al-jubbai, al-huzail al-allaf dan pemikirannnya
Post on 28-Oct-2015
295 Views
Preview:
TRANSCRIPT
AL-‘ALLA>F, AL-JUBBA>’I DAN PEMIKIRANNYA
Makalah Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Semester I Program
Magister UIN Alauddin Makassar pada Mata Kuliah Sejarah
Pemikiran Islam
Oleh
SY. JAPAR SADIQN I M 80100212177
Dosen Pemandu
Prof. Dr. H. Samiang Katu, M.Ag Dr. H. Muhammad Amri, Lc, M.Ag
PROGRAM PASCA SARJANAUIN ALAUDDIN MAKASSAR
1
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat
filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum
Khawarij dan Mur’jiah. Dalam pembahasan, mereka banyak
menggunakan akal sehingga mereka mendapat nama “kaum
rasionalis Islam”.1
Kontak dengan filsafat Yunani membawa pemujaan akal ke
dalam kalangan Islam. Kaum Mu’tazilah banyak dipengaruhi hal
ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teologi
mereka banyak menggukana akal atau rasio sehingga corak
teologi mereka liberal.2
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi biasa disebut
dalam buku-buku ’Ilm al-Kalam berpusat dari peristiwa yang
terjadi antara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan
Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran yang
disampaikan oleh Hasan al-Basri di Mesjid Basrah. Pada suatu
ketika datang seorang bertanya tentang orang yang berdosa
besar, Khawarij mengklaim mereka kafir, sedang Murji’ah
mengklaim mereka tetap mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih
1 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan ( Jakarta: UI Press, 2012), h. 40.
2 Idem, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta : UI-Press, 2009), h. 33
2
berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri, orang yang
berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
berposisi di antara keduanya, kemudian ia berdiri menjauhkan diri
dari Hasan al-Basri. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan :
i’tazala ’anna (Wasil menjauhkan diri dari kita). Dengan demikian
ia beserta teman-temannya disebut Mu’tazilah.3
Tokoh utama di balik munculnya paham teologi ini adalah
Washil bin 'Atha’. Ia lahir di tahun 81 H, di Madinah dan meninggal
tahun 131 H. Ajaran-ajaran yang dibawanya adalah paham al-
manzilat baina al-manzilatain (posisi di antara dua posisi bagi
pembuat dosa besar), paham qadariyyah dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan.4
Adapun murid-murid wasil yang melanjutkan pemikiranya
antara lain adalah, Abu al-Huzail al-‘Alla>f, al-Naz}z}a>m, dan
Abu Ali al-Jubba>'i.5
Dalam makalah ini membahas tokoh aliran Mu’tazilah yang
meliputi; Abu al-Huzail al-‘Alla>f, dan Abu Ali al-Jubba>'i dan
ajaran-ajaranya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan masalah sebagai
berikut:
3 Lot. Cit4Harun Nasution, Teologi Islam, h. 44-455Abdul Azis Dahlan, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran dalam Islam
(Cet. I; Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 75.
3
1. Siapa Abu al-Huzail al-‘Alla>f, dan Abu Ali al-Jubba>'i serta
bagaimana pokok ajaran-ajaranya ?
2. Bagaimana perkembangan Mu’tazilah dan pengaruhnya di
dunia Islam ?
BAB II
SEJARAH TIMBULNYA MU’TAZILAH DAN TOKOHNYA
A. Sejarah Timbul Mu’tazilah
1. Sejarah Timbulnya Mu’tazilah.
Golongan ini muncul pada masa pemerintahan Bani
Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran Islam pada
masa pemerintahan Bani ‘Abbas dalam masa yang cukup
panjang. Para ulama berbeda pendapat pada waktu munculnya
golongan ini. Sebagian berpendapat, golongan ini mulai timbul
sebagai satu kelompok di kalangan pengikut ‘Ali. Mereka
mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih ke
masalah akidah ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk
digantikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Mengenai hal ini Abu
al-Hasan al-Thara’ifi dalam bukunya Ahl al-ahwa’ wa al-Bida’
4
menyatakan “ Mereka menamakan diri dengan mu’tazilah ketika
Hasan Ibn ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan
khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan,
Mu’awiyah dan seuma orang lain, mereka menetap di rumah-
rumah dan di masjid-masjid. Mereka berkata, kami bergelut
dengan ilmu dan ibadah6.
Menjelang akhir kekuasaan Bani Umayyah dipertengahan
abad VIII M, muncullah aliran baru yang disebut Mu’tazilah.
Mu’tazilah menolak dua aliran yang mendahuluinya yaitu
Khawarij dan Murji’ah, dan mengatakan bahwa sebenarnya
pelaku dosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi
berada pada posisi menengah antara mukmin dan kafir. Ajaran
ini dalam Mu’tazilah disebut al-Manzilat Bayna al-Manzilatain.
Secara historis dapat dikatakan bahwa ajaran inilah yang
menandai lahirnya Mu’tazilah. Paham tersebut untuk pertama
kalinya dikemukakan oleh Wasil Bin ‘Atha’ yang dikenal sebagai
tokoh Mu’tazilah7. Mu’tazilah adalah sebutan bagi orang-orang
yang memisahkan diri dari jamah Hasan al-Bashri, yang dipimpin
oleh Washil bin Atha’. Walaupun selanjutnya Washil bin Atha
menamakan diri kelompoknya dengan sebutan Ahl al-‘Adl wa al-
Tauhi>d.8 Istilah Mu’tazilah sebenarnya telah muncul sejak abad
I H. Istilah tersebut dialamatkan kepada para sahabat yang
6Imam Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-Maza>hib al-Isla>miyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, dengan judul Aliran Politik dan Aliran Islam (Cet.I; Jakarta:Logos Publishing House, 1991), h. 149.
7Hamka Haq, Dialog: Pemikiran Islam, ( Makassar: Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah Utami, 2000) h. 8.
8Sahilun A. Natsir, Pengantar ilmu Kalam, (Cet. II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994) h. 93.
5
memisahkan diri atau bersikap netral dalam masalah-masalah
politik ketika terjadi pertikaian antara Usman bin Affan dan ‘Ali
bin Abi Thalib. Akan tetapi, jika memperhatikan keadaan
masyarakat dan situasi politik serta latar belakang lahirnya
Mu’tazilah di atas, tidak ada hubungan antara Mu’tazilah yang
muncul abad pertama hijriah dengan Mu’tazilah yang dipelopori
Washil bin Atha. Yang pertama akibat kemelut politik, yang
kedua didorong persoalan keimanan.9
Berbagai analisis dimajukan tentang pemberian nama
Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku
‘Ilmu Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil
bin ‘Atha’ serta temanya ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di
Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang
diberikan Hasan al-Basri di mesjid Basrah. Pada suatu hari
datang seorang bertanya tentang status orang yang berdosa
besar. Sebagai mana diketahui kaum Khawarij memandang
mereka kafir sedang kaum Murji’ah memandang mereka
mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil
mengeluarkan pendaptnya sendiri dengan mengatakan bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi mengambil posisi diantara ke duanya; tidak mukmin
dan tidak pula kafir.” Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri
dari Hasan al-Basri dan pergi ke tempat lain di mesjid. Di sana ia
mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-
Bas}ri mengatakan: “ Was}il menjauhkan diri dari kita (i’tazala
9M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Cet. II; Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1994) h.. 113-114.
6
‘anna>). “ Dengan demikian ia serta teman-temanya disebut
kaum Mu’tazilah.10
Versi lain yang diberikan oleh Ta>sy Kubra> Za>dah,
menyebutkan bahwa Qata>dah Ibn Da’amah pada suatu hari
masuk ke Mesjid Basrah dan menuju ke majelis ‘Amr Ibn ‘Ubaid
yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri. Setelah
mengetahui bahwa itu bukan majelis Hasan al-Basri ia berdiri
dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum
Mu’tazilah.” Semenjak itu, menurut Ta>sy Kubra> Za>dah,
mereka disebut kaum Mu’tazilah.11
Asal-usul penamaan Mu’tazilah cukup sulit untuk diketahui
secara pasti, berbagai pendapat para ahli menunjukkan
perbedaan pendapat di antara mereka. Nama Mu’tazilah
merupakan designasi bagi aliran teologi rasional yang sifatnya
liberal dalam Islam timbul setelah peristiwa Washil bin Atha’
dengan Hasan al-Bashri di Basrah, inilah yang bersifat umum dan
yang dimaksud dalam penulisan ini.
2. Al-Us>ul al-Khamsah.
Mengenai al-Us}ul al-Khamsah secara harfiah berarti lima
dasar. Mu’tazilah memahami dan meyakini bahwa ada lima dasar
dalam akidah Islam yaitu; al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id,
al-Manzilah Baina al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-
10 Abu Al-Fath al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, juz 1 (Cet. I:Beirut; dar al-Kutub al-Ilmiah,1410 H/1990M) h. 42.
11 Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilm al-Kala>m (Kairo:t.p,1969) h. 75.
7
Nahyi ‘an al-Munkar. Kelima dasar keyakinan tersebut
merupakan prasyarat untuk menjadi kaum Mu’tazilah.
Al-Tauhid, (pengesaan Tuhan) yang merupakan inti paham
Mu’tazilah; maksudnya pemurnian esensi Tuhan; Tuhan tidak
memiliki sifat-sifat. Lebih lanjut Washil bin Atha’ mengatakan,
Tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud
tersendiri yang melekat pada Zat Tuhan. Abu al-Huzail mencoba
membawa penyelesaian. Tuhan betul mengetahui tetapi bukan
dengan sifat melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya
dan pengetahuan-Nya adalah Zat-Nya demikian seterusnya dan
sifat-sifat lainnya12.
Al-‘Adl, (prinsip keadilan Tuhan). Menurut paham
Mu’tazilah, Allah tidak menyukai kerusakan, dan tidak
menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang
melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang dengan
kudrat yang diberikan dan ditetapkan Allah kepada mereka.
Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-
hal yang bertentangan dengan perintah-Nya.
Al-Wa’ad wa al-Wa’id, (prinsip janji dan ancaman).
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa janji berupa balasan kebaikan
dan ancaman berupa siksaan tidak mustahil diturunkan. Janji
Allah tentang pahala atas kebaikan akan terjadi, janji siksaan
atas kejahatan juga akan terjadi.13
12Syahrin Harahap dkk, Eksiklopedi Islam,( Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003) h. 457.
13Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 199) h. 47.
8
al-Manzilat Baina al-Manzilatain (posisi di antara dua
posisi). Washil bependapat bahwa orang Islam yang berbuat
dosa besar tidaklah kafir, bukan pula mukmin, tetapi mengambil
posisi antara kafir dan mukmin. Kalau orang Islam tersebut
bertaubat sebelum dia meninggal maka ia akan masuk surga,
tetapi kalau orang Islam tersebut belum sempat bertaubat, maka
ia akan masuk neraka selama-lamanya, namun azab yang ia
terima lebih ringan dari azab yang diterima oleh orang kafir.14
Al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy ‘an al-Munkar, (prinsip
menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran). Prinsip ini
adalah dasar yang kelima dari dasar-dasar paham Mu’tazilah
yang disepakati. Kaum mu’tazilah menetapkan bahwa semua
muslim wajib melakukan upaya tersebut untuk menyiarkan
dakwah Islam dan menunjuki orang yang sesat serta mencegah
serangan orang yang mencampuradukkan kebenaran dan
kebatilan sehingga mereka tidak dapat menghancurkan Islam.
B. Tokoh Penting (al-Allaf, dan al-Jubbai), dan
Perkembangan al-Mu’tazilah sebagai Aliran Kalam,
serta Pengaruhnya di Dunia Islam.
1. Al-Alla>f.
a.Biografi Al-Alla>f
Termasuk tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan
Mu’tazilah adalah al-Allaf. Nama lengkapnya Muhammad bin
al-Huzail al-Allaf. Ia merupakan seorang tokoh Mu’tazilah
14Abu Al-Fath al-Syahrasta>ni, op. cit. h. 39.
9
yang menjadi pemimpin kedua Mu’tazilah cabang Basrah
setelah Washil bin 'Atha’. Ia lahir pada tahun 135 / 751 M,
tiga tahun setelah berdirinya Daulah Abbasiyah dan wafat
pada tahun 235 H/849 M.15 Ia menyaksikan aliran Mu’tazilah
mencapai puncak kekuasaannya di dalam imperium Islam
dan juga turut menyaksikan kemunduran dan tumbangnya
aliran Mu’tazilah dari kekuasaannya pada masa khalifah al-
Mutawakkil.16
b.Pemikiran Al-Alla>f
Di antara pemikirannya yang berbeda dengan tokoh-tokoh
al-Mu’tazilah adalah:
a. Allah itu ‘Alim (Maha Mengetahui) dengan dzat-Nya,
Allah itu Qadir (Maha Berkuasa) dan Qudrah Allah
adalah dzat-Nya, demikian seterusnya. Singkatnya dia
meniadakan seluruh sifat selain dzat Allah sebagaimana
yang dilakukan oleh Wasil akan tetapi dia lebih
mendalam.
b. Alam memiliki cakupan dan batasan karena alam
adalah hal yang baru, termasuk surga dan neraka.
15Harun Nasution, Teologi, h. 47. 16Joesoef Sou’eyb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam
Pikiran Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982) h. 212.
10
c. Manusia terbebani taklif (kewajiban) yang mampu
dibedakan oleh akal antara yang baik dan yang buruk
meskipun tanpa syariat atau wahyu.
d. Ajaran al-s}ala>h wa al-as}lah (Allah wajib berbuat
baik dan terbaik).17
akibat lama berhubungan dengan filsafat Yunani.18
Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya dengan nafy al-
Sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Tuhan mengetahui bukan
dengan sifat, malahan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
pengetahuan-Nya adalah zat-Nya. Pendapat selanjutnya,
mengenai kemampuan manusia menggunakan akalnya untuk
mengetahui Tuhan, oleh karena itu manusia yang lalai
mengetahui Tuhan diberi ganjaran, begitu juga baik dan buruk.
Kelihatan sekali pendapatnya dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
Yunani.
Tuhan menciptakan manusia bukan karena Ia berhajat pada
mereka, tetapi karena nikmat lain. Dan Tuhan tidak menghendaki
kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Inilah landasan
paham al-salah wa al-aslah, dalam arti Tuhan wajib mewujudkan
yang baik.19
c. Pengikut Abu Huzail Al-’Alla>f
17Azyumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 M) h. 97.
18 Abu Mans}ur al- Bagda>di>, al-Farqu baina al-Firaq (S}aida>: al-T{ab’ah al-As}riyah, t.th) h. 131.
19 Harun Nasution, Teologi, h. 47-48
11
Pengikut Abu Huzail al-’Alla>f, mendasarkan ajaran mereka
pada sepuluh kaidah :
1) Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
pengetahuan-Nya adalah zat-Nya.
2) Allah mempunyai keinginan, tetapi tidak mempunyai
tempat
3) Perkataan Allah sebagian tidak punya tempat seperti
kata ”Kun” , sebagian berbentuk perintah, larangan,
berita dan pemberitahuan. Perintah untuk penciptaan
bukan untuk taklifi
4) Manusia bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan
Allah di dunia ini, tapi di Akhirat perbuatan manusia
diciptakan Allah karena bila diusahan berarti manusia
mendapat taklif.
5) Manusia di surga kekal mendapat nikmat begitu pula
yang ada di neraka selamanya mendapat siksaan.
6) Kemampuan manusia hanyalah selain kesehatan.
Perbuatan hati tidak sah bila tidak ada kemampuan,
tetapi perbuatan anggota badan sah meski tidak ada
kemampuan.
7) Seseorang menjadi mukallaf sebelum datangnya wahyu
karena baik buruk dapat ditentukan akal.
8) Seseorang bila tidak dibunuh akan mati pada waktu itu
juga tidak mungkin ditambah atau dikurangi umurnya.
Adapun masalah rezki, yaitu yang diciptakan Allah
12
sebagai rezkinya, sedang yang diharamkan maka bukan
rezki.
9) Iradah Allah bukan apa yang Allah kehendaki. Kehendak
Allah ketika meciptakan yaitu penciptaan untuk ciptaan-
Nya. Penciptaan-Nya untuk sesuatu bagi-Nya bukan
sesuatu. Tetapi penciptaan bagin-Nya adalah perkataan
bukan sesuatu yang bertempat.
10) Dalam masalah yang gaib, tidak dapat ditetapkan
kecuali dengan khabar 20 orang dan di antara 20 orang
itu ada seorang atau lebih yang menjadi ahli surga.20
Paham inilah yang menjadi landasan pokok para
pengikut Abu Huzail Al-’Alla>f
2. Al-Jubbai.
a. Biografi Al-Jubbai
Al-Jubbai, merupakan tokoh yang berpengaruh dalam
perkembangan Mu’tazilah. Nama lengkapnya adalah Abu
'Ali Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Jubba'i. Lahir pada
tahun 295 H, dan wafat pada tahun 321 H. Dia adalah guru
dari Abu Hasan al-Asy’ari pendiri aliran Asy-ariyah.21
b. Pemikiran Al-Jubbai
Terkait dengan sifat Tuhan, al-Jubba'i berpendapat
bahwa Tuhan itu mengetahui sesuatu melalui esensi (Zat)
Nya, Ia maha kuasa dan hidup melalui esensi-Nya. Olehnya
20 Abu Al-Fath al-Syahrasta>ni, op. cit. h. 64-67.21 Harun Nasution, Teologi, h. 66.
13
itu, untuk mengetahui sesuatu, Tuhan tidak perlu pada sifat
mengetahui, dan tidak pula perlu pada keadaan
mengetahui.22 al-Jubba’i juga mengatakan bahwa Allah
menciptakan "kalam-Nya" sendiri di tempat pembacaan
kapan saja seorang manusia membacakan Al-Qur’an.23
Demikianlah pemikiran dari tokoh yang berpengaruh
dalam aliran mu’tazilah, yang pada intinya pemikiran
mereka tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh yang lainya
atau pemikiran yang satu dengan yang lainnya hampir
sama karena mereka pada hakikatnya menggunakan rasio.
c. Pengikut Al-Jubbai
Pengikut al-Jubbai mendasarkan pemahaman mereka di
antaranya
1) Tetapnya seluruh yang ada
2) Adanya Allah berkata dengan suatu perkataan,
Dia menciptakannya pada suatu tempat
3) Tidak bisanya melihat Allah di dunia dan di
akhirat
4) Untuk mengetahui baik dan buruk dan berterima
kasih terhadap nikmat Allah dapat dicapai dengan
akal. Syariat terbagi dua; syariat akal dan syariat
nabi.
22 Ibid., h.51-52.23 Abu al-‘Izz al-Dimasyqi, Syarh al-Aqi>dah al-T}ahawiyah, jilid 1
(Cet.10; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1417 H/1997 M) h. 173.
14
5) Persoalan imamah dan kekeramatan para wali
dan sahabat mereka mengingkari, tetapi tetap
mengakui kema’suman para nabi dan rasul.24
3. Peristiwa al-Mihnah dan Perkembangan
Mu’tazilah sebagai Aliran Kalam, serta
Pengaruhnya di Dunia Islam
Peristiwa al-mihnah terjadi sekitar tahun 198 H.
sampai dengan tahun 232 H. Hanya saja pelaksanaannya
nanti diterapkan secara efektif di tengah masyarakat mulai
pada tahun 218 H. Hal itu dilakukan karena adanya
kekhawatiran akan mendapat tantangan dari masyarakat
di masa awal pemerintahan al-Makmun. Berawal dari
Khalifah al-Makmun terkontaminasi oleh paham Mu’tazilah
yang dimiliki oleh Ahmad bin Abu Du'ad. Dia berusaha
mempengaruhi Khalifah dan menelurkan ide untuk
melaksanakan mihnah untuk menjernihkan akidah
masyarakat terutama soal doktrin “Al-Qur’an adalah
Makhluk”. Akhirnya, pada tahun 212 H, mulailah al-
Makmun menganut paham Mu’tazilah.
Pada masa pemerintahan al-Makmun, diterapkan
empat macam tingkatan sanksi atas mereka yang
membangkang, yaitu pertama, mereka yang menolak
tidak dapat diterima kesaksiannya di pengadilan, kedua,
bagi mereka yang bekerja sebagai guru atau muballigh
24 Abu Al-Fath al-Syahrasta>ni, op. cit. h. 90-96.
15
diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah,
ketiga, jika masih menolak akan dicambuk dan dirantai,
kemudian dimasukkan ke dalam penjara, dan keempat,
proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati
dengan leher dipancung.25
Pada masa pemerintahan al-Watsiq (842-847 M./227-
232 H.), dia masih menjalankan kebijakan al-mihnah.
Bahkan pada masa ini, pernah dikeluarkan perintah untuk
membunuh Ahmad bin Nashr al-Khuza’iy, seorang ulama
yang mendukung pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal
tentang ke-qadiman al-Qur'an. Akibatnya, beberapa tokoh
dan ulama mati di penjara karena mempertahankan
pendapat mereka, di antaranya : Na’im bin Hammad, dan
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti.26
Seiring dengan terpilihnya Khalifah al-Mutawakkil
sebagai pengganti khalifah al-Wasiq (232/847), ajaran
Mu’tazilah dihapuskan dari mazhab negara dan digantikan
dengan ajaran al-Asy’ariyyah.27 Dengan demikian,
berakhirlah riwayat al-Mihnah pada masa ini, dan pengaruh
kaum Mutazilah pun mulai menurun. 28
Adapun perkembangan Mu’tazilah sebagai aliran
kalam dan pengaruhnya dalam dunia Islam adalah,
kelompok Mu’tazilah pada mulanya lahir sebagai reaksi
25Hamka Haq, op. cit, h. 11. 26Joesoef Sou’eyb, op. cit, h. 177-179.27Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 191.28Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran (Cet. IV;
Bandung: Mizan, 1996), h. 65.
16
terhadap paham-paham yang dikemukakan oleh golongan
Khawarij dan golongan Murjiah. Kemudian Mu’tazilah
muncul dengan pemahamanya dengan konsep al-Manzilah
bain al-Manzilatain bahwa sesungguhnya orang yang
berdosa besar dia bukan kafir dan bukan pula mu’min.
Setelah golongan Muktazilah mencapai puncak kepesatan
dan kemegahannya pada masa Al-Makmun dan al-
Mu’tashim, tidak berapa lama kemudian aliran ini akhirnya
mengalami kemunduran. Kondisi itu utamanya terjadi pada
masa khalifah al-Mutawakkil. Walaupun demikian, aliran ini
tidak serta merta hilang dari permukaan. Dalam beberapa
catatan sejarah disebutkan bahwa beberapa pengikutnya
yang setia masih tetap eksis dan menjadi tokoh penting
dan ulama produktif. Sebut saja misalnya, al-Khayyath
yang muncul pada akhir abad ke III H. Kemudian Abu Bakar
al-Zamakhsyari (w. 320 H./932 M.) yang muncul pada abad
ke IV H. yang dikenal dengan tafsirnya al-Kasysyaf.
Pengaruh kedua tokoh tersebut sangat besar di kalangan
kelompok Ahlussunnah wa al-Jama’ah.29
Selanjutnya paham ini berkembang menjadi aliran
kalam yang dikenal dengan nama Mu’tazilah.
Kemunculannya seiring dengan telah banyaknya umat
Islam yang melakukan kontak dengan pemikiran Filsafat
Yunani yang dikenal menjadikan akal sebagai power dalam
berfikir sampai-sampai menilai benar-salahnya sesuatu
29Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet.XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h.100.
17
menurut ukuran rasio. Ibarat tersengat retorika berfikir
tersebut, orang-orang Mu’tazilah pun amat tertarik dengan
filsafat tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika
aliran Mu’tazilah ini banyak berpegang pada rasio dalam
membicarakan perkara-perkara teologi.30
Meskipun aliran Mu’tazilah tidak lagi menjadi satu
golongan namun tidak dapat disangkal bahwa
perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan falsafah dalam
Islam tidak lepas dari peran serta pengaruh paham
Mu’tazilah yang lebih mengutamakan akal dalam
memahami dan memecahkan persoalan-persoalan teologi.
Bahkan, menurut Harun Nasution, di zaman modern dan
kemajuan iptek sekarang ini, ajaran-ajaran Mu’tazilah yang
bersifat rasional tersebut telah tumbuh kembali di
kalangan umat Islam, terutama di kalangan kaum
terpelajar.31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
30Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995) h. 63.
31Harun Nasution, Teologi. h. 60.
18
1. Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah berawal dari adanya
perbedaan pendapat tentang orang yang berdosa besar,
apakah dia kafir atau tetap mukmin. Kemudian Mu’tazilah
berpendapat bahwa dia tidak kafir dan tidak pula mu’min
atau berada di antara dua tempat, dengan kata lain al-
Manzilat Bayn al-Manzilatain. Paham tersebut untuk
pertama kalinya dikemukakan oleh Wasil Bin ‘Atha’ yang
dikenal sebagai aliran Mu’tazilah. Kemudian berkembang
menjadi konsep Lima Dasar (al-Ushul al-Khamsah) yakni
al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d wa al-Wa’id, al-Manzilah Baina
al-Manzilatain, dan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahyi ‘an al-
Munkar.
2. Adapun termasuk tokoh yang berpengaruh dalam
perkembangan Mu’tazilah adalah al-Allaf, dan al-Jubbai
dalam pendapat-pendapatnya tidak jauh beda yang satu
dengan yang lainya karena masing-masing menggunakan
rasio.
3. Adapun pengaruhnya dalam dunia Islam atau zaman
modern ini ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional
tersebut telah tumbuh kembali di kalangan umat Islam,
terutama di kalangan kaum terpelajar.
19
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 199)
Al-Bagda>di, Abu Mans}ur >, al-Farqu baina al-Firaq (S}aida>: al-T{ab’ah al-As}riyah, t.th)
Al-Dimasyqi, Abu al-‘Izz, Syarh al-Aqi>dah al-T}ahawiyah, jilid 1 (Cet.10; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1417 H/1997 M)
Al-Syahrastani, Abu Al-Fath, al-Milal wa al-Nihal, juz 1 (Cet. I:Beirut; dar al-Kutub al-Ilmiah,1410 H/1990M)
Asmuni, M. Yusran, Ilmu Tauhid (Cet. II; Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1994)
Azra, Azyumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 M)
Dahlan, Abdul Azis, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Beunebi Cipta, 1987)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Teologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet.XI; Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Haq, Hamka, Dialog: Pemikiran Islam, ( Makassar: Yayasan al-Ahkam, Cv. Berkah Utami, 2000)
Harahap, Syahrin dkk, Eksiklopedi Islam,( Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003)
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta : UI-Press, 2009)
_____________, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996)
_____________, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2012)
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah Islamiyah IV) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
Natsir, Sahilun A., Pengantar ilmu Kalam, (Cet. II ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)
Sou’eyb, Joesoef, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Alam Pikiran Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Husna, 1982)
Subhi, Ahmad Mahmud, Fi ‘Ilm al-Kala>m (Kairo: t.p, 1969)
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Ta>ri>kh al-Maza>hib al-Isla>miyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan
20
Ahmad Qarib, dengan judul Aliran Politik dan Aliran Islam (Cet.I; Jakarta:Logos Publishing House, 1991), h. 149.
top related