bab 1 - staimaarif-jambi.ac.id · disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan allah swt....
Post on 06-Mar-2019
270 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB 1
SEJARAH KEMUNCULAN PERSOALAN KALAM
Dan DASAR-DASAR QUR’ANI
A. Definisi Ilmu Kalam
Kalam menurut bahasa ialah ilmu yang membicarakan/ membahas
tentang masalah ketuhanan/ketauhidan. Ilmu kalam adalah ilmu yang
membicarakan tentang wujud Tuhan ( Allah ), sifat-sifat yang mesti ada
pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya dan sifat-sifat yang
mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan,
untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti
ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya, dan sifa-sifat
yang terdapat padanya.
Ibnu khaldun mengatakan Ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan
– alasan mempertahankan kepercayaan – kepercayaan iman dengan
menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang –
orang yang menyeleweng dari kepercayaan – kepercayaan aliran
golongan Salaf dan Ahli sunah. Masih ada definisi lainnya akan tetapi
kesemuanya itu berkisar pada persoalan kepercayaan diatas dan cara
menguraikan kepercayaan – kepercayaan itu, yaitu kepercayaan tentang
Tuhan dan sifat-sifat-Nya,tentang rasul-rasul dan sifat-sifatnya dan
kebenaran keutusannya, demikian pula tentang kebenaran kabar yang
dibawa Rasul itu, sekitar alam gaib, seperti akhirat dan seisinya. 1
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu kalam
membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang
berkaitan dengannya berdasarkan dalill-dalil yang meyakinkan. Ilmu
kalam dinamakan ilmu kalam karena :
1 Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang: 2001),hlm. 3.
2
1. Persoalan penting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan Hijriah ialah ” firman Tuhan “( Kalam Allah ) dan non
azalinya Quran ( Khalq Al Quran ).
2. Dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil ini nampak
jelas dalam pembicaraan para mutakalimin. Mereka jarang kembali
keparda dalil naqli ( Quran dan Hadis ), kecuali sesudah menetapkan
benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
3. Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayan agama
menyerupai logika dalam filsafat, maka pembuktian dalam agama ini
dinamakan ilmu kalam untuk membedakannya dengan logika dalam
filsafat.2
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama antara lain : ilmu
ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al – akbar, dan teologi Islam. Disebut Ilmu
Ushuluddin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama (ushuluddin).
Disebut ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah SWT.
Didalamnya dikaji pula tentang asma’(nama-nama) dan af’al(perbuatan-
perbuatan) Allah yang wajib,mustahil dan jai’iz, juga sifat yang
wajib,mustahil,dan jai’iz, bagi Rasul-Nya. Ilmu Tauhid sendiri sebenarnya
membahas keesaan Allah SWT, dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya.
Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi
ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh sebab
itu, sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid.
kalam ini menyerupai ilmu Teologi bagi orang-orang Masehi. Ahli
ilmu kalam disebut Mutakalimin. Golongan ini bisa dianggap sebagai
golongan yang berdiri sendiri yang menggunakan akal pikiran ( alasan –
alasan pikiran ) dalam memahami nas-nas ( teks- teks ) agama dan
mempertahankan kepercayaan – kepercayaanya. Mereka berbeda
dangan golongan Hambali yang berpegangan teguh pada kepercayaan
– kepercayaan orang Salaf. Berbeda juga dengan orang tasawuf yang
mendasarkan pengetahuannya ( ilmunya makrifah ) kepada pengalaman
2 Ibid.,hlm.4-5
3
batin dan renungan atau kasyf ( terbuka dengan sendirinya ).
Mutakalimin juga berbeda dengan golongan filosof yang mengambil alih
pemikiran –pemiikiran filsafat yunani dan yang menganggap bahwa
filsafat itu benar-benar seluruhnya. Juga mereka berbeda dengan
golongan Syiah Ta’limiyyah yang mengatakan bahwa dasar utama untuk
ilmu, bukan yag didapati akal, bukan pula yang didapati dari dalil naqal (
quran dan hadis ),tetapi didapati dari imam-imam mereka yang suci (
maksum ). 3
B. Sumber – sumber Ilmu Kalam
1. Al-Quran
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang ditulis dalam mushaf, berbahasa Arab, dinukilkan
kepada kita dengan jalan-jalan mutawatir,diawali dengan surah Al-
Fatihah, diakhiri dengan surah An-Nas dan membacanya merupakan
ibadah. Alquran menjelaskan rambu-rambu masalah aqidah secara rinci
namun masalah ibadah dan hak-hak antar sesama dengan cara garis
besar. Dalam syariat islam Alquran adalah undang – undang dalam
menetapkan hukum sosial. Ia sebagai tuntunan Nabi dan pengikutnya,
karenanya ia sebagai sumber utama dan pertama. Sebagai sumber ilmu
kalam,Al-Quran banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan
masalah ketuhanan, diantaranya adalah :
a. Q.S Al-Ikhlas : 3-4
و لم يكو له كفوا احد يو لد لم يلد ولم
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak
pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatupun didunia ini yang
tampak sekutu dan sejajar dengan-Nya.
b. Q.S Asy-Syura : 7
3 Ibid., hlm. 5-6
4
ر ءانا عربيا لتنذ ر ام القر ى ومن حولها وتنذ وكذ لك اوحينا اليك ق
فريق في الجنة وفريق في اسعير ر يومالجمع ال ريب فيه
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun
didunia ini, ia Maha mendengar dan Maha mengetahui.
c. Q.S Al-Furqan :59
علي الذى خلق السموت واالرض وما بينهما في ستة أيا م ثم استوى
العرش ا لر حمن فسئل به خبيرا
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan yang Maha penyayang
bertahta diatas “ Arsy “ Ia pencipta langit, bumi dan semua yang
ada diantara keduanya.
d. Q.S Al-Fath : 10
ان الذ ين يبا يعونك ٳنما يبا يعون هللا يد هللا فوق ٲيديهم فمن نكث فإ
فى بما عهد عليه هللا فسيؤ تيه اجرا نما ينكث على نفسه ومن ٲو
عظيما
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “ tangan “
yang selalu berada diatas tangan orang-orang yang
melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan
jalan Allah.
e. Q.S An-Nisa : 125
جهه , هلل وهو محسن واتبع ملة ٳبرهيم ٲسلم وومن ٲحسن دينا ممن
حنيفا واتخذا هللا ٳبرهيم خليال
Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan
berupa agama, seseorang dikatakan telah melaksanakan
agama apabila melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
2. Hadits
Hadis adalah apa-apa yang datang dari Nabi berupa
perkataan,perbuatan,persetujuan,sifat-sifat beliau baik sifat jasmani
atau sifat –sifat akhlak. Hadis atau sunah merupakan sumber syari’at
5
Islam setelah Al-Quran. Hadis juga merupakan sumber hukum
independent (mustaqil) yang tidak ada hukumnya dalam Al-Quran,
contoh hadis yang kemudian dipahami sebagian ulama sebagai
prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu
kalam. “ Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan
bahwa Rasulullah bersabda : “ orang-orang Yahudi akan terpecah
menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan pecah menjadi
tujuh puluh golongan”. “ Hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar : ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda : “ akan menimpa
umatku apa yang pernah menimpa Bani Israil telah terpecah belah
menjadi 7 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73
golongan. Semuanya akan masuk neraka,, kecuali satu golongan saja,
siapa mereka itu wahai Rasulullah ?. tanya para sahabat, Rasulullah
menjawab “ mereka adalah yang mengikuti jejakku dan sahabat-
sahabatku “.
Syekh Abdul Qadir mengomentari bahwa hadis yang berkaitan
dengan masalah faksi umat ini yang nerupakan salah satu kajian ilmu
kalam mempunyai sanad yang banyak. Keberadaan hadis yang
berkaitan dengan perpecahan umat seperti diatas, pada dasarnya
merupakan predisi nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para
sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa hadis-hadis
seperti itu llebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat
dan umat Nabi tentang bahayanya perpecahan dan pentingnya
persatuan.
3. Pemikiran manusia
Sebelum filsafat Yunani masuk dan berkembang didunia Islam,
umat islam sendiri telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat – ayat Al-Quran
terutama yang belum jelas maksudnya ( al-mutasyabihat ) keharusan
untuk menggunakan rasio ternyata mendapat pijakan dari beberapa
ayat A-Quran diantaranya : Q.S Muhammad ayat 24
6
ان ام علي قلوب اقفالهاافال يتدبرون القر
Artinya : “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah
hati mereka terkunci ?”
Adapun sumber ilmu kalam berupa pemikiran yang berasal dari
luar Islam dapat diklasifikasikan dalam dua kategori :
a. Pemikiran non muslim yanng telah menjadi paradaban lalu
ditransfer dan diasimilasikan dengan pemikiran Islam.
b. Berupa pemikiran – pemikiran non muslim yang bersifat
akademis, seperti filsafat ( terutama dari Yunani ) sejarah dan
sains.
4. Insting
Kepercayaan adanya Tuhan secara instingtif telah berkembang
sejak keberadaan manusia pertama. Oleh karena itu sangat wajar
kalau William L. Resee mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan
dengan ketuhanan yang dikenal dengan istilah theologia, telah
berkembang sejak lama, ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul
dari sebuah mitos ( theologia was origining viewed as concerned with
myth ). Selanjutnya teologi itu berkembang menjadi ( Theologi
natural/teologi alam ) dan reeled the theologi ( teologi wahyu ) 4
C. Sejarah Timbulnya Persoalan-Persoalan Teologi (Ilmu Kalam)
Dalam Islam
Sejarah mengatakan bahwa setalah wafatnya Nabi Abu Bakar lah
yang disetujui oleh masyarakat islam di waktu itu untuk menjadi penggati
atau khalifah Nabi dalam mengepalai Madinah. Kemudian Abu Bakar
digantikan oleh Umar Ibn Khattab dan kemudian digantikan oleh Usman
Ibn ‘Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya.
Kaum keluarganya terdiri dari orang ariskorat Mekkah yang karena
4 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar,op.cit. hlm.15-27.
7
pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang
administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin
administrasi daerah-daerah di luar semenanjung Arabia yg bertambah
banyak dan masuk dalam kekuasaan islam. Ahli sejarah
menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup
menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia
mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada
kekuasaan islam. Sedangkan gubernur-gubernur yang diangkat oleh
Umar Ibn al- Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak
memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.
Tindakan-tindakan politik yang dijalankan Usman ini menimbulkan
reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya, Sahabat-sahabat Nabi
yang pada mulanya menyokong Usman ketika melihat tindakan yang
kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ke tiga ini.
Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada
pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir.
Setelah Usman wafat Ali menjadi calon khalifah yang keempat.
Segera mendapatkan tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula
menjadi khalifah. Tantangan pertama datang dari Zubayr dan °alhah di
Mekah, yang memperoleh dukungan dari Aisyah isteri Rasulullah.
Tantangan dari tiga pemuka ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam
pertempuran di Idlak pada tahun 656 M ‘Alhah dan Zubayr mati terbunuh
sedangkan Aisyah di antar kembali ke Mekkah.
Tantangan lain yang lebih dahsyat lagi datang dari pihak
Mu’awiyah, gubernur Damaskus mendapat dukungan dari keluarga
Usman, menuntut Ali untuk menghukum pembunuh-pembunuh Usman,
bahkan menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan itu. Salah seorang
pemuka pemberontak datang dari Madinah yang membunuh Usman
adalah anak angkat dari Ali bin Abi Thalib, yaitu Muhammad ibn Abi
Bakar dan ternyata pula Ali tidak menghukum anak angkatnya tersebut
malah kemudian mengangkatnya menjadi Gubernur Mesir.
8
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di
Shiffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah tersebut bersedia
untuk lari. Amr ibn Al-Ash yang terkenal licik merupakan tangan kanan
Mu’awiyah, minta berdamai dengan pihak Ali dengan mengangkat Al-
Qur’an ke atas. Dalam perundingan perdamaian yang disebut tahkim
(arbitrase) itu, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari seorang moralis
berhadapan dengan Amr ibn Al-Ash yang mewakili pihak Mu’awiyah .
mengalahkan perasaan takwa Abu Musa.
Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat pemufakatan untuk
menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.
Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua,
terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan
menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan
apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-As, mengumumkan hanya
menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan Abu Musa tetapi
menolak penjatuhan Muawiyah.
Sebagian pengikut ‘Ali, yang sejak semula tidak menyetujui
diadakan tahkim, apa lagi terbukti tahkim itu tidak menguntungkan
mereka, mereka memandang Ali telah melakukan penyimpangan dari
hukum Allah. Mereka menganggap perselisihan itu tidak dapat
diputuskan lewat tahkim buatan manusia. Putusan hendaknya dari Allah,
dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur'an.
Karena itu, mereka keluar dari barisan Ali bahkan kemudian menjadi
musuh Ali, Dari sikap mereka yang demikian itulah mereka disebut kaum
Al-Khawarij yakni golongan yang memisahkan dari kesatuannya.
Dari latar belakang itu, timbullah konsep dosa besar yang diadakan
oleh kaum khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim itu sebagai
suatu dosa besar. Karena itu, Ali bersama orang yang terlibat dalam
tahkim, yaitu Mu’awiyah, Amr ibn Al-Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah
pelaku dosa besar. Menurut mereka lebih dari itu, bagi kaum khawarij
9
orang-orang tersebut telah menjadi kafir murtad karena melakukan
tahkim di luar ketentuan hukum Allah.
Untuk memperkuat alasan mereka, kaum Khawarij mengemukakan
ayat al-Qur'an.
Al-Ma’idah : (5) 44
من لم يحكم بمآ أ نزل هللا فأولئك هم الكفيرون ...
Persoalan - persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai
digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya
persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan
siapa yang masih tetap dalam islam. Khawarij memandang bahwa Ali,
Muawiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy’ari dan yang lain-lain yang
menerima arbitrase adalah kafir.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte.
Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir
bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al-
Qur’an, akan tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib
kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.Persoalan orang
berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam
pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalnnya adalah:
masikah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir
karena berbuat dosa sebesar itu?
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam. Pertama
aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah
kafir, oleh karena itu wajib dibunuh. Aliran kedua ialah Mur’jiah yang
menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa tetap mukmin dan bukan
kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT
untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat-
pendapat di atas. Bagi mereka orang berdosa yang besar bukan kafir,
tetapi bukan pula mukmin, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan
istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi).
10
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi
yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. Menurut
qadariah manusia memiliki kemerdekaan dalam bentuk kehendak dan
perbuatannya ( free will dan free act) Sedangkan Jabariah sebaliknya,
manusia dalam segala tingkahlakunya bertindak dengan paksaan tuhan.
Segala gerak-gerikn manusia ditentukan oleh tuhan (predestination atau
fatalism).
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam
Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.
Aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah tak mempunyai wujud kecuali dalam
sejarah. Denga masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia islam,
yang kalau dahulu masuknya itu melalui kebudayaan yunani kelasik akan
tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat Modern, maka ajaran-ajaran
Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali dikalangan kaum
intelegensi islam yang mendapat pendidikan barat.5 Diskusi bersama
(Dr. Sumarto : 2017)
5 Harun Nasution,Teologi Islam(Jakarta: UI Press 2007), hlm.3.
11
Ilmu kalam
Konsep komprohensif
aliran-aliran pemikiran
islam
Setelah Rasulullah SAW wafat
Tauhid Ushuludin Fiqih
Studi deskripsi, explanation,
justifikasi
Politik sosial budaya
kepemimpinan kemasyarakatan Tradisi
Ali bin abi tholib
khawarij Asy’ariah Syi’ah
Mu’tazilah Sekte-sekte
12
BAB 2
KERANGKA BERFIKIR ALIRAN-ALIRAN ILMU
KALAM DAN HUBUNGAN ANTARA ILMU KALAM,
FILSAFAT dan TASAWUF
A. Kerangka Berpikir Aliran – Aliran Ilmu Kalam
Untuk mengkaji aliran – aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan
upaya untuk memahami kerangka berpikir serta proses pengambilan
keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan –
persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia
yang baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis yang
secara natural adalah sangat distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan
kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam
mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural
pula.
Dalam kaitan ini, Waliyullah Ad-Dahlawi pernah mengatakan bahwa
para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu
masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan
pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang
mendengarkan keputusan hukum yang diputuskan oleh Nabi, sementara
sahabat yang lainnya tidak mendengarkan keputusan hukum dari Nabi.
Para sahabat yang tidak mendengar keputusan hukum dari Nabi itu lalu
berijtihad. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam
memutuskan suatu ketentuan hukum.
Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, Ad-Dahlawi
tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan
sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupa pun pernah
dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat
di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang
13
menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat
keputusan. Lain lagi dengan yang dikatakan Umar Sulaiman Asy-
Syaqar. Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu
terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang
menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu persoalan
keyakinan (aqa‘id),persoalan syariah, dan persoalan politik.
Bertolak dari ketiga pandangan diatas, perbedaan pendapat di
dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan metode
bepikir aliran-aliran Ilmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian
(persoalan-persoalan kalam). Perbedaan cara berpikir secara garis
besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu metode bepikir
rasional dan metode berpikir tradisional. Metode berpikir rasional
memiliki prinsip berikut ini:
1. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut
dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Yakni ayat yang gathi (ayat yang tidak
boleh disamakan dengan arti lain).
2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak.
3. Serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
Metode berpikir tradisional memiliki prinsip berikut ini:
1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni
(yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya).
2. Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan
berbuat.
3. Memberikan daya yang kecil kepada akal
Metode berpikir kedua macam di atas, terutama menyangkut
peranan akal dan wahyu. Teologi rasional memberikan peranan yang
besar terhadap akal. Dalam pandangan teologi ini, akal dapat
mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, baik dan jahat,
kewajiban mengerjakan yang baik dan kewajiban menjahui yang jahat.
Adapun teologi tradisional memberikan peranan yang kecil terhadap
14
akal. Hanya mengetahui Tuhanlah yang dapat dijangkau akal dan
selebihnya dietahui wahyu.
Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berpikir
teologi rasional adalah Mu’tazilah. oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal
sebagai aliran yang bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang
sering disebut-sebut memiliki metode berpikir tradisional
adalah Asy’ariyah. Mengenyampingkan pengategorian teologi rasional
dan teologi tradisional, dikenal pula pengategorian akibat adanya
perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
kalam.
B. Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakikat realitas
transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat
dengan masyarakat kosmos baik yang natural maupun yang supra
natural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur
supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas
manusia adalah melepaskan unsure natural yang jahat. Dengan
demikian, manusia harus mampu menghapus kepribadian
kemanusiannya untuk meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Orang
yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia
karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya
untuk membuang semua hasrat dan keinginannya. Sementara
ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktek-praktek pertapaan dan
konsep-konsep magis. Tujuan hidupnya bermaksud menyusun
kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.
Manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap
hakekat realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan inpersonal
dating kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya ini
berupa potensi yang menjadikannya mampu membedakan mana yang
baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan
memperileh keuntungan melimpah (surge), sedangkan manusia yang
15
memilih kejahatan, ia akan memperoleh kerugian melimpah pula
(neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak
tanpa campur tangan realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk
dalam katagori ini adalah Qadariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah.
Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris
sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis.
Padahal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap
realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang
kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa
potensi yan menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan
mana yamg jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh
keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih
kejahatan, ia akan memeroleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan
dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan
realitas transenden.aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini
adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.6
C. Teolog Teosentris
Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden
bersifat Suprakosmos, personal dan ketuhanan, Aliran teosentris
menganggap daya yang menjadi potensi perbuatan baik atau jahat bisa
datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Aliran ini yang tegolong kategori
Jabbariyah. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos
ini, Ia dengan segala kekuasaan-Nya, mampu berbuat apa saja secara
mutlak Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Dan
manusia adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus berkarya
hanyauntuk-Nya.Manusia teosentris adalah manusia statis karena sering
terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada tuhan. Bagianya, segala
sesuatu/perbuatanya pada hakikatnya adalah aktiitas tuhan. Ia tidak
mempunyai ketetapan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan
6 Abdul Rozak, dan Rohison Anwar Ilmu kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm44-45.
16
Tuhan.Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan.
Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan .
ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan.
Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat
diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam
keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan
manusia yang taat dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus
(neraka).
Didalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah migran
abadi yang aka segera kembali kepada Tuhan. Untuk itu manusia harus
mampu meningkatkan keselarasan dengan realitas tertinggi dan
transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan
memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan naturalnya.
Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal,
yang mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin
dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan
menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang.
Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu melaksanakan
sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya
ia mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala ia ada daya
yang datang kepadanya. Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur
tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali
terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam
kategori ini adalah Jabbariyah.7
D. Hubungan ilmu kalam, ilmu tasawuf dan filsafat
1. Titik persamaan
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek
kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya.Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping
7 Ibid., hlm.45-46.
17
masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek
kajian tasawuf adalah tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapnya.
Jadi, dilihat dari aspek objeknya ketiga ilmu itu membahas masalah yang
berkaitan dengan ketuhanan.
Argumentasi filsafat, ilmu kalam di bangun di atas dasar logika. Oleh
karena itu , hasil kajiannya bersipat spekulatif ( dugaan yang tak dapat di
buktikan secara empiris, riset, dan eksperimental. Kerelatifan hasil karya
logika itu menyebabkan beragamnya kebenaran yang di hasilkan.
Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran
tentang tuhan dan yang berkaitan dengannya. Filsafat dengan
wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran , baik tentang
alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu
pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya), atau
tentang tuhan. Sementara itu tasawuf juga dengan metodenya yang
tifikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan
perjalanan menuju Tuhan.8
2. Titik Perbedaan
Perbedaan diantara ketiga ilmu tersebut terletak pada aspek
metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika,
disamping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk
mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak
apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode
dialektika (jadaliyah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan, ilmu
kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang
dipertahankan melalui argumen-argemen rasional. Sebagian ilmuwan
bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan
kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman
keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
8Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009),hlm 39-40.
18
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk
memproleh kebenaran rasional. Metode yang digunakan pun adalah
metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara
menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara
radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh)
serta universal (mengalam) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun,
kecuali ikatan tangannnya sendiri yang bernama logika. 9 Berpikir radikal,
radix artinya akar, sehingga berpikir radikal artinya sampai keakar suatu
masalah, mendalam sampai ke akar-akarnya, bahkan melewati batas-
batas fisik yang ada, memasuki medan pengembaraan diluar suatu yang
fisik.Berfilsafat adalah berpikir dalam tahap makna,ia mencari hakikat
makna dari sesuatu atau keberadaan dan kehadiran.10
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari
pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai
sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat
sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman
seseoarang. itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tanpak aneh bila
dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sangat sulit
dibahasakan. Pengalaman rasa lebih mudah dirasakan langsung oleh
orang yang ingin memproleh kebenarannya dan mudah digambarkan
dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable (dapat
diinterpretasikan bermacam-macam).
Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang
tertentu. Jenjang pertama adalah ilmu kalam, kemudian filsafat dan
yang terakhir adalah ilmu tasawuf. Oleh sebab itu, merupakan suatu
kekeliruan apabila dialektika kefilsafatan atau tasawuf teoretis
9 Ibid., hlm 40-41. 10 Musa Asy’arie ,Filsafat Islam, (Yogyakarta: Lesfi ,2002), hlm 3-4.
19
diperkenalkan kepada masyarakat awam karena akan berdampak pada
terjadinya rational jumping (lompatan pemikiran). 11
3. Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak
mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam
Tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan
yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional
(aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan
adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode
berfikir filosopis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi
pada argumentasi dalil-dalil al-qur’an dan Hadis. Ilmu kalam sering
menempatkan diri pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), tetapi
dengan metode argumentasi yang dialektik.
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam
terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniah). Sebagai contoh ilmu
tauhid menerangkan bahwa Allah bersifat sama’
(mendengar), bashar (melihat), kalam (berbicara), iradah (berkemauan)
, qudrah (kuasa),hayat (hidup), dan sebagainya.Namun Ilmu kalam tidak
menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung
bahwa Allah mendengar dan melihat. Ketika membaca al-qur’an dan
bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta
merupakan pengaruh dari qudrah (kekuasaan) Allah SWT?
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit terjawab ketika hanya melandaskan
diri pada Ilmu tauhid atau Ilmu Kalam ,dan biasanya yang membicarakan
tentang penghayatan hingga sampai pada penamaan kejiwaan manusia
,adalah ilmu Tasawuf.Disiplin inilah yang membahas bagaimana
merasakan nilai-nilai Aqidah dengan memperhatikan bahwa persoalan
tadzawwuq ((bagaimana merasakan) tidak saja dalam permasalahan
11 Rosihon Anwar, Op. Cit., hlm. 41-43.
20
perkara-perkara yang sunnah atau sesuatu yang mustahab (dianjurkan),
justru akan menemukan perkara-perkara yang diwajibkan .
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya,
kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya.
Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode
praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, seperti dijelaskan
juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai
pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan
yang mendalam melalui hati (dzauq danwijdan) tehadap ilmu tauhid atau
ilmu kalam menjadikan ilmu tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan
dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan
penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu
tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid.
Ilmu kalam berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena
itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan aqidah, atau lahir
suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-
Sunah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Selain
itu, ilmu tasawuf juga berfungsi sebagai pemberi
kesadaranrohaniah dalam pedebatan kalam. Sebagaimana disebutkan
bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi sebuah ilmu
yang mengandung muatan rasional dan muatan aqliyah. Jika tidak
diimbangi oleh kesadaran rohaniah , ilmu kalam dapat bergerak ke arah
yang lebih liberal dan bebas.
Hubungan ilmu tasawuf dan ilmu tauhid dalam buku yang
berjudul Asma Al-Husna , Al-Ghazali menjelaskan dengan baik
mengenai persoalan tauhid kepada Allah SWT, terutama berkenaan
dengan nama-nama Allah SWT yang merupakan materi pokok ilmu
tauhid. Nama Tuhan Ar-Rahman dan Al-Rahim, pada aplikasi
rohaniahnya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Ar-
21
Rahman diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang
durhaka dengan kelembutan bukan kekasaran; melihat orang dengan
mata rahim, bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia
mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar orang
tersebut dapat diselamatkan.Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan
yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna , tidak kaku,
bahkan akan lebih dinamis dan aplikatif.12
12 Ibid., hlm 43-47.
22
BAB 3
KHAWARIJ dan MURJI’AH
A. Khawarij
1. Latar Belakang Kemunculan Khawarij
Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa Arab kharaja
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. berkenaan
dengan pengertian etimologis ini, syahrastani menyebut orang yang
memberontak imam yang sah sebagai khawarij. berdasarkan pengertian
etimologi ini pula, Khawarij berarti setiap muslim yang memiliki sikap
laten ingin keluar dari kesatuan umat islam.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam
adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang
keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat dengan Ali yang
menerima arbitrase/tahkim dalam Perang Siffin pada tahun 37 H/648 M
dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya
memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena
Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam,
sementara Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena
memberontak kepada khalifah yang sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi
Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan
itu, tetapi karena Ali menerima tip daya licik ajakan damai Mu’awiyah,
kemenangan yang hamper diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan dibalik ajakan damai
kelompok Mu’awiyah, sehingga pada mulanya Ali menolak permintaan
itu. Akan tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya terutama ahli
qurra’, seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki At-Tamimi, dan
23
Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan terpaksa Ali memerintahkanAl-Asytar
(komandan pasukan Ali) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan
Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)-nya, tetapi
orang-orag Khawarij menolaknya dengan alas an bahwa Abdullah bin
Abbas adalah orang yang berasal dari kelompok Ali. Mereka lalu
mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan
dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan Tahkim,
yaitu Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya.
Sementara Mu’awiyah dinobatkan menjadi khalifah oleh delegasinya
pula sebagai pengganti Ali, akhirnya mengecewakan orang-orang
Khawarij. Sejak itulah orang-orang Khawarij membelot dengan
mengatakan, “Mengapa kalian berjukum kepada manusia? Tidak ada
hukum selain hukum yang ada pada sisi Allah.” Mengomentari perkataan
mereka, Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi
mereka artikan dengan keliru.” Pada waktu itulah orang-orang Khawarij
keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju hurura sehingga Khawarij
disebut juga dengan nama Hururia. Kadang-kadang mereka disebut
dengan Syurah dan Al-Mariqah.
Di Harura, kelompok Khawarij melanjutkan perlawanan selain kepada
Mu’awiyah juga kepada Ali. Disana mereka mengangkat seorang
pimpinan definitif yang bernama Abdulah bin Sahab Ar-Rasyibi.
Sebelumnya mereka dipandu Abdullah Al-Kiwa untuk sampai ke
Harura.13
Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung
Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena
dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim
13 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.63-65
24
yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci
Sayyidina Ali khalifah yang sah.14
Khawarij ini timbul setelah Perang Shiffin antara Ali dan Mu’awiyah.
Peperangan itu diakhiri dengan gencatan senjata, untuk mengadakan
perundingan antara kedua belah pihak. Golongan khawarij adalah
pengikut Ali yang tidak setuju dengan adanya gencatan senjata dan
perundingan itu. Mereka memisahkan diri dari pihak Ali, dan jadilah
penentang Ali dan Mu’awiyah. Mereka mengatakan Ali tidak konsekuen
dalam membela kebenra. Aliran ini saat itu sempat berkembang dan
tersebar keseluruh pelosok. Mereka menjadi oposisi berat pemerintahan
Umayyah, hingga kemudian menyebabkan runthnya Daulah Umayyah
bagian Timur.
Seorang yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani, dapat
mempengarhi golongan ini untuk menggulingkan pemerintahan
Mu’awiyah di Parsi. Setelah Khawarij ini berkembang setelah dua abad,
datang pulalah saat runtuhnya, yang akhirnya lenyap sampai sekarang.
Pada masa jayanya dalam aliran ini timbul beberapa perpecahan. Tetapi
dalam beberapa pandangan pokoknya, tetap pada pendirian yang sama,
yaitu :
1. Ali, Utsman dan orang-orang yang turut dalam peperangan Jamal, dan
orang-orang yang setuju dengan adanya perundingan antara Ali dan
Mu’awiyah, semua dihukumkan orang-orang kafir.
2. Setiap umat Muhammad yang terus-menerus membuat dosa besar,
hingga matinya belum tobat, orang itu dihukumkan kafir dan akan
kekal di neraka. Di samping itu, ada sekelompok Khawarij yang yang
menyebut dirinya dalam golongan Najdah, mereka tidak
14 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.123
25
menghukumkan orang-orang yang demikian sebagai kafir mutlak,
hanya kafir terhadap Allah saja.
3. Boleh keluar dan mematuhi aturan-aturan kepala Negara, bila ternyata
kepala Negara itu seorang yang zalim atau khianat.15
4. Doktrin-doktrin Pokok Khawarij
Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah:
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat
Islam,
b. Khalifah tidak harus keturunan dari Arab,
c. Setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah asal sudah memenuhi
syarat,
d. Khalifah dipilih secara pemanen selama yang bersangkutan bersikap
adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan
dibunuh jika melakukan kezaliman,
e. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah,
tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a.
dianggap telah menyeleweng,
f. Khalifah Ali juga sah, tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap
menyeleweng,
g. Mu’awiyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga
dianggap menyeleweng dan telah dianggap kafir,
h. Pasukan Perang Jamal yang melawan Ali juga kafir,
i. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim karennya
harus dibunuh. Mereka menganggap bahwa seorang muslim tidak
lagi muslim (kafir) disebabkan tidak mau membunuh muslim lain
yang telah dianggap kafir, dengan risiko ia menanggung beban harus
dilenyapkan pula,
j. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan glongan
mereka. Apabila tidak mau bergabung, ia wajib diprangi karna hidup
15 Mario Arjuna Bintang, Akidah Akhlak, (Jakarta: CV Tiga Serangkai, 2008), hlm.41
26
dalam dar al harb (Negara musuh), sedangkan golongan mereka
dianggap berada dalam dar al Islam (Negara islam),
k. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
l. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga,
sedangkan yang jahat harus masuk kedalam neraka),
m. Amar makruf nahi mungkar,
n. Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasyabihat
(samar),
o. Al-Quran adalah makhluk,
p. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Apabila di analisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan
kaum Khawarij dapat dikategorikan kedalam tiga kategori, yaitu politik,
teologi, dan sosial. Doktrin Khawarij dari poin a sampai dengan poin h
dapat dikategorikan sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal
yang berhubugan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang
kepala Negara (khalifah).
Melihat pengertian politik secara praktis yaitu kemahira bernegara,
atau kemahiran berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh
kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang, motivasi dan
hasrat manusia ingin memperoleh kekuasaan. Kahawrij dikatakan
sebagai sebuah Partai politik. Dan Politik merupakan doktrin sentral
Khawarij.
Kelompok khawarij menolak untuk dipimpin orang yang dianggap
tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuh adalah membunuhnya,
termasuk orang yang mengusahakannya menjadi khalifah.
Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat
pula doktrin teologi tentang dosa besar sebgaimana tertera pada poin i
dan j. akibat doktrinya menentang pemerintah, khawarij harus
menanggung akibatnya. Kelompok ini selalu dikejar-kejar dan ditumpas
pemerintah. Lalu, perkembangannya sebagaimana dituturkan Harun
27
Nasution, kelompok ini sebagian besar sudah musnah. Sisa-sisanya
terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia Selatan.
Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yaitu dari poin k sampai p, dapat
dikategorikan sebagai doktrin teologis-sosial. Doktrin ini memperlihatkan
kesalehan asli kelompok Khawarij, sehingga sebagian pengamat
menganggap doktrin-doktrin ini lebih mirip dengan doktrin Mu’tazilah,
meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam wacana kelompok
Khawarij masih patut dikaji lebih mendalam. Sebab, dapat diasumsikan
bahwa orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama,
sebagaimana dilakukan oleh kelompok Khawarij cenderung berwatak
tekstualis/skripturalis, sehingga menjadi fundamentalis.16
2. Perkembangan Khawarij
Khawarij, sebagaimana telah dikemukakan, telah menjadikan
imamah/khilafah/politik sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya
doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak
dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkannya sangat rentan pada
perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij maupun secara
eksternal dengan sesame kelompok Islam lainnya. Para pengamat telah
berbeda pendapat tentang berapa banyak perpecahan yang terjadi
dalam tubuh kaum Khawarij. Al-Bagdadi mengatakan bahwa sekte ini
telah pecah menjadi 20 subsekte. Harun mengatakan bahwa sekte ini
telah pecah menjadi 18 subsekte. Adapun Al-Asfarayani, seperti dikutip
Bagdadi bahwa sekte ini telah pecah menjadi 22 subsekte.
Terlepas dari beberapa banyak subsekte pecahan Khawarij yang
besar hanya ada 8, yaitu :
a. Al-Muhakkimah
b. Al-Azriqah
16 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.65-68
28
c. An-Najdat
d. Al-Baihasiyah
e. Al-Ajaridah
f. As-Saalabiyah
g. Al-Abadiyah
h. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum orang yang
berbuat dosa besar, apakah masih mukmin atau telah menjadi kafir.
Tampaknya doktrin teologi tetap menjadi primadona pemikiran mereka,
sedangkan doktrin-doktrin yang lain hanya menjadi pelengkap.
Semua aliran yang bersikap radikal pada perkembangan lebih lanjut
dikategorikan sebagai aliran Khawarij, Selama terdapat indikasi doktrin
yang identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan persoalan ini Harun
mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan
sebagai aliran Khawarij masa kini, yaitu :
a. Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka
walaupun orang itu adalah penganut agama Islam;
b. Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan,
sedangkan Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan
golongan lain tidak benar;
c. Orang-otang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa
kembali ke Islam yang sebenarnya yaitu Islam seperti yang mereka
pahami dan amalkan;
d. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka
adalah sesat, ereka memilih imam dari golongannya, yaitu imam
dalam arti pemuka agama dan pemuka pemerintahan;
29
e. Mereka bersikap fanatik dalam faham dan tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai
tujuannya.17
B. Al-Murji’ah
1. Latar belakang kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna
penundaan, penangguhan, dan pengharapan, yaitu kepada pelaku dosa
besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT. selain
itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu
orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu murjiah
artinya yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yaitu Ali dan Mu’awiyah, serta seiap pasukannya pada hari
kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul
kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja,
atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan
menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam keika terjadi pertikaian
politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah baik sebagai
kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersama dengan
kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Murji’ah pada saat itu merupakan
musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang merupakan basis
doktrin Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-
Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini menceritakan
bahwa 20 tahun setelah meninggalnya Mu’awiyah tahun 680, dunia
Islam dikoyak oleh pertikaian sipil, yaitu Al-Mukhtar membawa paham
17 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.68-70
30
Syi’ah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibnu Zubair mengklaim kekhalifahan
di mekah hingga kekuasaan Islam.
Sebagai respons dari keadaan ini muncul gagasan irja’ atau
penangguhan (postponenment). Gagasan ini tmpaknya pertama kali
digunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin
Muhammad Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya yang tampak
autentik. Dalam surat itu Al-Hasan menunjukan sikap politiknya dengan
mengatakan,”kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan
keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang
melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair (seorang tokoh pembelot Mekah).”
Dengan sikap politik ini, Al-Hasan mencba menanggulangi perpecahan
umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok
Syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para
pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak
mengakui kekhalifahan Mu’awiyah dengan alasan bahwa ia adalah
keturunan si pendosa Utsman.18
Aliran ini timbul di Damaskus ada akhir abad pertama Hijrah. Dinamai
Murji’ah karena sesuai dengan nama istilah tersebut yaitu menunda atau
mengembalikan, mereka berpendapat, bahwa orang-orang mukmin yang
berbuat dosa besar hingga matinya tidak juga tobat, orang itu belum
dapat kita hukumi sekarang, terserah atau ditunda serta dikembalikan
saja urusan nya kepada Allah kelak pada hari kiamat.19
2. Doktrin-doktrin Pokok Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau
doktrin irja’ atau arja’a yang di aplikasikan dalam banyak persoalan yang
dihadapinya, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik
18 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.70-72 19 Mario Arjuna Bintang, Akidah Akhlak, (Jakarta: CV Tiga Serangkai, 2008), hlm.42
31
doktrin irja’ di implementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok,
yang hamper selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya,
kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok
bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat
Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan Murji’ah ketika
menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada
perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya
menjadi semakin kompleks, mencakup iman, kufur, dosa besar dan
ringan (mortal and venial sins), tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi,
pengampunan atau dosa besar, kemaksuman nabi (the impeccability of
the prophet), hukuman atas dosa (punishment of sins), pertanyaan
tentang ada yang kafir (infidel) dikalangan gnerasi awal Islam, tobat
(redress of wrongs), hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta
ketentuan Tuhan (predestination). Berkaitan dengan doktrin-doktrin
teologi Murji’ah, W.Montgomery Watt memerincinya sebagai berikut :
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking ke empat dalam peringkat
Al-Khalifah Ar-Rasyidun
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang
berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah
SWT.
d. Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (mazhab) para
skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.20
20 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.72-73
32
3. Sekte-sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu
oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di
kalangan para pendukung Murji’ah. Dalam hal ini, terdapat problem yang
cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasi sekte-sekte
Murji’ah. Kesulitannya –antara lain- adalah ada beberapa tokoh aliran
pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai
pengikut Murji’ah, tetapi pengamat lain tidak mengklaimnya. Tokoh yang
dimaksud adalah Washil bin Atha’ (…-131 H) dari Mu’tazilah dan Abu
Hanifah (80-150 H) dari Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, Asy-Syahrastany
(w. 548 H), seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah
sebagai berikut :
a. Murji’ah Khawarij.
b. Murji’ah Qadariah.
c. Murji’ah Jabariah.
d. Murji’ah Murni.
e. Murji’ah Sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah)
Sementara itu, Muhammad Imarah (I. 1931) menyebutkan 12 sekte
Murji’ah, yaitu sebagai berikut:
a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan.
b. As-Shalihiyah, pengikut Nabi Musa As-Shalihiy.
c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary.
d. Asy-Syamriayah, pengikut Abu Samr dan Yunus.
e. As-Syawbaniyah, pengikut Abu Syawban.
f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-
Dimsaqy.
g. An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib.
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz Ath-Thawmy.
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
33
l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah
menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrem.
Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak
kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya
dan diampuni oleh Allah SWT. Praktis tidak masuk neraka. Iman adalah
pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-rasul-Nya serta yang datang
darinya secara keseluruhan, namun dalam garis besar. Iman tidak
bertambah dan tidak pula berkurang. Tidak ada perbedaan manusia
dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad
bin ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.
Adapun yang termasuk kelompok ekstrem adalah Al-Jahmiyah, Ash-
Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan
tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut.
a. Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya,
berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dan
kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan tidak menjadi kafir
karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan bagian lain
dalam tubuh manusia.
b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihy, berpendapat bahwa
iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu Tuhan.
Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah SWT. Karena yang
disebut ibadah adalah iman kepada-Nya, dalam arti mengetahui
Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah,
melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan dan tidak
merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah hanya iman.
c. Yunusiyah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa
melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak
iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-
perbuatan jahat yang dikerjakan tidak merugikan bagi yang
bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat
34
bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak iman
seseorang sebagai musyrik atau politeis.
d. Hasaniyah, menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan,”Saya
tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi
yang diharamkan itu adalah kambing ini.” Orang tersebut tetap
mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan,”Saya
tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu
apakah ka’bah di India atau di tempat lain”.21
21 Abdul Rozak, Rohison Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.73-75
35
BAB 4
JABARIYAH dan QODARIYAH
A. JABARIYAH
1. Pengertian Jabariyah
Kata jabariyah berasal dari “jabara” yang berarti “memaksa”, di
dalam kitab al-munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata
jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu, kata jabara bentuk pertama selanjutnya menjadi
jabariyah (dengan menambahkan ya nisbah), memiliki arti suatu
kelompok atau aliran (isme). sedangkan jabariyah menurut istilah adalah
aliran yang menolak bahwa adanya perbuatan bukan dari manusia,
melainkan dari allah dan menyandarkan semua perbuatan kepada-Nya.
Menurut mereka manusia itu majburun ( bentuk isim maf’ul-nya jabara)
yang berarti terpaksa atau dipaksa dalam suatu perbuatan, karena
semua perbuatan hanya dari allah dan mereka tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat22.
2. Cabang-cabang
a. Jabariyah murni (ekstrim)
Aliran yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan
memandang manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat
apapun, segala perbuatan disandarkan allah. Penganut aliran ekstrim
ini antara lain: jahm bin shafwan (al-jahmiyah) dan ja’d bin dirham
b. Jabariyah pertengahan (moderat)
Aliran yang meyakini bahwa segala perbuatan manusia itu dari
allah tetapi manusia ikut andil dan berperan dalam mewujudkan
perbuatan itu. Penganut aliran moderat ini antara lain: husain bin
22 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, Cet. IV, (Bandung: CV Pustaka Setia,2009), hlm63
36
muhammad an-najar (an-najjariyah), hafshul al-fard, dan dhirar bin
amr (ad-dhirariyah)23.dari keterangan di atas, aliran jabariyah
terpecah menjadi 3 kelompok yaitu : al-jahmiyah, an-najariyah, dan
ad-dhirariyah.
3. Sejarah Dan Asal-usul
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh ja’ad bin dirham dan
kemudian disebarkan oleh jahm bin shafwan (124 H) dari khurasan.
Dalam sejarah teologi islam, jahm tercatat sebagai tokoh yang
mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia adalah sekretaris
suraih bin al-harist dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan
kekuasaan bani umayah. Namun, dalam perkembangannya, faham al-
jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya al-husain bin
muhammad an-najjar, ja’d bin dirham.
Mengenai kemunculan faham ini, para ahli sejarah pemikiran
mengkajinya melalui pendekatan geokultular bangsa arab, di antara ahli
yang dimaksu adalah ahmad amin. Ia menggambarkan bahwa
kehidupan bangsa arab yang dikungkung oleh padang pasir sahara
memberikan pengaruh besar atas cara berfikir dalam kehidupan mereka.
Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang sangat ganas telah
memunculkan sikap menyerahkan diri terhadap alam. Dan menurut
nasution, akhirnya mereka bersikap fatalism (dikuasai oleh nasib).
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul sejak awal
periode islam. Namun, al-jabar sebagai pola fikir suatu aliran yang dianut,
dipelajari, dan dikembangkan pada masa pemerintahan daulah bani
umayah yakni oleh tokoh-tokoh di atas24.
4. Tokoh-Tokoh atau para pemuka
Para pemuka dari aliran jabariyah murni (ekstrim) antara lain:
a) Jahm Bin Shofwan (124 H)
23 Ibid.,hlm.67-69 24 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, Cet. IV, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm64.
37
Nama lengkapnya adalah abu mahrus jaham bin shafwan dari
khurasan, bertempat tinggal di khufah; ia seorang da’i yang fasih dan
lincah (orator); dalam kepemimpinan ia menjabat sebagai sekretaris
suraih al-harist, seorang pemimpin yang menentang pemerintahan
bani umayah di khurasan.
Dia sebagai penganut dan penyebar faham jabariah murni di
daerah tirmiz, dan pendiri al-jahmiyah (salah satu cabang jabariyah).
dan pada akhir hayatnya ia ditawan kemudian dibunuh secara politis
tanpa ada kaitannya dengan agama oleh muslim bin ahwas al-mazini
pada akhir masa pemerintahan khalifah malik bin marwan, salah
seorang khalifah bani umayah.
b) Ja’d Bin Dirham
Ja’d adalah maulana bani hakim di damaskus, dia dibesarkan
oleh lingkungan orang kristen yang senang membicarakan teologi.
Semula ja’d sebagai pengajar yang dipercaya dalam pemerintahan
bani umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
kontroversial sehingga dipecat, kemudian dia lari ke kufah dan
bertemu dengan jahm bin shafwan, serta mentransfer pikiran-
pikirannya untuk disebarluaskan.
Adapun dari aliran jabariyah pertengahan ( moderat ) antara lain:
a) Husain Bin Muhammad An-Najjar (230 H)
Husain an-najjar terkenal sebagai pendiri an-najjariyah, salah
satu cabang aliran jabariyah. kelompok najjariyah ini mayoritas
menggunakan ratio dalam pemikiran mereka.
b) Dhirar Bin Amr (pendiri ad-dhirariyah)
c) Hafshul al-fard.25
25 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia,2015), hlm 65-69
38
5. Doktrin dan pokok pemikiran
Aliran jabariyah murni (ekstrim) :
a) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat, dan mendengar.
b) Manusia itu terpaksa dan tidak mempunyai kekuatan sedikitpun
untuk melakukan segala sesuatu, semuanya allah-lah yang
berkuasa atas itu.
c) Al-qur’an adalah makhluk (baru)
d) Allah tidak bisa dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
e) Manusia akan kekal di dalam surga maupun neraka; penghuni surga
mendapatkan kelezatan nikmatnya dan penghuni neraka
memperoleh kepedihan siksanya.
f) Surga dan neraka akan rusak (tidak kekal) setelah para penghuni
keduanya masuk dan hanya allah yang abadi.
Aliran jabariyah pertengahan (moderat) :
a) Allah menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia juga
berperan dalam mewujudkan perbuatan itu.
b) Allah tidak dapat dilihat di dalam akhirat menggunakan panca indera,
tetapi allah bisa saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata
sehingga manusia dapat melihat allah.
c) Kalam allah adalah makhluk, apabila dibaca menjadi sifat, apabila
ditulis menjadi huruf atau tubuh.
d) Tidak ada kewajiban apapun sebelum para nabi dan rasul diutus.
e) Pemimpin boleh saja bukan dari suku quraisy, namun yang lebih
pantas dari keturunan Rasulullah.26
B. QADARIYAH
1. Pengertian Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab qadara yang mempunyai arti
kemampuan dan kekuatan. sedangkan menurut istilah, qadariyah adalah
39
suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi (campur tangan) oleh tuhan; mereka berpendapat bahwa
setiap manusia adalah pencipta atas segala perbuatannya. Kaum
qadariyah mempunyai kekuatan dan kemampuan (qudrah) untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu dengan kehendaknya sendiri.
Di dalam kitab al-milal wa an-nihal karangan dari asy-syahrastani,
qadariyah termasuk salah satu cabang dari aliran mu’tazilah; karena ada
kesamaan dalam doktrin atau ajaran-ajarannya.
Seharusnya, sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang
berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku baik maupun
jelek manusia. Namun sebutan tersebut sudah terlanjur melekat pada
kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan
dalam berkehendak.
Dalam kitab Al-Milal Wa An-Nihal disebutkan bahwa aliran qadariyah
termasuk salah satu cabang dari mu’tazilah karena adanya kemiripan di
dalam doktrin-doktrinnya.27
2. Sejarah dan Asal-usul
Menurut ahmad amin, aliran qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqi. ma’bad adalah seorang
taba’i yang terpercaya dan pernah berguru pada hasan al-basri (642-
728). dalam kitab risalah karangan hasan al-basri untuk khalifah abdul
malik sekitar tahun 700 M dijelaskan, bahwa hasan al-basri adalah
seorang tahanan di irak. Ia lahir di madinah, tetapi pada tahun 657 M Al
basri hijrah ke bashrah dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.
Dalam catatan ini ia berkeyakinan bahwa manusia bebas untuk memilih
antara berbuat baik atau berbuat buruk. sedangkan ghailan adalah
seorang orator dari damaskus, dan ayahnya menjadi maula usman bin
affan. dia hidup pada masa khalifah hisyam bin abdul malik.
Ibnu nabatah dalam kitabnya syarh al-uyun, berpendapat bahwa
orang yang pertama kali memunculkan faham qadariyah ini adalah orang
27 Abdul Rozak, dan Rosihon Anwar, ilmu kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm 70
40
irak yang beragama kristen bernama susan. Dari orang inilah ma’bad dan
ghailan mengambil faham ini.28
Faham qadariyah mendapat tantangan keras dari umat islam zaman
dulu, hal itu disebabkan oleh dua faktor:
1. Masyarakat arab sebelum islam dipengaruhi oleh faham fatalism,
mereka berkehidupan sederhana dan jauh dari pengetahuan; serta
selalu terpaksa mengalah oleh keganasan alam, panas yang
menyengat, dan tanah-tanah pegunungan yang gundul. Mereka
merasa lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang
ditimbulkan oleh alam. Dan ketika faham qadariah dikembangkan,
mereka tidak dapat menerima dan menganggapnya bertentangan
dengan doktrin islam.
2. Tantangan dari para pejabat pemerintah yang kontra dengan paham
qadariyah, karena pejabat pemerintah penganut faham jabariyah.
mereka mengira qadariyah menyebarkan ajaran yang dinamis dan
daya kritis rakyat yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan
pemerintahan yang tidak sesuai dan bahkan dapat menggulingkan
mereka dari tahta kerajaan.
3. Tokoh-tokoh atau Para Pemuka
a. Ma’bad Al Jauhani
b. Ghailan Ad Dimasyqi
Dia adalah seorang orator, namanya abu marwan ghailan ibnu
muslim. Ayahnya seorang budak yang dimerdekakan oleh usman bin
affan. Ghailan datang ke damaskus pada masa pemerintahan hisyam
bin abdul malik.
c. Ibrahim Bin Yasar An Nazam
4. Doktrin dan pokok pemikiran
a. Manusia mempunyai daya kekuatan serta berkuasa atas segala
perbuatannya.
28 Ibid, hlm 71-72
41
b. Manusia mampu melakukan atau meninggalkan kebaikan dan
kebukuran atas kehendaknya sendiri.
c. Allah tidak kuasa menciptakan keburukan dan maksiat, karena
bukan termasuk qudrah allah, dan keduanya melekat pada selain
allah.
d. Al qur’an hanyalah sebuah khabar atau berita pada masa lampau
dan yang akan datang.
e. jika menganggap al-qur’an itu qadim, maka di hukumi syirik. karena
ta’addud al-qudama.
f. iman cukup dengan ma’rifat (pengenalan), sedangkan perbuatan
bukan termasuk iman.
42
BAB 5
MU’TAZILAH
A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti
berisah atau memisahkan diri,29 yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua
golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon
politik murni. Golongan ini tumbuhp sebahai kaum Netral Politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menengahi pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah,
Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang
mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa
stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.30
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.
Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah
kemunculannya memiliki banyak versi,yaitu :
29 Razak Abdul dan Anwar Rosihon,Ilmu kalam,revisi :pustaka setia:Bandung,2015,hlm:82 30 Nurcholish madjid, islam doktrin dan peradaban, cet II, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta,1995
43
1. Versi analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan
kedua ini berpusat pada perstiwa yang terjadi antara washil bin ‘Atha
serta temannnnya ‘Amr bin ‘Ubaid,dan hasan al basri (30-110 H) di
Basrah. Ketika washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan
Al Basri, datanglah seorang teman yang bertanya mengenai
pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika
Hasan masih berfikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan. “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa
besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir,tetapi berada pada
posisi diantara keduannya, tidak mukmin tidak pula kafir.” Kemudian
Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ketempat lain
di lingkungan masjid. Kemudian Hasan Al Basri berkata, “Washil
menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna).Menurut Asy-Syahrastani,
Kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa inilah yang disebut
kaum Mu; ‘tazilah.31
2. Versi Al Baghdadi mengatakan washil dan temannya, Amr bin Ubaid
bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena ada
pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang
berdosa besar.Keduannya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan
tidak ula kafir. Oleh karena itu golongan ini disebut golongan
Mu’tazilah.
3. Versi Tasy Kubra Zadah menyatakan bahwa qatadah bin Da’mah
pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis
Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Basri.
Ssetelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis
Hasan Al Basri,ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,
“ ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itu dinamakan Mu’tazilah.
31 Razak Abdul dan Anwar Rosihon. Ilmu kalam, cet IV : Pustaka Setia: Bandung,2009, hlm:78
44
Al Mas’udi memberikan keterangan tentang asal usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangku-pautkannya dengan peristiwa Wasil dan
Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah , katanya ,karena
berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan
pula kafir,tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-
manzilah bain al-manzilahtain)
Teori baru, yang dikemukakan oleh ahmad amin, menerangkan
bahwa nama mu’tazilahsudah terdapat sebelum adanya peristiwa wasil
dan Hasan Al Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di
antara kedua posisi. Namun Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang
yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada
zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian
disana: Satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain
menjauhkan diri dari Kharbita (I’tazaalat ila kharbita). Oleh karena itu,
dalam surat yang dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamai
golongan yang menjauhkan diri dengan Mu’tazili,sedang Abu Al-Fida
menamainya dengan Mu’tazilah
Dengan demikian ,kata I’tazala dan Mu’tazilah telah dipakai kira-
kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dan Hasan Al Basri , yang
mengandung arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian
politik yang terjadi dizamannya.
Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama lain seperti ahl al-
adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan
ahl al-tawhid wa al-adl -yang berarti golongan yang mempertahankan
kesaan murni dan keadilan tuhan.lawan mu’tazilah member nama
golongan ini dengan al qadariyah karena merekamenganut faham free
will and free act.
45
B. Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
1. At Tauhid
At Tauhid ( Pengesaan Tuhan ) merupakan prinsip utama dan intisari
ajaran Mu’tazilah,sebenarnya, setiap mahzab teologis dalam islam
memegang doktrin ini, Namun, bagi mu’tazilah tauhid memliki arti yang
spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan lah satu-satunya yang Esa.
Untuk memurnikan keesaan tuhan mu.tazilah menolak konsep tuhan
memiliki sifat .penggambaran fisik tuhan ,dan tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu Esa ,tak ada satu
pun yang menyerupai-Nya Dia maha melihat, mendengar,
,kuasa,mengetahui dan sebagainya.
Namun mendengar,kuasa,melihat,mengetahui dan sebagainya itu
bukan sifat melainkan Dzat-Nya.menurut mereka sifat adalah sesatu
yang melekat. Bila sifat tuhan yang qodim arti ada dua yang qadim yaitu
dzat dan sifat Nya. Wasil bin Ata ,seperti dikutip oleh Asy Syahrastani
mengatakan , “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah
menduakan tuhan.”
Imam al-Asy’ari dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin
menggambarkan konsep Tauhid yang diberikan oleh aliran Mu’tazilah
sebagai berikut:
“Allah, Yang Maha Esa (wahid ahad), tidak ada sesuatu yang
menyamai-Nya (laysa kamitslihi syai’), bukan jism (bentuk tubuh/benda),
syabah, shurah (bentuk gambaran), daging atau darah, bukan syakhsh
(pribadi), jauhar, atau ‘aradh. Tidak berwarna (dzi laun), berasa (tha’m),
berbau (ra’ihah) dan tidak bisa diraba (mujassah), tidak memiliki sifat
panas (dzi hararah), dingin (burudah), lembab (ruthubah) atau kering
(yabusah). Bukan sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan
dalam (‘umq). Bukan juga sesuatu yang bisa berkumpul (ijtima’) dan
46
tercerai berai (iftiraq). Bukan sesuatu yang bergerak (yataharrak), diam
(yaskun) atau terbagi-bagi (yataba’adh). Bukan sesuatu yang memiliki
bagian-bagian (ab’adh wa ajza’) atau anggota tubuh (jawarih wa a’dha’).
Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas
maupun belakang. Tidak dibatasi oleh tempat. Tidak berlaku bagi-Nya
zaman. Mustahil bagi-Nya mumasah (sifat bersentuhan), ‘uzlah (sifat
mengasingkan diri), hulul (sifat menjelma/menyatu) pada sesuatu. Tidak
memiliki sifat-sifat makhluk. Tidak berakhir (mutanahin). Tidak bisa
diukur, tidak juga berpindah-pindah (dzahab fi jihat), tidak bisa dibatasi.
Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan (anak).
Tidak dibatasi oleh takdir/kekuasaan apapun (la yuhithu bihi al-
aqdar), tidak juga bisa dihalangi oleh astar/sitrah (pembatas apapun).
Tidak bisa dicapai indera (hawas), tidak bisa dibandingkan sedikitpun
dengan manusia, tidak sama dengan makhluk dari sisi apapun., tidak
berlaku bagi-Nya waktu, tidak bisa ditimpa gangguan/musibah (‘ahat),
tidak sama dengan sesuatu apapun yang terlintas dipikiran dan hayalan
(mustahil dipikir dan diterka),
Dia Maha Awal (awwal) dan Terdahulu (sabiq), sudah ada sebelum
semua yang baru (muhdatsat) dan semua makhluk ada, Dia Tahu,
Berkuasa dan Hidup, akan tetapi tidak seperti orang yang tahu, orang
yang berkuasa dan orang yang hidup. Tidak bisa dilihat mata, tidak
pernah bisa terlintas dipikiran manapun (tidak bisa dijangakau indera).
Sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu. Dia sendiri yang Qadim
(Terdahulu), tidak ada yang Qadim selain-Nya, tidak ada Tuhan (Ilah)
selain-Nya, tidak ada sekutu (syarik) dan pembantu (wazir) dalam
kekuasaan-Nya. Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia menjadikan
dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan sesuatu dengan cara
mencontoh yang sudah pernah ada (lam yakhluq al-khalq ‘ala mitsal
sabiq), tidak ada yang sulit bagi-Nya dalam meenciptakan sesuatu (laysa
khalqu syai’in bi ahwan ‘alaihi min khalqi syai’in akhar, wa la bi ash’ab
47
‘alaihi minhu), mustahil bagi-Nya merasakan manfaat (ijtirar al-manafi’),
mustahil bagi-Nya terkena mudharat. Tidak merasakan rasa senang dan
kenikmatan (la yanaluhu al-surur wa al-ladzdzat). Tidak bisa terkena rasa
sakit dan penyakit apapun. Dia tidak memiliki batas sehingga
mengharuskan-Nya berakhir, mustahil bagi-Nya sifat fana. Tidak
memiliki sedikitpun sifat lemah (‘ajz) dan kurang (naqsh), Maha Suci dari
sentuhan wanita, beristri dan beranak.
Dari kutipan tersebut di atas, A. Hanafi M.A berkesimpulan:
1. Aliran Mu’tazilah mengenal pikiran-pikiran filsafat yang ada pada
masanya, serta memakai beberapa istilahnya, seperti Syakhsh,
Jauhar, ‘Aradh, Hulul, Qadim dan sebagainya.
2. Dengan perkataan “Laysa Kamitslihi Syai’ (Tidak ada yang
menyamai-Nya)” mereka menolak pikiran-pikiran golongan
Mujassimah (Anthromorpis) dan membuka luas pintu takwil terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang menyifati Tuhan dengan sifat-sifat manusia
dengan takwil majazi.
3. Dengan Tauhid yang mutlak, aliran Mu’tazilah menolak konsepsi
agama dualisme dan trinitas tentang Tuhan.
4. Dengan perkataan “Tidak beranak (ayah/ibu), dan tidak dilahirkan
(anak)”, mereka menolak kepercayaan orang Nasrani, bahwa al-
Masih anak Tuhan yang dilahirkan dari Tuhan Bapa sebelum masa
dan jauharnya juga sama.
5. Dengan perkataan “Tidak ada yang membantu-Nya ketika Dia
menjadikan dan menciptakan sesuatupun, tidak menciptakan
sesuatu dengan cara mencontoh yang sudah pernah ada (lam
yakhluq al-khalq ‘ala mitsal sabiq)”, mereka menolak teori Idea
(contoh) dari Plato dan Demiurge, juga teori Emanasi (limpahan)
atau Triads yang dianggap menguasai alam semesta ini oleh aliran
Neo-Platonisme, yaitu Tuhan (Yang Pertama), Logos, dan Jiwa
Dunia (Worldsouls) .
48
Disamping kesimpulan tersebut, penulis juga ingin menegaskan
sebuah kesimpulah bahwa pada intinya Mu’tazilah ingin mengatakan
bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia
Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-
Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja –
bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga
dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan
logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat allah,menurutnya apa yang dikatakan sifat
itu adalah tak lain dzatnya sendiri
b. Al Qur,an menurutnya adalah makhluk
c. Allah diakhirat kelak tidak dapat dilihat oleh mata kepala
manusia,karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata32
2. Keadilan Allah swt.
Adil merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukan
kesempurnaan. Karna tuhan maha sempurna ,dia sudah pasti adil.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara
lain
a. Perbuatan manusia, manusia menurut mu’tazilah melakukan dan
menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan
kuasa tuhan,baik secara langsung atau tidak. Manusia benar benar
bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk.
Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang
buruk. Adapun yang disuruh tuhan pastilah baik dan apa yang
dilarang-Nya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan
buruk. Konsep inimemiliki konsekuensi logis dengan keadilan tuhan,
yaitu apapun yang akan diterima diakhirat nanti merupakan balasan
perbuatannya di dunia. Kebaikan dibalas kebaikan ,kejahatan
dibalas keburukan
32 Marid, Akidah Akhlak,Bandung: Tiga Saudara,kurikulum 2009,hlm,35
49
b. Berbuat baik dan terbaik, maksudnya adalah kewajiban tuhan untuk
berbuat baik,bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin
jahat dan aniaya, sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan
berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik pada orang lain
berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya tuhan jiga tidak maha
sempurna.
c. Mengutus rasul, mengutus rasul merupakan kewajiban tuhan karena
alasan alasan berikut ini:
a) Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak
dapat terwujud ,kecuali dengan mengutus rasul kepada
mereka.
b) Al Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban tuhan untuk
memberikan belas kasih kepada manusia .cara terbaik untuk
maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
c) Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah
kepadan-Nya . Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan
lain selain mengutus rasul.
3. Janji dan Ancaman
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa allah swt. Tidak akan ingkar
janji ,member pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan
menimpakan azab kepada yang berbuat dosa33. Ajaran ini mendorong
manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan dosa.
4. Al Manzila Bainal Manzilatain
Karena prinsip ini, Wasil memisahkan diri dari majelis Hasan Basri
,seperti yang disebutkan diatas ,menurut pendapatnya ,seorang muslim
yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin ,tetapi juga
bukan kafir,melainkan menjadi orang fasik. Jadi, kefasikan merupakan
5Drs.H. Marid, Akidah Akhlak,Bandung: Tiga Saudara,kurikulu 2009,hlm,35
50
tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”.tingkatan seorang fasik
berada dibawah orang mukmin dan diatas orang kafir.
5. Amar Makruf dan Nahi Mungkar
Ajaran mu’tazilah mengenai tuntunan untuk berbuat baik dan
mencegah segala perbuatan yang tercela ini lebih banyak berkaitan
dengan fiqih.
Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang
oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang mu’tazilah dan
hal ini sudah jadi kesepakatan mereka
C.Tokoh-tokoh Mu’tazilah
1. Wasil bin Atha ( 80-131 H/699-748 M )
2. Al-‘Allaf ( 135-236H/753-850M) Nama lengkapnya adalah Abul Huzail
Muhammad bin Al Huzail Al ‘Allaf. Allaf ( makanan binatang )
3. An-Nazzam ( wafat 231H/921 M) ( Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-
Nazzam)
4. Al-Jubba’I ( wafat 303 H/915 M) (Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubba’I)
5. Bisyr bin Al Mu’tamar (wafat r2r26 H/840 M)
6. Al-Khayyath ( wafat 300 H/912 M) ( Abu Al-Husein Al-Khayyat )
7. Al-Qadhi Abdul Jabbar ( wafat 1024 M )
8. Az-Zamakhsyari ( 467-538 H/1075-1144 M) Nama lengkap Jarullah
Abul Qasim Muhammad bin Umar.
51
BAB 6
SYI’AH
A. Pengertian Syi’ah
Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau
“kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan
sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan
merujuk pada keturunan nabi Muhammad SAW. Atau disebut sebagai
ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa
segala petunjuk agama bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak
petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait.
Atau para pengikutnya.34
Syi’ah adalah golongan umat islam yang terlalu mengagungkan
keturunan nabi. Mereka meyakini bahwa hanya keturunan nabi yang
lebih berhak untuk menjadi khalifah sepeninggal nabi.
Syi’ah berkeyakinan bahwa yang dijadikan imam sesudah wafatnya
nabi ialah Ali. Ali adalah guru yang ulung. Ali lah yang mewarisi segala
pengetahuan yang ada pada nabi, Ali adalah manusia yang mempunyai
cirri-ciri istimewa, Ali dianggap maksum dari kesalahan. Oleh karena itu,
menurut mereka, mena’ati dan mempercayai Ali termasuk rukun iman
juga. Adapun khalifah yang terdahulu adalah khalifah-khalifah yang
merampas hak Ali, kekhalifahan mereka tidak sah.35
B. Latar Belakang Kemunculan Syi’ah
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai
muncul ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan ustman
34 Abdul Rozak, dan Rohison Anwar, ilmu kalam, edisi revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm111 35
52
bin affan. Selanjutnya, aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul
ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
dengan perang shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas
penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan muawiyah, pasukan
Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap
Ali disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut khawarij.
Berbeda dengan pandangan diatas, kalangan Syi’ah berpendapat
bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti
(khilafah) nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan
nabi. Ketokohan Ali dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-
isyarat yang diberikan oleh nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya.
Pada awal kenabian, ketika Muhammad diperintahkan menyampaikan
dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali
bin Abi Thalib. Pada saat itu nabi mengatakan bahwa orang yang
pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan
pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan
orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa
besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus nabi adalah
peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji
terakhir dalam perjalanan dari mekkah ke madinah, di padang pasir yang
bernama Ghadir Khumm, nabi memilih Ali sebagai penggantinya di
hadapan massa yang penuh sesak menyertai beliau. Pada peristiwa itu,
nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat-
I ‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagai nabi, sebagai pelindung
(wali) mereka.
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika nabi wafat dan
jasadnya masih terbaring belum dikuburkan, anggota keluarganya dan
53
beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan penguburan dan
upacara pemakamannya. Teman-teman dan pengikut-pengikut Ali
mendengar kabar adanya kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid
tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba.
Kelompok ini kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan
dengan sangat tergesa-gesa memilih kaum muslim dengan maksud
menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat
itu. mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahl al-bait,
keluarganya ataupun sahabat-sahabatnya yang sedang sibuk dengan
upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberitahukan mereka.
Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu keadaan
yang sudah tidak dapat berubah lagi (faith accompli).
Berdasarkan realitas itulah, demikian pandangan kaum Syi’ah,
kemudian muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslim yang
menantang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah
kepercayaan-kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa
pengganti nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka
berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus
merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya.
Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Akan tetapi, lebih dari itu
seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada
kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sehingga
harus diwujudkan.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan
Syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada
fakta sejarah “perpecahan” dalam islam yang mulai mencolok pada masa
pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang
paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah
perang Shiffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis yang
mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan itu mulai
ketika nabi Muhammad SAW wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu
54
Bakar. Setelah itu, terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa
kepemimpinan Al-Khulafa Ar-Rasyidun, kelompokSyi’ah sudah ada.
Mereka bergerak ke permukaan mengajarkan dan menyebarkan doktrin-
doktrin Syi’ah kepada masyarakat. Tampaknya, Syi’ah sebagai salah
satu faksi politik islam yang bergerak secara terang-terangan, muncul
pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai
doktrin yang diajarkan secara diam-diam oleh ahl al-bait muncul setelah
wafatnya nabi.
Syi’ah mendapatkan gambaran pengikut yang besar, terutama pada
masa dinasti amawiyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat
dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap ahlul bait. Diantara
bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan penguasa bani umayyah.
Yazid bin Muawiyah, misalnya pernah memerintahkan pasukannya yang
dipimpin oleh Ibnu Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali di
Karbala. Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibaa
kehadapan Yazid dan dengan tongkatnya Yazid memukul kepala cucu
nabi Muhammad SAW yang pada waktu kecilnya sering dicium nabi.
Kekejaman seperti digambarkan diatas, menyebabkan sebagian kaum
muslim tertarik dan mengikuti mazhab Syi’ah, atau menaruh simpati
mendalam terhadap tragedy yang menimpa ahl al-bait.
Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak
kekhalifahan ahl al-bait dihadapan dinasti amawiyah dan abasiyah,
Syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya. Berkaitan dengan
teologi, mereka mempunyai lima rukun iman yaitu tauhid (kepercayaan
kepada keesaan Allah), nubuwah (kepercayaan kepada kenabian),
ma’ad (kepercayaan akan adanya hidup akhirat), imamah (kepercayaan
terhadap adanya imamah) yang merupakan hak ahl al-bait dan adl
(keadilan ilahi). Dalam eksiklopedi islam indonesia, ditulis bahwa
perbedaan antara sunni san Syi’ah terletak pada doktrin imamah.
Selanjutnya, meskipun mempunyai landasan keimanan yang sama,
Syi’ah tidak mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah,
55
kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan
yang terjadi di kalangan Syi’ah, terutama dipicu oleh masalah doktrin
imamah. Diantara sekte-sekte Syi’ah adalah Itsna Asyariah, Sab’iah,
Zaidiyah, dan Ghullat.36
C. Aliran-Aliran Syi’ah
a. Syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan Syi’ah imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya
adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali
berhak menjadi khalifah bukan hanya karena kecakapannya atau
kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nas dan pantas
menjadi khalifah pewaris kepemimpinan nabi Muhammad SAW.37 Aliran
ini adalah yang terbesar di dalam Syi’ah. Urutan imamnya adalah:
1) Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625-680), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad Al-
Baqir
6) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja’far Ash-
Shadiq
7) Musa bin Ja’far (745-799), juga dikenal dengan Musa Al Kadzim
8) Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali Ar-Ridha
9) Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad Al-
Jawad atau Muhammad At Taqi
10) Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11) Hasan bin Ali (846-874), juga dikenal dengan Hasan al-Askari
36 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm 112-115 37 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 93
56
12) Muhammad bin Hasan (868-) juga dikenal dengan Muhammad al-
Mahdi
Doktrin-doktrin Syi’ah ini adalah :
1) Tauhid : Tuhan adalah Maha Esa
2) Keadilan : Tuhan adalah Mahaadil
3) Nubuwwah : Syi’ah meyakini keberadaan para nabi sebagai
pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia.
4) Ma’ad : meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita
dari Tuhan kepada umat manusia.
5) Imamah : meyakini adanya imam yang senantiasa memimpin umat
sebagai penerus risalah kenabian.
b. Syi’ah Sab’iah
Istilah Syi’ah Sab’iah “Syi’ah tujuh” dianalogikan dengan Syi’ah
itsna ‘asyariah. Istilah itu memberikan bahwa pengertian Syi’ah yang ini
hanya mengakui tujuh imam. Tujuh imam tersebut adalah:
1) Ali bin abi thalib (600-661), juga dikenal dengan amirul mukminin
2) Hasan bin Ali (625-680), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad Al-
Baqir
6) Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja’far Ash-
Shadiq
7) Ismail bin Ja’far (721-755), adalah anak pertama Ja’far ash-shadiq
dan kakak Musa al-kadzim.
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan Syi’ah Sab’iah adalah
sebagai berikut :
57
1) Imam harus dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan
Fatimah yang kemudian dikenal dengan ahlul bait
2) Berbeda dengan aliran Kaisaniah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi,
mempropagandakan bahwa keimaman harus dari keturunan Ali
melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan
mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanafiyah.
3) Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash
4) Keimaman jatuh pada anak tertua
5) Imam harus maksum
6) Imam harus dijabat oleh seorang yang paling baik.38
Doktrin-doktrin Syi’ah ini antara lain:
1) Iman;
2) Taharah;
3) Shalat;
4) Zakat;
5) Saum;
6) Menunaikan haji;
7) Jihad.
c. Syi’ah Zaidiyah
Sekte ini mengakui Zaid bin ‘Ali sebagai Imam V, putra Imam IV, ‘Ali
Zainal Abidin. Ini berebda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui
Muhammad al-Baqir, anak Zainal Abidin yang lain, sebagai Imam V. dari
nama Zaid bin ‘Ali inilah nama Zaidiah diambil. Syi’ah Zaidiah mencita-
citakan keimaman aktif, bukan keimaman pasif, seperti mahdi yang gaib.
Bagi mereka, imam tidak hanya memiliki kekuatan rohani yang
diperlukan bagi seorang pemimpin keagamaan, tetapi juga bersedia
melakukan perlawanan demi cita-cita suci sehingga mendapat
38 Ibid., hlm. 120-121
58
penghormatan dari umat. Selain menolak dongeng-dongeng tentang
kekuatan adikodrati para imam, mereka juga mengingkari sifat keilahian
para imam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa imam dalam
Syi’ah Zaidiah dipahami sebagai pemimpin politik dan keagamaan yang
secara konkret berjuang demi umat daripada tokoh adikodrati yang suci
tanpa dosa.
Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdhul, Syi’ah Zaidiah
berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab
adalah sah dari sudut pandang islam.
Penganut Syi’ah Zaidiah percaya bahwa orang yang melakukan dosa
besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum bertobat dengan
pertobatan yang sesungguhnya.
Dalam bidang ibadah, Zaidiah tetap cenderung menunjukkan simbol
dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam azan misalnya, mereka
memberi ungkapan hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali
dalam shalat jenazah, menolak sahnya mengusap “kaos kaki” (maskh al-
khuffaini), menolak imam yang tidak saleh, dan menolak binatang
sembelihan bukan muslim.39
d. Syi’ah Ghullat
Syi’ah Ghullat diartikan kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sikap
berlebihan atau ekstrem (exaggeration). Menurut Syahrastani yang
dikutip oleh Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, ada empat doktrin yang
membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah, dan tasbih.
Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan ghayba.
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil jasad
tempat pada jasad yang lain. Syi’ah Ghullat menerapkan paham ini
dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan –seperti
39Ibid., hlm 123-126
59
Abdullah bin ja’far- bahwa roh Allah berpindah kepada Adam kemudian
kepada imam-imam secara turun temurun.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya
sejalan dengan perbuatan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan
perbuatan kemudian memerintahkan yang sebaliknya.
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghullat
memercayai bahwa Imam Mahdi al-muntazhar akan datang ke bumi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghullat
menyerupakan salah seorang imam mereka dengan tuhan atau
menyerupakan tuhan dengan makhluk.
Hulul bagi Syi’ah Ghullat berarti tuhan menjelma dalam diri imam
sehingga imam harus disembah.
Ghayba artinya menghilangkan Imam Mahdi. Ghayba merupakan
kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan tidak
dapat dilihat oleh mata biasa.40 Diskusi dengan (Dr. Sumarto : 2017)
40 Ibid., hlm. 127-129
60
Keturunan Ali dan fatimah
1. Imamah (problem politik)
2. Sabi’ah (syi’ah 7) Ada 7 khalifah keturunwan ali
3. Syi’ah gullet
Ali dan bani Hanafiyah
Muhammad al-hanafiyah
Syi’ah
61
BAB 7
SALAF
A. Pengertian Salaf
Kata salaf41 secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu
dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan. Berkata Ibnul Mandzur :
“Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek
moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu
dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak”. Oleh
karena itu, generasi pertama dari Tabi’in dinamakan As-Salafush Shalih.
Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk
para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikut sertakan
karena mengikuti mereka. Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul
Maqaalah min Syarhir Risalah : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi
pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan
menjaga sunnahnya. Allah SWT telah memilih mereka untuk
menegakkan agama-Nya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam
umat.
Salafiyah adalah sikap atau pendirian para ulama Islam yang
mengacu kepada sikap atau pendirian yang dimiliki para ulama generasi
salaf itu. Kata salafiyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti
‘terdahulu’, yang maksudnya ialah orang terdahulu yang hidup semasa
dengan Nabi Muhammad SAW, Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in.
Menurut Thabawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu.
Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’i,
tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H dan para pengikutnya pada abad
ke-4 H yang terdiri atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula
41 Zainuddin. Ilmu tauhid lengkap. Rineka cipta. Jakarta. 1992. hlm .43 -44
62
ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.
Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah ulama yang
tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat yang
mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih
(anthropomorphisme). Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq
Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’ tabi’in 42yang
dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam
mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru
untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery watt
menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di bagdad
pada abad ke-13.
Ibrahim Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau
salafiyah sebagai berikut :
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah(aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan
persoalan-persoalan cabang agama (furu’ad-din), mereka hanya
bertolak dari penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang
dzat-Nya) dan tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka mengimani ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna
lahirnya, dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.43
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari
Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn
Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul
Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.
Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti
tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini
42 Ibid. hlm 44 43 Abdul rozak dan rosihan anwar. Ilmu kalam. Pustaka setia. Bandung. 2015. hlm. 134
63
merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin
Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang
menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas
dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof
Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui
aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global
ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian
mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an
dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti
telah keluar dari agama.
B. Ulama-ulama Salaf dan Beberapa Pemikirannya
1. Imam Ahmad Bin Hanbali
A. Riwayat Singkat Hidup Ibn Hanbal44
Imam Hanbal nama lengkapnya ialah Al-imam Abu abdillah Ahmad
ibn Hanbal Hilal Addahili As-Syaibani Al-Maruzi, beliau dilahirkan di
Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855
M. [4] Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya
bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal
karena merupakan pendiri madzhab Hambali.
Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin
Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin
Mazin bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah
bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar, sedangkan ibu beliau bernama
Syahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sahawah bin Hindur Asy-
Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka
kaum bani Amir.
44 Abdul rozak dan rosihan anwar. Ilmu kalam. Pustaka setia. Bandung. 2015. hlm. 134
64
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih remaja, Namun ia
telah memberikan pendidikan Al-Qur’an pada Ibnu Hanbal pada usia 16
tahun ia belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama’-
ulama’ Baghdad. Lalu mengunjungi ulama’-ulama’ terkenal di khuffah,
Basrah, Syam, Yaman, Mekkah, Madinah. Diantara guru-gurunya adalah
: Hammad bin Khallid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin
Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah,
Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abd Razaq bin
Humam, dan Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibn Hanbal
mempelajari ilmu fiqh, kalam, ushul, dan bahasa Arab.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari Ia
berpuasa dan hanya tidur sebentar dimalam hari. Ia juga dikenal Sebagai
seorang dermawan.
Karya beliau sangat banyak, di antaranya : Kitab Al Musnad, karya
yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh
tujuh ribu hadits, Kitab At-Tafsir, Kitab Az-Zuhud, Kitab Fadhail Ahlil Bait,
Kitab Jawabatul Qur’an, Kitab Al Imaan, Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah,
Kitab Al Asyribah, dan Kitab Al Faraidh.
B. Pemikiran Teori Ibn Hanbal45
a. Tentang ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an , Ibn Hanbal lebih suka
menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan dan ayat-ayat
Mustasyabihat. Hal itu terbukti ketika ditanya tentang penafsiran “(yaitu)
Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s.
Thaha : 50.) Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas
arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan
tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”
45 Loc Cit. hlm 137
65
Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun
kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat),
dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab : “Kita
mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan
maknanya.”
Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap
menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat
kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan
pengertian lahirnya.
b. Tentang Status Al-Qur’an
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham Mu’tazilah, yakni Al-
Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya
qadim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, Sedangkan
menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni
oleh Allah.
Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-
Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq
bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal.[6] Ia hanya
mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan
pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan
sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.
2. Ibn Taimiyah
a. Riwayat Singkat Hidup Ibn Taimiyah46
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-
Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul
awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal
20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada
46 Loc. Cit. Hlm 138
66
seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin
pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul
Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib
dan hakim di kotanya.
Dikatakan oleh Ibrahim Madkur bahwa ibn Taimiyah merupakan
seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang
gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan
zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang
berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir, faqih,
teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah
mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga
menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada
kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama
sezamannya. Berulangkali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena
bersengketa dengan para ulama sezamannya.
b. Pemikiran Teori Ibn Taimiyah
Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut :47
a) Sangat berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist
b) Tidak memberikan ruang gerak yang bebas kepada akal
c) Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu
agama
d) Di dalam islam yang diteladani hanya 3 generasi saja (sahabat,
tabi’in, dan tabi’i-tabi’in)
e) Allah memili sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan
tetap mentanzihkan-Nya.
Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa
kalaulah kalamullah itu qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiyah
adalah seorang tekstualis. Oleh sebab itu pandangannya dianggap oleh
47 Loc Cit hlm140-141
67
ulama mazhab Hanbal, Al-kitab Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim
(antropomorpisme) Allah, yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn
Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini adalah pandangan ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah:
a) Percaya Sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau
Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1. Sifat salbiyah, yaitu qidam, baqa, muhalafatu lil hawaditsi,
qiyamuhu binafsihi, dan wahdanniyah.
2. Sifat ma’nawi, yaitu qudrah, iradah, samea, bashar, hayat, ilmu,
dan kalam.
3. Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis
walaupun akal bertanya tentang maknanya). Seperti keterangan
yang menyatakan bahwa Allah dilangit; Allah diatas Arasy; Allah
turun kelangit dunia; Allah dilihat oleh orang beriman diakhirat
kelak; wajah, tangan dan mata Allah
4. Sifat dhafiah, meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama
Allah pada alam makhluk, rabb al-amin, khaliq al-kaum. Dan falik
al-habb wa al-nawa.
b) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan
Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin,
al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami, dan al-bashir.
c) Menerima sepenuhnya nama-nama Allah tersebut dengan tidak
mengubah makna yang tidak dikehendaki lafadz, tidak
menghilangkan pengertian lafazd, tidak mengingkarinya, tidak
menggambarkan bentu-bentuk Tuhan, dan tidak menyerupai sifat-
sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluknya.
Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutsyabihat.
Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus
diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-
68
tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak
bertanya-tanya tentang-Nya. Diskusi dengan (Dr. Sumarto : 2017)
1. Tektualitas
2. Berdasarkan riwayat
3. Tidak menggunakan takwil
Ibnu Hanbal
Ibnu taimiyah
salaf
69
BAB 8
KHALAF
A. Pengertian khalaf
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang
lahir setelah abad ke-III H dengan karakteristik yang bertolak belakang
dengan yang dimiliki salaf. Karakteristik yang palimg menonjol dari khalaf
adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan
makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan
kesuciannya.
Adapun ungkapan Ahlusunnah (sering disebut dengan sunni)
dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni
dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam
pengertian ini, mu’tazilah sebagaimana juga asy’ariah masuk dalam
barisan sunni. Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab
yang berada dalam barisan asy’ariah dan merupakan lawan mu’tazilah.
Pengertian kedua inilah yang digunakan dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, terma ahlussunnah banyak digunakan sesudah
timbulnya aliran asy’ariah dan maturidiah, dua aliran yang menentang
ajaran-ajaran mu’tazilah. Dalam hubungan ini, Harun Nasution dengan
meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah menjelaskan bahawa aliran
ahlussunanah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasanah Al-
asy’ari sekitar tahun 300 H.48
B. Tokoh Tokoh Khalaf
1. Al-ASY’ARI ( 875-935 M )
a. Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap asy’ari adlah Abu Al-Hasan ‘ali bin isma’il bin Ishaq bin
Salim bin Isma’il bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi
48 Rozak,Abdul & Anwar,Rohisan. ( 2012 ). Ilmu kalam edisi revisi, Bandung: CV Pustaka Setia.hal.145-146
70
Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, al-asy’ari lahir di Bashrah
pada tahun 260 H/ 875M. Setelah berusia lebih dari 40 tuhun, ia hijrah
ke kota baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935M.
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah al-asyari adalah seorang yang
berpaham ahlussunnah dan ahli hadis. Dan ia wafat setalah al-asy’ari
masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang
sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-saji agar memdidik al-
asy’ary. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh mu’tazilah yang
bernama abu ‘Ali Al-Jubba’i ( w. 303 H/ 915 M ) ayah kandung abu
hasyim al-jubba’i ( w. 321 H / 932 M ). Berkat didikan ayah tirinya, al-
asy’ari kemudian menjadi tokoh mu’tazilah. Sebagaitokoh mu’tazilah, ia
sering menggantikan al-jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-
lawan mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya .
Al-asy’ari menganut paham mu’tazilah hanya sampai 40 tahun.
Setelah itu, secara tiba-tbia ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid
bashrah bahwa ia telah meninggalkan paham mu’tazilah dan akan
menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut ibn ‘asakir, yang
melatarbelakangi al-asy’arimmeninggalkan paham mu’tazilah adlah
pengakuan al-asy’ari telah bermimpi bertemu dengan rasulullah SAW
sebanyak 3 kali, yaitu pada malam ke 10, ke-20, dan ke- 30 bulan
ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya , rasulullah SAW
memperingatkannya agar segera meninggalkan paham mu’tazilah dan
segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.
b. Doktrin - Doktrin Teologi al-asy’ari
1. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memiliki sifat – sifat (
bertentangan dengan mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai
tanngan seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara
harfiah, tetapi secara simbiolis ( berbeda dengan kelompok sifatiah ).
Selanjutnya, Al-asy’ari berpendapat bahwa bahwa sifat-sifat allah unik
71
dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampaknya mirip.
2. Kebebasan Dalam Berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan
serta mengaktualisasikan perbuatannya.
3. Akal dan Wahyu dan Kriteria baik dan buruk
Meskipun al-asy’ari dan orang-orang mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi
persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mu’tazilah
mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik burukpun terjadi perbedaan pendapat
diantara mereka. Al-asy’ari berpebdapat bahwa baik dan buruk hatus
berdasarkan wahyu , sedangkan mu’tazilah mendasarkannya pada
akal.
4. Qadimnya Al-Quran
Al-asy’ari mengatakan bahwa walupun al-quran terdiri atas
kata-kata , huruf, dan bunyi , hal itu tidak melekat pada esensi Allah
dan tidak qadim. Nasution mengatakan al-quran bagi al-asy’ari tidak
diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat :
“ sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami
menghendaknya, kami hanya mengatakan kepadanya, ‘jadilah’ maka
jadilah sesuatu itu “
5. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat , tetapi tidak
dapat di gambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah
yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihatnya.
6. Keadilan
Allah itu adil.
7. Kedudukan Orang Berdosa
72
Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut
mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur
, predikat bagi seseorang harus satu di antaranya. Jika tidk mukmin,
ia kafir. Oleh karena itu , Al-asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.49
c. Tokoh-tokoh Asy’ariyah
Salah satu kelebihan dari aliran Asy’ariyah ialah karena aliran ini
mempunyai beberapa tokoh yang populer. Tokoh-tokoh tersebut
antara lain :
a. Al-Baqillani ( wafat 403 H )
b. Ibnu Faauk ( wafat 406 H )
c. Ibnu Ishak Al-Isfaraini ( wafat 418 H )
d. Abdul Qahir Al-Baghdadi ( wafat 429 H )
e. Iman Al-Haramain Al-juwaini ( wafat 478 H ).50
2. Al-MATURIDI
a. Riwayat singkat al-maturidi
Abu manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di
daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang
sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara
pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat
pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fikih dan teologi
bernama Nasir bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-
Maturidi hidup pada masa khalifah Al-mutawakil yang memerintah tahun
232-274/847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat
pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak
49 Rozak,Abdul & Anwar,Rohisan. ( 2012 ). Ilmu kalam edisi revisi, Bandung: CV Pustaka Setia.hal.146-150 50 Bintang,Mario Arjuna ( 2008 ). Akidah Akhlak. Jakarta: CV Tiga Serangkai.hal.37
73
berkembang pada masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai
dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-
pemikirannya banyak di tuangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya
ialah Kitab Tauhid,Ta’wil Al-Quran, Makhaz Asy-Syara’i, Al-jadl, Ushul Fi
Ushul Ad-Din, Maqalat fi Al-Ahkam Radd Aw’il Al-Abidillah li Aka’bi, Radd
Al- Ushul Al-Khamisah li Abu muhammad Al- Bahilli, Radd Al-Imamah li
Al-Ba’ad Ar-Rawafiq, dan Kitab Radd ‘ala Al-Qaramah. Selain itu, ada
pula karangan-karangan yang diduga ditulis Al-Maturidi, yaitu Risalah fi
Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar.
Dalam bidang fiqh, Al-Maturidi mengikuti mazhab Hanafi, dan ia
sendiri banyak mendalami soal-soal teologi islam dan menganut aliran
Fuqaha dan Muhadditsin, seperti yang dilakukan Al-Asy’ari. Sungguhpun
demikian pendapat-pendapatnya tidak terkait dengan aliran tersebut.
Meskipun metode yang dipakai Al-Maturidi berbeda dengan Al-
Asy’ari, namun hasil pemikirannya banyakn yang sama.
b. Doktrin – Dokrin Teologi Al-Maturidi
1. Akal dan Wahyu
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan Kewajiban
mengetahui Tuhan dapat di ketahui dengan akal. Kemampuan akal
dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran
yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui
pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-
Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau mengunakan
akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti
meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam,
yaitu:
74
a. Akal dengan sendirinya mengetahui kebaikan sesuatu itu
b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali
dengan petunjuk ajaran wahyu.
2. Perbuatan manusia
menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan
karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus
mengenai perbuatan manusia, kebijakan dan keadilan kehendak Tuhan
harus mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat ( ikhtiar )
agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat
dilaksanakan. Dalam hal ini , Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta
perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya ( kasb ) dalam diri
manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut di
ciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian,
tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
3. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penyataan ini menurut Al-Maturidi bukan berarti bahwa Tuhan
berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-
Nya semata. Hal ini qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang ( Absolut ),
tetapi perbuatan dan kehendaknya itu untuk berlangsung dan sesuai
dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4. Sifat Tuhan
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan
sebagai esnsi-Nya dan buka pula lain dari esensi-Nya.
5. Melihat Tuhan
6. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (baca: sabda ) yang
tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi ( sabda
yang sebenarnya atau makna abstrak ). Kalam nafsi adalah sifat
75
qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan
suara adalah berharu ( hadis ).
7. Pengutusan Rasul
Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan
pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul
ke tengah-tengah umatnya adalh kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
8. Pelaku dosa besar ( Murtakib Al-Kabir )
Al-Maturidi bependapat bahwa orang yang berdosa besar
tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum
bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan
balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.51
c. Perbedaan yang tegas antara Al-asy’ari dan Al-Maturidi antara lain:
1). Menurut Asy;ariyah, mengetahui adanya Allah merupakan
kewajiban syara’, sedangkan menurut Maturidiyah merupakan
kewajiban akal.
2). Menurut golongan Al-Asy’ariyah, sesuatu perbuatan tidak
mempunyai sifat baik dan buruk. Baik dan buruk tidak lain karena
diperintahkan atau dilarang syara’. Menurut Maturudiyah, pada
tiap-tiap perbuatan itu sendiri ada sifat baik dan buruk. Dengan
demikian aliran Maturidiyah lebih mendekati aliran mu’tazilah.52
Diskusi dengan (Dr. Sumarto : 2017)
Al asyi’ari 1. Takwil sifat-sifat Allah
Al maturidi 2. Manusia berkehendak
Dan kebebasan memilih
51 Rozak,Abdul & Anwar,Rohisan. ( 2001 ). Ilmu kalam untuk UIN,STAIN,PTAIS. Bandung: CV pustaka Setia.hal.124-130 52 Bintang,Mario Arjuna ( 2008 ). Akidah Akhlak. Jakarta: CV Tiga Serangkai.hal.39
khalaf
76
BAB9
PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN
A. Syekh Muhammad Abduh (1894-1905)
1. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh-nama lengkapnya Muhammad
bin’Abduh bin Hasan Khairullah-dilahirkan di desa Mahallat Nashr di
Kabupaten Al-Buhairah,Mesir,pad tahun 1849M.Ia berasal dari
keturunan yang tidak tergolong kaya,bukan pula keturunan
bangsawan.Walaupun demikian, ayahnya dikenal sebagai orang
terhormat yang suka memberi pertolongan.Kekerasan yang diterapkan
penguasa-penguasa Muhammad ‘Ali dalam memungut pajak
menyebabkan penduduk pindah-pindah tempat untuk
menghindarinya,Abduh sendiri dilahirkan dalam kondisi yang penuh
kecemasan ini.
Mula-mula Abdulah dikirim ayahnya kemasjid Al-Ahmad tempat ini
menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar.Akan tetapi,sistem
pengajaran di sana sangat menjengkelkan sehingga setelah dua tahun
di sana, ia memutuskan untuk kembali ke desannya dan berani, seperti
saudara-saudara serta kerabatnya. Waktu kembali ke desa,ia di
nikahkan, saat itu ia berumur 16 tahun . Semula ia bersikeras, untuk
tidak melanjutkan studinya, tetapi akhirnya kembali belajar di atas
dorongan pamannya, Syekh Darwis,yang banyak mempengaruhi
kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan jamalludin Al-Afghani. Atas
jasanya,Abduh berkata,”…ia telah membebaskanku dari penjara
kebodohan dan membimbingku menuju ilmu pengetahuan…”.
Setelah merampungkan studinya di bawah bimbingan
pamanya,Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari
1866. Pada tahun 1871, Jamalludin Afghani (1839-1897) tiba di Mesir.
77
Saat itu, Abduh masih menjadi mahasisiwa Al-azhar. Kehadirannya
disambut Abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan
ilmiahnya.Untuk selanjutnya, ia menjadi murid kesayangan Al-Afghani
aktif menulis dalam bidang sosial dan politik.Artikel-artikel pembaharuan
banyak dimuat di surat kabar Al-Ahram Di Kairo.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-azhar pada tahun 1877
dengan gelar”Alim”. Abduh mulai mengajar di Al-Azhar,kemudian, di Dar
Al-Ulum dan rumahnya .Pada saat Al-Afghani diusir dari Mesir pada
tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan penentangan terhadap
khedewi Taufig, Abduh juga dipandang ikut campur di dalamnya.Oleh
karena itu,ia dibuang ke luar kota Kairo.Pada tahun 1880 ia
diperbolehkan kembali ke ibu kota kemudian diangkat menjadi redaktur
surat kabar resmi pemerintahan Mesir,Al-Waqa’i Al-Mishriyyah. Pada
waktu bersamaan,kesadaran nasional Mesir mulai tampak. Di bawah
pimpinan Abduh,surat kabar resmi muat artikel-artikel tentang urgenitas
nasional Mesir,di samping berit-berita resmi.
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan),
Abduh ketika itu masih memimpin surat kabar Al-Waqa’i-dituduh terlibat
dalam revolusi besar tersebut,sehingga pemerintah Mesir memutuskan
untuk mengasingkan selama tiga tahun dengan memberi hak kepadanya
untuk memilih tempat pengasingannya. Ia pun memilih Suriah. Di Suriah,
ia menetap selama satu tahun. Kemudian, ia menyusul gurunya, Al-
Afghani, yang ketika itu berada di Paris. Di sana,mereka menerbitkan
surat kabar Al-‘Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam
serta menentang penjajah Barat,khususnya Inggris. Tahun 1885.Abduh
diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh
Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899,Abduh
diangkat menjadi mufti Mesir.Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai
ia meninggal dunia tahun 1905.
78
2. Pemikiran-pemikiran Kalam Muhmmad Abduh
a) Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran
Abduh,sebagaimana diakuinya,yaitu:
1.) Membahas akal pikiran dari belenggu-belenggu taqliq yang
menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana
hak salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah),sebelum
timbulnya perpecahan,yaitu memahami langsung dari sumber
pokoknya Al-quran.
2.) Memperbaiki gaya baha Arab,baik yang digunakan dalam
percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan ataupun dalam
tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok yang menjadi focus pemikiran Abduh
tampaknya muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada
masanya.Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutbh(1906) kondisi umat
islam saat itu dapat digambarkan sabagai” suatu masyarakat yang beku,
kaku;menutup rapat-rapat pintu ijtihad;mengabaikan peranan akal dalam
memahami syariat Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum karena
mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang
hidup pada masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan
khufarat-khufarat.
Atas dasar kedua focus pikirannya itu,Muhammad Abduh
memberikan peranan yang sangat besar pada akal. Begitu besarnya
peranan yang diberikan olehnya,sehingga Harun Nasution
menyimpulkan bahwa Muhammmah Abduh memberi kekuatan yang
lebih tinggi pada akal dari pada Mu’taziah. Menurut Abduh,akal dapat
mengetahui hal-hal berikut ini:
1.) Tuhan dan sifat-sifatnya;
2.) Keberadaan hidup di akhirat;
79
3.) Kebahaian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak
mengenal Tuhan dan berbuat jahat;
4.) Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
5.) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat
untuk kebahagiaan di akhirat;
- Hukum-hukum mengenal kewajiban-kewajiban itu.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang
peranan akal, dapat diketahui pula bangaimana fungsi wahyu baginya.
Baginya, wahyu adalah penolong.Kata ini dipergunakan untuk
menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurutnya, wahyu
menolong akal untuk mengetahui sifat dan keberadaan kehidupan
alam;akhirat mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-
prinsip umum yang dibawanya;menyempurnakan pengetahuan akal
tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya;dan mengetahui cara beribadah serta
bertrima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian,wahyu bagi Abduh
berfungsi sebagai konfirmasi,yaitu untuk menguatkan dan
menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah
satu dasar islam. Iman seseorang tidak sempurna apabila tidak
didasarkan pada akal. Islam-menurut-agama yang pertama kali
mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya,
kepercayaan pada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu
yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. Apabila
ternyata antara keduanya tedapat pertentangan,menurutnya terdapat
penyimpangan dalam lataran interprestasi sehingga di perlukan
interprestasi lain yang mendorong pada penyesuain. Kebebasan
manusia dan fatalism
Bagi Abduh,di samping mempunyai daya pikir,manusia juga
mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang
80
harus ada dalam diri manusia,jika sifat dasar ini dihilangkan dari
dirinya,ia bukan manusia lagi,melainkan makhluk lain,Manusia degan
akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya,
kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya dan
mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.
b) Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah,ia menyebut sifat-sifat Tuhan.Mengenai masalah
apa sifat itu termasuk ensensi Tuhan atau yang lain,ia menjelaskan
bahwa hal itu terletak di luar kemampuan manusia untuk
mengetahuinya.Walaupun demikian,Gaun Nasution melihat Abduh
cenderung pada pendapat bahwa sifat termasuk ensensi Tuhan
walaupun tidak tegas mengatakanya. Karena berpendapat bahwa ada
perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sepaham dengan Mu’tazih dalam
mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi
manusia Inilah pemikiran-pemikiran kalam Muhammad Abduh
diantaranya.
B. Sayyid Ahmad Khan
1. Riwayat Singkat Sayyid ahmad Khan
Sayyid ahmad khan lahir di delhi pada tahun 1817. Menurut suatu
keterangan, ia berasal dari keturunan husein, cucu nabi Muhammad
SAW. Melalui patimah dan ali. Neneknya, sayyid Hadi, adalah pembesar
istana pada zaman alam ghir II (1754- 1759). Sejak kecil, ahmad khan
mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar
bahasa arab dan juga bahasa Persia. Ia rajin membaca buku dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun,
ia bekerja pada serikat india timur. Kemudian bekerja pula sebagai
hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali kedelhi dan mempergunakan
kesempatan itu untuk belajar.
Dikota delhi inilah ia dapat melihat langsung peninggalan-
peninggalan kejayaan islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan
81
pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,
Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa didelhi, ia mulai
mengarang.karya pertamanya adalah Asar As –Sanadid. Pada tahu
1855, ia pindah ke Bijnore. Ditempat ini, ia mengarang buku- buku
penting islam di india. Pada tahun 1857 terjadi pembrontakan dan
kekacauan politik didelhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan
terhadap orang india. Ketika melihat keadaan rakyat delhi, ia sempat
berpikir untuk meninggalkan india menuju mesir, tetapi ia sadar bahwa
ia harus memperjuangkan umat islam india agar menjadi maju. Ia
berusaha mencegah terjadinya kekerasandan menolong banyak oran
inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelah sir, teapi ia menolaknya.
Pada tahun 1861 ia mendirikan sekolah inggris di Muradabad. Hingga
akhir hayatnya ia selalu mementingkan pendidikan umat islam india.
Pada tahun 1718 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo
Oriental college (MAOC) di Aligarh yang merupakan karya nya yang
paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan umat islam india.
2. Pemikiran kalam sayyid ahmad khan
Sayyid ahmad khan mempunyai kesamaaan pemikiran dengan
Muhammad abduh di mesir _ setelah abduh berpisah dengan jamaludin
al-afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa ide yang dikemukakannya, Terutama tentang akal yang
mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun
demikian, sebagai penganut ajaran islam yang taat dan percaya akan
kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan
kakuatan akal pun terbatas.
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan khan
percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan
melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai faham yang sama
dengan faham qadariyah. Menurutnya, manusia telah dianugerahi tuhan
berbagai macam daya, diantaranya adalah daya berpikir berupa akal,
82
dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya
kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan
konsep hukum alam. Bahkan, ketika datang ke india pada tahun 1869,
jamaluddin al-afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas
tuduhan tersebut, jamalludin mengarang sebua buku yang berjudul Ar-
radd ad-dahriyah ( jawaban bagi kaum materialis).
Sejalan dengan paham adariyah yang dianutnya, ia menentang
keras faham taqlid. Khan berpendapat bahwa umat islam india mundur
karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung
peradaban islam klasik masih melenakan mereka sehingga tidak
menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di barat. Peradaban baru
ini timbul dengan berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dan inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang barat.
Selanjutnya, khan mengemukakan bahwa tuhan telah
menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setiap makhluk-nya
yang tetap dan tidak perah berubah. Menurutnya, islam adalah agama
yang paling sesuai dengan hukum alam, Karena hukum alam adalah
ciptaan tuhan dan alqur ‘an adalah firman nya maka sudah tentu kedua
nya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum
alam, khan tidak mau pemikiran nya terganggu otoritas hadis dan fiqh.
Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua
yang bertentangan dengan logika dan hukum alam, ia hanya mau
mengambil al-quran sebagai pedoman bagi islam, sedangkan yang lain
hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting. Alasan penolakan
nya terhadap hadis adalah karena hadis berisi moralitas sosial dari
masyarakat islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadis tersebut
dikumpulkan. Sedangkan hukum fiqih, menurutnya, berisi moralitas
masyarakat berikutnya sampai saat timbul nya mazhab-mazhab. Ia
83
menolak taklid dan membawa al-quran untuk menguraikan relevansinya
dengan masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai konsekuensi dari penokan nya terhadap taklid, khan
memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan
pelaksaan ajaran-ajaran islam dengan situasi dan kondisi masyarakat
yang senantiasa mengalami perubahan.53
C.Muhammad Iqbal
1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Beliau berasal
dari kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang
terkenal saleh. Guru pertama Iqbal adalah ayahnya sendiri kemudian ia
dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Quran. Setelah itu,
ia dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan,
ia diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah
menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, ia pergi ke Lahore, sebuah kota
besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College. Di
sini ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi
guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut. Pada tahun
1905 setelah mendapat gelar M.A. di Government College, Iqbal pergi
Inggris untuk belajar filsafat pada universitas cambridge. Dua tahun
kemudian ia pindah ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, ia memperoleh
gelar Ph.D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di
Persia).
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya
dari Munich, beliau menjadi advokad dan juga sebagai dosen. Buku yang
berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah
53 Abdul rozak, Anwar, Ilmu kalam, Pustaka Setia, Bandung,2009, hlm 219
84
kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan
karyanya terbesar dalam bidang filsafat.54
Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua
konferensi tahunan Liga Musllim di Allahabad, kemudian pada tahun
1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London
yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun
1933, ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan
Universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah
setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan ia meninggal
pada tanggal 20 April 1931.
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibanding sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih
terkenal sebagai seorang filosof eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit
untuk menemukan pandangannya mengenai wacana-wacana kalam
klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan
manusia, dan kewajiban-kewajiban Tuhan. Itu bukan berarti bahwa ia
sama sekali tidak menyinggung ilmu kalam. Bahkan, ia sering
menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah
Islam.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat islam
untuk melakukan pembaharuan agar keluar dari kemundurannya.
Kemunduran umat Islam, katanya, disebabkan kebekuan umat islam
dalam pemikiran dan ditutupnya pintu Ijtihat. Mereka, seperti kaum
konservatif, menolak kebiasaan berpikir rasional kaum Mu’tazilah karena
hal tersebut dianggapnya membawa disintegrasi umat Islam dan
membahayakan kestabilan politik mereka. Hal inilah yang dianggapnya
sebagai penyimpangan dari semangat Islam, semangat dinamis dan
kreatif.
54 Harun Nasution, Pembahruan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan ,Jakarta: PT Bulan Bintang,1990, hlm 190.
85
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang
mengatakan bahwa alam bersifat statis. Islam katanya,
mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu manusia
dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan.
Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini
membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Quran dan hukum
Islam. Tujuan diturunkannya AL-Quran, menurutnya adalah
membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan
dan menjabarkan nas-nas Al-Quran yang masih global dalam realita
kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat
yang selalu berubah. Ini yanng dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang
oleh Iqbal disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.
Oleh karena itu untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan
membuang kekakuan serta kejumudan hukum Islam, ijtihad harus
dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan
ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislatif
Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk
menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang
dari umat Islam. Dan menyerukan kepada kaum muslimin agar
menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme
teresbut.
a. Hakikat teologi
Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi
keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik).
Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan,
kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan.” Pandangannya tentang
ontoloi teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan)
yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik. Teology Asy’ariyah,
umpamanya, menggunakan cara dan pola pikir ortodoksi Islam.
86
Muta’zilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya
mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama,
pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman kongkrit
merupakan kesalahan besar.
b. Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argumen
kosmologis maupun ontologis. Ia juga menolak argumen teleologis
yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur
ciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima
landasan teleologis yang imanen (tetap ada). Untuk menopang hal ini,
Iqbal menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima
pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam
aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut
ditemukan Iqbal dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak
terjangkau oleh serial waktu. Dalam “jangka waktu murni”, ada
perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian). Kesatuannya
seperti kesatuan kuman yang didalamnya terdapat pengalaman-
pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai suatu
kumpulan, tetapi sebagai suatu kesatuan yang didalamnya mendorong
setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya. Dan dari individu,
“jangka waktu murni” ini e
Kemudian di transfer ke alam semesta dan membenarkan ego
mutlak. Gagasan inilah yang “dibicarakan” iqbal kedalam Al-Quran. Jadi
Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.
c. Jati diri manusia
Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri
manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini
dapat dilihat dari konsepnya tentang ego ide sentral dalam pemikiran
filosofinya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup
87
untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya bukan sebaliknya,yakni
melemahkannya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang
menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah. Pada hakikatnya
menafikan diri bukanlah ajaran islam karena hakikat hidup adalalh
bergerak, dan gerak adalalh perubahan.
d. Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa
Al-Quran menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang
bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan cerita
tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai
kisah yang berisi tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitif
yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian
bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi
kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan
“timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih”.
“Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh risiko ini,
menunjukkan kepercayaan-nya yang besar kepada manusia. Maka
kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini.
Namun, pengakuan terhadap kemandirian (manusia) itu melibatkan
pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang timbul dari
keterbtasan kamandirian itu.
e. Surga dan neraka
Surga dan neraka, kata Iqbal adalah keadaan, bukan tempat.
Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Quran adalah
penampilan-penmapilan kenyataanbatin secara visual, yaitu sifatnya.
Neraka menurut rumusan Al-Quran, adalah “api Allah yang menyala-
yala dan yang membumbung keatas hati”, prnyataan yang
menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah
kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi
berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada
88
kkutukan abadi dalam Islam. Neraka sebagaimana dijelasakan dalam
Al-Quran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan
Tuhan. Ia adalah pengalaman korektif yng dapat memperkeras ego
sekali lagi agar lebih sensitif terhadap tipuan angin sejuk dari
kemahamurahan Allah. Surga juka bahkan merupakan tempat
berlibur. Kehidupan itu hanya satu dan berkesinambungan.55
55 Abdul rozak, Anwar, Ilmu kalam, Pustaka Setia, Bandung,2009, hlm 225
89
BAB 10
TOKOH ILMU KALAM MASA KINI ( ISMAIL AL-FARUQI dan
HASAN HANAFI )
A. Ismail Al-Faruqi
1. Riwayat Singkat Ismail al Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1
Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan
pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa
pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American
University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di
Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi,
setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada
tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang
filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of
Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. 1 Dia kemudian
mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas
di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat.
Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple
University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi
mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang
menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas
membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia
berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi
sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras
terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal
dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.
90
2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang
berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya
ini beliau ini mengungkapkan bahwa:
a. Tauhid sebagai inti pengalaman agama.Inti pengalaman agama,
kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi
sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap
waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi
yang agung.3 Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain
adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-
sia.
b. Tauhid sebagai pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan
umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah
manusia, dan takdir
c. Tauhid sebagai intisari Islam Esensi peradaban Islam adalah Islam
sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat
dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa
yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan
ptanata kenabian pun menjadi sirna.
d. Tauhid sebagai prinsip sejarah Tauhid menempatkan manusia pada
suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan
manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang
dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam
tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-
Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para
pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama
Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi
kehidupan di atas bumi.
91
e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan Berbeda denga “iman” Kristen,
iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan
kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja.
Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami
dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat
kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada
ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran
f. Tauhid sebagai prinsip metafisika. Dalam Islam, alam adalah ciptaan
dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan
teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak
mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar
manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga
penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri
dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
g. Tauhid sebagai prinsip etika Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah
memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak
mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi
tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang
sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan
kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang
mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat
dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
h. Tauhid sebagai prinsip tata sosial Dalam Islam tidak ada perbedaan
antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah
masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung
dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang
dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan
dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan
kehilangan klaim keislamannya.
i. Tauhid sebagai prinsip ummah Dalam menyoroti tentang tauhid
sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga
92
identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata
sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia
tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua,
universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang
cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme,
yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia
dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan
tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia
disetiap masa dan tempat
j. Tauhid sebagai prinsip keluarga Al-Faruqi memandang bahwa
selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan
kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi
masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang
terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari
sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan
erat dengan tauhid.
k. Tauhid sebagai tata politik Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan
pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga
dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak
(ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang
dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang
membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi
adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak
Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan
kewajiban yang timbul dari kesepakatan.
l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi Al-Faruqi melihat implikasi
Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada
seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua,
tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri
dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi
ekonomi mereka pada diri mereka sendiri. m. Tauhid sebagai prinsip
93
estetika Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas
manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan.
Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada
dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam
firman-firman-Nya.
B. Hasan Hanafi
1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo.
Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan
tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill
Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi
adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas
Kairo. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb
tentang keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami
pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial. Dari sekian banyak
tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah
satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam,
meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya
ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal
tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan
umat manusia.
2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi Tradisional
Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi
menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual
kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang
terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir
dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk
memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang
bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga
94
perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang
berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru
yang berasal dari kebudayaan modernharus dilakukan. Hanafi
memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam
kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik.
Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan
dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk
dikritik.
Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi
itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena
Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-
Nya yang berupa wahyu. Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu
tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan
mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam
adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan
(discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan,
melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk
kepada dunia.
Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda
yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang
sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh
dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for Granted.
Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan verifikasi
dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.Menurut Hasan Hanafi,
teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-
benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret
umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang
tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik
95
dengan amal praktiknya di kalangan umat. Secara historis, teologi yang
telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat
dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat:
Pertama, pada tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal
karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme
b. Rekontruksi Teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafilalu mengajukan
saran rekontruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk
memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini,
yaitu dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta nenbangun kembali
epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epiatemologi baru yag
sahih dan lebih signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah
menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang
kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang social, yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisonal memiliki fungsi secara actual
sebagai landasan etik dan motivasi manusia.
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan
sosial tertentu. Sistem kepercayaan menjadikan gerakan social sebagai
gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah:
the majority) sehingga system kepercayaan memiliki fungsi visi. Karena
memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi tradisionla adalah
revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama dimasa sekarang sama
halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika
filsafat menjadi zaman saat itu. Sebagai konsekuensi atas pemikirannya
yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam
menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran
rekontruksi teologi.
Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-
kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
96
1) Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah
pertarungan global anatar berbagai ideologi.
2) Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, tetapi
juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata
mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan
teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-
negara muslim.
3) Keperingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yang secara
nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi
menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat
mempersatukan umat Islam di bawah satu orde. Menurut Hanafi,
rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh
jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang
kongkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu
pertama-tama untuk mentranformasikan teologi menuju antropologi,
menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik
secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan. Selanjutnya Hanafi
menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu
dalam teologi Islam yaitu:
a. Analisis bahasa.
Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah
warisan nenek moyang di bawah teologi, yang merupakan bahasa
khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi
tradisonal memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat.
Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat
dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional seperti iman,
amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta
ada pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
97
b. Analisis realitas.
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang
historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu,
mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan
masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan
mengarahkan terhadap prilaku para pendukungnya. Analsis
realitas ini berguna untuk menentukan stressing kearah mana
teologi kontemporer harus diorientasikan
98
BAB 11
TOKOH ILMU KALAM MASA KINI
A. H.M.Rasyidi
1. Riwayat Hidup H.M Rasyidi
H. Mohamad Rasyidi (Kota gede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 30
Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet
Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II. Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir
(1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor,1956) Guru pada
Islamitische Middel bare School (PesantrenLuhur), Surakarta (1939-
1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam
Islami, Jakarta. Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di
Indonesia, orang akan sulit mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi,
lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang melanjutkan ke
Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada.
Lepas dari retorika-retorika anti-Baratnya, orang tak akan luput
mendapati bahwa hamper keseluruhan kontruksi Akademiknya dibangun
atas dasar unsur-unsur yang ia dapatkan dari Barat. Maka tidak
heran,kalau ia koreksi karya Dr. Harun Nasution tentang Islam di tinjau
dari berbagai aspeknya ,Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan
Pembaharuan Pendidikan Nasional ,MediaDakwah,1979. Kebebasan
Beragama, MediaDakwah,1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger
Garandy, Bulan Bintang,1982.56
2. Pemikiran Kalam H.M Rasyid
Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh
seangkatannya. Hal ini di lihat dari keritikan beliau terhadap Harun
Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar
Pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
56 Nurcholis madjid, kaki langit peradaban islam, paramadina, jakarta, 1997 hlm. 61.
99
a. Tentang perbedaan ilmu kalam dan teologi.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan
pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata ,“…Ada
kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam danTeologi adalah ilmu
kalam Kristen.’’57
Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi.
Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan
tauhid atau kalam Karena mereka tak memiliki istilah lain.Teologi terdiri
dari dua perkataan, yaitu teo (theos) artinyaTuhan, dan logos, artinya
ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan. Adapun sebab
timbulnyaTeologi dalam Kristen adalah ketuhanan Nabi Isa, sebagai
salah satu dari tri-tunggal atau trinitas.
Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek
agama Kristen, yang diluar Kepercayaan (yangbenar), sehingga teologi
dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam. 58
b. Tema-tema ilmu kalam
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh
Rasyidi adalah deskripsi aliran aliran kalam yangsudah tidak relevan lagi
dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu,
Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara
Asy’Ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution
,akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama
yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan Menggambarkan
bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya
membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-
universal, berarti meremehkan
57 H. M. Rasjidi, koreksi terhadap DR. Harun Nasution, tentang islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, Jakarta, 1977. Hlm. 33. 58 Ibid, hlm. 33-34.
100
ayat-ayat al-Qur’an seperti :"wallahuya'lamuwaantum lata'lamun".
Artinya;“ Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.(Q.S.Al-
Baqarah:232).
Rasyidi kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah di rasakan
bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah
kemunculan eksistensialisme sebaga ireaksi Terhadap aliran
rasionalisme.59
Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan
pada dua belas abad yang lalu, Masih ada yang relevan untuk masa
sekarang, tetapi adapula yang sudah tidak relevan. Pada Waktu
sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh
umat Islam pada Umumnya adalah keberadaan Syi’ah.60
c. Hakikat iman
Poin ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang
diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan
kepadaTuhan. Dan sikap apresiatif kepadaTuhan merupakan inti
pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini di sebut takwa.Takwa
diperkuat dengan kontak yang kontinu denganTuhan. Apresiasi
ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh,
sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.61 ”
Menanggapi pernyataan diatas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan
sekedar menuju bersatunya manusia denganTuhan, tetapi dapat dilihat
dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan
manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan
Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya
seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek
penyatuan itu adalah
kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.62
59 Ibid, hlm. 52. 60 Ibid, hlm. 104. 61 H. M. Rasjidi, koreksi terhadap DR. Nurcholish Madjid tentang sekularisasi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 61. 62 Ibid, hlm. 63.
101
B. Harun Nasution
1. Riwayat Singkat Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di
Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad adalah seorang ulama yang
mengetahui kitab-kitab Jawi.
Pendidikan formalnya di mulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh
tahun di HIS. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan
ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam lingkungan disiplin
yang ketat. Di lingkungan keluarga, harun memulai pendidikan Agama
dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah
lainnya.
Beliau meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweek school) di
Bukit tinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke
Universitas Al Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga
di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke
Mc.Gill, Kanada pada tahun 1962.63 Setiba di tanah air pada tahun1969
beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni Menjadi dosen di
IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas
Nasional. Harun Nasution adalah figure sentral dalam semacam jaringan
intelektual yang terbentuk
Di kawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an.
Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak
ditopangk apasitas intelektualnya, dan kemudian Kedudukan formalnya
sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.64
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia
islam, terutama sesudah pembukaan abad ke sembilan belas, yang
dalam sejarah islam dipandang sebagai permulaan periode modern.
Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru kedunia
63 Zaim uchrowi,Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah dalam Aqib Suminto. (ketua Panitia), Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1989, hlm. 3 dan seterusnya. 64 Azyumardi Azra, ‘’jaringan ulama timur tengah dan indonesia abad ke 17’’ dalam ibid , hlm. 359.
102
islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya.
Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru dan tokoh-tokoh
islam pun mulai memikirkan cara mengatasinya.
Sebagaimana halnya di barat, di dunia islam juga timbul pikiran dan
gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan pengetahuan dan
teknologi modern. Dengan jalan demikian tokoh islam modern
mengharap akan dapat melepaskan umat islam dari suasana
kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.65
2. Pemikiran Harun Nasution
a. Peranan Akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih
problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai
bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada.
Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat
menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang
ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis
demikian :“Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akal
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan
makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah
tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain.
Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah
kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.66
Dalam sejarah islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak
dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran
keagamaan Islam sendiri.Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-
Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-
65 Nasution, Harun, pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan gerakan, PT MAGENTA BAKTI GUNA, Jakarta, 1988, hlm. 11-12. 66 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 56.
103
penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam,
yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.67
b. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution.
Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan
kemunduran umat Islam Indonesia (juga dimana saja) adalah
disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini
serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya
(Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-
lain ) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang
sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan
teologi fatalistic, irasional,
Predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib
mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian,
jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution,umat
Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will
rasional,serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya
menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi
Mu’tazilah.68
c. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan
akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu
memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-
Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah
mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua
permasalahan keagamaan.69
67 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1980, hlm. 101. 68 Mansoer Faqih, ‘’Mencari Teologi Tertindas (khidmat dan kritik ) untuk Guruku Prof. Harun Nasution’’, dalam Suminto, op. Cit., hlm. 167. 69 Lihat pada Nasution, op. Cit., hlm. 150.
104
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam,
apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal
tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar.
Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang
wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai
dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang
di pertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan
akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain
dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam
Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal
ulama lain.70
70 Nasution, akal ..., op. Cit., hlm. 101-102.
105
DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie,Musa, 2002. Filsafat Islam,Yogyakarta: lesfi.
Bintang, Mario Arjuna. 2008. Akidah Akhlak. Jakarta: CV Tiga Serangkai.
E, Kusnadiningrat, 1999, Teologi dan Pembebasan: Gagasan Islam Kiri
Hasan Hanafi. Jakarta: Logos.
Hanafi, Ahmad. 2001.Teologi Islam. Jakarta:PT.Bulan Bintang.
Marid, 2009. Akidah Akhlak,Bandung: Tiga Saudara.
Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1988. Pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan
gerakan. Jakarta: PT Magenta Bakti Guna.
.1990. pembaharuan dalam islam sejarah pemikiran dan
gerakan, Jakarta :PT. Bulan Bintang.
. 2007. Teologi Islam. Jakarta : UI Press
Rozak, Abdul dan Anwar, Rohison,2001, Ilmu Kalam, Bandung : CV
Pustaka Setia.
Zainuddin. 1992. Ilmu tauhid lengkap . Jakarta : Rineka cipta.
top related