrak
switching cost, diketahui indikator yang memiliki factor loading paling besar
adalah prosedural switching cost (Y4.1), artinya prosedural switching cost
merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk switching cost dari
suatu rumah sakit swasta, dibandingkan contractual switching cost dan
relational switching cost.
222
Berdasarkan statistik deskriptif variabel customer loyalty, aitem yang
memiliki skor dibawah mean total adalah “saya akan memberikan rekomendasi
kepada saudara untuk menggunakan rawat inap rumah sakit ini” dan “jika saya
membutuhkan rawat inap akan tetap menggunakan rumah sakit, meskipun tarif
perawatan di rumah sakit lain lebih murah”. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian
besar pasien rawat inap rumah sakit swasta di Surabaya yang menjadi responden
dalam penelitian ini menilai bahwa loyalitas pasien perlu ditingkatkan dalam hal
rekomendasi kepada saudara serta keinginan untuk tetap menggunakan layanan
rumah sakit walaupun terdapat kenaikan tarif. Berdasarkan hasil observasi
peneliti di lapangan terkait aitem customer loyalty yang memiliki penilaian di
bawah rata-rata customer loyalty, Berdasarkan nilai hasil confirmatory factor
analysis (CFA) pada konstrak customer loyalty, diketahui indikator yang
memiliki factor loading paling besar adalah melanjutkan penggunaan (continued
of use) (Y5.1), artinya keinginan pasien untuk melanjutkan penggunaan
(continued of use) merupakan indikator yang paling besar dalam membentuk
customer loyalty dari suatu rumah sakit swasta, dibandingkan keinginan untuk
merekomendasikan kepada orang lain (recommendatins to others) dan ketahanan
untuk tidak berpindah ke rumah sakit lain (resilience to not go to other
products).
6.3. Pembahasan Hasil Pengujian Hipotesis
6.3.1. Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Appraisal Emotion (Y1)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke satu ( Tabel 5.23 di
halaman 210), besarnya koefisien variabel Core Service Quality (X1 ) yang
223
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel
Appraisal Emotion (Y1) = 0,366 dengan P < 0,05. Hipotesis ke satu yang
menyatakan Core Service Quality berpengaruh signifikan terhadap
Appraisal Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti
benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara
teoritis hubungan pengaruh dari Core Service Quality terhadap Appraisal
Emotion adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien
terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe
B di Surabaya semakin baik (positif), maka Appraisal Emotion pasien
rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat.
Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun
(negatif), maka Appraisal Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya akan semakin rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) hasil penelitiannya
mengindikasikan adanya hubungan Core service Quality terhadap
Appraisal Emotion, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat,
alat medis, semakin tinggi core service Quality semakin positif Appraisal
Emotion pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan
(Liljander and Strandvik, 1997). Hasil evaluasi tersebut akan menghasilkan
perasaan emosi positif seperti bahagia, senang atau perasaan emosi negatif
seperti marah, jengkel, kecewa terhadap pelayanan yang ditawarkan oleh
224
penyedia service tersebut. Semakin baik kualitas inti pelayanan yang berupa
dokter, perawat di tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena
kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan emosi pasien menjadi positif. Maka
ada hubungan Core Service Quality terhadap Appraisal Emotion positif.
Penelitian tersebut mengandung makna bahwa Core Service Quality yang diukur
dengan menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang
memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Appraisal
Emotion.
Pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai merupakan
hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit.
Hal ini akan menjadikan penilaian emosi pasien menjadi positif, sehingga dapat
digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke
dua variabel tersebut.
Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan
mendorong terwujudnya penilaian emosi pasien positif, sehingga sesuai dengan
harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki
lengkap, berfungsi dengan baik, moderen merupakan penunjang dari pada
kualitas inti layanan, sehingga terjadi penilaian emosi positif pada layanan
rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi core service
quality semakin tinggi appraisal emotion positif pasien rumah sakit swasta di
Surabaya.
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010) dan (Liljander
225
and Strandvik, 1997). Hipotesis ke satu (H1) menyatakan bahwa core service
quality berpengaruh signifikan terhadap appraisal emotion.
6.3.2. Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Appraisal Emotion (Y1)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesisi ke dua ( Tabel 5.23 di
halaman 210), besarnya koefisien variabel Peripheral Service Quality (X2)
yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap
variabel Appraisal Emotion (Y1) = 0,579 dengan P < 0,05. Hipotesis ke
dua yang menyatakan Peripheral Service Quality berpengaruh signifikan
terhadap Appraisal Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya,
terbukti benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti
secara teoritis hubungan pengaruh dari Peripheral Service Quality terhadap
Appraisal Emotion adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi
pasien terhadap Peripheral Service Quality yang diterapkan oleh rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik (positif), maka Appraisal
Emotion pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin
meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Peripheral Service
Quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
semakin menurun (negatif), maka Appraisal Emotion pasien rumah sakit
swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) hasil penelitiannya
mengindikasikan adanya hubungan Peripheral Service Quality terhadap
Appraisal Emotion, dengan menggunakan pengukuran menu makan dan
226
kamar pasien , semakin tinggi Peripheral Service Quality semakin positif
Appraisal Emotion pasien terhadap rumah sakit. Sebagai temuan dari hasil
studi ini adalah mendukung penelitian-penelitian yang dikemukakan
Margee Hume (2010) hasil penelitiannya mengindikasikan adanya
hubungan Peripheral Service Quality terhadap Appraisal Emotion, dengan
menggunakan pengukuran menu makan dan kamar pasien semakin tinggi
Peripheral Service Quality semakin positif Appraisal Emotion pasien
terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan (Liljander and
Strandvik, 1997). Hasil evaluasi tersebut akan menghasilkan perasaan emosi
positif seperti bahagia, senang atau perasaan emosi negatif seperti marah,
jengkel, kecewa terhadap pelayanan yang ditawarkan oleh penyedia service
tersebut. Semakin baik Peripheral Service Quality yang berupa menu makan
dan kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien
terpenuhi dan menjadikan emosi pasien menjadi positif. Maka ada hubungan
Peripheral Service Quality terhadap Appraisal Emotion positif. Penelitian
tersebut mengandung makna bahwa Peripheral Service Quality yang diukur
dengan menggunakan menu makan dan kamar pasien yang memadai adalah
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Appraisal Emotion.
Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan
kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting
untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan
menjadikan penilaian emosi pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan
227
sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel
tersebut.
Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi
dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya penilaian emosi pasien
positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya.,
sehingga terjadi penilaian emosi positif pada layanan rumah sakit swasta di
Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi Peripheral Service Quality
semakin tinggi appraisal emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya.
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Jony
Oktavian Haryanto and Olivia (2009) dan (Liljander and Strandvik, 1997).
Hipotesis ke dua (H2) menyatakan bahwa Peripheral Service Quality
berpengaruh signifikan terhadap appraisal emotion.
Pengaruh peripheral service quality terhadap appraisal emotion
menjelaskan tentang sebuah pemahaman yang nyata bagaimana pasien
merasakan masing-masing elemen dari desain pelayanan yang menawarkan
layanan penunjang untuk efisiensi pendanaan dan alokasi sumber daya. Secara
efektif pengalokasian sumber daya akan menambah keuntungan Rumah Sakit
dengan meningkatkan kualitas layanan. Penilaian emosi dan kualitas layanan
penunjang membutuhkan strategi meningkatkan Kualitas Layanan Penunjang
yang difokuskan menu makan dan kamar pasien yang memerlukan perhatian.
228
6.3.3 Pengaruh Appraisal Emotion (Y1) terhadap Perceived Value (Y2)
Hasil pengujian hipotesisi ke tiga ( Tabel 5.23 di halaman 210),
besarnya koefisien variabel Appraisal Emotion (Y1) yang diterapkan
oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel Perceived
Value (Y2) = 0,202 dengan P < 0,05. Hipotesis ke tiga yang menyatakan
Appraisal Emotion berpengaruh signifikan terhadap Perceived Value
pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau
diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis
pengaruh dari Appraisal Emotion terhadap Perceived Value adalah
searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap Appraisal
Emotion yang diterapkan positif, maka nilai rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya semakin baik (positif), maka Perceived Value pasien rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila
persepsi pasien terhadap Appraisal Emotion yang diterapkan negatif
maka pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun
(negatif), maka Perceived Value pasien rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya akan semakin rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Javalgi dan Moberg (2007) menjelaskan bahwa
perusahaan tidak seharusnya menunggu komplain dari pelanggan tentang
kualitas pelayanannya namun perusahaan harus secara terus menerus mengawasi
kepuasan pelanggan dengan cara mendengarkan evaluasi dari pelanggan.
Schoefer dan Ennew (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pasien yang
229
mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan mendapat keadilan dari
perusahaan maka akan menunjukkan respon emosi yang positif sementara pasien
yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia ajukan tidak mendapat keadilan
maka akan menunjukkan penilaian emosi yang negatif.
Penilaian emosi merupakan hasil konsekuensi emosi dari penampilan
seperti perasaan bahagia dan kesenangan, bahwa penampilan telah memenuhi
hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et al. 1999). Penilaian emosi
memiliki hubungan yang kuat terhadap kepuasan dan nilai yang dirasakan
(Arora, singer, 2006 ; Bagozzi 1997 ; White dan Yu, 2005).
Penilaian emosi yang dihasilkan dari kualitas layanan dapat menjadi puas
dan bahagia (Caroll dan Ahuvia, 2006 ; Bagozzi et al. 1999 ; Oliver et al. 1997).
Apabila tidak puas dapat menjadi marah atau melankoli (Caroll dan Ahuvia,
2006 ; Bagozzi et al.1999 ; Oliver et al.1997).
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Javalgi dan Moberg (2007), Schoefer
dan Ennew (2003), (Arora, singer, 2006 ; Bagozzi 1997 ; White dan Yu, 2005).
Hipotesis ke tiga (H3) menyatakan bahwa Appraisal Emotion berpengaruh
signifikan terhadap Perceived Value.
6.3.4 Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Perceived Value (Y2)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesisi ke empat ( Tabel 5.23 di
halaman 210), besarnya koefisien variabel Core Service Quality (X1 ) yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel
Perceived Value (Y2) = 0,214 dengan P < 0,05. Hipotesis ke empat yang
230
menyatakan Core Service Quality berpengaruh signifikan terhadap
Perceived Value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti
benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara
teoritis hubungan pengaruh dari Core Service Quality terhadap Perceived
Value adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien
terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe
B di Surabaya semakin baik (positif), maka Perceived Value pasien rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila
persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka Perceived
Value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort (2003) meneliti
pentingnya core service quality terhadap perceived value, dalam studinya di
katakan, bahwa meneliti peranan pelayanan inti dan nilai yang dirasakan pasien
sangat penting karena sebagai dasar untuk memuaskan konsumen. Artinya
terdapat hubungan antara core service quality terhadap perceived value, dengan
menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis semakin tinggi core
service Quality semakin baik Perceived Value pasien atas dasar pelayanan
dari rumah sakit.
Nilai yang dirasakan adalah persepsi pasien terhadap nilai atas kualitas
yang ditawarkan relatif lebih tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat
loyalitas konsumen, semakin tinggi persepsi nilai yang dirasakan oleh
231
konsumen, maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan (transaksi).
Hubungan yang diinginkan adalah hubungan yang bersifat jangka panjang,
sebab usaha dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan diyakini akan jauh
lebih besar apabila harus menarik pelanggan baru atau pelanggan yang sudah
meninggalkan perusahaan dar ipada mempertahankannya.
Hume (2008) hasil penelitiannya tersebut menunjukkan adanya
keinginan membeli kembali berdasarkan layanan inti maupun layanan penunjang
yang dimediasi oleh nilai yang dirasakan dan kepuasan pelanggan. Sedangkan
variabel yang digunakan, perilaku konsumen, kepuasan konsumen, kualitas
layanan, dan seni pertunjukkan. Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa core
service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value,
konsisten dengan Skogland dan Siguaw (2004) dalam penelitiannya yang
menjelaskan bahwa kualitas layanan sebuah prediktor dari keinginan membeli
kembali, memiliki peranan pada kualitas layanan inti, dimana layanan dalam
kontek penelitian ini telah diklarifikasi dan tidak memiliki pengaruh langsung
terhadap keinginan membeli kembali, hanya sebuah pengaruh tidak langsung
melalui penilaian emosi, nilai yang dirasakan dan kepuasan.
Caruana et al. (2000) dalam penelitiannya juga menyatakan sebuah
hubungan langsung dari nilai yang dirasakan dengan kepuasan pelanggan,
dengan nilai yang dirasakan sebagai perantara dari kualitas layanan inti dan
kualitas layanan penunjang dan kepuasan pelanggan. Sama halnya dengan
Pattersson et al. (1997), penelitian ini mendukung nilai yang dirasakan sebagai
diperantarai keseluruhan melalui kepuasan pelanggan terhadap keinginan
232
membeli kembali. Hubungan langsung dari kualitas layanan inti, kualitas
layanan penunjang dan untuk nilai yang dirasakan.
Semakin baik kualitas inti pelayanan yang berupa dokter, perawat di
tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien
terpenuhi dan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif dan
terpuaskan. Maka ada hubungan Core Service Quality terhadap perceived value
positif. Penelitian tersebut mengandung makna bahwa Core Service Quality
yang diukur dengan menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis
yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perceived
value .
Pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai merupakan
hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit.
Hal ini akan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif, sehingga
dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara
ke dua variabel tersebut.
Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan
mendorong terwujudnya nilai yang dirasakan pasien positif, sehingga sesuai
dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki
lengkap, berfungsi dengan baik, moderen merupakan penunjang dari pada
kualitas inti layanan, sehingga terjadi nilai yang dirasakan pasien positif pada
layanan rumah sakit swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi
core service quality semakin tinggi perceived value positif pasien rumah sakit
swasta di Surabaya.
233
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Gillian Sullivan Mort (2003) , Hume
(2008), Skogland dan Siguaw (2004) dan Pattersson et al. (1997). Hipotesis ke
empat (H4) menyatakan bahwa core service quality berpengaruh signifikan
terhadap perceived value.
6.3.5 Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Perceived Value(Y2)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke lima ( Tabel 5.23
dihalaman 210), besarnya koefisien variabel Peripheral Service Quality
(X2) yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
terhadap variabel perceived value (Y2) = 0,345 dengan P < 0,05.
Hipotesis ke lima yang menyatakan Peripheral Service Quality
berpengaruh signifikan terhadap Perceived value pasien rumah sakit
swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima. Koefesien jalur
yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh dari
Peripheral Service Quality terhadap Perceived value adalah searah. Hal ini
memberi makna, bila persepsi pasien terhadap Peripheral Service Quality
yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik
(positif), maka Perceived value pasien rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien
terhadap Peripheral Service Quality yang diterapkan oleh rumah sakit
swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka Perceived
value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin jelek.
234
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort and Hume winzar
(2003) , Hume (2008), meneliti pentingnya core service quality terhadap
perceived value, dalam studinya di katakan, bahwa meneliti peranan pelayanan
inti dan nilai yang dirasakan pasien sangat penting karena sebagai dasar untuk
memuaskan konsumen. Artinya terdapat hubungan antara core service quality
terhadap perceived value, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat,
alat medis, semakin tinggi core service Quality semakin tinggi Perceived
Value pasien atas dasar pelayanan dari rumah sakit.
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality
berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten dengan
Anderson and Narus (1995) yang menyatakan bahwa kualitas layanan penunjang
(peripheral service quality) mempunyai hubungan dengan nilai yang dirasakan
(perceived value). Peripheral service quality diajukan untuk membedakan satu
layanan dengan layanan lain yang bersaing dengan membuat nilai yang
dirasakan (perceived value) tinggi.
Semakin baik Peripheral Service Quality yang berupa menu makan dan
kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien
terpenuhi dan menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif. Maka ada
hubungan Peripheral Service Quality terhadap Perceived Value positif.
Penelitian tersebut mengandung makna bahwa Peripheral Service Quality yang
diukur dengan menggunakan menu makan dan kamar pasien yang memadai
adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Perceived Value .
235
Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan
kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting
untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan
menjadikan nilai yang dirasakan pasien menjadi positif, sehingga dapat
digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke
dua variabel tersebut.
Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi
dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya nilai yang dirasakan
pasien positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di
surabaya., sehingga terjadi nilai yang dirasakan positif pada layanan rumah sakit
swasta di Surabaya semakin meningkat. Semakin tinggi Peripheral Service
Quality semakin tinggi nilai yang dirasakan pasien rumah sakit swasta di
Surabaya.
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Gillian Sullivan Mort and Hume
winzar (2003) , Hume (2008), Anderson and Narus (1995). Hipotesis ke lima
(H5) menyatakan bahwa Peripheral Service Quality berpengaruh signifikan
terhadap Perceived Value .
6.3.6 Pengaruh Perceived Value (Y2) terhadap patient Satisfaction (Y3)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesisi ke enam ( Tabel 5.23 di
halaman 210), besarnya koefisien variabel Perceived Value (Y2) yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel
patient Satisfaction (Y3 )= 0,316 dengan P < 0,05. Hipotesis ke enam yang
236
menyatakan Perceived Value berpengaruh signifikan terhadap Customer
Satisfaction pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar
atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis
hubungan pengaruh dari Perceived Value terhadap patient Satisfaction
adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap
Perceived Value yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya semakin baik (positif), maka patient Satisfaction pasien rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila
persepsi pasien terhadap Perceived Value yang diterapkan oleh rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka patient
Satisfaction pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin
rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Philip K Hellier (2008) hasil penelitiannya
mengindikasikan adanya hubungan Perceived Value terhadap patient
Satisfaction, dengan menggunakan pengukuran nilai emosional, nilai harga,
nilai sosial semakin tinggi Perceived Value semakin tinggi patient
Satisfaction. Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa perceived value
berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten
dengan Lovelock, Patterson dan Walker dalam Tjiptono (2000) yang
menyatakan bahwa kesuksesan perusahaan dipengaruhi oleh determinan, di
antaranya kepercayaan, kepuasan terhadap produk dan jasa sebelumnya, dan
persepsi terhadap nilai. Lai Lai, (2004) dalam penelitiannya membuktikan
237
adanya hubungan positif pelanggan (Cronin et al. 2000). Palilati, (2007) dalam
penelitian yang berjudul Pengaruh Nilai Pelanggan, Kepuasan Terhadap
Loyalitas Pasien Rumah sakit di Sulawesi Selatan menemukan adanya hubungan
yang signifikan dan positif antara nilai atribut dengan tingkat kepuasan pasien
Rumah Sakit Swasta di Sulawesi Selatan, semakin tinggi persepsi nilai dari
atribut yang diterima oleh pasien meningkat, maka kepuasan terhadap pasien
Rumah Sakit juga akan meningkat. Maka ada hubungan Perceived Value
terhadap patient Satisfaction positif. Penelitian tersebut mengandung makna
bahwa Perceived Value yang diukur dengan menggunakan nilai emosional,
nilai harga, nilai sosial yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap terhadap patient Satisfaction.
Pelayanan dokter, perawat yang ramah, peralatan medis yang memadai,
kamar pasien yang nyaman , menu makan yang bervariasi pelayanan yang
diberikan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan merupakan hal yang sangat
penting, karena untuk meningkatkan kepuasan pasien di rumah sakit. Hal ini
akan menjadikan nilai layanan yang di rasakan pasien menjadi meningkat,
sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji dan menganalisis
pengaruh antara ke dua variabel tersebut.
Pelayanan dokter, perawat yang ramah, peralatan medis yang memadai,
kamar pasien yang nyaman , menu makan yang bervariasi pelayanan yang
diberikan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan merupakan hal yang sangat
penting, mendorong terwujudnya kepuasan pasien positif, sehingga sesuai
dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya. semakin tinggi nilai yang
238
dirasakan pasien atas layanan yang diberikan semakin tinggi kepuasan pasien
pasien rumah sakit swasta di Surabaya.
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Philip K Hellier (2008), (Cronin et
al. 2000), Palilati (2007) , Lai Lai (2004), Lovelock, Patterson and Walker
dalam Tjiptono (2000) Hipotesis ke enam (H6) menyatakan bahwa Perceived
Value berpengaruh signifikan terhadap patient Satisfaction .
6.3.7 Pengaruh Appraisal Emotion (Y1) terhadap Patient Satisfaction (Y3)
Hasil pengujian hipotesis ke tujuh ( Tabel 5.23 di halaman 210),
besarnya koefisien variabel Appraisal Emotion (Y1) yang diterapkan
oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel Patient
Satisfaction (Y3) = 0,203 dengan P < 0,05. Hipotesis ke tujuh yang
menyatakan Appraisal Emotion berpengaruh signifikan terhadap
Patient Satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti
benar atau diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti
secara teoritis pengaruh dari Appraisal Emotion terhadap Patient
Satisfaction adalah searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien
terhadap Appraisal Emotion yang diterapkan positif, maka nilai rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik (positif), maka Patient
Satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin
meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Appraisal Emotion
yang diterapkan negatif maka pasien rumah sakit swasta tipe B di
239
Surabaya semakin menurun (negatif), maka patient Satisfaction rumah
sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) hasil penelitiannya
mengindikasikan adanya hubungan Appraisal Emotion terhadap
patient Satisfaction, dengan menggunakan pengukuran bahagia, takut,
marah, semakin tinggi Appraisal Emotion positif, semakin tinggi patient
Satisfaction .
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh
positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan Strandvik
dan Liljander(1997) yang menyatakan bahwa emosi dapat berfungsi sebagai
mediator atau faktor independen yang mempengaruhi kepuasan. Emosi sebagai
mediator ini dikemukakan oleh Oliver (1993) dan Oliver dan Westbrook (1993)
yang menyatakan emosi sebagai mediator antara evaluasi kognitif dengan
kepuasan sementara emosi sebagai faktor independen. Price et al. (1995) dalam
Liljander dan Strandvik (1997) menemukan bahwa perhatian ekstra dari
penyedia jasa akan membantu menciptakan emosi yang positif, sementara
kegagalan dalam memenuhi standar minimum layanan akan menimbulkan emosi
yang negatif.
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Strandvik
dan Liljander(1997), Oliver (1993), Price et al. (1995) Hipotesis ke tujuh (H7)
240
menyatakan bahwa Perceived Value berpengaruh signifikan terhadap patient
Satisfaction .
6.3.8 Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Patient Satisfaction (Y3)
Hasil pengujian hipotesis ke delapan ( Tabel 5.23 di halaman 210),
besarnya koefisien variabel Core Service Quality (X1 ) yang diterapkan oleh
rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel patient Satisfaction (Y3)
= 0,225 dengan P < 0,05. Hipotesis ke kedelapan yang menyatakan Core
Service Quality berpengaruh signifikan terhadap patient Satisfaction pasien
rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima. Koefesien
jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh dari Core
Service Quality terhadap patient Satisfaction adalah searah. Hal ini memberi
makna, bila persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang diterapkan oleh
rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik (positif), maka patient
satisfaction pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin
meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap Core Service Quality yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun
(negatif), maka patient satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan
semakin rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Gillian Sullivan Mort and Hume winzar (2003)
meneliti Hubungan core service quality terhadap kepuasan pasien yang yang
menganalisis peranan pelayanan inti dan pelayanan penunjang untukmemberikan
kepuasan pasien di rumah sakit swasta di surabaya . hasil penelitiannya
241
mengindikasikan adanya hubungan Core service Quality terhadap patient
Satisfaction, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis,
semakin tinggi core service Quality semakin tinggi kepuasan pasien terhadap
rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Hallowell (2004)
meneliti hubungan antara kualitas layanan bagi konsumen terhadap kepuasan
pasien dan kepuasan kerja karyawan. Penelitian tersebut menghasilkan temuan
bahwa untuk mendapatkan kepuasan pasien yang tinggi, rumah sakit harus
mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola elemen-elemen internal yang
menghasilkannya.
Hubungan kualitas layanan dengan kepuasan pasien ada dua hal pokok
yang saling berkaitan erat yaitu harapan pasien terhadap kualitas layanan
(expected quality) dan persepsi pasien terhadap kualitas layanan (perceived
quality). Pasien selalu menilai suatu layanan yang diterima dibandingkan dengan
apa yang diharapkan atau diinginkan Parasuraman, et al. (1993). Untuk
mengidentifikasi perbedaan antara harapan dan kenyataan pasien merupakan
suatu cara untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien.
Kepuasan pasien terjadi apabila adanya kesesuaian antara harapan dan
kenyataan yang didapatkan pasien.Jika yang terjadi adalah ketidakpuasan maka
pasien akan mewujudkannya dalam bentuk keluhan. Pemahaman terhadap
keinginan pasien Rumah Sakit merupakan langkah awal dalam memberikan
pelayanan yang prima yang bermuara pada kepuasan pasien. Pihak manajemen
Rumah Sakit harus mampu menggunakan pengetahuanya untuk menghadapi
242
tantangan dalam menetapkan standar kualitas layanan Rumah Sakit. Kepuasan
pasien merupakan kunci dari sebuah proses pelayanan Rumah Sakit.
Parasuraman, et al. (1993). menyatakan kepuasan pasien membantu
pasien dalam memperbaiki atau merevisi persepsi terhadap kualitas layanan. Hal
ini didasarkan bahwa (1) jika pasien tidak memiliki pengalaman sebelumnya
dengan suatu Rumah Sakit maka persepsi terhadap kualitas layanannya
didasarkan pada harapan pasien; (2) interaksi dengan Rumah Sakit menyebabkan
pasien merubah persepsinya terhadap kualitas layanan; (3) setiap tambahan
interaksi dengan Rumah Sakit akan memperkuat atau memperlemah persepsi
terhadap kualitas layanan; (4) revisi persepsi terhadap kualitas layanan
mempengaruhi minat pembelian kembali di masa yang akan datang.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh
positif dan signifikan terhadap patient satisfaction. Hubungan kualitas layanan
inti dengan kepuasan pasien tidak lepas dari kreativitas layanan Rumah Sakit.
Untuk mewujudkan suatu layanan berkualitas yang bermuara pada kepuasan
pasien Rumah Sakit harus mampu mengidentifikasi siapa pasiennya sehingga
mampu memahami tingkat persepsi dan harapan pasien atas kualitas layanan.
Hal ini penting karena kepuasan pasien merupakan perbandingan antara persepsi
dan harapan pasien terhadap layanan rumah sakit yang dirasakan pasien.
Oliver (1981) memandang kualitas layanan sebagai tingkat kepuasan
yang ditimbulkan karena adanya suatu transaksi khusus antara Rumah Sakit dan
pasien yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor emosi
mendorong harapan dan menyesuaikan dengan pengalaman mengkonsumsi pada
243
waktu terdahulu. Hal ini berarti ada perbedaan apabila kualitas layanan
dipandang sebagai suatu sikap, sebab antara kepuasan dengan sikap adalah hal
yang berbeda. Sikap ditunjukkan pasien lebih bersifat relatif terhadap produk
atau layanan Rumah Sakit, sedangkan kepuasan merupakan reaksi emosional
terhadap pengalaman mengkonsumsi sebelumnya.
Jika dijelaskan secara rinci, Hipotesis ke delapan (H8) ini didukung
oleh beberapa penelitian - penelitian sebelumnya, yaitu : Gillian Sullivan Mort
and Hume winzar (2003), Hallowell (2004), Parasuraman, et al. (1993), Oliver
(1981). Hipotesis ke delapan (H8) menyatakan bahwa core service quality
terhadap patient Satisfaction.
6.3.9 Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Patient Satisfaction (Y3)
Hasil pengujian hipotesis ke sembilan ( Tabel 5.23 dihalaman 210),
besarnya koefisien variabel peripheral service quality (X2) yangditerapkan
oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel patient
satisfaction (Y3) = 0,254 dengan P < 0,05. Hipotesis ke sembilan yang
menyatakan peripheral service quality berpengaruh signifikan terhadap
patient satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau
diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan
pengaruh dari peripheral service quality terhadap patient satisfaction adalah
searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap peripheral service
quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin
baik (positif), maka patient satisfaction rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
244
akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap peripheral
service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
semakin menurun (negatif), maka patient satisfaction rumah sakit swasta tipe
B di Surabaya akan semakin menurun.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010), Gillian Sullivan Mort and
Hume winzar (2003) meneliti Hubungan peripheral service quality terhadap
kepuasan pasien yang yang menganalisis peranan pelayanan inti dan pelayanan
penunjang untuk memberikan kepuasan pasien di rumah sakit swasta di surabaya
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality
berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten
dengan Patterson, et al . (1997) yang menyatakan bahwa kualitas layanan inti
dan Kualitas Layanan Penunjang ditemukan memiliki hubungan tidak langsung
tehadap kepuasan pelanggan. Kualitas Layanan Penunjang juga memiliki
hubungan yang signifikan pada keinginan membeli kembali. Kualitas Layanan
Penunjang termasuk menu makan dan kamar pasien untuk membuat pasien
memutuskan untuk menggunakan kembali layanan Rumah Sakit.
Semakin baik peripheral service quality yang berupa menu makan dan
kamar pasien yang memadai, pasien akan nyaman karena kebutuhan pasien
terpenuhi dan menjadikan pasien puas. Maka ada hubungan peripheral service
quality terhadap patient satisfaction. Penelitian tersebut mengandung makna
bahwa peripheral service quality yang diukur dengan menggunakan menu
245
makan dan kamar pasien yang memadai adalah mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap patient satisfaction .
Kualitas layanan penunjang berupa menu makan yang bervariasi dan
kamar pasien yang nyaman dan memadai merupakan hal yang sangat penting
untuk meningkatkan kualitas layanan penunjang di rumah sakit. Hal ini akan
menjadikan kepuasan pasien menjadi positif, sehingga dapat digunakan sebagai
dasar untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.
Kualitas layanan penunjang yang berupa menu makan yang bervariasi
dan kamar pasien yang nyaman mendorong terwujudnya kepuasan pasien
positif, sehingga sesuai dengan harapan pasien rumah sakit swasta di surabaya.,
sehingga terjadi kepuasan pasien pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya
semakin meningkat. Semakin tinggi peripheral service quality semakin tinggi
kepuasan pasien rumah sakit swasta di Surabaya.
Hipotesis ke sembilan (H9) ini didukung oleh beberapa penelitian -
penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Gillian Sullivan Mort
and Hume winzar (2003), Patterson, et al . (1997) Hipotesis ke sembilan (H9)
menyatakan bahwa core service quality terhadap patient Satisfaction.
6.3.10 Pengaruh patient Satisfaction (Y3) terhadap Switching Cost (Y4)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke sepuluh ( Tabel 5.23
dihalaman 210), besarnya koefisien variabel patient satisfaction (Y3) yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel
switching cost (Y4) = 0,268 dengan P < 0,05. Hipotesis ke sepuluh yang
menyatakan patient satisfaction berpengaruh signifikan terhadap switching
246
cost rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima.
Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh
dari patient Satisfaction terhadap switching cost adalah searah. Hal ini
memberi makna, bila persepsi pasien terhadap patient satisfaction tinggi
(positif), maka switching cost rendah . Sebaliknya, bila persepsi pasien
tentang patient satisfaction rendah (negatif), maka switching cost tinggi.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Ari Wijayanti (2008), meneliti Hubungan patient
Satisfaction terhadap Switching Cost yang menganalisis kepuasan pasien
dan Switching Cost untuk memberikan layanan pasien dengan baik agar
terwujud adanya pasien yang puas dan menjadi loyal agar tidak terjadi
perpindahan ke rumah sakit lain.
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa patient satisfaction
berpengaruh positif dan signifikan terhadap switching cost, sesuai dengan teori
Post-purchase Cognitive Dissonance Theory (Aydin dan Ozer, 2005) yang
menyatakan bahwa pelanggan yang mengumpulkan informasi untuk mengurangi
kegelisahan mengenai kesalahan keputusan pembelian, akan menyusun kembali
pengalaman pembelian masa lalu. Dalam proses ini jika pelanggan berpindah,
perbandingan akan dibuat antara merek yang akan digunakan dan merk lama.
Untuk menurunkan cognitif dissonance, pelanggan cenderung lebih suka
menggunakan merek yang telah digunakan dan telah puas sebelumnya. Analisa
Opportunity Cost menyarankan bahwa kepuasan pelanggan memiliki pengaruh
positif pada biaya perpindahan. Semakin tinggi kepuasan konsumen semakin
247
memperbesar opportunity cost, karena pelanggan akan merasa enggan untuk
mencoba ke penyedia jasa lain.
Hipotesis ke sepuluh (H10) ini didukung oleh beberapa penelitian -
penelitian sebelumnya, yaitu : Ari Wijayanti (2008) dan (Aydin dan Ozer, 2005)
Hipotesis ke sepuluh (H10) menyatakan bahwa ada hubungan patient
Satisfaction terhadap Switching Cost .
6.3.11 Pengaruh Patient Satisfaction (Y3) terhadap Loyalty Pasien (Y5)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke sebelas ( Tabel 5.23
di halaman 210), besarnya koefisien variabel patient satisfaction (Y3) yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel
loyalty pasien (Y5) = 0,329 dengan P < 0,05. Hipotesis ke sebelas yang
menyatakan patient satisfaction berpengaruh signifikan terhadap loyalty
pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau
diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis
pengaruh dari patient satisfaction terhadap loyalty pasien adalah searah.
Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap patient satisfaction
yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin
baik (positif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap patient
satisfaction yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
semakin menurun (negatif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B
di Surabaya akan semakin rendah.
248
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Elisabeth kastenhols (2010) hasil
penelitiannya mengindikasikan adanya hubungan patient satisfaction
terhadap loyalty pasien, dengan menggunakan pengukuran pengalaman,
harapan, puas secara keseluruhan, semakin tinggi patient satisfaction
semakin tinggi loyalty pasien terhadap rumah sakit. Hasil penelitian ini
konsisten dengan Cronin dan Taylor (1992) yang menyatakan bahwa kepuasan
pasien berpengaruh signifikan terhadap keinginan membeli kembali dan kualitas
layanan mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pembelian kembali
dibandingkan dengan kepuasan pasien. Penelitian ini memberikan penjelasan
bahwa kepuasan pasien berpengaruh pada loyalitas pasien yang didefinisikan
sebagai keinginan untuk melakukan pembelian kembali.
Hasil penelitian Cronin dan Taylor (1992), Caruana (2002),
Fullerton dan Taylor (2002) memberikan gambaran kualitas layanan dipandang
sebagai ukuran atau penentu kepuasan pasien yang memiliki konsekuensi
terhadap loyalitas pasien.
.Stephen L. Sondoh, Maznah Wan Omar, Nabsiah AW, Ishak Ismail
dan Amran Harun (2007) Hasil penelitian yang dilakukan Stephen L. Sondoh
memberikan sumbangan pemikiran untuk penelitian ini berupa informasi bahwa
variabel citra perusahaan dan kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap
loyalitas pelanggan.
Yohanes (2007) dengan judul penelitian “Pengaruh Kepuasan Terhadap
Loyalitas Pelanggan”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keseluruhan
249
kepuasan pelanggan secara signifikan dipengaruhi faktor kepuasan pelayanan
rumah tangga atau faktor housekeeping, sedangkan layanan resepsionis serta
layanan makanan dan minuman (food and beverage) secara statistik tidak
signifikan. Dengan demikian tamu atau pelanggan hotel merasa bahwa kepuasan
atas layanan housekeeping menjadi lebih penting dibandingkan kepuasan
layanan kepuasan layanan resepsionis maupun food and beverage. Hal ini
kiranya tidak berbeda dengan temuan dalam penelitian yang dilakukan oleh
Kandampully dan Suhartanto (2000), bahwa kepuasan atas layanan rumah
tangga (housekeeping) merupakan faktor penting yang dipertimbangkan
pelanggan untuk memperoleh kembali, maupun merekomendasi kepada calon
konsumen potensial.
Hasil uji hipotesis bahwa keseluruhan kepuasan konsumen (customer
satisfaction) mempunyai pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen
(customer loyalty) menunjukkan nilai parameter yang memenuhi nilai kelayakan
yang disyaratkan sehingga hipotesis ini diterima. Hasil penelitian ini
memberikan dukungan terhadap penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh
Fornell (1992), Assael (1995), Selnes (1993), Anderson, Fornell dan Lehman
(1994), serta Kandampully dan Suhartanto (2000). Kepuasan konsumen akan
mempengaruhi perilaku membeli, dimana pelanggan yang puas cenderung
menjadi konsumen yang loyal. Selain itu kepuasan yang dirasakan oleh
konsumen dapat meningkatkan intensitas pembelian. Dengan kata lain
tercapainya tingkat kepuasan konsumen yang optimal akan mendorong
terciptanya loyalitas konsumen.
250
Hipotesis ke sebelas (H11) ini didukung oleh beberapa penelitian -
penelitian sebelumnya, yaitu : Elisabeth kastenhols (2010) dan Cronin dan
Taylor (1992) ), Caruana (2002), Fullerton dan Taylor (2002), .Stephen L.
Sondoh, Maznah ,Wan Omar, Nabsiah AW, Ishak Ismail dan Amran Harun
(2007) , Yohanes (2007) Hipotesis ke sebelas (H11) menyatakan bahwa ada
hubungan patient Satisfaction terhadap Loyalty pasien.
6.3.12 Pengaruh Appraisa Emotion (Y1) terhadap Loyalty Pasien (Y5)
Hasil pengujian hipotesis ke duabelas ( Tabel 5.23 di halaman 210),
besarnya koefisien variabel appraisal emotion (Y1) yang diterapkan oleh
rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel loyalty pasien
(Y5) = 0,295 dengan P < 0,05. Hipotesis ke duabelas yang menyatakan
appraisal emotion berpengaruh signifikan terhadap loyalty pasien
rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau diterima.
Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis pengaruh
dari appraisal emotion terhadap loyalty pasien adalah searah. Hal
ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap appraisal emotion yang
diterapkan positif, maka nilai rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
semakin baik (positif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien
terhadap appraisal emotion yang diterapkan negatif maka pasien
rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka
251
loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin
rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010) Hasil penelitian
mengindikasikan kecenderungan adanya pembelian kembali atau loyal
didasarkan pada kepuasan diperantarai oleh perceived value, kualitas layanan
inti, kualitas layanan penunjang, appraisal emotion secara langsung
mempengaruhi kepuasan pelanggan.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh
positif dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan (Arora and
Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), riset terkenal saat ini Arora
and Singer, 2006; Bagozzi, 1997; Gountas and Gountas, 2007; White dan Yu,
2005; Wood dan Moreau, 2006) pada tipologi-tipologi emosi dalam penelitian
loyalitas dalam konteks layanan Rumah Sakit adalah bersifat elementer.
Penelitian membuktikan emosi memengaruhi pemrosesan informasi, sebagai
perantara respon-respon hasil, membuat tujuan, dan memengaruhi kepuasan dan
loyalitas pelanggan (Bagozzi et al. 1999). Bagozzi et al.(1999) telah
mendefinisikan beberapa tipe emosi termasuk suasana hati dan perasaan, emosi-
emosi yang diarahkan ke tujuan dan penilaian emosi (Nyer, 1997; Taylor, 2000;
Bagozzi et al. 1999). Suasana hati adalah pernyataan keberadaan, mereka tidak
cenderung kurang mendalami emosi (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999).
Emosi yang diarahkan pada tujuan adalah spesifik emosi hasil-hasil yang
dihasratkan dari sebuah rangsangan spesifik semacam sebuah kesenangan dari
252
sebuah layanan (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999; Nyer, 1997) dengan
penilaian emosi yang didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi emosi-emosi
dari penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan bahwa penampilan
telah memenuhi hasrat dan harapan-harapan kami. Mereka adalah emosi yang
dibuat dari evaluasi penampilan (Arora dan Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999).
Hipotesis ke sebelas (H12) ini didukung oleh beberapa penelitian -
penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010) dan (Arora and Singer,
2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), (Bagozzi et al. 1999). Bagozzi et al.
(1999), Hipotesis ke duabelas (H12) menyatakan bahwa ada hubungan patient
satisfaction terhadap loyalty pasien.
6.3.13 Pengaruh Core Service Quality (X1) terhadap Loyalty Pasien (Y5)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke tigabelas ( Tabel 5.23
di halaman 210), besarnya koefisien variabel core service quality (X1 ) yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel
appraisal emotion (Y1) = 0,244 dengan P < 0,05. Hipotesis ke satu yang
menyatakan core service quality berpengaruh signifikan terhadap loyalty
pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau
diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis
hubungan pengaruh dari core service quality terhadap loyalty pasien adalah
searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap core
service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
semakin baik (positif), maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien
253
terhadap core service quality yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe
B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka loyalty pasien rumah sakit
swasta tipe B di Surabaya akan semakin rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Margee Hume (2010),Gillian Sullivan Mort,
Hume Winzar (2003), Margee Hume (2008) hasil penelitiannya
mengindikasikan adanya hubungan core service quality terhadap loyalty
pasien, dengan menggunakan pengukuran dokter, perawat, alat medis,
semakin tinggi core service quality semakin tinggi loyalty pasien terhadap
rumah sakit. Hasil penelitian ini konsisten bahwa core service quality
berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan
penelitian Said (2004) yang menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan
berpengaruh langsung terhadap loyalitas pasien. Parasuraman et al. (1996)
pelanggan yang tidak mengalami masalah layanan mempunyai tingkat intens
loyalitas yang tinggi dan intens respons eksternal akan beralih ke produk lain
yang lebih rendah. Di antara pelanggan yang mengalami masalah layanan,
terbukti secara signifikan bahwa pasien yang menerima penyelesaian yang
memuaskan memiliki loyalitas, intensi untuk membayar lebih tinggi, intensi
untuk beralih ke playanan Rumah Sakit lain dan respons eksternal yang lebih
rendah dibandingkan pasien yang tidak menerima penyelesaian masalah layanan.
Fullerton dan Taylor (2002) dalam penelitiaannya menyimpulkan bahwa kualitas
layanan memberikan pengaruh signifikan terhadap loyalitas pasien.
254
Sariyoni (2003) hasil penelitian yang dilakukan pada 10 Rumah Sakit di
wilayah Kabupaten Bandung diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Unsur -
unsur (tangibles, responsiveness, reliability, assurance dan empathy) kualitas
pelayanan dasar rumah sakit semuanya masih terletak dibawah daerah optimum
performance, hal ini berarti bahwa kualitas pelayanan kesehatan dasar rumah
sakit masih kurang maksimal dalam mengedepankan aspek kepuasan konsumen.
Kualitas layanan kesehatan dasar rumah sakit secara total terletak pada kadran II
dari performance mapping. Semua unsur kualitas pelayanan kesehatan dasar
rumah sakit masih dibawah harapan pasien. Tingkat loyalitas pasien rumah sakit
di wilayah kabupaten Bandung relatif tinggi karena mayoritas pasien sudah
merupakan kelompok memberikan kontribusi keuntungan bagi rumah sakit.
Kualitas layanan kesehatan dasar rumah sakit secara bersama-sama atau sendiri
cukup berpengaruh terhadap loyalitas pasien. Pengaruh terbesar dari kelima
unsur kualitas layanan dasar rumah sakit adalah reliability, sedangkan unsur
tangibles dan ansurance tidak berpengaruh terhadap loyalitas pasien rumah sakit
di wilayah kabupaten Bandung.
. Semakin baik kualitas inti pelayanan yang berupa layanan dokter,
perawat di tunjang peralatan yang memadai pasien akan nyaman karena
kebutuhan pasien terpenuhi dan menjadikan pasien loyal. Maka ada hubungan
core service quality terhadap patient loyalty tinggi. Penelitian tersebut
mengandung makna bahwa core service quality yang diukur dengan
menggunakan pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai
adalah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap patient loyalty.
255
Pelayanan dokter, perawat, peralatan medis yang memadai merupakan
hal yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas inti layanan di rumah sakit.
Hal ini akan menjadikan pasien loyal , sehingga dapat digunakan sebagai dasar
untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara ke dua variabel tersebut.
Pelayanan dokter, perawat yang ramah, perhatian, trampil, sopan
mendorong terwujudnya pasien loyal, sehingga sesuai dengan harapan pasien
rumah sakit swasta di surabaya. Alat medis yang dimiliki lengkap, berfungsi
dengan baik, moderen merupakan penunjang dari pada kualitas inti layanan,
sehingga terjadi loyalitas pasien pada layanan rumah sakit swasta di Surabaya
semakin meningkat. Semakin tinggi core service quality semakin tinggi loyalitas
pasien rumah sakit swasta di Surabaya.
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu : Margee Hume (2010), Gillian
Sullivan Mort, Hume Winzar (2003), Sariyoni (2003), Margee Hume
(2008), Said (2004, Fullerton dan Taylor (2002). Hipotesis ke tigabelas (H13)
menyatakan bahwa core service quality berpengaruh signifikan terhadap loyalty
pasient.
6.3.14 Pengaruh Peripheral Service Quality (X2) terhadap Loyalty Pasien (Y5)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke empat belas ( Tabel 5.23
dihalaman 210), besarnya koefisien variabel peripheral service quality
(X2) yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya
terhadap variabel loyalty pasien (Y5) = 0,031 dengan P > 0,05. Hipotesis
256
ke empat belas membuktikan bahwa, peripheral service quality
berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap loyalty pasien. Hasil
ini dapat dimaknai meskipun perubahan pada peripheral service quality
berpengaruh negatif terhadap perubahan loyalty pasien namun pengaruh
tersebut tidak bermakna. Hasil studi ini apabila dari statistik deskriptif
indikator peripheral service quality sangat di mungkinkan terjadi Koefesien
jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis hubungan pengaruh dari
peripheral service quality terhadap perceived value adalah searah. Hal ini
memberi makna, bila persepsi pasien terhadap peripheral service quality
yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin baik
(positif), maka perceived value pasien rumah sakit swasta tipe B di
Surabaya akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien
terhadap peripheral service quality yang diterapkan oleh rumah sakit
swasta tipe B di Surabaya semakin menurun (negatif), maka perceived
value pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin jelek.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa peripheral service quality
berpengaruh terhadap customer loyalty. Hal ini dapat terjadi karena dari
penilaian indikator menu makan dan kamar pasien tidak diperhatikan sementara
yang diharapakan oleh pasien adalah kesembuhan,terkait dengan kesembuhan
maka pelayanan dalam hal perawatan yang dirasakan dalam diri pasien adalah
dari segi pemeriksaan (diagnose) dan pengobatan (medic). Berdasarkan
observasi peneliti di lapangan, tidak berpengaruhnya peripheral service quality
terhadap customer loyalty juga disebabkan oleh pemeriksaan (diagnose) dan
257
pengobatan (medis). Hasil penelitian ini tidak mendukung pendapat Skogland
dan Siguaw (2004) bahwa kualitas layanan penunjang sebagai faktor kunci agar
pelanggan loyal.
6.3.15 Pengaruh Switching Cost (Y4) ) terhadap Loyalty Pasien (Y5)
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ke limabelas ( Tabel
5.23 di halaman 210), besarnya koefisien variabel switching cost (Y4) yang
diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya terhadap variabel
loyalty pasien (Y5) = 0,258 dengan P < 0,05. Hipotesis ke limabelas
yang menyatakan switching cost berpengaruh signifikan terhadap Loyalty
pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya, terbukti benar atau
diterima. Koefesien jalur yang bertanda positif, berarti secara teoritis
hubungan pengaruh dari switching cost terhadap Loyalty pasien adalah
searah. Hal ini memberi makna, bila persepsi pasien terhadap switching
cost yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya semakin
tinggi, maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan
semakin meningkat. Sebaliknya, bila persepsi pasien terhadap switching
cost yang diterapkan oleh rumah sakit swasta tipe B di Surabaya rendah,
maka loyalty pasien rumah sakit swasta tipe B di Surabaya akan semakin
rendah.
Sebagai temuan dari hasil studi ini adalah mendukung penelitian-
penelitian yang dikemukakan Ari Wijayanti (2008) Hasil penelitian ini
beberapa variabel telah terbukti secara empiris bahwa kepuasan pelanggan
berpengaruh positif terhadap switching cost dan switching cost juga
258
berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan. Siregar (2009) diperoleh hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa biaya relasional dan biaya keuangan
berpengaruh signifikan dan positif terhadap loyalitas pelanggan seluler GSM ke
CDMA di kota Medan. Hasil penelitiannya mengindikasikan adanya
hubungan Switching Cost terhadap Loyalty pasien, dengan menggunakan
pengukuran biaya procedural, biaya relasional dan biaya keuangan, semakin
tinggi Switching Cost semakin tinggi loyalty pasien terhadap rumah sakit.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa switching cost berpengaruh
positif dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan Aydin dan
Ozer (2004) yang menyatakan bahwa switching cost merupakan faktor yang
mempengaruhi sensitivitas pelanggan terhadap harga, sehingga berpengaruh
terhadap loyalitas pelanggan. Switching cost mendorong pasien untuk
merekomendasikan pada pasien lain (Lam, 2004). Bloemer et al. (1998) dalam
industri yang dikategorikan memiliki switching cost yang rendah konsumennya
akan kurang loyal dibanding industri jasa dengan switching cost yang tinggi.
Fornell (1992) dalam Lee et al (2001) hubungan antara kepuasan pelanggan dan
loyalitas tergantung pada faktor seperti peraturan pasar, switching cost, brand
equity dan keberadaan program loyalitas. Hauser et al. (1994) dalam Lee et al.
(2001) juga menyatakan bahwa pelanggan menjadi kurang sensitif terhadap
kepuasan karena switching cost meningkat. Pengaruh switching cost pada
hubungan kepuasan dan loyalitas tergantung pula pada struktur pasar. Jika pasar
bersifat monopoli, pengaruh switching cost kecil. Karena pelanggan yang tidak
puas tidak akan berpindah karena tidak ada alternatif.
259
Porter (1980) mendifinisikan switching cost sebagai biaya satu kali
menghadapi pelanggan yang ingin berpindah dari satu penyedia layanan ke
penyedia yang lain.
Jackson (1985) mendefinisikan switching cost sebagai biaya psikologis,
biaya fisik, dan biaya ekonomi yang meliputi, biaya transaksi, biaya pencarian,
biaya belajar, biaya waktu dan tenaga.
Hasil studi ini mendukung hasil studi yang telah dilakukan dari
penelitian – penelitian sebelumnya,yaitu : Ari Wijayanti (2008), Siregar (2009).
Hipotesis ke limabelas (H15) switching cost menyatakan bahwa
berpengaruh signifikan terhadap Loyalty pasient.
6.3. Temuan Teoritis dan Empiris
Setelah menguji dan menganalisis pengaruh kualitas layanan inti dan
kualitas layanan penunjang, appraisal emotion, perceived value, kepuasan
pasien, Switching cost, dan loyalitas pasien rawat inap rumah sakit swasta di
Surabaya. Temuan teoritis dan temuan empiris pada studi ini adalah:
Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa core service quality, appraisal
emotion, switching cost dan customer satisfaction keempatnya berpengaruh
positif dan signifikan terhadap customer loyalty, sedangkan peripheral service
quality tidak berpengaruh terhadap customer loyalty pasien rumah sakit swasta
di Surabaya. Didukungnya hipotesis tersebut disebabkan oleh nilai estimate core
service quality, appraisal emotion, switching cost dan customer satisfaction
adalah positif dengan nilai p-value semuanya lebih kecil dari 5%. Karena nilai p-
value lebih kecil dari 5% maka hipotesis diterima dan terbukti kebenarannya.
260
1. Terdapat pengaruh core service quality terhadap appraisal emotion pasien
rumah sakit swasta di surabaya. Hasil pengujian hipotesis membuktikan
bahwa core service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap
appraisal emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya. Didukungnya
hipotesis tersebut Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa core
service quality berpengaruh positif dan signifikan terhadap appraisal
emotion pasien rumah sakit swasta di Surabaya. Didukungnya hipotesis
tersebut disebabkan oleh nilai estimate core service quality adalah positif
0,44 dengan nilai p-value sebesar 0,000. Karena nilai p-value lebih kecil
dari 5% maka hipotesis ini diterima dan terbukti kebenarannya.
Sehubungan dengan kualitas layanan inti terhadap appraisal emotional ini
merupakan temuan penelitian yang mendukung penelitian ( Hume et
al.2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kualitas layanan inti terhadap penilaian emosi. Penilaian emosi merupakan
hasil konsekuensi emosi seperti perasaan bahagia dan kesenangan, karena
kinerja telah memenuhi hasrat dan harapan (Arora, Singer, 2006, Bagozzi et
al. 1999).
2. Terdapat Pengaruh Peripheral Service Quality terhadap Appraisal Emotion
Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa peripheral service quality
berpengaruh positif dan signifikan terhadap appraisal emotion pasien rumah
sakit swasta di Surabaya. Didukungnya hipotesis tersebut disebabkan oleh
nilai estimate peripheral service quality adalah positif 0,60 dengan nilai p-
value sebesar 0,000. Karena nilai p-value lebih kecil dari 5% maka hipotesis
261
ini diterima dan terbukti kebenarannya. Kualitas pelayanan penunjang
termasuk sarana prasarana memberikan pelayanan yang terpadu
( Yuwono,2008 ). Hal ini merupakan temuan penelitian yang mendukung
penelitian ( Hume et al.2010) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara kualitas layanan penunjang terhadap penilaian emosi.
3. Terdapat Pengaruh Appraisal Emotion terhadap Perceived Value
Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion juga berpengaruh
positif dan signifikan terhadap perceived value. Penilaian emosi pasien
dapat meliputi perasaan marah, senang, takut, cemas, bahagia, puas atau
bosan. Pasien yang memiliki emosi positif cenderung akan memberikan
evaluasi yang baik sementara pasien yang tidak puas cenderung akan
memberikan evaluasi yang jelek. Javalgi dan Moberg (2007) menyebutkan
bahwa perusahaan tidak seharusnya menunggu komplain dari pelanggan
tentang kualitas pelayanannya namun perusahaan harus secara terus
menerus mengawasi kepuasan pelanggan dengan cara mendengarkan
evaluasi dari pelanggan. Schoefer dan Ennew (2003) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa pasien yang mempersepsikan bahwa komplain yang ia
ajukan mendapat keadilan dari perusahaan maka akan menunjukkan respon
emosi yang positif sementara pasien yang mempersepsikan bahwa komplain
yang ia ajukan tidak mendapat keadilan maka akan menunjukkan penilaian
emosi yang negatif.
262
4. Terdapat Pengaruh Core Service Quality terhadap Perceived Value
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh
positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten dengan Skogland
dan Siguaw (2004) dalam penelitiannya yang menjelaskan bahwa kualitas
layanan sebuah prediktor dari keinginan membeli kembali, memiliki
peranan pada kualitas layanan inti, dimana layanan dalam kontek penelitian
ini telah diklarifikasi dan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap
keinginan membeli kembali, hanya sebuah pengaruh tidak langsung melalui
penilaian emosi, nilai yang dirasakan dan kepuasan. Caruana et al. (2000)
dalam penelitiannya juga menyatakan sebuah hubungan langsung dari nilai
yang dirasakan dengan kepuasan pelanggan, dengan nilai yang dirasakan
sebagai perantara dari kualitas layanan inti dan kualitas layanan penunjang
dan kepuasan pelanggan. Sama halnya dengan Pattersson et al. (1997),
penelitian ini mendukung nilai yang dirasakan sebagai diperantarai
keseluruhan melalui kepuasan pelanggan terhadap keinginan membeli
kembali. Hubungan langsung dari kualitas layanan inti, kualitas layanan
penunjang dan penilaian emosi terhadap nilai yang dirasakan.
5. Terdapat pengaruh peripheral service quality terhadap perceived value
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality
berpengaruh positif dan signifikan terhadap perceived value, konsisten
dengan Anderson dan Narus (1995) yang menyatakan bahwa kualitas
layanan penunjang (peripheral service quality) mempunyai hubungan
dengan nilai yang dirasakan (perceived value). Peripheral service quality
263
diajukan untuk membedakan satu layanan dengan layanan lain yang
bersaing dengan membuat nilai yang dirasakan (perceived value).
6. Terdapat pengaruh perceived Value terhadap patient satisfaction
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa perceived value berpengaruh
positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten dengan
Lovelock, Patterson dan Walker dalam Tjiptono (2000) yang menyatakan
bahwa kesuksesan perusahaan dipengaruhi oleh determinan, di antaranya
kepercayaan, kepuasan terhadap produk dan jasa sebelumnya, dan persepsi
terhadap nilai. Lai Lai, (2004) dalam penelitiannya membuktikan adanya
hubungan positif konsumen (Cronin et al. 2000). Palilati, (2007) dalam
penelitian yang berjudul Pengaruh Nilai konsumen, Kepuasan Terhadap
Loyalitas Pasien Rumah sakit di Sulawesi Selatan menemukan adanya
hubungan yang signifikan dan positif antara nilai atribut dengan tingkat
kepuasan pasien Rumah Sakit Swasta di Sulawesi Selatan, semakin tinggi
persepsi nilai dari atribut yang diterima oleh pasien meningkat, maka
kepuasan terhadap pasien Rumah Sakit juga akan meningkat.
7. Terdapat pengaruh appraisal emotion terhadap patient satisfaction
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh
positif dan signifikan terhadap customer satisfaction, konsisten dengan
Strandvik dan Liljander(1997) yang menyatakan bahwa emosi dapat
berfungsi sebagai mediator atau faktor independen yang mempengaruhi
kepuasan. Emosi sebagai mediator ini dikemukakan oleh Oliver (1993) dan
Oliver dan Westbrook (1993) yang menyatakan emosi sebagai mediator
264
antara evaluasi kognitif dengan kepuasan sementara emosi sebagai faktor
independen. Price et al. (1995) dalam Liljander dan Strandvik (1997)
menemukan bahwa perhatian ekstra dari penyedia jasa akan membantu
menciptakan emosi yang positif, sementara kegagalan dalam memenuhi
standar minimum akan menimbulkan emosi yang negatif.
8. Terdapat pengaruh core service quality terhadap patient satisfaction
Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh positif
dan signifikan terhadap customer satisfaction.Hal ini merupakan temuan
yang mendukung penelitian Marge Hume (2008) dalam penelitiannya
terdapat hubungan timbal balik kualitas layanan inti terhadap kepuasan
pelanggan. Hubungan kualitas layanan inti dengan kepuasan pasien tidak
lepas dari kreativitas layanan Rumah Sakit. Untuk mewujudkan suatu
layanan berkualitas yang bermuara pada kepuasan pasien Rumah Sakit
harus mampu mengidentifikasi siapa pasiennya sehingga mampu memahami
tingkat persepsi dan harapan pasien atas kualitas layanan. Hal ini penting
karena kepuasan pasien merupakan perbandingan antara persepsi dan
harapan pasien terhadap layanan rumah sakit yang dirasakan pasien. Oliver
(1981) memandang kualitas layanan sebagai tingkat kepuasan yang
ditimbulkan karena adanya suatu transaksi khusus antara Rumah Sakit dan
pasien yang merupakan kondisi psikologis yang dihasilkan ketika faktor
emosi mendorong harapan dan menyesuaikan dengan pengalaman
mengkonsumsi pada waktu terdahulu. Hal ini berarti ada perbedaan apabila
kualitas layanan dipandang sebagai suatu sikap, sebab antara kepuasan
265
dengan sikap adalah hal yang berbeda. Sikap ditunjukkan pasien lebih
bersifat relatif terhadap produk atau layanan Rumah Sakit, sedangkan
kepuasan merupakan reaksi emosional terhadap pengalaman mengkonsumsi
sebelumnya.
9. Terdapat pengaruh peripheral service quality terhadap patient satisfaction
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa peripheral service quality
berpengaruh positif dan signifikan terhadap patient satisfaction, konsisten
dengan Patterson, et al . (1997) yang menyatakan bahwa kualitas layanan
inti dan Kualitas Layanan Penunjang ditemukan memiliki hubungan tidak
langsung tehadap kepuasan pelanggan. Kualitas Layanan Penunjang juga
memiliki hubungan yang signifikan pada keinginan membeli kembali.
Kualitas Layanan Penunjang termasuk menu makan dan kamar pasien
untuk membuat pasien memutuskan untuk menggunakan kembali layanan
Rumah Sakit.
10. Terdapat pengaruh patient satisfaction terhadap switching cost
Hasil penelitian yang menjelaskan bahwa customer satisfaction berpengaruh
positif dan signifikan terhadap switching cost, sesuai dengan teori Post-
purchase Cognitive Dissonance Theory (Aydin dan Ozer, 2005) yang
menyatakan bahwa pelanggan yang mengumpulkan informasi untuk
mengurangi kegelisahan mengenai kesalahan keputusan pembelian, akan
menyusun kembali pengalaman pembelian masa lalu. Dalam proses ini jika
pelanggan berpindah, perbandingan akan dibuat antara merek yang akan
digunakan dan merk lama. Untuk menurunkan cognitif dissonance,
266
pelanggan cenderung lebih suka menggunakan merk yang telah digunakan
dan telah puas sebelumnya. Analisa Opportunity Cost menyarankan bahwa
kepuasan pelanggan memiliki pengaruh positif pada biaya perpindahan.
Semakin tinggi kepuasan pelanggan semakin memperbesar opportunity cost,
karena pelanggan akan merasa enggan untuk mencoba ke penyedia jasa lain.
11. Terdapat Pengaruh Customer Satisfaction terhadap Patient Loyalty
Hasil penelitian menjelaskan bahwa patient satisfaction berpengaruh positif
dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan Cronin dan
Taylor (1992) yang menyatakan bahwa kepuasan pasien berpengaruh
signifikan terhadap keinginan membeli kembali dan kualitas layanan
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap pembelian kembali dibandingkan
dengan kepuasan pasien. Penelitian ini memberikan penjelasan bahwa
kepuasan pasien berpengaruh pada loyalitas pasien yang didefinisikan
sebagai keinginan untuk melakukan pembelian kembali. Hasil penelitian
Cronin dan Taylor (1992), Caruana (2002), Fullerton dan Taylor (2002)
memberikan gambaran kualitas layanan dipandang sebagai ukuran atau
penentu kepuasan pasien yang memiliki konsekuensi terhadap loyalitas
pasien.
12. Terdapat Pengaruh Appraisal emotion terhadap Patient Loyalty
Hasil penelitian menjelaskan bahwa appraisal emotion berpengaruh positif
dan signifikan terhadap customer loyalty, konsisten dengan (Arora and
Singer, 2006; Bagozzi et al. 1999; Taylor, 2000), riset terkenal saat ini
Arora and Singer, 2006; Bagozzi, 1997; Gountas and Gountas, 2007; White
267
dan Yu, 2005; Wood dan Moreau, 2006) pada tipologi-tipologi emosi dalam
penelitian loyalitas dalam konteks layanan Rumah Sakit adalah bersifat
elementer. Penelitian membuktikan emosi memengaruhi pemrosesan
informasi, sebagai perantara respon-respon hasil, membuat tujuan, dan
memengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan (Bagozzi et al. 1999).
Bagozzi et al.(1999) telah mendefinisikan beberapa tipe emosi termasuk
suasana hati dan perasaan, emosi-emosi yang diarahkan ke tujuan dan
penilaian emosi (Nyer, 1997; Taylor, 2000; Bagozzi et al. 1999). Suasana
hati adalah pernyataan keberadaan, mereka tidak cenderung kurang
mendalami emosi (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999). Emosi yang
diarahkan pada tujuan adalah spesifik emosi hasil-hasil yang dihasratkan
dari sebuah rangsangan spesifik semacam sebuah kesenangan dari sebuah
layanan (Bagozzi, 1997; Bagozzi et al. 1999; Nyer, 1997) dengan penilaian
emosi yang didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi emosi-emosi dari
penampilan seperti perasaan bahagia dan kesenangan bahwa penampilan
telah memenuhi hasrat dan harapan-harapan kami. Mereka adalah emosi
yang dibuat dari evaluasi penampilan (Arora dan Singer, 2006; Bagozzi et
al. 1999).
13. Terdapat Pengaruh Core Service Quality terhadap Patient Loyalty
Hasil penelitian menjelaskan bahwa core service quality berpengaruh positif
dan signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan Said (2004) yang
menyatakan bahwa persepsi kualitas layanan berpengaruh langsung
terhadap loyalitas pasien. Parasuraman et al. (1996) pelanggan yang tidak
268
mengalami masalah layanan mempunyai tingkat intens loyalitas yang tinggi
dan intens respons eksternal akan beralih ke produk lain yang lebih rendah.
Di antara pelanggan yang mengalami masalah layanan, terbukti secara
signifikan bahwa pasien yang menerima penyelesaian yang memuaskan
memiliki loyalitas, intensi untuk membayar lebih tinggi, intensi untuk
beralih ke playanan Rumah Sakit lain dan respons eksternal yang lebih
rendah dibandingkan pasien yang tidak menerima penyelesaian masalah
layanan. Fullerton dan Taylor (2002) dalam penelitiaannya menyimpulkan
bahwa kualitas layanan memberikan pengaruh signifikan terhadap loyalitas
pasien.
14. Terdapat Pengaruh peripheral service quality terhadap Patient Loyalty
Sedangkan nilai estimate peripheral service quality adalah positif dengan
nilai p-value lebih besar dari 5%. Karena nilai p-value lebih besar dari 5%
maka hipotesis tidak diterima. Variabel yang berpengaruh paling besar
terhadap customer loyalty pasien rumah sakit swasta di Surabaya adalah
customer satisfaction, karena memiliki nilai estimate paling besar.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa peripheral service quality berpengaruh
tidak signifikan terhadap patient loyalty. Hal ini dapat terjadi karena dari
penilaian indikator menu makan dan kamar pasien tidak diperhatikan
sementara yang diharapakan oleh pasien adalah kesembuhan, terkait dengan
kesembuhan maka pelayanan dalam hal perawatan yang dirasakan dalam
diri pasien adalah dari segi pemeriksaan (diagnose) dan pengobatan (medic).
Berdasarkan observasi peneliti di lapangan, tidak berpengaruhnya
269
peripheral service quality terhadap patient loyalty juga disebabkan oleh
pemeriksaan (diagnose) dan pengobatan (medic). Hasil penelitian ini tidak
mendukung pendapat Skogland dan Siguaw (2004) bahwa kualitas layanan
penunjang sebagai faktor kunci agar pelanggan loyal.
15. Terdapat Pengaruh Switching Cost terhadap Patient Loyalty
Hasil penelitian menjelaskan bahwa switching cost berpengaruh positif dan
signifikan terhadap patient loyalty, konsisten dengan Aydin dan Ozer (2004)
yang menyatakan bahwa switching cost merupakan faktor yang
mempengaruhi sensitifitas pelanggan terhadap harga, sehingga berpengaruh
terhadap loyalitas pelanggan. Switching cost mendorong pasien untuk
merekomendasikan pada pasienlain (Lam, 2004). Bloemer et al. (1998)
dalam industri yang dikategorikan memiliki switching cost yang rendah
konsumennya akan kurang loyal dibanding industri jasa dengan switching
cost yang tinggi. Fornell (1992) dalam Lee et al (2001) hubungan antara
kepuasan pelanggan dan loyalitas tergantung pada faktor seperti peraturan
pasar, switching cost, brand equity dan keberadaan program loyalitas.
Hauser et al. (1994) dalam Lee et al. (2001) juga menyatakan bahwa
pelanggan menjadi kurang sensitif terhadap kepuasan karena switching cost
meningkat. Pengaruh switching cost pada hubungan kepuasan dan loyalitas
tergantung pula pada struktur pasar. Jika pasar bersifat monopoli, pengaruh
switching cost kecil. Karena pelanggan yang tidak puas tidak akan
berpindah karena tidak ada alternatif.
270
top related