amir fix word case kulit dka
Post on 26-Oct-2015
115 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Case Report Session
DERMATITIS KONTAK ALERGI
EC SENDAL BAHAN DASAR KULIT
OLEH :
AMIRUDDIN MUSTAQIM
PRESEPTOR:
Dr. QAIRA ANUM, Sp.KK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai dalam bidang industri sangat pesat di
negara ini. Masyarakat sangat mudah memperoleh dan memanfaatkan hasil-hasil industri.
Namun, disamping itu terdapat pula dampak negatif akibat terjadinya kontak kulit manusia
dengan produk-produk industri atau pekerjaan yang dilakukannya. Diantaranya adalah
penyakit dermatitis kontak yang merupakan respon peradangan terhadap bahan eksternal
yang kontak pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan yang merupakan respon non imunologik dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan
oleh mekanisme imunologik spesifik, keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.
Bahan penyebab dermatitis kontak alergik pada umumnya adalah bahan kimia, bahan
yang berhubungan dengan pekerjaan dan dapat pula oleh bahan yang berada disekitarnya.
Disamping bahan penyebab ada faktor penunjang yang mempermudah timbulnya dermatitis
kontak tersebut yaitu suhu udara, kelembaban, gesekan dan oklusi.
Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu dilakukan uji tempel.
Uji tempel bila memungkinkan dilakukan 2 minggu setelah dermatitisnya sembuh. Oleh
karena bila baru saja sembuh, maka ambang rangsang kulit terhadap iritasi maupun sensitasi
menurun. Tujuan uji tempel selain untuk membuktikan bahwa dermatitis yang terjadi adalah
dermatitis kontak alergik, juga untuk menemukan jenis bahan alergen kontak. Supaya
hasilnya dapat dipercaya uji tempel harus selalu disesuaikan dengan riwayat penyakit dan
pemeriksaan klinis serta dilakukan dengan prosedur baku.
1.2. TUJUAN PENULISAN
Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan penyusun maupun
pembaca tentang patogenesis, bagaimana menegakan diagnosis, serta penatalaksanaan
dermatitis kontak alergi.
1.3. BATASAN MASALAH
Laporan kasus ini membahas tentang bagaimana patogenesis, gejala klinis, cara
menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan dermatitis kontak alergi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah peradangan pada daerah kulit akibat kontak
langsung dengan bahan kimia atau biologi yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe
lambat (IV) pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap alergen. 1,13
Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitisasi alergi
terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabakan reaksi peradangan pada kulit
bagi mereka yang mengalami hipersensivitas terhadap alergen sebagai suatu akibat dari
pajanan sebelumnya.2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak
alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif).
Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan
dermatitis kontak alergik kira-kira hanya 20%, tetapi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan
60 persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuwnsi DKA bukan akibat kerja tiga
kali lebih sering daripada DKA akibat kerja. 1
2.3 ETIOLOGI
Penyebab dermatitis kontak alergi adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (< 1000 Dalton). 1
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan,
dan luasnya penetrasi di kulit. Dermatitis kontak alergik terjadi bila alergen atau senyawa
sejenis menyebabkan reaksi hipersensitvitas tipe lamat pada paparan berulang. Dermatitis ini
biasanya timbul sebagai dermatitis vesikuler akut dalam beberapa jam sampai 72 jam setelah
kontak. Perjalanan penyakit memuncak pada 7 sampai 10 hari, dan sembuh dalam 2 hari bila
tidak terjadi paparan ulang. Reaksi yang paling umum adalah dermatitis rhus, yaitu reaksi
alergi terhadap poison ivy dan poison cak. Faktor predisposisi yang menyebabkan kontak
alergik adalah setiap keadaan yang menyebabakan integritas kulit terganggu, misalnya
dermatitis statis. 3
2.4 PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons imun yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase
3
elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisai dapat menderita DKA. Dermatitis
kontak alergika merupakan suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan Anti gen
Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa mempersoalkan keadaan
pertahanan stratum korneum, sehingga meskipun stratum korneum intak, tidak dapat
mencegah terjadinya dermatitis kontak alergi pada individu yang sensitif.1
Reaksi yang menimbulkan dermatitis kontak alergi ini di bagi dalam dua fase : 1,4,5,9-12
1. Fase sensitisasi
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya mempunyai berat molekul
kecil, larut dalam lemak dan ini di sebut sebagai hapten. Hapten akan berpenetrasi menembus
lapisan korneum sampai mencapai lapisan bawah epidermis. Hapten ini akan difagosit oleh
sel Langerhans, kemudian hapten akan diubah oleh enzim lisosom dan sitosolik yang
kemudian berikatan dengan HLA-DR membentuk anti gen. HLA-DR dan anti gen ini akan di
perkenalkan kepada sel limfosit T melalui CD4 (cluster of differentiation-4) yang akan
mengenal HLA-DR dan CD3 (cluster of differentiation-3) yang akan mengenal anti gen yang
telah diproses. Perkenalan ini terjadi di kulit atau di kelenjar limfe regional.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi Sel-T untuk mensekresi IL-2 dan
mengekspresi reseptor IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi Sel-T spesifik,
sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T memori (sel-T teraktivasi) akan
meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut
individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
2. Fase elisitasi
Fase elisitasi ini dimulai saat terjadi pajanan ulang allergen (hapten), setelah difagosit
oleh sel Langerhans dengan cepat akan di kenal oleh sel memori sehingga sel memori akan
mengeluarkan IFN-γ (interferon gamma) yang akan merangsang keratinosit mengekspresikan
ICAM-1 dan HLA-DR pada permukaan keratinosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit
berikatan dengan Sel-T dan sel lekosit yang lain yang mengekspresikan LFA-1 (lymphocyte
associated-1).
Seperti telah kita ketahui HLA-DR akan memungkinkan keratinosit berikatan dengan
Sel-T limfosit dan Sel-T sitotoksik. Di samping itu keratinosit akan memproduksi IL-1, IL-6,
TNF-α, dan GM-CSF yang semua ini akan mengaktivasi sel limfosit T. IL-1 memproduksi
eicosanoid, di mana kombinasi antara eicosanoid dan sitokin- sitokin yang dibentuknya akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag, sehingga akan terbentuklah histamin yang
menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Semua proses
4
yang telah disebut di atas menimbulkan reaksi radang yang kita kenal sebagai dermatitis
kontak alergika.
2.5 GAMBARAN KLINIK
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang
berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya
kelopak mata, penis, skrotum, eritem dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang
kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis, mungkin
penyebabnya juga campuran. 1,6
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang
teliti.
Kriteria diagnosis DKA antara lain : 1
Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa kali atau
satu kali tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa.
Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dengan gejala klinis lebih
ringan serta timbulnya lebih lambat.
Polimorf, rasa gatal.
Riwayat penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya.
Lokasi lesi, misalnya : di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam
tangan, di kedua kaki oleh sepatu/sendal.
Uji tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Dermatitis kontak iritan, sebagai berikut (lihat tabel).
DKA DKI
Serangan Mendadak dalam 1-2 hari pada orang
tersesitisasi.
Lambat, minggu, bulan, tahun
Keluhan Gatal. Perih.
Pemeriksaan Predominan efloresensi akut dan sub
akut. Eritema, edema, vesikel,
Predominan efloresensi khronis
: kering, ragaden. Selanjutnya
5
eksudasi eritem likhenifikasi, ekskoriasi
Penyebab Nikel, khrom, tumbuhan, karet,
plastik, cat, kosetik, obat
Air, sabun, deterjen, pelarut
Perjalanan
penyakit
Sensitifitas bertahan lama, dapat
terjadi toleransi
Condong khronis
Tes tempel + -
Reaksi setelah
tes tempel
Reaksi meningkat (crecendo) Jika terjadi iritasi reaksi
menurun (decrecendo)
Spongiosis Mulai bagian bawah stratum spinosum Mulai lebih kepermukaan
Dermatitis nummularis jika tampilan klinis agak basah, tes tempel negatif.
Dermatitis atopik, terdapat tanda-tanda atopik.
Dermatitis seboroik terutama jika mengenai aksila, tidak ada memakai kontaktan
seperti deodoran.
Psoriasis terutama jika mengenai telapak tangan, yang dominan merah, skuama tebal
seperti lilin dan pustula, kebanyakan tidak gatal.
Tinea pedis jenis hiperkeratosis, jamur positif. 1,6,8
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitifitas kulit ketika kontak dengan
suatu zat. Dasar teori dari uji tempel ini ada memicu respon imun dengan memberikan
sejumlah allergen kepada orang yang sudah tersensitisasi dan menilai derajat respon yang
timbul. Terdapat banyak allergen yang dapat menyebabkan DKA sehingga tidak mungkin
untuk menguji seseorang dengan semua allergen tersebut. Riwayat yang jelas dan observasi
pola dermatitis, lokalisasi pada tubuh, dan tahap perkembangan penyakitnya sangat
membantu dalam menentukan penyebab. Uji tempel dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis, namun harus disertai dengan riwayat penyakit dan gejala klinis penyakitnya.1
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel : 1
1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat
dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’, reaksi positif palsu, dapat juga
menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain),
6
sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di
punggung dihentikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan.
Luka bakar sinar matahari (sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan
juga dapat memberi hasil negatif palsu. Sedangkan anti histamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan
pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu.
Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir
selesai.
5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticarial type), karena dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita
semacam ini dilakuka tes prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama
dilakukan 15 – 30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diui telah meghilang
atau minimal. Hasilnya dicatat sebagai berikut : 1
1 = reaksi lemah (non vesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel ++
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan hanya makula eritematosa (?)
5 = iritasi : seperti terbakar , pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skni
8 = tidak dites (NT=not tested)
Pembacaan kedua dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96
jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik dan respons iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons
positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu
dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai sat minggu setelah aplikasi. 1
Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan
tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi), efek pinggir uji tempel, umumnya
7
karena iritasi, bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang di bagian tengahnya reaksi
ringan atau sama sekali tidak ada. Ini desebankan karena meningkatnya konsentrasi iritasi
cairan dibagian pinggir. Sebab lain oleh karena efek tekan, terjadi bila menggunakan bahan
padat. 1
Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah, vehikulum
tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik, atau longgar akibat pergerakan,
kurang cukup waktu penghentian pemkaiaan kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang
lama dipakai pada area uji tempel dilakukan. 1
2.9 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang terpenting adalah mencari penyebab, yang kadang-kadang agak
sukar, apalagi kalau ada hubungan dengan pekerjaan. Setelah diketahui penyebabnya maka
penyebab harus dihindari.
Obat yang digunakan : 1,4-8
1. DKA akut 3 x 10 mg prednison selama 5 hari dan topical salep / krim kortikosteroid.
2. Jika basah di kompres terlebih dahulu dengan larutan garam faal atau larutan air
salisil 1:1000, setelah kering di beri salep / krim kortikosteroid.
3. Jika terjadi infeksi sekunder diberikan anti biotika.
4. Mengganggu proses patogenesis misalnya : penyinaran dengan sinar ultra violet B
(UV-B) yang menurunkan kemampuan fungsi sel Langerhans dan limfosit, pemberian
Cyclosporine A yang menurunkan fungsi sel Langerhans tanpa efek sitotoksit
terhadap sel Langerhans dan limfosit T.
2.10 PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis
kurang baik dan menjadikronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen
(dermatitis atopi, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak
mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan terentu atau terdapat di
lingkungan penderita.1
BAB III
PRESENTASI KASUS
8
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur/tanggal lahir : 50 tahun/ 15 Maret 1958
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Perumnas Panggambiran, Padang
Status perkawinan : Sudah menikah
Negeri asal : Padang
Agama : Islam
Suku : Jambak
ANAMNESIS
Seorang pasien wanita berusia 50 tahun datang ke poli kulit kelamin RS DR M.
Djamil dengan :
KELUHAN UTAMA
Bercak merah yang terasa gatal di kedua punggung kaki sejak 3 minggu yang lalu
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Bercak merah yang terasa gatal di kedua punggung kaki sejak 3 minggu yang lalu.
Bercak muncul pertama kali 2 bulan yang lalu setelah pasien memakai sendal
berbahan dasar kulit yang baru dibeli, dua hari kemudian timbul bercak kemerahan
dan gatal pada kedua punggung kaki.
Rasa gatal tidak berkurang meskipun sandal sudah dilepas.
Gatal dirasakan saat beraktivitas maupun saat istirahat.
Gatal dirasakan tidak bertambah sewaktu istirahat.
Pasien tidak merasa perih pada daerah punggung kaki.
Tidak ada riwayat kontak dengan detergen dalam waktu lama.
Tidak ada riwayat kontak dengan hewan peliharaan sebelumnya.
Tidak ada riwayat berkebun, bersawah.
Pasien mandi dua 2 kali sehari dan selalu mengganti pakaiaan bersih setiap habis
mandi.
Riwayat memakai handuk, sabun, dan pakaiaan bersama tidak ada.
9
Pasien seorang ibu rumah tangga.
Riwayat merokok dan minum-minuman keras tidak ada.
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Sebelumnya pasien tidak pernah menderita rasa gatal dan kemerahan pada punggung
kaki.
Riwayat menderita DM disangkal.
Riwayat stress emosional disangkal.
Riwayat bersin-bersin dipagi hari disangkal.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA/RIWAYAT ATOPI/ALERGI
Tidak ada anggota keluarga yang menderita rasa gatal dan kemerahan pada punggung
kaki.
Tidak ada riwayat alergi obat.
Riwayat alergi telur dan udang ada.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : baik
Kesadaran : komposmentis kooperatif, GCS 15
Status gizi : baik
Tekanan darah : tidak diukur
Nadi : 80x/menit
RR : 19x/menit
Berat badan : 50 kg, BMI : 19,5
Tinggi badan : 160 cm
Pemeriksaan Thoraks : tidak diperiksa
Pemeriksaan KGB inguinal lateral : tidak diperiksa
STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokasi : kedua punggung kaki
Distribusi : terlokalisir, bilateral
10
Bentuk/ Susunan : mengikuti pola sandal/tidak khas
Batas : tidak tegas
Ukuran : plakat
Efforesensi : plak eritema, skuama putih, likenifikasi, fisur
Status Venereologikus : tidak diperiksa
Kelainan selaput lendir : tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : ditemukan kelainan
Kelainan rambut : ditemukan kelainan
DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis kontak alergi ec (suspek sandal bahan dasar kulit).
DIAGNOSIS BANDING
Tinea pedis.
Dermatitis kontak iritan.
Neurodermatitis.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah rutin : Diharapkan eosinofilia
Urin Rutin : Diharapkan dalam batas normal
Feces : Diharapkan dalam batas normal
PEMERIKSAAN ANJURAN
Uji Tempel (skin patch test).
TERAPI
Umum
Hindari kontak dengan alergen penyebab.
Hindari garukan dan pengelupasan lesi.
Kontrol obat teratur.
Khusus
Sistemik : Prednison 3x10 mg, CTM 3x4 mg.
11
Topikal : Desoksimetason 0,25 % salap, 2 x sehari,
setelah mandi.
PROGNOSIS
Quo ad sanam : bonam
Quo ad vitam : bonam
Quo ad kosmetikam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : bonam
GAMBAR
DAFTAR PUSTAKA
12
1. Sri Adi Sularsito, Suria Djuanda. Dermatitis. In: Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda, dr.
Mochtar Hamzah, Prof. Dr. dr. Siti Aisah (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th
ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; p. 129-138.
2. Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC
3. Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: FKUI.
4. Bos JD, Ed. Skin immune sistem (SIS). Boca Raton Florida: CRP Press, 1990.
5. Rietschel RL, fowler JF. Fisher’s Contact dermatitis, 4th ed. Philadelphia : Lippingcott
William & Wilkins, 2001.
6. Bernhard JD, Ed. Itch mechanism and management of pruritus. New York: Mc Graw
– Hill, 1994
7. Atlas of contact dermatitis. USA, Schering Coorporation, 1985.
8. Leok GS. Contact dermatitis an update. Dalam Eksema permasalahan dan
penanggulangannya. Kumpulan Makalah Ilmiah. Jakarta: Perdoski Jaya 1990:53-59.
9. Subowo. Immunologi klinik. Bandung : Angkasa, 1993.
10. Lidadari D, Pohan SS. Dermatitis akibat pemakaian kosmetika muka. Berkala Ilmu
Penyakit Kulit & Kelamin, 1998; 10: 51-59.
11. Abbas AK, Lichtmana AH, Pober JS. Cellular and moleculer imunulogy, 4th ed.
Philadelphia : WB Saunders, 2000.
12. Lalita, Cipto H, Subaryo RW. Siste imun kulit. MDVI, 1998: 25: 86-94.
13. http://www.comlaw.gov.au/Details/F2011L01753 , diakses tanggal 12 Okt. 12 pukul
15.10 WIB
13
top related