awan dan hujan
Post on 21-Oct-2015
127 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
AWAN DAN HUJAN
EDWARD SalehLab. Teknik Tanah dan Air
Fakultas Pertanian UnsriEmail : edwardsaleh@pps.unsri.ac.id
A. Awan
Awan adalah kumpulan titik-titik air atau kristal es yang melayang-
layang di atmosfer. Awan terjadi sebagai akibat adanya kondensasi. Udara
selalu mengandung uap air. Apabila uap air ini meluap menjadi titik-titik air,
maka terbentuklah awan.
Klasifikasi Awan
Menurut persetujuan internasional (dalam usaha penyeragaman),
awan dibedakan dalam empat golongan.
1. Golongan awan tinggi. Awan ini tingginya rata-rata yang terendah
6.000 m (± 20.000 ft). Termasuk golongan awan ini adalah :
a) Cirrus (Ci), yaitu awan yang halus, struktur berserat, seperti bulu
burung, sering tersusun sebagai pita yang melengkung, sehingga
seolah-olah bertemu pada satu atau dua titik di horison. Awan ini
tersusun oleh kristal-kristal es.
b) Cirostratus (Cs). Awan ini bagaikan kelambu, putih, halus,
menutup seluruh angkasa, yang oleh sebab itu berwarna pucat
atau kadang-kadang nampak sebagai anyaman tidak teratur.
Sering menimbulkan adanya “kalangan” (lingkaran) pada
matahari atau bulan.
c) Cirrocumulus (Cc). Awan ini berbentuk sebagai gerombolan
domba, menyebabkan adanya sedikit bayangan atau tidak sama
sekali.
2. Golongan awan sedang. Tinggi awan ini antara 2.000 – 6.000 m (±
6.000 – 20.000 ft). Termasuk kedalam golongan awan ini adalah :
a) Altrostratus (As). Awan ini berbentuk seperti selendang yang
tebal. Pada bagian yang menghadap bulan atau matahari nampak
lebih terang. Diantaranya terdapat bentuk-bentuk Cirostratus.
b) Altocumulus (Ac). Awan ini bagaikan bola-bola yang tebal putih
atau pucat dengan bagian-bagian kelabu karena kurang
mendapatkan sinar. Bergerombolan atau berlarikan dan sering
1
begitu dekat satu sama lain sehingga kelihatan seperti
bergandengan. Umumnya bola-bola yang di tengah-tengah
gerombolan atau larikan adalah lebih besar.
3. Golongan awan rendah. Tinggi awan ini antara 0 – 2.000 m (± 0 –
6.000 ft). Termasuk kedalam golongan awan ini adalah :
a) Stratocumulus (Sc). Awan ini berbentuk seperti gelombang yang
sering menutup seluruh angkasa, sehingga menimbulkan
persamaan dengan gelombang di lautan. Langit yang berwarna
biru sering masih nampak diatara awan ini.
b) Stratus (St). Awan ini melebar seperti kabut, akan tetapi tidak
sampai pada permukaan tanah.
4. Golongan awan dengan perkembangan vertikal. Awan ini tertinggi
sama dengan awan cirrus dan terendah antara 500 – 2.000 m (±
1.600 ft). Termasuk kedalam golongan awan ini adalah :
a) Nimbostratus (Ns). Suatu lapisan awan tebal dengan bentuk tidak
teratur, menimbulkan banyak hujan.
b) Cumulus (Cu). Awan ini merupakan awan tebal dengan dasar
horisontal dengan puncak yang bermacam-macam. Terbentuk
pada siang hari dalam udara yang naik. Bagian yang berhadapan
dengan matahari kelihatan terang. Mempunyai bayangan kelabu
jika disinari sebelah dan kelihatan hitam dengan pinggir putih jika
di muka matahari.
c) Cumulonimbus (Cb). Awan ini merupakan awan yang bervolume
sangat besar. Berbentuk bagaikan menara, gunung atau
pundaknya melebar. Awan ini menimbulkan hujan dengan kilat
dan guntur.
Terjadinya Awan
Prinsip utama terjadinya awan ialah : mula-mula udara yang
mengandung uap air temperaturnya tinggi, kemudian turun mencapai titik
kondensasi. Selanjutnya temperaturnya mengalami penurunan lagi dan
melampaui titik kondensasi.
Sebab-sebab terjadinya pendinginan udara
1. Untuk udara yang dekat dengan permukaan tanah pendinginan udara
disebabkan pengaruh pendinginan permukaan tanah. Seperti
2
diketahui setelah matahari terbenam baik atmosfer maupun
permukaan tanah masih tetap melepaskan panas. Tetapi permukaan
tanah (bumi) merupakan benda yang beradiasi lebih efektif daripada
atmosfer. Sehingga pendinginan pada waktu malam dipermukaan
tanah lebih cepat daripada di atmosfer. Sehingga akibatnya
temperatur dipermukaan tanah lebih rendah. Hal ini menyebabkan
udara yang berdekatan dengan permukaan tanah terpengaruh oleh
dinginnya permukaan tanah dan temperaturnya akan turun, dan jika
keadaan menguntungkan akan dicapai titik kondensasi dan akhirnya
terjadi kondensasi dan selanjutnya terbentuk tetesan-tetesan air,
inilah sebabnya pada pagi hari sebelum matahari terbit sering terjadi
kabut. Kabut ini tidak lain adalah awan yang berdekatan dengan
permukaan tanah. Hal ini dapat dimengerti misalnya saja kalau kita
naik gunung. Sewaktu kita masih dibawah kita melihat adanya awan
di puncak atau dekat puncak gunung. Tetapi setelah kita sampai
ditempat itu yang kita lihat dan dijumpai hanyalah kabut, seperti apa
yang kita lihat dekat permukaan tanah di daerah yang rendah.
2. Karena udara naik
Naiknya udara ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
a) Radiasi matahari
Pada siang hari akibat pemanasan dari matahari maka temperatur
udara yang dekat permukaan tanah akan menjadi tinggi dan
akibatnya udara di situ akan mengembang dan akan naik dengan
mendesak udara diatasnya dan disekelilingnya, yang lebih berat.
Naiknya udara ini pada suatu tempat dimana udara pada tempat
itu mempunyai temperatur dan berat jenis yang sama dengan
udara yang naik itu. Dengan naiknya udara itu maka
temperaturnya akan turun dan pada suatu saat akan mempunyai
titik kondensasi. Jika setelah dicapai titik kondensasi udara masih
naik terus maka akan terbentuk awan yang banyak. Tetapi bila
berhenti naik maka pembentukan awan juga berhenti. Hal ini
yang menyebabkan terbentuknya awan cumulus dan
cumulonimbus. Batas bawah awan cumulus adalah tempat
dicapainya titik kondensasi dan batas atas adalah batas naiknya
udara.
b) Karena pengaruh gunung/bukit
3
Kalau angin yang cukup kuat menjumpai gunung maka ia akan
dipaksa naik. Karena naik ini maka temperaturnya turun dan
seperti kejadian yang disebutkan di muka, jika udara cukup
mengendung uap air akan terbentuk awan.
c) Karena kabut
Jika masa udara yang panas bertemu dengan masa udara yang
dingin maka udara yang panas akan meluncur diatas udara yang
dingin. Hal ini karena udara yang dingin tadi berlaku sebagai
penghalang. (bidang pertemuan antara udara yang panas dan
masa udara yang dingin ini disebut front). Karena naik maka
temperatur udara yang lebih panas tadi akan turun secara
adiabatis dan memungkinkan terbentuknya awan. Awan yang
terbentuk merupakan awan berlapis yang terbentang mendatar.
d) Konvergen
Karena beberapa sebab udara yang bergerak horisontal dipaksa
untuk bertemu (konvergen). Karena udara tidak dapat
mengumpul dalam pertemuan ini maka akibatnya udara akan naik
walaupun naiknya perlahan-lahan. Sebagai akibatnya akan
memungkinkan terbentuknya awan.
B. Hujan
Hujan adalah air dalam bentuk cair atau padat yang jatuh sampai ke
permukaan bumi. Terjadinya hujan ini selalu didahului oleh proses
kondensasi dan atau pembekuan uap air. Awan merupakan suspensi
koloida udara atau aerosol. Selama butir-butir belum bersatu akan tetap
melayang-layang di udara. Ini menyebabkan awan itu kekal dan tidak akan
terjadi hujan. Jika butir-butir cenderung bersatu sehingga menjadi lebih
besar dan berat maka awan menjadi tidak kekal dan akan terjadi hujan.
Mekanisme terjadinya hujan
Jika dibuat suatu perbandingan antara ukuran butir-butir yang dapat
menghasilkan hujan menjadi jelas bahwa suatu proses khusus harus terjadi
pada awan yang dapat menimbulkan hujan. Hanya saja bagaimana proses
itu belum dapat diketahui dengan pasti. Seperti diketahui rata-rata butir
penyusun awan yang terjadi dari kondensasi selama 100 menit mempunyai
4
diameter 0,04 mm dan ukuran maksimum 0,2 mm. Sedangkan tetesan air
hujan yang umum diameternya antara 0,5 – 4,0 mm.
Ada dua pendapat mengenai bagaimana terjadinya butir-butir hasil
kondensasi ini sampai menjadi butir-butir yang dapat menimbulkan hujan.
Pendapat pertama mengatakan bahwa terjadinya butiran-butiran yang
dapat menimbulkan hujan itu disebabkan adanya penyatuan antara
beberapa butir hasil kondensasi. Pendapat ini kurang dapat menerangkan
mengapa hal ini hanya terjadi untuk beberapa macam saja. Pendapat yang
kedua mengatakan bahwa terjadinya butiran-butiran yang lebih besar itu
karena tumbuh dari adanya air dan partikel es dalam awan yang sama.
Seperti diketahui tetesan air mempunyai tekanan uap air lebih besar
(menguap lebih besar) daripada partikel es. Hal ini menyebabkan
terjadinya perpindahan air yang menguap dari butir-butir air dan
berkondensasi pada partikel es, sehingga partikel es ini diselubungi oleh air
yang makin lama makin besar sehingga mampu jatuh. Dengan jatuhnya
melalui awan dapat terus tumbuh dengan proses kondensasi dan bergabung
dengan butir-butir yang lain. Kebanyakan hujan di daerah lintang
menengah dan besar adalah terjadi akibat proses atau mendekati proses
ini, karena awan didaerah ini umumnya tumbuh sampai ketinggian diatas
batas pembekuan sebelum hujan terjadi. Walaupun demikian perlu
diketahui bahwa hujan juga dapat terjadi dari awan yang temperaturnya
masih cukup tinggi, terutama di daerah lintang kecil. Dalam hal ini
dijelaskan bahwa terjadi perpindahan air dari butiran air yang
temperaturnya lebih tinggi ke butiran yang temperaturnya lebih rendah.
Pendapat lain tentang proses terjadinya hujan adalah diawali ketika
sejumlah uap air di atmosfer bergerak ke tempat yang lebih tinggi oleh
adanya beda tekanan uap air. Uap air bergerak dari tempat dengan tekanan
uap air lebih tinggi ke tempat dengan tekanan uap air lebih rendah. Uap air
yang bergerak ke tempat yamg lebih tinggi (dengan suhu udara menjadi
lebih rendah) tersebut pada ketinggian tertentu akan mengalami
penjenuhan dan apabila hal ini diikuti dengan terjadinya kondensasi, maka
uap air tersebut akan berubah bentuk menjadi butiran-butiran air hujan.
Pengembunan
Jika udara didinginkan, maka kapasitas udara untuk menampung uap
air berkurang. Pada suatu titik jika jumlah uap air tidak berubah sedangkan
5
penurunan suhu terus terjadi akan mengakibatkan udara tak jenuh menjadi
jenuh yaitu RH = 100% atau ea =es. Suhu kritis tersebut merupakan suhu
titik embun. Jika udara didinginkan dibawah titik embun, maka kelebihan
uap air dari kemampuan udara menampung uap air ini akan berubah
menjadi titik-titik air atau partikel-partikel es. Jadi pengembunan ditentukan
oleh RH dan suhu. Jika RH tinggi hanya diperlukan sedikit penurunan suhu
untuk pengembunan dan sebaliknya jika RH kecil diperlukan penurunan
suhu yang besar untuk mencapai suhu titik embun.
Terjadinya kondensasi karena pendinginan di alam dapat terjadi karena
adanya kejadian seperti berikut:
1) Hilangnya panas melalui pancaran radiasi dari massa udara akan
menyebabkan udara menjadi dingin dan mngembun.
2) Rambatan/sentuhan dengan permukaan yang dingin akan
menghasilkan embun
3) Pencampuran dua massa udara dengan suhu dan kelembaban
yang berbeda. Jika campuran ini mencapai suhu titik embun
akan terjadi awan atau kabut.
4) Pendinginan adiabatik mengikuti pemuaian gelembung udara
yang naik. Arus udara naik diakibatkan oleh proses : konveksi,
konvergensi dan orografik. Pendinginan ini biasanya
menghasilkan awan.
Adanya pembentukan awan tidak dengan sendirinya diikuti dengan
terjadinya hujan. Namun demikian, keberadaan awan dapat dijadikan
indikasi awal untuk berlangsungnya hujan. Untuk uraian lebih rinci tentang
mekanisme terjadinya hujan dalam kaitannya dengan pembentukan awan
dapat dipelajari dalam Weisberg (1981) dan Mason (1975).
Secara ringkas dan sederhana, terjadinya hujan terutama karena
adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai
respon adanya beda tekanan udara antara dua tempat yang berbeda
ketinggiannya. Ditempat tersebut karena adanya akumulasi uap air pada
suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi, dan pada gilirannya
massa air basah tersebut jatuh sebagai air hujan. Dari sini dapat
disimpulkan ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya hujan, yaitu :
(1) kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih atas sampai saatnya
atmosfer menjadi jenuh,
6
(2) terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air kecil di atmosfer, dan
(3) partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan
waktu untuk kemudian jatuh ke bumi dan permukaan laut (sebagai
hujan) karena gaya gravitasi.
Akhirnya perlu disadari bahwa sampai sekarang persoalan ini belum
seluruhnya terpecahkan.
Klasifikasi hujan
1. Berdasarkan bentuk
Berdasarkan bentuknya hujan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :
1) Hujan (rain)
Hujan merupakan air yang turun berbentuk cair. Tetesan-tetesan air
yang jatuh mempunyai diameter bervariasi dari 0,5 – 4,0 mm. Bahwa
tidak semua ukuran butiran air dapat turun/jatuh menjadi hujan
disebabkan adanya geseran udara. Sehubungan dengan ini juga
Findisen mengatakan jarak jatuh dapat dicapai oleh suatu butiran air
jika melelui udara yang belum jenuh bertambah besar sebanding
dengan pangkat empat dari bertambahnya besar diameter.
Misalnya : jika suatu butiran air dengan diameter 0,1 mm melalui
lapisan udara dengan kelembaban relatif 90% maka setelah jatuh
sejauh 10 ft (± 3,3 m) butiran air itu sudah habis menguap,
sedangkan kalau diameter butiran itu 0,5 mm dia baru habis
menguap setelah jatuh sejauh 6,250 ft.
2) Salju (snow)
Salju terjadi karena sublimasi uap air pada temperatur dibawah titik
beku. Bentuk dasar salju adalah heksagonal akan tetapi hal ini
tergantung pada temperatur dan cepatnya sublimasi. Hujan bentuk
salju ini dapat terjadi jika dari tempat terjadinya awan sampai dengan
permukaan tanah temperaturnya lebih kecil dari 0oC (dibawah titik
beku). Hal ini karena kalau terdapat lapisan udara yang
temperaturnya masih di atas titik beku maka pada waktu kristal-
kristal es melalui lapisan itu akan mencair sehingga yang sampai ke
permukaan tanah bukan salju tetapi hujan air.
3) Hujan es (hail stone)
Terdiri dari bongkah-bongkah es, dengan diameter antara 5 – 50 mm.
Hujan es jatuh pada waktu ada hujan guntur dari awan
cumulonimbus. Di dalam awan terdapat konveksi dari udara panas
7
dan lembab. Dalam udara panas dan lembab yang naik secara
konvektif kondensasi mulai sebagai hujan akan tetapi butir-butirnya
diangkat secara vertikal keatas sampai pada suatu tempat tempertur
berada dibawah titik beku. Sehingga terjadi bongkah-bongkah es.
2. Berdasarkan proses terjadinya
a) Hujan konvektif (convectional storms).
Tipe hujan ini disebabkan oleh adanya beda panas yang diterima
permukaan tanah dengan panas yang diterima oleh lapisan udara di
atas permukaan tanah tersebut. Biasanya terjadi pada akhir musim
kering dengan intensitas hujan yang tinggi sebagai hasil proses
kondensasi massa air basah pada ketinggian di atas 15 km.
Mekanismenya : ketika udara di atas permukaan tanah menjadi lebih
panas daripada lapisan udara di atasnya, maka berlangsunglah
gerakan lapisan udara panas tersebut ke tempat yang lebih atas.
Udara panas yang bergerak keatas tersebut pada saatnya akan
terkondensasi, terus bergerak ke atas sehingga uap panas tersebut
akan membeku dan jatuh sebagai hujan oleh adanya gaya gravitasi.
Hujan konveksi ini pada umumnya cukup lebat, intensitas tinggi,
berlangsung relatif cepat, dan mencakup wilayah yang tidak begitu
luas.
b) Hujan orografis (orographic storms)
Hujan yang terjadi dari awan yang terbentuk dalam angin yang
melewati pegunungan. Hujan ini biasanya juga cukup lebat.
c) Hujan frontal (frontal/cyclonic storms)
Hujan yang terjadi dari awan yang terbentuk karena adanya
pertemuan masa udara yang panas dan yang dingin. Hujan ini
biasanya tidak lebat. Hujan ini banyak terjadi di daerah lintang
pertengahan. Hal ini jarang terjadi di daerah tropika dimana masa
udara hampir mempunyai temperatur yang seragam.
d) Hujan konvergen
Hujan yang terjadi dari awan yang terbentuk karena adanya
konvergen. Hujan ini biasanya juga cukup lebat.
Unsur-unsur dalan hujan
Hujan mempunyai susunan kimia yang cukup kompleks dan bervariasi
dari tempat yang satu ketempat yang lain, dari musim ke musim pada
8
tempat yang sama dan dari waktu hujan yang berbeda. Air hujan terdiri
dari atas : ion-ion natrium, kalium, kalsium, khlor, bikarbonat dan sulfat
yang merupakan jumlah yang besar bersama-sama. Amonia, nitrat, nitrit,
nitrogen, dan susunan-susunan nitrogen lain. Bagian yang kecil misalnya :
iodine, bromine, boron, besi, aluminium, dan silika. Asal unsur-unsur ini
adalah lautan, sungai-sungai/danau, permukaan tanah, vegetasi, industri,
dan gunung-gunung berapi. Air hujan pH-nya berkisar antara 3,0 – 9,8
Unsur data hujan
(1) Jumlah hujan
Hujan adalah nama umum dari uap air yang mengkondensasi dan
jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi. Jumlah
hujan selalu dinyatakan dengan dalamnya hujan (mm).
Salju, hujan es dan lain-lain juga dinyatakan dengan dalamnya
(seperti hujan) sesudah dicairkan. Budidaya pertanian dapat
dilakukan di daerah-daerah yang mendapat hujan tahunan lebih dari
450 mm. Jika hujan kurang dari 300 mm, maka budidaya pertanian
hanya mungkin dilaksanakan jika dibantu dengan irigasi.
(2) Intensitas hujan
Derajat curah hujan biasanya dinyatakan oleh jumlah curah hujan
dalam suatu satuan waktu dan disebut intensitas curah hujan.
Satuan yang digunakan adalah mm/jam. Jadi intensitas curah hujan
berarti jumlah hujan/curah hujan dalam waktu relatif singkat
(biasanya dalam waktu 2 jam). Intensitas curah hujan dapat
diperoleh atau dibaca dari kemiringan kurva (tangens kurva) yang
dicatat oleh alat ukur curah hujan otomatis. Pembagian intensitas
curah hujan seperti pada tabel berikut.
Tabel 1. Derajat curah hujan dan intensitas curah hujan
Derajat hujanIntensitas curah hujan (mm/min)
Kondisi
Hujan sangat lemah
< 0,02 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit
Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah menjadi basah semuanya, tetapi sulit membuat puddel
9
Hujan normal 0,05 – 0,25 Dapat dibuat puddel dan bunyi curah hujan kedengaran
Hujan deras 0,25 – 1 Air tergenang di seluruh permukaan tanah dan bunyi keras hujan kedengaran dari genangan
Hujan sangat deras
> 1 Hujan seperti ditumpahkan, saluran dan drainase meluap
Sedangkan sifat curah hujan seperti pada tabel 2 berikut.
10
Tabel 2. Keadaan curah hujan dan intensitas curah hujan
Keadaan curah hujanIntensitas curah hujan (mm)
1 jam 24 jam
Hujan sangat ringan < 1 < 5
Hujan ringan 1 – 5 5 – 20
Hujan normal 5 – 10 20 – 50
Hujan lebat 10 – 20 50 – 100
Hujan sangat lebat > 20 > 100
Curah hujan tidak bertambah sebanding dengan waktu. Jika waktu
itu ditentukan lebih lama, maka penambahan curah hujan adalah
kecil dibandingkan dengan penambahan waktu, karena kadang-
kadang curah hujan itu berkurang ataupun berhenti.
(3) Hubungan topografi dan hujan
Umumnya curah hujan di daerah pegunungan adalah lebih dari di
dataran rendah. Hubungan antara ketinggian (elevasi) dan curah
hujan dinyatakan oleh persamaan :
R = a + b.h
R curah hujan (mm)
h ketinggian (m)
(4) Pengamatan curah hujan
Pengamatan curah hujan dilakukan menggunakan alat ukur curah
hujan. Ada dua jenis alat ukur curah hujan yang digunakan untuk
pengamatan, yakni jenis biasa atau manual dan jenis otomatis. Alat
ukur curah hujan harus diletakkan pada daerah yang masih alamiah,
sehingga curah hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang
luas.
Alat ukur curah hujan yang paling banyak digunakan untuk manual
adalah tipe observatorium atau sering disebut ombrometer. Data
yang diperoleh dari alat tipe ini adalah curah hujan harian. Curah
hujan dari pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan di bagi
dengan luas mulut penakar. Alat tipe observatorium merupakan alat
baku dengan mulut penakar seluas 100 cm2 dan dipasang dengan
ketinggian mulut penakar 1,2 m dari permukaan tanah.
Alat pengukur curah hujan otomatis biasanya menggunakan prinsip
pelampung, timbangan dan jungkitan. Keuntungan menggunakan
11
alat ukur otomatis diantaranya adalah : (a) waktu terjadinya hujan
dapat diketahui, (b) intensitas setiap kejadian hujan dapat dihitung,
dan (c) pada beberapa tipe alat, pengukuran dapat dilakukan pada
periode waktu lebih dari sehari, misalnya mingguan.
C. Alat Pengukur Curah Hujan
C.1. Penakar curah hujan biasa
Penakar hujan ini termasuk jenis penakar hujan non-recording atau tidak dapat mencatat sendiri. Bentuknya sederhana, terdiri dari :
Sebuah corong yang dapat dilepas dari bagian badan alat. Bak tempat penampungan air hujan. Kaki yang berbentuk tabung silinder. Gelas penakar hujan.
C.2. Penakar Hujan Jenis Hellman
12
Penakar hujan jenis Hellman termasuk penakar hujan yang dapat mencatat sendiri. Jika hujan turun, air hujan masuk melalui corong, kemudian terkumpul dalam tabung tempat pelampung. Air ini menyebabkan pelampung serta tangkainya terangkat (naik keatas). Pada tangkai pelampung terdapat tongkat pena yang gerakkannya selalu mengikuti tangkai pelampung. Gerakkan pena dicatat pada pias yang ditakkan/ digulung pada silinder jam yang dapat berputar dengan bantuan tenaga per. Jika air dalam tabung hampir penuh, pena akan mencapai tempat teratas pada pias. Setelah air mencapai atau melewati puncak lengkungan selang gelas, air dalam tabung akan keluar sampai ketinggian ujung selang dalam tabung dan tangki pelampung dan pena turun dan pencatatannya pada pias merupakan garis lurus vertikal. Dengan demikian jumlah curah hujan dapat dhitung/ ditentukan dengan menghitung jumlah garis-garis vertikal yang terdapat pada pias.
C.3. Penakar Hujan Jenis Tipping Bucket
Bertujuan untuk mendapatkan jumlah curah hujan yang jatuh pada periode dan tempat-tempat tertentu. Pada bagian muka terdapat sebuah pintu untuk mengeluarkan alat pencatat, silinder jam dan ember penampung air hujan. Jika dilihat dari atas, ditengah-tengah dasar corong terdapat saringan kawat untuk mencegah benda-benda memasuki ember (bucket).Pada prinsipnya jika hujan turun, air masuk melalui corong besar dan corong kecil, kemudian terkumpul dalam ember (bucket) bagian atas (kanan). Jika air yang tertampung cukup banyak menyebabkan ember bertambah berat, sehingga dapat menggulingkan ember kekanan
13
atau kekiri, tergantung dari letak ember tersebut. Pada waktu ember terguling, penahan ember ikut bergerak turun naik. Penahan ember mempunyai dua buah tangkai yang berhubungan dengan roda bergigi. Gerakan turun naik penahan ember menyebabkan kedua tangkainya bergerak pula dan bentuknya yang khusus dapat memutar roda bergigi berlawanan dengan arah perputaran jarum jam. Perputaran roda bergigi diteruskan ke roda berbentuk jantung. Roda yang berbentuk jantung mempunyai sebuah per yang menghubungkan kedua pengatur kedudukan pena yang letak ujungnya selalu bersinggungan dengan tepi roda. Perputaran roda berbentuk jantung akan menyebabkan kedudukan pena bergerak sepanjang tepi roda.
Daftar Pustaka
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press.
Mason, B.J. 1975. Cluds, rain and rainmaking. Edisi ke 2. Cambridge University Press, Cambridge. 189 hal.
Subarkah, I. 1978. Hidrologi untuk perencanaan bangunan air. Penerbit Idea Dharma Bandung.
Weisberg, J.S. 1981. Meteorology : the Earth and Its Weather. Houghton Mifflin Company, Boston. 427 hal.
Wilson, E.M. 1993. Hidrologi Teknik. Edisi keempat. Penerbit ITB Bandung.
Wisnubroto, S., S.L. Aminah S. dan M. Nitisapto. 1983. Asas-asas Meteorologi Pertanian. Ghalia Indonesia.
14
top related