analisis faktor-faktor yang mempengaruhi indeks ... · dimana desebutkan pendidikan memainkan peran...
Post on 02-Mar-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
66
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS
PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT
5.1 Analisis Model Regresi Data Panel
Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam
persamaan regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS menurut
Kabupaten/ Kota di Jawa Barat selama tahun 2004-2008. Tabel 5.1 menyajikan
hasil estimasi regresi dari model data panel. Pada model data panel, koefisien
estimasi yang disajikan merupakan hasil dari dua metode estimasi, yaitu Fixed
Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Penggunaan kedua
metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat
kebaikan serta validitas kedua metode estimasi yang digunakan.
Tabel 5.1 Hasil Regeresi Data Panel Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks
Pembangunan Manusia di Jawa Barat.
Variabel FEM REMKoefisien P-Value Koefisien P-Value
(1) (2) (3) (4) (5)C 4,195010 0,0000 4,284716 0,0000LNPDRBK 0,006177 0,0000 0,007869 0,0280LNPOV -0,008545 0,0883 -0,025559 0,0000LNSRNPEN 0,014065 0,0248 0,016927 0,0000LNGR 0,014856 0,0000 0,091829 0,7192LNSRNKES 0,005097 0,0130 -0,013509 0,0768LNPKES 0,003635 0,0000 0,006641 0,0877LNSRNINF 0,013470 0,0130 0,005178 0,3393Hausman Test 34,660205 0,0000F-Statistic 339,7745 0,0000 14,84418 0,0000Adjusted R-Squared 0,988331 0,438684
Dari hasil regresi data panel tersebut, terlihat bahwa FEM lebih baik
dibandingkan dengan metode REM. Hal ini tercermin dari statistik uji Hausman
(34.6602) yang signifikan terhadap taraf uji 10 persen dengan p-value 0,0000,
artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah
penjelas dengan komponen error.
67
Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf uji 10 persen yang
ditunjukkan dengan nilai statistik uji F (339,7745) dan p-value0,00. Nilai adjusted
R2bernilai 0,988331yang berarti keragaman tingkat indeks pembangunan manusia
dapat dijelaskan oleh PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan
pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur sebesar
98,83 persen, sedangkan sisanya 1,17 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
diluar model.
Model FEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
pembobotan pada cross section (Panel EGLS /Cross-section weights). Hal ini
dilakukan untuk mengurangi heteroskedastis antar unit cross section.Berdasarkan
hasil estimasi pada tabel 5.1, semua variabel yang diuji signifikan terhadap indeks
pembangunan manusia. Selain itu bentuk natural logaritma dari model dilakukan
untuk memudahkan mengukur elastisitas antar variabel. Dengan demikian
koefisien parameter dari hasil regresi tersebut juga menunjukkan elastisitas dari
variabel-variabel yang dimasukkan dalam model.
5.2 Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia
5.2.1 PDRB per kapita
Berdasarkan tabel 5.1, PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap IPM Jawa Barat. PDRB per kapita berpengaruh positif
terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien PDRB per kapita adalah
0,006177yang berarti kenaikan 1 persen PDRB per kapita akan menaikan
IPM sebesar 0,006177, dengan asumsi cateris paribus.
PDRB per kapita juga menggambarkan kemampuan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. PDRB per kapita juga
menggambarkan kesejahteraan keluarga dalam suatu kabupaten/ kota.
Peningkatan PDRB per kapita tentu memberikan kemudahan dalam
memenuhi segala kebutuhan dasar termasuk akses terhadap pendidikan
dan kesehatan yang selanjutnya menentukan Indeks Pembangunan
Manusia.
PDRB per kapita di Jawa Barat dalam selang waktu 2005-2009
mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan dalam
68
daya beli masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Meski nilai ini masih bersifat
kasar karena PDRB per kapita tidak dapat mencerminkan pemerataan
pendapatan. Menurut Adiyas (2008), PDRB per kapita di suatu daerah
yang besarnya diatas Rp. 2 juta sudah dapat dikatakan tinggi dan
sebaliknya apabila besarnya dibawah Rp. 2 juta dikatakan
rendah.Berdasarkan hal itu, PDRB per kapita di Jawa Barat pada tahun
2009 yang berada pada posisi Rp. 6,96 juta dianggap tinggi (Gambar 5.1).
Dengan nilai yang tergolong tinggi tersebut, maka penduduk Provinsi
Jawa Barat memiliki daya beli yang tinggi. Dengan daya beli yang tinggi
penduduk Jawa Barat memiliki kemampuan dalam mengakses pendidikan
dan kesehatan sehingga IPM di Jawa Barat dapat meningkat.
Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per kapita di Jawa BaratTahun 2005-2009. Sumber: BPS 2010
5.2.2 Kemiskinan
Hasil regresi Tabel 5.1 menununjukkan tingkat kemiskinan
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Tingkat
kemiskinan berpengaruh negatif terhadap peningkatan IPM. Nilai
koefisien tingkat kemiskinan adalah -0,008545 yang berarti kenaikan 1
persen tingkat kemiskinan akan menurunkan IPM sebesar 0,008545,
dengan asumsi cateris paribus.
5,53
6,246,55
6,776,96
4,00
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
2005 2006 2007 2008 2009
PDRB
per
kap
ita (R
p Ju
ta)
69
Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baik
secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja,
tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak
sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi,
investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek
sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan,
kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja,
kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik serta bencana alam
(Yudhoyono dan Harniati, 2004). Upaya penanggulangan kemiskinan
tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi
peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan
peningkatan pendapatan masyarakat (Bappenas).
Dengan demikian kemiskinan merupakan hambatan dalam
meningkatkan IPM, hal ini dikarenakan kemiskinan membuat akses
terhadap pendidikan dan kesehatan sebagai tolak ukur peningkatan IPM
terganggu. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh BPS
mengenai kemiskinan yaitu kondisi kehidupan yang serba kekurangan
yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Dengan
demikian ketidakmampuan ini akan mengganggu kebutuhan terhadap
pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya akan membuat indeks
pembangunan manusia menjadi rendah.
Jawa Barat masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain
ditandai oleh masih tingginya proporsi penduduk miskin. Jumlah
penduduk miskin pada tahun 2009 adalah sebesar 11,58 persen dari jumlah
penduduk Jawa Barat, menurun dari tahun 2008 yang mencapai angka
11,74 persen (Gambar 5.2). Tingkat kemiskinan ini dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
perbulan dibawah Garis Kemiskinan.
70
Gambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010
Meski persentase angka kemiskinan di Jawa Barat terus menurun,
namun angka tersebut masih dianggap tinggi. Kemiskinan di Provinsi
Jawa Barat terdiri dari kemiskinan perkotaan dan pedesaan. Pada tahun
2009, kemiskinan di perkotaan mencapai 2,53 juta orang dan di pedesaan
mencapai 2,45 juta orang. angka kemiskinan di perdesaan secara berurutan
menurun 3,2 dan 10 persen, sedangkan di perkotaan secara berurutan
menurun 1 dan 3,4 persen. Meski demikian, bila dibandingkan dengan
Jawa Tengah dan Jawa Timur, penurunannya masih relatif lebih lambat.
Tabel. 5.2 Jumlah Penduduk Miskin Desa dan Kota di Indonesia
13,06
14,49
13,55
12,74
11,58
9,00
10,00
11,00
12,00
13,00
14,00
15,00
2005 2006 2007 2008 2009
Pers
enta
se K
emisk
inan
Tahun
71
5.2.3 Pendidikan
Sarana pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM
Jawa Barat. Tingkat sarana pendidikan berpengaruh positif terhadap
peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana pendidikan adalah 0,014065yang
berarti kenaikan 1 persen sarana pendidikan akan menaikkan IPM sebesar
0,014065, dengan asumsi cateris paribus.
Dalam model ini, sarana pendidikan merupakan penghitungan rasio
dari jumlah sekolah SD dan SMP terhadap penduduk usia sekolah SD dan
SMP. Hal ini dikarenakan adanya program wajib belajar 9 tahun yang
dicanangkan pemerintah.Pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan
peningkatan IPM. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Todaro(2003)
dimana desebutkan pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk
kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern
dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta
pembangunan yang berkelanjutan.
Aspek pendidikan tidak hanya berkaitan dengan sarana pendidikan,
tetapi terdapat aspek-aspek lain yang lebih menyentuh terhadap kualitas
pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini dimasukkan
juga rasio jumlah guru terhadap jumlah murid. Rasio jumlah guru terhadap
jumlah murid mempunyai pengaruh nyata terhadap indeks pembangunan
manusia. Hal ini terlihat dari probabilitasnya yang sebesar 0,0000. Nilai
koefisien rasio jumlah guru-murid adalah 0,014856yang berarti kenaikan 1
persen rasio jumlah guru-murid akan menaikkan IPM sebesar 0,014856,
dengan asumsi cateris paribus.
Dengan demikian investasi pendidikan berupa pembangunan sekolah
harus juga diikuti dengan mendorong partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan. Biaya murah terhadap pendidikan juga sangat menentukan
tingkat partisipasi masyarakat untuk bersekolah. Dengan meningkatnya
partisipasi masyarakat pada pendidikan maka akan menjadi investasi tak
hanya bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat
umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan
meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan
72
merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial
dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan
melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas,
penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban
sosial politik bagi pemerintah.
Di Provinsi Jawa Barat, sektor pendidikan merupakan variabel yang
memiliki pengaruh yang yang paling besar terhadap indeks pembangunan
manusia diantara variabel-variabel lain yang diuji dalam penelitian ini.
Angka melek huruf di Jawa Barat memang sudah cukup tinggi, yaitu pada
tahun 2009 sebesar 95,98 persen. Begitu juga dengan angka lama sekolah
yang menunjukkan angka sedikitnya drop out di Provinsi Jawa Barat yang
sudah cukup baikyaitu 7,72 tahun. Keadaan ini merupakan dampak dari
dilakukannya perbaikan sarana prasarana pendidikan di Jawa Barat. Pada
Gambar 5.3 terlihat bahwa jumlah sekolah SD dan SMP pada tahun 2009
meningkat dari tahun 2008. Pada tahun 2009 banyaknya jumlah sekolah
SD dan SMP sebesar 23.110 sekolah.
Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010
Jumlah guru juga menjadi penentu peningkatan IPM. Jumlah guru
yang memadai akan dapat menjamin adanya kegiatan belajar yang
berkualitas, sehingga murid mendapatkan transfer ilmu yang optimal.
22,7622,87 22,88
22,90
23,11
22,50
22,60
22,70
22,80
22,90
23,00
23,10
23,20
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
seko
lah
SD d
an S
MP
(rib
u)
73
Dengan demikian hal ini akan memberi dampak lulusan-lulusan sekolah
yang berkualitas yang dapat bersaing di dunia kerja dan akan memberikan
kemudahan dalam penguasaan teknologi yang selanjutnya dapat
meningkatkan produktivitas suatu daerah.Provinsi Jawa Barat pada tiap
tahun menambah jumlah. Pada tahun 2009, jumlah guru di Provinsi Jawa
Barat sebesar 286.200 ribu orang yang meningkat sebesar 3.100 orang dari
tahun 2008.
Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009.Sumber: BPS: 2010
5.2.4 Kesehatan
Dalam Penelitian ini digunakan dua variabel dalam mengukur
kesehatan. Variabel tersebut adalah sarana kesehatan dan pelayan
kesehatan. Kedua variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap
peningkatan IPM di Jawa Barat.
Berdasarkan tabel 5.1, sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang
nyata terhadap IPM Jawa Barat. Sarana kesehatan berpengaruh positif
terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana kesehatan adalah
0,005097yang berarti kenaikan 1 persen sarana kesehatan akan menaikan
IPM sebesar 0,005097, dengan asumsi cateris paribus.
Pelayan kesehatan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
IPM Jawa Barat. Pelayan kesehatan berpengaruh positif terhadap
215,8 207,2
157,5
283,1 286,2
0,0
50,0
100,0
150,0
200,0
250,0
300,0
350,0
2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009 2009/2010
Jum
lah
Guru
SD
dan
SMP
(rib
u or
ang)
74
peningkatan IPM. Nilai koefisien pelayan kesehatan adalah 0,003635yang
berarti kenaikan 1 persen pelayan kesehatan akan menaikan IPM sebesar
0,003635, dengan asumsi cateris paribus.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bappenas yang
menyatakan bahwa penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik
merupakan masukan (input) penting dalam menurunkan kemiskinan,
pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Dengan kata lain, kesehatan merupakan faktor penting pembentukan
modal manusia dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan.
Sejarah juga menulis tentang keberhasilan negara-negara dunia dalam
keberhasilan pembangunan ekonomi melalui perbaikan kesehatan. Hal ini
antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang dan Amerika
Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa Selatan dan
Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Mereka
melakukan teroboson di bidang kesehatan dengan pemberantasan penyakit
dan peningkatan gizi masyarakatnya.
Perkembangan sarana prasarana kesehatan di Jawa Barat tergolong
mengalami peningkatan. Jumlah dokter, perawat, dan bidan selalu
bertambah tiap tahun. Pada tahun 2009, pelayan kesehatan di Jawa Barat
mencapai 11.423 orang dan Puskesmas mencapai 3.337 puskesmas.
Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa BaratTahun 2005-2009.Sumber: BPS, 2010
8509 8909 87459563
11423
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
2005 2006 2007 2008 2009Jum
lah
Pela
yan
Kesa
hata
n (o
rang
)
Tahun
75
Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009Sumber: BPS, 2010
5.2.5 Sarana Infrastruktur
Sarana infrastruktur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM
Jawa Barat. Sarana infrastruktur berpengaruh positif terhadap peningkatan
IPM. Nilai koefisien sarana infrastruktur adalah 0,013470yang berarti
kenaikan 1 persen sarana infrastruktur akan menaikan IPM sebesar
0,013470, dengan asumsi cateris paribus.
Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Bappenas (2003)
dimana ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara,
sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih,
sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital,
memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan
wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa
daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik,
mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang
mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci
dalam mendukung pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda
penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan
29853031
3094
3230
3337
2800
2900
3000
3100
3200
3300
3400
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Pusk
esm
as
76
orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh
penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi
maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi,
listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi
dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian.
Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan
produktivitas bagi faktor-faktor produksi.
Dalam permasalahan penelitian ini, ketersediaan infrastruktur dapat
memudahkan masyarakat dalam mengakses aspek-aspek yang menentukan
pembangunan manusia seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan.
Sarana infrastruktur yang memadai juga akan mempengaruhi biaya yang
dikeluarkan menjadi lebih rendah. Dengan demikian pendapatan
masyarakat tidak terbuang hanya untuk biaya transportasi dan dapat
dialihkan untuk pengeluaran kesehatan maupun pendidikan.
Pada pembangunan bidang fisik, telah cukup banyak
dilakukanprogram dan kegiatan strategis oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, meliputi sub bidang infrastruktur wilayah,tata ruang, energi dan
lingkungan hidup.Mengenai pembangunan Infrastruktur Wilayah, meliputi
infrastruktur transportasi, sumberdaya air dan irigasi, listrik dan energi,
serta saranadan prasarana permukiman, kondisinya masih mengalami
beberapakendala terkait beberapa isu pelayanan infrastuktur wilayah.Pada
aspek infrastruktur jalan, dengan berbagai upaya yang telahdilakukan
selama tahun 2009, panjang jalan telah mencapai 22.760 km. Panjang
jalan ini telah meningkat dari tahun 2008.
77
Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat Tahun
2005-2009. Sumber: BPS, 2010
5.2.6 Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM di Tiap
Kabupaten/Kota
Dengan menggunakan FEM dapat dilihat pengaruh faktor-faktor yang
mempengaruhi IPM untuk tiap kabupaten/kota. Perbedaan pengaruh
tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 5.3. Efek Faktor-Faktor yang mempengaruhi IPM untuk tiapKabupaten/Kota
No. Kabupaten/ Kota Efek No. Kabupaten/ Kota Efek1 Kab. Bogor -0,005033 14 Kab, Purwakarta -0,0264282 Kab. Sukabumi -0,026213 15 Kab, Karawang -0,0444783 Kab. Cianjur -0,055834 16 Kab, Bekasi 0,0107004 Kab. Bandung 0,026304 17 Kota Bogor 0,0370815 Kab. Garut -0,006282 18 Kota Sukabumi 0,0270456 Kab. Tasikmalaya 0,001231 19 Kota Bandung 0,0462487 Kab. Ciamis -0,020846 20 Kota Cirebon 0,0171198 Kab. Kuningan -0,015696 21 Kota Bekasi 0,0667929 Kab. Cirebon -0,035562 22 Kota Depok 0,10249010 Kab. Majalengka -0,037271 23 Kota Cimahi 0,05863311 Kab. Sumedang -0,010724 24 Kota Tasikmalaya 0,01227112 Kab. Indramayu -0,070364 25 Kota Banjar -0,03006113 Kab. Subang -0,021119
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi IPM
memberikan efek yang berbeda-beda untuk setiap Kabupaten/ Kota di
21,72
21,29
21,74 21,75
22,76
20,50
21,00
21,50
22,00
22,50
23,00
2005 2006 2007 2008 2009
Panj
ang
Jala
n (r
ibu
km)
78
Jawa Barat. Efek individu dalam model menunjukkan adanya perbedaan
karakteristik indeks pembangunan manusia tiap kabupaten/kota di Jawa
Barat dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep dalam
menginterprestasikan model untuk tiap kabupaten/kota.
Adanya perbedaan karakteristik juga dapat dibagi melalui
pengelompokan besaran IPM tiap Kabupaten/ Kota di Jawa Barat.
Pengelompokan ini diperlukan karena banyaknya jumlah kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Jawa Barat, hal ini juga berkaitan dengan
karakteristik yang berbeda di tiap kabupaten/kota sehingga kebijakan yang
diterapkan untuk tiap daerah tersebut juga akan berbeda. Di Provinsi Jawa
Barat besaran IPM tiap kabupaten/kota berada dalam selang 67,39-78,61.
Dengan demkian pengelompokan berdasarkan selang IPM tersebut dapat
dibuat sebagai berikut:
IPM rendah = Nilai IPM yang kurang dari 70
IPM sedang = Nilai IPM yang lebih besar dari 70 namun kurang
dari 75
IPM tinggi = Nilai IPM yang lebih besar dari 75
Dengan pengelompokan tersebut, maka kabupaten/kota di Jawa Barat
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
79
Tabel 5.4. Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Nilai IPMIPM
Rendah Sedang TinggiKab. SukabumiKab. KuninganKab. CirebonKab. SumedangKab. Purwakarta
Kab. BogorKab. CianjurKab BandungKab. GarutKab. TasikmalayaKab. CiamisKab. MajalengkaKab. IndramayuKab. SubangKab. KarawangKab. BekasiKota BogorKota BandungKota CimahiKota TasikmalayaKota Banjar
Kota SukabumiKota CirebonKota BekasiKota Depok
X1 Min: 3,22Rata-rata: 4,66Max: 8,28
Min: 2,74Rata-rata: 7,14Max: 24,24
Min: 4,11Rata-rata: 9,13Max: 19,97
X2 Min: 10,48Rata-rata: 14,02Max: 18,22
Min: 4,50Rata-rata: 12,15Max: 23,55
Min: 13,06Rata-rata: 7,73Max: 2,93
X3 Min: 2,63Rata-rata: 3,51Max: 4,34
Min: 2,03Rata-rata: 3,31Max: 4,81
Min: 2,45Rata-rata: 3,23Max: 4,64
X4 Min: 4,44Rata-rata: 5,12Max: 5,87
Min: 2,65Rata-rata: 4,69Max: 6,68
Min: 3,96Rata-rata: 5,33Max: 6,04
X5 Min: 8,05Rata-rata: 10,67Max: 12,10
Min: 2,07Rata-rata: 8,23Max: 13,74
Min: 2,57Rata-rata: 11,78Max: 20,62
X6 Min: 2,29Rata-rata: 3,47Max: 4,38
Min: 1,42Rata-rata: 2,89Max: 4,68
Min: 1,34Rata-rata: 3,27Max: 7,10
X7 Min: 3,54Rata-rata: 6,71Max: 8,80
Min: 0,41Rata-rata: 6,00Max: 12,37
Min: 2,58Rata-rata: 3,81Max: 4,87
Dimana X1 = PDRB per kapita (Rp juta)
X2 = Tingkat kemiskinan (persen)
X3 = Rasio sarana pendidikan (1/100.000) sekolah per orang)
X4 = Rasio jumlah guru (1/100) guru per murid)
X5 = Rasio sarana kesehatan (1/100.000 puskesmas per orang)
X6 = Rasio jumlah tenaga medis (1/10.000 tenaga medis per orang)
X7 = Rasio sarana infrastruktur
80
Dari klasifikasi tersebut terlihat bahwa sebagian besar dari
kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki IPM sedang yakni IPM diantara 70
sampai dengan 75. Sementara kabupaten/kota dengan IPM rendah dimiliki
oleh Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon,
Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara daerah yang
memiliki IPM tinggi, dimiliki oleh Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota
Bekasi, dan Kota Depok. Klasifikasi berdasarkan nilai IPM ini dapat
dipetakan dalam Gambar 5.8.
Gambar 5.8 Pembagian daerah berdasarkan nilai IPM
Dengan perbedaan IPM, maka PDRB per kapita untuk tiap
kabupaten/kota juga memiliki perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat dari
Gambar 5.9. Pendapatan per kapita untuk daerah ekstrim rendah memiliki
PDRB per kapita rendah.Dari Gambar 5.9 dapat dilihat bahwa Kabupaten
Bekasi memiliki PDRB per kapita yang tinggi meski IPM di Kabupaten
tersebut tergolong sedang. Kota Cirebon juga memiliki PDRB per kapita
yang tinggi dan Kota Cirebon termasuk dalam daerah dengan IPM tinggi.
Sementara Daerah dengan IPM rendah memiliki karakteristik yang sama
dimana Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon,
81
dan Kabupaten Sumedang memiliki PDRB per kapita yang cenderung
rendah.Hanya Kabupaten Purwakarta saja yang meski tergolong IPM
rendah namun memiliki PDRB per kapita sedang. Hal ini dikarenakan
daerah dengan IPM rendah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak
dapat mengakses sektor pendidikan dan kesehatan.
Gambar 5.9 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa BaratTahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010
Dari Gambar 5.10 dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan di
kabupaten/kota dengan IPM rendah memiliki persentasi kemiskinan yang
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. Bogor
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
82
tinggi. Sementara Kota Tasikmalaya memiliki kemiskinan yang tinggi
padahal Kota Tasikmalaya merupakan daerah dengan IPM sedang.
Keadaan ini dipicu oleh terjadinya bencana alam berupa gempa bumi yang
terjadi pada tahun 2008. Bencana ini menyebabkan kemiskinan di Kota
Tasikmalaya meningkat tajam di tahun 2008.
Gambar 5.10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa BaratTahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010
Sementara untuk sarana dan prasarana pendidikan, setiap
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat telah memiliki sarana prasarana
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. B o g o r
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. G a r u t
Kab. Tasikmalaya
Kab. C i a m i s
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. B e k a s i
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
83
pendidikan yang memadai. Pada Gambar 5.11 terlihat rasio antara jumlah
sekolah dengan jumlah penduduk usia sekolah memiliki nilai yang cukup
tinggi.Hal ini bermakna bahwa ketersediaan bangunan sekolah SD dan
SMP sudah dapat menampung penduduk usia sekolah SD dan SMP
untuk tiap kabupaten/kota. Dari Gambar 5.11, diketahui Kota Cirebon
memiliki rasio jumlah sekolah terhadap penduduk usia sekolah yang
paling tinggi yaitu sebesar 4,64.
Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadap PendudukSD dan SMP Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun2005-2009, Sumber: BPS, 2010
0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. Bogor
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
84
Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap PendudukKabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2005-2009,Sumber: BPS, 2010
Jumlah sarana prasarana kesehatan di setiap kabupaten/kota di Jawa
Barat juga sudah tergolong bagus dan sudah memadai. Namun di daerah-
daerah seperti Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bandung, jumlah
puskesmas masih tergolong rendah.
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00
Kab. Sukabumi
Kab. Kuningan
Kab. Cirebon
Kab. Sumedang
Kab. Purwakarta
Kab. Bogor
Kab. Cianjur
Kab. Bandung
Kab. Garut
Kab. Tasikmalaya
Kab. Ciamis
Kab. Majalengka
Kab. Indramayu
Kab. Subang
Kab. Karawang
Kab. Bekasi
Kota Bogor
Kota Bandung
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
Kota Sukabumi
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
2009
2008
2007
2006
2005
Daerahdengan
IPMTinggi
Daerahdengan
IPMSedang
Daerahdengan
IPMRendah
85
5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota Dengan Nilai IPM Terendah Dalam
Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
Perbedaan karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Barat sudah terlihat
dalam bahasan sebelumnya. Daerah dengan IPM yang rendah perlu menjadi
perhatian. Hal ini penting untuk mencapai target Provinsi Jawa Barat untuk
menjadi provinsi termaju pada tahun 2025. Dari paparan diatas, dapat dipetakan
karakteristik daerah-daerah dengan IPM terendah. Karakteristik tersebut dapat
dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Karakteristik Daerah dengan IPM terendah di Provinsi Jawa Barat
Variabel Kab.Sukabumi
Kab.Kuningan
Kab.Cirebon
Kab.Sumedang
Kab.Purwakarta
PDRB PerKapita
R R R R S
Kemiskinan T T T S SSaranaPendidikan
S S S T T
Jumlah Guru R R R R RSaranaKesehatan
S S S S S
PelayanKesehatan
R S S S S
SaranaInfrastruktur
S R S S S
Ket: R = Rendah S = Sedang T= Tinggi
Tabel 5.5 diatas memperlihatkan bahwa semua daerah yang memiliki IPM
terendah di Jawa Barat juga memiliki PDRB per kapita yang rendah. Kemiskinan
di daerah ini juga cenderung tinggi, terlihat di Kabupaten Sukabumi, Kabupaten
Kuningan, dan Kabupaten Cirebon. Selain itu, permasalahan yang terjadi di
daerah dengan IPM rendah di Provinsi Jawa Barat adalah karena rasio jumlah
guru yang rendah. Jumlah guru SD dan SMP di kabupaten Sukabumi, Kabupaten,
Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta
belum memadai dalam melakukan pengajaran terhadap jumlah penduduk usia
sekolah di daerah tersebut.
Kebijakan-kebijakan yang perlu diterapkan dalam mengangkat IPM ke lima
kabupaten ini dapat difokuskan pada PDRB per kapita dan kemiskinan. Kedua
variabel tersebut memang berkaitan. Ketika PDRB per kapita ditingkatnya maka
kemiskinan pun akan menurun. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang bisa
86
direkomendasikan untuk Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, dan
Kabupaten Cirebon adalah:
1. Program pemberian bantuan permodalan bagi koperasi dan usaha mikro
kecil dan menengah. Program ini dapat mendorong pemerataan
pendapatan.Program ini juga akan berdampak pada peningkatan lapangan
pekerjaan dan selanjutnya meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan
demikian program ini akan efektif untuk meningkatkan pendapatan per
kapita sekaligus mengurangi persentase kemiskinan.
2. Penanganan pengangguran, yaitu dengan penciptaan lapangan pekerjaan
yang lebih bersifat padat karya bukan padat modal.Penanganan terhadap
pengangguran mutlak dilakukan, yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan
yang bersifat padat karya. Pemberian pendidikan terhadap angkatan kerja
juga sangat dibutuhkan agar dapat meningkatkan ketersediaan angkatan
kerja yang siap bekerja ataupun dapat menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri sehingga akan meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja dan
memperoleh pekerjaan. Pada akhirnya tujuan meningkatkan daya beli
masyarakat.
3. Program pembangunan infrastruktur sangat penting dilakukan, terutama di
Kabupaten Kuningan yang memiliki sarana infrastruktur rendah. Investasi
merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah. Oleh karena itu kabupaten-kabupaten dengan IPM
rendah harus membuat kebijakan yang mendukung iklim investasi.
Kemudahan pengurusan ijin investasi perlu diperhatikan. Perbaikan
infrastruktur sebagai dukungan terhadap investasi juga mutlak dilakukan.
Program perbaikan infrastruktur yang dapat dilakukan adalah dengan
pembangunan serta perbaikan jalan dan jembatan. Dengan program ini akan
memberikan kelancaran arus distribusi barang dan jasa serta meningkatkan
produktivitas barang dan jasa.
4. Pengadaan guru agar ketersediaan guru memadai untuk menciptkan
pelayanan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
87
5. Untuk Kabupaten Sukabumi, diperlukan lebih banyak tenaga medis untuk
memberikan akses kesehatan yang lebih memadai kepada penduduk di
kabupaten tersebut. Perekruitan Dokter dan Bidan sangat berpengaruh
terhadap penurunan angka kematian bayi dan dapat meningkatkan harapan
hidup di Kabupaten Sukabumi.
top related