analisis sabun
Post on 26-Jan-2016
63 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Menyucikan diri dari kotoran dan najis biasa disebut dengan istilah
thaharah. Thaharah sangat diperhatikan dalam ajaran Islam karena merupakan
salah satu syarat sahnya ibadah (Mughniyah, 2002). Selain menggunakan air
sebagai alat untuk bersuci, terdapat cara lain yang memerlukan bahan tersendiri dan
tidak bisa tergantikan (harus sesuai syariat Islam), yakni menggunakan tanah/debu
yang suci (Abatasa, 2012).
Dewasa ini, perdagangan produk halal selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Arah penelitian terkait produk halal saat ini adalah perkembangan deteksi cepat
adanya komponen non-halal terutama yang berasal dari babi serta pencarian
alternatif komponen pengganti babi. Dengan demikian, para peneliti bidang halal
pasti akan bersentuhan dengan berbagai derivat babi (daging, lemak, ataupun
gelatin babi). Menurut hukum Islam, najis yang diakibatkan oleh derivat babi ini
adalah najis mughalladzah (najis berat), yakni semua dari babi, dan air liur anjing;
yang mana untuk menyucikannya digunakan air sebanyak tujuh kali, yang salah
satunya harus menggunakan tanah/debu yang suci (Alwy & Wahidan, 2003). Selain
peneliti bidang halal, cukup banyak pekerjaan lain yang kerap kontak dengan najis
mughalladzah diantaranya pedagang daging, dokter hewan, penggembala/ peternak
babi maupun anjing, dan lain sebagainya.
10
11
Sabun batang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari (Qisti, 2009).
Sebagian besar masyarakat menggunakan sabun batang untuk membersihkan
badan. Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, penggunaan tanah/debu
secara langsung (kontemporer) untuk proses penyucian najis mughalladzah dirasa
kurang praktis bagi kehidupan modern, sehingga inovasi untuk memformulasikan
tanah atau debu yang suci dalam bentuk sediaan sabun batang dengan menawarkan
kepraktisan.
Minyak kelapa dan minyak kelapa sawit merupakan bahan baku yang yang
kerap digunakan dalam formulasi sabun. Setiap minyak memiliki jenis asam lemak
dominan yang berbeda. Asam-asam lemak inilah yang nantinya akan menentukan
karakteristik dari sabun yang dihasilkan. Asam lemak yang paling dominan dalam
minyak kelapa adalah asam laurat (HC12H23O2) yang mampu memberikan sifat
pembusaan yang sangat baik untuk produk sabun (Ketaren, 1986). Sedangkan
dalam minyak kelapa sawit, asam lemak yang dominan adalah asam lemak palmitat
yang memberikan sifat mengeraskan/ memadatkan sabun (Miller, 2003). Kriteria
pemilihan minyak yang sesuai sangat mungkin untuk mendapat sifat sabun yang
optimum. Pada penelitian ini, sabun dioptimasi dengan kombinasi minyak kelapa
dan minyak kelapa sawit dengan metode Simplex Lattice Design.
Tidak semua jenis tanah dapat diformulasikan dalam sabun. Tanah yang
digunakan untuk pembuatan produk farmasi seperti sabun sebaiknya memenuhi
spesifikasi pharmaceutical grade untuk mendapatkan formula sabun yang optimal.
Dalam penelitian ini, digunakan bentonit (clay) sebagai tanah yang suci. Bentonit
merupakan sejenis tanah karena mempunyai komposisi utama mineral lempung,
12
sekitar 80% terdiri atas monmorilonit (Mg2Al10Si24O60(OH)12) (Günister et al.,
2004).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti membuat suatu optimalisasi formula
sabun yang mengandung bentonit dengan kombinasi minyak kelapa dan minyak
kelapa sawit untuk digunakan sebagai sabun untuk thaharah sehingga membuat
masyarakat menjadi nyaman dan praktis ketika harus berhubungan dengan najis
mughalladzah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apakah bentonit dapat digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah?
2. Apakah bentonit dapat diformulasikan dalam sediaan sabun yang memenuhi
persyaratan?
3. Bagaimana pengaruh variasi kadar minyak kelapa yang dikombinasikan
dengan minyak kelapa sawit terhadap sifat fisika kimia daya busa, stabilitas
busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali
bebas sabun bentonit?
4. Pada kombinasi kadar berapakah minyak kelapa dan minyak kelapa sawit agar
dapat memberikan sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan,
kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas sabun
bentonit yang optimum?
13
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan
Seiring dengan meningkatnya aktivitas penelitian halal (terutama yang
terkait dengan babi dan produk-produknya), maka penggunaan sabun ini adalah
suatu keniscayaan. Lebih lanjut, hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan juga
oleh para pedagang daging babi, yang banyak dijumpai di pasar tradisional, dokter
hewan, dan peternak babi/anjing, yang mungkin sebagiannya adalah orang Muslim.
Salah satu komponen penting dalam sabun adalah minyak nabati seperti
minyak kelapa dan minyak sawit. Indonesia merupakan salah satu negara
pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Bahan-bahan lain yang diperlukan
dalam penelitian ini (kecuali bahan kimia) seperti bentonit dan sukrosa juga
tersedia di Indonesia. Dengan demikian, ketersediaan bahan pembuatan sabun
bukan merupakan suatu kendala.
Sebagai perbandingan, di Thailand dan Malaysia sabun yang mengandung
tanah ini (diperuntukkan untuk menghilangkan najis mughalladzah) dijual dengan 6
– 7 kali lipat dibandingkan dengan sabun biasa yang tidak mengandung tanah. Hal
ini tentunya menarik pihak lain untuk berinvestasi memproduksi formula sabun
yang optimal untuk pengembangan produksi secara skala industri, salah satunya
dengan optimalisasi minyak nabati yang digunakan.
Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahui pengaruh kombinasi
campuran minyak kelapa dan minyak kelapa sawit terhadap sifat fisika kimia sabun
bentonit, serta mengetahui perbandingan jumlah minyak kelapa dan minyak kelapa
14
sawit yang tepat agar diperoleh formula optimum sabun bentonit menggunakan
metode Simplex Lattice Design.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Memberikan alternatif untuk menyucikan najis besar (mughalladzah) secara
praktis yang dikemas dalam bentuk sabun batang.
2. Tujuan Khusus
a. Memformulasikan bentonit ke dalam bentuk sediaan sabun yang memenuhi
persyaratan.
b. Mengetahui pengaruh kombinasi campuran minyak kelapa dan minyak
kelapa sawit terhadap sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa,
kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali
bebas sabun bentonit.
c. Memperoleh formula sabun bentonit yang memberikan sifat fisika kimia
daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan
asam lemak bebas/alkali bebas yang optimum dengan kombinasi minyak
kelapa dan minyak kelapa sawit menggunakan metode Simplex Lattice
Design.
E. Tinjauan Pustaka
1. Najis dan Cara Menyucikannya (Thaharah)
15
Najis berasal dari kata An-Najasah, yaitu sesuatu yang keluar dari dua
saluran manusia (qubul dan dubur), termasuk juga air seni dan tinja setiap
hewan yang dagingnya haram dimakan, dan sesuatu yang apabila jumlahnya
banyak berupa darah, nanah atau muntahan yang telah berubah. Juga berbagai
jenis bangkai dan bagian-bagian tubuhnya kecuali kulit yang telah disamak,
karena kulit menjadi suci dengan disamak (Al-Jazairi & Jabir, 2006). Secara
umum, najis yang memerlukan proses penyucian terdiri dari tiga jenis, yaitu:
a. Najis Mukhaffafah yang merupakan najis ringan, yakni air kencing bayi
lelaki yang belum berumur dua tahun, dan belum makan sesuatu kecuali air
susu ibunya. Cara menghilangkannya cukup diperciki air pada tempat yang
terkena najis tersebut sampai basah (Alwy & Wahidan, 2003).
b. Najis Mughalladzah yang merupakan najis berat, yakni semua dari babi dan
air liur anjing. Cara menyucikannya dibasuh tujuh kali dengan air, salah
satunya dengan tanah/debu yang suci (Alwy & Wahidan, 2003) setelah itu
dibasuh hingga bersih. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW:
قال النّثي صلّى هللا عليه وسلّم طهىر اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلة ان يغسله سثع مّرات اوال هّن
مسلم تالتّراب ) روا
Artinya: “Nabi Muhammad SAW bersabda: Sucinya tempat (perkakas)
salah seorang dari kamu apabila telah dijilat anjing, hendaklah mensuci
benda tersebut sampai tujuh kali, permulaan tujuh kali harus dengan tanah
atau debu.” (HR Muslim).
Tanah atau debu dalam pandangan fiqih adalah benda suci sehingga boleh
digunakan untuk bersuci (Abatasa, 2012).
16
c. Najis Mutawassithah yang merupakan najis sedang (Alwy & Wahidan,
2003), yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul manusia atau
binatang, barang cair memabukkan, dan bangkai (kecuali bangkai manusia,
ikan laut, dan belalang) susu, tulang, dan bulu hewan yang haram dimakan.
Cara menyucikannya dibasuh tiga kali agar sifat-sifat najis seperti warna,
rasa, dan bau hilang (Abatasa, 2012).
Menyucikan najis disebut juga dengan thaharah (bersuci). Menurut istilah
ahli fiqih, thaharah berarti membersihkan hadas atau najis, yaitu najis jasmani
seperti darah, air kencing, dan tinja (Mughniyah, 2002). Thaharah adalah
bentuk ritual karena untuk menetapkan sesuatu suci atau tidak hanyalah
berdasarkan kepercayaan (tidak menggunakan alasan logis). Kesucian atau
kenajisan hanyalah ajaran, ritus, ritual dan kepercayaan. Ketentuan seperti ini
resmi dari Allah SWT dan dibawa oleh Rasulullah SAW secara sah. Debu,
tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam ilmu fiqih bukan merupakan
benda yang kotor dan bukan termasuk najis. Debu dan tanah justru merupakan
salah satu alternatif yang digunakan umat Islam untuk bersuci apabila tidak ada
air (Abatasa, 2012). Tidak dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam berapa
kadar debu/ tanah yang harus digunakan dalam bersuci. Berdasarkan Kitab
Hadist Shahih Imam Bukhari dalam bab tayamum, Nabi Muhammad SAW
bersabda “Cukup bagimu (wajah dan kedua telapak tangan dan atau punggung
tangan) demikian ini”, beliau lalu memukulkan kedua tangannya ke tanah
kemudian meniupnya dan beliau mengusapkan kedua telapak beliau ke wajah
17
beliau dan telapak tangan beliau serta punggung tangan hingga pergelangan
(Efendi, 2007).
2. Sabun
Sabun adalah kosmetika paling tua yang dikenal manusia, dan merupakan
bahan pembersih kulit yang dipakai selain untuk membersihkan juga untuk
pengharum kulit (Wasitaatmaja, 1997). Sabun merupakan istilah umum untuk
garam asam lemak rantai panjang (Mitsui, 1997). Sabun adalah garam alkali
karboksilat (RCOONa). Gugus R bersifat hidrofobik karena bersifat nonpolar
dan COONa bersifat hidrofilik (polar) (Girgis 2003). Jenis sabun yang dikenal
yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair.
Sabun mempunyai sifat sebagai surfaktan. Gambar 1 menunjukkan skema
ilustrasi monomer-monomer surfaktan yang bergabung membentuk misel.
Gambar 1. Monomer Surfaktan yang Membentuk Misel
Lingkaran hitam menunjukkan kepala surfaktan yang bersifat hidrofilik. Garis hitam
menunjukkan ekor surfaktan yang bersifat hidrofobik (Yagui, 2005).
Kotoran yang menempel pada kulit tidak dapat dibersihkan jika hanya
menggunakan air, melainkan perlu suatu bahan yang dapat mengangkat
kotoran yang menempel tersebut. Karena sabun merupakan surfaktan, maka
sabun dapat menurunkan tegangan muka dan tegangan antarmuka, serta
mempunyai sifat menyabunkan, dispersibilitas, emulsifikasi, dan
membersihkan. Mekanisme pembersihan oleh sabun yaitu: saat kontak dengan
18
air, sabun berpenetrasi di antara kulit dan kotoran untuk menurunkan gaya
adhesi dan membuatnya lebih mudah dihilangkan. Kotoran tersebut selanjutnya
dapat dihilangkan secara fisik dan kemudian terdispersi dalam larutan sabun
sebagai hasil emulsifikasi oleh molekul sabun. Beberapa kotoran dapat
dihilangkan dengan cara tersolubilisasi dalam misel yang terbentuk oleh sabun
(Mitsui, 1997). Berikut ini merupakan gambar mekanisme pembersihan oleh
sabun.
Gambar 2. Sabun sebagai Pembersih (Wilson, 2013)
Molekul sabun tersusun dari gugus hidrofobik dan hidrofilik. Ketika
menggunakan sabun untuk membersihkan kotoran (lemak), gugus hidrofobik
sabun akan menempel pada kotoran dan gugus hidrofilik menempel pada air.
Pengikatan molekul-molekul sabun tersebut dapat menyebabkan tegangan
permukaan air berkurang, sehingga kotoran dapat terbuang saat pembilasan.
3. Metode Pembuatan Sabun
Sabun dapat dibuat melalui dua proses, yaitu saponifikasi dan netralisasi.
Proses saponifikasi terjadi karena reaksi antara trigliserida dengan alkali,
sedangkan proses netralisasi terjadi karena reaksi asam lemak bebas dengan
19
alkali. Proses saponifikasi terjadi pada suhu 80-100oC. Reaksi kimia pada
proses saponifikasi adalah sebagai berikut.
Trigliserida Basa Sabun Gliserol
Gambar 3. Reaksi Saponifikasi pada Sabun
Reaksi kimia proses netralisasi asam lemak adalah sebagai berikut:
Asam Lemak Basa Sabun Air
Gambar 4. Reaksi Netralisasi pada Sabun (Mitsui, 1997)
Reaksi penyabunan mula-mula berjalan lambat karena minyak dan larutan
alkali merupakan larutan yang tidak saling larut (immiscible). Setelah terbentuk
sabun maka kecepatan reaksi akan meningkat, sehingga reaksi penyabunan
bersifat sebagai reaksi autokatalitik, yaitu pada akhirnya kecepatan reaksi akan
kembali menurun karena jumlah minyak yang sudah berkurang (Alexander et
al., 1964 ).
Reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis sehingga harus
diperhatikan pada saat penambahan minyak dan alkali agar tidak terjadi panas
yang berlebihan. Pada proses penyabunan, penambahan larutan alkali
(KOH/NaOH) dilakukan sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dipanasi
(apabila untuk menghasilkan sabun cair) (Perdana & Hakim, 2008).
20
4. Komponen Pembentuk Sabun
Pada umumnya, sabun dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam
alkali. Di samping itu juga digunakan bahan tambahan lain seperti surfaktan,
humektan, pelumas, antioksidan, warna, parfum, pengontrol pH, garam dan
bahan tambahan khusus. Penggunaan bahan yang berbeda akan menghasilkan
sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia. Berikut penjelasan
bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sabun:
a. Minyak nabati
Minyak nabati berfungsi sebagai sumber asam lemak. Asam lemak
merupakan asam karboksilat berantai panjang yang panjangnya berbeda-
beda tergantung jenisnya tetapi bukan siklik atau bercabang. Asam-asam
lemak dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan
asam lemak tak jenuh. Masing-masing jenis asam lemak akan memberikan
sifat yang berbeda pada sabun yang terbentuk. Asam lemak rantai pendek
dan ikatan tak jenuh akan menghasilkan sabun cair. Asam lemak rantai
panjang dan jenuh menghasilkan sabun padat (Steve, 2008). Sabun yang
dihasilkan dari asam lemak dengan bobot molekul kecil akan lebih lunak
daripada sabun yang dibuat dari asam lemak dengan bobot molekul besar.
Asam lemak yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah asam lemak
yang memiliki rantai karbon berjumlah 12-18 (C12-C18). Asam lemak
dengan rantai karbon kurang dari 12 tidak memiliki efek sabun (soapy
effect) dan dapat mengiritasi kulit, sedangkan asam lemak dengan rantai
21
karbon lebih dari 20 memiliki kelarutan yang sangat rendah. Asam lemak
dengan rantai karbon 12-14 memberikan fungsi yang baik untuk pembusaan
sementara asam lemak dengan rantai karbon 16-18 baik untuk kekerasan
dan daya detergensi (Miller, 2003). Penggunaan asam lemak dalam jumlah
yang berlebihan dapat membuat kulit terasa kering (Steve, 2008).
Pengaruh jenis asam lemak terhadap sifat sabun yang dihasilkan
dijelakan pada Tabel I.
Tabel I. Jenis Asam Lemak dan Sifat Sabun yang Dihasilkan (Steve, 2008)
Asam Lemak Rumus Kimia Sifat yang ditimbulkan
pada sabun
Asam laurat CH3(CH2)10COOH Mengeraskan, membersihkan,
menghasilkan busa lembut
Asam miristat CH3(CH2)12COOH
Mengeraskan, membersihkan,
menghasilkan busa lembut
Asam palmitat CH3(CH2)14COOH Mengeraskan,menstabilkan busa
Asam stearat CH3(CH2)16COOH Mengeraskan, menstabilkan
busa, melembabkan
Asam oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH Melembabkan
Asam linoleat CH3(CH2)4(CH=CHCH2)2(CH2)6COOH Melembabkan
Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan asam lemak yang
memiliki rantai panjang, khususnya C16 dan C18, akan menghasilkan sabun
dengan struktur yang lebih kompak dan dapat mencegah atau
memperlambat disintegrasi sabun saat terpapar oleh air. Asam-asam lemak
rantai pendek memiliki kemampuan kelarutan dalam pelarut air, semakin
panjang rantai asam-asam lemak maka kelarutannya dalam air semakin
berkurang. Asam-asam lemak dengan rantai pendek, misalnya asam laurat,
22
berperan dalam kemampuan sabun untuk menghasilkan busa (Steve, 2008).
Asam-asam lemak merupakan komponen utama penyusun lemak
atau minyak. Karakteristik suatu sabun sangat dipengaruhi oleh karakteristik
minyak yang digunakan. Setiap minyak memiliki jenis asam lemak yang
dominan. Asam-asam lemak dalam minyak inilah yang nantinya akan
menentukan karakteristik sabun yang dihasilkan. Dalam penelitian ini,
minyak nabati yang digunakan adalah minyak kelapa, minyak kelapa sawit
dan minyak zaitun.
i. Minyak kelapa (Coconut oil)
Minyak kelapa merupakan hasil ekstraksi kopra atau daging buah
kelapa segar. Di pasaran, harga minyak kelapa dua kali lebih mahal
apabila dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Asam-asam lemak
dominan yang menyusun minyak kelapa adalah asam laurat dan asam
miristat, yang merupakan asam-asam lemak berbobot molekul rendah.
Minyak kelapa adalah salah satu jenis minyak dengan kandungan asam
lemak yang paling kompleks (Ketaren, 1986). Sifat fisikokimia minyak
kelapa dijelaskan pada Tabel II.
Tabel II. Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa (Chupa et al., 2012)
Karakteristik Nilai
Specific gravity 15oC 0.931
Bilangan Iodium 10
Bilangan Penyabunan 270
Bilangan Asam 270
Titik Leleh (oC) 26
Berdasarkan kandungan asam lemaknya, minyak kelapa
digolongkan ke dalam minyak asam laurat (Thomssen & McCutcheon,
23
1949), karena kandungan asam laurat di dalamnya paling besar jika
dibandingkan asam lemak lain. Asam laurat atau asam dodekanoat
adalah asam lemak jenuh berantai sedang yang tersusun dari 12 atom C
(BM: 200,3 g.mol-1
). Asam laurat memiliki titik lebur 44°C dan titik
didih 225°C sehingga pada suhu ruang berwujud padatan berwarna
putih, dan mudah mencair jika dipanaskan.
Asam laurat mampu memberikan sifat pembusaan yang sangat baik,
oleh karenanya asam laurat sangat diperlukan dalam pembuatan produk
sabun. Busa yang dihasilkan banyak dan sangat lembut namun
stabilitasnya relatif rendah (busa cepat hilang atau tidak tahan lama)
(Lakey, 1941). Sabun yang dihasilkan dari asam laurat memiliki
ketahanan yang tidak terlalu besar, artinya sabun batang yang
dihasilkan tidak cukup keras. Berikut ini merupakan perbandingan
jumlah asam lemak minyak kelapa dan minyak kelapa sawit.
Tabel III. Perbandingan komponen dan jumlah asam lemak minyak kelapa
dan minyak kelapa sawit (Chupa et al., 2012)
Asam Lemak Rumus Kimia Minyak
Kelapa (%)
Minyak
Kelapa Sawit (%)
Asam Lemak Jenuh
Asam kaprilat C7 H17COOH 7 -
Asam Kaprat C9 H19COOH 6 -
Asam Laurat C11 H23COOH 48 -
Asam miristat C13 H27COOH 19 2
Asam palmitat C15 H31COOH 9 42
Asam stearat C17 H35COOH 2 5
Asam Lemak Tidak Jenuh
Asam oleat C17 H33COOH 8 41
Asam linoleat C17 H31COOH 1 10
ii. Minyak kelapa sawit (Palm oil)
24
Minyak kelapa sawit merupakan hasil pemasakan buah sawit.
Minyak kelapa sawit berwarna jingga kemerahan karena kandungan zat
warna karotenoid, sehingga harus dipucatkan terlebih dahulu jika akan
digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun (Pasaribu, 2004). Sifat
fisikokimia minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel IV.
Tabel IV. Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa Sawit (Chempro, 2013)
Karakteristik Nilai
Specific gravity; 15oC 0,921 – 0,925
Titik leleh 42-45
Bilangan Iodium 48 – 58
Bilangan Penyabunan 196 – 205
Sabun yang terbuat dari 100% minyak sawit akan bersifat keras dan
berbusa sedikit namun tahan lama. Menurut Miller (2003), kekerasan
ini disebabkan kandungan asam palmitatnya yang cukup besar. Oleh
karena itu, apabila akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan
sabun, minyak kelapa sawit harus dicampur terlebih dahulu dengan
bahan lain. Kekerasan sabun sangat dipengaruhi oleh adanya asam
lemak jenuh dalam sabun. Semakin banyak jumlah asam lemak jenuh
dalam sabun, maka sabun akan menjadi semakin keras.
Stabilitas busa dan stabilitas emulsi sabun yang terbuat dari minyak
kelapa sawit sangat tinggi (Merrill, 1943). Menurut Suryani et al.
(2002), jumlah asam lemak mempengaruhi tingkat kestabilan emulsi
25
serta berperan dalam menjaga konsistensi sabun.
iii. Minyak Zaitun (Olive oil)
Penelitian ini juga menggunakan minyak zaitun di samping minyak
kelapa dan minyak kelapa sawit. Minyak zaitun diperoleh dari ekstraksi
buah zaitun. Minyak zaitun dengan kualitas tinggi memiliki warna
kekuningan. Sabun yang berasal dari minyak zaitun memiliki sifat yang
keras tapi lembut bagi kulit. Minyak zaitun trigliserida (TG) dengan
persentase 95-98% dan zat-zat minyak lainnya. TG merupakan ikatan
ester antara tiga asam lemak dengan satu unit gliserol (Mailer, 2006).
Berikut ini disajikan tabel kandungan asam-asam lemak yang terdapat
dalam minyak zaitun.
Tabel V. Kisaran jumlah kandungan asam-asam lemak yang terdapat dalam
minyak zaitun (Rohman & Che Man, 2011)
Minyak zaitun secara alami juga mengandung beberapa senyawa
yang tak tersabunkan seperti fenol, tokoferol, sterol, pigmen, dan
squalen. (Mailer, 2006). Selain digunakan untuk masakan, minyak
zaitun juga dapat digunakan untuk perawatan kecantikan. Minyak
zaitun dengan kandungan asam oleat hingga 80% dapat mengenyalkan
kulit dan melindungi elastisitas kulit dari kerusakan. Minyak zaitun
Asam lemak Nomor karbon (C) Jumlah %
Palmitat C16:0 10,95±0,33
Palmitoleat C16:1 0,73±0,03
Stearat C18:0 3,36±0,11
Oleat C18:1 70,08±0,77
Linoleat C18:2 7,43±0,09
Linolenat C18:3 0,36±0,02
Arachidat C20:0 0,67±0,03
Gadoleat C20:1 0,35±0,01
26
kaya tokoferol (vitamin E) yang merupakan anti penuaan dini. Minyak
zaitun juga bermanfaat untuk menghaluskan dan melembabkan
permukaan kulit tanpa menyumbat pori. Minyak zaitun merupakan
pelembab yang baik untuk melembabkan kulit wajah dan tubuh. Selain
itu, minyak zaitun bermanfaat untuk melepaskan lapisan sel-sel kulit
mati (Thomssen & McCutcheon, 1949).
b. Alkali
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi adalah
NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan etanolamin. NaOH (soda kaustik)
merupakan alkali yang paling banyak digunakan dalam pembuatan sabun
keras (Oghome et al., 2012). Kalium hidroksida banyak digunakan dalam
pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air (Dunn,
2008). Menurut Mitsui (1997), sabun yang dibuat dari Natrium hidroksida
dikenal dengan sebutan sabun keras (hard soap), sedangkan sabun yang
dibuat dari KOH dikenal dengan sebutan sabun lunak (soft soap) sampai
cair seperti sampo. Hard soap merupakan jenis sabun yang paling banyak
diproduksi dan dikonsumsi.
Karena pada penelitian kali ini akan dibuat sabun batang, maka
alkali yang digunakan adalah NaOH. Natrium hidroksida memiliki berat
molekul 40,01 serta merupakan basa kuat yang larut dalam air dan etanol
(Anonim, 1995). Menurut Poucher (1974), NaOH diperoleh melalui proses
27
hidrolisis natrium klorida. Penambahan NaOH harus dilakukan dengan
jumlah yang tepat pada proses pembuatan sabun. Apabila NaOH yang
ditambahkan terlalu pekat, maka alkali bebas yang tidak berikatan dengan
trigliserida atau asam lemak akan terlalu tinggi sehingga dapat mengritasi
kulit. Sebaliknya apabila NaOH yang ditambahkan terlalu encer atau terlalu
sedikit, maka sabun yang dihasilkan akan mengandung asam lemak bebas
yang tinggi (Kamikaze,2002).
c. Asam Stearat (C18H36O2)
Asam stearat adalah jenis asam lemak dengan rantai hidrokarbon
yang panjang, mengandung gugus karboksil di salah satu ujungnya dan
gugus metil di ujung yang lain, memiliki 18 atom karbon dan merupakan
asam lemak jenuh karena tidak memiliki ikatan rangkap di antara atom
karbonnya. Asam stearat berupa hablur padat, keras, mengkilap, warna
putih atau kekuningan pucat. Asam stearat praktis tidak larut dalam air dan
etanol 95%, namun mudah larut dalam kloroform dan eter (Anonim, 1980).
Asam stearat seringkali digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
krim dan sabun (Poucher, 1974). Asam stearat berperan dalam memberikan
konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997) serta dapat
menstabilkan busa (Swern, 1979)
d. Gliserin
Gliserin atau biasa disebut juga dengan gliserol merupakan cairan
kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, berasa manis dan memiliki sifat
28
higroskopis. Gliserin mudah bercampur dengan air dan etanol 95% namun
praktis tidak larut dalam kloroform, etanol, minyak lemak dan minyak atsiri
(Anonim, 1980).
Menurut Mitsui (1997), gliserin telah lama digunakan sebagai
humektan (moisturizer), yaitu skin conditioning agents yang dapat
meningkatkan kelembaban kulit. Humektan merupakan komponen
higroskopis yang mengundang air dan mengurangi jumlah air yang
meninggalkan kulit. Efektifitasnya tergantung pada kelembaban lingkungan
di sekitarnya.
e. Asam Sitrat
Sebagai pengontrol pH dapat digunakan asam sitrat. Asam sitrat
merupakan asam lemah yang dapat menurunkan pH sabun sehingga kulit
pengguna tidak teriritasi akibat sifat alkalis sabun (Wasitaatmaja, 1997).
Asam sitrat memiliki bentuk berupa hablur tidak berwarna atau
serbuk warna putih, tidak berbau, rasa asam kuat, dalam udara lembab agak
higroskopik, dalam udara kering agak merapuh. Kelarutannya sangat tinggi
dalam air dan etanol 95% namun sukar larut dalam eter (Anonim, 1980).
Asam sitrat juga berfungsi sebagai chelating agent (Rowe et al., 2009).
f. Coco Dietanolamida (Coco-DEA)
Coco-DEA merupakan dietanolamida yang terbuat dari minyak
kelapa. Dalam satu sediaan kosmetika, DEA berfungsi sebagai surfaktan
dan zat penstabil busa (Poucher, 1974). Dietanolamida merupakan penstabil
busa yang paling efektif. DEA tidak pedih di mata, mampu meningkatkan
29
tekstur kasar busa serta dapat mencegah proses penghilangan minyak secara
berlebihan pada kulit dan rambut (Suryani et al., 2002). Apabila digunakan
pada konsentasi lebih dari 4%, DEA dapat mengiritasi kulit (Rowe et al. ,
2009).
g. Lanolin
Lanolin adalah zat seperti lemak dari bulu domba Ovis aries L.
(Fam. Bovidae) yang telah dimurnikan. Lanolin berupa massa seperti salep
warna putih kekuningan. Dalam kosmetik, lanolin berguna sebagai bahan
dasar dalam emulsi air dalam minyak (Anonim, 1980). Lanolin dapat
meleleh pada suhu 34-38°C (Greenberg et al., 1954). Untuk menghindari
rasa kering pada kulit, diperlukan bahan yang tidak saja meminyaki kulit
tetapi juga berfungsi untuk membentuk sabun yang lunak, misal: asam
lemak bebas, fatty alcohol, gliserol, lanolin, parafin lunak, cocoa butter, dan
minyak almond. Bahan-bahan tersebut selain meminyaki kulit juga dapat
menstabilkan busa dan berfungsi sebagai peramas (plasticizers)
(Wasitaatmaja, 1997).
h. Natrium Klorida
Garam yang ditambahkan pada pembuatan sabun biasanya adalah
NaCl. NaCl berbentuk serbuk hablur berwarna putih dan berasa asin. Garam
ini mudah larut dalam air, sedikit lebih mudah larut dalam air mendidih,
larut dalam gliserin dan sukar larut dalam etanol (Anonim, 1995). Garam
dalam pembuatan sabun berfungsi sebagai pembentuk inti pada proses
pemadatan sehingga dapat mempercepat terbentuknya padatan sabun.
30
Garam yang digunakan sebaiknya murni, tidak mengandung Fe, Cl, atau
Mg. Penambahan garam tidak diperlukan dalam pembuatan sabun cair
(Thomssen & McCutcheon, 1949)
Selain itu, penambahan NaCl juga bertujuan untuk meningkatkan
pembusaan sabun dan untuk meningkatkan konsentrasi elektrolit agar sesuai
dengan penurunan jumlah alkali pada akhir reaksi sehingga bahan-bahan
pembuat sabun tetap seimbang selama proses pemanasan (Hambali et al.,
2005).
i. Surkrosa
Sukrosa adalah gula yang diperoleh dari tanman Saccharum
officinarum Linne, Beta vulgaris Linne dan sumber lainnya. Gula ini
berbentuk hablur putih atau tidak berwarna, massa hablur atau berbentuk
kubus atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa manis, stabil di udara.
Sukrosa sangat mudah larut dalam air, terlebih air mendidih, sukar larut
dalam etanol, tidak larut dalam kloroform maupun eter (Anonim, 1995).
Sukrosa bersifat humektan dan dapat membantu pembusaan sabun
(Priani, 2010). Pada proses pembuatan sabun transparan, sukrosa berfungsi
untuk membantu terbentuknya transparansi pada sabun. Sukrosa dapat
membantu perkembangan kristal pada sabun (Hambali et al., 2005).
j. Antioksidan
Kerusakan minyak atau lemak terutama bau tengik (rancid) dapat
dihindari dengan menambahkan antioksidan misalnya stearil hidrazid dan
butilhidroksi toluen (BHT) sebanyak 0,02% - 0,1%. Beberapa bahan lain
31
juga dapat digunakan sebagai penghambat oksidasi, yaitu natrium silikat,
natrium hiposulfit, dan natrium tiosulfat (Wasitaatmaja, 1997).
k. Parfum
Isi sabun tidak lengkap bila tidak ditambah parfum sebagai pewangi.
Pewangi atau pengaroma adalah suatu zat tambahan yang ditujukan untuk
memberikan aroma wangi pada suatu sediaan agar konsumen lebih tertarik
(Priani dan Lukmayani, 2010).
Setiap pabrik memilih bau sabun bergantung pada permintaan pasar.
Biasanya dibutuhkan wangi parfum yang tak sama untuk membedakan
produk masing-masing (Wasitaatmaja, 1997).
5. Kualitas Sabun
Sabun merupakan salah satu sediaan kosmetik mandi yang digunakan untuk
membersihkan tubuh, membantu melunakkan air sadah, memberi keharuman
dan rasa segar serta menghaluskan dan melembabkan kulit (Imron, 1985).
Menurut Langingi (2012), sabun batang yang ideal harus memiliki kekerasan
yang cukup untuk memaksimalkan pemakaian dan mampu menghasilkan busa
dalam jumlah yang cukup untuk mendukung daya bersihnya. Spesifikasi
persyaratan mutu yang harus dipenuhi pada produk sabun mandi menurut SNI
06-3532-1994 disajikan pada Tabel VI.
Tabel VI. Syarat Mutu Sabun menurut SNI 06-3532-1994
Uraian Tipe 1 Tipe 2 Superfat
Kadar air (%) Maks. 15 Maks.15 Maks. 15
Jumlah asam lemak (%) > 70 64 – 70 > 70
32
Alkali bebas
Dihitung sebagai
NaOH(%)
Dihitung sebagai
KOH (%)
Maks. 0,1
Maks. 0,14
Maks. 0,1
Maks. 0,14
Maks. 0,1
Maks. 0,14
Asam lemak bebas (%) < 2,5 < 2,5 2,5 – 7,5
Minyak mineral Negatif Negatif Negatif
Optimalisasi dalam formulasi sabun perlu dilakukan untuk menghasilkan
sabun yang berkualitas dan sesuai dengan harapan. Optimasi-optimasi yang
dilakukan dalam pembuatan sabun, biasanya dalam hal prosedur pembuatan
dan bahan yang digunakan (Priani, 2010).
6. Sifat Fisika dan Kimia Sabun
Secara umum, sifat fisik dalam sabun terdiri dari kekerasan, stabilitas busa,
bilangan titer, mudah dibilas (Girgis, 1998), tegangan permukaan, tegangan
antar muka, dan stabilitas emulsi (Bird, 1993). Sedangkan sifat kimia pada
sabun pada umumnya berupa pH, kadar air, jumlah asam lemak total, alkali
bebas, asam lemak bebas, dan minyak mineral (Girgis, 1998).
a. Kekerasan
Sabun batang pada umumnya memiliki tingkat kekerasan tertentu
(Priani, 2010). Kekerasan sabun dipengaruhi oleh asam lemak jenuh yang
digunakan pada pembuatan sabun. Asam lemak jenuh adalah asam lemak
yang tidak memiliki ikatan rangkap, tetapi memiliki titik cair yang lebih
tinggi dibandingkan dengan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap.
Asam lemak jenuh biasanya berbentuk padat pada suhu ruang, sehingga
33
akan menghasilkan sabun yang lebih keras (Gusviputri et al., 2013).
Apabila sabun terlalu lunak, maka akan menyebabkan sabun mudah larut
dan menjadi cepat rusak (Steve, 2008).
b. Daya dan Stabilitas Busa
Busa merupakan salah satu parameter penting dalam penentuan mutu sabun.
Sabun dengan busa melimpah pada umumnya lebih disukai oleh konsumen.
Busa memiliki peran dalam proses pembersihan dan melimpahkan wangi
sabun pada kulit (Langingi et al., 2012).
c. pH
Sabun pada umumnya mempunyai pH sekitar 10 (Mitsui, 1997). pH
merupakan indikator potensi iritasi pada sabun (Gehring, 1991). Apabila
kulit terkena cairan sabun, pH kulit akan naik beberapa menit setelah
pemakaian meskipun kulit telah dibilas dengan air. Pengasaman kembali
terjadi setelah lima sampai sepuluh menit, dan setelah tiga puluh menit pH
kulit menjadi normal kembali (Wasitaatmaja, 1997) yaitu sekitar 4,5-6,5
(Tranggono, 2007). Alkalinasi dapat menimbulkan kerusakan kulit apabila
kontak berlangsung lama, misalnya pada tukang cuci, pembilasan tidak
sempurna, atau pH sabun yang sangat tinggi (Wasitaatmaja, 1997).
d. Stabilitas Emulsi Sabun
Sabun padat termasuk dalam emulsi tipe w/o (Suryani et al., 2002).
Stabilitas emulsi merupakan salah satu karakter penting dan berpengaruh
34
besar terhadap kualitas produk emulsi saat dipasarkan. Emulsi yang baik
tidak membentuk lapisan-lapisan minyak dan air, memiliki konsistensi yang
tetap dan tidak terjadi perubahan warna. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh
jumlah asam lemak yang terkandung dalam sabun. Asam lemak ini berperan
dalam menjaga konsistensi sabun. Kestabilan emulsi dalam sabun juga
dipengaruhi oleh kadar air dan bahan dasar yang bersifat higroskopis.
Semakin tinggi kadar air dalam sabun maka stabilitas emulsi akan semakin
menurun (Jannah, 2009).
e. Kadar Air
Banyaknya air yang ditambahkan pada sabun akan mempengaruhi
kelarutan sabun. Semakin banyak air yang terkandung dalam sabun maka
pada saat digunakan sabun akan semakin mudah menyusut (Langingi et al.,
2012). Prinsip dari pengujian kadar air sabun adalah pengukuran
kekurangan berat setelah pengeringan pada suhu 105°C. Tingkat kekerasan
sabun sangat dipengaruhi oleh kadar air sabun. Semakin tinggi kadar air
maka sabun akan semakin lunak (SNI, 1994).
f. Jumlah Asam Lemak
Jumlah asam lemak adalah keseluruhan asam lemak baik asam
lemak yang terikat dengan natrium maupun asam lemak bebas ditambah
lemak netral (trigliserida netral/ lemak yang tidak tersabunkan). Pengujian
jumlah asam lemak pada prinsipnya dilakukan dengan memisahkan asam
35
lemak dari ikatan sabun natrium dengan penambahan asam kuat, kemudian
mengekstraknya dengan microwaks sehingga terbentuk cake yang berisi
campuran parafin + asam lemak bebas + lemak netral + asam lemak bebas
eks sabun + minyak mineral yang mungkin ada (SNI, 1994).
g. Asam Lemak Bebas/ Alkali Bebas
Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada dalam contoh
sabun, tetapi yang tidak terikat sebagai senyawa natrium maupun senyawa
trigliserida (lemak netral). Adanya asam lemak bebas dapat diperiksa
apabila pada pengujian alkali bebas ternyata tidak terjadi warna merah dari
indikator phenolphtalein setelah pendidihan dalam alkohol netral. Asam
lemak bebas yang melarut dalam alkohol netral selanjutnya dititrasi dengan
KOH alkoholis (SNI, 1994).
h. Minyak Mineral
Minyak mineral tidak mungkin dapat disabunkan seperti halnya
asam lemak bebas dan lemak netral, sehingga meskipun sudah disabunkan
dengan KOH berlebihan akan tetap sebagai minyak, dan pada penambahan
air akan terjadi emulsi antara air dan minyak yang ditandai adanya
kekeruhan (SNI, 1994).
7. Bentonit
Tanah yang digunakan dalam formulasi dan pembuatan sabun untuk
menyucikan najis mughalladzah ini adalah bentonit. Bentonit merupakan
sejenis tanah karena mempunyai komposisi utama mineral lempung (tanah
liat). Menurut Husnain (2010), tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri
36
dari agregat (butiran) mineral-mineral padat dan dari bahan-bahan organik
yang telah melapuk. Komponen terbesar dari tanah adalah silikat. Butir tanah
digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1. Pasir (sand), yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,050 - 2 mm.
2. Debu (silt), yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,002 - 0,050 mm.
3. Liat/lempung (clay), yaitu butir tanah berukuran kurang dari 0,002 mm.
Bentonit merupakan tanah liat (clay) alami golongan smektit dioktahedral
yang mengandung sekitar 80% monmorilonit (Mg2Al10Si24O60(OH)12) dan
sisanya antara lain kaolit, illit, feldspar, gypsum, abu vulkanik, kalsium
karbonat, pasir kuarsa, dan mineral lainnya (Günister et al., 2004).
Gambar 5. Bentonit (ECVV, 2003)
Bentonit berupa kristal, mineral seperti tanah liat, dan dapat diperoleh
dalam bentuk serbuk tak berbau, kuning pucat, atau krem hingga abu-abu, yang
bebas dari pasir. Bentonit sedikit berasa seperti tanah. Dalam bidang farmasi,
bentonit biasanya digunakan untuk memformulasi suspensi, gel, dan sol. Selain
itu, juga digunakan untuk mensuspensikan serbuk dalam sediaan cair dan
mempersiapkan basis krim yang mengandung agen pengemulsi minyak dalam
air (Rowe et al., 2009). Keberadaan bentonit sangat melimpah di Indonesia,
37
antara lain tersebar di pulau Jawa, pulau Sumatera, sebagian pulau Kalimantan
Timur dan pulau Sulawesi (Puslitbang Tekmira, 2005).
8. Simplex Lattice Design (SLD)
Suatu formula adalah kumpulan dari suatu komponen dari sisi kualitatif dan
kuantitatifnya. Setiap perubahan fraksi dari salah satu komponennya, maka
akan mengubah satu atau lebih banyak komponen lain (Rachmawati, 2012).
Simplex Lattice Design adalah suatu metode untuk menentukan optimasi pada
berbagai komposisi bahan yang berbeda. Metode ini dapat digunakan untuk
prosedur optimasi formula yang jumlah total dari bahan berbeda adalah
konstan (Bolton, 1997). Hubungan fungsional antara respon (variabel
tergantung) dengan komposisi (variabel bebas) dinyatakan dengan persamaan:
Y=β1A + β2B + β1.2AB……………………………….…………(1)
Keterangan:
Y : respon yang diinginkan
A dan B : fraksi dari tiap komponen
β1 dan β2 : koefisien regresi dari A,B
β1.2 : koefisien regresi dari interaksi A-B
Dalam menentukan formula optimum, perlu diperhatikan sifat fisika
dan kimia sabun yang dihasilkan. Penentuan formula optimum didapatkan
dari respon total yang paling besar, respon total dapat dihitung dengan
rumus, yaitu:
R total = R1 + R2 + R3 +Rn +………………………..(2)
R1,2,3,n adalah respon masing-masing sifat fisika dan kimia sabun bentonit.
38
Dari persamaan (2) akan diperoleh respon total dan formula yang
optimum, maka dilakukan verifikasi pada tiap formula yang memiliki
respon paling optimum pada setiap uji sifat fisika dan kimia sabun bentonit
(Armstrong & James, 1986).
9. Design Expert® versi 8.0.7.1
Design Expert versi 8 adalah software untuk melakukan optimasi dari
sebuah proses atau formula suatu produk. Program ini dapat mengolah 4
rancangan penelitian yang berbeda, yaitu: factorial design, combined design,
mixture design, dan respon surface method design. Untuk optimasi formula
dari serangkaian campuran komponen yang digunakan, maka dapat dipilih
mixture design. Terdapat dua syarat dalam memilih mixture design, yang
pertama adalah komponen-komponen di dalam formula merupakan bagian
total dari formulasi. Apabila presentase salah satu komponen naik, maka
presentase komponen yang lain akan turun. Syarat kedua adalah respon harus
merupakan fungsi dari komponen-komponennya. Mixture design dibedakan
menjadi dua, yaitu simplex lattice design untuk optimasi formula dengan
selang konsentrasi komponen-komponen yang digunakan sama dan non
simplex design untuk optimasi formula dengan selang konsentrasi komponen-
komponen yang digunakan berbeda (Anonim, 2010).
Penentuan formula optimum terdiri dari empat tahap, yaitu tahap
perencanaan formula, tahap formulasi, tahap analisis dan tahap optimasi.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan variabel-variabel
yang akan dikombinasi beserta konsentrasinya, lalu mentukan respon yang
39
akan diukur yang merupakan fungsi dari komponen-komponen penyusun
produk. Tiap-tiap variabel respon akan dianalisis oleh DX8 untuk mendapat
persamaan simplex lattice design dengan ordo yang cocok (linier, cuadratic,
cubic, simple qubic). Persamaan simplex lattice design bisa didapatkan dari
tiga proses yaitu berdasarkan sequential model sum of squares [Type I] untuk
model yang mempunyai nilai “Prob > F” lebih kecil atau sama dengan 0,05
(significant), lack of fit test untuk model yang mempunyai nilai “Prob > F”
lebih besar atau sama dengan 0,1 (not significant) , dan model summary
statistic. Kolom fit summary dapat digunakan untuk melihat ketiga proses ini.
Model terbaik dapat ditentukan dengan parameter adjusted R-Squares dan
Predicted R-Squared maksimum. Program DX8 menggunakan kolom fit
summary untuk memilih model terbaik (Suggested).
Design Expert juga menyajikan hasil analisis ragam ANOVA. Suatu
variabel respon dinyatakan berbeda signifikan pada taraf signifikansi 5% jika
nilai “Prob>F” hasil analisis lebih kecil atau sama dengan 0,05 sedangkan jika
nilai “Prob>F” hasil analisis lebih besar dari 0,05 maka variabel respon
dinyatakan tidak berbeda signifikan. Selanjutnya, variabel-variabel respon ini
digunakan sebagai model prediksi untuk menentukan formula optimal. DX8
akan mengolah semua variabel respon berdasarkan kriteria-kriteria yang
ditetapkan serta memberikan solusi beberapa formula optimal yang terpilih.
Nilai target optimasi yang dicapai dinyatakan dengan desirability yang nilainya
diantara 0 sampai 1. Semakin mendekati 1, semakin mudah suatu formula
dalam mencapai titik formula optimal berdasarkan variabel responnya
40
(Anonim, 2007). Hal ini dapat dicapai dengan memilih variabel uji yang
mampu memberikan pengaruh nyata (berbeda signifikan) terhadap respon,
penentuan rentang proporsi relatif masing-masing variabel uji, dan nilai target
optimasi variabel respon. Nilai desirability yang mendekati 1 akan semakin
sulit dicapai apabila kompleksitas variabel uji dan nilai target optimasi semakin
tinggi. Optimalisasi dilakukan untuk mencapai nilai desirability maksimum.
Meskipun demikian, tujuan utama optimasi bukan untuk mencari nilai
desirability sebesar 1 melainkan untuk mencari kombinasi yang tepat dari
berbagai komposisi bahan (Rachmawati, 2012).
10. Spektrofotometri Serapan Atom
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) adalah suatu metode pengukuran
berdasarkan jumlah radiasi yang diserap atom-atom bebas, bila sejumlah
radiasi dilewatkan melalui sistem yang mengandung atom-atom tersebut
(Khopkar, 1990). Metode spektrofotometri serapan atom dapat digunakan
untuk mendeteksi kuantitas atom logam yang terdapat pada suatu sampel
(Mahfudloh & Tirono, 2010). Sampel yang digunakan harus dalam bentuk
larutan encer dan jernih sehingga memerlukan preparasi terlebih dahulu
sebelum dianalisis (Gandjar & Rohman, 2007).
Prinsip dasar SSA adalah absorpsi sumber radiasi yang dipancarkan atom
pada keadaan ground state. Absorbsi berkaitan dengan konsentrasi unsur yang
dianalisis (Kellner et al., 1998). Sampel diuapkan dalam flame bersuhu 210-
280˚C menjadi bentuk uap atomnya, sehingga flame akan mengandung atom-
41
atom dari sampel yang akan dianalisis. Kemudian atom-atom ini akan
tereksitasi karena pengaruh panas, namun sebagian besar akan tetap berada
pada ground state. Atom-atom yang terksitasi akan kembali pada ground state
setelah melepaskan energi eksitasinya berupa suatu radiasi. Radiasi ini
memiliki panjang gelombang spesifik untuk setiap atom bebas (Christian,
1994). Sumber flame yang paling banyak digunakan adalah campuran asetilen
sebagai bahan pembakar dan udara sebagai pengoksidasi (Gandjar & Rohman,
2007). Prinsip dasar SSA dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 6. Prinsip Dasar SSA (Ma, 1997)
Penentuan konsentrasi analit dilakukan dengan mengukur atom pada
kondisi dasar. Faktor pengganggu dalam pengukuran dengan SSA adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah atom dalam kondisi dasar, yakni
pembentukan oksida (MO) akibat reaksi antara unsur dengan oksidan dalam
gas pembakar (flame) serta pembentukan ion (M2+
) dari elemen yang dianalisis
(Christian, 2003).
E. LANDASAN TEORI
Najis mughalladzah merupakan najis berat, yakni semua dari babi dan air
liur anjing. Menurut hukum islam, untuk menyucikan najis ini perlu digunakan air
42
sebanyak tujuh kali, yang salah satunya harus menggunakan tanah/debu yang suci.
Thaharah adalah ritual, dalam ajaran Islam tidak ada persyaratan khusus berapa
kadar debu yang harus digunakan dalam bersuci. Salah satu jenis tanah yang cukup
banyak dimiliki Indonesia adalah bentonit. Bentonit merupakan tanah liat (clay)
golongan smektit dioktahedral yang mengandung sekitar 80% monmorilonit dan
sisanya antara lain kaolit, illit, feldspar, gipsum, abu vulkanik, kalsium karbonat,
pasir kuarsa, dan mineral lainnya. Dalam bidang farmasi, bentonit biasa digunakan
untuk memformulasi suspensi, gel, dan sol. Karena merupakan suatu jenis tanah,
bentonit dapat digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah.
Salah satu bahan baku dalam pembuatan sabun adalah minyak nabati.
Minyak nabati yang sering digunakan dalam jumlah besar adalah minyak kelapa
(Coconut oil) dan minyak kelapa sawit (Palm oil). Kedua jenis minyak ini memiliki
kandungan-kandungan asam lemak yang berbeda. Tiap jenis asam lemak akan
memberikan sifat yang berbeda pada sabun yang terbentuk. Minyak kelapa
memiliki kandungan asam laurat paling besar diantara asam lemak lainnya. Asam
laurat sangat diperlukan dalam pembuatan sabun karena asam laurat mampu
memberikan sifat pembusaan yang sangat baik untuk produk sabun. Busa yang
dihasilkan banyak dan lembut namun stabilitasnya relatif rendah. Minyak kelapa
sawit memiliki kandungan asam palmitat paling besar diantara asam lemak lainnya.
Sabun yang dibuat dari asam palmitat memiliki kekerasan yang cukup tinggi serta
menghasilkan busa relatif kecil namun stabilitas busanya tinggi.
Karakteristik yang berbeda antara minyak kelapa (Coconut oil) dan minyak
kelapa sawit (Palm oil) dapat mempengaruhi kualitas sabun yang dihasilkan. Selain
43
itu komposisi dan proporsi NaOH, bentonit, dan bahan-bahan tambahan lain juga
berpengaruh terhadap sifat fisika dan kimia sabun. Campuran bahan baku pembuat
sabun yaitu minyak kelapa dan minyak kelapa sawit diharapkan dapat
menghasilkan sabun dengan kualitas baik. Untuk menghasilkan sabun yang
berkualitas diperlukan optimalisasi campuran minyak kelapa dan minyak kelapa
sawit. Optimasi dilakukan dengan pendekatan simplex lattice design untuk
mendapatkan formula optimum dari campuran minyak kelapa dan minyak kelapa
sawit sehingga dihasilkan sabun bentonit yang memiliki sifat fisika kimia yang
baik.
Oleh karena itu, pada penelitian ini diharapkan bentonit dapat
diformulasikan dalam sabun dengan kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa
sawit menggunakan metode optimasi simplex lattice design untuk memberikan
inovasi cara penyucian najis mughalladzah yang lebih praktis dan modern.
F. HIPOTESIS
1. Bentonit merupakan salah satu jenis tanah liat (clay) yang kaya akan mineral
silikat sehingga dapat digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah.
2. Bentonit dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan sabun sebagai alternatif
cara penyucian najis mughalladzah yang praktis dan modern.
3. Penggunaan kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit dapat
berpengaruh terhadap sifat fisika dan kimia daya busa, stabilitas busa,
kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas
sabun bentonit.
44
4. Pada proporsi tertentu kadar minyak kelapa dan minyak kelapa sawit akan
memberikan sifat fisika kimia daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air,
jumlah asam lemak, dan asam lemak bebas/alkali bebas sabun bentonit yang
optimum menggunakan metode simplex lattice design.
top related