analisis faktor yang mempengaruhi...
Post on 13-Aug-2020
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN KERJASAMA ANTAR PERGURUAN TINGGI (PKPT)
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KUALITAS UDARA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
MENGGUNAKAN METODE SPASIAL
Tahun ke-1 (satu) dari rencana 2 (dua) tahun
TIM PENGUSUL DAN MITRA :
Ketua TPP :
Kris Suryowati, S.Si (NIDN : 0026067102)
Anggota TPP:
Rokhana Dwi Bekti,S.Si.,M.Si (NIDN : 0306038601)
Ketua TPM:
Dr. techn. Rohmatul Fajriyah, M.Si (NIDN : 0512017201)
Anggota TPM:
Eko Siswoyo, ST, MSc.ES, MSc, Ph.D (NIDN : 0522077601)
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND
YOGYAKARTA
NOVEMBER 2018
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 122/Statistika
Bidang Fokus : Kebencanaan
ii
iii
RINGKASAN
Analisis kualitas udara menjadi penting di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) mengingat perkembangan kegiatan penduduk, transportasi, pariwisata, dan
industri di wilayah ini semakin meningkat. Sementara itu, tercemarnya udara
menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini
melakukan analisis factor yang mempengaruhi kualitas udara di DIY serta
dampaknya terhadap kesehatan masyarakat sekitar. Metode yang digunakan adalah
analisis pemodelan spasial meliputi SAR, SEM, SDM dan GWOLR. Penelitian
diawali dengan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara di DIY
dengan GWOLR, berdasarkan data BLH DIY 2017 dan menganalisis faktor yang
mempengaruhi pencemaran udara kabupaten Bantul berdasarkan data BLH Bantul
2014. Pada data primer sampel yang diambil yaitu data komponen kualitas udara
pada 17 kecamatan di Kabupaten Bantul dikarenakan Bantul tingkat kepadatan
penduduk setiap tahun meningkat, terjadinya alih fungsi lahan jga dibantul terdapat
home industri yang meningkat cukup pesat.
Berdasarkan hasil analisis pada model GWOLR menggunakan pembobot
fixed kernel bi-square dan bandwidth 0.28951, variabel yang berpengaruh signifikan
disetiap lokasi berbeda, misal pada lokasi Ruko Janti variabel yang berpengaruh
signifikan yaitu O3, Kebisingan, Suhu udara, dan Tekanan dalam hal ini apabila
odds rasionya mengalami kenaikan maka maka tingkat probabilitas ISPU semakin
naik. Dan Berdasarkan analisis dengan menggunakan pembobot Rook Contiguity,
pada uji Morans’I menunjukan adanya autokorelasi spasial pada variabel kepadatan
penduduk. Analisis spasial dengan model SAR, SEM dan SDM, diperoleh nilai AIC
untuk model SAR 43,564, nilai AIC model SEM 43,215 dan nilai AIC model SDM
adalah 33,058, sehingga model SDM memberikan model yang lebih baik untuk
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran udara di Kabutaten
bantul yaitu jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, lag kepadatan
penduduk, lag jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi dan lag variabel
variabel dependen. Dengan demikian semakin tinggi kepadatan penduduk dan
jumlah industri maka jumlah desa tercemar semakin tinggi.
Kata kunci : Kualitas udara, SAR, SEM, SDM, GWOLR
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta karuni, sehingga tim peneliti dapat
menyusun laporan kemajuan Hibah Penelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi
(PKPT) Kemenristek Dikti pendanaan tahun 2018 dengan judul “Analisis Faktor yang
Mempengaruhi Kualitas Udara di Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan
Metode Spasial ” tepat pada waktunya. Penelitian ini untuk menunjang salah satu
kegiatan tridarma perguruan tinggi, guna pengembangan ilmu dan teknologi
khususnya di Jurusan Statistika Fakultas Sains Terapan, Institut Sains & Teknologi
AKPRIND Yogyakarta.
Dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan laporan ini tidak lepas dari
tantangan dan hambatan yang penulis temukan, berkat kerjasama Tim Peneliti yang
terdiri dari Dosen Jurusan Statistika IST AKPRIND Yogyakarta dan peneliti Mitra
dari Program Studi Statistika UII dan Jurusan Teknik Lingkungan UII, yang dibantu
oleh mahasiswa Jurusan Statistika sehingga penelitian ini terselesaikan dengan baik
dan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan
terimakasih kepada ,
1. Kemenristek Dikti atas bantuan dana yang diberikan demi pelaksanaan
penelitian PKPT
2. Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah, M.T selaku Rektor Institut Sains & Teknologi
AKPRIND Bapak Dr. Ir. Sudarsono, M.T selaku Kepala LPPM Institut Sains &
Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
3. Ibu Dra. Noeryanti, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains Terapan Institut Sains &
Teknologi AKPRIND Yogyakarta.
4. Program Studi Statistika dan Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Islam
Indonesia sebagai tim peneliti Mitra
5. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tak langsung
yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan
kesalahan yang ada karena keterbatasan penulis. Untuk itu kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk mencapai
v
kesempurnaan, semoga hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan khususnya bagi
pengemban tugas demi peningkatan kualitas udara di DIY dan sebagai acuan bagi
peneliti selanjutnya, serta menambah wacana pengetahuan bagi pembaca serta dapat
dijadikan referensi peneliti lanjutan.
November 2018
Tim Penulis
vi
DAFTAR ISI
Hal Judul
Hal Pengesahan
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xi
BAB I ......................................................................................................................... 12
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 12
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................. 12
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................................ 14
1.3 Objek Penelitian .............................................................................................. 14
BAB II ........................................................................................................................ 15
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 15
2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 15
2.2 Regresi Linier .................................................................................................. 15
2.3. Regresi Spasial ................................................................................................ 16
2.3.1 Matriks Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices) ........................................ 17
2.3.2. Efek Spasial .......................................................................................................... 18
2.3.3 Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) ................................................ 18
2.3.4 Model Spatial Autoregresive (SAR) ................................................................ 19
2.3.5 Spatial Error Method (SEM) .................................................................................. 20
2.3.6 Spasial Durbin Model SDM .................................................................................. 20
2.4. Kualitas Udara dan Pencemarannya ............................................................... 21
BAB III ...................................................................................................................... 24
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................................. 24
3.1. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 24
3.2 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 24
BAB IV ...................................................................................................................... 25
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................... 25
4.1 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 25
4.2 Lokasi Penelitian dan Sumber Data ................................................................. 26
vii
4.3 Variabel Penelitian ........................................................................................... 29
4.4 Metode analisis ................................................................................................ 30
BAB V ....................................................................................................................... 31
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ............................................................... 31
5.1 Analisis faktor-faktor yang mempengaruh kualitas udara di DIY
menggunakan metode spasial Geografically Weighted Ordinary Logistic
Regression (GWOLR), berdasarkan data DLH Propinsi DIY tahun 2017 ........... 31
5.1.1 Gambaran Umum Kualitas Udara ......................................................................... 32
5.1.2 . Eksplorasi Data Spasial ....................................................................................... 34
5.1.3 Analisis Regresi Logistik Ordinal ........................................................................... 47
5.1.4. Pengujian Efek Spasial ......................................................................................... 52
5.1.5. Model Geographically Weighted Ordinary Logistic Regression ........................... 53
5.1.6 Perbandingan Model Indeks Standar Pencemaran Udara dengan Regresi Logistik
Ordinal dan GWOLR ...................................................................................................... 68
5.2 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran udara di Kabupaten
Bantul dengan aplikasi model regresi spasial berbasis area, berdasarkan data BPS
(2015) Bantul dalam Angka dan BPS (2014), Statistik Potensi Desa Kab. Bantul
............................................................................................................................... 69
5.2.1 Gambaran Pencemaran Udara di Kab. Bantul ...................................................... 69
5.2.2 Peta Tematik Kejadian Pencemaran Udara .......................................................... 70
5.2.3 Pola Spasial ........................................................................................................... 71
5.2.4 Pemodelan Regresi Linear Berganda .................................................................... 77
5.2.5 Pengujian Efek Spasial .......................................................................................... 81
5.2.6 Pemodelan Spasial Berbasis Area ......................................................................... 89
5.2.7 Perbandingan Model Spasial Dengan Kriteria Nilai AIC ........................................ 96
5.3. Analisis kualitas udara berdasarkan komponen kualitas udara Kabupaten
Bantul dengan menerapkan metode spasial ........................................................... 98
5.3.1 Gambaran Umum ISPU, Suhu, Kelembaban, dan Kecepatan Angin ..................... 98
5.3.2 Pemodelan Regresi Linear Berganda .................................................................. 102
5.3.3 Pengujian Efek Spasial ........................................................................................ 103
5.2.5 Perbandingan Model Spasial Dengan Kriteria Nilai AIC ...................................... 108
5.3. Luaran yang dicapai ..................................................................................... 109
BAB VI .................................................................................................................... 115
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ............................................................... 115
viii
BAB VII ................................................................................................................... 116
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 116
7.1. Kesimpulan .................................................................................................. 116
7.2. Saran ............................................................................................................. 119
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 120
LAMPIRAN ............................................................................................................. 122
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 4 Tabel Lokasi .............................................................................................. 28
Tabel 5. 1 Analisis Deskriptif komponen kualitas udara tahun 2017 ..................................... 32
Tabel 5. 2 Analisis Deskriptive variabel respon ..................................................................... 34
Tabel 5. 3 Nilai statistik uji G2 model regresi logistik ordinal ................................................. 49
Tabel 5. 4 Uji parsial regresi logistik ordinal .......................................................................... 49
Tabel 5. 5 nilai odds ratio dari variabel signifikan ................................................................. 50
Tabel 5. 6 Ketepatan Klasifikasi Regresi logistik Ordinal........................................................ 51
Tabel 5. 7 Koefisien Korelasi antar Variabel Prediktor .......................................................... 52
Tabel 5. 8 Uji Moran’s I ......................................................................................................... 53
Tabel 5. 9 Pembobot lokasi depan Ruko Janti ....................................................................... 56
Tabel 5. 10 nilai Zhitung GWOLR ............................................................................................... 63
Tabel 5. 11 variabel-variabel Signifikan di setiap titik lokasi pada Model GWOLR ................ 65
Tabel 5. 12 nilai odds ratio variabel signifikan pada titik lokasi Depan Ruko Janti ............... 66
Tabel 5. 13 Ketepatan Klasifikasi Regresi logistik Ordinal...................................................... 67
Tabel 5. 14 nilai perbandingan model .................................................................................. 68
Tabel 5. 15 Analisis Deskriptif Statistik ................................................................................ 69
Tabel 5. 16 Output Regresi Metode OLS ............................................................................... 77
Tabel 5. 17 Output Shapiro Wilk .......................................................................................... 78
Tabel 5. 18 Output Variance Inflation Factor (VIF) ................................................................ 78
Tabel 5. 19 Output Breusch-Pagan ........................................................................................ 79
Tabel 5. 20 Output Durbin-Watson ....................................................................................... 79
Tabel 5. 21 Hasil Estimasi Parameter Signifikan .................................................................... 81
Tabel 5. 22 Hubungan Ketetanggaan Tiap Kecamatan di Kab. Bantul ................................... 82
Tabel 5. 23 Hasil Uji Morans’I ................................................................................................ 85
Tabel 5. 24 OutputLagrange Multiplier ................................................................................. 89
Tabel 5. 25 Estimasi Parameter Model SAR ......................................................................... 90
Tabel 5. 26 Output Model SAR yang Signifikan .................................................................... 90
Tabel 5. 27 Output Model SEM ............................................................................................ 91
Tabel 5. 28 Output Model SEM yang Signifikan ................................................................... 92
Tabel 5. 29 Output Spatial Durbin Model ............................................................................ 92
Tabel 5. 30 Output Spatial Durbin ModelTanpa X3 ............................................................. 95
Tabel 5. 31 Perbandingan Nilai AIC ...................................................................................... 97
Tabel 5. 32 Karakteristik Variabel komponen kualitas udara ................................................ 98
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4. 5 Diagram alur proses penelitian. ............................................................ 26
Gambar 4. 6 Peta Lokasi Penelitian ........................................................................... 27
Gambar 4. 7 Peta lokasi pengambilan sampel Kabupaten Bantul. ............................ 27
Gambar 5. 1 Grafik ISPU PM 10 ............................................................................................. 33
Gambar 5. 2 Eksplorasi Pola Spasial ISPU di Provinsi DIY ...................................................... 35
Gambar 5. 3 Eksplorasi Pola Spasial Ozon (O3) di Provinsi DIY ............................................. 37
Gambar 5. 4 Eksplorasi Pola Spasial Hidrocarbon (HC) di Provinsi DIY .................................. 39
Gambar 5. 5 Eksplorasi Pola Spasial Kebisingan di Provinsi DIY ............................................ 41
Gambar 5. 6 Eksplorasi Pola Spasial Suhu udara di Provinsi DIY ........................................... 43
Gambar 5. 7 Eksplorasi Pola Spasial Kecepatan Angin di Provinsi DIY ................................... 44
Gambar 5. 8 Eksplorasi Pola Spasial Tekanan di Provinsi DIY ................................................ 46
Gambar 5. 9 sintak R GWOLR ................................................................................................ 58
Gambar 5. 10 Penaksiran Parameter model GWOLR setiap lokasi ........................................ 59
Gambar 5. 11 nilai ln likelihood uji G ..................................................................................... 61
Gambar 5. 12 Pola Spasial Signifikansi Variabel .................................................................... 65
Gambar 5. 13 Peta Tematik Presentase Jumlah Desa Tercemar Tahun 2011 dan 2014 ........ 71
Gambar 5. 14 Pola spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Pencemaran Udara ....................... 72
Gambar 5. 15 Pola Spasial Kepadatan Penduduk di Kab. Bantul ......................................... 74
Gambar 5. 16 Pola Spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Prasarana Transportasi Darat ......... 75
Gambar 5. 17 Pola Spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Tempat Pembuangan Sampah ........ 76
Gambar 5. 18 Morans’I Scatterplot ................................................................................... 87
Gambar 5. 19 Morans’I Scatterplot ................................................................................. 87
Gambar 5. 20 Morans’I Scatterplot Gambar 5. 21 Morans’I Scatterplot ................. 87
Gambar 5. 22 Pola Spasial ISPU PM 10.................................................................................. 99
Gambar 5. 23 Pola Spasial ISPU SO2 ..................................................................................... 99
Gambar 5. 24 Pola Spasial ISPU O3 ..................................................................................... 100
Gambar 5. 25Pola Spasial Suhu Udara ................................................................................ 100
Gambar 5. 26 Pola Spasial Kelembaban .............................................................................. 101
Gambar 5. 27 Pola Spasial Kecepatan Angin ....................................................................... 101
Gambar 5. 28 Output Regresi Metode OLS pada ISPU PM10 ............................................ 102
Gambar 5. 29 Output Regresi Metode OLS pada ISPU SO2 ............................................... 102
Gambar 5. 30 Output Regresi Metode OLS pada ISPU O3 ................................................. 102
Gambar 5. 31 Hasil uji asumsi klasik .................................................................................... 103
Gambar 5. 32 Hasil Uji Morans’I ......................................................................................... 104
Gambar 5. 33 Output Lagrange Multiplier ......................................................................... 104
Gambar 5. 34 Estimasi Parameter Model SAR data ISPU PM10 ........................................ 105
Gambar 5. 35 Estimasi Parameter Model SAR data ISPU SO2 ........................................... 105
Gambar 5. 36 Estimasi Parameter Model SAR data ISPU O3 ............................................. 105
Tabel 5. 37 Output Spatial Durbin Model data ISPU O3 ................................................... 108
Gambar 5. 38 Perbandingan Model Spasial ....................................................................... 109
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Sekunder ................................................................................................ 123
Lampiran 2 Output Perhitungan ....................................................................................... 129
Lampiran 3. Hasil luaran .................................................................................................... 140
Lampiran 4. Usulan Penelitian Lanjutan tahun ke 2 ................................................178
Lampiran 5. Deskripsi Ketua Dan Anggota Peneliti ......................................................... 1865
Lampiran 6. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja ................................................... 186
Lampiran 7 Kontrak Penelitian ......................................................................188
12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat, akan berakibat
meningkatnya berbagai aktifitas industri, perkembangan teknologi, dan sebagainya.
Oleh karena itu berbagai aktifitas penduduk dilakukan untuk meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan. Namun demikian, aktifitas yang tidak sesuai peraturan akan
berdampak pada kualitas kesehatan dan lingkungan hidup khususnya udara dan air.
Buku Statistik Lingkungan Hidup di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
2015/2016 menyebutkan bahwa permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi di
DIY antara lain menurunnya proporsi luas lahan pertanian, tidak sinkronnya mutu
dan luas hutan, kandungan kualitas udara, pencemaran air, dan pendangkalan sungai.
Pada sisi lain, selama kurun waktu 2011-2014, terjadi peningkatan pencemaran
lingkungan hidup di DIY, yaitu hingga diatas 250 persen dan pencemaran yang
paling banyak terjadi pada tahun 2014 berupa pencemaran udara, yaitu terjadi di 415
desa/kelurahan, sedangkan pencemaran air terjadi di 44 desa/kelurahan dan
pencemaran tanah terjadi di 4 desa/kelurahan. Berdasarkan data Potensi Desa
(Podes), tingat pencemaran udara tahun 2014 meningkat dibandingkat tahun 2011
yang hanya ada di 127 desa/kelurahan (BPS, 2016).
Peningkatan pencemaran udara di DIY dimungkinkan terjadi dikarenakan
meningkatnya kepadatan penduduk dalam hal ini DIY sebagai kota pelajar dan kota
pariwisata. Hal ini akan berdampak pada peningkatan kegiatan transportasi dan alih
fungsi lahan. Kegiatan transportasi yang terus meningkat merupakan akibat dari
bertambahnya jumlah pelajar dan berkembangnya pariwisata di DIY. Saat ini banyak
tempat wisata alam yang baru dibuka, seperti di Kabupaten Gunung Kidul, Bantul
dan Kulon Progo. Hal ini menyebabkan kunjungan wisata juga terus meningkat.
Selanjutnya kegiatan industri juga meningkat. Udara akan tercemar dari emisi gas
buang dari bahan bakar transportasi maupun industry tersebut. Sementara itu, efek
dari polusi udara bagi manusia diantaranya dapat menyebabkan dan memicu
penyakit pernafasan, iritasi mata, dan tenggorokan. Sementara gas karbondioksida
13
yang dihasilkan dari pembakaran bensin diidentifikasi sebagai penyebab utama
dalam pemanasan global.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini melakukan
identifikasi kualitas udara di DIY. Identifkasi ini berupa pola penyebaran polusi
udara serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara juga faktor-
faktor penyebab peningkatan polusi udara. Metode analisis faktor yang berpengaruh
dilakukan secara deterministik dan probabilistik. Metode probabilistik yang
digunakan adalah analisis spasial, yaitu pemodelan Spatial Autoregressive (SAR),
Spatial Error Model (SEM), SDM dan GWOLR. Metode ini penting digunakan
untuk menganalisis statistik dengan pendekatan wilayah atau keterkaitan antar
wilayah. Karakteristik kualitas udara dibeberapa lokasi saling berhubungan secara
spasial. Hal ini ditunjukkan oleh bergantungnya kualitas udara antar lokasi. Apabila
salah satu lokasi memiliki udara yang tercemar maka lokasi lain yang berdekatan
akan ikut tercemar pula. Hal ini sesuai dengan hukum pertama tentang geografi
dikemukakan oleh Tobler, menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan
satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh
daripada sesuatu yang jauh (Anselin, 1988).
Penelitian ini dilakukan selama 2 tahun, dimana tahun pertama adalah analisis
pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Sementara itu,
pada tahun kedua adalah analisis pencemaran air tanah yang selanjutnya melihat
dampak pencemaran pada kegiatan pertanian. Hasil penelitian diharapkan dapat
mengidentifikasi pola pencemaran di setiap wilayah dan faktor-faktor penyebabnya.
Pada tahun pertama, pada analisis pencemaran udara dan dampaknya
terhadap kesehatan masyarakat metode yang digunakan adalah metode spasial SAR,
SEM, SDM dan GWOLR. Hasil ini selanjutnya dirumuskan untuk mendapatkan
langkah-langkah pencegahannya. Perumusan pencegahan akan menjadi pengetahuan
ke masyakat dalam menjaga kesehatan kuaitas udara dan rekomendasi pemerintah
dalam melaksanakan kebijakan.
Tim Peneliti Pengusul (TPP) membutuhkan keahlian dalam hal analisis
statistik mendalam dan kimia lingkungan dari Tim Peneliti Mitra (TPM). Oleh
karena itu TPP memilih TPM dari Universitas Islam Indonesia (UII) yang memiliki 2
keahlian tersebut. Dalam pelaksanannya TPP bertugas dalam mengumpulkan data
14
dan analisis statistik pencemaran udara, sedangkan TPM bertugas dalam penguraian
metode spasial secara konsep dasar serta menjadi tempat uji kimia data sampel udara
di labolatorium.
Penelitian ini adalah termasuk rumpun ilmu statistika. Berdasarkan renstra
penelitian IST AKPRIND Yogyakarta, penelitian ini masuk pada bidang unggulan
teknologi tepat guna berwawasan lingkungan serta topik unggulan rekayasa
teknologi industri. Teknologi tepat guna yang dimaksud adalah hasil pemodelan yang
didapat mampu memprediksi kualitas udara dan dampaknya secara tepat dan akurat
sesuai kaidah ilmiah statistik dan aspek spasial atau geostatistik. Sehingga hasilnya
dapat memberikan informasi penting dalam mengurangi dampak kebencanaan,
khususya bencana akibat kualitas udara yang buruk.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini dirumuskan masalah penelitian tahun pertama adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kualitas udara disetiap daerah di DIY?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas udara melalui analisis pemodelan
spasial?
3. Bagaimana prediksi kualitas udara melalui analisis pemodelan spasial?
4. Bagaimana dampak kualitas udara yang buruk terhadap kesehatan masyarakat?
5. Langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pendidikan ke
masyakat dalam menjaga kesehatan kuaitas udara?
1.3 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah parameter kualitas udara meliputi
komponen kualitas berdasarkan ISPU di DIY, dan lokasi geografis serta kondisi
sosial ekonomi disetiap kecamatan di DIY.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Peneliti telah melakukan beberapa penelitian mengenai analisis spasial,
diantaranya Bekti, dkk (2014) dan Tanty, Bekti, Herlina, dan Nurlelasari (2014) yang
melakukan pemetaan kualitas air tanah di Jabodetabek menggunakan metode
autokorelasi spasial. Kasus penelitian tersebut adalah menganalisis dampak kegiatan
industry dan padatnya pemukiman terhadap kualitas lingkungan, khususnya pada
kualitas air penduduk. Metode yang digunakan adalah metode spasial, namun belum
menggunakan metode pemodelan untuk mengetahui factor-faktor yang
mempengaruhi. Oleh karena itu penelitian ini melakukan analisis kualitas
lingkungan, khususnya kualitas udara, hingga mendapatkan factor-faktor yang
mempengaruhi melalui pemodelan spasial. Pentingnya dilakukan penelitian ini
adalah untuk mendukung peningkatan kualitas kesehatan penduduk, seperti yang
dilakukan oleh Prasetyo, Suryowati, dan Bekti (2016).
Peneliti TPM telah melakukan peneitian di bidang statistika, diantaranya
tentang “Pengembangan Metode Komputasi Background Correction Pada Pres-
processing Data Gen Mikroarray”, “Modifikasi Spesi kimia air penyuling untuk
meningkatkan kualitas minyak atsiri nilam”. Di bidang lingkungan, diantaranya
“Pengembangan Metode Enkapsulasi Lumpur PDAM sebagai Adsorben yang Murah
dan Ramah Lingkungan untuk Menurunkan Logam Berat dan Warna di Dalam Air”
2.2 Regresi Linier
Hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel
independen dapat dinyatakan dalam model regresi linier (Draper dan Smith, 1992,
serta suryowati, 2016). Hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut.
0 1 1 2 2Y X X X (2.1)
dengan
Y : Variabel dependen,
i : Koefisien regresi untuk i=0, 1,2,…,p,
16
Xi : Variabel independen untuk i=1,2,…,p,
: Nilai error regresi untuk 2~ (0, )N .
Model tersebut dapat pula ditulis dalam bentuk matriks yaitu
Y X (2.2)
dengan
Y : vektor variabel dependen,
X : matriks variabel independen,
β : vektor koefisien parameter regresi,
ε : vektor error regresi.
(Myers, 1990 dan Suryowati, 2016)
Dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square) , rumus penaksir
parameter:
( ) (2.3)
dengan
: vektor dari parameter yang ditaksir yang berukuran (p+1) x 1
2.3. Regresi Spasial
Analisis spasial digunakan untuk memasukkan pola spasial dalam penelitian.
Menurut Zhang, dkk (2010), pola spasial dapat dideteksi dengan Exploratory Spatial
Data Analysis (ESDA). ESDA memiliki tujuan utama untuk mendeteksi pola spasial
mengingat keterkaitan spasial mungkin terjadi pada data geografis (Setiani 2014).
Anselin(1993) dalam Setiani (2014) menyarankan bahwa ESDA harus berfokus pada
aspek spasial yang berupa keterkaitan spasial dan heterogenitas spasial. Kedua aspek
ini disebut juga dengan efek kewilayahan. Keterkaitan spasial atau sering disebut
autokorelasi spasial terjadi karena adanya interaksi antar wilayah. Interaksi ini
direpresentasikan dengan nilai observasi pada wilayah tertentu yang dipengaruhi oleh
nilai observasi pada wilayah lain. Sedangkan heterogenitas spasial berkaitan dengan
ketidakstabilan hubungan antar wilayah yang diakibatkan oleh efek random dari
setiap wilayah yang sulit diukur. Oleh karena itu, setiap wilayah akan memiliki
model hubungan antar wilayah yang berbeda-beda. Heterogenitas spasial sangat
17
penting untuk dipertimbangkan dalam suatu kajian spasial karena beberapa alasan
berikut :
a. Unit geografis sangat berpengaruh pada struktur hubungan/heterogenitas antar
wilayah.
b. Heterogenitas spasial sering terjadi bersamaan dengan autokorelasi spasial
c. Pada data cross-section, heterogenitas spasial dan autokorelasi spasial sering
terlihat sama (cenderung sulit dibedakan).
Menurut Wang dkk (2012) dalam Rahayu (2014) pada sampling spasial
sangat penting untuk mempertimbangkan adanya autokorelasi dan heterogenitas dari
populasi yang akan digunakan. Autokorelasi spasial melanggar asumsi independensi.
Sementara heterogenitas dari bidang acak geografis terdiri atas global varians
(varians antar wilayah) dan struktur spasial dari variansi tersebut (autokorelasi
spasial populasi). Selain itu, Anselin (1988) dikutip dari Rati (2013) juga
menjelaskan bahwa di dalam suatu observasi yang mengandung informasi ruang atau
spasial, maka analisis data tidak akan akurat jika hanya menggunakan analisis regresi
sederhana. Jika menggunakan analisis regresi sederhana maka akan terjadi
pelanggaran asumsi seperti nilai sisa berkorelasi dengan yang lain dan varian tidak
konstans. Jika informasi ruang atau spasial diabaikan pada data yang memiliki
informasi ruang atau spasial dalam analisis, maka koefisien regresi akan bias atau
tidak konsisten, R2 berlebihan, dan kesimpulan yang ditarik tidak tepat karena model
tidak akuarat.
2.3.1 Matriks Keterkaitan Spasial (Spatial Weight Matrices)
Spatial Weight Matrices atau Matriks Keterkaitan Spasial, dapat pula disebut
matriks W dibuat dengan teknik pembobotan, sehingga juga disebut matriks
pembobot spasial. Anselin mengusulkan tiga pendekatan untuk mendefinisikan
matriks W yaitu contiguity, distance, dan general (Rati, 2013). Matriks W dengan
pendekatan contiguity menggunakan interaksi spasial antar wilayah yang
bertetangga, yaitu interaksi yang memiliki persentuhan batas wilayah (common
boundary). Matriks W yang terbentuk selalu simetris dan diagonal utama selalu
bernilai 0 seperti jika Wmn diberi nilai 1, maka Wmn bernilai 1 juga. Secara umum
18
terdapat beberapa tipe interaksi dalam penentuan matriks W yaitu Rook countiguity,
Bishop contiguity dan Queen contiguity.
2.3.2. Efek Spasial
Efek spasial dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu spatial dependence
dan spatial heterogenity. Spatial dependence terjadi akibat adanya ketergantungan
antar wilayah. Sedangkan spatial heterogenity terjadi akibat adanya keragaman antar
wilayah. (Almudita, 2012). Spatial Heterogenity atau spasial heterogenitas adalah
efek yang menunjukkan adanya keragaman antar lokasi atau adanya struktur dan
parameter hubungan yang berbeda pada setiap lokasi. Efek spasial ini dapat
diselesaikan dengan melakukan pengujian Breusch-Pagan test (BP test). Spatial
Dependence atau (ketergantungan spasial terjadi akibat adanya dependensi dalam
data wilayah. Uji yang digunakan untuk mengetahui spatial dependence di dalam
error suatu model adalah dengan menggunakan statistik Moran’s I dan
Langrange Multiplier (LM) (Anselin, 1988). Uji Lagrange Multiplier (LM)
digunakan untuk dependensi spasial yaitu ketergantungan lag dan error spasial
karena adanya korelasi antara wilayah.
2.3.3 Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA)
Model umum regresi spasial disebut Spatial Autoregressive Moving Average
(SARMA). Model ini dalam bentuk matriks (Lesage, 1998 dan Anselin, 2004) dapat
disajikan sebagai berikut:
Y = ρ Wy + Xβ + u dengan u = λ Wu + ε
ε ~N (0, σ2 I) (2.4)
dengan
Y : vektor variabel dependen dengan ukuran n x 1
X : matriks variabel independen dengan ukuran n x (k+1)
β : vektor koefisien parameter regresi dengan ukuran (k+1) x 1
ρ : parameter koefisien spasial lag variabel
: parameter koefisien spasial lag error
u,ɛ : vektor error dengan ukuran n x 1
19
W : matriks pembobot dengan ukuran n x n
K : jumlah daerah yang diamati atau lokasi yang diamati
Model SARMA memiliki ≠ 0, ≠ 0. Apabila = 0, = 0 maka persamaan
menjadi Y = X + . Persamaan ini disebut model spasial Ordinary Least Square
(OLS). Persamaan (2.17) diatas dapat pula dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:
uXyWI
uXWyy
)(
1)(
WIu
Wuy
(2.5)
Persamaan 2.17 dapat disubstuti dengan persamaan 2.18, sehingga diperoleh
1)()(
WIXyWI
uXWyy (2.6)
maka diperoleh persamaan regresi spasial (Anselin, 1998) untuk SARMA, yaitu
yWIXXX TT )()(ˆ 1 (2.7)
2.3.4 Model Spatial Autoregresive (SAR)
Model Spatial Autoregresive adalah model regresi linier yang pada peubah
responnya terdapat korelasi spasial (Anselin, 1988). Model SAR merupakan model
yang terbentuk dari kombinasi antara model regresi linier sederhana dengan lag
spasial variabel independen dengan menggunakan data cross section. Model SAR
(Anselin, 1988) terbentuk apabila nilai ρ≠0 dan =0, sehingga diperoleh bentuk
umum sebagai berikut.:
ρ Wy + Xβ + ε ε ~N (0, σ2 I) , (2.8)
Parameter lag spasial (ρ) menunjukkan tingkat korelasi pengaruh spasial dari
suatu wilayah terhadap wilayah lain disekitarnya menurut (Ward dan Kristian, 2007).
Pada persamaan (2.21) ɛi diasumsikan menyebar normal, bebas stokastik, identik,
dengan nilai tengah nol dan ragam σ2, ɛi merupakan sisaan pada lokasi ke i.
20
2.3.5 Spatial Error Method (SEM)
Model Spatial Error Method (SEM) adalah model regresi linier yang pada
peubah responnya terdapat dependensi error spasial. Model SEM (Anselin, 1988)
terbentuk apabila nilai ρ=0 dan ≠0, sehingga diperoleh persamaan
Y = Xβ + λ Wu + ε
ε ~N (0, σ2 I) (2.9)
Model SEM dengan parameter error spasial () menunjukkan bahwa model ini
adalah model regresi linier yang pada peubah galatnya terdapat korelasi spasial.
2.3.6 Spasial Durbin Model SDM
Metode ini yaitu Regresi Spatial Durbin Model (SDM), metode ini digunakan
untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan variabel independen
dengan mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah dalam artian memperhitungkan
ketergantungan antar pengamatan yang satu dengan pengamatan yang lain.
Pengamatan yang dikumpulkan bisa berasal dari suatu titik atau area di suatu wilayah
tertentu. Menurut Anselin (2013), LeSage dan Pace (2009) model umum regresi
spasial dapat ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:
( 2.10)
( ) ( )
( )
dengan u = λW2 + ε ε ~ N(0, 2I)
Keterangan:
y : vektor variabel dependen, ukuran (n x 1)
X : matriks variabel independen, ukuran (n x (k+1))
β : vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1
ρ : parameter koefisien lag variabel dependen
λ : parameter koefisien lag pada error
u : vektor error berukuran (n x 1)
ε : vektor error berukuran (n x 1)
W1,W2 : Matriks pembobot, berukuran (n x n)
21
Pada persamaan (2.9.), jika nilai ρ ≠ 0 atau λ = 0 maka menjadi Spatial
Autoregressive Model (SAR) seperti pada persamaan (2.10) yang mengasumsikan
bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen
y = ρW1y + Xβ + ε (2.11)
( ) ( )
dan ε ~ N(0,2I)
Model SAR dalam bentuk matriks 𝒚 = 𝝆𝑾1y + 𝜷 + 𝜺 (2.12)
dengan
[
] [
] [
] [
] [
] [
]
Spasial durbin model (SDM) merupakan kasus khusus dari SAR yaitu dengan
menambahkan pengaruh lag pada variabel independen sehingga ditambahkan spasial
lag pada model. Pembobotan dilakukan pada variabel independen maupun dependen.
Bentuk model SDM adalah sebagai berikut (Anselin, 1988)& (Rokhana, 2017):
𝑾 𝜷 𝜷 𝑾 𝜷 𝜺 (2.13)
Memenihi 𝜺 ( ) dan 𝜷
[ ]
𝜷
[ ]
Estimasi Parameter Spatial Durbin Model Maximum Likelihood Estimation, dengan
persamaan sebagai berikut:
(2.14)
( ) dengan ( )
(2.15)
Estimasi adalah: �� ( ) ( 𝑾 )𝒚 dengan Z =[I X W1X] (2.16)
DenganZ =[I X W1X] (Anselin,1988)
2.4. Kualitas Udara dan Pencemarannya
Udara merupakan salah satu elemen penunjang kehidupan manusia dan
aktifitasnya di muka bumi. Pentingnya peran udara bagi kehidupan membuat
masyarakat harus menjaganya agar udara kita tidak tercemar. Namun dengan
meningkatnya pembangunan fisik kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara telah
mengalami perubahan dan munculnya berbagai pencemaran. Pencemaran udara bisa
22
berdampak pada kelangsungan hidup di ekosistem. Pencemaran udara timbul akibat
adanya sumber-sumber pencemaran, baik yang bersifat alami ataupun karena
kegiatan manusia. Beberapa pengertian gangguan fisik seperti pencemaran suara,
pencemaran panas, pencemaran radiasi dan pencemaran cahaya di anggap sebagai
bagian dari pencemaran udara. Adapun karena sifat alami udara yang bisa menyebar
tanpa batasan ruang. Sementara itu, Gusnita (2012) menyatakan bahwa Pencemaran
udara bersumber dari asap cerobong industri dan gas buangan dari kendaraan
bermotor, selain itu dapat juga bersumber dari buangan rumah tangga (domestik).
Di dalam udara terkandung berbagai macam campuran gas. Dalam udara
normal terdapat berbagai campuran gas diantaranya nitrogen (N2) : 78% oksigen
(O2) : 20% argon Ar : 0,93% karbondioksida CO2 : 0,03% dan sisanya terdiri dari
neon (Ne), helium (He), metan (CH4) dan Hidrogen (H2). Gas-gas tesebut dapat
berubah komposisi apabilah terjadi penambahan gas-gas lain yang dapat melewati
batas nilai yang sudah ditetapakan, maka dapat dikatakan udara tersebut sudah
tercemar (Mutmainah, 2015)
Salah satu zat pencemar udara yaitu logam berat Timbal (Pb) dihasilkan dari
pembakaran yang kurang sempurna pada mesin kendaraan. Logam Pb di alam tidak
dapat didegradasi atau dihancurkan dan disebut juga sebagai non essential trace
element yang paling tinggi kadarnya, sehingga ia sangat berbahaya jika terakumulasi
pada tubuh dalam jumlah yang banyak. Logam Pb yang mencemari udara terdapat
dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk gas dan partikel – partikel (Gusnita, 2012).
Semakin padatnya lalu lintas oleh kendaraan bermotor juga membuat bahan
pencemar yang terbuang dalam bentuk partikel dan gas. Partikel pencemar antara
lain debu, timbal (Pb), partikel debu karet, dan partikel asbes. Adapun pencemar gas
yang kerap terhirup warga yang banyak beraktivitas di jalan adalah karbon
monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2). Bahaya-bahaya
dari pencemaran tersebut diantaranya menimbulkan dampak terhadap manusia dan
hewan, kerusakan pada tanaman terjadi pada kadar sebesar 0,5 ppm. Pengaruh utama
polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistim pernapasan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau
lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1–2
ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap
23
orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernapasan
kardiovaskular (Zakaria, 2009).
Beberapa penelitian juga telah melakukan analisis factor-faktor yang
mempengaruhi kualitas udara. Aisyiah, Sutikno, dan Latra (2014) yang melakukan
penelitian tentang kondisi udara ambien konsentrasi partikel debu (PM10) di Kota
Surabaya pada tahun 2010. Hasil menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 satuan
pada persentase kelembaban, suhu, dan kecepatan angin dapat meningkatkan
konsentrasi partikel debu sebesar 4.19, 8.76, dan 2.82 mg/m3. Selanjutnya Winarko
(2015) menyatakan bahwa udara, kecepatan angin, kelembapan udara, dan kepadatan
lalu lintas, luas hutan kota kepadatan penduduk dan pusat bisnis berpengaruh
terhadap Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
24
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaiakan permasalahan yang dihadapi yaitu
Tujuan dalam penelitian selama tahun pertama adalah:
1. Mendapatkan gambaran kualitas udara disetiap daerah di DIY.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara melalui analisis
pemodelan spasial
3. Mendapatkan prediksi kualitas udara melalui analisis pemodelan spasial
4. Mengetahui dampak kualitas udara yang buruk terhadap kesehatan masyarakat
5. Mendapatkan perumusan langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan pendidikan ke masyakat dalam menjaga kesehatan kualitas udara
3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian pada tahun yaitu
1. Dapat mengetahui kualitas udara di DIY
2. Meningkatkan kualitas udara khususnya pada daerah –daerah yang mengalami
pencemaran udara
3. Mencegah dampak menurunnya kualitas udara untuk meningkatan kesehatan
masyarakat
4. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat pentingnya menjaga kualias udara
di sekitarnya.
25
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian tahun pertama secara umum disajikan pada Gambar 4.1,
meliputi
1. Persiapan dan observasi awal dilakukan bersama oleh TPP dan TPM.
Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran referensi dan kondisi wilayah
penelitian, sehingga dapat menentukan sampling pengambilan data.
2. Pengumpulan data dilakukan dengan data primer dan sekunder. Kegiatan ini
dilakukan oleh TPP. Namun untuk data primer kualitas udara adalah bersama
TPM. Data primer kualitas udara tersebut selanjutnya di uji di labolatorium
TPP.
3. Analisis data dilakukan bersama oleh TPP dan TPM. Analisis ini meliputi
pemetaan kualitas udara, pemodelan spasial, pemetaan, dan analisis data
tingkat lanjut.
4. Pembuatan pemetaan kualitas udara
26
Gambar 4. 1 Diagram alur proses penelitian.
4.2 Lokasi Penelitian dan Sumber Data
Lokasi penelitian adalah di 5 kabupaten dan kota Propinsi DIY (lihat Gambar
4.1). Survei pengambilan sampel udara dilakukan di 17 Kecamatan di Kabupaten
Bantul dengan lama waktu pengambilan pada setiap kecamatan yaitu 1 x 24 jam.
Pengujian kadar kimia udara akan dilakukan di Laboratorium Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia (UII).
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling purposive proporsional,
yaitu mengambil sejumlah sampel udara di setiap kecamatan di Kabupaten Bantul.
Sampel yang diambil yaitu komponen kualitas udara meliputi suhu udara,
kelembaban udara, kecepatan angin, CO, SO2, NO2, O3 , TSP, PM 10 dan Pb,
sehingga terdapat 170 sampel. (lihat Tabel 4.1).
Data Primer : Survei kandungan
kimia pada sampel udara
Persiapan
Kadar kimia udara
Data Sekunder :
KLH, BPS, Dinkes,
dan lain-lain
Analisis data
Model SAR Model SEM
Analisis kandungan di
labolatorium
Analisis gambaran kualitas
udara disetiap daerah di DIY,
pemetaan, pemodelan, dan
faktor-faktor yang
Pemodelan Spasial
Kesimpulan Tahun 1
Pengumpulan
data
Proses output
Keterangan :
27
Sumber : http://dppka.jogjaprov.go.id/peta-diy.html
Gambar 4. 2 Peta Lokasi Penelitian
Lokasi tempat pengambilan sampel, pada 17 kecamatan di kabupaten Bantul dengan
peta disajikan pada gambar 4.3 berikut.
Gambar 4. 3 Peta lokasi pengambilan sampel Kabupaten Bantul.
28
Tabel 4. 1 Tabel Lokasi
No KECAMATAN Bujur lintang Alamat
1 Kasihan 110.32349 -7.82897 Jl. Sungapan No.4, Tamantirto,
Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta 55184
2 Banguntapan 110.40781 -7.82900 Jl. Ringroad Selatan No.66,
Plumbon, Banguntapan, Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55198
3 Sedayu 110.25864 -7.82426 Jalan Payaman, Ngentak, Argorejo,
Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta 55752
4 Piyungan 110.46207 -7.84332 Unnamed Road, Jombor, Srimulyo,
Piyungan, Bantul Regency, Special
Region of Yogyakarta 55792
5 Sewon 110.35684 -7.85749 Jl. Parangtritis No.138, Cabean,
Panggungharjo, Sewon, Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55188
6 Pajangan 110.28775 -7.87087 Unnamed Road, Kabrokan Wetan,
Sendangsari, Pajangan, Bantul
Regency, Special Region of
Yogyakarta 55751
7 Pleret 110.41365 -7.87699 Jl. Segoroyoso, Segoroyoso, Pleret,
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
55791
8 Bantul 110.33340 -7.89548 Gg. Pemuda, Bantul, Kec. Bantul,
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
55711
9 Dlingo 110.45757 -7.92063 Unnamed Road, Dlingo, Bantul
Regency, Special Region of
Yogyakarta 55783
10 Jetis 110.36689 -7.90964 Gg. Kerukunan, Sumberagung, Jetis,
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
29
55781
11 Pandak 110.28896 -7.92467 Unnamed Road, Triharjo, Pandak,
Bantul Regency, Special Region of
Yogyakarta 55761
12 Imogiri 110.39685 -7.93862 Unnamed Road, Mojo Legi,
Karangtengah, Imogiri, Bantul
Regency, Special Region of
Yogyakarta 55782
13 Bambanglipuro 110.31458 -7.94460 Jalan Pasar Grogol, Mulyodadi,
Bambang Lipuro, Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta 55764
14 Srandakan 110.24086 -7.96209 Jl. Poncosari, Banaran, Poncosari,
Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta 55762
15 Pundong 110.34298 -7.96828 Unnamed Road, Setegan,
Srihardono, Pundong, Bantul
Regency, Special Region of
Yogyakarta 55771
16 Sanden 110.26651 -7.98100 Jl. Dukuh Utara, Merten,
Gadingharjo, Sanden, Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta 55763
17 Kretek 110.30679 -7.99555 Kali Opak, Special Region of
Yogyakarta
4.3 Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan data cross-sectional dengan observasi berupa
kecamatan-kecamatan di DIY. Variabel penelitian yang digunakan terdiri dari
variable dependen dan independen sesuai dengan model SAR persamaan 2.21 dan
model SEM persamaan 2.22. Variabel dependen (Y) adalah tentang kualitas udara,
berdasarkan PP No 41 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, yaitu:
Sulfur Dioksida (SO2), Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), Oksida
30
(SO3), Hidro Karbon (HC), Partikel < 10mm (PK10), Debu (TSP), Timah hitam
(Pb), atau Debu Jatuh (Dustfall). Pemilihan variable dependen tersebut sesuai dengan
hasil observasi. Sedangkan variabel independen (X) meliputi: jumlah penduduk (X1),
luas hutan (X2), luas pemukiman (X3), dan jumlah industry (X4)
4.4 Metode analisis
Metode analisis meliputi :
a. Analisis deskriptif, meliputi rata-rata, standard deviasi, nilai minimum dan
maksimum untuk mengetahui kualitas udara
b. Pemetaan kualitas udara
c. Penentuan pembobot spasial
d. Analisis autokorelasi spasial
e. Analisis pemodelan spasial SAR, SEM, dan SDM
f. Pemilihan model terbaik
g. Prediksi kualitas udara
31
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Pada pembahasan mengenai analisis kualitas udara di Daerah Istimewa
Yogyakarta, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun yang
berakibat meningkatnya sarana tranportasi, pertumbuhan dibidang industri dan juga
banyak alih fungsi lahan. Oleh karena itu penelitian ini diawali dengan menganalisis
kualitas udara berdasarkan data sekunder sebagai berikut
1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruh kualitas udara di DIY menggunakan
metode spasial berdasarkan data DLH Propinsi DIY tahun 2017
Metode spasial yang digunakan yaitu Metode Geografically Weighted Ordinary
Logistic Regression (GWOLR).
2. Penelitian pada salah satu kabupaten di DIY dalam hal ini diambil sampel
Kabupaten Bantul mengingat Kabupaten memiliki 17 kecamatan dan
peningkatan jumlah penduduk pesat, jumlah industri meningkat dan terdapat alih
fungsi lahan serta meningkatnya jumlah tempat-tempat wisata.
Analisis faktor yang mempengaruhi pencemaran udara di Kabupaten Bantul
dengan aplikasi model regresi spasial berbasis area. Dan data yang yang diambil
yaitu data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul (2015), Bantul dalam
Angka dan BPS (2014), Statistik Potensi Desa Kabupaten Bantul tahun 2014.
3. Data primer diambil 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Bantul, dan
sampelnya komponen kualitas udara di 17 kecamatan dengan pengambilan
sampel 1 kali selama 24 jam, dengan hasil data terlampir pada lampiran 1.
Penguraian analisis pada setiap kasus dijabarkan secara lengkap, sebagai berikut.
5.1 Analisis faktor-faktor yang mempengaruh kualitas udara di DIY
menggunakan metode spasial Geografically Weighted Ordinary Logistic
Regression (GWOLR), berdasarkan data DLH Propinsi DIY tahun 2017
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kualitas udara Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari 25 titik lokasi di empat kabupaten dan
32
satu kota madya tahun 2017. Dengan variabel respon yaitu Indeks Standar
Pencemaran Udara (Y), dengan ozon (X1), hidrocarbon (X2), kebisingan (X3), suhu
udara (X4), kecepatan angin (X5), tekanan (X6) dan data yang digunakan padaa
lampiran 1 (BLH, 2017)
Pembahasan pada penelitian ini terdiri atas 4 bagian utama. Pertama
gambaran variabel-variabel yang mempengaruhi Indeks Standar Kualitas Udara
(ISPU) di Provinsi DIY, dijelaskan menggunakan analisis deskriptif dalam bentuk
tabel untuk mengetahui karakteristik ISPU. Kedua menentukan model GWOLR dan
pemetaan. Ketiga menentukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan
terhadap ISPU. Keempat dilakukan perbandingan model regresi logistik ordinal dan
model GWOLR. Perhitungan analisis deskriptif, analisis regresi logistik ordinal,
analisis GWOLR, ketepatan klasifikasi regresi logistik ordinal dan ketepatan
klasifikasi GWOLR diperoleh menggunakan bantuan software SPSS 20, R 3.2.5.
Sementara eksplorasi data spasial menggunakan software ArcGis.
5.1.1 Gambaran Umum Kualitas Udara
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum kualitas
udara di DIY, dalam hal ini untuk mendeskriptifkan data indeks standar pencemaran
udara di Provinsi DIY tahun 2017 pada lampiran 1 dan faktor-faktor yang diduga
mempengaruhinya. Deskriptif data dilakukan untuk mengetahui kriteria variabel
dependen dan independen yang mempengaruhi Indeks Standar Pencemaran Udara
dan menyajikan dalam bentuk tabel berdasarkan pada lampiran 3 seperti berikut :
Tabel 5. 1 Analisis Deskriptif komponen kualitas udara tahun 2017
Variabel N Min Max Sum Mean Std. Dev
Ozon (X1) 25 14,74 32,42 469,13 18,7652 3,92320
Hidrocarbon (X2) 25 8,97 113,94 494,12 19,7648 20,07088
Kebisingan (X3) 25 66,20 78,80 1830,70 73,2280 3,46957
Suhu_Udara (X4) 25 27,50 35,50 801,40 32,0560 2,19622
Kec_Angin (X5) 25 ,60 2,90 33,40 1,3360 ,68610
Tekanan (X6) 25 723,90 752,30 18509,30 740,3720 6,83395
Tabel 5.1. menunjukkan bahwa ozon memiliki nilai rata-rata sebesar 18,765
ug/m3 dari 25 titik lokasi di provinsi DIY dengan kualitas ozon minimum sebesar
33
14,74 ug/m3 dan nilai maksimum sebesar 32,42 ug/m
3. Rata-rata kualitas hidrocarbon
sebesar 19,76 ug/m3 dengan nilai minimum sebesar 8,97 ug/m
3 dan nilai maksimum
sebesar 113,94 ug/m3 . Kualitas kebisingan menunjukan nilai rata-rata sebesar 73,228
dBA dengan kebisingan minimum sebesar 66,2 dBA dan nilai maksimum sebesar
78,8 dBA. Rata-rata suhu udara dari 25 titik lokasi di provinsi DIY adalah 32.056 oc
dengan nilai minimum sebanyak 27,5 oc.
Kecepatan angin menunjukan nilai rata-rata sebesar 1,336 m/s dengan
kecepatan angin minimum sebesar 0,6 m/s dan nilai maksimum sebesar 2,9 m/s
untuk 25 titik lokasi di provinsi DIY. Rata-rata Kelembaban sebesar 51,4 %RH
dengan nilai minimum sebanyak 37 %RH dan nilai maksimum sebanyak 71%RH
dari 25 titik lokasi di DIY. Rata-rata tekanan sebesar 740,37 mmhg dengan nilai
minimum sebanyak 723,9 mmhg dan nilai maksimum sebanyak 752,3 mmhg dari 25
titik lokasi di DIY.
Variabel respon (Y) pada penelitian ini indeks standar pencemaran udara,
dengan ISPU data asli dihitung kategorinya seperti pada lampiran 2. Jika ISPU
dibagi sesuai dengan ketentuan BAPEDAL yaitu lima kategori maka terdapat
kategori yang kosong yaitu pada kategori baik, karena pada perhitungan ISPU hasil
yang diproleh yaitu empat buah kategori dan kategori yang dihilangkan yaitu
kategori baik dan disajikan pada gambar 5.2.
Gambar 5. 1 Grafik ISPU PM 10
Dari gambar 5.1 dapat diketahui bahwa indeks standar pencemaran udara di
Daerah Istimewa Yogyakarta cenderung pada kategori sedang dan sangat tidak sehat,
0
100
200
300
400
500
600
700
I J H A B D C X Y V W S T U G R F E P Q Z AA AB AC AD
Kode Lokasi
ISPU PM 10
34
dengan ISPU minimum berada dititik lokasi perempatan RSUD Wonosari, dan ISPU
maksimum pada titil lokasi pertigaan Teteg atau simpang tiga Kulon Progo. Pada
penelitian ini menggunakan empat kategori yaitu ketegori yaitu sedang (2), tidak
sehat (3), sangat tidak sehat (4), dan berbahaya(5). Hasil deskriptif dari variabel
respon yang dikategorikan disajikan pada Tabel 5.2
Tabel 5. 2 Analisis Deskriptive variabel respon
Kategori N Percent
Kategori sedang (2) 12 48 %
Kategori Tidak baik (3) 8 32 %
Kategori Sangat tidak sehat (4) 4 16 %
Kategori Berbahaya (5) 1 4 %
Total 25 100 %
Pada penelitian ini variabel respon (Y) adalah Indeks Standar Pencemaran
Udara (ISPU) terdiri dari empat kategori, yaitu kategori sedang dengan range nilai
ISPU 50-100, kategori tidak baik dengan range nilai ISPU 100-199, kategori sanagt
tidak sehat dengan range nilai ISPU 200-299, kategori berbahaya dengan range nilai
ISPU 300-lebih . Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa pada tahun 2017 dari 25 titik
lokasi di DIY, Indeks Standar Pencemaran Udara terdapat 48 % kategori sedang,
terdapat 32% kategori tidak baik, terdapat 16% kategori sangat tidak sehat dan 4%
kategori berbahaya.
5.1.2 . Eksplorasi Data Spasial
Eksplorasi data spasial merupakan pembahasan mengenai deskripsi data
Indeks Standar Pencemaran Udara tahun 2017, dan mengidentifikasi pola yang
terbentuk berdasarkan data pada (Lampiran 1).
a. Eksplorasi Pola Spasial ISPU
Pola spasial Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Provinsi DIY
dikategorikan 1 untuk kategori ISPU baik dengan indeks nilai 1-50, dikategori 2
untuk
35
kategori ISPU sedang dengan indeks nilai 50-100, dikategori 3 untuk kategori ISPU
tidak baik dengan indeks nilai 101-199, dikategori 4 untuk kategori ISPU sangat
tidak sehat dengan indeks nilai 200-299, dan dikategori 5 untuk kategori ISPU
berbahaya dengan indeks nilai 300-lebih. Eksplorasi data disajikan pada Gambar 5.2
dalam bentuk peta menggunakan software ArcGis seperti berikut.
Gambar 5. 2 Eksplorasi Pola Spasial ISPU di Provinsi DIY
Pada gambar 5.2 titik lokasi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di
Provinsi DIY tahun 2017 memiliki karakteristik yang beragam dan dikelompokan
berdasarkan warna. Berdasarkan data indeks standar pencemaran udara tahun 2017 di
Provinsi DIY yang termasuk dalam kategori 2 ISPU sedang (50-100) ditandai dengan
warna putih. Kelompok ISPU sedang yang di tandai warna putih mendeskripsikan
bahwa tingkat kualitas udara yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia atau
hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif, dan nilai estetika. Titik
lokasi yang memiliki ISPU sedang antara lain Simpang tiga toyan, Terminal Wates,
Simpang Empat Ngeplang, Depan bekas kantor Merapi golf, Depan Hotel Shapir,
Depan Hotel Tentrem, Perempatan Gose, Depan Kecamatan Patuk, Perempatan
Gading, Simpang Empat siyono, Terminal Wonosari, Perempatan RSUD Wonosari.
. Kemudian untuk titik lokasi yang termasuk dalam kategori 3 ISPU tidak baik
(101-199) ditandai dengan warna kuning. Kelompok ISPU tidak sehat yang di tandai
36
warna kuning mendeskripsikan tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada
manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan
pada tumbuhan ataupun nilai estetika. Titik lokasi yang memiliki ISPU tidak sehat
antara lain Depan GKBI Medari, Perempatan Denggung, Depan UPN Seturan,
Depan Ruko Janti, Depan kampus STTL, Depan toko Besi Dongkelan.
Untuk titik lokasi yang termasuk dalam kategori 4 ISPU sangat tidak sehat
(200-299) ditandai dengan warna biru. Kelompok ISPU sangat tidak sehat yang di
tandai warna merah mendeskripsikan tingkat kualitas udara yang dapat merugikan
kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar. Titik lokasi yang memiliki
ISPU sangat tidak sehat antara lain Depan Mirota Godean, Depan TVRI, Depan
kantor Kec. Jetis, Perempatan Mirota jl. C.Simanjuntak, Perempatan Wojo,
Perempatan Druwo,
Titik lokasi yang termasuk kategori 5 ISPU berbahaya (300-lebih) ditandai
dengan warna merah. Kelompok ISPU berbahaya yang di tandai warna merah
mendeskripsikan tingkat kualitas udara berbahaya yang secara umum dapat
merugikan kesehatan yang serius pada populasi. Titik lokasi yang memiliki ISPU
berbahaya antara lain titik Pertigaan teteg/simpang tiga Kulonprogo.
Gambar 5.2 menyajikan informasi bahwa pola penyebaran ISPU memiliki
pola mengelompok . Hal ini dapat diketahui dari beberapa titik lokasi membentuk
suatu kelompok dan saling berdekatan, cenderung memiliki tingkat ISPU sama.
Sebagai contoh titik lokasi depan kantor kec.Jetis dan depan Mirota Godean. Atau
dilihat dari pola penyebaran ISPU bahwa semakin ke kota Yogyakarta maka ISPU
semakin tinggi, dengan demikian dapat dikatakan ada pengaruh lokasi atau ada efek
spasial.
b. Eksplorasi Pola Spasial Ozon (O3)
Pola penyebaran spasial ozon (O3) di Provinsi DIY disajikan pada Gambar
4.3. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa di daerah Provinsi DIY, kualitas ozon
dapat di kelompokan dalam 3 kelompok besar dengan menggunakan software
Arcgis, sehingga didapatkan kelas interval antar kelompok. Dengan pola spasial
kualitas ozon di Provinsi DIY dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu dikategorikan
dengan 14,74 ≤ x ≤ 20,6333 untuk kelompok 1, dikategorikan dengan 20,6334 ≤ x ≤
37
26,526667 untuk kelompok 2, dikategorikan dengan 26,526668 ≤ x ≤ 32,42 untuk
kelompok 3, dan disajikan pada Gambar 5.3 dalam bentuk peta menggunakan
software ArcGis seperti berikut.
Gambar 5. 3 Eksplorasi Pola Spasial Ozon (O3) di Provinsi DIY
Gambar 5.3 Berdasarkan data kualitas Ozon (O3) di Provinsi DIY tahun
2017 memiliki karakteristik yang beragam dan dikelompokan berdasarkan warna.
Berdasarkan data kualitas Ozon tahun 2017 di 25 titik lokasi Provinsi DIY yang
termasuk dalam kelompok 1 ditandai dengan warna putih, dan mendeskripsikan
bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini, memiliki tingkat kualitas ozon
yang rendah dibandingan titik lokasi lain di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki
kualitas Ozon rendah antara lain Simpang tiga toyan, Terminal Wates, Simpang
Empat Ngeplang, Depan Mirota Godean, Depan TVRI, Perempatan Mirota jl.
C.Simanjuntak, Depan Hotel Shapir, Depan UPN Seturan, Depan Ruko Janti, Depan
kantor Kec. Jetis, Depan toko Besi Dongkelan, Perempatan Wojo, Depan kampus
STTL, Perempatan Gose, Depan Kecamatan Patuk, Perempatan Gading, Simpang
Empat siyono, Terminal Wonosari, Perempatan RSUD Wonosari.
38
. Untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 2 ditandai dengan warna
orange dan mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini,
memiliki tingkat kualitas ozon yang sedang dibandingan titik lokasi lain di provinsi
DIY. Titik lokasi yang memiliki kualitas Ozon sedang antara lain Depan GKBI
Medari, Perempatan Denggung, Depan bekas kantor Merapi golf, Depan Hotel
Tentrem, Perempatan Druwo.
Kemudian untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 3 ditandai
dengan warna merah dan mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam
kelompok ini, memiliki tingkat kualitas ozon yang tinggi dibandingan titik lokasi lain
di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki kualitas Ozon tinggi antara lain
Pertigaan teteg/simpang tiga Kulonprogo.
Gambar 5.3 menyajikan informasi bahwa pola penyebaran kualitas ozon
memiliki pola mengelompok. Hal ini dapat diketahui dari beberapa titik lokasi
membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan, cenderung memiliki tingkat
kualitas ozon sama. Sebagai contoh titik lokasi depan kantor kec.Jetis dan depan
TVRI jl. Magelang. Dengan demikian dapat dikatakan ada pengaruh lokasi atau ada
efek spasial.
c. Eksplorasi Pola Spasial Hidrocarbon (HC)
Pola penyebaran spasial Hidrocarbon (HC) di Provinsi DIY disajikan pada
Gambar 5.4. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa di daerah Provinsi DIY,
kualitas Hidrocarbon dapat di kelompokan dalam 3 kelompok besar dengan
menggunakan software Arcgis, sehingga didapatkan kelas interval antar kelompok.
Dengan pola spasial kualitas Hidrocarbon di Provinsi DIY dikategorikan menjadi 3
kelompok yaitu dikategorikan dengan 8,97 ≤ x ≤ 43,96 untuk kelompok 1,
dikategorikan 43,96,0001 ≤ x ≤ 78,9500 untuk kelompok 2, dikategorikan 78,95001
≤ x ≤ 113,94 untuk kelompok 3, dan disajikan pada Gambar 5.1.4 dalam bentuk peta
menggunakan software ArcGis seperti berikut.
39
Gambar 5. 4 Eksplorasi Pola Spasial Hidrocarbon (HC) di Provinsi DIY
Gambar 5.4. Berdasarkan data kualitas Hidrocarbon (HC) di Provinsi DIY
tahun 2017 memiliki karakteristik yang beragam dan dikelompokan berdasarkan
warna. Berdasarkan data kualitas Hidrocarbon tahun 2017 di 25 titik lokasi Provinsi
DIY yang termasuk dalam kelompok 1 ditandai dengan warna putih dan
mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini, memiliki
kualitas hidrocarbon yang rendah dibandingan titik lokasi lain di provinsi DIY. Titik
lokasi yang memiliki kualitas hidrocarbon rendah antara lain Simpang tiga toyan,
Terminal Wates, Pertigaan teteg/simpang tiga Kulonprogo, Simpang Empat
Ngeplang, Depan Mirota Godean, Depan TVRI, Depan GKBI Medari, Perempatan
Denggung, Depan bekas kantor Merapi golf, Depan Hotel Shapir, Depan UPN
Seturan, Depan Ruko Janti, Depan Hotel Tentrem, Depan kantor Kec. Jetis, Depan
toko Besi Dongkelan, Perempatan Wojo, Depan kampus STTL, Perempatan Druwo,
Perempatan Gose, Depan Kecamatan Patuk, Perempatan Gading, Simpang Empat
siyono, Terminal Wonosari, Perempatan RSUD Wonosari.
Titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 2 ditandai dengan warna orange
dan mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini,
40
memiliki kualitas hidrocarbon yang sedang dibandingan titik lokasi lain di provinsi
DIY. Tidak ada titik lokasi yang memiliki kualitas hidrocarbon sedang.
Kemudian untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 3 ditandai
dengan warna merah dan mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam
kelompok ini, memiliki kualitas ozon hidrocarbon yang tinggi dibandingan titik
lokasi lain di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki kualitas hidrocarbon tinggi
antara lain Perempatan Mirota jl. C.Simanjuntak.
Gambar 5.4 menyajikan informasi bahwa pola penyebaran kualitas
hidrocarbon memiliki pola mengelompok. Hal ini dapat diketahui dari beberapa titik
lokasi membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan, cenderung memiliki
tingkat kualitas hidrocarbon sama. Dengan demikian dapat dikatakan ada pengaruh
lokasi atau ada efek spasial.
d. Eksplorasi Pola Spasial Kebisingan
Pola penyebaran spasial Kebisingan di Provinsi DIY disajikan pada Gambar
5.5. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa di daerah Provinsi DIY, kualitas
Kebisingan dapat di kelompokan dalam 3 kelompok besar dengan menggunakan
software Arcgis, sehingga didapatkan kelas interval antar kelompok. Dengan pola
spasial kualitas Kebisingan di Provinsi DIY dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu
dikategorikan dengan 66,2 ≤ x ≤ 71,4 untuk kelompok 1, dikategorikan dengan
71,40001 ≤ x ≤ 75,8 untuk kelompok 2, dikategorikan dengan 75,8001 ≤ x ≤ 78,8
untuk kelompok 3, dan disajikan pada Gambar 5.5 dalam bentuk peta menggunakan
software ArcGis seperti berikut.
41
Gambar 5. 5 Eksplorasi Pola Spasial Kebisingan di Provinsi DIY
Gambar 5.5. Berdasarkan data kualitas Hidrocarbon (HC) di Provinsi DIY
tahun 2017 memiliki karakteristik yang beragam dan dikelompokan berdasarkan
warna. Berdasarkan data Kebisingan tahun 2017 di 25 titik lokasi Provinsi DIY, yang
termasuk dalam kelompok 1 ditandai dengan warna putih dan mendeskripsikan
bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini, memiliki tingkat kebisingan
yang rendah dibandingan titik lokasi lain di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki
tingkat kebisingan rendah antara lain Simpang tiga toyan, Terminal Wates, Pertigaan
teteg/simpang tiga Kulonprogo, Depan bekas kantor Merapi golf, Depan UPN
Seturan, Depan kantor Kec. Jetis, Perempatan Gose, Depan Kecamatan Patuk,
Terminal Wonosari, Perempatan RSUD Wonosari.
Untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 2 ditandai dengan warna
orange dan mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini,
memiliki tingkat kebisingan yang sedang dibandingan titik lokasi lain di provinsi
DIY. Titik lokasi yang memiliki tingakat kebisingan sedang antara lain Simpang
Empat Ngeplang, Depan Mirota Godean, Perempatan Denggung, Perempatan Mirota
42
jl. C.Simanjuntak, Depan Hotel Tentrem, Depan Hotel Shapir, Depan kampus STTL,
Depan toko Besi Dongkelan, Perempatan Gading, Simpang Empat siyono.
Kemudian untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 3 ditandai
dengan warna merah dan mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam
kelompok ini, memiliki tingkat kebisingan yang tinggi dibandingan titik lokasi lain
di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki tingkat kebisingan tinggi antara lain
Depan GKBI Medari, Depan TVRI, Depan Ruko Janti, Perempatan Druwo,
Perempatan Wojo.
Gambar 5.5 menyajikan informasi bahwa pola penyebaran tingkat kebisingan
memiliki pola mengelompok. Hal ini dapat diketahui dari beberapa titik lokasi
membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan, cenderung memiliki tingkat
kebisingan sama. Dengan demikian dapat dikatakan ada pengaruh lokasi atau ada
efek spasial.
e. Eksplorasi Pola Spasial Suhu Udara
Pola penyebaran spasial Suhu Udara di Provinsi DIY disajikan pada Gambar
5.6. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa di daerah Provinsi DIY, kualitas suhu
udara dapat di kelompokan dalam 3 kelompok besar dengan menggunakan software
Arcgis, sehingga didapatkan kelas interval antar kelompok. Dengan pola spasial
kualitas suhu udara di Provinsi DIY dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu
dikategorikan 27,5 ≤ x ≤ 30,166667 untuk kelompok 1, dikategorikan 30,166668 ≤
x ≤ 32,833333 untuk kelompok 2, dikategorikan dengan 32,833334 ≤ x ≤ 39,5 untuk
kelompok 3, dan disajikan pada Gambar 5.6 dalam bentuk peta menggunakan
software ArcGis seperti berikut.
43
Gambar 5. 6 Eksplorasi Pola Spasial Suhu udara di Provinsi DIY
Gambar 5.6. Berdasarkan data kualitas suhu udara di Provinsi DIY tahun
2017 memiliki karakteristik yang beragam dan dikelompokan berdasarkan warna.
Berdasarkan data Suhu udara tahun 2017 di 25 titik lokasi Provinsi DIY, yang
termasuk dalam kelompok 1 ditandai dengan warna putih dan mendeskripsikan
bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini, memiliki tingkat suhu udara
yang rendah dibandingan titik lokasi lain di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki
tingkat suhu udara rendah antara lain Simpang tiga toyan, Pertigaan teteg/simpang
tiga Kulonprogo, Perempatan Denggung, Perempatan Druwo, Simpang Empat
siyono, Perempatan RSUD Wonosari.
Untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 2 ditandai dengan warna
orange mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini,
memiliki tingkat suhu udara yang sedang dibandingan titik lokasi lain di provinsi
DIY. Titik lokasi yang memiliki tingkat suhu udara sedang antara lain Terminal
Wates, Simpang Empat Ngeplang, Depan Mirota Godean, Depan TVRI, Depan UPN
Seturan, Depan Hotel Shapir, Depan kampus STTL.
Kemudian untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 3 ditandai
dengan warna merah mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam
kelompok ini, memiliki tingkat suhu udara yang tinggi dibandingan titik lokasi lain
di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki tingkat suhu udara tinggi antara lain
44
Depan GKBI Medari, Depan bekas kantor Merapi golf, Perempatan Mirota jl.
C.Simanjuntak, Depan Ruko Janti, Depan kantor Kec. Jetis, Depan Hotel Tentrem,
Depan toko Besi Dongkelan, Perempatan Wojo, Perempatan Gose, Terminal
Wonosari, Perempatan Gading, Depan Kecamatan Patuk.
Gambar 5.6 menyajikan informasi bahwa pola penyebaran kualitas suhu
udara memiliki pola mengelompok. Hal ini dapat diketahui dari beberapa titik lokasi
membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan. Dengan demikian dapat
dikatakan ada pengaruh lokasi atau ada efek spasial.
f. Eksplorasi Pola Spasial Kecepatan Angin
Pola penyebaran spasial kecepatan angin di Provinsi DIY disajikan pada
Gambar 5.7. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa di daerah Provinsi DIY, data
kecepatan angin dapat di kelompokan dalam 3 kelompok besar dengan menggunakan
software Arcgis, sehingga didapatkan kelas interval antar kelompok. Dengan pola
spasial kualitas Kecepatan angin di Provinsi DIY dikategorikan menjadi 3 kelompok
yaitu dikategorikan dengan 0,6 ≤ x ≤ 1,366667 untuk kelompok 1, dikategorikan
1,366668 ≤ x ≤ 2,13333 untuk kelompok 2, dikategorikan dengan 1,133334 ≤ x ≤ 2,9
untuk kelompok 3, dan disajikan pada Gambar 5.1.7 dalam bentuk peta
menggunakan software ArcGis seperti berikut.
Gambar 5. 7 Eksplorasi Pola Spasial Kecepatan Angin di Provinsi DIY
45
Gambar 5.7. Berdasarkan data Kecepatan Angin di Provinsi DIY tahun 2017
memiliki karakteristik yang beragam dan dikelompokan berdasarkan warna.
Berdasarkan data kecepatan angin tahun 2017 di 25 titik lokasi Provinsi DIY, yang
termasuk dalam kelompok 1 ditandai dengan warna putih mendeskripsikan bahwa
titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini, memiliki kecepatan angin yang
rendah dibandingan titik lokasi lain di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki
kecepatan angin rendah antara lain yaitu Simpang tiga toyan, Pertigaan
teteg/simpang tiga Kulonprogo, Simpang Empat Ngeplang, Depan Mirota Godean,
Perempatan Denggung, Depan TVRI, Depan bekas kantor Merapi golf, Depan UPN
Seturan, Depan Ruko Janti, Depan kantor Kec. Jetis, Depan Hotel Tentrem,
Perempatan Wojo, Perempatan Druwo, Depan kampus STTL, Perempatan Gose,
Depan Kecamatan Patuk.
Untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 2 ditandai dengan warna
orange mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini,
memiliki kecepatan angin yang sedang dibandingan titik lokasi lain di provinsi DIY.
Titik lokasi yang memiliki kecepatan angin sedang antara lain Depan GKBI Medari,
Depan Hotel Shapir, Depan toko Besi Dongkelan, Perempatan Gading, Terminal
Wonosari.
Kemudian untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 3 ditandai
dengan warna merah mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam
kelompok ini, memiliki kecepatan angin yang tinggi dibandingan titik lokasi lain di
provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki kecepatan angin tinggi antara lain
Terminal Wates, Perempatan Mirota jl. C.Simanjuntak, Simpang Empat siyono,
RSUD Wonosari.
Gambar 5.7 menyajikan informasi bahwa pola penyebaran kecepatan angin
memiliki pola mengelompok. Hal ini dapat diketahui dari beberapa titik lokasi
membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan, cenderung memiliki kecepatan
angin sama. Dengan demikian dapat dikatakan ada pengaruh lokasi atau ada efek
spasial.
46
h. Eksplorasi Pola Spasial Tekanan
Pola penyebaran spasial tekanan di Provinsi DIY disajikan pada Gambar 5.8.
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa di daerah Provinsi DIY, data tekanan dapat
di kelompokan dalam 3 kelompok besar dengan menggunakan software Arcgis,
sehingga didapatkan kelas interval antar kelompok. Dengan pola spasial tekanan
udara di Provinsi DIY dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu dikategorikan
723,9 ≤ x ≤ 733,366667 untuk kelompok 1, dikategorikan dengan
733,366668 ≤ x ≤ 742,833333 kelompok 2, dikategorikan dengan 748,833334 ≤ x ≤
752,3 untuk kelompok 3, dan disajikan pada Gambar 5.8 dalam bentuk peta
menggunakan software ArcGis seperti berikut.
Gambar 5. 8 Eksplorasi Pola Spasial Tekanan di Provinsi DIY
Gambar 5.8. Berdasarkan data Tekanan di Provinsi DIY tahun 2017 memiliki
karakteristik yang beragam dan dikelompokan berdasarkan warna. Berdasarkan data
tekanan tahun 2017 di 25 titik lokasi Provinsi DIY, yang termasuk dalam kelompok
1 ditandai dengan warna putih mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk
dalam kelompok ini, memiliki tingkat tekanan yang rendah dibandingan titik lokasi
lain di provinsi DIY. Titik lokasi yang memiliki tekanan rendah antara lain yaitu
Depan GKBI Medari, Perempatan Gose, Depan Kecamatan Patuk.
47
Untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 2 ditandai dengan warna
orange mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam kelompok ini,
memiliki tekanan yang sedang dibandingan titik lokasi lain di provinsi DIY. Titik
lokasi yang memiliki tekanan sedang antara lain Depan Mirota Godean, Perempatan
Denggung, Depan TVRI, Depan bekas kantor Merapi golf, Perempatan Mirota jl.
C.Simanjuntak, Depan Hotel Shapir, Depan UPN Seturan, Depan Ruko Janti, Depan
kantor Kec. Jetis, Depan Hotel Tentrem, Perempatan Gading, Perempatan RSUD
Wonosari, Simpang Empat siyono, Terminal Wates.
Kemudian untuk titik lokasi yang termasuk dalam kelompok 3 ditandai
dengan warna merah mendeskripsikan bahwa titik lokasi yang termasuk dalam
kelompok ini, memiliki tekanan yang tinggi dibandingan titik lokasi lain di provinsi
DIY. Titik lokasi yang memiliki tekanan tinggi antara lain yaitu Simpang tiga
toyan, Terminal Wates, Pertigaan teteg/simpang tiga Kulonprogo, Simpang Empat
Ngeplang, Depan toko Besi Dongkelan, Perempatan Wojo, Perempatan Druwo,
Depan kampus STTL.
Gambar 5.8 menyajikan informasi bahwa pola penyebaran kecepatan angin
memiliki pola mengelompok. Hal ini dapat diketahui dari beberapa titik lokasi
membentuk suatu kelompok dan saling berdekatan, cenderung memiliki tekanan
sama. Dengan demikian dapat dikatakan ada pengaruh lokasi atau ada efek spasial.
5.1.3 Analisis Regresi Logistik Ordinal
Analisis Regresi Logistik Ordinal dilakukan dengan tujuan untuk menyelidiki
variabel yang berpengaruh terhadap indeks standar pencemaran udara (ISPU). Data
ISPU yang digunakan yaitu data kategori berskala interval, dengan kategori ISPU
yang digunakan lebih dari dua, sehingga bisa dilanjutkan analisis regresi logistik
ordinal. Perhitungan dalam analisis regresi logistik ordinal dilakukan menggunakan
software SPSS 20, selanjutnya akan dibuat model logit regresi logistik ordinal
berdasarkan pendugaan parameternya (Lampiran 5) sebagai berikut :
Logit [ ( )] = 193.740 + 0.363 X1 + 0.059 X2 + 0.502 X3 + 0.000 X4 – 0.756
X5 + 203 X6
Logit [ ( )] = 196.633+ 0.363 X1 + 0.059 X2 + 0.502 X3 + 0.000 X4 – 0.756
X5 + 203 X6
48
Logit [ ( )] = 196.633+ 0.363 X1 + 0.059 X2 + 0.502 X3 + 0.000 X4 – 0.756
X5 + 203 X6
Tanda negatif pada koefisien variabel kecepatan angin (X5) menunjukkan
bahwa semakin rendah kecepatan angin suatu titik lokasi maka cenderung
berhubungan dengan indeks standar pencemaran udara yang lebih rendah (sedang).
Setiap penurunan kecepatan angin sebesar 0,01 m/s maka akan berpeluang sebesar
0.756 indeks standar pencemaran udara yang rendah. Peningkatan kecenderungan
bahwa setiap titik lokasi mempunyai tingkat ISPU dengan kategori sedang lebih
banyak dibanding kategori tidak sehat, sangat tidak sehat, berbahaya.
Sedangkan tanda positif pada koefisien variabel kualitas ozon (X1)
menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas ozon disuatu titik lokasi maka
cenderung berhubungan kualitas udara atau Indeks Standar Pencemaran Udara
(ISPU) yang lebih tinggi (sangat tidak sehat, berbahaya). Begitu pula dengan
variabel lainnya yaitu hidrocarbon (X2), kebisingan (X3), suhu udara (X4), tekanan
(X6), semakin rendah kualitas maka cenderung berhubungan dengan tingkat kualitas
udara yang lebih tinggi (sangat tidak sehat, berbahaya).
Setelah model diperoleh maka diperlukan uji parameter keseluruhan untuk
melihat pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel
dependen.
1. Uji Parameter Secara Keseluruan
Pengujian secara serentak dilakukan untuk memeriksa peran koefisien β
secara keseluruhan atau bersama-sama. Hipotesis yang digunakan dalam uji serentak
adalah:
H0 : β1 = β2= β3 = β4 = β5= β6= 0 (tidak ada pengaruh signifikan antara ozon,
hidrocarbon, kebisingan, suhu udara, kecepatan angin, tekanan terhadap
Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU))
H0 : βk ≠ 0 (minimal ada satu variabel yang berpengaruh signifikan)
Dengan daerah penolakan H0 apabila nilai G2 > ( )
atau p-value < α, dengan
Taraf signifikansi 10 % dan 5%
49
Tabel 5. 3 Nilai statistik uji G2 model regresi logistik ordinal
Statistik G2
df P-value
21.929 6 0.001
Berdasarkan output yang ditunjukan pada tabel 5.3 (Lampiran 2) dapat
dilihat bahwa nilai statistik G2 yang dihasilkan adalah sebesar 21.929 dan nilai
( ) = 12,591 dan ( )
= 10,644 , maka nilai statistik G2 > ( )
, dan
G2 > ( )
, sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yang berarti minimal ada
satu variabel yang berpengaruh signifikan antara ozon, hidrocarbon, kebisingan,
suhu udara, kecepatan angin, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).
Setelah uji signifikansi keseluruhan model selesai dilakukan, yaitu secara
simultan ada pengaruh, maka selanjutnya perlu dilakukan uji secara parsial untuk
menguji pengaruh dari seluruh variabel independent terhadap variabel dependen.
2. Uji Parameter Secara Individu
Setelah diketahui bahwa secara simultan terdapat pengaruh antara variabel
bebas terhadap Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU), selanjutnya dilakukan uji
parsial untuk mengetahui variabel bebas mana yang berpengaruh terhadap ISPU. Uji
yang digunakan adalah uji wald. Hipotesis yang digunakan yaitu :
H0 : βi = 0 (Tidak ada pengaruh signifikan antara variabel bebas terhadap ISPU)
H1 : βi ≠ 0 (Ada pengaruh signifikan antara setiap variabel bebas terhadap ISPU)
Dengan daerah penolakan H0 apabila nilai Wk > ( ) atau p-value < α, dengan
Taraf signifikansi 10 % dan 5% .
Tabel 5. 4 Uji parsial regresi logistik ordinal
Variabel 𝜷 Std.
Error 𝑾 =(
𝜷
(𝜷 ))
p-value
Ozon (X1) 0.363 0.141 6.674 0.010
Hidrocarbon (X2) 0.059 0.033 3.183 0.074
Kebisingan (X3) 0.502 0.205 5.982 0.014
Suhu Udara (X4) 0.000 0.236 0.000 0.999
Kec. Angin (X5) -0.756 1.096 0.476 0.490
Tekanan (X6) 0.203 0.112 3.292 0.070
50
Berdasarkan tabel 5.4 variabel yang signifikan pada α=5% adalah Ozon (X1),
Kebisingan (X3), karena nilai Wk > ( ) (3.84) , nilai P-value < α (0.05).
Namun dengan demikian variabel yang signifikan pada α=10% adalah Ozon (X1),
Hidrocarbon (X2), Kebisingan (X3), dan Tekanan (X6) hal ini karena nilai Wk >
( )( ) atau nilai P-value < α (0.1). maka hasil kriteria uji adalah H0 ditolak
yang berati variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU).
Setelah uji signifikansi secara parsial, yaitu ada variabel yang berpengaruh
signifikan, sehingga perlu dilanjukan interpretasi odds rasio variabel yang signifikan.
3. Odds Ratio
Nilai odds ratio diinterpretasikan sebagai resiko atau kecenderungan ISPU
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi. Karena dalam uji wald dengan α=10,
hanya variabel ozon (X1), hidrocarbon (X2), dan kebisingan (X3) dan Tekanan (X6)
yang mempengaruhi ISPU, sehingga hanya variabel tersebut yang akan dianalisis.
Tabel 5. 5 nilai odds ratio dari variabel signifikan
Variable Odd ratio
𝚿=eβ
Ozon (X1)
Hidrocarbon (X2)
1.43
1.06
Kebisingan (X3) 1.65
Tekanan (X6) 1.22
Dari tabel 5.5 nilai odds ratio Ozon, Hidrocarbon dan kebisingan dan Tekanan
sebesar 1.43, 1.06, 1.65, dan 1.22 . Artinya angka tersebut menunjukkan bahwa :
1. Apabila kualitas ozon disuatu titik lokasi lebih tinggi maka akan berpeluang
ISPU 1.43 kali kualitas ozon disuatu titik lokasi yang rendah, dan akan
menghasilkan ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
2. Apabila hidrocarbon disuatu titik lokasi lebih tinggi maka akan berpeluang
ISPU 1.06 kali hidrocarbon disuatu titik lokasi yang rendah, dan akan
menghasilkan ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
51
3. Apabila kebisingan disuatu titik lokasi lebih tinggi maka akan berpeluang
ISPU 1.65 kali kebisingan disuatu titik lokasi yang rendah, dan akan
menghasilkan ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
4. Apabila tekanan disuatu titik lokasi lebih tinggi maka akan berpeluang ISPU
1.65 kali tekanan disuatu titik lokasi yang rendah, dan akan menghasilkan
ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
Setelah interpretasi odds ratio variabel yang signifikan, maka selanjutanya
melihat seberapa besar ketepatan klasifikasi dari model.
4. Ketepatan Klasifikasi Regresi Logistik Ordinal
Perhitungan ketepatan hasil klasifikasi Indeks standar Pencemaran Udara di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2017 dengan menggunakan model
regresi logistik ordinal. Dengan hasil perhitungan peluang masing masing kategori
ISPU dapat dilihat pada lampiran 6. dengan ketepatan klasifikasi sebagai berikut :
Tabel 5. 6 Ketepatan Klasifikasi Regresi logistik Ordinal
Kategori Jumlah Prediksi tiap Kategori Persentase
Ketepatan 2 3 4 5
2 10 2 0 0 83.33%
3 2 6 0 0 75%
4 0 1 3 0 75%
5 0 0 0 1 100%
Untuk ketepatan klasifikasi keseluruhan prediksi diperoleh dari:
= (
) x 100%
= (
) x 100 % = 80%
Berdasarkan perhitungan ketepatan klasifikasi Indeks Standar Pencemaran
Udara pada tabel 5.6 terlihat bahwa persentase ketepatan model regresi logistik
dalam pengklasifikasian adalah sebesar 80%. Angka ini cukup baik karena ketepatan
klasifikasi lebih dari 50%.
52
5. Uji Multikolonearitas
Sebelum melakukan analisis dengan metode yang akan digunakan yaitu
Geographically Weighted Ordinary Logistic Regression (GWOLR) maka dilakukan
pengujian terhadap data yang digunakan apakah antar variabel prediktor sudah tidak
terjadi multikolinearitas. Berikut ini adalah pengujian multikolinearitas pada variabel
prediktor untuk mengidentifikasi adanya korelasi antar variabel prediktor. Pengujian
multikolinearitas menggunakan kriteria nilai pearson correlation sebagai berikut.
Tabel 5. 7 Koefisien Korelasi antar Variabel Prediktor
X1 X2 X3 X4 X5
X2 -0.197
X3 -0.088 0.131
X4 -0.147 0.266 0.061
X5 -0.201 0.500 -0.145 -0.030
X6 0.027 -0.021 0.157 -0.374 -0.038
Nilai korelasi antara dua variabel prediktor disajikan dalam Tabel 5.7
(Lampiran 4). Dari data tersebut diketahui bahwa tidak terdapat nilai korelasi yang
sangat besar (lebih besar dari 0,95) pada semua variabel. Sehingga dapat dikatakan
bahwa semua variabel tidak terdapat efek multikolinearitas.
5.1.4. Pengujian Efek Spasial
Pada uji kualitas udara dengan metode OLR didapatkan bahwa terdapat kasus
pengaruh kualitas udara. Sementara itu melalui eksplorasi peta dengan pola
penyebaran data didapatkan pola mengelompok sehingga ada pengaruh lokasi.
Dengan demikian dilanjutkan dengan analisis menggunakan metode Geographically
Weighted Ordinary Logistic Regression. Untuk menguji apakah ada pengaruh spasial
maka dilanjukan uji dependensi spasial melalui uji Moran’s I, bertujuan untuk
melihat efek spasial atau pengaruh lokasi pada setiap variabel dengan melihat nilai p-
value dan membandingkan nilainya dengan α (0.05), jika nilai p-value < α (0.05)
maka terdapat efek spasial pada variabel tersebut. Pada pengujian efek spasial
dengan uji Moran’s I pembobot yang digunakan yaitu pembobot distance atau
53
pembobok jarak, dengan perhitungan
. Pembobot distance terdapat pada
lampiran 8. Pengujian dengan menggunakan software R untuk uji Moran’s I
diproleh hasil yaitu :
Tabel 5. 8 Uji Moran’s I
Variabel Moran’s I P-value
ISPU 0.00885 0.9929
Ozon -1.0697 0.2848
Hidrocarbon -1.7254 0.08446
Kebisingan 2.358 0.01837
Suhu udara 0.80733 0.4195
Kecepatan angin 0.14802 0.8823
Tekanan 2.608 0.009106
Dari Tabel 5.8 (Lampiran 9) dapat dilihat variabel yang mempunyai nilai
p-value <α (0.05) yaitu kebisingan dan tekanan atau pada α (0.1) variabel
hidrocarbon, kebisingan dan tekanan memiliki nilai p-value < α (0.1). Berarti
variabel tersebut memiliki efek spasial dan perlu dilanjutkan dengan analisis
GWOLR. Sebagai contoh pada variabel Kebisingan. Hasil uji Moran memberikan
hasil p-value 0,01837 sehingga H0 ditolak. Pengujian tersebut memberikan
kesimpulan bahwa terdapat autokorelasi spasial pada variabel kebisingan. Berarti
nilai kebisingan antar titik lokasi yang berdekatan di Provinsi DIY saling
mempengaruhi. Jadi pada penelitian ini dapat di lanjutkan dengan analisis GWOLR.
5.1.5. Model Geographically Weighted Ordinary Logistic Regression
1. Bandwidth Optimum dan Pembobot
Untuk membuat model GWOLR maka langkah-langkah untuk membuat
model ini adalah dengan memilih bandwidth (h) optimum setiap titik lokasi
penelitian. Dimana pemilihan bandwidth optimum menggunakan kriteria CV.
Selanjutnya bandwidth optimum yang dihasilkan dapat digunakan untuk mencari
54
matriks pembobot di setiap titik lokasi, pada penelitian ini menggunakan pembobot
kernel fixed bisquare.
Pada penelitian nilai bandwidth optimum diproleh dengan perhitungan
menggunakan nilai bandwidth konsep GWR. Dari perhitungan pada software R 3.2.5
didapatkan bandwidth optimum dengan menggunakan pembobot kernel fixed
bisquare sebesar 0.28951 (Lampiran 2). Metode fixed kernel Bisquare
memungkinkan nilai bandwidth optimal untuk tiap lokasi adalah sama atau konstan.
Setelah mendapatkan nilai bandwidth yang optimum untuk pembobot fixed kernel bi-
square, langkah selanjutnya adalah membentuk matriks pembobot untuk setiap
lokasi dengan menggunakan nilai bandwidth yang sama.
Misalkan matriks pembobot dilokasi Depan Ruko Janti (u1 v1) adalah w(u1 v1)
akan dicari nilai pembobotnya dengan rumus:
{( ( )
)
(4.1)
Bentuk matriks pembobot setiap titik lokasi yang akan terbentuk adalah:
W(i) =
[
]
Pembentukan matriks pembobot untuk lokasi depan Ruko Janti, dengan langkah-
langkah:
a. Menentukan nilai bandwidth yaitu 0.2895
b. Menghitung jarak euclidien dengan rumus:
√( ) ( )
Dengan dan merupakan longitude dan latitude lokasi depan Ruko Janti
dan dan longitude dan latitude lokasi depan Ruko Janti.
Lokasi
Lokasi I :J
√( ) ( ( ))
0.0505
Lokasi I :H
√( ) ( ( )
55
Lokasi I : A
√( ) ( ( ) )
c. Membentuk matriks euclidien
Setelah menghitung jarak antar titik lokasi (lampiran 2), nilai tersebut dibuat
dalam bentuk matriks setiap titik lokasi seperti pada lampiran 2.
( )
[
]
d. Membentuk matriks pembobot dengan memberikan bobot pada diagonal-
diagonal matriks menggunakan persamaan 4.1
( ) [ ( )
]
= [ (
) ]
= 1
( ) [ (
)
]
= 0.9400
karena di,j maka ( )
( ) [ (
)
]
= 0.9886
karena di,j maka ( )
( ) [ (
)
]
= 0.3119
56
karena di,j maka ( )
( ) [ (
)
]
= 0.0322
karena di,j maka ( )
Hasil perhitungan pembobot untuk lokasi depan Ruko Janti sebagai pusat tersaji
dalam Tabel 5.9 (lampiran 2).
Tabel 5. 9 Pembobot lokasi depan Ruko Janti
NO Lokasi 𝑾 NO Lokasi 𝑾
1 Depan Ruko Janti 0 1 14 Depan Mirota Godean 0.0782 0.8596
2 Depan kampus STTL 0.0505 0.9400 15 Depan TVRI 0.0531 0.9338
3 Depan UPN seturan 0.0218 0.9887 16 Depan Hotel Shapir 0.0203 0.9902
4 Simpang Empat
Ngelang 0.1924 0.3119
17 Perempatan Denggung
0.0790 0.8566
5 Simpang tiga Toyan 0.2921 0.0003 18 Depan GKBI medari 0.1259 0.6573
6 Pertigaan
teteg/simpang tiga 0.2619 0.0330
19 Depan bekas kantor Merapi
golf 0.0410 0.9603
7 Terminal Wates 0.2726 0.0129 20 Perempatan Mirota 0.0378 0.9662
8 Depan toko Besi
Dongkelan 0.0733 0.8759
21 Depan Kecamatan Patuk
0.0955 0.7942
9 Perempatan Gose 0.1378 0.5980 22 Perempatan Gading 0.1950 0.2984
10 Perempatan Wojo 0.0648 0.9023 23 Simpang Empat siyono 0.2419 0.0912
11 Perempatan Druwo 0.0694 0.8884 24 Terminal Wonosari 0.2689 0.0189
12 Depan Hotel Tentrem 0.0440 0.9543 25 Perempatan RSUD Wonosari 0.2622 0.0322
13 Depan kantor Kec.
Jetis 0.0491 0.9433
Setelah semua nilai Wij dihitung, kemudian nilai Wij yang diperoleh dibuat
menjadi diagonal matriks untuk lokasi depan Ruko Janti. Nilai Wij yang diperoleh
pada tabel 5.9 disusun menjadi diagonal matriks pembobot. Sehingga terbentuk
matriks untuk pembobot fixed kernel bi-square untuk lokasi depan Ruko Janti
(lampiran 2) :
57
𝑾( )
[
]
Untuk membentuk matriks pembobot titik lokasi lain, dengan menggunakan
persamaan 4.1 untuk menentukan bobot diagonal (Wij) matriks. Hasil penghitungan
bobot diagonal untuk matriks pembobot fixed kernel bi-square titik lokasi lain
terlampir.
2. Pengujian Parameter Model GWOLR
Pengujian parameter model GWOLR dengan pembobot fixed kernel bisquare
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara di
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2017 di setiap titik lokasi. Pembentukan model
GWOLR untuk setiap lokasi dengan langkah-langkah sebagai berikut, sebagai contoh
lokasi depan ruko janti :
1. Menginput data yang di perlukan untuk analisis kualitas udara (lampiran 1)
2. Menghitung pembobot setiap lokasi, kemudian disusun menjadi diagonal
matriks pembobot sebesar 25x25 (sebagai contoh lokasi depan ruko janti pada
lampiran 16)
3. Memberikan nilai awal θ, yaitu
(0.01,0.025,0.05,0.001,0.0005,0.0001,0.0025,0.00025,0.00005)
4. Membentuk fungsi θ setiap kategori (lampiran 17)
5. Menghitung nilai ln (L) dari fungsi θ (lampiran 18)
6. Mengitung matriks hessian dan nilai gradien dari fungsi ln (L) setiap titik
lokasi (Lampiran 19)
7. Menginput nilai e sebagai batas error (lampiran 20)
8. Menghitung nilai V(m+1)= Vm – h-1
mGm (lampiran 20)
9. Mengitung ||Vm+1 – Vm|| ≥ e
Jika ya, maka proses iterasi menuju langkah 11, jika tidak, maka proses iterasi
langsung menuju langkah 13
58
10. Menampilkan hasil iterasi Vm+1
11. Mengubah Vm = Vm+1 dan m=m+1 lalu kembali awal menuju langkah 7.
12. Menampikan hasil iterasi Vm+1
Setelah proses iterasi berhenti maka diproleh nilai estimator parameter model
GWOLR. Berikut ini sintak program yang dibuat pada software R untuk estimator
parameter model GWOLR.
Gambar 5. 9 sintak R GWOLR
59
Berdasarkan gambar 5.9 sintak program diatas diproleh nilai estimasi
parameter model GWOLR untuk lokasi ke-a yakni ( ), ( ) ( ),
( ), ( ), ( ), ( ), ( ), ( ), ( ).
Hasil panaksiran parameter GWOLR dapat dilihat pada Tabel 5.1.10. Setiap
lokasi memiliki model yang berbeda-beda. Dengan menggunakan software R versi
3.2.5 diperoleh hasil pada output sesuai (Lampiran 21) dan diperoleh hasil dari
model seperti berikut.
Gambar 5. 10 Penaksiran Parameter model GWOLR setiap lokasi
60
Misalkan pengujian parameter untuk lokasi depan Ruko Janti yang lokasinya pada
koordinat (ui vi). Berdasarkan tabel 5.10, model GWOLR yang terbentuk adalah :
Peluang kategori
( ) = ( )
(
( ) = ( )
(
( )
(
( ) = ( )
(
( )
(
( )
(
( ) = ( )
(
Peluang kategori indeks Standar Pencemaran Udara dipengaruhi oleh nilai
masing masing variabel bebas, sebagai contoh parameter bernilai positif berarti
semakin tinggi kualitas ozon disuatu titik lokasi maka cendrung berhubungan
kualitas udara atau Indeks Standar Pencemaran Udara yang lebih tinggi yaitu sangat
tidak sehat dan berbahaya. Begitu pula dengan variabel lain.
Dan Parameter bernilai negatif berarti semakin rendah tingkat kebisingan
disuatu titik lokasi maka cendrung berhubungan dengan indeks standar pencemaran
udara yang lebih rendah yaitu sedang. Dengan nilai –0.1802 menunjukan bahwa
setiap penurunan tingkat kebisingan sebesar 0.01 dBA maka akan berpeluang 0.1802
indeks standar pencemaran udara rendah. Setelah mendapatkan model selanjutnya uji
secara parsial sebagai berikut.
3. Pengujian Parameter Model GWOLR Secara Serentak
Pengujian parameter model GWOLR secara serentak dilakukan untuk
menguji keberartian koefisien ( ) secara keseluruhan. Dengan hipotesis
adalah sebagai berikut:
61
H0 : ( ) = ( ) = ( )=.....= ( ) = 0 (tidak ada pengaruh
signifikan antara ozon, hidrocarbon, kebisingan, suhu udara, kecepatan angin,
tekanan terhadap Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU))
H0 : ( ) ≠ 0 (minimal ada satu variabel yang berpengaruh signifikan )
Dengan daerah penolakan H0 apabila nilai G2
> , dengan statistik uji
yang digunakan adalah statistik uji G2 . Dengan nilai G adalah :
= -2[∑ ∑ [∑ ( )
∑ ( )
]
∑ ∑ [
( )]
]
= ( ( ) ( ))
Diproleh nilai ln likelihood dengan menggunakan software R 3.2.5 seperti pada
lampiran di sajikan dalam tabel 5.11 sebagai berikut :
Gambar 5. 11 nilai ln likelihood uji G
No Lokasi ln L( ) Ln L( )
1 I -135.7639 -137.4498
2 J -128.0716 -129.8315
3 H -135.4619 -137.0655
4 A -76.28513 -77.55771
5 B -27.77336 -29.47217
6 D -35.13994 -36.45719
7 C -30.9736 -32.34573
8 X -131.038 -132.7389
9 Y -95.35224 -96.72162
10 V -129.4177 -131.1514
11 W -129.4998 -131.2199
12 S -140.6623 -142.3622
13 T -140.4503 -142.1448
14 U -137.1675 -138.8059
15 G -140.1675 -141.8138
16 R -139.4964 -141.2037
17 F -131.5215 -132.9967
18 E -111.5478 -112.8821
19 P -138.4173 -140.0145
20 Q -140.8314 -142.5181
21 Z -92.8027 -94.23908
62
22 AA -38.45209 -39.50982
23 AB -34.28943 -34.96728
24 AC -41.27607 -41.92314
25 AD -38.09729 -38.72424
JUMLAH -2519.9567 -2556.1167
Setelah nilai ln Likelihood diproleh maka dicari nilai G2 sebagai berikut :
= ( ( ) ( ))
G2
= - 2 (- 2556.1167 – (- 2519.9567 )
G2 = 72.32006
Berdasarkan perhitungan diatas dapat dilihat bahwa nilai statistik G2 yang
dihasilkan adalah sebesar 72.32006 dan dibandingkan dengan nilai =10.644
maka nilai statistik G2
> sehingga keputusan tolak H0 yang berarti minimal
ada satu variabel yang berpengaruh signifikan antara ozon, hidrocarbon, kebisingan,
suhu udara, kecepatan angin, tekanan terhadap Indeks Standar Pencemaran Udara
(ISPU).
4. Uji Signifikansi Secara Parsial GWOLR
Uji signifikasi secara parsial untuk menguji variabel independen terhadap
variabel dependen. Dengan menggunakan bantuan software R 3.2.5 maka dapat
diketahui variabel apa saja yang mempunyai pengaruh terhadap ISPU. Dengan
hipotesis yang digunakan adalah :
H0 : variabel independen tidak signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen
H1 : variabel independen signifikan berpengaruh terhadap variabel dependen
Dengan kriteria pengujian Tolak H0 jika |Zhit | > atau -|Zhit | > -
. Dengan
Statistik uji yang digunakan adalah Zhit = ( )
( ( )) , pada tingkat signifikan
10%, dengan nilai standar error pada lampiran
63
Tabel 5. 10 nilai Zhitung GWOLR
LOKASI Z(𝜷 ) Z(𝜷 ) Z(𝜷 ) Z(𝜷 ) Z(𝜷 ) Z(𝜷 )
I 5.813832 -0.469255 -55.378561 13.824083 -0.942439 -145.348617
J -2.836697 -1.623068 -44.060875 3.592966 1.440943 -308.990964
H 8.760370 0.063972 -57.520015 17.563402 -1.999784 -76.278949
A -31.529032 -1.925399 -46.301188 -28.556090 4.333454 -335.785667
B -30.214669 0.206995 -60.245770 2.376744 0.830972 -252.381685
D -31.629744 -0.570953 -63.492255 -13.088232 1.650889 -308.202969
C -31.313916 -0.317621 -63.593185 -8.862460 1.196009 -294.304163
X -16.971651 -1.944234 -34.663854 -9.464100 2.188971 -363.059826
Y -23.842741 -2.306343 -28.653455 -21.866143 3.387392 -388.102290
V -12.018907 -1.866226 -36.101778 -4.297172 1.883854 -361.659438
W -14.267860 -1.924541 -35.244124 -6.656712 2.063359 -363.772026
S -8.915233 -1.176206 -40.394394 1.336841 0.508953 -273.618554
T -10.479447 -1.267257 -39.456419 -0.454742 0.748945 -283.325354
U -17.950276 -1.770962 -37.856076 -10.467588 2.248081 -318.417881
G -8.260484 -1.032498 -41.329608 1.974777 0.376150 -243.933795
R -0.984771 -0.734468 -46.998160 9.106489 -0.511226 -212.552791
F -1.372324 -0.605706 -49.630533 6.366813 0.040895 -123.721073
E -2.455771 -1.352821 -58.458112 -2.802303 3.138278 -55.935606
P 1.914808 -0.228823 -49.119458 12.552617 -1.398818 -139.052265
Q -5.712488 -0.915956 -42.666384 4.916839 -0.065977 -242.015740
Z -6.251496 -3.175381 -41.683614 -10.716789 5.721870 -375.988872
AA -25.887098 -1.242831 -35.899173 -11.488764 1.663992 -230.983197
AB -39.497705 -2.206750 -58.670171 -1.866768 1.293470 -262.974067
AC -41.491704 -0.936722 -59.465943 6.242481 0.306827 -209.540526
AD -38.652460 -0.623349 -59.987776 2.563233 0.208756 -207.204500
Dari tabel 5.10 menunjukkan bahwa pengujian parameter model secara
parsial dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi indeks standar
pencemaran udara(ISPU) untuk tiap titik lokasi di DIY. Dengan menggunakan taraf
signifikansi sebesar 10%, nilai Zhitung yang telah didapatkan untuk masing-masing
parameter di tiap titik lokasi di DIY dibandingkan dengan (
)= 1.645.
Berdasarkan tabel 5.10 untuk titik lokasi I (depan ruko Janti) variabel ozon
(X1), kebisingan (X3), suhu udara (X4), dan tekanan (X6) memiliki nilai Zhitung > Z0.05
64
maka hasil kriteria uji adalah H0 ditolak yang berati variabel tersebut berpengaruh
signifikan terhadap variabel Y (Indeks Standar Pencemaran Udara) dititik lokasi
depan ruko janti dengan mengunakan pembobot fixed kernel bisquare.
Untuk melihat variabel yang signifikan mempengaruhi ISPU pada disetiap
titik lokasi di provinsi DIY melalui gambar peta sebagai berikut:
65
Gambar 5. 12 Pola Spasial Signifikansi Variabel
Hasil detailnya dapat dilihat pada (Lampiran 21). Selanjutnya dapat
dilakukan pengelompokan titik lokasi di DIY berdasarkan variabel-variabel yang
signifikan pada tabel berikut.
Tabel 5. 11 variabel-variabel Signifikan di setiap titik lokasi pada Model GWOLR
Nama Titik Lokasi Jumlah Variabel
Signifikan
Depan Ruko Janti, Depan kampus STTL, Depan UPN seturan,
Simpang Empat Ngelang, Simpang tiga Toyan, Pertigaan
teteg/simpang tiga, Terminal Wates, Depan toko Besi
Dongkelan, Perempatan Gose, Perempatan Wojo, Perempatan
Druwo ,Depan Hotel Tentrem, Depan kantor Kec. Jetis,
Depan Mirota Godean, Depan TVRI , Depan GKBI medari,
Depan bekas kantor Merapi golf, Perempatan Mirota, Depan
Kecamatan Patuk, Perempatan Gading, Simpang Empat
siyono, Terminal Wonosari, Perempatan RSUD Wonosari
23
Ozon (X1)
Simpang Empat Ngelang, Depan toko Besi Dongkelan,
Perempatan Gose, Perempatan Wojo, Perempatan Druwo,
Perempatan Mirota Godean, Depan Kecamatan Patuk,
Simpang Empat siyono.
8
Hidrocarbon
(X2)
Depan Ruko Janti, Depan kampus STTL, Depan UPN seturan,
Simpang Empat Ngelang, Simpang tiga Toyan, Pertigaan
teteg/simpang tiga, Terminal Wates, Depan toko Besi
Dongkelan, Perempatan Gose, Perempatan Wojo, Perempatan
Druwo ,Depan Hotel Tentrem, Depan kantor Kec. Jetis,
Depan Mirota Godean, Depan TVRI ,Depan Hotel Shapir,
Perempatan Denggung, Depan GKBI medari, Depan bekas
kantor Merapi golf, Perempatan Mirota, Depan Kecamatan
Patuk, Perempatan Gading, Simpang Empat siyono, Terminal
Wonosari, Perempatan RSUD Wonosari
25
Kebisingan
(X3)
Tekanan (X6)
66
Depan Ruko Janti, Depan kampus STTL, Depan UPN seturan,
Simpang Empat Ngelang, Simpang tiga Toyan, Pertigaan
teteg/simpang tiga, Terminal Wates, Depan toko Besi
Dongkelan, Perempatan Gose, Perempatan Wojo, Perempatan
Druwo, Depan Mirota Godean, Depan TVRI ,Depan Hotel
Shapir, Perempatan Denggung, Depan GKBI medari, Depan
bekas kantor Merapi golf, Perempatan Mirota, Depan
Kecamatan Patuk, Perempatan Gading, Simpang Empat
siyono, Terminal Wonosari, Perempatan RSUD Wonosari
23
Suhu Udara
(X4)
Depan UPN seturan, Simpang Empat Ngelang, Pertigaan
teteg/simpang tiga, Depan toko Besi Dongkelan, Perempatan
Gose, Perempatan Wojo, Perempatan Druwo, Depan Mirota
Godean, Depan GKBI medari, Depan Kecamatan Patuk,
Perempatan Gading.
11
Kecepatan
Angin (X5)
Berdasarkan Tabel 5.11 dapat dilihat bahwa variabel yang berpengaruh
secara signifikan menggunakan GWOLR pembobot fixed kernel bisquare yaitu di
sebagian besar lokasi adalah kualitas ozon (X1), kebisingan (X3), suhu udara (X4) dan
tekanan (X6) untuk titik lokasi di provinsi DIY.
5. Odds Ratio
Nilai odds ratio diinterpretasikan sebagai resiko atau kecenderungan ISPU
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi. Nilai odds ratio dalam penelitian ini
adalah : ozon (X1), hidrocarbon (X2), kebisingan (X3), suhu udara (X4), kecepatan
angin (X5), tekanan (X6)
Misalkan untuk titik lokasi depan Ruko Janti, dalam uji Z hanya variabel
ozon (X1), kebisingan (X3), suhu udara (X4), tekanan (X6) yang mempengaruhi ISPU,
sehingga hanya variabel tersebut yang akan dianalisis.
Tabel 5. 12 nilai odds ratio variabel signifikan pada titik lokasi Depan Ruko Janti
variabel Odd ratio 𝚿=eβ
Ozon (X1) 1,0798
Kebisingan (X3) 0,8350
Suhu Udara (X4) 1,1087
Tekanan (X6) 0.9533
67
Dari tabel 5.12 nilai odds ratio ozon, kebisingan, suhu udara dan tekanan
sebesar 1.0798, 0.8350, 1.1087, dan 0.9533 . Artinya angka tersebut menunjukkan
bahwa :
1. Apabila ozon di titik lokasi depan Ruko Janti lebih tinggi maka akan
berpeluang ISPU 1.0798 kali kualitas ozon yang rendah, dan akan
menghasilkan ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
2. Apabila kebisingan di titik lokasi depan Ruko Janti lebih tinggi maka akan
berpeluang ISPU 0.8350 kali kebisingan yang rendah, dan akan menghasilkan
ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
3. Apabila suhu udara di titik lokasi depan Ruko Janti lebih tinggi maka akan
berpeluang ISPU 1.1087 kali suhu udara yang rendah, dan akan
menghasilkan ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
4. Apabila tekanan di titik lokasi depan Ruko Janti lebih tinggi maka akan
berpeluang ISPU 0.9533 kali tekanan yang rendah, dan akan menghasilkan
ISPU Y=0 yaitu ISPU berbahaya.
Nilai odds ratio berbeda beda disetiap lokasi, hal ini berdasarkan tingkat
signifikan seriap lokasi berbeda beda. Artinya bahwa semakin besar nilai O3, HC,
kebisingan, suhu udara, kecepatan angin, Tekanan maka peluang mengalami ISPU
tinggi semakin besar.
6. Ketepatan Klasifikasi GWOLR
Perhitungan ketepatan hasil klasifikasi Indeks standar Pencemaran Udara di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2017 dengan menggunakan model
GWOLR. Dengan hasil perhitungan peluang masing masing kategori ISPU dapat
dilihat pada lampiran 27. dengan ketepatan klasifikasi sebagai berikut :
Tabel 5. 13 Ketepatan Klasifikasi Regresi logistik Ordinal
Observasi Prediksi Persentase
Ketepatan 2 3 4 5
2 12 0 0 0 100%
3 6 0 2 0 0 %
4 1 0 3 0 75%
5 0 0 0 1 100%
68
Untuk ketepatan klasifikasi keseluruhan prediksi diperoleh dari:
= (
) x 100%
= (
) x 100 % = 64%
Berdasarkan perhitungan ketepatan klasifikasi Indeks Standar Pencemaran
Udara pada tabel 5.13 terlihat bahwa persentase ketepatan model GWOLR dalam
pengklasifikasian adalah sebesar 64 %. Angka ini cukup baik karena ketepatan
klasifikasi lebih besar dari 50%.
5.1.6 Perbandingan Model Indeks Standar Pencemaran Udara dengan Regresi
Logistik Ordinal dan GWOLR
Perbandingan antara model regresi logistik ordinal dan model Geografically
Weighted Ordinary Logistic Regression untuk mengetahui model yang lebih baik
dalam menggambarkan Indeks Standar Pencemaran Udara di Provinsi DIY tahun
2017. Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai
ketepatan klasifikasi. Pada penelitian ini model yang terbaik adalah model yang
memiliki nilai ketepatan klasifikasi yang terbesar.
Tabel 5. 14 nilai perbandingan model
Model Ketepatan Klasifikasi
RLO 80 %
GWOLR 64 %
Dari hasil analisis pada Tabel 5.14 dapat dilihat bahwa ketepatan hasil
klasifikasi Indeks standar pencemaran udara di Provinsi DIY tahun 2017 dengan
menggunakan model regresi logistik ordinal dan GWOLR menghasilkan nilai yaitu
sebesar 80% dan 64%. Berdasarkan nilai ketepatan klasifikasi tersebut, regresi
logistik ordinal merupakan model yang terbaik karena memiliki nilai ketepatan
klasifikasi model sebesar 80%.
Namun dengan demikian pada penelitian ini yaitu model GWOLR yang lebih
tepat karena untuk analisis pengaruh lokasi, atau yang ada efek spasial.
69
5.2 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran udara di
Kabupaten Bantul dengan aplikasi model regresi spasial berbasis area,
berdasarkan data BPS (2015) Bantul dalam Angka dan BPS (2014), Statistik
Potensi Desa Kab. Bantul
Pada bab ini dibahas gambaran pencemaran udara di Kab. Bantul meliputi peta
tematik dan pola spasial, yang didasarkan data pada lampiran 1, selanjutnya
dilakukan analisis pemodelan spasial. Sebelum dilakukan analisis pemodelan spasial
terlebih dahulu dilakukan pemodelan regresi berganda dengan metode Ordinary
Least Square (OLS). Selanjutnya dilakukan pemodelan spasial berbasis area.
Pemodelan spasial yang digunakan adalah Spatial Autoregrresive Model (SAR),
Spatial Error Model (SEM) dan Spatial Durbin Model (SDM). Dari ketiga model
tersebut kemudian dipilih yang terbaik diantara ketiganya dengan kriteria nilai AIC
terkecil.
5.2.1 Gambaran Pencemaran Udara di Kab. Bantul
Gambaran pencemaran udara di Kab. Bantul berdasarkan data lampiran 1
menggunakan analisis deskriptif, peta tematik dan pola spasial yang ditampilkan
dalam bentuk tabel dan peta.
Terdapat empat variabel yang digunakan dan tiga diantaranya merupakan
faktor yang mempengaruhi pencemaran udara yaitu kepadatan penduduk, jumlah
desa menurut jenis prasarana transportasi, jumlah desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar, dengan masing-masing variabel
mempunyai nilai rata-rata, standar deviasi, variansi serta nilai minimum dan
maksimum. Berikut tabel 5.15 adalah analisis deskriptif statistik berdasarkan output
software PSPP di lampiran 2 :
Tabel 5. 15 Analisis Deskriptif Statistik
Variabel Mean Std.
Deviasi Variance Minimum Maksimum
Jumlah desa tercemar 4,24 1,95 3,82 0 72
Kepadatan penduduk 2028,47 1174,74 138004 650 34484
Jenis prasarana transportasi 4,41 1,66 2,76 2 75
Jenis tempat pembuangan
sampah 4 1,46 2,13 2 68
70
Berdasarkan tabel 5.15 menunjukkan bahwa pada variabel jumlah desa
tercemar memiliki nilai minimum 0 yang berarti terdapat kecamatan yang memiliki
desayangtidak terjadi pencemaran udara.Rata-ratasetiapkecamatan memiliki desa
yang mengalami pencemaran udara sebanyak 4 desa yang terdapat di Kecamatan
Kasihan, Sedayu, Sewon, Jetis, Pandak dan Sanden.
Kepadatan penduduk di 17 Kecamatan di Kabupaten Bantulmempunyai rata-
rata kepadatan sebesar 2028 jiwa/km2dengan kepadatan penduduk paling tinggi
sebesar 4755jiwa/km2. Sedangkan variabel prasarana transportasi darat di Kabupaten
Bantul memiliki rata-rata sebesar 4,41 desa,artinya rata-rata setiap kecamatan
memiliki sejumlah 4 desa yang memiliki prasarana transportasi darat berupa
jalanyang dapat dilalui oleh kendaraan. Kecamatan dengan banyak desa menurut
jenis prasarana transportasi tertinggi memiliki nilai 8 desa, yang artinya
terapatkecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi
darat paling banyak adalah 8 desa yaitu desa yang terdapat di Kecamatan
Banguntapan dan Imogiri.
Kemudian untuk variabel jenis pembuangan sampah memiliki rata-rata sebesar
4 desa,artinyadisetiap kecamatan yang ada di Kabupaten Bantul memiliki 4 desa
menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar. Jumlah
maksimaldesa menurut jenis pembuanan sampah dalam lubang atau dibakar
sebanyak 8 desa yaitu desa yang terdapat di Kecamatan Imogiri.
5.2.2 Peta Tematik Kejadian Pencemaran Udara
Dalam menggambarkan pencemaran udara di Kab. Bantul, penelitian ini
menggunakan peta tematik. Peta tematik merupakan gambaran visualisasi data yang
disajikan dalam bentuk peta. Berikut adalah gambaran pencemaran udara di Kab.
Bantul tahun 2011 dan 2014 yang didasarkan pada data persentase jumlah desa
tercemardi setiap kecamatan.
71
Gambar 5. 13 Peta Tematik Presentase Jumlah Desa Tercemar Tahun 2011 dan 2014
Visualisasi data persentase jumlah desa tercemar di setiapkecamatan
ditunjukkan menggunakan peta tematik, yang bertujuan untuk membuat prioritas
kecamatan yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan pencemaran udara.
Berdasarkan gambar 5.13 tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2011 kejadian
pencemaran udara di Kabupaten Bantul terdapat 7 dari 17 Kecamatan yang
mengalami kejadian pencemaran udara, yakni Kecamatan Sedayu, Kasihan,
Banguntapan, Piyungan, Dlingo, Imogiri dan Sanden. Sedangkan gambar 5.2.2
menunjukkan persentasejumlah desa tercemar pada tahun 2014. Berdasarkan gambar
tersebut dapat diketahui bahwa16 dari 17 kecamatan di Kabupaten Bantul mengalami
terjadinya pencemaran udara.Sejumlah 16 kecamatan tersebut yaitu terdapat di
Kecamatan Sedayu, Kasihan, Sewon, Bantul, Pandak, Srandakan, Sanden, Kretek,
Bambanglipuro, Jetis, Pleret, Banguntapan, Piyungan, Dlingo, Imogiri dan Pundong.
Satu kecamaan yang tidak mengalami pencemaran udara yakni Kecamatan Pajangan.
Berdasarkan perbandingan jumlah desa tercemar dari tahun 2011 dan tahun
2014, diperoleh gambaran bahwa kejadian pencemaran udara di Kabupaten Bantul
mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke 2014. Pada tahun 2011 ada 7 kecamatan
yang mengalami penncemaran, kemudian pada tahun 2014 semua kecamatan
mengalami pencemaran.
5.2.3 Pola Spasial
Pola Spasial digunakan untuk melihat pola persebaran dan hubunganvariabel
antar Kecamatan. Untuk melihat pola spasial variabel peneliti menggunakan software
72
ArcGIS. Pada pola persebaran antar kecamatan ditunjukkan oleh kategorisasi yang
berupa degradasi warna.
1. Pola spasial Jumlah Desa MenurutJenis Pencemaran Udara di Kab. Bantul
Gambar 5.14 menunjukkan pola spasial kecamatan yang tercemar menurut
Jumlah Desa dengan Jenis Pencemaran Udara di Kabupaten Bantul tahun
2014.Pengelompokan kelas interal dibagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut:
1) Angka 0-3 menunjukkan kecamatan yang memiliki 0-3 desa tercemar
yaitu terdapat di Kecamatan Pajangan dan Srandakan.
2) Angka 4-5 menunjukkan kecamatan yang memiliki 4-5 desa tercemar
yaitu terdapat di Kecamatan Sedayu, Kasihan, Sewon, Piyungan, Pleret,
Bantul, Pleret, Jetis, Pandak, Bamanglipuro, Pundong, Sanden dan
Kretek
3) Angka 6-8 menunjukkan kecamatan yang memiliki 6-8 desa tercemar
yaitu terdapat di Kecamatan Banguntapan, Imogiri dan Dlingo.
Gambar 5. 14 Pola spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Pencemaran Udara
Kecamatan dengan banyak desa yang tercemar ditunjukkan dengan warna
sangat pekat, sedangkan kecamatan yang memiliki lebih sedikit desa yang tercemar
ditunjukkan dengan warna lebih terang. Sebagian besarkecamatan yang memiliki
banyak desa tercemarterletak pada kelas interval 6-8 yaitu berada di Kecamatan
Banguntapan, Imogiri dan Dlingo. Menurut pola spasial,dapat diketahui bahwa
73
Kecamatan dengan banyak desa tercemar adalah saling mengelompok dan
berdekatan, sebagai contoh adalah Kecamatan Imogiri dan Dlingo. Sementara itu,
Kecamatan yang berada di wilayah timurlebih memiliki banyak desa tercemar
dibandingkan dengan wilayah lainnya.
2. Pola spasial Kepadatan Penduduk di Kab. Bantul
Dari gambar 5.15 menunjukkan pola spasial kecamatan menurut Kepadatan
Penduduk di Kabupaten Bantul tahun 2014.
Pengelompokan kelas interal dibagi menjadi 3 bagian yaitu sebagai berikut:
1) Angka 650-2018 jiwa/km2menunjukkan kecamatan dengan kepadatan penduduk
lebih rendah yaitu terdapat di Kecamatan Sedayu, Pajangan, Pandak, Srandakan,
Sanden, Kretek, Bambanglipuro, Pundong, Imogiri, Pleret, Dlingo, dan
Piyungan.
2) Angka 2019-3387 jiwa/km2menunjukkan kecamatan yang memiliki kepadatan
penduduk sedang yaitu terdapat di Kecamatan Bantul dan Jetis
3) Angka 2822-4755 jiwa/km2mwnunjukkan kecamatan yang memiliki kepadatan
penduduk paling tinggi yaitu terdapat pada Kecamatan Kasihan, Sewon dan
Banguntapan.
Kecamatan dengan kepadatan penduduk paling tinggiditunjukkan dengan
warna yang paling pekat, sedangkan kepadatan penduduk lebih rendah. Sebagian
besar kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk tinggi terletak pada kelas
interval 3388-4755 jiwa/km2 yaitu berada pada kecamatan Kasihan, Sewon dan
Banguntapan. Menurut pola spasial,dapat diketahui bahwa kepadatan penduduk yang
tinggi adalah saling mengelompok dan berdekatan. Sementara itu kecamatan yang
berada di wilayah utara memiliki dengan kepadatan penduduk yang tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya.
74
Gambar 5. 15 Pola Spasial Kepadatan Penduduk di Kab. Bantul
3. Pola Spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Prasarana Transportasi Darat
Berupa Jalan
Gambar 5.16 menunjukkan pola spasial Jumlah Desa Menurut Jenis
Prasarana Transportasi Darat di Kabupaten Bantul tahun 2014.
Pengelompokan kelas interal dibagi menjadi 3 bagian yaitu sebagai berikut
1) Angka 2-4 menunjukkan kecamatan yang memiliki 2-4 desa menurut jenis
psarana transportasi lebih sedikit yaitu terdapat di Kecamatan Sedayu, Pajangan,
Kasihan, Sewon, Pandak, Bambanglipuro, Srandakan, Sanden, Jetis, dan
Piyungan.
2) Angka 5-6menunjukkan kecamatan yang memiliki 5-6 desa menurut jenis
prasarana transportasi sedang yaitu terdapat di Kecamatan Kretek, Bantul,Pleret
dan Dlingo
3) Angka 7-8 menunjukkan kecamatan yang memiliki 7-8 desa menurut prasarana
transportasi paling banyak yaitu terdapat pada Kecamatan Banguntapan dan
Imogiri.
75
Gambar 5. 16 Pola Spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Prasarana Transportasi Darat
Kecamatan dengan jumlah desa yang memiliki prasarana transportasi darat
paling banyak ditunjukkan warna paling gelap, sedangkan kecamatan dengan jumlah
desa yang memiliki prasarana transportasi untuk kategori sedikitditunjukkan dengan
warna paling terang. Kecamatan dengan jumlah desa yang memiliki banyak
prasarana transportasi darat nerada pada kelas interval 7-8 desa yaitu terdapat di
Kecamatan Banguntapan dan Imogiri.Menurut pola spasial, dapat diketahui bahwa
kecamatan dengan jumlah desa yang memiliki prasarana transportasi paling banyak
memiliki pola random, sebagai contoh adalah Kecamatan Banguntapan dan Imogiri.
Sementara itu, kecamatan yang berada di wilayahutara dan selatan memiliki banyak
desa dengan jenis prasarana transportasi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
4) PolaSpasial Jumlah Desa Menurut Jenis Tempat Pembuangan Sampah
Dalam Lubang atau Dibakar
Gambar 5.17 menunjukkan pola spasial jumlah desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakardi Kabupaten Bantul tahun 2014.
Pengelompokan kelas interal dibagi menjadi 3 bagian yaitu sebagai berikut
1) Angka 2-4menunjukkan kecamatan yang memiliki 2-4 desa menurut jenis
tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakaryang terdapat di
76
Kecamatan Sedayu, Kasihan, Pajangan, Srandakan, Sewon, Bantul, Pandak,
Sanden, Bambanglipuro, Jetis, Pleret, Pundong dan Piyungan.
2) Angka 5-6menunjukkan kecamatan yang memiliki 5-6 desa menurut jenis
tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar yang terdapat di
Kecamatan, Banguntapan, Kretek dan Dlingo.
3) Angka 7-8 menunjukkan kecamatan yang memiliki 7-8 desa menurut jenis
tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar paling banyak yaitu
terdapat pada Kecamatan Imogiri.
Gambar 5. 17 Pola Spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Tempat Pembuangan Sampah
Kecamatan yang memiliki banyak desa menurut jenis pembuangan sampah
dalam lubang atau dibakar ditunjukkan dengan warna yang paling pekat, sedangkan
kecamatan dengansedikitdesa yangmemiliki jenis tempat pembuangan sampah dalam
lubang atau dibakar ditunjukkan dengan warna pling terang. Sebagian besar
Kecamatan yang memiliki banyak desa menurut jenis tempat pembuanagn sampah
dalam lubang atau dibakar terletak pada kelas interval 7-8 yaitu berada di Kecamatan
Imogiri. Menurut pola spasial, dapat diketahui bahwa kecamatan dengan banyak desa
menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar adalah saling
mengelompok sebagai contoh adalah Kecamatan Imogiri. Sementara itu, kecamatan
yang berada di wilayah timur lebih memilikibanyak desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar.
77
5.2.4 Pemodelan Regresi Linear Berganda
Pemodelanregresilinear berganda digunakan dengan metode Ordinary Least
Square (OLS).Berikut tabel 5.16 adalah estimasi parameter model regresi linear
berganda metode OLSberdasarkan output software Rpada lampiran 3:
Tabel 5. 16 Output Regresi Metode OLS
Variabel
Konstanta -1,0620 0,7795 -1,362 0,1962
0,0002 0,0003 0,890 0,3898
0,8777 0,3409 2,574 0,0231 *
0,2405 0,3837 0,627 0,5415
= 0,8756
=
)
Berdasarkan tabel 5.16. diperoleh estimasi pemodelan regresi linear
bergandametode OLS sebagai berikut:
(5. 1)
Secara umum, model dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
1. Jika kepadatan penduduk ( )di Kabupaten Bantul naik sebesar
10.000jiwa/km2maka jumlah desa yang tercemar di Kabupaten Bantul naik
sebesar 2desa.
2. Jika jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat berupa
jalan( )naik sebesar satu jenis prasarana transportasi maka dapatjumlah desa
yang tercemar di Kabupaten Bantul naik sebesar 0,8777 desa.
3. Jika jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau
dibakar ( )naik sebesar satu jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang
atau dibakar maka jumlah desa yang tercemar Kabupaten Bantul naik sebesar
0,2405 desa.
Model regresi OLS yang terbentuk nilai R2 sebesar 0,8756 atau 87,56% berarti
ketiga variabel independen menjelaskan pencemaran udara di Kabupaten Bantul
sebesar 87,56% sedangkan sisanya sebesar 12,44% dijelaskan oleh variabel lain
diluar model, selanjutnya melakukan pengujian asumsi klasik model regresi OLS.
78
1. Pengujian Asumsi Klasik
Pada regresi linear berganda denganmetode OLS diasumsikandiantaranya
normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi.
1) Normalitas
Pengujian ini menggunakan uji Shapiro Wilk. Tabel 5.17 berikut menunjukkan
hasil uji normalitas berdasarkan output yang dihasilkan software Rseperti pada
lampiran 3:
Tabel 5. 17 Output Shapiro Wilk
Nilai
Shapiro-Wilk test 0,5453
Diperoleh nilai Shapiro-Wilksebesar0,5453 yang kurang dari W(α,n) = 0,892
atau p-value = yangkurang dari α = 0,05maka maka H0 ditolak.
Dengan demikian, residual tidak berdistribusi normal sehingga asumsi tidak
terpenuhi.
Multikolinearitas
Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) .
Jika nilai VIF ≥ 10 maka terjadi multikolinearitas (Imam Ghozali, 2013: 106). Tabel
5.18 berikut menunjukkan uji multikolinearitas berdasarkan output yang dihasilkan
software R seperti pada lampiran 3:
Tabel 5. 18 Output Variance Inflation Factor (VIF)
Variabel VIF
2,4870
8,7740
8,5634
Diperoleh nilai VIF variabel yang kurang dari 10 maka H0 tidak
ditolak. Dengan demikian, tidak terjadi multikolinieritas antar variabel independen
pada model sehingga asumsi terpenuhi.
79
2) Heteroskedastisitas
Tabel 5.19 berikut menunjukkan uji heteroskedastisitas dengan Breusch-Pagan
test berdasarkan output yang dihasilkan software R seperti pada lampiran
Tabel 5. 19 Output Breusch-Pagan
Nilai
Breusch-Pagan
test
1,9076 0,5918
Diperoleh nilai Breusch-Pagan test sebesar 1,9076 <X2(0,05,3) = 7,815atau p-
value = 0,5918 yang lebih besar dari nilai maka H0 tidak ditolak.
Dengan demikiansehingga diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat gejala
heteroskedastisitas sehingga asumsi kehomogenan variansi terpenuhi.
3) Autokorelasi
Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dilakukan menggunakan metode
uji Durbin-Watson. Tabel 5.20 berikut menunjukkan hasil uji autokorelasi
berdasarkan output yang dihasilkan software R seperti pada lampiran 3:
Tabel 5. 20 Output Durbin-Watson
Nilai
Durbin-Watson
Test
1,8244 0,318
Diperoleh nilai Durbin-Watson sebesar 1,8244. Nilai tersebut dibandingkan
dengan tabel Durbin-Watson. Diketahui nilai dan maka nilai
; . Nilai > maka 𝐻0 tidak
ditolak. Dengan demikian tidak terdapat autokorelasi sehingga asumsi terpenuhi.
2. Pengujian Signifikansi Parameter
Untuk melihat hubungan antar variabel independen terhadap variabel dependen
dilakukan uji signifikansi parameter. Pada pengujian inidilakukan dua jenis
pengujian yaitupengujian signifikansi parameter baik secara bersama-sama dengan
80
uji F dan secara parsial atau individu dengan uji t. Berdasarkan nilai hasil uji statistik
pada tabel 5.21 sehingga dapat dilakukan pengujian signifikansi parameter sebagai
berikut:
1. Pengujian signifikansi parameter (uji F) diperoleh bahwa nilai
yang lebih dari ( ) = 8,73 dan yang kurang
dari maka 𝐻 ditolak artinya minimal ada satu dari tiga variabel
independen yang memiliki pengaruh terhadap variabel .
2. Pengujian parameter uji t
Pada pengujian ini terdapat 3 variabel independen yang diuji guna mengetahui
pengaruh hubungan terhadap variabel Y. Diperoleh kesimpulan yaitu:
i. Variabel kepadatan penduduk (X1) terhadap variabel
Diperoleh bahwa nilai sebesar 0,890 < ( ) atau
maka 𝐻 tidak ditolak artinya tidak
terdapat pengaruhvariabel kepadatan penduduk terhadap variabel .
ii. Variabel prasarana transportasi (X2) terhadap variabel
Diperoleh nilai sebesar ( ) dan
maka 𝐻 ditolak artinya terdapat
pengaruhvariabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi
terhadap variabel .
iii. Variabel jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau
dibakar( ) terhadap variabel
Diperoleh bahwa nilai sebesar 0,627
< ( ) dan maka 𝐻
tidak ditolak artinya tidak terdapat pengaruhvariabel jumlah desa
menurut jenis pembuangan sampah terhadap variabel .
Setelah dilakukan pengujianpengujian signifikansi parameter menggunakan uji t
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat satu variabel penelitian signifikan pada taraf
, yakni variabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat( ),
sedangkan dua variabel penelitian yakni variabel kepadatan penduduk ( )dan
jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau
dibakar( )tersebut tidak signifikan. Sehingga akan dilakukan estimasi pemodelan
81
regresi metode OLS terhadap variabel yang signifikan. Berikut tabel hasil estimasi
pemodelan regresi metode OLS parameter signifikan :
Tabel 5. 21 Hasil Estimasi Parameter Signifikan
Variabel
Konstanta -0,6000 0,5185 -1,157 0,265
1,0960 0,1104 9,929
= 0,8679
=
AIC = 41,56525
Dengan demikian diperoleh estimasi pemodelan regresi OLS sebagai berikut:
(5. 2)
Secara umum, model dapat diinterpretasikan bahwa jika jumlah desa menurut
jenis prasarana transportasi darat( )naik sebesar satu jenis prasarana transportasi
darat, dan faktor lain tetap atau konstan maka jumlah desa yang tercemar di
Kabupaten Bantul naik sebesar 1,0960 desa.
Model regresi metode OLS dengan variabel mempunyai nilai sebesar
0,8679 atau yang berarti bahwa variabel dapat menjelaskan jumlah desa
yang tercemar oleh pencemaran udara di Kabupaten Bantul sebesar 86,79%
sedangkan sisanya sebesar 13,21% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.
Hasil uji signifikansiparameter diperoleh nilai sebesar
( ) dan maka 𝐻 ditolak
artinya terdapat pengaruh variabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi
terhadap variabel .
5.2.5 Pengujian Efek Spasial
Setelah dilakukan pengujian regresi linear berganda menggunakan metode
OLS antara variabel independen( )dan variabel dependen ( )yang diasumsikan
normalitas, heteroskedastisitas, multikolinearitas dan autokorelasi, maka diperoleh
kesimpulan bahwa terdapat asumsi yang tidak terpenuhi, yaitu normalitas. Sehingga
dapat diindikasikan terjadinya pengaruh tata letak geografi atau efek spasial.
Pengujian efek spasial digunakan uji Lagrange Multiplier (LM) danMorans’I.
82
Sebelum dilakukan pengujian Morans’I terlebih dulu ditentukan matriks pembobot
spasial, yang digunakan untuk mengetahui gambaranketetanggaan yang memiliki
kejadian secara spasial antara wilayah satu dengan lainnya. Dalam penelitian ini
wilayah yang dimaksud adalah 17 kecamatan di Kab. Bantul.
1. Pembobot Spasial Rook Continguity
Sebelum dilakukan analisis pemodelan spasial ditentukan pembobot spasial.
Pembobot spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rook Contiguity yaitu
matriks yangmendefinisikan jika suatu wilayah i bersisian dengan wilayah j maka
akan diberikan nilai pembobot , dan untuk yang tidak bersisian.
Berdasarkan gambar 5.2.1. diperoleh hubungan ketetanggaan tiap kecamatan di
Kabupaten Bantul sebagai berikut:
Tabel 5. 22 Hubungan Ketetanggaan Tiap Kecamatan di Kab. Bantul
No Kecamatan Jumlah
Tetangga Tetangga
1. Kasihan 4 Pajangan, Sewon, Bantul dan Sedayu
2. Banguntapan 3 Piyungan, Pleret dan Sewon
3. Sedayu 2 Pajangan dan Kasihan
4. Piyungan 3 Pleret, Banguntapan dan Dlingo
5. Sewon 6 Kasihan, Pajangan, Bantul, Jetis, Pleret dan
Banguntapan
6. Pajangan 5 Sedayu, Kasihan, Sewon, Bantul dan Pandak
7. Pleret 6 Banguntapan, Sewon, Jetis, Imogiri, Dlingo
dan Piyungan
8. Bantul 6 Sewon, Kasihan, Pajangan, Pandak,
Bambanglipuro dan Jetis
9. Dlingo 3 Piyungan, Pleret dan Imogiri
10. Jetis 6 Sewon, Bantul, Bambanglipuro, Pundong,
Imogiri dan Pleret
11. Pandak 6 Pajangan, Bantul, Bambanglipuro, Kretek,
Sanden dan Srandakan
12. Imogiri 4 Pleret, Jetis, Pundong dan Dlingo
13. Bambanglipuro 5 Bantul, Pandak, Kretek, Pundong dan Jetis
83
14. Srandakam 2 Pandak dan Sanden
15. Pundong 4 Bamanglipuro, Jetis, Imogiri dan Kretek
16. Sanden 3 Srandakan, Kretek dan Pandak
17. Kretek 4 Sanden, Pandak, Bambanglipuro dan Pundong
Tabel 5.22 menunjukkan bahwa kecamatan dengan jumlah tetangga terbanyak
adalah Kecamatan Sewon, Pleret, Bantul, Jetis, dan Pandak dengan banyak tetangga
sebanyak 6 tetangga yang berarti bahwa pencemaran udara di Kecamatan Bantul
mempengaruhi dan dipengaruhi secara signifikan oleh 6 tetangga yaitu Sewon,
Pleret, Bantul, Jetis dan Pandak. Sedangkan Kecamatan yang mempunyai tetangga
paling sedikit adalah Kecamatan Srandakan dan Sedayu dengan tetangga sebanyak
2 tetangga yang berarti bahwa pencemaran udara di Kecamatan tersebut hanya
dipengaruhi dan mempengaruhi 2 tetangga. Berdasarkan aturan pembobotan spasial
rook continguity maka dapat dibentuk hasil perhitungan matrik ukuran
yang belum distandarisasi sebagai berikut:
[ ]
Selanjutnya dengan menggunakan persamaan 2.20 matriks pembobot diatas
akan di standarisasi dengan menggunakan row standardization yang didasarkan pada
jumlah tetangga pada satu baris yang sama guna penyetaraan nilai pembobotan,
berikut disajikan matriks pembobot Rook contiguity dalam bentuk standard :
84
[
]
Dari hasil perhitungan matriks pembobot diatas diketahui terdapat hubungan
ketetanggaan tiap Kecamatan. Selanjutnya dilakukan pengujian efek spasial.
2. Uji Morans’I
Pengujian yang digunakan untuk mengidentifikasi autokorelasi antar lokasi
(Kecamatan) terhadap masing-masing variabel adalah menggunakan uji Moran’s I.
85
Adapun nilai masing-masing Morans’I pada variabel-variabel penelitian yang
diperoleh menggunakan program R, sehingga diperoleh tabel berikut:
Tabel 5. 23 Hasil Uji Morans’I
Variabel Morans’I ( )
-0,0026 -0,0625 0,4150 0,6781
0,2350 -0,0625 2,0373 0,04162 *
-0,2502 -0,0625 0,2588 0,7958
0,0314 -0,0625 0,6827 0,4948
)
( )
( )
( )
Berdasarkan tabel diatas akan diuji autokorelasi kejadian antar lokasi
menggunakan uji Moran’s I. Sebagai contoh untuk variabel Y. Dengan hipotesis
sebagai berikut:
𝐻 (Tidak terdapat keterkaitan antar wilayah Kecamatan di Kab.Bantul)
𝐻 (Terdapat keterkaitan antar wilayah Kecamatan di Kab. Bantul)
Dengan tingkat signifikansi , dan diperoleh nilai
< atau maka 𝐻 tidak
ditolak. Artinya tidak terdapat autokorelasi spasial pada data jumlah desa menurut
jenis pencemaran udara antar kecamatan di Kabupaten Bantul.Diperoleh nilai
( ) . Artinya terdapat autokorelasi positif atau
dengan kata lain, banyak kecamatan dengan desa yang tercemar yang tinggi akan
berdekatan dengan kecamatan desa yang tercemar yang tinggi juga.
Dengan cara yang sama akan dilakukan pula pengujian hipotesis Morans’I pada
variabel .
1) Variabel
Berdasarkan nilai dan
maka 𝐻 ditolak. Artinya terdapat autokorelasi
spasial atau terdapat keterkaitan pada data kepadatan penduduk di Kabupaten
Bantul.
86
Diperoleh nilai ( ) . Artinya terdapat
autokorelasi positif atau dengan kata lain, banyak kecamatan dengan kepadatan
penduduk yang tinggi akan berdekatan dengan kecamatan dengan kepadatan
penduduk yang tinggi juga.
2) Variabel
Berdasarkan nilai dan
maka H0 tidak ditolak. Artinya tidak terdapat
autokorelasi spasial atau tidak ada keterkaitan pada data jumlah desa menurut
jenis prasarana transportasi antar kecamatan di Kabupaten Bantul.
Diperoleh nilai ( ) . Artinya ada
autokorelasi positif atau dengan kata lain, banyak kecamatan dengan jumlah
desa menurut jenis prasarana transportasi yang tinggi akan berdekatan dengan
kecamatan dengan jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi yang
tinggi juga.
3) Variabel
Berdasarkan nilai dan
maka H0 tidak ditolak. Artinya tidak terdapat
autokorelasi spasial atau tidak ada keterkaitan pada data jumlah desa menurut
jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar antar kecamatan
di Kabupaten Bantul.
Diperoleh nilai ( ) . Artinya ada
autokorelasi positif atau dengan kata lain, banyak kecamatan dengan jumlah
desa menurut jenis tempat pembuanangan sampah dalam lubang atau dibakar
yang tinggi akan berdekatan dengan kecamatan dengan jumlah desa menurut
jenis tempat pembuanangan sampah dalam lubang atau dibakar yang tinggi
juga.
Untuk melihat hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi (distandarisasi)
dengan rata-rata nilai amatan dari lokasi-lokasi yang bertetanggan dengan lokasi
yang bersangkutan (Lee dan Wong, 2001) digunakanMorans’I Scatterplot. Berikut
adalah output dari Moran’s I scatterplot :
87
Gambar 5. 20 Morans’I Scatterplot Gambar 5. 21 Morans’I Scatterplot
Gambar 5.18 menunjukkan bahwa pengelompokan pola data variabel dependen
berada pada kuadran I, II,III dan IV. Hal ini berarti bahwa pada kuadran Ikecamatan
yang memiliki jumlah desa tercemar yang tinggi dikelilingi oleh kecamatan yang
memiliki jumlah desa tercemar yang tinggi juga, yaitu Kecamatan Dlingo dan
Imogiri.Pada kuadran II menunjukkan kecamatan yang memiliki jumlah desa
tercemar tinggi dikelilingi oleh kecamatan yang memiliki jumlah desa tercemar
rendah, yaituKecamatan Banguntapan. Pengelompokan di kuadran III kecamatan
yang memiliki jumlah desa tercemaryang rendah dikeilingi olehkecamatan yang
memiliki jumlah desa tercemaryang rendah juga yaitu Kecamatan Sedayu, Kasihan,
Sewon, Bantul, Pandak, Bambanglipuro, Sanden, Kretek, Pundong, Jetis, Pleret dan
0 2 4 6 8
23
45
6
as.vector(Y)
spa
tially
lag
ge
d a
s.ve
cto
r(Y
)
1
5
11
1000 2000 3000 4000
16
00
18
00
20
00
22
00
24
00
26
00
28
00
as.vector(X1)
sp
atia
lly la
gg
ed
as.v
ecto
r(X
1) 1
45
2 3 4 5 6 7 8
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
as.vector(X2)
sp
atia
lly la
gg
ed
as.v
ecto
r(X
2)
1
3
11
2 3 4 5 6 7 8
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
as.vector(X3)
sp
atia
lly la
gg
ed
as.v
ecto
r(X
3)
11
Gambar 5. 18 Morans’I Scatterplot Gambar 5. 19 Morans’I Scatterplot
88
Piyungan. Sedangkan kuadran IV kecamatan yang memiliki jumlah desa tersemar
tinggi dikelilingi oleh kecamatan yang memiliki desa tercemar yang rendah, yaitu
Kecamatan Banguntapan
Pada gambar Gambar 5.19 menunjukkan bahwa pola data variabel berada
pada kuadran I dan II dan III. Berada di kuadran I berarti bahwa kecamatan yang
memiliki kepadatan penduduk tinggi dikelilingi oleh kecamatan yang memiliki
penduduk yang tinggi juga.Pada kuadran II menunjukkan kecamatan yang memiliki
jumlah penduduk tinggi dikelilingi oleh kecamatan yang memiliki jumlah penduduk
yang rendah.Sedangkan pengelompokan pada kuadran III menunjukkan kecamatan
yang memiliki kepadatan penduduk rendah dikelilingi oleh kecamatan dengan
kepadatan penduduk yang rendah juga.
Gambar 5.20 menunjukkan bahwa pola data variabel berada pada kuadran
I, II, III dan IV. Pada kuadran I kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi tinggi berkelompok dengan kecamatan yang memiliki jumlah
desa menurut jenis prasarana transportasi juga. Kuadran II menunjukkan kecamatan
yang memiliki jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi tinggi berkelompok
dengan kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi
rendah. pada kuadran III kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi rendah berkelompok dengan kecamatan yang memiliki jumlah
desa menurut jenis prasarana transportasi yang rendah.Sedangkan pada kuadran IV
kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi rendah
berkelompok dengan kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi yang tinggi.
Sedangkan pada Gambar 5.21 menunjukkan bahwa pola data variabel yang
berada pada kuadran I, II, III dan IV. Kuadran I menunjukkankecamatan yang
memiliki jumlah desa menurut jenis pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar
yang tinggi dikelilingi oleh kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar yang tinggi juga. Kuadran II
menunjukkankecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis pembuangan
sampah dalam lubang atau dibakar yang rendah dikelilingi oleh kecamatan yang
memiliki jumlah desa menurut jenis pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar
yang tinggi. Kuadran III menunjukkankecamatan yang memiliki jumlah desa
89
menurut jenis pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar yang rendahdikelilingi
oleh kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis pembuangan sampah
dalam lubang atau dibakar yang rendah juga. Sedangkan pada kuadran IV
menunjukkankecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis pembuangan
sampah dalam lubang atau dibakar yang tinggi dikelilingi oleh kecamatan yang
memiliki jumlah desa menurut jenis pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar
yang rendah.
3. Uji Lagrange Multiplier (LM)
Uji LM digunakan untuk mengetahui dependensi spasial dalam lag dan error.
Tabel 5.24 berikut menunjukkan uji dependensi spasial menggunakan Lagrange
Multiplier berdasarkan output yang dihasilkan software R seperti pada lampiran 6
sebagai berikut:
Tabel 5. 24 OutputLagrange Multiplier
No Uji dependensi spasial Nilai
1 Lagrange Multiplier lag 0,022 0,882
2 Lagrange Multiplier error 0,004 0,948
Berdasakan Tabel 5.24 diketahui bahwa nilai statistik
( ) dan p-value sebesar maka𝐻 tidak ditolak
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat dependensi spasial dalam lag.
Sedangkan nilai statistik uji ( ) dan p-value adalah
maka𝐻 tidak ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat dependensi spasial pada .
5.2.6 Pemodelan Spasial Berbasis Area
Pada penelitian ini pemodelan spasial digunakan sebab pada asumsi pengujian
regresi metode OLS terdapat beberapa asumsi yang tidak terpenuhi, yaitu normalitas.
Pemodelan regresi spasial yang digunakan adalah SAR, SEM dan SDM. Dariketiga
model tersebut dilakukan perbandingan dengan menggunakan kriteria nilai AIC
90
yangbertujuan untuk mendapatkan pemodelan yang terbaik pada kasus pencemaran
udara di kabupaten bantul.
1. Pemodelan Spatial Autoregressive Model(SAR)
Berikut adalah estimasi parameter pada model SAR dengan mengunakan
program R (lampiran 8) dapat disajikan sebagai berikut:
Tabel 5. 25 Estimasi Parameter Model SAR
Variabel Koefisien
-1,1021 0,9855 -1,1183 0,2634
0,0002 0,0002 1,0224 0,3066
0,8781 0,2984 2,9421 0,0033*
0,2398 0,3358 0,7141 0,4751
0,0094 0,1674 -0,05611 0,95525
AIC = 46,55
*) signifikan pada
Selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi parameter untuk menentuan
variabel independen pada model SAR yang digunakan. Dari tabel 5.25 dapat diambil
keputusan bahwa pada taraf signifikansi 5% variabel independen yang memberikan
pengaruh adalah variabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi ( ). Hal
ini ditunjukkan oleh nilai an
maka tolak 𝐻 .Tahapan selanjutnya adalah meregresikan
kembali variabel independen yang signifikan terhadap variabel untuk mendapatkan
model terbaik. Berikut adalah tabel hasil uji SAR dengan variabel yang signifikan
yaitu ( ).
Tabel 5. 26 Output Model SAR yang Signifikan
Variabel
-0,5788 0,8855 -0,6535 0,5134
1,0960 0,1038 10,5582
-0.0050 0,1706 -0,0298 0,9762
AIC = 43.564
91
Sehingga didapat model spasial dengan variabel signifikan yaitu variabel
jumlah desa menurut jenis pencemaran udara. Berikut persamaan modelnya:
(5. 3)
Secara umum model dapat diintepretasikanyaitu jika jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi ( )pada suatu kecamatannaik satu jenis prasarana
transportasi, dan faktor lain tetap atau konstan maka jumlah desa menurut jenis
pencemaran udara di kabupaten bantulnaik sebesar 1,0960 desa.Model regresi yang
terbentuk mempunyai nilai AIC sebesar 43.564.
Koefisien menunjukkan spasial lag variabel jumlah desa tercemar memiliki
nilai estimasinya adalah -0.0050. Angka ini menunjukkan bahwa kecamatan yang
bertetanggan dengan Kecamatan lain yang memiliki jumlah desa tercemar tinggi
maka akan memiliki jumlah desa tercemar yang rendah. Sebagai contoh kecamatan
Banguntapan.
2. PemodelanSpatial Error Model (SEM)
Estimasi parameter pada model SEM dengan mengunakan program R
(lampiran 2) dapat disajikan pada berikut:
Tabel 5. 27 Output Model SEM
Variabel Koefisien
-1,0482 0,6819 -1,5372 0,1243
0,0002 0,0002 0,9243 0,3553
0,8878 0,3034 2,9262 0,0034*
0,2355 0,3416 0,6895 0,4905
-0,07139 0,3478 -0,2102 0,8335
AIC = 46,522
*) signifikan pada
Dari tabel 5.27 dapat diambil keputusan bahwa pada taraf signifikansi
variabel independen yang memberikan pengaruh terhadap variabel adalah jumlah
desa menurut jenis prasarana transportasi ( ). Hal ini ditunjukkan oleh nilai
dan yakni
tolak 𝐻 . Tahapan selanjutnya adalah meregresikan kembali variabel independen
yang signifikan terhadap variabel untuk mendapatkan model terbaik. Tabel 5.14
92
berikut adalah hasil output untuk model SAR dengan variabel yang signifikan
menggunakan program R pada lampiran:
Tabel 5. 28 Output Model SEM yang Signifikan
Variabel
-0,6481 0,4707 -1,3768 0,1686
1,1053 0,1022 10,8172
-0,2014 0,3566 -0,5649 0,5538
AIC = 43.215
Sehingga didapat model spasial dengan variabel signifikan yaitu variabel
jumlah desa menurut jenis pencemaran udara. Berikut persamaan modelnya:
(5. 4)
Hasil analisis SEM diperoleh satu variabel yang signifikan, yaitu jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasidarat berupa jalan yang dilalui kendaraan( ),
Pada pemodelan SEM diperoleh nilai AIC sebesar 43,215.Secara umum, persamaan
4.4 dapat diinterpretasikan sebagai berikut :Jika jumlahdesa menurut jenis prasarana
transportasi ( )pada suatu desa di kecamatan naik sebesar satu jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi, dan faktor lain tetap atau konstan maka jumlah
desa tercemar naik sebesar 1,1053.
Koefisien menunjukkan spasial lag pada error yang bernilai negatif.
3. Pemodelan Spatial Durbin Model (SDM)
Setelah dilakukan uji efek spasial SAR diperoleh kesimpulan bahwa tidak
terdapat autokorelasi spasial pada lag sehingga dilakukan pengujian menggunakan
model SDM yang bertujuan untuk mendapatkan hasil adanya efek spasial lag pada
variabel .Tabel 5.29 berikut adalah hasil output untuk model SDM
menggunakan program Rpada lampiran 8:
Tabel 5. 29 Output Spatial Durbin Model
Parameter Estimate
(intercept) 1,9903 1,3535 1,4705 0,1414
93
0,0004 0,0001 2,9378 0,0033*
1,1694 0,2147 5,4459 *
-0,1721 0,2479 -0,6944 0,4874
-0,0021 0,0005 -4,4604 *
1,5129 0,4733 3,1962 0,0013*
-0,9838 0,5682 -1,7316 0,0833
-0,3626 0,2777 -1,3057 0,19164
AIC = 33,058
*) signifikan pada
Berdasarkan tabel 5.29 diperoleh pemodelan SDM adalah sebagai berikut:
∑
∑ ∑ ∑
(4. 5)
Nilai estimasi parameter , , menunjukkan koefisien regresi non
spasial dan nilai estimasi parameter , , menunjukkan parameter lag
spasial pada variabel independen. Nilai estimasi parameter menunjukkan pengaruh
spasial lag variabel dependen.
Estimasi parameter bernilai -0,3626 dan koefisien parameter bernilai negatif
menunjukkan bahwa suatu Kecamatan akan memiliki jumlah desa yang tercemar
yang rendah jika berdekatan dengan Kecamatan yang memiliki jumlah desa tercemar
tinggi.
Estimasi parameter bernilai 0,0004 dan nilai estimasi parameter bernilai
-0,0021. Koefisien parameter lag kepadatan penduduk bernilai negatif, menunjukkan
bahwa Kecamatan yang kepadatan penduduknya rendah dan bersebelahan dengan
Kecamatan yang kepadatan penduduknya rendah akan memiliki kecamatan dengan
jumlah desa yang tercemar tinggi.Sehingga hal ini menunjukkan jika kepadatan
penduduk menurun maka Kecamatan dengan jumlah desa yang tercemar akan
meningkat.
Estimasi parameter bernilai 1,1694 dan nilai estimasi parameter bernilai
1,5129. Koefisien parameter lag jumlah desa menurut prasarana transportasi bernilai
94
positif, menunjukkan bahwa Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut
prasarana transportasi tinggi dan bersebelahan dengan Kecamatan yang memiliki
jumlah desa menurut prasarana transportasi tinggi akan memiliki kecamatan dengan
jumlah desa yang tercemar tinggi juga. Sehingga hal ini menunjukkan jika
Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut prasarana transportasi tinggi maka
akan meningkatkan jumlah desa yang tercemar.
Estimasi parameter bernilai -0,1721 dan nilai estimasi parameter
bernilai -0,9838. Koefisien parameter lag jenis tempat pembuangan sampah dalam
lubang atau dibakar bernilai negatif, menunjukkan bahwa Kecamatan yang memiliki
jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar
rendah dan bersebelahan dengan Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut
jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar rendah juga. Sehingga
hal ini menunjukkan jika Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut prasarana
transportasi rendah maka jumlah desa yang tercemar akan meningkat.
Untuk menguji residual dari model durbin spasial apakah berdistribusi normal
atau tidak, dapat menggunakan uji Shapiro Wilk atau nilai p-value. Pada lampiran 8
diperoleh nilai uji Shapiro Wilk sebesar ( ) dan
artinya bahwa residual berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi parameter model SDM. Dari tabel 4.15
dapat diambil keputusan bahwa pada taraf signifikansi variabel yang
memberikan pengaruh terhadap variabel adalah variabel kepadatan penduduk ( )
yang ditunjukkan oleh nilai dan
maka 𝐻 ditolak. Kemudian variabel jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi darat ( ) yang ditunjukkan oleh nilai
dan
maka 𝐻 ditolak. Selanjutnya variabel jumlah desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar ( )yang ditunjukkan
olehnilai dan
maka 𝐻 tidak ditolak. Kemudian variabel lag kepadatan penduduk yang
ditunjukkan olehnilai dan p-value variabel lag
kepadatan penduduk = maka 𝐻 ditolak. Dan variabel lag
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat yang ditunjukkan
95
olehnilai p-value variabel lag jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi darat = maka 𝐻 ditolak.
Selanjutnya dilakukan estimasi parameter kembali menggunakan variabel yang
signifikan. Hasil untuk masing-masing parameter signifikan dapat dilihat pada tabel
4.30 berikut:
Tabel 5. 30 Output Spatial Durbin ModelTanpa X3
Parameter
(intercept) 0,0102 0,7469 0,0137 0,9890
0,0004 0,0001 3,8784 0,0001 *
1,0320 0,0642 16,0633 *
-0,0015 0,0005 -5,5194 *
1,0574 0,0002 3,3537 0,0007 *
-0,6608 0,2577 -2,5647 0,0103*
AIC = 33,058
*) signifikan pada
Setelah diperoleh estimasi parameter model SDM yang signifikan adalah maka
didapatkan model sebagai berikut:
∑
∑ ∑
(4.6)
Selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi parameter SDM. Berdasarkan
tabel 5.30 diperoleh nilai yang parameternya signifikan pada
1) Variabel Kepadatan Penduduk ( )
Berdasarkan hasil pengujian, dapat diketahui bahwa nilai
dan maka 𝐻
ditolak. Dengan demikian terdapat pengaruh dari variabel kepadatan
pendudukterhadap variabel .
2) Variabel Jumlah Desa Menurut Jenis Prasarana Transportasi Darat ( )
Berdasarkan hasil pengujian, dapat diketahui bahwa nilai
dan maka
𝐻 ditolak. Dengan demikian terdapat pengaruh dari variabel jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi darat terhadap variabel .
96
3) Variabel Lag Kepadatan Penduduk
Berdasarkan hasil pengujian, dapat diketahui nilai
dan p-value variabel lag kepadatan penduduk =
maka 𝐻 ditolak. Dengan demikian terdapat pengaruh dari variabel
lag kepadatan penduduk terhadap variabel .
4) Variabel Lag Jumlah Desa Menurut Jenis Prasarana Transportasi Darat
Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh bahwa nilai
p-value variabel lag jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi darat = maka 𝐻 ditolak. Dengan demikian
terdapat pengaruh dari variabel lag jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi daratterhadap variabel .
5) KoefisienLag Variabel Dependen()
Berdasarkan hasil pengujian, dapat diketahui bahwa nilai
dan maka
𝐻 ditolak. Dengan demikian terdapat pengaruh spasial lag variabel dependen.
Sehingga dapat disimpulkan adanya pengaruh variable kepadatan penduduk,
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, lag kepadatan penduduk, lag
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, dan lag variabel dependen terhadap
jumlah desa yang tercemar. Dengan kata lain terdapat pengaruh spasial lag variabel
dependen dan independen.
5.2.7 Perbandingan Model Spasial Dengan Kriteria Nilai AIC
Regresi spasial merupakan hasil pengembangan dari metode regresi linier
klasik. Pengembangan itu berdasarkan adanya pengaruh tempat atau spasial pada
data yang dianalisis (Anselin, 1988). Berdasarkan hal tersebut peneliti
membandingkan hasil persamaan model regresi yang diperoleh dari model SAR,
SEM dan SDM dengan menggunakan kriteria nilai AIC. Nilai AIC digunakan untuk
menentukan model terbaik. Menurut metode AIC, model regresi terbaik adalah
model regresi yang mempunyai nilai AIC terkecil (Widarjono, 2007). Perbandingan
nilai AIC sebagai berikut :
97
Tabel 5. 31 Perbandingan Nilai AIC
Model AIC
SAR 43,564
SEM 43,215
SDM 33,058
Tabel 5.31 menunjukkan bahwa model SDM memiliki nilai AIC paling kecil
dibandingkan dengan model SAR dan SEM. Sehingga model SDM lebih baik
digunakan untuk mendugakejadian pencemaran udara di Kabupaten
Bantul.Berdasarkan hasil pengujian signifikansi parameter model menggunakan taraf
signifikansi diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh pada variabel
dependen dan independen. Hal tersebut ditunjukkan oleh parameter , yaitu
lagvariabel dependen yang berpengaruh signifikan. Dan variabel independen yang
berpengaruh terhadap pencemaran udara berdasarkan jumlah desa menurut jenis
pencemaran udara adalah pada model SDM adalah variabel-variabel dengan adanya
pembobot yaitu kepadatan penduduk( ), jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi( ), lag kepadatan penduduk( ) dan lag jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi( ).Model terbaik adalah model SDM, dengan bentuk
persamaan model sebagai berikut:
∑
∑ ∑
Berdasarkan persamaan model SDM dapat diintepretasikan bahwa, koefisien
menunjukkan jika suatu wilayah yang dikelilingi wilayah lain sebanyak wilayah,
maka pengaruh dari masing-masing wilayah yang mengelilinginya dapat diukur
sebesar -0,6608 kali pencemaran udara di sekitarnya. Koefisien variabel kepadatan
penduduk ( ) dengan pembobot spasial terboboti bernilai negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa kecamatan yang angka kepadatan penduduk tinggi bersebelahan
dengan kecamatan yang angka kepadatan penduduk rendah. Pengaruh kepadatan
penduduk dengan wilayah lain sebesar -0,0015 kali kepadatan penduduk wilayah
yang mengelilinginya. Apabila terdapat peningkatan kepadatan penduduk sebesar
98
10.000 jiwa/km2 maka jumlah desa tercemar di Kab. Bantul akan meningkat sebesar
4 desa tercemar. Sedangkan koefisien variabel jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi ( ) dengan pembobot spasial terboboti bernilai positif. Hal ini
menunjukkan bahwa kecamatan dengan jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi tinggi bersebelahan dengan kecamatan yang jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi tinggi. Pengaruh jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi dengan wilayah lain sebesar 1,0574 jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi yang mengelilinginya. Apabila terjadi peningkatan pada jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi sebesar satu satuan maka jumlah desa tercemar
di Kab. Bantul akan naik sebesar 1,0320 1 desa tercemar.
5.3. Analisis kualitas udara berdasarkan komponen kualitas udara
Kabupaten Bantul dengan menerapkan metode spasial
Berdasarkan hasil survey langsung ke lapangan pada 17 keccamatan di
Kabupaten Bantul denga penganbilan data komponen kualitas udara yang dengan
lama survey setiap titik di kecamatan selama 24 jam, sehingga data yang diperoleh
terlampir
5.3.1 Gambaran Umum ISPU, Suhu, Kelembaban, dan Kecepatan Angin
Tabel 5. 32 Karakteristik Variabel komponen kualitas udara
Karakteristik ISPU
PM10
ISPU
SO2
ISPU
O3
Suhu
Udara
Kelembaban
Udara
Kec.
Angin
Minimum 7.770 1.150 1.440 24.900 58.900 1.110
Rata-rata 38.092 16.492 24.994 27.324 72.329 2.986
Maksimum 129.500 33.187 148.480 31.900 93.400 7.080
Standard
deviasi 31.507 10.340 38.942 1.761 9.317 1.634
99
Gambar 5. 22 Pola Spasial ISPU PM 10
Gambar 5. 23 Pola Spasial ISPU SO2
100
Gambar 5. 24 Pola Spasial ISPU O3
Gambar 5. 25Pola Spasial Suhu Udara
101
Gambar 5. 26 Pola Spasial Kelembaban
Gambar 5. 27 Pola Spasial Kecepatan Angin
102
5.3.2 Pemodelan Regresi Linear Berganda
Pemodelan regresi linear berganda digunakan dengan metode Ordinary Least
Square (OLS). Berikut tabel 5.28 adalah estimasi parameter model regresi linear
berganda metode OLS berdasarkan output software R pada lampiran 3:
Gambar 5. 28 Output Regresi Metode OLS pada ISPU PM10
Variabel
Konstanta -220.670 143.946 -1.533 0.149
Suhu Udara 6.617 4.265 1.551 0.145
Kelembaban 1.369 0.717 1.909 0.079
Kecepatan Angin -7.062 4.471 -1.580 0.138
= 45.29%
= 0.04362
Gambar 5. 29 Output Regresi Metode OLS pada ISPU SO2
Variabel
Konstanta 89.122 60.103 1.483 0.162
Suhu Udara -1.891 1.781 -1.062 0.308
Kelembaban -0.218 0.300 -0.729 0.479
Kecepatan Angin -1.727 1.867 -0.925 0.372
= 11.45%
=
Gambar 5. 30 Output Regresi Metode OLS pada ISPU O3
Variabel
Konstanta 577.062 184.846 3.122 0.008
Suhu Udara -15.081 5.477 -2.753 0.016
Kelembaban -1.659 0.921 -1.801 0.095
Kecepatan Angin -6.710 5.741 -1.169 0.264
= 40.95%
103
=
)
1. Pengujian Asumsi Klasik
Pada regresi linear berganda dengan metode OLS diasumsikan diantaranya
normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Gambar 5. 31 Hasil uji asumsi klasik
Model Identik Independen Distribusi Normal
ISPU PM10 Identik Independen Berdistribusi normal
ISPU SO2 Identik Independen Berdistribusi normal
ISPU O3 Tidak Identik Independen Berdistribusi normal
5.3.3 Pengujian Efek Spasial
Setelah dilakukan pengujian regresi linear berganda menggunakan metode
OLS antara variabel independen ( ) dan variabel dependen ( ) yang diasumsikan
normalitas, heteroskedastisitas, multikolinearitas dan autokorelasi, maka diperoleh
kesimpulan bahwa terdapat asumsi yang tidak terpenuhi, yaitu identik pada model
ISPU O3 Sehingga dapat diindikasikan terjadinya pengaruh tata letak geografi atau
efek spasial. Pengujian efek spasial digunakan uji Lagrange Multiplier (LM) dan
Morans’I. Sebelum dilakukan pengujian Morans’I terlebih dulu ditentukan matriks
pembobot spasial, yang digunakan untuk mengetahui gambaran ketetanggaan yang
memiliki kejadian secara spasial antara wilayah satu dengan lainnya. Dalam
penelitian ini wilayah yang dimaksud adalah 17 kecamatan di Kab. Bantul.
1. Pembobot Spasial Rook Continguity
Pembobot ini seperti diTabel 5.22
2. Uji Morans’ I
Pengujian yang digunakan untuk mengidentifikasi autokorelasi antar lokasi
(Kecamatan) terhadap masing-masing variabel adalah menggunakan uji Moran’s I.
Adapun nilai masing-masing Morans’I pada variabel-variabel penelitian yang
diperoleh menggunakan program R pada lampiran 5 disajikan pada tabel berikut:
104
Gambar 5. 32 Hasil Uji Morans’I
Variabel Morans’I Kesimpulan
ISPU PM10 0.36984291 0.001049* Ada autokorelasi spasial
ISPU SO2 -0.19087836 0.4014 Tidak ada autokorelasi spasial
ISPU O3 0.21417333 0.02244* Ada autokorelasi spasial
Suhu udara 0.2375125 0.03482* Ada autokorelasi spasial
Kelembaban 0.002788917 0.6625 Tidak ada autokorelasi spasial
Kecepatan Angin 0.16166040 0.1219 Tidak ada autokorelasi spasial
3. Uji Lagrange Multiplier (LM)
Uji LM digunakan untuk mengetahui dependensi spasial dalam lag dan error.
Tabel 5.33 berikut menunjukkan uji dependensi spasial menggunakan Lagrange
Multiplier berdasarkan output yang dihasilkan software R seperti pada lampiran 6
sebagai berikut:
Gambar 5. 33 Output Lagrange Multiplier
Model Uji dependensi spasial
ISPU PM10 Lagrange Multiplier lag 0.736
Lagrange Multiplier error 0.247
ISPU SO2 Lagrange Multiplier lag 0.285
Lagrange Multiplier error 0.275
ISPU O3 Lagrange Multiplier lag 0.510
Lagrange Multiplier error 0.739
Kesimpulannya adalah 𝐻 tidak ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat dependensi spasial pada lag dan .
5.3.4 Pemodelan Spasial Berbasis Area
Pada penelitian ini pemodelan spasial digunakan sebab pada asumsi pengujian
regresi metode OLS terdapat beberapa asumsi yang tidak terpenuhi, yaitu tidak
identik, serta adanya autokorelasi spasial pada beberapa variabel. Pemodelan regresi
105
spasial yang digunakan adalah SAR, SEM dan SDM. Dari ketiga model tersebut
dilakukan perbandingan dengan menggunakan kriteria nilai AIC yang bertujuan
untuk mendapatkan pemodelan yang terbaik pada kualitas udara di kabupaten bantul.
1. Pemodelan Spatial Autoregressive Model (SAR)
Berikut adalah estimasi parameter pada model SAR dengan mengunakan
program R dapat disajikan sebagai berikut:
Gambar 5. 34 Estimasi Parameter Model SAR data ISPU PM10
Variabel Koefisien
-176.350 117.526 -1.501 0.133
Suhu 4.697 3.511 1.338 0.181
Kelembaban 1.217 0.594 2.049 0.040*
Kecepatan -5.615 3.669 -1.530 0.126
0.411 0.2257 1.8189 0.17052
AIC = 164.39
*) signifikan pada
Gambar 5. 35 Estimasi Parameter Model SAR data ISPU SO2
Variabel Koefisien
105.756 48.885 2.163 0.031*
Suhu -2.381 1.437 -1.657 0.098
Kelembaban -0.174 0.242 -0.720 0.472
Kecepatan -1.001 1.507 -0.664 0.507
-0.51309 0.341 -1.5057 0.187
AIC = 134.83
*) signifikan pada
Gambar 5. 36 Estimasi Parameter Model SAR data ISPU O3
Variabel Koefisien
544.062 164.054 3.316 0.001
Suhu -14.233 4.846 -2.937 0.003*
106
Kelembaban -1.552 0.800 -1.939 0.053
Kecepatan -6.996 4.991 -1.402 0.161
0.135 0.2853 0.473 0.636
AIC = 174.61
*) signifikan pada
2. Pemodelan Spatial Error Model (SEM)
Estimasi parameter pada model SEM dengan mengunakan program R dapat
disajikan pada berikut:
Tabel Output Model SEM data ISPU PM10
Variabel Koefisien
-159.315 127.037 -1.254 0.210
4.435 3.834 1.157 0.247
1.324 0.612 2.163 0.031*
-5.983 3.908 -1.531 0.126
0.3803 0.27091 1.4038 0.5144
AIC = 165.84
*) signifikan pada
Tabel Output Model SEM data ISPU SO 2
Variabel Koefisien
87.439 35.527 2.461 0.014*
-2.551 0.994 -2.566 0.010*
-0.024 0.197 -0.122 0.903
0.165 1.129 0.147 0.884
-0.959 0.29342 -3.268 0.0011*
AIC = 132.37
*) signifikan pada
107
Tabel Output Model SEM data ISPU O3
Variabel Koefisien
712.641 127.115 5.606 0.000
-18.220 3.603 -5.057 0.000*
-2.432 0.687 -3.539 0.000*
-4.949 4.022 -1.230 0.219
-0.743 0.332 -2.238 0.0252*
AIC = 172.84
*) signifikan pada
3. Pemodelan Spatial Durbin Model (SDM)
Setelah dilakukan uji efek spasial SAR diperoleh kesimpulan bahwa tidak
terdapat autokorelasi spasial pada lag sehingga dilakukan pengujian menggunakan
model SDM yang bertujuan untuk mendapatkan hasil adanya efek spasial lag pada
variabel . Tabel 5.40-5.42 berikut adalah hasil output untuk model SDM
menggunakan program R.
Tabel Output Spatial Durbin Model data ISPU PM10
Parameter Estimate
(intercept) -257.496 256.264 -1.005 0.315
2.283 3.513 0.650 0.516
0.892 0.565 1.580 0.114
-6.892 3.355 -2.054 0.040*
12.836 7.319 1.754 0.079
-2.005 1.506 -1.332 0.183
-5.167 7.915 -0.653 0.514
0.0935 0.320 0.306 0.760
AIC = 165.07
*) signifikan pada
108
Tabel Output Spatial Durbin Model data ISPU SO2
Parameter Estimate
(intercept) 62.354 76.350 0.817 0.414
-0.479 1.023 -0.468 0.640
0.132 0.163 0.814 0.416
-1.039 1.004 -1.035 0.301
-5.000 2.072 -2.413 0.016*
1.211 0.426 2.841 0.004*
5.477 2.332 2.349 0.019*
-0.541 0.299 -1.809 0.299
AIC = 123.81
*) signifikan pada
Tabel 5. 37 Output Spatial Durbin Model data ISPU O3
Parameter Estimate
(intercept) 1174.452 370.820 3.167 0.002*
-14.087 4.148 -3.396 0.001*
-1.430 0.710 -2.015 0.044*
-9.642 4.112 -2.345 0.019*
-14.360 9.890 -1.452 0.147
-3.431 1.852 -1.853 0.064
7.024 9.470 0.742 0.458
-0.491 0.349 -1.405 0.160
AIC = 172.38
*) signifikan pada
5.2.5 Perbandingan Model Spasial Dengan Kriteria Nilai AIC
Regresi spasial merupakan hasil pengembangan dari metode regresi linier
klasik. Pengembangan itu berdasarkan adanya pengaruh tempat atau spasial pada
data yang dianalisis (Anselin, 1988). Berdasarkan hal tersebut peneliti
membandingkan hasil persamaan model regresi yang diperoleh dari model SAR,
SEM dan SDM dengan menggunakan kriteria nilai AIC. Nilai AIC digunakan untuk
menentukan model terbaik. Menurut metode AIC, model regresi terbaik adalah
109
model regresi yang mempunyai nilai AIC terkecil (Widarjono, 2007). Perbandingan
nilai AIC sebagai berikut :
Gambar 5. 38 Perbandingan Model Spasial
ISPU Model AIC
PM10 SAR
SEM
SDM
164.49
165.84
165.07
SO2 SAR
SEM
SDM
134.83
132.37
123.81
O3 SAR
SEM
SDM
174.61
174.84
172.38
5.3. Luaran yang dicapai
Sampai dengan akhir penyususnan laporan ini maka diperoleh pencapaian
luaran sebagai berikut dan untuk artikel terlampir
1. Publikasi di seminar Internasional INSPINSA UNDIP 2018 sampai tahap
penerimaan artikel untuk dipresentasikan pada tgl. 26 September 2018
dengan artikel terlampir.
Judul artikel : Modeling of Air Pollutant Standard Index (ISPU) PM10 based on
Spatial Analysis and Geographically Weighted Ordinal Logistic Regression by
Rokhana Dwi Bekti1, Kris Suryowati
2, Wigbertus Ngabu
3, Eko Siswoyo
4,
and Rohmatul Fajriyah5*
,
2. Publikasi pada seminar nasional SNAST AKPRIND 2018 sampai tahap
penerimaan artikel untuk dapat dipresentasikan dan dipublikasi masuk
proseding hasil snast akprind 2015 pada tanggal 15 September 2018
Judul artikel : Metode Spasial Autoregressive Model Untuk Analisis Faktor
Yang Mempengaruhi Pencemaran Udara Di Kabupaten Bantul, DIY, Kris
Suryowati1, Rokhana Dwi Bekti
2, Khaifa Zulfenia
3
110
3. Publikasi pada seminar nasional Nasional Statistika 2018, Jurusan Matematika
UNTAD Palu, sampai tahap penerimaan artikel untuk dapat presentasikan pada
tanggal 15 September 2018
Judul artikel : Aplikasi metode Spasial Durbin Model pada analisis faktor yang
mempengaruhi Pencemaran udara , Kris Suryowati, Rokhana Dwi Bekti,
Khaifa Zulfenia
4. Publikasi di Jurnal internasional masih tahap sumit di dua jurnal internasional
meliputi dan terbit pada Tahun ke II
a. Air Pollutant Standard Index (ISPU) PM 10 Modeling based on Logistics
and Spatial Analysis , submit di Jurnal Inter. Spatial Analysis (5-11-2018 )
b. Regional Characteristics And Relationship Among Locations In Air
Pollution Using Spatial Durbin Models In Bantul, Indonesia, Submit di
jurnal Sains Malaysiaana (6-11-2018)
111
112
5. Buku Ajar dengan judul Pemodelan Spasial dalam tahap penyelesaian
sehingga masih berupa draft
113
114
7.
115
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Setelah berakhirnya penelitian tahun pertama tentang analisis kualiatas udara
di DIY maka tahap berkutnya yaitu melakukan penelitian tentang analisis
pencemaran air tanah karena dampak dari pencemaran udara salah satunya akan
mempengaruhi kualitas air. Selanjutnya menganalisis kualitas air berdasarkan dampak
dari pencemaran udara.
Penelitian ini masuk pada bidang unggulan teknologi tepat guna berwawasan
lingkungan serta topik unggulan rekayasa teknologi industri.
116
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut
Pada analisis kualitas udara dengan variabel respon indeks standar
pencemaran udara (ISPU) PM 10 di Provinsi DIY tahun 2017 dengan metode
regresi logistik ordinal dan Geographically Weighted Ordinary Logistic Regression
(GWOLR), diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Gambaran umum kualitas udara dengan variabel depedent ISPU PM 10
menunjukan bahwa ISPU sedang (51-100) terjadi di 12 titik lokasi, ISPU tidak
sehat (101-199) terjadi di 8 titik lokasi, ISPU sangat tidak sehat (200-299) terjadi
4 titik lokasi dan ISPU berbahaya (300-lebih) terjadi di 1 titik lokasi. Nilai rata-
rata ISPU sabesar 138.79 dengan ISPU terkecil sebesar 52.63 dititik lokasi
perempatan RSUD Wonosari dan nilai ISPU terbesar sebesar 614.61 ditik lokasi
pertigaan Teteg/simpang tiga Kulon Progo.
Pola spasial menunjukan beberapa titik lokasi membentuk suatu kelompok
dan saling berdekatan, cenderung memiliki tingkat ISPU sama, atau dilihat dari
pola penyebaran ISPU bahwa semakin ke kota Yogyakarta maka ISPU semakin
tinggi, dengan demikian dapat dikatakan ada pengaruh lokasi atau ada efek
spasial.
2. Dari hasil analisis regresi logistik ordinal membentuk model estimasi persamaan
regresi secara keseluruan untuk kualitas udara di DIY dengan model logit sebagai
berikut :
Logit [ ( )] = 193.740 + 0.363 X1 + 0.059 X2 + 0.502 X3 + 0.000 X4 –
0.756 X5 + 203 X6
Logit [ ( )] = 196.633+ 0.363 X1 + 0.059 X2 + 0.502 X3 + 0.000 X4 –
0.756 X5 + 203 X6
Logit [ ( )] = 196.633+ 0.363 X1 + 0.059 X2 + 0.502 X3 + 0.000 X4 –
0.756 X5 + 203 X6
117
Dari hasil analisis GWOLR membentuk model estimasi persamaan regresi
yang berbeda-beda disetiap titik lokasi di Provinsi DIY. Sama seperti pada model
GWOLR titik lokasi depan Ruko Janti berikut :
( ) = ( )
(
( ) = ( )
(
( )
(
( ) = ( )
(
( )
(
( )
(
( ) =
( )
(
3. Pemilihan model terbaik berdasarkan ketepatan klasifikasi terbesar. Dapat di
ketahui bahwa regresi logistik ordinal memiliki ketepatan klasifikasi terbesar
yaitu 80 % dibandingkan dengan ketepatan klasifikasi GWOLR yaitu sebesar
64%. Hal ini menandakan bahwa pada data tersebut model regresi logistik ordinal
lebih baik dibanding model GWOLR. Namun dengan demikian pada penelitian
ini yaitu model GWOLR yang lebih tepat karena untuk analisis pengaruh lokasi,
atau yang ada efek spasial.
4. Berdasarkan hasil analisis GWOLR vareabel yang berpengaruh signifikan
disebagian besar titik lokasi adalah kualitas ozon (X1), kebisingan (X3), suhu
udara (X4), dan tekanan (X6). Dengan jumlah variabel yang berpengaruh dititk
lokasi yaitu Ozon berpengaruh di 23 titik lokasi, Hidrocarbon berpengaruh di 8
titik lokasi, Kebisingan dan tekanan berpengaruh di 25 titik lokasi, suhu udara
berpengaruh di 23 titik lokasi, dan kecepatan angin berpengaruh di 11 titik lokasi.
Dengan nilai Odds ratio disetiap titik lokasi berbeda beda, artinya semakin besar
O3, HC, kebisingan, suhu udara, kecepatan angin, dan tekanan maka akan
bepeluang ISPU yang tinggi.
118
Analisis hasil berdasarkan data sekunder dari BPS Bantul dapat disimpulkan
sebagai berikut
1. Gambaran pencemaran udara menunjukkan terdapat kecamatan yang memiliki
desa yang tidak terjadi pencemaran udara yang ditunjukkan pada angka
minimal 0. Rata-rata setiap kecamatan memiliki desa yang mengalami
pencemaran udara sebanyak 4 desa yang terdapat di Kecamatan Kasihan,
Sedayu, Sewon, Jetis, Pandak dan Sanden. Dengan peta tematik menunjukkan
16 dari 17 kecamatan di Kab. Bantul mengalami terjadinya pencemaran udara
dan terjadi peningkatan dari tahun 2011 ke tahun 2014 berdasarkan data yg
diperoleh dari BPS Kab. Bantul. Sedangkan pada pola spasial,persebaran
kejadian pencemaran di Kabupaten Bantul adalah saling mengelompok dan
berdekatan, sebagai contoh adalah Kecamatan Imogiri dan Dlingo. Sementara
itu, kecamatan yang berada di wilayah timur lebih memiliki banyak desa
tercemar dibandingkan dengan wilayah lainnya.
2. Berdasarkan analisis spasial uji moran’s I dengan pembobot Rook contiguity
diperoleh hasil terdapat autokorelasi antar wilayah yang ditunjukkan pada
variabel kepadatan penduduk ( ). Sehingga digunakan pemodelan SAR,
SEM, dan SDM. Diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Model SAR, variabel yang berpengaruh terhadap pencemaran udara
adalah jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi ( ). Bentuk
model yang dihasilkan adalah sesuai dengan persamaan (4.3).
b. Model SEM, variabel yang berpengaruh terhadap pencemaran udara
adalah jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi ( ). Bentuk
model yang dihasilkan adalah sesuai dengan persamaan (4.4).
c. Model SDM, variabel yang berpengaruh terhadap pencemaran udara
adalah kepadatan penduduk ( ), Jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi ( ), lag kepadatan penduduk, lag jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi dan lag variabel variabel dependen (). Dengan
kata lain terdapat pengaruh spasial lag variabel dependen dan
independen.Bentuk model yang dihasilkan adalah sesuai dengan
persamaan (4.6).
119
3. Berdasarkan nilai AIC pada model SAR, SEM, dan SDM, menunjukkan
bahwa nilai AIC terendah adalah pada model SDM (tabel 5.2.17), sehingga
model SDM yang terbaik untuk menduga kejadian pencemaran udara di
Kabupaten Bantul. Persamaan model (4.6) yang dihasilkan dapat
menunjukkan apabila terjadi peningkatan padafaktor yang mempengaruhi
pencemaran udara maka kejadian pencemaran udara berdasarkan data jumlah
desa tercemar di Kab. Bantul akan meningkat sebesar nilai koefisien variabel
pada faktor yang mempengaruhi.
Berdasarkan data primer komponen kualitas udara di kabupaten Bantul
bahwa kabupaten Bantul merupakan salah satu dari kabupaten yang ada di DIY
dengan penturmbuhan penduduk pesat, tingkat industi meningkat, pertumbuhan
bidang sosial cepat, sebagai kota pariwisata dan ada alih fungsi hutan, sehingga
berdasarkan analisis pembahasan diperoleh gambaran tingkat pencemaran udara di
Kab. Bantul. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara, model yang cocok
untuk menentukan kualitas udara di kabupaten Bantul dan selanjutnya diaplikasikan
untuk memprediksi kualitas udara di daerah lain di DIY
7.2. Saran
Dengan adanya peningkatan pencemaran udara yang ada di DIY khususnya
pada daerah yang tingkat pertumbuhan meningkat terus, industri berkembang maju,
transportasi kendaraan terus meningkat, munculnya tempat=tempat wisata yang
baru sehingga banyak dikunjungi orang, sehingga perlu menjaga lingkungan yang
sehat diantaranya dengan
1. Upaya penghijauan dan tamanisasi di daerah pusat perkotaan dan desa yang
ramai dilewati pendudu atau yag tingkat kepadatan penduduk tinggi
2. Dalam rangka mengurangi gas hasil kendaraan bermotor maka diperlukan
masyarakat diberikan kesadaran untuk berkendaraan dengan bahan bakar yang
baik. Menekan laju pertumbuhan kendaraan di daerah. Mengurangi kemacetan
mengingat tempat macet maka gas CO juga meningkat.
3. Pemerintah setempat mengondalikan alih fungsi lahan
120
DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L., 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Ist Edn., Kluwer
Academic Publishers, Netherlands, ISBN-10: 9024737354, pp: 304.
Bekti, RD., Tanty, H., Herlina, T., dan Solehudin (2015), Pemetaan Kualitas Air
Tanah Akibat Pencemaran Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Hibah
Pekerti Dikti 2015.
-------- , 2016. Statistik Potensi Desa Provinsi DI Yogyakarta. Jakarta :BPS.
Bekti, R. D., Tanty, H., Herlina, T., & Solihudin. 2014. Spatial Autocorrelation of
Inorganic Compound in Groundwater. OSR Journal of Mathematics (IOSR-
JM). Volume 10, Issue 6 Ver. III (Nov - Dec. 2014), PP 01-05
Draper, N.R. and Smith, H. 1992. Applied Regression Analysis,Second
Edition. John Wiley and sons, Inc. New York.
Ghozali, Imam. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS
19 (edisi kelima.) Semarang: Universitas Diponegoro
Gusnita, D. (2012). Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) di Udara dan Upaya
Penghapusan Bensin Bertimbal. Berita Dirgantara, 13(3).
Mutmainna, A. (2015). Analisis Tingkat Pencemaran Udara Pada Kawasan Industri
Di Makassar.
Myers, R.H., 1990, Classical and modern regression with application, second
edition,Boston:PWS-KENT Publishing Company.
Prasetyo, R. D., Suryowati, K., & Bekti, R. D. (2016). Pengelompokkan
Kabupaten/Kota Dijawa Tengah Berdasarkan Variabelindikator Kesehatan
Menggunakan Analisis Cluster. Jurnal Statistika Industri Dan Komputasi,
1(1).
Suryowati K. (2016). Analisis Pseudoinvers dan Aplikasinya Pada Regresi Linear
Berganda. Jurnal Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi
(SNAST) 2016 ISSN :1979 – 911X. Yogyakarta, 26 November 2016 IST
Akprind Yogyakarta.
121
Suryowati K. (2018). A Comparison of Weights Matrices on Computation of Dengue
Spatial Autocorrelation. Jurnal IOP Conference Series 2018. Yogyakarta. IST
Akprind Yogyakarta
Tanty, H., Bekti, R. D., Herlina, T., & Nurlelasari. (2014, October). MANOVA
statistical analysis of inorganic compounds in groundwater Indonesia. In S. C.
Dass, B. H. Guan, A. H. Bhat, I. Faye, H. Soleimani, & N. Yahya (Eds.), AIP
Conference Proceedings (Vol. 1621, No. 1, pp. 492-497). AIP.
.......... (2013). Laporan Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2013. Yogyakarta: BLH
DIY.
........... (1997). Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 Tentang :
Perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar
Udara. Indonesia.
........... (2012). Analisis Faktor Risiko Pencemaran Udara Di Kota Palembang
Tahun 2012. Palembang: Direktorat Jenderal PP dan PL Kementerian
Kesehatan RI.
........... (2016, Januari Rabu). Laju Alih Fungsi Lahan di Yogyakarta
Memprihatinkan. Diambil kembali dari http://www.pikiran-rakyat.com:
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2016/01/27/358736/laju-alih-fungsi-
lahan-di-yogyakarta-memprihatinkan
122
LAMPIRAN
Daftar Lampiran
1. Lampiran 1 Data Penelitian sekunder dan primaer
2. Lampiran 2 Hasil output dari perhitungan manual
3. Lampiran 3 Hasil luaran
4. Lampiran 4 Biodata Peneliti
5. Lampiran 5 Usulan Penelitian Lanjutan
6. Lampiran surat perjanjian
123
Lampiran 1 Data Sekunder
Lampiran 1.1.. Data Kualitas udara DIY 2017
LOKASI ID Vi Ui X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y
Depan Ruko Janti I -7.78317 110.4116 16.01 22.6 78.6 35.5 1.2 741.2 3
Depan kampus STTL J -7.83283 110.4023 18.9 13.86 75.8 30.5 0.6 743.2 3
Depan UPN seturan H -7.76139 110.4102 15.61 21.59 70.9 32 1.3 738.9 3
Simpang Empat Ngelang A -7.82675 110.2242 14.81 20.66 72.8 32.7 0.9 744 2
Simpang tiga Toyan B -7.85844 110.1293 15.41 10.81 70.7 28 0.7 752.3 2
Pertigaan teteg/simpang tiga D -7.85831 110.1607 32.42 14.77 71.4 30 0.8 750.1 5
Terminal Wates C -7.86458 110.1514 16.68 13.62 66.9 30.5 2.7 750.8 2
Depan toko Besi Dongkelan X -7.82861 110.3541 17.04 12.36 74.6 34 1.8 746.3 3
Perempatan Gose Y -7.89117 110.3259 17.52 9.84 70.4 34.7 1 723.9 2
Perempatan Wojo V -7.83622 110.3743 17.62 16.72 78.8 33.5 1 746.3 4
Perempatan Druwo W -7.83567 110.3662 20.89 8.97 77.4 27.5 1.2 747 4
Depan Hotel Tentrem S -7.78286 110.3676 21.45 13.99 74.7 33.5 0.6 741.9 2
Depan kantor Kec. Jetis T -7.78283 110.3624 16.19 12.65 71.4 35 0.8 741.9 3
Depan Mirota Godean U -7.78056 110.3334 17.15 18.23 74.8 31.3 0.8 741.2 4
Depan TVRI G -7.76486 110.3617 15.77 19.14 77.1 31.7 0.8 739.6 3
124
Depan Hotel Shapir R -7.78325 110.3913 17.3 11.08 73.8 31.5 1.5 741.9 2
Perempatan Denggung F -7.72203 110.3615 22.86 11.61 74.8 30 1 736.6 3
Depan GKBI medari E -7.6805 110.3386 23.09 14.42 76.7 33 1.8 730.5 3
Depan kantor Merapi golf P -7.75211 110.3848 24.71 12.97 70.6 33.5 1 738.9 2
Perempatan Mirota Q -7.776 110.3745 16.23 113.94 75.2 34.5 2.9 741.2 4
Depan Kecamatan Patuk Z -7.84803 110.4816 19.05 18.94 66.2 33 0.7 727.5 2
Perempatan Gading AA -7.9145 110.5557 18.29 20.23 73.3 33.3 1.6 735.1 2
Simpang Empat siyono AB -7.95025 110.5864 14.74 24.15 75.6 29 2.3 735.8 2
Terminal Wonosari AC -7.97142 110.6036 20.3 19.78 70.1 33.5 1.8 736.6 2
Perempatan RSUD Wonosari AD -7.96236 110.603 19.09 17.19 68.1 29.7 2.6 736.6 2
Sumber : BLH DIY 2017
Keterangan :
Vi = latitude X3 = Kebisingan
Ui = Longitude X4 = Suhu Udara
X1 = Ozon X5 = Kecepatan Angin
X2 = Hidrocarbon X6 = Tekanan
125
Perhitungan ISPU
Tabel ambang batas Indeks Standar Pencemaran Udara
ISPU
24 jam
PM10
ug/m3
24 Jam
SO2
ug/m3
8 jam CO
ug/m3
1 jam O3
mg/m3
1 jam
NO2
ug/m3
50 50 80 5 120 (2)
100 150 365 10 235 (2)
200 350 800 17 400 1130
300 420 1600 34 800 2260
400 500 2100 46 1000 3000
500 600 2620 57.5 1200 3750
Perhitungan ISPU
II=
(160.11-150) +100 = 105.55 IJ=
(169.28-150) +100 = 109.64
IH=
(186.84-150) +100 = 118.42 IJ=
(145.98-50) +50 = 97.99
ID=
(714.61-500) +400 = 614.6 IV=
(359.38-350) +200 = 213.4
ID=
(90.5-50) +50 = 70.25 IV=
(179.96-150) +100 =
114.98
..... ......
IAC=
(75.86-50) +50 = 62.86 IAD=
(55.27-50) +50 = 52.63
Hasil Perhitungan
Lokasi PM 10 ISPU PM 10 Kategori
I 160.11 105.55 T.Sehat
J 169.28 109.64 T.Sehat
H 186.84 118.42 T.Sehat
A 145.98 97.99 Sedang
B 141.32 95.66 Sedang
D 714.61 614.61 Berbahaya
126
C 137.4 93.7 Sedang
X 158.93 104.465 T.Sehat
Y 134.12 92.06 Sedang
V 359.38 213.4 Sangat T.Sehat
W 394.33 263.32 Sangat T.Sehat
S 90.5 70.25 Sedang
T 156.87 103.43 T.Sehat
U 393.38 261.97 Sangat T.Sehat
G 179.96 114.98 T.Sehat
R 134.61 92.3 Sedang
F 169.78 109.89 T.Sehat
E 171.65 110.825 T.Sehat
P 111.37 80.68 Sedang
Q 395.56 265.08 Sangat T.Sehat
Z 106.07 78.035 Sedang
AA 125.92 87.95 Sedang
AB 90.25 70.125 Sedang
AC 75.86 62.86 Sedang
AD 55.27 52.63 Sedang
127
Lampiran 1.2. Data Bantul dalm Angka 2014
Tabel Data Pencemaran Udara dan Faktor Yang Mempengaruhinya
No Kecamatan Jumlah
desa
%
pencemaran
udara
1 Kasihan 4 3768 4 2 4 100
2 Banguntapan 8 4755 8 5 8 100
3 Sedayu 4 1350 4 4 4 100
4 Piyungan 3 1637 3 3 3 100
5 Sewon 4 4133 4 4 4 100
6 Pajangan 0 1052 3 3 3 0
7 Pleret 5 2000 5 4 5 100
8 Bantul 5 2821 5 4 5 100
9 Dlingo 6 650 6 6 6 100
10 Jetis 4 2210 4 4 4 100
11 Pandak 4 2008 4 4 4 100
12 Imogiri 8 1063 8 8 8 100
13 Bambanglipuro 3 1677 3 3 3 100
14 Srandakan 2 1584 2 2 2 100
15 Pundong 3 1360 3 3 3 100
16 Sanden 4 1295 4 4 4 100
17 Kretek 5 1121 5 5 5 100
Sumber: BPS Kab.Bantul dalam buku Podes Kab. Bantul
Keterangan mengenai data dan variabel penelitian:
1) Menggunakan peta administrasi Kabupaten Bantul dalam bentuk file .shp
2) Data jumlah desa menurut jenis pencemaran lingkungan yakni pencemaran udara( )
3) Data kepadatan penduduk jiwa/km2( )
4) Data jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi yakni yang digunakan
prasarana transportasi darat( )
128
5) Data jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah, yang digunakan adalah
berdasarkan tempat pembuangan dalam lubang atau dibakar ( )
129
Lampiran 2 Output Perhitungan
> #model sar > model_sar<-lagsarlm(Y1~X1+X2+X3,list=www) > summary(model_sar) Call: lagsarlm(formula = Y1 ~ X1 + X2 + X3, listw = www) Residuals: Min 1Q Median 3Q -35.7828 -10.3295 -3.1811 8.5472 Max 41.7439 Type: lag Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) -176.35036 117.52617 -1.5005 0.13348 X1 4.69718 3.51085 1.3379 0.18093 X2 1.21743 0.59417 2.0490 0.04047 X3 -5.61512 3.66931 -1.5303 0.12594 Rho: 0.41054, LR test value: 1.8784, p-value: 0.17052 Asymptotic standard error: 0.2257 z-value: 1.8189, p-value: 0.068921 Wald statistic: 3.3085, p-value: 0.068921 Log likelihood: -76.19362 for lag model ML residual variance (sigma squared): 436.87, (sigma: 20.901) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 6 AIC: 164.39, (AIC for lm: 164.27) LM test for residual autocorrelation test value: 0.0048967, p-value: 0.94421 > #model sem > model_sem<-errorsarlm(Y1~X1+X2+X3,list=www) > summary(model_sem) Call: errorsarlm(formula = Y1 ~ X1 + X2 + X3, listw = www) Residuals: Min 1Q Median -35.13199 -12.27318 0.73105 3Q Max 8.03674 42.01871 Type: error Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) -159.31460 127.03694 -1.2541 0.20981 X1 4.43463 3.83385 1.1567 0.24739 X2 1.32428 0.61234 2.1626 0.03057 X3 -5.98285 3.90833 -1.5308 0.12582 Lambda: 0.3803, LR test value: 0.42511, p-value: 0.5144 Asymptotic standard error: 0.27091 z-value: 1.4038, p-value: 0.16038
130
Wald statistic: 1.9706, p-value: 0.16038 Log likelihood: -76.92024 for error model ML residual variance (sigma squared): 479.28, (sigma: 21.893) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 6 AIC: 165.84, (AIC for lm: 164.27) > > > #model sdm > model_sdm<-lagsarlm(Y1~X1+X2+X3,list=www,type="mixed") > summary(model_sdm) Call: lagsarlm(formula = Y1 ~ X1 + X2 + X3, listw = www, type = "mixed") Residuals: Min 1Q Median -30.60022 -16.10799 0.01136 3Q Max 13.85719 34.63540 Type: mixed Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) -257.49606 256.26406 -1.0048 0.31499 X1 2.28290 3.51347 0.6498 0.51585 X2 0.89217 0.56455 1.5803 0.11403 X3 -6.89226 3.35513 -2.0542 0.03995 lag.X1 12.83637 7.31851 1.7540 0.07944 lag.X2 -2.00533 1.50570 -1.3318 0.18292 lag.X3 -5.16700 7.91502 -0.6528 0.51388 Rho: 0.097893, LR test value: 0.056592, p-value: 0.81197 Asymptotic standard error: 0.32009 z-value: 0.30582, p-value: 0.75974 Wald statistic: 0.093529, p-value: 0.75974 Log likelihood: -73.53549 for mixed model ML residual variance (sigma squared): 333.96, (sigma: 18.274) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 9 AIC: 165.07, (AIC for lm: 163.13) LM test for residual autocorrelation test value: 0.79342, p-value: 0.37307
131
Y2<-peta@data$ISPUSO2 > model_sar<-lagsarlm(Y2~X1+X2+X3,list=www) > summary(model_sar) Call:lagsarlm(formula = Y2 ~ X1 + X2 + X3, listw = www) Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -10.3801 -6.5386 -4.3015 4.9342 16.1014 Type: lag Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) 105.75645 48.88463 2.1634 0.03051 X1 -2.38088 1.43712 -1.6567 0.09758 X2 -0.17396 0.24164 -0.7199 0.47158 X3 -1.00073 1.50708 -0.6640 0.50668 Rho: -0.51309, LR test value: 1.7394, p-value: 0.18721 Asymptotic standard error: 0.34077 z-value: -1.5057, p-value: 0.13215 Wald statistic: 2.2671, p-value: 0.13215 Log likelihood: -61.41561 for lag model ML residual variance (sigma squared): 75.803, (sigma: 8.7065) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 6 AIC: 134.83, (AIC for lm: 134.57) LM test for residual autocorrelation test value: 0.46825, p-value: 0.49379
> model_sem<-errorsarlm(Y2~X1+X2+X3,list=www) > summary(model_sem) Call:errorsarlm(formula = Y2 ~ X1 + X2 + X3, listw = www) Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -10.0726 -5.2393 -2.9685 5.0674 14.3492 Type: error Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) 87.439034 35.527443 2.4612 0.01385 X1 -2.550500 0.993935 -2.5661 0.01029 X2 -0.024043 0.196794 -0.1222 0.90276 X3 0.165457 1.129356 0.1465 0.88352 Lambda: -0.95904, LR test value: 4.1994, p-value: 0.040438 Asymptotic standard error: 0.29342 z-value: -3.2684, p-value: 0.0010814 Wald statistic: 10.683, p-value: 0.0010814 Log likelihood: -60.18563 for error model ML residual variance (sigma squared): 56.147, (sigma: 7.4932) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 6 AIC: 132.37, (AIC for lm: 134.57)
> model_sdm<-lagsarlm(Y2~X1+X2+X3,list=www,type="mixed")
132
> summary(model_sdm) Call:lagsarlm(formula = Y2 ~ X1 + X2 + X3, listw = www, type = "mixed") Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -11.99694 -4.54582 0.71543 2.78967 9.18383 Type: mixed Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) 62.35445 76.34987 0.8167 0.414104 X1 -0.47880 1.02301 -0.4680 0.639759 X2 0.13233 0.16263 0.8137 0.415834 X3 -1.03881 1.00397 -1.0347 0.300806 lag.X1 -4.99967 2.07209 -2.4129 0.015828 lag.X2 1.21133 0.42637 2.8410 0.004497 lag.X3 5.47710 2.33167 2.3490 0.018824 Rho: -0.54145, LR test value: 3.0913, p-value: 0.078713 Asymptotic standard error: 0.29924 z-value: -1.8094, p-value: 0.070388 Wald statistic: 3.274, p-value: 0.070388 Log likelihood: -52.90704 for mixed model ML residual variance (sigma squared): 27.672, (sigma: 5.2604) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 9 AIC: 123.81, (AIC for lm: 124.91) LM test for residual autocorrelation test value: 0.24436, p-value: 0.62108
133
> Y3<-peta@data$ISPUO3 > model_sar<-lagsarlm(Y3~X1+X2+X3,list=www) > summary(model_sar) Call:lagsarlm(formula = Y3 ~ X1 + X2 + X3, listw = www) Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -37.1186 -21.6145 -5.9827 13.8045 76.8010 Type: lag Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) 544.06239 164.05376 3.3164 0.000912 X1 -14.23292 4.84583 -2.9371 0.003312 X2 -1.55209 0.80048 -1.9389 0.052508 X3 -6.99635 4.99056 -1.4019 0.160940 Rho: 0.13509, LR test value: 0.15431, p-value: 0.69445 Asymptotic standard error: 0.28533 z-value: 0.47347, p-value: 0.63588 Wald statistic: 0.22417, p-value: 0.63588 Log likelihood: -81.30707 for lag model ML residual variance (sigma squared): 831.42, (sigma: 28.834) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 6 AIC: 174.61, (AIC for lm: 172.77) LM test for residual autocorrelation test value: 3.0866, p-value: 0.078941
> model_sem<-errorsarlm(Y3~X1+X2+X3,list=www) > summary(model_sem) Call:errorsarlm(formula = Y3 ~ X1 + X2 + X3, listw = www) Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -40.9905 -16.2299 -4.9369 16.8735 57.3356 Type: error Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) 712.64130 127.11527 5.6063 2.067e-08 X1 -18.22006 3.60293 -5.0570 4.259e-07 X2 -2.43175 0.68722 -3.5385 0.0004023 X3 -4.94860 4.02240 -1.2303 0.2185991 Lambda: -0.74306, LR test value: 1.9273, p-value: 0.16506 Asymptotic standard error: 0.33198 z-value: -2.2383, p-value: 0.025204 Wald statistic: 5.0098, p-value: 0.025204 Log likelihood: -80.42059 for error model ML residual variance (sigma squared): 663.81, (sigma: 25.765) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 6 AIC: 172.84, (AIC for lm: 172.77)
> model_sdm<-lagsarlm(Y3~X1+X2+X3,list=www,type="mixed")
134
> summary(model_sdm) Call:lagsarlm(formula = Y3 ~ X1 + X2 + X3, listw = www, type = "mixed") Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -30.3460 -11.3561 -7.0111 9.0597 57.9063 Type: mixed Coefficients: (asymptotic standard errors) Estimate Std. Error z value Pr(>|z|) (Intercept) 1174.45169 370.82033 3.1672 0.0015393 X1 -14.08710 4.14795 -3.3962 0.0006834 X2 -1.42990 0.70964 -2.0150 0.0439092 X3 -9.64216 4.11187 -2.3450 0.0190293 lag.X1 -14.35958 9.88951 -1.4520 0.1465014 lag.X2 -3.43071 1.85190 -1.8525 0.0639487 lag.X3 7.02426 9.46976 0.7418 0.4582346 Rho: -0.49029, LR test value: 1.3657, p-value: 0.24255 Asymptotic standard error: 0.349 z-value: -1.4049, p-value: 0.16006 Wald statistic: 1.9736, p-value: 0.16006 Log likelihood: -77.18892 for mixed model ML residual variance (sigma squared): 487.34, (sigma: 22.076) Number of observations: 17 Number of parameters estimated: 9 AIC: 172.38, (AIC for lm: 171.74) LM test for residual autocorrelation test value: 2.1712, p-value: 0.14061
135
> peta<-readShapePoly("E:/KULIAH/SNAST BU KRIS DAN BU ROKHANA/Export_Output_2.shp") Warning message: readShapePoly is deprecated; use rgdal::readOGR or sf::st_read > > Y<-peta@data$ISPUPM10 > Y1<-peta@data$ISPUPM10 > Y2<-peta@data$ISPUSO2 > Y3<-peta@data$ISPUO3 > X1<-peta@data$suhu_udara > X2<-peta@data$kelembaban > X3<-peta@data$kec_angin > #pemodelan ols > model_olsY1<-lm(Y1~X1+X2+X3) > summary(model_olsY1) Call: lm(formula = Y1 ~ X1 + X2 + X3) Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -37.555 -14.256 -1.694 10.653 40.012 Coefficients: Estimate Std. Error t value Pr(>|t|) (Intercept) -220.6702 143.9463 -1.533 0.1492 X1 6.6173 4.2651 1.551 0.1448 X2 1.3694 0.7173 1.909 0.0786 . X3 -7.0621 4.4709 -1.580 0.1382 --- Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1 Residual standard error: 25.85 on 13 degrees of freedom Multiple R-squared: 0.4529, Adjusted R-squared: 0.3267 F-statistic: 3.588 on 3 and 13 DF, p-value: 0.04362
> model_olsY2<-lm(Y2~X1+X2+X3) > summary(model_olsY2) Call: lm(formula = Y2 ~ X1 + X2 + X3) Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -14.703 -6.917 -3.669 6.182 17.893 Coefficients: Estimate Std. Error t value Pr(>|t|) (Intercept) 89.1217 60.1030 1.483 0.162 X1 -1.8913 1.7808 -1.062 0.308 X2 -0.2184 0.2995 -0.729 0.479 X3 -1.7274 1.8668 -0.925 0.372 Residual standard error: 10.79 on 13 degrees of freedom Multiple R-squared: 0.1145, Adjusted R-squared: -0.08988 F-statistic: 0.5602 on 3 and 13 DF, p-value: 0.6506
> model_olsY3<-lm(Y3~X1+X2+X3) > summary(model_olsY3)
136
Call: lm(formula = Y3 ~ X1 + X2 + X3) Residuals: Min 1Q Median 3Q Max -40.013 -23.914 -3.864 14.177 74.883 Coefficients: Estimate Std. Error t value Pr(>|t|) (Intercept) 577.0618 184.8463 3.122 0.0081 ** X1 -15.0807 5.4769 -2.753 0.0164 * X2 -1.6587 0.9211 -1.801 0.0950 . X3 -6.7096 5.7412 -1.169 0.2635 --- Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1 Residual standard error: 33.2 on 13 degrees of freedom Multiple R-squared: 0.4095, Adjusted R-squared: 0.2732 F-statistic: 3.005 on 3 and 13 DF, p-value: 0.06903
137
> #pengujian moran > MoranY1<-moran.test(Y1,alternative="two.sided",listw=www) > MoranY1 Moran I test under randomisation data: Y1 weights: www Moran I statistic standard deviate = 3.277, p-value = 0.001049 alternative hypothesis: two.sided sample estimates: Moran I statistic Expectation Variance 0.36984291 -0.06250000 0.01740588
> MoranY2<-moran.test(Y2,alternative="two.sided",listw=www) > MoranY2 Moran I test under randomisation data: Y2 weights: www Moran I statistic standard deviate = -0.83917, p-value = 0.4014 alternative hypothesis: two.sided sample estimates: Moran I statistic Expectation Variance -0.19087836 -0.06250000 0.02340378
> MoranY3<-moran.test(Y3,alternative="two.sided",listw=www) > MoranY3 Moran I test under randomisation data: Y3 weights: www Moran I statistic standard deviate = 2.2828, p-value = 0.02244 alternative hypothesis: two.sided sample estimates: Moran I statistic Expectation Variance 0.21417333 -0.06250000 0.01468945
> MoranX1<-moran.test(X1,alternative="two.sided",listw=www) > MoranX1 Moran I test under randomisation data: X1 weights: www Moran I statistic standard deviate = 2.1104, p-value = 0.03482 alternative hypothesis: two.sided sample estimates: Moran I statistic Expectation Variance 0.2375125 -0.0625000 0.0202092
> MoranX2<-moran.test(X2,alternative="two.sided",listw=www)
138
> MoranX2 Moran I test under randomisation data: X2 weights: www Moran I statistic standard deviate = 0.43647, p-value = 0.6625 alternative hypothesis: two.sided sample estimates: Moran I statistic Expectation Variance 0.002788917 -0.062500000 0.022375302
> MoranX3<-moran.test(X3,alternative="two.sided",listw=www) > MoranX3 Moran I test under randomisation data: X3 weights: www Moran I statistic standard deviate = 1.547, p-value = 0.1219 alternative hypothesis: two.sided sample estimates: Moran I statistic Expectation Variance 0.16166040 -0.06250000 0.02099731
139
> ujiLM<-lm.LMtests(model_olsY1,list=www,test=c("LMerr","LMlag")) > summary(ujiLM) Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence data: model: lm(formula = Y1 ~ X1 + X2 + X3) weights: www statistic parameter p.value LMerr 0.11376 1 0.7359 LMlag 1.34312 1 0.2465
> ujiLM<-lm.LMtests(model_olsY2,list=www,test=c("LMerr","LMlag")) > summary(ujiLM) Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence data: model: lm(formula = Y2 ~ X1 + X2 + X3) weights: www statistic parameter p.value LMerr 1.1418 1 0.2853 LMlag 1.1925 1 0.2748
> ujiLM<-lm.LMtests(model_olsY3,list=www,test=c("LMerr","LMlag")) > summary(ujiLM) Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence data: model: lm(formula = Y3 ~ X1 + X2 + X3) weights: www statistic parameter p.value LMerr 0.43348 1 0.5103 LMlag 0.11105 1 0.7390
140
Lampiran 3. Hasil luaran
APLIKASI METODE SPASIAL DURBIN MODEL (SDM) UNTUK ANALISIS
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENCEMARAN UDARA DI KABUPATEN
BANTUL, DIY
Kris Suryowati1, Rokhana Dwi Bekti
2, Khaifa Zulfenia
3
1,2,3Jurusan Statistika, Fakultas Sains Terapan, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
e-mail :1suryowati@akprind.ac.id,
2rokhana@akprind.ac.id,
3khaifaz@yahoo.com
“Dasampaikan pada Seminar Statistika , pada 15 Sept 2018, UNTAD Palu “
ABSTRACT
The continuously increasing population will have an impact on increasing industrial activities, technological
developments and so on, thus impacting on the deterioration of the quality of health and the environment,
especially air. Bantul Regency in Special Region of Yogyakarta (DIY), which consists of 17 sub-districts, is
an area that continues to grow and has increased population activities. In 2014, 16 sub-districts had been
contaminated by air quality. To find out things that can affect air pollution in the area, this study conducted
Spatial Autoregressive Models (SAR). This method is used as an alternative OLS method that does not meet
assumptions when used in the case of spatial data. The reason for using SAR is because there is an
autocorrelation in air quality among sub-districts. By OLS regression model, a significant factor influencing
is the number of villages according to the type of transportation infrastructure. However, this model does not
pay attention to the geographical location factor and the residual assumption that normal distribution is not
met. The results of SAR model show that if the population density is high, transportation infrastructure is
high, and the number of landfills in the hole or burned high then the number of villages polluted. also high.
A sub-district will have a high number of polluted villages if it is adjacent to other sub-districts with a high
number of polluted villages. However, the variable that has a significant influence (α = 5%) on air pollution
is number of villages according to the type of transportation infrastructure.
Keywords : air pollutant, regression analysis, Spatial Autoregressive Model
ABSTRAK
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada peningkatan aktifitas industri, perkembangan
teknologi, yang berakibat menurunnya kualitas lingkungan hidup khususnya udara sehingga dapat
menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. Salah satu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu
Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, merupakan daerah yang terus berkembang dan aktifitas
penduduk meningkat juga terdapat alih fungsi lahan, pariwisata juga mengalami peningkatan. Berdasarkan
data bahwa pada tahun 2014, dari 17 kecamatan 16 diantaranya telah tercemar kualitas udaranya. Untuk
mengetahui hal yang dapat mempengaruhi pencemaran udara di wilayah Bantul, maka penelitian ini
digunakan analisis regresi Spatial Durbin Models (SDM). Metode ini digunakan sebagai alternatif metode
OLS yang tidak memenuhi asumsi ketika digunakan pada kasus data spasial. Alasan penggunaan SDM
dikarenakan kualitas udara antar wilayah saling berhubungan. Berdasarkan model regresi dengan metode
OLS, faktor yang signifikan berpengaruh adalah jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, tetapi
model ini tidak memperhatikan faktor lokasi geografis dan asumsi residual tidak terpenuhi distribusi
normal. Melalui model SDM, diperoleh hasil bahwa jika kepadatan penduduk meningkat, prasarana
141
transportasi meningkat, dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar tinggi
maka jumlah desa yang tercemar udara juga meningkat. Berkaitan dengan letak geografis sehingga
kecamatan yang memiliki jumlah desa tercemar tinggi maka kecamatan-kecamatan lain yang bertetanggan
akan memiliki jumlah desa tercemar yang tinggi juga. Tetapi, variabel yang memberikan pengaruh
signifikan (α=5%) pada pencemaran udara adalah variabel jumlah desa menurut jenis prasarana
transportasi.
Kata kunci : pencemaran udara, analisis regresi, Spatial Durbin Model
1. PENDAHULUAN
Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1988,
pencemaran udara adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke udara
atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas udara turun hingga
ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya. Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya potensi pencemaran udara, diantaranya
dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti yang berasal dari pabrik, kendaraan bermotor, pembakaran
sampah, sisa pertanian dan peristiwa alam seperti kebakaran hutan, letusan gunung api yang mengeluarkan
debu, gas dan awan panas.
Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang terdiri dari 17 kecamatan,
merupakan daerah yang terus berkembang dan mengalami peningkatkan aktifitas penduduk. Pertumbuhan
penduduk terus meningkat, dimana laju pertumbuhan penduduknya pada 2000 – 2010 adalah 1,56%.
Sementara itu, dengan luas wilayah 506,85 km2 , kepadatan penduduk Kabupaten Bantul tahun 2016 adalah
1.940 jiwa per km2
(BPS, 2017). Menurut data Buku Potensi Desa, pada tahun 2011 terdapat 7 kecamatan
yang mengalami pencemaran udara kemudian pada tahun 2014 meningkat menjadi 16 kecamatan. Menurut
data pemantauan kualitas udara ambient di Kabupaten Bantul sejak tahun 2004 hingga 2015, parameter
Total Suspenden Particulate (TSP) telah melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Sementara itu,
konsentrasi SO2 dan CO di udara ambien juga terus mengalami peningkatan sejak tahun 2014 hingga 2016.
Peningkatan konsentrasi zat tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas udara.
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya pencemaran udara di Kabupaten Bantul. Untuk
mengetahui faktor-faktor dominan, maka penelitian ini melakukan analisis statistik regresi spasial. Analisis
regresi spasial merupakan pengembangan dari metode regresi linier klasik Ordinary Least Square (OLS)
berdasarkan hukum Tobler yang menyatakan“ bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, tetapi sesuatu yang lebih dekat akan mempunyai pengaruh yang lebih daripada sesuatu yang jauh”.
Ini berarti adanya pengaruh tempat atau spasial pada data yang dianalisis.
Metode OLS tidak memperhatikan posisi geografi data yang digunakannya atau tidak memperhatikan
unsur spasial dalam analisisnya. Dalam permodelan, apabila metode OLS digunakan sebagai alat analisis
pada data spasial, maka dapat menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas
dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Begitu juga pada analisis pemodelan pencemaran udara. Kualitas
udara dan pencemarannya juga sangat dipengaruhi oleh faktor posisi geografi. Setiap daerah memiliki
kondisi geografi dan pencemaran udara yang berbeda-beda. Selain itu, pencemaran kualitas udara antar
daerah juga dapat saling berhubungan. Dengan demikian, regresi spasial perlu digunakan.
142
Salah satu jenis model regresi spasial adalah Spatial Durbin Model (SDM) merupakan
penyempurnaan model SAR dengan memberikan lag pada variabel yang berpengaruh menurut Anselin dan
Rey (2010), SDM adalah model yang mengkombinasikan model SAR dengan lag spasial pada variabel
dependen artinya spasial lag muncul saat nilai observasi variabel dependen pada suatu lokasi berkorelasi
dengan nilai observasi variabel dependen di lokasi sekitarnya. Beberapa penelitian yang menggunakan
metode ini diantaranya Melati dkk (2016) serta Bekti, Nurhadiyanti, Irwansyah. (2014). Penelitian yang
menggunakan metode regresi spasial lainnya diantaranya Saputri dan Suryowati (2018), Suryowati, Bekti,
dan Faradila (2018).
Penelitian ini menggunakan metode regresi spasial SDM untuk mendapatkan faktor-faktor yang
signifikan mempengaruhi pencemaran udara di Kabupaten Bantul. Dengan analisis ini diharapkan dapat
memberikan informasi pencemaran udara dari segi pola dan faktor spasial.
2. METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang didasarkan pada tahun 2014
dengan 17 Kecamatan di Kabupaten Bantul. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kaupaten Bantul.
Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari variabel dependen (Y) yang berupa jumlah desa
menurut jenis pencemaran lingkungan yakni pencemaran udara. Data ini diperoleh dari Buku Statistik
Potensi Desa Kabupaten Bantul 2014. Sementara itu, variabel independen yang terdiri dari kepadatan
penduduk (X1), prasarana transportasi (X2), dan jenis tempat pembuangan sampah (X3). Kepadatan penduduk
didefinisikan sebagai Jumlah penduduk tiap wilayah (km2). prasarana transportasi didefinisikan sebagai
Jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat berupa jalan yang dilalui oleh kendaraan. Jenis
tempat pembuangan sampah didefinisikan sebagai Jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah
dalam lubang atau dibakar.
Metode analisis yang digunakan adalah regresi Spatial Durbin Model (SDM). Analisis regresi spasial
digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dengan
mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah dalam artian memperhitungkan ketergantungan antar
pengamatan yang satu dengan pengamatan yang lain. Pengamatan yang dikumpulkan bisa berasal dari suatu
titik atau area di suatu wilayah tertentu. Menurut Anselin (2013), LeSage dan Pace (2009) model umum
regresi spasial dapat ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:
(1)
( ) ( )
( )
dengan u = λW2 + ε ε ~ N(0, 2I)
Keterangan:
y : vektor variabel dependen, ukuran (n x 1)
X : matriks variabel independen, ukuran (n x (k+1))
β : vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1
ρ : parameter koefisien lag variabel dependen
λ : parameter koefisien lag pada error
u : vektor error berukuran (n x 1)
ε : vektor error berukuran (n x 1)
143
W1,W2 : Matriks pembobot, berukuran (n x n)
Pada persamaan (1), jika nilai ρ ≠ 0 atau λ = 0 maka menjadi Spatial Autoregressive Model (SAR)
seperti pada persamaan (2) yang mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen
y = ρW1y + Xβ + ε (2)
( ) ( )
dan ε ~ N(0,2I)
Model SAR dalam bentuk matriks 𝒚 = 𝝆𝑾1y + 𝜷 + 𝜺 (3)
dengan
[
] [
] [
] [
] [
] [
]
Spasial durbin model (SDM) merupakan kasus khusus dari SAR yaitu dengan menambahkan
pengaruh lag pada variabel independen sehingga ditambahkan spasial lag pada model. Pembobotan
dilakukan pada variabel independen maupun dependen. Bentuk model SDM adalah sebagai berikut (Anselin,
1988)& (Rokhana, 2017):
𝑾 𝜷 𝜷 𝑾 𝜷 𝜺 (4)
Memenihi 𝜺 ( ) dan 𝜷
[ ]
𝜷
[ ]
Estimasi Parameter Spatial Durbin Model Maximum Likelihood Estimation, dengan persamaan sebagai
berikut:
(5)
( ) dengan ( )
(6)
Estimasi adalah: �� ( ) ( 𝑾 )𝒚 dengan Z =[I X W1X] (7)
DenganZ =[I X W1X] (Anselin,1988)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1 berikut menunjukkan karakteristik pencemaran udara pada tahun 2011 dan 2014. Pada
tahun 2011 di Kabupaten Bantul terdapat 7 kecamatan yang memiliki desa tercemar udara. Selanjutnya
jumlah desa tercemar semakin meningkat hingga tahun 2014, dimana terdapat 16 kecamatan yang memiliki
desa tercemar udara. Secara rata-rata, terdapat 4 desa tercemar udara (mengalamai pencemaran lingkungan
yakni pencemaran udara) di setiap kecamatan. Dengan demikian dari tahun 2011 menjadi 2014 terdapat
peningkatan pencemaran udara. Tahun 2011 Tahun 2014
144
Gambar 1. Peta Tematik Presentase Jumlah Desa Tercemar Tahun 2011 dan 2014
Selanjutnya Gambar 1 juga menunjukkan pola spasial Kecamatan yang tercemar menurut Jumlah
Desa dengan Jenis Pencemaran Udara di Kabupaten Bantul tahun 2014. Pengelompokan kelas interal dibagi
menjadi 3 yaitu sebagai berikut:
4) Angka 0-3 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 0-3 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan
Pajangan dan Srandakan.
5) Angka 4-5 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 4-5 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan
Sedayu, Kasihan, Sewon, Piyungan, Pleret, Bantul, Pleret, Jetis, Pandak, Bamanglipuro, Pundong,
Sanden dan Kretek
6) Angka 6-8 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 6-8 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan
Banguntapan, Imogiri dan Dlingo
Menurut pola spasial, dapat diketahui bahwa Kecamatan dengan banyak desa tercemar adalah saling
mengelompok dan berdekatan, sebagai contoh adalah Kecamatan Imogiri dan Dlingo. Sementara itu,
Kecamatan yang berada di wilayah timur lebih memiliki banyak desa tercemar dibandingkan dengan wilayah
lainnya.
Gambar 2. Pola spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Pencemaran Udara
Gambaran pola spasial variabel independen juga dapat dilihat di Gambar 3. Kecamatan yang memiliki
kepadatan penduduk tinggi terletak pada kelas interval 3.388-4.755 jiwa/km2 yaitu berada pada kecamatan
Kasihan, Sewon dan Banguntapan. Ketiga kecamatan cenderung mengelompok dan berada Kab. Bantul
bagian utara. Kecamatan dengan jumlah desa yang memiliki banyak prasarana transportasi, yaitu yang
145
berupa berupa jalan yang dilalui oleh kendaraan, berada pada kelas interval 7-8 desa yaitu terdapat di
Kecamatan Banguntapan dan Imogiri. Kecamatan yang memiliki banyak desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar terletak pada kelas interval 7-8 yaitu berada di Kecamatan
Imogiri.
Kepadatan Penduduk Prasarana Transportasi
Jenis Pembuangan Sampah
Gambar 3. Pola spasial Kepdatan Penduduk, Prasarana Transportasi, dan Jenis Pembuangan Sampah.
3.1 Pemodelan Regresi Metode Ordinary Least Square (OLS)
Pada gambar pola spasial menunjukkan adanya indikasi pengaruh spasial antara kecamatan yang
satu dengan lainnya. Dengan demikian, perlu juga dibuktikan dengan melakukan pengujian efek spasial
guna mengetahui apakah terdapat keterkaitan antar Kecamatan di Kabupaten Bantul. Namun demikian,
sebelum dilakukan pemodelan spasial terlebih dahulu melakukan pemodelan regresi dengan metode OLS
serta menguji asumsi residual normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi
Estimasi parameter model regresi metode Ordinary Least Square (OLS) yang tidak melibatkan efek
spasial disajikan di Tabel 1.
Tabel 1. Output Regresi Metode OLS
Variabel Std. Eror P-value
Konstanta -1,0620 0,7795 -1,362 0,1962
0,0002 0,0003 0,890 0,3898
0,8777 0,3409 2,574 0,0231 *
0,2405 0,3837 0,627 0,5415
146
R-Square = 0,8756
P-value =
)
Berdasarkan tabel 1 diperoleh estimasi pemodelan regresi OLS sebagai berikut:
(8)
Secara umum, model dapat diinterpretasikan bahwa jika kepadatan penduduk (X1) di Kabupaten
Bantul naik sebesar 10.000 jiwa/km2 maka jumlah desa yang tercemar di Kabupaten Bantul naik sebesar 2
desa. Jika jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat berupa jalan (X2) naik sebesar satu jenis
prasarana transportasi maka dapat jumlah desa yang tercemar di Kabupaten Bantul naik sebesar 0,8777 desa.
Jika jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar (X3) naik sebesar
satu jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar maka jumlah desa yang tercemar
Kabupaten Bantul naik sebesar 0,2405 desa.
Model regresi OLS yang terbentuk mempunyai nilai R2 sebesar 0,8756 atau 87,56% yang berarti
ketiga variabel independen penelitian dapat menjelaskan pencemaran udara di Kabupaten Bantul sebesar
87,56% sedangkan sisanya sebesar 12,44% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil pengujian
asumsi klasik pada model regresi OLS dilakukan dengan uji Shapiro Wilks, Uji Durbin Watson, nilai VIF,
dan Breusch-Pagan. Hasil pengujian menunnjukkan bahwa asumsi yang terpenuhi adalah residual
independen, identik, dan tidak terjadi multikolinearitas. Sementara itu, asumsi residual berdistribusi normal
tidak terpenuhi.
Melalui pengujian pengujian signifikansi parameter menggunakan uji t diperoleh kesimpulan bahwa
terdapat satu variabel penelitian signifikan pada taraf α=5%, yakni variabel jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi darat (X2). Sedangkan kepadatan penduduk (X1) dan jumlah desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang/dibakar (X2) tersebut tidak signifikan berpengaruh.
3.2 Uji Efek Spasial
Uji efek spasial dilakukan dengan 2 uji yaitu uji Lagrange Multiplier (LM) dan Moran’s I. Menurut
uji LM di Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat dependensi spasial dalam lag maupun error.
Sedangkan hasil uji Moran’s I di Tabel 3 memberikan kesimpulan bahwa ada autokorelasi spasial yang
signifikan pada α=5% di variabel kepadatan penduduk atau terdapat keterkaitan pada data kepadatan
penduduk di Kabupaten Bantul. Sementara itu, variabel dependen dan independen yang lain tidak memiliki
autokorelasi spasial. Namun demikian, berdasarkan perbandingan nilai E(I) dan Moran’s I, dapat diketahui
bahwa nilai Moran’s I pada variabel dependen (Y) dan jenis tempat pembuanangan sampah (X3) lebih besar
dari E(I). Hal ini menunjukkan ada pola mengelompok antar lokasi pada variabel tersebut.
Tabel 2. Output Lagrange Multiplier
No Uji dependensi spasial Nilai P-value
1 Lagrange Multiplier lag 0,022 0,882
2 Lagrange Multiplier error 0,004 0,948
147
Tabel 3. Hasil Uji Morans’I
Variabel Morans’I E(I) p-value
Y 0,0760 -0,0625 0,3626
X1 0,2350 -0,0625 0,04162 *
X2 -0,2502 -0,0625 0,7958
X3 0,0314 -0,0625 0,4948
3.3 Hasil Spatial Durbin Model (SDM)
Pada penelitian ini diawali pemodelan spasial SAR, selanjutnya untuk model SDM merupakan
pengembangan model lag vareabel bebas dan tidak bebas karena model SDM merupakan pengembangan
model sar yaitu melibatkan lag digunakan sebab pada Asumsi pengujian regresi metode OLS terdapat
asumsi yang tidak dipenuhi yaitu distribusi normal residual yang tidak terpenuhi. Selanjutnya hasil estimasi
model SAR disajikan di Tabel 4. Model yang didapatkan adalah
321 2398,08781,00002,00094.01021,1ˆ XXXYWY jij
(9)
Tabel 4. Estimasi Parameter Model SAR
Variabel Koefisien Std.error Pr(|Z|)
Konstanta -1,1021 0,9855 -1,1183 0,2634
X1 0,0002 0,0002 1,0224 0,3066
X2 0,8781 0,2984 2,9421 0,0033*
X3 0,2398 0,3358 0,7141 0,4751
0,0094 0,1674 0,0651 0,9553
AIC = 46,55
Dari model dapat diinterpretasikan bahwa jika kepadatan penduduk tinggi, prasarana transportasi
tinggi, dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar tinggi maka jumlah desa
tercemar udara juga tinggi. Koefisien menunjukkan spasial lag variabel jumlah desa tercemar, memiliki
nilai estimasinya adalah 0,0094. Angka ini menunjukkan bahwa kecamatan yang bertetanggan dengan
kecamatan lain yang memiliki jumlah desa tercemar tinggi maka akan memiliki jumlah desa tercemar yang
tinggi. Pada uji signifikansi parameter dengan α=5%, variabel independen yang memberikan pengaruh
adalah variabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi (X2). Setelah dilakukan uji efek spasial
SAR diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat autokorelasi spasial pada lag sehingga dilakukan pengujian
menggunakan model SDM yang bertujuan untuk mendapatkan hasil adanya efek spasial lag pada variabel
dependen dan independen.
Hasil perhitungan berdasarkan output untuk model SDM , maka hasil perhitungan parameter
diperoleh pada tabel 5 berikut
148
Tabel 5 Hasil perhitungan parameter model SDM
Parameter Estimate
(intercept) 1,9903 1,3535 1,4705 0,1414
0,0004 0,0001 2,9378 0,0033*
1,1694 0,2147 5,4459 *
-0,1721 0,2479 -0,6944 0,4874
-0,0021 0,0005 -4,4604 *
1,5129 0,4733 3,1962 0,0013*
-0,9838 0,5682 -1,7316 0,0833
-0,3626 0,2777 -1,3057 0,19164
AIC = 33,058
*) signifikan pada
Persamaan modelnya adalah sebagai berikut,
∑
∑ ∑
∑
Nilai estimasi parameter , , menunjukkan koefisien regresi non spasial dan nilai estimasi
parameter , , menunjukkan parameter lag spasial pada variabel independen. Nilai estimasi
parameter menunjukkan pengaruh spasial lag variabel dependen.
Estimasi parameter bernilai -0,3626 dan koefisien parameter bernilai negatif menunjukkan bahwa
suatu Kecamatan akan memiliki jumlah desa yang tercemar yang rendah jika berdekatan dengan Kecamatan
yang memiliki jumlah desa tercemar tinggi.
Estimasi parameter bernilai 0,0004 dan nilai estimasi parameter bernilai -0,0021. Koefisien
parameter lag kepadatan penduduk bernilai negatif, menunjukkan bahwa Kecamatan yang kepadatan
penduduknya rendah dan bersebelahan dengan Kecamatan yang kepadatan penduduknya rendah akan
memiliki kecamatan dengan jumlah desa yang tercemar tinggi.Sehingga hal ini menunjukkan jika kepadatan
penduduk menurun maka Kecamatan dengan jumlah desa yang tercemar akan meningkat.
Estimasi parameter bernilai 1,1694 dan nilai estimasi parameter bernilai 1,5129. Koefisien
parameter lag jumlah desa menurut prasarana transportasi bernilai positif, menunjukkan bahwa Kecamatan
yang memiliki jumlah desa menurut prasarana transportasi tinggi dan bersebelahan dengan Kecamatan yang
memiliki jumlah desa menurut prasarana transportasi tinggi akan memiliki kecamatan dengan jumlah desa
yang tercemar tinggi juga. Sehingga hal ini menunjukkan jika Kecamatan yang memiliki jumlah desa
menurut prasarana transportasi tinggi maka akan meningkatkan jumlah desa yang tercemar.
149
Estimasi parameter bernilai -0,1721 dan nilai estimasi parameter bernilai -0,9838. Koefisien
parameter lag jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar bernilai negatif, menunjukkan
bahwa Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau
dibakar rendah dan bersebelahan dengan Kecamatan yang memiliki jumlah desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar rendah juga. Sehingga hal ini menunjukkan jika Kecamatan
yang memiliki jumlah desa menurut prasarana transportasi rendah maka jumlah desa yang tercemar akan
meningkat.
Berdasarkan uji residual dengan menggunakan uji Shapiro Wilk atau nilai p-value sehingga diperoleh
( ) dan artinya residual
berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji signifikansi parameter model SDM. Dari tabel 5 dengan taraf signifikansi
variabel yang memberikan pengaruh pada pencemaran udara adalah variabel kepadatan penduduk
( ) ditunjukkan nilai dan
. Kemudian variabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat ( ) yang ditunjukkan
olehnilai dan
maka 𝐻 ditolak. Selanjutnya variabel jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam
lubang atau dibakar ditunjukkan oleh nilai dan
maka 𝐻 tidak ditolak. Kemudian variabel lag kepadatan penduduk yang
ditunjukkan olehnilai dan p-value variabel lag kepadatan
penduduk maka 𝐻 ditolak. Dan variabel lag jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi darat yang ditunjukkan olehnilai p-value
variabel lag jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat = maka 𝐻
ditolak.
Selanjutnya dilakukan estimasi parameter kembali menggunakan variabel yang signifikan. Hasil
untuk masing-masing parameter signifikan dapat dilihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 6 Output Spatial Durbin Model untuk vareabe sifnifikan
Parameter
(intercept) 0,0102 0,7469 0,0137 0,9890
0,0004 0,0001 3,8784 0,0001 *
1,0320 0,0642 16,0633 *
-0,0015 0,0005
-5,5194 *
1,0574 0,0002 3,3537 0,0007 *
-0,6608 0,2577 -2,5647 0,0103*
AIC = 33,058
*) signifikan pada
150
Setelah diperoleh estimasi parameter model SDM yang signifikan adalah maka didapatkan model :
∑
∑ ∑
Sehingga dapat disimpulkan adanya pengaruh variabelkepadatan penduduk, jumlah desa menurut
jenis prasarana transportasi, lag kepadatan penduduk, lag jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi,
dan lag variabel dependen terhadap jumlah desa yang tercemar. Dengan kata lain terdapat pengaruh spasial
lag variabel dependen dan independen.
4. KESIMPULAN
Kejadian pencemaran udara di Kabupaten Bantul mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke tahun
2014., yang menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah tersebut kurang baik dan perlu diketahui faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Melalui model regresi OLS, faktor yang signifikan berpengaruh adalah
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, tetapi model ini memiliki kelemahan yaitu tidak
memperhatikan faktor spasial atau lokasi geografis dan asumsi residual tidak terpenuhi distribusi normal.
Melalui identifikasi pola spasial sehingga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh / efek spasial
pada kasus penelitian, yaitu adanya pola mengelompok pada data jumlah desa tercemar udara di setiap
kecamatan serta terdapat keterkaitan kepadatan penduduk antar kecamatan. Dengan demikian, sebagai
alternatif OLS adalah model regresi Spatial Durbin Model (SDM). Melalui model ini didapatkan hasil bahwa
jika kepadatan penduduk tinggi, prasarana transportasi tinggi, dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah
dalam lubang atau dibakar tinggi maka jumlah desa tercemar udara juga tinggi. Suatu kecamatan akan
memiliki jumlah desa tercemar tinggi jika bertetanggaan dengan kecamatan-kecamatan lain dengan jumlah
desa tercemar tinggi pula. Tetapi vareabel yang memberikan pengaruh signifikan pada pencemaran udara
yaitu kepadatan penduduk, jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi, lag kepadatan penduduk, lag
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Hibah Penelitian Kerjasama antar Perguruan Tinggi (PKPT)
dari Kemenristek Dikti Pendanaan tahun 2018. Terimakasih kami ucapkan kepada Kemenristek Dikti atas
dana yang diberikan, kepada IST AKPRIND Yogyakarta yang telah memberikan sarana dan prasarana
penelitian, serta Jurusan Statistika dan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai Tim
Peneliti Mitra (TPM).
DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L. (2013). Spatial econometrics: methods and models(Vol. 4). Springer Science & Business Media.
Anselin, L&S.J. Rey, 2010. Perspectives on Spatial Data Analysis. Santa Barbara,C, USA.
Bekti RD. (2011). Spatial Durbin Model (SDM) Untuk Mengetahui Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Diare di Kabupaten Tuban.Jurnal diterbitkanSurabaya. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
151
Bekti, R. D., Nurhadiyanti, G., & Irwansyah, E. (2014, October). Spatial pattern of diarrhea based on
regional economic and environment by spatial autoregressive model. In AIP Conference
Proceedings (Vol. 1621, No. 1, pp. 454-461). AIP.
LeSage, J., & Pace, R. K. (2009). Introduction to spatial econometrics. Chapman and Hall/CRC
Melati, P. M., Ramadhan, F., Nasution, A. Y., Mahardia, N. F. R., Setyaningsih, P. E., & Beksti, R. D.
(2016). Model Regresi Spasial Untuk Analisis Persentase Penduduk Miskin di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Jurnal Statistika Industri dan Komputasi, 1(1).
Saputri, W. A. K., & Suryowati, K. (2018). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
GINI RATIO DI PROVINSI PAPUA DENGAN MODEL SPASIAL DATA PANEL. Jurnal
Statistika Industri dan Komputasi, 3(2).
Suryowati, K., Bekti, R. D., & Faradila, A. (2018, April). A Comparison of Weights Matrices on
Computation of Dengue Spatial Autocorrelation. In IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering (Vol. 335, No. 1, p. 012052). IOP Publishing.
-------------------, 2017. Kabupaten Bantul dalam Angka 2017. Jakarta : BPS
------------------,2017, Statistika Potensi Desa Kab. Bantul, BPS, Jakarta
152
“ naskah fullpaper seminar nasional Statistika di Palu, 15 -16 September 2018 ,
Jurusan Statistika UNTAD dan FORSTAT)
METODE SPASIAL AUTOREGRESSIVE MODEL UNTUK ANALISIS FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PENCEMARAN UDARA DI KABUPATEN BANTUL,
DIY
Kris Suryowati1, Rokhana Dwi Bekti
2, Khaifa Zulfenia
3
1,2,3Jurusan Statistika, Fakultas Sains Terapan, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta
e-mail :1suryowati@akprind.ac.id,
2rokhana@akprind.ac.id,
3khaifaz@yahoo.com
ABSTRACT
The continuously increasing population will have an impact on increasing industrial activities, technological
developments and so on, thus impacting on the deterioration of the quality of health and the environment,
especially air. Bantul Regency in Special Region of Yogyakarta (DIY), which consists of 17 sub-districts, is
an area that continues to grow and has increased population activities. In 2014, 16 sub-districts had been
contaminated by air quality. To find out things that can affect air pollution in the area, this study conducted
Spatial Autoregressive Models (SAR). This method is used as an alternative OLS method that does not meet
assumptions when used in the case of spatial data. The reason for using SAR is because there is an
autocorrelation in air quality among sub-districts. By OLS regression model, a significant factor influencing
is the number of villages according to the type of transportation infrastructure. However, this model does not
pay attention to the geographical location factor and the residual assumption that normal distribution is not
met. The results of SAR model show that if the population density is high, transportation infrastructure is
high, and the number of landfills in the hole or burned high then the number of villages polluted. also high.
A sub-district will have a high number of polluted villages if it is adjacent to other sub-districts with a high
number of polluted villages. However, the variable that has a significant influence (α = 5%) on air pollution
is number of villages according to the type of transportation infrastructure.
Keywords : air pollutant, regression analysis, Spatial Autoregressive Model
INTISARI
Jumlah penduduk yang meningkat terus-menerus akan berdampak pada peningkatan aktifitas
industri, perkembangan teknologi, dan lain sebagainya sehingga berdampak pada menurunnya kualitas
kesehatan dan lingkungan hidup khususnya udara. Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
yang terdiri dari 17 kecamatan, merupakan daerah yang terus berkembang dan mengalami peningkatkan
aktifitas penduduk. Pada tahun 2014, dari 17 kecamatan 16 diantaranya telah tercemar kualitas udaranya.
Untuk mengetahui hal yang dapat mempengaruhi pencemaran udara di wilayah tersebut, maka penelitian
ini melakukan analisis regresi Spatial Autoregressive Models (SAR). Metode ini digunakan sebagai
alternatif metode OLS yang tidak memenuhi asumsi ketika digunakan pada kasus data spasial. Alasan
penggunaan SAR adalah karena kualitas udara antar wilayah saling berhubungan. Melalui model regresi
OLS, faktor yang signifikan berpengaruh adalah jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi. Namun
model ini tidak memperhatikan faktor lokasi geografis dan asumsi residual distribusi normal yang tidak
terpenuhi. Melalui model SAR, didapatkan hasil bahwa jika kepadatan penduduk tinggi, prasarana
transportasi tinggi, dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar tinggi maka
jumlah desa tercemar udara juga tinggi. Suatu kecamatan akan memiliki jumlah desa tercemar tinggi jika
bertetanggaan dengan kecamatan-kecamatan lain dengan jumlah desa tercemar tinggi pula. Namun
153
demikian, variabel yang memberikan pengaruh signifikan (α=5%) pada pencemaran udara adalah variabel
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi.
Kata kunci : pencemaran udara, analisis regresi, Spatial Autoregressive Model
5. PENDAHULUAN
Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1988,
pencemaran udara adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke udara
atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas udara turun hingga
ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya. Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya potensi pencemaran udara, diantaranya
dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti yang berasal dari pabrik, kendaraan bermotor, pembakaran
sampah, sisa pertanian dan peristiwa alam seperti kebakaran hutan, letusan gunung api yang mengeluarkan
debu, gas dan awan panas.
Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang terdiri dari 17 kecamatan,
merupakan daerah yang terus berkembang dan mengalami peningkatkan aktifitas penduduk. Pertumbuhan
penduduk terus meningkat, dimana laju pertumbuhan penduduknya pada 2000 – 2010 adalah 1,56%.
Sementara itu, dengan luas wilayah 506,85 km2 , kepadatan penduduk Kabupaten Bantul tahun 2016 adalah
1.940 jiwa per km2
(BPS, 2017). Menurut data Buku Potensi Desa, pada tahun 2011 terdapat 7 kecamatan
yang mengalami pencemaran udara kemudian pada tahun 2014 meningkat menjadi 16 kecamatan. Menurut
data pemantauan kualitas udara ambient di Kabupaten Bantul sejak tahun 2004 hingga 2015, parameter
Total Suspenden Particulate (TSP) telah melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Sementara itu,
konsentrasi SO2 dan CO di udara ambien juga terus mengalami peningkatan sejak tahun 2014 hingga 2016.
Peningkatan konsentrasi zat tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas udara.
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya pencemaran udara di Kabupaten Bantul. Untuk
mengetahui faktor-faktor dominan, maka penelitian ini melakukan analisis statistik regresi spasial. Analisis
regresi spasial merupakan pengembangan dari metode regresi linier klasik Ordinary Least Square (OLS)
berdasarkan hukum Tobler yang menyatakan“ bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, tetapi sesuatu yang lebih dekat akan mempunyai pengaruh yang lebih daripada sesuatu yang jauh”.
Ini berarti adanya pengaruh tempat atau spasial pada data yang dianalisis.
Metode OLS tidak memperhatikan posisi geografi data yang digunakannya atau tidak memperhatikan
unsur spasial dalam analisisnya. Dalam permodelan, apabila metode OLS digunakan sebagai alat analisis
pada data spasial, maka dapat menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas
dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Begitu juga pada analisis pemodelan pencemaran udara. Kualitas
udara dan pencemarannya juga sangat dipengaruhi oleh faktor posisi geografi. Setiap daerah memiliki
kondisi geografi dan pencemaran udara yang berbeda-beda. Selain itu, pencemaran kualitas udara antar
daerah juga dapat saling berhubungan. Dengan demikian, regresi spasial perlu digunakan.
Salah satu jenis model regresi spasial adalah Spatial Autoregressive Model (SAR). Menurut Anselin
dan Rey (2010), SAR adalah model yang mengkombinasikan model regresi OLS dengan lag spasial pada
variabel dependen artinya spasial lag muncul saat nilai observasi variabel dependen pada suatu lokasi
berkorelasi dengan nilai observasi variabel dependen di lokasi sekitarnya. Beberapa penelitian yang
154
menggunakan metode ini diantaranya Melati dkk (2016) serta Bekti, Nurhadiyanti, Irwansyah. (2014).
Penelitian yang menggunakan metode regresi spasial lainnya diantaranya Saputri dan Suryowati (2018),
Suryowati, Bekti, dan Faradila (2018).
Penelitian ini menggunakan metode regresi spasial SAR untuk mendapatkan faktor-faktor yang
signifikan mempengaruhi pencemaran udara di Kabupaten Bantul. Dengan analisis ini diharapkan dapat
memberikan informasi pencemaran udara dari segi pola dan faktor spasial.
6. METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang didasarkan pada tahun 2014
dengan 17 Kecamatan di Kabupaten Bantul. (lihat Gambar 1). Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik
Kaupaten Bantul.
Gambar 1. Peta Wilayah Lokasi Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari variabel dependen (Y) yang berupa jumlah desa
menurut jenis pencemaran lingkungan yakni pencemaran udara. Data ini diperoleh dari Buku Statistik
Potensi Desa Kabupaten Bantul 2014. Sementara itu, variabel independen yang terdiri dari kepadatan
penduduk (X1), prasarana transportasi (X2), dan jenis tempat pembuangan sampah (X3). Kepadatan penduduk
didefinisikan sebagai Jumlah penduduk tiap wilayah (km2). prasarana transportasi didefinisikan sebagai
Jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat berupa jalan yang dilalui oleh kendaraan. Jenis
tempat pembuangan sampah didefinisikan sebagai Jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah
dalam lubang atau dibakar.
Metode analisis yang digunakan adalah regresi Spatial Autoregressive (SAR). Analisis regresi spasial
digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dengan
mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah dalam artian memperhitungkan ketergantungan antar
pengamatan yang satu dengan pengamatan yang lain. Pengamatan yang dikumpulkan bisa berasal dari suatu
titik atau area di suatu wilayah tertentu. Menurut Anselin (2013), LeSage dan Pace (2009) model umum
regresi spasial dapat ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:
(1)
155
( ) ( )
( )
dimana u = λW2 + ε ε ~ N(0, 2I)
Keterangan:
y : vektor variabel dependen, ukuran (n x 1)
X : matriks variabel independen, ukuran (n x (k+1))
β : vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1
ρ : parameter koefisien lag variabel dependen
λ : parameter koefisien lag pada error
u : vektor error berukuran (n x 1)
ε : vektor error berukuran (n x 1)
W1,W2 : Matriks pembobot, berukuran (n x n)
Pada persamaan (1), jika nilai ρ ≠ 0 atau λ = 0 maka menjadi model dengan Spatial
Autoregressive Model (SAR) seperti pada persamaan (2) yang mengasumsikan bahwa proses autoregressive
hanya pada variabel dependen
y = ρW1y + Xβ + ε (2)
( ) ( )
ε ~ N(0,2I)
Model SAR dalam bentuk matrik:
𝒚 = 𝝆𝑾1y + 𝜷 + 𝜺 (3)
dengan
[
] [
] [
] [
] [
] [
]
7. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 berikut menunjukkan karakteristik pencemaran udara pada tahun 2011 dan 2014. Dari 17
kecamatan di Kabupaten Bantul pada tahun 2011, terdapat 7 kecamatan yang memiliki desa tercemar udara.
Selanjutnya jumlah desa tercemar semakin meningkat hingga tahun 2014, dimana terdapat 16 kecamatan
yang memiliki desa tercemar udara. Secara rata-rata, terdapat 4 desa tercemar udara (mengalamai
pencemaran lingkungan yakni pencemaran udara) di setiap kecamatan.
156
Tahun 2011 Tahun 2014
Gambar 2. Peta Tematik Presentase Jumlah Desa Tercemar Tahun 2011 dan 2014
Selanjutnya Gambar 3 juga menunjukkan pola spasial Kecamatan yang tercemar menurut Jumlah
Desa dengan Jenis Pencemaran Udara di Kabupaten Bantul tahun 2014. Pengelompokan kelas interal dibagi
menjadi 3 yaitu sebagai berikut:
7) Angka 0-3 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 0-3 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan
Pajangan dan Srandakan.
8) Angka 4-5 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 4-5 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan
Sedayu, Kasihan, Sewon, Piyungan, Pleret, Bantul, Pleret, Jetis, Pandak, Bamanglipuro, Pundong,
Sanden dan Kretek
9) Angka 6-8 menunjukkan Kecamatan yang memiliki 6-8 desa tercemar yaitu terdapat di Kecamatan
Banguntapan, Imogiri dan Dlingo
Menurut pola spasial, dapat diketahui bahwa Kecamatan dengan banyak desa tercemar adalah saling
mengelompok dan berdekatan, sebagai contoh adalah Kecamatan Imogiri dan Dlingo. Sementara itu,
Kecamatan yang berada di wilayah timur lebih memiliki banyak desa tercemar dibandingkan dengan wilayah
lainnya.
Gambar 3. Pola spasial Jumlah Desa Menurut Jenis Pencemaran Udara
157
Gambaran pola spasial variabel independen juga dapat dilihat di Gambar 4. Kecamatan yang memiliki
kepadatan penduduk tinggi terletak pada kelas interval 3.388-4.755 jiwa/km2 yaitu berada pada kecamatan
Kasihan, Sewon dan Banguntapan. Ketiga kecamatan cenderung mengelompok dan berada Kab. Bantul
bagian utara. Kecamatan dengan jumlah desa yang memiliki banyak prasarana transportasi, yaitu yang
berupa berupa jalan yang dilalui oleh kendaraan, berada pada kelas interval 7-8 desa yaitu terdapat di
Kecamatan Banguntapan dan Imogiri. Kecamatan yang memiliki banyak desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar terletak pada kelas interval 7-8 yaitu berada di Kecamatan
Imogiri.
Kepadatan Penduduk Prasarana Transportasi
Jenis Pembuangan Sampah
Gambar 4. Pola spasial Kepdatan Penduduk, Prasarana Transportasi, dan Jenis Pembuangan Sampah.
3.1 Pemodelan Regresi Metode Ordinary Least Square (OLS)
Pada gambar pola spasial menunjukkan adanya indikasi pengaruh spasial antara kecamatan yang
satu dengan lainnya. Dengan demikian, perlu juga dibuktikan dengan melakukan pengujian efek spasial
guna mengetahui apakah terdapat keterkaitan antar Kecamatan di Kabupaten Bantul. Namun demikian,
sebelum dilakukan pemodelan spasial terlebih dahulu melakukan pemodelan regresi dengan metode OLS
serta menguji asumsi residual normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi
Estimasi parameter model regresi metode Ordinary Least Square (OLS) yang tidak melibatkan efek
spasial disajikan di Tabel 1.
158
Tabel 1. Output Regresi Metode OLS
Variabel Std. Eror P-value
Konstanta -1,0620 0,7795 -1,362 0,1962
0,0002 0,0003 0,890 0,3898
0,8777 0,3409 2,574 0,0231 *
0,2405 0,3837 0,627 0,5415
R-Square = 0,8756
P-value =
)
Berdasarkan tabel 1 diperoleh estimasi pemodelan regresi OLS sebagai berikut:
(4)
Secara umum, model dapat diinterpretasikan bahwa jika kepadatan penduduk (X1) di Kabupaten
Bantul naik sebesar 10.000 jiwa/km2 maka jumlah desa yang tercemar di Kabupaten Bantul naik sebesar 2
desa. Jika jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi darat berupa jalan (X2) naik sebesar satu jenis
prasarana transportasi maka dapat jumlah desa yang tercemar di Kabupaten Bantul naik sebesar 0,8777 desa.
Jika jumlah desa menurut jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar (X3) naik sebesar
satu jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar maka jumlah desa yang tercemar
Kabupaten Bantul naik sebesar 0,2405 desa.
Model regresi OLS yang terbentuk mempunyai nilai R2 sebesar 0,8756 atau 87,56% yang berarti
ketiga variabel independen penelitian dapat menjelaskan pencemaran udara di Kabupaten Bantul sebesar
87,56% sedangkan sisanya sebesar 12,44% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil pengujian
asumsi klasik pada model regresi OLS dilakukan dengan uji Shapiro Wilks, Uji Durbin Watson, nilai VIF,
dan Breusch-Pagan. Hasil pengujian menunnjukkan bahwa asumsi yang terpenuhi adalah residual
independen, identik, dan tidak terjadi multikolinearitas. Sementara itu, asumsi residual berdistribusi normal
tidak terpenuhi.
Melalui pengujian pengujian signifikansi parameter menggunakan uji t diperoleh kesimpulan bahwa
terdapat satu variabel penelitian signifikan pada taraf α=5%, yakni variabel jumlah desa menurut jenis
prasarana transportasi darat (X2). Sedangkan kepadatan penduduk (X1) dan jumlah desa menurut jenis tempat
pembuangan sampah dalam lubang/dibakar (X2) tersebut tidak signifikan berpengaruh.
3.2 Uji Efek Spasial
Uji efek spasial dilakukan dengan 2 uji yaitu uji Lagrange Multiplier (LM) dan Moran’s I. Menurut
uji LM di Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat dependensi spasial dalam lag maupun error.
Sedangkan hasil uji Moran’s I di Tabel 3 memberikan kesimpulan bahwa ada autokorelasi spasial yang
signifikan pada α=5% di variabel kepadatan penduduk atau terdapat keterkaitan pada data kepadatan
159
penduduk di Kabupaten Bantul. Sementara itu, variabel dependen dan independen yang lain tidak memiliki
autokorelasi spasial. Namun demikian, berdasarkan perbandingan nilai E(I) dan Moran’s I, dapat diketahui
bahwa nilai Moran’s I pada variabel dependen (Y) dan jenis tempat pembuanangan sampah (X3) lebih besar
dari E(I). Hal ini menunjukkan ada pola mengelompok antar lokasi pada variabel tersebut.
Tabel 2. Output Lagrange Multiplier
No Uji dependensi spasial Nilai P-value
1 Lagrange Multiplier lag 0,022 0,882
2 Lagrange Multiplier error 0,004 0,948
Tabel 3. Hasil Uji Morans’I
Variabel Morans’I E(I) p-value
Y 0,0760 -0,0625 0,3626
X1 0,2350 -0,0625 0,04162 *
X2 -0,2502 -0,0625 0,7958
X3 0,0314 -0,0625 0,4948
3.3 Hasil Model Spatial Autoregressive (SAR)
Pada penelitian ini pemodelan spasial SAR digunakan sebab pada asumsi pengujian regresi metode
OLS terdapat asumsi distribusi normal residual yang tidak terpenuhi. Hasil estimasi model SAR disajikan di
Tabel 4. Model yang didapatkan adalah
321 2398,08781,00002,00094.01021,1ˆ XXXYWY jij
(5)
Tabel 4. Estimasi Parameter Model SAR
Variabel Koefisien Std.error Pr(|Z|)
Konstanta -1,1021 0,9855 -1,1183 0,2634
X1 0,0002 0,0002 1,0224 0,3066
X2 0,8781 0,2984 2,9421 0,0033*
X3 0,2398 0,3358 0,7141 0,4751
0,0094 0,1674 0,0651 0,9553
AIC = 46,55
Dari model dapat diinterpretasikan bahwa jika kepadatan penduduk tinggi, prasarana transportasi
tinggi, dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar tinggi maka jumlah desa
tercemar udara juga tinggi. Koefisien menunjukkan spasial lag variabel jumlah desa tercemar, memiliki
nilai estimasinya adalah 0,0094. Angka ini menunjukkan bahwa kecamatan yang bertetanggan dengan
kecamatan lain yang memiliki jumlah desa tercemar tinggi maka akan memiliki jumlah desa tercemar yang
tinggi. Pada uji signifikansi parameter dengan α=5%, variabel independen yang memberikan pengaruh
adalah variabel jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi (X2).
160
8. KESIMPULAN
Kejadian pencemaran udara di Kabupaten Bantul mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke tahun
2014. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah ini kurang baik dan perlu diketahui faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Melalui model regresi OLS, faktor yang signifikan berpengaruh adalah jumlah desa
menurut jenis prasarana transportasi. Namun demikian model ini memiliki kelemahan, karena tidak
memperhatikan faktor spasial atau lokasi geografis. Kelemahan lain adalah asumsi residual distribusi normal
yang tidak terpenuhi.
Melalui identifikasi pola spasial dapat diketahui bahwa ada efek spasial pada kasus penelitian, yaitu
adanya pola mengelompok pada data jumlah desa tercemar udara di setiap kecamatan serta terdapat
keterkaitan kepadatan penduduk antar kecamatan. Dengan demikian, sebagai alternatif OLS adalah model
regresi Spatial Autoregressive (SAR). Melalui model ini didapatkan hasil bahwa jika kepadatan penduduk
tinggi, prasarana transportasi tinggi, dan jumlah jenis tempat pembuangan sampah dalam lubang atau dibakar
tinggi maka jumlah desa tercemar udara juga tinggi. Suatu kecamatan akan memiliki jumlah desa tercemar
tinggi jika bertetanggaan dengan kecamatan-kecamatan lain dengan jumlah desa tercemar tinggi pula.
Namun demikian, variabel yang memberikan pengaruh signifikan pada pencemaran udara adalah variabel
jumlah desa menurut jenis prasarana transportasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Hibah Penelitian Kerjasama antar Perguruan Tinggi (PKPT)
dari Kemenristek Dikti Pendanaan tahun 2018. Terimakasih kami ucapkan kepada Kemenristek Dikti atas
dana yang diberikan, kepada IST AKPRIND Yogyakarta yang telah memberikan sarana dan prasarana
penelitian, serta Jurusan Statistika dan Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai Tim
Peneliti Mitra (TPM).
DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L. (2013). Spatial econometrics: methods and models(Vol. 4). Springer Science & Business Media.
Anselin, L&S.J. Rey, 2010. Perspectives on Spatial Data Analysis. Santa Barbara,C, USA.
Bekti, R. D., Nurhadiyanti, G., & Irwansyah, E. (2014, October). Spatial pattern of diarrhea based on
regional economic and environment by spatial autoregressive model. In AIP Conference
Proceedings (Vol. 1621, No. 1, pp. 454-461). AIP.
LeSage, J., & Pace, R. K. (2009). Introduction to spatial econometrics. Chapman and Hall/CRC
Melati, P. M., Ramadhan, F., Nasution, A. Y., Mahardia, N. F. R., Setyaningsih, P. E., & Beksti, R. D.
(2016). Model Regresi Spasial Untuk Analisis Persentase Penduduk Miskin di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Jurnal Statistika Industri dan Komputasi, 1(1).
Saputri, W. A. K., & Suryowati, K. (2018). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
GINI RATIO DI PROVINSI PAPUA DENGAN MODEL SPASIAL DATA PANEL. Jurnal
Statistika Industri dan Komputasi, 3(2).
Suryowati, K., Bekti, R. D., & Faradila, A. (2018, April). A Comparison of Weights Matrices on
Computation of Dengue Spatial Autocorrelation. In IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering (Vol. 335, No. 1, p. 012052). IOP Publishing.
-------------------, 2017. Kabupaten Bantul dalam Angka 2017. Jakarta : BPS
161
Modelling of Air Pollutant Standard Index (ISPU) PM10
based on Spatial Analysis and Geographically Weighted
Ordinal Logistic Regression
R D Bekti1, K Suryowati
2, W Ngabu
3, E Siswoyo
4, and R Fajriyah
5*,
1,2,3 Department of Statistics, Faculty of Applied Science, Institut Sains &
Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Jl. Bima Sakti No 3, Pengok, Yogyakarta, DIY,
Indonesia 4 Department of Environmental Engineering, Islamic University of Indonesia, Jl.
Kaliurang Km. 14,5 Yogyakarta 55584 5 Department of Statistics, Islamic University of Indonesia, Jl. Kaliurang Km. 14,5
Yogyakarta 55584
E-mail: rokhana@akprind.ac.id1, suryowati@akprind.ac.id
2,
bertongabu@gmail.com3, eko_siswoyo@uii.ac.id
4, rfajriyah@gmail.com
5
*Corresponding Author
Abstract. The ordinal logistic regression is an extended of regression model to handle outcome variables that has a
dependent variable in the levels form or in ordinal scale. If there is a location or spatial influence on a case study,
it approached by spatial analysis. Geographically Weighted Ordinal Regression (GWOLR) is a spatial methods as
alternative to ordinal logistic regression influenced the geographical location. This method was important to
analyse the factors affecting Air Pollutant Standard Index (ISPU). GWOLR used to obtain factors affecting the
ISPU PM10 in 25 locations in Special Region of Yogyakarta (DIY), Indonesia. The datas are from Environmental
Agency DIY in year 2017. The dependent variable is ISPU PM10 which category are medium, unhealthy, very
unhealthy, and dangerous. The independent variables are Ozone and Hydrocarbon. It was performed with fixed
bi-square weight and bandwidth 0.28951. The factors that influence ISPU PM10 in each location are different.
Ozone and hydrocarbon respectively has a significant effect at 21 and 2 locations. The diversity of these
parameters show that the characteristics of the ISPU and its influencing factors are different at each location.
Based on the comparison method, GWOLR is best because it has spatial influence.
1. Introduction
Population growth will increase various industrial activities, technological
developments, and so on. Various activities are carried out to improve the quality of life
and welfare. However, activities that do not comply with regulations will have an impact
on the quality of health and the environment, especially air and water. The Book of
Environmental Statistics in the Special Region of Yogyakarta (DIY) Province 2015/2016
states that the environmental problems faced in DIY include a decrease in the proportion
of agricultural land area, quality and extent of forest that is out of sync, air quality content,
water pollution, and river siltation. In addition data from Bureau of Statistics Indonesia,
during the period of 2011-2014, there was an increase in environmental pollution in DIY,
which is up to 250 percent. The most frequent pollution in 2014 was air pollution, which
“Naskah Fullpaper untuk Seminar Internasional INSPINSA di UNDIP Semarang
pad tanggal 26 Oktober 2018”
162
occurred in 415 villages. This number is higher than in 2011 which only occurred in 127
villages.
Increased air pollution in DIY can occur due to increased transportation and
industrial activities. The air will be polluted from exhaust emissions from transportation
fuels and the industry. Meanwhile, the effects of air pollution on humans can cause and
trigger respiratory diseases, eye and throat irritation. While carbon dioxide gas produced
from burning gasoline is identified as the main cause of global warming.
Based on these problems, this study identifies air quality in DIY. The identification
are about patterns of air pollution distribution and analysis of the factors that cause the
increase in pollution. The method of analysis of influential factors is carried out
deterministically and probabilistically. The probabilistic method used is spatial analysis,
namely Geographically Weighted Ordinal Logistic Regression (GWOLR) modeling.
GWOLR is a combination form of the Geographically Weighted Regression
(GWR) and logistic ordinal regression. The GWOLR model is used to model the
relationship between the ordinal scale dependent variables and independent variables
which each regression coefficient depends on the location where the data is observed ([1],
[2]). It’s also development from geographically weighted logistic regression (GWLR) for
two categorical dependent variable ([3]). It can be said that GWOLR is a local form of
logistic regression model where the influence of location is considered. Location is entered
into the model through the weighting function. Weighting is given to each observation.
Research [1] use GWOLR for modelling the incidence rate (IR) of dengue fever of
village in Semarang City, East Java Indonesia. The model parameters obtained by
modified ordinal logistic regression model with add coordinate locations of village. One
village have one model, because it’s the local model. Research [4] use the same method in
geo-referenced life satisfaction survey data in Beijing, China to explore the socio-spatial
variations of life satisfaction and how association of air pollution and life satisfaction. This
research also state that with the method with ordinal response variables are increasingly
explored in a wide range of social science disciplines. Then, the GWOLR off ers a flexible
exploratory tool to explore the spatial aspects of data. About the assumption models, it
able to address the issue of spatial heterogeneity.
This research use GWOLR to estimate model of Air Pollutant Standard Index
(ISPU) PM10 in DIY. Furthermore, this reseacrh also show the characteristics, spatial
pattern of air quality, and factors that influencing the ISPU PM 10
2. Geographically Weighted Ordinary Logistic Regression (GWOLR)
Research [2] state that the GWOLR model is a combination of Geographically
Weighted Regression (GWR) models and ordinal logistic regression models. The GWOLR
model is used to model the relationship between ordinal scale response variables and
predictor variables, which each regression coefficient depend on the location where the
163
data is observed. In other words, GWOLR is a local form of logistic regression model
where the influence of location is noticed. The geographical location is used in the model
through the weighting function in each observation. Research [5] was use Geographically-
Temporally Weighted Regression to modeling PM10 in Surabaya. GWR model as used by
[6]
Suppose the dependent variable consists of G categories, the ordinal logistic
regression is
βx
x
xx
T
ig
ii
ii
iigYP
gYPgYP
|1
|ln|logit
(1)
Then, the GWOLR model for the i location can be written as follows:
ii
T
iiig
ii
ii
ii
vuvu
gYP
gYPgYP
,,
|1
|ln|logit
βx
x
xx
(2)
where g is the categories (1,2,....., G-1 ). {αg (ui, vi)} is an intercept in locations i with
coordinate longitude and latitude (ui, vi). It needs the conditions α1 (ui, vi) ≤ α2 (ui, vi) ≤ ... ≤
αG-1 (ui, vi). Vector β(ui, vi) = [ β1(ui, vi) β2(ui, vi) ... βp(ui, vi) ]T is a vector regression
coefficient for location i . Matrix x is the independent variable.
[2] state that cumulative probability for the g-category, g = 1,2,...G-1, can be
expressed as
ii
T
iiig
ii
T
iiig
iivuvu
vuvugYP
,,exp1
,,exp|
βx
βxx
(3)
Suppose π*g (xi) = P(Yi ≤ g|xi) express probability the dependent variable at location i
which has categories g in xi, then
ii
T
iiiG
ii
T
iiiG
ii
T
iiig
ii
T
iiig
igvuvu
vuvu
vuvu
vuvu
,,exp1
,,exp
,,exp1
,,exp)(
1
1*
βx
βx
βx
βxx
(4)
The parameter of GWOLR θ(ui, vi) = [ α1 (ui, vi) α2 (ui, vi) ... αG-1 (ui, vi) β1(ui, vi)
β2(ui, vi) ... βp(ui, vi) ]T can be estimate by weighted Maximum Likelihood Estimation
(MLE). Suppose there are n random sample Y1, Y2, ... Yn with the probability g-category is
π*g(xi), then Yi = (yi1, yi2, ... yi,G-1) and multinomial (1; π*1(xi), π*2(xi), ..., π*G-1(xi))
configure likelihood function as follows:
164
ig
ig
yn
i
G
g ii
T
iiiG
ii
T
iiiG
ii
T
iiig
ii
T
iiig
n
i
G
g
y
ig
vuvu
vuvu
vuvu
vuvu
1 1 1
1
1 1
*
,,exp1
,,exp
,,exp1
,,exp
)(
βx
βx
βx
βx
x
(5)
Suppose the weight for each location (ui, vi) is wj(ui, vi), j,i = 1, 2, ..., n, then the weighted
ln-likelihood function is
),(,,exp1
,,exp
,,exp1
,,expln*
1 1 1
1
iij
n
j
G
g ii
T
iiiG
ii
T
iiiG
ii
T
iiig
ii
T
iiig
jg vuwvuvu
vuvu
vuvu
vuvuyL
βx
βx
βx
βx
(6)
weighted ln-likelihood function for dependent variable that have four categories (G=4)
),(,,exp11
,3,,,exp2,2,,exp2
,,exp,,exp,,expln
,,exp1ln
,,exp,,expln
,,exp1ln,,*
112
32121
3213
132
122
1
132111
iijii
T
jiijj
ii
T
jiiiiiiii
T
jiiii
ii
T
jiiii
T
jiiii
T
jiij
ii
T
jiijj
ii
T
jiiii
T
jiij
n
j
ii
T
jiijjjii
T
jiij
vuwvuvuyy
vuvuvuvuvuvuvu
vuvuvuvuvuvuy
vuvuyy
vuvuvuvuy
vuvuyyyvuvuyL
βx
βxβx
βxβxβx
βx
βxβx
βxβx
(7)
Parameter estimation at the i location are obtained by performing the first partial
derivative of the parameters to be estimated and then equated with zero. The first partial
derivative obtained is a nonlinear function of the parameters to be estimated so that a
numerical method is needed to obtain the parameter estimation. The numerical method that
can be used is the Newton-Raphson iteration method.
[1] were perform parameter estimation of GWOLR based on Newton Rapson and
build R Programming. The method includes iteration process which is a repetition process.
The advantage is that it has quadratic convergence rate thus it is faster to convergence
toward the approached solution than those which have linear convergence rate.
3. Methodology
This research uses secondary data in the Special Province of Yogyakarta, which
consists of 5 regrencies or city districts, namely Gunung Kidul, Kulonprogo, Bantul,
165
Sleman , and Yogyakarta City. This study covers 25 locations or sample point in the DIY
area (see Figure 1 and Table 1). Secondary data sourced from Environmental Agencies
(BLH) DIY. Air quality data and factors that can influencing it were in 2017
Figure 1. Location of study
Table 1. Names of location
No Code Location No Code Location
1 I In front of Ruko Janti 14 U In front of Mirota Godean
2 J In front of STTL campus 15 G In front of TVRI
3 H In front of UPN seturan 16 R In front of Shapir Hotel
4 A Simpang Empat Ngelang 17 F Crossroad of Denggung
5 B Simpang tiga Toyan 18 E In front of GKBI Medari
6 D Pertigaan teteg/simpang tiga 19 P In front of past Merapi golf Office
7 C Wates Terminal 20 Q Crossroad of Mirota
8 X In front of toko Besi Dongkelan 21 Z In front of Patuk Subdistrict Office
9 Y Crossroad of Gose 22 AA Crossroad of Gading
10 V Crossroad of Wojo 23 AB Simpang Empat siyono
11 W Crossroad of Druwo 24 AC Wonosari Terminal
12 S In front of Tentrem Hotel 25 AD Crossroad of RSUD Wonosari
13 T In front of Jetis Subdistrict office
The dependent variable is Air Pollutant Standard Index (ISPU) PM10 which has 5
categories which is in accordance with BAPEDAL provisions . There were good (0 – 50),
medium (51 – 100), unhealthy (101 – 199), very unhealthy (200 – 299), and dangerous
166
(more than 300). The independen variable are ozone (O3) and Hydrocarbons (HC). There
were no data included in category good in the data ISPU PM10 in 2017, so this research
use four categories in dependent variable. There were medium (code 2) , unhealthy (code
3), very unhealthy (code 4), and dangerous (code 5) catogories.
The Air Pollution Standard Index (ISPU) is a number, does not have a unit, that
describes the ambient air quality conditions at a location and time based on the impact on
human health, aesthetic values and other living things. It used to indicate the level of
pollutant in the air. In Indonesia ISPU is regulated based on the Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (Bapedal) Number KEP-107/Kabapedal/11/1997. The index is
calculated from the concentrations of the following pollutants: Ozone (O3), Nitrogen
Dioxide (NO2), Sulphur Dioxide (SO2), carbon monoxide (CO), and dust particles (PM10).
They are all major air pollutants that come from human activities.
This research use ISPU PM10 which the measurement is in 24 hours. ISPU PM10
is the air pollution index calculated from particulate (PM10). There are the meaning for
each categories
- good : the level of air quality that has no effect on human or animal health and does
not affect plants, buildings or aesthetic values
- medium : there is a decrease in visibility
- unhealthy : visibility decreases and dust contamination occurs everywhere
- very unhealthy: increased sensitivity in patients with asthma and bronchitis
- dangerous : dangerous which can generally harm serious health in the population
Meanwhile, particulates are solid or liquid in the air and in the form of smoke, dust
and steam with very small diameters (from <1 micron to 500 microns), which can stay in
the atmosphere for a long time. Besides disturbing aesthetics, small particles in the air can
be sucked into the respiratory system and cause respiratory problems and lung damage.
The particulate materials are complex and a mixture of carbon based particles, dust, and
acid aerosols.
Ozone (O3) consists of three oxygen molecules which very dangerous to human
health. It is compounds in the air other than oxygen which have oxidizing properties. The
compounds formed are secondary pollutants produced due to interactions between primary
pollutants and sunlight ([7]). HC is an air pollutant which can be in the form of gas, liquid
or solid. It consist of hydrogen and carbon.It can come from industrial processes that are
167
emitted into the air. HC is one of motor vehicle exhaust gas which pollutes the atmosphere
([8]).
Research [9] have been correlation analysis between Polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs), as toxic pollutants from hydrocarbon groups, and PM10 and other
air quality in Xiamen, China. The results shows that there is significant correlation
between PAHs and PM10. Then [10] also investigating correlations and variations of air
pollutant concentrations under conditions of rapid industrialization – Kocaeli using
regression and correlation analysis.
The steps of analysis are build spatoal pattern of ISPU PM 10 and independent
variable, estimate ordinal regression, spatial dependency test, and estimate the GWOLR
model. The estimate GWOLR model refer to [11] and Zuhdi and [12] which use Nowton
Rapson iteration and R software. The general steps for GWOLR are determine location
coordinate, bandwidth, weigthing matrix, parameter estimation, and parameter
significance test.
4. Results
4.1 Spatial Pattern
Characteristics of variables in this research is shown in Table 2. Mean of PM 10 was
198.37 ug/Nm3. There were 13 locations that have value PM 10 which higher than quality
standard 150 ug/Nm3. Ozone and hydrocarbons have mean respectivelly 3.92 ug/Nm
3 and
20.07 ug/Nm3. The value were still under the quality standard.
Table 2. Characteristics of Ozone, Hydrocarbons, and ISPU PM10
Variables Minimum Maximum Mean Standard deviation
PM10 55.27 714.61 198.37 146.26
ISPU PM10 52.63 614.61 138.79 116.86
Ozone (X1) 14.74 32.42 18.77 3.92
Hydrocarbons (X2) 8.97 113.94 19.76 20.07
From 25 locations points in Figure 2, there is 1 location that has dangerous category
ISPU PM10, 4 locations very unhealthy, 8 locations unhealthy, and 12 locations in
medium category. There are 13 locations that have ISPU PM10 in category unhealthy,
very unhealthy, and dangerous. It shows that air quality in DIY is apprehensive and need
attention. The location D, simpang tiga Kulonprogo, has dangerous category of ISPU
PM10.
168
Figure 2 also presents information that it has a clustered pattern. Several location
points are close together and tend to have the same level of ISPU. As an example, the
location point V, W, U, and Q which close together in City of Yogyakarta and all off them
are have ISPU unhealty. The higher ISPU was located in the central part of DIY or tend
towards the city of Yogyakarta which have higher population density, industry, and
tourism. This cause the high population activity, especially in transportation.
Figure 2. Spatial Pattern of ISPU PM10
Spatial pattern of ozone and hydrocarbons are shown in Figure 3. The higher value
of Ozone was located at DIY in central part to the nort and the highest at D locations
“Simpang Tiga Kulonprogo”. The highest value of Hydrocarbon was located at central of
DIY. The location is Q or crossroad of Mirota.
Spatial pattern in figure 2 and 3 show that there are spatial effect. There are cluster
pattern and dependencies among locations. Moran’s test in Table 3 also give the results of
autocorrelation test which perform dependencies among locations. Hydrocarbon has P
value 0.08 that less than α=10%. It shows that there is spatial autocorrelation hydrocarbon
among locations. It defined as a measure of the similarity hydrocarbon in a space
(distance, time and region). If there is a systematic pattern in the distribution of a variable,
then there is spatial autocorrelation. Spatial autocorrelation indicates that the attribute
value in a particular area is related to the value of the attribute in another area that is
neighboring.
169
Figure 3. Spatial Pattern of Ozone and Hydrocarbon
Table 3. Moran’s Test
Variable Moran’s I P-value
ISPU PM10 0.009 0.993
Ozone -1.070 0.285
Hydrocarbon -1.725 0.084
4.2 Ordinal Logistic Regression and GWOLR Model
The purpose of this research are estimate model of Air Pollutant Standard Index
(ISPU) PM10 in DIY and factors that influencing it. These analysis performs by ordinal
logistic regression and Geographically Weighted Ordinary Logistic Regression (GWOLR).
Ordinal logistic regression uses to obtain model which do not use spatial factors and which
will be compared with GWOLR. GWOLR will obtain model with spatial factors. Each
location has different model parameter estimates and factors that influence ISPU PM10.
Table 4 shows the estimation parameter from ordinal regression. The logit model are
Logit nHydrocarbo 0.034 + Ozone 0.228 + 4.727)|2(ˆ xYP
Logit nHydrocarbo 0.034 + Ozone 0.228 + 406.6)|3(ˆ xYP
Logit nHydrocarbo 0.034 + Ozone 0.228 + 759.8)|4(ˆ xYP (8)
Based on the significance test simultaneously, use test statistics G2 distributed chi
square, produce G2 = 5.338 which higher than X
2(0,1;2) = 4.605. Thus it can be concluded
that Ho is rejected or there is at least one variable that has significant influencing ISPU
PM10, between ozone or hydrocarbon. Then, a partial significance test is carried out by
170
Wald test. Ozone significantly affects ISPU PM10 at 5% or 10% significance level,
because Wald value 4.250 is higher than X2(0,1;1) = 2.705.
Table 4. Estimation Parameter of Ordinal Regression
Estimate Std. Error Wald P value Odds Ratio
[ISPU = 2 = medium] 4.727 2.236 4.469 0.035
[ISPU = 3 = unhealthy] 6.406 2.414 7.045 0.008
[ISPU = 4 = very unhealthy] 8.759 2.907 9.078 0.003
Ozone 0.228 0.111 4.250 0.039 1.260
Hydrocarbon 0.034 0.021 2.553 0.110 1.034
The next step is to estimate the GWOLR parameters. It uses the kernel fixed
bisquare weight. The optimum bandwidth value is obtained by Geographically Weighted
Regression (GWR) concept. From the calculation on software R, the optimum bandwidth
is 0.28951. The estimation of the GWOLR model is carried out in each location with the
following steps, for example the I location:
13. Input data
14. Calculate the weight matrix of each location with the size 25 x 25. The kernel fixed
bisquare weight matrix as in Equation (10) and the element matrix as in Equation
(9) ([13])
28951.0untuk,0
28951.0untuk,)28951.0/(1),(
22
ij
ijij
iij
d
ddvuW (9)
032.0...000
...............
0...988.000
0...0940.00
0...001
),( 11 vuW (10)
15. Give the initial value θ, that is (0.01, 0.025, 0.05, 0.001, 0.0005)
16. Determine functions θ for each category of dependent variable
17. Calculate ln (L) from function θ
18. Calculate the hessian matrix and the gradient value from function ln (L) at each
location
19. Input the e value as the error margin
20. Calculate V(m+1)= Vm – h-1
mGm
171
21. Calculate ||Vm+1 – Vm||
If ||Vm+1 – Vm|| ≥ e then the iteration process goes to step 11, otherwise the
iteration process goes to steps 12.
22. Get and displaying Vm+1
23. Change Vm = Vm+1 and m = m + 1, then back to step 7
24. Get and displaying the results of iteration Vm+1
The result of parameter estimation for all locations are shown in Table 5. Model for I
location which calculated from previous steps are
)002.0077.0742.0exp(1
)002.0077.0742.0exp()(
21
21
1XX
XXxP I
)002.0077.0742.0exp(1
)02.0077.042,.0exp(
)002.0077.0697.0exp(1
)002.0077.0697.0exp()(
21
21
21
21
2XX
XX
XX
XXxP I
)002.0077.0742.0exp(1
)002.0077.0742.0exp(
)002.0077.0697.0exp(1
)002.0077.0697.0exp(
)002.0077.0349.2exp(1
)002.0077.0349.2exp()(
21
21
21
21
21
21
3
XX
XX
XX
XX
XX
XXxP I
)002.0077.0349.2exp(1
)002.0077.0349.2exp(1)(
21
21
4XX
XXxP I
Table 5. Parameter Estimation of GWOLR model
Location )(ˆ
,1 ii vu )(ˆ,2 ii vu )(ˆ
,3 ii vu )(ˆ,1 ii vu )(ˆ
,2 ii vu
I -0.742 -0.697 2.349 0.077 0.002
J 0.518 0.563 3.354 0.015 0.002
H -0.983 -0.938 2.206 0.088 0.002
A 8.531 8.576 10.120 -0.385 -0.002
B 9.011 9.056 9.876 -0.327 0.027
D 9.967 10.011 9.589 -0.401 0.013
C 9.888 9.933 9.039 -0.388 0.018
X 3.642 3.687 6.295 -0.156 -0.002
Y 6.228 6.273 8.828 -0.291 -0.006
V 2.550 2.595 5.268 -0.096 0.000
W 3.062 3.107 5.750 -0.124 -0.001
S 1.935 1.979 4.752 -0.068 0.000
T 2.233 2.278 5.016 -0.084 0.000
U 3.703 3.747 6.297 -0.161 -0.001
172
G 1.846 1.891 4.675 -0.064 0.000
R 0.481 0.526 3.455 0.011 0.001
F 0.682 0.727 3.665 -0.003 0.001
E 0.734 0.779 3.543 0.001 0.003
P 0.173 0.218 3.240 0.024 0.001
Q 1.362 1.407 4.250 -0.038 0.001
Z 0.387 0.432 2.961 0.033 0.004
AA 9.237 9.281 9.127 -0.373 0.002
AB 10.831 10.875 10.632 -0.460 0.023
AC 11.040 11.085 11.875 -0.478 0.039
AD 10.596 10.641 10.146 -0.459 0.048
Testing the significance of the GWOLR model parameters simultaneously is carried
out with the following hypothesis (Rifada, 2011):
H0 : β1(ui, vi) = β2(ui, vi) = 0
H1 : At least one βk(ui, vi) ≠ 0
With test statistics G2 is 15,396, it’s conclude to reject null hypothesis.
396.15
ˆln
),(
),(
ln225
1
4
1
*25
1
4
1
1
12
i g
igig
i gn
j
iij
n
j
iijjg
ig y
vuw
vuwy
yG x
Table 6 shows the Z value of GWOLR estimation parameter for each locations. It is
use to find out whether ozone and hydrocarbons significantly affect IPSU PM10. The
hypothesis are (Purhadi, Rifada, and Wulandari; 2012)
H0 : βk(ui, vi) = 0
H1 : βk(ui, vi) ≠ 0, k = 1, 2
The conclusion is reject null hypothesis if |Zvalue | > Zα/2 with
),(ˆ/),(ˆiikiikvalue vuSEvuZ and Z10%/2 = 1.645. Through comparison of Zvalue and
Zα/2, Ozone significant at 21 locations and hydrocarbons significant at 2 locations.
173
Table 6. Zvalue of Estimation Parameter
Location Z(1 ) Z(
2 ) Location Z(1 ) Z(
2 )
I 5.881* 0.258 U -12.734* -0.129
J 1.119 0.212 G -5.010* 0.039
H 6.663* 0.230 R 0.821 0.146
A -26.735* -0.171 F -0.239 0.164
B -20.180* 1.588 E 0.049 0.354
D -24.482* 0.869 P 1.870* 0.147
C -23.401* 1.094 Q -2.938* 0.066
X -12.064* -0.205 Z 2.134* 0.403
Y -19.988* -0.621 AA -21.503* 0.133
V -7.328* -0.058 AB -29.561* 1.094
W -9.492* -0.129 AC -35.006* 1.984*
S -5.319* 0.014 AD -32.783* 2.356*
T -6.583* -0.012
Note : Significant at significance level 10%
Figure 4 also shows the mapping ozone and hydrocarbond which influenced in every
locations. Ozone has significantly affect ISPU PM10 at almost all locations, except 4
locations J, R, F, and E. That four location located at Yogyakarta City and Sleman
Regency, at nortern part of DIY, that have smaller ozone that other locations. Meanwhile,
locations AA, AB, AD, and AC at eastern part of DIY also location A, B, C, and D at
western part of DIY have higher Zvalue ozone than other locations. It was indicated that
ozone has more influential in that location.
Model interpretation can be seen from the odds ratio, exp(βk(ui, vi)), from each
variable and location. As example location A has odd ratio ozone e-0.385
= 0.680. It shows
that these locations have a smaller probability of getting ISPU PM 10 dangerous than other
locations that have lower ozone. The opposite, location I has odd ratio ozone e0.077
= 1.081.
It shows that these locations have a higher probability of getting ISPU PM 10 dangerous
than other locations that have lower ozone
Hydrocarbons significantly affect ISPU PM 10 at AC and AD located at eastern part
of DIY. The odd ratio of hydrocarbons at AC and AD are e0.039
= 1.040 and e0.048
= 1.049
shows that these locations have a higher probability of getting ISPU PM 10 dangerous
than other locations that have lower hydrcarbon.
Based on the results of parameter estimation and significantly test, every locations
has different characteristics in terms of the influence of ozone and hydrocarbon. Ozone has
174
a significant effect on a location, but not on other locations. Ozone has a bad impact to the
ISPU PM10 on a location, but not in other locations. Similarly for hydrocarbons. By the
GWOLR method, as as spatial analysis, researchers can analyze the characteristics of
ISPU and the factors that influence it in each location. Analysis can be done more sharply
according to location characteristics. It can also analyze how a geographical location and
the relationship between locations affect ISPU. Spatial analysis has important rules.
Figure 4. Significant variable maps at each location
5. Conclussion
Air quality in DIY is apprehensive and need attention because air pollution has
increased every year. In 2011 and 2014, there were 127 and 415 villages that have air
pollution. This is also obtain from ISPU PM10 analysis in this research. From 25
locations, there is 1 location that has dangerous category ISPU PM10, 4 locations very
unhealthy, 8 locations unhealthy, and 12 locations in medium category.
175
Ozone (O3), Nitrogen Dioxide (NO2), Sulphur Dioxide (SO2), carbon monoxide
(CO), and dust particles (PM10) are major air pollutants that come from human activities.
This research choose ISPU PM10 as dependent variable and Ozone and Hydrocarbon
(HC) as independent variables. Based on ordinal logistic regression, ozone Ozone
significantly affects ISPU PM10. Because there is a spatial effect on variables, GWOLR
modeling is done.
Spatial method has important rules on air quality analysis. By the GWOLR method,
as as spatial analysis, researchers can analyze how a geographical location and the
relationship between locations affect ISPU PM10. In this research, every locations has
different characteristics in terms of the influence of ozone and hydrocarbon. Ozone has a
significant effect at 21 locations and hydrocarbon has a significant effect at 2 locations.
6. References
[1] P. W. Shaifudin Zuhdi, Dewi Retno Sari Saputro, “Parameters Estimation of
Geographically Weighted Ordinal Logistic Regression (GWOLR) Model,” in IOP
Conf. Series: Journal of Physics: Conf. Series, 2017, p. 012064.
[2] P. Rifada, Marisa, “Pemodelan Tingkat Kerawanan Demam Berdarah Dengue di
Kabupaten Lamongan dengan Pendekatan Geographically Weighted Ordinal
Logistic Regression,” in PROSIDING SEMINAR NASIONAL STATISTIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO 2011, 2011, pp. 978–979.
[3] P. M. Atkinson, S. E. German, D. A. Sear, and M. J. Clark, “Exploring the
Relations Between Riverbank Erosion and Geomorphological Controls Using
Geographically Weighted Logistic Regression,” Geogr. Anal., vol. 35, no. 1, pp.
58–82, 2003.
[4] G. Dong, T. Nakaya, and C. Brunsdon, “Geographically weighted regression
models for ordinal categorical response variables: An application to geo-referenced
life satisfaction data,” Comput. Environ. Urban Syst., vol. 70, no. January, pp. 35–
42, 2018.
[5] K. Aisyiah and I. N. Latra, “Pemodelan Konsentrasi Partikel Debu ( PM 10 ) pada
Pencemaran Udara di Kota Surabaya dengan Metode Geographically-Temporally
Weighted Regression,” J. Sains Dan Seni Pomits, vol. 2, no. 1, pp. 1–6, 2014.
[6] R. D. Bekti, Andiyono, and E. Irwansyah, “Mapping of Illiteracy and Information
and Communication Technology Indicators Using Geographically Weighted
Regression,” J. Math. Stat., vol. 10, no. 2, pp. 130–138, 2014.
176
[7] M. A. HRP, “HUBUNGAN ANTARA KUALITAS UDARA AMBIEN (O3, SO2,
NO2 DAN PM10) DENGAN KEJADIAN ISPA (INFEKSI SALURAN
PERNAPASAN AKUT) DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2014-2017,” 2018.
[8] Sinolungan J, “Dampak Polusi Partikel Debu Dan Gas Kendaraan Bermotor Pada
Volume Dan Kapasitas Paru.,” Biomedik, vol. 1, no. 2, pp. 65–80, 1992.
[9] X. H. Wang, C. X. Ye, H. L. Yin, M. Z. Zhuang, S. P. Wu, J. L. Mu, and H. S.
Hong, “Contamination of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Bound to
PM10/PM2.5 in Xiamen, China,” Aerosol Air Qual. Res., vol. 7, no. 2, pp. 260–276,
2007.
[10] Ş. Ç. Doǧruparmak and B. Özbay, “Investigating Correlations and Variations of Air
Pollutant Concentrations under Conditions of Rapid Industrialization - Kocaeli
(1987-2009),” Clean - Soil, Air, Water, vol. 39, no. 7. pp. 597–604, 2011.
[11] S. Zuhdi and D. R. S. Saputro, “R programming for parameters estimation of
geographically weighted ordinal logistic regression (GWOLR) model based on
Newton Raphson,” AIP Conf. Proc., vol. 1827, 2017.
[12] S. Zuhdi, D. Retno, and S. Saputro, “MASALAH NILAI AWAL ITERASI
NEWTON RAPHSON UNTUK ESTIMASI PARAMETER MODEL REGRESI
LOGISTIK ORDINAL TERBOBOTI GEOGRAFIS ( RLOTG ),” no. November,
pp. 927–934, 2016.
[13] S. Fotheringham, C. Brunsdon, and M. Charlton, Geographically weighted
regression: The analysis of spatially varying relationships. New York: John Wiley
& Sons, 2003.
Acknowledgments
This research is part of the Hibah Penelitian Kerjasama antar Perguruan Tinggi (PKPT) from
Kemenristek Dikti Funding in 2018. We thank you to Kemenristek Dikti for the funds provided, to
IST AKPRIND Yogyakarta which has provided research facilities and infrastructure, and the
Department of Statistics and Environmental Engineering Indonesian Islamic University (UII) as a
Partner Research Team (TPM).
177
Lampiran 4: Usulan Penelitian Lanjutan Tahun Ke 2
Judul : ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AIR TANAH
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN METODE
SPASIAL
RINGKASAN
Kualitas udara akan berdampak pada kualitas air, dalam hal ini yang akan dikaji yaitu
kualitas air tanah. Analisis kualitas air menjadi penting di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) mengingat perkembangan kegiatan penduduk, transportasi, pariwisata, dan industri
di wilayah ini semakin meningkat. Sementara itu, tercemarnya air menyebabkan gangguan
kesehatan pada masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini melakukan analisis factor yang
mempengaruhi kualitas air di DIY dengan metode spasial SAR, SEM dan SDM.
Karakteristik kualitas air dibeberapa lokasi saling berhubungan secara spasial. Tujuan
adalah nendapatkan gambaran kualitas air disetiap daerah di DIY, Memperoleh faktor-
faktor apa yang mempengaruhi kualitas air, mendapatkan prediksi kualitas air melalui
analisis pemodelan spasial, mengetahui pengaruh pencemaran udara yang berasal dari
kualitas air hujan terhadap kualitas air sumur, serta mendapatkan gambaran tindakan yang
dilakukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat melalui peningkatan kuaitas
air. Target luaran publikasi di jurnal internasional terindeks dan memperoleh hak cipta.
Tingkat kesiapan teknologi TKT 5 : Komponen Teknologi telah divalidasi dalam
lingkungan yang relevan. Penelitian ini dilakukan antara TPP dari Jurusan Statistika, IST
AKPRIND Yogyakarta dengan TPM dari Jurusan Statistika dan Teknik Lingkungan
Universitas Islam Indonesia (UII). TPP telah memiliki ahli bidang analisis statistic, tetapi
fasilitas alat pengambilan dan pengujian sampel air kurang memadai serta software
analisis statistik juga belum memadai. Oleh karena itu TPM berperan untuk menyediakan
hal tersebut. Adapun pertimbangan kesedian menjadi mitra adalah kondisi dan kapasitas
ruang workshop atau laboratorium Jurusan Statistika dan Teknik Lingungan UII yang
memadai.
Kata Kunci : Komponen kualitas air, metode spasial, SAR, SEM, SDM.
LATAR BELAKANG
Berbagai aktifitas penduduk dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kesejahteraan, apabila tidak sesuai peraturan akan berdampak pada kualitas lingkungan
hidup khususnya udara dan air. Buku SLH di Propinsi DIY 2015/2016 menyebutkan
permasalahan lingkungan hidup yaitu menurunnya proporsi luas lahan pertanian, tidak
sinkronnya mutu dan luas hutan, kandungan kualitas udara, pencemaran air, dan
pendangkalan sungai. Selain itu, selama kurun waktu 2011-2014, terjadi peningkatan
pencemaran lingkungan hidup di DIY, yaitu hingga diatas 250 persen.
Pada umumnya pencemar udara nerdampak pada kualitas air melalui emisi gas
dari udara dapat terbawa oleh air hujan dan meresap melalui tanah ke badan air. Gas-gas
buang yang mengandung oksida nitrogen dan oksida sulfur (NOx dan SOx) dapat bereaksi
dengan molekul-molekul air di udara membentuk asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat
178
(HNO3) kemudian turun ke bumi sebagai hujan asam. Melalui sistem rembesan dalam
tanah (ground wafer cycle), hujan asam ini berpengaruh terhadap kualitas air sumur.
Parameter pH (derajat keasaman), daya hantar listrik (DHL), dan Total Dissolved
Solids/total padatan terlarut (TDS) diukur langsung di lapangan, sedangkan pengukuran
konsentrasi N03 (nitrat), S042 (sulfat), logam Fe (besi), dan kesadahan (CaCO3)
dilakukan di laboratorium. (Iryani, 2002)
Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini melakukan identifikasi
kualitas air khususnya kualitas air sumur di DIY, berupa pola penyebaran polusi air di
setiap wilayah kabupaten dan kota, serta analisis factor-faktor yang mengakibatkan
meningkatnya polusi tersebut. Metode analisis factor yang berpengaruh dilakukan secara
deterministik dan probabilistik. Metode probabilistic yang digunakan adalah analisis
spasial, yaitu pemodelan Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM) dan
Spasial Durbin Model (SDM). Apabila salah satu lokasi mengalami pencemaran air maka
lokasi lain yang berdekatan akan ikut tercemar pula, hal ini sesuai dengan hukum pertama
tentang geografi dikemukakan oleh Tobler.(Anselin, 1988).
Penelitian tentang kualitas lingkungan telah dilakukan oleh Bekti, Tanty, Herlina,
dan Solehudin (2015), yaitu tentang analisis kualitas air tanah di Jabodetabek
menggunakan metode spasial, penelitian tersebut belum melakukan analisis factor-faktor
penyebab pencemaran. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis spasial hingga detail
faktor penyebab pencemar di setiap wilayah. Pencemaran spesifik pada pencemaran air di
DIY.
Hasil penelitian diharapkan dapat mengidentifikasi pola pencemaran di setiap
wilayah dan factor-faktor penyebabnya. Metode yang digunakan adalah metode spasial
SAR, SEM dan SDM. Hasil ini selanjutnya dirumuskan untuk mendapatkan langkah-
langkah pencegahannya. Perumusan pencegahan akan menjadi pengetahuan ke masyakat
dalam menjaga kesehatan kuaitas air dan rekomendasi pemerintah dalam melaksanakan
kebijakan.
Tujuan dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran kualitas air disetiap
daerah di DIY, faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas air, dapat memprediksi
kualitas air melalui pemodelan spasial, mengetahui pengaruh pencemaran udara yang
berasal dari kualitas air hujan terhadap kualitas air sumur , mendapatkan perumusan
langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pendidikan masyakat dalam menjaga
kesehatan kuaitas air
TINJAUAN PUSTAKA
Bekti, Tanty, Herlina, dan Solehudin (2014) dan Tanty, Bekti, Herlina, dan
Nurlelasari (2014) yang melakukan pemetaan kualitas air tanah di Jabodetabek
menggunakan metode autokorelasi spasial , peningkatan kualitas kesehatan penduduk,
seperti yang dilakukan oleh Prasetyo, Suryowati, dan Bekti (2016).
Hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel
independen dapat dinyatakan dalam model regresi linier (Draper dan Smith, 1992 dan
suryowati, 2015). Bentuk umum regresi linear berganda
Model tersebut dapat pula ditulis dalam bentuk matriks yaitu
β Adapun rumus penaksir parameter kuadrat terkecil (Ordinary Least Square), yaitu
sebagai berikut.
( )
179
Uji simultan merupakan suatu uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah
semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan kedalam model mempunyai
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat (Ghozali, 2011), dengan statistika uji yang digunakan adalah Fhitung.
Fhitung
1
)ˆ(
)ˆ(
1
2
1
2
kn
yy
k
yy
n
iii
n
ii
Selain uji simultan secara keseluruhan, juga dilakukan uji parsial untuk mengetahui
sejauh mana masing-masing variabel independen mempengaruhi variabel dependen.
H0 : βi = 0
H1 : βi ≠ 0, i = 1, 2, ..., p.
Statistik uji yang digunakan adalah statistik t.
( )
2.3 Regresi Spasial
Analisis spasial digunakan untuk memasukkan pola spasial dalam penelitian.
Menurut Zhang, dkk (2010), pola spasial dapat dideteksi dengan Exploratory Spatial Data
Analysis (ESDA). ESDA memiliki tujuan utama untuk mendeteksi pola spasial mengingat
keterkaitan spasial mungkin terjadi pada data geografis (Setiani 2014).
Anselin(1993) dalam Setiani (2014) menyarankan bahwa ESDA harus berfokus
pada aspek spasial yang berupa keterkaitan spasial dan heterogenitas spasial.
Heterogenitas spasial sangat penting untuk dipertimbangkan dalam suatu kajian spasial
karena unit geografis sangat berpengaruh terhadap struktur hubungan (heterogenitas) antar
wilayah, sering terjadi bersamaan dengan autokorelasi spasial, data cross-section,
heterogenitas spasial dan autokorelasi spasial sering terlihat sama
Menurut Wang dkk (2012) dalam Rahayu (2014) pada sampling spasial sangat
penting untuk mempertimbangkan adanya autokorelasi dan heterogenitas dari populasi
yang akan digunakan.
Rati (2013) dan suryowati,dkk (2018) juga menjelaskan bahwa di dalam suatu
observasi yang mengandung informasi ruang atau spasial, maka analisis data tidak akan
akurat jika hanya menggunakan analisis regresi sederhana. Anselin mengusulkan tiga pendekatan untuk mendefinisikan matriks W yaitu contiguity, distance, dan general (Rati,
2013). Matriks W dengan pendekatan contiguity menggunakan interaksi spasial antar
wilayah yang bertetangga, yaitu interaksi yang memiliki persentuhan batas wilayah
(common boundary). Matriks W yang terbentuk selalu simetris. Secara umum terdapat
beberapa tipe interaksi dalam penentuan matriks W yaitu Rook countiguity, Bishop
contiguity dan Queen contiguity.
Efek spasial dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu spatial dependence dan
spatial heterogenity. Spatial dependence terjadi akibat adanya ketergantungan antar
wilayah. Sedangkan spatial heterogenity terjadi akibat adanya keragaman antar wilayah.
(Almudita, 2012).
Efek spasial ini dapat diselesaikan dengan melakukan pengujian Breusch-Pagan
test (BP test), Anselin (Astuti, dkk., 2013).
Spatial Dependence atau dependensi spasial (ketergantungan spasial) terjadi
akibat adanya dependensi dalam data wilayah. Uji yang digunakan untuk mengetahui
spatial dependence di dalam error suatu model adalah dengan menggunakan statistik
Moran’s I dan Langrange Multiplier (LM) (Anselin, 1988).
180
Nilai indeks ini berkisar antara −1 dan 1. Menurut Lee dan Wong (2011) Moran’s
Index (I) dapat dihitung dengan formula:
= ∑ ∑ ( )(( )
(∑ ∑ )( )
Nilai ekspektasi dari Moran’s I menurut Lee & Wong, (Rati, 2013) adalah
1
1)( 0
nIIE
Ada atau tidaknya autokorelasi pada data dilihat dengan membandingkan nilai
Moran’s I (I) dengan nilai ekspektasi Moran’s I (I0).
Secara visual, Moran’s I dapat dilihat dengan scatter plot. Lee & Wong
menjelaskan, Moran’s I scatter plot adalah sebuah diagram untuk melihat hubungan
antara nilai amatan pada suatu lokasi (distandarisasi) dengan rata-rata nilai amatan
dari lokasi-lokasi yang bertetanggan dengan lokasi yang bersangkutan (Ratih, 2013).
Model Spatial Autoregresive adalah model regresi linier yang pada peubah
responnya terdapat korelasi spasial (Anselin, 1988). Model SAR merupakan model yang
terbentuk dari kombinasi antara model regresi linier sederhana dengan lag spasial variabel
independen dengan menggunakan data cross section.
Model SAR (Anselin, 1988) terbentuk apabila nilai ρ≠0 dan =0, sehingga
diperoleh bentuk umum sebagai berikut.
Y = ρ Wy + Xβ + ε
ε ~N (0, σ2 I)
Suatu data dikatakan mengikuti model SAR apabila data mengandung dependensi lag
spasial atau hasil pada pengujian LM menunjukkan hanya LMlag > 𝒳( ,1). Model Spatial Error Method (SEM) adalah model regresi linier yang pada peubah
responnya terdapat dependensi error spasial. Model SEM (Anselin, 1988) terbentuk
apabila nilai ρ=0 dan ≠0, sehingga diperoleh persamaan
Y = Xβ + λ Wu + ε
ε ~N (0, σ2 I)
Model SEM dengan parameter error spasial () menunjukkan bahwa model ini adalah model regresi linier yang pada peubah galatnya terdapat korelasi spasial.
Spatial Durbin Model (SDM) digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel
dependen dan variabel independen dengan mempertimbangkan keterkaitan antar wilayah.
Pengamatan yang dikumpulkan bisa berasal dari suatu titik atau area di suatu wilayah
tertentu. Menurut Anselin (2013), LeSage dan Pace (2009) model umum regresi spasial
dapat ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:
( ) ( )
( )
dengan u = λW2 + ε ε ~ N(0, 2I)
Keterangan:
y : vektor variabel dependen, ukuran (n x 1)
X : matriks variabel independen, ukuran (n x (k+1))
β : vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1
ρ : parameter koefisien lag variabel dependen
λ : parameter koefisien lag pada error
181
u : vektor error berukuran (n x 1)
ε : vektor error berukuran (n x 1)
W1,W2 : Matriks pembobot, berukuran (n x n)
Pada persamaan (1), jika nilai ρ ≠ 0 atau λ = 0 maka menjadi Spatial
Autoregressive Model (SAR)
Spasial durbin model (SDM) merupakan kasus khusus dari SAR yaitu dengan
menambahkan pengaruh lag pada variabel independen. Pembobotan dilakukan pada
variabel independen maupun dependen. Bentuk model SDM adalah sebagai berikut
(Anselin, 1988)& (Rokhana, 2017):
𝑾 𝜷 𝜷 𝑾 𝜷 𝜺
Memenihi 𝜺 ( ) dan 𝜷
[ ]
𝜷
[ ]
Estimasi Parameter Spatial Durbin Model Maximum Likelihood Estimation, dengan
persamaan sebagai berikut:
(2.27)
( ) dengan ( )
(2.28)
Estimasi adalah: �� ( ) ( 𝑾 )𝒚 dengan Z =[I X W1X] (2.29) DenganZ =[I X W1X] (Anselin,1988)
Ukuran kebaikan model dapat dilihat dengan membandingkan nilai Akaike
Information Criterion (AIC) dan koefisien determinasi (R2). Sukarna (2006). Koefisien
determinasi ini biasanya digunakan untuk melihat kecocokan model regresi yang
dinotasikan dengan R2 (Walpole & Myers, 1995).
METODE
Langkah-langkah penelitian tahun pertama secara umum disajikan pada Gambar 3.1,
meliputi
1. Persiapan dan observasi awal dilakukan bersama oleh TPP dan TPM. Kegiatan ini
dilakukan melalui penelusuran referensi dan kondisi wilayah penelitian, sehingga
dapat menentukan sampling pengambilan data.
2. Pengumpulan data dilakukan dengan data primer dan sekunder. Kegiatan ini
dilakukan oleh TPP. Namun untuk data primer kualitas air adalah bersama TPM.
Data primer kualitas air tersebut selanjutnya di uji di labolatorium TPP.
3. Analisis data dilakukan bersama oleh TPP dan TPM. Analisis ini meliputi
pemetaan kualitas air, pemodelan spasial, pemetaan, dan analisis data tingkat
lanjut.
4. Pembuatan pemetaan kualitas air
182
Gambar Diagram alur proses penelitian.
Lokasi Penelitian dan Sumber Data
Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Bantul, DIY (lihat Gambar 4.1). Survei
pengambilan sampel air dilakukan di 17 Kecamatan. Pengujian kadar kimia air akan
dilakukan di Laboratorium Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas Islam Indonesia (UII). Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling
purposive proporsional, yaitu mengambil sejumlah sampel air di setiap kecamatan di
Kabupaten Bantul. Sampel yang diambil yaitu komponen kualitas kimia anorganik pada
sumur terbuka milik penduduk. Parameter kimia air anorganik tersebut meliputi
kekeruhan, TDS, Fe, F, Cd, Cl , Mn, NO2, pH, Zn, CN, sulfat, atau Pb. Jumlah sampel
yang diambil di setiap kecamatan dan beberapa lokasi lain dan terdiri dari 20 titil lokasi,
sehingga total.
Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan data cross-sectional dengan observasi berupa
kecamatan-kecamatan di Kecamatan Bantul. Variabel penelitian yang digunakan terdiri
dari variable dependen dan independen sesuai dengan model SAR dan model SEM
Variabel dependen (Y) adalah tentang air sumur, yang meliputi kekeruhan, TDS, Fe, F,
Cd, Cl , Mn, NO2, pH, Zn, CN, sulfat, atau Pb. Sedangkan variabel independen (X)
meliputi: jumlah penduduk (X1), luas hutan (X2), luas pemukiman (X3), jumlah industry
(X4), serta kualitas udara (X5).
Metode analisis meliputi :
Data Primer : Survei kandungan
kimia pada sampel air
Persiapan
Kadar kimia air
Data Sekunder :
KLH, BPS, Dinkes,
dan lain-lain
Analisis data
Model SAR Model SDM
Analisis kandungan di
labolatorium
Analisis gambaran kualitas air
disetiap daerah di DIY,
pemetaan, pemodelan, dan
faktor-faktor yang
Pemodelan Spasial
Kesimpulan Tahun 2
Pengumpulan
data
Proses output
Keterangan :
Model SEM
183
a. Analisis deskriptif, meliputi rata-rata, standard deviasi, nilai minimum dan
maksimum untuk mengetahui kualitas air.
b. Pemetaan kualitas air
c. Penentuan pembobot spasial
d. Analisis autokorelasi spasial
e. Analisis pemodelan spasial SAR, SEM, dan SDM
f. Pemilihan model terbaik
g. Prediksi kualitas air
.
JADWAL pelaksanaan tahun ke 2
No Nama Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Observasi/Survey pendahuluan (TPP dan TPM)
2. Penentuan jumlah sampling di tiap wilayah
(TPP)
3. Survei untuk pengambilan sampel (TPP)
4. Pengujian kualitas udara di labolatorium (TPM)
5. Pengolahan data dari hasil uji labolatorium
(TPM)
6. Analisa data awal dan pemetaan (TPP)
7. Pengkajian metode dan Analisis spasial (TPP
dan TPM)
8. Publikasi ( TPP dan TPM )
9. Pembuatan laporan akhir (TPP dan TPM)
DAFTAR PUSTAKA
Anselin, L., 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Ist Edn., Kluwer
Academic Publishers, Netherlands, ISBN-10: 9024737354, pp: 304.
Bekti, RD., Tanty, H., Herlina, T., dan Solehudin (2015), Pemetaan Kualitas Air Tanah
Akibat Pencemaran Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Hibah Pekerti Dikti 2015.
BPS. 2016. Statistik Potensi Desa Provinsi DI Yogyakarta. Jakarta :BPS.
Bekti, R. D., Tanty, H., Herlina, T., & Solihudin. 2014. Spatial Autocorrelation of
Inorganic Compound in Groundwater. OSR Journal of Mathematics (IOSR-JM).
Volume 10, Issue 6 Ver. III (Nov - Dec. 2014), PP 01-05
Draper, N.R. and Smith, H. 1992. Applied Regression Analysis,Second Edition. John
Wiley and sons, Inc. New York.
Ghozali, Imam. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS 19
(edisi kelima.) Semarang: Universitas Diponegoro
Iryani, A., 2002, Pengaruh Pengaruh pencemaran udara terhadap kualitas air sumur,
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, Bogor
MUTMAINNA, A. (2015). Analisis Tingkat Pencemaran Udara Pada Kawasan Industri di
Makassar.
Myers, R.H., 1990, Classical and modern regression with application, second
edition,Boston:PWS-KENT Publishing Company.
Prasetyo, R. D., Suryowati, K., & Bekti, R. D. (2016). Pengelompokkan Kabupaten/Kota
Dijawa Tengah Berdasarkan Variabelindikator Kesehatan Menggunakan Analisis Cluster.
Jurnal Statistika Industri Dan Komputasi, 1(1).
184
Suryowati, K., Bekti, R. D., & Faradila, A. (2018, April). A Comparison of Weights Matrices on
Computation of Dengue Spatial Autocorrelation. In IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering (Vol. 335, No. 1, p. 012052). IOP Publishing.
Suryowati, K., 2016, Analisis pseudoinvers dan aplikasinya pada regresi linear
berganda, Proseding SNAST 2016, IST Akprind, Yogyakarta
Tanty, H., Bekti, R. D., Herlina, T., & Nurlelasari. (2014, October). MANOVA statistical
analysis of inorganic compounds in groundwater Indonesia. In S. C. Dass, B. H.
Guan, A. H. Bhat, I. Faye, H. Soleimani, & N. Yahya (Eds.), AIP Conference
Proceedings (Vol. 1621, No. 1, pp. 492-497). AIP.
Walpole, Ronald E., Raymond H Myers.; “Ilmu Peluang Dan Statistika untuk Insinyur
dan Ilmuawan”, edisi ke-4, Penerbit ITB, Bandung, 1995.
.
185
Lampiran 5 : Deskripsi Ketua dan anggota Peneliti Tim Peneliti
No Nama/NIDN
Jabatan Bidang
Keahlian Instansi Asal
Alokasi
Waktu
(jam/minggu)
1 Kris Suryowati,
S.Si.,M.Si/
0026067102
Ketua
TPP
Matematika
Terapan,
Statistika
Jurusan Statistika,
FST, Institut Sains
& Teknologi
AKPRIND
Yogyakarta dan
10
jam/minggu
2 Rokhana Dwi
Bekti, S.Si, M.si/
0306038601
Anggota
TPP
Statistika Jurusan Statistika,
FST, Institut Sains
& Teknologi
AKPRIND
Yogyakarta dan
10
jam/minggu
3 Rohmatul
Fajriyah, S.Si,
M.Si,
PhD/0512017201
Ketua
TPM
Statistika Jurusan Statistika,
FMIPA, Universitas
Islam Indonesia
(UII)
10
jam/minggu
4 Eko Siswoyo, ST,
MSc.ES, MSc,
Ph.D/0522077601
Anggota
TPM
Teknik
Lingkungan
Jurusan Teknik
Lingkungan, FTSP,
Universitas Islam
Indonesia (UII)
10
jam/minggu
186
Lampiran 6. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja
187
188
Lampiran 7 Kontrak Penelitian
189
190
191
192
193
top related