270110130073 rastanto austiansyah a tugas 1 geologi batubara 2013
Post on 08-Dec-2015
11 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Sedimentasi Material Asal Batubara
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi
Tugas Mata Kuliah Geologi Batubara
Disusun oleh:
Rastanto Austiansyah
270110130073
Geologi A
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR
2015
Sedimentasi Material Asal Batubara
1. Pendahuluan
Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik,
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur
utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.
2. Jenis Material Batubara
menurut Diessel (1981) jenis material pembentuk Batubara adalah sebagai berikut:
Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batu
bara dari periode ini.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batu
bara dari periode ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara berumur
Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan
spora dan tumbuh di iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan
heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi.
Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu bara
Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi
biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga,
secara umum, kurang dapat terawetkan.
Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan ditemukannya cetakan
tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai
macam polimer organik yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi dari
polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari tumbuhan penyusunnya.
Lignin
Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah susunan
sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan molekul umum dari lignin belum diketahui
dengan pasti, namun susunannya dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam
jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai susunan p-koumaril
alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan polimer dari satu atau beberapa jenis
alkohol.
Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin merupakan
unsur organik utama yang menyusun batubara.
Karbohidrat
Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung antara lima sampai
delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai kombinasi antara gugus karbonil dengan
hidroksil yang membentuk siklus hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai disakarida, trisakarida,
ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya menyusun batubara, karena dalam
tumbuhan jenis inilah yang paling banyak mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang
kemudian terurai dan membentuk batubara.
Protein
Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu hadir sebagai
protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein pada umumnya adalah rantai asam
amino yang dihubungkan oleh rantai amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai
steroid, lilin.
Material Organik Lain
Resin
Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada batangnya.
Tanin
Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian batangnya.
Alkaloida
Alkaloida merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun batubara.
Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul dalam bentuk rantai.
Porphirin
Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem pyrrole. Porphirin
biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri atas empat cincin pyrolle yang tergabung
dengan jembatan methin. Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini telah diajukan sebagai
marker yang sangat penting untuk mendeterminasi perkembangan dari proses coalifikasi.
Hidrokarbon
Unsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan pigmen kartenoid. Sebagai
tambahan, munculnya turunan picene yang mirip dengan sistem aromatik polinuklir dalam ekstrak
batubara dijadikan tanda inklusi material sterane-type dalam pembentukan batubara. Ini
menandakan bahwa struktur rangka tetap utuh selama proses pematangan, dan tidak adanya
perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.
Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)
Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya material inorganik
yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur
mineral inheren dan unsur mineral eksternal. Unsur mineral inheren adalah material inorganik yang
berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam lapisan batubara.
Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang dibawa dari luar kedalam lapisan
batubara, pada umumya jenis inilah yang menyusun bagian inorganik dalam sebuah lapisan
batubara.
3. Asal – Usul Pembentukan Material Batubara
Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan
tahap geokimia pembatubaraan.
Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi
tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan
selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini
melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus.
Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach, 1982, op
cit Susilawati 1992).
Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang
terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan,
dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada
tahap ini prosentase karbon akan meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan
berkurang (Fischer, 1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam
berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari Lignite, Sub-bituminous coal ,
Bituminous coal , Semi-Anthracite, Anthracite coal , hingga Meta-Antrhacite.
o Lignite adalah kategori terendah dari batu bara, mempunyai kemampuan menghasilkan
panas terendah dan kadar air tertinggi, sering disebut "brown coal" karena bersifat agak
lunak dan berwarna coklat atau hitam, dan pada umumnya digunakan untuk
menghasilkan tenaga listrik.
Mempunyai kemampuan menghasilkan panas kurang dari 8300 British Thermal Units
per pound batu bara, mempunyai kadar karbon antara 60% - 70% dalam abu kering.
o Sub-bituminous coal adalah kategori menegah (intermediate) di antara lignite dan
bituminous coal, mempunyai kemampuan membangkitkan panas, pembakaran dan
kadar kelembaban sedang, digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik.
Mempunyai kadar karbon 71% - 77% dalam abu kering dan kemampuan
membangkitkan panas antara 8.300 - 13.000 British Thermal Units per pound batu bara.
o Bituminous coal adalah jenis batu bara yang paling umum, disebut juga batu bara hitam
(black coal), pada umumnya batu bara jenis ini mempunyai kemampuan menghasilkan
panas yang tinggi dan kelembaban yang rendah, dapat digunakan untuk menghasilkan
tenaga listrik atau melebur bijih besi.Mempunyai kadar karbon antara 77% - 87% dalam
abu kering, kemampuan membangkitkan panas di atas 13.000 British thermal Unit per
pound batu bara.
o Anthracite coal adalah jenis batu bara yang mempunyai kadar karbon
tertinggi dan kadar air dan abu terendah dan bersifat lambat terbakar. Kadar karbon di
atas 87% dalam abu kering dan kemampuan membangkitan panas tertinggi
Secara rinci pembentukan Batubara dapa dijelaskan sebagai berikut
a. Pembusukan, yakni proses dimana tumbuhan mengalami tahap pembusukan (decay) akibat
adanya aktifitas dari bakteri anaerob. Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen dan
menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma, dan pati.
b. Pengendapan, yakni proses dimana material halus hasil pembusukan terakumulasi dan mengendap
membentuk lapisan gambut. Proses ini biasanya terjadi pada lingkungan berair, misalnya rawa-rawa.
c. Dekomposisi, yaitu proses dimana lapisan gambut tersebut di atas akan mengalami perubahan
berdasarkan proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H20) clan sebagian akan menghilang dalam
bentuk karbondioksida (C02), karbonmonoksida (CO), clan metana (CH4).
Gambar 1. Urutan keterjadian Batubara
d. Geotektonik, dimana lapisan gambut yang ada akan terkompaksi oleh gaya tektonik dan kemudian
pada fase selanjutnya akan mengalami perlipatan dan patahan. Selain itu gaya tektonik aktif dapat
menimbulkan adanya intrusi/terobosan magma, yang akan mengubah batubara low grade menjadi high
grade. Dengan adanya tektonik setting tertentu, maka zona batubara yang terbentuk dapat berubah dari
lingkungan berair ke lingkungan darat.
e. Erosi, dimana lapisan batubara yang telah mengalami gaya tektonik berupa pengangkatan
kemudian di erosi sehingga permukaan batubara yang ada menjadi terkupas pada permukaannnya.
Perlapisan batubara inilah yang dieksploitasi pada saat ini
Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat
tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh
tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan
menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik
batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).
Gambar 2. Proses Terbentuknya Batubara
Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) --dikenal
sebagai zaman batu bara pertama-- yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.
Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai 'maturitas organik'. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah
menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula
batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah.
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu
bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan
mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan
fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga
membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite).
Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga
membentuk antrasit. Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan
perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh
analisis dari masing --masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan.
Tabel 1. Contoh Analisis Batubara (daf based)
Dalam pembentukan batubara, semakin tinggi tingkat pembatubaraan,maka kadar karbon akan
meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat pembatubaraan secara
umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau kualitas batubara, maka batubara dengan tingkat
pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah-- seperti lignite dan sub-bituminus
biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat
kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah, sehingga kandungan energinya juga
rendah. Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan
semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar karbonnya
akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.
4. Proses pengendapan dan transportasi material batubara hingga terakumulasi dibedakan
menjadi 2 teori yaitu
a. Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya
ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian maka setelah tumbuhan
tersebut mati, belum mengetahui proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terebentuk dengan cara ini mempunyai
penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relative kecil. Batubara
yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara Muara Enir – Sumatera
Selatan.
b. Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya
ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan
demikian tumbuhan yang telah mati di angkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat,
tertutupoleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang
terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi di jumapi dibeberapa
tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut
bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi.
Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan dilapangan batubara delta
Mahakam Purba – Kalimantan Timur.
5. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Batubara
Cara terbentuknya batubara merupakan proses yang komples, dalam asti harus dipelajari dari berbagai
sudut yang berbeda. Terdapat serangkaian factor yang diperlukan dalam pembentukan batubara yaitu
a. Posisi Geotektonik
Adalah suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik
lempeng. Dalam pembentukan cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan factor yang
dominan. Posisi ini akan mempengaruhi iklim local dan morfologi cekungan pengendapan
batubara maupun kecepatan penurunannya. Pada fase terakhir, posisi geotektonik
mempengaruhi proses metamorfosa organic dan struktur dari lapangan batubara melalui masa
sejarah setelah pengendapan akhir.
b. Topografi (Morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena
menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara tersebut terbentuk. Topografi mungkin
mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keadaannya bergantung pada posisi
geotektonik.
c. Iklim
Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan
factor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi
geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi geotektonik. Temperature yang lembab pada
iklim tropis dan sub tropis pada umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan
wilayah yang lebih dingin. Hasil pengkajian menyatakan bahwa hutan rawa tropis mempunyai
siklus pertumbuhan setipa 7 – 9 tahun dengan ketinggian pohon sekitar 30 meter. Sedangkan
pada iklim yang lebih dingin, ketinggian pohon hanya mencapai 5 – 6 meter dalam selang waktu
yang sama.
d. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tekonik. Jika penurunan dan
pengandapan gambut seimbang akan dihasilkan endapan batubara tebal. Pergantian transgresi
dan regresi mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapannya. Hal ini menyebabkan
adanya infiltrasi material dan mineral yang mempengaruhi mutu dari batubara yang terbantuk.
e. Umur Geologi
Proses geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan berbagai macam
tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak langsung membahas sejaran
pengendapan batubara dan metamorfosa organic. Makin tua umur batuan makin dalam
penimbunan yang terjadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi. Tetapi pada
batubara yang mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami deformasi
tektonik yang membentuk struktur perlipatan atau patahan pada lapisan batubara. Disamping
itu factor erosi akan merusak semua bagian dari endapan batubara.
f. Tumbuhan
Flora merupakan unsure utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora
terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisografi dengan iklim dan topografi tertentu.
Flora merupakan factor penentu terbentuknya berbagai tipe batubara. Evolusi dari kehidupan
menciptakan kondisi yang berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai dari Paleozoic hingga
Devon pertamakali terbentuk lapisan batubara di daerah lagon yang dangkal. Periode ini
merupakan titik awal dari pertumbuhan flora secara besar-besaran dalam waktu singkat pada
setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama masa Karbon. Pada masa tersier
merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tanaman.
g. Dekomposisi
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari organic
merupakan titik awal untuk seluruh alterasi. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan
mengalami perubahan, baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses
degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja mikrobiologi
(bakteri anaerob). Kecepatan pertumbuhan gambut bergantung pada kecepatan perkembangan
tumbuhan dan proses pembusukan. Bila tumbuhan tertutup oleh air dengan cepat, maka akan
terhindar oleh proses pembusukan, tetapi terjadi proses desintegrasi atau penguraian oleh
mikrobiologi. Bila tumbuhan yang telah mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka
kecepatan pembusukan gambut akan berkurang sehingga hanya bagian keras saja tertinggal
yang menyulitkan penguraian oleh mikribiologi.
h. Sejarah Sesudah Pengendapan
Searah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik yang
mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi proses
geokimia dan metamorfosa organic setelah pengendapan gambut. Di samping itu sejarah
geologi endapan batubara bertanggung jawab terhadap terbentuknya struktur cekungan
batubara, berupa perlipatan, persesaran, intrusi magmatic dan sebagainya.
i. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya batubara pada cekungan, umumnya mengalami deformasi oleh gaya
tektonik yang menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu
adanya erosi yang intensif menyebabkan bantuk lapisan batubara tidak menerus.
j. Metamorfosa Organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau pengaburan oleh
sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tetapi lebih
didominasi oleh proses dinamokimia. Proses ini menyebabkan terjadninya perubahan gambut
menjadi batubara dalam berbagai mutu. Selama proses ini terjadi pengurangan air lembab,
oksigen dan zat terbang serta bertambahnya prosentas karbon pada, belerang dan kandungan
abu. Tekanan dapat disebabkan oleh lapisan sedimen penutup yang sangat tebal atau karena
tektonik. Hal ini menyebabkan bertambahnya tekanan dan percepatan proses metamorfosa
organic. Proses ini akan dapat mengubah gambut menjadi batubara sesuai dengan perubahan
sifat kimia, fisik, dan optiknya.
6. Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi,
dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan
pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun
terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga
oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di
lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di
lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di
dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.
Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara
(Tabel 2.1) yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta
plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan
menghasilkan karakter batubara yang berbeda.
Environment Subenvironment Coal Characteristics
Gravelly braid plain Bars, channel, overbank plains,
swamps, raised bogs
mainly dull coals, medium to
low TPI, low GI, low sulphur
Sandy braid plain Bars, channel, overbank plains,
swamp, raised bogs,
mainly dull coals, medium to
high TPI, low to medium GI,
low sulphur
Alluvial valley and
upper delta plain
channels, point bars, floodplains
and basins, swamp, fens, raised
bogs
mainly bright coals, high TPI,
medium to high GI, low
sulphur
Lower delta plain Delta front, mouth bar, splays,
channel, swamps, fans and
marshes
mainly bright coals, low to
medium TPI, high to very high
GI, high sulphur
Backbarrier strand
plain
Off-, near-, and backshore, tidal
inlets, lagoons, fens, swamp, and
marshes
transgressive : mainly bright
coals, medium TPI, high GI,
high sulphur
regressive : mainly dull coals,
low TPI and GI, low sulphur
Estuary channels, tidal flats, fens and
marshes
mainly bright coal with high GI
and medium TPI
Tabel 2. Klasifikasi Diesel 1992
Proses pengendapan batubara pada umunya berasosiasi dengan lingkungan fluvial flood
plain dandelta plain. Akumulasi dari endapan sungai (fluvial) di daerah pantai akan membentuk delta
dengan mekanisme pengendapan progradasi (Allen & Chambers, 1998).
Lingkungan delta plain merupakan bagian dari kompleks pengendapan delta yang terletak di
atas permukaan laut (subaerial). Fasies-fasies yang berkembang di lingkungan delta plain ialah
endapanchannel, levee, crevase, splay, flood plain, dan swamp. Masing-masing endapan tersebut dapat
diketahui dari litologi dan struktur sedimen.
Endapan channel dicirikan oleh batupasir dengan struktur sedimen cross bedding, graded
bedding, paralel lamination, dan cross lamination yang berupa laminasi karbonan. Kontak di bagian
bawah berupa kontak erosional dan terdapat bagian deposit yang berupa fragmen-fragmen batubara
dan plagioklas. Secara lateral endapan channel akan berubah secara berangsur menjadi endapan flood
plain. Di antara channel dengan flood plain terdapat tanggul alam (natural levee) yang terbentuk ketika
muatan sedimen melimpah dari channel. Endapanlevee yang dicirikan oleh laminasi batupasir halus dan
batulanau dengan struktur sedimen ripple laminationdan paralel lamination.
Pada saat terjadi banjir, channel utama akan memotong natural levee dan membentuk crevase
play. Endapan crevase play dicirikan oleh batupasir halus – sedang dengan struktur sedimen cross
bedding, ripple lamination, dan bioturbasi. Laminasi batupasir, batulanau, dan batulempung juga umum
ditemukan. Ukuran butir berkurang semakin jauh darichannel utamanya dan umumnya memperlihatkan
pola mengasar ke atas.
Endapan crevase play berubah secara berangsur ke arah lateral menjadi endapan flood plain.
Endapan flood plain merupakan sedimen klastik halus yang diendapkan secara suspensi dari air
limpahan banjir. Endapan flood plain dicirikan oleh batulanau, batulempung, dan batubara berlapis.
Endapan swamp merupakan jenis endapan yang paling banyak membawa batubara karena
lingkungan pengendapannya yang terendam oleh air dimana lingkungan seperti ini sangat cocok untuk
akumulasi gambut.
Tumbuhan pada sub-lingkungan upper delta plainakan didominasi oleh pohon-pohon keras dan
akan menghasilkan batubara yang blocky. Sedangkan tumbuhan pada lower delta plai didominasi oleh
tumbuhan nipah-nipah pohon yang menghasilkan batubara berlapis (Allen, 1985).
7. Bentuk Perlapisan Batubara
Bentuk cekungan, proses sedimentasi, proses geologi selama dan sesudah proses coalification
akan menentukan bentuk lapisan batubara. Mengetahui bentuk lapisan batubara sangat menentukan
dalam menghitung cadangan dan merencanakan cara penambangannya.
Dikenal beberapa bentuk lapisan batubara yaitu :
Bentuk Horse Back
Bentuk ini dicirikan oleh lapisan batubara dan lapisan batuan sedimen yang menutupinya
melengkung ke arah atas, akibat adanya gaya kompresi. Tingkat perlengkungan sangat ditentukan
oleh besaran gaya kompresi. Makin kuat gaya kompresi yang berpengaruh, makin besar tingkat
perlengkungannya. Ke arah lateral lapisan batubara mungkin akan sama tebalnya atau menjadi tipis.
Kenampakan ini dapat terlihat langsung pada singkapan lapisan batubara yang tampak/dijumpai di
lapangan (dalam skala kecil), atau dapat diketahui dari hasil rekontruksi beberapa lubang pemboran
eksplorasi pada saat dilakukan coring secara sistematis. Akibat dari perlengkungan ini lapisan
batubara terlihat terpecah-pecah akibatnya batubara menjadi kurang kompak.
Pengaruh air hujan, yang selanjutnya menjadi air tanah, akan mengakibatkan sebagian dari
butiran batuan sedimen yang terletak di atasnya, bersama air tanah akan masuk di antara rekahan
lapisan batubara. Kejadian ini akan megakibatkan apabila batubara tersebut ditambang, batubara
mengalami pengotoran (kontaminasi) dalam bentuk butiran-butiran batuan sedimen sebagai
kontaminan anorganik, sehingga batubara menjadi tidak bersih. Keberadaan pengotor ini tidak
diinginkan, apabila batubara tersebut akan dipergunakan sebagai bahan bakar.
Bentuk Pinch
Bentuk ini dicirikan oleh perlapisan yang menipis di bagian tengah. Pada umumnya bagian
bawah (dasar) dari lapisan batubara merupakan batuan yang plastis misalnya batulempung sedang
di atas lapisan batubara secara setempat ditutupi oleh batupasir yang secara lateral merupakan
pengisian suatu alur. Sangat dimungkinkan, bentuk pinch ini bukan merupakan penampakan
tunggal, melainkan merupakan penampakan yang berulang-ulang. Ukuran bentuk pinch bervariasi
dari beberapa meter sampai puluhan meter. Dalam proses penambangan batubara, batupasir yang
mengisi pada alur-alur tersebut tidak terhindarkan ikut tergali, sehingga keberadaan fragmen-
fragmen batupasir tersebut juga dianggap sebagai pengotor anorganik. Keberadaan pengotor ini
tidak diinginkan apabila batubara tersebut akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Gambar 3. Bentuk Horse back
Bentuk Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di antara dua bagian lapisan batubara terdapat urat lempung
ataupun pasir. Bentuk ini terjadi apabila pada satu seri lapisan batubara mengalami patahan,
kemudian pada bidang patahan yang merupakan rekahan terbuka terisi oleh material lempung
ataupun pasir. Apabila batubaranya ditambang, bentukan Clay Vein ini dipastikan ikut tertambang
dan merupakan pengotor anorganik (mineral matter) yang tidak diharapkan. Pengotor ini harus
dihilangkan apabila batubara tersebut akan dikonsumsi sebagai bahan bakar.
Bentuk Burried Hill
Gambar 4. Bentuk LapisanPinch
Gambar 5. Bentuk Lapisan Clay Vein
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana batubara semula terbentuk suatu kulminasi
sehingga lapisan batubara seperti “terintrusi”. Sangat dimungkinkan lapisan batubara pada bagian
yang “terintrusi” menjadi menipis atau hampir hilang sama sekali. Bentukan intrusi mempunyai
ukuran dari beberapa meter sampai puluhan meter. Data hasil pemboran inti pada saat eksplorasi
akan banyak membantu dalam menentukan dimensi bentukan tersebut. Apabila bentukan intrusi
tersebut merupakan batuan beku, pada saat proses penambangan dapat dihindarkan, tetapi apabila
bentukan tersebut merupakan tubuh batupasir, dalam proses penambangan sangat dimungkinkan
ikut tergali. Oleh sebab itu ketelitian dalam perencanaan penambangan sangat diperlukan, agar
fragmen-fragmen intrusi tersebut dalam batubara yang dihasilkan dari kegiatan penambangan dapat
dikurangi sehingga keberadaan pengotor anorganik tersebut jumlahnya dapat diperkecil.
Bentuk Fault (Patahan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah di mana deposit batubara mengalami beberapa seri
patahan. Apabila hal ini terjadi, akan mempersulit dalam melakukan perhitungan cadangan
batubara. Hal ini disebabkan telah terjadi pergeseran perlapisan batubara ke arah vertikal. Dalam
melaksanakan eksplorasi batubara di daerah yang memperlihatkan banyak gejala patahan,
diperlukan tingkat ketelitian yang tinggi, tidak dibenarkan hanya berpedoman pada hasil pemetaan
geologi permukaan saja. Oleh sebab itu, di samping kegiatan pemboran inti, akan lebih baik bila
ditunjang oleh data hasil penelitian geofisika.
Gambar 6. Bentuk Lapisan Burried Hill
Dengan demikian rekonstruksi perjalanan lapisan batubara dapat diikuti dengan bantuan hasil
interpretasi dari data geofisika. Apabila patahan-patahan secara seri didapatkan, keadaan
batubara pada daerah patahan akan ikut hancur. Akibatnya keberadaan kontaminan anorganik
pada batubara tidak terhindarkan. Makin banyak patahan yang terjadi pada satu seri
sedimentasi endapan batubara, makin banyak kontaminan anorganik yang terikut pada
batubara pada saat ditambang.
Bentuk Fold (Perlipatan)
Bentuk ini terjadi apabila di daerah endapan batubara, mengalami proses tektonik hingga
terbentuk perlipatan. Perlipatan tersebut dimungkinkan masih dalam bentuk sederhana, misalnya
bentuk antiklin atau bentuk sinklin, atau sudah merupakan kombinasi dari kedua bentuk tersebut.
Lapisan batubara bentuk fold, memberi petunjuk awal pada kita bahwa batubara yang terdapat di
daerah tersebut telah mengalami proses coalification relatif lebih sempurna, akibatnya batubara
yang diperoleh kualitasnya relatif lebih baik. Sering sekali terjadi, lapisan batubara bentuk fold
berasosiasi dengan lapisan batubara berbentuk fault. Dalam melakukan eksplorasi batubara di
daerah yang banyak perlipatan dan patahan, kegiatan pemboran inti perlu mendapat prioritas
Gambar 7. Bentuk Lapisan Fault
utama agar ahli geologi mampu membuat rekonstruksi struktur dalam usaha menghitung jumlah
cadangan batubara.
Gambar 8. Bentuk Lapisan Lipatan
Daftar Pustaka
https://ilmubatubara.wordpress.com/2006/09/23/lingkungan-pengendapan-batubara/
http://majalah1000guru.net/2011/07/pembentukan-batu-bara/
https://ilmubatubara.wordpress.com/2006/09/23/batubara/
http://ayobelajargeologi.blogspot.co.id/2012/01/batubara.html
https://geologidokterbumi.wordpress.com/kuliah/geologi-batubara/
http://www.michanarchy.com/2013/10/klasifikasi-batubara.html
http://bumi-myearth.blogspot.co.id/2012/01/batubara.html
http://lauwtjunnji.weebly.com/fly-ash--overview.html
https://achmadinblog.wordpress.com/2010/04/22/bentuk-bentuk-lapisan-batubara/
https://ilmubatubara.wordpress.com/2006/10/07/batubara-sebagai-sedimen-organik/
top related