analisis dampak otonomi daerah terhadap...
Post on 06-May-2018
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP
PEMBANGUNAN MANUSIA (HUMAN CAPITAL)
DI PROVINSI GORONTALO
SYAFRYANTO ADAM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ANALISIS
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMBANGUNAN
MANUSIA (HUMAN CAPITAL) DI PROVINSI GORONTALO adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Syafryanto Adam
NIM H152080141
ABSTRACT
SYAFRYANTO ADAM, AN ANALYSIS OF THE IMPACT OF REGIONAL
DEVELOPMENT ON HUMAN DEVELOPMENT (HUMAN CAPITAL) IN
GORONTALO PROVINCE. Under the Supervision of ERNAN RUSTIADI and
BAMBANG JUANDA.
Every regional proliferation as an attempt in the implementation of
regional autonomy is essentially based on the Regional Autonomy Regulation
No.32/2004 with the goal to achieve the social welfare. However, this effort is not
without obstacles; various kinds of development problems are faced by all regions
in Indonesia. The main indicator in the realization of social welfare can be seen
from the extent of the role of local government in improving human development.
This was also the case with the experience of Gorontalo Province at the post-
regional autonomy period, marked by the proliferationn of Gorontalo from its
parent Province of North Sulawesi. The various human development issues as the
conclusions of this study are strongly influenced by the following various factors.
By using the panel data methods to determine the factors that affect Human
Development Index (HDI) before and after the regional autonomy, the study
obtained the result that the Human Development Index of Gorontalo Province was
affected by the high percentage of poor people, a factor that determined the low
level of HDI in the province. In addition, the poor health facilities such as
hospitals, maternity hospital, health centers and supporting health center, health
care workers such as doctors and medical personnel also influenced the HDI in
this "Corn" Province. Further, the educational facilities such as the buildings of
elementary schools, junior and senior high schools did not have an effect on HDI
in the Province of Gorontalo but other aspects such as the quality of teaching
staffs (teachers and lecturers) might well affect the level of HDI, whereas the
economic growth rate turned out to affect the HDI of Gorontalo Province. This
study also found that the literacy rate and the net participation rate did not affect
the level of HDI in the province, but the rough participation rate and the school
participation rate did. Then, the educational, health and economic budgets could
essential affect HDI, but in this study it was found that only the health budget had
a significant impact on the HDI of Gorontalo Province, whereas the educational
and economic budgets did not significantly do so.
Keywords: regional autonomy, human development and Gorontalo
RINGKASAN
SYAFRYANTO ADAM, ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP
PEMBANGUNAN MANUSIA (HUMAN CAPITAL) DI PROVINSI GORONTALO.
Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan BAMBANG JUANDA.
Upaya mengimplementasikan otonomi daerah di setiap wilayah pemekaran
harus dilandaskan pada Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 yang
pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Namun upaya ini
menemui berbagai masalah, tidak terkecuali di Provinsi Gorontalo yang dimekarkan dari
Sulawesi Utara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi
IPM di Provinsi Gorontalo sebelum dan sesudah otonomi daerah dengan menggunakan
data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik IPM di Kota Gorontalo dan
Kabupaten Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Metode analisis
ekonometrika yang dilakukan adalah dengan menggunakan regresi peubah bebas
kualitatif dengan 2 kategori (yang berinteraksi dengan peubah bebas lainnya) terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
IPM di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo sangat signifikan dipengaruhi
oleh faktor-faktor berupa rasio tenaga kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa makin
bertambahnya tenaga kesehatan di Provinsi Gorontalo, sangat mempengaruhi IPM di
Provinsi Gorontalo.Demikian pula rasio atau banyaknya murid SMP terhadap sekolah
SMP sangat mempengaruhi membaiknya IPM di Provinsi Gorontalo. IPM sesudah
otonomi daerah lebih baik dibanding IPM sebelum otonomi daerah. Dummy kota
berinteraksi positif dengan laju pertumbuhan ekonomi, hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi di Kota Gorontalo sangat mempengaruhi meningkatnya IPM di
Kota Gorontalo. Demikian pula dummy kota yang berinteraksi dengan persentase
penduduk miskin, hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya penduduk miskin di Provinsi
Gorontalo sangat mempengaruhi peningkatan IPM di Kota Gorontalo. IPM di Provinsi
Gorontalo yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fasilitas sekolah, tenaga
kesehatan dan daya beli terus mengalami perbaikan setiap tahunnya, tetapi masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan provinsi induknya Sulawesi Utara.
Kata kunci : Otonomi Daerah, Pembangunan Manusia dan Gorontalo
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya imliah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP
PEMBANGUNAN MANUSIA (HUMAN CAPITAL) DI
PROVINSI GORONTALO
SYAFRYANTO ADAM
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Setia Hadi, MS
Judul Tesis : ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP
PEMBANGUNAN MANUSIA (HUMAN CAPITAL) DI
PROVINSI GORONTALO
Nama : Syafryanto Adam
NIM : H152080141
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Tanggal Ujian : 20 Juli 2012 Tanggal Lulus :
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Anggota
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Ketua
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, M.Agr.
PRAKATA
Segala Puji Bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan keberkahan-
NYA yang telah diturunkan ke bumi kepada seluruh ummat manusia sehingga
karya ilmiah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam
semoga selalu tersampaikan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas segala
pedoman dan teladan kejujuran dalam menulis karya ilmiah ini.
Karya tulis berjudulANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH
TERHADAP PEMBANGUNAN MANUSIA (HUMAN CAPITAL) DI
PROVINSI GORONTALO dibuat dalam rangka memenuhi tugas akhir Tesis,
sebagai syarat dalam memenuhi gelar Magister Sainspada Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Gorontalo pada bulan
Desember 2010 sampai dengan September 2011.
Pada kesempatan ini, Penulis juga berterima kasih kepada beberapa pihak
yang berjasa selama proses penulisan tesis, yakni :
1. Ketua Komisi Pembimbing,Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, atas
bimbingan, saran dan arahan selama proses pembuatan karya tulis ini.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S., sebagai Anggota Komisi Pembimbing
yang telah memberikan banyak saran yang membangun sehingga penulisan
tesis menjadi lebih baik.
3. Dr. Ir. Setia Hadi, MS, Sebagai Penguji Luar komisi yang juga telah
memberikan banyak masukan demi kesempurnaan Tesis.
4. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Puteri, Msi, Sebagai Sekretaris Program Studi PWD.
5. Gubernur Provinsi Gorontalo yang telah memberikan beasiwa kepada kami.
6. Walikota Gorontalo, yang telah memberikan izin belajar kepada kami
sehingga dapat menyelesaikan magister di IPB.
7. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Provinsi Gorontalo yang
telah memberikan beasiwa kepada kami.
8. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Gorontalo yang telah
memberikan suport sehingga kami dapat menyelesaikan studi.
9. Drs. Wenny Liputo, MM selaku mantan Kadis Dikpora Propinsi Gorontalo
(Sekarang Asisten Gubernur Gorontalo) yang telah membantu memberikan
Beasiswa kepada kami.
10. Ketua Yayasan Muhammadiyah Cabang Gorontalo.
11. KepalaSekolah, Guru dan Staf di SMA Muhammadiyah Kota Gorontalo.
12. Ibunda Rasina Hasan, serta kakak adikku yang selalu membantu dalam hal
moril dan materil. Makasih atas segala bantuan dan doanya.
13. My Beloved Wife, Ani Noviyanti, makasih atas segala kesabaran, perhatian,
bantuan dan juga senyumannya, sehingga Abi bisa menyelesaikan tesis ini.
14. Alifah Aunatullah S.Adam, Putri pertamaku tersayang dan Muhammad Faruq
Abubakrin S.Adam, Putraku tersayang, semoga kamu bisa mengikuti jejak
Abi&Ummi, menjadi Da’i/Da’iyah, Alim/Alimah, Hafidz/Hafidzoh, Mujahid
/Mujahidah yang sholehah, cerdas, pengertian, perhatian dan kharismatik.
15. Mbak Elva, Mba Nisa, Mba Lisa, Bu Odah (PWD)dan Mbak Dian (PWL)
yang sudah sering direpotkan khususnya dalam hal jadwal bimbingan dan
administrasi di PWD dan PWL.
16. Kawan-kawan PWD 2006 : Pak Yunus, Pak Bambang, Bu Alan; PWD 2007 :
Pak Bambang, Pak Amir Halid, 2008 :Pak Rudi, Pak Adit, Pak Asep, Pak
Hanan, Bu Rika, Bu Andi, Pak Budi, Pak Arief, Pak Arafat, Pak Adriyanus,
Bu Nina, PWD 2009 : Pak Alex, Pak Untung, Pak Enirwan, Bu Luh Putu, Bu
Linda, Pak Fiman, Pak Puji, Pak Masril, Pak Wawanudin, Pak Dede, Pak
Endang, Pak Tabrani dan seluruh angkatan yang telah memberikan support
dan banyak berbagi pengalaman.
17. Teman-teman Asrama Mahasiswa Gorontalo di Bogor (RMGB)
18. Wartawan sekaligus kontributor, sdr. Ali Mobili’u, atas bantuan dalam
pengumpulan data di Gorontalo
Penyusunan karya tulis ini diakui masih terdapat banyak kekurangan baik
dalam penulisan, substansi isi maupun etika tata bahasa. Akhirnya, semoga karya
tulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa Indonesia dan peradaban dunia.
Bogor, Juli 2012
Syafryanto Adam
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 31Maret 1973 sebagai putra
keenam dari delapan bersaudara pasangan Hi.Abdurrahman Adam dan Hj. Rasina
Hasan. Penulis memiliki empat orang kakak dari Bapak dan lima orang kakak dan
dua orang adik dari Ibu dan Bapak. Pada tahun 2005 menikah dengan dokter Ani
Noviyanti dan Alhamdulillah dikaruniai dua orang mutiara hati yang pertama
seorang putri bernama Alifah Aunatullah Adam yang sekarang ini berusia 5 tahun,
dan si kecil Muhammad Faruq Abubakrin Adam berusia 2 tahun.
Pada tahun 1982 penulis memulai studinya di SD Negeri 3 Ayula,
Kecamatan Tapa Kabupaten Gorontalo.Padatahun 1987. Penulis melanjutkan
pendidikan menengah di SLTP Negeri TapaKabupaten Gorontalo lulus pada tahun
1989. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3Gorontalo pada tahun
1991. Setelah menamatkan Diploma Satu (D1) General Managerial and Bussiness
of Administration (GMBA) di Bandung tahun 1993, Penulis sembari bekerja di
Kantor Konsultan Pajak Drs. Hussein Kartasasmita, pada tahun 2002 melanjutkan
kuliah di UNJ dan pada tahun 2005lulus sebagai Sarjana Pendidikan Ekonomi
diUniversitas Negeri Jakarta pada Fakultas Ekonomi, Program Studi Ekonomi dan
Tata Niaga.
Ditahun yang sama yaitu diakhir tahun 2005 setelah menamatkan studi di
Universitas Negeri Jakarta, penulis kembali ke kampung halaman Gorontalo.
Diawal tahun 2006 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil Daerah Kota
Gorontalo dan ditempatkan di SMA Muhammadiyah Kota Gorontalo. Dua tahun
setelah menjalani tugas mulia sebagai seorang guru yaitu pada tahun 2008,
Penulis kembali melanjutkan studi pada Magister Sains Program Studi Ilmu
Ekonomi, namun karena kecelakaan yang menimpa Penulis sehingga Penulis
tidak mampu memaksimalkan studinya di Ilmu Ekonomi, maka pada tahun 2009,
Penulis pindah program Studi pada Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xxi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxvii
I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 8
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 10
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................. 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 13
2.1. Paradigma Pembangunan Pasaca Otonomi Daerah .............. 13
2.2. Devinisi Otonom Daerah ....................................................... 15
2.3. Prinsip Otonomi Daerah ....................................................... 15
2.4. Desentralisasi ......................................................................... 16
2.5. Pertumbuhan Ekonomi Wilayah &Pembangunan Manusia .. 17
2.6. Indikator Pembangunan. ........................................................ 19
2.7. Peran Sentral Human Capitaldalam Pembangunan Ekonomi. 21
2.8.Konsep Global Pembangunan Manusia .................................... 22
2.9.Indeks Pembangunan Manusia ................................................. 23
2.10. Penyusunan Indeks ................................................................ 28
2.11. Peran Alokasi Anggaran dalam Peningkatan IPM ................ 29
2.12. Pendidikan &Kesehatan sebagai modal investasi manusia ... 30
2.13. TeoriPendidikan sebagai pendekatan modal manusia ........... 30
2.14. Partisipasi Masyarakat Dalam Pendidikan ............................ 32
2.15. Teori Todaro tentang Pengaruh Pendidikan & Kesehatan .... 34
2.13. Hasil Penelitian Terdahulu ................................................... 36
III. METODE PENELITIAN .......................................................... 39
3.1. Kerangka Pemikiran .............................................................. 39
3.2. Hipotesis Pene litian ............................................................. 43
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 43
3.4. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 44
3.5. Analisis terhadap Faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di
Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo ........................... 45
3.6. Pengujian Model dan Hipotesis.............................................. 47
3.6.1. Uji F ........................................................................... 47
3.6.2. Uji t ............................................................................ 49
3.6.3. Uji Statistik R2 ........................................................... 49
3.6.4. Multikolineritas ......................................................... 50
3.6.5. Hetoreskedastis .......................................................... 51
3.8.6. Autokorelasi ............................................................. 51
IV. PROFIL PROVINSI GORONTALO, KOTA GORONTALO
DAN KABUPATEN GORONTALO ........................................ 53
4.1. Profil Provinsi Gorontalo ...................................................... 53
4.1.1 . Letak Geografis dan Luas Wilayah .......................... 53
4.1.2. Demografi ................................................................ 56
4.1.3. Kondisi Sosial Budaya .............................................. 58
4.1.4. Kondisi Pemerintahan ............................................... 59
4.1.5. Kondisi Tenaga Kerja & Pengangguran .................. 60
4.1.6. Kondisi Pendidikan ................................................... 60
4.1.7. Kondisi Kesehatan .................................................... 60
4.1.8. Agama ....................................................................... 61
4.1.9. Kondisi Pertanian ...................................................... 61
4.1.10. Industri Listrik & Air Minum ................................... 61
4.1.11. Perdagangan, Hotel & Pariwisata ............................. 62
4.2. Profil KotaGorontalo ............................................................ 63
4.2.1. Transportasi ............................................................... 64
4.2.2. Air Bersih .................................................................. 64
4.2.3. Telekomunikasi ......................................................... 64
4.2.4. Listrik ....................................................................... 65
4.2.5. Perumahan ................................................................. 65
4.2.6. Pendidikan ................................................................. 66
4.2.7. Alokasi Ruang ........................................................... 66
4.3.Profil Kabupaten Gorontalo ................................................... 67
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IPM DI
KOTA GORONTALO ................................................................ 69
5.1 Perkembangan Pembangunan Manusia di Kota Gorontalo .. 69
5.2 Tinjauan Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di Kota
Gorontalo .............................................................................. 70
5.2.1. Persentase Penduduk Miskin di Kota Gorontalo ...... 71
5.2.2. Fasilitas Puskesmas di Kota Gorontalo. .................... 72
5.2.3. Fasilitas Pustu di Kota Gorontalo ............................. 73
5.2.4. Rasio Dokter di Kota Gorontalo .............................. 74
5.2.5. RasioTenaga Kesehatan di Kota Gorontalo .............. 76
5.2.6. Rasio Bangunan SD Terhadap Jumlah Murid SD di
Kota Gorontalo .......................................................... 77
5.2.7. Rasio Bangunan SMP Terhadap Jumlah Murid SMP
di Kota Gorontalo...................................................... 78
5.2.8. Rasio Bangunan SMATerhadap Jumlah Murid SMA
di Kota Gorontalo...................................................... 79
5.2.7 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kota Gorontalo ....... 80
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IPM DI
KABUPATEN GORONTALO ................................................... 81
6.1 Perkembangan Pembangunan Manusia di Kabupaten
Gorontalo .............................................................................. 81
6.2 Tinjauan Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPMdi
Kabupaten Gorontalo ............................................................. 82
6.2.1 Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Gorontalo 83
6.2.2 Fasilitas Puskesmas di Kabupaten Gorontalo. ........... 84
6.2.3 Fasilitas Pustu di Kabupaten Gorontalo .................... 84
6.2.4 Rasio Dokter di Kabupaten Gorontalo ..................... 85
6.2.5 RasioTenaga Kesehatan di Kabupaten Gorontalo ..... 86
6.2.6 Rasio Bangunan SD Terhadap Jumlah Murid SD di
Kabupaten Gorontalo ................................................. 87
6.2.7 Rasio Bangunan SMP Terhadap Jumlah Murid SMP
di Kabupaten Gorontalo ............................................. 88
6.2.8 Rasio Bangunan SMA Terhadap Jumlah Murid SMA
di Kabupaten Gorontalo ............................................. 89
6.2.7 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Gorontalo 90
VII. ANALISIS EKONOMETRIKA TERHADAP FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGU-
NAN MANUSIADI KOTA DAN KABUPATENGORON-
TALO ............................................................................................. 93
7.1. Model terhadapFaktor-faktoryang mempengaruhi IPM
di Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo ........................ 93
7.2. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang mempengaruhiIPM
di Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. .............................. 94
VIII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IPM DI
PROVINSI GORONTALO ......................................................... 99
8.1. Perkembangan Pembangunan Manusia di Provinsi
Gorontalo ............................................................................... 99
8.2. Komponen Pembentuk IPM di Provinsi Gorontalo ............... 101
8.2.1. Angka Harapan Hidup di Provinsi Gorontalo ................ 103
8.2.2. Angka Melek Huruf di Provinsi Gorontalo.. ................. 104
8.2.3. Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Gorontalo ................. 105
8.2.4. Pengeluaran Riil Perkapita di Provinsi Gorontalo .......... 107
8.3. Perbandingan IPM ................................................................. 108
8.4. Reduksi Shortfalldi Provinsi Gorontalo ................................ 109
8.5. Tinjauan Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPMdi
Provinsi Gorontalo ................................................................. 110
8.2.1. Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Gorontalo . 111
8.2.2. Fasilitas Puskesmas di Provinsi Gorontalo. ............... 112
8.2.3. Fasilitas Pustu di Provinsi Gorontalo ........................ 114
8.2.4. Status Dokter Umum di Provinsi Gorontalo ............. 116
8.2.5. Status Tenaga Kesehatan di Provinsi Gorontalo ....... 118
8.2.6. Rasio Bangunan SD Terhadap Jumlah Murid SD di
Provinsi Gorontalo ..................................................... 119
8.2.7. Rasio Bangunan SMP Terhadap Jumlah Murid SMP
di Provinsi Gorontalo................................................. 121
8.2.8. Rasio Bangunan SMA Terhadap Jumlah Murid SMA
di Provinsi Gorontalo................................................. 122
8.2.7. Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo .. 124
IX. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 127
9.1. Kesimpulan .......................................................................... 127
9.2. Saran ..................................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 129
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Perbandingan IPM Antar Provinsi di Sulawesidan Indonesia
Tahun2002-2009………………………………………………. 3
2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) beberapa Provinsi di Indonesia
menurut usia sekolahJenis kelamin dan provinsi tahun 2008…. 6
3 Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin Indonesia dalam Juta … 7
4 Indikator-indikator Pembangunan Wilayah berdasarkan
basis/pendekatan pengelompokannya…………………………… 20
5 Dimensi dan Indikator IPM…………………………………….. 24
6 Nilai Maksimun dan Minimum dari setiap Komponen IPM …… 28
7 Matrik tujuan, metode, data dan sumber data dalam penelitian... 45
8 Luas wilayah Kabupaten Kota di Provinsi Gorontalo ………….. 54
9 Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo menurut Kabupaten/kota
tahun 1999 – 2009 ……………………………………………… 57
10 Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo Menurut Jenis Kelamin
Tahun 2009……………………………………………………. 58
11 Hasil Estimasi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi IPM di Kota
Gorontalodan Kabupaten Gorontalo …………………………… 96
12 Perbandingan IPM Provinsi Gorontalo, Nasional &
Kabupaten/Kota..……………………………………………….. 101
13 Komponen Pembentuk IPM Provinsi Gorontalo ……………….. 102
14 Angka Harapan Hidup Provinsi Gorontalo Tahun 1999-2009… 103
15 Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Gorontalo Tahun 1999-
2009.............................................................................................. 106
16 Perbandingan Peringkat IPM Antar Provinsi di Sulawesi,dan
Indonesia Tahun 2002-2009 …………………………………… 108
17 Fasilitas PuskesmasMenurut Kabupaten-Kota di Provinsi
Gorontalo……………………………………………………….. 112
18 Puskesmas Pembantu Menurut Kab-Kota di Provinsi
Gorontalo……………………………………………………….. 115
19 Perkembangan SD, Jumlah Murid SD dan Rasio Bangunan SD
terhadap Murid SD, Tahun 1995-2010 Provinsi
Gorontalo.……………………………………………………….. 119
20 Perkembangan SMP, Jumlah Murid SMP dan Rasio Bangunan
SMP terhadap Murid SMP, Tahun 1995-2010 Provinsi
Gorontalo.……………………………………… 121
21 Perkembangan SMA, Jumlah Murid SMA dan Rasio Bangunan
SMA terhadap Murid SMA, Tahun 1995-2010 Provinsi
Gorontalo.………………………………………......................... 122
22 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Gorontalo tahun 1995-
2010…………………………………………………................... 125
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Nasional & Provinsi
Gorontalo.............................................................................................. 2
2 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Antara Provinsi
Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo, dan IndonesiaTahun 2002 –
2009...................................................................................................... 4
3 Perkembangan Jumlah Kasus Gizi Buruk 4 Provinsi Tahun 2005-
2009 ..................................................................................................... 5
4 IPM dan Peringkat IPM Kabupaten dan Kota di Provinsi Gorontalo... 8
5 Pertumbuhan Ekonomi Dengan Pembangunan Manusia...................... 18
6 Pengaruh Pendidikan Terhadap IPM .................................................... 27
7 Biaya Manfaat Sosial Pendidikan Vs Biaya,Manfaat Individu ............ 35
8 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 41
9 Kerangka Alur Penelitian ..................................................................... 42
10 Peta Lokasi Penelitian........................................................................... 43
11 Peta Provinsi Gorontalo....................................................................... 55
12 IPM Kota Gorontalo Tahun 1995 – 2010.............................................. 70
13 Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Gorontalo Tahun 1995-2010 72
14 Rasio Puskesmas Dengan Jumlah Penduduk Kota Gorontalo Tahun
1995-2010............................................................................................. 73
15 Perkembangan Rasio Puskesmas Pembantu (Pustu) terhadap
Penduduk Tahun 1995 – 2010 ............................................................. 74
16 Rasio Dokter per seratus ribu penduduk di Kota Gorontalo 3 Tahun
terakhir (2008-2010) ............................................................................ 75
17 Rasio Tenaga Kesehatan Kota Gorontalo Tahun 1995-2010 ............... 76
18. Rasio Bangunan SD terhadap Jumlah Murid SD di Kota Gorontalo
Tahun 1995-2010................................................................................. 77
19. Rasio Bangunan SMP terhadap Jumlah Murid SMP di Kota
Gorontalo Tahun 1995-2010................................................................ 78
20 Rasio Bangunan SMA terhadap Jumlah Murid SMA di Kota
Gorontalo Tahun 1995-2010................................................................. 79
21 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kota Gorontalo Tahun 1995-2010...... 80
22 IPM Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010 ................................... 81
23 Persentase Kemiskinan Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010 ..... 83
24 Rasio Puskesmas Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010 .............. 84
25 Rasio Puskesmas Pembantu Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 –
2010..................................................................................................... 85
26 Rasio Dokter di Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010 ................. 86 27 Rasio Tenaga Kesehatan Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010.... 87
28 Rasio Bangunan SD terhadap Murid SD di Kabupaten Gorontalo
Tahun 1995 – 2010.............................................................................. 88
29 Rasio Bangunan SMP per Murid SMP di Kabupaten Gorontalo Thn
1995 – 2010.......................................................................................... 89
30 Rasio Bangunan SMA per Murid SMA di Kabupaten Gorontalo Thn
1995 – 2010.......................................................................................... 90
31 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Gorontalo Thn 1995 – 2010.. 91
32 Durbin Watson Tes pada Model Faktor-faktor yang Mempengaruhi
IPM di di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo........................... 97
33 IPM Provinsi Gorontalo Tahun 1995 – 2010 ....................................... 100
34 Angka Melek Huruf Provinsi Gorontalo Tahun 1999-2009................. 105
35 Pengeluaran Riil Perkapita Provinsi Gorontalo Tahun 1999-2009....... 107
36 Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi-provinsi di Pulau
SulawesiTahun 2010................................................................. 111
37 Rasio Puskesmas Dengan Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo
Tahun 1995-2010...................................................................... 114
38 Perkembangan Rasio Puskesmas Pembantu (Pustu) terhadap
Penduduk Tahun 1995 – 2010. ................................................... 116
39 Perkembangan Jumlah Dokter di Provinsi Gorontalo 3 Tahun
terakhir (2008-2010)............................................................................ 117
40 Perkembangan Jumlah Tenaga Kesehatan di Provinsi Gorontalo 3
Tahun Terakhir (2008-2009).............................................................. 118
41 Rasio Bangunan SD terhadap Jumlah Murid SD di Provinsi
Gorontalo Tahun 1995-2010 ................................................................ 120
42 Rasio Bangunan SMP terhadap Jumlah Murid SMP di Provinsi
Gorontalo Tahun 1995-2010................................................................ 121
43 Rasio Bangunan SMA terhadap Jumlah Murid SMA di Provinsi
Gorontalo Tahun 1995-2010................................................................ 123
44 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi & PDRB Perkapita Provinsi
Gorontalo Dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Thn 2002-2010........ 125
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Hasil Olah Data Faktor-faktor Yang Mempengaruhi IPM di Kota
Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo..................................................... 133
2 Data aktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo .......... 134
3 Data faktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di Kabupaten Gorontalo… 135
4 Data Panel Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo
dan Kabupaten Gorontalo …………….................................................. 136
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Merebaknya tuntutan daerah untuk memekarkan diri merupakan bentuk
dari adanya kekuatan (power) sebagai akibat dari ketidakpuasan daerah terhadap
tata pemerintahan yang sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik di zaman
orde baru dianggap sebagai pemerintahan yang hanya menjadikan daerah sebagai
objek pembangunan pemerintah pusat tanpa keterlibatan rakyat secara langsung
didalam proses perencanaan dan pengelolaan daerahnya.
Menurut Rustiadi et al. (2009), ada dua hal penting yang harus dilakukan
untuk mewujudkan penyelenggaraan daerah yang berbasis rakyat, yaitu yang
pertama penguatan capacity building ditingkat komunitas dan pemberian otonomi
yang cukup bagi masyarakat untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri.
Menurutnya, pemberian otonomi perlu untuk menyelesaikan suatu masalah
ditingkat lokal, namun karena tidak diberikan kewenangan, atau karena
kewenangannya hanya ditangan institusi pemerintah sehingga terjadi inefisiensi
dalam pembangunan karena terlalu luasnya kapasitas pemerintah hingga
menyelesaikan masalah-masalah berskala kecil.
Menurut Juanda (2007), bahwa keadaan dimana terjadi kesenjangan akibat
tidak meratanya pembangunan dapat memicu peluang bagi provinsi, kabupaten
dan kota untuk melakukan pemekaran sebagai dampak dari kebijakan otonomi
daerah. Hal ini tercermin dari perkembangan jumlah daerah yang dimekarkan
sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2007 mencapai 33 propinsi yang semula di
era Orde Baru hanya ada 27 provinsi, dan jumlah wilayah kabupaten kota
sebanyak 459 di era reformasi yang sebelumnya hanya 246 kabupaten dan kota.
Dimekarkannya provinsi Gorontalo dari induknya Provinsi Sulawesi Utara
sebagai provinsi ke-32 adalah wujud dari semangat otonomi daerah dalam upaya
mengatur dan mengelola wilayahnya semaksimal mungkin sesuai dengan
potensidan tujuan pembentukan Provinsi Gorontalo yakni memajukan daerah,
membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan dan memobilisasi
pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo Tahun 2012
Gambar 1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Nasional & Provinsi Gorontalo
Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi provinsi Gorontalo di atas
rata-rata pertumbuhan nasional, sebagaimana Gambar 1 berada, sejatinya
dibarengi dengan peningkatan pembangunan manusia seutuhnya.Sebagaimana
pendapat Rustiadi et al. (2009) bahwa otonomi daerah mengisyaratkan perlunya
peningkatkan kualitas hidup penduduk yang lebih baik secara fisik, mental
maupun secara spiritual. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan
sumberdaya manusia secara fisik dan mental mengandung makna peningkatan
kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar kesempatan untuk
dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang berkelanjutan, yang pada
akhirnya bermuara kepada Indeks Pembangunan Manusia.
Meski mencatat peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi dan kemajuan
dalam berbagai pembangunan daerah, Provinsi Gorontalo ternyata menghadapi
masalah diberbagai hal, utamanya dalam pembangunan manusia.Beberapa
persoalan pembangunan manusia yang dihadapi Provinsi Gorontalo seperti,
tingginya angka kematian bayi dan gizi buruk, rendahnya angka partisipasi
sekolah serta kecilnya pendapatan per kapita.
Secara umum status pembangunan manusia di Provinisi Gorontalo masih
berada pada tingkat yang relatif rendah. Data time seriesyang dikeluarkan BPS
berturut-turut mulai tahun 2002 sampai dengan 2009 menunjukkan tingkat Indeks
Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo yang berada di bawah rata-rata IPM
nasional. Dalam peringkat secara nasional (33 propinsi) Gorontalo menduduki
peringkat ke 24 pada tahun 2002, kemudian mengalami penurunan peringkat pada
tahun 2004 yaitu pada peringkat 28, naik kembali pada peringkat 25 di tahun 2005
selanjutnya pada 3 tahun berturut-turut tidak mengalami perubahan dalam
peringkatnya yaitu tetap bertahan di peringkat ke 24 sebagaimana tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Antar Provinsi di
Sulawesi dan Indonesia Tahun 2002-2009
Provinsi 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009
IPM Ran IPM Ran IPM Ran IPM Ran IPM Ran IPM Ran IPM Ran
Sulawesi
Utara
71.3 2 73.4 2 74.2 2 74.3 2 74.6 2 75.1 2 75.6 2
Sulawesi
Tengah
64.4 22 67.3 22 66.4 21 66.3 22 68.3 22 70.0 22 70.7 22
Sulawesi
Selatan
65.3 21 67.8 21 68.0 23 68.8 23 69.6 21 70.2 21 70.9 20
Sulawesi
Tenggara
64.1 26 66.7 25 67.5 24 67.8 25 68.3 25 69.0 25 69.5 25
Gorontalo 64.1 24 65.4 28 67.4 25 68.0 24 68.8 24 69.2 24 69.7 24
Sulawesi
Barat
-
- 64.4
29 66.7
29 67.6
29 67.7
28 68.5
27 69.1
27
Indonesia 65.8 68.7 69.5 70.1 70.5 71.1 71.7
Ran = Ranking
Sumber : BPS Tahun 2010 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia antara Provinsi Gorontalo,
Sulawesi Utara, dan Indonesia, menunjukkan meski Provinsi Gorontalo
mengalami peningkatan dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia untuk
setiap tahunnya namun kondisi tersebut masih jauh bila dibandingkan dengan
Provinsi induknya yaitu Sulawesi Utara. Pada tabel di atas, terlihat bahwa
Sulawesi Utara mampu melampaui Indeks Pembangunan Manusia Indonesia atau
berada di urutan peringkat ke-2 setelah DKI Jakarta.Sedangkan Indeks
Pembangunan Manusia Provinsi Gorontalo berada di bawah rata-rata Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia. Namun demikian IPM Provinsi Gorontalo, bila
dibandingkan dengan Provinsi Sulawesi Barat masih lebih tinggi dibandingkan
dengan IPM di Provinsi Sulawesi Barat, Kondisi ini dapat dilihat lebih jelas dalam
Gambar 2 Perbandingan IPM antara Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan
Indonesia berikut.
Sumber BPS Tahun 2010 Gambar 2 Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Antara Provinsi
Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo, dan IndonesiaTahun 2002–2009
Kondisi kesehatan Provinsi Gorontalo belum menunjukkan perbaikan
yang signifikan, hal ini diwarnai dengan masih tingginya angka kematian bayi
(Infant Mortality Rate) dan gizi buruk di Provinsi Gorontalo sebagaimana hasil
pemantauan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, selama
tahun 2005 sampai dengan 2009, yang mengemukakan bahwa jumlah temuan
kasus balita gizi buruk terbesar terdapat di empat provinsi yaitu Jawa Tengah,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo. Keempat provinsi ini selalu
hadir berturut-turut dari 2005-2009. Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun
2005, 2007 dan 2008, menduduki posisi teratas sedangkan tahun 2006 dan 2009
masing-masing ditempati Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Gorontalo. Keempat
provinsi ini selama 5 tahun berturut-turut (2005-2009) masuk ke dalam kategori
10 provinsi dengan kasus gizi buruk tertinggi, sebagaimana gambar 3:
NTT
Jateng
Jatim
GTO
13569
30933
1435
1334
6391
2005 2006 2007
TAHUN
N
2008 2009
2497
1782
8
9610
12507 12422
Gambar 3 Perkembangan Jumlah Kasus Gizi Buruk 4 Provinsi Tahun 2005-
2009.
Dibidang pendidikan, data Susenas yang diolah tahun 2008 menyebutkan
berdasarkan distribusi wilayah provinsi kondisi Angka Partisipasi Sekolah pada
kelompok umur 13-15 tahunyang terendah berada di provinsi Gorontalo.
Sedangkan kelompok umur 16-18 tahun beberapa provinsi yang pencapaiannya
dibawah 50 adalah Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Barat, NTT, Kalimantan
Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Gorontalo dan
Sulawesi Barat.
Perbandingan ini memperlihatkan bahwa distribusi Angka Partisipasi
Sekolah di Provinsi Gorontalo masih perlu mendapatkan perhatian khusus dari
Pemerintah, utamanya terkait dengan rendahnya Angka Partisipasi Sekolah untuk
kelompok umur 13-15 tahun dan Kelompok Umur 16-18 Tahun. Tabel 2 di bawah
Sumber :Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, tahun 2009
ini memperlihatkan Angka Partisipasi Sekolah di beberapa Provinsi di Indonesia
menurut usia sekolah, jenis kelamin dan provinsi pada tahun 2008.
Tabel 2. Angka Partisipasi Sekolah (APS) beberapa Provinsi di Indonesia menurut
usia sekolahJenis kelamin dan provinsi tahun 2010
PROVINSI LAKI-LAKI PEREMPUAN
7-12 13-15 16-18 7-12 13-15 16-18
Bangka Belitung 96.04 78.49 42.87 97.46 79.94 48.55
Jawa Barat 97.94 80.64 46.77 98.42 79.57 46.18
Nusa Tengara
Timur 93.66 76.44 47.65 93.78 78.42 47.48
Kalimantan Barat 96.80 84.49 48.52 97.36 83.12 49.80
Kalimantan Selatan 97.72 78.99 49.15 97.24 78.33 48.66
Sulawesi Utara 97.48 86.90 52.07 98.22 89.05 61.16
Sulawesi Tengah 97.39 79.03 47.78 96.92 82.47 50.14
Sulawesi Selatan 95.31 77.16 49.98 95.95 79.89 53.06
Sulawesi Tenggara 97.28 84.30 54.76 98.00 86.47 61.90
Gorontalo 93.57 69.92 41.97 94.46 83.10 54.16
Sulawesi Barat 93.62 72.16 41.45 95.26 77.21 44.88
Indonesia 97.68 84.13 54.81 97.98 84.69 54.59
Sumber : Diolah dari Susenas, 2011
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa Angka Partisipasi Sekolah laki-laki lebih
rendah dibanding Angka Partisipasi Perempuan.Ini menunjukkan bahwa
perempuan mempunyai keinginan untuk memperbaiki tingkat pendidikan yang
lebih baik lagi dibanding laki-laki.Hal ini perlu mendapatkan perhatian, karena
sebagai calon kepala rumah tangga, sedianya laki-laki lebih mempunyai peran
penting dalam rangka meningkatkan taraf hidup rumah tangganya dengan
memperbaiki tingkat pendidikannya. Angka Partisipasi Sekolah tersebut,
menunjukkan persentase penduduk dengan berbagai kelompok usia baik laki-laki
dan perempuan dalam upaya meningkatkan tingkat partisipasinya dalam
pendidikan.Demikian pula dalam hal pendapatan per kapita masyarakat di
Provinsi Gorontalo, meskipun mangalami kenaikan dalam Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), namun jumlah penduduk miskin di provinsi Gorontalo
terus bertambah, sebagaimana perbandingan penduduk miskin antar propinsi pada
tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan Jumlah Penduduk Miskin Indonesia dalam ribu Tahun 2009
No Provinsi Perkotaan Perdesaan Perkotaan +
Perdesaan
1 Nangroe Aceh Darussalam 195.9 763.9 959.8
2 Sumatera Utara 761.7 852.1 1613.8
3 Sumatera Barat 127.3 349.9 477.2
4 Riau 245.1 321.6 566.7
5 Jambi 120.1 140.2 260.3
6 Sumatera Selatan 514.7 734.9 1249.6
7 Bengkulu 131.8 220.2 352
8 Lampung 365.6 1226 1591.6
9 Kep. Bangka Belitung 36.5 50.2 86.7
10 DKI Jakarta 379.6 0 379.6
11 Kepulauan Riau 69.2 67.1 136.3
12 Jawa Barat 2617.4 2705 5322.4
13 Jawa Tengah 2556.4 3633.2 6189.6
14 DI Yogyakarta 324.2 292.1 616.3
15 Jawa Timur 2310.6 4340.6 6651.2
16 Banten 371 445.7 816.7
17 Bali 115.1 100.7 215.8
18 Nusa Tenggara Barat 560.4 520.2 1080.6
19 Nusa Tenggara Timur 119.3 979.1 1098.4
20 Kalimantan Barat 127.5 381.3 508.8
21 Kalimantan Tengah 45.3 154.6 199.9
22 Kalimantan Selatan 81.1 137.8 218.9
23 Kalimantan Timur 110.4 176.1 286.5
24 Sulawesi Utara 72.7 150.9 223.6
25 Sulawesi Tengah 60.9 463.8 524.7
26 Sulawesi Selatan 150.8 880.9 1031.7
27 Sulawesi Tenggara 27.2 408.7 435.9
28 Gorontalo 27.5 194.1 221.6
29 Sulawesi Barat 48.3 122.8 171.1
30 Maluku 44.7 346.7 391.4
31 Maluku Utara 9 96 105
32 Irian Jaya Barat 9.5 237 246.5
33 Papua 31.6 701.5 733.1
Indonesia 12786.5 22194.8 34963.3
Sumber : Data Dan Informasi Kemiskinan BPS, Tahun 2010
Pertumbuhan ekonomi Gorontalo di atas ternyata tidak disertai pemerataan
pembagian pendapatan, bahkan kesenjangan semakin melebar antarkelompok
pendapatan.Pembangunan yang mengejar laju pertumbuhan ekonomi dan
sentralistik justru menimbulkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan di
beberapa wilayah. Pembangunan yang tidak memperhatikan interaksi
antarwilayah atau interaksi antara wilayah lemah akan menjadi awal munculnya
ketimpangan. Ketimpangan yang terus berlanjut akan memperbesar jumlah
kemiskinan. Kemiskinan dengan sendirinya akan menurunkan tingkat
pembangunan manusiasebagaimana diungkapkan oleh Todaro(2000).
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo, Tahun 2011
Gambar 4. IPM Kabupaten dan Kota di Provinsi Gorontalo
Mencermati ketimpangan atas pertumbuhan ekonomi dan tingkat
kesejahteraan manusia di Provinsi Gorontalo baik dalam hal pendapatan,
kecukupan pangan, kesehatan, usia harapan hidup, pendidikan dan kesempatan
kerja atau perumahan yang merupakan indikator komponen kebutuhan dasar
manusia yang dapat diagregatkan ke dalam ukuran Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan sebagaimana Gambar
4 yang menunjukkan peringkat IPM per kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo
masih jauh dari harapan.
1.2. Perumusan Masalah
Memahami keadaan tersebut dan melihat kondisi Provinsi Gorontalo,
menjadi sangat berarti untuk mencermati kembali sejauh mana dampak otonomi
daerah di provinsi ini dilihat dari aspek pembangunan manusia.Sekalipun
pembangunan di Provinsi Gorontalo selama satu dasawarsa (10 tahun) pasca
dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara diwarnai dengan perkembangan
pembangunan ekonomi yang begitu pesat, namun nampak pembangunan manusia
di wilayah ini masih terjadi ketimpangan dilihat dari angka maupun peringkatnya.
Laju pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,29 persen pada tahun 2008
dan PDRB riil perkapita yang mencapai 2.44 (juta Rupiah) ternyata tidak
dibarengi perkembangan pembangunan manusianya dimana IPM Provinsi
Gorontalo sejak memisahkan diri dengan provinsi Sulawesi Utara, sampai dengan
saat ini masih berada di posisi ke-24. Bahkanpada tahun 2004 dan 2005
mengalami penurunan peringkat yaitu pada posisi 28 pada tahun 2004, dan urutan
ke 25 pada tahun 2005.
Pembangunan manusia di Provinsi Gorontalo, tidak dapat dilepaskan dari
kondisi geografis dan warisan budaya Provinsi Gorontalo secara turun temurun
sejak Gorontalo masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara. Kondisi
geografis dimana Gorontalo sebelumnya adalah bagian dari Sulawesi Utara yang
ketika itu hanya ada Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo menjadikannya
kuat dari segala bentuk ronrongan adat dan budaya. Dimana adat dan budaya
Gorontalo berasaskan pada falsafah adat bersendikan sara dan sara bersendikan
kitabullah. Hal ini memberikan gambaran bahwa pembangunan manusia di
Provinsi Gorontalo tidak lepas dari nilai-nilai luhur agama islam yang
menyertainya, yang secara tidak langsung mempengaruhi tingkat pendidikan. Dan
kualitas pendidikan adalah proksi dari pembangunan manusia.
Oleh karena itu, untuk melihat sejauh mana perkembangan pembangunan
manusia di Povinsi Gorontalo, perlu kiranya dilihat perkembanganya secara
geografis, dimana akan dilihat perkembangan pembangunan manusia di Provinsi
Gorontalo sebelum dimekarkan dari Sulawesi Utara dan setelah dimekarkan yang
digambarkan oleh pembangunan manusia di Kabupaten Gorontalo. Untuk melihat
sejauhmana perkembangan IPM setelah otonomi daerah digambarkan oleh Kota
Gorontalo. Dan untuk melihat sejauhmana perkembangan pembangunan manusia
sebelum dan sesudah otonomi daerah akan dilihat di Provinsi Gorontalo.
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan
pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan pembangunan sumberdaya manusia baik dalam hal
pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat di Kota Gorontalo
sebelum dan sesudah Otonomi Daerah ?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan pembangunan sumberdayamanusia baik dalam hal
pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat di Kabupaten Gorontalo
sebelum dan sesudah Pemekaran Wilayah ?
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan pembangunan sumberdayamanusia baik dalam hal
pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat di Provinsi Gorontalo
sebelum dan sesudah Otonomi Daerah ?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak otonomi daerah dan
Pemekaran Wilayah terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Gorontalo.
Secara rinci tujuannya adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi IPMsebelum dan sesudah
Otonomi Daerah di Kota Gorontalo.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi IPM sebelum dan sesudah
Otonomi Daerah di Kabupaten Gorontalo;
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di Provinsi
Gorontalo.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah Daerah, diharapkan penelitian ini menjadi bahan
masukan bagi penyelenggaraan pembangunan manusia diwilayah
penelitian.
2. Memperoleh alternatif instrumen analisis pembangunan manusia di
Provinsi Gorontalo.
3. Memberikan gambaran tentang model pembangunan manusia di Provinsi
Gorontalo.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1) Penelitian akan dilakukan terhadap enam kabupaten/kota yakni Kabupaten
Gorontalo, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone
Bolango dan Kabupaten Gorontalo Utara serta satu kota yaitu Kota Gorontalo
yang menjadi unit analisis sedangkan Provinsi Gorontalo menjadi wilayah
referensi.
2) Ruang lingkup penelitian difokuskan pada analisis data pencapaian Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), berupa pendidikan yang tercermin pada Angka
Partisipasi Sekolah dan Angka Melek Huruf, kesehatan yang tercermin pada
Angka Harapan Hidup dan Angka Status Kesehatan) dan kehidupan yang
layak yang dicerminkan dengan pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan
serta melihat faktor-faktor yang mempangaruhi Indeks Pembangunan
Manusia dengan menganalisis Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, dan
Ketimpangan Pembangunan yang menyebabkan perbedaan pada Indeks
Pembangunan Manusia berupa PDRB per kapita, dan Rasio Belanja
Infrastruktur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Paradigma Pembangunan Pasca Otonomi Daerah.
Perkembangan beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa
masyarakat menuntut hasil pembangunan yang lebih merata dan mengharapkan
agar potensi yang dimiliki daerah dimanfaatkan secara maksimal. Untuk
merespon keinginan tersebut, pemerintah di era reformasi ini mengeluarkan
Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-
undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pusat dan
pemerintah daerah. Melalui Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang
diperbarui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, berdasarkan prinsip-
prinsip otonomi, daerah diberikan wewenang yang luas dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Menurut Rustiadi et al. (2009), otonomi daerah mengisyaratkan
pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding
pendekatan sektoral.Menurutnya pembangunan berbasis pengembangan wilayah
dan lokal memandang pentingnya keterpaduan antarsektoral, antarspasial
(keruangan), serta antarpelaku pembangunan di dalam dan antardaerah.Sehingga
setiap program-program pembangunan sektoral dapat dilaksanakan dalam
kerangka pengembangan wilayah. Pemberlakuan kebijakan otonomi daerah sejak
tahun 2000 (penerapan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999) yang direvisi
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dipandang Rustiadi et al. (2009)
sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan
pembangunan antarwilayah (inter-regional), termasuk ketidakseimbangan
kewenangan antarpusat dan daerah. Menurutnya otonomi daerah diharapkan dapat
memotong proses backwash yang telah menyebabkan terjadinya keterkaitan-
keterkaitan inter-regional yang bersifat eskploitatif, yang pada gilirannya
diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah. Namun
dalam jangka pendek, pemberlakuan otonomi daerah yang memberikan
kewenangan yang besar pada pemerintahan daerah didalam mengelola
pembangunan di daerahnya, dapat menumbuhkan ekses-ekses pembangunan
dalam berbagai bentuk “ego-regional” berupa “keengganan” melakukan berbagai
bentuk kerjasama inter-regional terutama yang dikoordinasikan oleh pemerintah
pusat dan provinsi. Dengan demikian program-program pengembangan kawasan
yang ditujukan untuk mendorong keseimbangan pembangunan
antarwilayah/kawasan menghadapi tantangan yang berbeda dengan sebelumnya.
Tujuan dari otonomi daerah di Indonesia adalah:(1) Mencegah disintegrasi
bangsa; (2) Mendorong demokrasi. (3) Memajukan daerah dengan pembagian
tugas-tugas yang lebih jelas antara tingkatan-tingkatan pemerintahan.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah
bertujuan: (1) Meningkatkan ikutsertaan masyarakat dalam pembangunan daerah,
baik dalam perencanaan, pembuatan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan lain
sebagainya yang berhubungan dengan proses kerja administrasi pemerintah. (2)
Meningkatkan efektifitas pelayanan publik dalam administrasi dan manajemen.
(3) Meningkatkan efektifitas dan pemerataan pembangunan daerah. (4)
Mewujudkan pemerintahan yang besih dan bertanggung jawab, juga transparansi
dan akuntabilitas pemerintahan. (5) Mengembangkan kehidupan politik dan sosial
budaya yang lebih produktif. (6) Mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam menterjemahkan konsep otonomi daerah, Sabarno (2004)
menyarankan kepada sebagian Bupati dan Walikota yang kerap kali keliru dalam
mengimplementasi dan menterjemahkan otonomi sebagai kekuasaan terhadap
wilayah, dimana menurutnya esensi otonomi daerah yang sebenarnya adalah
memberi kesempatan kepada daerah untuk membangun ekonomi masyarakat di
daerah itu, mengurus rumah tangga ekonomi daerah secara otonom tanpa dibatasi
batas wilayah. Otonomi tak mengenal batas wilayah, begitu juga dengan produk
Peratauran Daerah (Perda) setiap daerah, itu bukan untuk saling merugikan
antardaerah, melainkan saling dukung guna pemberdayaan ekonomi rakyat dan
menarik investasi ke daerah. Karena itu, menurutnya, Gubernur dan jajaran
Pemerintah Provinsi bisa lebih proaktif melakukan koordinasi dan komunikasi
dengan daerah-daerah. Yang lebih penting lagi menurutnya, masyarakat harus
selalu berada di belakang Gubernur dalam melakukan pembangunan, tidak
terpengaruh dengan berita-berita yang diskriminatif psikis, masyarakat dan aparat
tidak kehilangan kegigihan untuk ikut membantu pembangunan.
2.2. Definisi Otonomi Daerah
Otonomi secara umum sering disebut sebagai devolusi, merupakan
pelimpahan wewenang kepada badan hukum lokal di luar organisasi yang
memberikan wewenang. Sedangkan secara formal sebagaimana disebutkan dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah adalah wewenang daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.Menurut Undang-undang Nomor5 tahun 1974, definisi otonomi daerah
adalah penyerahan urusan kepada lembaga pemerintah daerah, yaitu pemberian
hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri dalam arti pemerintah daerah.
Pengertian dari Undang-undang Nomor32 tahun 2004 mengandung
beberapa segi dasar, yakni: Pertama, bahwa otonomi daerah bukan skema
kedaulatan daerah dalam konteks negara federal. Kedua, kebijakan otonomi lebih
merupakan perubahan dalam tata susunan kekuasaan, termasuk di dalamnya
terdapat perubahan prinsip kerja pemerintahan yang berupa kewenangan untuk
mengatur urusan daerahnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, proses politik rezim Orde Baru yang tidak memberi harga pada partisipasi
rakyat telah dengan seksama menunjukkan bagaimana akibat dari elitisme dan
sentralisasi politik tersebut.
2.3. Prinsip Otonomi Daerah
Prinsip otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor32 tahun 2004,
menerangkan bahwa kebijakan desentralisasi yang diwujudkan dalam
pembentukan daerah otonom dan penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Otonomi daerah juga
berorientasi pada peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan potensi keanekaragaman daerah dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang Nomor32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, dalam menyelenggarakan otonomi daerah, terdapat beberapa hak daerah,
yakni:Pertama, mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumberdaya nasional
yang berada di daerah oleh pemerintah atau yang dikuasakan/diberi ijin. Kedua,
memungut pajak daerah dan retribusi daerah.Ketiga, mengelola kekayaan
daerah.Keempat, mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
Sedangkan dalam penyelenggaraan otonomi daerah sesuai Undang-undang
Nomor32 tahun 2004, daerah mempunyai beberapa kewajiban, yakni: Pertama,
menyediakan pelayanan umum. Kedua, mengembangkan sumberdaya produktif di
daerahnya.Ketiga, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.Keempat,
melindungi masyarakat.Kelima, melestarikan nilai-nilai sosiokultural.Keenam,
mengembangkan kehidupan demokrasi.Ketujuh, mengembangkan keadilan dan
pemerataan.
2.4. Desentralisasi
Desentralisasi adalah sebuah bentuk pemindahan tanggungjawab,
wewenang dan sumber-sumber daya berupa dana maupun personil dari
pemerintah pusat ke level pemerintahan daerah. Dasar dari inisiatif seperti ini
adalah desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ke
tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Alasannya adalah
bahwa masyarakat yang akan merasakan langsung pengaruh program pelayanan
yang dirancang dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah.
Prinsip-prinsip utama desentralisasi adalah mempromosikan otonomi
daerah, perencanaan 'bottom-up', partisipasi penuh seluruh masyarakat dalam
proses yang demokratis, kendali daerah yang lebih besar terhadap sumber-sumber
keuangan, serta pembagian sumberdaya yang lebih berimbang antara pusat
dengan daerah. Manfaat desentralisasi adalah pengalokasian yang lebih baik dari
sumberdaya oleh pemerintah yang terbatas melalui peningkatan efektifitas dan
efisiensi biaya pelayanan publik, meningkatkan proses demokratisasi,
memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, serta
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
2.5.Pertumbuhan Ekonomi Wilayah dan Pembangunan Manusia
Menurut Rustiadi et al. (2009), secara umum pertumbuhan ekonomi atau
pertumbuhan output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja
pembangunan yang paling popular. Namun demikian pertumbuhan perekonomian
yang pesat tersebut, juga disertai munculnya berbagai masalah berupa penurunan
distribusi pendapatan, peningkatan jumlah keluarga di bawah garis kemiskinan
serta kerusakan sumberdaya alam akan berdampak paradoks dan mengarah pada
kemunduran pembangunan itu sendiri.
Disisi lain pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi tercapainya
pembangunan manusia, karena pertumbuhan ekonomi adalah ukuran pencapaian
pembangunan melalui peningkatan aktivitas dan produktivitas ekonomi serta
peningkatan infrastruktur yang berdampak pada penciptaan lapangan pekerjaan
dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan masyarakat. Infrastruktur yang baik
adalah sektor pendukung yang paling efektif dan efisien dalam mendukung
aktivitas dan produktivitas. Pembangunan akan tercapai jika didukung oleh
infrastruktur yang memadai yang diindikasikan dengan layanan kualitas sarana
dan prasarana yang baik.
Ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem
penyediaan tenaga listrik, irigasi sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan
sebagainya merupakan social overhead capital yang memiliki keterkaitan erat
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.Hal tersebut
dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem
infrastruktur yang baik mampunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan ekonomi yang baik pula, dibandingkan dengan daerah yang
mempunyai infrastruktur yang terbatas.
Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut
transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan
yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat.
Seperti perdagangan internasional (ekspor dan impor), penawaran agregat
(produksi dan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang
diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan sebagaimanaTodaro dan Smith (2006).
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses transformasi yang dalam
perjalanan waktu ditandai oleh perubahan struktur perekonomian, yaitu perubahan
pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi
masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, perubahan struktur dan
pertumbuhan ekonomi memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Sumber : PGSP Laporan Pembangunan Manusia
Gambar 5. Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Manusia
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur
merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional. Infrastruktur
merupakan roda penggerak ekonomi yang memungkinkan orang, barang dan jasa
diangkut dari suatu tempat ke tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya
sangat diperlukan dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi
komoditi ekonomi, telekomunikasi, listrik dan air yang merupakan elemen
penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan,
industri dan pertanian. Sehingga keberdaan infrastruktur akan mendorong
terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi.
Sebagaimana teori Lewis, kondisi pareto optimal akan tercapai bila terjadi
mobilitas faktor-faktor produksi (labour) tanpa hambatan untuk memacu
pertumbuhan ekonomi. Daerah-daerah yang memiliki tingkat mobilitas faktor-
faktor produksi antara daerah rendah akan menyebabkan pertumbuhan
ekonominya rendah. Daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi
menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi di daerah yang bersangkutan memiliki
mobilitas antardaerah rendah.
2.6. Indikator Pembangunan
Menurut Rustiadi et al. (2009) secara umum pertumbuhan ekonomi atau
pertumbuhan output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja
pembangunan yang paling popular, namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang
pesat tersebut jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan
distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah
keluarga di bawah garis kemiskinan, serta kerusakan sumberdaya alam akan
berdampak paradoks dan mengarah pada kemunduran pembangunan itu sendiri.
Adanya permasalahan-permasalahan tersebut, pada tahun 1970 para pakar
pembangunan mulai mengkaji ulang tolok ukur (indikator) tersebut, bukan hanya
pada pertumbuhan output seperti GNP, tetapi harus disertai beberapa tolok ukur
lainnya.
Rustiadi mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga kelompok cara dalam
menetapkan indikator pembangunan, yaitu (1) indikator berbasis tujuan
pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3) indikator
berbasis proses pembangunan. Menurutnya sumberdaya manusia merupakan
bagian dari indikator yang ke-2 yaitu indikator berbasis kapasitas sumberdaya
dengan memilah atas (1) sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya
manusia (human resources), (3) sumberdaya fisik buatan (man-made resources)
mencakup prasarana dan sarana wilayah, dan (4) sumberdaya sosial. Masing-
masing sumberdaya memiliki sifat kelangkaan dan berbagai bentuk karaktersitik
yang unik yang menyebabkan pengelolaannya memerlukan pendekatan yang
berbeda-beda. Berdasarkan pemahaman bahwa proses-proses pembangunan harus
terus mengarah pada semakin meningkatnya kapasitas dari sumberdaya-
sumberdaya pembangunan, maka perlu dikembangkan indikator-indikator yang
dapat menggambarkan kapasitas dari sumberdaya-sumberdaya pembangunan
sebagaimana tabel di bawah ini :
Tabel 4 Indikator-Indikator Pembangunan Wilayah Berdasarkan
Basis/Pendekatan Pengelompokan Sumberdaya.
Kelompok Indikator-indikator Operasional
1. Sumberdaya Manusia
a. Pengetahuan
b. Keterampilan
c. Kompetensi
d. Etos Kerja/Sosial
e. Pendapatan/produktivitas
f. Kesehatan
g. Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)
2. Sumberdaya Alam a. Tekanan (Degradasi)
b. Dampak
c. Degradasi
3. Sumberdaya Buatan/Sarana
dan Prasarana
a. Skalogram Fasilitas Pelayanan
b. Aksebilitas terhadap Fasilitas
4. Sumberdaya Sosial (Sosial
Capital)
a. Regulasi/Aturan-aturan Adat/Budaya
(Norm)
b. Organisasi Sosial (Network)
c. Rasa Percaya (Trust)
Sumber : Rustiadi et al. 2009
2.7. Peran Sentral Human Capital dalam Pembangunan Ekonomi
Pembangunan menghendaki terjadinya peningkatan kualitas hidup
penduduk yang lebih baik secara fisik, mental maupun secara spiritual. Bahkan
secara eksplisit pembangunan yang dilakukan menitikberatkan pada pembangunan
sumberdaya manusia secara fisik dan mental mengandung makna peningkatan
kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar kesempatan untuk
dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan berkelanjutan. Asas pemerataan
merupakan salah satu prinsip pembangunan manusia.Seiring dengan pertumbuhan
ekonomi, peningkatan kualitas fisik dan mental penduduk dilakukan pemerintah
melalui pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan yang program
pembangunannya dirancang untuk memperluas jangkauan pelayanan pendidikan
dan kesehatan dasar.
Menurut Rustiadi et al. (2009) untuk menjamin tercapainya tujuan
pembangunan manusia, empat hal yang perlu diperhatikan adalah produktivitas,
pemerataan, keberlanjutan, dan pemberdayaan.Dalam hal ini perhatian
pembangunan bukan hanya pada upaya untuk meningkatkan kapabilitas manusia
(melalui investasi masyarakat) saja, tetapi juga pada upaya-upaya pemanfaatan
kapabilitas tersebut secara penuh. Namun demikian menurut Rustiadi paradigma
pembangunan manusia tidak hanya empat hal tersebut, tetapi adanya pilihan-
pilihan tambahan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat luas seperti
kebebasan politik, ekonomi, dan sosial sampai kepada kesempatan untuk menjadi
kreatif dan produktif serta menikmati kehidupan sesuai dengan harkat pribadi dan
jaminan hak-hak azasi manusia merupakan bagian dari paradigma tersebut.
Dengan demikian paradigma pembangunan manusia mempunyai dua sisi, sisi
pertama berupa formasi kapabilitas manusia seperti berbaikan taraf kesehatan,
pendidikan dan keterampilan, disisi lainnya adalah pemanfaatan kapabilitas
mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, kultural, sosial dan
politik.Dengan demikian pembangunan manusia mencakup dimensi yang sangat
luas.Pengukuran pencapaian hasil pembangunan manusia di suatu wilayah harus
memberikan gambaran tentang dampak pembangunan manusia bagi penduduk
dan sekaligus dapat memberikan gambaran tentang partisipasi pencapaian
terhadap sasaran ideal.
2.8. Konsep Global Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia telah didefinisikan sebagai proses untuk
memperluas pilihan setiap orang (people choices) terhadap apa yang ingin di
capai sebagaimana Todaro dan Smith (2006). Usaha untuk memperluas pilihan
manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, kebebasan politik,
perluasan lapangan pekerjaan, kesejajaran, dan perbaikan kualitas lingkungan dan
membuka akses bagi orang miskin.
Pertengahan tahun 1980-an indikator pembangunan ekonomi dengan
menggunakan GNP tidak lagi sesuai dengan model sekarang (unfashionable).Di
tahun 1980-an, GNP sudah tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya alat untuk
menganalisis dan menegaskan kesejahteraan sosial (social walfare). Gelombang
literature pada tahun 1970-an yang menyediakan berbagai data dari berbagai
negara (crossnational) sangat bermanfaat untuk menguji dan menganalisis tingkat
kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang. Tahun 1990-an UNDP
menggunakan Human Development Index(HDI) sebagai indikator untuk
menganalisis kesejahteraan sosial yang menggunakan tiga indikator pembangunan
yang terdiri dari pendidikan, kesehatan dan daya beli.
UNDP mendefinisikan pembangunan manusia sebagai suatu konsep
proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut
penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir sedangkan upaya pembangunan
dipandang sebagai saran (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk
menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu
diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan
(UNDP, 1995: 12). Secara singkat empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-
prinsip sebagai berikut :
1. Produktifitas.
Penduduk harus mampu untuk meningkatkan produktivitas dan untuk
berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan pekerjaan
nafkah. Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan
bagian dari model pembangunan manusia.
2. Pemerataan
Penduduk harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat akses
terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang
memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus,
sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari kesempatan yang ada dan
berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup.
3. Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak
hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi-generasi yang
akan datang. Semua sumber daya fisik, manusia dan lingkungan harus
selalu diperbarui (replenished).
4. Pemberdayaan
Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang
akan menentukan (bentuk) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi
dan mengambil manfaat dari proses pembangunan, karenanya
pembangunan harus oleh penduduk bukan hanya untuk mereka.
2.9. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index) telah mengalami beberapakali perubahan, namun pada prinsipnya tidak
banyak yang berubah.Pada tingkat internasional perhitungan Human
Development Indexdilakukan untuk membandingkan kemajuan pembangunan
manusia antarnegara.Human Development Indexyang sebelumnya ditentukan
oleh kombinasi tiga indikator (harapan hidup pada saat lahir, melek huruf dan
pendapatan nasional), dalam perkembangannya ditambah satu indikiator yang
merupakan bagian dari indikator pendidikan (pengetahuan) yaitu lama
sekolah atau rasio partisipasi sekolah.
Tabel di bawah ini merupakan tabel dimensi dan indikator Indeks
Pembangunan Manusia yang merupakan tolok ukur dari penilaian IPM sesuai
dimensi, indikator dan dimensi indeks dari masing-masing elemen pembentuk
Indeks Pembangunan manusia.Adapun Dimensi umur panjang dan hidup
sehat indikatornya adalah harapan hidup saat lahir, dimensi pendidikan
indikatornya adalah tingkat melek huruf dewasa dan rata-rata lamanya
bersekolah, dan standar kehidupan yang layak indikatornya adalah
pengeluaran ril per kapita.
Tabel 5 Dimensi dan Indikator IPM
Dimensi Indikator Dimension Index
Indeks
Pembangunan
Manusia
Umur Panjang
dan Hidup Sehat
Harapan Hidup
Saat Lahir
Indeks Harapan
Hidup
Pendidikan &
Pengetahuan
Tingkat Melek
Huruf Dewasa Indeks
Pendidikan Rata-rata Lamanya
Bersekolah
Standar
Kehidupan
Layak
Pengeluaran Riil
per kapita
Indeks
Pendapatan
Sumber : IPM, BPS Tahun 2010
Pembangunan manusia mencakup dimensi yang sangat
luas.Upaya membuat pengukuran pencapaian pembangunan manusia yang
telah dilakukan di suatu wilayah harus dapat memberikan gambaran
tentang dampak dari pembangunan manusia bagi penduduk dan sekaligus
dapat memberikan gambaran tentang persentase pencapaian terhadap
sasaran ideal. UNDP sejak tahun 1990 menggunakan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) merupakan
indikator komposit tunggal yang walaupun tidak dapat mengukur semua
dimensi dari pembangunan manusia, tetapi mengukur tiga dimensi pokok
pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan
dasar (basic capabilities) penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah
umur panjang dan sehat yang akan mengukur peluang hidup,
berpengetahuan dan berketerampilan, serta akses terhadap sumber daya
yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak.
Badan Pusat Statistik memberikan ilustrasi penghitungan IPM
sebagai berikut :
IPM = 1/3 (X(1) + X(2) + X(3))
Dimana : X(1) :Indeks Harapan Hidup
X(2) : Indeks Pendidikan = 2/3 (Indeks Melek Huruf) +
1/3 (Indeks Rata-rata lama sekolah)
X(3) :Indeks Standar Hidup Layak
Karena hanya mencakup tiga komponen itu maka IPM harus dilihat
sebagai penyederhanaan dari realitas yang kompleks yang tercermin dari
luasnya dimensi pembangunan manusia.Oleh karena itu pesan dasar IPM
perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang dapat mengungkapkan
dimensi-dimensi pembangunan manusia yang penting lainnya (yang tidak
seluruhnya dapat diukur) seperti pemberdayaan perempuan, kebebasan
politik, kesinambungan lingkungan dan kemerataan antargenerasi.
Pembangunan manusia mencakup hampir semua aspek kehidupan
manusia mulai dari kebebasan menyampaikan pendapat, kesetaraan gender,
kesempatan memperoleh pekerjaan, gizi anak, hingga kemampuan untuk
membaca dan menulis bagi orang dewasa.Untuk keperluan mengukur hasil-
hasil pembangunan manusia, PBB melalui United Nation Development
Program (UNDP) telah menetapkan sebuah tolok ukur khusus yang dikenal
sebagai human development index (HDI) atau Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
IPM pada dasarnya adalah nilai yang menunjukkan tingkat
kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-
faktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Nilai IPM menunjukkan
pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar
pembangunan manusia, yakni:
1. Usia yang panjang dan sehat, diukur dengan angka harapan hidup
(AHH).
2. Pendidikan, yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis atau angka
melek huruf (AMH) dengan pembobotan dua per tiga serta angka
partisipasi kasar atau rata-rata lama sekolah (RLS) dengan
pembobotan satu per tiga.
3. Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto
(PDB) per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS.
Metodologi penghitungan angka IPM pada dasarnya dapat
dipelajari. Pertama kali harus diketahui data berupa angka harapan hidup
(AHH) dalam satuan tahun, angka melek huruf (AMH) dalam persentase
penduduk, angka rata-rata lama sekolah (RLS) dalam satuan tahun dan
angka pengeluaran per kapita dalam satuan mata uang. Masing-masing
data ini kemudian diubah menjadi indeks kesehatan, indeks pendidikan
dan indeks daya beli dengan membandingkannya dengan standar yang
ditetapkan oleh UNDP.
Angka IPM sangat dipengaruhi oleh angka rata-rata lama sekolah
(RLS), angka melek huruf (AMH), angka harapan hidup (AHH) dan daya
beli per kapita.Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan berdasarkan masing-
masing indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli.Selain penyebab
langsung, terdapat juga penyebab tidak langsung dan penyebab
mendasar.Jika pengaruh masing-masing faktor terhadap masing-masing
komponen IPM dapat diketahui, maka pembiayaan program-program
APBD yang berkaitan langsung dengan hal tersebut dapat meningkatkan
angka IPM secara optimal.
Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam bidang
pendidikan yang berpengaruh terhadap IPM dilakukan analisis regresi
berganda dengan variabel terikat angka IPM dan variabel bebasnya adalah
dengan melihat rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf.
(AMH) sebagaimana gambar di bawah ini:
Sumber : Wibowo 2008
Gambar 6 Pengaruh Pendidikan Terhadap IPM
Kuantitas guru sangat mempengaruhi partisipasi dalam bidang
pendidikan dimana semakin banyak jumlah guru maka akan semakin
meningkatkan partisipasi dalam bidang pendidikan sehingga
mempengaruhi Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Banyaknya guru sangat
dipengaruhi oleh seberapa besar daya beli masyarakat dalam membiayai
sekolahnya sampai dengan perguruan tinggi. Disamping dipengaruhi oleh
seberapa banyak lulusan tersebut mampu mengabdikan ilmunya di
bidang pendidikan, dalam hal ini berkaitan dengan kualitas atau mutu
tenaga pendidik dilihat dari seberapa besar jumlah tenaga pendidik
(Guru) lulusan sarjana (S1).
Angka Melek Huruf (AMH) sangat dipengaruhi oleh seberapa
besar jumlah masyarakat yang buta huruf dan droup out (putus sekolah).
Penyebab utama dari buta huruf dan droup out dapat dikarenakan sarana
dan prasarana pendidikan yang tidak menunjang, seperti jumlah sekolah
Penyebab
Utama Input Proses
Outp
ut
Indika
tor
Pengaruh
Pendidikan
Terhadap
IPM
Daya Beli
(kemiskinan)
Kuantitas&
Kualitas tenaga
pendidik
Kuantitas
&
Kualitas
Guru&
Masyarak
at
Partisi
pasi
Pendi
dikan
Rata-
rata
Lama
Sekolah
(RLS)
Motivasi &
Dukungan
Masyarakat
Pembentukan
Kelopok Kejar
Paket A, PKBM
Infrastruktur
Sarana&Prasarana
Pendidikan
(Jumlah SD,SMP
& SMA) Kualitas
&
Kuantitas
Peserta
Didik
Dropo
ut&
Buta
Huruf
Angka
Melek
Huruf
(AMH)
Jarak Tempuh
Biaya
Pendidikan
Pendapatan Per
Kapita
Alokasi Anggaran
baik SD, SMP dan SMA yang terbatas, ataupun disebabkan oleh jarak
menuju sekolah sangat jauh sehingga sulit untuk ditempuh, dapat juga
disebabkan oleh kurangnya sarana transportasi menuju sekolah.
Disamping kurangnya sarana dan prasarana infrastruktur pendidikan,
kualitas dan kuantitas peserta didik juga dipengaruhi oleh seberapa besar
daya beli masyarakat dalam membiayai pendidikan dalam hal ini dilihat
dari besarnya pendapatan per kapita masyarakat dan juga anggaran
pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui dana bantuan
sekolah.
2.10. Penyusunan Indeks
Sebelum penghitungan IPM, setiap komponen IPM harus
dihitung indeksnya. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
( X(i,j) – X (i-min) )
Indeks X (i,j) =
( X(i-maks) – X (i-min) )
Dimana :
X (i,j) = komponen IPM ke i dari daerah j
X(i-min) = Nilai minimum dari Komponen IPM ke – i
X(i-maks) = Nilai maksimum dari Komponen IPM ke – i
Untuk menghitung indeks masing – masing komponen IPM
digunakan batas maksimum dan minimum seperti terlihat dalam tabel 6.
Tabel 6 Nilai Maksimun dan Minimum dari setiap Komponen IPM
Komponen IPM Maksimum Minimum Keterangan
Angka Harapan Hidup 85 25 Standar UNDP
Angka Melek Huruf 100 0 Standar UNDP
Rata-rata Lama Sekolah
Daya Beli
15
732.720,-a)
0
300.000,-
360.000 b)
Pengeluaran
Perkapita Riil yang
disesuaikan.
Ket. a) perkiraan maksimum pada akhir PJP II Tahun 2018
b) penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru.
Sumber : BPS, 2010.
2.11. Peran Alokasi Anggaran Pemerintah Dalam Peningkatan IPM
Pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian yang besar pada
upaya peningkatan angka IPM sebagai indikator keberhasilan
pembangunan.Hal ini erat hubungannya dengan upaya pemerintah dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pendapatan masyarakat, peningkatan kesehatan dan pemerataan
pendidikan.Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah RI melalui
Anggaran Belanja Negara mengalokasikan dana dalam upaya
meningkatkan semua komponen pembentuk IPM melalui Dana
Perimbangan seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK) kepada tiap daerah untuk keperluan pembangunan daerah.
Sebagaimana ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan pasal 40 disebutkan:
1. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu daerah dialokasikan
berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar.
2. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas
fiskal.
3. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah
penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk
Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
4. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Bagi Hasil (DBH).
5. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam menyalurkan Dana
Alokasi Umum Pemerintah memasukkan IPM sebagai variabel pengukur
sebagaimana diterangkan dalam ayat (3) Peraturan Pemerintah di atas yang
menyebutkan bahwa kebutuhan fiskal suatu daerah diukur dengan
menggunakan beberapa variabel diantaranya jumlah penduduk, Produk
Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM).
Namun demikian korelasi antara DAU per kapita dengan
pertumbuhan angka IPM sangat rendah.Hal ini menunjukkan bahwa DAU
tidak banyak digunakan untuk menghasilkan program-program pemerintah
daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
menunjang pertumbuhan angka IPM.
2.12. Pendidikan dan Kesehatan sebagai Investasi Modal Manusia.
Pendidikan adalah hal yang mendasar untuk meningkatkan kualitas
kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi.Todarodan
Smith (2006), pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan
yang mendasar, terlepas dari hal-hal yang lain, menurutnya kedua hal itu
merupakan hal yang penting.Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan,
dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai kehidupan yang
memuaskan dan berharga; keduanya adalah hal yang fundamental untuk
membentuk kemampuan manusia yang lebih luas yang berada pada inti
makna pembangunan.Lebih jauh lagi kesehatan merupakan prasyarat bagi
peningkatan produktivitas, sementara keberhasilan pendidikan juga
bertumpu pada kesehatan yang baik.Oleh karena itu, kesehatan dan
pendidikan juga dapat dilihat sebagai komponen pertumbuhan dalam
pembangunan. Yang vital, sebagai input fungsi agregat. Peran gandanya
sebagai input maupun output menyebabkan kesehatan dan pendidikan
sangat penting dalam pembangunan ekonomi.
2.13. TeoriPendidikan Kaitannya dengan Modal Pembangunan
Manusia.
Status seseorang atau keluarga dapat dilihat berdasarkan tingkat
pendidikan yang sedang dan telah dialaminya sebagaimana Stanley dan
Hopkinset al. (1978).Popenoe (1997) menerangkan bahwa keberadaan
seseorang di dalam struktur organisasi kemasyarakatan merupakan status
yang mempunyai pengertian khusus.Status tersebut salah satunya adalah
aspek pendidikan sebagaimana Popenoe (1997).
Dalam arti luas, pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang
bersifat genetis, yang membentuk pemikiran, karakter, atau kapasitasi fisik
seseorang. Pendidikan tersebut berlangsung seumur hidup, karena harus
mempelajari cara berfikir dan bertindak yang baru dalam setiap perubahan
besar dalam hidup. Dalam arti sempit, pendidikan adalah penanaman
pengetahuan, keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dengan
menggunakan pranata-pranata, lembaga-lembaga pendidikan formal
maupun lembaga pendidikan non formal sebagaimana Manan (1989).
Pendidikan formal atau informal membentuk potensi kematangan
organisme.Pendidikan secara informal dipengaruhi oleh lingkungan yang
membentuk nilai-nilai dan kebiasaan, sedangkan pendidikan formal
merupakan upaya sadar oleh manusia untuk memberikan keterampilan dan
cara-cara berpikir yang sangat diperlukan untuk kehidupan di masyarakat
sebagaimana Segall et al.(1999).
Teori structural-fungsional yang merupakan consensus, atau
equilibrium theory memberikan gambaran bahwa pendidikan sebagai
lembaga yang berperan aktif dalam proses perubahan suatu masyarakat,
sementara sekolah merupakan masyarakat kecil sebagai agen sosialisasi
nilai-nilai moral yang ada dalam kehidupan masyarakat. Sekolah merupakan
suatu lembaga pendidikan formal yang tidak hanya mengajarkan
pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan di kemudian hari
untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih jauh dari itu adalah menanamkan
nilai-nilai budaya dan disiplin dalam masyarakat, agar anak didik menjadi
pekerja dan warga negara yang baik sebagaimana Calhoun et al. (1994).
Dari konsep ketenagakerjaan, fungsi pendidikan memiliki dua
dimensi penting yaitu dimensi kuantitatif meliputi: kemampuan
sistem/institusi pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik atau untuk
mengisi lowongan kerja yang tersedia, dan dimensi kualitatif yaitu
penghasil tenaga terdidik yang selanjutnya dapat dibentuk menjadi tenaga
penggerak pembangunan atau sebagai driving force for development.
sebagaimana George and Wardhallet al.(1991)
Tingkat pendidikan seseorang dapat diukur dari pendidikan yang
diperolehnya dari sekolah. Tingkat pendidikan dalam skala status sosial
ekonomi. Dalam Warner-meeler-bells dibagi dalam 7 tingkat yaitu 1)
bersekolah di bawah 7 tahun, 2) bersekolah selama 7-9 tahun (3) bersekolah
10 sampai 11 tahun 4) tamat sekolah menengah umum, (5) tamat
D3/sekolah bisnis (6) tamat 21 perguruan tinggi dan (7) profesional (master,
doctor) sebagaimana Stanley dan Hopkinset al.(1978)
Analisis atas investasi dalam bidang kesehatan dan pendidikan
menyatu dalam pendekatan modal manusia. Modal manusia (Human
Capital) adalah istilah yang sering digunakan oleh para ekonom untuk
pendidikan, kesehatan dan kapasitas manusia yang lain yang dapat
meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut ditingkatkan. Sebuah
analogi terhadap investasi konvensional dalam modal fisik telah dibuat:
Setelah investasi awal dilakukan, maka dapat dihasilkan suatu aliran
penghasilan masa depan dari perbaikan pendidikan dan kesehatan.
Akibatnya suatu tingkat pengembalian (rate of return) dapat diperoleh dan
dibandingkan dengan pengembalian dari investasi yang lain. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara memperkirakan nilai diskonto sekarang dari aliran
pendapatan yang meningkat yang mungkin dihasilkan dari investasi-
investasi ini, dan kemudian membandingkannya dengan biaya langsung dan
tidak langsungnya. Tentu saja pendidikan dan kesehatan juga berkontribusi
langsung terhadap kesejahteraan, namun pendekatan modal manusia
berfokus pada kemampuan tidak langsung untuk meningkatkan utilitas
dengan meningkatnya pendapatan.
2.14. Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Menurut Wibowo (2008), untuk mengukur indikator
peningkatan derajat pendidikan adalah dengan melihat rata-rata lama
sekolah (RLS) dan angka melek huruf. (AMH).Besar kecilnya angka rata-
rata lama sekolah dipengaruhi langsung oleh tingkat partisipasi masyarakat
dalam pendidikan formal (jenjang SD, SLTP dan SLTA).Ukuran yang
dapat digunakan untuk menentukan tingkat partisipasi sekolah adalah
angka partisipasi sekolah (APS) angka partisipasi kasar (APK) dan angka
partisipasi murni (APM).
Angka Partisipasi Sekolah adalah proporsi anak sekolah pada usia
jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan
jenjang pendidikan tersebut. Sedangkan Angka Partisipasi Kasar adalah
Proporsi anak sekolah pada suatu jenjang tertentu dalam kelompok umur
sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka Partisipasi Murni adalah
Proporsi anak sekolah pada suatu kelompok umur tertentu yang bersekolah
pada jenjang yang sesuai dengan kelompok umurnya. Menurut definisi,
APM selalu lebih rendah dibanding dengan APK. Angka Buta Huruf
adalah proporsi penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak dapat
membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya. Angka melek huruf
dipengaruhi secara langsung oleh banyaknya siswa yang putus sekolah dan
juga banyaknya jumlah penduduk buta huruf.
Selanjutnya menurutnya, secara umum penyebab tidak langsung
yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah kuantitas dan kualitas guru.
Semakin baik kuantitas dan kualitas guru maka akan semakin
meningkatkan partisipasi dan menurunkan jumlah putus sekolah.
Penyebab tidak langsung yang lain adalah kuantitas dan kualitas sarana
pendidikan, biaya pendidikan dan kemudahan menjangkau sarana
pendidikan. Faktor kuantitas dan kualitas sarana pendidikan menentukan
dalam hal ketersediaan daya tampung sekolah. Semakin banyak dan
semakin baik sarana pendidikan akan meningkatkan partisipasi sekolah
dan mengurangi angka putus sekolah. Hal yang sama juga terjadi pada
faktor kemudahan menjangkau sarana sekolah. Semakin mudah sarana
sekolah dijangkau oleh masyarakat akan semakin meningkatkan
partisipasi sekolah dan menurunkan angka putus sekolah. Penyebab
mendasar yang mempengaruhi RLS dan AMH adalah daya beli,
dukungan keluarga, kelembagaan di masyarakat dan alokasi anggaran
pendidikan.Penyebab mendasar daya beli mempengaruhi tingkat
partisipasi sekolah terutama dalam hal biaya pendidikan dan kemudahan
menjangkau sarana pendidikan.
Masyarakat yang memiliki daya beli rendah tidak mampu
menyediakan biaya pendidikan yang memadai dan biaya transportasi
untuk sekolah anak-anaknya.Faktor dukungan keluarga berkaitan erat
dengan faktor daya beli.Dukungan keluarga yang lemah dalam
menyekolahkan anak-anaknya umumnya terjadi pada keluarga yang
memiliki daya beli rendah.Mereka lebih menginginkan anak-anaknya
bekerja dari pada menempuh pendidikan.Pada keluarga yang memilik
daya beli relatif baik, motivasi keluarga untuk menyekolahkan anak-
anaknya relatif tinggi.
Adapun faktor kelembagaan masyarakat lebih berkaitan dengan
penyediaan pendidikan non formal untuk menampung siswa yang putus
sekolah. Semakin baik kelembagaan di masyarakat akan semakin
meningkatkan partisipasi sekolah dan menekan buta huruf. Kelembagaan
yang dimaksud dalam hal ini adalah sejenis partisipasi masyarakat untuk
membantu sektor pendidikan terutama untuk menyelenggarakan berbagai
macam jenis pendidikan non formal seperti pendidikan buta aksara,
SLTP terbuka dan lain sebagainya.Penyebab mendasar alokasi anggaran
pemerintah berkaitan dengan kemampuan pemerintah menyediakan
sarana pendidikan yang memadai bagi masyarakat baik kuantitas maupun
kualitasnya. Semakin besar alokasi anggaran pembangunan untuk sektor
pendidikan maka akan semakin meningkatkan partisipasi sekolah dan
menurunkan angka buta huruf. Alokasi anggaran yang dimaksud bukan
hanya untuk penyediaan sarana pendidikan tetapi juga untuk perbaikan
kesejahteraan guru termasuk penyediaan subsidi bagi siswa yang berasal
dari keluarga kurang mampu.
2.15. Teori Todaro tentang Pengaruh Pendidikan dan Kesehatan
Todaro dan Smith (2006) menggambarkan bahwa variasi
pendapatan selama siklus hidup seseorang dengan pendidikan yang
berbeda-beda, dimana orang yang berpendidikan tinggi memulai kerja
purnawaktunya pada usia yang lebih tua, dan pendapatan mereka dengan
cepat melampaui orang-orang yang bekerja lebih awal. Namun
keuntungan pendapatan dari pendidikan, harus dibandingkan dengan total
biaya yang dikeluarkannya untuk memperoleh pendidikan yang lebih
tinggi guna memahami nilai modal manusia sebagai sebuah investasi.
Biaya pendidikan tersebut meliputi pengeluaran-pengeluaran langsung
seperti uang sekolah, atau biaya lain yang khususnya terkait dengan
pendidikan, seperti buku-buku, dan biaya tidak langsung berupa
pendapatan yang dikorbankan karena siswa tidak dapat bekerja sembari
bersekolah sebagaimana gambar 7.
Sumber : Todaro & Smith, Tahun 2009.
Gambar 7 Biaya, Manfaat Sosial Pendidikan Vs Biaya, Manfaat
Individu.
Secara formal, keuntungan pendapatan dari tingkat pendidikan oleh
Todaro dirumuskan sebagi berikut : TP=∑
Dimana : TP = Total Pendapatan
t = Tahun
(1 + i) = Tahun-tahun bekerja selama hidup.
E = Pendapatan dengan pendidikan
N = Pendapatan tanpa pendidikan
Rumus yang serupa juga berlaku untuk kesehatan, dimana biaya
langsung dan tidak langsung dari berbagai sumber yang dicurahkan untuk
memperbaiki kesehatan dibandingkan dengan pendapatan ekstra yang
diperoleh di masa depan sebagai hasil dari tingkat kesehatan yang lebih
baik (seperti status gizi yang lebih baik).
2.16. Hasil-hasil penelitian IPM Terdahulu.
1. Soebeno (2005), berupaya untuk menganalisis pembangunan manusia dan
penentuan prioritas pembangunan sosial di Jawa Timur yang
menggunakan analisis disparitas, struktur ekonomi dan tipologi wilayah
dan analisis IPM menujukkan bahwa meskipun ketimpangan
pembangunan antarwilayah di Jawa Timur rendah namun berimplikasi
pada pembangunan sosial masyarakat. Rendahnya tingkat pendidikan dan
kualitas pendidikan penduduk, angka kematian bayi dan angka harapan
hidup masih mewarnai pembangunan di Jawa Timur. Namun disisi lain
daya beli penduduk mengalami peningkatan.
2. Abel (2006), yang ingin mengetahui disparitas pembangunan antara
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)
dengan sampel lokasi Kabupaten Cianjur dan Provinsi Gorontalo
menggunakan analisis disparitas, tipologi wilayah dan analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa; 1) tingkat kesenjangan antarwilayah
di Indonesia masih cukup tinggi 24 (sebesar 1,56), KBI sebesar 1,27
sedangkan KTI memiliki tingkat disparitas antarkabupaten kota yang lebih
tinggi sebesar 3,20; 2) faktor-faktor penyebab disparitas di KBI adalah
PDRB sektor sekunder dan tersier sedangkan di KTI adalah PDRB sektor
primer, sekunder, tersier dan kepadatan penduduk; 3) Kabupaten Cianjur
memiliki wilayah tertinggal di bagian selatan, wilayah transisi di bagian
tengah dan wilayah yang relatif maju dibagian utara karena interaksinya
dengan kota-kota besar di sekitarnya; 4) Provinsi Gorontalo memiliki
wilayah tertinggal di Kabupaten Boalemo dan agak tertinggal di
Kabupaten Gorontalo karena rendahnya ketersediaan sarana dan pra-
sarana, sementara Kota Gorontalo relatif lebih maju karena menjadi pusat
pemerintahan dan perdagangan.
3. Mopangga (2010), dalam penelitiannya menganalisis ketimpangan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Gorontalo. Berdasarkan
penelitiannya menggunakan Indeks Williamson mengemukakan bahwa
kondisi ketimpangan di Provinsi Gorontalo di awal pembangunan
cenderung meningkat (divergence) dan berangsur menurun (convergence)
seperti yang ditunjukkan oleh kurva ketimpangan pembangunan dalam
Hipotesa Neo-Klasik. Secara simultan, dan parsial, ketimpangan
proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan
Rasio Belanja Infrastruktur signifikan sebagai sumber utama ketimpangan
di Provinsi Gorontalo. Berdasarkan Indeks Gini ketimpangan semakin
meningkat. Secara simultan ketiga variabel independen signifikan sebagai
sumber utama ketimpangan. Secara parsial, hanya ketimpangan
proporsional PDRB perkapita sebagai variabel yang tidak signifikan
sebagai sumber ketimpangan pembangunan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Otonomi daerah erat kaitannya dengan pengembangan wilayah dan lokal
yang memandang pentingnya keterpaduan antarsektoral, antarspasial (keruangan),
serta antarpelaku pembangunan di dalam dan antardaerah.Sehingga setiap
program-program pembangunan sektoral dapat dilaksanakan dalam kerangka
pengembangan wilayah.
Penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah diikuti juga dengan
penyerahan kewenangan pembiayaan bagi penyelenggaraan pemerintahan kepada
daerah.Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dituntut kemandirian
dalam menggerakkan roda pembangunan wilayahnya masing-masing baik dari
segi perencanaan, pembiayaan maupun pelakasanaannya.Partisipasi aktif
masyarakat dalam pembanguan tersebut secara langsung berpotensi untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan
demikian prioritas pembangunan disetiap daerah lebih dititikberatkan pada konsep
bottom-up planning yang mengacu kepada kebutuhan daerah dengan
memperhatikan potensi dan kemampuan daerah yang bersangkutan.
Terbentuknya Provinsi Gorontalo, diharapkan dapat membawa perubahan
besar dalam upaya meningkatkan pembangunan, pelayanan pada pemerintahan
dan kemasyarakatan serta memberikan kewenangan dalam memanfaatkan potensi
yang ada diwilayahnya.Salah satu indikator dari keberhasilan otonomi daerah
dapat diukur dengan seberapa jauh peningkatan kesejahteraan masyarakat yang
ditandai dengan meningkatnya angka Indeks Pembangunan Manusia
(IPM).Keberhasilan pembangunan manusia dapat dilihat dari seberapa besar
terpenuhinya kebutuhan minimal yang diperlukan manusia untuk hidup dengan
layak.
Sebagaimana diketahui pembangunan manusia mulai dikenal sebagai salah
satu indikator pembangunan sejak United Nation Development Program (UNDP)
pada tahun 1990 menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI) sebagai indikator komposit tunggal untuk mengukur
semua dimensi dari pembangunan manusia. Bahwa pembangunan manusia adalah
pembangunan yang mengaitkan dimensi ekonomi, pendidikan dan kesehatan
sekaligus dengan prasyarat pembangunan lingkungan eksternal : lingkungan
hidup, lingkungan sosial, dan lingkungan global yang berkelanjutan. Termasuk
pula di dalamnya kinerja pembangunan manusia dalam mengelola dimensi
ekonomi, pendidikan dan kesehatan dapat pula diukur lebih lanjut dengan
menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).Indeks ini adalah agregasi
angka harapan hidup, angka melek huruf dan lama sekolah, serta tingkat
pendapatan per kapita. Tantangan mendasar untuk perbaikan indeks ini terletak
pada kemampuan untuk memperbaiki mutu pembangunan di sektor-sektor yang
berkaitan dengan pembangunan manusia tersebut.
IPM pada dasarnya adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan,
kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-faktor lainnya pada
negara-negara di seluruh dunia. Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada
sebuah negara dalam tiga dimenisi dasar pembangunan manusia yaitu (1) usia
yang panjang dan sehat, diukur dengan angka harapan hidup (AHH), (2)
pendidikan, yang diukur dengan tingkat baca tulis atau angka melek huruf (AMH)
dan (3) standar hidup layak yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB)
per kapita pada paritas daya beli.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian berusaha untuk mengkaji
dampak dari pelaksanaan otonomi daerah terhadap perkembangan tingkat IPM,
juga mencermati faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan, pendidikan dan
kesehatan yang mempengaruhi IPM disamping faktor-faktor lain. Disamping itu
juga dalam penelitian ini membahas seberapa jauh Pemerintah Daerah
melaksanakan kebijakannya dalam upaya meningkatkan IPM.
Secara garis besar, penelitian ini diilustrasikan dalam kerangka pikir
penelitian pada Gambar 8 dan kerangka alur penelitian padaGambar 9.
Gambar 8. Kerangka Pemikiran
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
PEMBANGU
NAN
PARADIGMA PERTUMBUH
AN
PARADIGMA PEMERATAA
N & KEBERLANJUT
AN
PARADIGMA PEMBANGU
NAN MANUSIA
SENTRALISASI
DESENTRALISASI (OTONOMI DAERAH)
KETIMPANGAN
PENDIDIKAN
KESEHATAN
EKONOMI
Penyebab ketimpangan: - Sarana & prasarana
- Sumber Daya Manusia
- Sumber Daya Sosial
- Sumber Daya Alam (Karakteristik & Biofisik wilayah)
- Karakteristik struktur ekonomi wilayah.
- Kebijakan Pemda -
PROSES PEMBANGUNAN
MENGURANGI KETIMPANGAN
Sapras Kesehatan
Tenaga Medis & Non Medis
Tujuan Otonomi Daerah (Penjelasan UU No.32/2004):Diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
Tujuan pembangunan manusia, adalah 1.produktivitas, 2.pemerataan, 3.kesinambungan, 4.pemberdayaan (UNDP, 1995)
Indikator Capaian IPM : peningkatan kualitas
pendidikan,
kesehatan,
kebebasan politik,
perluasan lapangan
pekerjaan,
kesejajaran, dan
perbaikan kualitas
lingkungan dan
membuka akses bagi
orang miskin.
(Todaro, 2003) Menganalisis:
Faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dan Provinsi Gorontalo;
Angka Melek Huruf
Agka Partisipasi Sekolh
Lama Sekolah, Rasio Guru &
Murid
PDRB Per Kapita Tingkat
Kemiskinan & Pengangguran
Gambar 9 Kerangka Alur Penelitian
SESUDAH OTONOMI
DAERAH
SEBELUM OTONOMI
DAERAH
Data Pembanguna
n Manusia Prov. Sulut
Analisis
IPM
Data Pendidikan Prov Sulut
Data PDRB Prov. Sulut
Data tingkat kemiskinan Prov. Sul-Ut
Analisis
Deskrip
tif
Analisis
Deskrip
tif
Analisis Deskrip
tif
Gambaran Tingkat
Pembangunan Manusia
Kualitas dan Kuantitas
Pendidikan
Pertumbuhan
Ekonomi
Data Kesehatan Prov Sulut
Analisis
Deskrip
tif
Kualitas dan Kuantitas Kesehatan
Gambaran Tingkat
Kemiskinan
Data Pembanguna
n Manusia Prov.
Gorontalo
Data Pendidikan
Prov. Gorontalo
Data PDRB
Prov. Gorontalo
Data tingkat kemiskinan
Prov. Gorontalo
Data Kesehatan
Prov. Gorontalo
Analisis IPM
Analisis
Deskrip
tif
Analisis
Deskrip
tif
Analisis Deskrip
tif
Analisis
Deskrip
tif
IPM Berdasarkan
Data Sesudah Otonomi Daerah
IPM Berdasarkan
Data Sebelum Otonomi Daerah
KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN
MANUSIA PROV.
GORONTALO
3.2. Hipotesis Penelitian
Agar penelitian lebih terarah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan,
maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. Diduga, persentase penduduk miskin, fasilitas kesehatan, dan Sarana
Pendidikan serta laju pertumbuhan ekonomi adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pembangunan manusia di Kota Gorontalo yang
merupakan gambaran wilayah yang tidak mengalami pemekaran.
2. Diduga, persentase penduduk miskin, fasilitas kesehatan, dan Sarana
Pendidikan serta laju pertumbuhan ekonomi adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pembangunan manusia di Kabupaten Gorontaloyang
merupakan gambaran wilayah yang mengalami pemekaran..
3. Diduga, persentase penduduk miskin, fasilitas kesehatan, dan Sarana
Pendidikan serta laju pertumbuhan ekonomi adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pembangunan manusia di Provinsi Gorontalo yang
merupakan gambaran wilayah otonomi daerah.
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di kabupaten Gorontalo, dan Kota
Gorontalo yang menjadi unit analisis sedangkan Provinsi Gorontalo menjadi
wilayah referensi.Peta wilayah penelitian pada Gambar 10.
Gambar 10 Peta Lokasi Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Gorontalo yang sejak tahun 2001 mulai
memisahkan diri dari Provinsi Sulawesi Utara.Adapun waktu pelaksanan
penelitian dilaksanakan pada bulan Juli - September 2011.
3.4. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini semaksimal mungkin memafaatkan data-data sekunder yang
telah ada di BPS, BPS Provinsi, BPS Kabupaten dan departemen serta lembaga
yang terkait dalam upaya pembangunan manusia. Selain itu dengan pemerintah
daerah terkait dalam perencana, pelaksana dan pengawasan pembangunan
manusia seperti pihak dari Bappeda Provinsi, Bappeda Kabupaten dan Bappeda
Kota dan dinas terkait bila diperlukan seperti Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas
Pendidikan Kabupaten dan Dinas Pendidikan Kota, dan Dinas Kesehatan
Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Dinas Kesehatan Kota. Dinas Tenaga
Kerja Provinsi, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten dan Dinas Tenaga Kerja Kota.
Untuk mengetahui perkembangan ekonomi daerah pada Badan Investasi Daerah
Provinsi, Bank Indonesia di Gorontalodan Biro Ekonomi Provinsi Gorotalo.
Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
perkembangan IndeksPembangunan Manusia Provinsi Sulawesi Utara, ketika
Provinsi Gorontalo masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara (Sebelum di
mekarkan), dan data berupa perkembangan Indeks Pembangunan Gorontalo
sesudah dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara. Disamping itu data PDRB per
kapita dari sebelum dan sesudah berpisah dari provinsi Sulawesi Utara, data
jumlah penduduk miskin, data sarana dan prasarana pendidikan, data sarana dan
prasana kesehatan, dan data infrastruktur penunjang pemerintahan daerah.
. Untuk mempermudah pelaksanaan pengumpulan data, maka penyajian di
bawah ini secara ringkas dibuat dalam bentuk tabel atau matriks yang
berhubungan dengan tujuan penelitian, metode analisis, pengumpulan data berupa
jenis data dan alat analisis penelitian dan sumber data yang selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Matrik tujuan, metode, data dan sumber data dalam penelitian
No Tujuan Metode Analisis Variabel/Param
eter
Sumber Data
1. Menganalisis faktor-
faktor yang
mempengaruhi
IPMsebelum dan
sesudah Otonomi
Daerah di Kota
Gorontalo sejak Tahun
1995 sampai dengan
Tahun 2010
Metode
Statistika
Deskriptif
Analisis
Regresi
Berganda;
IPM Kota;
Persentase Penduduk
Miskin Kota; Sarana
dan Prasarana
Kesehatan Kota;
Sarana dan Prasarana
Pendidikan Kota;
Laju Pertumbuhan
Ekonomi Kota.
Bappeda Kota
Gorontalo
BPS Kota
Gorontalo
Dinas
Kesehatan
Kota Gorontalo
Dinas
Pendidikan
Kota Gorontalo
2.
Menganalisis faktor-
faktor yang
mempengaruhi IPM
sebelum dan sesudah
pemekaran di
Kabupaten Gorontalo
sejak Tahun 1995
sampai dengan Tahun
2010
Metode
Statistika
Deskriptif
Analisis
Regresi
Berganda;
IPM Kabupaten;
Persentase Penduduk
Miskin Kabupaten;
Sarana dan
Prasarana
KesehatanKabupaten
; Sarana dan
Prasarana
Pendidikan
Kabupaten; Laju
Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten.
Bappeda Kab.
Gorontalo
BPS Kab.
Gorontalo
Dinas
Kesehatan
Kab. Gorontalo
Dinas
Pendidikan
Kab. Gorontalo
3.
Menganalisis faktor-
faktor yang
mempengaruhi IPM
sebelum dan sesudah
Otonomi Daerah di
Provinsi Gorontalo
sejak Tahun 1995
sampai dengan Tahun
2010
Metode
Statistika
Deskriptif
IPM Provinsi;
Persentase Penduduk
Miskin Provinsi;
Sarana dan
Prasarana Kesehatan
Provinsi; Sarana dan
Prasarana
Pendidikan Provinsi;
Laju Pertumbuhan
Ekonomi Provinsi.
Bappeda Prov.
Gorontalo
BPS Prov.
Gorontalo
Dinas
Kesehatan
Prov.
Gorontalo
Dinas
Pendidikan
Prov.
Gorontalo
3.5. Analisis terhadap Faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di Kota
Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka dilakukan regresi dengan
peubah bebas kualitatif dengan 2 kategori (yang berinteraksi dengan peubah bebas
lainnya). Sebelumnya data yang diolah digabungkan terlebih dahulu atau
dilakukan panel data yaitu penggabungan dataKabupaten dan Kota Gorontalo
menjadi satu, kemudian dilakukan regresi. Metodenya adalah dengan
menambahkan suatu peubah bebas baru yang merupakan perkalian antara 2
peubah bebas yang berinteraksi. Dalam model ini peubah bebas yang berinteraksi
adalah laju pertumbuhan ekonomi berinteraksi dengan dummykota dan persentase
penduduk miskin berinteraksi dengan dummy kota. Adapun model ekonometrika
yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yit = α+β1X1it +β2X2it + β3X3t +β4X4it +β5X5it +β6X6it +β7(X3itX6it) +
β8(X4it X6it)+ et
Dimana :
Yit = IPM Kota Gorontalo & Kabupaten Gorontalo Pada
Tahun ke t.
X1it = Rasio Tenaga KesehatanKota Gorontalo & Kabupaten
Gorontalo Pada Tahun ke t.
X2it = Rasio SMPKota Gorontalo & Kabupaten Gorontalo
Pada Tahun ke t.
X3it = Laju Pertumbuhan EkonomiKota Gorontalo &
Kabupaten Gorontalo Pada Tahun ke t.
X4it = Persentase Penduduk Miskin Kota Gorontalo &
Kabupaten Gorontalo Pada Tahun ke t.
X5it = Dummy Otonomi Daerah (0 = Sebelum Otonomi
Daerah; 1 = Sesudah Otonomi Daerah)
X6it = Dummy Kota ( 0 = Kabupaten Gorontalo, dan; 1 =
KotaGorontalo)
(X3it X6it) = Interaksi antara Laju Pertumbuhan Ekonomi dengan
Dummy Kota.
(X4it X6it) = Interaksi antara Persentase Penduduk Miskin dengan
Dummy Kota.
Untuk model dengan peubah dummy Kota (X6t) tersebut dapat diuraikan untuk
masing-masing kategorinya dengan memasukkan nilai peubah kategori tersebut
yaitu untuk model regresi Kabupaten Gorontalo(X6t) = 0 adalah :
Yt = α+β1X1it +β2X2it + β3X3it +β4X4it +β5X5it +β6(0)+β7(X3it)(0) +
β8(X4it)(0)+ eit
Yt = α+β1X1it+β2X2it + β3X3it +β4X4it +β5X5it + eit….....................…(1)
Sedangkan untuk model regresi dengan Kota Gorontalo (X6t) = 1 adalah :
Yt = α+β1X1it +β2X2it + β3X3it +β4X4it +β5X5it +β6(1)+β7(X3it)(1) +
β8(X4it)(1)+ et
Yt = α+β6 + β1X1it+ β2X2it+ β3X3it + β4X4it + β5X5it+ β7X3it+β8X4it+eit
……………………………………………………………………………………...……….(2)
Dari kedua model (1) dan (2) terlihat jelas bahwa yang berbeda adalah di
komponen dugaan paremeter intersep dan slope. Perbedaan intersepnya adalah α
dibandingkan (α+β6). Oleh karena itu, β6t : rata-rata perbedaan nilai IPM antara
kota dan kabupaten. Dalam kasus ini, intersep untuk masing-masing tidak perlu
diinterpretasikan, karena tidak bermakna atau sama dengan 0. Sedangkan
perbedaan nilai dugaan paramater slope peubah laju pertumbuhan ekonomi adalah
antaraβ3 dengan (β3 + β7). Artinya pengaruh laju pertumbuhan ekonomi (X3)
terhadap IPM tidak sama untuk kabupaten dan kota tersebut. Dengan pengertian
lain, ada pengaruh interaksi antara laju pertumbuhan ekonomi dengan dummy
kota terhadap IPM.
Sedangkan perbedaan nilai dugaan paramater slope peubah persentase
penduduk miskin adalah antaraβ4 dengan (β4 + β8). Artinya persentase penduduk
miskin (X4) terhadap IPM tidak sama untuk kabupaten dan kota tersebut. Dengan
pengertian lain, ada pengaruh interaksi antara persentase penduduk miskin
dengan dummy kota terhadap IPM.
3.6. Pengujian Model dan Hipotesis
Permodelan diatas akan diuji terlebih dahulu dengan kriteria ekonomi
dan pengujian statistik. Pengujian dengan kriteria ekonomi dapat dilakukan
dengan melihat tanda pada koefisien masing-masing peubah bebas.Dengan
demikian sebelum dilakukan estimasi model perlu dibuat hipotesis agar dapat
diperbandingkan dengan hasil estimasi.Hipotesis tersebut dapat menjadi dasar
kesesuaian hasil estimasi.Sedangkan untuk pengujian berdasarkan kriteria
statistik dapat dilakukan dengan uji keofisien regresi (uji t) dan uji statistik R2.
3.6.1. Uji-F
Untuk menguji apakah suatu model regresi dapat menjelaskan atau
memprediksi keragaman, maka digunakan statistik uji-F melalui analisis ragam
(Analysis of Variance).Koefisien determinasi (R2) dihitung untuk menjelaskan
berapa persen keragaman permintaan dapat dijelaskan dalam suatu
model.Apabila koefisien determinasi makin mendekati nol, maka persamaan
regresi yang dihasilkan makin baik untuk mengestimasi nilai variabel tak bebas
(Y).
Tahapan untuk menguji apakah model regresi tersebut dapat
menjelaskan atau memprediksi keragaman, maka menggunakan tahapan sebagai
berikut :
1. Perumusan hipotesis :
H0 : β1 = … = β5 = 0 (model tidak dapat menjelaskan atau memprediksi
keragaman)
H1 : paling sedikit ada β1 ≠ 0 (model dapat menjelaskan atau memprediksi
keragaman)
2. Penentuan nilai kritis, misalnya dengan taraf nyata α = 5%. Pada uji ini
digunakan uji-F (F test).
3. Nilai Fhitung dapat diketahui dari hasil perhitungan computer dalam Tabel
Analisis Ragam (ANOVA)
4. Kriteria Pengambilan Keputusan (Decision Rule) :
Terima H0 jika Fhitung < Ftabel, artinya secara statistik belum dapat
dibuktikan bahwa suatu model dapat menjelaskan atau memprediksi
keragaman.Hal tersebut berarti bahwa semua variabel bebas tidak
berpengaruh terhadap nilai variabel tak bebas (Y).Terima H1 (tolak H0),
jika Fhitung> Ftabel, artinya secara statistik telah dibuktikan bahwa model
tersebut dapat menjelaskan atau memprediksi keragaman.Hal tersebut juga
berarti bahwa semua variabel bebas berpengaruh terhadap nilai variabel
tak bebas (Y).Kriteria keputusan dapat dilakukan dengan menggunakan
angka probabilitas (P_value atau sign) yang diperoleh dari perhitungan
komputer kemudiandiperbandingkan dengan taraf nyata pengujian yang
digunakan (α=5%). Jika probabilitas (sign) lebih kecil dari taraf nyata
(α=5%), maka keputusannya adalah menolak H0 atau menerima hipotesis
alternatif (H1). P_value atau significance yang dikeluarkan oleh
softwareMinitab atau SPSS ini dapat diinterpretasikan sebagai peluang
(resiko) kesalahan dalam menyimpulkan H1.
3.6.2. Uji-t
Jika dalam pengujian model dengan uji-F disimpulkan bahwa model
tersebut dapat menjelaskan keragaman, maka permasalahan selanjutnya adalah
faktor mana yang dapat menjelaskan atau berpengaruh nyata terhadap variabel
dependent (Y) atau biasa disebut dengan uji-t.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan statistik uji-t, yaitu uji
hipotesis yang berkaitan dengan masing-masing koefisien model regresi.
Tahapan uji-t adalah sebagai berikut:
1. Perumusan Hipotesis:
H0 : βi = 0 (faktor ke-1 tidak berpengaruh terhadap peubah tak bebas
atau variabel dependent (Y)
H1 : βi ≠ 0 (faktor ke-2 berpengaruh terhadap peubah tak bebas atau
variabel dependent (Y)
2. Penentuan nilai kritis, misalnya dengan taraf nyata α=5%. Karena
pengujian dua sisi (two-tailed test) maka pada penentuan ttabel
menggunakan α/2. Untuk tabel t, derajat bebas (degree of freedom) adalah
n-p-1, dimana p menyatakan banyaknya peubah bebas dan n adalah
banyaknya kasus.
3. Nilai thitung masing-masing koefisien regresi dapat diketahui dari hasil
perhitungan komputer.
4. Pengambilan keputusan (Decision Rule):
Terima H0, jika |thitung | < ttabel, artinya secara statistik belum dapat
dibuktikan bahwa faktor ke-i tersebut berpengaruh nyata terhadap peubah
tak bebas atau variabel dependent (Y).
Terima H1, (tolak H0) jika |thitung | > ttabel, artinya secara statistik telah dapat
dibuktikan bahwa faktor ke-i tersebut berpengaruh nyata terhadap peubah
tak bebas atau variabel dependent (Y).
Kriteria keputusan dapat dilakukan dengan menggunakan angka
probabilitas (P_value atau sign) yang diperoleh dari perhitungan komputer
kemudian diperbandingkan dengan tarfnyata pengujian yang digunakan (α=5%).
Jika probabilitas (sign) lebih kecil dari taraf nyata (α=5%), maka keputusannya
adalah menolak H0 atau menerima hipotesis alternatif (H1). P_value atau
significance yang dikeluarkan oleh software Minitab atau SPSS ini dapat
diinterpretasikan sebagai peluang (resiko) kesalahan dalam menyimpulkan H1.
3.6.3. Uji Statistik R2
Nilai R2menunjukkan persentase variable dependent dapat dijelaskan oleh
variabel independent. Dimana semakin tinggi nilai R2 maka semakin baik model
karena semakin besar keragaman peubah dependen yang dapat dijelaskan oleh
peubah independen.
R2 = 1 - = 1 - =
Dimana :
ESS = Error Sum Square atau jumlah kuadrat terkecil
RSS = Regression Sum Square atau Jumlah Kuadrat Regresi
TSS = TotalChi Square atau jumlah kuadrat total.
Ū t = Variabel Pengganggu (error term) dari model yang diestimasi
Yt= Variabel dependent
Ŷt= Variabel Independent
3.6.4. Multikolineritas
Multikolineritas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel bebas
dalam persamaan regeresi berganda.Gejala multikolinearitas ini dapat dideteksi
dari nilai R2tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang
berpengaruh nyata.
Uji formal untuk menentukan ada atau tidaknya multikolineritas dilakukan
jika terdapat suatu keraguan apaka nilai koefisien determinasi termasuk tinggi
atau tidak.Akan tetapi jika suatu model sudah ditetapkan memiliki nilai koefisien
determinasi yang tinggi, uji formal menuntukan multikolineritas.
Multikolinearitas dalam pooled data dapat diatasi dengan memberikan
pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga parameter degaan pada
taraf uji tertentu menjadi signifikan.
3.6.5. Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan
(εt) sama atau homogenya. Dengan pengertian lain, Var (εi) = (εi2) = σ
2 untuk
setiap pengamatan ke-i dan peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi
ini disebut homoskedasitas. Jika ragam tidak sama atau Var (εi) = (εi2) = σ
2
untuk setiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi,
maka dikatakan bahwa ada masalah heteroskedatisitas (Juanda, 2009).
Apabila asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi, maka akan
menyebabkan dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap
tidak bias, dan masih konsisten , tetapi standar errornya bias ke bawah. Hal ini
menyebabkan penduga OLS tidak efisien lagi.
Heteroskedatisitas dapat dideteksi dengan membandingkan sum square
residual padaweighted statistics lebih kecil dibandingkan dengan sum square
residual unweighted statistics maka dapat disimpulkan terjadi heterskedastisitas.
Masalah heteroskedasitas dapat diatasi dengan metode white heteroskedasticity
yang diestimasi dengan GLS.
3.6.6. Autokorelasi
Asumsi lain dalam persamaan linear adalah tidak adanya autokorelasi
yakni korelasi serial antara sisaan (εt) dengan tidak ada. Dengan pengertian lain,
sisaaan menyebar bebas atau Cov (εi, εj) = E (εi, εj) = 0 untuk semua i ≠j, dan
dikenal juga sebagai bebas serial (serial independence) (Juanda, 2009).Masalah
autokorelasi ini akan membuat model menjadi tidak efisien meskipun masih
tidak bias dan konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi standard error dan
varian koefisien regresi yang diperoleh akanunderestimate.Sehingga R2akan
besar dan uji-t dan uji-F menjadi tidak valid.Autokorelasi yang kuat dapat
menybabkan dua variabel yang tidak berhubungan menjadi berhubungan. Bila
OLS digunakan, maka akan terlihat koefisien signifikan dan R2 yang besar atau
disebut juga sebagai regresi lancing atau palsu.
IV. PROFIL PROVINSI GORONTALO, KOTA GORONTALO, DAN
KABUPATEN GORONTALO
4.1. Profil Provinsi Gorontalo
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
2007-2012 Pemerintah Provinsi Gorontalo telah menetapkan visi : Gorontalo
sebagai Provinsi Inovatif dengan Misi : Mewujudkan masyarakat Gorontalo yang
mandiri, produktif, dan religius,” maka pemerintah Provinsi Gorontalo
menetapkan 3 program unggulan sebagai motor penggerak pembangunan yaitu
yang pertama mempercepat pengembangan sumberdaya manusia yang berbudaya
enterpreneur sebagai motor penggerak percepatan pembangunan melalui model
pendidikan berbasis kawasan. Keduamemacu pembangunan pertanian melalui
Program Agropolitan berbasis jagung. Dan ketiga pembangungan sektor
perikanan dengan pengembangan wilayah pesisir melalui model pengembangan
etalase perikanan dan model taxi mina bahari serta minapolitan. Untuk memahami
seberapa besar gambaran Provinsi Gorontalo, di bawah ini adalah profil provinsi
Gorontalo, dilihat dari letak geografis dan luas wilayah serta kondisi sosial budaya
dan perekonomian Provinsi Gorontalo.
4.1.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah
Provinsi Gorontalo adalah salah satu dari 33provinsi di wilayah Republik
Indonesia yang sebelumnyaprovinsi ini merupakan salah satu wilayah di Provinsi
Sulawesi Utara. Seiring dengan munculnya pemekaran wilayah berkenaan
dengan otonomi daerah, Provinsi Gorontalo kemudian dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 38 tertanggal 22 Desember tahun 2000.Provinsi
Gorontalo terletak di Pulau Sulawesi bagian utara atau di bagian barat Sulawesi
Utara. Dengan posisi terletak antara 0º19’ - 1º15’ Lintang Utara dan 121º23’ -
123º43’ Bujur Timur. Provinsi Gorontalo memiliki batas administrasi sebagai
berikut:
Sebelah Barat : Provinsi Sulawesi Tengah
Sebelah Timur : Provinsi Sulawesi Utara
Sebelah Utara : Laut Sulawesi, dan
Sebelah Selatan : Teluk Tomini.
Luas Provinsi Gorontalo 12.215,44 km².jika dibandingkan dengan
wilayah Indonesia, luas wilayah provinsi ini hanya sebesar 0,64 persen. Provinsi
Gorontalo terdiri dari lima kabupaten dan satu kota yaitu Kabupaten Boalemo,
Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Bone Bolango,
Kabupaten Gorontalo Utara, dan Kota Gorontalo dengan luas masing-masing
wilayah dengan persentase sebagai berikut :
Tabel 8. Luas wilayah Kabupaten - Kota di Provinsi Gorontalo
Kabupaten / Kota Luas Wilayah (km2) Persentase
Kabupaten Boalemo 2.567,36 21,02%
Kabupaten Bone Bolango 1.984,40 16,24%
Kabupaten Gorontalo 2.124,60 17,39%
Kabupaten Gorontalo Utara 1.230,07 10,07%
Kabupaten Pohuwato 4.244,31 34,75%
Kota Gorontalo 64,79 0,53%
Sumber :BPS Tahun 2010
Sampai dengan September 2011, wilayah adminitrasi Provinsi Gorontalo
mencakup 75 kecamatan, 532 desa, dan 69 kelurahan. Data ini terus mengalami
perubahan seiring dengan adanya proses pemekaran Kabupaten-Kota, kecamatan,
desa, atau kelurahan yang ada di Provinsi Gorontalo hingga sekarang.Provinsi ini
pada awal berdirinya hanya terdiri dari dua kabupaten yaitu Kabupaten
Gorontalo dan Kabupaten Boalemo serta satukota, yaitu Kota Gorontalo. Namun
setelah adanya pemekaran, Provinsi Gorontalo kini terdiri dari lima kabupten dan
satuKota, dengan peta wilayah sebagai berikut :
Gambar 11 Peta Provinsi Gorontalo
Lahan di Gorontalo didominasi oleh wilayah perbukitan dan pegunungan
dengan ketinggian yang bervariasi, daerah tertinggi adalah 2060 meter dpl.
Lahan datar di Gorontalo relatif sangat terbatas, sebagian besar lahan berada
dalam kemiringan diatas 25 persen yaitu mencakup lebih dari 52 persen wilayah,
yang relatif marginal untuk lahan pertanian dan perkebunan dengan pengolahan
tanah yang intensif. Dan sebaliknya, wilayah yang landai dengan kemiringan 0 –
15 persen yang potensial dikembangkan tanaman perkebunan maupun tanaman
pangan hanya mencakup wilayah yang tidak lebih dari 30 persen saja. Dominan
tanah adalah Kambisol Haplik dengan Mediteran merah kuning (yang mencapai
lebih dari 80 persen wilayah), menunjukkan tidak ada kendala mengenai soil
sepanjang tersedia air.
Pemanfaatan Lahan dan Land Use
Tingkat pemanfaatan lahan konversi di seluruh Gorontalo untuk
pemukiman, pertanian dan perkebunan mencapai 23.44persen dari total pada
tahun 2003, sedangkan pada tahun 2005 diperkirakan telah melebihi 25persen.
Tingkat pemanfaatan ini masih belum melampaui land use areal untuk
penggunaan lain dalam land use kawasan Provinsi Gorontalo yang mencapai
32,35persen ditambah hutan konversi 20 persen dari total. Sehingga tersisa hanya
sekitar 120 ribu Ha. Land use kawasan Provinsi Gorontalo sesuai dengan
ketetapan kawasan hutan di Gorontalo, 29,17persen merupakan kawasan lindung
sedangkan selebihnya merupakan kawasan budidaya. Dari 70,83persen kawasan
budidaya tersebut, sekitar 36,4persen merupakan hutan produksi yang hanya
boleh dikelola dan dimanfaatkan sesuai fungsi kehutanan. Dilihat dari besarnya
luas pemanfaatan lahan dan land use kawasan yang disediakan, Gorontalo tetap
memiliki keleluasaan konversi yang bisa dimanfaatkan untuk investasi. Disisi
lain, dengan potensi areal yang memiliki kemiringan rata-rata 0-15persen
memberikan keleluasaan lain dalam pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan
usaha di Gorontalo. Walaupun demikian, pengoptimalan areal untuk
“pemanfaatan lain” dan pengelolaan kawasan hutan budidaya yang tersedia,
memberikan peluang berbagai kegiatan usaha dan usaha kehutanan tetap dapat
dilakukan.
Geoposisi Ekonomi
Gorontalo merupakan provinsi yang memiliki akses global yang terbuka
ke Asia Timur seperti China, Vietnam, Jepang, Korea termasuk Philipine, dan
negara-negara Asean (Malaysia, Brunei dan Philippines) tapi akses regional ke
wilayah padat penduduk di Indonesia (Jawa dan Sumatera) kurang ekonomis.
Karenanya Gorontalo dapat memanfaatkan potensi ini melalui kebijakan
perdagangan yang lebih fokus ke negara-negara tersebut (ekspor) daripada ke
Jawa dan Sumatra. Meskipun potensi ekonomi regionalnya mencakup juga
sumberdaya di Maluku, Halmahera dan Papua Barat, baik Sulawesi Utara
maupun Gorontalo belum cukup memanfaatkannya dengan maksimal, sehingga
merupakan peluang bagi investasi yang berorientasi ekspor.
4.1.2 Demografi
Berdasarkan data BPS Pronvinsi Gorontalo Tahun 2010, jumlah
penduduk Provinsi Gorontalo pada tahun 2003 adalah sebesar 881.057 jiwa,
kemudian berkembang menjadi 960.335 jiwa pada tahun 2007 atau mengalami
pertambahan sebesar 79.278 jiwa dalam periode waktu 5 tahun terakhir (2003-
2007), atau tumbuh rata-rata berkisar 1,5 persen pertahun. Jumlah tersebut
mengalami kenaikan sebesar 130.151 jiwa dari jumlah penduduk pada tahun
2000 yang berjumlah 830.184 jiwa.Jumlah penduduk tahun 2009 yang disajikan
merupakan proyeksi penduduk. Jumlah penduduk Provinsi Gorontalo pada tahun
tersebut sebanyak 983.952 jiwa, yang terdiri dari 497.576 jiwa penduduk lagi-
laki dan 486.376 jiwa penduduk perempuan. Jika dibandingkan dengan tahun
2008 maka penduduk provinsi Gorontalo bertambah 1,2 persen.Kepadatan
penduduk terbanyak berada di Kabupaten Gorontalo dengan 2.630 jiwa/km2,
sedangkan wilayah dengan kepadatan penduduk terkecil adalah Kabupaten
Pohuwato, yaitu hanya 27 jiwa/km2.
Tabel 9 Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo menurut Kabupaten/Kota tahun
1999 – 2009.
Kabupaten/Kota 2007 2008 2009
Kab. Boalemo 123.243 127.639 128.495
Kab. Gorontalo 338.381 339.620 340.470
Kab. Pohuwato 112.532 114.572 116.227
Kab. Bone Bolango 129.025 130.025 131.797
Kab. Gorontalo Utara 94.829 95.177 96.506
Kota Gorontalo 162.325 165.175 170.456
Provinsi Gorontalo 960.335 972.208 983.951
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo, 2010
Sampai dengan tahun 2009 sebagaimana data BPS di atas, jumlah
penduduk Provinsi Gorontalo tercatat sebanyak 960.335 jiwa dengan komposisi
penduduk laki-laki lebih banyak di banding wanita yaitu penduduk laki-laki
sebanyak 497.576.dan penduduk perempuan sebanyak 486.376., sehingga
memiliki sex ratio sebesar 102,30. Meskipun penduduk terbanyak berada di
Kabupaten Gorontalo sebesar 340.470 pada tahun 2009, namun penduduk
perempuan terbanyak berada di Kota Gorontalo dengan jumlah 85.230 dibanding
laki-laki yang hanya berjumlah 85.225. Meskipun demikian jumlah laki-laki di
hampir seluruh Kabupaten/Kota jauh lebih banyak di banding jumlah penduduk
wanita.
Tabel 10Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo Menurut Jenis Kelamin Tahun
2009
Kabupaten/Kota Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Jumlah
Kab. Boalemo 65,272 62,223 127,495
Kab. Gorontalo 170,689 169,782 340,470
Kab. Pohuwato 59,281 56,947 116,227
Kab. Bone Bolango 66,719 65,079 131,797
Kab. Gorontalo Utara 49,390 47,116 96,506
Kota Gorontalo 85,225 85,230 170,456
Provinsi Gorontalo 497,576 486,376 983,952
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo, Tahun 2010
4.1.3. Kondisi Sosial Budaya
Potret sehari hari masyarakat Gorontalo dikenal sangat kental dengan
paduan nuansa adat dan agama.Cerminan realitas tersebut terkristalisasi dalam
ungkapan “Adat Bersendi Syara, Syara Bersendi Kitabullah”.Filosofi hidup ini
selaras dengan dinamika masyarakat yang semakin terbuka, modern, dan
demokratis. Dalam proses sosialisasi dan komunikasi keseharian masyarakat
Gorontalo, selain menggunakan Bahasa Indonesia juga menggunakan pula
Bahasa Gorontalo (Hulondalo). Bahasa daerah ini tidak ditinggalkan, kecuali
sebagai salah satu kekayaan budaya, penggunaannya memberi label ciri khas
Provinsi Gorontalo.Ciri khas budaya Gorontalo juga dapat dilihat pada makanan
khas, rumah adat, kesenian, dan hasil kerajinan tangan Gorontalo.Diantaranya
adalah kerajinan sulaman “Kerawang” dan anyaman “Upiya Karanji” atau
Kopiah Keranjang yang terbuat dari bahan rotan.Kopiah Keranjang ini
belakangan makin populer di Indonesia.Suku-suku yang bermukim di Kabupaten
Boalemo, terdiri dari suku Gorontalo, Jawa, Sunda, Madura, Bali, NTB.Selain itu
terdapat juga suku Bajo yang hidup berkelompok di suatu perkampungan di Desa
Bajo, Kecamatan Tilamuta dan Desa Torisiaje, Kecamatan Popayato.Mereka
tinggal di laut dengan mendiami bangunan rumah di atas air. Di desa Karengetan
Kecamatan Paguat dan Desa Londoun Kecamatan Popayato terdapat
perkampungan Suku Sangihe Talaud.Suku ini sudah berpuluh-puluh tahun
tinggal di desa tersebut dan telah membaur secara harmonis dengan suku
Gorontalo pada umunya dan Boalemo pada khususnya dengan tetap tidak
meninggalkan budaya dan adat asal.Suku Minahasa dapat ditemukan di Desa
Kaarwuyan, Kecamatan Paguat.Sebagaimana etnis lainnya yang telah berpuluh-
puluh tahun tinggal disini, mereka pada umunya telah berbaur dengan
masyarakat Boalemo dan Gorontalo pada umumnya juga tidak lupa untuk tidak
meninggalkan adat dan budaya asal.
4.1.4. Kondisi Pemerintahan
Secara wilayah administrasi, Provinsi Gorontalo terbagi menjadilima
wilayah Kabupaten, dan satu wilayah kota. Masing-masing wilayah administrasi
tersebut terbagi lagi menjadi beberapa wilayah administrasi di bawahnya, yaitu
kecamatan dan desa/kelurahan.Data BPS menyebutkan bahwa Provinsi
Gorontalo sampai dengan tahun 2009 mempunyai 66 Kecamatan dan 619
Desa/Kelurahan.
Dari segi aparat pemerintahan, pegawai pemerintah terdiri dari dua jenis
yaitu pegawai negeri vertikal dan pegawai negeri otonom. Jumlah pegawai negeri
vertikal di provinsi Gorontalo sampai dengan tahun 2009 sejumlah 5.868
pegawai, sedangkan untuk pegawai otonom di pemerintahan daerah Provinsi
Gorontalo sebanyak 2.562 pegawai yang terdiri dari 347 pegawai pada Sekretaris
Daerah dan Sekretaris Dewan, 673 pegawai pada Badan-badan, serta 1.542
pegawai pada dinas-dinas.
Dari sisi politik, jumlah anggota legislative yang ada di provinsi
Gorontalo sampai dengan tahun 2009 berjumlah 44 orang yang terdiri dari 13
orang dari Partai Golkar, 5 orang dari PPP, 5 orang dari Hanura, 4 orang dari
Demokrat, dan 4 orang dari PAN. Untuk PDI-P, PBB dan PKS, masing-masing 3
orang, sedangkan Gerindra dan PPRN, PKNU dan PDK masing-masing 1 orang.
4.1.5. Kondisi Tenaga Kerja dan Pengangguran
Hingga tahun 2009, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang
termasuk angkatan kerja adalah sejumlah 447.313 jiwa atau sekitar 56.82 persen
dari total penduduk usia 15 tahun ke atas. Berdasarkan data Survei Angkatan
Kerja Nasional (Sakernas) penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di
provinsi Gorontalo sejumlah 420.962 jiwa, sedangkan data pengangguran
berjumlah 26.316 jiwa. Pada tahun 2009 jumlah pencari kerja yang terdaftar di
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi provinsi Gorontalo berjumlah 25.267
orang, dan 59.25 persennya merupakan lulusan SMA.
4.1.6. Kondisi Pendidikan
Berdasarkan data tahun 2009 yang diperoleh dari dinas pendidikan
Provinsi Gorontalo, jumlah taman kanak-kanak yaitu 554 sekolah dengan 20.548
murid dan 1.856 guru. Jumlah Sekolah Dasar (SD) sederajat yaitu 922 sekolah
dengan 146361 murid dan 14.522 guru.Jumlah SMP sederajat yaitu 312 sekolah
dengan 47.076 murid dan 3.518 guru. Jumlah SMA sederajat yaitu 102 sekolah
dengan 36.657 murid dan 2.559 guru.Sedangkan perguruan tinggi, 14.627 siswa
terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Gorontalo tahun 2009.
4.1.7. Kondisi Kesehatan
Dilihat dari sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia di Provinsi
Gorontalo tahun 2009, terdapat enam rumah sakit pemerintah dan satu rumah
sakit swasta. Sarana dan prasaran kesehatan di tingkat kecamatan diwakili
dengan adanya keberadaan Puskesmas sebanyak 74 buah, 268 puskesmas
pembantu, 63 puskesmas keliling darat, 17 puskesmas keliling laut, dan 325
puskesmas dengan tempat tidur. Sedangkan data pasangan usia subur (PUS)
tahun 2009 sebanyak 198.985 pasangan dan 157.724 diantaranya sudah menjadi
peserta KB aktif terbanyak terdapat di Kabupaten Gorontalo dengan 83.67 persen
dari jumlah PUS.
4.1.8. Agama
Berdasarkan data BPS tahun 2009, mayoritas penduduk provinsi
Gorontalo memeluk agam islam yakni sebesar 98,18 persen. Sedangkan pemeluk
agama protestan sebanyak 1,09 persen, agama Katholik 0,23 persen, agama
hindu 0,39 persen dan sisanya 0,11 persen merupakan pemeluk agama Budha.
Jumlah jemaah haji yang diberangkatkan ke tanah suci pada tahun 2009
meningkat sebanyak 894 orang dibanding pada tahun 2008 hanya sekitar 871
orang.
4.1.9. Kondisi Pertanian
Luas panen padi sawah tahun 2009 adalah 47.733 hektar dengan produksi
mencapai 256.217 ton.Dengan demikian, rata-rata produksinya mencapai 53.68
kuintal per hektar.Luas panen jagung di Provinsi Gorontalo adalah seluas
124.798 hektar dengan produksi mencapai 569.110 ton, atau rata-rata
produksinya sebesar 45.69 kuintal per hektar.Untuk luas penen jagung terbesar
berada di Kabupaten Pohuwato dengan 42.01 persen dari luas panen jagung di
Provinsi Gorontalo.Sedangkan tanaman lainnya berproduksi kurang dari 10.000
ton per tahun.
4.1.10. Industri, Listrik dan Air Minum
Industri pengolahan besar-sedang di Provinsi Gorontalo pada tahun 2009
tercatat sebanyak 33 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 9.286
orang. Total nilai output mencapai 106.673 milyar Rupiah, sedangkan biaya
input 51.633 milyar Rupiah. Sehingga nilai tambah yang diperoleh dari industri
besar/sedang adalah 55.045 milyar Rupiah.Sedangkan untuk industri kecil dan
menengah pada tahun 2009 tercatat sebanyak 8.569 perusahaan dengan jumlah
tenaga kerja sebanyak 27.003 orang.Indudstri yang terbanyak adalah industri
pangan yang jumlah perusahaannya mencapai 40.56 persen.
Kebutuhan listrik di Provinsi Gorontalo dipenuhi oleh PT.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) wilayah VII Cabang Gorontalo yang
pada tahun 2009 total daya tersambung sebesar 101.356.870 VA dengan
produksi listrik terjual sebesar 188.619 KWh. Pelanggang listrik yang
tercatat di provinsi Gorontalo pada tahun 2008 adalah sebanyak 108.628
pelanggan dengan pendapatan penjualan listrik mencapai 124.416 milyar
rupiah.
Ketersediaan air minum yang bersih dan sehat sangat dibutuhkan
masyarakat.Jumlah pelanggan air minum di Provinsi Gorontalo pada tahun
2009 sejumlah 32.058 pelanggan. Sedangkan volume air yang disalurkan
pada konsumen sebanyak 8.040.483,75 m3 pada tahun 2009 dengan
penggunaan terbanyak untuk keperluan rumah tinggal atau 66.35 persan
dari total penyaluran.
4.1. 11. Perdagangan, Hotel dan Pariwisata
Nilai ekspor yang dihasilkan pada tahun 2009 adalah sebesar
US/$12.717.110. Nilai tersebut menunjukkan penurunan sebanyak 47.32
persen bila dibandingkan dengan nilai pada tahun
sebelumnya.Berdasarkan Negara tujuan, terlihat bahwa Philipina masih
merupakan negara tujuan utama untuk ekspor dari Gorontalo.Tercatat
bahwa 45.38 persen dari nilai ekspor provinsi Gorontalo pada tahun 2009
atau sebesar US/$5.79 juta.Merupakan ekspor dengan Negara tujuan
Philipina. Sedangkan berdasarkan golongan barang dapat dilihat bahwa
jagung merupakan komoditi ekspor yang paling dominan di Provinsi
Gorontalo. Nilai ekspor jagung pada tahun 2009 sebesar US/$7.430.431.
Penyaluran dan penjulan beras yang dilakukan oleh perum Bulog
Sub Divisi Gorontalo, pada tahun 2009 rencana pengadaan beras yang
ditargetkan 3.000 ton hanya tercapai 2.532.165 ton atau hanya sekitar
84.40 persen. Dari lima jenis bahan bakar minyak (BBM) yang disalurkan
oleh Pertamina selama tahun 2009, solar dan premiumlah yang merupakan
jenis BBM dengan volume terbanyak. Volume yang disalurkan untuk solar
adalah 88.716.090 liter dan untuk premium sebesar 71.337.625 liter.
Jumlah hotel di provinsi Gorontalo pada tahun 2009 adalah sebanyak 68
hotel dengan total kapasitas kamar yang tersedia 1.081 kamar dan jumlah tempat
tidur sebanyak 1.575 buah. Keberadaan hotel terbanyak berada di Kabupaten
Gorontalo yaitu 39 hotel atau sekitar 57.35 persen dari keseluruhan hotel yang
ada, sedangkan di kabupaten Boalemo terdapat 6 hotel, di kabupaten Gorontalao
terdapat 7 hotel, di kabupaten Pohuwato terdapat 14 hotel dan di kabupaten
Gorontalo Utara terdapat 2 hotel.
Pada tahun 2009, tercatat ada 72 tamu diving yang berkunjung ke Provinsi
Gorontalo yang terdiri dari 25 orang tamu domestik dan 47 orang tamu asing.
Sementara itu, untuk mendukung parawisata, pada tahun 2009 ada 9 restoran,
125 rumah makan dan 24 cafe.
4.2. Profil Kota Gorontalo
Kota Gorontalo merupakan salah satu wilayah dari propinsi Gorontalo yang luas
wilayahnya 64,79 KM atau sekitar 0,53 persen dari luas Propinsi Gorontalo.
Curah hujan di wilayah ini tercatat sekitar 11mm S/D 266mm pertahun. secara
umum, suhu udara di Gorontalo rata-rata pada siang hari 32 c, sedangkan suhu
udara rata-rata pada malam hari 23 c. Kelembaban udara relatif tinggi dengan
rata-rata 79,9 persen. Secara geografis wilayah Kota Gorontalo terletak antara
000 28' 17" - 000 35' 56" Lintang Utara (LU) dan 1220 59' 44" -1230 05' 59"
Bujur Timur (BT) dengan batas batas sebagai berikut :
Batas utara : Kecamatan Bolango utara Kabupaten Bone Bolango
Batas timur : Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango
Batas selatan : Teluk Tomini
Batas barat : Kecamatan Telaga dan Batuda'a Kabupaten Gorontalo
Sampai dengan sekarang ini, Kota Gorontalo terdiri dari 9 kecamatan dengan 50
kelurahan yaitu: Kecamatan Kota Barat mempunyai 7 Kelurahan; Kecamatan
Dungingi mempunyai 5 Kelurahan; Kecamatan Kota Selatan mempunyai 5
Kelurahan; Kecamatan Kota Tengah mempunyai 6 Kelurahan; Kecamatan Kota
Timur mempunyai 6 Kelurahan; Kecamatan Kota Utara mempunyai 6
KelurahanKecamatan Sipatana mempunyai 5 Kelurahan; Kecamatan Dumbo
Raya mempunyai 5 Kelurahan; Kecamatan Hulondalangi mempunyai 5
Kelurahan.
4.2.1. Transportasi
Untuk melayani besarnya arus mobilitas penduduk dan
memperlancar lalu lintas barang dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain, saat
ini tersedia sarana penunjang untuk akses transportasi darat yang
menghubungkan Kota Gorontalo dengan daerah di sekitar Kota Gorontalo.Untuk
mewujudkan Kota Gorontalo sebagai pusat perdagangan dan jasa di kawasan
Teluk Tomini serta menunjang perekonomian daerah telah tersedia empat buah
pelabuhan yaitu, Pelabuhan Laut Gorontalo, Pelabuhan Fery, Pelabuhan
Pertamina, dan Pangkalan Pendaratan Ikan.
4.2.2. Air Bersih
Pelayanan kebutuhan air bersih melalui PDAM Kota Gorontalo telah
menjangkau seluruh wilayah kecamatan. Status Kota Gorontalo sebagai ibukota
provinsi, berdampak signifikan terhadap pertumbuhan populasi penduduk
sehingga menyebabkan tingginya permintaan konsumsi air bersih. Hal ini
ditandai dengan meningkatnya jumlah pelanggan air bersih, terutama oleh
pelanggan rumah tangga.Tahun 2010, dengan kapasitas produksi 290 liter/detik
PDAM Kota Gorontalo mampu melayani 18.959 Pelanggan.danpada pertengahan
tahun 2011, PDAM Kota Gorontalo sudah mampu melayani 19.926 Pelanggan.
4.2.3. Telekomunikasi
Akselerasi pembangunan Kota Gorontalo yang semakin dinamis dalam
kurun lima tahun terakhir ditandai dengan semakin berkembangnya infrastruktur
dibidang telekomunikasi dan teknologi informasi. Untuk kebutuhan layanan
jaringan telepon rumah dan perkantoran, PT. Telkom dengan kapasitas sentral
sebesar 17.830 SST saat ini mampu melayani seluruh wilayah Kota Gorontalo
dan sekitarnya, sedangkan kebutuhan akan layanan mobile telecommunication
lebih didominasi operator-operator seluler seperti Telkomsel, Indosat, Pro XL,
dan Telkom Fleksi.
Kebutuhan akan layanan teknologi informasi juga semakin meningkat
terutama dalam memasuki komunikasi cyberspace di era globalisasi. Layanan
teknologi informasi yang ada saat ini masih belum mampu melayani kebutuhan
masyarakat Kota Gorontalo karena masih terbatasnya penyedia jasa Internet
Provider. Saat ini kebutuhan akan jasa teknologi informasi baru bisa dilayani
oleh Olami Net, Wasantara Net, dan Telkomnet Instant.
Penyebaran berita dan informasi pembangunan di Kota Gorontalo juga
dilakukan melalui media cetak dan elektronik, serta radio.Semakin bertambahnya
penyedia jasa di bidang ini seperti Mimoza TV, GO TV, CIVICA TV, TVRI
Gorontalo, makin mempertegas eksistensi Kota Gorontalo sebagai pusat
pelayanan jasa.
4.2.4. Listrik
Kapasitas daya terpasang pada PLN wilayah Suluttenggo cabang
Gorontalo sampai dengan tahun 2008 sebesar 66,370 kVA, serta jumlah travo
sebanyak 918 buah travo. Jumlah tenaga listrik yang diproduksi mencapai
181.527.649 kWh, sedangkan daya yang terjual sebesar 164.227.139 kWh
dengan total pelanggan mencapai 103.467 pelanggan.Untuk memenuhi
kebutuhan akan bahan bakar minyak, terdapat UPPDN Pertamina yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana pelabuhan kapal tangker. UPPDN
Pertamina ini melayani seluruh wilayah Provinsi Gorontalo sampai dengan
wilayah lain disekitar Teluk Tomini.
4.2.5. Perumahan
Status Kota Gorontalo sebagai ibukota provinsi memberi dampak besar
terhadap tingginya kebutuhan rumah tinggal yang asri dan nyaman. Hal ini
mendorong developer lokal untuk membangun perumahan yang diarahkan untuk
masyarakat berpenghasilan sedang dan rendah. Pengawasan pemerintah terhadap
pengembangan perumahan dilakukan melalui pengendalian perizinan kepada
para developer sesuai dengan tata ruang dan pengembangan kawasan
permukiman.
4.2.6. Pendidikan
Indikator yang menunjukkan perbaikan dan peningkatan angka kualitas
pendidikan adalah meningkatnya Angka Partisipasi Murni (APM), meningkatnya
Angka Partisipasi Kasar (APK), menurunnya angka putus sekolah.Peningkatan
Kapasitas sumber daya manusia melalui indikator sasaran APK dan APM selang
tahun 2001 - 2010 mengindikasikan peningkatan perluasan kesempatan
memperoleh pendidikan pada berbagai jenjang yang ditandai dengan
meningkatnya Angka Partisipasi Kasar dan Angka Partisipasi Murni.
Kota Gorontalo adalah sebuah kota tua yang sejak dahulu dikenal
sebagai Kota Jasa memiliki sejumlah bangunan tua khas daerah yaitu rumah
panggung yang masih banyak dapat dijumpai disepanjang jalan dalam
kota.Sebagai Ibu Kota Provinsi Gorontalo letaknya dibelahan nusantara atau di
utara Pulau Sulawesi yang jika dilihat dari dalam peta dunia terhampar tepat
dilintasi garis khatulistiwa sehingga tidak berlebihan jika Kota Gorontalo sebagai
zamrud khatulistiwa Indonesia yang memiliki pesona tersendiri.Potret
masyarakat Gorontalo dari masa pra kemerdekaan hingga kini, merupakan
sebuah masyarakat yang sangat kental dengan paduan nuansa adat dan
agama.Cerminan dari titik temu antara aspirasi terhadap tradisi budaya dan
keyakinan agama Islam yang kuat sehinga sebagai falsafat hidup "adat bersendikan
sara, sara bersendikan kitabullah" filosofi yang merupakan pijakan bersama warga
masyarakat Gorontalo selaras dengan kehidupan masyarakat yang semakin
terbuka, modern dan demokrasi yang sekaligus acuan nilai dan sistem etika.
4.2.7. Alokasi Ruang
Dalam aspek penataan ruang pada tahun 2008, Pemerintah Kota
Gorontalo melakukan revisi terhadap rencana tata ruang yang ada sebagaimana
yang diatur memalui Perda Nomor 16 Tahun 2002.Hal ini dilakukan sebagai
bagian dari pelaksanaan ketentuan baru yaitu Undang-Undang Nomor 26 tahun
2007 Tentang Penataan Ruang.Disamping itu juga, revisi tersebut dianggap perlu
dilakukan untuk mengantisipasi berbagai dinamika yang terjadi di Kota
Gorontalo, khususnya dibidang pemanfaatan ruang.Salah satu perkembangan
fisik kota yang cukup pesat di Kota Gorontalo dalam beberapa tahun terakhir
adalah pemanfaatan ruang untuk kepentingan perumahan pemukiman serta
perdagangan dan jasa. Hal ini menginidikasikan bahwa memang dalam beberapa
tahun terakhir ini, Kota Gorontalo menjadi tujuan berinvestasi bagi masyarakat,
baik investor dibidang properti seperti para pengembang dengan puluhan
kawasan perumahan yang berhasil dibangun, maupun investor dibidang
perdagangan.Untuk itulah dalam revisi Rencana Tata Ruang Kota Gorontalo,
asumsi -asumsi ini menjadi bagian penting dari perencanaan ke depan untuk
kepentingan investasi masyarakat khususnya dibidang perdagangan dan jasa
sudah diakomodir melalui peruntukan ruang bagi perdagangan dan jasa dengan
luasan dan sebaran yang cukup memadai.
4.3. Profil Kabupaten Gorontalo
Kabupaten Gorontalo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Gorontalo,
yang merayakan hari jadinya setiap tanggal 26 November, terhitung sejak
tahun 1673 atau 16 Syakban 1084 Hijriah.Kabupaten Gorontalo dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi dengan ibu kota
semula Isimu. Pada tahun 1978 ibu kota Kabupaten Gorontalo dipindahkan
ke Limboto.
Sampai dengan tahun 2011, Kabupaten Gorontalo sudah mengalami tiga
kali proses pemekaran. Pertama, tahun 1999 yang melahirkan Kabupaten
Boalemo; kedua, tahun 2003, yang melahirkan Kabupaten Bone Bolango; dan
ketiga, tahun 2007 yang melahirkan Kabupaten Gorontalo Utara.Letak
Kabupaten Gorontalo terletak pada posisi di antara 00.24" - 10.02 Lintang Utara
(LU) dan 121².59" - 123o.32 Bujur Timur (BT) dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut:
~ Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sulawesi
~ Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
~ Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Boalemo
~ Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bonebolango dan Bolaang
Mongondow.
Sebelum dimekarkan pada tahun 1999, Kabupaten Gorontalo terdiri atas
18 kecamatan dengan luas 11.696 km² dan berpenduduk 672.000 jiwa (1997).
Setelah dimekarkan pada bulan Januari 2003, wilayah Kabupaten Gorontalo
tinggal mencakup 17 wilayah kecamatan, 155 desa, 29 kelurahan, berpenduduk
415.672 (tahun 2004) dengan tingkat kepadatan 86,15 jiwa/km² (1997).Pada
tanggal 2 Januari 2007, Kabupaten Gorontalo kembali dimekarkan dengan
membentuk Kabupaten Gorontalo Utara.Sampai dengan September 2010,
Kabupaten Gorontalo memiliki luas 2.124,60 km² dengan jumlah penduduk
354.857 jiwa (berdasarkan data SP 2010) dengan tingkat kepadatan penduduk
167,02 jiwa/km².Kabupaten Gorontalo hingga saat ini (2011) mencakup 18
wilayah kecamatan, 12 kelurahan, dan 157 desa.
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KOTA GORONTALO
Dewasa ini persoalan pencapain pembangunan manusia telah menjadi
perhatian para penyelenggara pemerintahan. Baik pemerintahan dipusat, maupun
pemerintahan di daerah. Untuk mengukur sejauh mana pembangunan manusia
tersebut, berbagai ukuran pembangunan manusia telah dibuat namun berbagai
ukuran pembangunan manusia tersebut tidak semuanya dapat digunakan sebagai
standar yang dapat diperbandingkan antar wilayah bahkan antar negara sekalipun.
Untuk menjembatani kebuntuan tersebut, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa telah
menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia (IPM) atau secara
mendunia lebih dikenal dengan Human Develepment Index (HDI). Cara mengukur
HDI dibentuklah empat indikator yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf,
rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup
adalah merupakan representasi dari dimensi umur panjang dan sehat sedangkan
ngka melek huruf dan rata-rata lama sekolah adalah merupakn cerminan dari
output dimensi pengetahuan. Dan indikator kemampuan daya beli
direpresentasikan untuk mengukur dimensi hidup layak.
5.1. Perkembangan Pembangunan Manusia di Kota Gorontalo
Sebagai komposit tunggal untuk mengukur sejauh mana tingkat
perkembangan Pembangunan Manusia, ada tiga komponen IPM sebagai penilai
kualitas sumberdaya manusia yaitu dilihat dari segi kualitas Pendidikan, kualitas
kesehatan dan daya beli masyarakat. Jika ketiga komponen tersebut memiliki
kualitas yang baik, maka secara otomatis sumberdaya manusianya memiliki
kualitas yang baik pula. Masing-masing indeks dari komponen IPM tersebut
menggambarkan tingkat pencapaian yang telah dilakukan selama ini di bidang
kesehatan, pendidikan dan ekonomi.Sebagaimana hasil penelitian sebelumnya,
Indeks Pembangunan Manusia dianggap menjadi salah satu penyebab disparitas
karena mencerminkan kualitas sumberdaya manusia di Kota
Gorontalo.Pembangunan manusia juga merupakan faktor yang mempengaruhi
tingkat kesejahteraan manusia di suatu wilayah baik secara jangka pendek
maupun jangka panjang.
Data tahun 1995 sampai dengan 2010 menunjukkan IPM Kota Gorontalo
sebagai adalah sebagai berikut :
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar 12 IPM Kota Gorontalo Tahun 1995 – 2010.
Perkembangan pembangunan manusia di Kota Gorontalo secara garis
besar menunjukkan kondisi yang semakin membaik kendati secara umum masih
terlihat relatifbersaing bila dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia.
Perkembangan pembangunan manusia ini sangat dipengaruhi oleh adanya
perubahan satu atau lebih komponen IPM dalam periode tersebut yaitu
komponen Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata
Lama Sekolah (RLS) dan pengeluaran riil per kapita (PPP).
5.2. Tinjauan Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo.
Pada penelitian ini, analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia di Kota Gorontalo dibatasi pada beberapa point di
bawah ini, yaitu : (1) Persentase Penduduk Miskin atau disingkat dengan
DUKIN;(2) Rasio atau perbandingan antara banyaknya Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) dengan jumlah penduduk per seratus ribu (100.000)
orang; (3) Rasio atau perbandingan antara banyaknya Puskesmas Pembantu
(Pustu) dengan jumlah penduduk per seratus ribu (100.000) orang. Point (2) dan
point (3) ini merupakan elemen yang mewakili sekian banyak fasilitas kesehatan
di Kota Gorontalo. Disamping itu dari segi pelayan kesehatan akan dilihat dari
(4) Rasio atau banyaknya dokter umum yang dapat melayani penduduk per
seratus ribu penduduk (100.000) dan (5) Rasio atau banyaknya tenaga kesehatan
(para medis dan non medis) yang dapat melayani penduduk per seratus ribu
penduduk (100.000). Sedangkan dari segi fasilitas pendidikan akan dilihat dari
(6) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa
(murid) yang belajar di SD tersebut. (7) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dengan jumlah siswa (murid) yang belajar di SMP
tersebut, dan (8) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA)
dengan jumlah siswa (murid) yang belajar di SMA tersebut. Disamping itu juga
akan dilihat sejauh mana pengaruh (9) Laju Pertumbuhan Ekonomi (LAPEK)
terhadap pembentukan angka IPM di Kota Gorontalo. Dan satu hal lagi yang
akan dilihat dalam analisis ini adalah sejauh mana perkembangan IPM Kota
Gorontalo sebelum dan sesudah otonomi daerah.
Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan dari faktor-faktor yang
mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Kota Gorontalo, berikut ini
deskripsi ataupun gambaran perkembangan beberapa faktor yang mempengaruhi
IPM di Kota Gorontalo.
5.2.1. Persentase Penduduk Miskin di Kota Gorontalo
Angka kemiskinan di Kota Gorontalo secara garis besar mengalami
penurunan yang cukup signifikan, di mana pada tahun 1995 ketika wilayah ini
masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara, persentase kemiskinan
mencapai 19,32 persen, terus mengalami penurunan di awal tahun pemekaran
pada tahun 2002 dan terus mengalami penurunan sampai dengan tahun 2010
dimana penduduk miskin pada tahun tersebut mengalami penurunan menjadi
5,49 persen. Penurunan tersebut merupakan penurunan terbesar ke 3 secara
nasional.
Sumber :Olah Data Tahun 2012.
Gambar 13Persentase Penduduk Miskin Kota Gorontalo Tahun1995-2010.
5.2.2. Fasilitas Puskesmas di Kota Gorontalo
Fasilitas pusat kesehatan masyarakat di Kota Gorontalo pada umumnya
tidak mengalami kenaikan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan
setiap tahunnya, dimana ketika masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi
Utara, kota ini hanya memiliki enam buah Puskesmas pada tahun 1995, dan baru
mengalami penambahan satu buah puskesmas pada Tahun 2005. Hal ini
menunjukkan bahwa perkembangan Puskesmas dalam upaya melayani
masyarakat di Kota Gorontalo tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Namun demikian, pemanfaatan fasilitas kesehatan berupa Puskesmas
tergantung juga pada akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan tersebut.
Banyaknya Puskesmas di suatu wilayah belum tentu menggambarkan banyaknya
pelayanan yang diberikan. Namun hal ini juga berkaitan dengan aksebilitas yang
dapat diperoleh masyarakat. Dalam hal ini pelayanan dilihat dari rasio fasilitas
Puskesmas terhadap jumlah penduduk. Dengan banyaknya Puskesmas,
diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat dioptimalkan. Bila kita melihat
rasio puskesmas terhadap jumlah penduduk di Kota Gorontalo dapat dilihat
sebagai berikut :
Sumber : Hasil Olah Data, Tahun 2012
Gambar 16 Rasio Puskesmas Dengan Jumlah Penduduk Kota Gorontalo Tahun
1995-2010.
Dari hasil olah data ini menunjukkan bahwa pelayanan fasilitas kesehatan
dalam hal ini Puskesmas di Kota Gorontalo mengalami penurunan rasio. Artinya
bahwa bertambahnya jumlah penduduk yang dibarengi dengan
bertambahnyaPuskesmas menjadikan rasio pelayanan Puskesmas terhadap
penduduk mengalami penurunan. Hal ini memberi arti bahwa kapasitas
pelayanan Puskesmas terhadap penduduk mengalami kenaikan, dikarenakan
pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
dibarengi dengan pertumbuhan Puskesmas, sehingganya pelayanan Puskesmas
mengalami kenaikan.
5.2.3. Fasilitas Puskesmas Pembantu (Pustu) di Kota Gorontalo
Sebagaimana Fasilitas Puskesmas, pengadaan Puskesmas Pembantu
(Pustu) di Kota Gorontalo juga perkembangannya tidak memperlihatkan
peningkatan yang signifikan. Data Tahun 1995, ketika kota ini masih bergabung
dengan Provinsi Gorontalo hanya terdapat 31 buah Puskesmas Pembantu,
kemudian pada tahun 1998 mengalami penambahan 1 unit Puskesmas Pembantu,
dan selang waktu selama enam tahun kemudian hanya mengalami penambahan 1
unit yaitu pada tahun 2006 menjadi 33 unit sampai dengan sekarang ini.
Bila dilihat dari rasio Puskesmas Pembantu terhadap penduduk
menunjukkan bahwa perkembangan Rasio Puskesmas Pembantu terus
mengalami penurunan.
Sumber : Hasil Olah Data, Tahun 2012
Gambar 15 Perkembangan Rasio Puskesmas Pembantu (Pustu) terhadap
Penduduk Tahun 1995 – 2010
5.2.4. Rasio Dokter di Kota Gorontalo
Perkembangan jumlah tenaga medis dari tahun 2005 sampai dengan
2009 menunjukkan bahwa jumlah dokter umum meningkat dari tahun ke tahun.
Namun kembali mengalami penurun pada tahun 2009. Jika pada tahun 2005
jumlah dokter di Kota Gorontalo hanya 164 orang, maka pada lima tahun ke
depan yaitu tahun 2009 jumlah dokter mencapai 251 orang, atau meningkat
sebesar 65.3 persen. Namun bila dilihat dari perkembangan dokter menurut
Kabupaten/Kota pada tiga tahun terakhir maka peningkatan yang signifikan
terjadi di Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo, sebagaimana gambar 16 :
Sumber : BPS, Tahun 2011
Gambar 16 Rasio Dokter per seratus ribu penduduk di Kota Gorontalo 3 Tahun
terakhir (2008-2010)
Dari Gambar di atas, nampak bahwa perkembangan Rasio Dokter
terhadap jumlah penduduk di Kota Gorontalo mengalami peningkatan Rasio,
utamanya pada empat tahun terakhir yaitu sejak tahun 2007 sampai dengan tahun
2010. Hal ini menunjukkan bahwa, bertambahnya jumlah penduduk di Kota
Gorontalo, tidak dibarengi dengan pemenuhan pelayanan terhadap kehadiran
dokter.
Jika dihitung berdasarkan rasio dokter dan jumlah penduduk Kota
Gorontalo pada tahun 2010 saja maka diperoleh rasio sebagai berikut:
Rasio Dokter dengan jumlah penduduk adalah 1 : 8.605 orang. Hal ini berarti
bahwa 1 orang Dokter melayani 8.605 orang penduduk. Rasio ini belum ideal,
karena standar rasio ideal yang adalah 1 : 2500 orang.
Rasio dokter terhadap jumlah penduduk menunjukkan sejauhmana kemampuan
pemerintah daerah dalam hal ini dinas kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakatnya.
5.2.5. Rasio Tenaga Kesehatan di Kota Gorontalo
Status tenaga kesehatan (Paramedis dan non medis) di Kota Gorontalo
dapat digambarkan melalui Rasio Tenaga Kesehatan terhadap jumlah penduduk
per seratus ribu orang.
Sumber : BPS, Tahun 2011
Gambar 17 Rasio Tenaga Kesehatan Kota Gorontalo Tahun 1995-2010.
Dari Gambar 17terlihat, perkembangan tenaga paramedis di Kota
Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan bahwa
perkembangan tenaga para medis mengalami fluktuasi yang beragam untuk
setiap tahunnya.
Nampak bahwa rasio tenaga kesehatan untuk tahun 2010 mengalami
kenaikan rasio bila dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya pada tahun
2009. Dimana tahun 2010 satu orang tenaga kesehatan melayani 4178 penduduk
Kota Gorontalo lebih tinggi bila dibanding dengan tahun tahun sebelumnya yang
hanya 1 : 1793. Rasio ini juga menunjukkan rasio paramedis yang belum ideal,
dimana rasio idealnya adalah 1 : 1.000. Rasio tenaga paramedis dan non medis
terhadap jumlah penduduk menunjukkan sejauhmana kemampuan pemerintah
daerah dalam hal ini dinas kesehatan memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakatnya.
5.2.6. Rasio Bangunan SD Terhadap Jumlah Murid SD di Kota Gorontalo
Dalam proses pembangunan yang integral, pendidikan merupakan salah
satu bagian yang tidak terpisahkan. Karena pendidikan adalah salah satu penentu
kualitas sumberdaya manusia atau human resources suatu wilayah atau daerah.
Tingkat pendidikan akan menunjukan bagaimana tingkat kualitas sumberdaya
manusia. Pemerintah daerah sebagai stabilisator pembangunan daerah tentu saja
berkewajiban memberikan pelayanan prima pendidikan demi meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia di daerahnya.
Untuk melihat pembangunan Sekolah Dasar, dan perbandingan bangunan
SD dengan jumlah terhadap murid SD yang merupakan rasio SD di Kota
Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, disajikan pada gambar
berikut:
Gambar18 Rasio Bangunan SD terhadap Jumlah Murid SD di Kota Gorontalo
Tahun 1995-2010.
Gambar 18 di atas memberikan gambaran, bahwa perkembangan
pembangan Sekolah Dasar di Kota Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan
2010, menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio
tersebut memperlihatkan perbandingan bangunan SD dengan murid SD pada
tahun 2010 adalah 1 : 1.870 yang berarti bahwa 1 Sekolah Dasar, diperuntukkan
bagi 1.8702 murid SD. Hal ini menunjukkan menurunnya pelayanan SD bila
dibandingkan dengan kondisi Kota Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 : 1.273.
pada tahun 2002. Dimana satu Sekolah Dasar di peruntukkan oleh 1.273 murid
Sekolah Dasar.
5.2.7. Rasio Bangunan SMP dengan Jumlah Murid SMP di Kota Gorontalo
Gambar di bawah ini memperlihatkan perkembangan Rasio Bangunan
SMP dengan jumlah murid usia SMP yang bersekolah di SMP pada tahun
tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 19 Rasio Bangunan SMP terhadap Jumlah Murid SMP di Kota Gorontalo
Tahun 1995-2010.
Gambar 19 memberikan gambaran, bahwa perkembangan pembangunan
Sekolah Menengah Pertama di Kota Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan
2010, menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio
tersebut memperlihatkan perbandingan bangunan SMP dengan murid SMP pada
tahun 2010 adalah 1 : 1.535 yang berarti bahwa 1 SMP diperuntukkan bagi 1.535
murid SMP. Hal ini menunjukkan peningkatan pelayanan SMP bila
dibandingkan dengan kondisi Kota Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 : 6.815
pada tahun 2002. Dimana satu Sekolah SMP di peruntukkan oleh 6.815 murid
SMP.
5.2.8. Rasio Bangunan SMA dengan Jumlah Murid SMA di Kota Gorontalo
Berikut ini gambaran perkembangan Rasio bangunan Sekolah Menengah
Atas terhadap murid yang bersekolah di SMA di Kota Gorontalo dari tahun 1995
sampai dengan Tahun 2010 :
Gambar 20 Rasio Bangunan SMA terhadap Jumlah Murid SMA di Kota
Gorontalo Tahun 1995-2010.
Grafik di atas memberikan gambaran, bahwa perkembangan pembangunan
SMA di Kota Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan 2010, menunjukkan
peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio tersebut memperlihatkan
perbandingan bangunan SMA dengan murid SMA pada tahun 2010 adalah 1 :
4.670 yang berarti bahwa 1 Sekolah SMA diperuntukkan bagi 4.670 murid SMA.
Hal ini menunjukkan penurunan pelayanan SMA bila dibandingkan dengan
kondisi Kota Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 : 9.758 pada tahun 2001.
Dimana satu SMA di peruntukkan oleh 9.758 murid SMA. Namun bila
dibandingkan dengan data rasio Sekolah SMA pada tahun 1995 masih jauh lebih
rendah di banding tahun 2001, dimana pada tahun 1995 rasio sekolah SMA
adalah 1 : 2.298 murid SMA.
5.2.9. Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kota Gorontalo
Di bidang ekonomi, Kota Gorontalo mengalami
pertumbuhan ekonomi dengan trend yang terus meningkat sejak tahun 1999
dimana pada tahun 1998 ketika krisis monoter pertumbuhan ekonomi berada
pada 2,71 persen namun terus mengalami peningkatan di tahun 1999 yaitu 5,43
persen dan di awal pemekaran ketika menjadi provinsi baru yang terpisah dari
Sulawesi Utara, laju pertumbuhan ekonomi Kota Gorontalo berada pada 6,41
persen pada tahun 2002. Pertumbuhan Ekonomi tersebut terus meningkat
menjadi 7,56 persen pada tahun 2010, dan pertumbuhan ini berada di atas rata-
rata pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 6,1 persen.
Gambar 21 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kota Gorontalo Tahun 1995-2010.
VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KABUPATEN GORONTALO
6.1. Perkembangan Pembangunan Manusia di Kabupaten Gorontalo.
Sebagai tolok ukur penilaian keberhasilan pembangunan, Indeks
Pembangunan Manusia seringkali dianggap menjadi salah satu penyebab
disparitas karena mencerminkan kualitas sumberdaya manusia.Pembangunan
manusia pada akhirnya juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat
kesejahteraan manusia di suatu wilayah baik secara jangka pendek maupun
jangka panjang.
Perkembangan Pembangunan manusia di Kabupaten Gorontalo tidak
lepas dari tiga komponen IPM sebagai penilai kualitas sumberdaya manusia yaitu
dilihat dari segi kualitas Pendidikan, kualitas kesehatan dan daya beli
masyarakat. Untuk melihat sejauhmana kualitas Indeks Pembangunan di
Kabupaten Gorontalo, berikut ini gambar perkembangan IPM Kabupaten
Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan 2010.
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar22 IPM Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010.
Dari Gambar 22, memperlihatkan bahwa IPM Kabupaten Gorontalo
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Bila dilihat pada tahun awal pemekaran,
maka terlihat perkembangan IPM Gorontalo pada tahun 2002 berada pada angka
64,3 dan terus mengalami peningkatan untuk setiap tahunnya, hingga pada tahun
2010 mencapai angka 70,1 persen. Hal menunjukkan bahwa perkembangan IPM
Gorontalo terus mengalami peningkatan.
6.2. Tinjauan Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di Kabupaten
Gorontalo
Pada penelitian ini, analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Gorontalo dibatasi pada beberapa
point di bawah ini, yaitu : (1) Persentase Penduduk Miskin atau disingkat
dengan DUKIN;(2) Rasio atau perbandingan antara banyaknya Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) dengan jumlah penduduk per seratus ribu (100.000)
orang; (3) Rasio atau perbandingan antara banyaknya Puskesmas Pembantu
(Pustu) dengan jumlah penduduk per seratus ribu (100.000) orang. Point (2) dan
point (3) ini merupakan elemen yang mewakili sekian banyak fasilitas kesehatan
di Kabupaten Gorontalo. Disamping itu dari segi pelayan kesehatan akan dilihat
dari (4) Rasio atau banyaknya dokter umum yang dapat melayani penduduk per
seratus ribu penduduk (100.000) dan (5) Rasio atau banyaknya tenaga kesehatan
(Para medis dan non medis) yang dapat melayani penduduk per seratus ribu
penduduk (100.000). Sedangkan dari segi fasilitas pendidikan akan dilihat dari
(6) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa
(murid) yang belajar di SD tersebut. (7) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dengan jumlah siswa (murid) yang belajar di SMP
tersebut, dan (8) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA)
dengan jumlah siswa (murid) yang belajar di SMA tersebut. Disamping itu juga
akan dilihat sejauh mana pengaruh (9) Laju Pertumbuhan Ekonomi (LAPEK)
terhadap pembentukan angka IPM di Kabupaten Gorontalo. Dan satu hal lagi
yang akan dilihat dalam analisis ini adalah sejauh mana perkembangan IPM
Kabupaten Gorontalo sebelum dan sesudah otonomi daerah. Untuk mengetahui
sejauhmana perkembangan dari faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks
Pembangunan Manusia di Kabupaten Gorontalo, berikut ini deskripsi ataupun
gambaran perkembangan beberapa faktor yang mempengaruhi IPM di Kabupaten
Gorontalo.
6.2.1. Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Gorontalo
Angka kemiskinan di Kabupaten Gorontalo secara garis besar mengalami
penurunan yang cukup signifikan, di mana pada tahun 1995 ketika wilayah ini
masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara, persentase kemiskinan
mencapai 26,97 persen, dan mengalami koreksi hingga pada tahun 2002 berada
pada 36,60 persen di awal tahun pemekaran dan terus mengalami penurunan
sampai dengan tahun 2010 dimana penduduk miskin pada tahun tersebut menjadi
18,87 persen. Penurunan tersebut merupakan penurunan terbesar ke 3 secara
nasional.
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar23. Persentase Kemiskinan Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010
6.2.2. Fasilitas Puskesmas di Kabupaten Gorontalo
Sebagai Kabupaten tertua, Kabupaten Gorontalo memiliki fasilitas
Puskesmas yang setiap tahunnya mengalami perkembangan. Banyaknya
Puskesmas diwilayah ini diharapkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
dapat dioptimalkan. Bila melihat Rasio Puskesmas terhadap jumlah penduduk di
Kabupaten Gorontalo terlihat bahwa telah terjadi lonjakan rasio yang sebelumnya
pada tahun 2008 hanya berada pada 5,89 menjadi 23, 60 pada tahun 2010
sebagaimana gambar berikut :
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar24 Rasio Puskesmas Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010.
6.2.2. Fasilitas Puskesmas Pembantu (Pustu) di Kabupaten Gorontalo
Rasio Puskesmas Pembantu terhadap penduduk menunjukkan bahwa
perkembangan Rasio Puskesmas Pembantu terus mengalami penurunan tahun
2002 sejak dimekarkannya dari Propinsi Sulawesi Utara. Pada tahun ini Rasio
Puskesmas Kabupaten Gorontalo berada pada angka 28,56 dan terus menurun
sampai dengan tahun 2008 yaitu pada angka 27,68 namun kemudian rasionya
meningkat pada tahun 2009 dan tahun 2010 yaitu berada pada angka 78,71 dan
77,81 sebagaimana gambar berikut :
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar25 Rasio Puskesmas Pembantu Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 –
2010.
6.2.3. Rasio Dokter di Kabupaten Gorontalo
Rasio Dokter terhadap jumlah penduduk di Kabupaten Gorontalo di tahun
awal pemekaran terus mengalami penurunan rasio, yaitu pada tahun 2002 berada
pada angka 1.976 hingga tahun 2008 berada pada angka 795, namun kemudian
mengalami peningkatan Rasio pada tahun 2009 yaitu berada pada angka 7,108.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya tenaga dokter yang pada tahun
tersebut melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, sehingga berdampak
kepada menurunnya pelayanan terhadap masyarakat, dimana setiap satu orang
dokter harus melayani sekitar 7,108 orang pasien. Hal ini sangat jauh berbeda
dengan tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2008 rasio dokter ketika berada pada
1 : 795, hal ini memberi arti bahwa setiap satu orang dokter melayani 795 pasien.
Angka ini berada di bawah angka ideal dimana rasio ideal untuk setiap dokter
adalah 1 : 1000 orang yang menunjukkan bahwa pada tahun tersebut (2008) telah
terjadi pelayanan kesehatan yang sangat memadai terhadap pelayanan kesehatan
di Kabupaten Gorontalo.
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar26 Rasio Dokter di Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010.
6.2.4. Rasio Tenaga Kesehatan di Kabupaten Gorontalo
Status tenaga kesehatan (Paramedis dan non medis) di Kabupaten
Gorontalo dapat digambarkan melalui Rasio Tenaga Kesehatan terhadap jumlah
penduduk per seratus ribu orang sebagaimana gambar 27. Dari gambar di
27terlihat bahwa rasio tenaga kesehatan untuk tahun 2009 dan 2010 mengalami
kenaikan rasio bila dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya pada tahun
2008. Dimana pada tahun 2009 satu orang tenaga kesehatan melayani 5090 dan
tahun 2010 melayani 4868 orang penduduk Kabupaten Gorontalo lebih tinggi
bila dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya yang hanya 1 : 1283. Rasio
ini juga menunjukkan rasio Paramedis yang belum ideal, dimana rasio idealnya
adalah 1 : 1.000.
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar27 Rasio Tenaga Kesehatan Kabupaten Gorontalo Tahun 1995 – 2010
6.2.5. Rasio Bangunan SD Dengan Jumlah Murid SD di Kabupaten
Gorontalo.
Dalam proses pembangunan yang integral, pendidikan merupakan salah
satu bagian yang tidak terpisahkan. Karena pendidikan adalah salah satu penentu
kualitas sumberdaya manusia atau human resources suatu wilayah atau daerah.
Tingkat pendidikan akan menunjukan bagaimana tingkat kualitas sumberdaya
manusia. Pemerintah daerah sebagai stabilisator pembangunan daerah tentu saja
berkewajiban memberikan pelayanan prima pendidikan demi meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia di daerahnya.
Untuk melihat pembangunan Sekolah Dasar, dan perbandingan
bangunan SD dengan jumlah terhadap murid SD yang merupakan rasio SD di
Kabupaten Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, disajikan pada
gambar berikut :
Sumber : BPS, Hasil olahan, Tahun 2011.
Gambar28 Rasio Bangunan SD terhadap Murid SD di Kabupaten Gorontalo
Tahun 1995 – 2010.
Gambar 28memberikan gambaran, bahwa perkembangan pembangan
Sekolah Dasar di Kabupaten Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan 2010,
menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio tersebut
memperlihatkan perbandingan bangunan SD dengan murid SD pada tahun 2010
adalah 1 : 1.965 yang berarti bahwa 1 Sekolah Dasar, diperuntukkan bagi 1.965
murid SD. Hal ini menunjukkan menurunnya pelayanan SD bila dibandingkan
dengan kondisi Kabupaten Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 : 811 pada tahun
2002. Dimana satu Sekolah Dasar di peruntukkan oleh 811 murid Sekolah Dasar.
6.2.6. Rasio Bangunan SMP dengan Jumlah Murid SMP di Kabupaten
Gorontalo
Gambar di bawah ini memperlihatkan perkembangan Rasio Bangunan
SMP dengan jumlah murid usia SMP yang bersekolah di SMP pada tahun
tersebut adalah sebagai berikut :
Sumber : BPS, Hasil olahan, Tahun 2011.
Gambar 29 Rasio Bangunan SMP per Murid SMP di Kabupaten Gorontalo
Thn 1995 – 2010.
Gambar 29memberikan gambaran, bahwa perkembangan pembangunan
Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Gorontalo dari tahun 1995 sampai
dengan 2010, menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari
rasio tersebut memperlihatkan perbandingan bangunan SMP dengan murid SMP
pada tahun 2010 adalah 1 : 1.027 yang berarti bahwa 1 Sekolah SMP
diperuntukkan bagi 1.027 murid SMP. Hal ini menunjukkan peningkatan
pelayanan SMP bila dibandingkan dengan kondisi Kabupaten Gorontalo di awal
pemekaran yaitu 1 : 2.140 pada tahun 2002. Dimana satu Sekolah SMP di
peruntukkan oleh 2.140 murid SMP.
6.2.7. Rasio Bangunan SMA dengan Jumlah Murid SMA di Kabupaten
Gorontalo
Berikut ini gambaran perkembangan Rasio bangunan Sekolah Menengah
Atas terhadap murid yang bersekolah di SMA di Kabupaten Gorontalo dari tahun
1995 sampai dengan Tahun 2010 :
Sumber : BPS, Hasil olahan, Tahun 2011.
Gambar 30 Rasio Bangunan SMA per Murid SMA di Kabupaten Gorontalo Thn
1995 – 2010.
Gambar 30memberikan gambaran, bahwa perkembangan pembangunan
SMA di Kabupaten Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan 2010,
menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio tersebut
memperlihatkan perbandingan bangunan SMA dengan murid SMA pada tahun
2010 adalah 1 : 3.513 yang berarti bahwa 1 Sekolah SMA diperuntukkan bagi
3.513 murid SMA. Hal ini menunjukkan penurunan pelayanan SMA bila
dibandingkan dengan kondisi Kabupaten Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 :
5183 pada tahun 2001. Dimana satu Sekolah SMA di peruntukkan oleh 5183
murid SMA.
6.2.8. Laju Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Gorontalo
Di bidang ekonomi, Kabupaten Gorontalo mengalami pertumbuhan
ekonomi dengan trend yang terus meningkat sejak tahun 1999 dimana pada tahun
1998 ketika krisis monoter pertumbuhan ekonomi berada pada -2,58 persen
namun terus mengalami peningkatan di tahun 1999 yaitu 3,26 persen dan di awal
pemekaran ketika menjadi provinsi baru yang terpisah dari Sulawesi Utara, laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gorontalo berada pada 6,91 persen pada tahun
2002. Pertumbuhan ekonomi tersebut terus meningkat menjadi 7,62 persen pada
tahun 2010, dan pertumbuhan ini berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi
nasional yang hanya sebesar 6,1 persen.
Sumber : BPS, Hasil Analisis, Tahun 2011.
Gambar 31 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Gorontalo Thn 1995 – 2010
VII. ANALISIS EKONOMETRIKA TERHADAP FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI
KOTA DAN KABUPATEN GORONTALO
7.1. Model terhadap Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di
Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo
Berdasarkan deskripsi terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baik di Kota Gorontalo maupun di
Kabupaten Gorontalo, selanjutnya diteliti bagaimana pengaruh yang diberikan
oleh faktor-faktor tersebut dengan melihat apakah faktor-faktor tersebut
memberikan dampak yang berpengaruh positif ataukah berpengaruh negatif.
Hasil keterkaitan pengaruh tersebut nantinya akan dijadikan dasar atau landasan
dalam menentukan kebijakan pembangunan selanjutnya. Harapan utamanya tentu
saja adalah untuk bisa meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di Kota
Gorontalo secara simultan dan berkelanjutan serta sinergis antara aparat
pemerintah dengan kebutuhan masyarakat.
Setelah dilakukan tabulasi data hasil penelitian, maka dilakukan
pembentukan model untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks
Pembangunan Manusia di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo. Data yang
digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik yang
berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo
dan Kabupaten Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010. Tahap
pertama dilakukan regresi berganda terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
IPM di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, maka dilakukan regresi dengan
peubah bebas kualitatif dengan 2 kategori (yang berinteraksi dengan peubah
bebas lainnya). Metodenya adalah dengan menambahkan suatu peubah bebas
baru yang merupakan perkalian antara 2 peubah bebas yang berinteraksi. Dalam
model ini peubah bebas yang berinteraksi adalah laju pertumbuhan ekonomi
berinteraksi dengan dummy kota dan persentase penduduk miskin berinteraksi
dengan dummy kota. Sebagaimana model ekonometrika yang telah di uraikan
pada sub bab 3.7. dimana metodelogi yang gunakan adalah sebagai berikut :
Yit = α+β1X1it +β2X2it + β3X3t +β4X4it +β5X5it +β6X6it +β7(X3itX6it) + β8(X4it
+X6it)+ et
Dengan peubah dummy Kota (X6t)yang diuraikan untuk masing-masing
kategorinya dengan memasukkan nilai peubah kategori tersebut yaitu untuk
model regresi kabupaten Gorontalo(X6t) = 0 adalah :
Yt= α+β1X1it+β2X2it + β3X3it +β4X4it +β5X5it + eit..................................... (1)
Sedangkan untuk model regresi dengan Kota Gorontalo (X6t) = 1 adalah :
Yt = α+β6+β1X1it+β2X2it+β3X3it+β4X4it+β5X5it+β7X3it+β8X4it+eit .……………(2)
Dari kedua model (1) dan (2) terlihat jelas bahwa yang berbeda adalah pada
komponen dugaan paremeter intersep dan slope. Perbedaan intersepnya adalah α
dibandingkan (α+β6). Oleh karena itu, β6t : rata-rata perbedaan nilai IPM antara
kota dan kabupaten.
7.2. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang mempengaruhi IPM di
Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo
Dari hasil pengolahan data dengan menggunakanSoftwareEvieus4, maka
diperoleh persamaan sebagai berikut :
IPMt= 62.7 + 0.025 RTKt -0.003RSMPt + 1.853 D_OTDAt + 0445
D_KOTA_LAPEKt -0.115 DKOTA_DUKINt
Dimana :
IPMt : IPM Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo
pada tahun ke t.
RTKt : Rasio Tenaga Kesehatan per 100.000 di
KotaGorontalo dan Kabupaten Gorontalo pada
tahun ke t.
RSMPt : Rasio Banyaknya Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dengan banyaknya Murid Usia SMP di
Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo pada
tahun ke t.
D_OTDAt : Dummy (0 = Sebelum Otonomi Daerah; 1 =
Setelah Otonomi Daerah)
D_KOTA_LAPEKt : Dummy Kota Interaksi dengan Laju Pertumbuhan
Ekonomi.
D_KOTA_DUKINt : Dummy Kota Interaksi dengan Persentase
Penduduk Miskin.
Dari persamaan di atas diperoleh regresi kabupaten Gorontalo(X6t) = 0 adalah :
IPMt =62.7 + 0.025 RTKt -0.003RSMPt + 1.853 D_OTDAt............... .............(1)
Sedangkan untuk model regresi dengan Kota Gorontalo (X6t) = 1 adalah :
IPMt = 62.7 + 0.025RTKt -0.003RSMPt + 1.853D_OTDAt + 0445
D_KOTA_LAPEKt -0.115 DKOTA_DUKINt....................... .............(2)
Dari kedua persamaan (1) dan (2) di atas terlihat jelas bahwa yang
berbeda adalah pada komponen dugaan paremeter intersep dan slope. Oleh karena
itu rata-rata perbedaan nilai IPM antara kota dan kabupaten terlihat paremeter
intersep dan slope-nya.
Hasilnya ditampilkan pada Tabel 11dimana parameter (koefisien) untuk
variabel rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk, rasio SMP yaitu rasio
banyaknya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan banyaknya Murid Usia
SMP di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo pada tahun ke t., dummy
otonomi daerah yaitu 0 = sebelum otonomi daerah, dan 1 = setelah otonomi
daerah, dummy kota interaksi dengan laju pertumbuhan ekonomi (D_Kota_Lapek)
dan dummy kota interaksi dengan persentase penduduk miskin (D_Kota_Dukin),
di mana masing-masing variabel menunjukkan nilai VIF yang kurang dari 5 atau
10. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada multikolinearitas dalam model.Dari
hasil olah data diperoleh hasil sebagaimana tabel berikut :
Tabel 11 Hasil Estimasi Faktor-faktor Yang Mempengaruhi IPM di
Kota Gorontalodan Kabupaten Gorontalo.
Dependent Variable: IPM
Method: Panel Least Squares
Date: 07/27/12 Time: 12:01
Sample: 1995 2010
Periods included: 16
Cross-sections included: 2
Total panel (balanced) observations: 32
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
RTK 0.025263 0.004315 5.854572 0.0000
RSMP -0.003607 0.002118 -1.703055 0.1005
D_OTDA 1.853414 0.690586 2.683828 0.0125
D_KOTA_LAPEK 0.445676 0.219044 2.034644 0.0522
D_KOTA_DUKIN -0.115448 0.061792 -1.868343 0.0730
C 62.72790 1.060599 59.14386 0.0000
R-squared 0.694463 Mean dependent var 66.98500
Adjusted R-squared 0.635706 S.D. dependent var 2.323805
S.E. of regression 1.402573 Akaike info criterion 3.681855
Sum squared resid 51.14750 Schwarz criterion 3.956680
Log likelihood -52.90968 Hannan-Quinn criter. 3.772952
F-statistic 11.81924 Durbin-Watson stat 2.290352
Prob(F-statistic) 0.000005
Sumber : Hasil Olahan Data, Tahun 2012
Hasil pengolahan data di atas, diperoleh bahwa nilai F-hitung
untuk model Faktor-faktor yang mempengaruhi IPM adalah 11,81. Jika
dibandingkan dengan F-tabel pada tingkat signifikansi 5 persen (α =
0,05) sebesar 2,727.Makanilai F-hitung yang diperoleh untuk model
tersebut lebih besar dari F-tabel. Sedangkan T-tabel sebesar 2,021. Hal
ini memberikan gambaran, bahwa Indeks Pembangunan Manusia di Kota
Gorontalo sangat signifikan dipengaruhi oleh faktor-faktor berupa rasio
tenaga kesehatan, rasio SMP, Dummy sebelum dan sesudah Otonomi
Daerah, dummy kota interaksi dengan laju pertumbuhan ekonomi dan
dummy kota interaksi dengan persentase penduduk miskin.
Selanjutnya, pengujian ada tidaknya heteroskedastisitas tidak
lagi dilakukan karena model yang robust terhadap heteroskedastisitas
(White Hetersoskedasticity Standard Error dan Covariance). Nilai
Durbin Watson test sebesar 2.290 terletak pada interval ketiga (du< d < 4
- du; 1.54-2.46) yang menunjukkan tidak terdapat autokorelasi.
Untuk menguji adanya autokorelasi antara variabel–variabel
independen dalam suatu model digunakan Uji Durbin Watson. Adapun
untuk melihat adanya autokorelasi pada model faktor-faktor yang
mempengaruhi IPM di Kota Gorotalo dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 32 Durbin Watson Tes pada Model Faktor-faktor yang
Mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo.
Pada Tabel 12 analisis ekonometrika terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi IPM di Kota Gorontalodan Kabupaten
Gorontalo diketahui bahwa : Variabel Rasio Tenaga Kesehatan per
100.000 penduduk di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo
menunjukkan koefisien 0.025 yang memberi arti bahwa terdapat
pengaruh positif Rasio Tenaga Kesehatan terhadap peningkatan IPM,
dimana setiap tambahan 1 satuan Rasio Tenaga Kesehatan akan
meningkatkan IPM sebesar 0.025 satuan baik di Kota Gorontalo dan
Kabupaten Gorontalo
Demikian pula variabel rasio murid SMP terhadap banyaknya
bangunan SMP di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo berada
pada koefisien dengan angka negatif yaitu -0,004. Angka negatif
menunjukkan Rasio SMP berbanding terbalik dengan IPM. Dimana
semakin rendah (negatif) angka Rasio SMP, maka semakin
memberikan pengaruh yang tinggi (positif) terhadap IPM. Hal ini
memberi arti bahwa terdapat pengaruh negatif Rasio SMP terhadap
peningkatan IPM dimana setiap 1 satuan Rasio SMP akan
Autokorelasi (+) Daerah
tak tentu
Autokorelasi (-) Daerah
tak tentu
Tidak ada
Autokorelasi
0 1.54
2,290
2.46
4
meningkatkan IPM sebesar 0,004 satuan baik di Kota Gorontalo
maupun di Kabupaten Gorontalo.
Dummy sebelum dan sesudah otonomi daerah, menunjukkan
angka 1,853 yang berarti bahwa terdapat perbedaan IPM sebelum
otonomi daerah dan setelah otonomi daerah baik di Kota Gorontalo
maupun di Kabupaten Gorontalo, dimana rata-rata IPM sesudah
otonomi daerah lebih tinggi sebesar 1,85 satuan dibanding sebelum
otonomi daerah. Selanjutnya, dampak pertumbuhan ekonomi
terhadap IPM berbeda antara Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo sebesar 0,445 artinya setiap peningkatan 1 persen
pertumbuhan ekonomi baik di Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo meningkatkan IPM tetapi peningkatan IPM tersebut
berbeda 0,445 satuan antara Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo. Demikian pula, dampak persentase penduduk miskin
terhadap IPM berbeda antara Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo sebesar -0,115 artinya setiap peningkatan 1 persen
persentase penduduk miskin baik di Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo meningkatkan IPM akan tetapi peningkatan IPM tersebut
berbeda -0,115 satuan antara Kota Gorontalo dan Kabupaten
Gorontalo.
VIII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI GORONTALO
Dewasa ini persoalan pencapaian pembangunan manusia telah menjadi
perhatian para penyelenggara pemerintahan. Baik pemerintahan dipusat, maupun
pemerintahan di daerah. Untuk mengukur sejauh mana pembangunan manusia
tersebut, berbagai ukuran pembangunan manusia telah dibuat namun berbagai
ukuran pembangunan manusia tersebut tidak semuanya dapat digunakan sebagai
standar yang dapat diperbandingkan antarwilayah bahkan antarnegara sekalipun.
Untuk menjembatani kebuntuan tersebut, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa telah
menetapkan suatu ukuran standar pembangunan manusia (IPM) atau secara
mendunia lebih dikenal dengan Human Develepment Index (HDI). Cara mengukur
HDI dibentuklah empat indikator yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf,
rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup
adalah merupakan representasi dari dimensi umur panjang dan sehat sedangkan
ngka melek huruf dan rata-rata lama sekolah adalah merupakan cerminan dari
output dimensi pengetahuan dan indikator kemampuan daya beli
direpresentasikan untuk mengukur dimensi hidup layak.
8.1. Perkembangan Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo
Sebagaimana program sebagai komposit tunggal untuk mengukur sejauh
mana tingkat perkembangan Pembangunan Manusia, ada tiga komponen IPM
sebagai penilai kualitas sumberdaya manusia yaitu dilihat dari segi kualitas
Pendidikan, kualitas kesehatan dan daya beli masyarakat. Jika ketiga komponen
tersebut memiliki kualitas yang baik, maka secara otomatis sumberdaya
manusianya memiliki kualitas yang baik pula. Masing-masing indeks dari
komponen IPM tersebut menggambarkan tingkat pencapaian yang telah dilakukan
selama ini di bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi.Sebagaimana hasil
penelitian sebelumnya, Indeks Pembangunan Manusia dianggap menjadi salah
satu penyebab disparitas karena mencerminkan kualitas sumberdaya manusia di
Provinsi Gorontalo. Pembangunan manusia juga merupakan faktor yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan manusia di suatu wilayah baik secara jangka
pendek maupun jangka panjang.
Data tahun 1995 sampai dengan 2010 menunjukkan IPM Provinsi
Gorontalo sebagai adalah sebagai berikut :
Sumber : BPS, Tahun 2011.
Gambar 33. IPM Provinsi Gorontalo Tahun 1995 – 2010
Pembangunan manusia di Provinsi Gorontalo secara garis besar
menunjukkan kondisi yang semakin membaik kendati secara umum masih terlihat
relatif rendah bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Bahkan bila dibandingkan dengan provinsi induknya Sulawesi Utara, nampak
perbedaan yang signifikan. Hal ini terlihat pada tahun 1999 dimana Indeks
Pembangunan Manusia Provinsi induk Sulawesi Utara ini menduduki peringkat
ke-2 diantara 33 Provinsi di Indonesia dengan capaian angka sebesar 72 persen.
Dimana Gorontalo pada tahun yang sama masih merupakan bagian dari Sulawesi
Utara yang terdiri dari Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. Kondisi IPM
Kabupaten Gorontalo ketika itu berada pada angka IPM sebesar 65 persen dan
Kota Gorontalo berada pada angka IPM sebesar 64.40 persen. Jauh dibawah
angka IPM Nasional yang mencapai 66.20 persen. Namun kondisi tersebut terus
mengalami kenaikan, bahkan hingga 9 tahun setelah dimekarkan, dimana pada
tahun 2002 IPM Provinsi Gorontalo pada angka 64.20 persen, namun pada tahun
2009 kondisi IPM Gorontalo mengalami kenaikan hingga mencapai 3 poin atau
berada pada angka 69.79 persen, sebagaimana tabel berikut :
Tabel 12 Perbandingan IPM Provinsi Gorontalo, Nasional & Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota Tahun
1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kab. Boalemo - 66.10 64.40 65.90 66.40 67.24 67.75 68.03
Kab. Gorontalo 65.00 65.90 66.00 66.80 67.25 67.77 68.94 69.55
Kab. Pohuwato - - 64.10 66.00 67.42 68.81 68.93 69.43
Kab. Bone Bolango - - 65.00 67.30 68.61 69.97 70.50 71.19
Kab. Gorontalo Utara - - - - 66.12 67.40 68.41 68.41
Kota Gorontalo 64.40 64.70 69.20 70.40 71.29 71.64 72.12 72.44
Provinsi Gorontalo - 64.20 65.40 67.50 68.01 68.83 69.29 69.79
Nasional 66.20 66.20 68.70 69.60 70.10 70.59 71.17 71.76
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo, Tahun 2010
Perkembangan angka IPM selama periode 1999 – 2009 di atas terjadi
karena adanya perubahan satu atau lebih komponen IPM dalam periode tersebut
yaitu komponen Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH),
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan pengeluaran riil per kapita (PPP).
8.2. Komponen Pembentuk IPM di Provinsi Gorontalo
Sebagaimana diketahui komponen pembentuk IPM adalah Angka Harapan
Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan
pengeluaran riil per kapita (PPP). Adanya perubahan satu atau lebih komponen
IPM (AHH, AMH, RLS dan PPP) dalam periode tertentu sangat mempengaruhi
perkembangan Indeks Pembangunan Manusia sebagaimana telah disebutkan di
atas. Perubahan yang dimaksud dapat berupa peningkatan atau penurunan besaran
persen/rate dari komponen IPM yaitu Angka Harapan Hidup (AHH), Angka
Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dan Pengeluaran riil per
kapita (PPP). Adapun perubahan dari masing-masing komponen ini sangat
ditentukan oleh berbagai faktor yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari komponen-komponen di atas. Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan
IPM dilihat dari komponen pembentuk IPM, di bawah ini ditampilkan
perbandingan komponen pembentuk IPM Provinsi Gorontalo sejak tahun 2002
sampai dengan 2009.
Tabel 13 Komponen Pembentuk IPM Provinsi Gorontalo
Komponen Pembentuk
IPM
Tahun
2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Harapan Hidup
(Tahun)
64.20 64.50 65.00 65.60 65.90 66.20 66.50
Angka Melek Huruf (%) 96.30 94.70 95.00 95.70 95.75 95.75 95.77
Rata-rata Lama Sekolah
(Tahun)
6.50 6.80 6.80 6.80 6.91 6.91 7.18
Rata-rata Pengeluaran Riil
(ribuan Rp)
573.30 585.90 607.80 608.65 615.94 619.7 621.31
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM)
66.20 68.70 69.60 70.10 70.59 71.17 71.76
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo, Tahun 2010
Dari tabel di atas di atas memberikan gambaran bahwa komponen
pembentuk IPM Provinsi Gorontalo baik dari segi Angka Harapan Hidup dengan
satuan ukur tahun, Angka Melek Huruf yang menggunakan persentase sebagai
satuan ukurnya, Angka Rata-rata Lama Sekolah dengan ukuran tahun serta Rata-
rata Pengeluaran Riil yang dihitung menggunakan ribuan rupiah, rata-rata
menunjukkan peningkatan unntuk setiap tahunnya. Namun demikian peningkatan
ini, belum menunjukkan peningkatan yang berarti bila dibandingkan dengan
provinsi-provinsi lainnya di Indonesia bahkan dengan Provinsi yang ada di Pulau
Sulawesi.
8.2.1 Angka Harapan Hidup di Provinsi Gorontalo
Secara umum, status kesehatan dengan indikator Angka Harapan Hidup
(AHH) di Provinsi Gorontalo terus mengalami peningkatan, angka harapan hidup
tahun 2002 sejak Gorontalo di mekarkan adalah sebesar 64,2 tahun dan menjadi
66,50 tahun pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan, pergerakan Angka
Harapan Hidup di provinsi ini mengalami peningkatan yang lamban untuk setiap
tahunnya. Hal yang sama juga dialami oleh seluruh kabupaten-kota di Gorontalo,
dimana pergerakan yang lamban dialami pula oleh kabupaten-kota di Provinsi
Gorontalo. Tabel 14 memperlihatkan bahwa Angka Harapan Hidup di awal
pemekeran tahun 2002, Kota Gorontalo masih terendah di angka 64.4 tahun
dibanding Kabupaten Gorontalo di 65,9 tahun dan Kabupaten Boalemo di angka
66.1 tahun.
Tabel 14 Angka Harapan Hidup Provinsi Gorontalo Tahun 1999-2009
Kabupaten/Kota Tahun
1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kab. Boalemo - 66.1 66.6 66.9 67.0 67.3 67.52 67.78
Kab. Gorontalo 65.0 65.9 66.2 66.7 66.8 67.1 67.71 68.17
Kab. Pohuwato - - 66.4 66.6 66.8 67.1 67.23 67.44
Kab. Bone Bolango - - 66.1 66.9 67.2 67.6 67.88 68.22 Kab. Gorontalo Utara - - - - 65.4 65.7 66.11 66.47
Kota Gorontalo 64.4 64.7 64.9 65.0 65.9 66.1 66.26 66.44
Provinsi Gorontalo - 64.2 64.5 65.0 65.6 65.9 66.20 66.50
Nasional 66.2 66.2 67.6 68.1 68.5 68.7 69.00 69.21
Sumber :BPS Provinsi Gorontalo, Tahun 2010
Di tahun 2009 hal Angka Harapan Hidup, Kabupaten Bone Bolango
mempunyai nilai tertinggi yaitu 68,2 tahun dan Kota Gorontalo terendah dengan
66,4 tahun yang merupakan satu-satunya wilayah yang nilainya lebih rendah dari
nilai tingkat provinsi (66,5 tahun). Namun, variasi angka harapan hidup di tingkat
Kabupaten-Kota di Provinsi Gorontalo tidak terlalu signifikan (rentang terbesar
adalah 1,8 tahun) yang menunjukkan kondisi di masing-masing wilayah tersebut
tidak terlalu jauh berbeda dengan harapan hidupnya.
Berbeda dengan Angka Harapan Hidup yang meningkat setiap tahunnya,
maka Angka Melek Huruf (AMH) ternyata tidak demikian. AMH Provinsi
Gorontalo menunjukkan angka yang fluktuatif. Diawal pemekaran, AMH Provinsi
Gorontalo persentasenya sangat besar yaitu berada di 96,30 persen, namun angka
ini terus menurun terutama di tahun 2004 yang berada di angka 94,70 persen,
namun perlahan-lahan beranjak naik, hingga pada tahun 2009 berada di angka
95,77 persen.
8.2.2 Angka Melek Huruf di Provinsi Gorontalo
Meskipun taraf pendidikan rata-rata menunjukkan kenaikan yang lambat,
Provinsi Gorontalo memiliki angka literasi (melek huruf) yang relative
tinggi.Tingkat Angka Melek Huruf (AMH) rata-rata propinsi ini mencapai lebih
dari 95 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berada pada tingkat 92
persen pada tahun 2009.Kondisi ini menarik, karena angka AMH di atas rata-rata
nasional dapat dicapai dengan taraf pendidikan formal rata-rata yang agak jauh di
bawah rata-rata nasional.Lebih jauh indikator-indikator kinerja pendidikan seperti
angka putus sekolah yang belum banyak hal berkorelasi positif dengan kualitas
pendidikan yang mengisyaratkan kualitas pendidikan yang tidak terlalu baik.Hal
ini kontradiktif dengan angka AMH yang begitu tinggi.Telaah secara lebih
mendalam terhadap fenomena menarik ini menunjukkan bahwa program
pendidikan non formal untuk meningkatkan AMH berjalan dengan baik di
Provinsi Gorontalo sehingga produktif untuk mengangkat AMH berada di atas
rata-rata nasional.
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo, Tahun 2010
Gambar 34 Angka Melek Huruf Provinsi Gorontalo Tahun 1999-2009.
Pengelompokan penduduk menurut jenjang pendidikan yang ditamatkan
menghasilkan distribusi yang sangat miring ke kanan (skewed to the right). Lebih
dari 65 persen penduduk berpendidikan Sekolah Dasar atau kurang, sementara
mereka yang berpendidikan SMP atau setara SMP sebanyak 14 persen, SMA atau
setara SMA sebanyak 18 persen, dan hanya 4 persen saja yang berpendidikan
tinggi. Gambaran ini menunjukkan dominasi tenaga kurang terdidik dan tidak
terampil dalam angkatan kerja provinsi Gorontalo. Merujuk pada situasi ini
sedianya Pemerintah Provinsi Gorontalo tidak hanya memfokuskan ataupun
mengunggulkan sektor pertanian saja, namun demikian juga dapat memperhatikan
lebih seksama bahwa taraf pendidikan dan keterampilan yang dimiliki masih perlu
untuk ditingkatkan dalam mendukung perkembangan sektor pertanian sesuai yang
dicita-citakan.
8.2.3 Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Gorontalo
Secara umum tingkat pendidikan di Provinsi Gorontalo masih rendah
namun secara bertahap mulai mengalami perubahan kenaikan. Rata-rata lama
sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas pada tahun 2009 mengalami perubahan
kenaikan yang lambat, setelah dua tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2007 dan
2008 tidak mengalami perubahan alias bertahan pada angka 6,91 tahun. Hal yang
sama terjadi pula pada tahun-tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2004, 2005, dan
2006 yang hanya bertahan pada angka 6,80 tahun.
Tabel 15 Rata-rata Lama Sekolah Provinsi Gorontalo Tahun 1999-2009
Sumber : BPS Propinsi Tahun 2010
Perbedaan yang cukup signifikan justru terjadi di Kota Gorontalo yang
pada tahun 1999 saja ketika masih bergabung dengan provinsi induknya Sulawesi
Utara, angka rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas berada di
atas rata-rata nasional yaitu 8,70 tahun dan pada tahun 2004 menembus angka
9,20 tahun dan terus saja mengalami kenaikan hingga tahun 2009 mencapai angka
9,50, tahun di mana angka rata-rata nasional hanya berada di 6,70 tahun pada
tahun 1999 pada yang kemudian naik pada angka 7,20 tahun di tahun 2004 dan
7,72 tahun pada tahun 2009.Sementara angka rata-rata lama sekolah penduduk
umur 15 tahun ke atas yang terendah berada di Kabupaten Boalemo yang di awal
pemekaran pada tahun 2002 hanya berada di angka 5,80 kemudian pada empat
tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2005-2008 tidak mengalami perubahan alias
bertahan pada angka 6,00.
Kabupaten/Kota Tahun
1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kab. Boalemo - 5.80 5.90 6.00 6.00 6.00 6.00 6.07
Kab. Gorontalo 6.00 6.00 6.30 6.40 6.40 6.40 6.47 6.77
Kab. Pohuwato - - 5.90 6.00 6.05 6.05 6.05 6.42
Kab. Bone Bolango - - 6.20 6.30 6.56 7.45 7.45 7.77
Kab. Gorontalo Utara - - - - 6.20 6.20 6.20 6.24
Kota Gorontalo 8.70 8.80 9.20 9.30 9.28 9.46 9.46 9.50
Provinsi Gorontalo - 6.50 6.80 6.80 6.80 6.91 6.91 7.18
Nasional 6.70 7.10 7.20 7.30 7.40 7.47 7.52 7.72
8.2.4 Pengeluaran Riil Perkapita di Provinsi Gorontalo
Kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari hari
secara layak atau yang dimaksud dengan daya beli adalah bersumber dari sejauh
mana pendapatan yang diterima.Semakin besar pendapatan maka semakin besar
pula daya beli yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas pembangunan manusia
di sektor perekonomian.Hal ini dapat digambarkan bahwa semakin besar
pendapatan seseorang mencerminkan semakin besar akses atau peluang untuk
memperluas pilihan (enlarging choice) terutama untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti kesehatan, pendidikan dan daya beli.
Sumber : BPS Provinsi Gorontalo, Tahun 2010.
Gambar 35 Pengeluaran Riil Perkapita Provinsi Gorontalo Tahun 1999-2009
Demikian pula sebaliknya, semakin rendah pendapatan seseorang maka
akan semakin mempersempit akses atau peluang untuk memperluas pilihan guna
memenuhi kebutuhan mendasar seperti kesehatan, pendidikan dan daya beli.
Gambar di atas menunjukkan bahwa Pendapatan perkapita yang diproksi dengan
pengeluaran per kapita, selama beberapa tahun terakhir ini, menunjukkan trend
peningkatan, baik di Provinsi Gorontalo, maupun kabupaten-kota.Tahun 2002
pengeluaran per kapita riil Provinsi Gorontalo termasuk rendah yakni Rp.
573.300, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp. 607.800,- sementara pada
tahun 2006 peningkatannya lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yaituRp.
608.700. Data terakhir pada tahun 2009 menunjukkan peningkatan yang relatif
yaitu Rp.621.300,- pada level Kabupaten-kota, Boalemo menempati posisi
terendah dengan pengeluaran per kapita riil sebesar Rp. 601.700 sedangkan posisi
tertinggi ditempati Kota Gorontalo dengan pengeluaran per kapita pada tahun
2009 sebesar Rp. 623.400, jauh lebih tinggi di banding pendapatan per kapita
Provinsi Gorontalo. Ketimpangan pengeluaran riil per kapita yang merupakan
proksi pendapatan tersebut umumnya disebabkan karena faktor kualtias
sumberdaya alam.Daerah-daerah yang pendapatannya memiliki tingkat kesuburun
tanah yang lebih rendah disamping secara gografis juga memiliki akses ke pasar
yang cukup sulit, khususnya di Kabupaten Boalemo maupun sebagian Kabupaten
Gorontalo.
8.3. Perbandingan Peringkat IPM
Tabel 16 Perbandingan Peringkat IPM Antar Provinsi di Sulawesi, dan
Indonesia Tahun 2002-2009
Propinsi
2002
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sulawesi Utara 2 2 2 2 2 2 2
Sulawesi Tengah 22 22 21 22 22 22 22
Sulawesi Selatan 21 21 23 23 21 21 20
Sulawesi Tenggara 26 25 24 25 25 25 25
Gorontalo 24 28 25 24 24 24 24
Sulawesi Barat
- 29 29 29 28 27 27
Indonesia (BPS)
Sumber BPS Tahun 2010
Data time seriesyang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Provinsi
Gorontalo berturut-turut mulai tahun 2002 sampai dengan 2009 menunjukkan
tingkat Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo berada di bawah
rata-rata IPM nasional. Dalam peringkat secara nasional (33 provinsi) Provinsi
Gorontalo menduduki peringkat ke 24 pada tahun 2002, kemudian mengalami
penurunan peringkat pada tahun 2004 yaitu pada peringkat 28, naik kembali pada
peringkat 25 di tahun 2005 selanjutnya pada 3 tahun berturut-turut tidak
mengalami perubahan dalam peringkatnya yaitu tetap bertahan di peringkat ke 24
sebagaimana tabel 16.
8.4. Reduksi Shortfall Provinsi Gorontalo
Meskipun secara garis besar, IPM Gorontalo setiap tahunnya mengalami
kenaikan, namun demikian bila dilihat dengan melakukan metode reduksi
Shortfall, angka IPM Provinsi Gorontalo selama periode 1999-2009 belum
mengalami kenaikan yang optimal. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan
metode reduksi Shortfall dimanadiketahui besarnya angka reduksi Shortfall
Provinsi Gorontalo dari tahun 1999-2009hanya sebesar 1,31. Hal ini menunjukkan
bahwa perkembangan percepatan IPM di Provinsi Gorontalo mengalami
pertumbuhan yang lambat
Metode reduksi Shortfall adalah metode umum yang digunakan untuk
mengukur kecepatan perkembangan IPM dalam suatu kurun waktu tertentu.Dalam
mengukur reduksi shortfall UNDP telah menentukan klasifikasi pertumbuhan
IPM. Demikian pula dalam menentukan pertumbuhan IPM, UNDP telah
menetapkan tiga klasifikasi yaituklasifikasi pertumbuhan IPM cepat dengan angka
reduksi di atas 1,70 (R > 170), pertumbuhan IPM sedang dengan angka reduksi
antara 1,50 sampai dengan 1,70 (1,50 < R <1,70) dan pertumbuhan IPM lambat
dengan angka reduksi di bawah 1,50 (R < 1,50)
Ukuran ini secara sederhana menunjukkan perbandingan antara capaian
yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus ditempuh untuk mencapai
titik ideal yaitu IPM = 100. Menurut UNDP angka reduksi Shortfall Provinsi
Gorontalo termasuk dalam kategori pertumbuhan IPM lambat.Hal ini menujukkan
bahwa pengelolaan pembangunan di Provinsi Gorontalo belum sepenuhnya
berhasil meningkatkan IPM secara optimal.
8.5. Tinjauan Faktor-faktor yang Mempengaruhi IPM di Provinsi
Gorontalo
Pada penelitian ini, analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo dibatasi pada beberapa point
di bawah ini, yaitu : (1) persentase penduduk miskin atau disingkat dengan
DUKIN;(2) Rasio atau perbandingan antara banyaknya Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas) dengan jumlah penduduk per seratus ribu (100.000)
orang; (3) Rasio atau perbandingan antara banyaknya Puskesmas Pembantu
(Pustu) dengan jumlah penduduk per seratus ribu (100.000) orang. Point (2) dan
point (3) ini merupakan elemen yang mewakili sekian banyak fasilitas kesehatan
di provinsi Gorontalo. Disamping itu dari segi pelayan kesehatan akan dilihat dari
(4) Rasio atau banyaknya dokter umum yang dapat melayani penduduk per seratus
ribu penduduk (100.000) dan (5) Rasio atau banyaknya tenaga kesehatan (Para
medis dan non medis) yang dapat melayani penduduk per seratus ribu penduduk
(100.000). Sedangkan dari segi fasilitas pendidikan akan dilihat dari (6) Rasio
atau banyaknya jumlah Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa (murid) yang
belajar di SD tersebut. (7) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dengan jumlah siswa (murid) yang belajar di SMP tersebut, dan
(8) Rasio atau banyaknya jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan jumlah
siswa (murid) yang belajar di SMA tersebut. Disamping itu juga akan dilihat
sejauh mana pengaruh (9) laju pertumbuhan ekonomi (LAPEK) terhadap
pembentukan angka IPM di Provinsi Gorontalo. Dan satu hal lagi yang akan
dilihat dalam analisis ini adalah sejauh mana perkembangan IPM Provinsi
Gorontalo sebelum otonomi daerah (ketika Gorontalo masih bergabung dengan
Sulawesi Utara) dan IPM Provinsi Gorontalo setelah otonomi daerah. Untuk
mengetahui sejauhmana perkembangan dari faktor-faktor yang mempengaruhi
Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo, berikut ini deskripsi
ataupun gambaran perkembangan beberapa faktor yang mempengaruhi IPM di
Provinsi Gorontalo.
8.5.1. Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Gorontalo
Angka kemiskinan di Provinsi Gorontalo secara garis besar mengalami
penurunan yang cukup signifikan, di mana pada tahun 2002 mencapai 32,13
persen, terus mengalami penurunan hingga menjadi 23,19 persen di tahun 2010
dan pada tahun 2011 penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 4,4 persen
dari tahun 2010 menjadi 18,75 persen. Penurunan tersebut merupakan penurunan
terbesar ke 3 secara nasional.
Sumber : BPS, Tahun 2010.
Gambar 38Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi-provinsi di Pulau
Sulawesi Tahun 2010
Meskipun jumlah maupun persentase penduduk miskin di provinsi
Gorontalo mengalami penurunan, namun secara nasional perkembangan
penduduk miskin di propinsi ini masih termasuk dalam 10 besar propinsi yang
berpenduduk miskin.Atau secara peringkat Gorontalo berada di urutan ke-29 dari
33 provinsi di Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk miskin. Penurunan
secara bertahap diperkirakan terjadi akibat pengaruh besar terhadap peningkatan
pendapatan penduduk. Peningkatan pendapatan penduduk tersebut pada gilirannya
meningkatkan kesempatan usahakerja di sektor informal. Sebagaimana dalam
paradigma pembangunan, pendapatan adalah alat untuk menguasai sumberdaya
agar dapat hidup dengan layak. Semakin besar pendapatan/produk nasional-
regional, maka semakin besar pula jumlah barang dan jasa yang tersedia untuk
mendukung standar hidup yang layak.Sumberdaya atau barang dan jasa itu sendiri
harus pula dilihat sebagai wahana untuk meningkatkan kemampuan individu dari
segi pendidikan, keterampilan, kesehatan, kemampuan dalam pergaulan di
masyarakat, dan lainnya.Dalam konteks inilah pendapatan sebagai proksi dari
tingkat hidup layak dipilih sebagai salah satu indikator pembangunan manusia.
8.5.2. Fasilitas Puskesmas di Provinsi Gorontalo.
Fasilitas Pusat Kesehatan masyarakat di Provinsi Gorontalo dari tahun
2005 sampai dengan tahun 2011 nampak mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan Puskesmas dalam upaya melayani
masyarakat di Provinsi Gorontalo dapat dilaksanakan seoptimal mungkin.
Pemanfaatan fasilitas kesehatan berupa Puskesmas tergantung juga pada
akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan tersebut. Aksebilitas dapat dilihat dari
rasio fasilitas kesehatan dalam hal ini Puskesmas terhadap penduduk. Seberapa
banyak penduduk dapat dilayani oleh puskesmas menunjukkan kualitas dari
pelayanan Puskesmas tersebut. Disamping rasio fasilitas kesehatan (Puskesmas)
terhadap jumlah penduduk, pengadaan fasilitas Puskesmas juga sangat
berhubungan dengan jarak atau tempat tinggal penduduk dengan fasilitas
kesehatan tersebut. Namun dalam penelitian ini hanya akan dilihat Rasio
Puskesmas terhadap jumlah penduduk. Rasio Puskesmas ini juga
mengindikasikan tingkat pembangunan kesehatan di satu daerah dalam hal
ketersediaan fasilitas yang mendukung dan pelayanan terhadap masyarakat.
Tabel 17 Fasilitas Puskesmas Menurut Kabupaten-Kota di Provinsi Gorontalo
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kab. Boalemo 8 8 8 9 10 10
Kab. Gorontalo 21 21 20 20 20 20
Kab. Pohuwato 9 9 9 10 16 16
Kab. Bone Bolango 8 11 18 18 19 19
Kab. Gorontalo Utara 10 10 10 10 12 12
Kota Gorontalo 6 7 7 7 7 7
Provinsi Gorontalo 62 66 72 74 84 84
Kabupaten/KotaPUSKESMAS
Sumber : BPS, Tahun 2011
Dari data di atas menunjukkan bahwa fasilitas Puskesmas di kabupaten
dan kota mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Puskesmas terbanyak
berada di Kabupaten Gorontalo sebanyak 20 Puskesmas kemudian di susul oleh
Kabupaten Bone Bolango sebanyak 19 Puskesmas. Sedangkan yang paling sedikit
menyediakan fasilitas Puskesmas adalah Kota Gorontalo yang hanya mempunyai
7 Puskesmas, lebih tinggi dari Kabupaten Gorontalo Utara yang merupakan
kabupaten termuda di Provinsi Gorontalo.
Namun, seperti dikemukakan sebelumnya, pemanfaatan fasilitas
kesehatan berupa Puskesmas tergantung juga pada akses penduduk terhadap
fasilitas kesehtan tersebut. Banyaknya Puskesmas di suatu wilayah belum tentu
menggambarkan banyaknya pelayanan yang diberikan. Namun hal ini juga
berkaitan dengan aksebilitas yang dapat diperoleh masyarakat. Dalam hal ini
pelayanan dilihat dari rasio fasilitas Puskesmas terhadap jumlah penduduk.
Dengan banyaknya Puskesmas, diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat
dioptimalkan. Bila kita melihat Rasio Puskesmas di Provinsi Gorontalo dapat
dilihat sebagai berikut:
Sumber : Hasil Olah Data, Tahun 2012
Gambar 37 Rasio Puskesmas Dengan Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo
Tahun 1995-2010.
Dari hasil olah data ini menunjukkan bahwa pelayanan fasilitas kesehatan
dalam hal ini Puskesmas di Provinsi Gorontalo mengalami kenaikan rasio.
Artinya bahwa bertambahnya jumlah penduduk tidak dibarengi dengan
bertambahnyaPuskesmas, sehingga rasio pelayanan Puskesmas terhadap
penduduk mengalami kenaikan. Hal ini memberi arti bahwa kapasitas pelayanan
Puskesmas terhadap penduduk mengalami penurunan, dikarenakan pertumbuhan
penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan namun tidak dibarengi
dengan pertumbuhan Puskesmas, sehingganya pelayanan Puskesmas mengalami
penurunan.
Dari gambar 37 di atas, terlihat bahwa perbandingan Puskesmas dengan
jumlah Penduduk di tahun 2010 adalah 1 : 8,06 persen dari jumlah penduduk di
Provinsi Gorontalo atau sebanyak 81.135 Penduduk. Ini berarti bahwa setiap 1
Puskesmas melayani penduduk sebanyak 81.135 penduduk.
Secara rasio kondisi ini mengindikasikan belum terpenuhinya standar
kebutuhan pelayanan puskesmas. Namun demikian disamping rasio puskesmas,
perlu dilihat pula kondisi wilayahnya, karena jumlah penduduk di Indonesia
bagian timur memiliki karesteristik yang berbeda dengan penduduk di Indonesia
bagian barat dimana jumlah penduduk di Indonesia bagian timur lebih sedikit bila
dibandingkan dengan penduduk di Indonesia bagian barat demikian pula dalam
hal pesebarannya yang lebih luas di Indonesia bagian barat. Hal ini, sangat
mempengaruhi akses masyarakat dalam mendapatkan fasilitas yang tersedia.
8.5.3. Fasilitas Puskesmas Pembantu di Provinsi Gorontalo
Sebagaimana fasilitas puskesmas, pengadaan Puskesmas Pembantu di
Provinsi Gorontalo juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel di
bawah ini memperlihatkan perkembangan Pueskesmas Pembantu sejak tahun
2005 sampai dengan tahun 2011. Dari tabel ini nampak perkembangan Puskesmas
Pembantu (Pustu) mengalami kenaikan setiap tahunnya di seluruh kabupaten-kota
di Provinsi Gorontalo. Nampak Kabupaten yang mempunyai fasilitas Puskesmas
Pembantu terbanyak berada di Kabupetan Gorontalo dengan 97 Pustu. Sedangkan
perkembangan Puskesmas di Kota Gorontalo nampak tidak mengalami
perkembangan yang berarti dimana pertambahan jumlah Puskesmas Pembantu di
Kota Gorontalo tidak mengalami kenaikan untuk setiap tahunnya, namun
perkembangan kenaikan Puskesmas Pembantu mengaami kenaikan untuk periode
tertentu.
Tabel 18 di bawah ini memberikan gambaran perkembangan Puskesmas
Pembantu menurut Kabupaten dan Kota di Provinsi Gorontalo sejak tahun 2005
sampai dengan tahun 2010.
Tabel18 Puskesmas Pembantu Menurut Kab-Kota di Provinsi Gorontalo
Puskesmas Pembantu (Pustu)
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kab. Boalemo 25 25 33 32 36 36
Kab. Gorontalo 99 105 88 97 97 97
Kab. Pohuwato 29 29 30 45 22 22
Kab. Bone Bolango 39 38 40 34 46 46
Kab. Gorontalo Utara 28 28 28 27 43 43
Kota Gorontalo 33 32 33 33 33 33
Provinsi Gorontalo 253 257 252 268 277 277
Kabupaten/Kota
Sumber : BPS, Tahun 2011
Bila dilihat dari rasio Puskesmas Pembantu terhadap penduduk
menunjukkan bahwa perkembangan Rasio Puskesmas Pembantu terus mengalami
penyesuaian. Dari grafik di bawah ini, terlihat bahwa perbandingan Puskesmas
Pembantu dengan jumlah Penduduk di tahun 2010 adalah 1 : 26,59 persen dari
jumlah penduduk di Provinsi Gorontalo atau sebanyak 27.696 Penduduk. Ini
berarti bahwa setiap 1 Puskesmas Pembantu melayani penduduk sebanyak 27.696
penduduk.
Kendati secara rasio hal ini mengindikasikan belum terpenuhinya standar
kebutuhan pelayanan, namun demikian, kondisi ini perlu melihat perbedaan antara
penduduk di wilayah barat dengan wilayah timur Indonesia yang jumlah
penduduk masih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah Indonesia Barat,
demikian pula dalam hal pesebarannya. Hal ini sangat mempengaruhi akses
masyarakat dalam mendapatkan fasilitas yang tersedia.
Gambar 38 Perkembangan Rasio Puskesmas Pembantu (Pustu) terhadap
Penduduk Tahun 1995 – 2010.
8.5.4. Status Dokter Umum di Provinsi Gorontalo
Perkembangan jumlah tenaga medis dari tahun 2005 sampai dengan
2009 menunjukkan bahwa jumlah dokter umum meningkat dari tahun ke tahun.
Namun kembali mengalami penurun pada tahun 2009. Jika pada tahun 2005
jumlah dokter di Provinsi Gorontalo hanya 164 orang, maka pada lima tahun ke
depan yaitu tahun 2009 jumlah dokter mencapai 251 orang, atau meningkat
sebesar 65.3 persen. Namun bila dilihat dari perkembangan dokter menurut
kabupaten/kota pada tiga tahun terakhir maka peningkatan yang signifikan terjadi
di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, sebagaimana Gambar 39.
Keterbatasan tenaga dokter yang terjadi di Kabupaten Gorontalo Utara,
dimana data tahun 2009 jumlah tenaga dokter di daerah ini sangat minim yaitu
hanya ada 9 orang dokter dan pada tahun 2010 mengalami penambahan 3 orang
menjadi 11 orang dokter. Hal ini dapat dipahami karena kabupaten ini adalah
salah satu kabupaten termuda di Provinsi Gorontalo yang dibentuk pada tahun
2007. Hingga saat ini pun Kabupaten ini masih merujuk masyarakatnya yang sakit
ke Rumah Sakit Umum Dr. Aloei Saobe yang merupakan Rumah Sakit Umum
Daerah di Kota Gorontalo, atau ke RSUD, Dr. Dunda, yang berada di Kabupaten
Gorontalo.
Gambar 39. Perkembangan Jumlah Dokter di Provinsi Gorontalo 3 Tahun terakhir
(2008-2010)
Belum adanya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), sebagaimana RSUD
lain di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Gorontalo telah diantisipasi oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo Utara yang telah mengganggarkan dana
melalui APBN dan dana sharing APBD guna pendirian RSUD di kabupaten ini.
Jika dihitung berdasarkan rasio dokter umum dengan jumlah penduduk
Provinsi Gorontalo maka akan diperoleh rasio sebagai berikut:Rasio dokter umum
dengan jumlah penduduk adalah 1 : 4.062 orang Rasio ini belum ideal, karena
standar rasio ideal adalah 1 : 2500 orang.
Rasio dokter terhadap jumlah penduduk menunjukkan sejauhmana
kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini dinas kesehatan memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakatnya.
8.5.5. Status Tenaga Kesehatan di Provinsi Gorontalo
Demikian pula dengan tenaga kesehaan (Paramedis dan non medis) di
Provinsi Gorontalo, mengalami kenaikan untuk setiap tahunnya. Data yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo untuk 3 tahun terakhir
menunjukkan bahwa perkembangan tenaga para medis di Provinsi Gorontalo
mengalami kenaikan setiap tahunnya pada setiap kabupaten/kota. Berikut ini
gambaran perkembangan keberadaan tenaga paramedis di Provinsi Gorontalo
untuk 3 tahun terakhir menurut Kabupaten/Kota.
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2011
Gambar 40 Perkembangan Jumlah Dokter di Provinsi Gorontalo 3 Tahun
Terakhir (2008-2009)
Dari Gambar 41 terlihat, perkembangan tenaga paramedis di Provinsi
Gorontalo dari Tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 terus mengalami kenaikan.
Kenaikan yang berarti terjadi pada tahun 2010 dimana perkembangan tenaga para
medis untuk setiap kabupaten/kota meningkat mencapai 14,5 persen bila
dibandingkan dengan tahun 2008.
Jika dihitung berdasarkan rasio tenaga medis dan paramedis dengan
jumlah penduduk Provinsi Gorontalo maka akan diperoleh rasio sebagai berikut :
rasio tenaga paramedis dengan jumlah penduduk adalah 1 : 2.423 orang. Rasio ini
juga menunjukkan rasio Paramedis yang belum ideal, dimana rasio idealnya
adalah 1 : 1.000. Rasio tenaga paramedis dan non medis terhadap jumlah
penduduk menunjukkan sejauhmana kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini
dinas kesehatan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakatnya.
8.5.6. Rasio Bangunan SD Dengan Jumlah Murid SD di Provinsi Gorontalo
Dalam proses pembangunan yang integral, pendidikan merupakan salah
satu bagian yang tidak terpisahkan. Karena pendidikan adalah salah satu penentu
kualitas sumberdaya manusia atau human resources suatu wilayah atau daerah.
Tingkat pendidikan akan menunjukan bagaimana tingkat kualitas sumberdaya
manusia. Pemerintah daerah sebagai stabilisator pembangunan daerah tentu saja
berkewajiban memberikan pelayanan prima pendidikan demi meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia di daerahnya.
Untuk melihat pembangunan Sekolah Dasar, perkembangan jumlah murid
yang bersekolah di SD, dan rasio SD terhadap murid SD di Provinsi Gorontalo
dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 19 Perkembangan SD, Jumlah Murid SD dan Rasio Bangunan SD terhadap
Murid SD, Tahun 1995-2010 Provinsi Gorontalo. Tahun Jumlah SD Jumlah Murid SD RASIO SD/Murid
1995 27 4.786 177,26
1996 50 5.352 107,04
1997 50 5.620 112,40
1998 50 5.979 119,58
1999 50 6.617 132,34
2000 50 8.280 165,60
2001 834 127.095 152,39
2002 885 128.076 144,72
2003 842 134.520 159,76
2004 840 121.189 144,27
2005 849 133.174 156,86
2006 883 143.474 162,48
2007 910 145.234 159,60
2008 852 165.242 193,95
2009 922 146.361 158,74
2010 945 146.118 154,62
Tahun Jumlah SD Jumlah Murid SD RASIO SD/Murid
1995 27 4.786 177,26
1996 50 5.352 107,04
1997 50 5.620 112,40
1998 50 5.979 119,58
1999 50 6.617 132,34
2000 50 8.280 165,60
2001 834 127.095 152,39
2002 885 128.076 144,72
2003 842 134.520 159,76
2004 840 121.189 144,27
2005 849 133.174 156,86
2006 883 143.474 162,48
2007 910 145.234 159,60
2008 852 165.242 193,95
2009 922 146.361 158,74
2010 945 146.118 154,62
Sumber : BPS, Tahun 2011
Sesuai rujukan derajat pelayanan di bidang pendidikan, maka untuk melihat
seberapa besar pelayanan dasar pendidikan dalam suatu satuan pendidikan
diterjemahkan oleh rasio jumlah sekolah dengan jumlah penduduk usia(murid)
sekolah. Untuk mengetahui perbandingan perkembangan Sekolah Dasar (SD)
dengan jumlah murid di Sekolah Dasar di Provinsi Gorontalo dari tahun 1995
sampai dengan tahun 2010, di jelaskan melalui Gambar 41 di bawah ini.
Gambar 41 Rasio Bangunan SD terhadap Jumlah Murid SD di Provinsi
Gorontalo Tahun 1995-2010
Grafik di atas memberikan gambaran, bahwa perkembangan pembangan
Sekolah Dasar di Provinsi Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan 2010,
menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio tersebut
memperlihatkan perbandingan bangunan SD dengan murid SD pada tahun 2010
adalah 1 : 15.462 yang berarti bahwa 1 Sekolah Dasar, diperuntukkan bagi 15.462
murid SD. Hal ini menunjukkan menurunnya pelayanan SD bila dibandingkan
dengan kondisi Provinsi Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 : 14,472. pada
tahun 2002. Dimana satu Sekolah Dasar di peruntukkan oleh 14,472 murid
Sekolah Dasar.
8.5.7. Rasio Bangunan SMP dengan Jumlah Murid SMP di Provinsi
Gorontalo
Perkembangan pembangunan Sekolah Menengah Pertama, jumlah murid
yang bersekolah di SMP, dan rasio SMP terhadap murid SMP di Provinsi
Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 20 Perkembangan SMP, Jumlah Murid SMP dan Rasio Bangunan SMP
terhadap Murid SMP Tahun 1995-2010 Provinsi Gorontalo.
TAHUN JUMLAH SMP JUMLAH MURID RASIO SMP
1995 19 2.599 136,79
1996 34 2.743 80,68
1997 34 2.769 81,44
1998 34 2.808 82,59
1999 34 2.868 84,35
2000 34 3.492 102,71
2001 126 28.335 224,88
2002 136 26.282 193,25
2003 136 26.280 193,24
2004 161 32.481 201,75
2005 178 36.287 203,86
2006 227 42.070 185,33
2007 284 44.648 157,21
2008 352 49.852 141,63
2009 313 47.076 150,40
2010 355 48.120 135,55
TAHUN JUMLAH SMP JUMLAH MURID RASIO SMP
1995 19 2.599 136,79
1996 34 2.743 80,68
1997 34 2.769 81,44
1998 34 2.808 82,59
1999 34 2.868 84,35
2000 34 3.492 102,71
2001 126 28.335 224,88
2002 136 26.282 193,25
2003 136 26.280 193,24
2004 161 32.481 201,75
2005 178 36.287 203,86
2006 227 42.070 185,33
2007 284 44.648 157,21
2008 352 49.852 141,63
2009 313 47.076 150,40
2010 355 48.120 135,55 Sumber : BPS, Tahun 2011
Dari tabel di atas, memberikan gambaran bahwa perkembangan Sekolah
Menengah Pertama di Provinsi Gorontalo, terus mengalami peningkatan. Hal ini
dapat dilihat dari data tahun 2001 ketika Gorontalo memisahkan diri dari Provinsi
induknya Sulawesi Utara, dimana pada tahun tersebut, terdapat 126 Sekolah
Menengah Pertama, dibanding tahun 1995 ketika masih bergabung dengan
Sulawesi Utara yang hanya terdapat 19 bangunan Sekolah Menengah Pertama.
Data terakhir menunjukkan peningkatan dimana pada tahun 2010 sudah terdapat
355 bangunan Sekolah Menengah Pertamadi Provinsi Gorontalo. Gambar di
bawah ini adalah perkembangan Rasio Bangunan Sekolah Menengah Pertama
dengan jumlah murid usia Sekolah Menengah Pertamayang bersekolah di Sekolah
Menengah Pertamapada tahun tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 42 Rasio Bangunan SMP terhadap Jumlah Murid SMP di Provinsi
Gorontalo Tahun 1995-2010
Grafik di atas memberikan gambaran, bahwa perkembangan pembangunan
Sekolah Menengah Pertama di Provinsi Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan
2010, menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio
tersebut memperlihatkan perbandingan bangunan SMP dengan murid SMP pada
tahun 2010 adalah 1 : 13.555 yang berarti bahwa 1 Sekolah SMP diperuntukkan
bagi 13.555 murid SMP. Hal ini menunjukkan peningkatan pelayanan SMP bila
dibandingkan dengan kondisi Provinsi Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 :
22.448 pada tahun 2001. Dimana satu Sekolah SMP di peruntukkan oleh 22.448
murid SMP. Namun bila dibandingkan dengan data rasio Sekolah SMP pada
tahun 1996 masih jauh lebih rendah dibanding tahun 2010, dimana pada tahun
1996 rasio sekolah SMP adalah 1 : 8.068 murid SMP.
8.5.8. Rasio Bangunan SMA dengan Jumlah Murid SMA di Provinsi
Gorontalo
Perkembangan pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA), jumlah
murid yang bersekolah di SMA, dan rasio SMA terhadap murid SMA di Provinsi
Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010, dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 21 Perkembangan SMA, Jumlah Murid SMA dan Rasio Bangunan SMA
terhadap Murid SMA Tahun 1995-2010 Provinsi Gorontalo.
TAHUN JUMLAH SMA JUMLAH MURID SMA RASIO SMA
1995 15 2.427 161,8
1996 15 2.358 157,2
1997 15 2.345 156,3
1998 15 2.324 154,9
1999 15 2.289 152,6
2000 15 2.013 134,2
2001 40 10.957 273,9
2002 49 12.405 253,2
2003 59 17.274 292,8
2004 69 18.988 275,2
2005 74 21.670 292,8
2006 57 17.339 304,2
2007 91 28.849 317,0
2008 96 33.496 348,9
2009 102 36.657 359,4
2010 119 36.535 307,0
TAHUN JUMLAH SMA JUMLAH MURID SMA RASIO SMA
1995 15 2.427 161,8
1996 15 2.358 157,2
1997 15 2.345 156,3
1998 15 2.324 154,9
1999 15 2.289 152,6
2000 15 2.013 134,2
2001 40 10.957 273,9
2002 49 12.405 253,2
2003 59 17.274 292,8
2004 69 18.988 275,2
2005 74 21.670 292,8
2006 57 17.339 304,2
2007 91 28.849 317,0
2008 96 33.496 348,9
2009 102 36.657 359,4
2010 119 36.535 307,0 Sumber : BPS, Tahun 2011
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa perkembangan Sekolah
Menengah Atas di Provinsi Gorontalo mengalami peningkatan. Hal ini dapat
dilihat dari data tahun 2001 ketika Gorontalo memisahkan diri dari Provinsi
induknya Sulawesi Utara, dimana pada tahun tersebut hanya terdapat 40 Sekolah
Menengah Atas, dibanding tahun 1995 ketika masih bergabung dengan Sulawesi
Utara yang hanya terdapat 15 bangunan Sekolah Menengah Atas. Data terakhir
menunjukkan peningkatan dimana pada tahun 2010 sudah terdapat 119 bangunan
SMA di Provinsi Gorontalo.Berikut ini gambaran perkembangan Rasio bangunan
Sekolah Menengah Atas terhadap murid yang bersekolah di SMA di Provinsi
Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan Tahun 2010.
Gambar 43 Rasio Bangunan SMA terhadap Jumlah Murid SMA di Provinsi
Gorontalo Tahun 1995-2010
Grafik di atas memberikan gambaran, bahwa perkembangan
pembangunan SMA di Provinsi Gorontalo dari tahun 1995 sampai dengan 2010,
menunjukkan peningkatan yang berarti. Namun demikian, dari rasio tersebut
memperlihatkan perbandingan bangunan SMA dengan murid SMA pada tahun
2010 adalah 1 : 3.070 yang berarti bahwa 1 Sekolah SMA diperuntukkan bagi
3.070 murid SMA. Hal ini menunjukkan penurunan pelayanan SMA bila
dibandingkan dengan kondisi Provinsi Gorontalo di awal pemekaran yaitu 1 :
2.739 pada tahun 2001. Dimana satu Sekolah SMA di peruntukkan oleh 2.739
murid SMA. Namun bila dibandingkan dengan data rasio Sekolah SMA pada
tahun 1995 masih jauh lebih rendah di banding tahun 2001, dimana pada tahun
1996 rasio sekolah SMA adalah 1 : 1.618 murid SMA.
8.5.9. Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo
Di bidang ekonomi, bila melihat data tahun 2005, Provinsi Gorontalo
mengalami ketinggalan yang cukup jauh dibanding dengan provinsi-provinsi lain
di Indonesia. Pada tahun 2005 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per
kapita tanpa migas atas dasar yang berlaku untuk provinsi Gorontalo adalah
sebesar Rp. 3,67 juta yang bila dibandingkan dengan provinsi induknya Sulawesi
Utara pada tahun yang sama berada pada Rp. 7,36 juta, rata-rata Sulawesi Rp.
6,81 juta dan rata-rata Indonesia yang sebesar Rp. 11.29 juta. Ketertinggalan
tersebut terjadi walaupun perekonomian di Provinsi Gorontalo tumbuh dengan
cepat.
Provinsi Gorontalo mengalami pertumbuhan ekonomi dengan trend yang
terus meningkat sejak tahun 2002. Pertumbuhan ekonomi Gorontalo berada di
kisaran 6,45 persen, terus meningkat menjadi 7,63 persen di tahun 2010 dan
berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 6,1
persen. Perbaikan pendapatan per kapita masyarakat Gorontalo terjadi
peningkatan pada tahun 2008 di mana pendapatan ril per kapita masyarakat
Gorontalo mencapai 6,07 juta yang sebelumnya tahun 2007 hanya sebesar 4,95
juta dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2010 mencapai Rp. 7.72 juta.
Gambar 44 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi & PDRB Perkapita Provinsi
Gorontalo Dan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Thn 2002-2010
Adapun perkembangan persentase Pertumbuhan Ekonomi Provinsi
Gorontalo sejak tahun 1995 ketika masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi
Utara sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 22 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Gorontalo tahun 1995-2010
TAHUN PERSENTASE
1995 7,80
1996 7,30
1997 5,40
1998 (2,40)
1999 6,40
2000 5,80
2001 5,38
2002 6,42
2003 6,88
2004 6,93
2005 7,19
2006 7,30
2007 7,51
2008 7,76
2009 7,54
2010 7,63
Sumber : BPS, Tahun 2010.
Data di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan Gorontalo ketika masih
bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1995 menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu sebesar 7,80 persen jauh lebih
rendah dibanding pertumbuhan ekonomi ketika Gorontalo telah menjadi Provinsi
dimana pada tahun 2001 hanya berada pada 5,38 persen dan pada tahun 2010
berada pada 7,63persen. Dengan demikian memberikan gambaran bahwa,
meskipun pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo mengalami kemajuan yang
cukup pesat, namun bila dibandingkan dengan provinsi induknya Sulawesi Utara,
masih sangat terlihat jauh perbedaannya.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Sejatinya setiap wilayah pemekaran dalam upaya mengimplementasikan
otonomi daerah dilandaskan pada Undang-undang Otonomi DaerahNo.32/2004
yang pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakatnya.Namun upaya ini bukan tidak menemui hambatan, berbagai
macam masalah pembangunan dihadapi seluruh wilayah di Indonesia.Hal utama
dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari sejauhmana peran
pemerintah daerah dalam meningkatkan spembangunan manusia.
Demikian pula halnya yang dialami Propinsi Gorontalo paska otonomi
daerah yang ditandai dengan dimemekarkannya Gorontalo dari Provinsi induknya
Sulawesi Utara. Berbagai masalah pembangunan manusia tersebut sebagaimana
kesimpulan penelitian ini bahwa IPM di Provinsi Gorontalo sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya :faktor-faktor berupa rasio atau banyaknya
tenaga kesehatan per seratus orang penduduk, rasio SMP atau banyaknya murid
SMP terhadap jumlah sekolah SMP, Dummy sebelum dan sesudah Otonomi
Daerah yang menunjukkan bahwa IPM sesudah otonomi daerah lebih baik
dibanding sebelum otonomi daerah, dan dummy kota interaksi dengan laju
pertumbuhan ekonomi yang menujukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi
sangat mempengaruhi IPM di Provinsi Gorontalo, demikian juga dengan dummy
kota interaksi dengan persentase penduduk miskin yang menunjukkan bahwa
menurunnya penduduk miskin sangat mempengaruhi naiknya IPM di Provinsi
Gorontalo.
7.2. Saran
Pemerintah Provinsi Gorontalo pada dasarnya telah melakukan analisis
tentang pembangunan manusia yang dilaksanakan oleh Bappeda Propinsi
Gorontalo pada Tahun 2007 yang lalu, namun dari hasil penelitian ini penulis
memasukkan beberapa saran sebagai berikut:
1. Belum sempurnanya penelitian ini sehingga kiranya perlu menganalisis
lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi IPM secara lebih
mendalam terutama dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan publik
seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan.
2. Kiranya perlu dilakukan pemantapan program ataupun kegiatan yang telah
disepakati bersama oleh semua stakeholder di daerah yang tertuang dalam
Kebijakan Umum APBD dalam upaya peningkatan pembangunan manusia
disektor pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
3. Perlu adanya koordinasi antara berbagai instansi yang berperan dalam
keberhasilan pembangunan manusia baik yang berhubungan dengan
pendataan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya sehingga peningkatan
kualitas pembangunan manusia di Propinsi Gorontalo dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Yuzua, H.F.N. 2006, Disparitas Pembangunan antar KTI dan KBI : Analisis
Beberapa Indikator Makro Ekonomi, Thesis IPB
Anonim, 2007. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearh Kabupaten/Kota,
Gorontalo
Badan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daearah (Bappeda) Provinsi
Gorontalo, Gorontalo. 2009. Sewindu Kinerja Hasil Pembangunan
Provinsi Gorontalo Tahun 2001-2008, Gorontalo
Badan Pusat Statistik (BPS) 2000. Pedoman Penghitungan PDRB Kabupaten,
Buku II, Contoh Penghitungan BPS Jakarta
Badan Pusat Statistik (BPS) 2003. Gorontalo Dalam Angka 2003. Gorontalo :
BPS
_______ 1996Sulawesi Utara dalam angka, Sulawesi Utara: BPS
_______ 1997 Sulawesi Utara dalam angka, Sulawesi Utara: BPS
_______ 1998 Sulawesi Utara dalam angka, Sulawesi Utara: BPS
_______ 1999 Sulawesi Utara dalam angka, Sulawesi Utara: BPS
_______ 2000 Sulawesi Utara dalam angka, Sulawesi Utara: BPS
_______ 2005 Gorontalo dalam angka, Gorontalo : BPS
_______ 2006 Gorontalo dalam angka, Gorontalo : BPS
_______ 2007 Gorontalo dalam angka, Gorontalo : BPS
_______ 2008 Gorontalo dalam angka, Gorontalo : BPS
_______ 2009 Gorontalo dalam angka, Gorontalo : BPS
_______ 2005 Data Dan Informasi Kemiskinan,Buku 2 Kabupaten: BPS
_______ 2006 Data Dan Informasi Kemiskinan,Buku 2 Kabupaten: BPS
_______ 2007 Data Dan Informasi Kemiskinan,Buku 2 Kabupaten: BPS
_______ 2008 Data Dan Informasi Kemiskinan,Buku 2 Kabupaten: BPS
_______ 2009 Data Dan Informasi Kemiskinan,Buku 2 Kabupaten: BPS
_______ 2005 Katalog Indeks Pembangunan Manusia, Jakarta: BPS
_______ 2006 Katalog Indeks Pembangunan Manusia, Jakarta: BPS
_______ 2007 Katalog Indeks Pembangunan Manusia, Jakarta: BPS
_______ 2008 Katalog Indeks Pembangunan Manusia, Jakarta: BPS
_______ 2009 Katalog Indeks Pembangunan Manusia, Jakarta: BPS
_______ 1996 Statistik Keuangan Pemerintah Daerah, Jakarta: BPS
_______ 1997 Statistik Keuangan Pemerintah Daerah, Jakarta: BPS
_______ 1998 Statistik Keuangan Pemerintah Daerah, Jakarta: BPS
_______ 1999 Statistik Keuangan Pemerintah Daerah, Jakarta: BPS
_______ 2000 Statistik Keuangan Pemerintah Daerah, Jakarta: BPS
_______ 2005 Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten-Kota, Jakarta: BPS\
_______ 2006 Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten-Kota, Jakarta: BPS
_______ 2007 Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten-Kota, Jakarta: BPS
_______ 2008 Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten-Kota, Jakarta: BPS
_______ 2009 Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten-Kota, Jakarta: BPS
_______ 1996 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 1997 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 1998 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 1999 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 2000 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 2005 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 2006 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 2007 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 2008 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
_______ 2009 Statistik Pendidikan, Susenas, Jakarta: BPS
Balllantine J. H, 1993, The Sociology of Education; A systematic analysis, third
edition, Prentice Hall Inc, New Jersey
Craig Calhoun and Mc. Graw, 1994.Sociology : sixth edition; -Hill Inc, New York
Inkeles, A. and D. H. Smith, 1976. Becoming Modern; Individual Change in Six
Developing Countries : Massachusetts : Harvard University Press,
Cambridge
J.C. Stanley and K. D. Hopkins, 1978, Educational & pscylogical measurement
&evaluation.: Prentice- Hall of India Private, New Delhi
Juanda, B. 2007, Pemekaran Daerah Serta Implikasinya terhadap APBN.Jurnal
Ekonomi, Volume XXV, Edisi Oktober
Juanda B. 2008, Metodelogi Penelitian Ekonomi dan Bisnis IPB Press, Bogor
Juanda B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan IPB Press, Bogor
Manan. 1989. Antrhoropoligi Pendidikan, Suatu Pengantar, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Proyek Pengembangan Lembaga Pendididkan Tenaga Pendidikan,
Jakarta
Mankiw G. 2007. makro Ekonomi Edisike-6 Terjemahan Jakarta, Penerbit
Erlangga
Mopangga H. 2010, Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan
Ekonomi di Provinsi Gorontalo, thesis IPB
George P. and Moureen Wardhall, 1991, Educational for Development : an
analysis of investment choices, A World Bank Publication, Oxford
University Press
Rasyid, R. 2000 Makna Pemerintah, PT. Mutiara Sumber Widya Jakarta
Rusli S. dan Sumardjo. 2009, Modul kuliah : Pembangunan Kebutuhan Dasar
Manusia Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana, IPB,
Bogor
Rustiadi E., S. Saefulhakim dan D.R. Panuju 2009, Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah ,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Sabarno H. 2004, Gagasan & Pemikiran Membangun Sulawesi, Edisi 1, Pusat
Studi Penelitian & Pengembangan (Puslitbang) Gorontalo Post,
Gorontalo
Segall M.H.and Allynand Bacon,1999. Human Behavior in global perpective an
introduction to cross Cultural ,Psycology, 2nd
edition, Boston
Sjafrizal E. 2007, Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Padang, Badouse Media
Soeboeno, Agoes. 2005 Disparitas Pembangunan Manusia dan Penentuan
Prioritas Pembangunan Sosial di Jawa Timur, Thesis IPB
Soekanto S., 1982, Sosiolog suatu pengantar Jakarta : Raja Grafindo Persada
Stainley J.C. and K.D. Hopkins, 1978, Educational & Psycological measurement
& evaluation, New Delhi : Prentice Hall of India Private
Todaro, M.P & Smith S.C. 2006, Pembangunan Ekonomi. Terjemahan H.
Munandar, Edisi Kesembilan jilid I, Jakarta, Erlangga
UNDP, 1995, Human Development Index 1995, New York, UNDP
Wibowo. E 2008, Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD untuk
meningkatkan kualitas Pembangunan Manusia di Kabupaten Bogor,
thesis IPB
Yanuarta H. 2009, Strategi Alokasi Anggaran Pembangunan Dalam Rangka
peningkatan IPM di Kabupaten Lampung Barat, thesis IPB
Lampiran 1
Hasil Olah Data Faktor-faktor Yang Mempengaruhi IPM di Kota Gorontalo
dan Kabupaten Gorontalo
Dependent Variable: IPM
Method: Panel Least Squares
Date: 07/27/12 Time: 12:01
Sample: 1995 2010
Periods included: 16
Cross-sections included: 2
Total panel (balanced) observations: 32
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
RTK 0.025263 0.004315 5.854572 0.0000
RSMP -0.003607 0.002118 -1.703055 0.1005
D_OTDA 1.853414 0.690586 2.683828 0.0125
D_KOTA_LAPEK 0.445676 0.219044 2.034644 0.0522
D_KOTA_DUKIN -0.115448 0.061792 -1.868343 0.0730
C 62.72790 1.060599 59.14386 0.0000
R-squared 0.694463 Mean dependent var 66.98500
Adjusted R-squared 0.635706 S.D. dependent var 2.323805
S.E. of regression 1.402573 Akaike info criterion 3.681855
Sum squared resid 51.14750 Schwarz criterion 3.956680
Log likelihood -52.90968 Hannan-Quinn criter. 3.772952
F-statistic 11.81924 Durbin-Watson stat 2.290352
Prob(F-statistic) 0.000005
Lampiran 2
DataFaktor-faktor Yang Mempengaruhi IPM Kota Gorontalo
TAHUN IPM DUKIN RASIOPUSKES RASIOPUSTU RASIODOK RASIOTEKES RASIOSD RASIOSMP RASIOSMA LAPEK DUMMY PENDUDUK
1995 67,80 19,325 4,75 24,55 19,01 234,41 25,37 266,80 229,83 8,30 0 126.274
1996 70,50 18,38 4,70 24,26 14,09 251,22 120,64 717,88 813,57 8,95 0 127.778
1997 68,60 17,425 4,64 23,97 17,01 248,22 116,64 633,22 407,57 9,89 0 129.321
1998 67,10 16,475 4,56 24,34 16,73 244,16 117,92 637,30 905,57 2,71 0 131.471
1999 66,70 15,525 4,51 24,03 24,03 243,30 117,99 581,20 949,71 5,43 0 133.170
2000 68,40 14,58 4,45 23,72 14,08 243,83 124,91 596,50 999,14 5,59 0 134.931
2001 63,30 13,625 5,46 28,94 20,02 68,72 126,51 587,00 975,86 5,94 1 135.311
2002 65,40 13,27 5,41 28,56 19,76 67,83 127,30 681,50 529,71 6,41 1 138.644
2003 67,80 10,77 6,07 32,49 22,16 75,61 128,72 358,68 531,14 6,59 1 147.354
2004 69,20 10,90 5,67 23,81 16,24 45,17 153,97 372,21 545,43 6,93 1 148.080
2005 70,40 10,06 5,16 21,10 17,26 102,42 168,88 377,53 578,00 7,19 1 156.390
2006 71,30 9,87 4,42 20,84 16,42 172,39 181,28 399,68 617,86 7,06 1 158.360
2007 71,64 8,11 4,31 20,32 52,33 327,51 179,17 389,90 676,29 7,36 1 162.438
2008 72,12 5,23 4,03 18,98 81,67 273,20 183,34 412,65 671,71 7,43 1 173.867
2009 72,44 5,29 3,83 18,05 66,72 179,37 182,29 413,30 638,14 7,49 1 182.861
2010 73,08 5,49 3,89 18,32 86,05 417,48 187,02 153,52 467,00 7,56 1 180.127
Lampiran 3
DataFaktor-faktor Yang Mempengaruhi IPM Kabupaten Gorontalo
TAHUN IPM DUKINRASIOPUSKESRASIOPUSTU RASIODOK RASIOTEKES RASIOSD RASIOSMP RASIOSMA LAPEK DUMMY PENDUDUK
1995 62,5 26,97 5,37 26,83 9,92 140,96 142,18 286,31 321,00 11,85 0 615.066
1996 66,6 27,83 4,96 24,80 9,17 130,31 141,81 222,14 321 9,85 0 665.327
1997 63,5 28,70 4,94 24,71 9,14 129,86 141,62 282,36 391,00 4,62 0 667.623
1998 66,7 29,56 4,91 26,64 9,08 129,02 147,27 287,03 325,83 -2,58 0 672.006
1999 63,3 30,43 4,89 26,51 9,03 128,41 205,85 307,32 349,63 3,26 0 675.193
2000 64,5 31,29 8,26 44,80 15,27 51,05 79,35 158,63 500,08 4,42 0 399.593
2001 66,8 29,74 5,46 28,94 20,02 68,72 81,43 220,94 518,33 5,86 1 401.702
2002 64,3 36,60 5,41 28,56 19,76 67,83 81,17 214,00 517,83 6,91 1 406.174
2003 64,7 33,97 6,07 32,49 22,16 75,61 82,62 140,54 432,75 6,73 1 406.870
2004 65,4 33,50 5,67 23,81 16,24 45,17 151,10 240,02 517,83 7,62 1 413.778
2005 67,5 34,49 5,16 24,99 8,17 102,42 173,54 231,44 343,83 5,98 1 416.224
2006 67,3 34,36 4,90 24,51 6,07 96,19 169,46 187,96 258,72 7,20 1 428.321
2007 67,8 32,07 4,73 26,01 7,68 107,28 172,56 138,94 335,92 7,45 1 338.381
2008 68,9 24,10 5,89 27,68 7,95 128,38 185,15 137,25 341,92 7,63 1 339.620
2009 69,6 21,48 21,73 78,71 71,08 509,00 174,60 140,69 390,42 7,48 1 340.470
2010 70,1 18,87 23,60 77,81 35,96 486,81 196,52 102,74 351,38 7,62 1 355.988
Lampiran 4
Data Panel Faktor-faktor Yang Mempengaruhi IPMKota Gorontalo &
Kabupaten Gorontalo
TAHUN IPM DUKINRASIOPUS
KES
RASIOPUS
TU
RASIODO
K
RASIOTEK
ESRASIOSD
RASIOSM
P
RASIOSM
ALAPEK
DUMMY
OTDA
DUMMY
KOTAPENDUDUK
1995 67,80 19,325 4,75 24,55 19,01 234,41 25,37 266,80 229,83 8,30 0 1 126.274
1996 70,50 18,38 4,70 24,26 14,09 251,22 120,64 717,88 813,57 8,95 0 1 127.778
1997 68,60 17,425 4,64 23,97 17,01 248,22 116,64 633,22 407,57 9,89 0 1 129.321
1998 67,10 16,475 4,56 24,34 16,73 244,16 117,92 637,30 905,57 2,71 0 1 131.471
1999 66,70 15,525 4,51 24,03 24,03 243,30 117,99 581,20 949,71 5,43 0 1 133.170
2000 68,40 14,58 4,45 23,72 14,08 243,83 124,91 596,50 999,14 5,59 0 1 134.931
2001 63,30 13,625 5,46 28,94 20,02 68,72 126,51 587,00 975,86 5,94 1 1 135.311
2002 65,40 13,27 5,41 28,56 19,76 67,83 127,30 681,50 529,71 6,41 1 1 138.644
2003 67,80 10,77 6,07 32,49 22,16 75,61 128,72 358,68 531,14 6,59 1 1 147.354
2004 69,20 10,90 5,67 23,81 16,24 45,17 153,97 372,21 545,43 6,93 1 1 148.080
2005 70,40 10,06 5,16 21,10 17,26 102,42 168,88 377,53 578,00 7,19 1 1 156.390
2006 71,30 9,87 4,42 20,84 16,42 172,39 181,28 399,68 617,86 7,06 1 1 158.360
2007 71,64 8,11 4,31 20,32 52,33 327,51 179,17 389,90 676,29 7,36 1 1 162.438
2008 72,12 5,23 4,03 18,98 81,67 273,20 183,34 412,65 671,71 7,43 1 1 173.867
2009 72,44 5,29 3,83 18,05 66,72 179,37 182,29 413,30 638,14 7,49 1 1 182.861
2010 73,08 5,49 3,89 18,32 86,05 417,48 187,02 153,52 467,00 7,56 1 1 180.127
1995 62,5 26,97 5,37 26,83 9,92 140,96 142,18 286,31 321,00 11,85 0 0 615.066
1996 66,6 27,83 4,96 24,80 9,17 130,31 141,81 222,14 321 9,85 0 0 665.327
1997 63,5 28,70 4,94 24,71 9,14 129,86 141,62 282,36 391,00 4,62 0 0 667.623
1998 66,7 29,56 4,91 26,64 9,08 129,02 147,27 287,03 325,83 -2,58 0 0 672.006
1999 63,3 30,43 4,89 26,51 9,03 128,41 205,85 307,32 349,63 3,26 0 0 675.193
2000 64,5 31,29 8,26 44,80 15,27 51,05 79,35 158,63 500,08 4,42 0 0 399.593
2001 66,8 29,74 5,46 28,94 20,02 68,72 81,43 220,94 518,33 5,86 1 0 401.702
2002 64,3 36,60 5,41 28,56 19,76 67,83 81,17 214,00 517,83 6,91 1 0 406.174
2003 64,7 33,97 6,07 32,49 22,16 75,61 82,62 140,54 432,75 6,73 1 0 406.870
2004 65,4 33,50 5,67 23,81 16,24 45,17 151,10 240,02 517,83 7,62 1 0 413.778
2005 67,5 34,49 5,16 24,99 8,17 102,42 173,54 231,44 343,83 5,98 1 0 416.224
2006 67,3 34,36 4,90 24,51 6,07 96,19 169,46 187,96 258,72 7,20 1 0 428.321
2007 67,8 32,07 4,73 26,01 7,68 107,28 172,56 138,94 335,92 7,45 1 0 338.381
2008 68,9 24,10 5,89 27,68 7,95 128,38 185,15 137,25 341,92 7,63 1 0 339.620
2009 69,6 21,48 21,73 78,71 71,08 509,00 174,60 140,69 390,42 7,48 1 0 340.470
2010 70,1 18,87 23,60 77,81 35,96 486,81 196,52 102,74 351,38 7,62 1 0 355.988
top related