abstrak - sinta.unud.ac.id · dan pendekatan konseptual.adapun sumber bahan hukum dalam penelitian...
Post on 09-Mar-2019
249 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “Kewenangan Partai Politik Terhadap Pemberhentian
Anggota DPR Terkait Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”.Partai politik
mempunyai peran strategis dalam negara demokrasi.UUD NRI 1945 telah mengatur
kedudukan partai politik dalam kehidupan bernegara di Indonesia.Partai politik
adalah satu-satunya organisasi yang dapat menjadi peserta pemilu dan mengajukan
calon untuk mengisi jabatan-jabatan politik.Salah satu kewenangan partai politik
adalah mengajukan calon anggota DPR baik di pusat maupun di daerah.Selain
mengajukan calon anggota DPR, partai politik berwenang memberhentikan anggota
partai politik yang duduk di DPR. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini membahas
dua pokok permasalahan yaitu yang berkaitan dengan kewenangan partai politik
terhadap pemberhentian anggota DPR di Indonesia serta tentang konstruksi
pengaturan terhadap ketentuan pemberhentian anggota DPR terkait tindak pidana
korupsi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif.Hal ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan secara normatif
dengan mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan yang terdapat dalam hukum
yang mengatur terkait ketentuan pemberhentian anggota DPR di Indonesia.Dalam
penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan
dan pendekatan konseptual.Adapun sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa partai politik mempunyai peran sangat
penting dalam demokrasi dan penyelenggaaraan negara.Selain diberikan kewenangan
untuk mengajukan calon-calon untuk mengisi jabatan-jabatan politik di eksekutif dan
legislatif, partai politik juga diberikan kewenangan untuk melakukan pergantian dan
pemberhentian anggota DPR.Terkait dengan pemberhentian anggota partai yang
duduk di DPR seharusnya mengatur ketentuan yang sangat penting seperti masalah
korupsi.Hal ini sebagai langkah pencegahan dan dalam upaya mewujudkan
penyelenggara negara yang bebas KKN, sebab korupsi mempunyai dampak sangat
serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Dengan demikian judicial review
dalam ketentuan Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik perlu dilakukan, yang
selanjutnya dilakukan direvisi. Hal ini untuk mengisi kekosongan norma hukum
terkait ketentuan pemberhentian anggota partai politik di DPR yang disebabkan
tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Kewenangan, Partai Politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Tindak Pidana Korupsi.
viii
ii
ABSTRACT
The thesis is entitled “The Authority of Political Parties against Dismissal of
Member of Parliament Related to Corruption in Indonesia". Political parties have a
strategic role in a democratic country. Indonesian 1945 Constitution regulates the
status of political parties in the state life in Indonesia. Political parties are the only
organization that can become participants in the elections and nominate candidates
to fill political positions. One of the authorities of political parties is to nominate
candidates of legislators both at the central and regional levels. In addition to
nominating candidates for members of Parliament, political parties also have the
authority to dismiss members of political parties in the Parliament. Departing from
this issue, this study discusses two main problems related to the authority of political
parties against the dismissal of the members of the House of Representatives in
Indonesia as well as on construction of the arrangements for the provision of
dismissal of members of parliament tied to corruption.
The method used in this study is a normative legal research. It aims to clarify
normatively to identify and analyze the weaknesses contained in the relevant
provisions of the law governing the dismissal of members of the House of
Representatives in Indonesia. This study uses two approaches, namely legal approach
and conceptual approaches. The source of legal materials in this research is primary,
secondary and tertiary legal materials.
The study results show that political parties have a very important role in
democracy and runningthe country. In addition to the authority ofnominating
candidates to fill political positions in the executive and legislative, political parties
are also given the authority to replacement and dismissal of members of the House of
Representatives. Related to the dismissal of members of the party sitting in
Parliament, the political parties should set very important conditions such as the
problem of corruption. This serves as a precautionary measure and efforts to realize
corruption-free state officials, because corruption has a very serious impact on the
life of the nation. Thus the judicial review provided for in Article 16 of Law No. 2 of
2011 concerning the Amendment Act No. 2 of 2008 on Political Parties needs to be
done, and then revised. This is to fill the void of legal norms tied to provisions of the
dismissal of members of political parties in the House of Representatives due to
corruption.
Keywords: Authority, Political Party, House of Representatives (DPR), Corruption.
ix
iii
RINGKASAN
Tesis ini berjudul “Kewenangan Partai Politik Terhadap Pemberhentian Anggota
DPR Terkait Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” ini terbagi dalam 5 (lima) bab
pembahasan yaitu:
BAB I, merupakan awal dari bagian Tesis ini yang menguraikan tentang latar
belakang masalah yang berkaitan dengan peran penting partai politik pasca
amandemen UUD 1945.UUD NRI 1945 telah memberikan wewenang yang besar
kepada partai politik untuk mengajukan calon pada jabatan-jabatan politik. Di
samping diberikan wewenang mengajukan calon untuk mengisi jabatan-jabatan
politik, partai politik juga diberikan wewenang untuk melakukan pemberhentian
(recall) kepada anggota DPR. Dalam hal ini terdapat kekosongan norma dalam
substansi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.2
Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam kaitannya dengan syarat pemberhentian
anggota DPR akibat melakukan tindak pidana korupsi. Di samping latar belakang,
pada bab ini terdapat rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.
BAB II, bab ini berisi tentang tinjauan umum dalam Tesis ini, yang meliputi uraian
tentang partai politik, DPR dan tindak pidana korupsi. bab ini diawali dengan
menguraikan tentang perkembangan partai politik di Indonesia, yang kemudian
dilanjutkan dengan pengertian partai politik. Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU
No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, menentukan bahwa:“Partai politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk olehsekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentinganpolitik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhanNegara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.Tinjauan umum
x
iv
partai politik ini juga menguraikan tentang jenis dan fungsi partai politik dan sistem
kepartaian.Kemudian dalam bab ini juga diuraikan tentang kedudukan DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat dengan tugas dan fungsinya menurut UUD NRI 1945 dan
undang-undang terkait. Bagian akhir dari bab ini menguraikan tentang tindak pidana
korupsi, yang dimulai dari pengertian tindak pidana korupsi dilanjutkan dengan
pendapat para ahli tentang penyebab tindak pidana korupsi dan konsepsi bahwa
korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
BAB III, bab ini merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yang
menguraikan tentang kewenangan pemberhentian anggota DPR oleh partai politik di
Indonesia. Lebih lanjut dalam bab ini menjelaskan tentang fungsi dan hak anggota
DPR dalam sistem demokrasi perwakilan. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat
dalam negara demokrasi adalah salah satu pilar yang sangat penting, karena lembaga
ini berfungsi untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat.Didalam gagasan
demokrasi perwakilan kekuasaan tertinggi (kedaulatan) tetap ditangan rakyat, tetapi
dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri.Agar wakil-wakil
rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil
rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai
wakil rakyat, anggota DPR juga diberikan hak-hak tertentu yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam bab ini juga di uraikan tentang kewenangan
partai politik dalam kaitan dengan pemberhentian anggota DPR. Selain mempunyai
kewenangan rekrutmen, untuk pengisian jabatan-jabatan politik, partai politik juga
diberikan kewenangan untuk mengganti dan memberhentikan keanggotaan seseorang
di partai politik sekaligus di DPR.
BAB IV, bab ini merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua yang
menguraikan konstruksi pengaturan terhadap pemberhentian anggota DPR terkait
tindak pidana korupsi. Pada bab ini didahului dengan uraian tentang mekanisme dan
ketentuan pemberhentian anggota DPR. Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 22B
UUD NRI Tahun 1945, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
xi
v
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.Pasal
16 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai politik, telah mengatur ketentuan pemberhentian anggota partai politik
sekaligus anggota DPR. Yang menjadi persoalan bahwa dalam Pasal 16 tersebut tidak
mengatur tentang pemberhentian anggota partai di DPR karena permasalahan
korupsi, padahal kita tahu bahwa dampak korupsi ini sangat serius dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dari uraian tersebut dalam bab ini, dijelaskan tentang
konstruksi pengaturan terhadap ketentuan pemberhentian anggota DPR dalam kaitan
dengan tindak pidana korupsi. Konstruksi ideal dan penting dalam upaya
mewujudkan penyelenggara negara yang bersih bebas KKN, yaitu dengan merevisi
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, khususnya Pasal 16 ayat (1) dengan mensyaratkan ketentuan pemberhentian
anggota DPR karena tindak pidana korupsi. Sebagai negara hukum tentu hukum
harus ditegakkan dengan tetap menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia.
BAB V, pada bab ini merupakan bagian penutup yang berisi simpulan dan saran dari
hasil penelitian ini. Simpulan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa dalam UUD
NRI Tahun 1945, partai politik diberikan wewenang sangat besar dalam proses
bernegara. Partai politik dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah satunya-satunya
organisasi yang menjadi peserta pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden serta
calon anggota DPR pusat dan daerah. Selain itu partai politik juga diberikan
wewenang untuk melakukan pemberhentian anggota partai politik di DPR. Adanya
kekosongan norma pada Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 dalam hal pemberhentian
anggota DPR yang disebabkan melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian
perlu judicial review dan merevisi Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 tersebut, dengan
merumuskan penambahan syarat pemberhentian anggota partai politik di DPR karena
melakukan tindak pidana korupsi.
xii
vi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ........................................................................... i
PRASYARAT GELAR MAGISTER ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ……. .................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................ vi
ABSTRAK ...................................................................................... viii
ABSTRACT ..................................................................................... ix
RINGKASAN……............................................................................ . x
DAFTAR ISI ................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... . 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................... . 9
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................... 9
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................. 9
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................ 9
1.4.Manfaat Penelitian ................................................................... 9
1.4.1. Manfaat Teoritis ........................................................ 9
1.4.2. Manfaat Praktis .......................................................... 10
1.5.Orisinalitas Penelitian ............................................................... 10
xiii
vii
1.6. Landasan Teoritis ...................................................................... 12
1.6.1. Teori Demokrasi ......................................................... 12
1.6.2. Teori Negara Hukum .................................................. 16
1.6.3. Teori Kewenangan……………………………………. 24
1.6.4. Teori Perundang-Undangan…………………………… 30
1.6.5. Teori HAM.................................................................. 35
1.7. Metode Penelitian .................................................................... 39
1.7.1. Jenis Penelitian ........................................................... 40
1.7.2. Jenis Pendekatan ......................................................... 40
1.7.3. Sumber Bahan Hukum .............................................. 43
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .......................... 46
1.7.5. Teknik Analisa Bahan Hukum .................................... 47
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK
DALAM PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR DAN TINDAK
PIDANA KORUPSI ……………………………………………… 49
2.1. Partai Politik .......................................................................... 49
2.1.1. Pengertian Partai Politik……………………………… 54
2.1.2. Jenis dan Fungsi Partai Politik………………………. 57
2.1.2.1. Jenis Partai Politik…………………………. 57
2.1.2.2. Fungsi Partai Politik……………………….. 58
2.1.2.3. Sistem Kepartaian…………………………. 61
2.2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)…………………………….. 65
xiv
viii
2.3. Tindak Pidana Korupsi………………………………………… 68
2.3.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi…………………… 69
2.3.2. Pendapat Ahli Tentang Penyebab Tindak
Pidana Korupsi……………………………………………… 73
2.3.3. Konsepsi Tindak Pidana Korupsi Merupakan
Kejahatan Luar Biasa……………………………………….. 76
BAB III KEWENANGAN PARTAI POLITIK
TERHADAP PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR
TERKAIT TINDAK PIDANA KORUPSI………………………. 81
3.1. Fungsi Dan Hak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam Demokrasi Perwakilan………………………………….. 81
3.2 Kewenangan Partai Politik Terhadap Pemberhentian
Anggota DPR Di Indonesia…………………………………….. 100
BAB IV KONSTRUKSI PENGATURAN TERHADAP
KETENTUAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR TERKAIT
TINDAK PIDANA KORUPSI …………………………………… 121
4.1. Mekanisme dan Ketentuan Terhadap Pemberhentian Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia……………………………. 121
4.2. Konstruksi Pengaturan Terhadap Ketentuan Pemberhentian Anggota
DPR Oleh Partai Politik Terkait Tindak Pidana Korupsi…………… 139
xv
ix
BAB V PENUTUP………………………………………………….. 159
5.1. Simpulan .................................................................................... 159
5.2. Saran .......................................................................................... 160
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… 161
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pasca reformasi keberadaan partai politik sangat mewarnai kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam berbagai perhelatan politik, partai politik
menjalankan peran penting yang menentukan. Amandemen UUD 1945, memberikan
ruang yang cukup besar terhadap partai politik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Di masa orde baru hanya terdapat 3 peserta pemilu (PPP, PDI dan Golkar), era
reformasi telah membuka kran-kran kebebasan yang selama pemerintahan orde baru
dilarang. Kebebasan berpendapat, berkumpul dan berpolitik diberikan ruang yang
cukup besar kepada masyarakat.Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur bahwa:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat”.
Partai politik mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia, sebab partai politik diberikan wewenang untuk
mengajukan kader-kader terbaiknya untuk dicalonkan mengisi jabatan-jabatan politik
dari pusat sampai daerah.Kewenangan yang cukup besar dan menentukan yang
diberikan oleh UUD NRI 1945 inilah yang menempatkan partai politik mempunyai
posisi sangat strategis.
Salah satu fungsi penting partai politik adalah rekrutmen politik yaitu proses
untuk pengisian jabatan-jabatan politik. Terkait dengan fungsi rekrutmen politik ini
1
2
telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Partai Politik.
Pasal 29 ayat (1) menentukan bahwa:Partai politik melakukan rekrutmen
terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi:
a. anggota Partai Politik;
b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan memperhatikan kedudukan partai politik yang diatur baik di dalam
UUDNRI 1945 dan UU No. 2 Tahun 2011, jelas bahwa partai politik merupakan pilar
demokrasi yang berperan penting bagi kelangsungan suatu negara. Dapat pula
dikatakan bahwa partai politik merupakan penentu bagi kemajuan atau kemunduran
suatu bangsa, sebab para pemangku kekuasaan dari pusat sampai daerah berasal dari
partai politik.
Partai politik di negara kita adalah pemasok utama legislator atau
wakilrakyat.1 Hal ini sebagaimana telah diatur dalam konstitusi kita, bahwa untuk
menjadi wakil rakyat melalui pemilihan umum harus menjadi anggota partai politik
dan melalui pencalonan yang dilakukan oleh partaipolitik.
1 Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, 2012, Reformasi Sistem Multi Partai Dan
Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif, dalam Ichlasul Amal, Dkk, Editor, Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, h. 177.
3
Selain diberikan kewenangan untuk mengajukan calon-calon untuk mengisi
jabatan-jabatan politik, partai politik juga diberikan kewenangan untuk melakukan
pergantian dan pemberhentian seseorang dari keanggotaanya di partai politik
sekaligus di DPR yang dikenal dengan istilah “recall”
Terkait dengan kewenangan tersebut di atas Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur
bahwa:
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannyadari Partai
Politik apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota
lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai
Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan tujuan secara umum partai politik sesuai ketentuan Pasal 10 huruf
a dan Pasal 10 huruf d UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang masih
berlaku saat ini adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
4
Ketentuan Pasal 10 huruf a dan huruf d UU No. 2 Tahun 2008 tersebut di atas
jelas, bahwa keberadaan partai politik semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat dan bukan malah sebaliknya mengkorupsi uang rakyat. Banyaknya anggota
DPR yang terlibat kasus korupsi saat ini menunjukkan bahwa partai politik belum
mampu mewujudkan tujuan dari partai politik itu sendiri.
Diibaratkan penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap
yaitu:
1. Tahap elitis, bahwa korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas
dilingkungan para elit/pejabat;
2. Tahap endemik, bahwa korupsi mewabah menjangkau lapisan
masyarakat luas;
3. Tahap sistemik, tahap ini adalah tahap paling kritis, bahwa semua
individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa.2
Dari ketiga tahap tersebut boleh jadi penyakit korupsi di Indonesia telah
sampai pada tahap sistemik, dimana tidak hanya melibatkan individu, tetapi telah
mewabah di lembaga negara baik, di eksekutif, legislatif dan lembaga penegak
hukum.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat
lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar
biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasanya tidak lagi dapat dilakukan secara
biasa, tetapi dituntut dengan cara-cara luar biasa pula.
2Ermansjah, Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 21.
5
Banyaknya penyelenggara negara, khususnya anggota DPR yang terlibat
kasus korupsi, mengindikasikan gagalnya pendidikan politik dan sistem rekrutmen
yang dilakukan oleh partai politik. Sebagai penyelenggara negara, anggota DPR yang
melakukan tindak pidana korupsi merupakan orang-orang yang dicalonkan oleh partai
politik.
Pasal 1 ayat (2) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menentukan bahwa:
“Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-
asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.”
Menurut Reydonnyzar Moenek, salah satu alasan maraknya anggota
DPR/DPRD dan Kepala Daerah tersangkut kasus hukum terutama tindak pidana
korupsi adalah adalah pelaksanaan pemilukada langsung dan model rekrutmen
terbuka.3 Dimana siapa saja dapat menjadi anggota DPR/DPRD dan Kepala Daerah,
ditambah lagi tingginya biaya pencalonan, sehingga mereka akan mencari cara untuk
mengembalikan modalnya.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik harus bersih dari tindak
pidana korupsi. Banyaknya kader partai politik, khususnya di DPR yang terjerat
kasus korupsi mengindikasikan gagalnya sistem pengkaderan. Pemberian sanksi yang
tegas terhadap kader yang terindikasi melakukan korupsi mutlak dilakukan.
3Ruslan, Ismail Mage, 2013, Berpolitik Dengan Biaya Murah (Solusi Mencegah Politisi
Korupsi), Thafa Media, Yogyakarta, h. 250-251.
6
DPR merupakan lembaga perwakilan politik yang merupakan wadah penyalur
aspirasi rakyat seluruh Indonesia, sehingga wewenang yang dijalankan hak-hak yang
dipergunakan oleh DPR adalah cermin dari kehendak rakyat. Keberadaan DPR
dimaksudkan sebagai lembaga yang harus merepresentasikan kepentingan rakyat
yang diwakili, sehingga hubungan yang harmonis antara negara dengan rakyat dapat
diwujudkan berdasarkan mekanisme yang harmonis diatas idealisme, bahwa
keberadaan negara adalah untuk mensejahterakan rakyat.
Menurut Faisal, Djabbar, korupsi adalah “milik pemegang kekuasaan”
Penanggulangan korupsi politik, dalam hal ini terhadap kader partai politik, menuntut
adanya aturan hukum dan prosedur penerapan hukum yang spesifik. Sebab hal ini
menyangkut kejahatan yang berdimensi kekuasaan politik dan pihak yang
mempunyai kekuatan ekonomi.4
Mengingat tindak pidana korupsi merupakan kategori kejahatan luar biasa,
maka pemberantasannya pun harus dengan cara-cara yang luar biasa pula.Apalagi
korupsi dilakukan oleh wakil rakyat dalam hal ini anggota DPR, maka partai politik
seharusnya dengan kewenangan yang di miliki harus berkontribusi lebih besar dalam
memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kader-kadernya di DPR.
Korupsi di DPR merupakan fenomena yang cukup serius pada periode 2009-
2014. Hal ini di mulai dengan kasus M. Nazarudin, Angelina Sondakh, Anas
Urbaningrum yang juga ketua umum Partai Demokrat dan M. Lutfi Hasan yang juga
4Sarifuddin, Suding, 2014, Perselingkuhan Hukum & Politik Dalam Negara Demokrasi,
Rangkang Education, Yogyakarta, h. 235.
7
menjadi ketua umum Partai Keadilan Sejahtera, ditangkap KPK karena kasus korupsi.
mantan anggota DPR tersebut melakukan tindak pidana korupsi yang melibatkan
pihak lain dan sangat merugikan keuangan negara. Selanjutnya pada akhir 2016 KPK
juga menangkap anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti terkait tindak pidana
korupsi.
Menurut Blechinger, partai politik sering dilihat sebagai bagian dari masalah
korupsi. Partai politik telah diidentifikasi sebagai aktor kunci dalam hal
penyalahgunaan kekuasaannya dalam sistem politik.5
Dalam upaya mewujudkan penyelenggara negara yang bebas KKN, dan
mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya yang melibatkan
anggota partai politik di DPR, maka ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, terjadi kekosongan
norma hukum.
Terjadinya kekosongan norma hukum dalam Pasal 16 ayat (1) tentang
ketentuan terhadap syarat pemberhentian anggota partai politik di DPR terkait tindak
pidana korupsi, tentu membawa dampak masih terjadinya praktik korupsi anggota
DPR. Sebagai organisasi yang diberikan wewenang mengajukan calon-calon untuk
jabatan politik, undang-undang partai politik seharusnya ada pengaturan terkait
pemberhentian anggota partai Politik di DPR yang disebabkan tindak pidana
korupsi.Sebab korupsi tidak hanya bertentangan dengan tujuan partai politik, korupsi
juga sangat bertentangan dengan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam
5Ibid, h. 236.
8
pembukaan UUD Tahun 1945 dan bertentangan dengan fungsi DPR sebagai wakil
rakyat.
Ketentuan tentang syarat pemberhentian anggota DPR yang diatur dalam
Pasal 16 (1) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik saat ini, dalam ukuran sangat umum seperti karena meninggal
dunia, pindah partai dan melanggar AD/ART. Sementara faktor pemberhentian
karena tindak pidana korupsi tidak diatur, padahal dampak korupsi sangat besar.
Akibat korupsi negara tidak akan mampu membiayai pembangunan, baik
pembangunan ekonomi dan pertahanan. Pada akhirnya negara akan lumpuh dan
rakyat menderita, serta stabilitas keamanan terganggu akibat meningkatnya
kriminalitas dan lemahnya pertahanan negara. Meskipun tindak pidana korupsi secara
khusus telah diatur dalam undang-undang tipikor, namun mengingat DPR dicalonkan
oleh partai politik, tepat apabila ketentuan terhadap syarat pemberhentian anggota
DPR karena korupsi diatur dalam undang-undang partai politik.
1.2.Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kewenangan partai politik dalam pemberhentian
anggota DPR terkait tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah konstruksi pengaturan terhadap pemberhentian anggota
DPR oleh partai politik terkait tindak pidana korupsi?
9
1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terkait
pemberhentian keanggotaan seseorang di partai politik dan di DPR yang
melakukan tindak pidana korupsi.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sebagaimana rumusan
permasalahan di atas adalah:
1. Untuk mengkaji kewenangan partai politik terhadap
pemberhentian anggota DPR yang melakukan tindak pidana
korupsi;
2. Untuk mengkaji tentang kontruksi pengaturan terhadap
pemberhentian anggota DPR terkait tindak pidana korupsi.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan:
1. Pengembangan wawasan keilmuan penulis, serta menambah khasanah
ilmu hukum;
2. Memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan kewenangan partai
politik dalam pemberhentian anggota DPR di Indonesia.
10
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemahaman tentang kewenangan partai politik terhadap
pemberhentian anggota partai politik di DPRyang telah diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran umumnya untuk DPR dan pemerintah dan secara
khusus untuk partai politik, terkait pengaturan kedepan tentang
pemberhentian anggota DPR yang melakukan tindak pidana
korupsi, yang belum diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
1.5.Orisinalitas Penelitian
Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang diajukan penulis
merupakan hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan
pemikiran tentang fungsi penting partai politik dalam sistem ketatanegaraan.
Penulis menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki
bahasan hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan partai politik
antara lain:
a) Tesis dengan judul “Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan
DPR Dalam Sistem Ketetatanegaraan di Indonesia”.PenulisStevanus
Evan Setio, mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
11
tahun 2013.Dalam penelitian tersebut menekankan pembahasan pada
aspek hak recall partai politik dan konsekuensi yuridis terhadap hak
recall, yang dirumuskan dalam dua pokok permasalahan yaitu apakah
hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik sesuai denganprinsip-
prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan Apakah
konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada
ditangan kekuasaan partai politik.
b) Selanjutnya terdapat juga penelitian yang berjudul “Kebijakan
Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Menuju Sistem Multi Partai
Sederhana Dalam Era Reformasi 1998-2012”. Penelitian ini dilakukan
oleh Rika Anggraini, dari Universitas Indonesia, tahun 2013.Dalam
penelitian ini hal yang dikaji adalah kebijakan penyederhanaan, akibat
hukum dan konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan
partai politik di Indonesia.
c) Kemudian ada penelitan tentang partai politik juga, yang berjudul
“Perkembangan Koalisi Partai Politik Di Dewan Perwakila Rakyat
Republik Indonesia Dalam Era Reformasi Tahun 1998-2002”.
Penelitian ini dilakukan oleh Ummi Illiyina, dari Universitas
Indonesia, tahun 2012. Dalam tesis ini yang dikaji adalah tentang
pengaruh koalisi partai politik terhadap pelaksanaan fungsi
pengawasan DPR RI.
12
Dari ketika penelitian tersebut di atas, maka dalam penelitian yang penulis
lakukan mempunyai perbedaan mendasar tentang fokus kajian. Meskipun substansi
yang dibahas sama yaitu tentang partai politik, tetapi dalam penelitian ini penulis
lebih fokus pada kewenangan partai politik dalam pemberhentian anggota DPR yang
melakukan tindak pidana korupsi
1.6. Landasan Teoritis
Dalam rangka pemecahan permasalahan sebagaimana telah diuraikan dalam
rumusan masalah, maka akan dipergunakan beberapa teori dan pendapat para ahli
terkait dengan penelitian ini. Berikut ini teori-teori yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini, yaitu: Teori Demokrasi, Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan,
Teori Perundang-Undangan dan Teori Hak Asasi Manusia.
1.6.1. Teori Demokrasi
Pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat
yang berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah
(pemerintahan rakyat). Kedaulatan rakyat merupakan atribut negara yang
keberadaannya bersifat mutlak dan menyeluruh, artinya harus dimiliki setiap negara.
Sedangkan demokrasi adalah suatu bentuk penyelenggaraan pemerintahan, artinya
demokrasi dipandang sebagai suatu bentuk dan cara penyelenggaraan pemerintahan
terbaik oleh negara-negara yang mengklaim negara modern.6
6 Eddy Purnama, 2007, NegaraKedaulatan Rakyat, Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan
Indonesia dan Perbandingannya Dengan Negara-negara Lain, Nusamedia, Bandung, h. 42.
13
Demokrasi sendiri secara etimologis (tinjauan bahasa) terdiri dari dua kata
berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat (penduduk suatu
tempat) dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan (kedaulatan). Jadi secara
bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya
kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan
bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.7
Menurut Harris Soche, demokrasi adalah :
“bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan melekat pada
diri rakyat, diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak
untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan
pemerkosaan orang lainatau badan yang diserahi untuk memerintah.”8
C.F. Strong berpendapat bahwa, demokrasi adalah:
“Sebagai suatu sistem pemerintahan dalam hal mana mayoritas anggota dewasa
dari masyarakat politik ikut serta melalui cara perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya
kepada mayoritas itu. Dengan kata lain negara demokrasi didasari oleh sistem
perwakilan yang menjamin kedaulatan rakyat”.9
Hendry B. Mayo, sistem politik demokratis adalah :
“sistem yang menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan
dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.10
7 Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 67. 8 Sarifuddin Sudding, Op.Cit, h.19. 9 Eddy Purnama, Op.Cit, h.43. 10Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
14
Robert A. Dahl mengemukakan delapan kriteria bagi negara demokrasi, adalah
sebagai berikut:11
1) Ada kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi
(freedom to form and join organization);
2) Ada kebebasan untuk menyatakn pendapat (freedom of expression);
3) Ada hak untuk memilih (the right to vote);
4) Ada hak untuk dipilih (eligibility for public office);
5) Ada hak bagi peserta politik untuk berkampanye guna memperoleh
dukungan suaru rakyat (the right of political leaders to compete for
support and vote);
6) Ada pilihan terhadap berbagai sumber informasi (alternative sources of
onfprmation);
7) Ada pemilihan umum yang bebas dan jujur (free and fair elections); dan
8) Ada lembaga-lembaga yang membuat kebijaksanaan pemerintah
berdasarkan kepada keinginan rakyat (institution for making government
police depend on vote and other expression of preferens).
Pandangan tentang demokrasi sebagai konsep bangsa indonesia, mencapai
titik Kristal pada saat Bung Karno menyampaikan pemikirannya tentang “Geo
Politik” di depan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang berisi antara lain, bahwa dasar
kebangsaan Indonesia adalah mufakat, dasar perwakilan dan dasar permusyarawatan.
Beliau sampaikan bahwa, syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia adalah
permusyawaratan perwakilan.12
Pandangan Bung Hatta tentang demokrasi Indonesia adalah harus mencakup
baik bidang politik maupun ekonomi. Lebih lanjut beliau sampaikan sebagai berikut:
“Di atas sendi yang pertama dan kedua, dapat didirikan tiang-tiang politik
daripada demokrasi yang sebenarnya satu pemerintahan negeri yang
11 Eddy Purnama, Op. Cit, h. 48. 12Ibid,h. 57.
15
dilakukan oleh rakyat, dengan perantaraan wakil-wakilnya atau badan-badan
perwakilan.Sedangkan yang menjalankan kekuasaan pemerintahan senantiasa
tahluk pada kemauan rakyat.Untuk menyususn kemauan itu, rakyat
mempunyai hak yang tidak dapat dihilangkan atau dibatalkan, yaitu hak
merdeka bersuara, berserikat dan berkumpul.”13
Wujud konkrit konsep demokrasi di Indonesia, kemudian dirumuskan di
dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa: “Kedaulatan adalah
di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Setelah amandemen ketiga UUD 1945, perihal demokrasi diatur dalam Pasal 1 ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar “.
Teori demokrasi dalam kaitan dengan partai politik tentu sangat terkait,
dimana dalam negara demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat. Rakyat mempunyai
kekuasaan untuk memilih wakil-wakilnya untuk menduduki jabatan politik di
eksekutif dan legislatif. Wakil-wakil rakyat ini dalam negara hukum demokratis
dipilih melalui sarana partai politik dalam pemilihan umum.
Dalam sistem demokrasi, penyelenggaraan negara itu harus bertumpu pada
partisipasi dan kepentingan rakyat. Hubungan antara negara hukum dan demokrasi
tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk
dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut
Magnis Suseno, demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti
13Ibid, h. 58.
16
yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan
kontrol atas negara hukum.14
Dari uraian tentang teori demokrasi tersebut di atas bahwa dalam negara
demokrasi, partai politik berperan penting dalam jalannya suatu negara.salah satu
contohnya adalah bahwa partai politiklah yang dapat mencalonkan para pemimpin
dari pusat sampai di daerah melalui pemilu.
1.6.2. Teori Negara Hukum
Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua
istilah dalam bahasa asing yaitu:
a) Bahasa Belanda istilahnya Rechsstaat, digunakan untuk menunjuk tipe
negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem
Eropa Kontinental atau civil law system.
b) Bahasa Inggris menggunakan istilah Rule of Law, untuk menunjuk tipe
negara hukum dari negara Anglo Saxon atau negara-negara yang
menganut common law system (Inggris, Amerika, dan negara-negara
bekas jajahan Inggris). Sedangkan tipe negara hukum yang diterapkan
14Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo, Jakarta, h. 8. (Selanjutnya
disebut Ridwan I)
17
di negara-negara Sosialis-Komunis, menggunakan istilah socialist
legality, antara lain Rusia, RRC dan Vietnam.15
Adapun perbedaan Rechsstaat dan Rule of Law secara konseptual antara lain
dapat disebutkan bahwa, konsep Rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang
absolutisme, sehingga berwatak revolusioner. Sedangkan Rule of Law lahir dari
perkembangan yurisprudensi, sehingga bersifat evolusioner.16
Di dalam Penjelasan UUDNRI 1945, ditegaskan bahwa Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak atas dasar kekuasaan
belaka (machtstaat).Rechsstaat atau negara hukum diartikan negara yang
penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip-prinsip hukum, untuk
membatasi kekuasaan pemerintah. Sedangkan machtstaat diartikan negara yang
penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan kekuasaan belaka. Dengan demikian
segala tindakan dalam penyelenggaraan negara ini harus tunduk dan dibatasi oleh
hukum.
Pasca amandemen ketiga UUD 1945, diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUDNRI
1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini menegaskan bahwa untuk
menghindari kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan. Dengan
15 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157. (Selanjutnya disebut Atmadja I) 16Ibid
18
demikian “negara hukum Indonesia” menjadi bukan suatu prinsip, tetapi benar-benar
normatif.17
Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang
mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang artinya
semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang diperintah (rakyat)
harus tunduk pada hukum.18
Menurut Frederich Julius Stahl ahli hukum Eropa Kontinental memberikan
ciri-ciri negara hukum menggunakan istilah rechtstaat, terdiri atas 4 (empat) unsur
pokok, yaitu:
a) pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia;
b) pembagian kekuasaan;
c) pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang; dan
d) adanya peradilan administrasi.19
Sedangkan Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey memuat 3 (tiga)
unsur yaitu sebagai berikut:
a) supremasi hukum (supremacy of law);
b) persamaan dihadapan hukum (equality before the law);
c) perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu.20
17Ibid, h. 158. 18Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78. 19Jazim Hamidi, dkk., 2012, Teori Hukum Tata Negara, A Turning Point Of The State,
Salemba Humanika, Jakarta, h. 144. (Selanjutnya disebut Jazim Hamidi I)
19
Dalam hubungannya dengan supremacy of law A.V. Dicey menjelaskan lebih
lanjut sebagai berikut:
“The absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the
influence of the arbitrary power and excludes the existence of arbitrariness of
prerogative, or even wide discretionary authority on the part of the
government. Englishmen are ruled by the law, and by the law alone, a man
may with us be punished for a breach of law, but he can be punished for
nothing elase”21
(Supremasi absolut atau keunggulan hukum regular sebagai kebalikan dari
pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan kesewenag-
wenangan prerogatif, atau wewenang diskresi yang luas pada pihak
pemerintah. Orang Inggris diatur oleh hukum, dan hanya oleh hukum,
seseorang barang kali dihukum bersama kami untuk suatu pelanggaran
hukum, dia boleh dihukum tetapi bukan untuk hal lain).
Menurut Brian Tamanaha, ada dua versi negara hukum dalam diskursus
tentang negara hukum, yaitu;
1) Negara hukum formal yang bersendikan: pembatasan kekuasaan
negara, pemerintahan berdasarkan hukum dan pemerintahan yang
dipilih secara demokratis;
2) Negara hukum substantif yang mengutamakan: pemenuhan hak-hak
asasi, pengutamaan manusia dan keadilan dan kesejahteraan warga
(welfare).22
Lebih lanjut Tamanaha berpendapat, bahwa prinsip negara hukum rule of law
sedikitnya memiliki enam bentuk, yaitu:
1) Rule by law;
Hukum hanya difungsikan sebagai instrumen dalam penyelenggaraan
pemerintahan.Hukum hanya dimaknai dan difungsikan sebagai
20Ibid 21Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 121. 22Moh. Mahfud MD, dkk, 2011, Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif Urgensi Dan Kritik,
Epistema Institute dan Hema, Jakarta, h. 134.
20
instrumen kekuasaan belaka. Derajat kepastian dan prediktibiltasnya
sangat tinggi, sehingga sangat disukai oleh para pelaku kekuasaan,
baik kekuasaan politik maupun ekonomi, the rule of law dalam tafsir
kaum liberal;
2) Formal legality;
Dalam bentuk ini negara hukum dicirikan memiliki beberapa sifat
yang meliputi: prinsip prospektivitas dan tak boleh retroaktif, berlaku
umum, mengikat semua orang, jelas, publik, dan relatif stabil. Dalam
pengertian ini prediktibilitas hukum sangat diutamakan.
3) Democracy and legality;
Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin
kepastian hukum. Namun demikian, sebagai a procedural mode of
legitimation, demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan
yang serupa dengan formal legality, sehingga bisa juga memunculkan
praktik-praktik buruk kekuasaan otoritarian.
4) Individual rights;
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak milik, kontrak pribadi,
dan otonomi seseorang
5) Rights of dignity; Jaminan terhadap martabat seseorang, termasuk jaminan atas hak atas
keadilan.
6) Social welfare.
Persamaan yang sifatnya mendasar dan hakiki, jaminan kesejahteraan,
dan terjaganya terpeliharanya seseorang dalam komunitasnya.23
Adapun prinsip-prinsip negara hukum menurut J.B.J.M. ten Berge adalah
sebagai berikut:
1) Asas legalitas;
2) Perlindungan hak asasi manusia;
3) Pemerintah terikat oleh hukum;
4) Monopoli pemerintah untuk menjamin penegakan hukum;
5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka.24
Pengertian negara hukum dihubungkan dengan organisasi intern dan struktur
negara yang diatur menurut hukum. Setiap tindakan penguasa maupun rakyatnya
23 Wahyudi Djafar, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum, Jurnal Konstitusi
Volume 7 Nomor 5, h.163. 24Ridwan I, Op.Cit, h. 9.
21
harus berdasarkan hukum, sekaligus dicantumkan mengenai tujuan negara hukum,
yaitu menjamin hak-hak asasi rakyatnya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia sebagaimana dikutip A. Muktie Fadjar, negara
hukum (rechtstaat) yang dilawankan dengan negara kekuasaan (machstaat)
dirumuskan sebagai berikut:
“Negara hukum (rechtstaat), negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan
ketertiban umum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang
terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan
terganggu, agar semuanya berjalan menurut hukum. Sedangkan negara
kekuasaan (machtstaat), negara bertujuan untuk memelihara dan
mempertahankan kekuasaan semata”.25
Menurut Soepomo, dalam UUDS RI 1950, telah mengartikan istilah negara
hukum yaitu:
“….bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum, artinya
negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum, berlaku pula
bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. negara hukum menjamin
adanya tertib hukum dalam masyarakat, artinya memberi perlindungan hukum
pada masyarakat antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik”.26
Sedangkan Muhammad Yamin, selain menggunakan padanan kata negara
hukum dengan rechtstaat, digambarkan juga tentang makna negara hukum itu sendiri
sebagai berikut:
“Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechtstaat, government of
law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polis atau negara
militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan,
25Jazim Hamidi, 2009, Teori Dan Politik Hukum Tata Negara, Total Media, Jakarta, h. 39-40.
(Selanjutnya disebut Jazim II) 26Ibid, h. 39.
22
bukanlah pula negara kekuasaan (machtstaat) tempat tenaga senjata dan
kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”.27
Philipus M. Hadjon berpendapat, latar belakang yang menopang konsep
rechtstaat maupun konsep rule of law, berbeda dengan latar belakang Negara
Republik Indonesia. Dengan demikian isi konsep negara hukum tidaklah begitu saja
dengan mengalihkan konsep rechtstaat maupun konsep rule oflaw, meskipun
kehadiran istilah negara hukum berkat pengaruh kedua konsep tersebut.28
Jadi negara hukum Indonesia, bukanlah terminologi terjemahan dari
rechtstaat dan rule of law, tetapi merupakan suatu “konsep”. Dengan demikian tepat
menurut Hadjon, negara hukum Indonesia diberi atribut “Negara Hukum
Pancasila”.29
Lebih lanjut Philipus M. Hadjon menyampaikan ciri-ciri negara hukum
Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Hubungan antara pemerintah dan rakayat berdasarkan asas kerukunan;
2) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara;
3) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan
sarana terakhir;
4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.30
27Muhammad Yamin, 1952, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan,
Jakarta, h. 75. 28Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, h.72. (Selanjutnya disebut Philipus I) 29Ibid 30Ibid, h. 85.
23
Jimly merumuskan dua belas prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat) yang
berlaku pada jaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar
utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut
sebagai negara hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang
sebenarnya.31
Kedua belas prinsip pokok negara hukum menurut Jimly tersebut adalah:
1) Supremasi hukum (supremacy of law);
2) Persamaan dalam hukum (equality before the law);
3) Asas legalitas (due process of law);
4) Pembatasan kekuasaan;
5) Organ-organ eksekutif independen;
6) Peradilan bebas tidak memihak;
7) Peradilan tata usaha negara;
8) Peradilan tata negara;
9) Perlindungan HAM;
10) Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat);
11) Berfungsi sebagai sarana mewuju7dkan tujuan bernegara (welfare
rechtsstaat);
12) Transparansi dan kontrol sosial.32
Konsep negara hukum yang dianut di Indonesia, bahwa UUD NRI Tahun
1945 sebagai hukum tertinggi, yang menjadi pedoman untuk semua peraturan yang
ada di bawahnya. Pada tesis ini, penulis menggunakan teori negara hukum yang
menekankan pada asas legalitas serta pembatasan kekuasaan dan menjadikan hukum
sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara.
31Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
h.127 (Selanjutnya disebut Jimly I). 32Ibid, h. 127-133.
24
1.6.3. Teori Kewenangan
Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi
administrasi negara sebagai alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan
pemerintahan, dan warga negara memiliki hak dan kewajiban mendapat jaminan
perlindungan. Oleh karena itu, kekuasaan pemerintah tidak dapat lepas dari
perkembangan asas legalitas yang dimulai sejak munculnya konsep negara hukum,
bahwa pemerintahan menurut undang-undang.
Menurut H.D. Van Wijk, pemerintahan menurut undang-undang yaitu
pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang
atau undang-undang dasar.33 Secara bahasa menurut KBBI, kewenangan atau
wewenang berasal dari kata “wenang” yang berarti hak dan kekuasaan untuk
bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung
jawab kepada orang lain.34
Dalam bahasa Inggris wewenang disebut dengan authority yang antara lain
berarti:
a) The power or right to enforce obedience (kekuasaan atau hak untuk
menegakkan kepatuhan);
33Irfan fachruddin, Op.Cit. h. 44 34Departemen Pendidikan Nasional, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1560.
25
b) The power to enforce laws, exact obedience, command, determine, or
judge (kekuasaan untuk menegakkan hukum, kepatuhan, perintah,
ketentuan, atau putusan hakim);
c) One that is invested with this power, especially a government or body of
governman officials (sesuatu yang diberi kekuasaan terutama
pemerintah atau badan pemerintah).35
Dalam Black’s Law Dictionary cukup banyak arti yang diberikan terhadap
kata authority ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
a) the right or permission to act legally on another’s behalf; esp., the
power person to affect another’s legal relation by act done in
accordance with the other’s manifestations of assent; the power
delegated by a principal to an agent also termed power over other
person
(hak atau ijin untuk bertindak secara hukum atas nama pihak lain,
terutama kekuasaan seseorang untuk mempengaruhi hubungan hukum
pihak laindengan tindakan yang dilakukan sesuai dengan manifestasi
persetujuan pihak lain; kekuasaan yang didelegasikan oleh seorang
pejabat kepada wakilnya, juga disebut kekuasaan atas orang lain);
b) governmental power or jurisdiction; a governmental agency or
corporation that administer a public enterprice. Also termed public
authority.
(kekuasaan atau yurisdiksi pemerintah, sebuah badan pemerintah, atau
korporasi yang mengelola suatu perusahaan publik. Juga disebut
otoritas publik).36
35Ridwan , 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, h. 110.
(Selanjutnya disebut Ridwan II) 36 Bryan A. Gerner, Editor, 2009, Black’s law Dictionary Ninth Edition, West Publishing Co.
USA, h. 152.
26
Dalam bahasa Belanda, istilah wewenang sering menggunakan kata
bevoegdheid, penggunaan istilah ini dalam hukum publik telah sedemikan jelas
sebagaimana terlihat pada ungkapan-ungkapan berikut:
a) kewenangan merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan
hukum administrasi;
b) asas legalitas berarti bahwa kewenangan yang dilaksanakan oleh organ
pemerintah itu secara langsung atau tidak langsung harus disandarkan
pada dasar peraturan perundang-undangan;
c) pemerintah hanya dapat melakukan tindakan atas dasar kewenangan
yang diakui dan dibatasi undang-undang.37
Menurut P. Nicolai, kewenangan dapat diartikan sebagai berikut:
“Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum,
dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum”.38
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum,
terutama negara-negara hukum dalam sistem kontinental. Dengan demikian setiap
penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu
37Ridwan II, Op.Cit, h.111. 38 Irfan Fachrudidin, Op.Cit, h. 40.
27
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Jadi substansi asas legalitas adalah
wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.39
Menurut Indroharto asas legalitas bahwa setiap tindakan pemerintah harus
berdasarkan undang-undang,berikut rumusannya:
“tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, segala macam aparat pemerintah itu tidak
akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau merubah keadaan
atau posisi hukum warga masyarakat.”40
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam
kaitannya dengan kewenangan, bahwa kewenangan adalah apa yang disebut
kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh
undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif/administratif.41 Menurut S.F Marbun,
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.42
Teori kewenangan menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt, meliputi:
a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang.
b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainya.
39 Ridwan I, Op.Cit, h.94. 40Indroharto, 1993.Usaha Memahami Undang-Undang Tentang PTUN, Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Negara, Sinar Harapan, Jakarta, h,83. 41 Prajudi Admosudirjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.73. 42 Gayus T. Lumbun, 2006, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Perspektif
Hukum Admistrasi Negara Ditinjau Dari Aspek Kegunaan Dan Manfaat, Pidato Pengukuhan Sebagai
Guru Besar Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas
Krisna Dwipayana, Jakarta, h. 13.
28
c) Mandat yaitu terjadi apabila organ pemerintahan mengijinkan
kewenangnnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.43
H.D. van Wijk / Willem Konijnenbelt menyampaikan bahwa atribusi
merupakan cara normal pemberian wewenang kepada organ pemerintah. Sedangkan
delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya.44
F.C.M.A. Michiels mempunyai pendapat tentang atribusi sebagai berikut :
“atribusi mengenai pemberian wewenang membuat peraturan itu ditemukan
dalam UUD atau undang-undang dalam arti formal; atribusi juga dapat terjadi
untuk pemberian wewenang lainnya pada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah. Bagaimanapun juga, wewenang untuk menciptakan dan memberikan
wewenang selalu harus didasarkan secara langsung atau tidak langsung pada
UUD atau undang-undang dalam arti formail.”45
Sedangkan teori kewenangan menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek
terdiri atas :
a) Atribusi, berkenaan dengan penyerahan wewenang baru.
b) Delegasi, menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh
organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ
lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi).46
Sedangkan mandat menurut menurut Stroink dan Steenbeek tidak terjadi
peralihan. Lebih lanjut keduanya berpendapat bahwa:
43Ridwan I, Op.Cit, h. 101-102. 44 Ridwan II, Op.Cit, h. 115 dan 117. 45Ibid, h. 115 46Ridwan I, Loc.Cit.
29
“pada mandat tidak dibahas penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan
wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun,
setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal.Yang ada hanyalah hubungan
internal. Sebagai contoh menteri dengan pegawai, menteri menteri
mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil
keputusan tertentu atas nama menteri, sementara secara yuridis wewenang dan
tanggung jawab tetap berada pada organ kementerian. Pegawai memutuskan
secara faktual, menteri secara yuridis”.47
Menurut Philipus M. Hadjon, dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat
dua cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan
delegasi. Sedangkan mandat ditempatkan sebagai cara tersendri, namun bukan
pelimpahan wewenang seperti delegasi.48
Lebih lanjut Philipus M. Hadjon kemukakan bahwa, “wewenang terdiri atas
sekurang-kurangnya 3 (tiga) komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan
konformitas hukum”. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum, komponen dasar hukum
ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen
konformitas hukum mengandung adanya standar wewenang yaitu standart hukum
(semua jenis wewenang) serta standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).49
Indroharto, berpendapat bahwa, dari segi sifatnya wewenang dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
47Ibid. h. 108. 48Philipus M. Hadjon, dkk, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, h.11. (Selanjutnya disebut Philipus II) 49Ibid
30
1) Wewenang yang sifatnya terikat, yakni terjadi apabila telah
dirumuskan secara jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut
harus dilaksanakan, serta telah ditentukan bagaimana keputusan
seharusnya diambil;
2) Wewenang fakultatif bahwa, wewenang tersebut tidak wajib
dilaksanakan, karena masih ada pilihan sekalipun itu hanya dapat
dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan
pada peraturan dasarnya;
3) Wewenang bebas yakni, wewenang yang dapat dilakukan ketika
peraturan dasarnya, memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata
usaha negara untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan
diambilnya.50
Partai politik dalam UUD NRI Tahun 1945 diberikan kewenangan sangat
besar, diantaranya dapat mengajukan calon Presiden/Wakil Presiden dan mengajukan
calon anggota DPR. Kewenangan Partai Politik juga diatur dalam UU No. 2 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik. Selain dapat mengajukan calon Presiden/Wakil Presiden dalam UU No. 2
Tahun 2011 ini partai politik dapat mengajukan calon Kepala Daerah dan anggota
DPRD.
1.6.4. Teori Perundang-Undangan
Dalam kerangka menghindari adanya kekuasaan yang tidak terbatas maka
dalam suatu negara diperlukan pranata hukum yang mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara yang disebut dengan undang-undang dasar atau konstitusi.
Menurut Sri Soemantri, tidak ada satupun negara di dunia sekarang ini, yang
tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Sementara menurut A. Hamid
50Ridwan I, Op.Cit, h.110.
31
S.Attamimi, bahwa dalam abad ini tidak suatu negara pun yang menganggap sebagai
negara modern tanpa menyebutkan dirinya negara berdasar hukum.51
Fockema Andrea mengemukakan secara teoritis istilah perundang-undangan
atau legislation mempunyai dua pengertian yaitu:52
1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan /proses
membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun
di tingkat daerah;
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan
hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun
di tingkat daerah.
Dalam kaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia berpedoman pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa,
“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan
Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”. Pasal 2 menentukan
bahwa, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”.Pasal 3 ayat
(1) menentukan bahwa, “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”.
51Yuliandri, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
RadjaGrafindo Perkasa, Jakarta, h. 26. (Selanjutnya disebut Yuliandri I) 52Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan),
Kanisius, Yogyakarta, h.10.
32
Menurut Bagir Manan, agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu
undang-undang yang tangguh dan berkualitas, dapat digunakan tiga landasan dalam
penyusunannya, yaitu landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan filosofis.53
Dalam lampiran IV UU No. 12 Tahun 2011, mengatur tentang landasan dalam
pembentukan undang-undang sebagai berikut:
a) Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b) Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
c) Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
53Yuliandri I, Op.Cit, h. 29.
33
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Secara operasional landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis dalam
merancang peraturan perundang-undangan yang baik, dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan ROCCIPI, yang merupakan metodologi pemecahan
masalah dalam merancang peraturan perundang-undangan yang baik.54
Ann Seidman dan Robert Seidman, mengemukakan bahwa ROCCIPI
merupakan materi pemecahan dalam rangka Legislative Drafting antara lain
menempatkan hukum (peraturan) sebagai unsur strategis yang menentukan
keberlakuan hukum secara baik.
Adapun pendekatan ROCCIPI dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1) Rule (peraturan), bahwa dari perspektif normatif apabila pengaturan
mengenai implementing agency lembaga pemerintah tidak jelas
mengenai: 1) wewenang; 2) hak dan kewajiban; 3) Prosedur; 4)
pengawasan dan koordinasi yang tidak jelas dan; 5) sanksi yang tidak
jelas. Kelima hal tersebut di atas mengakibatkan munculnya tindakan
penyalahgunaan wewenang, kesewenang-wenangan dan KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme).
2) Opportunity (kesempatan), bahwa pengaturan yang tidak jelas
mengenai wewenang, birokrasi, pengawasan, sanksi, dsb, memberi
kesempatan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) maupun
pelanggaran hukum (perdata) dan administrasi oleh pejabat
pemerintahan, sebagai akibat tidak jelasnya norma hukum dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
54 Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 25.
34
3) Capacity (kemampuan), bahwa timbulnya perilaku bermasalah dalam
bentuk KKN dari oknum pejabat pemerintahan, disebabkan memiliki
kemampuan/wewenang yang terlalu luas, disertai adanya birokrasi
yang berbelit-belit.
4) Interest (kepentingan), bahwa kelemahan pengaturan mengenai sanksi,
dsb, memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang, karena hal
tersebut sebagai pendorong untuk memenuhi keinginan dalam bentuk
dana maupun materi lainnya.
5) Process (proses), bahwa pemberian wewenang terlampau luas maupun
tidak jelas, berpotensi menimbulkan pengambilan keputusan secara
sepihak (sewenang-wenang) oleh oknum pejabat pemerintahan.
6) Ideology (perilaku), bahwa perilaku menyimpang dari oknum pejabat
pemerintahan selalu muncul, manakala peraturan tidak jelas.55
Kemudian untuk menghasilkan undang-undang yang berkualitas harus sesuai
dengan asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dan materi muatan tidak
boleh bertentangan dengan UUDNRI 1945 sehingga dapat berlaku berkelanjutan.
Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur ketentuan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a) kejelasan tujuan;
b) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c) kesesuaian antara jenis;
d) hierarki, dan materi muatan;
e) dapat dilaksanakan;
f) kedayagunaan dan kehasilgunaan;
g) kejelasan rumusan; dan
h) keterbukaan.
Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, menentukan bahwa: Materi muatan Peraturan
Perundang-undangan harusmencerminkan asas:
a) pengayoman;
b) kemanusiaan;
c) kebangsaan;
d) kekeluargaan;
55Ibid, h. 27.
35
e) kenusantaraan;
f) bhinneka tunggal ika;
g) keadilan;
h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain itu dalam proses legislasi yang baik harus didahului dengan adanya
naskah akademik. Pasal 1 angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, menentukan bahwa:
“Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat.”
Dari uraian di atas maka, untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan
yang baik tentu harus sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011.Selain
itu pendekatan ROCCIPI juga penting sebagai pedoman untuk membuat peraturan
perundang-undangan yang baik.
1.6.5. Teori Hak Asasi Manusia
Salah satu unsur negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak
asasi manusia. John Locke menyatakan bahwa, HAM adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati.56 Oleh karenanya tidak ada kekuasaan
56 Jazim II, Op.Cit, h.270.
36
apapun di dunia yang dapat mencabutnya.Hak ini sifatnya sangat fundamental bagi
hidup dan kehidupan manusia.
Ide HAM sendiri bermula dari Inggris, yang pada abad ke -17 sudah
mempunyai tradisi perlawanan terhadap kekuasaan raja yang mutlak.Pada tahun
1215, apara bangsawan sudah mampu memaksa raja untuk memberikan Magna
Charta Libertatum, yang melarang penahanan, penghukuman dan perampasan benda
dengan sewenang-wenang.57
Pada saat Inggris dalam kekuasaan Raja William III, pada tahun 1689 disusun
Declaration and Bill of Rights, yang berisi pengakuan bahwa hak-hak rakyat dan
anggota parlemen tidak boleh diganggu gugat (dituntut) atas dasar ucapan-ucapannya.
Declaration Bill of Rights merupakan awal menuju ke monarkhi konstitusional.58
Perkembangan lahirnya HAM selanjutnya terjadi di Amerika Serikat, dimana
pada tahun 1776 disusun Piagam Bill of Rights (Virginia), yang merupakan
kesepakatan 13 negara Amerika Serikat yang pertama. Dalam Piagam ini memuat
antara lain bahwa semua manusia karena kodratnya, bebas merdeka serta memiliki
hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat kemnausiaannya. Hak tersebut
adalah: hak hidup/kebebasan, hak memiliki, hak kebahagiaan dan hak keamanan.59
57Ibid 58 Jimly Assidiqqie, 2015,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RadjaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 344 (Selanjutnya disebut Jimly II) 59Idrus Affandi, Karim Suryadi, 2008, Hak Asasi Manusia, Universitas terbuka, Jakarta, h.16
37
Pengakuan tentang hak asasi manusia di Amerika Serikat tersebut pada tahun
1941 dipertegas lagi oleh Presiden Roosevelt, yang dikenal dengan four freedoms,
yang isinya:
a) Kebebasan (kemerdekaan ) berbicara (freedom to speech);
b) Kebebasan beragama (freedom to religion);
c) Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want);
d) Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).60
Pentingnya perlindungan HAM mencapai puncaknya pada tahun 1948 ketika
PBB memproklamasikan sebuah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
(DUHAM). Deklarasi ini menandai tonggak bersejarah sebuah moral dalam sejarah
komunitas bangsa-bangsa.61
Secara umum dinamika pemikiran HAM diklasifikasikan dalam empat
generasi, yaitu:
1) Generasi pertama, fokus gagasannya berkutat pada ranah hukum dan
politik;
2) Generasi kedua, yang fokusnya pada hak-hak sosial ekonomi, politik
dan budaya. Generasi kedua melahirkan dua covenant yaitu
60 Antonio Cassese, 2005, Hak Asasi Di Dunia Yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, h. 34. 61 Jimly, Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika,
Jakarta, h.199 (Selanjutnya disebut Jimly III)
38
International Covenant on Civil Economic, Social and Culture Right
dan International Covenant on Civil and Political Rights.
3) Generasi ketiga, menitikberatkan terhadap hak ekonomi dalam arti
pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama.
4) Generasi keempat, fokusnya mengkritik peranan negara yang dominan
dalam proses pembangunan, yang terfokus pada pembangunan
ekonomi, yang dampaknya terabaikannya kesejahteraan rakyat.62
Di Indonesia sendiri, gagasan tentang hak asasi manusia telah dituangkan
dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 pada alinea pertama, yaitu bahwa
kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa. Sebagai negara hukum, Indonesia telah
mengatur tentang HAM dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945, ditindak lanjuti dengan
dikeluarkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain telah mempunyai
undang-undang tentang HAM, Indonesia juga telah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights.Ratifikasi ini dituangkan dalam UU No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Di negara-negara maju, seorang anggota partai, sering berbeda pendapat
bahkan menentang kebijaksanaan keputusan partainya secara terbuka. Sebaliknya di
62Jazim I, Op.Cit, h.271-273.
39
negara berkembang belum nampak jelas, hal ini karena adanya hak “recall” partai
politik yang mengganggu hak individu tersebut.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa, kebebasan bicara harus lewat
partainya, hal ini menunjukkan adanya keutuhan dan keyakinan akan kebenaran
keputusan-keputusan yang telah disepakati. Sedangkan pendapat yang lain bahwa,
ketentuan tersebut mengebiri kebebasan individual, yang menunjukkan adanya
mekanisme yang tidak berjalan dengan baik, yang akhirnya tidak menumbuhkan
sikap kiritis yang diperlukan dalam kebebasan berpolitik.
Teori HAM, digunakan dalam penelitian ini agar setiap keputusan yang diambil
partai politik sesuai kewenangannya tidak melanggar HAM, terutama dalam kaitan
dengan pemberhentian keanggotaan seseorang dari partai politik di DPR.Hal ini
penting agar hak seseorang semaksimal mungkin dapat dilindungi dan mencegah
terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh partai politik, yang berdampak pada
pelanggaran hak anggota partai politik.
1.7. Metode Penelitian
Soerjono Soekanto mengemukakan penelitian hukum adalah “kegiatan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.63
63Salim HS, Erlis Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
Dan Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 5-6.
40
Penentuan terhadap metoda penelitian yang tepat sangat penting dalam sebuah
penelitian.
1.7.1 Jenis Penelitian
Suatu penelitian dilakukan sebagai suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran dan mencari kembali suatu pengetahuan dan
menggunakan metode-metode ilmiah.Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.64
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan secara normatif
dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi kelemahan
lembaga perwakilan rakyat dalam kaitan dengan penyelanggaraan negara yang bersih
dan bebas korupsi, menurut prinsip-prinsip negara hukum dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD serta berbagai peraturan lainnya.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan adalah cara pandang peneliti dalam memilih spektrum ruang
bahasan yang diharap mampu memberi kejelasan uraian dari suatu substansi karya
ilmiah. Pada umumnya pendekatan dalam penelitian hukum normatif terdiri dari:
64 Soerjono, Soekanto, Sri Pamuji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajagrafindo, Jakarta, h. 13-14.
41
1) pendekatan perundang-undangan (statute approach);
2) pendekatan konseptual (conceptual approach);
3) pendekatan sejarah (historical approach);
4) pendekatan kasus (case approach)dan;
5) pendekatan perbandingan (comparative approach).65
Dalam penelitian ini dengan jenis pendekatan tersebut di atas, maka penelitian
ini menggunakan pendekatan;
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);
Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
penelitian.66Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.Hasil dari telaah tersebut
merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.67
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pendekatan koseptual biasanya digunakan untuk menguraikan dan
menganalisis permasalahan penelitian yang beranjak dari adanya
65I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Dalam Justifikasi
Teori Hukum), Prenada Media Group, Jakarta, h.156-165. 66 Johnny Ibrahim, 2013, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi),
Bayumedia Publising, Malang, h. 303. 67 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta,
h. 93.
42
norma kosong.68 Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.69
3. Pendekatan sejarah (history approach)
Pendekatan sejarah dilakukan dengan menelusuri aturan hukum yang
dibuat pada masa lampau, baik berupa aturan tertulis maupun tidak
tertulis, yang masih ada relevansinya dengan masa kini. Penelusuran
sejarah aturan hukum terutama berkaitan dengan permasalahn
penelitian yang beranjak dari adanya kekosongan norma.70 Pendekatan
ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan
hukum dari waktu ke waktu. Selain itu peneliti juga dapat memahami
perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum
tersebut.71
4. Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk
mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
68Pasek Diantha, Op.Cit, h. 159. 69 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h.95. 70 Ibid, h.159-160. 71 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h. 126.
43
dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang
telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi
terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.72
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu sumber
bahan hukumnya adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.73
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki peraturan
perundang-undangan, yaitu:
1) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945).
2) Peraturan Dasar;
i. Batang tubuh UUD NRI Tahun 1945
ii. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
3) Peraturan Perundang-Undangan;
i. Undang-undang dan Peraturan setaraf
72 Johnny Ibrahim, Op.Cit, h. 321. 73Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis ProgramStudi Magister (S2)
Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 30.
44
ii. Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf
iii. Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf
iv. Keputusan menteri dan Keputusan yang setaraf
v. Peraturan Daerah
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;
5) Yurisprudensi;
6) Traktat;
7) Bahan hukum dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih
dipergunakan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).74
Berdasarkan petunjuk dari sumber bahan hukum primer tersebut di atas, maka
bahan hukum primer yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945);
2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD Dan DPRD (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 182);
3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 117);
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82);
74Johnny Ibrahim, Op.Cit, h. 295-296.
45
5) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 2);
6) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 2);
7) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas DariKorupsi,
KolusiDan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 75);
8) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun1999
tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165);
9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008
tentangPengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah;
10) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang
Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
11) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 tentang
pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 12 huruf b Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum penunjang yang
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi yang meliputi buku-buku teks yang
membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum,
46
termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, jurnal-jurnal hukum.
Selain itu juga mencakup majalah dan makalah serta bahan hukum
bidang pemerintahan yang diperoleh diinternet. Fungsi bahan hukum
sekunder adalah try to explain and analyze the law.75
3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti : kamus hukum, ensiklopedia.76
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum berisi uraian logis prosedur pengumpulan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta
bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan diklasifikasi dan menyesuaikan
dengan masalah yang dibahas.77
Langkah yang dilakukan untuk mendapatkan sumber bahan hukum tersebut,
yaitu diawali dengan melakukan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu
sistem informasi yang konprehensif, yang memudahkan untuk melakukan
penelusuran terhadap bahan hukum yang diperlukan.
75Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 1992, Legal Research In a Nutshell, West Publishing
Co., United State of America h. 8. 76Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 77 Johnny Ibrahim, Op.Cit, h. 297.
47
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh, baik bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder, kemudian diolah dan dianalisis untuk mendapatkan
argumentasi akhir yang merupakan jawaban terhadap permasalahan penelitian.78
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis yaitu: deskripsi, kontruksi, evaluasi, argumentasi,
interpretasi dan sistimatisasi.79 Dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan maupun bahan-bahan pustaka dan hasil
penelitian lainnya berupa bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum,
para pakar di bidang politik, tentang demokrasi dan negara hukum. Selanjutnya
diklasifikasi kemudian disusun secara sistematis dan dianalisa secara evaluatif
terhadap norma-norma hukum yang terkait dengan peraturan hukum yang mengatur
tentang kewenangan partai politik, disamping itu juga dilakukan dengan teknik
argumentasi dan teknik sistematisasi.
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.80
Sedangkan sistematisasi yaitu berupaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum
antara peraturan perundang-undangan yang diteliti yang berkaitan dengan
78Pasek Diantha, Op.Cit, h. 152. 79Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Op.Cit, h. 30-31. 80Ibid, h.32.
48
kewenangan partai politik.Dari hasil tersebut diharapkan dapat memperoleh simpulan
atas masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
top related