2007-3-00449-ti bab 2
Post on 30-Dec-2015
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan yang melekat pada diri
seseorang yang memimpin, yang tergantung dari macam-macam faktor, baik
faktor-faktor intern maupun faktor-faktor ekstern (Winardi, h.47).
Menurut George R. Terry, ”Kepemimpinan adalah aktivitas
mempengaruhi orang-orang untuk berusaha mencapai tujuan kelompok secara
sukarela (Hersey & Blanchard, h.98).”
Dari definisi tersebut dapat kita menyimpulkan bahwa (Winardi, h.56):
- aktivitas memimpin pada hakikatnya meliputi suatu hubungan;
- adanya satu orang yang mempengaruhi orang-orang lain agar mereka mau
bekerja ke arah pencapaian sasaran tertentu.
Robert Tannenbaum, Irving R. Weschler, dan Fred Messarik
mendefinisikan kepemimpinan sebagai ”pengaruh antarpribadi yang
dilakukan dalam suatu situasi dan diarahkan, melalui proses komunikasi, pada
pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu.” Harold Koontz dan Cyril
O’Donnel mengemukakan bahwa ”kepemimpinan adalah upaya
mempengaruhi orang-orang untuk ikut dalam pencapaian tujuan bersama.”
31
Hasil tinjauan terhadap penulis-penulis lain mengungkapkan bahwa para
penulis manajemen umumnya sepakat bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi aktivitas seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai
tujuan dalam situasi tertentu (Hersey & Blanchard, h.99).
2.1.2 Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh
seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang
lain seperti yang ia lihat (Thoha, h.49). Adapun sebagian besar teori
kepemimpinan memfokuskan pada gaya kepemimpinan. Variabel ini sangat
penting karena gaya kepemimpinan mencerminkan apa yang dilakukan oleh
pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya untuk merealisasi visinya.
Gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang
pemimpin, baik gaya yang tampak maupun yang tidak tampak oleh
bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten
dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku
seseorang. Gaya kepemimpinan yang menunjukkan, secara langsung maupun
tidak langsung, tentang keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan
bawahannya. Artinya, gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi,
sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap yang sering
diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja
bawahannya (Veithzal Rivai, h.64).
32
2.1.3 Fungsi Kepemimpinan
Secara operasional dapat dibedakan dalam lima fungsi pokok
kepemimpinan, yaitu (Veithzal Rivai, h.53):
a. Fungsi instruksi
Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator
merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana, dan di
mana perintah itu dikerjakan agar keputusan dapat dilaksanakan secara
efektif. Kepemimpinan yang efektif memerlukan kemampuan untuk
menggerakkan dan memotivasi orang lain agar mau melaksanakan
perintah.
b. Fungsi konsultasi
Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha
menetapkan keputusan, pemimpin kerapkali memerlukan bahan
pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang
yang dipimpinnya yang dinilai mempunyai berbagai bahan informasi yang
diperlukan dalam menetapkan keputusan. Tahap berikutnya konsultasi
dari pimpinan pada orang-orang yang dipimpin dapat dilakukan setelah
keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi itu
dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik (feed back)
untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang
telah ditetapkan dan dilaksanakan. Dengan menjalankan fungsi konsultatif
dapat diharapkan keputusan-keputusan pimpinan, akan mendapat
33
dukungan dan lebih mudah menginstruksikannya, sehingga kepemimpinan
berlangsung efektif.
c. Fungsi partisipatif
Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-
orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan
maupun dalam melaksanakannya. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat
semaunya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerjasama
dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain.
Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan
bukan pelaksana.
d. Fungsi delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang
membuat atau menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun
tanpa persetujuan dari pimpinan. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti
kepercayaan. Orang-orang penerima delegasi itu harus diyakini
merupakan pembantu pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip,
persepsi dan aspirasi.
e. Fungsi pengendalian
Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses atau
efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam
koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan
34
bersama secara maksimal. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui
kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi dan pengawasan.
2.1.4 Teori-teori Gaya Kepemimpinan
2.1.4.1 Studi Kepemimpinan Universitas Ohio
Studi-studi kepemimpinan yang diawali pada tahun 1945 oleh Bureau of
Business Research di Universitas Negeri Ohio berusaha mengidentifikasi
berbagai dimensi perilaku pemimpin. Staf peneliti di biro itu, yang
mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku seseorang pada saat
mengarahkan aktivitas kelompok pada pencapaian tujuan akhirnya
mempersempit uraian perilaku pemimpin dalam dua dimensi: struktur inisiasi
dan konsiderasi (initiating structure and consideration). Struktur inisiasi
mengacu pada ”perilaku pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara
dirinya sendiri dengan anggota kelompok kerja dan dalam upaya membentuk
pola organisasi, saluran komunikasi dan metode atau prosedur yang
ditetapkan dengan baik”. Sebaliknya, konsiderasi mengacu pada ”perilaku
yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal balik, rasa hormat dan
kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya”.
Dalam mempelajari perilaku pemimpin, staf Universitas Ohio menemukan
bahwa struktur inisiasi dan konsiderasi merupakan dimensi-dimensi yang
terpisah dan berbeda. Perilaku pemimpin dapat dilukiskan sebagai gabungan
kedua dimensi tersebut. Dengan demikian, selama berlangsungnya studi-studi
35
itulah perilaku pemimpin pertama sekali diplotkan pada dua poros yang
terpisah dan tidak pada satu kontinum saja. Selanjutnya dibentuk empat
kuadran untuk menunjukkan variasi kombinasi struktur inisiasi (perilaku
tugas) dan konsiderasi (perilaku hubungan) (Hersey & Blanchard, h.104).
2.1.4.2 Studi Kepemimpinan Universitas Michigan
Penelitian kepemimpinan yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Survei
Universitas Michigan pada waktu yang kurang lebih bersamaan dengan
penelitian yang dilakukan di Ohio, mempunyai sasaran penelitian serupa:
mencari karakteristik perilaku pemimpin yang tampak terkait dengan ukuran
efektivitas kinerja.
Kelompok Michigan juga menghasilkan dimensi perilaku kepemimpinan
yang mereka sebut berorientasi-karyawan dan berorientasi-produksi.
Pemimpin yang berorientasi karyawan dideskripsikan sebagai menekankan
pada hubungan antarpribadi; mereka secara pribadi berminat pada kebutuhan
bawahan mereka dan menerima perbedaan individual di antara anggota-
anggota. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi-produksi, cenderung
menekankan pada aspek teknis atau tugas atas pekerjaan tertentu, perhatian
utama mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan
anggota-anggota kelompok merupakan alat untuk mencapai hasil akhir itu.
Kesimpulan yang didapatkan oleh para peneliti Michigan sangat
menitikberatkan kepada pemimpin dengan perilaku berorientasi-karyawan.
36
Pemimpin yang berorientasi-karyawan dikaitkan dengan peningkatan
produktivitas kelompok dan kepuasan kerja. Pemimpin yang berorientasi-
produksi cenderung dikaitkan dengan penurunan produktivitas kelompok dan
kepuasan kerja (Stephen P. Robbins, h.436).
2.1.4.3 Teori Kepemimpinan Kisi-kisi Majerial
Penggambaran grafis atas pandangan dua-dimensi gaya kepemimpinan
dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Mereka mengemukakan kisi-kisi
manajerial (managerial grid) (sering kali juga dikenal sebagai kisi-kisi
kepemimpinan) berdasarkan pada gaya ”kepedulian dan orang” dan
”kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi
pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasi-
karyawan dan berorientasi-produksi dari Michigan (Stephen P. Robbins,
h.437).
Robert R. Blake dan Jane S. Mouton telah mempopulerkan kedua konsep
itu (menekankan pada penyelesaian tugas dan pengembangan hubungan
pribadi) dalam geradi manajemen mereka dan telah menggunakan geradi itu
secara ekstensif dalam program-program pengembangan organisasi dan
manajemen (Hersey & Blanchard, h.106).
37
2.1.4.4 Teori Kontinjensi
a. Teori Kontinum Perilaku Pemimpin
Tannenbaum dan Schmidt (1958) (Wirawan, h.97) mengemukakan teori
kontinum perilaku pemimpin. Menurut teori ini perilaku pemimpin
ditentukan oleh kontinum antara 4 faktor:
1. Perilaku berorientasi tugas (task oriented) yaitu berapa besar
pemimpin memusatkan perhatiannya kepada tugas yang harus
diselesaikan dan menghasilkan produksi yang ditargetkan.
2. Perilaku berorientasi hubungan (relationship oriented) yaitu
berapa besar pemimpin memperhatikan hubungannya dengan para
pengikutnya.
3. Jumlah otoritas yang dipergunakan pemimpin dalam
mempengaruhi pengikutnya.
4. Jumlah kebebasan yang dimiliki pengikut dalam melaksanakan
tugasnya.
b. Teori Gaya Kepemimpinan Berbagi Kekuasaan
Teori ini mengambil pola pikir Tannenbaum dan Schmidt dan
mengembangkan model gaya kepemimpinan berbagi kebebasan
menggunakan kekuasaan. Model ini disusun dengan asumsi bahwa
kepemimpinan merupakan proses interaksi kekuasaan antara pemimpin
dan para pengikutnya. Hubungan tersebut didasarkan pada dua dimensi
yaitu tinggi rendahnya kebebasan penggunaan kekuasaan oleh pemimpin
38
dan tinggi rendahnya kebebasan pengikut untuk menggunakan
kekuasaannya dalam interaksi kepemimpinan (Wirawan, h.98).
Dari dua dimensi tersebut gaya kepemimpinan dapat dikelompokkan
menjadi lima jenis gaya kepemimpinan. Lima gaya kepemimpinan
tersebut adalah (Wirawan, h.100):
1. Gaya kepemimpinan otokratik.
2. Gaya kepemimpinan paternalistik.
3. Gaya kepemimpinan partisipatif.
4. Gaya kepemimpinan demokratif.
5. Gaya kepemimpinan pemimpin terima beres (free rein atau laissez
faire).
c. Teori Konsep Kecocokan Pemimpin (Leadership Match Concept)
Teori model kontinjensi keefektifan kepemimpinan dari Fiedler kemudian
dikembangkan menjadi Leader Match Concept oleh Fiedler dan Chemers
(1984). Teori Leadership Match ditentukan oleh 2 faktor:
1. Gaya kepemimpinan
Menurut Fiedler dan Chemers gaya kepemimpinan adalah derajat
hubungan antara seseorang dengan teman sekerjanya dengan siapa
ia paling tidak ingin bekerja atau Least Preffered Coworker (LPC).
Derajat hubungan tersebut diukur dengan suatu test yang disebut
LPC scale atau Skala Teman Sekerja Paling Kurang Disukai.
39
Berdasarkan hasil test tersebut pemimpin dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu (Wirawan, h.104):
a. Pemimpin Termotivasi Hubungan (Relationship Motivated
Leaders)
b. Pemimpin Sosio-independen (Sosio-independent Leaders)
c. Pemimpin Termotivasi Tugas (Task-motivated Leaders)
2. Situasi Kepemimpinan
Ada tiga komponen yang menentukan kontrol dan pengaruh dalam
suatu situasi (Wirawan, h.106) yaitu:
a. Hubungan pemimpin dan pengikut (Leader-member relation)
yaitu sampai seberapa besar pengikut atau kelompok
mendukung dan loyal kepada pemimpin.
b. Struktur tugas (Task Structure). Sampai seberapa rinci tugas
menyatakan tujuan, prosedur dan pedoman khusus untuk
melaksanakan tugas.
c. Kekuasaan possional (Position Power). Sampai seberapa besar
posisi atau jabatan memberikan otoritas atau wewenang kepada
pemimpin untuk memberi imbalan dan menghukum pengikut.
3. Mencocokan Gaya Kepemimpinan dengan Situasi Kepemimpinan
Tidak semua gaya kepemimpinan cocok dengan semua situasi
kepemimpinan. Dengan kata lain pemimpin harus mencocokannya
40
dengan situasi kontrol kepemimpinan yang dihadapinya (Wirawan,
h.109).
2.1.4.5 Teori Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard
Kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan antara (2) kadar
bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan pemimpin; (2) kadar
dukungan sosio-emosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin;
dan (3) level kesiapan (“kematangan”) yang diperlihatkan pengikut dalam
pelaksanaan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu (Hersey & Blanchard, h.178).
Gaya kepemimpinan seseorang adalah pola perilaku yang diperlihatkan
orang itu pada saat mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang
dipersepsikan orang lain. Gaya kepemimpinan seseorang terdiri dari
kombinasi dari perilaku tugas dan perilaku hubungan. Kedua jenis perilaku
itu, tugas dan hubungan, yang merupakan inti konsep gaya kepemimpinan,
didefinisikan sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.114):
- Perilaku tugas adalah kadar upaya pemimpin mengorganisasi dan
menetapkan peranan anggota kelompok (pengikut); menjelaskan aktivitas
setiap anggota serta kapan, di mana, dan bagaimana cara
menyelesaikannya; dicirikan dengan upaya untuk menetapkan pola
organisasi, saluran komunikasi, dan cara penyelesaian pekerjaan secara
rinci dan jelas.
41
Pendapat tersebut jelas bahwa perilaku tugas dapat menentukan apa yang
dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan, kapan dikerjakan, untuk apa,
jumlah biaya, darimana dan dengan siapa mengerjakannya dan
kesemuanya ini disampaikan kepada karyawan.
Adapun instrumen untuk mengukur perilaku tugas menurut Hersey,
Blanchard dan Hembleton yang didasarkan dalam lima dimensi perilaku
sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.191):
Tabel 2.1 Instrumen untuk Mengukur Perilaku Tugas Pemimpin
DIMENSI
PERILAKU TUGAS INDIKATOR PERILAKU
Sejauh mana pemimpin …
Penyusunan tujuan Menetapkan tujuan yang perlu dicapai orang-orang.
Pengorganisasian Mengorganisasi situasi kerja bagi orang-orangnya.
Menetapkan batas waktu Menetapkan batas waktu bagi orang-orangnya.
Pengarahan Memberikan arahan spesifik.
Pengendalian
Menetapkan dan mensyaratkan adanya laporan
regular tentang kemajuan pelaksanaan pekerjaan.
- Perilaku hubungan adalah kadar upaya pemimpin membina hubungan
pribadi di antara mereka sendiri dan dengan para anggota kelompok
mereka (pengikut) dengan membuka lebar saluran komunikasi,
42
menyediakan dukungan sosio-emosional, ”sambaran-sambaran
psikologis”, dan pemudahan perilaku.
Adapun instrumen untuk mengukur perilaku hubungan menurut Hersey,
Blanchard dan Hembleton yang didasarkan dalam lima dimensi perilaku
sebagai berikut (Hersey & Blanchard, h.191):
Tabel 2.2 Instrumen untuk Mengukur Perilaku Hubungan Pemimpin
DIMENSI
PERILAKU HUBUNGAN INDIKATOR PERILAKU
Sejauh mana pemimpin …
Memberikan dukungan Memberikan dukungan dan dorongan.
Mengkomunikasikan
Melibatkan orang-orang dalam diskusi yang
bersifat "memberi dan menerima" tentang
aktivitas kerja.
Memudahkan interaksi Memudahkan interaksi di antara orang-orangnya.
Aktif menyimak
Berusaha mencari dan menyimak pendapat dan
kerisauan orang-orangnya.
Memberikan balikan
Memberikan balikan tentang prestasi orang-
orangnya.
43
Dua hal yang biasa dilakukan oleh pemimpin terhadap bawahan atau
pengikutnya adalah: Perilaku Tugas dan Perilaku Hubungan (Thoha, h.77).
Perilaku tugas ialah suatu perilaku seorang pemimpin untuk mengatur dan
merumuskan peranan-peranan dari anggota-anggota kelompok atau para
pengikut; menerangkan kegiatan yang harus dikerjakan oleh masing-masing
anggota, kapan dilakukan, di mana melaksanakannya, dan bagaimana tugas-
tugas itu harus dicapai. Selanjutnya disifati oleh usaha-usaha untuk
menciptakan pola organisasi yang mantap, jalur komunikasi yang jelas, dan
cara-cara melakukan jenis pekerjaan yang harus dicapai.
Perilaku hubungan ialah suatu perilaku seorang pemimpin yang ingin
memelihara hubungan-hubungan antarpribadi di antara dirinya dengan
anggota-anggota kelompok atau para pengikut dengan cara membuka lebar-
lebar jalur komunikasi, mendelegasikan tanggungjawab, dan memberikan
kesempatan pada para bawahan untuk menggunakan potensinya. Hal
semacam ini disifati oleh dukungan sosio-emosional, kesetiakawanan, dan
kepercayaan bersama.
Pengenalan kedua perilaku di atas sebagai suatu dimensi penting dari
perilaku pemimpin, telah dikenal sebagai suatu bagian yang penting dari kerja
keras ahli-ahli manajemen beberapa dasawarsa terakhir ini.
44
Gambar 2.1 Empat Gaya Dasar Kepemimpinan
Empat gaya dasar kepemimpinan yaitu (Thoha, h.67):
1. Gaya 1 (G1): Instruksi (memberitahukan)
Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan
rendah dukungan.
Gaya ini dicirikan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin memberikan
batasan peranan pengikutnya dan memberitahu mereka tentang apa,
bagaimana, bilamana, dan di mana melaksanakan berbagai tugas. Inisiatif
45
pemecahan masalah dan pembuatan keputusan semata-mata dilakukan
oleh pemimpin. Pemecahan masalah dan keputusan diumumkan dan
pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh pemimpin.
2. Gaya 2 (G2): Konsultasi (menjajakan)
Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi
dukungan.
Dalam menggunakan gaya ini, pemimpin masih banyak memberikan
pengarahan dan masih membuat hampir sama dengan keputusan, tetapi hal
ini diikuti dengan meningkatkan komunikasi dua arah dan perilaku
mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut tentang
keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Meskipun
dukungan ditingkatkan, pengendalian (control) atas pengambilan
keputusan tetap pada pemimpin.
3. Gaya 3 (G3): Partisipasi (mengikutsertakan)
Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah
pengarahan.
Posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pembuatan keputusan
dipegang secara bergantian. Dengan penggunaan gaya 3 ini, pemimpin
dan pengikut saling tukar-menukar ide dalam pemecahan masalah dan
pembuat keputusan. Komunikasi dua arah ditingkatkan, dan peranan
pemimpin adalah secara aktif mendengar. Tanggung jawab pemecahan
masalah dan pembuatan keputusan sebagian besar berada pada pihak
46
pengikut. Hal ini sudah sewajarnya karena pengikut memiliki kemampuan
untuk melaksanakan tugas.
4. Gaya 4 (G4): Delegasi (mendelegasikan)
Ini ditunjukkan oleh perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan
rendah pengarahan.
Pemimpin mendiskusikan masalah bersama-sama dengan bawahan
sehingga tercapai kesepakatan mengenai definisi masalah yang kemudian
proses pembuatan keputusan didelegasikan secara keseluruhan kepada
bawahan. Sekarang bawahanlah yang memiliki kontrol untuk memutuskan
tentang bagaimana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan
kesempatan yang luas bagi bawahan untuk melaksanakan pertunjukkan
mereka sendiri karena mereka memiliki kemampuan dan keyakinan untuk
memikul tanggungjawab dalam pengarahan perilaku mereka sendiri.
2.2 Kematangan/ Kesiapan Pengikut atau Kelompok
Kematangan (maturity) didefinisikan sebagai kemampuan dan kemauan
(ability and willingness) orang-orang untuk memikul tanggungjawab untuk
mengarahkan perilaku mereka sendiri. Variabel-variabel kematangan itu
hendaknya hanya dipertimbangkan dalam kaitannya dengan tugas tertentu yang
perlu dilaksanakan. Artinya, seseorang atau suatu kelompok tidak dapat dikatakan
matang atau tidak matang dalam arti menyeluruh. Semua orang cenderung lebih
atau kurang matang dalam hubungannya dengan tugas, fungsi, atau sasaran
47
spesifik yang diupayakan pemimpin untuk diselesaikan melalui upaya mereka
(Hersey & Blanchard, h.179).
Kesiapan pengikut terdiri dari dua komponen yaitu:
a. Kemampuan atau ability pengikut.
Adalah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dibawa oleh
individual atau kelompok pengikut untuk melaksanakan tugas atau aktifitas
tertentu.
b. Kemauan atau wilingness.
Yaitu sampai seberapa besar individu atau kelompok pengikut mempunyai
kepercayaan diri, komitmen dan motivasi untuk melakukan suatu tugas
tertentu.
Berdasarkan kemampuan dan kemauan, kesiapan atau readiness pengikut
dapat dikelompokkan menjadi empat level kesiapan, seperti tertera pada tabel di
bawah ini:
Tabel 2.3 Kontinum Tingkat Kematangan Pengikut
48
Indikator dari kesiapan setiap level tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalam Kesiapan Level 1 (M1), pengikut tidak mampu dan kurang komitmen
dan motivasi untuk melaksanakan tugasnya atau dapat juga pengikut tidak
mampu dan merasa tidak percaya diri untuk melaksanakan tugasnya. Indikator
R1 atau tak mampu dan tidak mau antara lain adalah:
a. Tidak melakukan tugas pada level yang dapat diterima.
b. Terintimidasi oleh tugasnya.
c. Tidak jelas mengenai arah tugas.
d. Penundaan pelaksanaan tugas.
e. Mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai tugas.
f. Menghindari tugas.
g. Menjadi defensif atau tidak enak untuk melaksanakan tugas.
2. Dalam Kesiapan Level 2 (M2), pengikut tidak mampu akan tetapi mempunyai
kemauan untuk melaksanakan tugas. Pemimpin kurang kemampuannya akan
tetapi termotivasi untuk berupaya melaksanakan tugasnya. Atau pengikut
tidak mampu tapi punya percaya diri untuk melaksanakan tugasnya sepanjang
pemimpin berada di dekatnya untuk memberikan panduan. Indikatornya
adalah sebagai berikut:
a. Punya keinginan dan senang.
b. Tertarik dan responsif.
c. Menunjukkan kemampuan sedang.
d. Mau menerima masukan.
49
e. Penuh perhatian.
f. Antusiastik.
g. Mau melaksanakan tugas baru tanpa pengalaman.
3. Dalam Kesiapan Level 3 (M3), pengikut mempunyai kemampuan akan tetapi
tidak mempunyai kemauan untuk mempergunakan kemampuannya untuk
melaksanakan tugas. Dapat juga pengikut mempunyai kemampuan akan tetapi
tidak mempunyai percaya diri untuk melaksanakan tugasnya. Indikator
kesiapan ini adalah sebagai berikut:
a. Telah menunjukkan pengetahuan dan kemampuan.
b. Tampak ragu-ragu untuk menyelesaikan atau mengambil langkah
berikutnya dalam melaksanakan tugas.
c. Kelihatannya takut, kaget dan bingung.
d. Tampak masa bodo untuk melaksanakan tugas sendiri.
e. Sering meminta balikan.
4. Dalam Kesiapan Level 4 (M4), pengikut mempunyai kemampuan dan
kemauan untuk melaksanakan tugas. Atau mungkin juga pengikut mempunyai
kemampuan dan mempunyai percaya diri untuk melaksanakan tugasnya.
Indikator dari kesiapan ini adalah:
a. Membuat atasan selalu terinformasi tentang kemajuan pelaksanaan
tugas.
b. Mempergunakan sumber secara efisien.
c. Bertanggungjawab dan berorientasi pada hasil.
50
d. Dapat melaksanakan tugas secara independent.
e. Berbagi berita baik dan buruk.
f. Membuat keputusan yang efektif mengenai tugas.
g. Melaksanakan standar tinggi.
h. Berbagi ide kreatif.
i. Menyelesaikan tugas tepat waktu atau lebih cepat.
2.3 Komponen Kematangan
Konsep kematangan terdiri dari dua dimensi yaitu (Hersey & Blanchard,
h.187):
1. Kematangan pekerjaan
Dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Hal ini berkaitan
dengan pengetahuan dan keterampilan. Orang-orang yang memiliki
kematangan pekerjaan yang tinggi dalam bidang tertentu memiliki
pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu tanpa arahan dari orang lain. Seseorang yang tinggi kematangan
kerjanya boleh jadi akan mengatakan: ”Saya benar-benar berbakat dalam
bagian pekerjaan saya yang ini. Saya dapat bekerja sendiri dalam bidang itu
tanpa memerlukan banyak bantuan dari pimpinan saya.”
Untuk mengukur kematangan pekerjaan menurut Hersey, Blanchard dan
Hembleton digunakan skala kematangan sebagai berikut (Hersey &
Blanchard, h.189):
51
Tabel 2.4 Format Pengharkatan Skala Kematangan Pekerjaan oleh Manajer
2. Kematangan Psikologis
Dikaitkan dengan kemauan atau motivasi untuk melakukan sesuatu. Hal ini
erat kaitannya dengan rasa yakin dan keikatan. Orang-orang yang sangat
matang secara psikologis dalam bidang atau tanggungjawab tertentu merasa
bahwa tanggungjawab merupakan hal yang penting serta memiliki rasa yakin
terhadap diri sendiri dan merasa dirinya mampu dalam aspek pekerjaan
tertentu. Mereka tidak membutuhkan dorongan ekstensif untuk mau
melakukan hal-hal dalam bidang tersebut. Komentar orang yang sangat
matang secara psikologis kemungkinan besar adalah: ”Saya sangat
menyenangi aspek pekerjaan saya yang ini. Atasan saya tidak perlu
mengawasi saya dengan ketat atau mendorong saya untuk melakukan
pekerjaan dalam bidang itu.”
Untuk mengukur kematangan psikologis menurut Hersey, Blanchard dan
Hembleton digunakan skala kematangan sebagai berikut (Hersey &
Blanchard, h.189):
52
Tabel 2.5 Format Pengharkatan Skala Kematangan Psikologis oleh Manajer
2.4 Gaya Pemimpin Versus Kematangan Pengikut
Gaya kepemimpinan yang sesuai (gaya pemimpin) bagi level kematangan
tertentu dari pengikut digambarkan dengan kurva preskriptif yang bergerak
melalui keempat kuadran kepemimpinan. Kurva berbentuk lonceng itu disebut
kurva preskriptif karena hal itu menunjukkan gaya kepemimpinan yang sesuai
langsung di atas level kematangan yang berkaitan.
53
Hubungan gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan dilukiskan dalam
gambar berikut ini (Thoha, h.70):
Gambar 2.2 Model Kepemimpinan Situasional
Gambar di atas berusaha menggambarkan hubungan antara tingkat
kematangan para pengikut atau bawahan dengan gaya kepemimpinan yang sesuai
untuk diterapkan ketika para pengikut bergerak dari kematangan yang sedang ke
kematangan yang telah berkembang (dari M1 sampai dengan M4). Hubungan
tersebut dapat diikuti uraian penjelasannya sebagai berikut (Thoha, h.71):
1. G1 (Instruksi), diberikan untuk pengikut yang rendah kematangannya. Orang
yang tidak mampu dan mau (percaya diri) (M1) memiliki tanggungjawab
54
untuk melaksanakan sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki
keyakinan. Dalam banyak kasus ketidakinginan mereka merupakan akibat dari
ketidakyakinannya atau kurangnya pengalaman dan pengetahuannya
berkenaan dengan suatu tugas. Dengan demikian, gaya pengarahan (G1)
memberikan pengarahan yang jelas dan spesifik.
2. G2 (Konsultasi), adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang. Orang
yang tidak mampu tetapi berkeinginan (M2) untuk memikul tanggungjawab
memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. Dengan demikian,
gaya konsultasi (G2) yang memberikan perilaku mengarahkan, karena mereka
kurang mampu, juga memberikan perilaku mendukung untuk memperkuat
kemampuan dan antusias, tampaknya merupakan gaya yang sesuai digunakan
bagi individu pada tingkat kematangan seperti ini.
3. G3 (Partisipasi), adalah bagi tingkat kematangan dari sedang ke tinggi. Orang-
orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak
berkeinginan (M3) untuk melakukan suatu tugas yang diberikan.
Ketidakinginan mereka itu seringkali disebabkan karena kurangnya
keyakinan. Namun bila mereka yakin atas kemampuannya tetapi tidak mau,
maka keengganan mereka untuk melaksanakan tugas tersebut lebih
merupakan persoalan motivasi dibandingkan persoalan keamanan. Dengan
demikian, gaya yang mendukung, tanpa mengarahkan, partisipasi (G3)
mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi untuk diterapkan bagi individu
dengan tingkat kematangan seperti ini.
55
4. G4 (Delegasi), adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi. Orang-orang
dengan tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan mau, atau
mempunyai keyakinan untuk memikul tanggungjawab (M4). Dengan
demikian, gaya delegasi yang berprofil rendah (G4) memberikan sedikit
pengarahan atau dukungan memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling
tinggi dengan individu-individu dalam tingkat kematangan seperti ini.
Adapun gaya kepemimpinan yang sesuai dalam kaitannya dengan berbagai
level kematangan dapat dilihat pada tabel berikut ini (Hersey & Blanchard,
h.183):
Tabel 2.6 Gaya Kepemimpinan yang Sesuai dengan Berbagai Level
Kematangan
LEVEL KEMATANGAN GAYA YANG SESUAI
M1
M2
M3
G1
G2
G3
RendahTidak mampu dan tidak mau
atau tidak yakin
Rendah ke sedangTidak mampu tetapi mau
atau yakin
Sedang ke tinggiMampu tetapi tidak mau
atau tidak yakin
MengikutsertakanPerilaku tinggi hubungan
dan rendah tugas
MenjajakanPerilaku tinggi tugasdan tinggi hubungan
MemberitahukanPerilaku tinggi tugasdan rendah hubungan
M4Tinggi
Mampu/ kompeten danmau/ yakin
G4Mendelegasikan
Perilaku rendah hubungandan rendah tugas
56
2.5 Kinerja Karyawan
2.5.1 Definisi Kinerja Karyawan
Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara
keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target
atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah
disepakati bersama. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah
terjemahan dari kata performance, yang menurut The Scribner-Bantam
English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Kanada (1979), berasal dari
akar kata ”to perform” dengan beberapa ”entries” yaitu: (1) melakukan,
menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute); (2) memenuhi atau
melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfill; as vow);
(3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggungjawab (to execute or
complete an understaking); dan (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh
seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine). Beberapa
pengertian berikut ini akan memperkaya wawasan kita tentang kinerja (Rivai,
h.14).
1. Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada
tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta
(Stolovitch and Keeps: 1992).
2. Kinerja merupakan salah satu kumpulan total dari kerja yang ada pada
diri pekerja (Griffin: 1987).
57
3. Kinerja dipengaruhi oleh tujuan (Mondy and Premeaux: 1993).
4. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan
seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa
pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya (Hersey and Blanchard: 1993).
5. Kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas yang
diberikan (Casio: 1992).
6. Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas
serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja
dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai
dengan baik (Donnely, Gibson and Ivancevich: 1994).
7. Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolak
ukur kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian
kinerja individu, yakni: (a) tugas individu: (b) perilaku individu: dan (c)
ciri individu (Robbin: 1996).
8. Kinerja sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik
yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun perusahaan
(Schermerhorn, Hunt an Osborn: 1991).
9. Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A),
motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O),
58
yaitu kinerja = ( )f A M O× × . Artinya: kinerja merupakan fungsi dari
kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robbins: 1996). Dengan
demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi
dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang
tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-
rintangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun seorang
individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang
menjadi penghambat.
Dengan demikian, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok
orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai
dengan tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika
dikaitkan dengan performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat
dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai
dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam upaya
pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak
bertentangan dengan moral atau etika.
59
2.5.2 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja adalah suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan
mengetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya
masing-masing secara keseluruhan.
Manfaat penilaian kinerja bagi semua pihak adalah agar mereka
mengetahui manfaat yang dapat mereka harapkan. Pihak-pihak yang
berkepentingan dalam manfaat penilaian kinerja adalah (Rivai, h.55):
1. Manfaat bagi karyawan yang dinilai
Bagi karyawan yang dinilai, keuntungan pelaksanaan penilaian kinerja
adalah antara lain:
- Meningkatkan motivasi;
- Meningkatkan kepuasan kerja;
- Adanya kejelasan standar hasil yang diharapkan mereka;
- Umpan balik dari kinerja lalu yang akurat dan konstruktif;
- Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan menjadi besar;
- Pengembangan perencanaan untuk meningkatkan kinerja dengan
membangun kekuatan dan mengurangi kelemahan semaksimal
mungkin;
- Adanya kesempatan untuk berkomunikasi ke atas.
2. Manfaat bagi penilai (Supervisor)
- Kesempatan untuk mengukur dan mengidentifikasikan kecenderungan
kinerja karyawan untuk perbaikan manajemen selanjutnya;
60
- Kesempatan untuk mengembangkan suatu pandangan umum tentang
pekerjaan individu dan departemen yang lengkap;
- Memberikan peluang untuk mengembangkan sistem pengawasan baik
untuk pekerjaan manajer sendiri, maupun pekerjaan dari bawahannya;
- Identifikasi gagasan untuk peningkatan tentang nilai pribadi;
- Peningkatan kepuasan kerja;
- Pemahaman yang lebih baik terhadap karyawan, tentang rasa takut,
rasa grogi, harapan dan aspirasi mereka;
- Meningkatkan kepuasan kerja, baik dari para supervisor maupun dari
para karyawan.
3. Manfaat bagi perusahaan
Bagi perusahaan, manfaat penilaian adalah antara lain:
- Perbaikan seluruh simpul unit-unit yang ada dalam perusahaan, karena:
a) Komunikasi menjadi lebih efektif mengenai tujuan perusahaan dan
nilai budaya perusahaan
b) Peningkatan rasa kebersamaan dan loyalitas
c) Peningkatan kemampuan dan kemauan manajer untuk
menggunakan keterampilan atau keahlian memimpinnya untuk
memotivasi karyawan dan mengembangkan kemauan dan
keterampilan karyawan
- Meningkatkan pandangan secara luas menyangkut tugas yang dilakukan
oleh masing-masing karyawan;
61
- Meningkatkan kualitas komunikasi;
- Meningkatkan motivasi karyawan secara keseluruhan;
- Meningkatkan keharmonisan hubungan dalam pencapaian tujuan
perusahaan;
- Peningkatan segi pengawasan melekat dari setiap kegiatan yang dilakukan
oleh karyawan;
- Harapan dan pandangan jangka panjang dapat dikembangkan.
2.6 Identifikasi Variabel Penelitian
Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain maka
macam-macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi (Sugiyono,
h.33):
a. Variabel Independen
Variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, prediktor, antecedent.
Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas
adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat).
b. Variabel Dependen
Sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa
Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan
variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel
bebas.
62
c. Variabel Moderator
Adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat dan memperlemah)
hubungan antara variabel independen dengan dependen. Variabel disebut juga
sebagai variabel independen kedua.
d. Variabel Intervening
Adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi (memperlemah dan
memperkuat) hubungan antara variabel independen dengan dependen, tetapi
tidak dapat diamati dan diukur.
e. Variabel Kontrol
Adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga pengaruh
variabel independen terhadap dependen tidak dipengaruhi oleh faktor luar
yang tidak diteliti. Variabel kontrol sering digunakan oleh peneliti, bila akan
melakukan penelitian yang bersifat membandingkan.
2.7 Penentuan Pengelompokkan Data
Data diperlukan dalam penelitian sebagai bahan acuan untuk membuat
analisa. Ada berbagai sumber data yang bisa dikumpulkan atau diakses oleh
periset untuk menghasilkan informasi. Dilihat dari asal atau sumbernya data dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu (Istijanto, h.26):
1. Data Sekunder
Data sekunder dapat didefinisikan sebagai data yang telah dikumpulkan pihak
lain, bukan oleh periset sendiri, untuk tujuan lain. Artinya, periset adalah
63
”tangan kedua” yang sekadar mencatat, mengakses, atau meminta data
tersebut (yang kadang sudah berwujud informasi) ke pihak lain yang telah
mengumpulkannya di lapangan (Istijanto, h.27).
2. Data Primer
Data Primer adalah data asli yang dikumpulkan sendiri oleh periset untuk
menjawab masalah risetnya secara khusus (Istijanto, h.32).
2.8 Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dari sampel penelitian, dilakukan dengan metode
tertentu sesuai dengan tujuannya. Ada berbagai metode yang telah kita kenal
antara lain wawancara, pengamatan (observasi), kuesioner (angket) dan
dokumenter.
a. Observasi
Metode observasi dijalankan dengan mengamati dan mancatat pola perilaku
orang, objek, atau kejadian-kejadian melalui cara yang sistematis (Malhotra,
1996). Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat
informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Penyaksian
terhadap peristiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat, mendengarkan,
merasakan, yang kemudian dicatat seobjektif mungkin.
Proses pengamatan terdiri atas:
- Persiapan termasuk latihan (training)
- Memasuki lingkungan penelitian
64
- Memulai interaksi
- Pengamatan dan pencatatan
- Menyelesaikan tugas lapangan
b. Wawancara
Wawancara adalah metode yang digunakan untuk memperoleh informasi
secara langsung, mendalam, tidak terstruktur, dan individual, ketika seorang
responden ditanyai pewawancara guna mengungkapkan perasaan, motivasi,
sikap, atau keyakinannya terhadap suatu topik SDM (diadaptasi dari
Malhotra, 2004).
Menurut Muhammad Ali, keunggulan wawancara sebagai alat penelitian
adalah:
- Wawancara dapat dilaksanakan kepada setiap individu tanpa dibatasi oleh
faktor usia maupun kemampuan membaca.
- Data yang diperoleh dapat langsung diketahui objektifitasnya karena
dilaksanakan secara tatap muka.
- Wawancara dapat dilaksanakan langsung kepada responden yang diduga
sebagai sumber data (dibandingkan dengan angket yang mempunyai
kemungkinan diisi oleh orang lain).
- Wawancara dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk memperbaiki hasil
yang diperoleh baik melalui observasi terhadap objek manusia maupun
bukan manusia; juga hasil yang diperoleh melalui angket.
65
- Pelaksanaan wawancara dapat lebih fleksibel dan dinamis karena
dilaksanakan dengan hubungan langsung, sehingga memungkinkan
diberikannya penjelasan kepada responden bila suatu pertanyaan kurang
dapat dimengerti.
Meskipun wawancara mempunyai banyak manfaat, namun terdapat pula
beberapa kelemahan antara lain:
- Oleh karena wawancara biasanya dilakukan secara perseorangan, maka
pelaksanaannya menuntut banyak waktu, tenaga, dan biaya, terutama bila
ukuran sampel cukup besar.
- Faktor bahasa baik dari pewawancara maupun responden, sangat
mempengaruhi hasil atau data yang diperoleh.
- Sering terjadi wawancara yang dilakukan secara bertele-tele.
- Wawancara menuntut penyesuaian diri secara emosional atau mental-
psikis antara pewawancara dan responden.
- Hasil wawancara banyak tergantung pada kemampuan pewawancara
dalam menggali, mencatat, dan menafsirkan setiap jawaban.
Wawancara dilihat dari bentuk pertanyaan dapat dibagi dalam tiga bentuk,
yaitu:
a. Wawancara berstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan mengarahkan
jawaban dalam pola pertanyaan yang dikemukakan.
b. Wawancara tak berstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab
secara bebas oleh responden tanpa terikat pada pola-pola tertentu.
66
c. Wawancara campuran, dimana bentuk ini merupakan campuran antara
wawancara berstruktur dan tak berstruktur.
c. Kuesioner
Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang digunakan periset untuk
memperoleh data secara langsung dari sumber melalui proses komunikasi atau
dengan mengajukan pertanyaan. Apabila metode pengamatan dan wawancara
menempatkan peneliti dalam hubungan langsung dengan responden, maka
hubungan itu dilakukan melalui media, yaitu daftar pertanyaan yang dikirim
kepada responden.
Keunggulan kuesioner antara lain:
- Dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar
responden yang menjadi sampel.
- Dalam menjawab pertanyaan, responden dapat lebih leluasa karena tidak
dipengaruhi oleh sikap mental hubungan antara peneliti dan responden.
- Setiap jawaban dapat dipikirkan masak-masak terlebih dahulu, karena
tidak terikat oleh cepatnya waktu yang diberikan kepada responden untuk
menjawab pertanyaan sebagaimana dalam wawancara.
- Data yang dikumpulkan dapat lebih mudah dianalisis, karena pertanyaan
yang diajukan kepada setiap responden adalah sama.
67
Kelemahannya antara lain:
- Pemakaian kuesioner terbatas pada pengumpulan pendapat atau fakta yang
diketahui responden, yang tidak dapat diperoleh dengan jalan lain.
- Sering terjadi, kuesioner diisi oleh orang lain (bukan responden yang
sebenarnya), karena dilakukan tidak secara langsung berhadapan muka
antara peneliti dan responden.
- Kuesioner diberikan terbatas kepada orang yang tidak buta huruf.
d. Metode dokumenter
Dokumen adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada
waktu yang lalu. Jurnal dalam bidang keilmuan tertentu termasuk dokumen
penting yang merupakan acuan bagi peneliti dalam memahami objek
penelitiannya. Bahkan, literatur-literatur yang relevan dimasukkan pula dalam
kategori dokumen yang mendukung penelitian.
2.9 Penetapan Skala Kuesioner
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan
untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,
sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan
data kuantitatif (Sugiyono, h.84).
Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala likert,
maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian
68
indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item
instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.
Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi
dari sangat positif (+) sampai sangat negatif (-) yang dapat berupa kata-kata,
antara lain (Sugiyono, h.86):
1. Sangat setuju
2. Setuju
3. Ragu-ragu
4. Tidak setuju
5. Sangat tidak setuju
2.10 Pretest Kuesioner
Pretest merupakan pengumpulan data pendahuluan yang boleh dikatakan
sebagai suatu gladi bersih untuk turun ke lapangan yang sebenarnya. Tempat
untuk pretest harus dipilih sedemikian rupa sehingga hampir bersamaan atau
sama dengan lapangan yang sebenarnya.
Hasil dari pretest ini dapat dilihat kelemahan-kelemahan dari suatu
kuesioner. Mungkin ada beberapa pertanyaan yang tidak relevan, atau range
(jangka) dari pendapatan tidak cukup banyak, ataupun desain dari penelitian
yang kurang sesuai. Hasil dari analisa tersebut akan dijadikan bahan untuk
mengadakan perubahan ataupun penyesuaian dalam membuat daftar
pertanyaan yang baru.
69
Beberapa hal perlu mendapat perhatian dalam mengadakan analisa
terhadap pretest, yaitu:
- Jawaban yang diperoleh memperlihatkan ketidakadaan atau kekurangan
dalam hal distribusi ataupun urutan, ataupun tidak memperlihatkan suatu
pola tertentu. Hal ini mungkin disebabkan oleh item dalam pertanyaan
kurang baik dibuat.
- Terlalu banyak jawaban yang sama untuk semua responden, ataupun
terlalu banyak jawaban mengiyakan. Hal ini menunjukkan ada kelemahan
dalam membuat daftar pertanyaan mengenai item tertentu, sehingga
responden memberikan responsi klise.
- Terlalu banyak yang menjawab ”tidak tahu” atau ”tidak mengerti”. Ini
dapat diakibatkan oleh pertanyaan yang terlalu sulit untuk dimengerti.
Pertanyaan yang kurang jelas juga dapat mengakibatkan jawaban ”tidak
tahu”.
- Banyak pertanyaan yang tidak dijawab oleh responden memperlihatkan
bahwa pertanyaan tersebut terlalu pribadi, ataupun jaminan kerahasiaan
penelitian tidak dicantumkan ataupun kurang dipercayai oleh responden.
2.11 Pengolahan Data
2.11.1 Statistika Deskriptif
Definisi statistika deskriptif menurut Wallpole (1995) (Wallpole, h.2)
adalah metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian
70
suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Pada
dasarnya statistika deskriptif memberikan informasi mengenai data dan sama
sekali tidak menarik inferensia atau kesimpulan apapun tentang gugus data
induknya yang lebih besar.
Analisis pendahuluan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik setiap
variabel pada sampel penelitian melalui analisis deskriptif. Alat-alat analisis
yang dipakai pada analisis deskriptif adalah:
- Tabel distribusi frekuensi sederhana
- Diagram statistik
- Perhitungan ukuran tendensi pusat dan ukuran dispersi
- Estimasi parameter.
2.11.2 Uji Validitas
Validitas adalah derajat yang menyatakan suatu test mengukur apa yang
seharusnya diukur. Validitas suatu test tidak begitu saja melekat pada test itu
sendiri, tetapi tergantung penggunaan dan subjeknya. Test yang valid untuk
penggunaan tertentu, yaitu valid untuk tujuan khusus tertentu dan untuk
kelompok tertentu, belum tentu valid untuk penggunaan yang lain atau
kelompok subjek dengan karakteristik yang lain.
Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh suatu alat
ukur mengukur apa yang hendak diukur. Pengujian validitas menggunakan
71
teknik item-item consistency, yaitu dengan menghitung nilai korelasi antara
skor setiap item dengan skor total item.
Suatu item dikatakan valid apabila hasil uji korelasi menunjukkan item
tersebut mempunyai korelasi yang signifikan terhadap skor total. Dalam hal
ini digunakan nilai tabelr berderajat (n-2) dan tingkat signifikansi 0.05 sebagai
nilai pembanding untuk menentukan penolakan atau penerimaan 0H . Uji
validitas dilakukan untuk semua pertanyaan pada kuesioner, adapun syarat
adar dikatakan valid adalah tabelr < hitungr . Data yang diuji adalah 30, oleh
karena itu daperoleh nilai df = (n-2) = 30-2 = 28. Untuk level of significance
0.05 for two-tailed test dan df = 28, maka diperoleh nilai tabelr = 0.374
(lampiran). Namun apabila hitungr < tabelr , maka pertanyaan tersebut
dieleminasi, kemudian dilakukan uji validitas lagi. Hal tersebut terus
dilakukan hingga semua pertanyaan memiliki nilai hitungr > tabelr (Santoso,
h.77).
2.11.3 Uji Reliabilitas
Reliabilitas suatu test adalah seberapa besar derajat test mengukur secara
konsisten sasaran yang diukur. Reliabilitas dinyatakan dalam bentuk angka,
biasanya sebagai koefisien. Koefisien tinggi berarti reliabilitas tinggi.
72
Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat seberapa jauh alat ukur
memberikan hasil yang relatif sama bila dilakukan pengukuran kembali
terhadap gejala yang sama untuk waktu yang berbeda.
Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan metode internal
consistency yaitu dengan menghitung Coefficient Alpha Cronbach (α ), yaitu
interkorelasi antar item-item dalam suatu alat ukur yang sama.
Untuk uji reliabilitas, dari nilai Alpha Cronbach yang diperoleh akan
dibandingkan dengan nilai tabelr berderajat (n-2) dan tingkat signifikansi 0.05.
Dalam banyak penelitian di bidang sosial, suatu alat ukur dikatakan telah
reliabel jika menunjukkan nilai Alpha Cronbach lebih besar dari tabelr .
Pengolahan dengan SPSS 12.00
Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.204):
1. Masukkan hasil pre-test ke dalam lembar, setiap kolom untuk setiap
pertanyaan.
2. Dari menu Analyze pilih submenu Scale kemudian Reliability Analysis.
3. Pada bagian Model, pilihlah pada Alpha.
4. Abaikan kotak pilihan List Item Model.
5. Klik tombol Statisticts, pada bagian Descriptives for (terletak di kiri atas)
dan untuk keseragaman pilih ketiga pilihan yang ada (Item, Scale, Scale if
Item Deleted).
6. Tekan Ok.
73
2.11.4 Perhitungan Nilai Rata-rata (mean) Populasi
Definisi populasi adalah (Walpolle, h.7) keseluruhan pengamatan yang
menjadi perhatian kita. Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso,
h.48):
a. Buka lembaran kerja/ file sesuai kasusnya, atau jika sudah terbukti ikuti
langkah selanjutnya.
b. Dari baris menu Analyze lalu pilih submenu Descriptive Statisticts.
Dari serangkaian pilihan Descriptive, sesuai kasus pilih Frequencies
untuk menampilkan tabel frekuensi.
Frequencies Statisticts
Untuk mendapatkan deskripsi dan rangkuman statistik untuk data
kuantitatif, klik tombol Statisticts pada dialog box Frequencies.
- Dispersion (Sebaran)
• Std. Deviation (standar deviasi)
Merupakan sebuah ukuran dari berapa banyak jumlah pengamatan
menyimpang dari nilai rata-ratanya.
• Minimum
• Maximum
74
- Central Tendency
• Mean
Merupakan harga rata-rata aritmetik.
c. Tekan Ok jika semua pengisian sudah selesai.
2.11.5 Uji Rataan Dua Populasi
Prosedur statistik Uji Beda Mean dilakukan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan hasil dari perlakuan yang berbeda. Teknik statistik yang digunakan
adalah Uji Beda Mean untuk sampel bebas (Independent Samples T-Test).
Yang dimaksud perbedaan perlakuan dalam penelitian ini adalah
pengelompokkan sampel menjadi dua kelompok berbeda yaitu divisi produksi
box dan divisi perakitan panel akhir. Selanjutnya yang dimaksud hasil adalah
gaya kepemimpinan situasional, tingkat kematangan bawahan dan kinerja
karyawan.
Sebelum melakukan Uji Beda Mean dilakukan pengujian varian kedua
sampel penelitian untuk mengetahui apakah keduanya memiliki varian yang
sama atau berbeda. Karena perbedaan varian kedua sampel menyebabkan
berbedanya teknik perhitungan yang digunakan dalam uji rataan ini.
Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.94):
a. Buka file penelitian
75
b. Dari menu utama SPSS pilih menu Analyze kemudian pilih submenu
Compare Mean, lalu pilih Independent Sample T-Test.
c. Pada kotak dialog Test Variables, masukkan variabel yang ingin diuji
perbedaannya, yaitu variabel gaya kepemimpinan situasional, tingkat
kematangan bawahan dan kinerja karyawan.
d. Pada Grouping Variable, masukkan variabel yang bertipe kualitatif, yaitu
divisi kerja, lalu klik Define Group. Isikan 1 untuk group 1 dan 2 untuk
group 2.
e. Tekan Continue, dan lanjutkan ke menu sebelumnya.
f. Untuk kolom Options, biarkan tingkat kepercayaan tetap 95%. Klik
Continue.
g. Klik Ok.
2.11.6 Korelasi Pearson
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
dua variabel penelitian. Metode statistik yang digunakan adalah dengan
melakukan uji korelasi Pearson. Apabila didapat suatu hubungan antara dua
variabel penelitian, maka akan dihitung nilai koefisien korelasi r untuk
melihat tingkat keeratan yang terjadi antara kedua variabel.
Uji korelasi dilakukan pada taraf interval kepercayaan 95% atau tingkat
signifikansi α (Level of Significance) sebesar 0.05. Pengambilan keputusan
76
terhadap semua hipotesis dilakukan dengan ketentuan: 0H ditolak jika
signifikansi uji yang diperoleh lebih kecil dari 0.05.
Nilai koefisien korelasi r berkisar antara 0 – 1, dimana semakin mendekati
angka 1, semakin kuat hubungan yang terjadi antara kedua variabel.
Sebaliknya semakin mendekati 0, maka semakin lemah hubungan kedua
veriabel. Koefisien korelasi dapat bertanda positif atau negatif. Jika harga r
bertanda positif, dikatakan memiliki korelasi positif. Artinya semakin
meningkat nilai satu variabel, maka semakin meningkat pula nilai variabel
lainnya. Sebaliknya dengan nilai r bertanda negatif, dikatakan memiliki
korelasi negatif. Artinya semakin tinggi nilai satu variabel, maka semakin
rendah nilai variabel lainnya.
Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.149):
a. Buka file penelitian
b. Dari menu SPSS, pilih menu Analyze kemudian pilih submenu Correlate,
dan pilih Bivariat.
c. Pada kotak Variables, masukkan nama variabel yang akan diuji.
Misal: masukkan variabel gaya kepemimpinan situasional dan kinerja
karyawan.
d. Pada pilihan Correlation Coefficients, pilih Pearson.
e. Test of Significance, pilih Two-tailed untuk uji dua sisi.
f. Aktifkan Flag Significance Correlations.
77
g. Klik tombol Options. Pada pilihan Statisticts diabaikan saja dan aktifkan
pilihan Exclude Cases Pairwise.
h. Klik Ok.
2.11.7 Regresi Linear Berganda
Analisis regresi dilakukan untuk melihat pengaruh suatu variabel bebas
(Independent Variable) terhadap variabel terikat (Dependent Variable).
Tujuan lain dilakukannya analisis regresi adalah untuk menaksir besarnya
efek kuantitatif suatu kejadian terhadap kejadian lain.
Analisis regresi dimana hanya terdapat lebih dari satu variabel bebas
disebut sebagai regresi linear berganda (Multiple Regression). Bentuk umum
persamaan regresi linear berganda adalah:
0 1 1 2 2 ... k kY b b x b x b x= + + + +
Keterangan:
Y = variabel terikat (dependent variable)
1 2, ,..., kx x x = variabel bebas (independent variable)
1 2, ,..., kb b b = koefisien regresi
Dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi linear berganda
(Multiple Regression). Regresi linear berganda adalah regresi dimana terdapat
lebih dari satu variabel bebas. Dari teknik regresi linear berganda ini akan
78
diketahui apakah ada pengaruh secara bersama-sama variabel bebas yang ada
terhadap variabel terikat.
Model regresi linear berganda untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
1 1 2 2Y a b x b x= + +
Keterangan:
Y = kinerja karyawan
1x = gaya kepemimpinan situasional
2x = tingkat kematangan bawahan
Langkah-langkah pengolahan dengan SPSS (Santoso, h.164):
a. Buka file data penelitian
b. Dari menu utama SPSS, pilih Analyze kemudian submenu Regression,
lalu pilih Linear.
c. Pada kotak Dependent, masukkan variabel bebas kinerja karyawan.
d. Pada kotak Independent, masukkan variabel gaya kepemimpinan
situasional dan tingkat kematangan bawahan.
e. Pada pilihan Method, pilih Enter.
f. Klik Ok.
79
2.11.8 Design Of Experiment (DOE)
Tujuan Design Of Experiment
Pada umumnya, percobaan digunakan untuk mempelajari suatu proses
atau sistem. Menurut Douglas Montgomery, sebuah perancangan percobaan
adalah sebuah tes dengan membuat perubahan-perubahan pada variabel
masukan dari sebuah proses supaya kita dapat mengamati dan
mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada keluaran dari proses tersebut.
Tujuan dari perancangan percobaan adalah sebagai berikut:
1 Menentukan variabel yang paling mempengaruhi variabel respon, y.
2. Menentukan nilai dari variabel yang berpengaruh supaya variabel respon
mendekati nilai target.
3. Menentukan nilai dari variabel yang berpengaruh supaya variasi variabel
respon kecil.
4. Menentukan nilai dari variabel yang berpengaruh supaya pengaruh dari
faktor gangguan dapat diperkecil.
Perancangan percobaan dapat mempelajari pengaruh dari beberapa faktor
dalam suatu proses pada saat yang bersamaan. Ketika melakukan sebuah
percobaan, memvariasikan level dari faktor-faktor pada saat yang bersamaan
daripada satu persatu lebih efisien baik dari sisi waktu maupun biaya, dan
juga dapat mempelajari interaksi di antara faktor-faktor. Interaksi adalah
faktor penggerak dalam banyak proses. Tanpa penggunaan percobaan
faktorial, faktor interaksi yang penting mungkin tidak akan terdeteksi.
80
Prinsip Dasar Design Of Experiment (DOE)
Untuk dapat memahami perancangan percobaan lebih lanjut maka perlu
memahami terlebih dahulu tiga prinsip dasar yang biasa digunakan dalam
perancangan percobaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah replikasi, randomisasi
atau pengacakan dan kontrol lokal atau blocking.
1. Replikasi
Replikasi adalah pengulangan kembali perlakuan yang sama dalam suatu
percobaan dengan kondisi yang sama untuk memperoleh ketelitian yang
lebih tinggi.
Replikasi diperlukan karena dapat:
- Memberikan taksiran kekeliruan percobaan yang dapat dipakai untuk
menentukan panjang interval konfidensi atau dapat digunakan sebagai
satuan dasar pengukuran untuk penetapan taraf signifikansi dari
perbedaan-perbedaan yang diamati.
- Menghasilkan taksiran yang lebih akurat untuk kekeliruan percobaan.
- Memungkinkan kita untuk memperoleh taksiran yang lebih baik
mengenai efek rata-rata dari suatu faktor.
Selain itu, dikemukakan pula bahwa penambahan replikasi akan
mengurangi tingkat kesalahan percobaan secara bertahap, namun jumlah
replikasi dalam suatu percobaan dibatasi oleh sumber yang ada yaitu
waktu, tenaga, biaya dan fasilitas.
81
2. Pengacakan atau Randomisasi
Dalam percobaan, selain faktor-faktor yang diselidiki pengaruhnya
terhadap suatu variabel, juga terdapat faktor-faktor lain yang tidak dapat
dikendalikan/ tidak diinginkan seperti kelelahan operator, naik/ turun daya
mesin, dan lain-lain. Hal tersebut dapat mempengaruhi hasil percobaan.
Pengaruh faktor-faktor tersebut diperkecil dengan menyebarkan pengaruh
selama percobaan melalui randomisasi (pengacakan) urutan percobaan.
Secara umum randomisasi dimaksudkan untuk:
- Meratakan pengaruh dari faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan
pada semua unit percobaan.
- Memberikan kesempatan yang sama pada setiap unit percobaan untuk
menerima suatu perlakuan sehingga diharapkan ada kehomogenan
pengaruh dari setiap perlakuan yang sama.
- Mendapatkan hasil pengamatan yang bebas (independen) satu sama
lain.
Dalam perancangan percobaan akan banyak test atau uji signifikansi
dilakukan dan umumnya untuk setiap prosedur pengujian, asumsi-asumsi
tertentu perlu diambil dan dipenuhi agar supaya pengujian yang dilakukan
menjadi berlaku. Salah satu asumsinya adalah pengamatan-pengamatan
(jadi juga kekeliruan-kekeliruan) berdistribusi secara independen. Asumsi
ini sukar untuk dapat dipenuhi, akan tetapi dengan jalan berpedoman
kepada prinsip sampel acak (random sample) yang diambil dari sebuah
82
populasi atau berpedoman pada perlakuan acak terhadap unit percobaan,
maka pengujian dapat dilakukan seakan-akan asumsi yang telah diambil
benar adanya. Dengan kata lain, pengacakan menyebabkan pengujian
menjadi berlaku yang menyebabkan pula memungkinkannya data
dianalisis, dengan anggapan seolah-olah asumsi tentang independen
dipenuhi. Pengacakan memungkinkan kita untuk melanjutkan langkah-
langkah berikutnya dengan anggapan soal independensi sebagai suatu
kenyataan. Ini berarti bahwa pengacakan tidak menjamin terjadinya
indepedensi, melainkan hanyalah memperkecil adanya korelasi antar
pengamatan (jadi juga antar kekeliruan). Jika replikasi dengan tujuan
untuk memungkinkan dilakukannya test signifikan, maka randomisasi
bertujuan menjadikan test tersebut valid dengan menghilangkan sifat bias.
Randomisasi dapat dilakukan dengan menggunakan tabel bilangan acak,
mengundi, menggunakan mata uang dan sebagainya. Ada beberapa teknik
randomisasi yang dapat dilakukan seperti randomisasi lengkap dengan
blok, pengulangan sederhana, split-plot design, dan lain-lain. Pemilihan
teknik yang digunakan tergantung dari masalah yang diselidiki, hasil yang
diharapkan, data yang didapat, dan penyesuaian yang akan dilakukan
dengan teknik-teknik yang ada.
3. Kontrol lokal atau blocking
Kontrol lokal merupakan sebagian daripada keseluruhan prinsip percobaan
yang harus dilaksanakan. Biasanya merupakan langkah-langkah atau
83
usaha-usaha yang berbentuk penyeimbangan, pengkotakan atau
pemblokan dan pengelompokkan dari unit-unit percobaan yang digunakan
dalam percobaan. Jika replikasi dan pengacakan pada dasarnya akan
memungkinkan berlakunya uji signifikansi, maka kontrol lokal
menyebabkan percobaan lebih efisien, yaitu menghasilkan prosedur
pengujian dengan kuasa yang lebih tinggi.
Dengan pengelompokkan akan diartikan sebagai penempatan sekumpulan
unit-unit percobaan yang homogen ke dalam kelompok-kelompok agar
supaya kelompok yang berbeda memungkinkan untuk mendapatkan
perlakuan yang berbeda pula.
Pemblokan berarti pengalokasian unit-unit percobaan ke dalam blok
sedemikian sehingga unit-unit dalam blok secara relatif bersifat homogen
sedangkan sebagian besar daripada variasi yang dapat diperkirakan di
antara unit-unit telah baur (confounded) dengan blok. Ini berarti,
berdasarkan pengetahuan si peneliti mengenai sifat atau kelakuan unit-unit
percobaan, maka dapat dibuat perancangan percobaan sedemikian rupa
sehingga kebanyakan dari variasi yang dapat diduga tidak menjadi bagian
dari kekeliruan percobaan. Dengan jalan demikian dapat diperoleh
percobaan yang lebih efisien.
Dengan penyeimbangan diartikan usaha memperoleh unit-unit percobaan,
usaha pengelompokkan, pemblokan, dan penggunaan perlakuan terhadap
84
unit-unit percobaan sedemikian rupa sehingga dihasilkan suatu
konfigurasi atau formasi yang seimbang.
Untuk percobaan tertentu mungkin proses penyeimbangan ini praktis tidak
dapat dicapai, dalam hal lainnya mungkin dapat menghasilkan
keseimbangan sebagian, hampir terjadi keseimbangan atau keseimbangan
sempurna.
Istilah dalam Design Of Experiment (DOE)
Dalam Design Of Experiment (DOE) terdapat beberapa istilah yang sering
dipakai. Berikut ini adalah penjelasan dari istilah-istilah yang terdapat dalam
Design Of Experiment (DOE):
1. Perlakuan (treatment)
Perlakuan diartikan sekumpulan kondisi eksperimen yang digunakan
terhadap unit eksperimen dalam ruang lingkup yang dipilih. Perlakuan ini
dapat berbentuk tunggal atau bentuk kombinasi.
2. Satuan percobaan
Satuan percobaan adalah unit yang dikenai perlakuan tunggal (dapat
berupa gabungan beberapa faktor) dalam sebuah replikasi eksperimen
dasar.
3. Kekeliruan eksperimen (galat percobaan)
Kekeliruan eksperimen menyatakan kegagalan dari dua unit eksperimen
identik yang dikenai perlakuan untuk memberikan hasil yang sama. Hal
85
ini dapat terjadi karena, misalnya kekeliruan waktu menjalankan
eksperimen, kekeliruan pengamatan, variasi antara unit eksperimen,
variasi bahan eksperimen, dan pengaruh gabungan semua faktor tambahan
yang mempengaruhi karakteristik yang sedang dipelajari.
4. Satuan amatan
Satuan amatan adalah anak gugus dari unit percobaan tempat dimana
respon perlakuan diukur.
5. Faktor
Faktor adalah suatu peubah bebas yang dicocokan dalam percobaan
sebagai penyusun struktur perlakuan.
6. Taraf (level)
Taraf adalah nilai-nilai peubah bebas (faktor) yang dicobakan dalam
percobaan.
Langkah- langkah perhitungan:
1. 0H 1 : Faktor A tidak signifikan
0H 2 : Faktor B tidak signifikan
0H 3 : Interaksi faktor A dan B tidak signifikan
2. 1H 1 : Faktor A signifikan
1H 2 : Faktor B signifikan
1H 3 : Interaksi faktor A dan B signifikan
86
3. Pilih suatu taraf nyata α
4. Wilayah kritik:
a. Tolak 0H 1 jika f1 > ]dof,dof[f EAα
b.Tolak 0H 2 jika f2 > ]dof,dof[f EBα
c. Tolak 0H 3 jika f3 > ]dof,dofdof[f EBA ×α
5. Perhitungan:
• Menghitung Total Sum of Squares
TSS = 2
2
1 1 1
a b n
ijki j k
yyabn= = =
−∑ ∑ ∑
• Menghitung Faktor Sum OF Square
ASS = 2 2
1
...ai
i
y ybn abn=
−∑
BSS = 2 2
1
...bi
i
y yan abn=
−∑
A BSS × = 2 2
1 1
...a bij
A Bi j
y y SS SSn abn= =
− − −∑ ∑
• Kesalahan Variansi
ESS = T A B A BSS SS SS SS ×− − −
• Degrees of Freedom masing-masing variabel
Faktor A = a - 1
Faktor B = b - 1
87
Faktor AxB = ( a – 1)( b -1)
Sehingga, untuk kesalahan variansi adalah
Error = a b (n-1)
Jadi,
Total = Faktor A + Faktor B + Faktor AxB + Error
• Menghitung Mean Square
AMS = 1ASS
a −
BMS = 1BSS
b −
ABMS = ( 1)( 1)
ABSSa b− −
EMS = ( 1)
ESSab n −
• Menghitung Variansi Rasio
AF = A
E
MSMS
BF = B
E
MSMS
ABF = AB
E
MSMS
88
Tabel 2.7 Tabel Analisa Varian (Analysis of Variance)
Source of variation
Sum of square (SS)
Dof Mean Square (MS)
Fo
A SSA Level A - 1 SSA/ DofA MSA/ MSE B SSB Level B – 1 SSB/ DofB MSB/ MSE
AB SSAB (level A-1) (level B-1) SSAB/ DofAB MSAB/ MSE Error SSE Dof total- DofA- DofB- DofAB SSE/ DofE Total SST Jumlah data – 1
6. Kesimpulan:
a. Terima/ tolak 0H 1 dan simpulkan bahwa ...
b. Terima/ tolak 0H 2 dan simpulkan bahwa ...
c. Terima/ tolak 0H 3 dan simpulkan bahwa ...
top related