2008 06 isei perkembangan ekonomi syariah ch13 mencari bentuk sinergi optimal sistem keuangan...
Post on 04-Jan-2016
103 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MENCARI BENTUK SINERGI OPTIMAL SISTEM KEUANGAN
KONVENSIONAL DAN SISTEM KEUANGAN ISLAM1
A s c a r y a Center for Central Banking Education and Studies, Bank Indonesia
Jl. M.H. Thamrin 2, Radius Prawiro Tower, 18th fl., Jakarta 10110, Indonesia Email: ascarya@bi.go.id; Phone: 6221-3817345 ; Fax: 6221-3501912
ABSTRACT
In a country adopting dual financial/banking system (conventional and Islamic), monetary authority has the responsibility to maintain financial/monetary stability and synergy of both systems. This study analyses and compares conventional and Islamic monetary system, theoretically, based on the three main features of monetary system ( fiat money vs. Islamic money, fractional reserve banking system vs. 100 percent reserve banking system, and interest vs. profit-and-loss sharing/PLS), as well as empirically, where only interest vs. PLS that differentiate the two. The results show that interest is negatively correlated with investment and economic growth, while return of PLS is positively correlated with investment and economic growth. Therefore, the optimum synergy in the dual financial/banking system can be achieved when monetary policy in conventional system benchmarks its policy rate to the PLS market return in Islamic financial market of Islamic syste, which will ensure optimum market efficiency that maximize distributive social welfare and justice.
JEL Classification: E52, G18, G28 Keywords: Sistem Moneter Islam, Sistem Keuangan Islam, Sistem Keuangan/
Perbankan Ganda
1. PENDAHULUAN
1.1 Lalar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini, sistem keuangan internasional semakin berkembang
luas. Fenomena ini, dimana liberalisasi pasar modal dan pergerakan modal secara
bebas, kemajuan teknologi serta maraknya inovasi baik jasa maupun produk-produk
keuangan, telah juga berkontribusi dalam menciptakan tingkatan globalisasi keuangan
yang tidak dapat diketahui. Globalisasi keuangan selanjutnya akan memberikan
keuntungan-keuntungan yang besar namun juga risiko-risiko yang baru. Seiring 1 Published in ISEI Perkembangan Ekonomi Syariah, Ch.13, 2008.
2
dengan perkembangan lembaga keuangan konvensional, lembaga keuangan syariah
pun mulai tumbuh dengan pesat. Perkembangan yang sangat pesat khususnya terjadi
pada perbankan syariah. Namun, tentu saja perkembangan perbankan syariah ini pun
perlu juga diikuti dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti
pasar modal syariah, dan asuransi syariah.
Dibalik pertumbuhan lembaga keuangan dan instrumen syariah yang cukup
menggembirakan, masih cukup banyak permasalahan yang dihadapi. Hal tersebut
antara lain disebabkan oleh belum tersedianya sarana/infrastruktur lainnya, seperti
pembentukan lembaga peradilan khusus syariah, komitmen yang nyata dari regulator,
kebijakan pajak, dan lain lain. Perkembangan lembaga keuangan syariah tidak dapat
hanya bertumpu pada perkembangan perbankan syariah sebagai suatu lembaga
tersendiri. Di dalam sejarah perkembangannya di dunia, perkembangan perbankan
syariah tidak terlepas dari perkembangan sistem keuangan syariah secara keseluruhan,
seluruh aspek dan infrastruktur dalam sitem keuangan syariah pada dasarnya saling
terkait.
Dengan sistem keuangan syariah yang ada saat ini, dimana sebagian besar sistem
keuangan masih didominasi oleh sistem konvensional, maka diperlukan suatu
keselarasan agar keduanya dapat memberikan kontribusi yang besar di dalam
perekonomian. Kondisi di atas yang selanjutnya menggiring kepada permasalahan
bagaimana mensinergikan kedua sistem yang memiliki karakteristik yang berbeda
dalam suatu kesatuan kelembagaan agar diperoleh manfaat yang maksimal bagi
kesejahteraan masyarakat.
1.2 Tujuan
Kajian ini ditujukan untuk mencari bentuk sinergi ideal antara sistem keuangan
konvensional dan Islam dalam suatu kerangka stabilitas sistem keuangan yang
memaksimalkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan meminimalkan
ketidakadilan dan inefisiensi.
1.3 Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah metode studi literatur dan analisis
deskriptif dengan membandingkan antara kondisi sistem keuangan ganda yang ada
3
saat ini, dengan kondisi yang ideal yang akan dicapai, dengan memperhatikan
keterbatasan yang ada.
2. EKONOMI DAN KEUANGAN ISLAM KONTEMPORER
Sistem ekonomi dan keuangan Islam kontemporer berkembang dalam dominasi penuh
sistem ekonomi dan keuangan konvensional yang kapitalistik. Dominasi kapitalisme
ini mau tidak mau mempunyai andil besar dalam mempengaruhi perkembangan
sistem ekonomi dan keuangan Islam yang tidak selalu dapat langsung beroperasi
murni sesuai dengan Syariah. Selain itu, ekonom Muslim sendiri masih banyak yang
dihinggapi inferiority complex yang beranggapan bahwa sistem kapitalis lebih baik
dari sistem Islam, karena bukti-bukti negara maju yang demikian sejahtera. Lebih
jauh lagi, implementasi sistem Islam dalam dunia kapitalis menghadapi banyak
kendala operasional yang menyebabkannya sulit untuk diterapkan secara murni dan
kaffah. Dengan berbagai kondisi lingkungan dan kendala yang ada, sistem ekonomi
dan keuangan Islam berkembang lebih pragmatis, permisif, dan lebih banyak
mengekor kepada apa yang ada di sistem konvensional.
Ms: uang beredar; i: tingkat bunga; Tx: pajak; Tr: subsidi; Z: zakat; If: infaq; Sh: shadaqah; Wq: Waqf; IFIs: Islamic Financial Institutions. Sumber: Sakti (2007), dengan penyesuaian.
Gambar 2.1. Struktur Ekonomi Islam Kontemporer
Money Market
Real Market Households
Social Institution
Ms, i, Tx, Tr Z, If, Sh, Wq
Monetary Sector Real Sector
IFIs
Financial Authority
Firms
4
Berdasarkan gambar 2.1 terlihat bahwa terdapat perbedaan lingkungan operasional
keuangan Islam secara konseptual dengan apa yang berlaku di keuangan
konvensional. Keuangan Islam pada hakikatnya menggambarkan aktivitas ekonomi
riil menggunakan berbagai jenis transaksi seperti perdagangan dan investasi serta
jasa-jasa keuangan. Dari gambar ini juga terlihat bahwa dalam dual financial/banking
system dibanyak negara Muslim saat ini, keuangan Islam menjadi elemen penguat
sektor riil yang mengimbangi sektor moneter. Bahkan sektor sosial ekonomi Islam
semakin menambah kuat struktur perekonomian riil. Namun kekuatan
pengimbangannya sangat tergantung pada porsi atau kontribusi keuangan Islam
berikut sektor sosialnya terhadap perekonomian nasional.
Dari gambar ini juga sebenarnya dapat disimpulkan bahwa bentuk instrumen moneter
Islam adalah kebijakan-kebijakan yang mampu semakin memperlancar arus uang ke
sektor riil atau semakin menekan uang beredar yang menganggur untuk masuk ke
sektor riil. Misalnya seperti sertifikat-sertifikat investasi yang ditawarkan pemerintah
terkait dengan projek-projek pembangunan yang menjadi tugas mereka. Namun perlu
disadari bahwa ketika sebuah perekonomian menerapkan dual financial system dalam
sistem ekonominya, maka dapat saja terjadi fenomena dilematis atau trade off antara
keuangan Islam dan konvensional terutama ketika porsi keuangan syariah masih kecil.
Contoh yang sangat sederhana adalah ketika atas alasan tertentu seperti menghindari
capital outflow, Bank Sentral menentukan kebijakan tingkat suku bunga yang jauh
melebihi tingkat bagi hasil di perbankan syariah (padahal bagi hasil tersebut
merupakan refleksi dari tingkat keuntungan yang terjadi di sektor riil). Hal ini akan
kemudian membuat kontraksi yang cukup berarti di sisi penghimpunan dana
perbankan syariah (kecuali ketika nasabah bank syariah semakin tidak sensitif dengan
fluktuasi tingkat bunga atau dengan kalimat sederhana, nasabah bank syariah
memiliki keimanan yang cukup baik untuk tidak terpengaruh pada pergerakan tingkat
bunga yang mereka nilai haram). Dengan perkembangan ekonomi dan keuangan
Islam yang tidak selalu langsung dapat menerapkan Syariah secara murni, sistem
keuangan Islam berkembang lebih ke arah duplikasi konvensionalnya, seperti dapat di
baca pada gambar 2.2 (Saiful Ashar Rosly, 2005).
5
Gambar 2.2 Sistem Keuangan Islam Kontemporer
3. SISTEM MONETER KONVENSIONAL DAN SISTEM
MONETER ISLAM
Sistem ekonomi Islam tidak mengenal adanya dikotomi sejajar antara sektor riil dan
sektor moneter. Sektor moneter secara terbatas hanya didefinisikan sebagai sektor
yang terkait dengan arus uang di aktivitas investasi baik oleh swasta maupun
pemerintah, dimana aktivitas investasi ini juga pada dasarnya sangat tergantung
dengan aktivitas riil di pasar. Karakteristik utama sistem moneter Islam yang dapat
dibedakan dari sistem moneter konvensional dapat dibaca pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Karakteistik Sistem Moneter Konvensional dan Sistem Moneter Islam
No. Konvensional Islam 1. Fiat Money Full Bodied/Fully Backed Money
2. Fractional Reserve Banking System 100 Percent Reserve Banking System
3. Interest Profit and Loss Sharing
Ketiga karakteristik utama sistem moneter konvensional tersebut sangat mendasar
dalam proses penciptaan uang oleh sektor perbankan. Bunga mempunyai sejumlah
Islamic Financial System
Indirect Financial Market
Direct Financial Market
Islamic Bond Market
Islamic Equity Market
Islamic Finance Co
Islamic Merchant
Banks
Islamic Commercial
Banks
Islamic Unit
Trusts
lslamic Insurance
Islamic Financial Market
Deficit Sector
Surplus Sector
Islamic Capital Market
Islamic Money Market
6
efek negatif terhadap ekonomi. Tiga karakteristik utama sistem moneter Islam
tersebut akan dibahas satu-persatu dalam bab ini.
3.1 Fiat Money vs Islamic Money
Fiat money adalah sesuatu (biasanya dalam bentuk kertas atau koin) yang diakui
sebagai alat tukar yang sah di suatu negara karena ditetapkan oleh pemerintahnya
yang tidak memiliki nilai atau back up sesuai nilai nominalnya. Penciptaan
(penerbitan) fiat money memunculkan daya beli baru dari sesuatu yang tidak ada.
Dengan demikian, fiat money memberikan keuntungan yang tidak adil, yang biasa
disebut seigniorage, bagi pihak yang diberi kuasa untuk menerbitkannya. Penciptaan
keuntungan tanpa adanya ‘iwad (countervalue) berupa ownership risk (ghurmi), value
added (ikhtiyar), atau liability (daman) dikategorikan sebagai riba oleh Ibnu Arabi.
Dalam sistem ekonomi yang menggunakan fiat money, otoritas negara yang diberi
kewenangan untuk menerbitkan uang (biasanya bank sentral, otoritas moneter,
departemen keuangan, atau institusi lain yang ditunjuk) mendapatkan keuntungan
seigniorage ini. Akibatnya, daya beli uang secara agregat akan turun (atau terjadi
inflasi) sesuai dengan persentase uang yang ditambahkan dalam perekonomian. Pihak
yang dirugikan adalah seluruh rakyat yang memegang uang. Sebagai contoh, apabila
ongkos mencetak uang Rp100.000 adalah Rp2.000, maka seigniorage yang tercipta
adalah Rp98.000.
Sementara itu, uang dalam Islam adalah full bodied money, atau uang (emas dan
perak) yang mempunyai nilai intrinsik sama dengan nilai nominalnya, dan fully
backed money, atau uang (kertas atau koin) yang nilai nominalnya di back up 100
persen dengan emas yang disimpan oleh otoritas yang menerbitkannya. Dalam
penerbitan uang baru ini tidak ada daya beli baru yang diciptakan (tidak ada
seigniorage), sehingga tidak mengandung unsur riba. Lebih jauh lagi, dalam
penerbitan uang baru, biaya pencetakan menjadi tanggungan pemerintah, sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan karenanya.
Dalam sistem ekonomi Islam yang menggunakan uang jenis ini, otoritas negara yang
diberi kewenangan untuk menerbitkan uang tidak mendapatkan keuntungan
seigniorage, malahan harus mengeluarkan biaya untuk pencetakannya. Jumlah uang
yang diterbitkan dan ditambahkan dalam perekonomian disesuaikan dengan
7
pertumbuhan value added-nya, sehingga secara umum dalam ekonomi Islam tidak
bersifat inflatoir dan cenderung stabil. Oleh karena itu, nilai dinar dan dirham dari
dulu tidak pernah berubah. Harga seekor kambing dari dulu setara dengan 1-2 dinar,
dan harga seekor ayam dari dulu juga hanya satu dirham. Dengan uang jenis ini
masyarakat tidak dirugikan dengan adanya inflasi seperti yang ditimbulkan oleh
penerbitan fiat money.
Penggunaan fiat money hanya menguntungkan negara besar, seperti Amerika Serikat
dengan US dollar-nya dan Uni Eropa dengan euro-nya, dimana mata uangnya
dipergunakan secara luas diseluruh dunia. Mereka menyedot kekayaan negara lain,
terutama negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang
berlimpah, dan menukarkannya hanya dengan kertas. Sebagai contoh, dengan hanya
mengeluarkan uang untuk mencetak sebesar US$1 untuk US$100, dapat dibayangkan
berapa keuntungan atau seigniorage yang diperoleh oleh Amerika dari setiap lembar
dollar yang dicetak. Dengan dinar dan dirham, transaksi menjadi lebih adil, dan
semua negara berkedudukan seimbang.
Mahmud Abu Saud dalam bukunya “Interest Free Banking” (1976) menyatakan
bahwa “kecuali kita menstandarisasi uang kita dan menstabilkan nilainya, dengan
membiarkan nilai obyek yang kita ukur berfluktuasi, perekonomian tidak akan dapat
dipertahankan dalam keadaan baik dan sehat”. Hanya dengan standar uang emas
(dinar) dan perak (dirham) nilai mata uang bisa stabil.
3.2 Fractional Reserve Banking System vs 100 Percent Reserve Banking
System
Fractional reserve banking system artinya bahwa bank hanya diwajibkan untuk
menyimpan cadangan dalam persentase tertentu dari dana simpanan yang dihimpun.
Cadangan wajib minimum perbankan bervariasi yang umumnya berada di sekitar 5%
- 20%. Dengan sistem ini perbankan memiliki kemampuan menciptakan jenis lain dari
fiat money, yaitu uang bank (demand deposits, termasuk uang elektronik), melalui
penciptaan simpanan berlipat (multiple deposit creation). Dalam hal ini uang
diciptakan ketika bank memberikan pinjaman. Sebagai ilustrasi, jika cadangan wajib
ditetapkan 10%, simpanan Rp1 juta, pertama-tama dibukukan sebagai Simpanan di
sisi liability dan cadangan tunai di sisi asset. Karena cadangan wajib ditetapkan 10%,
maka bank dapat memberikan pinjaman sebesar Rp9 juta, sehingga total simpanan
8
menjadi Rp10 juta.
Neraca
Cadangan 1 juta Simpanan 1 juta
Neraca
Cadangan 1 juta Simpanan 1 juta
Pinjaman 9 juta Simpanan (pinjaman) 9 juta
Formula dari penciptaan simpanan berlipat dapat dituliskan (Meera, 2004):
D = 1/r x R
Dimana, D = perubahan dalam total simpanan
r = rasio cadangan wajib (contoh, 10%)
R = perubahan dalam cadangan (contoh, simpanan baru Rp1 juta)
Dengan contoh tersebut, simpanan Rp1 juta dapat menciptakan uang (simpanan) baru
sembilan kali simpanan awal sebesar Rp9 juta, sehingga total simpanan menjadi Rp10
juta. Dengan demikian, fractional reserve banking system juga memberikan
keuntungan seigniorage yang tidak adil bagi pihak bank yang melalui sistem ini diberi
kuasa untuk menciptakan uang baru. Sekali lagi, penciptaan keuntungan tanpa adanya
‘iwad dikategorikan sebagai riba oleh Ibnu Arabi. Hal ini juga mengakibatkan daya
beli uang secara agregat akan turun (atau terjadi inflasi) sesuai dengan persentase
uang yang ditambahkan dalam perekonomian. Pihak yang dirugikan oleh penerbitan
fiat money baru oleh bank adalah juga seluruh rakyat yang memegang uang.
Sementara itu, 100 percent reserve banking system tidak memberikan peluang bagi
bank untuk menciptakan uang baru, karena 100 persen cadangan harus
disimpan/dikembalikan ke bank sentral. Bank maksimum hanya dapat menyalurkan
pembiayaan sampai sebesar simpanan awal saja. Dengan demikian, tidak ada daya
beli baru yang diciptakan (tidak ada seigniorage), sehingga tidak mengandung unsur
riba, tidak menimbulkan efek inflasi, dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Sebagai ilustrasi, simpanan Rp1 juta, pertama-tama dibukukan sebagai simpanan di
sisi liability dan cadangan tunai di sisi asset. Karena cadangan wajib ditetapkan 100%,
9
maka bank hanya dapat memberikan pinjaman sebesar Rp1 juta juga, sehingga di sisi
asset cadangan bberubah menjadi pinjaman Rp1 juta.
Neraca
Cadangan 1 juta Simpanan 1 juta
Neraca
Pinjaman 1 juta Simpanan 1 juta
3.3 Sistem Bunga vs Sistem Bagi Hasil
Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam
menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing), ketika pemilik modal (surplus
spending unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk
melakukan kegiatan usaha. Apabila menghasilkan keuntungan dibagi berdua, apabila
menderita kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi hasil menjamin adanya
keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi (didzalimi). Sistem bagi hasil dapat
berbentuk musyarakah atau mudharabah dengan berbagai variasinya.
Ryandono (2006) memberikan ilustrasi, perbedaan prinsip yang dengan mudah dapat
dikenali untuk membedakan sistem bagi hasil pada sistem ekonomi syari’ah dan
sistem bunga pada sistem ekonomi konvensional adalah pada sistem return bagi
nasabahnya. Bank konvensional, sistem return-nya adalah sistem bunga yaitu
persentase terhadap dana yang disimpan ataupun dipinjamkan dan ditetapkan diawal
transakasi sehingga berapa nilai nominal rupiahnya akan dapat diketahui besarnya dan
kapan akan diperoleh dapat dipastikan tanpa melihat laba rugi yang akan terjadi nanti.
Bank syari’ah sistem return-nya adalah sistem bagi hasil (profit loss sharing) yaitu
nisbah (persentase bagi hasil) yang besarnya ditetapkan diawal transaksi yang bersifat
fixed tetapi nilai nominal rupiahnya belum dapat diketahui dengan pasti melainkan
melihat laba rugi yang akan terjadi nanti.
Pada bank konvensional, nasabah akan menerima atau membayar fixed return yang
disebut bunga. Penabung akan mendapatkan bunga, yaitu persentase terhadap dana
yang ditabung, sedangkan peminjam (debitur) akan membayar bunga, yaitu
persentase terhadap dana yang dipinjam oleh nasabah. Bank syari’ah, nasabah akan
10
menerima atau membayar return bersifat tidak fixed yang disebut bagi hasil. Bagi
penabung akan menerima bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang diperoleh
dari dana yang ditabung oleh nasabah yang kemudian dikelola oleh pihak bank.
Peminjam (debitur) akan membayar bagi hasil yaitu persentase terhadap hasil yang
diperoleh dari dana yang dipinjam oleh nasabah yang kemudian dikelolanya.
Bunga yang diterapkan pada sistem ekonomi konvensional harus tetap dibayarkan
oleh pihak bank kepada nasabah walaupun bank tidak mendapatkan keuntungan atau
dalam keadaan yang bagaimanapun bunga harus dibayarkan tidak melihat apakah laba
atau rugi. Bagi debitur juga harus membayar tingkat bunga yang telah disepakati baik
dalam kondisi laba maupun rugi. Sistem ini sangat berbeda dengan sistem perbankan
syari’ah yang menerapkan sistem bagi hasil, pada kondisi terjadi laba maka akan
membayar tingkat persentase bagi hasil yang telah disepakati, dalam kondisi impas
tidak ada pembayaran dan pada kondisi mengalami kerugian maka kerugian tersebut
juga dibagi bersama antara nasabah dengan pihak bank. Dalam perbankan syariah
hubungan antara nasabah dan bank adalah dalam bentuk kemitraan.
Sistem syari’ah tidak ada yang dieksplotasi dan tidak ada yang mengeksploitasi, risiko
yang merupakan kondisi yang tidak pasti dimasa akan datang ditanggung bersama dan
apabila mendapat keuntungan yang tinggi juga dibagi bersama sesuai dengan
kesepakatan diawal. Mengapa demikian? Karena, ekonomi syari’ah melarang sesuatu
(misalnya laba atau rugi) yang tidak pasti dimasa akan datang dibuat pasti dan
ditentukan pada saat sekarang. Disi lain juga melarang sesuatu yang sudah pasti
dibuat menjadi tidak pasti agar dapat melakukan spekulasi atau mengambil
keuntungan untuk kepentingannya sendiri dengan merugikan atau merusak
perekonomian secara umum.
Pada sistem perbankan konvensional dapat terjadi eksploitatori, predatori dan
intimidasi. Eksploitasi dapat terjadi pada saat tingkat bunga tinggi dan tingkat bunga
rendah. Pada saat suku bunga tinggi yang dieksploitasi adalah debitur dan ini
umumnya terjadi pada kondisi ekonomi sedang berkinerja buruk. Pada kondisi ini
debitur mendapat keuntungan yang rendah atau bahkan mengalami kerugian tetapi
tetap diharuskan membayar bunga yang tinggi. Pada kondisi buruk ini dapat terjadi
proses predatori (yang kuat memakan yang lemah) dan intimidasi (memaksa
membayar bunga walaupun tidak memungkinkan) kepada debitur. Pada kondisi
kinerja ekonomi membaik umumnya suku bunga rendah maka pada kondisi ini pihak
11
krediturlah yang dieksploitasi, debitur mendapat keuntungan yang tinggi tetapi
kreditur hanya mendapat bagian (bunga) yang rendah.
Praktek sistem bunga baik pada kondisi ekonomi baik maupun buruk telah terjadi
ketidak adilan dalam pembagian hasil atau dengan kata lain terjadi eksploitatori,
predatori dan intimidasi, ketiga karakteristik inilah yang merupakan sifat dasar dari
ribawi. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah ribawi itu dihapuskan dari sistem
perekonomian karena hanya akan menciptakan inefisiensi dan instabilitas dalam
perekonomian.
3.4 Dampak Sistem Moneter dalam Perekonomian
Beberapa pakar, seperti Bernard Lietaer dan Tareq el-Diwany, telah mengidentifikasi
dampak buruk dari suku bunga, yaitu (Meera, 2004):
1. Suku bunga memerlukan pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, bahkan
pada saat standar hidup tetap tidak berubah;
2. Suku bunga mendorong kompetisi sesama pelaku ekonomi;
3. Suku bunga membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan kelompok minoritas
dengan membebani pajak kepada kelompok mayoritas.
Secara komprehensif Meera (2004) menggambarkan pengaruh dari penerapan sistem
moneter konvensional yang dapat menimbulkan krisis perbankan, problem ekonomi,
dan kekacauan politik yang disebabkan oleh kehancuran uang.
Dalam perekonomian konvensional, sistem riba, fiat money, commodity money,
fractional reserve system dalam perbankan, dan diperbolehkannya spekulasi
menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang di sektor
moneter untuk mencari keuntungan tanpa risiko. Akibatnya, uang atau investasi yang
seharusnya tersalur ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor
moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Penciptaan
uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya, tujuan
pertumbuhan ekonomi akan terhambat (baca gambar 3.1).
12
Gambar 3.1 Implikasi Bunga pada Perekonomian
Sementara itu, dengan sistem zakat, sistem bagi hasil, dan pelarangan spekulasi dalam
perekonomian Islam, akan mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan
lancar ke sektor riil untuk tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin
terdistribusinya kekayaan dan pendapatan serta menumbuhkan sektor riil. Dengan
meningkatnya produktivitas dan kesempatan bekerja dan berusaha pada akhirnya
pertumbuhan ekonomi terdorong, dan pada akhirnya akan tercapai kesejahteraan
masyarakat (baca gambar 3.2).
Gambar 3.2 Implikasi Bagi Hasil pada Perekonomian
4. SINERGI SISTEM KEUANGAN KONVENSIONAL DAN SISTEM
KEUANGAN ISLAM
Dalam dunia yang didominasi sistem kapitalis, sistem moneter Islam kontemporer
belum dapat lepas dari pengaruhnya. Bahkan, baru sebagian kecil komponen utama
sistem moneter Islam yang dapat mulai diterapkan, yaitu pelarangan riba yang diganti
dengan sistem bagi hasil. Dua komponen utama lain, sistem uang dan sistem
perbankan, belum dapat diimplementasikan dan masih mengikuti model
konvensional, yaitu fiat money dan fractional reserve banking system (baca tabel 4.1).
Sumber: Sakti (2006)
Investasi Bagi Hasil
Distribusi Kekayaan & Pendapatan
Menumbuhkan Sektor Riil
Produktivitas & Kesempatan
Mendorong Laju Ekonomi
Sumber: Sakti (2006)
Menyusutkan Sektor Riil
Penciptaan & Konsentrasi Uang
Menghambat Laju Ekonomi
Inflasi
Sistem Riba
13
0 0
A
F
E
D
C
B
Tabel 4.1 Perbandingan Sistem Moneter Konvensional, Islam Konsep, dan Islam
Kontemporer
No. Konvensional Islam Konsep Islam Kontemporer 1. Fiat Money Islamic Money Fiat Money
2. Fractional Reserve Banking System
100 Percent Reserve Banking System
Fractional Reserve Banking System
3. Interest Profit and Loss Sharing Profit and Loss Sharing
Dengan masih diadopsinya fiat money dan fractional banking system, money creation
yang bersifat inflatoir masih ada dalam sistem keuangan Islam. Dengan demikian,
bank syariah yang beroperasi dalam fractional reserve banking system juga
menciptakan uang bank (giro dan uang elektronik), namun memfokuskan penggunaan
uang ciptaan ini sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, untuk mensinergikan sistem keuangan
konvensional dan sistem keuangan Islam, perhatian perlu difokuskan pada
perbandingan sistem bunga dan sistem bagi hasil secara lebih mendalam.
4.1 Kajian Ekonomi Empiris Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
Secara konseptual, perbandingan system bunga dan bagi hasil telah dibahas di subbab
terdahulu. Untuk mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan akan dibahas kajian
empirisnya yang dilakukan oleh Ryandono (2006), yang intinya dapat dibaca pada
gambar 4.1.
Sumber: Ryandono (2006)
(a) (b) (c) Investasi
G1
Interest
Investasi
Bagi hasil Pertumbuhan
Ekonomi
InvestasiI0 I0’ I1’ I1
r0
I0’ I1’
r1 Bh1
Bh0
0
G0
14
Gambar 4.1 Dampak Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil pada Investasi dan
Perekonomian
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan investasi upward-sloping atau positif,
yang berarti bahwa jika diinginkan pertumbuhan ekonomi atau output yang
meningkat, maka kebutuhan investasi meningkat juga (panel a). Hubungan antara
suku bunga dan investasi downward-sloping atau negatif, yang menunjukkan bahwa
jika suku bunga naik, maka investasi akan turun, karena semakin banyak proyek-
proyek investasi yang menjadi tidak layak untuk dibiayai. Suku bunga dapat
diumpamakan seperti bendungan. Jika bendungan semakin tinggi, maka semakin
sedikit air yang dapat melewati bendungan karena semakin banyak air yang tertahan
(panel b). Sementara itu, hubungan antara return bagi hasil dan investasi upward-
sloping atau positif, karena ketika return bagi hasil naik, maka investasi akan semakin
bergairah dan menguntungkan (panel c).
Pada ekonomi konvesional (panel b) ketika pertumbuhan ekonomi berada pada
tingkat G0, ekspektasi output dari investasi (area O.r0.C.I0’) lebih besar dari ekspektasi
ouput total perekonomian (area O.G0.A.I0 pada panel a). Ketika pertumbuhan
ekonomi ingin ditingkatkan menjadi G1 (ekspektasi output total perekonomian
menjadi O.G1.B.I1), suku bunga meningkat menjadi r1 sehingga menurunkan
ekspektasi output menjadi O.r1.D.I1’. Kesenjangan output (O.r0.C.I0’ - O.G0.A.I0 atau
O.G1.B.I1 - O.r1.D.I1’) mengakibatkan terjadinya eksploitasi, predatori, dan tekanan
(intimidasi) dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian, sistem bunga dapat
menghambat dan mendistorsi pembangunan ekonomi, serta menjadi penyebab tidak
sinkronnya sistem moneter dan fiskal suatu perekonomian. Suku bunga atau riba
terbukti dapat merusak perekonomian dengan menimbulkan instabilitas dan
inefisiensi, serta merusak ukhuwah manusia dalam melaksanakan aktivitas untuk
memenuhi kebutuhannya.
Sementara itu, pada ekonomi Islam (panel c) ketika pertumbuhan ekonomi berada
pada tingkat G0, ekspektasi output investasi (area O. Bh0.E.I0’) sama besarnya dengan
ekspektasi ouput total perekonomian (area O.G0.A.I0 pada panel a). Ketika
pertumbuhan ekonomi ingin ditingkatkan menjadi G1 (ekspektasi output total
perekonomian menjadi O.G1.B.I1), return bagi hasil meningkat menjadi Bh1 sehingga
menaikkan ekspektasi output menjadi O. Bh1.F.I1’ yang juga sama besarnya dengan
15
ekspektasi output total perekonomian O.G1.B.I1. Kesenjangan output tidak terjadi,
sehingga tidak mengakibatkan terjadinya eksploitasi, predatori, dan tekanan
(intimidasi) dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian, bagi hasil terbukti lebih sehat
dan adil yang dapat memacu perekonomian dengan terciptanya stabilitas dan efisiensi,
baik secara makro maupun mikro. Selain itu, dalam perekonomian, sektor moneter
dan sektor fiskal akan selalu berjalan sinkron dan seiring dengan kepentingan dan
tujuan yang sama.
4.2 Sinergi Sistem Keuangan Konvensional dan Islam
Di negara yang menerapkan sistem keuangan ganda, otoritas moneter dan keuangan
mempunyai tugas untuk menjaga stabilitas keuangan yang mencakup ke dua sistem
keuangan tersebut dan mensinergikan keduanya untuk mencapai manfaat yang
maksimal bagi kesejahteraan rakyat. Menggabungkan dan mensinergikan sistem
keuangan konvensional dan syariah memerlukan infrastuktur, instrumen, dan sistem
operasi yang dirancang dengan cermat yang tetap mengacu pada filosofi dan esensi
dasar ke dua sistem keuangan tersebut, dan tidak meleburkan salah satu sistem ke
dalam sistem yang lain. Bercampur tapi tidak lebur untuk menciptakan harmoni yang
selaras. Sinergi yang harmonis yang diciptakan oleh otoritas moneter dan keuangan
akan menjamin stabilitas sistem keuangan negara secara keseluruhan, mendorong
berkembangnya ekonomi di sektor riil, meningkatkan pertumbuhan yang berorientasi
pada kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat yang merata.
Di negara-negara yang mulai menerapkan sistem keuangan ganda, kebijakan moneter/
keuangan pada umumnya masih terpisah dan parsial, belum diselaraskan dan
dioptimalkan untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Instrumen kebijakan
moneter konvensional menggunakan suku bunga sebagai patokannya (policy rate).
Sementara itu, instrumen kebijakan moneter Islam menggunakan berbagai jenis
berdasarkan berbagai akad, namun pricingnya pada umumnya masih mengacu pada
policy rate konvensionalnya. Sehingga, kecenderungannya lembaga keuangan Islam
berperilaku seperti lembaga keuangan konvensionalnya. Sebagai contoh, perbankan
syariah di Malaysia memiliki portofolio pembiayaan yang 99% berakad murabahah
atau bai’ bithaman ajil/BBA, dan hanya kurang dari 1% yang berbagi hasil
(mudharabah atau musyarakah). Selain itu, financing to deposit ratio/FDR-nya hanya
berkisar 60%, seperti loan to deposit ratio/LDR bank konvensionalnya.
16
Dengan kebijakan yang tidak membedakan perlakuan masing-masing lembaga
keuangan sesuai dengan esensi dan karakteristiknya, lembaga keuangan Islam
berkembang dengan berperilaku seperti lembaga keuangan konvensionalnya. Keadaan
ini membuat bank syariah hampir tidak ada bedanya dengan bank konvensional dan
keberadaan bank syariah dengan karakteristiknya yang lebih berorientasi ke
pengembangan sektor riil tidak begitu terasa. Lebih jauh lagi, suku bunga dalam
sistem keuangan konvensional pun memiliki kelemahan mendasar yang sifatnya
eksploitatif, predatori, dan intimidatif dalam aktivitas ekonomi, sehingga sistem
bunga merupakan penghambat dan pendistorsi pembangunan ekonomi dan menjadi
penyebab tidak sinkronnya sistem moneter dan fiskal suatu perekonomian. Dengan
demikian, perlu dicari benchmark lain yang lebih sesuai untuk terjadinya sinergi
harmonis antara sistem keuangan konvensional dan Islam.
4.2.1 Keseimbangan Investasi dalam Ekonomi Islam
Permintaan akan investasi dalam ekonomi Islam secara empiris telah diilustrasikan
pada gambar 4.6 yang berbentuk upward sloping terhadap expexted return bagi hasil.
Artinya, semakin tinggi expected return bagi hasil bagi pengusaha, maka permintaan
investasi akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan teori permintaan investasi dalam
ekonomi Islam.
Penawaran investasi dalam ekonomi Islam dapat berasal dari swasta, pemerintah, dan
sosial. Dalam Islam, masyarakat yang memiliki harta/dana lebih dianjurkan untuk
berinvestasi dan tidak membiarkan dananya menganggur atau idle. Penumpukan
(hoarding) dana atau uang dalam Islam dilarang, karena uang merupakan public
goods yang dimaksudkan untuk memperlancar transaksi dalam perekonomian. Kalau
harta dibiarkan idle, maka (apabila telah memenuhi nizab/nilai dan haul/jangka
waktu) akan terkena zakat harta (mal) sebesar 2,5%. Lebih jauh lagi, telah dibuktikan
dalam Misanam (2007) bahwa implikasi dari law of diminishing return on investment
membuat seorang Muslim akan tetap menginvestasikan kelebihan hartanya hingga
expected return dari investasi tersebut sama dengan -2,5% (negatif tingkat zakat).
Dengan demikian, penawaran investasi dari masyarakat (swasta) tidak responsif
terhadap expected return bagi hasil.
Selain itu, investasi pemerintah yang utamanya untuk pembangunan infrastruktur
tidak terlalu memikirkan return, sehingga penawaran investasi pemerintah juga tidak
17
responsif terhadap expected return. Selain itu, dalam ekonomi Islam ada investasi
sosial dari dana-dana sosial seperti wakaf, infaq, dan shadaqah, yang otomatis sifatnya
juga tidak untuk mencari keuntungan, sehingga juga tidak responsif terhadap expected
return. Dengan demikian, karena sifat tidak responsifnya penawaran investasi swasta,
pemerintah, dan sosial, kurva penawaran investasi dalam Islam berbentuk vertikal,
seperti diilustrasikan pada gambar 4.8. Hal-hal yang dapat mempengaruhi pasar
investasi, antara lain kebijakan yang mampu menjaga tingkat return riil pada level
yang menarik dan peningkatan keimanan kolektif masyarakat sehingga dana sosial
terakumulasi menjadi investasi sosial secara maksimal.
Gambar 4.8 Keseimbangan Investasi dalam Ekonomi Islam
Sementara itu, hal-hal yang menentukan tingkat return sektor riil yang dapat
meningkatkan produktivitas dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, antara lain
manajemen perusahaan yang efisien, teknologi, birokrasi, dan kepastian hukum.
Dengan tingkat expected return bagi hasil optimal (πe*) pada perpotongan kurva
permintaan dan penawaran investasi, pertumbuhan ekonomi optimal (G*) akan dapat
dicapai, seperti diilustrasikan pada gambar 4.9. Ekspektasi output investasi pada
ekonomi Islam yaitu luasan O. πe*.A.II sama besarnya dengan ekspektasi ouput total
perekonomian yaitu luasan O.G*.B.I*. Oleh karena itu, tingkat investasi disini adalah
tingkat investasi optimal yang tidak terjadi kekurangan atau kelebihan seperti pada
ekonomi konvensional, sehingga tidak terjadi terjadi eksploitasi, predatori, atau
tekanan (intimidasi) dalam aktivitas ekonomi.
Sumber: Sakti (2007)
Id = kY + h(πe) Is = Ip + Ig
πe*
Bagi Hasil
Investasi II 0
18
Gambar 4.9 Pertumbuhan Ekonomi Optimal dalam Ekonomi Islam
4.2.2 Kondisi untuk Mencapai Sinergi
Seperti telah dijelaskan di atas, tingkat expected return bagi hasil optimal (πe*) pada
ekonomi Islam yang diturunkan dari tingkat investasi optimal akan menghasilkan
tingkat pertumbuhan ekonomi optimal (G*), yang tidak memicu eksploitasi, predatori,
maupun intimidasi.
Tingkat πe* ini dapat dijadikan benchmark bagi otoritas moneter untuk menetapkan
policy rate yang dapat memaksimalkan kesejahteraan dan meminimalkan inefisiensi,
karena tingkat suku bunga r* yang setara dengan πe* adalah tingkat suku bunga yang
meminimalkan gap antara permintaan dan penawaran investasi pada ekonomi
konvensional, sehingga akan menghasilkan tingkat investasi yang menghasilkan
dampak negatif eksploitasi, predatori, dan intimidasi yang paling minimal. Kondisi ini
diilustrasikan pada gambar 4.10.
Gambar 4.10 Sinergi Sistem Keuangan Konvensional dan Sistem Keuangan
Islam
Bagi Hasil
Id
Is
πe* G*
I*
Pertumbuhan Ekonomi
Inv
Interest
r*
IC Inv Inv0 0 0
A B C
II
Bagi Hasil
Investasi
Id Is
πe*
Investasi
G*
I*
Pertumbuhan Ekonomi
0 0
B A
II
19
Dengan demikian, sinergi sistem keuangan konvensional dan Islam dalam suatu
negara yang menganut dual financial/banking system akan dapat terjadi ketika
keuangan konvensional dan Islam diperbolehkan untuk beroperasi berdampingan
sesuai dengan paradigma dan karakteristik masing-masing. Pelaku-pelaku dalam
masing-masing sistem dapat bercampur dan berbaur, tetapi tidak lebur, karena
identitas masing-masing tetap dijaga. Satu-satunya instrumen pemersatu ke dua sistem
agar dapat mencapai tujuan utama dalam memaksimalkan kesejahteraan masyarakat
dan meminimalkan inefisiensi adalah melalui penggunaan expected return bagi hasil
yang terjadi di pasar keuangan Islam untuk menetapkan policy rate yang berlaku pada
sistem keuangan konvensional.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Sistem keuangan dan moneter konvensional memiliki tiga subsistem utama, yaitu fiat
money, fractional reserve banking system, dan bunga (riba). Ke tiga subsistem ini,
ditambah dengan diperbolehkannya memperdagangkan uang dan spekulasi
menyebabkan penciptaan uang baru (kartal, giral, dan elektronik) dan tersedotnya
uang ke sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa risiko. Akibatnya, uang atau
investasi yang seharusnya tersalur ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar
lari ke sektor moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil.
Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya,
tujuan pertumbuhan ekonomi akan terhambat.
Sistem keuangan dan moneter Islam, secara konsep, memiliki tiga subsistem utama
yang berbeda dengan yang ada di konvensional, yaitu Islamic money (full
bodied/fully backed money), 100 percent reserve banking system, dan bagi hasil. Ke
tiga subsistem ini, ditambah dengan sistem zakat dan pelarangan spekulasi, akan
mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk
tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya kekayaan
dan pendapatan serta menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya produktivitas
dan kesempatan bekerja dan berusaha pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan
terdorong, dan akan tercapai kesejahteraan masyarakat.
20
Sementara itu, sistem keuangan dan moneter Islam kontemporer, khususnya dalam
negara yang menganut dual financial/banking system, seperti Indonesia, belum
memiliki semua subsistem yang diperlukan. Dua subsistem utama yang masih
mengikuti subsistem konvensionalnya adalah penggunaan fiat money dalam
perekonomian dan penerapan fractional reserve banking system pada perbankan
syariah. Dengan demikian, pencapaian tujuan-tujuan ekonomi Islam juga masih jauh
dari optimal. Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dalam memaksimalkan
kesejahteraan rakyat dan meminimalkan inefisiensi perlu diupayakan sinergi antara
sistem keuangan konvensional dan Islam.
Sinergi sistem keuangan konvensional dan Islam dalam suatu negara yang menganut
dual financial/banking system akan dapat terjadi ketika keuangan konvensional dan
Islam diperbolehkan untuk beroperasi berdampingan sesuai dengan paradigma dan
karakteristik masing-masing. Pelaku-pelaku dalam masing-masing sistem dapat
bercampur dan berbaur, tetapi tidak lebur, karena identitas masing-masing tetap
dijaga. Sedangkan instrumen pemersatu ke dua sistem agar dapat mencapai tujuan
utama dalam memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan meminimalkan
inefisiensi adalah melalui penggunaan expected return bagi hasil yang terjadi di pasar
keuangan Islam untuk menetapkan policy rate yang berlaku pada sistem keuangan
konvensional.
Dalam negara yang menganut dual financial/banking system tetapi ekonominya masih
didominasi oleh sistem keuangan konvensional, sistem keuangan Islam akan
terdominasi dan bahkan masih menggunakan benchmark konvensional, yaitu policy
rate. Untuk mencapai sinergi, perlu adanya komitmen dan kebijakan pemerintah
untuk menerapkan expected return bagi hasil sebagai policy rate kebijakan moneter
pada sistem keuangan konvensional.
5.2 Rekomendasi
1. Dalam rangka memurnikan implementasi system keuangan Islam, Pemerintah
harus memiliki kemauan, keberanian, dan komitmen politik untuk secara bertahap
menerapkan mata uang Islami dan 100 percent reserve banking system.
Pemerintah juga harus mempunyai perencananaan jangka panjang untuk
membangun semua infrastruktur, sistem, perundang-undangan, peraturan, dan
21
segala sesuatu yang dibutuhkan agar lembaga keuangan Syariah dapat beroperasi
secara penuh sesuai dengan Syariah.
2. Kebijakan moneter yang optimal dalam suatu Negara yang menerapkan system
keuangan/perbankan ganda harus mengacu suku bunga kebijakannya pada tingkat
bagi hasil di pasar Syariah untuk mencapai tujuan utama dalam memaksimalkan
pemerataan kesejahteraan sosial dan keadilan, serta meminimalkan inefisiensi.
3. Lembaga keuangan Syariah seyogyanya tidak mengikuti suku bunga pasar ketika
menetapkan tingkat bagi hasil kepada nasabah, melainkan menghitung tingkat
bagi hasil sendiri berdasarkan keuntungan pasar dan biaya dan pendapatan
operasional perusahaan.
4. Lembaga keuangan Syariah sebaiknya memperluas basis nasabah mereka dengan
menaikkan persentase nasabah loyal dan menurunkan persentase nasabah
mengambang dengan cara sosialisasi nasional yang terintegrasi dan terpadu,
edukasi, dan promosi.
REFERENSI
Ascarya and Yumanita, Diana (ed) (2005), Strategi Pengembangan Lembaga
Keuangan Syariah di Indonesia, Proceedings, Nasional Seminar, Bank Indonesia, September 15.
Astiyah, Siti dan Anugrah, D. Fajar (2006), “Kebijakan Moneter Tepadu dalam Dual Banking System”, Working Paper, Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia.
International Islamic University Malaysia (2002), 2002 International Conference on Stable and Just Global Monetary System: Viability of the Islamic Gold Dinar, Proceedings, International Islamic University Malaysia, Kuala Lumpur, August 19-20.
Izhar, Hilmun and Asutay, Mehmet (2007), “The Controllability and Reliability of Monetary Policy in Dual Banking System: Evidence from Indonesia”, Paper, presented at IIUM International Conference on Islamic Banking and Finance (IICiBF), Kuala Lumpur, Malaysia, 23-25 April.
Kaleem, Ahmad (2000), “Modeling Monetary Stability under Dual Banking System: The Case of Malaysia.” International Journal of Islamic Financial Services, Vol.2, No.1.
Meera, A.K.M (2004), The Theft of Nations: Returning to Gold, Pelanduk Publications, Selangor Darul Ehsan, Malaysia.
22
Meera, A.K.M and Larbani, Moussa (2006), “Seigniorage of Fiat Money and the Maqasid al-Shariah: The Unattainableness of the Maqasid”, Humanomics, 22, 1.
Misanam, Munrokhim et.al. (2007), Text Book Ekonomi Islam, Bank Indonesia dan P3EI-UII.
Rosly, Saiful Azhar., (2005), Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets, Dinamas Publishing, Kuala Lumpur, Malaysia.
Ryandono, M.N. Hadi (2006), “Mempertanyakan Kebenaran Paradigma Hubungan Bunga, Investasi (Kredit), dan Pertumbuhan Ekonomi: Haramnya Sistem Bunga (Riba) Secara Teortik dan Empirik”, Paper, disampaikan pada Seminar dan Kolokium Nasional, ITB, Bandung, September.
Sakti, Ali (2007), Sistem Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Paradigma & Aqsa Publishing, Jakarta.
top related