analisis pengaruh belanja daerah bidang pendidikan,...
Post on 13-Feb-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS PENGARUH BELANJA DAERAH BIDANG
PENDIDIKAN, BIDANG KESEHATAN DAN KEMANDIRIAN
FISKAL DAERAH TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN
MANUSIA
(Studi Kasus Kabupaten/ Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun: 2011-2016)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun oleh:
Desiana Pinastika Sulisty
11150840000069
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKATA
1440 H / 2019 M
ii
iii
iv
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Desiana Pinastika Sulisty
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 15 Desember 1997
Alamat : JL. Raya Serpong – Alam Sutera km.8 Kp. Baru
Utara RT.04/RW.01 Kelurahan Pakulonan,
Kecamatan Serpong Utara, Tangerang Selatan.
Telepon : 085715557858
Email : desianaps15@gmail.com
II. LATAR BELAKANG KELUARGA
Ayah : Rudy Sulistiono
Tempat, Tanggal Lahir : Magelang , 15 November 1967
Ibu : Ayi Maryani
Tempat, Tanggal Lahir : Bandung, 18 Febuari 1965
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
III. PENDIDIKAN
1. SD Negri Pakulonan 2
2. SMP Negri 15 Kota Tangerang Selatan
3. SMA Negri 12 Kota Tangerang Selatan
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
IV. PRESTASI DAN PENGHARGAAN
1. Juara 1 English Debate tema (Smoking Area) kelompok SMA Negri 12
Kota Tangerang Selatan (2013)
2. Juara 3 Movie Editor Bahasa Indonesia SMA Negri 12 Kota Tangerang
Selatan (2013)
vii
3. Peserta Seleksi Paskibraka Kawasan Banten SMA Negri 12 Kota
Tangerang Selatan (2013)
4. Piagam Penghargaan Peringkat-3 Konsentrasi IPS (2014)
5. Peserta Lomba OSN Mata Pelajaran Geografi tahap Seleksi ke-2 (2014)
V. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota Seksi Bidang Sastra dan Budaya SMP Negri 15 Kota Tangerang
Selatan (2010)
2. Anggota Ekstrakulikuler Paskibraka SMP Negri 15 Kota Tangerang
Selatan (2010)
3. Bendahara OSIS SMP Negri 15 Kota Tangerang Selatan (2011)
4. Anggota OSIS Seksi Bidang Pembinaan Kepribadian Unggul, Wawasan
Kebangsaan, dan Bela Negara SMA Negri 12 Kota Tangerang Selatan
(2012)
5. Ketua Seksi OSIS Bidang Komunikasi Dalam Bahasa Inggris (2013)
6. Ketua Seksi OSIS Bidang Pembinaan Kepribadian Unggul, Wawasan
Kebangsaan, dan Bela Negara (2014)
7. Sekretaris Buku Tahunan Sekolah SMA Negri 12 Kota Tangerang Selatan
(2015)
8. Sekretaris Karang Taruna, Pakulonan Serpong Utara (2015)
9. Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan Divisi Internal (HMJ) (2016)
viii
ABSTRACT
This study aims to analyze and determine the effect of Regional Expenditures on
Education, Health and Regional Fiscal Independence on the Human Development
Index in the Regency / City of the Special Province of Yogyakarta in 2011-2016.
This study uses panel data analysis with the Fixed Effect Model (FEM) approach.
Tthe results of this study shows that variable Regional Spending in Education
Sector and Regional Fiscal Independence had a positive effect and significant to
Human Development Index. while Regional Expenditure in Health Sector had a
positive relationship but did not significant to Human Development Index. The
value of R-Squared is 0.808190 which means that the relationship between the
dependent variable and the independent variables can be explained by 80.81% in
this model and the remaining 19.9% is explained by other factors outside the
research model.
Keywords: Human Development Index, Regional Expenditure in Education,
Expenditure in Health, Regional Fiscal Independence, Fixed Effect Model (FEM).
ix
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh Belanja
Daerah Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan dan Kemandirian Fiskal Daerah
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016. Penelitian ini menggunakan analisis data
panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel Belanja Daerah Bidang
Pendidikan dan Kemandirian Fiskal Daerah memiliki hubungan yang positif dan
signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. sedangkan variabel Belanja
Daerah Bidang Kesehatan memiliki hubungan yang positif tetapi tidak signifikan
terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Nilai R-Squared sebesar 0.808190 yang
berarti bahwa hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dapat
di jelaskan sebesar 80,81% di dalam model dan sisanya 19,9% dijelaskan oleh
faktor lain di luar model penelitian
Kata Kunci: Indeks Pembangunan Manusia, Belanja Daerah Bidang Pendidikan,
Belanja Daerah Bidang Kesehatan, Kemandirian Fiskal Daerah, Fixed Effect
Model (FEM).
x
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang karena izin-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh
Belanja Daerah Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan dan Kemandirian
Fiskal Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-2016)”
dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi ini telah disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan dan
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini dapat terselesaikan tentu atas bimbingan, bantuan
dan semangat yang di dapat dari orang-orang yang ada di sekeliling penulis.
Tanpa orang-orang tersebut, penulis mungkin tidak dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan tepat waktu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yaitu Bapak Rudy Sulistiono dan Ibu Ayi Maryani
yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang yang tiada habisnya,
serta selalu memberikan semangat selama proses pengerjaan skripsi ini
hingga selesai. Terima kasih atas segala kebaikan yang tidak akan pernah
bisa penulis balas.
2. Kakakku Nafiri Ayu Sulisty yang selalu membantu, memberi semangat, dan
menghibur penulis di saat penulis sedang merasa kelelahan dengan
skripsinya Terima kasih untuk telah memberikan banyak dukungan selama
ini kepada penulis.
3. Bapak Djaka Badranaya, S.Ag,M.E. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis serta memberikan
xi
motivasi dan saran jika penulis melakukan kesalahan dalam proses
penyusunan skripsi.
4. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bapak Amilin, Prof.,Dr.,M.Si.,Ak.,C.A.,QIA.,BKP.,CRMP beserta seluruh
jajarannya.
5. Bapak Muhammad Hartana Iswandi Putra, M.Si selaku Kepala dan
Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan yang telah memberikan
bimbingan dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Utami Baroroh, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis sejak
awal perkuliahan yang telah membimbing penulis dan melibatkan penulis
dalam beberapa penelitian.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta jajarannya.
8. Teman terbaikku dari kecil Bella Ainun Gustiandini yang tidak pernah
berhenti untuk memberikan semangat yang tinggi, dukungan, selalu
mendengarkan keluh kesah penulis. Terima kasih banyak atas waktunya.
9. Teman-teman terbaik di jurusan Ekonomi Pembangunan Ayu, Silvi, Utari,
Reza, Desti dan Tia yang telah memberikan banyak kenangan dan pelajaran
hidup yang baik, sama-sama pejuang skripsi. Terima kasih banyak atas
segala bantuan, dukungan, semangat selama ini semoga kita semua sukses
dimasa mendatang.
10. Teman-teman terbaik di KKN Irma Majidah dan Dayat. Terima kasih telah
menjadi orang baik dikehidupan penulis, telah mendukung dan
menyemangati penulis dalam mengerjakan skripsinya.
11. Teman-teman terbaik semasa sekolah penulis yaitu Linda, Nadila, Indri,
Lala, Ghina dan Bela telah banyak memberikan dukungan ketika penulis
sedang mengalami kesulitan, dan memberikan semangat untuk penulis dalam
mengerjakan skripsinya. Terima kasih atas segala itikad baiknya.
12. Terakhir,untuk keluarga ekonomi pembangunan angkatan 2015 yang penulis
tidak dapat sebutkan satu persatu. Terima kasih banyak atas kebaikan yang
pernah diberikan kepada penulis. See you on the Next Journey!
xii
Semoga untuk semua pihak yang telah disebutkan dan telah berbaik hati
kepada penulis dapat di limpahkan pahala oleh Allah Subhanahu Wata’ala serta
kemudahan dalam menjalankan hidup dan juga diberikan kebahagiaan dan
dihindari dari segala masalah. Skripsi yang ditulis oleh penulis pun tidak luput
dari kesalahan dan masih terdapat berbagai kekurangan yang dilakukan penulis.
Kemudian dari itu, kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima oleh
penulis.
Wassalamualaikum warrahmatullahi
Jakarta, September 2019
Desiana Pinastika Sulisty
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN KOMPREHENSIF ...................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .................. iv
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ........................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................. .....vi
ABSTRAK ................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR .................................................................................. x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvi
DAFTAR GRAFIK ................................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xix
BAB 1 ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembahasan Masalah ......................................................................... 9
C. Rumusan Masalah ............................................................................ 10
D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 10
E. Manfaat Penelitian ............................................................................ 11
BAB II ......................................................................................................... 12
A. Teori Terkait Variabel Penelitian ..................................................... 12
1. Konsep Pembangunan Manusia .................................................... 12
2. Indeks Pembangunan Manusia ..................................................... 13
3. Peran Pemerintah dalam Pembangunan Manusia ......................... 16
4. Klasifikasi Belanja Daerah ........................................................... 18
xiv
5. Belanja Daerah Dalam Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia ................................................................. 25
6. Teori Politik Anggaran ................................................................. 27
7. Konsep Otonomi Daerah .............................................................. 29
8. Konsep Kemandirian Fiskal Daerah ............................................. 31
B. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 36
C. Hubungan Antar Variabel ................................................................ 38
D. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 39
E.Hipotesis Penelitian ............................................................................ 40
BAB III ........................................................................................................ 41
A. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 41
B. Metode Penentuan Sampel ............................................................... 41
C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data.................................... 42
D. Metode Analisis Data ....................................................................... 43
E. Operasional Variabel Penelitian ....................................................... 52
BAB IV ........................................................................................................ 53
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ................................................. 53
1. Profil Daerah Istimewa Yogyakarta ........................................... 53
2. Letak Geografis .......................................................................... 56
3. Keadaan Topografi dan Iklim .................................................... 57
4. Pembangunan Sumber Daya Manusia ....................................... 58
5. Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi D.I Yogyakarta ........ 59
6. Kemandirian Fiskal Daerah Kabupaten/Kota Provinsi D.I
Yogyakarta ................................................................................. 62
B. Temuan Hasil Penelitian .................................................................. 68
1. Hasil Uji Spesifikasi Model Panel Data ..................................... 68
a. Uji Chow .............................................................................. 68
b. Uji Hausman ........................................................................ 70
c. Fixed Effects Model.............................................................. 71
2. Uji Asumsi Klasik ...................................................................... 76
xv
3. Analisis Ekonomi ....................................................................... 78
BAB V .......................................................................................................... 82
A. Kesimpulan ...................................................................................... 82
B. Saran ................................................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................ 88
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 IPM Daerah Istimewa Yogyakarta 2011-2016 ................................... 3
Tabel 1.2 Indeks Pembangunan Manusia di Pulau Jawa periode 2011-2016 ..... 3
Tabel 1.3 Realisasi Belanja Pemerintah Menurut Fungsi Bidang Pendidikan Dan
Kesehatan, dan Total Realisasi Belanja Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Periode 2011-2016........................................................................... 5
Tabel 1.4 Laporan Realisasi APBD menurut Pendapatan Asli Daerah dan
Realisasi Dana Alokasi Umum Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2011-2016 (Dalam Rupiah)................................................................................. 8
Tabel 2.1 Penelitian-penelitian Terdahulu ........................................................ 36
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian .......................................... 52
Tabel 4.1 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi DIY Tahun 2011-2016 ........................................................................ 56
Tabel 4.2 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut
Kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2011-2016 ................. 59
Tabel 4.3 Total Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi D.I
Yogyakarta 2011-2016 ...................................................................................... 60
Tabel 4.4 Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Dalam Milyar Rupiah) ................................................................. 64
Tabel 4.5 Tingkat Kemampuan Kemandirian Daerah ..................................... 66
Tabel 4.6 Hasil Estimasi Common Effects Model ............................................. 69
Tabel 4.7 Hasil Estimasi Fixed Effects Model .................................................. 69
Tabel 4.8 Uji Chow (Rendundant Fixed Effects) .............................................. 70
Tabel 4.9 Uji Hausman (Correlated Random Effects) ...................................... 70
xvii
Tabel 4.10 Tabel Estimasi Hasil Regresi Data Panel ........................................ 71
Tabel 4.11 Uji t-statistik ................................................................................... 72
Tabel 4.12 Uji f-statistik .................................................................................. 73
Tabel 4.13 Uji Koefisien Determinansi ........................................................... 74
Tabel 4.14 Tabel Interpretasi Fixed Effect Model ............................................ 74
Tabel 4.15 Hasil Uji Autokorelasi .................................................................... 76
Tabel 4.16 Hasil Multikoleniaritas .................................................................... 77
Tabel 4.17 Hasil Uji Heterokedastisitas (Uji Glejser) ...................................... 78
xviii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Persentase Luas Wilayah Kabupaten/kota Provinsi DI.Yogyakarta 54
Grafik 4.2 Total Realisasi Belanja Pemerintah Menurut Fungsi Bidang Pendidikan
di Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016
(Dalam Rupiah) ................................................................................................. 61
Grafik 4.3 Total Realisasi Belanja Pemerintah Menurut Fungsi Bidang Kesehatan
di Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016
(Dalam Rupiah) ................................................................................................. 62
Grafik 4.4 Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota
Provinsi DI.Yogyakarta 2011-2016 .................................................................. 63
Grafik 4.5 Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta periode 2011-2016.................................................................... 67
Grafik 4.6 Hasil Uji Normalitas ........................................................................ 76
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar Kerangka Pemikiran ........................................................ 39
Gambar 4.1 Peta Wilayah Administratif Provinsi D.I Yogyakarta ................... 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Paradigma pembangunan yang sedang berkembang saat ini merupakan
pertumbuhan ekonomi yang dimana pertumbuhan ekonomi dapat diukur
dengan pembangunan manusia yang dapat dilihat dengan melalui tingkat
kualitas hidup manusia disetiap negara (Mirza, 2012). Banyaknya teori yang
menjelaskan tentang pembangunan dengan banyak menekankan pada
akumulasi modal sumber daya manusia dengan menciptakan pembangunan
yang lebih produktif melalui pengetahuan, kesehatan, nutrisi yang lebih baik,
dan peningkatan keterampilan.
Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk
menilai keberhasilan pembangunanan dari suatu negara. Pembangunan
ekonomi tidak terlepas dari peran peningkatan mutu SDM atau pembentukan
modal manusia. Pembentukan modal manusia adalah proses dan memperoleh
meningkatan jumlah orang yang mempunyai keahlian, pendidikan dan
pengalaman yang menentukan bagi pembangunan ekonomi dan politik suatu
negara.
Teori Pertumbuhan Baru dipelopori oleh Paul M. Romer dan Robert Lucas
sebagai kritikan terhadap teori pertumbuhan neo-klasik solow yang tidak bisa
menjelaskan dengan baik pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Teori
pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah terutama
dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital),
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat ditunjukkan oleh
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan pada manusia. Terdapatnya
kenaikan pengetahuan dan keahlian akan mampu memajukan peningkatan
produktivitas kerja sehingga mampu membantu dalam mengurangi angka
kemiskinan.
2
Proses dilaksanakannya sebuah pembangunan berbasis sumber daya
manusia harus berkaitan dengan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan saat
pembangunan tersebut dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas dan
kemampuan sumber daya manusia dalam memperoleh kesempatan dan
penghasilan manfaat di masa yang akan datang. Manfaatnya merupakan
tingkat penghasilan yang lebih tinggi, mencapai tingkat konsumsi yang lebih
tinggi di masa mendatang. Pembangunan manusia juga merupakan hasil
dampak dari pengembangan modal manusia. Sedangkan, perbaikan dari modal
manusia itu sendiri tidak terlepas dari perbaikan kinerja ekonomi. Dengan kata
lain antara perekonomian dan dampaknya terhadap pembangunan manusia
memiliki hubungan yang kuat, begitu pula sebaliknya akibat dari perbaikan
kualitas manusia tersebut dalam jangka panjang akan menjadikan
perekonomian meningkat (Munawwaroh, 2013).
Manusia merupakan modal utama dalam membangun suatu negara
ataupun membentuk suatu wilayah agar menjadi lebih baik, pembangunan
manusia merupakan salah satu indikator untuk mengukur kemajuan suatu
negara atau wilayah tersebut. Suatu negara atau wilayah dapat dikatakan maju
bukan saja diukur dari pembangunan fisik saja, tetapi juga dari kualitas
harapan hidup dan pendidikan masyarakatnya. Peran pemerintah juga penting
dalam meningkatkan pembangunan manusia, melalui alokasi dana ataupun
sumber pendapatan asli daerah yang di manfaatkan untuk masyarakat yang
digunakan untuk peningkatan bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Salah satu alat ukur yang lazim digunakan dalam melihat kualitas hidup
manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia. Pada tahun 1990 United
Nation Development Program (UNDP) memperkenalkan “Human
Development Index (HDI)” atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
dapat menggambarkan hasil pelaksanaan pembangunan manusia menurut tiga
komponen indikator kemampuan yang sangat mendasar yaitu : kesehatan,
kualitas pendidikan serta akses terhadap sumber daya ekonomi berupa
pemerataan tingkat daya beli masyarakat. Untuk mengetahui perkembangan
3
yang terjadi pada IPM di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat
pada Tabel 1.1 sebagai berikut:
Tabel 1.1
IPM Daerah Istimewa Yogyakarta 2011-2016
Tahun Nilai IPM Pertumbuhan IPM
2011 75,93 0,75
2012 76,15 0,29
2013 76.44 0,37
2014 76,81 0,48
2015 77,59 1,02
2016 78,38 1,01
Sumber: BPS, Indeks Pembangunan Manusia, DIY 2018
Tabel 1.1 Secara umum, pembangunan manusia Provinsi D.I Yogyakarta
terus mengalami kemajuan selama periode 2011 hingga 2016. IPM D.I
Yogyakarta meningkat dari 76,44 pada tahun 2013 menjadi 78,38 pada tahun
2016. Perkembangan tersebut ialah hal positif bagi masyarakat sekitar dalam
pembangunan sumber daya manusia. Untuk membandingkan IPM D.I
Yogyakarta dengan provinsi lain di Pulau Jawa, sebagai berikut.
Tabel 1.2
Indeks Pembangunan Manusia di Pulau Jawa periode 2011-2016
Wilayah 2011 2012 2013 2014 2015 2016
DKI Jakarta 77,75 77,90 78,08 78,39 78,99 79,60
Jawa Barat 64,32 67,98 68,25 68,80 69,50 70,05
Jawa Tengah 67,23 67,76 68,02 68,78 69,49 69,98
D.I.Yogyakarta 75,93 76,39 76,44 76,81 77,59 78,38
Jawa Timur 67,11 67,22 67,55 68,14 68,95 69,74
Banten 68,98 69,14 69,47 69,89 70,27 70,96
Sumber: BPS. Indeks Pembangunan Manusia 2011-2016
Pada tabel 1.2 secara garis besar dapat dilihat bahwa DKI Jakarta secara
stabil memiliki IPM yang tinggi sepulau Jawa dibandingkan dengan Provinsi
4
yang lainnya. Tetapi, provinsi D.I Yogyakarta menempatkan posisi kedua
sebagai pemegang IPM yang tinggi setelah DKI Jakarta, hal ini dapat di
katakan bahwa D.I Yogyakarta memang mempunyai pembangunan kualitas
SDM yang baik di bandingkan dengan IPM empat Provinsi di bawah D.I
Yogyakarta.
Kualitas SDM harus ditingkatkan secara maksimal antara lain melalui
peningkatan tingkat pendidikan dan juga taraf kesehatan baik itu di kota
maupun kabupaten yang berada di wilayah D.I Yogyakarta. Indonesia
merupakan salah satu negara yang menempatkan pendidikan sebagai aspek
penting dalam pembangunan. Hal itu dibuktikan dengan berbagai usaha-usaha
yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak orde lama hingga era reformasi.
Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyebutkan tentang
“mencerdaskan kehidupan bangsa,” yang terkait dengan pendidikan. Selain
pendidikan, kesehatan juga dapat meningkatkan pembangunan manusia.
Pembangunan manusia tidak terlepas dari peran pemerintah dalam
pembangunan, karena manusia merupakan modal utama dalam pembagunan
suatu daerah. Salah satu Provinsi yang memiliki tingkat pembangunan SDM
yang baik yaitu Provinsi D.I Yogyakarta, hal ini dapat di ukur dengan melihat
seberapa besar komitmen pemerintah daerah terhadap pembangunan
pendidikan dan kesehatan antara lain dapat tercermin dari anggaran
pendidikan dan kesehatan yang tertuang dalam APBD (Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah) yang bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja
Negara). Kebijakan alokasi APBD sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah
daerah setelah diberlakunannya desentralisasi fiskal daerah, hal ini bertujuan
agar pemerintah daerah dapat membangun daerahnya masing-masing secara
optimal.
Pemerintah melakukan pengeluaran atau investasi yang ditujukkan pada
pembangunan manusia terutama pada bidang pendidikan dan kesehatan yang
merupakan sektor yang sangat penting dalam pembentukkan modal manusia
yang akan berdampak pada pembangunan suatu daerah. Pengeluaran
5
pemerintah di bidang pendidikan tertuang di dalam UU No 20 tahun 2003
yang menyebutkan bahwa ”dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20 persen dari APBD”. Biaya tersebut didanai dari anggaran
pemerintah yang menjadi pengeluaran bagi pemerintah. Anggaran yang
dialokasikan untuk suatu bidang menunjukan komitmen pemerintah terhadap
permasalahan pada bidang tersebut. Untuk mengetahui perkembangan
realiasasi pengeluaran belanja pemerintah pada bidang pendidikan dan
kesehatan dapat dilihat pada tabel 1.3 sebagai berikut:
Tabel 1.3
Realisasi Belanja Pemerintah Menurut Fungsi Bidang Pendidikan Dan
Kesehatan, dan Total Realisasi Belanja Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Periode 2011-2016.
Tahun Bidang Pendidikan
Bidang Kesehatan
Total Belanja
Daerah
2011 161.604.742.123 59.286.908.091 1.562.268.734.645
2012 244.023.890.541 94.993.730.298 2.053.825.959.467
2013 251.362.429.396 169.183.746.997 2.509.643.375.218
2014 326.872.544.761 160.130.501.063 2.981.068.320.421
2015 352.403.703.595 201.172.402.004 3.496.425.502.266
2016 355.999.483.223 201.299.328.279 3.847.962.965.847
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2016
Tabel 1.3 memperlihatkan perkembangan realisasi belanja pemerintah
sektor pendidikan dan sektor kesehatan dalam Belanja Daerah di Provinsi
D.I.Yogyakarta tahun 2011-2016. Rata-rata realisasi pengeluaran pemerintah
D.I.Yogyakarta di sektor pendidikan rata-rata meningkat dan untuk realisasi di
bidang kesehatan cenderung lebih kecil. Realisasi pengeluaran belanja
pemerintah D.I.Yogyakarta di sektor pendidikan meningkat pada tahun 2011-
2016 dan menurun di tahun 2016. Selanjutnya, pembangunan juga bisa
6
diartikan sebagai suatu proses dan perubahan yang membuat keadaan di masa
yang akan datang menjadi lebih baik dibandingkan dengan keadaan sekarang.
Perubahan yang diharapkan berupa peningkatan kualitas hidup masyarakat
yang berada di daerah tersebut, sehingga dapat diartikan bahwa pembangunan
adalah sarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat.
Sejak tahun 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut
terkait dengan dilaksanakannya secara efektif otonomi daerah sebagaimana
yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Kemudian,
telah direvisi kembali dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dengan melengkapi kekurangan dari UU Nomor 32
Tahun 2004. Nomor Kedua Undang-Undang di bidang otonomi daerah
tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud
otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah untuk
menetapkan prioritas pembangunan dan mengelola segala potensi daerah dan
pemberdayaan sumber daya setempat sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Implikasi dari kewenangan otonomi daerah menuntut daerah untuk
melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk pembangunan
sarana dan prasarana publik (public service). Pembangunan tersebut
diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi
perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Maka dengan demikian,
daerah mengurangi ketergantungannya akan bantuan dari pusat serta
menghasilkan pendapatan daerah sendiri yang mampu mencukupi kebutuhan
dan pembangunannya sendiri.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah kabupaten/kota
diharapkan mampu menggali secara optimal sumber-sumber keuangan,
7
mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunannya. Dengan demikian,
pelaksanaan otonomi daerah akan menciptakan kemandirian fiskal bagi daerah
kabupaten/kota. Dengan terciptanya kemandirian fiskal daerah maka
pemerintah daerah akan mampu membiayai pembangunan daerahnya sesuai
dengan tujuan daerah tanpa melibatkan kepentingan pusat atau campur tangan
pemerintah pusat dalam proses pembangunan di daerah dalam arti suatu
daerah dapat dikatakan mandiri ketika PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang
berasal dari TPD (Total Pendapatan Daerah) lebih besar dan mendominasi di
bandingkan dengan penerimaan dana dari pemerintah pusat yaitu DAU (Dana
Alokasi Umum).
Tujuan lain dari pelaksanaan otonomi daerah adalah membebaskan
pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu dan mendorong prakarsa dan
kemampuan daerah sehingga daerah menjadi lebih mandiri untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan manusia,
terutama kabupaten/kota sebagai motor pelaksana kebijakan tersebut. Dengan
demikian daerah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pembangunan manusia yang tercermin dari angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM).
Kemandirian fiskal dapat dilaksanakan melalui pengelolaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terdiri atas Penerimaan dan Belanja
Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah
(PAD), dana perimbangan, dan penerimaan lain-lain yang sah. Sumber PAD
berasal dari daerah tersebut yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan sumber daya alam dan pendapatan lainnya yang sah.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah menciptakan
terwujudnya manusia yang mandiri dan mampu memberikan kontribusi
terhadap keberlanjutan pembangunan nasional di seluruh wilayah. Jika suatu
daerah semakin mandiri, maka dengan pendapatan asli daerah akan semakin
mampu membiayai pembangunan daerahnya sendiri, sehingga dana alokasi
8
umum kepada daerah tersebut akan rendah dibandingkan dengan sumber PAD
yang di hasilkan di daerah itu sendiri.
Tabel 1.4
Laporan Realisasi APBD menurut Pendapatan Asli Daerah dan Realisasi
Dana Alokasi Umum Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2011-2016 (Dalam Rupiah)
Tahun Pendapatan Asli Daerah Dana Alokasi Umum
2011 867.112.000 620.812.000
2012 1.004.063.000 757.056.000
2013 1.014.090.000 690.278.000
2014 1.260.917.000 899.924.000
2015 1.518.860.000 920.545.000
2016 1.577.467.000 940.835.000
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan dan Keuangan, Prov. DIY
Dilihat dari proporsi PAD dalam TPD (Total Penerimaan Daerah) dapat di
lihat di tabel 1.4 diketahui bahwa pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi D.I
Yogyakarta meningkat dari tahun 2011 hingga tahun 2016. Penerimaan
Provinsi D.I Yogyakarta diketahui didominasi oleh pendapatan asli daerah.
Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi D.I Yogyakarta bisa dikatakan mandiri
dalam pembiayaan pembangunannya karena sumbangan pendapatan asli
daerah lebih besar dibandingkan dengan sumbangan dana dari pemerintah
pusat yaitu DAU (Dana Alokasi Umum). Sedangkan. ketergantungan terhadap
pemerintah pusat yang dilihat dari besarnya DAU sedikit rendah bila
dibandingkan dengan pendapatan asli daerah nya dapat di artikan bahwa
pembangunan ekonomi dapat berjalan ketika suatu daerah bisa menstabilisasi
keuangannya dengan baik.
Pembangunan manusia tentunya sangat penting untuk perekonomian di
Indonesia khusus nya di tiap wilayahnya. Salah satunya faktor yang dapat di
gali ialah di kabupaten/kota Provinsi D.I Yogyakarta, pembangunan manusia
9
yang di lihat dengan menggunakan IPM ini selalu mengalami peningkatan
yang mana belanja daerah bidang pendidikan dan kesehatan di realisasikan
tiap tahunnya juga meningkat, dapat memungkinkan adanya pengaruh yang
besar yang berasal dari sumber belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan
yang berpengaruh terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia.
Kemudian, dengan melaksanakan otonomi daerah, kabupaten/kota
provinsi DI.Yogyakarta memungkinkan dapat menciptakan kemandirian fiskal
daerah di tiap wilayahnya dengan melihat tingkat kemandirian fiskal daerah
untuk setiap kabupaten/kota yang ada di Provinsi D.I Yogyakarta maka
diperlukan perhitungan rasio kemandirian daerah terlebih dahulu agar dapat
terlihat tingkat kemandirian suatu daerahnya. Periode waktu yang di ambil
ialah jangka waktu enam tahun dengan masing-masing wilayah yang ada di
Provinsi DI.Yogyakarta yang artinya sudah ada sedikit perubahan yang dapat
di lihat dari faktor-faktor yang memungkinan dapat mempengaruhi kenaikan
indeks pembangunan manusia di kabupaten/kota Provinsi D.I Yogyakarta.
Dalam hal ini menandakan bahwa SDM di Provinsi D.I Yogyakarta
tergolong baik, dari uraian tersebut hal yang terpenting adalah seberapa besar
pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
wilayah provinsi D.I Yogyakarta, oleh karena itu penulis tertarik dan ingin
mengangkat judul penelitiannya yang berjudul “Analisis Pengaruh Belanja
Daerah Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan dan Kemandirian Fiskal
Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia” (Studi Kasus
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011-
2016)
B. Pembahasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka perlu diadakan
pembatasan masalah. Hal ini bertujuan untuk memperjelas permasalahan yang
ingin diteliti agar lebih fokus dan mendalam. Dari beberapa permasalahan
yang ada, masalah besarnya Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terus mengalami kenaikan.
10
Besarnya IPM tersebut pasti dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor
eksternal maupun internal. Faktor internal yang dapat di ambil penulis yaitu
melalui kebijakan pemerintah dengan melalui pengalokasian anggaran yang
merupakan peran penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
dengan mengatur belanja daerah di dalam kebijakan fiskal yang dianggap
mampu meningkatkan IPM serta melalui tingkat kemandirian suatu daerah
yang sangat diperlukan untuk pembangunan di tiap daerah kabupaten/kota
Provinsi D.I Yogyakarta. Peningkatan SDM juga dapat dilakukan melalui 3
bidang yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah dan batasan masalah yang telah di uraikan,
dan untuk memberikan pedoman dalam melaksanakan penelitian maka,
terdapat arahan untuk melakukan penelitian dengan merumuskan latar
belakang. maka perumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaruh hubungan antara Belanja Daerah Bidang Pendidikan
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I
Yogyakarta?
2. Bagaimana pengaruh hubungan antara Belanja Daerah Bidang Kesehatan
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I
Yogyakarta?
3. Bagaimana pengaruh hubungan Kemandirian Fiskal Daerah terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I
Yogyakarta?
4. Bagaimana pengaruh semua variabel bebas secara simultan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah.
11
1. Menganalisis pengaruh Belanja Daerah Bidang Pendidikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta.
2. Menganalisis pengaruh Belanja Daerah Bidang Kesehatan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta.
3. Menganalisis pengaruh Kemandirian Fiskal Daerah terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta.
4. Menganalisis secara simultan pengaruh seluruh variabel bebas terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota D.I Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Kepentingan Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melengkapi kajian
teoritis yang berkaitan dengan ekonomi daerah dan keuangan daerah,
khususnya tentang pembangunan ekonomi daerah.
b. Dapat memberikan kontribusi dalam menambahkan ilmu dan
pengetahuan.
c. Menambah wawasan bagi bidang ekonomi lainnya terutama dalam hal
mengenai pembangunan sumber daya manusia khususnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
2. Bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan rujukan yang mengarahkan
pada proses pembangunan ekonomi daerah yang lebih merata serta
merealisasikan keuangan daerah secara merata.
3. Bagi Peneliti
a. Sebagai suatu pengujian dan latihan dalam menerapkan ilmu yang telah
diperoleh selama masa perkuliahan.
b. Mengasah daya analisis peneliti dalam memecahkan masalah ekonomi.
c. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan, mengembangkan
pemikiran, serta wawasan yang akan berguna untuk masa yang akan
datang
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Terkait dengan Variabel Penelitian
1. Konsep Pembangunan Manusia
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2018), pemikiran tentang
pembangunan (paradigma) telah mengalami pergeseran, yaitu dari
pembangunan yang berorientasi pada produksi (production centered
development) pada dekade 60-an ke paradigma pembangunan yang lebih
menekankan pada distribusi hasil-hasil pembangunan (distribution growth
development) selama dekade 70-an. Selanjutnya pada dekade 80-an, muncul
paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat (basic need development), dan akhirnya menuju paradigma
pembangunan yang terpusat pada manusia (human centered development)
yang muncul pada tahun 1990-an.
Ada enam alasan mengapa paradigma pembangunan manusia ini bernilai
penting, yaitu: (1) Pembangunan bertujuan akhir meningkatkan harkat dan
martabat manusia; (2) Mengemban misi pemberantasan kemiskinan; (3)
Mendorong peningkatan produktivitas secara maksimal dan meningkatkan
kontrol atas barang dan jasa; (4) Memelihara konservasi alam (lingkungan)
dan menjaga keseimbangan ekosistem; (5) Memperkuat basis civil society dan
institusi politik guna mengembangkan demokrasi; dan (6) Merawat stabilitas
sosial politik yang kondusif bagi implementasi pembangunan (Basu dalam
Hamudy, 2008).
Menurut Basri dan Munandar (2010), hakikat pembangunan adalah
membentuk manusia-manusia atau individu-individu yang otonom, yang
memungkinkan mereka dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimilikinya secara optimal. Inilah yang menjadi landasan kokoh bagi
terwujudnya manusia-manusia unggulan sebagai modal utama terbentuknya
daya saing nasional dalam menghadapi persaingan internasional.
13
Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk
menilai keberhasilan pembangunan dari suatu negara. Paradigma
pembangunan yang sedang berkembang saat ini adalah pertumbuhan ekonomi
yang diukur dengan pembangunan manusia yang dilihat dengan tingkat
kualitas hidup manusia di tiap-tiap negara. Salah satu tolak ukur yang
digunakan dalam melihat kualitas hidup manusia adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang diukur melalui kualitas tingkat pendidikan, kesehatan
dan ekonomi (daya beli). (Mirza, 2012 :1)
Menurut BPS (2018) pembangunan manusia merupakan paradigma
pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan
sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya
penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak),
peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan peningkatan
pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat
berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi).
2. Indeks Pembangunan Manusia
Definisi pembangunan seiring waktu berjalan pengertian pembangunan
semakin berkembang dengan didukung oleh pembangunan manusia atau bisa
dikatakan human development sehingga terbentuk definisi pembangunan yang
berorientasi pada manusia (people centered development). Pada 1990 indeks
telah dikemukakakan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan seorang
ekonom Pakistan Mahbub ul Haq, serta dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale
Universitydan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics. Sejak
itu indeks ini dipakai oleh program pembangunan PBB pada laporan IPM
tahunannya. Keberhasilan pembangunan diukur dengan beberapa parameter,
dan paling populer saat ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau
Human Development Indeks (HDI). (Masita, dan Sri 2017).
Pada tahun 1990 UNDP (United Nations Development Programme) dalam
laporannya “Global Human Development Report” memperkenalkan konsep
14
“Pembangunan Manusia (Human Development)” sebagai paradigma baru
model pembangunan. Menurut UNDP, pembangunan manusia didefinisikan
sebagai perluasan pilihan bagi manusia (enlarging people’s choices), yang
dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah “perluasan pilihan” dan sekaligus
sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Pembangunan manusia dapat
dilihat juga sebagai pembangunan (formation) kemampuan manusia melalui
perbaikan taraf kesehatan, pengetahuan, dan keterampilan sekaligus sebagai
pemanfaatan (utilization) kemampuan/keterampilan mereka.
Menurut UNDP dalam Human Development Report (HDR) yang
menekankan bahwa untuk memperluas pilihan-pilihan manusia, konsep
pembangunan manusia harus dibangun dari empat dimensi yang tidak
terpisahkan. Berdasarkan konsep di atas maka untuk menjamin tercapainya
tujuan pembangunan manusia, ada empat unsur pokok yang perlu diperhatikan
(UNDP pada tahun 1995) yaitu:
a. Produktivitas (Productivity)
Masyarakat harus mampu untuk meningkatkan produktifitas mereka dan
berpartisipasi penuh dalam proses mencari penghasilan dan lapangan
pekerjaan. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi merupakan bagian dari
model pembangunan manusia.
b. Pemerataan (equity)
Masyarakat harus mempunyai akses untuk memperoleh kesempatan yang
adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus
dihapuskan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan
memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada.
c. Kesinambungan (Sustainability)
Akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan bahwa tidak hanya
untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Semua
jenis pemodalan baik itu fisik, manusia, dan lingkungan hidup harus
dilengkapi.
d. Pemberdayaan (Empowerment)
15
UNDP menyusun suatu indeks komposit berdasarkan pada 4 (empat)
indikator yaitu: Angka Harapan Hidup (life expectancy at age), Angka Melek
Huruf penduduk dewasa (adult literacy rate: AMH), Rata-rata Lama Sekolah
(mean years of schooling: MYS) ,dan Purchasing Power Parity (PPP). Angka
harapan hidup mengukur dimensi "umur panjang dan sehat", angka melek
huruf dan rata-rata lama sekolah mengukur dimensi "pengetahuan dan
keterampilan", dan purchasingpower parity (PPP) mengukur dimensi
kemampuan dalam mengakses sumber daya ekonomi dalam arti luas. Ketiga
indikator inilah yang digunakan sebagai komponen dalam penyusunan Human
Development Index (HDI) yang diterjemahkan menjadi Indeks Pembangunan
Manusia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengaplikasikan penghitungan IPM
tersebut untuk melihat kemajuan pembangunan manusia di Indonesia baik
pada level provinsi maupun level kabupaten/kota. BPS melakukan beberapa
penyesuaian pada penghitungan IPM, yaitu pada komponen pendidikan dan
ekonomi.
Perubahan metode perhitungan IPM telah diberlakukan dan resmi
digunakan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2010. lasan yang dijadikan
dasar perubahan metodologi penghitungan IPM. (Badan Pusat Statistik, 2019).
Terdapat alasan yang dijadikan dasar perubahan metodologi penghitungan
IPM, yaitu:
1) Beberapa indikator sudah tidak tepat untuk digunakan dalam penghitungan
IPM. Angka melek huruf sudah tidak relevan dalam mengukur pendidikan
secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas pendidikan.
Selain itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah
tinggi, sehingga tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antardaerah
dengan baik.
2) PDB per kapita tidak dapat menggambarkan pendapatan masyarakat pada
suatu wilayah.
16
3) penggunaan rumus rata-rata aritmatik dalam penghitungan IPM
menggambarkan bahwa capaian yang rendah di suatu dimensi dapat
ditutupi oleh capaian tinggi dari dimensi lain.
Indikator yang diubah yaitu:
1) Angka Melek Huruf pada metode lama diganti dengan Angka Harapan
Lama Sekolah .
2) Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita diganti dengan Produk
Nasional Bruto (PNB) per kapita.
3) Metode agregasi diubah dari rata-rata aritmatik menjadi rata-rata
geometrik.
Keunggulan metode baru yaitu:
Menggunakan indikator yang lebih tepat dan dapat membedakan dengan
baik (diskriminatif).
1) Dengan memasukkan rata-rata lama sekolah dan angka harapan lama
sekolah, dapat diperoleh gambaran yang lebih relevan dalam
pendidikan dan perubahan yang terjadi.
2) PNB menggantikan PDB karena lebih menggambarkan pendapatan
masyarakat pada suatu wilayah.
Dengan menggunakan rata-rata geometrik dalam menyusun IPM dapat
diartikan bahwa capaian satu dimensi tidak dapat ditutupi oleh capaian di
dimensi lain. Artinya, untuk mewujudkan pembangunan manusia yang
baik, ketiga dimensi harus memperoleh perhatian yang sama besar karena
sama pentingnya.
3. Peran Pemerintah dalam Pembangunan Manusia
a. Peran Pemerintah dalam Pembangunan
Peran pemerintah dalam sebuah Negara merupakan kunci utama untuk
membuat kebijakan dalam perekonomian. Peran pemerintah daerah adalah
upaya dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
yang didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah yang lebih mengetahui
kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Melalui
17
kebijakan ini diharapkan dapat memacu peningkatan kesejahteraan bagi
masyarakat di daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. (Mirza
,2012).
Menurut Mirza (2012), Peranan pemerintah daerah dalam perencanaan
pembangunan daerah merupakan pemerintah yang mempunyai kewenangan
yang sangat strategis dan kedudukan yang strategis hal ini berkaitan dengan
fungsinya selaku “pelayanan publik” guna meningkatkan kesejahteraan,
kemakmuran, keamanan, keadilan dan ketenteraman bagi masyarakat. Sebab
perencanaan pembangunan daerah adalah suatu kegiatan untuk dilakasanakan
dimasa depan dalam hal ini berawal dari tahapan-tahapan. Proses penyusunan
program dan aktivitas yang melibatkan berbagai elemen didalamnya, demi
pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dengan tujuannya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dalam suatu
lingkungan atau wilayah yang direncanakan dalam jangka waktu tertentu.
b. Peran Pendidikan dan Kesehatan dalam Pembangunan Manusia
Peranan sumber daya manusia yang dibangun atau dikembangkan melalui
proses pembangunan dari SDM itu dapat dipertanyakan, apa yang terdapat
dari SDM itu yang harus dibangun sehingga terwujud manusia seutuhnya atau
manusia yang berbobot atau yang berkualitas sesuai dengan hakikat dan
sasaran pembangunan nasional Indonesia. Yang perlu dibangun adalah daya
yang berasal atau bersumber dari manusia itu ataukah manusia yang
menghasilkan daya itu yang harus dibangun atau dikembangkan. Dalam
peningkatan kualitas pendidikan pemerintah telah melakukan upaya kebijakan
program-program perluasan akses dan peningkatan pemerataan serta
meningkatakan mutu pendidikan sebagai berikut:
1) Program pendidikan anak usia dini.
2) Program wajar pendidikan dasar 9 tahun.
3) Program pendidikan menengah.
4) Program pendidikan non formal.
5) Program meningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan.
6) Program pembangunan budaya baca dan pembinaan perpustakaan.
18
Pada umumnya, masalah divergensi manfaat biaya sosial versus pribadi
terjadi karena adanya intervensi kebijakan public dan swasta yang tidak tepat
terkait dengan selisih upah, selektivitas pendidikan dan penetapan layanan
pendidikan. Akibatnya, perhitungan pribadi (individu) mengenai nilai dari
pendidikan melebihi dari nilai sosialnya yang juga harus memperhitungkan
masalah pengangguran.
Kesehatan merupakan faktor penting bagi suatu negara, karena kaitannya
yang erat dengan mutu sumber daya manusia sebagai salah satu modal
pembangunan. Jaminan kesehatan yang semakin baik akan menghasilkan
kualitas manusia yang lebih baik akan menghasilkan kualitas manusia yang
lebih baik, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Dengan
demikian, selain penduduk, pemerintah pun sangat berkepentingan atas
peningkatan kesehatan masyarakat secara umum.
4. Klasifikasi Belanja Daerah
a. Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan
Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa
rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat
pemerintah pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat
pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara/lembaga
dan SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah
direncanakan. Oleh karena itu, agar dapat diukur kinerjanya, menurut Pasal 15
ayat (5) dan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003,
ditetapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
(APBN/APBD) yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja.
19
Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang
menyatakan bahwa di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu diuraikan
sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran
yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana
tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan. Selanjutnya
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga juga
mengatur tentang klasifikasi yang lebih detail yang pada prinsipnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003.
b. Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja
diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi dan
fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal yang harus disajikan
oleh entitas pelaporan. Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02
klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi
menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum
Negara/Daerah dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah,
sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka
membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja Operasi selanjutnya
diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga,
Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.
Di samping itu, klasifikasi belanja menurut fungsi dibagi menjadi :
pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan ketentraman, ekonomi,
perlindungan, lingkungan hidup, perumahan dan pemukiman, kesehatan,
pariwisata dan budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial.
20
Pengklasifikasian ini mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS)
yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF).
c. Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan
klasifikasi belanja sebagai berikut:
1) Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan serta jenis belanja;
2) Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
organisasi pemerintahan daerah’
Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :
1) klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial
pemerintahan daerah;
2) lasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan
keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara.
d. Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :
1) Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari
belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
2) Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan
dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan
umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup,
perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan budaya,
pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
21
tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan “agama” karena kedua fungsi
tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh
pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan.
3) klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan
belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria
apakah suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan
program/kegiatan atau tidak. Belanja yang berkaitan langsung dengan
program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja barang, belanja
modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis Penyajian dan
Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang
tidak secara langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan
tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan
keuangan, belanja hibah, dan sebagainya) diklasifikasikan sebagai
belanja tidak langsung.
e. Klasifikasi Belanja Menurut Fungsi
Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan sebagai dasar untuk
penyusunan anggaran berbasis kinerja. Hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dalam menggunakan sumber
daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan kementerian
negara/lembaga/SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran
yang telah ditetapkan sesuai dengan rencana kerja pemerintah. Salah satu
upaya yang perlu dilakukan adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi
dalam pelaksanaan program dan kegiatan. Dengan demikian, antara kebijakan,
program, kegiatan dan sub kegiatan harus merupakan suatu rangkaian yang
mencerminkan adanya keutuhan konseptual.
Adapun hubungan antara fungsi, program, kegiatan dan sub kegiatan adalah
sebagai berikut:
1) Fungsi; perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi. Klasifikasi fungsi
dibagi ke dalam 11 (sebelas) fungsi utama dan dirinci ke dalam 79 (tujuh
22
puluh sembilan) sub fungsi. Penggunaan fungsi/sub fungsi disesuaikan
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian
negara/lembaga/SKPD.
2) Program; penjabaran kebijakan kementerian negara/lembaga/SKPD dalam
bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan
sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai
dengan misi yang dilaksanakan instansi atau masyarakat dalam koordinasi
kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Dengan demikian, rumusan program harus secara jelas menunjukkan
keterkaitan dengan kebijakan yang mendasarinya dan memiliki sasaran
kinerja yang jelas dan terukur untuk mendukung upaya pencapaian tujuan
kebijakan yang bersangkutan. Program dilaksanakan berdasarkan kerangka
acuan yang menjelaskan antara lain pendekatan dan metodologi pelaksanaan,
menguraikan secara ringkas berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan dalam
rangka mendukung implementasi program yang bersangkutan, indikator-
indikator keberhasilan program, serta penanggungjawabnya.
3) Kegiatan; bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa
satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu
program, yang terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya,
baik yang berupa sumber daya manusia, barang modal termasuk peralatan
dan teknologi, dana maupun kombinasi dari beberapa atau semua jenis
sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan
keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.
4) Sub kegiatan; bagian dari kegiatan yang menunjang usaha pencapaian
sasaran dan tujuan kegiatan tersebut. Kegiatan dapat dirinci ke dalam 2
(dua) atau lebih subkegiatan, karena kegiatan tersebut mempunyai dua atau
lebih jenis dan satuan keluaran yang berbeda satu sama lain. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa sub kegiatan yang satu dapat dipisahkan
dengan sub kegiatan lainnya berdasarkan perbedaan keluaran. Kegiatan/sub
kegiatan harus dengan jelas menunjukkan keterkaitannya dengan program
23
yang memayungi, memiliki sasaran keluaran yang jelas dan terukur, untuk
mendukung upaya pencapaian sasaran program yang bersangkutan.
Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari:
1) Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan: Klasifikasi belanja
berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan menurut kewenangan
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota.
2) Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara: Klasifikasi belanja
menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan
pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
a. Pelayanan umum.
b. Ketertiban dan keamanan.
c. Ekonomi.
d. Lingkungan hidup.
e. Perumahan dan fasilitas umum.
f. Kesehatan.
g. Pariwisata dan budaya.
h. Pendidikan.
i. Perlindungan sosial.
f. Belanja Daerah Menurut Fungsi Pendidikan dan Kesehatan
1) Belanja Daerah Menurut Fungsi Pendidikan
Pendidikan adalah variabel yang menentukan kualitas sumber daya
manusia suatu bangsa. Maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk dapat
menjamin terselenggaranya pendidikan dengan mutu/kualitas yang baik.
Berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
diamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Bentuk keseriusan pemerintah dan DPR dalam bidang pendidikan tertuang
dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke 4 mengamanatkan bahwa
negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen
dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
24
pendidikan nasional. Hal ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 013/PUU-VI/2008, Pemerintah harus menyediakan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Alokasi anggaran
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang terkait dengan peningkatan
kualitas pendidikan. Alokasi anggaran pendidikan lebih spesifik dituangkan
dalam pasal 49 UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 yaitu Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). (Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2016).
Belanja pemerintah menurut fungsi pendidikan merupakan salah satu pos
anggaran wajib. Sesuai amanat UU, negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Dalam
APBN 2016, belanja fungsi pendidikan dianggarkan sebesar 11 persen dari
total belanja pemerintah pusat, atau sebesar Rp150,1 Triliun. Selain
dianggarkan dalam belanja pemerintah pusat, anggaran belanja fungsi
pendidikan yang bersifat kebutuhan daerah dimasukkan dalam anggaran
transfer daerah (Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2016). Anggaran
belanja fungsi pendidikan adalah alokasi belanja fungsi pendidikan yang
dianggarkan dalam APBD untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan
yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
2) Belanja Daerah Menurut Fungsi Kesehatan
Ketentuan pasal 171 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 menjadikan
alokasi belanja di bidang kesehatan sesuatu yang mutlak dipenuhi (Monitary
Spending). Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mengalokasikan
anggaran kesehatan sebagai minimal 5% (lima persen) dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara diluar gaji, sementara pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar minimal 10%
(sepuluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
diluar gaji. Tujuan dari pembangunan bidang kesehatan adalah tercapainya
25
derajat kesehatan yang terus membaik. Penggunaan anggaran di bidang
kesehatan diharapkan seoptimal mungkin dapat termanfaatkan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Anggaran kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan, baik dari sisi supply side maupun layanan, upaya kesehatan
promotif-preventif, serta menjaga dan meningkatkan kualitas program
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN) bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI)
(Kemenkeu 2018; Kemenkes, 2018). Pentingnya APBN bagi pembiayaan
bidang kesehatan semakin terasa di tengah kompleksitas masalah kesehatan,
seperti meningkatnya kebutuhan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang
bermutu, beban ganda penyakit, disparitas status kesehatan antarwilayah,
peningkatan kebutuhan distribusi obat yang bermutu dan terjangkau, jumlah
SDM Kesehatan yang kurang disertai kebutuhan yang tidak merata, adanya
potensi masalah kesehatan akibat bencana dan perubahan iklim, serta integrasi
pembangunan infrastruktur kesehatan.
Menurut Felix Mailoa (2014), Dalam era desentralisasi bidang kesehatan,
salah satu hal yang ia kutip dari pernyataan yang ditekankan oleh ibu menteri
keuangan adalah komitmen untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan
masyarakat karena merupakan suatu investasi namun harus di perhatikan
berkaitan dengan menjamin anggaran kesehatan itu terserap dengan baik
didaerah karena, anggaran kesehatan didaerah sering tidak terserap dengan
cukup baik. Sehingga, banyak program kesehatan didaerah yang dibuat hanya
untuk menghabiskan anggaran dalam tahun berjalan. Jika hal ini tidak
dimaksimalkan maka dikhawatirkan berapapun peningkatan angka/persentasi
APBN terhadap sektor kesehatan tidak bisa sepenuhnya menyelesaikan
masalah kesehatan masyarakat khususnya didaerah.
5. Belanja Daerah dalam Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia
Menurut Todaro & Smith (2012), bahwa investasi penganggaran dalam hal
pendidikan mutlak dibutuhkan maka pemerintah harus dapat membangun
suatu sarana dan sistem pendidikan yang baik dan pengeluaran pemerintah
26
pada sektor anggaran kesehatan juga di keluarkan untuk memenuhi salah satu
hak dasar untuk memperoleh pelayanan kesehatan berupa fasilitas dan
pelayanan kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas
masayrakat. Alokasi anggaran pengeluaran pemerintah terhadap pendidikan
dan kesehatan merupakan wujud nyata dari investasi untuk meningkatkan
produktivitas masyarakat. Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan
kesehatan pada sektor pembangunan dapat dialokasikan untuk penyediaan
infrastruktur pendidikan dan menyelenggarakan pelayanan pendidikan kepada
seluruh penduduk Indonesia secara merata.
Suatu bangsa harus meningkatkan investasi bidang pendidikan dan
kesehatan untuk mencapai pembangunan. Pengeluaran untuk sektor
pendidikan diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat pada pendidikan
yang baik dan murah,sehingga mampu meningkatkan kualitas pendidikan)
sehingga dapat menjadi bekal dalam kegiatan pembangunan ekonomi
sehingga dapat lebih produktif dan berdaya saing dan pada gilirannya
diharapkan memiliki kemampuan ekonomi yang mapan dan stabil. (Widodo,
Adi,.dkk 2011). Akumulasi modal sumber daya manusia (SDM) menurut
Todaro merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi, di samping faktor akumulasi modal investasi fisik,
penduduk/angkatan kerja, dan pemanfaatan kemajuan teknologi.
Pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan akan berpengaruh
terhadap perkembangan di sektor pendidikan yaitu dengan meningkatnya
jumlah murid yang mampu menyelesaikan sekolahnya sampai ke tingkat yang
lebih tinggi. Semakin tinggi rata-rata tingkat pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki oleh masyarakat, maka semakin mudah bagi setiap individu
dalam usia bekerja untuk mengerti, menerapkan dan mendapatkan hasil dari
kemajuan teknologi dan akhirnya meningkatkan standar ekonomi dan hidup
bangsa. Suatu bangsa harus meningkatkan investasi bidang pendidikan dan
kesehatan untuk mencapai pembangunan (Meier, dalam Winarti, 2014: 41).
Sedangkan, menurut Tjiptoherijanto, dalam Astri (2013) melihat mutu
manusia dari sisi kesehatan dimana kesehatan merupakan salah satu faktor
27
yang mempengaruhi sumber daya manusia, dengan kata lain aspek kesehatan
turut mempengaruhi kualitas manusia. Kekurangan kalori, gizi, ataupun
rendahnya derajat kesehatan bagi penduduk akan menghasilkan kualitas
manusia yang rendah dengan tingkat mental yang terbelakang maka dari itu
perlunya peran pemerintah dalam mengelola anggarannya di bidang
kesehatan.
6. Teori Politik Anggaran
Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses
anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah
membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan
disdistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa
saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negati maupun untuk
meningkatkan pelayanan publik. Menurut (Noer Fauzi & R Yando Zakaria,
2013) politik anggaran juga dapat dikatakan sebagai proses saling
mempengaruhi di antara berbagai pihak yang berkepentingan dalam
menentukan skala prioritas pembangunan akibat terbatasnya sumber dana
publik yang tersedia. Politik anggaran adalah proses mempengaruhi kebijakan
alokasi anggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan
dengan anggaran. Politik anggaran adalah proses penegasan kekuasan atau
kekuatan politik di antara berbagai pihak yang terlibat dalam penentuan
kebijakan maupun alokasi anggaran.
Anggaran merupakan instrumen kebijakan yang dimiliki oleh Pemerintah
untuk menggambarkan pernyataan komprehensif tentang prioritas negara.
Anggaran juga mempunyai pengertian sebagai pernyataan mengenai estimasi
kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan
dalam ukuran finansial (Yuna Farhan, 2011). Tahap penganggaran menjadi
sangat penting, karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada
kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah disusun. Sehingga
tujuan dari penganggaran harus dipahami oleh perumus kebijakan anggaran,
yaitu anggaran harus berbasis kinerja dan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran masyarakat. Berbasis kinerja mempunyai pengertian bahwa
28
anggaran yang disusun harus terukur, serta memenuhi unsur input (masukan),
output (keluaran), outcome (hasil), benefit (manfaat) dan impact (dampak)
(Laporan Keuangan Kabupaten Provinsi DI, Yogyakarta, 2012
Politik bisa terlibat dalam segala urusan kenegaraan, termasuk didalamnya
urusan finansial publik, baik itu dalam perencanaan, pelaksanaan hingga tahap
evaluasi. Teori politik keuangan negara yang baik adalah relatif tergantung
ideologi suatu negara, artinya teori politik keuangan negara yang baik bagi
suatu negara belum tentu baik bagi negara lain. Aktivitas politik dalam
keuangan negara tergantung pada derajat demokrasi, yang memberi
keleluasaan/kebebasan aktivitas politik dalam suatu Negara (Noer Fauzi & R
Yando Zakaria. 2013). Ada 2 golongan besar yang membedakan aktivitas
politik dalam keuangan negara:
a. Negara dengan sistem otokrasi, yakni suatu bentuk pemerintahan yang
kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang atau kelompok kecil
(oligarki). Yakni negara yang berbentuk monarki, sosialis, theokrasi, dan
sebagainya, dimana segala aktivitas negara dipegang sepenuhnya oleh
penguasa negara. Aktivitas politik sangat minim, meskipun ada biasanya
berupa gerakan bawah tanah.
b. Negara dengan sistem demokrasi, yakni suatu bentuk pemerintahan politik
yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung
(demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).
Aktivitas politik sangat besar, termasuk dalam pengelolaan keuangan
negara, sebagaimana negara penganut liberalisme, globalisme, kapitalisme,
termasuk ideologi Pancasila sebagai ciri khas Indonesia (Noer Fauzi dan R
Yando Zakaria, 2013).
Pemerintah sebagai sebuah institusi publik dalam kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana atau modal
untuk dapat membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (goverment
expediture) terhadap barang barang publik (public goods) dan jasa pelayanan.
Tugas ini berkaitan erat dengan kebijakan anggaran pemerintah yang meliputi
penerimaan dan pengeluaran. Pemerintah dalam melaksanakan otonomi
29
daerah yang luas, memerlukan dana yang cukup dan terus meningkat sesuai
dengan meningkatnya tuntutan masyarakat, kegiatan pemerintahan dan
pembangunan.. Oleh karena itu keuangan daerah merupakan tolak ukur bagi
penentuan kapasitas dalam menyelenggarakan tugas-tugas otonomi,
disamping tolak ukur lain seperti kemampuan sumber daya alam, kondisi
demografi, potensi daerah, serta partisipasi masyarakat (Dawam, 2010).
7. Konsep Otonomi Daerah
Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut
pemerintah daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan
pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka
sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efektivitas
dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat. Tujuan yang hendak
dicapai dalam penyerahan urusan ini adalah antara lain
menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan
meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan (Widjaja, 2010).
Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Widjaja, 2010).
a. Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah
Amandemen UUD 1945 menjadi acuan konstitusi dalam penetapan
konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Dalam
perkembangan sejarahnya, ide otonomi daerah itu mengalami berbagai
perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik di
kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah
30
dianalisis sejak tahun 1945, maka perubahan-perubahan konsepsi otonomi
terlihat banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu
(Bastian, 2006:337).
Ciri-ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi (Halim,
2001:167) adalah sebagai berikut.
1) Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan,
mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.
2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar
pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan
terbesar. Dengan demikian, peranan pemerintah daerah menjadi lebih
besar
b. Pemantapan Pelaksanaan Otonomi daerah
Secara kualitatif pelaksanaan otonomi daerah dan dampaknya tersebut
dapat dirasakan sebagai berikut :
1) Perkembangan proses demokrasi dalam kehidupan masyarakat dan
pemerintahan semakin meningkat.
2) Peran serta aktif masyarakat dalam proses kepemerintahan, baik dalam
penentuan kebijakan, dan pelaksanaan maupun proses evaluasi dan
pengawasan semakin meningkat.
3) Munculnya kreativitas dan inovasi daerah untuk mengembangkan
pembangunan daerahnya.
4) Meningkatkan gairah birokrasi pemerintahan daerah, karena adanya
keleluasaan untuk mengambil keputusan serta terbukanya peluang karier
yang lebih tinggi karena kompetisi profesional.
5) Meningkatkan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, baik
yang dilakukan masyarakat maupun DPRD, sehingga keinginan untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, dan tepercaya sangat
didambakan oleh masyarakat.
31
6) Meningkatkan DPRD, sebagai wahana demokrasi dan penyalur aspirasi
rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
7) Pemberian pelayanan umum kepada masyarakat secara bertahap
semakin meningkat, baik kualitas maupun kuantitas, sejalan dengan
meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan lebih baik.
8) Munculnya semangat kedaerahan yang menjadi faktor pendorong yang
kuat bagi pengembangan daerahnya.
8. Konsep Kemandirian Fiskal Daerah
Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang
dilakukan untuk mencapai aspek pertumbuhan wilayah (efficiency),
pemerataan (equity) dan berkelanjutan (sustainability) yang lebih berdimensi
lokal dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah.
Perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi
menempatkan pemerintah daerah sebagai partner pemerintah pusat dalam
melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Hal ini tentunya harus didukung dengan keuangan daerah yang memadai,
dimana daerah mampu memenuhi kebutuhan pembangunan daerahnya sendiri
sehingga daerah dapat dikatakan mandiri. Triastuti dan Ratminto (2005)
Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan yaitu hakikat dari setiap
bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik
bagi dirinya. Tujuan pelaksanaan otonomi salah satunya memberikan peluang
bagi kemandirian daerah untuk mengelola keuangannya sendiri melalui
pelimpahan kewenangan dalam bentuk desentralisasi fiskal. Kemandirian
fiskal menjadi hal yang sangat penting bagi daerah, terutama terkait dengan
sumbangan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri.
Halim (2012) mengatakan bahwa semakin baik kinerja keuangan suatu
daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai
pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Semakin tinggi
kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah
untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan
yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan
32
sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan
pembangunan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah
tersebut.
B. Penelitian Terdahulu
Tabel 1.5 Penelitian-penelitian Terdahulu
No Penulis
dan Tahun
Judul Variabel dan Alat
Analisis
Hasil Penelitian Perbedaan
1 Febry
Aquariansya
h (2018)
Pengaruh Belanja
Pemerintah Bidang
Pendidikan dan
Kesehatan
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia di Kota
Bandar Lampung
dalam Perspektif
Eknomi Islam
Variabel bebas:
Belanja Pemerintah
bidang pendidikan dan
kesehatan
Variabel terikat: IPM.
Alat analisis: Pooled
Least Square
Secara parsial, belanja
pemerintah bidang pendidikan
(X1) berpengaruh signifikan
positif terhadap indeks
pembangunan manusia.
Kemudian belanja kesehatan
(X2) tidak berpengaruh
signifikan terhadap indeks
pembangunan manusia, hal ini
dikarenakan belanja bidang
kesehatan yang tidak sesuai
dengan adanya UU No 36
tahun 2009 besar anggaran
kesehatan pemerintah daerah
dialokasikan minimal 10% dari
Belanja Daerah di luar gaji.
Metode: Pooled
Least Square
Periode: 2010-
2016
Objek Penelitian:
Kota Bandar
Lampung
Sudut pandang:
secara ekonomi
islam
2 Astri
Winarti
(2014)
Analisis Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah Bidang
Pendidikan,
Kemiskinan, dan
PDB Terhadap
Indeks
Pembangunan
Manusia di
Indonesia Periode
1992-2012
Variabel: belanja
pemerintah bidang
pendidikan,
peresentase
kemiskinan, PDB, IPM
Alat Analisis: Pooled
Least Square
variabel kemiskinan berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap
IPM di Indonesia, maka
menurunnya tingkat kemiskinan
akan meningkatkan IPM di
Indonesia. PDB berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di
Indonesia, yang berarti PDB
meningkat maka IPM akan
meningkat. Sedangkan variabel
Variabel:
Kemiskinan, dan
PDB
Metode: Pooled
Least Square
Periode: 1992-
2012
Objek Penelitian:
Indonesia
33
anggaran pendidikan berpengaruh
negatif dan tidak signifikan
terhadap IPM di Indonesia.
3 Devyanti
Patta (2012)
Analisis Faktor-
faktor yang
mempengaruhi
Indeks
Pembangunan
Manusia di
Sulawesi Selatan
Periode 2001-2010
Variabel: PDRB,
Persentase Penduduk
miskin, Belanja
Pemerintah bidang
pendidikan dan
kesehatan,
Ketimpangan distribusi
pendapatan, dan IPM
Alat Analisis: Pooled
Least Square
Pengaruh pertumbuhan
ekonomi terhadap indeks
pembangunan manusia (IPM)
di Sulawesi Selatan, dapat
dikatakan berpengaruh positif
dan signifikan. Pengaruh
persentase penduduk miskin,
terhadap indeks pembangunan
manusia (IPM) di Sulawesi
Selatan berpengaruh positif
dan signifikan. pengeluaran
pemerintah di bidang
pendidikan dan pengeluaran
pemerintah di bidang
kesehatan berpengaruh positif
dan signifikan terhadap IPM.
Variabel: PDRB,
Persentase
Penduduk Miskin,
Ketimpangan
Distribusi
Pendapatan
Metode: Pooled
Least Square
Periode: 2001-
2010
Objek Penelitian:
Sulawesi Selatan
4 Nurul
Hidayahwati
(2011)
Analisis Pengaruh
Tingkat
Kemandirian Fiskal
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)
Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa
Timur periode
2003-2007
Variabel: Tingkat
Kemandirian Fiskal di
proporsikan ke dalam 2
bagian yaitu TPD dan
Komponen PAD.
Alat Analisis: Random
Effect Model
tingkat kemandirian fiskal
dalam PAD/TPD berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
indeks pembangunan manusia
kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Timur. Komponen PAD
yaitu pajak daerah dan
BHUMD berpengaruh positif
dan signifikan.
Variabel:
Kemandirian
fiskal di
proporsikan
melalui TPD dan
Komponen PAD.
Metode: Random
Effect
Periode: 2003-
2007
Objek: Kab/Kota
Jawa Timur.
34
5 Firda Rizky
Amalia, dan
Ida Bagus
Putu
Purbadharm
aja (2014)
Pengaruh
Kemandirian
Keuangan Daerah
dan Keserasian
Alokasi Belanja
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia (Studi
Kasus Provinsi Bali
2008-2012)
Variabel: Kemandirian
Keuangan Daerah
(Rasio), Keserasian
Alokasi Belanja, IPM
Alat Analisis: Regresi
Linier Berganda (PLS)
Kemandirian keuangan daerah
dan keserasian alokasi belanja
secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap indeks
pembangunan manusia
kabupaten/kota di Provinsi Bali
tahun 2008-2012. Berdasarkan
pada hal tersebut menunjukkan
bahwa kemandirian keuangan
daerah dan keserasian alokasi
belanja berpengaruh terhadap
IPM dalam artian jika
kemandirian keuangan daerah
dan keserasian alokasi belanja
meningkat, maka akan
meningkatkan IPM.
Variabel:
Keserasian
Alokasi Belanja
Metode: PLS
Periode: 2008-
2012
Objek: Provinsi
Bali
6 Arthaingan
H. Mutiha
(2018)
The Effect of
Financial Ratio to
Human
Development Index
(Based on the Study
in
Districts and Cities
of West Java) 2011-
2014
Variabel: Rasio
Keuangan di
Proporsikan ke dalam :
Rasio Derajat
Desentralisasi, Rasio
Kemandirian Daerah,
Rasio Pengeluaran, dan
IPM.
Alat Analisis: Fixed
Effect Model
Rasio Derajat Desentralisasi
tidak berpengaruh signifikan
terhadap IPM di kabupaten /
kota di Jawa Barat, Rasio
Kemandirian Keuangan tidak
signifikan berpengaruh pada
IPM di kabupaten / kota di
Jawa Barat. sebaliknya rasio
Pengeluaran Kompatibel
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap IPM di
kabupaten / kota di Jawa Barat.
Variabel: Rasio
Derajat
Desentralisasi,
Rasio
Pengeluaran
Periode: 2011-
2014
Objek: Jawa Barat
7 Brijesh C.
Purohit
(2012)
Budgetary
Expenditure on
Health and
Human
Development in
India
Variabel: Belanja
Pemerintah Bidang
Kesehatan, dan IPM
Alat Analisis: Logit
Model
Pengeluaran pemerintah untuk
kesehatan dapat meningkatkan
kualitas kesehatan baik itu
melalui obat-obatan, perawatan
medis, dan peralatan lain yang
menunjang kesehatan, semakin
fasilitas dan kualitas bertambah
semakin banyak pengaruh nya
terhadap pembangunan suatu
Metode: Logit
Model
Objek Penelitian:
India
35
negara dan begitu pula
sebaliknya.
8 Septiana M.
M.
Sanggeloran
g, Vekie A.
Rumate, dan
Hanly F.DJ.
Siwu (2015)
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah di
Sektor Pendidikan
dan Kesehatan
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia di
Sulawesi Utara
Variabel: Pengeluaran
Pemerintah sektor
Pendidikan, dan
Pengeluaran
Pemerintah Sektor
Kesehatan, dan IPM
Alat Analisis: Pooled
Least Square
Hasil analisis menunjukan
bahwa Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah di Sektor
Pendidikan berpengaruh
terhadap Indeks Pembangunan
Manusia. Karena pemerintah
Provinsi Sulawesi Utara
mengalokasikan dana yang
besar setiap tahunnya di Sektor
Pendidikan, sehingga Indeks
Pembangunan Manusia di
Provinsi Sulawesi Utara selalu
mengalami peningkatan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa
Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah di Sektor
Kesehatan tidak berpengaruh
terhadap Indeks Pembangunan
Manusia. Karena besarnya
Pengeluaran Pemerintah di
Sektor Kesehatan yang ada di
Provinsi Sulawesi Utara
ternyata masih belum mampu
membantu pertumbuhan Indeks
Pembangunan Manusia yang
ada di Sulawesi Utara, hal ini
dikarenakan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Utara telah
membangun beberapa sarana
kesehatan seperti rumah sakit
dan puskesmas di beberapa
Metode: Pooled
Least Square
Periode: bulan
mei-Juli 2014
Objek: Provinsi
Sulawesi Utara
36
tahun belakangan ini sehingga
banyak memakan anggaran.
9 M. Zahari
MS,
Sudirman
(2017)
The Effect of
Government
Expenditures in
Education and
Health against
Human
Development Index
in Jambi Province
(2011-2015)
Variabel: Pengeluaran
Pemerintah Bidang
Pendidikan dan
Kesehatan, dan IPM
Alat Analisis: Model
Regresi Linier
Berganda (PLS)
Ada pengaruh positif antara
variabel bebas (pengeluaran
pemerintah dalam pendidikan
dan pengeluaran pemerintah di
sektor kesehatan) terhadap
IPM di
Provinsi Jambi. Tidak ada
pengaruh antara pengeluaran
pemerintah di bidang
Pendidikan terhadap IPM di
Provinsi Jambi. Sedangkan,
variabel sektor kesehatan ada
pengaruh positif dan signifikan
terhadap IPM di provinsi
Jambi.
Metode: PLS
Periode: 2011-
2015
Objek: Provinsi
Jambi.
10 Merang
Kahang,
Muhammad
Saleh,
Rachmad
Budi
Suharto
(2016)
Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah Bidang
Pendidikan dan
Kesehatan
Terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia di
Kabupaten Kutai
Timur
Variabel: Pengeluaran
Pemerintah Bidang
Pendidikan, Kesehatan
dan IPM.
Alat Analisis:Regresi
Linier Berganda
Sektor pengeluaran kesehatan
pemerintah (X2) tidak
signifikan mempengaruhi
indeks pembangunan manusia
(Y) di Kabupaten Kutai Timur.
Pemerintah menunjukkan
sektor pengeluaran kesehatan
(X2) belum cukup menyadari
dengan baik sehingga tidak
cukup kuat mendongkrak indxs
pembangunan manusia di
Kabupaten Kutai Timur. Hasil
penelitian dari belanja
pemerintah di sektor
pendidikan (X1) efek dominan
dalam meningkatkan indxs
pembangunan manusia di
Kabupaten Kutai Timur.
Metode: Regresi
Linier Berganda
Objek: Kabupaten
Kutai Timur
37
C. Hubungan Antar Variabel
1. Belanja Daerah Bidang Pendidikan dengan Indeks Pembangunan
Manusia
Dalam rumusan masalah, telah ditetapkan akan meneliti tentang pengaruh
Belanja Daerah Bidang Pendidikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016.
Pada penelitian sebelumnya, yang telah dilakukan oleh Astri Winarti (2014)
dalam judul “Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan,
Kemiskinan, dan PDB Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia
Periode 1992-2012” menunjukan korelasi positif antara belanja
daerah/pengeluaran bidang pendidikan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia. Hal ini membuktikan bahwa pengeluaran bidang pendidikan
memiliki realisasi yang terserap dengan baik untuk negara maupun tiap daerah
di Indonesia. Lalu, penelitian selanjutnya di lakukan oleh M. Zahari MS,
Sudirman (2017) dalam judul “The Effect of Government Expenditures in
Education and Health against Human Development Index in Jambi Province
(2011-2015)” hubungan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan terhadap
Indeks Pembangunan Manusia tidak berkorelasi dikarenakan realisasi untuk
bidang pendidikan tidak terserap dengan baik. Kesimpulannya, bahwa setiap
realisasi yang dikeluarkan pemerintah untuk bidang pendidikan belum tentu
dapat terserap dengan baik di seluruh daerah. Bisa saja hal itu dapat di
pengaruhi melalui faktor lain seperti daerah tersebut masyarakatnya masih
minim pendidikan yang akhirnya anggaran yang dikeluarkan hanya mengikuti
tahun berjalan.
2. Belanja Daerah Bidang Kesehatan dengan Indeks Pembangunan
Manusia
Dalam rumusan masalah, telah ditetapkan untuk meneliti pengaruh Belanja
Daerah Bidang Kesehatan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016.
Telah di dapat pada penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Brijesh C.
Purohit (2012) dalam judulnya “Budgetary Expenditure on Health and Human
38
Development in India” menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
berkorelasi antara pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan terhadap
Indeks Pembangunan Manusia. Hal ini di tunjukkan, melalui fasilitas dan
sarana yang di sediakan oleh pemerintahan di India yang mana pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dapat meningkatkan kualitas kesehatan baik itu
melalui obat-obatan, perawatan medis, dan peralatan lain yang menunjang
kesehatan, semakin fasilitas dan kualitas bertambah semakin banyak pengaruh
nya terhadap pembangunan suatu negara dan begitu pula sebaliknya.
Kemudian, penelitian yang di lakukan oleh M. Zahari MS, Sudirman (2017)
dalam judul “The Effect of Government Expenditures in Education and Health
against Human Development Index in Jambi Province (2011-2015)” yang
mana pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan memiliki hubungan yang
positif dengan Indeks Pembangunan Manusia hal ini dikarenakan, realisasi
oleh pemerintah daerah terlaksana dengan baik.
3. Kemandirian Fiskal Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia
Dalam rumusan masalah, telah ditetapkan untuk meneliti pengaruh
Kemandirian Fiskal Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016.
Penelitian ini pernah dilakukan oleh Firda Rizky Amalia, dkk (2014) dalam
penelitiannya “Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah dan Keserasian
Alokasi Belanja Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus
Provinsi Bali 2008-2012)” yang mana pengaruh dari kemandirian keuangan
daerah berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia artinya
daerah mampu mengelola keuangannya dengan maksimal sehingga dapat
membiayai pembangunannya secara mandiri dan tidak terlalu bergantung
dengan pemerintah pusat. Hal ini juga di buktikan melalui penelitian oleh
Nurul Hidayahwati (2011) dengan judul penelitiannya “Analisis Pengaruh
Tingkat Kemandirian Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur periode 2003-2007” hasilnya
menunjukan bahwa ada hubungan yang positif antara tingkat kemandirian
39
fiskal daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia yang artinya daerah
tersebut mampu menjalankan daerah otonomnya dengan maksimal.
D. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan teori-teori yang mendukung penelitian ini menyatakan bahwa
Belanja daerah Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan dan Kemandirian Fiskal
Daerah memiliki pengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta. Kemudian, disusun kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Gambar 2.1
Gambar Kerangka Pemikiran
Belanja Daerah
menurut Fungsi
Bidang Kesehatan
(X2)
Tingkat Kemandirian Fiskal
Daerah (Rasio Kemandirian
Daerah) (X3)
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) (Y)
Bidang Pendidikan
(X1)
Alat Analisis: Panel Data
Analasis Pengaruh Belanja Daerah Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan, dan
Kemandirian Fiskal Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota
Provinsi DI.Yogyakarta
Pemilihan model:
1. Uji Chow
2. Uji hausman
q Fixed Effect Model
Uji Hipotesis:
Uji T, Uji F, dan Uji R-Squared
Kesimpulan dan Saran
40
E. Hipotesis Penelitian
1. 𝐻0 : Tidak ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Pendidikan secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta 2011-2016.
𝐻1 : Ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Pendidikan secara parsial terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi DI.Yogyakarta
2011-2016.
2. 𝐻0 : Tidak ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Kesehatan secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta 2011-2016
𝐻1: Ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Kesehatan secara parsial terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi DI.Yogyakarta
2011-2016
3. 𝐻0 : Tidak ada pengaruh Rasio Kemandirian Fiskal Daerah secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta 2011-2016
𝐻1 : Ada pengaruh Rasio Kemandirian Fiskal Daerah secara parsial terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi DI.Yogyakarta
2011-2016
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan satu variabel dependen (terikat) dan tiga
variabel independen (bebas). Variabel dependen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sementara variabel
independen yang digunakan adalah Belanja Daerah Bidang Pendidikan,
Belanja Derah Bidang Kesehatan dan Rasio Kemandirian Daerah.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang mana data tersebut
diperoleh berdasarkan informasi berupa fakta yang telah disusun dan
dipublikasikan oleh lembaga dan instansi tertentu. Penelitian di dapatkan
melalui data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat
Jendral Perimbangan dan Keuangan (DJPK). Penelitian ini bersifat kuantitatif
dengan menggunakan metode data panel yang mencakup data cross section
yang merupakan Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
serta mengambil data time series dengan periode waktu dari tahun 2011
hingga tahun 2016.
Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari instansi pemerintahan
sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif sendiri merupakan pendekatan yang
analisisnya ditekankan kepada angka-angka dan olah data statistik. Yang
kemudian dari hasil regresi akan didapatkan hasil untuk dianalisis secara
ekonomi.
B. Metode Penentuan Sampel
Metode penentuan sampel akan sangat membantu dalam penelitian yang
dihadapkan pada sampel yang beragam dari suatu populasi. Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 5 Kabupaten/Kota yang terdapat di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan purposive sampling.
42
Purposive sampling sendiri dapat diartikan sebagai teknik yang dapat
digunakan dalam memilih sampel suatu penelitian, dimana terdapat
keterkaitan yang erat antara kriteria yang ditentukan dan tujuan penelitian
yang ingin dihasilkan (Sugiyono, 2012). Pada teknik purposive sampling,
terdapat teori yang dikembangankan oleh Roscoe dalam Sugiyono (2012)
salah satu syaratnya mengatakan bahwa jika peneliti menggunakan analisis
dengan variasi yang banyak (korelasi antar variabel atau regresi ganda), maka
jumlah anggota sampel yang harus dianalisis minimal 10 dikalikan dengan
jumlah variabel yang digunakan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini
menggunakan analisis regresi berganda dan jumlah anggota sampel ditentukan
dengan cara jumlah variabel dikali 10 maka didapatkan hasil minimal sampel
yang dapat digunakan dalam penelitian tersebut. Terdapat empat variabel
dalam penelitian ini yaitu satu variabel dependen (indeks pembangunan
manusia) dan tiga variabel independen (belanja daerah bidang pendidikan,
belanja daerah bidang kesehatan, dan rasio kemandirian daerah). Penelitian ini
kemudian memilih observasi sebanyak 5 kabupaten/kota dengan rentang
waktu enam tahun yaitu tahun 2011-2016 dan didapatkan jumlah sampel
dalam penilitian ini bejumlah 30.
C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Adapun penelitian ini, penulis mengambil data dari beberapa instansi
pemerintahan seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jendral
Perimbangan dan Keuangan (DJPK). Data diambil dari tahun 2011 hingga
tahun 2016. Keberhasilan suatu penelitian jika dinilai dari lama
penyelesaiannya dapat ditentukan dan lama peneliti mengumpulkan data-data
yang dibutuhkan. Siregar (2013) mengatakan bahwa data merupakan bentuk
informasi atau keterangan berdasarkan fakta yang benar-benar terjadi, data
tersebut diolah baik secara kualitatif maupun kuantitatif dari masih berbentuk
data mentah hingga menjadi data yang bisa dianalisi dan disimpulkan.
43
2. Metode Pengolahan Data
Teknik analisa data merupakan suatu langkah yang paling menentukan
dari suatu penelitian, karena analisa data berfungsi untuk menyimpulkan hasil
penelitian. Alat yang digunakan oleh penulis sebagai alat pengumpulan data
adalah tes dan lembar observasi. Tetapi, karena penulis menggunakan data
sekunder maka tidak ada alat wawancara maupun observasi yang menjadi alat
dan pengolahan data penulis dalam penelitiannya yaitu menggunakan alat
perhitungan statistik yaitu eviews 8 dan microsoft excel.
D. Metode Analisis Data
1. Model Data Panel
Winarno (2015) mengatakan bahwa data panel merupakan analisis data
yang terdiri dari data seksi silang (terdapat beberapa objek) yang biasa sering
disebut cross section digabung dengan data runtutan waktu (berdasarkan
waktu) yang biasa sering disebut time series. Data panel merupakan analisis
yang mengkombinasikan data cross section dengan sejumlah observasi yang
telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu atau data time series yang juga
telah ditentukan.
Saat menggabungkan data time series dan cross section kita mampu
menambahkan jumlah observasi secara signifikan tanpa melakukan treatment
apapun pada data seperti menlakukan logaritma natural. Sehingga analisis data
panel memungkinkan memberikan hasil yang memuaskan dan mendapatkan
hasil yang rinci. Sedangkan model analisis yang digunakan dalam penelitian
ini yakni analisis regresi linear berganda. Model persamaan yang akan
diestimasi dalam model regresi penelitian ini adalah sebagai berikut:
𝒀𝒊 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏𝑿𝒊 + 𝜺𝒊; 𝒊 = 𝟏, 𝟐, … . , 𝑵
Di mana “N” merupakan jumlah data cross setion. Sedangkan persamaan
model dengan time series dapat dapat ditulis sebagai berikut :
𝒀𝒊 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏𝑿𝒊 + 𝜺𝒊; 𝒊 = 𝟏, 𝟐, … . , 𝑻
44
Di mana “T” merupakan jumlah data time series. Sehingga persamaan data
panel yang merupakan gabungan dari data cross section dan time series dapat
ditulis sebagai berikut :
𝒀𝒊 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏𝑿𝒊𝒕 + 𝜺𝒊𝒕; 𝒊
i = 1,2,..., N ; t = 1, 2, ...., T
Dalam model tersebut, Y merupakan variabel terikat sedangkan X
merupakan variabel bebas. N menunjukkan banyaknya observasi sedangkan
T menunjukkan banyaknya waktu yang dianalisis. Sehingga variabel-
variabel dalam penelitian ini diaplikasikan dalam sebuah model sebagai
berikut :
𝑳𝑶𝑮𝑰𝑷𝑴 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏𝑳𝑶𝑮𝑩𝑷𝒊𝒕 + 𝜷𝟐𝑳𝑶𝑮𝑩𝑲𝒊𝒕 + 𝜷𝟑𝑹𝑨𝑺𝑰𝑶_𝑲𝑬𝑴𝑨𝑵𝑫𝑰𝑹𝑰𝑨𝑵𝒊𝒕
+ 𝜺𝒊𝒕
Keterangan:
LOGIPM = Indeks Pembangunan Manusia (Y)
LOGBP = Belanja Pendidikan (X1)
LOGBK = Belanja Kesehatan (X2)
RASIO_KEMANDIRIAN = Rasio Kemandirian Daerah (X3)
“i” menunjukan subjek ke-i, sedangkan “t” menunjukkan tahun ke-t
Beberapa kelebihan data panel menurut Gujarati :
1) Teknik estimasi data panel dapat mengatasi heterogenitas dalam setiap
unit secara eksplisit dengan memberikan variabel spesifik subjek.
2) Penggabungan observasi time series dan cross section memberikan lebih
banyak informasi, lebih banyak variasi, sedikit kolinearitas
antarvariabel, lebih banyak degree of freedom dan lebih efisien.
3) Dengan mempelajari observasi cross section berulang-ulang, data panel
sangat cocok untuk mempelajari dinamika perubahan.
45
2. Model Estimasi
Dalam menganalisis model regresi dengan menggunakan data panel dapat
dilakukan dengan macam pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS)
Model Pooled Least Square (PLS) termasuk model regresi yang paling
sederhana jika dibandingkan dua model regresi yang lain. Sederhananya
model ini hanya menggabungkan data time series dan cross-section tanpa
melihat koefisien lainnya yang mungkin dapat mempengaruhi model
(Widarjono, 2009). Pada model PLS, perilaku individu biasanya diasumsikan
sama dalam berbagai kurun waktu. Hal itu terjadi karena dimensi waktu
ataupun individu tidak terlalu diperhatikan dalam analisis model ini.
2. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM)
Fixed Effect Model (FEM) merupakan model yang menjelaskan bahwa
individu-individu secara cross-section dalam model ini memiliki intersepnya
masing-masing. Intersep yang dihasilkan tersebut akan memberikan
pengaruh yang berbeda dari masing-masing individu. Model ini juga sering
disebut sebagai teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV). Untuk
mengestimasi data panel, model ini terkadang menggunakan teknik variable
dummy, yang mana variable dummy dapat melihat perbedaan intersep pada
masing-masing individu (Gujarati, 2012).
3. Pendekatan Random Effect Model (REM)
Random Effect Model (REM) merupakan model yang dikenal sebagai
model regresi yang mengestimasi data panel dengan memperhitungkan error
dari model regresi yang dianalisis dengan metode Generalized Least Square
(GLS). Perbedaan model ini dengan Fixed Effect Model (FEM) terletak pada
error-nya. Apabila pada model FEM perbedaan antar individu atau waktu
digambarkan melalui intersep, lalu pada model REM perbedaan tersebut
diakomodir melalui error yang dihasilkan. Keuntungan menggunakan REM
yaitu dapat menghilangkan heterokedastisitas. Model REM membuktikan
46
bahwa error dapat diperhitungkan karena berkorelasi dengan time series dan
cross section (Suliyanto, 2011).
3. Uji Spesifikasi Model
Tahap pertama yang dilakukan dalam analisis regresi data panel
melakukan percobaan regresi dengan FEM, kemudian melakukan uji Chow
untuk membuktikan yang mana di antara FEM dan PLS yang merupakan
model yang tepat dilihat dari nilai probabilitasnya. Jika FEM merupakan
model yang tepat, maka dilakukan kembali uji Hausman untuk membuktikan
yang mana di antara FEM dan REM yang merupakan model terbaik dari
penelitian tersebut. Kemudian tahap terakhir, jika REM merupakan model
yang tepat maka dilakukan LM-test untuk memastikan bahwa REM
merupakan model terbaik. Pada analisis data panel singkatnya terdapat tiga
jenis pendekatan untuk mengestimasi model yaitu melalui uji Chow, uji
Hausman dan LM-test.
Setelah melakukan berbagai pengujian untuk estimasi model terbaik, maka
penelitian ini hanya menggunakan uji Chow dan uji Hausman. Berikut adalah
penjelasan dari uji spesifikasi model antara lain sebagai berikut:
1. Uji Chow
Uji signifikansi fixed effect (uji F) atau Chow-test adalah untuk mengetahui
apakah teknik regresi data panel dengan fixed effect lebih baik dari model
regresi data panel tanpa variabel dummy atau OLS. Dasar pengambilan
keputusan menggunakan chow-test atau likelihood ratio test, yaitu:
a. Jika 𝐻0 diterima, maka model pool (common).
b. Jika 𝐻1 diterima, maka dilanjutkan uji Hausman.
Jika nilai probabilitasnya lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5%
(tingkat kepercayaan 95%) maka 𝐻0 ditolak, artinya model panel yang baik
untuk digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM). Sebaliknya jika 𝐻0
diterima, berarti Pooled Least Square (PLS) merupakan model yang harus
digunakan dan dianalisis. Namun ketika 𝐻0ditolak, untuk lebih memastikan
47
apakah Fixed Effect Model (FEM) merupakan model yang terbaik maka harus
diuji kembali menggunakan uji Hausman. Pada uji Hausman akan memilih dan
memberikan spesifikasi apakah Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect
Model (REM) model yang tepat, setelah itu baru dilakukan dianalisis.
2. Uji Hausman
Setelah melakukan uji Chow dan didapatkan hasil H0 ditolak, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan uji Hausman. Pada tahap ini, pilihan
model hanya tinggal memilih antara Fixed Effect Model (FEM) atau Random
Effect Model (REM). Uji spesifikasi ini akan memberikan penilaian yang
diperhitungan dengan menggunakan Chi-Square Statistic, sehingga keputusan
pemilihan model akan dapat ditentukan. Pengujian ini dilakukan dengan
hipotesis sebagai berikut:
𝐻0: Random Effect Model
𝐻1: Fixed Effect Model
Jika nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5% maka 𝐻0
ditolak, yang artinya model data panel yang baik untuk digunakan adalah
Fixed Effect Model (FEM). Namun sebaliknya jika 𝐻0 diterima, maka Random
Effect Model (REM) merupakan model yang tepat untuk digunakan dan
dianalisis.
4. Uji Hipotesis Model
Setelah melakukan uji spesifikasi dan diketahui model terbaik untuk
penelitian tersebut maka selanjutnya dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis ini
dilakukan untuk mengidentifikasi apakah koefisien regresi yang didapat pada
penelitian ini signifikan (memiliki efek antar satu variabel dengan variabel
lainnya). Maksud dari signifikan adalah nilai koefesien regresi yang dihasilkan
secara statistik tidak sama dengan nol. Jika slope koefisiennya sama dengan
nol, maka dapat dikatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menyatakan
variabel independen dalam penelitian mempunyai pengaruh terhadap variabel
48
dependen. Terdapat dua jenis uji hipotesis terhadap koefisien regresi yang
harus dilakukan antara lain:
1. Uji Signifikansi Parsial (Uji t-statistik)
Uji t dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara
parsial (masing-masing variabel) terhadap variabel dependen. Uji t dilakukan
dengan membandingkan t hitung setiap variabel terhadap t tabel dengan
ketentuan sebagai berikut:
H0 : β = 0, maka tidak ada pengaruh positif dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial (individu).
H1 : β > 0, maka ada pengaruh positif dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial (individu).
Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam uji t adalah 95% atau taraf
signifikan 5% (α = 0,05) dan 90% atau taraf signifikan 10% (α = 0,1) dapat
disimpulkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Jika t hitung > t tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti terdapat
pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen.
2) Jika t hitung < t tabel maka H1 diterima dan H0 ditolak berarti tidak
terdapat pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen.
2. Uji Signifikansi Simultan (Uji-F Statistik)
Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen
secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap variabel dependen. Cara
yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai F hitung dengan F tabel
dengan ketentuan sebagai berikut:
H0 : β = 0, maka tidak ada pengaruh signifikan dari variabel independen
terhadap variabel dependen secara simultan (bersama- sama).
49
H1 : β > 0, maka ada hubungan yang signifikan dari variabel independen
terhadap variabel dependen secara simultan (bersama- sama).
Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam uji t adalah 95% atau taraf
signifikan 5% (α = 0,05) dan 90% atau taraf signifikan 10% (α = 0,1) dapat
disimpulkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Jika F hitung > F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti variabel
independen secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap variabel dependen.
2) Jika F hitung < F tabel maka H1 diterima dan H0 ditolak berarti variabel
independen secara bersama-sama tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dependen.
3. Koefisien Determinan (𝑅2)
Koefisien determinasi merupakan suatu ukuran yang penting dan harus
dipertimbangkan dalam melakukan analisis regresi, karena nilai koefisien
determinansi dapat menginformasikan baik tidaknya model regresi yang
terestimasi. Dengan kata lain, koefisien determinansi dapat mengukur seberapa
dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sesungguhnya.
Nilai koefisien determinasi (Goodness of fit) mencerminkan seberapa besar
variasi dari variabel dependen (Y) dapat diterangkan oleh variabel independen
(X). Koefisien determinansi dapat dilambangkan dengan 𝑅2. Jika 𝑅2 = 0, maka
variasi dari variabel dependen tidak dapat diterangkan oleh variabel
independen sama sekali. Sementara jika 𝑅2 = 1, maka variasi variabel
dependen secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independen. Bila
𝑅2 = 1, maka semua titik pengamatan berbeda pada garis regresi atau garis
yang diestimasi letaknya sama dengan garis menurut data yang sesungguhnya.
Semakin besar nilai 𝑅2 maka semakin besar pengaruh yang diberikan variasi
variabel independen terhadap variabel independen. Nilai 𝑅2 berkisar di antara
nol sampai dengan satu. (Nachrowi dan Usman, 2008)
50
5. Uji Asumsi Klasik
1. Autokorelasi
Uji autokorelasi merupakan uji korelasi pada tempat yang berdekatan
datanya yaitu cross section. Uji autokorelasi menjelaskan korelasi yang terjadi
antara time series, apakah terdapat hubungan yang membentuk suatu pola
tertentu antara data penelitian tahun ini dengan tahun sebelumnya. Uji
autokorelasi lebih menekankan kepada dua data penelitian berdasarkan
rentetan waktu yang digunakan. Cara yang digunakan untuk mendeteksi
apakah terdapat autokorelasi dalam suatu penelitian adalah dengan melihat
nilai DW (Durbin-Watson), kriterianya adalah ketika nilai DW > dU maka
penelitian bebas dari autokorelasi negatif dan ketika nilai DW < dU maka
penelitian bebas dari autokorelasi positif. Nilai dU sendiri dapat dilihat pada
tabel Durbin-Watson.
2. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel
yang akan digunakan dalam penelitian dan sebaiknya dilakukan sebelum data
diolah berdasarkan model-model penelitian. Metode yang baik yang layak
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kolmogrovsmirnov untuk
mengetahui normal atau tidaknya data yang digunakan. Uji Jarque Berra (JB)
adalah salah satu uji normalitas jenis goodness of fit test melalui software
eviews yang mana mengukur apakah skewness dan kurtosis sampel sesuai
dengan distribusi normal. Uji ini didasarkan pada kenyataan bahwa nilai
skewness dan kurtosis dari distribusi normal sama dengan nol. Oleh karena
itu, nilai absolut dari parameter ini bisa menjadi ukuran penyimpangan
distribusi dari normal. Hipotesis:
𝐻0 : Data berdistribusi normal
𝐻1 : Data tidak berdistribusi normal
- Probabilitas < 𝑎 (0.05), H0 ditolak, H1 diterima
- Probabilitas > 𝑎(0.05), H1 ditolak, H0 diterima
- Jika Sig > 0,05 maka data berdistribusi normal.
- Jika Sig < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal
51
3. Uji Multikoleniaritas
Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear yang sempurna di antara
variabel yang menjelaskan model regresi. Untuk mengukur terjadinya
multikolinearitas pada model regresi dilihat dari koefisien korelasi antara
masing-masing variabel bebas. Apabila koefisien > 0,80, maka dalam model
regresi terjadi multikolinearitas.
Apabila terdapat persoalan ini dalam sebuah teknik regresi, maka dapat
mengakibatkan koefisien regresi tidak dapat ditentukan dan standar erornya
tidak dapat didefinisikan. Selain itu jika kolinearitas tinggi tetapi tidak
sempurna, estimasi dari koefisien regresi masih dimungkinkan, namun nilai
standar erornya cenderung besar. Hasilnya, nilai populasi dari koefisien-
koefisien tidak dapat diestimasi dengan tepat.
4. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas merupakan pengujian untuk melihat apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain (Ghozali, 2012). Cara untuk mendeteksi apakah
terdapat heteroskedastisitas atau tidak yaitu dengan melihat grafik plot antara
nilai prediksi variabel terikat (dependen). Selain itu, cara untuk mendeteksi
multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji Glejser. Uji Glejser dilakukan
dengan meregresi nilai absolut residual terhadap variabel independen. Jika
variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi variabel
dependen, maka ada indikasi terjadi heteroskedastisitas dan berlaku juga
kondisi sebaliknya.
52
E. Operasional Variabel Penelitian
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel Definisi Satuan
Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM)
Untuk melihat kontribusi terhadap
perekonomian dan pembangunan suatu daerah
khususnya di bidang pendidikan, kesehatan
serta ekonomi dalam SDM, IPM sebagai
variabel terikat (Y) yang di pengaruhi oleh
faktor-faktor yang mempengaruhi nya.
Indeks
Belanja Daerah
Bidang
Pendidikan
Belanja daerah sebagai salah satu faktor yang
menunjang tingkat pembangunan daerah salah
satunya di bidang pendidikan yang merupakan
anggaran yang diberikan oleh pemerintah ke
tiap daerah. Variabel belanja daerah bidang
pendidikan menjadi variabel bebas sebagai
(X1)
Rupiah
Belanja Daerah
Bidang
Kesehatan
Belanja daerah sebagai salah satu faktor yang
menunjang tingkat pembangunan daerah salah
satunya di bidang pendidikan yang merupakan
anggaran yang diberikan oleh pemerintah ke
tiap daerah. Variabel belanja daerah bidang
pendidikan menjadi variabel bebas sebagai
(X2)
Rupiah
Rasio
Kemandirian
Daerah
Rasio Kemandirian merupakan hasil yang di
dapat melalui perhitungan penerimaan PAD
dibagi dengan dana bantuan pemerintah
pusat/provinsi untuk mengukur tingkat
kemandirian suatu daerah. Variabel rasio
kemandirian daerah menjadi variabel bebas
(X3)
Persentase
Sumber: tabel diolah,2019
53
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Profil Daerah Istimewa Yogyakarta
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang terdaftar
dari 34 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah.
Daerah Istimewa Yogyakarta di bagian selatan di batasi oleh lautan Indonesia dan
di bagian timur laut, tenggara, barat, dan barat laut di batasi dengan wilayah yang
berada di provinsi Jawa Tengah yaitu:
a. Sebelah Timur Laut berbatasan dengan Kabupaten Klaten
b. Sebelah Tenggara berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri
c. Sebalah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo
d. Sebelah Barat Laut berbatasan dengan Kabupaten Magelang
Wilayah administratif D.I Yogyakarta terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78
kecamatan dan 438 kelurahan/desa, meliputi:
a. Kota Yogyakarta mempunyai luas sebesar 32,50 km² atau 1.02 persen, terdiri
dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan.
b. Kabupaten Bantul mempunyai luas sebesar 506,85 km² atau 15,91 persen,
terdiri dari 17 kecamatan dan 75 desa.
c. Kabupaten Kulonprogo mempunyai luas sebesar 586,27 km² atau 18,40
persen, terdiri dari 12 kemacaran dan 88 desa.
d. Kabupaten Gunungkidul mempunyai luas sebesar 1.485,36 km² (46,63
persen), terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa.
e. Kabupaten Sleman mempunyai luas sebesar 574,82 km² atau 18,04 persen,
terdiri dari 17 kecamatan dan 86 desa.
54
Grafik 4.1
Persentase Luas Wilayah Kabupaten/kota Provinsi D.I Yogyakarta
Sumber: Bappeda, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2017
Kabupaten Gunungkidul mempunyai wilayah yang paling luas yaitu
sekitar 46,6 persen dari seluruh wilayah Provinsi D.I Yogyakarta, sebagian
besarnya terdiri dari pegunungan sehingga beberapa wilayahnya rentan terhadap
kekurangan air bersih pada musim kemarau. Sebaliknya, Kota Yogyakarta
memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah lainnya, yaitu 32,5
Km² yang berarti hanya 1,025% dari luas wilayah Propinsi D.I Yogyakarta. Kota
Yogyakarta juga memiliki pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup
tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai
pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa
dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km² Hal ini menandakan bahwa
kepadatan penduduk di Ibukota ini tinggi. Provinsi ini juga memiliki hamparan
pantai yang dapat menjadi wisata pantai yang potensial serta strategis untuk
pengembangan usaha kelautan dan perikanan.
55
Gambar 4.1
Peta Wilayah Administratif Provinsi D.I Yogyakarta
Sumber: Bappeda, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2017
Jumlah penduduk yang tercatat di Provinsi D.I Yogyakarta dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk pada tahun
2001 jumlah penduduk di Provinsi D.I Yogyakarta sebanyak 2.488.544 jiwa,
lalu tahun 1980 dan 1990 masing-masing meningkat menjadi 2.750.128 jiwa dan
2.912.611 jiwa. Lalu, pada tahun 2011 mencapai 3.120.478 jiwa. Berdasarkan
hasil Sensus Penduduk 2013, jumlah penduduk DIY tercatat sebanyak 3.457.491
jiwa. Dengan komposisinya adalah 49,4 persen laki-laki dan 50,6 persen
perempuan (BPS, 2017).
56
Tabel 4.1
Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
DIY Tahun 2011-2016
Kab/Kota Luas
Wilayah
(km²)
Kepadatan Penduduk per Jiwa(Km²)
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kulon Progo 586,27 653 672 684 691 697 710
Bantul 506,85 1650 1785 1.884 1.911 1.937 1.940
Gunung Kidul 1.485 403 430 466 470 473 486
Sleman 574,82 1790 1884 1.995 2.024 2.054 2.053
Yogyakarta 32,500 12.110 12.200 12.240 12.322 12.401 12.853
D. I. Yogyakarta 3.185 920 1.010 1.128 1.141 1.154 1.167
Sumber: Badan Pusat Statistik, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2016
Tabel di atas memaparkan tingkat kepadatan penduduk di kabupaten/kota di
D.I.Yogyakarta pada tahun 2011-2016. Luas wilayah dapat mempengaruhi tingkat
kepadatan penduduk. Pada tahun 2016, Kabupaten Gunungkidul yang mempunyai
wilayah ternyata tercatat sebagai kabupaten berkepadatan penduduk terendah,
yaitu 486 jiwa/km². Rendahnya kepadatan penduduk di Gunungkidul tersebut
bersangkutan dengan karakteristik wilayah yang relatif luas dan memiliki
topografi berupa pegunungan yang kurang menarik untuk dijadikan sebagai
tempat tinggal maupun tempat untuk melakukan aktivitas ekonomi tidak menutup
kemungkinan bahwa wilayah gunung kidul ternyata sering dijadikan objek wisata
oleh beberapa penduduk setempat.
2. Letak Geografis
Jika dilihat segi geografis, Provinsi D.I. Yogyakarta terletak pada 7°.33 ́-
8°.12 ́ Lintang Selatan dan 110°.00 ́-110°.50 ́ Bujur Timur, dengan mempunyai
luas sebesar 3.185,80 km² atau 0,17 persen dari luas Indonesia (1.890.75 km²).
Komponen fisiografi yang menyusun Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
terdiri dari 4 (empat) satuan fisiografis yaitu Satuan Pegunungan Selatan (Dataran
Tinggi Karst) dengan ketinggian tempat berkisar antara 150 - 700 meter, Satuan
57
Gunung apo Merapi dengan ketinggian tempat berkisar antara 80 - 2.911 meter.
Satuan Dataran Rendah yang membentang antara Pegunungan Selatan hingga
Pegunungan Kulonprogo dengan ketinggian 0 - 80 meter, kemudian pegunungan
Kulonprogo dengan ketinggian mencapai 572 meter.
Kondisi fisik di Provinsi D.I Yogyakarta dapat dilihat dari kondisi iklim,
geologi ,geografi, gomorfologi, jenis tanah, dan hidrologi daerah. Kondisi
geografi daerah menggambarkan mengenai posisi spasial daerah di dalam
kaitannya dengan daerah lain yang ada di sekitarnya, baik itu di dalam luas
wilayah, batas-batasan wilayah, dan batas-batas potensi sumberdaya alam dan
kewilayahan.
3. Keadaan Topografi dan Iklim
Sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta atau sebesar 65,65%
wilayah terletak pada ketinggian antara 100-499 m dari permukaan laut, 28,84%
wilayah dengan ketinggian kurang dari 100 meter, 5,04% wilayah dengan
ketinggian antara 500-999 m, dan 0,47% wilayah dengan ketinggian di atas 1000
m. Berdasarkan satuan fisiografis, Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas:
a. Satuan Pegunungan Selatan, seluas 1.656,25 km, ketinggian 150-700 m,
terletak di Kabupaten Gunungkidul (Pegunungan Seribu), yang merupakan
wilayah perbukitan batu gamping (limestone) yang kritis, tandus, dan selalu
kekurangan air. Pada bagian tengah berupa dataran Wonosari basin.Wilayah
ini merupakan bentang alam solusional dengan bahan batuan induk batu
gamping, yang mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal dan vegetasi
penutup yang relatif jarang;
b. Satuan Gunung Berapi Merapi, seluas 582,81 km, ketinggian 80-2.911 m,
terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial Gunung
Merapi, meliputi daerah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan sebagian
Kabupaten Bantul, serta termasuk bentang alam vulkanik. Daerah kerucut
dan lereng Gunung Merapi merupakan hutan lindung dan sebagai kawasan
resapan air;
58
c. Dataran rendah antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo
seluas 215,62 km, ketinggian 1080 m, merupakan bentang alam fluvial yang
didominasi oleh dataran Alluvial. Membentang di bagian selatan DIY mulai
Kabupaten Kulon Progo sampai Kabupaten Bantul yang berbatasan dengan
Pegunungan Seribu. Daerah ini merupakan wilayah yang subur. Bentang
alam lain yang belum digunakan adalah bentang alam marine dan aeolin
yang merupakan satuan wilayah pantai yang terbentang dari Kabupaten
Kulon Progo sampai Bantul. Khusus Pantai Parangtritis, terkenal dengan
laboratorium alamnya berupa gumuk pasir. Pegunungan Kulon Progo dan
Dataran Rendah Selatan seluas 706,25 km, ketinggian 0572 m, terletak di
Kabupaten Kulon Progo. Bagian utara merupakan lahan struktural
denudasional dengan topografi berbukit yang mempunyai kendala lereng
yang curam dan potensi air tanah yang kecil.
4. Pembangunan Sumber Daya Manusia
Hakikat pembangunan adalah membentuk manusia-manusia atau individu-
individu otonom, yang kemudian dapat memungkinkan mereka bisa
mengaktualisasikan segala potensi terbaik sehing dapat terbentuk (Basri, dan
Munandar 2010). Sehingga disadari bahwa manusia merupakan modal utama
terbentuknya daya saing nasional dalam menghadapi persaingan internasional.
Oleh karena itu, Sejak tahun 1990 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
menjadi indikator pengukuran keberhasilan yang lebih kompleks, karena dengan
sumber daya manusia yang baik, akses terhadap faktor produksi semakin baik
yang pada gilirannya akan semakin mensejahterakan masyarakat. IPM
mengartikan definisi kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar pendapatan
domestik bruto (PDB). IPM merupakan indeks yang mengukur pencapaian
keseluruhan suatu negara, yang direpresentasikan oleh 3 dimensi, yaitu: umur
panjang dan sehat, pengetahuan dan kualitas hidup yang layak.
IPM merupakan indikator utama pencapaian keberhasilan pembangunan tiap
Kab/Kota di Provinsi D.I Yogyakarta. dapat dibuktikan bahwa pembangunan
manusia ini mengalami kenaikan tiap tahunnya khususnya di Kota Yogyakarta
59
yang memiliki nilai IPM tertinggi tiap tahunnya, hal ini dapat di buktikan karena
kota Yogyakarta juga sebagai kota wisata di Indonesia yang menandakan bahwa
aktivitas pembangunan berjalan dengan baik seperti dilihat tabel dibawah sebagai
berikut:
Tabel 4.2
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut
Kabupaten/kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2011-2016
No Kabupaten/Kota Tahun
2011 2012 2013 2014 2015 2016
1 Kab. Bantul 75,04 75,33 75,95 77,11 77,99 78,42
2 Kab. Sleman 75,05 75,51 76,01 80,73 81,20 82,15
3 Kab. Gunung Kidul 70,84 71,11 71,64 67,03 67,41 67,82
4 Kab. Kulon Progo 78,79 79,39 79,97 70,68 71,52 72,38
5 Kota Yogyakarta 79,89 80,24 80,51 83,78 84,56 85,32
6 Provinsi D.I.Yogyakarta 76,32 76,75 77,37 76,81 77,59 78,38
Sumber: Badan Pusat Statistik, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2016
IPM merupakan indikator yang dapat mengukur tingkat keberhasilan
dalam pembangunan jangka panjang. Pencapaian dari IPM di provinsi D.I
Yogyakarta menggambarkan pertumbuhan yang positif dan meningkat dari tahun
ke tahun. Rata-rata pertumbuhan IPM Provinsi D.I Yogyakarta setiap tahun nya
sebesar 13 poin. Kenaikan yang di alami ini membuktikan bahwa pembangunan
SDM yang di capai oleh Provinsi D.I Yogyakarta ini cukup stabil.
5. Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi D.I Yogyakarta
Pengeluaran Pemerintah merupakan pembelanjaan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap barang dan jasa. Pengeluaran atau belanja pemerintah
mencerminkan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya melalui peningkatan pelayanan publik. Adapun total belanja
daerah Provinsi D.I Yogyakarta dari tahun tahun 2011 sampai dengan tahun 2016
sebagai berikut:
60
Tabel 4.3
Total Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi D.I Yogyakarta
2011-2016 (Dalam Rupiah)
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan dan Keuangan, Prov DIY.
Berdasarkan tabel 4.5, total pengeluaran pemerintah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta selama 6 tahun terakhir yaitu dari tahun 2011 sampai
dengan tahun 2016. Pengeluaran Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta terus meningkat setiap tahunnya yaitu pada tahun 2011 sebesar
1.562.268.734.645 dan terus meningkat sampai dengan tahun 2016 dengan total
sebesar 3.847.962.965.847. Kenaikan yang cukup tinggi terjadi karena adanya
pelaksanaan pembangunan yang cukup meningkat. Adapun belanja menurut
fungsi yang dianggarkan untuk merealisasikan pembangunan salah satunya
dibidang pendidikan dan kesehatan sebagai berikut:
a. Belanja Daerah Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan
Belanja daerah menurut fungsi pendidikan merupakan bagian dari belanja
daerah yang diklasifikasikan menurut fungsinya dengan tujuan untuk
meningkatkan output dari bidang pendidikan. Belanja daerah bidang pendidikan
ini harus sesuasi dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 49 minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Bahwa anggaran yang dikeluarakan untuk sektor
pendidikan terealisasi dengan baik hal ini terlihat karena lebih 20% dari total
belanja daerah pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan. Meningkatnya
anggaran pendidikan serta pengelolaan yang efektif dan tepat sasaran maka
realisasi belanja fungsi pendidikan tentunya akan meningkat, bahkan berdampak
Tahun Total Belanja Daerah
2011 1.562.268.734.645
2012 2.053.825.959.467
2013 2.509.643.375.218
2014 2.981.068.320.421
2015 3.496.425.502.266
2016 3.847.962.965.847
61
pada semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat, Belanja pendidikan ini
diukur dengan menggunakan realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) menurut fungsi pendidikan dalam satuan rupiah yang dilakukan
logaritma natural. APBD sendiri di dapat dari anggaran pemerintah yang telah
tertuang kedalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Sedangkan, belanja daerah atau pengeluaran pemerintah daerah menurut
fungsi pada bidang kesehatan merupakan bagian dari belanja daerah yang
diklasifikasikan menurut fungsinya dengan tujuan untuk meningkatkan output dari
bidang kesehatan yang mana anggaran yang dikeluarkan harus sesuai dengan,
besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi dan Kabupaten/Kota
dialokasikan minimal 10% dari APBD di luar gaji, pengeluaran kesehatan pada
tahun 2010-2016 kurang dari 10%. Adapun total Realisasi Pengeluaran
Pemerintah Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota di
Provinsi D.I Yogyakarta dari tahun tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 sebagai
berikut:
Grafik 4.2
Total Realisasi Belanja Pemerintah Menurut Fungsi Bidang Pendidikan di
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016
(Dalam Rupiah)
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Provinsi DIY
61
6.6
22
.75
7.3
26
67
1.2
42
.29
8.4
99
64
6.6
16
.13
2.5
70
73
1.2
99
.93
1.0
00
87
5.8
15
.98
1.9
03
79
6.3
58
.85
0.1
09
54
0.4
84
.02
4.8
91
60
3.7
57
.48
1.2
96
68
1.4
62
.15
8.6
32
72
2.0
96
.91
8.5
90
82
0.7
66
.41
9.5
83
30
3.4
53
.48
8.6
20
40
2.0
45
.21
3.6
42
44
8.0
20
.21
2.7
29
46
1.4
32
.69
6.7
39
49
8.9
01
.00
4.7
30
56
9.6
20
.91
6.1
20
51
7.6
62
.24
2.1
12
64
6.9
71
.53
3.9
84
72
1.6
80
.12
8.4
82
77
9.9
72
.42
1.3
13
85
6.8
81
.01
7.6
80
89
0.8
94
.08
4.3
50
78
2.6
47
.96
3.6
73
40
9.9
84
.29
9.8
45
44
2.0
22
.10
7.7
52
40
4.5
37
.45
4.5
78
44
9.6
35
.71
8.9
65
50
1.2
58
.87
6.7
05
58
9.9
06
.35
9.3
64
2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6
Bantul GunungKidul Kulon Progo Sleman Yogyakarta
62
Grafik 4.3
Total Realisasi Belanja Pemerintah Menurut Fungsi Bidang Kesehatan di
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011-2016
(Dalam Rupiah)
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Prov. DIY
Grafik 4.2 menunjukan bahwa realisasi belanja pemerintah provinsi D.I
Yogyakarta per Kabupaten/Kota di bidang pendidikan tiap tahun meningkat. Hal
ini, di karenakan tiap tahun semakin berkembangnya tingkat dan fasilitas
pendidikan di Indonesia khususnya di Provinsi D.I Yogyakarta ini yang cukup
stabil. Kemudian, pada grafik 4.3 , pada realisasi anggaran belanja pemerintah
bidang kesehatan menunjukkan kenaikan dan juga penurunan di tahun 2016.
6. Kemandirian Fiskal Daerah Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta
Penyerahan kewenangan pemerintahan secara luas, nyata dan bertanggung
jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah kemudian disertai dengan
penyerahan sumber-sumber pembiayaan dan keuangan. Implikasinya daerah
diharapkan lebih mandiri dalam melaksanakan pemerintahan baik dari sisi
perencanaan, pembangunan, serta pembiayaannya. Undang-Undang No 25 Tahun
14
4.8
05
.24
3.5
86
17
8.8
80
.94
9.2
09
18
8.8
09
.96
1.6
21
25
9.2
34
.34
8.9
01
34
2.8
00
.50
3.3
31
38
4.1
43
.58
0.2
44
86
.19
8.9
45
.74
1
10
5.0
10
.13
3.3
51
12
2.8
40
.61
7.7
27
13
3.2
75
.52
1.9
23
18
1.5
69
.63
5.6
86
22
9.9
34
.39
1.3
38
90
.30
1.3
48
.35
2
10
9.1
31
.47
0.6
11
11
7.9
11
.38
1.2
62
13
2.9
99
.58
6.8
66
21
6.7
17
.58
3.6
10
23
6.3
87
.10
4.7
16
11
9.7
82
.98
6.1
82
16
3.8
68
.77
0.8
31
19
2.5
68
.34
8.0
79
29
1.2
17
.01
7.0
33
30
0.1
29
.78
1.2
31
37
4.3
97
.55
8.8
61
11
2.2
89
.14
1.9
50
94
.99
3.9
17
.92
8
16
9.1
84
.70
3.9
42
16
0.1
30
.10
4.9
05
28
7.2
47
.10
4.0
96
27
8.6
64
.42
8.8
48
2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6
Bantul GunungKidul Kulon Progo Sleman Yogyakarta
63
1999 menempatkan pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat penting
dalam menentukan kebijakan anggarannya.
Pemerintah daerah dalam menyusun anggarannya harus berorientasi pada
prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Anggaran yang berimbang berarti
seluruh pengeluaran daerah harus dibiayai dari penerimaan daerah itu sendiri.
Dengan demikian, daerah harus mandiri dalam pengelolaan keuangannya. Pada
tabel 4.9 tiap kab/kota Prov. D.I Yogyakarta memiliki penerimaan PAD paling
sedikit di Kab. Kulon Progo hal ini di karenakan kurangnya SDA maupun SDM
yang memumpuni sehingga Kulon Progo masih bergantung kepada dana
pemerintah. Hal ini dapat di buktikan dengan menghitung rasio kemandirian tiap
wilayah/daerah jika daerah tersebut sudah dikatakan mandiri ataupun sebaliknya.
Grafik 4.4
Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota Provinsi
D.I Yogyakarta 2011-2016
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan dan Keuangan, Prov. DIY
Sumber pendapatan daerah merupakan suatu hal yang dapat menunjukan
daerah tersebut dapat mempunyai tingkat kemandirian yang tinggi. Pendapatan
asli daerah atau PAD merupakan penerimaan yang berasal dari daerah
12
8.8
96
.45
6.1
73
16
6.5
97
.77
8.0
29
22
4.1
97
.86
4.3
31
35
7.4
11
.06
2.7
23
39
0.6
24
.49
2.0
73
40
4.4
54
.70
3.7
46
54
.46
2.4
18
.77
2
67
.05
0.7
81
.89
3
83
.42
7.4
47
.82
2
15
9.3
04
.33
8.2
20
19
6.0
99
.24
4.2
04
20
6.2
78
.86
5.6
16
53
.75
2.2
93
.43
2
74
.02
8.6
63
.15
5
95
.99
1.5
12
.85
1
15
8.6
23
.92
7.3
38
17
0.8
22
.32
6.5
58
18
0.2
73
.36
3.5
95
22
6.7
23
.27
1.0
88
30
1.0
69
.53
9.2
84
44
9.2
70
.30
4.8
65
57
3.3
37
.59
9.5
60
64
3.1
30
.07
9.8
28
71
7.1
51
.17
6.0
29
22
8.8
70
.55
9.6
46
33
8.2
83
.72
8.2
85
38
3.0
52
.14
0.4
20
47
0.6
41
.52
8.4
44
51
0.5
48
.52
2.8
10
54
0.5
04
.30
5.1
82
2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6
Bantul G.Kidul Kulon Progo Sleman Yogyakarta
64
kabupaten/kota di provinsi DI. Yogyakarta tanpa ada campur tangan pemerintah.
Biasanya sumber pendapatan tertinggi hampir 90% berasal dari pajak daerah dan
sisanya di peroleh dari komponen yang lain seperti retribusi daerah, badan usaha
milik daerah, serta lain lain pendapatan yang sah.
Penerimaan PAD sendiri tiap kabupaten/kota tertinggi diperoleh
Kabupaten Sleman dan di susul oleh Kota Yogyakata sebagai ibukota dari
Provinsi DI. Yogyakarta dan yang terendah ialah kabupaten Gunungkidul dan
Kulonprogo kedua kabupaten ini mayoritas masyarakatnya masih menjadi petani
sehingga sumber penerimaan masih minim dan masih begitu ketergantungan
dengan pusat/provinsi.
Tabel 4.4
Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Dalam Milyar Rupiah)
Jenis
Pendapatan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2011 2012 2013 2014 2015 2016
PAD 867.112 1.004.063 1.216.102 1.464.604 1.593.110 1.673.749
Pajak
Daerah
735.226 871.630 1.063.314 1.291.664 1.397.772 1.440.571
Retribusi
Daerah
35.985 34.115 38.043 44.595 45.811 36.603
Bagi Hasil
Usaha 28.961 35.492 40.817 48.247 52.502 57.333
Lain PAD
yang Sah 66.939 62.824 73.928 80.097 97.023 139.240
Dana
Perimbangan
722.339 894.544 957.561 1.013.811 1.021.886 1.697.108
DBH 82.037 118.434 94.731 76.756 62.257 113.065
DAU 620.812 757.056 828.334 899.923 920.544 940.835
DAK 19.489 19.052 34.495 37.131 39.084
643.207
Lain-lain
Pendapatan Sah
15.458
273.126
409.392
661.455
785.017
528.335
Total
Pendapatan
1.604.910 2.171.734 2.583.056 3.139.871 3.400.014 3.899.192
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan dan Keuangan, Prov. DIY
65
Berdasarkan Tabel 4.9, dapat diketahui bahwa realisasi pendapatan asli
daerah (PAD) Provinsi D.I.Yogyakarta meningkat dari tahun 2011 hingga tahun
2016. Penerimaan tersebut didominasi oleh pendapatan asli daerah. Hal ini
menunjukkan total realisasi penerimaan daerah PAD lebih tinggi bila
dibandingkan dengan dana yang berasal dari pemerintah pusat yaitu DAU.
Tetapi, pada tahun 2016, kondisi perekonomian di Provinsi D.I.Yogyakarta
mengalami ketimpangan tertinggi di Indonesia hal ini menyebabkan banyaknya
penyaluran dana dari pemerintah pusat khususnya dana perimbangan pada saat itu
lebih besar sedikit dibandingkan dengan PAD. Alasannya, pada saat itu terdapat
aktivitas pembangunan, pembangunan ini melahirkan ketimpangan pengeluaran
yang terlampau tinggi hal ini mengakibatkan pemerintah pusat menyiapkan dana
lebih besar untuk membantu ketimpangan tersebut. Hal ini di sebabkan,
pembangunan hotel dan mall di provinsi dinilai hanya memfasilitasi kelompok
ekonomi menengah ke atas. Sementara kelompok ekonomi terbawah tidak
mengubah gaya hidupnya yang sederhana.
Pajak daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah terbesar bagi
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta karena menyumbang 90 persen
PAD selama tahun 2011 hingga 2016, pajak daerah sangat potensial sebagai
sumber pendapatan asli daerah. Selain pajak daerah sebagai pendapatan asli
daerah juga terdapat retribusi daerah, BUMD, dan pendapatan asli daerah lainnya
yang sah.
Kemudian, untuk mengetahui tingkat kemandirian suatu daerah tidak hanya
melihat PAD daerah itu sendiri melainkan dengan menghitung menggunakan
rasio kemandirian daerah. Menurut (Halim, 2002), Kemandirian daerah (otonomi
fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri
kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah yang
66
berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari
pinjaman. Cara pengukurannya adalah sebagai berikut:
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛 = 𝑃𝐴𝐷
𝐵𝑎𝑛𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑥 100%
Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa rasio kemandirian
menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana
ekstern. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap
bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah,
demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin
tinggi partisipasi masyarakat. sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan
dengan kemampuan daerah dan tingkat kemandirian daerah dari sisi keuangan
dapat dilihat sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 4.5
Tingkat Kemampuan Kemandirian Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian daerah (%)
Rendah Sekali 0%-25%
Rendah 25%-50%
Sedang 50%-75%
Tinggi 75%-100%
Sumber: Halim, Abdul. (2012)
Kemudian, secara konsepsional, pola hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Paul Hersey dan
Kenneth Blanchard memperkenalkan empat macam pola hubungan hubungan
situasional yang dapat digunakan dalam pelaksanaan otonomi daerah (Halim,
2012) yaitu:
67
a) Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada
kemandirian pemerintah daerah. (Daerah yang tidak mampu melaksanakan
otonomi daerah), pola ini berada pada taraf 0-25%
b) Pola Hubungan Konsultatif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai
berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan
otonomi daerah, pola ini berada pada taraf 25-50%
c) Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang,
mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati
mampu melaksanakan urusan otonomi, pola ini berada pada taraf 50-75%
d) Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada
karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan
urusan otonomi daerah, pola ini berada pada taraf 75-100%
Grafik 4.5
Hasil Perhitungan Rasio Kemandirian Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta periode 2011-2016
Sumber: Data diolah (Excel), 2019
18
%
9%
23
%
35
% 38
%
23
%
7% 8% 9%
16
% 19
%
12
%
31
% 34
%
10
%
16
%
17
%
11
%
8%
7%
47
%
57
%
63
%
38
%
32
%
38
% 40
%
46
% 50
%
40
%
2 0 1 1 2 0 1 2 2 0 1 3 2 0 1 4 2 0 1 5 2 0 1 6
Bantul G. Kidul Kulon Progo Sleman Yogyakarta
68
Berdasarkan teori menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan PAD maka
daerah tersebut memiliki dana dari pemerintah yang rendah dan memiliki rasio
kemandirian yang cukup. Tetapi, kenyataannya dalam hal ini dapat diartikan
bahwa pemberian dana dari pusat/provinsi pada setiap kabupaten/kota di
D.I.Yogyakarta selama tahun 2011-2016 tidak mencerminkan aspek keadilan,
PAD yang besar tidak selalu menerima dana transfer yang lebih kecil atau daerah
dengan PAD kecil tidak selalu menerima dana transfer yang lebih besar.
Pada tahun 2011 hingga 2013 tingkat kemandirian tiap kabupaten/kota di
Provinsi DI.Yogyakarta masih tergolong rendah yaitu rata-rata masih dibawah
50%. Walaupun Kabupaten Sleman memiliki angka rasio paling tinggi sebesar
47% pada tahun 2013 tetapi angka tersebut masih tergolong sebagai rasio yang
rendah. Kenaikan yang di alami Kabupaten Sleman dari 2012 ke 2013
dikarenakan ia mampu mengelola sumber daya alam yang baik sehingga
perolehan PAD nya pun meningkat Kabupaten Sleman juga mampu menjalakan
daerah otonomnya dengan baik hal ini meningkatkan dua kali lipat menjadi
158.623 milyar rupiah hal ini yang menyebabkan rasio kemandirian Kabupaten
Sleman menjadi meningkat
Kemudian untuk Kota Yogyakarta walaupun masih tergolong rendah juga
tetapi ia mampu memiliki rasio yang stabil di bandingkan ke-empat Kabupaten
dan masih bisa dikatakan dengan daerah yang dapat menjalankan otonomi daerah
nya sedikit demi sedikit. Lalu, untuk rasio kemandirian terendah sepanjang tahun
dari 2013-2016 di dua kabupaten yaitu Kulon Progo dan Gunung kidul. Kedua
kabupaten ini masih sangat bergantung oleh pusat/provinsi dan belum mampu
menjalankan daerah otonomi.
B. Temuan Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Spesifikasi Model Panel Data
Analisis data panel merupakan gabungan antara data time series dan cross
section. Dalam menganalisis data panel dapat menggunakan tiga model yakni,
common effect, fixed effect, dan random effect,. Variabel yang digunakan dalam
regresi penelitian ini adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai variabel
69
yang dipengaruhi. Variabel yang mempengaruhi ada tiga yaitu Belanja Pendidikan
(BP), Belanja Kesehatan (BK) dan Rasio Kemandirian Daerah. Untuk memilih
model terbaik apa yang harus digunakan maka dilakukan dua uji model terlebih
dahulu sebagai berikut:
a. Uji Chow
Chow test yakni pengujian untuk menentukan model Common Effect (PLS)
atau Fixed Effect. Jika hasil uji Chow menyatakan 𝐻0 diterima, maka teknik
regresi data panel menggunakan model common effect dan pengujian berhenti
sampai di sini. Apabila hasil uji Chow menyatakan 𝐻0 ditolak, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan uji Hausman untuk menentukan model fixed atau
random. Untuk mengetahui hasilnya maka dibuat terlebih dahulu hipotesisnya,
sebagai berikut:
𝐻0: Pooled Least Square Model
𝐻1: Fixed Effect Model
Berikut adalah hasil estimasi model PLS dan model FEM:
Tabel 4.6
Hasil Estimasi Common Effect Models
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.08312 0.079738 2021.382 0.0000
LOGBP? 0.038762 0.017714 2.188256 0.0378
LOGBK? 0.027997 0.009376 2.986197 0.0061
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.282208 0.066075 4.271014 0.0002
F-Statistic 11.09363 0.000072
R-Squared 0.561410
Adjusted R-squared 0.510804
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
70
Tabel 4.7
Hasil Estimasi Fixed Effect Models
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.88513 0.037282 2113.032 0.0000
LOGBP? 0.052008 0.015811 3.289331 0.0033
LOGBK? 0.006144 0.017418 0.352739 0.7276
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.197734 0.060257 3.281523 0.0034
F-Statistic 13.24244 0.00001
R-Squared 0.808190
Adjusted R-squared 0.747160
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Setelah melihat kedua estimasi, maka dilakukan uji chow untuk
menentukan model apa yang terbaik dalam penelitian ini. Di bawah ini merupakan
tampilan hasil uji Chow dengan menggunakan Redundant Fixed Effects -
Likelihood Ratio adalah sebagai berikut:
Tabel 4.8
Uji Chow (Redundant Fixed Effects)
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 6.739058 (4,22) 0.0011
Cross-section Chi-square 23.996526 4 0.0001
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Jika dilihat dari hasil uji chow, nilai probabilitasnya adalah sebesar 0,0011
yang artinya lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi α = 5% (0,0011 < 0,05).
Maka dapat disimpulkan melalui uji chow bahwa H0 ditolak, jadi model panel
yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model.
b. Uji Hausman
Setelah melakukan uji Chow dan didapatkan hasil bahwa model yang tepat
untuk penelitian ini adalah Fixed Effect Model, maka hal selanjutnya yang harus
dilakukan adalah uji Hausman untuk mengetahui mana di antara Fixed Effect
71
Model dan Random Effect Model yang lebih tepat. Untuk mengetahui hasilnya
maka dibuat terlebih dahulu hipotesisnya,berikut:
𝐻0: Random Effect Model
𝐻1: Fixed Effect Model
Di bawah ini merupakan tampilan hasil uji Hausman dengan menggunakan tes
Correlated Random Effects - Hausman test adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9
Uji Hausman (Correlated Random Effects)
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. Cross-section random 25.928808 3 0.0000
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Jika dilihat dari hasil uji Hausman, nilai probabilitasnya adalah sebesar 0,0000
yang artinya lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi α = 5% (0,0000 < 0,05).
Maka dapat disimpulkan melalui uji Hausman bahwa 𝐻0 ditolak, maka model
panel yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model.
c. Fixed Effects Model
Setelah dilakukan uji Chow dan uji Hausman maka dapat disimpulkan
model terbaik yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed Effect
Model. Fungsi persamaan yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
LOGIPM = 12.18513 + 0.052008 LOGBP + 0.006144 LOGBK + 0.197734 +
RASIO_KEMANDIRIAN + e ….
LOGIPM = Indeks Pembangunan Manusia (Y)
LOGBP = Belanja Pendidikan (X1)
LOGBK = Belanja Kesehatan (X2)
RASIO_KEMANDIRIAN = Rasio Kemandirian Daerah (X3)
72
Tabel 4.10
Tabel Estimasi Hasil Regresi Data Panel (Fixed Effect Model)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.88513 0.037282 2113.032 0.0000
LOGBP? 0.052008 0.015811 3.289331 0.0033
LOGBK? 0.006144 0.017418 0.352739 0.7276
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.197734 0.060257 3.281523 0.0034
F-Statistic 13.24244 0.00001
R-Squared 0.808190
Adjusted R-squared 0.747160
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
1) Uji Signifikan Parsial (Uji t-statistik)
Uji t dilakukan untuk menguji apakah variabel independen (Belanja
Daerah Bidang Pendidikan, Belanja Daerah Bidang Kesehatan, dan Rasio
Kemandirian Daerah berpengaruh secara parsial terhadap variabel dependennya
Indeks Pembangunan Manusia. Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam uji t
adalah 95% atau taraf signifikan 5% (α = 0,05). Adapun hipotesis dalam penilitian
ini adalah sebagai berikut:
4. 𝐻0 : Tidak ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Pendidikan secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta 2011-2016.
𝐻1 : Ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Pendidikan secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta 2011-2016.
5. 𝐻0 : Tidak ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Kesehatan secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta 2011-2016
𝐻1: Ada pengaruh Belanja Daerah Bidang Kesehatan secara parsial terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi DI.Yogyakarta
2011-2016
73
6. 𝐻0 : Tidak ada pengaruh Rasio Kemandirian Fiskal Daerah secara parsial
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi
DI.Yogyakarta 2011-2016
𝐻1 : Ada pengaruh Rasio Kemandirian Fiskal Daerah secara parsial terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi DI.Yogyakarta
2011-2016
Tabel 4.11
Uji t-statistik
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 12.88513 0.037282 2113.032 0.0000
LOGBP? 0.052008 0.015811 3.289331 0.0033
LOGBK? 0.006144 0.017418 0.352739 0.7276
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.197734 0.060257 3.281523 0.0034
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Signifikan pada α = 5% atau 0,05
Berdasarkan hipotesis di atas, maka pembuktian dari penelitian ini didapatkan
hasilnya sebagai berikut:
a) Nilai probabilitas t-statistik pada variabel Belanja Pendidikan adalah 0.0033
< 0,05 (α = 5%) yang artinya 𝐻1 diterima dan 𝐻0 ditolak.
b) Nilai probabilitas t-statistik pada variabel Belanja Kesehatan adalah 0.7276 >
0,5 (α = 5%) yang artinya 𝐻1 ditolak dan 𝐻0 diterima
c) Nilai probabilitas t-statistik pada variabel Rasio Kemandirian Fiskal Daerah
adalah 0,0034 < 0,1 (α = 5%) yang artinya 𝐻1 diterima dan 𝐻0 ditolak.
Dapat disimpulkan bahwa variabel independen yaitu Belanja Pendidikan,
dan Rasio Kemandirian Fiskal Daerah, masing-masing memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia yang dibuktikan dengan uji t-
statistik dan dilihat dari nilai probabilitasnya. Sedangkan, untuk variabel
independen Belanja Kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia.
74
2) Uji Signifikansi Simultan (Uji F-Statistik)
Tabel 4.12
Uji F-statistik
F-statistic 13.24244
Prob(F-statistic) 0.000001
Sumber: Hasil Pengolahan data (Eviews 8)
Uji F dilakukan untuk menguji apakah variabel independen dalam
penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan secara bersama-sama terhadap
variabel dependennya. Uji F dilakukan dengan cara melihat nilai probabilitas dari
F-statistik apakah lebih kecil dari α = 5% atau 0,05. Jika nilai probabilitas F-
statistik > 0,05 maka dapat diartikan bahwa semua variabel independen dalam
penelitian ini secara bersama-sama tidak memiliki pengaruh terhadap variabel
dependennya.
Namun sebaliknya jika nilai probabilitas F-statistik < 0,05 maka dapat
diartikan bahwa semua variabel independen dalam penelitian ini secara bersama-
sama memiliki pengaruh terhadap variabel dependennya. Berdasarkan tabel 4.13
di atas, hasil regresi menggunakan Fixed Effect Model diperoleh nilai F-statistik
sebesar 13,24 dengan probabilitas sebesar 0,00001 pada tingkat signifikan α =
5%, k =3, n = 30, sehingga diperoleh F tabel dengan nilai df yaitu (2,92). Jika
dilihat bahwa nilai F-statistik > F-tabel (13,24 > 2,92), kemudian nilai probabilitas
F-statistik < tingkat signifikansi α = 5% (0,00001 < 0,005), maka H0 ditolak. Hal
ini berarti bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh
signifikan pada tingkat α = 5% terhadap variabel dependen.
3) Uji Koefisien Determinasi (𝑹𝟐)
Tabel 4.13
Uji Koefisien Determinansi
R-squared 0.808190
Adjusted R-squared 0.747160
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Koefisien determinansi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan model dalam penelitian ini menjelasan variasi variabel dependennya.
Berdasarkan hasil yang ditampilkan tabel 4.13 didapatkan nilai koefisien
75
determinansi sebesar 0.8081. Hal ini berarti 80,81% dari variasi IPM di
Kabupaten/Kota Provinsi DI.Yogyakarta tahun 2011-2016 mampu dijelaskan oleh
variabel belanja daerah bidang pendidikan dan rasio kemandirian fiskal daerah,
sedangkan sisanya 19,9% dijelaskan oleh variabel lain di luar model penelitian ini
Tabel 4.14
Tabel Interpretasi Fixed Effect Model
Variable Coefficient Ind. Effect Prob.
C 12.88513 0.0000
LOGBP? 0.052008
0.0033
LOGBK? 0.006144
0.7276
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.197734
0.0034
Fixed Effect (Cross)
_KAB.KULONPROGO--C -0.009228 -12.875902
_KAB.BANTUL—C 0.023444 12.908574
_KAB.GUNUNGKIDUL--C -0.076113 -12.809017
_KAB.SLEMAN—C 0.015794 12.900924
_KOTAYOGYAKARTA--C 0.046103 12.931233
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
a) Bila terjadi perubahan pada Belanja Daerah Bidang Pendidikan, Bidang
Kesehatan, dan Kemandirian Fiskal Daerah sebesar 1% dan kabupaten Kulon
Progo mendapatkan pengaruh individu sebesar 0.009228 dengan penambahan
nilai koefisien sebesar 12.88513 maka, pengaruh individu terhadap Indeks
Pembangunan Manusia sebesar 12.875902 satuan atau 12.87%
b) Bila terjadi perubahan pada Belanja Daerah Bidang Pendidikan, Bidang
Kesehatan, dan Kemandirian Fiskal Daerah sebesar 1% dan kabupaten Bantul
mendapatkan pengaruh individu sebesar 0.023444 dengan penambahan nilai
koefisien sebesar 12.88513 maka, pengaruh individu terhadap Indeks
Pembangunan Manusia sebesar 12.908574 satuan atau 12.90 %
c) Bila terjadi perubahan pada Belanja Daerah Bidang Pendidikan, Bidang
Kesehatan, dan Kemandirian Fiskal Daerah sebesar 1% dan kabupaten
76
Gunungkidul mendapatkan pengaruh individu sebesar 0.076113 dengan
penambahan nilai koefisien sebesar 12.88513 maka, pengaruh individu
terhadap Indeks Pembangunan Manusia sebesar 12.809017 satuan atau
12.80%
d) Bila terjadi perubahan pada Belanja Daerah Bidang Pendidikan, Bidang
Kesehatan, dan Kemandirian Fiskal Daerah sebesar 1% dan kabupaten Sleman
mendapatkan pengaruh individu sebesar 0.015794 dengan penambahan nilai
koefisien sebesar 12.88513 maka, pengaruh individu terhadap Indeks
Pembangunan Manusia sebesar 12.900924 satuan atau 12.90 %
e) Bila terjadi perubahan pada Belanja Daerah Bidang Pendidikan, Bidang
Kesehatan, dan Kemandirian Fiskal Daerah sebesar 1% dan kota Yogyakarta
mendapatkan pengaruh individu sebesar 0.046103 dengan penambahan nilai
koefisien sebesar 12.88513 maka, pengaruh individu terhadap Indeks
Pembangunan Manusia sebesar 12.931233 satuan atau 12.93%
2. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah data
pada penelitian ini berdistribusi normal atau tidak, karena model regresi yang baik
adalah yang memiliki data yang berdistribusi normal. Terdapat dua cara untuk
melakukan uji normalitas yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik, namun
dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis grafik dengan membandingkan
nilai probabilitas Jarque-Bera.
77
Grafik 4.6
Hasil Uji Normalitas
0
2
4
6
8
10
12
-0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10
Series: Standardized Residuals
Sample 2011 2016
Observations 30
Mean 1.03e-15
Median -0.003435
Maximum 0.075299
Minimum -0.103081
Std. Dev. 0.044690
Skewness -0.411422
Kurtosis 2.990685
Jarque-Bera 0.846449
Probability 0.654932
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat hasil uji normalitas menunjukan
bahwa nilai probabilitas Jarque-Bera yaitu sebesar 0.655. Nilai tersebut lebih
tinggi dari α = 5% atau 0,05 (0,655 > 0,05) yang berarti data dalam penelitian ini
berdistribusi normal, maka model regresi dapat digunakan untuk pengujian
berikutnya.
b. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi merupakan uji korelasi pada tempat yang berdekatan
datanya yaitu cross section. Uji autokorelasi menjelaskan korelasi yang terjadi
antara time series, apakah terdapat hubungan yang membentuk suatu pola tertentu
antara data penelitian tahun ini dengan tahun sebelumnya. Pada regresi yang telah
dilakukan menggunakan model regresi Fixed Effect Model. Didapatkan hasil
sebagai berikut:
Tabel 4.15
Hasil Uji Autokorelasi
Durbin-Watson stat 1.830000
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Pada tabel Durbin-Watson Stat bernilai 1.830000 nilai tersebut berada diantara
1.6498-2.3502 yang merupakan syarat sebuah regresi dikatakan terbebas dari
autokorelasi. Maka hipotesis yang diambil adalah 𝐻0 diterima dan 𝐻1 ditolak. Hal
ini berarti bahwa model regresi dalam penelitian tidak terdapat autokorelasi.
78
c. Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas merupakan uji yang dilakukan untuk melihat apakah
terjadi korelasi antara variabel independen satu sama lainnya dalam penelitian ini.
Jika nilai tolerance > 0,8, maka dapat dikatakan tidak terjadi multikolinearitas
antar variabel independen dalam penelitian ini.
Tabel 4.16
Hasil Uji Multikolinearitas
Correlation Matrix Of Coefficient
BP? BK? RASIO_KEMANDIRIAN?
BP? 1.000000 0.443109 0.026056
BK? 0.443109 1.000000 0.612775
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.026056 0.612775 1.000000
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Hasil uji multikolinearitas pada tabel di atas menunjukan bahwa nilai
koefisien masing-masing variabel independen yaitu belanja daerah Bidang
Pendidikan (BP), Bidang Kesehatan (BK) dan Kemandirian Fiskal Daerah
(RASIO_KEMANDIRIAN) dalam penelitian ini berada di bawah 0,8 yang artinya
dapat disimpulkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini bebas
multikolinearitas.
d. Uji Heterokedastisitas
Uji heteroskedastisitas merupakan uji yang dilakukan untuk menilai
apakah terdapat ketidaksamaan varian dari residual untuk semua pengamatan pada
model regresi linear. Uji heteroskedastisitas merupakan salah satu syarat
digunakan dalam regresi yaitu bagian dari uji asumsi klasik yang harus dilakukan
pada model regresi linear. Untuk membuktikan dalam penelitian ini bebas dari
heteroskedastisitas atau terdapat heteroskedastisitas, maka dapat dilakukan uji
Glejser dan membandingkan nilai probaibilitasnya apakah lebih besar dari α = 5%
79
Tabel 4.17
Hasil Uji Heteroskedastisitas (Uji Glejser)
Variable Coefficient Prob. BK? 0.044686 0.0620
BP? -0.009778 0.6044
RASIO_KEMANDIRIAN? -0.030661 0.4122
C -0.439589 0.0709
Sumber: Hasil Pengolahan Data (Eviews 8)
Setelah melakukan uji glejser didapatkan hasil seperti tabel di atas yang
dapat dijelaskan bahwa variabel-variabel independen dalam penelitian ini
memiliki nilai probabilitas di atas α = 5% atau secara signifikan tidak
mempengaruhi residual absolute (resabs). Maka data dalam penelitian ini tidak
terindikasi adanya heteroskedastisitas.
3. Analisis Ekonomi
a. Pengaruh Belanja Daerah Bidang Pendidikan Terhadap Indeks Pembangunan
Manusia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Belanja Pendidikan berpengaruh
positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten/kota
Provinsi D.I Yogyakarta tahun 2011-2016. Hal ini dapat dilihat dari nilai
probabilitas sebesar 0.0033. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari tingkat
signifikansi (α) yang ditentukan yaitu sebesar lima persen (0.05)
Dalam rangka mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera pemerintah
menjalankan berbagai macam program ekonomi, aktivitas pemerintah dalam
melakukan pembangunan membutuhkan dana yang cukup besar, pengeluaran
pemerintah mencerminkan kombinasi produk yang dihasilkan untuk menyediakan
barang publik dan pelayanan kepada masyarakat yang memuat pilihan atas
keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) merupakan wujud pengolahan keuangan daerah yang berdasarkan
UU No.17 Tahun 2003 merupakan tahunan daerah yang disetujui oleh DPRD.
APBD juga merupakan alat kontrol pengawasan terhadap baik pengeluaran
maupun penerimaan di masa yang akan datang. (Direktorat Jendral Perimbangan
80
Keuangan, 2019). Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh
Febry Aquariansyah (2015) yang mana variabel belanja pendidikan berpengaruh
terhadap Indeks Pembangunan Manusia.
Hasil penelitian ini juga mendukung teori yang di kemukakan oleh Todaro &
Smith (2003), bahwa peran pemerintah dalam investasi penganggaran di bidang
pendidikan mutlak dibutuhkan untuk sebuah pembangunan ekonomi dan dapat
mempengaruhi produktivitas manusia atau meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya. Maka, pemerintah harus dapat membangun suatu sarana dan sistem
pendidikan yang baik. Pengeluaran pemerintah pada sektor pembangunan dapat
dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur pendidikan dan menyelenggarakan
pelayanan pendidikan kepada seluruh penduduk Indonesia secara merata.
Anggaran pendidikan dalam penelitian ini terealisasi dengan baik dengan
berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 49 minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
b. Pengaruh Belanja Daerah Bidang Kesehatan Terhadap Indeks Pembangunan
Manusia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Belanja Kesehatan tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
kabupaten/kota provinsi D.I Yogyakarta tahun 2011-2016. Hal ini dapat dilihat
dari nilai probabilitas sebesar 0.7276. Nilai probabilitas tersebut lebih besar dari
tingkat signifikansi (α) yang ditentukan yaitu sebesar lima persen (0.05). Hasil ini
menggambarkan ternyata belanja daerah di bidang kesehatan masih belum mampu
membantu meningkatkan pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia yang ada di
kabupaten/kota Provinsi D.I Yogyakarta selama tahun 2011-2016.
Dalam realitanya Indeks Pembangunan Manusia di kabupaten/kota Provinsi
D.I Yogyakarta, tidak dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah sektor kesehatan.
Hal tersebut terjadi, karena anggaran pengeluaran pemerintah untuk sektor
kesehatan masih jauh dibawah setiap tahunnya daripada alokasi pengeluaran
ataupun belanja pemerintah lainnya seperti belanja pemerintah bidang pendidikan.
81
Pemerintah belum cukup menyadari dengan baik sehingga tidak cukup kuat untuk
mendongkrak pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota
Provinsi D.I Yogyakarta pada tahun 2011-2016. Kemudian, faktor yang terjadi
karena selama tahun pengamatan realisasi yang dikeluarkan pemerintah daerah
pada dinas kesehatan hanya mengikuti tahun penghabisan anggaran berjalan.
Sehingga, masalah yang mencakup masih banyak yang perlu digali. Walaupun
dari sisi angka harapan hidup Provinsi D.I Yogyakarta tertinggi dipulau Jawa
tidak menutup kemungkinan bahwa realisasi anggaran untuk pembangunan SDM
dibidang kesehatan masih perlu pengawasan dan ketelitian untuk pemerintah
daerah.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh
Septiana M. M. Sanggelorang dkk (2015), menyatakan bahwa Pengeluaran
Pemerintah Sektor Kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia karena besaran realisasi anggaran pemerintah bidang
kesehatan masih tergolong rendah dibandingkan dengan realisasi anggaran
pemerintah bidang lainnya. Hal ini juga menyebabkan tidak tersalurnya anggaran
terhadap fasilitas-fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah sehingga,
minimnya fasilitas juga menyebabkan tidak berpengaruhnya realiasasi anggaran
bidang kesehatan terhadap pembangunan SDM.
Berbeda dengan penelitian dari Brijesch C. Purohit (2012), dengan memakai
negara India sebagai penelitiannya. Ia mengatakan bahwa, pengeluaran
pemerintah untuk kesehatan dapat meningkatkan kualitas kesehatan baik itu
melalui obat-obatan, perawatan medis, dan peralatan lain yang menunjang
kesehatan, semakin fasilitas dan kualitas bertambah semakin banyak pengaruh nya
terhadap pembangunan suatu negara dan begitu pula sebaliknya. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah dibidang kesehatan untuk
pembangunan SDM di India dapat terealisasi dengan baik. sehingga, pemerintah
harus terus mempertahankan tahap realisasi tersebut sehingga tahun berikutnya
fasilitas yang menunjang kesehatan terus berjalan dengan baik.
82
c. Pengaruh Kemandirian Fiskal Daerah Terhadap Indeks Pembangunan
Manusia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Rasio Kemandirian Fiskal daerah
berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
kabupaten/kota provinsi D.I Yogyakarta tahun 2011-2016. Hal ini dapat dilihat
dari nilai probabilitas sebesar 0.0034. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari
tingkat signifikansi (α) yang ditentukan yaitu sebesar lima persen (0.05) sehingga
hal ini menunjukkan hipotesis kedua dalam penelitian ini diterima karena secara
statistik terbukti.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang di kemukakan oleh Amalia
dan Purbadharmaja (2014) bahwa Rasio Kemandirian memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berbeda dengan
penelitian oleh Arthaingan H. Mutiha (2018) bahwa Rasio Kemandirian tidak
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) yang mana ia berpendapat dalam penelitiannya di kabupaten/kota di Jawa
Barat bahwa saat itu banyak daerah terbelakang yang masih minim pendapatan
daerah.
Penelitian ini sesuai dengan teori pertumbuhan baru yang dipelopori oleh
Paul M. Romer. Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan
pemerintah terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia.
Kemudian, hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang di kemukakan dalam
bukunya oleh Abdul Halim (2012) dinyatakan bahwa tujuan pelaksanaan otonomi
salah satunya memberikan peluang bagi kemandirian daerah untuk mengelola
keuangannya sendiri melalui pelimpahan kewenangan dalam bentuk desentralisasi
fiskal. Semakin tinggi kontribusi pendapatan daerah dan semakin tinggi
kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan
kinerja keuangan yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang positif dapat
diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan
pembangunan daerah baik itu pembangunan fisik maupun pembangunan kualitas
manusia dan dapat mendukung pelaksanaan otonomi pada daerah tersebut
83
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara belanja daerah
di Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan dan Kemandirian Fiskal Daerah
terhadap Indeks Pembangunan Manusia (studi kasus Kabupaten/Kota Provinsi
D.I Yogyakarta tahun 2011-2016). Berdasarkan hasil analisis yang telah
dibahas, untuk pengujian menggunakan model regresi data panel yaitu Fixed
Effect Model (FEM) sebagai berikut:
1. Berdasarkan uji analisis data panel dengan menggunakan model Fixed
Effect, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 80,81% variasi
variabel dependen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat dijelaskan
oleh variabel-variabel independen yakni Belanja Daerah Bidang
Pendidikan, Bidang Kesehatan, dan Kemandirian Fiskal Daerah.
Sedangkan sisanya 19,9% dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar
model penelitian.
2. Berdasarkan hasil pada variabel Belanja Daerah Bidang Pendidikan dapat
disimpulkan bahwa variabel tersebut memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di
Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta Tahun 2011-2016. Hal ini
membuktikan bahwa anggaran yang dikeluarkan untuk sektor pendidikan
terealisasi dengan baik dari total belanja daerah pengeluaran pemerintah
di sektor pendidikan dan selama periode pengamatan mampu
meningkatkan kualitas dan kemampuan SDM dan masyarakat.
3. Berdasarkan hasil pada variabel Belanja Daerah Bidang Kesehatan dapat
disimpulkan bahwa Belanja Daerah Bidang Kesehatan tidak berpengaruh
signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di
Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta Tahun 2011-2016. Hal ini
dikarenakan, anggaran pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan
84
masih jauh dibawah setiap tahunnya, selama periode berjalan anggaran
yang di realisasikan hanya mengikuti tahun berjalan dan tidak dapat
terserap dengan baik, banyaknya faktor yang harus ditekankan oleh
pemerintah daerah terutama bagaimana cara mengatur keuangan di bidang
kesehatan agar tidak tersendat agar realisasi yang dikeluarkan sebanding
dan sesuai dengan pengeluaran pemerintah lainnya.
4. Berdasarkan hasil pada variabel Kemandirian Fiskal Daerah memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta Tahun 2011-2016.
Dikarenakan, tingkat Kemandirian Fiskal Daerah di beberapa
Kabupaten/kota Provinsi D.I Yogyakarta sudah dapat dikatakan bisa
menjalankan otonomi daerahnya. Dalam hal ini, kinerja keuangan yang
positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam
membiayai kebutuhan pembangunan daerah baik itu pembangunan fisik
maupun pembangunan berdasarkan taraf kualitas manusia dan dapat
mendukung pelaksanaan otonomi pada daerahnya.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan hasil
penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah daerah:
a. Bagi Dinas Pendidikan, penyusunan anggaran berbasis kinerja dan tingkat
efektivitas belanja yang dilakukan di dalam Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta sudah dilakukan dengan baik
oleh karena itu perlu di pertahankan dan bila perlu ditingkatkan lagi agar
dapat mencapai tingkat efesiensi dan efektivitas dalam pencapaian
kinerjar, sasaran, program dan kegiatan guna memperoleh hasil yang lebih
maksimal. Tujuan dan sasaran organisasi yang belum tercapai pada tahun
sebelumnya diharapkan dapat segara terwujud di tahun mendatang dengan
adanya jalinan kerja sama antara pimpinan dan bawahan.
b. Bagi Dinas Kesehatan, dalam melakukan perencanaan dan anggaran harus
peka terhadap masalah yang menyebabkan kurangnya manfaat yang di
85
hasilkan sehingga anggaran yang disusun mendapat makna tidak strategis
bagi masyarakat. Kemudian, laporan penggunaan anggaran rutin yang
disusun dalam pencatatan transaksi ke dalam jurnal harus lebih teliti
untuk mengurangi risiko kesalahan dan diharapkan agar seluruh pegawai
pada Dinas Kesehatan di Kabupaten/Kota Provinsi D.I Yogyakarta dapat
meningkatkan disiplin kerja dan disiplin waktu dalam melaksanakan
anggaran yang telah direncanakan agar anggaran dapat terealisasi dengan
baik
c. Bagi Bappeda, Bappeda Provinsi D.I Yogyakarta hendaknya
meningkatkan koordinasi dan sinergi perencanaan pembangunan daerah
dengan pemerintah daerah Kabupaten/Kota serta meningkatkan
koordinasi dengan sektor swasta sebagai mitra pemerintah. Hal ini
tujuannya adalah agar realisasi pengeluaran yang dituju untuk pemerintah
daerah di Kabupaten/Kota dapat terserap dengan baik, agar semakin
meningkatkan kinerja dalam pengelola anggaran belanja daerah secara
khusus dan APBD secara umum. Dengan kinerja yang baik maka
efektivitas, produktivitas dan efisiensi belanja juga akan semakin baik.
Terutama dalam meningkatkan kinerja anggaran agar optimalisasi yang
diinginkan segera terlaksana sesuai visi dan misi Bappeda Provinsi D.I
Yogyakarta. Dalam hal efisiensi belanja Bappeda agar lebih maksimal
dalam meningkatkan pertumbuhan optimal anggaran belanja yang wajar
dari tahun sekarang sampai seterusnya.
2. Bagi akademisi dan peneliti selanjutnya, dengan adanya hasil penelitian
ini diharapkan bisa dijadikan sebuah bahan referensi untuk kegiatan
mengajar ataupun penelitian. Dikarenakan, penelitian ini masih memiliki
kekurangan seperti keterbatasan dalam memperoleh data dan periode
waktu yang digunakan hanya 6 tahun. Sehingga penelitian selanjutnya
diharapkan mampu meneliti dengan menambah variabel bebas lainnya
dan tahun penelitian sehingga mampu memberikan hasil penelitian yang
lebih baik lagi.
86
DAFTAR PUSTAKA
Adi Widodo, dkk. (2011). Analisis Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Di Sektor
Pendidikan Dan Kesehatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan Melalui
Peningkatan Pembangunan Manusia di Jawa Tengah. Jurnal Dinamika
Ekonomi Pembangunan, 25-42.
Badan Keuangan, Pendidikan dan Pelatihan. (2019). Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003. Kementerian Keuangan.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2016). Indeks Pembangunan Manusia Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2016). Indeks Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2017). Luas Wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. BPS.
Badan Pusat Statistik. (2016). Fasilitas Penyedia Kesehatan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. BPS
Badan Pusat Statistik. (2016). Fasilitas Penyedia Pendidikan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. BPS
Badan Pusat Statistik (BPS). (2019). Indeks Pembangunan Manusia. BPS.
Bappeda Provinsi Derah Istimewa Yogyakarta (2017). Profil Daerah dan
Kependudukan. Provinsi DIY: Bappeda.
Basri, Faisal dan Munandar, Haris. (2010). Dasar-dasar Ekonomi Internasional:
Pengenalan & Aplikasi Metode Kuantitatif. Jakarta: Kencana.
Bastian, Indra. (2006). Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta:
Erlangga.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2011). Belanja Menurut Fungsi
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DJPK.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2012). Belanja Menurut Fungsi
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DJPK.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2013). Belanja Menurut Fungsi
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DJPK.
87
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2014). Belanja Menurut Fungsi
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DJPK.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2015). Belanja Menurut Fungsi
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DJPK.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2016). Belanja Menurut Fungsi
Kabupaten/Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DJPK.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2011). Realisasi Anggaran
Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD). DJPK
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2012). Realisasi Anggaran
Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD). DJPK
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2013). Realisasi Anggaran
Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD). DJPK
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2014). Realisasi Anggaran
Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD). DJPK
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2015). Realisasi Anggaran
Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD). DJPK
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan. (2016). Realisasi Anggaran
Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD). DJPK
Direktorat Jendral Perimbangan dan Keuangan. (2019). UU Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU
Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah
direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Kementerian Keuangan.
Farhan, Yuna. (2011). Menelusuri Siklus Politisasi Anggaran pada Tahun Pemilu.
Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Volume 5, No. 2.
Ghozali, Imam. (2012). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM
SPSS. Yogyakarta: Universitas Diponegoro.
Gujarati, Damodar N. (2012). Dasar-dasar Ekonometrika (Terjemahan) Buku ke-
2. Edisi ke 5. Jakarta: Salemba Empat.
Halim, Abdul. (2002). Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.
Halim, Abdul. (2012). Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah.
Jakarta: Salemba Empat.
HAW, Widjaja. (2010). Otonomi Desa. Jakarta: Rajawali Pers.
88
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2016). Alokasi Anggaran
Pemerintah.
Mailoa, Felix. (2014). Ringkasan Diskusi Alokasi dan Sinergi Anggaran
Kesehatan. http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/.
Maya, Masita Septriani & Sri Herianingrum (2017). Analisis I-Hdi (Islamic
Human Development Index) Di Jawa Timur. Jurnal Ekonomi Syariah
Teori dan Harapan.Vol: 11
Mirza, Denni Sulistio. (2012). Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan
Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Jurnal UNNES,
1-15.
Munawarroh. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Sumberdaya
Manusia dan Perekonomian Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi. Jurnal
Kajian Ekonomi 03, 136-154.
Nasution, Dito Aditia Darma. (2019). AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK: (Mahir
dalam Perencanaan dan Penganggaran Keuangan Daerah). Ponorogo:
Uwais Inspirasi Indonesia.
Rahardjo, M. Dawam. (2010). Intelektual, Intelegasi, dan Perilaku Politik dan
Bangsa. Bandung: Mizan
Ratminto, Darwin & M Triastuti. (2005). Analisis Kemandirian Keuangan Daerah
Kota Jogjakarta. Jurnal Sosio Sains, volume 18 No. 2, April 2005 : 293-
310.
Siregar, Sofyan. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Fajar
Interpratama Mandiri.
Sufiansyah & Suraji. (2012). Dinamika Politik Anggaran. Yogyakarta: Matepena
Consultindo.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suliyanto. (2011). Ekonometrika Terapan: Teori dan Aplikasi dengan SPSS.
Yogyakarta: Andi.
Todaro, M. P. & Smith, S. C (2012). Economic Development, Eighth Edition. PT.
Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
Zakaria, Noer Fauzi & R.Yando (2013). Mensiasati Otonomi Daerah,.
Yogyakarta: INSIST Press.
89
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 (Uji Regresi Data Panel)
4. Common Effect Model (CEM) / Pooled Least Square (PLS)
Cross-section fixed effects test equation:
Dependent Variable: LOGIPM?
Method: Panel Least Squares
Date: 10/18/19 Time: 18:10
Sample: 2011 2016
Periods included: 6
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 30 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.08312 0.079738 2021.382 0.0000
LOGBP 0.038762 0.017714 2.188256 0.0378
LOGBK 0.027997 0.009376 2.986197 0.0061
RASIO_KEMANDIRIAN 0.282208 0.066075 4.271014 0.0002 R-squared 0.561410 Mean dependent var 4.334749
Adjusted R-squared 0.510804 S.D. dependent var 0.067129
S.E. of regression 0.046952 Akaike info criterion -3.155818
Sum squared resid 0.057317 Schwarz criterion -2.968992
Log likelihood 51.33727 Hannan-Quinn criter. -3.096051
F-statistic 11.09363 Durbin-Watson stat 1.073468
Prob(F-statistic) 0.000072
90
5. Fixed Effect Model (FEM)
Dependent Variable: LOGIPM
Method: Panel Least Squares
Date: 10/18/19 Time: 16:52
Sample: 2011 2016
Periods included: 6
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 30 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.88513 0.037282 2113.032 0.0000
LOGBP? 0.052008 0.015811 3.289331 0.0033
LOGBK? 0.006144 0.017418 0.352739 0.7276
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.197734 0.060257 3.281523 0.0034 Fixed Effect (Cross)
_KAB.KULONPROGO--C -0.009228
_KAB.BANTUL--C 0.023444
_KAB.GUNUNGKIDUL--C -0.076113
_KAB.SLEMAN--C 0.015794
_KOTA.YOGYAKARTA--C 0.046103
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.808190 Mean dependent var 4.334749
Adjusted R-squared 0.747160 S.D. dependent var 0.067129
S.E. of regression 0.033755 Akaike info criterion -3.716213
Sum squared resid 0.025066 Schwarz criterion -3.342561
Log likelihood 63.74320 Hannan-Quinn criter. -3.596678
F-statistic 13.24244 Durbin-Watson stat 1.830000
Prob(F-statistic) 0.000001
91
6. Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 6.739058 (4,22) 0.0011
Cross-section Chi-square 23.996526 4 0.0001
Cross-section fixed effects test equation:
Dependent Variable: LOGIPM?
Method: Panel Least Squares
Date: 10/18/19 Time: 18:10
Sample: 2011 2016
Periods included: 6
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 30 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.08312 0.079738 2021.382 0.0000
LOGBP 0.038762 0.017714 2.188256 0.0378
LOGBK 0.027997 0.009376 2.986197 0.0061
RASIO_KEMANDIRIAN 0.282208 0.066075 4.271014 0.0002 R-squared 0.561410 Mean dependent var 4.334749
Adjusted R-squared 0.510804 S.D. dependent var 0.067129
S.E. of regression 0.046952 Akaike info criterion -3.155818
Sum squared resid 0.057317 Schwarz criterion -2.968992
Log likelihood 51.33727 Hannan-Quinn criter. -3.096051
F-statistic 11.09363 Durbin-Watson stat 1.073468
Prob(F-statistic) 0.000072
92
7. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 25.928808 3 0.0000
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LOGBP? 0.026720 0.079889 0.002199 0.2569
LOGBK? 0.017968 0.025906 0.000154 0.0004
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.032003 0.058298 0.000049 0.0002
Dependent Variable: LOGIPM
Method: Panel Least Squares
Date: 10/18/19 Time: 16:52
Sample: 2011 2016
Periods included: 6
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 30 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.88513 0.037282 2113.032 0.0000
LOGBP? 0.052008 0.015811 3.289331 0.0033
LOGBK? 0.006144 0.017418 0.352739 0.7276
RASIO_KEMANDIRIAN? 0.197734 0.060257 3.281523 0.0034 Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.808190 Mean dependent var 4.334749
Adjusted R-squared 0.747160 S.D. dependent var 0.067129
S.E. of regression 0.033755 Akaike info criterion -3.716213
Sum squared resid 0.025066 Schwarz criterion -3.342561
Log likelihood 63.74320 Hannan-Quinn criter. -3.596678
F-statistic 13.24244 Durbin-Watson stat 1.830000
Prob(F-statistic) 0.000001
93
8. Random Effect Model (REM)
Dependent Variable: LOGIPM?
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 10/18/19 Time: 18:07
Sample: 2011 2016
Periods included: 6
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 30
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 12.03386 0.046330 2073.420 0.0000
LOGBP 0.055814 0.028114 1.985254 0.0578
LOGBK 0.018466 0.024740 0.746402 0.4621
RASIO_KEMANDIRIAN 0.215000 0.062944 3.415767 0.0021
Random Effects
(Cross)
_KAB.KULONPROGO--C -0.004075
_KAB.BANTUL--C 0.025001
_KAB.GUNUNGKIDUL--C -0.062745
_KAB.SLEMAN--C 0.012528
_KOTAYOGYAKARTA--C 0.029291 Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 0.038715 0.5681
Idiosyncratic random 0.033755 0.4319 Weighted Statistics R-squared 0.355187 Mean dependent var 1.453574
Adjusted R-squared 0.280786 S.D. dependent var 0.040285
S.E. of regression 0.034165 Sum squared resid 0.030348
F-statistic 4.773928 Durbin-Watson stat 1.607436
Prob(F-statistic) 0.008819 Unweighted Statistics R-squared 0.478429 Mean dependent var 4.334749
Sum squared resid 0.068161 Durbin-Watson stat 0.715691
94
9. Uji Normalitas
0
2
4
6
8
10
12
-0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10
Series: Standardized Residuals
Sample 2011 2016
Observations 30
Mean 1.03e-15
Median -0.003435
Maximum 0.075299
Minimum -0.103081
Std. Dev. 0.044690
Skewness -0.411422
Kurtosis 2.990685
Jarque-Bera 0.846449
Probability 0.654932
10. Uji Multikoliniearitas
Correlation Matrix Of Coefficient BP BK RASIO_KEMANDIRIAN
BP 1.000000 0.443109 0.026056
BK 0.443109 1.000000 0.612775
RASIO_KEMANDIRIAN 0.026056 0.612775 1.000000
95
11. Uji Heterokedastisitas (Uji Glejser)
Heteroskedasticity Test: Glejser
Null hypothesis: Homoskedasticity F-statistic 2.731495 Prob. F(3,26) 0.0642
Obs*R-squared 7.189304 Prob. Chi-Square(3) 0.0661
Scaled explained SS 6.913590 Prob. Chi-Square(3) 0.0747
Test Equation:
Dependent Variable: ARESID
Method: Least Squares
Date: 08/19/19 Time: 19:48
Sample: 1 30
Included observations: 30 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.439589 0.233406 -1.883365 0.0709
BP? 0.044686 0.019717 2.166369 0.0620
BK? -0.009778 0.018645 -0.524418 0.6044
RASIO_KEMANDIRIAN? -0.030661 0.036790 -0.833408 0.4122 R-squared 0.239643 Mean dependent var 0.031281
Adjusted R-squared 0.151910 S.D. dependent var 0.026152
S.E. of regression 0.024083 Akaike info criterion -4.491017
Sum squared resid 0.015080 Schwarz criterion -4.304191
Log likelihood 71.36526 Hannan-Quinn criter. -4.431250
F-statistic 2.731495 Durbin-Watson stat 1.905601
Prob(F-statistic) 0.064203
96
LAMPIRAN 2 (Data Penelitian)
Kab/Kota Tahun IPM (Indeks)
BP (Rupiah)
BK (Rupiah)
RASIO_KEMANDIRIAN (Persen)
Kab. Bantul 2011 75.04 616.623 144.805 18% Kab. Gunung Kidul
2011 71.84 540.484 86.198 7%
Kab Kulon Progo
2011 78.79 402.045 90.301 31%
Kab. Sleman 2011 75.05 646.972 119.782 8% Kota Yogyakarta
2011 79.89 409.984 112.289 32%
Kab. Bantul 2012 75.33 671.242 178.880 9% Kab. Gunung Kidul
2012 71.11 603.757 105.010 8%
Kab Kulon Progo
2012 79.39 448.020 109.131 34%
Kab. Sleman 2012 75.51 721.680 163.868 7% Kota Yogyakarta 2012 80.24 442.022 136.349 38% Kab. Bantul 2013 75.95 646.616 188.809 23% Kab. Gunung Kidul
2013 71.40 461.433 122.840 9%
Kab Kulon Progo
2013 79.97 461.433 117.911 10%
Kab. Sleman 2013 76.01 779.972 192.568 47% Kota Yogyakarta
2013 80.51 404.537 167.910 40%
Kab. Bantul 2014 77.11 752.870 259.234 35% Kab. Gunung Kidul
2014 67.03 722.097 133.276 16%
Kab Kulon Progo
2014 70.68 498.901 133.000 16%
Kab. Sleman 2014 80.73 856.881 291.217 57% Kota Yogyakarta
2014 83.78 449.636 192.156 46%
Kab. Bantul 2015 77.99 875.816 342.801 38% Kab. Gunung Kidul
2015 67.41 820.766 181.570 19%
Kab Kulon Progo
2015 71.52 569.621 216.718 17%
Kab. Sleman 2015 81.20 890.874 300.130 63% Kota Yogyakarta 2015 84.56 501.258 268.908 50% Kab. Bantul 2016 78.42 930.329 156.764 23% Kab. Gunung Kidul
2016 67.82 885.242 134.322 12%
97
Kab Kulon Progo
2016 72.38 601.561 110.760 11%
Kab. Sleman 2016 82.15 910.438 130.891 38% Kota Yogyakarta
2016 85.32 562.121 175.146 40%
98
LAMPIRAN 3 (Data Penelitian yang telah di LOG)
Kab/Kota Tahun LOGIPM LOGBP LOGBK RASIO_KEMANDIRIAN
Kab. Bantul 2011 4.318021 13.33201 11.88314 0.18
Kab. Gunung Kidul
2011 4.274441 13.20022 11.36440 0.07
Kab Kulon Progo
2011 4.366786 12.90432 11.41091 0.31
Kab. Sleman 2011 4.318155 13.38006 11.69343 0.08
Kota Yogyakarta
2011 4.380651 12.92387 11.62883 0.32
Kab. Bantul 2012 4.321878 13.41689 12.09447 0.09
Kab. Gunung Kidul
2012 4.264228 13.31093 11.56181 0.08
Kab Kulon Progo
2012 4.374372 13.01259 11.60031 0.34
Kab. Sleman 2012 4.324265 13.48934 12.00682 0.07 Kota Yogyakarta 2012 4.385022 12.99912 11.82297 0.38
Kab. Bantul 2013 4.330075 13.37951 12.14849 0.23
Kab. Gunung Kidul
2013 4.268298 13.43200 11.71863 0.09
Kab Kulon Progo
2013 4.381652 13.04209 11.67769 0.10
Kab. Sleman 2013 4.330865 13.56701 12.16821 0.47
Kota Yogyakarta
2013 4.388381 12.91050 12.03118 0.40
Kab. Bantul 2014 4.345233 13.53165 12.46549 0.35
Kab. Gunung Kidul
2014 4.205140 13.48991 11.80017 0.16
Kab Kulon Progo
2014 4.258163 13.12016 11.79810 0.16
Kab. Sleman 2014 4.391110 13.66105 12.58182 0.57
Kota Yogyakarta
2014 4.428194 13.01619 12.16606 0.46
Kab. Bantul 2015 4.356581 13.68291 12.74490 0.38
Kab. Gunung Kidul
2015 4.210793 13.61799 12.10939 0.19
Kab Kulon Progo
2015 4.269977 13.25273 12.28635 0.17
Kab. Sleman 2015 4.396915 13.69996 12.61197 0.63
Kota Yogyakarta
2015 4.437461 13.12488 12.50212 0.50
Kab. Bantul 2016 4.362079 13.74329 11.96249 0.23
Kab. Gunung Kidul
2016 4.216857 13.69362 11.80799 0.12
Kab Kulon Progo 2016 4.281930 13.30728 11.61513 0.11
99
Kab. Sleman 2016 4.408547 13.72168 11.78212 0.38
Kota Yogyakarta
2016 4.446409 13.23947 12.07337 0.40
top related