168-172-1-pb
Post on 05-Aug-2015
88 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGURUS
Majalah
ANESTESIA & CRITICAL CARE
diterbitkan setiap empat bulan oleh
Perhimpunan Dokter SpesialisAnestesiologi dan Reanimasi Indonesia
(IDSAI)
Pelindung
Ketua Umum PP IDSAI Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC
Penasehat
Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA
Prof. M. Roesli Thaib, dr., SpAnKIC
Ketua Dewan Majalah/Pemimpin Redaksi
Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC
Mitra Bestari
Prof. Herlin Megawe, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Prof. Si! Chasnak Saleh, dr., SpAnKNA (Surabaya)
Prof. Dr. Rita Sucahyo, dr., SpAnKIC, KNA (Surabaya)
Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Prof. Sunaryo, dr., SpAnKIC (Semarang)
Prof. Marwoto, dr., SpAnKIC, KAR (Semarang)
Prof. Husni Tanra, dr., SpAnKIC, PhD (Makassar)
Prof. Dr. St. Mulyata, dr., SpAnKIC (Solo)
Prof. M. Ruswan Dahlan, dr., SpAnKIC, KAR (Jakarta)
Prof. A. Himendra Wargahadibrata, dr., SpAnKIC (Bandung)
Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA, KOA (Bandung)
Prof. Kaswiyan A., dr., SpAnKIC (Bandung)
Prof. Darto Satoto, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Prof. Dr. Amir S. Madjid, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Dr. Hari Bagianto, dr., SpAnKIC (Malang)
Dr. Syarif Sudirman, dr., SpAn, KAR (Solo)
Dewan Redaksi
Sun Sunatrio, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Tutuko, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Gunawarman, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Susilo Chandra, dr., SpAn, FRCA (Jakarta)
Indro Mulyono, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Oloan Tampubolon, dr., SpAnKIC, MHKes (Jakarta)
Arif HM Marsaban, dr., SpAnKAA (Jakarta)
Tantani Sugiman, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Aida Rosita Tantri, dr., SpAnKAR (Jakarta)
Yohannes WH George, dr., SpAnKIC (Jakarta)
Bambang Wahjuprajitno, dr., SpAnKIC (Surabaya)
Marsudi Rasman, dr., SpAnKIC (Bandung)
Ike Sri Redjeki, dr., SpAnKIC, M.Kes (Bandung)
Hasanul Arifi n, dr., SpAn, KIC (Medan)
Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, M.M (Yogyakarta)
Endang Mela! Maas, dr., SpAnKIC (Palembang)
Az Ri# i, dr., SpAnKIC (Padang)
Wayan Suranadi, dr., SpAnKIC (Bali)
Koordinator Dana dan Iklan
Eddy Harjanto, dr., SpAnKIC
Redaktur Pelaksana
Ratna Farida, dr., SpAn, KAKV
Rudyanto Sedono, dr., SpAnKIC
Staf Redaksi
Pryambodho, dr., SpAnKAR
Andi Ade Wijaya, dr., SpAnKAP
Jeff erson, dr., SpAnKAKV
Dita Adi! aningsih, dr., SpAn
Vera Irawany, dr., SpAn
Rethia Syahril, dr.
R. Besthadi Sukmono, dr.
Krisna Andria, dr.
Koresponden
IDSAI Medan, Padang, Palembang, Bandung, Cirebon, Semarang,
Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Denpasar, Makassar, Manado,
Pon! anak
Alamat Redaksi:
Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Cipto Mangunkusumo,
Jln. Diponegoro 71, Jakarta.
Telp. 021-31909033. Fax. 021-3923443
E-mail: majalah.anestesia@gmail.com
Surat Izin Terbit 71 5 /K/DIT. B I N PRES/XII/78
Sejawat yang terhormat,
Pada penerbitan edisi kedua 2010 ini, kami menyajikan ! ga laporan peneli! an, ! ga laporan kasus, satu
! njauan pustaka, dan satu studi pustaka.
Melengkapi edisi kali ini kami menerbitkan juga diantaranya satu laporan kasus mengenai Penatalaksa-
naan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP, dan satu ! njauan pustaka mengenai Blok Peribulbar: Modali-
tas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi O% almika.
Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang kami sajikan ini dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi
sejawat.
Selamat membaca.
Prof. Dr. dr. Amir S Madjid, SpAn. KIC.
Pemimpin Majalah Anestesia & Cri! cal Care
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • i •
KATA PENGANTAR
Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES
130/0,4 in Caesarean Sec! on
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES
130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar
Aldy Heriwardito
The Eff ec! veness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25 mcg
Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean Sec! on
Keefek! fan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg Ditambah Fent-
anil 25 mcg Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah Sesar
Bintartho A , Pryambodho, Susilo
Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal Intuba! on: Comparison of Es! ma! on and
Measurement on Cuff Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo Surabaya
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan Es! masi dan Pengukuran
Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya
Herdy Sulistyono H
Management of Encephali! s and Epilepsy in ICU
Tatalaksana Ensefali! s dan Epilepsi di ICU
Rudy Manalu
Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infec! on
Perdarahan Terkait Koagulopa! pada Infeksi Intraabdominal
Diah Widyan!
Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP
Maria Irawaty
Intra-opera! ve Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-trauma! c Stress
Disorder
Kesadaran Intraopera! f pada Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-trauma! c Stress Disorder
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • ii •
DAFTAR ISI
LAPORAN PENELITIAN
1
9
18
26
37
52
LAPORAN KASUS
63
STUDI PUSTAKA
AR ISI
Maria Blandina
Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Eviscera! on Sur-
gery
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi O" almika
Andi Salahuddin
71
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • iii •
TINJAUAN PUSTAKA
I LAPORAN PENELITIAN I
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat
dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah SesarHemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES
130/0,4 in Caesarean Sec! on
Aldy Heriwardito
ABSTRACT
Background: Spinal anesthesia in caesarean sec-
! on causes a decreasing of blood pressure and uterina pla-
cental circula! on. Giving crystaloid coloading is not eff ec-
! ve enough for preven! ng the decrease of blood pressure.
Coloading HES 130/0,4 500 ml has been predicted as a more
eff ec! ve way because it has longer period of intravascular
eff ect.
Method: This study had been done in randomized
single blinded experimental design. There were 84 subjects
with ASA I and II that had been in caesarean sec! on pro-
cedure by spinal anesthesia. Seven subjects had been ex-
cluded, and the rest had been divided into 2 groups. Group 1
consists of 39 subjects as control group that had coloading
RL 1000 mL therapy, group 2 consists of 38 subjects that
had coloading HES 130/0,4 500 mL therapy. Blood pressure
and heart rate were checked in every 2 minutes a# er spinal
anesthesia. A# er the baby born, APGAR score is determined
and pH of umbilical cord were measured.
Result: There are signifi cant diff erence in mean
arteries blood pressure. It can be seen in second minute
(p=0,025), fourth (p=0,034), 16th (p=0,044), 18th (p=0,08),
20th (0,06). Mean of the diff erence in second minute is 7
mmHg (SD=3,1), the fourth is 7,1 mmHg (SD=3,3), the 16th is
4,7 mmHg (SD=2,7), the 18th is 7,3 mmHg (SD=2,7), the 20th
is 7,1 mmHg (SD=2,5). There is no signifi cant diff erence be-
tween two kind of the coloading fl uids with umbilical cord
pH and APGAR score.
Conclusion: Giving coloading HES 130/0,4 is be& er
than coloading RL in preven! ng changes in blood pressure
at spinal anesthesia in caesarean sec! on. There is no signifi -
cant diff erence in changes of heart rate and umbilical cord
pH between coloading HES 130/0,4 and RL in spinal anes-
thesia in caesarean sec! on.
Keywords: Spinal Anesthesia, Caesarean sec! on,
coloading, HES 130/0,4
ABSTRAK
Latar belakang: Anestesia spinal pada bedah sesar
Aldy HeriwarditoDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
menyebabkan penurunan tekanan darah dan sirkulasi
uteroplasenta. Pemberian coloading cairan kristaloid be-
lum cukup efek! f mencegah penurunan tekanan darah. Co-
loading HES 130/0,4 500 mL diharapkan lebih efek! f karena
memiliki efek intravaskular yang lebih lama.
Tujuan: Mengetahui perbedaan tekanan darah, laju
nadi, pH tali pusat setelah pemberian cairan coloading HES
130/0,4 pada anestesia spinal untuk bedah sesar.
Metode: Peneli! an ini dilakukan dengan desain eks-
perimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan 84 sub-
yek ASA I dan II yang menjalani operasi bedah sesar dengan
anestesia spinal. Tujuh subyek dikeluarkan dari peneli! an
dan subyek dibagi dua kelompok. 39 subyek masuk dalam
kelompok kontrol mendapat coloading RL 1000 mL dan 38
subyek masuk dalam kelompok perlakuan mendapat co-
loading HES 130/0,4 500 mL. Tekanan darah dan laju nadi
diperiksa se! ap dua menit setelah anestesia spinal. Setelah
bayi lahir dilakukan penilaian skor APGAR dan pemeriksaan
pH tali pusat.
Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara
sta! s! k antara rata-rata tekanan darah arteri rata-rata
juga didapatkan setelah pemberian coloading pada menit
kedua (p=0,025), keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke-
18(p=0,08), ke-20 (0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua
7 mmHg (SD=3,1), keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke-
16 sebesar 4,7 mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg
(SD=2,7), ke-20 sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Tidak terdapat
perbedaan berbedaan bermakna antara Jenis cairan co-
loading dengan pH tali pusat dan skor APGAR.
Kesimpulan: Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih
baik dalam mencegah perubahan tekanan darah dibanding-
kan dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah
sesar. Tidak terdapat perbedaan perubahan laju nadi dan
pH tali pusat bayi antara coloading HES 130/0,4 dengan co-
loading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar.
Kata Kunci: Anestesia spinal, Bedah Sesar, coloading,
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •1•
HES 130/0,4
LATAR BELAKANG
Anestesia spinal masih menjadi pilihan anestesia
untuk bedah sesar. Anestesia spinal membuat pasien tetap
dalam keadaan sadar sehingga masa pulih lebih cepat dan
dapat dimobilisasi lebih cepat. Zat anestesia pada anestesia
spinal yang masuk ke sirkulasi maternal lebih sedikit sehing-
ga pengaruh terhadap janin dapat berkurang. Pada umum-
nya, morbiditas ibu dan janin lebih rendah pada prosedur
anestesia spinal. Selain itu, anestesia spinal lebih superior
karena menunjukkan angka komplikasi yang lebih sedikit
pada beberapa kasus, seper! preeklampsia berat. Aneste-
sia spinal juga menjadi pilihan pada kasus plasenta previa
karena perdarahan yang terjadi lebih sedikit dibandingkan
dengan bedah sesar dengan anestesia umum.
Salah satu efek samping anestesia spinal adalah
hipotensi. Jeff erson menemukan insidens hipotensi dite-
mukan sebesar 52% pada peneli! annya dan kejadian hipo-
tensi masih dapat terjadi pada 20 menit pertama dilakukan
anestesia spinal. Hipotensi akan menyebabkan ibu mual
dan muntah selama operasi, serta bradikardia pada derajat
yang lebih berat.
Empat alterna! f cara pencegahan hipotensi pada
anestesia spinal adalah pemberian vasopresor, modifi kasi
teknik regional anestesia, modifi kasi posisi dan kompresi
tungkai pasien, pemberian cairan intravena.
Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan
pemberian cairan intravena merupakan cara yang mudah
dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesia spinal.
Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.2
Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preload-
ing atau coloading. Preloading adalah pemberian cairan
20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal, sedangkan
coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat
dilakukan anestesia spinal.
Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading ! dak
memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.3,8
Clark dkk. membandingkan kejadian hipotensi antara ke-
lompok pasien yang diberikan preloading dekstrosa 5%
dalam ringer laktat sebanyak 1000 mL dan kelompok pasien
yang ! dak diberikan preloading sebelum anestesia spinal
pada pasien yang menjalani bedah sesar. Hasil yang di-
dapatkan menunjukkan ! dak ada perbedaan yang bermak-
na antara dua kelompok tersebut.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk
mencegah efek samping hipotensi pada anestesia spinal na-
mun ! dak menurunkan angka kejadian hipotensi. Hal ini di-
tunjukkan pada peneli! an Mojika dkk. yang membanding-
kan pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada
operasi non-obstetrik.3
Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid
karena bertahan lebih lama intravaskular. Keuntungan lain
adalah jumlah volume koloid yang diperlukan untuk mence-
gah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.10
Peneli! an mengenai pemberian preloading kristaloid
atau koloid sebelum anestesia spinal untuk mencegah pe-
rubahan hemodinamik telah banyak dilakukan, namun
belum ada peneli! an yang membandingkan pemberian
kristaloid dan koloid pada saat anestesia spinal sebagai co-
loading sehingga penulis tertarik untuk meneli! masalah
ini. Pada peneli! an ini penulis akan menggunakan hetar-
strach (HES) dengan berat molekul 130 dan koefi sien sub-
s! tusi 0,4 sebagai coloading.
Peneli! an yang akan dilakukan memiliki metode
yang berbeda dari peneli! an- peneli! an yang sudah ada.
Cairan yang digunakan adalah HES 130/0,4 karena me-
miliki berbagai kelebihan. Berat molekul yang lebih besar
dibandingkan dengan peneli! an Nishikawa menyebabkan
efek volume yang lebih besar. HES 130/0,4 memiliki efek
reologi yang lebih baik dibandingkan dengan HES yang lain
dan gela! n, sehingga oksigenasi jaringan lebih baik.15,16 Be-
rat molekul 130 kD membuat ginjal ! dak terbebani untuk
fungsi eliminasi.17
Pemberian HES akan bertahan lebih dari 20 menit in-
travaskular sehingga dengan pemberian setengah dari jum-
lah coloading kristaloid dapat memiliki efek volume yang
sama namun bertahan lebih lama intravascular.10
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •2•
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
METODE PENELITIAN
Peneli! an ini merupakan peneli! an yang bersifat
eksperimental dengan rancangan uji klinik acak tersamar
tunggal untuk membandingkan pemberian Ringer Laktat
1000mL dan HES 130/0,4 500mL saat dilakukan spinal anes-
tesia pada bedah sesar terhadap kejadian hipotensi.
Populasi peneli! an adalah pasien yang menjalani
operasi bedah sesar dengan anestesia spinal di RS Budi Ke-
muliaan dan RS Cipto Mangunkusumo. Peneli! an dilakukan
di instalasi bedah pusat RS Budi Kemuliaan dan RS Cipto
Mangunkusumo periode waktu Februari sampai Mei 2010.
Kriteria penerimaan adalah pasien wanita hamil berusia 20-
35 tahun, berat badan 50 – 80 kg, ! nggi badan 145-180 cm,
status fi sik ASA I - II, bersedia mengiku! peneli! an. Kriteria
penolakan adalah hipertensi dalam kehamilan, kehamilan
risiko ! nggi, gawat Janin, gemelli, kadar hemoglobin kurang
dari 8 g/dl, infeksi pada daerah penyun! kan, gangguan
pembekuan darah, hipovolemia berat, peningkatan tekan-
an intrakranial, deformitas tulang belakang, kelainan kar-
diovaskular. Sedangkan kriteria pengeluaran adalah terjadi
komplikasi selama operasi yang membutuhkan dilakukan
anestesia umum dalam 20 menit setelah dilakukan aneste-
sia spinal, ke! nggian blok sensorik anestesia spinal kurang
dari dermatom torakal enam, atau lebih dari torakal empat.
Peneli! an ini bersifat uji hipotesis terhadap 2 kelom-
pok numerik ! dak berpasangan, maka besar sampel dicari
dengan menggunakan rumus :
Penulis ! dak menemukan peneli! an yang serupa,
maka peneli! melakukan studi preleminari dan di dapatkan
standar deviasi tekanan darah arteri rata-rata sebesar 5,4.
Besarnya perbedaan yang dianggap bermakna sebesar lima
milimeter air raksa. Maka besarnya perhitungan jumlah
sampel untuk ! ap kelompok sebesar:
Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel
! ap kelompok minimal 38 orang. Dengan kemungkinan
drop out sebesar 10 persen, sehingga jumlah sampel ! ap
kelompok sebesar 42 orang.
Bahan yang digunakan dalam peneli! an adalah HES
130/0,4, Ringer Laktat, Jarum Spinal 27G, Spuit 3 cc, Obat-
obatan seper! : Bupivakain 0,5 % Hiperbarik, perlengkapan
sesuai standar anestesia umum (mesin anestesia, sumber
oksigen, alat suc! on, stetoskop, laringoskop, ETT, plaster,
obat emergensi, dan sedasi), monitor tekanan darah non
invasif, pulse oksimetri, elektrokardiografi .
Cara kerja peneli! an adalah sebagai berikut:
1. Kunjungan pra anestesia :
• Semua pasien yang memenuhi kriteria peneri-
maan, dicatat nama, umur, berat badan, ! nggi
badan, pendidikan.
• Pasien diberikan penjelasan mengenai pene-
li! an dan menandatangani informed consent.
Penjelasan mencakup kerahasiaan data subyek
peneli! an dan hak pasien untuk menolak atau
mengundurkan diri dalam peneli! an.
• Diberikan premedikasi rani! din dan metoklopra-
mid.
2. Dilakukan randomisasi sederhana dengan metoda
amplop, pasien dibagi dalam dua kelompok. Ke-
lompok pertama akan mendapat coloading HES,
kelompok kedua akan mendapat coloading Ringer
laktat. Perlakuan lain adalah sama sesuai standar
anestesia spinal.
3. Di kamar operasi dilakukan pemasangan monitor
NIBP, saturasi oksigen, EKG serta dipasang akses
intravena 18 G. Dilakukan pengukuran NIBP, laju
nadi, dan saturasi yang selanjutnya dicatat sebagai
nilai praanestesia.
4. Pasien pada posisi duduk dilakukan anestesia spi-
nal dengan jarum spinal nomer 27 G pada L2-3,
setelah didapatkan cairan serebrospinal mengalir
lancar, dimasukkan zat aneste! k lokal bupivakain
0,5% hiperbarik dengan jumlah 12,5 mg (2,5 cc).
Saat dilakukan pemberian aneste! k lokal, dilaku-
kan coloading cairan RL sebanyak 1000mL dalam
10 menit pada kelompok pertama, dan HES seban-
yak 500 mL maksimal dalam 10 menit pada kelom-
pok kedua.
5. Pasien dibaringkan kembali dan dilakukan pe-
nilaian ke! nggian blok, jika ke! nggian blok men-
capai dermatom torakal enam maka operasi dapat
dimulai, pemeriksaan ke! nggian blok diulang se-
! ap dua menit dan dicatat ke! nggian blok maksi-
mal.
6. Selama ! ndakan pasien diberikan oksigen nasal
kanul 3 liter permenit. Dan mendapat cairan ru-
matan RL sesuai 10 mL/Kg berat badan.
7. Dilakukan pengukuran tekanan darah, laju nadi,
dan saturasi. Selanjutnya dicatat pada ! ap 2 menit
selama 20 menit pertama selanjutnya ! ap 5 menit
hingga menit ke 30.
8. Jika pasien mengalami hipotensi dapat dilakukan
pemberian 5 mg efedrin dan dapat di ulang se! ap
ALDY HERIWARDITO
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 3•
2 menit. Se! ap pemberian efedrin di catat dalam
lembar observasi.
9. Setelah bayi lahir dilakukan pencatatan Apgar score
pada menit pertama dan kelima. Analisa gas darah
dari tali pusat diperiksa dan dilakukan pencatatan.
10. Pasien diberikan oxytocin 20 IU drip setelah bayi
lahir.
11. Sepuluh menit sebelum operasi selesai diberi obat
analge! k ketorolak 30mg IV.
12. Setelah operasi selesai pasien ke ruang pulih dan
dilakukan observasi tanda vital.
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan peneli! an untuk mengetahui efek
hemodinamik pada pemberian coloading Ringer Laktat
1000 mL dan HES 130/0,4 pada anestesia spinal untuk be-
dah sesar.
Peneli! an ini dilakukan terhadap 84 subyek peneli-
! an yang terbagi dalam dua kelompok secara randomisasi
sederhana. Subyek peneli! an memiliki kisaran umur 20 -35
tahun, berat badan 50-80 kg, dan status fi sik ASA I dan ASA
II. Tujuh subyek peneli! an dikeluarkan karena ke! nggian
blok ! dak mencapai torakal enam, dan dua diantaranya ha-
rus dilakukan anestesia umum, sehingga kelompok RL ber-
jumlah 39 dan kelompok HES 130/0,4 berjumlah 38. Tabel
1 menunjukkan deskripsi variabel-variabel yang diobservasi
dan dicatat.
Tabel 1. Distribusi variabel diantara dua kelompok
Grup RL Grup HES
130/0,4
P
Umur 29 (SD =
5,2)
28 (SD = 3,7) 0,251
Berat
Badan
66,1 (SD =
7,5)
66,1 (SD = 8,2) 0, 438
Tinggi
Badan
155 (145-
168)
155 (145-168) 0,740
Tekanan
Darah
Arteri
Rata-rata
praspinal*
90 (74-110) 91 (69-110) 0,366
Laju Nadi
praspinal*
89
(SD=19,1)
90 (SD=12,4) 0,837
Ke! ng-
gian Blok
T5 (30,1%)
T6 (69,9 %)
T5 (26 %)
T6 (74 %)
0,431
Tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara
sta! s! k pada tekanan darah sistolik, diastolik, arteri rata-
rata, dan laju nadi pada pemeriksaan sebelum dilakukan
anesthesia spinal.
Hasil ini menunjukkan kedua kelompok memiliki karakter-
is! k yang seragam sebelum dilakukan perlakuan. Terdapat
perbedaan yang bermakna secara sta! s! k antara rata-rata
tekanan darah sistolik setelah pemberian coloading pada
menit kedua (p=0,023) dan ke-16 (p=0,041). Selisih rata-
rata pada menit kedua sebesar 7 mmHg (SD 2,9), dan pada
menit ke-16 sebesar 5,9 mmHg (SD 2,84) . (gambar 1)
Gambar 1. Grafi k rata-rata tekanan darah sistolik setelah
pemberian RL dan HES 130/0,4
Gambar 2. Grafi k rata-rata tekanan darah diastolik setelah
pemberian RL dan HES 130/0,4
Terdapat perbedaan yang bermakna secara sta! s-
! k antara rata-rata tekanan darah diastolik setelah pem-
berian coloading pada menit kedua (p=0,042), keempat
(p=0,036), ke-14 (p=0,029), ke-16 (p=0,020), ke-18(p=0,07),
ke-20 (0,03), dan ke-25(p=0,027). Selisih rata-rata pada
menit kedua 5,8 mmHg (SD=2,8), keempat sebesar 6
mmHg (SD=2,81), ke-14 sebesar 6 (SD=2,7), ke-16 sebe-
sar 5,3(SD=2,3), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,62), ke-20
sebesar 7,5 (SD=2,42), dan ke-25 sebesar 5,5 (2,4). (gambar
2).
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 4•
Gambar 3. Grafi k rata-rata tekanan darah arteri rata-rata
setelah pemberian RL dan HES 130/0,4.
Perbedaan yang bermakna secara sta! s! k antara
rata-rata tekanan darah arteri rata-rata juga didapatkan
setelah pemberian coloading pada menit kedua (p=0,025),
keempat (p=0,034), ke-16 (p=0,044), ke-18(p=0,08), ke-20
(0,06). Selisih rata-rata pada menit kedua 7 mmHg (SD=3,1),
keempat sebesar 7,1 mmHg (SD=3,3), ke-16 sebesar 4,7
mmHg (SD=2,7), ke-18 sebesar 7,3 mmHg (SD=2,7), ke-20
sebesar 7,1 mmHg (SD=2,5). Perbedaan secara sta! s! k ra-
ta-rata laju nadi hanya didapatkan pada menit ke -8 sebesar
7,8 (SD= 3,5) dengan nilai p = 0,027 (gambar 4).
Gambar 4. Grafi k rata-rata laju nadi setelah pemberian RL
dan HES 130/0,4.
Uji sta! s! k yang digunakan untuk menentukan kore-
lasi antara pH tali pusat dan jenis cairan coloading adalah
t-test ! dak berpasangan. Hasil yang diperoleh adalah nilai
p sebesar 0,705. Dengan demikian ! dak ditemukan korelasi
antara pH talipusat dan jenis cairan coloading.
Tabel 2. Hubungan antara jenis cairan coloading dan pH.
Untuk mencari hubungan antara skor apgar dan jenis
cairan coloading digunakan uji Kolmogorov Smirnov . Hasil
uji sta! s! k menununjukkan ! dak ada perbedaan yang ber-
makna antara jenis cairan dan skor Apgar menit pertama
dan kelima.
Tabel 3. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit
pertama
Tabel 4. Hubungan antara jenis cairan dan skor Apgar menit
kelima
Uji sta! s! k yang digunakan untuk menentukan
hubungan antara perbedaan pemberian efedrin dan jenis
cairan coloading adalah Komolgorov Smirnov karena syarat
uji chi kuadrat ! dak terpenuhi. Tidak didapatkan perbe-
daan yang bermakna antar jenis cairan coloading dan jum-
lah pemberian efedrin.
Uji sta! s! k yang digunakan untuk menentukan
hubungan antara jenis cairan coloading dan efek samping
hipotensi adalah Komolgorov Smirnov. Tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antarjenis cairan coloading dan
insiden terjadinya efek samping hipotensi.
ALDY HERIWARDITO
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 5•
Tabel 5. Hubungan antara pemberian efedrin dan jenis cai-
ran coloading.
Tabel 6. Hubungan antara jenis cairan coloading dan efek
samping hipotensi.
PEMBAHASAN
Peneli! an ini adalah peneli! an jenis cairan coload-
ing, jenis cairan yang digunakan adalah koloid HES 130/0,4.
Peneli! an ini berbeda dari peneli! an sebelumnya karena
membandingkan secara langsung coloading kristaloid dan
koloid. Tekanan onko! k koloid menjaga cairan lebih lama
berada dalam intravaskular. Efek volume yang lebih lama
inilah yang diharapkan membedakan tekanan darah pasca
spinal antara pemberian cairan RL dan HES 130/0,4.
Peneli! an ini menggunakan subyek yang hampir
sama yaitu ibu hamil. Pemilihan karakteris! k subyek pene-
li! an diharapkan mempertajam hasil peneli! an. Usaha un-
tuk membatasi karakteris! k subyek dengan pembatasan
usia, ! nggi badan, dan status fi sik ASA. Ke! nggian blok
adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap peruba-
han hemodinamik.
Sehingga ke! nggian blok lebih dari kurang dari tor-
akal enam dan lebih dari torakal empat dikeluarkan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi ke! nggian blok juga diseragam-
kan seper! barisitas, volume, dosis aneste! k lokal, dan
posisi penyun! kan. Karakteris! k umur, berat badan, dan
! nggi badan dibatasi sehingga diharapkan kedua kelompok
memiliki karakteris! k tekanan intraabdomen yang hampir
sama.
Randomisasi sederhana dilakukan untuk menentu-
kan kelompok perlakuan. Penggunaan plasebo dihindari
pada peneli! an ini untuk mencegah terjadinya hipotensi
dan bahayanya perfusi organ yang buruk pada subyek
peneli! an. Standar yang digunakan adalah coloading RL
karena telah terbuk! mencegah terjadinya hipotensi.9
Perhitungan besar sampel menggunakan standar
deviasi rerata tekanan darah arteri rata-rata yang dilakukan
studi sebelum dilakukan peneli! an ini sebesar 5,4. Perbe-
daan tekanan darah arteri rata-rata yang diaggap bermakna
sebesar lima milimeter air raksa.
Pemeriksaan tekanan darah dan laju nadi sebelum
dilakukan anestesia spinal menunjukkan ! dak berbeda
bermakna secara sta! s! k. Kedua kelompok memiliki kara-
kteris! k hemodinamik yang sama.
Pemeriksaan rata-rata tekanan darah sistolik yang
lebih ! nggi pada kelompok perlakuan (HES 130/0,4) diband-
ingkan dengan kelompok kontrol (RL) terutama bermakna
secara sta! s! k pada pengukuran menit kedua dan ke-16.
Rerata tekanan darah arteri rata-rata kelompok perlakuan
lebih ! nggi dan berbeda bermakna dibandingkan kelompok
kontrol pada pengukuran menit kedua, keempat, ke-16, ke-
18, dan ke-20. Perbedaan tekanan darah yang terjadi sebe-
sar empat sampai tujuh milimeter air raksa.
Hasil ini menunjukkan bahwa coloading 500 mL
HES 130/0,4 memiliki efek mencegah perubahan tekanan
darah yang lebih baik dibandingkan dengan coloading
1000 mL RL. Perbedaan rata-rata tekanan darah terjadi
hingga menit ke-20 pasca dilakukan anestesia spinal. Efek
volume intravaskular HES 130/0,4 meningkatkan preload
jantung yang akhirnya meningkatkan isi sekuncup, dimana
laju nadi tetap konstan. Peneli! an ini menunjukkan ! dak
adanya perubahan yang besar terhadap laju nadi pada dua
kelompok. Peneli! an Karinen 26 menunjukkan preloading
koloid lebih baik dalam mencegah perubahan hemodin-
amik dibandingkan dengan kristaloid, dengan demikian ko-
loid dapat diberikan secara coloading atau preloading un-
tuk mencegah perubahan hemodinamik. Peneli! an Karinen
mengukur tekanan vena sentral pada subyek peneli! annya.
Didapatkan peningkatan tekanan vena sentral yang signifi -
kan setelah 10 menit cairan diberikan. Jumlah cairan yang
lebih besar (15 mL/Kg) diberikan pada peneli! an Teoh 13 di-
dapatkan pemberian koloid preloading lebih baik dalam
meningkatkan curah jantung dibandingkan dengan coload-
ing sampai ! ga menit pasca spinal anestesia.
Peneli! an ini menggunakan teknik pemberian cai-
ran secara coloading karena dengan cara ini diharapkan
preload jantung akan lebih besar. Preloading akan menye-
babkan pelepasan hormon ANP (Atrial Natriure! c Pep! de)
yang lebih besar. ANP dilepaskan karena adanya s! mulus
regangan otot jantung, regangan ini terjadi karena jantung
terisi cairan preloading. Efek pelepasan ANP adalah penu-
runan tekanan darah akibat meningkatnya permeabilitas,
meningkatnya kapasitas vena, dan diuresis.13,14
Pemberian cairan secara coloading diharapkan dapat
memaksimalkan ekspansi volume akibat pemberian cairan.
Pengukuran tekanan darah arteri rata-rata menunjukkan
nilai rerata yang lebih ! nggi pada kelompok kontrol hing-
ga pengukuran menit ke-18 dan ke-20. Hal ini menunjuk-
kan efek volume HES 130/0,4 masih bertahan intravaskular
hingga 20 menit pasca coloading. HES 130/0,4 lebih lama
dalam intravaskular karena memiliki tekanan koloid onko! k
yang besar dan HES memiliki waktu paruh hingga dua jam.
Meskipun tekanan darah sistolik dan arteri rata-rata
kelompok perlakuan lebih ! nggi, akan tetapi ! dak terdapat
perbedaan yang bermakna pada rerata pH tali pusat. Hasil
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 6•
yang serupa juga ditunjukkan pada peneli! an Nishikawa,12
Teoh,13 dan Karinen26. Sistem uteroplasenta ! dak memiliki
autoregulasi, karena pembuluh darah plasenta sudah berdi-
latasi penuh. Perfusi uteroplasenta hanya bergantung pada
tekanan darah ibu hamil. Batas tekanan darah terendah
yang masih dapat dikompensasi untuk menjamin perfusi
uteroplasenta manusia yang masih baik sampai saat ini be-
lum dapat ditentukan.4
Peneli! an pada hewan coba menunjukkan penu-
runan aliran darah uteroplasenta hingga 30% dan kurang
dari 10 menit masih dapat ditoleransi oleh janin. Hal inilah
yang membuat pH tali pusat ! dak berbeda pada dua ke-
lompok tersebut.
Peneli! an Karinen menunjukkan pemeriksaan pul-
sa! lity index pada arteri maternal dengan dopler menun-
jukkan perfusi yang ! dak berbeda bermakna pada kelom-
pok yang memiliki insiden hipotensi lebih ! nggi.26
Pemeriksaan laktat pada arteri umbilikal pun menun-
jukkan ! dak ada perbedaan pada berbagai kelompok yang
memiliki insiden hipotensi yang berbeda.12
Tidak terdapat perbedaan skor apgar yang bermak-
na antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil
ini juga serupa dengan peneli! an peneli! an sebelumnya.
Autoregulasi sistem uteroplasenta yang membuat perfusi
janin tetap baik menyebabkan skor apgar tetap baik pula.
Efedrin diberikan jika tekanan darah arteri rata-rata kurang
dari 20 % tekanan darah arteri rata-rata pra spinal aneste-
sia. Hasil peneli! an ini menunjukkan kebutuhan pemberian
efedrin yang ! dak berbeda bermakna antara dua kelom-
pok.
Kriteria pemberian vasokonstriktor sangat berkaitan
dengan hasil ini. Peneli! an Dyer yang menggunakan krite-
ria pemberian vasokonstriktor jika terjadi penurunan 10 %
dari tekanan darah arteri rata-rata pra anestesia, menun-
jukkan kebutuhan vasokonstriktor yang lebih besar. Jadi
kriteria ini menentukan pula kebutuhan dan perbedaan
yang terjadi antara kelompok perlakuan dan kontrol.
SIMPULAN
Pemberian coloading HES 130/0,4 lebih baik dalam
menjaga tekanan darah dibandingkan dengan coloading
RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak terdapat
perbedaan laju nadi antara coloading HES 130/0,4 dengan
coloading RL saat anestesia spinal untuk bedah sesar. Tidak
terdapat perbedaan pH talipusat bayi antara coloading HES
130/0,4 dengan coloading RL saat anestesia spinal untuk
bedah sesar.
SARAN
Pemberian cairan masih dianjurkan untuk mencegah
perubahan hemodinamik dan efek sampingnya pada anes-
tesia spinal untuk bedah sesar. Kombinasi dengan teknik lain
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Perlu
dilakukan peneli! an lebih lanjut terhadap efek coloading
HES 130/0,4 terhadap curah jantung, kadar laktat darah tali
pusat, dan tekanan onko! k koloid ibu hamil dibandingkan
dengan coloading RL. Perlu dilakukan pula peneli! an ten-
tang jenis dan jumlah cairan koloid terbaik untuk mencegah
hipotensi.41
DAFTAR PUSTAKA
1. Paech M. Anesthesia for Cesarean Sec! on. In Palmer
CM, D’Angelo R, eds. Handbook of Obstetric Anesthe-
sia. Oxford: BIOS Scien! fi c Publishers Limited; 2002:
81-113.
2. Wee MYK, Brown H, Reynolds F. The Na! onal Ins! tute
of Clinical Excellence (NICE) guidelinesfor caesarean
sec! ons: implica! ons for the anaesthe! st. Interna! on-
al Journal of Obstetric Anesthesia 2005; 14: p. 147-58.
3. Mojica JL, Melendez HJ, Bau! sta LE. The Timing of In-
travenous Crystaloid Administra! on and Incidence of
Cardiovascular Side Eff ect During Spinal Anesthesia:
The Results from a Randomized Controlled Trial. Anesth
Analg 2002; 94: 432-7.
4. Skillman C. Eff ect of graded reduc! ons in uteroplacen-
tal blood fl ow on the fetal lamb. Am J Physiol Heart Circ
Physiol 1985; 249(6): 1098-105.
5. NN. www.anzca.edu.au/fellows/.anaesthesia.anaes-
thesia./hypotension-during-regional- anaesthesia-for-
caesarean-birth.html. [Online].; 2009 [cited 2009 Feb-
ruari 12. Available from: www.anzca.edu.au/fellows/.
anaesthesia.anaesthesia./hypotension-during-region-
al- anaesthesia-for-caesarean-birth.html.
6. Mercier FJ. Phenylephrine added to prophylac! c
ephedrine infusion during spinal anesthesia for elec-
! ve cesarean sec! on. Anesthesiology 2001; Sep; 95:
668-74.
7. Ben-David B. Low-dose bupivacaine-fentanyl spinal an-
esthesia for cesarean delivery. Reg Anesth Pain Med
2000; 25: 235-9.
8. Morgan PJ. The Eff ect of Increasing Central Blood Vol-
ume to Decrease the Incidence of Hypotension Follow-
ing Spinal Anesthesia for Cesarean Sec! on. In Halpern
SH, Douglas MJ. Evidence Based Obstetric Anesthesia.
Massacuse+ s: Blackwell Publishing, Inc; 2005, 89-100.
9. Jeff erson. Pencegahan Hipotensi dan Efek Samping
Hipotensi Akibat Anesthesia Spinal pada Bedah Sesar
Elek! f: Perbandingan Antara Pemberian Ringer Laktat
Saat Dilakukan Anestesia Spinal dengan 20 menit Sebe-
lum Tindakan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia RSUPN Cipto Mangunkusumo; 2005.
10. Mcllroy DR, Karasch ED. Acute Intravascular Volume Ex-
pansion with Rapidly Administered Crystalloid or Col-
loid in the Se< ng of Moderate Hypovolemia. Anesth
Analg 2003; 96: 1572-7.
11. Singh U, Saha U. Preven! on of Hypotension Following
Spinal Anesthesia for Caesarean Sec! on-Comparison of
Volume Preloading with Ringer Lactate & 6% Hydroxy-
etyl Starch (HES 130/0,4). Journal Anaesth Clin Pharma-
col 2009; 25: 54-8.
12. Nishikawa K, Naho Y, Saito S, Goto F. Comparasion of
Eff ects of Rapid Colloid Loading Before and A% er Spinal
Anesthesia on Maternal Hemodynamics and Neonatal
Outcomes in Cesarean Sec! on. Journal of Clinical Mon-
itoring and Compu! ng 2007; 21: 125-9.
13. Teoh W. Colloid Preload Versus Coload for Spinal Anes-
thesia for Cesarean Delivery: The Eff ects on Maternal
Cardiac Output. Anesth Analg ; 2009; 108: 1592-8.
14. Levin E. Natriure! c Pep! des. The New England Journal
ALDY HERIWARDITO
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 7•
of Medicine 1998 Sep; 339(5): 321-8.
15. Standl T. Hydroxyethyl Starch (HES) 130/0.4 Provides
Larger and Faster Increases in Tissue Oxygen Tension
in Comparison with Prehemodilu! on Values than HES
70/0.5 or HES 200/0.5 in Volunteers Undergoing Acute
Normovolemic Hemodilu! on. Anesth Analg 2003; 96:
936 –43.
16. Onal B, Yuceyar L, Erolcay H, Ercan M. The eff ect of HES
vs. gela! n solu! ons on blood rheology, plasma onco! c
pressure and serum osmolality. European Journal of
Anaesthesiology 2002; 19: 15-6.
17. Jungheinrich C. Pharmacokine! c and Tolerability of
an Intravenous Invusion of a New HES 130/0,4 (0,6%,
500mL) in Mild to Severe Renal Impairment. Anesth
Analg. 2002; 95: p. 544-5.
18. Dubois MJ, Vincent JL. Colloid Fluids. In Hahn RG, ed.
Periopera! ve Fluid Therapy. New York: Informa Health-
care USA, Inc.; 2007. p. 153-61.
19. Waschke K, Frietsc T. Selec! on of Adequate Subs! tute
for Intravascular Volume Replacement. Interna! onal
Journal of Intensive Care 1999; winter: 135-43.
20. Afolabi BB. Regional versus general anaesthesia for
caesarean sec! on (Review). Cochrane Collabora! on
2006 Oct; 4(4): 1-44.
21. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, Epidural, & Caudal
Blocks. In Morgan E, Mikhail M, Murray M, editors.
Clinical Anesthesiology, Fourth Edi! on. New York: Mc-
Graw-Hill Companies, Inc; 2006: 289-323.
22. Hartman B. The Incidence and Risk Factors for Hypo-
tension A% er Spinal Anesthesia Induc! on: An Analysis
with Automated Data Collec! on. Anesth Analg 2002;
94: 1521–9.
23. Klasen J. Diff ering Incidences of Relevant Hypotension
with Combined Spinal-Epidural Anesthesia and Spinal
Anesthesia. Anesth Analg 2003; 96: 1491–5.
24. Morgan GE. Spinal, Epidural, & Caudal Blocks. In Clini-
cal Anesthesiology, Fourth Edi! on. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc; 2006.
25. Bose M, Kini G, Krishna H. Comparison of Crystaloid
Preloading versus Crystalloid Coloading to Prevent Hy-
potension and Bradycardia following Spinal Anesthesia.
Journal Anesth Clinic Pharmacol 2008; 24: 53-6.
26. Karinen J. Eff ect of crystalloid and colloid preloading
on uteroplacental and maternal haemodynamic state
during spinal anaesthesia for Caesarean sec! on. Bri! sh
Journal of Anaesthesia 1995; 75: 531–35.
27. Park G, Martha A. The Eff ects of Varying Volumes of
Crystalloid Administra! on Before Cesarean Delivery
on Maternal Hemodynamics and Colloid Osmo! c Pres-
sure. 1996; 83: 299-303.
28. Prough DS, Svensen CH. Crystalloid Solu! on. In Hahn
RG. Periopera! ve Fluid Therapy. New York: Informa
Healthcare USA, Inc.; 2007: 137-51.
29. Traylo RJ, Pearl RG. Crystaloid versus Colloid versus Col-
loid: All Coloid ar not Equal: Anesth Analg; 1996.
30. Waschke K, Frietsc T. Selec! on of Adequate Subs! tute
for Intravascular Volume Replacement. Interna! onal
Journal of Intensive Care 1999; Winter.
Perbandingan Hemodinamik saat Anestesi Spinal antara Coloading Ringer Laktat dan HES 130/0,4 untuk Operasi Bedah Sesar I Hemodynamic Comparison of Spinal Anesthesia between Coloading Ringer Lactate and HES 130/0,4 in Caesarean Section
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 8•
I LAPORAN PENELITIAN I
Keefek! fan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik 7,5 mg
Ditambah Fentanil 25 mcg Dibandingkan dengan
Bupivakain 0,5% Hiperbarik 12,5 mg pada Bedah SesarThe Eff ec! veness of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 7,5 mg Plus 25
mcg Fentanyl Compared with 0,5% Hyperbaric Bupivacaine 12,5 mg in Caesarean Sec! on
Bintartho A, Pryambodho, Susilo
ABSTRACT
Background: Hypotension can be a serious threat
to mother and baby in spinal anaesthesia during caesarean
sec! on. In order to decrease the incidence of hypotension,
we can lower the dose of local anaesthesia and add lipophil-
ic opioid to keep the quality of analgesia. This study tried to
compare the used of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%
plus 25 mcg fentanyl with 12,5 mg hyperbaric bupivacaine
0,5% only, a common spinal anaesthesia regiment used in
Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Method: One hundred and eight parturient, who
meet the inclusion criteria, divided into 2 groups, 54 parturi-
ent in group I received 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5%
plus fentanyl 25 mcg, 54 parturient in group II received 12,5
mg hyperbaric bupivacaine 0,5% as a control group. Vital
sign, hypotension, total ephedrine, sensory and motor block
profi le, nausea and vomi! ng, pruritus, respiratory depres-
sion, and APGAR score were observed un! l 60 minutes a# er
the spinal anaesthesia.
Result: Hypotension was found in 13 parturient
(24,1%) in group I and 23 parturient (42,6%) in group II. Dif-
ference between groups was sta! s! cally signifi cant. Mean
of total ephedrine was found signifi cantly diff erent (13,04
(±5,98) vs 5,38 (±1,38) mg). Sensory block at 60 minutes
(T6 (T5-T8) vs T6 (T4-T8)) was found sta! s! cally diff erent,
! me to reach maximal motor block (6,94 (±2,39) vs 4,33
(±2,89) minutes), maximum motor block (3 (2-3) vs 3 brom-
age scale), and motor block at 60 minutes (2 (1-3) vs 3 (2-
3) bromage scale), were found signifi cantly diff erent. Other
sensory block profi le, ! me to reach Th6 (3,94 (±1,4) vs 3,55
(±1,17) minutes), ! me to reach maximal sensory block (5,83
(±1,22) vs 5,94 (±0,91) minutes), and highest sensory block
(T5 (T4-T6) vs T4 (T3-T6)), were not found diff erent. Nausea
and vomi! ng, pruritus, and APGAR score were not found
diff erent, and no respiratory depression was found.
Conclusion: Spinal anaesthesia using combina! on
of 7,5 mg hyperbaric bupivacaine 0,5% plus fentanyl 25 mcg
is more eff ec! ve compared with 12,5 mg hyperbaric bupiva-
caine 0,5% alone for caesarean sec! on. It has an eff ec! ve
intraopera! ve analgesia and more stabile hemodynamic
eff ect.
Bintartho A, Pryambodho, Susilo Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Keywords: spinal anaesthesia, bupivacaine, fen-
tanyl, caesarean sec! on, hypotension
ABSTRAK
Latar belakang: Hipotensi merupakan suatu kom-
plikasi anestesia spinal yang dapat mengancam pada bedah
sesar. Salah satu cara untuk mengurangi risiko hipotensi,
yaitu dengan menurunkan dosis analgesik lokal dan me-
nambahkan opioid lipofi lik untuk mempertahankan kualitas
analgesia. Peneli! an ini mencoba membandingkan penggu-
naan 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik ditambah fentanil
25 mcg dengan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik yang
sering digunakan di RSCM.
Metode: Sebanyak 108 parturien yang memenuhi
kriteria inklusi dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu
54 parturien pada kelompok I mendapat 7,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan 54
lainnya pada kelompok II mendapat 12,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik sebagai kontrol. Dilakukan pencatatan
berkala mulai dari sebelum hingga 60 menit pasca ! ndakan
spinal terhadap beberapa variabel antara lain: tanda vital,
kejadian hipotensi, jumlah total pemberian efedrin, pro-
fi l blokade sensorik dan motorik, mual muntah, pruritus,
depresi napas, dan nilai APGAR.
Hasil: Sebanyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok
I dan 42,6% (23 pasien) dari kelompok II mengalami hipo-
tensi, dan perbedaannya bermakna secara sta! s! k. Didapa-
! rerata total pemberian efedrin yang berbeda bermakna
(13,04 (±5,98) vs 5,38 (±1,38) mg), blokade sensorik saat 60
menit yang berbeda bermakna secara sta! s! k (T6 (T5-T8)
vs T6 (T4-T8)), waktu tercapainya blokade motorik maksi-
mal (6,94 (±2,39) vs 4,33 (±2,89) menit), blokade motorik
maksimal (3 (2-3) vs 3 skala bromage), blokade motorik saat
60 menit (2 (1-3) vs 3 (2-3) skala bromage) yang berbeda
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •9•
bermakna. Perbedaan waktu tercapainya blokade sensorik
se! nggi T6 (3,94 (±1,4) vs 3,55 (±1,17) menit), waktu ter-
capainya ! nggi blokade sensorik maksimal (5,83 (±1,22) vs
5,94 (±0,91) menit), ! nggi blokade sensorik maksimal (T5
(T4-T6) vs T4 (T3-T6)) ! dak berbeda bermakna. Efek samp-
ing mual muntah, pruritus, dan nilai APGAR menit pertama
juga ! dak berbeda bermakna dan ! dak ditemukan depresi
napas.
Kesimpulan: Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg
bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih
efek! f dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5%
pada bedah sesar karena menghasilkan analgesia intraop-
era! f yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil.
Kata kunci: anestesia spinal, bupivakain, fentanil,
bedah sesar, hipotensi.
LATAR BELAKANG
Sejak Augustus Bier memperkenalkan anestesia
spinal pada tahun 1899, penggunaannya semakin luas kare-
na murah, reliabel, dan efek! f.1 Dalam bidang anestesia
obstetrik, anestesia spinal pun lebih sering digunakan pada
bedah sesar dibandingkan anestesia umum. Berdasarkan
data di Instalasi Gawat Darurat RSUPNCM periode Januari–
Juni 2008, 90% dari 645 bedah sesar yang tercatat meng-
gunakan teknik anestesia spinal.2
Penggunaan anestesia regional pada bedah sesar
meningkat karena ! ngginya risiko komplikasi jalan napas
pada anestesia umum. Angka mortalitas ibu yang men-
jalani bedah sesar dengan anestesia umum hampir 17 kali
lebih ! nggi dibandingkan setelah penggunaan anestesia re-
gional.3,4 Keuntungan lain adalah mula kerja dan masa pulih
anestesia yang cepat, rela! f mudah, kualitas blokade sen-
sorik dan motorik yang baik, serta memungkinkan ibu tetap
sadar pada saat kelahiran bayinya.4,5
Namun, hipotensi yang terjadi karena penurunan
tahanan vaskular sistemik akibat hambatan simpa! s tetap
menjadi sebuah permasalahan tersendiri.3,4 Keadaan ini
dapat membahayakan ibu maupun bayi. Hipotensi berkai-
tan dengan ! ngginya blokade spinal. Semakin ! nggi blokade
spinal, mekanisme kompensasi akibat hambatan simpa-
! s pun akan semakin ditekan.4,6 Angka kejadian hipotensi
akibat anestesia spinal pada pasien bedah sesar bervariasi
dan cukup ! nggi.7 Chung dkk. (12 mg bupivakain hiperbarik
0,5%), mendapatkan insidens hipotensi 80%.8 Peneli! an
Riley dkk. dan Siddik-Sayyid dkk. (12 mg bupivakain hiper-
barik 0,75%), mendapatkan insidens hipotensi sebesar 85%
dan 87%.9,10 Bryson dkk., serupa dengan Chung, mendapat-
kan insidens hipotensi yang lebih dari 70%.11 Sementara itu,
Bogra dkk., Suwardi, dan Akmal (12,5 mg bupivakain hiper-
barik 0,5%) mendapatkan insidens hipotensi sebesar 50%,
46%, 42%.12-14
Penggunaan aneste! k lokal dengan dosis yang
lebih kecil ! dak memblok serabut saraf simpa! s di daerah
atas sehingga hipotensi ! dak terjadi. Penggunaan dosis ke-
cil akan memperkecil risiko ! mbulnya toksisitas sistemik
obat aneste! k lokal.15,16 Namun, dosis yang rendah akan
berpengaruh terhadap kualitas dan durasi anestesia spinal.
Ginosar dkk. melakukan peneli! an untuk mencari ED50 dan
ED95 dari bupivakain untuk anestesia spinal pada bedah
sesar. Hasilnya didapatkan ED50 dan ED95 adalah sebesar
7,6 mg dan 11 mg.17 Di RSCM dosis bupivakain yang paling
sering digunakan pada bedah sesar adalah 12,5 mg.2
Beberapa peneli! menurunkan dosis bupivakain
dan menambahkan opioid lipofi lik intratekal untuk men-
gurangi hipotensi dan mempertahankan kualitas anestesia
yang baik. Fentanil merupakan opioid lipofi lik yang banyak
digunakan dan mudah didapat. Hunt dkk. menyebutkan
bahwa penambahan 6,25-50 mcg fentanil intratekal akan
meningkatkan periode analgesia periopera! f pada aneste-
sia spinal dengan bupivakain hiperbarik, tetapi ! dak mem-
pengaruhi onset hambatan sensorik dan motorik.18
Pada peneli! an ini, kami mencoba membanding-
kan anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain 0,5%
hiperbarik ditambah fentanil 25 mcg dengan 12,5 mg bupi-
vakain 0,5% hiperbarik pada bedah sesar.
METODOLOGI
Peneli! an eksperimental, uji klinik acak tersamar
tunggal ini dikerjakan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasi-
onal Cipto Mangunkusumo, Jakarta setelah mendapatkan
persetujuan dari Pani! a Tetap Penilai E! k dan persetujuan
tertulis dari pasien yang telah mendapatkan penjelasan se-
belumnya, dalam periode November 2009-Januari 2010.
Jumlah sampel total adalah 108 orang, yang dirandomisasi
menjadi dua kelompok.
Dilakukan randomisasi sederhana berdasarkan am-
plop pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien ! -
dak diberikan premedikasi sedasi. Iden! tas pasien dicatat,
antara lain: nama, usia, jenis kelamin, berat badan (BB),
dan ! nggi badan (TB). Setelah pasien masuk ruang operasi,
dibaringkan telentang, dipasang monitor EKG, tensimeter,
saturasi oksigen, dan diberikan oksigen melalui kanul nasal
2-3 L/menit. Dilakukan pencatatan data awal berupa tekan-
an darah, frekuensi nadi, dan frekuensi napas. Coloading
cairan ringer laktat 500 mL dilakukan bersamaan dengan
anestesia spinal. Sebelum dilakukan anestesia spinal, obat
aneste! k lokal disiapkan terlebih dahulu dalam spuit 3 mL.
Pada kelompok I, diberikan 7,5 mg bupivakain 0,5% hip-
erbarik ditambah 25 mcg fentanil, dengan total volume 2
mL. Untuk kelompok II, 12,5 mg diberikan bupivakain 0,5%
hiperbarik, dengan total volume 2,5 mL. Pasien diposisi-
kan miring (lateral dekubitus), kemudian kaki dan kepala
difl eksikan sehingga terlihat membungkuk. Dilakukan ! n-
dakan asep! k dan an! sep! k pada lapangan tempat pe-
nyun! kan. Pungsi lumbal dilakukan dengan menggunakan
jarum Quincke ukuran 27 G pada vertebra lumbal se! nggi
garis imajiner Tuffi er atau se! nggi sela vertebra lumbal 3-4
atau 4-5. Ujung jarum berada di ruang subaraknoid yang
ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal dari lumen
jarum spinal. Aneste! k lokal kemudian disun! kkan dengan
kecepatan 0,2 mL/de! k. Spuit kemudian dilepaskan dari
jarum spinal dan tampak cairan serebrospinal mengalir
untuk memas! kan posisi ujung jarum spinal tetap berada
di ruang subaraknoid dan aneste! k lokal telah masuk ke-
dalam ruang subaraknoid, kemudian jarum dicabut. Segera
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •10•
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
setelah selesai, pasien dikembalikan pada posisi telentang
horizontal, kepala diganjal bantal dan panggul kanan di-
ganjal kolf cairan 500 mL. Dilakukan pemantauan tekanan
darah, frekuensi nadi, pernapasan, dan saturasi oksigen. Di-
catat tanda vital menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 18, 20, 30, 40, 50,
dan 60 setelah obat habis disun! kkan. Jika tekanan darah
sistolik turun hingga kurang dari 90 mmHg, diberikan efe-
drin 5 mg intravena. Pemberian efedrin dapat diulang ! ap
60 de! k hingga tekanan darah sistolik >90 mmHg. Dilaku-
kan pencatatan waktu tercapainya hambatan sensorik T6,
dan ! nggi blok maksimal dengan menggunakan tes tusuk
jarum (pinprick) serta hambatan motorik dengan menggu-
nakan skala Bromage, beserta waktunya. Setelah bayi lahir,
skor APGAR menit pertama dicatat. Dilakukan pencatatan
efek samping yang terjadi seper! mual muntah dan depresi
napas. Setelah 60 menit peneli! an selesai, prosedur selan-
jutnya sesuai standar yang berlaku di RSCM. Bila sebelum
operasi selesai pasien mengeluh kesakitan, teknik anestesia
dapat dikonversi menjadi anestesia umum sesuai standar
yang berlaku di RSCM. Setelah operasi selesai, pasien diba-
wa ke ruang pulih. Untuk tambahan analge! k pascaoperasi
diberikan ketoprofen supositoria. Bila telah memenuhi skor
Aldre+ e Modifi kasi di atas 8, pasien dipindahkan ke ruang
rawat.
Data yang didapat dari kedua kelompok akan dio-
lah dan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular atau
diagram. Perhitungan sta! s! k dilakukan dengan meng-
gunakan program komputer Sta! s! cal Package for Social
Science (SPSS) ver. 17.0. Uji sta! s! k yang dilakukan adalah
perbandingan dua proporsi menggunakan uji Chi square
dan perbandingan nilai rata-rata dengan standar deviasi
menggunakan uji student t-test independent untuk melihat
perbedaan hasil antara dua kelompok dengan perlakuan
yang berbeda. Nilai kemaknaan p<0,05 jika menunjukan
perbedaan bermakna atau p>0,05 jika ! dak menunjukkan
perbedaan yang bermakna.
HASIL
Telah dilakukan peneli! an untuk menilai keefek-
! fan (kestabilan hemodinamik dan analgesia intraoperasi
yang baik) anestesia spinal pada pasien yang menjalani
bedah sesar dengan menggunakan bupivakain 0,5% hiper-
barik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok I) diband-
ingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelom-
pok II) sebagai kontrol. Peneli! an dilakukan terhadap 108
pasien, yang dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 54
pasien. Tidak ada subjek peneli! an yang dikeluarkan (drop
out). Karakteris! k demografi k pasien yang menjalani pene-
li! an dapat dilihat pada Tabel 1. Perbandingan kelompok I
dan kelompok II ! dak ada perbedaan bermakna.
Efek hemodinamik dinilai berdasarkan angka ke-
jadian hipotensi dan jumlah efedrin yang diberikan. Se-
banyak 24,1% (13 pasien) dari kelompok bupivakain 0,5%
hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg (kelompok
I) mengalami hipotensi, sedangkan pada kelompok bu-
pivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebanyak
42,6% (23 pasien) yang mengalami hipotensi (Gambar 1).
Dari uji sta! s! k yang dilakukan, perbandingan kedua hasil
ini menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) den-
gan nilai p, yaitu 0,041.
Tabel 1. Data demografi k pasien
VariabelKelompok I
(n=54)
Kelompok II
(n=54)P
Mean (±SD) Mean (± SD)
Usia (tahun) 29.35 (±4.82) 30.26 (±4.65) 0.322*
Berat badan (kg) 63.94 (±5.51) 63.5 (±5.79) 0.684
Tinggi badan (cm) 153.42 (±5.2) 151.29 (±4.89) 0.051
TD sistolik menit awal
(mmHg)
123.53
(±5.02)124.5 (±4.89) 0.428
TD diastolik menit awal
(mmHg)78.25 (±5.16) 77.51 (±4.05) 0.096
Frekuensi nadi awal (kali/
menit)
96.53
(±11.28)94.5 (±9.86) 0.082
Frekuensi nafas awal
(kali/menit)17.79 (±3.06) 17.5 (± 3.06) 0.615
Berat Lahir Bayi (g)2821.29
(±528.84)
2849.81
(±527.17)0.926*
Lama Operasi (menit) 52.31 (±9.3) 49.72 (±8.81) 0.140*
Pendidikan^ : SD 7 (13%) 6 (11,1%) 0,953
SMP 21 (38,9%) 21 (38,9%)
SMA 24 (44,4%) 24 (44,4%)
PT 2 (3,7%) 3 (5,6%)
ASA ^ : 1 17 (31,5%) 19 (35,2%) 0,683
2 37 (68,5%) 35 (64,8%)
Operasi ^ : Elektif 4 (7,4%) 3 (5,6%) 0,696
Cito 50 (92,6%) 51 (94,4%)
Analisis sta! s! k menggunakan uji Mann-Withney
* Menggunakan uji T
^ Ditampilkan dalam bentuk proporsi; menggunakan uji Chi
Square
Gambar 1. Insidens kejadian hipotensi
Kelompok I memiliki rerata total pemberian efedrin
sebesar 5,38 (±1,38) mg, yang secara sta! s! k terdapat per-
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •11•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
bedaan bermakna (p<0,05) dengan rerata total pemberian
efedrin pada kelompok II, yaitu sebesar 13,04 (±5,98) mg.
Nilai rerata ini didapatkan dari penjumlahan total efedrin
yang diberikan dibagi jumlah subjek yang mendapat efe-
drin. Distribusi pemberian efedrin total dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Distribusi total jumlah pemberian efedrin
Profi l blokade sensorik dilihat dari waktu tercapa-
inya blokade sensorik se! nggi T6, waktu tercapainya ! nggi
blokade sensorik maksimal, ke! nggian blokade sensorik
maksimal, dan ke! nggian blokade sensorik saat 60 menit.
Untuk profi l blokade motorik, dilihat dari waktu tercapainya
blokade motorik maksimal, skala blokade motorik maksi-
mal, dan skala blokade motorik saat menit ke 60.
Waktu untuk tercapainya blokade sensorik se! nggi
dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimulainya
pembedahan. Hasilnya adalah 3,94 (±1,4) menit dan 3,55
(±1,17) menit pada kelompok I dan kelompok II. Perband-
ingan keduanya ! dak berbeda bermakna secara sta! s! k
dengan nilai p>0,05. Dari hasil yang didapat, waktu terca-
painya ke! nggian blokade sensorik maksimal ! dak berbe-
da bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Ke! nggian
blokade sensorik pada menit ke-60 antara kelompok I dan
kelompok II berbeda bermakna secara sta! s! k. Sebaran
ke! nggian blokade sensorik terlihat pada Gambar 3 dan 4.
Perbandingan profi l blokade motorik antara kedua kelom-
pok, yang tergambar dari waktu tercapainya blokade mo-
torik maksimal, skala blokade motorik maksimal, dan skala
blokade motorik saat menit ke-60, ke! ganya memberikan
hasil yang berbeda bermakna secara sta! s! k (Tabel 2).
Gambar 3. Sebaran blokade sensorik maksimal
Tabel 2. Waktu dan skala blokade motorik
VariabelKelom-
pok 1
Kelom-
pok 2P
Mean
(±SD)
Mean
(±SD)
Waktu Tercapainya Blok
Motorik Maksimal
6.94
(±2.39)
4.33
(±2.89)0.001
Median
(min-maks)
Median
(min-maks)
Blok Motorik maksimal
(skala bromage) 3 (2-3) 3 0,005*
Blok Motorik saat 60
menit (skala bromage)2 (1-3) 3 (2-3) 0,002*
Menggunakan Uji Mann-Whitney; *menggunakan Uji Chi
Square
Efek lain dari teknik anestesia spinal terhadap ibu
dan bayi yang diobservasi adalah kejadian mual muntah,
pruritus, depresi napas, dan nilai APGAR menit pertama.
Hasil yang didapatkan, yaitu mual muntah terjadi pada
kelompok I dan kelompok II sebanyak 15 (27,8%) dan 17
(31,5%) pasien, sedangkan efek pruritus terjadi pada 3
(5,6%) dan 0 pasien.
Gambar 5. Sebaran nilai APGAR menit pertama
Gambar 4. Sebaran ketinggian blokade sensorik menit ke-
60
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •12•
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
Perbandingan yang dilakukan terhadap dua efek samping ini
! dak bermakna secara sta! s! k. Pada kedua kelompok ! dak
didapatkan efek samping depresi napas. Nilai APGAR me-
nit pertama ! dak berbeda bermakna secara sta! s! k pada
kedua kelompok, dengan nilai p 0,893. Pada peneli! an ini
didapa! nilai APGAR 0 pada 2 kelompok yang disebabkan
kondisi intrauterine fetal death (IUFD) sebelum dilakukan
! ndakan anestesia dan pembedahan. Datanya ! dak diikut-
kan dalam pengolahan uji sta! s! k. Sebaran nilai APGAR
menit pertama dapat dilihat pada Gambar 5.
PEMBAHASAN
Penggunaan opioid lipofi lik intratekal yang dit-
ambahkan pada bupivakain hiperbarik semakin populer
untuk mengurangi dosis aneste! k lokal dan mempertah-
ankan kualitas analgesia. Dasar dari penambahan opioid
pada aneste! k lokal adalah efek sinergis! k yang dihasilkan.
Blokade kanal ion natrium oleh aneste! k lokal dan kanal ion
kalsium oleh opioid akan saling menguatkan efek.15,19 Pene-
li! an ini membandingkan dua kelompok pasien yang men-
jalani bedah sesar dengan modalitas anestesia spinal yang
berbeda. Kelompok I menggunakan obat bupivakain 0,5%
hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 mcg, sedangkan
kelompok II menggunakan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5
mg sebagai kelompok kontrol. Karakteris! k pasien pada ke-
lompok I dan kelompok II, berdasarkan usia, berat badan,
! nggi badan, dan status ASA ! dak memiliki perbedaan ber-
makna. Dengan demikian, kedua kelompok ini layak untuk
dibandingkan. Demikian pula dengan data dasar tekanan
darah awal dan frekuensi nadi awal antara kedua kelompok
juga ! dak terdapat perbedaan bermakna.
Pada peneli! an ini didapatkan angka kejadian
hipotensi sebesar 42,6% pada kelompok bupivakain 0,5%
hiperbarik 12,5 mg (kelompok II) sebagai kelompok kontrol.
Angka yang didapatkan ini hampir sama dengan hasil yang
dikemukakan oleh beberapa peneli! an sebelumnya. Bogra
dkk. pada tahun 2004, melakukan peneli! an dengan 12,5
mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada 20 pasien mendapat-
kan angka kejadian hipotensi sebesar 50% pada kelompok
tersebut.12 Sementara itu, Suwardi (2005) dan Akmal (2008)
dengan obat yang sama pada 43 dan 90 pasien mendapat-
kan angka kejadian hipotensi sebesar 46% dan 42%.13,14
Peneli! an Bogra, Suwardi, dan Akmal menggunakan pop-
ulasi yang sama dengan peneli! an ini. Berdasarkan hal
tersebut, rerata risiko hipotensi antara 42-50% dalam peng-
gunaan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg untuk bedah
sesar.
Dengan menurunkan dosis obat aneste! k lokal
pada anestesia spinal diharapkan dapat menurunkan angka
kejadian hipotensi. Namun, dosis yang rendah berkaitan
dengan blokade sensorik (analgesia) yang kurang efek! f un-
tuk pembedahan. Untuk mempertahankan kualitas analge-
sia, ditambahkan opioid lipofi lik yang bekerja selek! f pada
jaras nyeri (sensorik).1,4,19 Pada peneli! an ini obat anestesia
spinal yang digunakan adalah bupivakain 0,5% hiperbarik
dengan dosis 7,5 mg yang ditambah dengan fentanil 25
mcg. Dengan menggunakan kombinasi obat tersebut di-
dapatkan angka kejadian hipotensi yang lebih rendah, yaitu
sebesar 24,1%.
Pada peneli! an ini didapatkan penurunan angka
kejadian hipotensi pada kelompok I dibandingkan kelom-
pok II yang disebabkan hambatan simpa! s yang rendah
akibat penggunaan bupivakain dengan dosis yang lebih
rendah. Semakin ! nggi hambatan simpa! s, semakin ! nggi
pula angka kejadian dan semakin berat derajat hipotensi
yang terjadi.4,15 Dengan kata lain, penggunaan dosis bupi-
vakain yang lebih ! nggi akan menyebabkan kejadian hipo-
tensi yang lebih ! nggi pula. Namun, penggunaan dosis bu-
pivakain yang lebih rendah berisiko menghasilkan analgesia
yang ! dak adekuat. Kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hip-
erbarik ditambah 25 mcg fentanil menghasilkan analgesia
yang adekuat untuk bedah sesar dibandingkan peneli! an
lain yang menggunakan kombinasi obat yang sama dengan
dosis yang berbeda.
Peneli! an Kang dkk., menggunakan 5 mg bupiv-
akain hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil dan didapatkan
insidens hipotensi sebesar 20%, tetapi 13% dikonversi men-
jadi anestesia umum.20 Kualitas analgesia yang menurun
juga ditunjukkan oleh Tolia dkk., yang menggunakan dosis
bupivakain lebih besar dari peneli! an Kang. Tolia menggu-
nakan 7,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% ditambah dengan
10 mcg fentanil dengan hasil insidens hipotensi yang ren-
dah (8%), tetapi 4% dikonversi menjadi anestesia umum.3
Dapat terlihat bahwa semakin kecil dosis bupivakain yang
digunakan, semakin rendah kejadian hipotensi, tetapi dii-
ku! dengan kualitas analgesia yang menurun. Hal yang
menarik dari peneli! an Tolia dibandingkan peneli! an Kang
adalah insidens hipotensi yang didapat oleh Tolia lebih ren-
dah dibandingkan Kang, di mana Tolia menggunakan dosis
bupivakain yang lebih ! nggi, tetapi dengan dosis fentanil
yang lebih rendah.
Dosis fentanil yang lebih besar juga menimbulkan
risiko hipotensi yang lebih besar, dengan penggunaan dosis
aneste! k lokal yang sama. Hasil yang didapat dari peneli-
! an yang dilakukan Tolia dkk., menunjukkan insidens hipo-
tensi yang lebih rendah dari hasil yang didapatkan pada
peneli! an ini di mana kami menggunakan dosis fentanil
lebih ! nggi (10 mcg vs 25 mcg).3 Hunt dkk., menemukan
hal yang sama dalam peneli! annya dengan menggunakan
dosis fentanil yang beragam dikombinasi dengan dosis bu-
pivakain yang ditentukan. Beberapa postulat peneli! an
menyatakan penggunaan opioid intratekal juga menimbul-
kan hipotensi, terutama dengan dosis yang semakin ! nggi.
Mekanisme yang mendasari terjadinya hal ini diperkirakan
akibat blokade nyeri yang baik dan terjadi cepat, menye-
babkan turunnya kadar katekolamin sehingga menurunkan
tekanan darah, dan mekanisme lain yang belum diketahui.
Akan tetapi, kejadian hipotensi ini dapat dicegah dengan
rehidrasi yang baik.3,18,21 Dosis fentanil 25 mcg yang dit-
ambahkan pada 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik pada
peneli! an ini memberikan analgesia intraopera! f yang
baik dengan kejadian hipotensi yang masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan penggunaan 12,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik.
Hasil peneli! an ini mendapa! penggunaan fent-
anil 25 mcg intratekal sebagai tambahan 7,5 mg bupivakain
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •13•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
0,5% hiperbarik, masih memiliki kejadian hipotensi yang
lebih rendah dibandingkan kombinasi obat yang diberi-
kan pada peneli! an sebelumnya. Srivastava dkk. (2004),
dalam peneli! annya menggunakan bupivakain hiperbarik
10 mg ditambah 25 mcg fentanil, mendapatkan insidens
hipotensi 52%.22 Suwardi (2005) menggunakan bupivakain
hiperbarik 10 mg ditambah 10 mcg fentanil, mendapatkan
insidens hipotensi 39,5% dan analgesia yang baik.13 Sarvela
dkk. (1999), menggunakan 9 mg bupivakain hiperbarik dit-
ambah 20 mcg fentanil, mendapatkan insidens hipotensi
61%, tanpa mempengaruhi penambahan durasi blokade
sensorik maupun motorik.23 Harsoor dan Vikram (2008)
menggunakan 8 mg bupivakain hiperbarik ditambah 12,5
mcg fentanil dan didapatkan kejadian hipotensi 50%.24
Pada peneli! an ini didapatkan penggunaan re-
rata efedrin total yang jauh lebih rendah pada kelompok
bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25
mcg, yaitu sebesar 5,38 (±1,38) mg dibandingkan dengan
13,04 (±5,98) mg pada kelompok bupivakain 0,5% hiper-
barik 12,5 mg. Rerata total jumlah efedrin untuk kelompok
II mendeka! apa yang didapatkan Neves dkk. (2003) yang
menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik, yaitu 14,17
(±9,92). Demikian pula dengan hasil yang didapatkan Gi-
nosar dkk. (2004) dengan 14 mg bupivakain, dan Suwardi
(2005) yang menggunakan 12,5 mg bupivakain hiperbarik
dan 10 mg bupivakain hiperbarik ditambah fentanil 12,5
mcg, yaitu sebesar 13,82 (±5,73) vs 11,19 (±4,15) mg.13,17,25
Rerata efedrin total untuk kelompok I dibandingkan den-
gan kelompok II memiliki perbedaan yang bermakna secara
sta! s! k.
Penggunaan dosis total efedrin yang lebih ! nggi
memiliki risiko efek samping yang lebih ! nggi untuk bedah
sesar. Efedrin dapat menimbulkan hipertensi reak! f, vaso-
konstriksi pembuluh darah uterus, dan dapat menembus
sawar darah-plasenta, sehingga mempengaruhi denyut
jantung janin. Lee dkk., dalam sebuah ! njauan mengenai
beberapa peneli! an penggunaan efedrin untuk mence-
gah hipotensi, menyatakan bahwa penggunaan dosis lebih
dari 14 mg berpotensi menimbulkan hipertensi reak! f dan
penurunan pH arteri umbilikalis, tetapi ! dak berkaitan den-
gan asidosis fetal ataupun nilai APGAR. Terlepas dari kes-
impulan mengenai penggunaan efedrin tersebut, hipotensi
tetap merupakan faktor risiko mayor terjadinya asidosis fe-
tal.19,26,27 Sayangnya pada peneli! an ini ! dak dilakukan pen-
gukuran terhadap asidosis fetal.
Dalam peneli! an ini ! dak ditemukan adanya
pasien yang mengalami bradikardia pada kedua kelompok.
Bradikardia berkaitan dengan blokade saraf spinal yang
! nggi sehingga ! dak hanya menghambat simpa! s tetapi
juga dapat memblok cardiac accelerator fi ber yang keluar
dari level T1-4. Blokade simpa! s ditambah dengan volume
intravaskular yang rendah dan penekanan aortokaval yang
berat akan menyebabkan penurunan preload, sehingga
terjadi bradikardia. Selain ! dak terjadi blokade spinal yang
! nggi, volume intravaskular yang cukup, dan penguran-
gan efek penekanan aortokaval, penggunaan efedrin pada
peneli! an ini juga berperan dalam mencegah bradikardia.
Efedrin selain memiliki efek langsung agonis alfa adrener-
gik (meningkatkan tonus vena dan vasokonstriksi arteriol),
juga memiliki efek agonis beta adrenergik yang akan me-
ningkatkan frekuensi denyut jantung dan kontrak! litas jan-
tung.4,15,19
Blokade sensorik yang dianggap adekuat dalam
bedah sesar, yaitu tercapainya blokade sensorik se! nggi
torakal 6 (T6). Waktu untuk tercapainya blokade sensorik
se! nggi dermatom T6 dapat menggambarkan waktu dimu-
lainya pembedahan. Kelompok I dan kelompok II memiliki
rerata waktu untuk mencapai ke! nggian blokade sensorik
T6 yang ! dak berbeda bermakna yaitu 3,94 (±1,4) menit
dan 3,55 (±1,17) menit. Waktu untuk tercapainya ke! ng-
gian blokade se! nggi T6 ini mirip dengan hasil yang di-
dapatkan Tolia dkk.3 Hasil ini menggambarkan ! dak ada
perbedaan waktu yang diperlukan untuk dapat dimulainya
pembedahan dan analgesia yang cukup untuk dilakukan
pembedahan antara kedua kelompok. Demikian pula rerata
waktu tercapainya ke! nggian blokade sensorik maksimal
antara kedua kelompok ! dak berbeda bermakna. Tolia dkk.,
dengan menggunakan bupivakain hiperbarik 11 mg, bupiv-
akain hiperbarik 9 mg ditambah fentanil 10 mcg, dan bu-
pivakain hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 10 mcg, juga
mendapatkan ! dak adanya perbedaan dari dua variabel ini,
dan sama-sama mendapa! kejadian hipotensi yang lebih
rendah. Hasil yang senada dengan kelompok II pun diutara-
kan oleh Suwardi, Dahlgren dkk., dan Siddik-Sayyid dkk. Va-
riasi perbedaan ! nggi blokade maksimal antara peneli! an
yang satu dengan yang lain disebabkan penggunaan obat
yang berbeda.3,10,13,21
Kombinasi obat kelompok I dalam peneli! an ini
memiliki volume total yang lebih rendah, yaitu 2 mL diband-
ingkan dengan 2,5 mL pada 0,5% bupivakain hiperbarik 12,5
mg (kelompok II), sehingga di! njau dari perbandingan vol-
ume obat pun kombinasi 7,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik
ditambah dengan fentanil 25 mcg telah diperkirakan sebe-
lumnya akan menghasilkan angka kejadian hipotensi yang
lebih rendah. Namun, kombinasi aneste! k lokal dan opioid
ini masih menghasilkan analgesia intraopera! f yang cukup
baik. Hasil ini membawa kita pada pertanyaan apakah ma-
sih perlu dosis bupivakain 0,5% hiperbarik sebesar 12,5 mg
untuk bedah sesar. Hal ini tentu membutuhkan peneli! an
lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat.
Perbandingan profi l blokade motorik kedua kelom-
pok memberikan hasil yang berbeda bermakna (Tabel 2).
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai blokade maksimal
lebih lama pada kelompok I dibandingkan dengan kelom-
pok II, yaitu 6,94 (±2,39) vs 4,33 (±2,89) menit). Blokade
motorik maksimal yang dicapai dan blokade motorik pada
menit ke-60 (menggunakan skala Bromage) lebih rendah
pada kelompok I dibandingkan dengan kelompok II. Per-
bedaan ini terjadi karena penggunaan dosis obat aneste-
! k lokal pada kelompok I jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok II, namun blokade yang di! mbulkan
pada kelompok I masih memadai untuk dilakukannya be-
dah sesar. Blokade serat saraf motorik diketahui memerlu-
kan dosis dan konsentrasi aneste! k lokal yang lebih ! nggi
bila dibandingkan dengan serat saraf sensorik dan otonom.
Penggunaan fentanil intratekal menunjukkan selek! vitas
blokade terhadap jaras saraf sensorik. Hasil yang serupa
juga didapa! pada beberapa peneli! an sebelumnya yang
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •14•
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
juga menurunkan dosis aneste! k lokal dan menambahkan
fentanil intratekal.13,17,18,20,25,28 Sarvela dkk., menyatakan
hambatan motorik lebih cepat hilang pada penggunaan 9
mg bupivakain hiperbarik ditambah 20 mcg fentanil. Bryson
dkk. serta Tolia dkk., menyatakan penggunaan dosis anes-
te! k lokal yang rendah ditambah opioid lipofi lik intratekal
menghasilkan blokade motorik maksimal yang lebih lama
tercapai, lebih ringan, dan cepat pulih.3,11,19,23 Hasil yang di-
dapat ini bermakna bahwa penggunaan 7,5 mg bupivakain
0,5% hiperbarik ditambah 25 mcg fentanil, menimbulkan
blokade motorik yang adekuat untuk dilakukannya bedah
sesar dengan waktu pemulihan yang lebih cepat sehingga
mempersingkat waktu observasi pasien di ruang pulih.
Efek lain yang diama! pada peneli! an ini adalah
kejadian mual muntah, pruritus, depresi napas, serta pen-
garuhnya terhadap janin yang dilihat dari nilai APGAR me-
nit pertama. Pada peneli! an ini didapatkan angka kejadian
mual muntah yang ! dak berbeda bermakna, yaitu sebesar
27,8% pada kelompok I dan 31,5% pada kelompok II. Angka
kejadian mual muntah pada peneli! an ini sama dengan
hasil yang didapat dari peneli! an Dahlgren dkk. (25%) dan
Ben-David dkk. (31%).21,28 Munculnya kejadian mual muntah
dapat diakibatkan oleh banyak faktor antara lain teknik
anestesia spinal yang berkaitan dengan kejadian hipotensi
dan hipoksemia pada pusat muntah, rangsangan langsung
pada pusat muntah akibat penggunaan opioid, adanya nyeri
viseral saat manipulasi uterus, tarikan omentum atau isi ab-
domen lain, dan peningkatan tekanan darah yang signifi kan
dan ! ba-! ba akibat pemberian vasopresor.4,6,7,10 Selain itu,
terdapat perbedaan protokol antara peneli! an yang satu
dengan lainnya, seper! pemberian premedikasi an! eme! k
atau tanpa pemberian premedikasi an! eme! k. Ben-David
dalam peneli! annya melaporkan adanya rasa ! dak nyaman
saat manipulasi uterus, walaupun hanya sebentar dan ! -
dak mengganggu secara keseluruhan dibandingkan dengan
ke! daknyamanan akibat mual muntah. Nyeri viseral saat
manipulasi atau tarikan organ abdomen dapat mencetus-
kan mual muntah juga, tetapi dikeluhkan sebagai kejadian
yang terpisah oleh pasien.28 Hal ini membuat iden! fi kasi
penyebab mual muntah menjadi lebih sulit. Borgeat dkk.
dalam ! njauannya mengatakan untuk melakukan pene-
li! an mengenai efek samping mual muntah bukanlah hal
yang mudah, disebabkan banyaknya faktor yang mempen-
garuhi. Walaupun telah banyak protokol peneli! an yang di-
gunakan, masih terdapat beberapa aspek yang menyulitkan
generalisasi dari hasil yang didapatkan.29
Variasi hasil yang didapatkan pada peneli! an se-
belumnya menunjukkan ! dak jelasnya keterkaitan antara
mual muntah dengan kombinasi obat yang digunakan un-
tuk anestesia spinal. Peneli! an Ben-David dkk., memband-
ingkan insidens mual muntah pada pemberian bupivakain
hiperbarik 10 mg dengan bupivakain isobarik 5 mg dit-
ambah 25 mcg fentanil mendapatkan angka 69% vs 31%.28
Kang dkk. yang menggunakan bupivakain hiperbarik 8 mg
dan bupivakain hiperbarik 5 mg ditambah 25 mcg fentanil
mendapatkan angka 53% dan 40%. Sementara itu, Tolia
dkk. bahkan melaporkan ! dak menemukan kejadian mual
muntah pada penggunaan bupivakain hiperbarik 7,5 mg
dengan penambahan fentanil 10 mcg dan hanya 2% pada
penggunaan 9 mg bupivakain hiperbarik dengan penamba-
han fentanil 10 mcg.3,28 Dari perbandingan ! ga peneli! an
berbeda yang sama-sama ! dak menggunakan premedikasi
ini, ada hal yang perlu dicerma! , yaitu besar angka kejadian
mual muntah selalu sejalan dengan besar angka kejadian
hipotensinya (Ben-David 94% vs 31%, Kang 40% vs 20%, To-
lia 24% vs 8%).
Penggunaan opioid intratekal dianggap dapat me-
nyebabkan terjadinya mual muntah. Beberapa hasil peneli-
! an menyatakan penggunaan morfi n intratekal lebih sering
menyebabkan mual muntah dibandingkan penggunaan
fentanil.4,15 Siddik-Sayyid menyatakan penggunaan fentanil
intratekal memiliki efek samping mual muntah yang justru
lebih rendah dibandingkan fentanil intravena.10,18 Hasil yang
diperoleh pada peneli! an ini memberikan kesan penggu-
naan dosis fentanil intratekal yang lebih ! nggi menjadi pe-
nyebab meningkatnya insidens mual muntah, terutama bila
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Tolia (nihil pada
penggunaan 7,5 mg bupivakain hiperbarik ditambah 10 mcg
fentanil). Namun, Hunt dalam peneli! annya menggunakan
2,5-50 mcg fentanil, gagal menunjukkan kenaikan insidens
mual muntah yang konsisten seiring kenaikan dosis fentanil
yang digunakan.3,18 Hasil dari peneli! an ini menunjukkan
bahwa penggunaan fentanil 25 mcg sebagai kombinasi obat
anestesia spinal untuk bedah sesar pada kelompok I, ! dak
meningkatkan angka kejadian mual muntah bila dibanding-
kan dengan kelompok II. Sebaliknya, angka kejadian mual
muntah pada kelompok I justru lebih rendah dibandingkan
kelompok II, walaupun secara sta! s! k perbedaannya ! dak
bermakna.
Penggunaan opioid intratekal juga dikatakan me-
nyebabkan ! mbulnya pruritus. Pruritus yang disebabkan
oleh opioid intratekal atau epidural terjadi akibat migrasi
opioid dalam cairan serebrospinal ke arah kranial dan
merangsang langsung nukleus trigemini yang terletak super-
fi sial di medula. Collin menyatakan penggunaan morfi n leb-
ih sering menyebabkan pruritus dibandingkan penggunaan
fentanil intratekal. Pada peneli! an ini didapa! angka ke-
jadian pruritus yang ! dak berbeda bermakna. Pruritus yang
terjadi masih dapat ditoleransi oleh pasien dan ! dak sam-
pai memerlukan nalokson. Dahlgren dkk., pada peneli! an-
nya hanya menemukan kejadian pruritus ringan ini sebesar
4%. Tolia, Harsoor, serta Kang, juga mendapatkan insidens
pruritus ringan yang ! dak signifi kan bermakna pada peng-
gunaan bupivakain ditambah fentanil intratekal.3,7,20,21,24
Pada peneli! an ini ! dak ada kejadian depresi
napas pada kedua kelompok. Hasil serupa juga dilaporkan
oleh peneli! an sebelumnya yang menggunakan fentanil
intratekal.3,8,10-13,20-22,28,30,31 Hunt dkk., dalam peneli! annya
menggunakan beragam dosis fentanil intratekal, 2,5-50
mcg, ! dak menemukan adanya insidens depresi napas.18
Gwirtz dkk., melakukan peneli! an terhadap pasien yang
menjalani bedah urologi, bedah ortopaedi, bedah umum
atau vaskular, bedah toraks, dan bedah ginekologi nonob-
stetrik yang mendapat opioid intratekal, mengemukakan
kejadian depresi napas sebesar 3%, dengan jumlah sampel
5069 pasien dan dengan periode waktu yang lama, yaitu tu-
juh tahun.32
Perbandingan nilai APGAR pada kedua kelompok
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •15•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
! dak berbeda bermakna secara sta! s! k. Adanya nilai AP-
GAR 0 pada kedua kelompok disebabkan kondisi janin yang
telah didiagnosis intrauterine fetal death (IUFD) sebelum
dilakukan ! ndakan anestesia maupun pembedahan. Kon-
disi ini ! dak termasuk dalam kriteria drop out, tetapi data
nilai APGAR ke! ga sampel tersebut (1 pada kelompok I dan
2 dalam kelompok II) ! dak disertakan dalam pengolahan
uji sta! s! k karena nilai APGAR yang rendah ini ! dak dise-
babkan dan ! dak berkaitan dengan modalitas anestesia
spinal yang diteli! . Selebihnya, ! dak ditemui nilai APGAR
di bawah 7 pada kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan
peneli! an sebelumnya.3,8,10,13,20-22,28,31 Hasil yang diperoleh
dari peneli! an ini menggambarkan bahwa penambahan
fentanil 25 mcg intratekal ! dak menimbulkan efek depresi
yang signifi kan pada janin.
SIMPULAN
Anestesia spinal menggunakan 7,5 mg bupivakain
hiperbarik 0,5% ditambah fentanil 25 mcg lebih efek! f
dibandingkan 12,5 mg bupivakain hiperbarik 0,5% pada be-
dah sesar karena menghasilkan analgesia intraopera! f yang
adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganapathy S. Editorial: Walking spinals: A myth or real-
ity? Can J Anaesth 2001;52:222-4.
2. Data Rekapitulasi Anestesia Spinal Instalasi Gawat
Darurat RSUPNCM tahun 2005-2007.
3. Tolia G, Kumar A, Jain A, Pandey M. Low dose intrathe-
cal bupivacaine with fentanyl for cesarean delivery. J
Anesth Clin Pharmacol 2008;24(1):201-4.
4. Wlody D. Complica! on of regional anesthesia in obstet-
rics. Clin Obstet Gynecol 2003;46:667-78.
5. Lee A, Ngan KWD, Gin T. Prophylac! c ephedrine pre-
vent hypotension during spinal anesthesia for cesarean
delivery. Can J Anaesth 2002;49:588-99.
6. Ronald D, Miller MD. Anesthesia. 6th ed. New York:
Churchill Livingstone; 2005. p. 232-329.
7. Collins VJ. Principles of anesthesiology. 3rd ed. Philad-
helphia: Lea-Febiger; 1993. 1199-281; 1445-555.
8. Chung CJ, Choi SR, Yeo KH, Park HS, Lee SI, Chin YJ.
Hyperbaric spinal ropivacaine for cesarean delivery: A
comparison to hyperbaric bupivacaine. Anesth Analg
2001;93:157-61.
9. Riley E, Cohen SE, Rubenstein AJ, Flanagan B. Preven-
! on of hypertension a% er spinal anesthesia for cesar-
ean sec! on: 6% hetastarch versus lactated ringer’s so-
lu! on. Anesth Analg 1995;81:838-42.
10. Siddik-Sayyid SM, Aouad MT, Jalbout MI, Zalaket MI,
Berzina CE, Baraka AS. Intrathecal versus intravenous
fentanyl for supplementa! on of subarachnoid block
during cesarean delivery. Anesth Analg 2002;95:209–
13.
11. Bryson GL, Macneil R, Jeyaraj LM, Rosaeg OP. Small
dose spinal bupivacaine for caesarean delivery does
not reduce hypotension but accelerates motor recov-
ery. Can J Anesth 2007;54:531-7.
12. Bogra J, Arora N, Srivastava P. Synergis! c eff ect of intra-
thecal fentanyl and bupivacaine in spinal anesthesia for
cesarean sec! on. BMC Anesthesiol 2005;5:5.
13. Suwardi C. Perbandingan analgesia spinal pada bedah
sesar antara kombinasi 10 mg bupivakain hiperbarik
0,5% + 12,5 mcg dengan 12,5 mg bupivakain hiperbarik
0,5%. FKUI 2005.
14. Akmal E. Penyebaran aneste! k lokal dan efek hemo-
dinamik pada operasi seksio sesaria dalam anestesia
spinal. FKUI 2008.
15. Russel F, Holmqvist ELO. Subarachnoid analgesia for
caesarean sec! on. Br J Anaesth 1987;59:347-53.
16. Richardson MG, Collins HV, Wissler R. Intrathecal plain
vs hyperbaric bupivacaine with mophine for cesarean
sec! on: A comparison of eff ec! veness, side-eff ects and
seda! on. Anesthesiology 1997;87:A890.
17. Ginosar Y, Mirikatani E, Drover DR, Cohen SE, Riley ET.
ED50 and ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine
coadministered with opioid in cesarean delivery. Anes-
thesiology 2004;100:676-82.
18. Hunt CO, et al. Periopera! ve analgesia with subarach-
noid fentanyl-bupivacaine for cesarean sec! on. Anes-
thesiology 1999;71:535-40.
19. Stoel! ng RK. Pharmacology and physiology in anesthet-
ic prac! ce. 3rd ed. Philadelphia: Lippinco+ -Raven; 1999.
p. 158-81.
20. Kang FC, Tsai YC, Chang PJ, Chen TY. Subarachnoid fen-
tanyl with diluted small-dose bupivacaine for cesarean
sec! on delivery. Acta Anaesthesiol Sin 1998;36:207-14.
21. Dahlgren G, Hulstrand C, Jakobsson J, Norman M, Er-
iksson EW, Mar! n H. lntrathecal sufentanil, fentanyl,
or placebo added to bupivacaine for cesarean sec! on.
Anesth Analg 1997;85:1288-93.
22. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK, Saxena S, Du+ a D,
Chandra P, et al. Hyperbaric or plain bupivacaine com-
bined with fentanyl for spinal anesthesia during caesar-
ean delivery. Indian J Anaesth 2004;48:44-5.
23. Sarvela PJ, Halonen PM, Kor! la KT. Compara! on of in-
trathecal hypobaric and hyperbaric bupivacain both
with fentanyl for cesarean sec! on. Anesth Analg
1999;89:71:706-10.
24. Harsoor S,Vikram M. Spinal anaesthesia with low dose
bupivacaine with fentanyl for caesarean sec! on. SAARC
J Anaesth 2008;1(2):142-5.
25. das Neves JF, Monteiro GA, de Almeida JR, Brun A, Ca-
zarin N, Sant’Anna RS, Duarte ES. Spinal anesthesia for
cesarean sec! on. Compara! ve study between isobaric
and hyperbaric bupivacaine associated to morphine.
Rev Bras Anestesiol 2003;53(5):573–8.
26. Lee A, Ngan Kee WD, Gin T. A dose-response meta-
analysis of prophylac! c intravenous ephedrine for the
preven! on of hypotension during spinal anesthesia for
elec! ve cesarean delivery. Anesth Analg 2004;98:483-
90.
27. Van de velde M. Spinal anesthesia in the obstetric pa-
! ent: Preven! on and treatment of hypotension. Acta
Anaesth Belg 2006;57:383-6.
28. Ben-David B, Miller G, Gavriel R, Gurevitch A. Low-dose
bupivacaine-fentanyl spinal anesthesia for cesarean
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •16•
Keefektifan Anestesia Spinal Menggunakan Bupivakain 0,5% Hiperbarik Ditambah Fentanil Dibandingkan dengan Bupivakain 0,5% Hiperbarik pada Bedah Sesar I The Efficacy of Spinal Anaesthesia Using 0,5% Hyperbaric Bupivacaine Plus Fentanyl Compared with Hyperbaric Bupivacaine in Caesarean
Section
delivery. Reg Anesth Pain Med 2000;25:235-9.
29. Borgeat A, Ekatodramis G, Schenker CA. Postopera! ve
nausea and vomi! ng in regional anesthesia. A review.
Anesthesiology 2003;98:530-47.
30. Seyedhejazi M, Madarek E. The eff ect of small dose
bupivacaine-fentanyl in spinal anesthesia on hemody-
namic nausea and vomi< ng in cesarean sec! on. Pak J
Med Sci 2007;23:747-50.
31. Belzarena SD. Clinical eff ect of intratechally adminis-
tered fentanyl in pa! ents undergoing cesarean sec! on.
Anesth Analg 1992;74:653-7.
32. Gwirtz KH, et al. The safety and effi cacy of intrathecal
opioid analgesia for acute postopera! ve pain: Seven
years experience with 5969 surgical pa! ents at Indiana
university hospital. Anesth Analg 1999;88:599-604.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •17•
SUSILO, PRYAMBODHO, BINTARTHO A
ABSTRACT
Background: Along with globaliza! on era there are
much worries about the pa! ent complaints caused by com-
plica! ons of medical procedures. Tracheal intuba! on pro-
cedure rou! nely conducted for general anesthesia has been
associated with throat complaints (i.e sore throat, cough,
and hoarseness) caused by the endotracheal tube cuff trau-
ma! c pressure at the tracheal lateral wall.
Methods: Fi# y ASA class 1 and 2 pa! ents, aged 20
to 60 years undergoing elec! ve surgeries under general an-
esthesia with endotracheal intuba! on in GBPT dr Soetomo
Hospital Surabaya were randomized into two groups: treat-
ment and control groups. The fi rst was using Endotest® spe-
cial device while the later assessed by clinical es! ma! on.
Throat complaints were recorded 20-24 hours a# er surgery.
The cuff infl a! ons and post opera! ve assessments all con-
ducted by double blinded technique.
Result: Air volume injected into endotracheal tube cuff
in the fi rst group was averaging 5,24 + 1,66 ml, the later
group cuff pressure was maintained between 25 and 30 cm-
H2O as recommended by previous studies. The incidence of
throat complaints was considerably lower (20%) compared
to other reports in the literature, this study found no sig-
nifi cant diff erences of throat complaints incidence between
those groups (OR = 0,603, 95% CI = 0,147 to 2,468).
Conclusion: A simple and cheap method to infl ate
the endotracheal tube cuff using minimal occlusive volume
technique was showed rela! vely safe in daily anesthesia
prac! ce, especially if there is no such more expensive En-
dotest® special device available around.
Keywords: Complica! ons, Sore Throat, Endotracheal
Tube Cuff , Infl a! on Methods
ABSTRAK
Latar Belakang: Sejalan dengan era keterbukaan,
kekua! ran ! mbulnya keluhan atas komplikasi ! ndakan
medis sangatlah beralasan. Tindakan intubasi endotrakeal
yang sering dilakukan untuk kepen! ngan anestesi umum
saat dilakukan pembedahan memiliki risiko komplikasi be-
rupa trauma terhadap mukosa saluran nafas, antara lain
adalah gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk, dan sua-
ra serak) pasca intubasi. Komplikasi tersebut terutama di-
sebabkan oleh tekanan kaf pipa endotrakea pada dinding
lateral trakea.
Metode: Subyek adalah pasien yang menjalani operasi
pembedahan elek! f menggunakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Komite E! k secara
random dipilih 50 orang usia 20-60 tahun dengan status PS
ASA 1-2, yang dibagi menjadi dua kelompok, perlakuan dan
kontrol. Kelompok kontrol pengisian kafnya menggunakan
es! masi klinis, sedang kelompok perlakuan memakai alat
Endotest®. Gejala tenggorok yang muncul pasca intubasi
diketahui berdasarkan pemeriksaan 20-24 jam pasca pem-
bedahan. Prosedur pengisian kaf dan pemeriksaan pasca
pembedahan tersebut dilakukan secara double blinded.
Hasil: Pada kelompok kontrol diisikan ke dalam kaf
volume udara rata-rata sebanyak 5,24 + 1,66 ml, adapun
pada kelompok perlakuan diatur tekanan kaf antara 25-
30 cmH2O. Pada peneli! an ini diperoleh kejadian gejala
tenggorok yang cukup rendah (20%) dibandingkan peneli-
! an-peneli! an terdahulu, dimana ! dak terdapat perbeda-
an yang signifi kan diantara kedua kelompok tersebut (OR =
0,603 dengan C1 95% = 0,147-2,468).
Simpulan: Pengisian kaf pipa endotrakea secara se-
derhana dengan hanya bermodalkan spuit, menggunakan
minimal occlusive volume technique, masih cukup aman
untuk dapat dilakukan sehari-hari apabila ! dak terdapat
fasilitas alat khusus pengukur tekanan kaf Endotest® yang
rela! f jauh lebih mahal.
Kata kunci: komplikasi, nyeri tenggorok, kaf pipa en-
dotrakea, metode infl asi
I LAPORAN PENELITIAN I
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakea: Perbandingan Es! masi dan
Pengukuran Tekanan Kaf Menggunakan Alat dengan Tanpa Alat di GBPT RSUD dr.
Soetomo Surabaya
Incidence of Throat Complaints Post Endotracheal Intuba! on: Comparison of Es! ma! on
and Measurement on Cuff Pressure With or Without Equipment in GBPT RSUD dr.Soetomo
Surabaya
Herdy Sulistyono H
Herdy Sulistyono HDepartemen Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo - Surabaya
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •18•
PENDAHULUAN
Tindakan intubasi endotrakea untuk kepen! ngan
anestesi umum seringkali menyebabkan trauma terhadap
mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai
gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa gejala
yang dikeluhkan pasien antara lain adalah: nyeri tenggorok
(sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness),
yang dilaporkan oleh Christensen, dkk serta Loeser, dkk
memiliki insidens sebesar 21-65%.1,2 Meskipun ! dak sam-
pai menyebabkan kecacatan, namun komplikasi ini dapat
dirasakan sangat ! dak nyaman dan bahkan bisa menimbul-
kan keluhan dari pasien terutama yang akan dipulangkan
pasca ! ndakan yang bersifat poliklinik. Gejala-gejala terse-
but, nampaknya merupakan akibat dari terjadinya iritasi lo-
kal dan proses infl amasi yang terjadi pada mukosa saluran
nafas atas. Peneli! an oleh Stout, dkk menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara pemasangan pipa dengan mun-
culnya gejala,3 demikian pula peneli! an oleh Jensen, dkk
yang mengaitkan pengaruh kaf terhadap gejala tenggorok
tersebut.4
Dari peneli! an-peneli! an yang telah dilakukan ter-
hadap pengaruh pemasangan pipa endotrakea, ternyata
minat lebih banyak ditunjukkan kepada lesi yang diakibat-
kan oleh tekanan kaf terhadap dinding lateral trakhea.5
Beberapa contoh trauma yang terjadi karena pemasangan
pipa itu antara lain: hematom, laserasi pada mukosa, la-
serasi pada plika vokalis, dan bahkan subluksasi kar! lago
aritenoid,6 obstruksi pipa, stenosis subglo! s, penggeseran
atau displacement tube, stridor pascaekstubasi, ulserasi na-
sal, suara serak, dan obstruksi jalan nafas pascaekstubasi.
Sebuah peneli! an yang dilakukan oleh Sulistyono (1990) di
RSUD dr Soetomo7 merupakan sebuah contoh studi tentang
komplikasi yang di! mbulkan ! ndakan intubasi endotrakea
di Indonesia, namun di luar itu sendiri belum banyak dilaku-
kan peneli! an yang intensif mengenai hal tersebut.
Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari di
GBPT RSU dr Soetomo Surabaya, pada saat pemasangan
endotracheal tube, tekanan kaf biasanya diberikan secara
! trasi klinis. Yang dimaksud ialah menggunakan spuit uku-
ran 20 cc, diberikan tekanan udara secara perlahan-lahan
ke dalam kaf sambil memperha! kan suara yang muncul di
tenggorok pasien akibat pernafasan buatan ven! lasi tekan-
an posi! f yang diberikan oleh ahli anestesi (minimal occlu-
sive volume technique). Suara yang muncul ini adalah aki-
bat kebocoran udara akhir inspirasi dari paru yang melewa!
ruangan disela-sela dinding trakhea dan dinding luar pipa
endotrakea. Tekanan kaf dianggap sudah mencapai op! mal
ke! ka ! dak lagi terdengar suara nafas tersebut.8 Menurut
beberapa peneli! an, metode ini bisa memberikan tekanan
kaf dengan kondisi underinfl a! on atau justru overinfl a! on.
Tekanan kaf yang kurang dapat memperbesar risiko aspirasi
dan sebaliknya tekanan yang berlebihan rentan menimbul-
kan trauma pada trakhea. Peneli! an ini akan mengama!
apakah metode pemberian tekanan kaf dengan metode
Minimal occlusive volume technique yang ru! n dilakukan
tersebut ! dak menyebabkan lebih banyak kejadian kom-
plikasi gejala tenggorok dibandingkan apabila tekanan kaf
diukur menggunakan alat khusus.
BAHAN DAN CARA KERJA
Jenis peneli! an ini adalah uji klinis randomized
clinical trial, dengan model parallel design. Dilakukan ran-
domisasi terhadap subyek kelompok studi dan kelompok
kontrol di mana rekrutmen dilakukan pada saat yang sama.
Selanjutnya perlakuan diberikan berbeda secara double
blinded.9,10
Peneli! an ini dilakukan di ruang operasi GBPT dan
ruang rawat inap pascabedah RSU dr Soetomo Surabaya,
September sampai Nopember 2009.
Populasi peneli! an adalah semua pasien yang
menjalani pembedahan elek! f menggunakan anestesi
umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soeto-
mo Surabaya selama periode September – Nopember 2009.
Sampel adalah penderita yang dilakukan pembe-
dahan elek! f menggunakan anestesi umum dengan intu-
basi endotrakea di GBPT RSU dr. SOetomo Surabaya, selain
bedah kepala leher, THT, bedah jantung terbuka, operasi
seksio sesarea, dan bedah saraf.
Sampel diperoleh dari metode consecu! ve sam-
pling (peneli! meneli! semua pasien yang masuk dalam
kriteria inklusi dalam kurun waktu tertentu/selama masa
pengambilan sampel berlaku, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi).9,10
Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel se-
besar 22 orang pada masing-masing kelompok kontrol dan
perlakuan. Dengan es! masi jumlah sampel putus uji sebe-
sar 10%, maka pada ! ap grup ditambahkan 3 orang. Sehing-
ga jumlah total sampel adalah 50 orang.
Setelah mendapatkan persetujuan dari pani! a Ke-
laikan E! k Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU
dr. Soetomo Surabaya, peneli! an ini mulai dijalankan. Seba-
gaimana direncanakan, sampel diambil dari pasien-pasien
yang dilakukan operasi pembedahan menggunakan anes-
tesi umum dengan pemasangan intubasi endotrakea. Pada
kunjungan pra operasi malam hari sebelum pelaksanaan
operasi keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan akhir
terhadap pasien tentang kelayakan masuk kriteria inklusi,
mencatat kondisi terakhir pasien, serta memberi penjela-
san sekaligus meminta informed consent tentang kesediaan
pasien untuk mengiku! peneli! an.
Alokasi subyek pada peneli! an ini dengan desain
pararel untuk uji klinis dengan 2 kelompok. Subyek yang
memenuhi kriteria peneli! an dilakukan randomisasi (R).
Kemudian dialokasikan menjadi kelompok kontrol dan ke-
lompok perlakuan. Kelompok kontrol dilakukan pengisian
kaf pipa endotrakea secara klinis yaitu sampai suara nafas
menghilang (minimal Occlusive Volume Technique). Se-
dangkan kelompok perlakuan pengisian dilakukan menggu-
nakan alat khusus pengukur tekanan kaf. Kedua efek akan
dibandingkan terhadap munculnya gejala tenggorok (nyeri
tenggorok, batuk dan suara serak) pasca operasi.
Data-data hasil peneli! an dianalisis dengan meng-
gunakan perangkat lunak komputer SPSS 13.0. for Windows,
memakai uji Mann Whitney test, Student’s test, atau x2 test,
sesuai data yang ada. Digunakan ! ngkat kepercayaan (con-
fi dence interval) sebesar 95%, a = 0,05 dan power of test
atau (1-b) = 0,90. Derajat signifi kansi dianggap bermakna
HERDY SULISTYONO H
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •19•
apabila P < 0,05.
HASIL
Menurut perhitungan menggunakan rumus sam-
pel peneli! an eksperimental randomized controlled trial di
awal peneli! an, diharapkan minimal 42 orang dapat dija-
dikan subyek peneli! an ini, yaitu masing-masing 21 orang
pada kelompok perlakuan dan kontrol. Namun dengan per-
! mbangan tentang kemungkinan terjadinya drop out mau-
pun eliminasi pada perhitungan sta! s! k, maka diputuskan
untuk mengambil jumlah sampel besar sebesar 25 orang
pada ! ap kelompok. Dengan demikian jumlah total subyek
peneli! an adalah 50 orang. Dari seluruh jumlah tersebut ! -
dak terdapat subyek yang droup out ataupun dikeluarkan
dari perhitungan dan analisa sta! s! k, karena meskipun di-
pilih secara acak dari populasi pasien, namun ternyata se-
muanya telah memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Sebelum dilakukan analisis mempergunakan me-
tode anali! k, perlu diketahui terlebih dahulu pola sebaran
data yang diperoleh sebagai hasil peneli! an ini, sehingga ! -
dak akan terjadi kesalahan ataupun kerancuan dalam mem-
pergunakan uji-uji sta! s! k.
Analisis karakteris! k dan sebaran data dari bebe-
rapa variabel, yang melipu! antara lain variable umur, jenis
kelamin, indeks massa tubuh, status PS ASA, dan jenis ope-
rasi yang dijalaninya adalah seper! yang dilihat pada tabel
1 dan 2.
Selanjutnya untuk memas! kan bahwa sebaran
variabel memenuhi persyaratan distribusi normal, yang
dilakukan perhitungan uji Kolmogorov – Smirnov dan uji
Runs. Uji Kolmogorov – Smirnov merupakan salah satu uji
Non Parametrik yang dapat dipakai untuk menguji keselar-
asan data berskala minimal ordinal, mengindikasikan nor-
malitas sebuah distribusi apabila p > 0,05. Sementara uji
Runs sendiri untuk data yang bersifat nominal, dengan in-
terprestasi yang sama dengan uji Kolmogorov – Smirnov.10
Tabel 1. Distribusi karakteris! k demografi , morfometri dan
biomedis subyek
Variabel dataKelompok
pPerlakuan kontrol
Jumlah pasien 25 25Umur (tahun) 42,40 +
12,69
42,36 +
10,720,822
Jenis Kelamin
(L/W) 9/16 12/13 0,676
Berat Badan
(kg)61.08 +
12.67
60,60 +
11,410,659
Tinggi Badan
(m)162,96 +
8,73
165,08 +
6,860,605
Status PS ASA
(1/2) 8/17 13/12 0,676
Tabel 1 menyajikan fakta bahwa subyek penderita
yang tergabung dalam kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol memiliki karakteris! k-karakteris! k yang hampir mi-
rip. Sebagai contoh, umur subyek berkisar antara 22 sam-
pai 60 tahun dengan nilai rata-ratanya adalah 42,20 ± 16,63
tahun. Sedangkan menurut jenis kelamin, maka terlihat
bahwa sebagian besar subyek adalah perempuan, yaitu 16
orang (64%) pada kelompok perlakuan dan 13 orang (52%)
pada kelompok kontrol. Adapun menurut penilaian kondisi
subyek berdasarkan skoring status PS ASA, pada kelompok
perlakuan lebih didominasi oleh status PS ASA 2 yang ber-
jumlah 17 orang (98%), berbeda dengan kelompok kontrol
yang jumlah status PS ASA 1 sedikit lebih banyak (13 orang
atau 52%) dibanding PS ASA 2.
Selain itu juga terlihat pada tabel 1 di atas bahwa
sebaran data pada semua variabel memenuhi kriteria dis-
! busi normal karena nilai p –nya > 0,05. Namun demikian
hasil uji ini ! dak memiliki ar! lain kecuali bahwa memang
subyek yang diikutkan dalam peneli! an berasal dari po-
pulasi yang terbesar acak. Dengan kata lain bahwa hasil
uji normalitas ini ! dak serta merta menjanjikan dapat di-
pergunakannya uji sta! s! k parametrik sebagai alat bantu
pengambilan keputusan analisis, karena sebagaimana dike-
tahui ternyata sebagian besar variabel data yang kami miliki
bersifat kualita! f yaitu data nominal (kategori) dan ordinal.
Untuk mengetahui jenis ! ndakan operasi yang di-
jalani pasien-pasien yang menjadi subyek peneli! an, jenis
pembiusan umum yang dipilih, serta lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk ! ndakan operasi tersebut, dilakukan
pengelompokan terhadap variabel-variabel data yang ada
pada tabel 2.
Tabel 2. Jenis ! ndakan operasi, jenis anestesi umum, dan
lamanya operasi
Variabel
Kelompok
Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25)
Fre-
kuensi(%)
Fre-
kuensi(%)
Jenis operasi
Orthopedi 8 32 8 32 Ginekologi 3 12 1 4 Digestif 8 32 8 32 Urologi 3 12 - 0 Onkologi
(Breast) 3 12 8 32
Jenis anestesi
umum Inhalasi 13 52 13 52 TIVA 12 48 12 48L a m a n y a
operasi < 1 jam 2 8 2 8 1 – 2 jam 15 60 11 44 2 – 3 jam 7 28 10 40 3 – 4 jam 1 4 2 8
Setelah dilakukan pengelompokan terhadap data
yang ada, maka terlihat pada tabel 2 di atas bahwa subyek
sebagian besar diambil dari penderita yang menjalani jenis
operasi orthopedi dan diges! f. Terhadap sejumlah 8 Orang
(32%) subyek yang dilakukan operasi orthopedi atau diges-
! f tersebut pada masing-masing kelompok perlakuan dan
kontrol.
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •20•
Jenis operasi orthopedi yang dijalani subyek me-
lipu! antara lain operasi reposisi pada dislokasi sendi ser-
ta pemasangan orif (baik pla* ng maupun pinning) pada
ekstrimitas atas dan/atau bawah. Sebagai contoh adalah
! ndakan pemasangan orif pla* ng pada close fracture an-
tebrakii 1/3 distal, pla* ng pada close fracture kruris, dan
pla* ng klavikula. Sedangkan jenis operasi diges! f lebih
bervariasi, mulai dari operasi appendektomi, herniotomi,
hingga laparatomi. Selain itu bisa didapa! operasi mini
laparatomi pada operasi ginekologi atau urologi. Adapun
pada kelompok kontrol juga tampak terdapat beberapa
subyek yang menjalani jenis operasi bedah onkologi yaitu
mastektomi.
Berikutnya pada tabel 3 dan tabel 4 berikut ini di-
paparkan data tentang penggunaan pipa endotrakea untuk
! ndakan anestesi umum, yang melipu! antara lain: ukuran
diameter interna yang dipilih, tekanan kaf diawal dan di ak-
hir ! ndakan operasi untuk kelompok perlakuan, serta volu-
me udara yang diisikan ke dalam kaf sesuai teknik minimal
occlusive volume pada kelompok kontrol.
Pada tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa baik
pada kelompok perlakuan maupun kontrol terdapat lebih
dari separuh (72%) pipa endotrakea jenis kinked yang di-
pergunakan. Adapun ukuran diameter interna yang terse-
ring dipergunakan adalah 7,5 mm (masing-masing 52 % dan
44%).
Tabel 3. Jenis dan ukuran pipa endotrakea
Variabel
Kelompok
Perlakuan (n = 25) Kontrol (n = 25)
Frekuen-
si(%)
Fre-
kuensi(%)
Jenis ETT
Kinked 18 72 18 72 Non kinked 7 28 7 28Ukuran diame-
ter interna ETT
7,0 mm 8 32 4 16 7,5 mm 13 52 11 44 8,0 mm 4 16 10 40
Tabel 4. Tekanan dan volume kaf pipa endotrakea
VariabelSatu-
an
Rata-
rata
Mini-
mum
Maksi-
mum
K-S value
Z p
Kelompok
Perlakuan
(n = 25)
Tekanan
awal(cm-
H2O)
29,20 +
1,1526 30 1,97 0,01*
Tekanan
akhir(cm-
H2O)
29,36 +
3,9920 34 1,13 0,16
Beda
Tekanan(cm-
H2O)
0,96 +
4,08-8 10 0,80 0,54
Kelompok
kontrol (n
= 25)
VolumemL
5,24 +
1,664 11 1,79 0,03*
Pada tabel 4 ditampilkan hasil pengumpulan data
tentang tekanan kaf yang diberikan pada kelompok per-
lakuan menggunakan alat Endotest@, dan volume udara
yang diisikan kedalam kaf sesuai teknik yang dipergunakan
di GBPT RSU Dr. Soetomo yaitu Minimal Occlusive Tech-
nique. Tampak bahwa tekanan kaf awal yang diberikan
maksimal adalah 30 cmH2O. Sementara, volume udara yang
diisikan bervariasi antara 4 sampai 11 ml, dengan rata-rat-
anya sebanyak kurang lebih 5,24 ml. Untuk beda tekanan
awal dan akhir bervariasi antara – 8 sampai dengan 10 cm-
H2O.
Saat dilakukan perhitungan analisis sta! s! k mem-
pergunakan uji satu sampel Kolmogorov-Smirnov terhadap
data tekanan udara dan volume udara yang diisikan ke-
dalam kaf, didapatkan ! ngkat kemaknaan (p) < 0,05 pada
variabel tekanan awal dan volume. Fakta ini hanya memiliki
satu ar! , yaitu bahwa pemberian tekanan ataupun volume
udara ke dalam kaf ! dak dilakukan secara acak dan bukan
merupakan sebuah distribusi normal.
Tabel 5 berikut ini menyajikan perhitungan dan
analisis tentang kejadian gejala tenggorok; yang berupa
nyeri tenggorok, batuk, dan suara serak; pasca ! ndakan
intubasi endotrakea saat dilakukan anestesi umum. Untuk
melihat secara garis besar, telah dilakukan pengelompo-
kan data-data tentang beberapa variabel yaitu jenis sam-
pel, umur, jenis kelamin, ukuran ETT, jenis ETT, penggunaan
agent inhalasi serta lamanya waktu dilakukannya ! ndakan
operasi.
Pada tabel 5 berikut ini terdapat rekapitulasi data
tentang kejadian gejala tenggorok yang dialami subyek
peneli! an di! njau dari beberapa variabel yang dianggap
mungkin berpengaruh. Selain dilakukan penggelompokan
terhadap karekteris! k-karekteris! k tersebut, juga dilaku-
kan uji sta! s! k Mann – Whitney untuk mencoba mengeta-
hui apakah terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok
akibat pengaruh variabel-variabel itu. Namun sayangnya,
ternyata hasil uji menunjukkan ! dak adanya perbedaan
bermakna secara sta! s! k, yang dicerminkan oleh derajat
signifi kasi P> 0,05 pada seluruh variabel yang diuji.
Apabila hanya selintas saja diama! tampak kelom-
pok kontrol, yang menggunakan teknik minimal occlusive
volume untuk pengisian kaf, menunjukkan kejadian gejala
tenggorok ringan rela! f lebih banyak dari pada kelompok
perlakuan. Namun begitu, dari analisis yang dilakukan dik-
etahui bahwa perbedaan ini ! dak signifi kan secara sta! s! k
(p=0,484).
Gejala nyeri tenggorok juga sekilas terlihat lebih ba-
nyak dialami oleh kelompok umur 50-60 tahun, sedangkan
gejala batuk justru ! dak dialami sama sekali oleh kelompok
umur ini. Hasil uji sta! s! k juga ! dak menunjukkan perbe-
daan yang bermakna (p=0,680).
Dari variabel jenis kelamin, terlihat bahwa subyek
perempuan lebih banyak yang mengalami gejala tenggorok
ini, meskipun juga ! dak signifi kan secara sta! s! k (p=0,395).
Berdasarkan analisa faktor endotracheal tube, da-
pat diama! bahwa ukuran diameter interna 7,0 mm dan
jenis yang kinked rela! f lebih banyak berkaitan dengan ge-
jala tenggorok pasca intubasi. Namun demikian, uji sta! s! k
HERDY SULISTYONO H
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •21•
juga menunjukkan ! dak adanya perbedaan yang signifi kan
secara sta! s! k (p>0,05). Pada kelompok-kelompok tersebut
(ukuran diameter interna p= 0,25 dan jenis ETT p
=0,533).
Tabel 5. Rekapitulasi kejadian gejala tenggorok pascaintu-
basi endotrakea
Variabel
Nyeri Teng-
gorok*Batuk* Suara serak*
Skor
0
Skor
1
Skor
0
Skor
1
Skor
0
Skor
1Jenis sampel
Perlakuan 23 2 24 1 24 1 Kontrol 21 4 23 2 23 2Umur
20-30 11 0 10 1 10 1 31-40 11 1 11 1 11 1 41-50 9 1 9 1 10 0 50-60 13 4 17 0 16 1Jenis Kelamin
Laki-laki 19 2 20 1 20 1 Perempuan 25 4 27 2 27 2Ukuran ETT 7,0 mm 9 3 11 1 10 2 7,5 mm 23 1 23 1 24 0 8,0 mm 12 2 13 1 13 1Jenis ETT
Kinked 31 5 34 2 34 2 Non Kinked 13 1 13 1 13 1Beda Tekanan
Awal dan Akhir
< 0 cmH2O 7 0 7 0 7 0
0 – 5 cmH2O 14 2 15 1 16 0
> 5 cmH2O 2 0 2 0 1 1
Teknik Anestesi
Inhalasi 22 4 23 3 23 3 TIVA 22 2 24 0 24 0Lama Operasi
< 1 jam 4 0 4 0 4 0 1 – 2 jam 23 3 25 1 25 1 2 – 3 jam 14 3 15 2 15 2 3 – 4 jam 3 0 3 0 3 0
Ket: * skor 2 dan 3 ! dak dicantumkan karena ! dak dikelu-
hkan oleh satupun penderita. Dilakukan uji Mann-
Whitney, diberi tanda ** bila p < 0,05.
Mengama! beda tekanan kaf yang diukur pada awal
dan akhir ! ndakan operasi, terlihat beberapa menunjukkan
peningkatan tekanan dan beberapa yang lain justru meng-
gambarkan penurunan tekanan kaf. Namun setelah dilaku-
kan analisa sta! s! k juga ! dak didapatkan perbedaan yang
signifi kan diantara kelompok tersebut (p=0,678).
Penggunaan agen anestesi inhalasi menjadi per-
ha! an karena seolah-olah menyebabkan kejadian gejala
tenggorok lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total
Intra Venous Anesthesia). Seper! terlihat jelas pada tabel
5 diatas, kejadian masing-masing gejala tenggorok yang
terjadi pada kelompok agen inhalasi hampir 2 kali lipat da-
ripada kelompok TIVA. Setelah dilakukan uji sta! s! k ter-
nyata menunjukkan perbedaan yang ! dak terlalu signifi kan
(p=0,05). Sehingga dengan demikian mungkin perlu untuk
dilakukan pendalaman mengenai hal ini.
Pada variabel lamanya operasi terlihat bahwa
kelompok operasi yang memakan waktu 2-3 jam terlihat
paling banyak mengalami kejadian gejala tenggorok, walau-
pun juga akhirnya ! dak menunjukkan perbedaan yang sig-
nifi kan secara sta! s! k (p=0,291).
Sesuai dengan tujuan utama peneli! an yaitu
mengetahui adanya perbedaan kejadian gejala tenggorok
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dilakukan
uji sta! s! k yang hasilnya tercantum pada tabel 6. Untuk le-
bih memudahkan perhitungan maka kejadian gejala teng-
gorok dikelompokkan lagi menjadi 2 kelompok besar saja,
yaitu subyek yang sama sekali ! dak mengalami gejala apa-
pun serta subyek yang mengeluh gejala walaupun ringan
saja.
Tabel 6. Kejadian gejala tenggorok pada kelompok perla-
kuan dan kelompok kontrol
Gejala Tenggorok
Ya ! dak TotalKelompok Perlakuan 4 21 25Jenis sampel Kontrol 6 19 25
Total 10 40 50
Pada tabel 6 di atas dapat diama! data tentang kejadian
gejala tenggorok pasca ! ndakan intubasi endotrakea pada
dua kelompok yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan
yang tekanan kafnya diisi dengan alat khusus dan kelompok
kontrol yang tekanan kafnya diisi sebagaimana prosedur se-
hari-hari melalui es! masi dengan teknik Minimal Occlusive
Volume. Pada tabel ini terlihat bahwa angka kejadian gejala
tenggorok pada peneli! an ini adalah sebesar 20% (10 dari
50 subyek). Selain itu, data tersebut disajikan dalam bentuk
tabel 2 x 2 untuk selanjutnya dilakukan perhitungan Odds
Ra! o, yaitu sejenis Risiko Rela! f pada peneli! an kohort. Ha-
sil Odds Ra! o sebesar 0.603 diatas dapat dibaca sebagai ‘ri-
siko terjadinya gejala tenggorok pada kelompok perlakuan
adalah sebesar 0.603 kali dibandingkan kelompok kontrol.
Namun demikian, sayang sekali, dikarenakan interval ke-
percayaan (Confi dence Interval/CI) mencakup angka 1 maka
kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa ! dak terdapat
perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kedua macam
cara pengisian kaf pipa endotrakea atau bahwa perbedaan
cara pengisian kaf pada ! ndakan intubasi dalam peneli! an
ini ! dak memiliki hubungan dengan kejadian gejala teng-
gorok pasca ! ndakan.
PEMBAHASAN
Perkembangan teknologi saat ini sebenarnya te-
lah jauh memberikan keuntungan kepada para prak! si dan
klinisi bidang Anestesiologi dan Reanimasi untuk melaku-
kan ! ndakan intubasi endotrakea secara lebih aman dan
nyaman untuk pasien. Pipa endotrakea dengan kaf yang
memiliki daya regang (compliance) ! nggi, yang ditujukan
untuk mencegah kebocoran gas anestesi dan kemungkinan
terjadi aspirasi, diciptakan khusus dengan ruang volume
besar namun tekanan rendah (high-volume low-pressure
cuff ) sehingga tekanan terhadap dinding mukosa trakea
dapat diminimalkan. Namun begitu, dikarenakan karak-
teris! k mukosa trakea yang terbentuk dari epitel pseudo-
stra! fi ed berbulu silia, menyebabkan dinding tersebut
sangat sensi! f terhadap pergeseran dengan dinding luar
pipa endotrakea. 1,3,6,11 Oleh sebab itu, dalam peneli! an ini
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •22•
berupaya dihindari melakukan semua ! ndakan atau kondisi
yang dapat menimbulkan bias terhadap munculnya gejala
tenggorok yang ! dak murni disebabkan oleh cara peng-
embangan kaf itu sendiri.
Beberapa yang dicoba untuk dieliminasi anta-
ra lain: adanya penyulit pada saluran nafas atas subyek
semisal infeksi atau keradangan kronis yang diakibatkan
riwayat merokok lama, pemasangan pipa nasogastrik yang
diduga juga dapat menyebabkan tambahan iritasi, prosedur
! ndakan intubasi yang kasar dan dilakukan berulang kali,
penyedotan lendir (suc! oning) yang berlebihan, gerakan-
gerakan kepala leher yang berlebihan atau berulang-ulang
saat ! ndakan operasi dilakukan, serta semakin lamanya
! ndakan intubasi dilakukan sehingga dibatasi dipilih hanya
! ndakan-! ndakan operasi yang kurang dari 4 jam.
Selain semua hal eksternal pen! ng tersebut, faktor
pipa endotrakea sendiri juga mendapat perha! an cukup se-
rius supaya ! dak menimbulkan bias yang besar. Sengaja un-
tuk peneli! an ini dipilihkan ukuran diameter interna yang
diperkirakan paling sesuai (fi t) untuk masing-masing suby-
ek. Dipergunakan pipa endotrakea yang masih steril dari ke-
masan pabrik, yang pemilihan ukurannya dilakukan melalui
perbandingan dengan ukuran keliling ibu jari saat subyek
masih bagun. Selanjutnya diberikan lubrikasi menggunakan
spray XylocaineR 2% dimulai dari ujung distal sampai dengan
ukuran lebih 15 cm dari ujung pipa endotrakea, dan nan!
nya juga akan dengan dilakukan penyemprotan cairan yang
sama kedalam faring saat dilakukan ! ndakan laringoskopi.
Untuk mencegah terjadinya insidens batuk di sekitar saat-
saat subyek di-ekstubasi dan dibangunkan, menurut renca-
na semula akan diberikan Lidocain 2% 1,5 mg/kgBB kurang
lebih 3 menit sebelum melakukan ekstubasi. Namun pada
kenyataannya hal ini ! dak dilakukan secara ru! n, selama
subyek ! dak terlihat mengalami iritasi hebat. Pencegahan
yang dilakukan adalah dengan membatasi suc! oning hanya
cukup untuk membersikan lendir yang ada saja. Disadari
bahwa hal ini berisiko untuk terjadinya aspirasi, oleh karena
itu benar-benar harus diyakinkan faring dan rongga mulut
sudah bersih dari lendir. Selain itu juga disyaratkan subyek
peneli! an tersebut sudah sadar sesaat sebelum dilakukan
ekstubasi.
Untuk mencegah bisa juga ! dak digunakan gas ni-
trit oksida (N2O) pada peneli! an ini. Dalam prak! k ! ndakan
anestesi sehari-hari gas N2O ini sering digunakan bersama-
sama agen inhalasi lain untuk mendapatkan efek analgesia
dan mengurangi kebutuhan gas inhalasi tesebut. Semua
literatur hasil peneli! an yang mencari hubungan antara
pengembangan kaf dan pemakaian gas N2O kedalam kaf
yang berrongga.12,13,14,15 terjadi proses dan mencapai pun-
caknya pada fase 1 jam pertama penggunaan gas N2O, yang
selanjutnya turut mengisi dan meningkatkan tekanan oleh
kaf ke dinding mukosa trakea di sekelilingnya.16,17
Seper! halnya peneli! an-peneli! an lain sebelum-
nya tentang kejadian gejala tenggorok pasca ! ndakan intu-
basi endotrakea, ! dak ditemukan kaitan bermakna antara
karakteris! k demografi dan morfometri dengan kejadian
gejala tenggorok. Sengupta dkk, Parwani dkk, Braz dkk,
adalah contoh para peneli! yang dalam laporannya menya-
takan tentang hal serupa tersebut.18,19,20
Umur pasien yang rata-rata adalah masing-ma-
sing 42,04 ± 12,69 tahun pada kelompok perlakuan dan
42,36±10,72 tahun pada kelompok kontrol, se! daknya
menggambarkan proporsi subyek peneli! an yang memben-
tuk distribusi normal. Kelompok umur dewasa muda (31-50
tahun) ini jumlahnya hampir separuh subyek peneli! an.
Pipa endotrakea (ETT) yang dipakai untuk peneli-
! an ini adalah sesuai dengan yang sehari-hari digunakan di
lingkungan RSU Dr. Soetomo, yaitu merek RuschR produksi
perusahaan negara Uruguay, yang bersifat high-volume
low-pressure. Bernhard dkk. telah melaporkan dalam pu-
blikasi ilmiah mereka tentang karakteris! k dan ukuran-
ukuran pipa endotrakea ini, beserta beberapa merek pipa
endotrakea lain yang banyak dipakai di seluruh dunia.5 Dari
dua jenis pipa endotrakea yang ada, yaitu kinked dan non
kinked, ternyata sebagian besar yang dipakai oleh subyek
peneli! an ini adalah jenis kinked, yaitu masing-masing 18
buah (72%) pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Hal
ini sangat wajar terjadi karena hampir semua jenis operasi
yang dipilih adalah yang ! dak memerlukan pengaturan po-
sisi-posisi khusus, semisal miring atau tengkurap, sehingga
! dak terlalu besar kekhawa! ran terjadinya kinking pada
pipa endotrakea yang dipergunakan.
Adapun ukuran diameter interna yang dipilih seba-
gian besar adalah 7,5 mm, yaitu 13 kali penggunaan (52%)
pada kelompok perlakuan dan 11 kali penggunaan (44 %)
pada kelompok kontrol. Untuk pemilihan ukuran diameter
interna ini, seper! telah dijelaskan sebelumnya, biasanya
disesuaikan secara es! masi klinis dengan memperha! -
kan berat badan subyek atau membandingkan ukuran jari
kelingking subyek dengan nomer pipa endotrakea yang
hendak digunakan.
Tabel 4 menunjukan gambaran tentang besarnya
tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan kedalam
kaf pipa endotrakea dalam peneli! an ini. Dari aspek pengis-
ian kaf dengan menggunakan alat khusus pengukur tekanan
kaf yang dipergunakan dalam peneli! an ini (Endotest®), te-
lah direkomendasikan tekanan udara sesuai range tertentu,
yaitu 25-30 cmH2O. Sehingga besaran tekanan udara yang
telah diberikan kedalam kaf ! daklah terlalu bervariasi, yai-
tu selama masih berada di dalam ‘rentang aman’ tersebut.
Dan setelah dilakukan analisis sta! s! k nampak bahwa rata-
rata tekanan udara yang diisikan kedalam kaf adalah 29,20
± 1,15 cmH2O, dimana pemberian tekanan terendah adalah
26 cmH2O dan ter! nggi 30 cmH
2O.
Pada pengisian kaf menggunakan teknik minimal
occlusive volume untuk kelompok kontrol, rata-rata volume
udara yang diisikan adalah sebanyak 5,24±1,66 ml. Hasil ini
sesuai dengan yang telah diperkirakan sebelumnya, karena
pada prak! k sehari-hari pengisian udara untuk kaf di ling-
kungan RSU Dr. Soetomo juga berkisar kurang lebih 5 ml.
Sebagai perbandingan, sebuah publikasi ilmiah oleh Seng-
upta dkk, menemukan bahwa volume udara yang diisikan
ke dalam kaf, mempergunakan metode palpasi dan men-
dengarkan kebocoran udara tekanan posi! f di beberapa
rumah sakit di Louisville USA, rata-rata adalah sebanyak
4,4±1,8 ml.18
Variabel tekanan akhir kaf, yang diukur pasca
! ndakan operasi selesai atau sesaat sebelum dilakukannya
HERDY SULISTYONO H
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •23•
! ndakan ekstubasi, juga diobservasikan dalam peneli! an
ini. Sebenarnya ! dak ada tujuan tertentu untuk mengukur
tekanan udara kaf ini, melainkan hanya sekedar keinginan
mengetahui dan mencocokkan berbagai informasi yang
ada, bahwa tekanan kaf bisa berubah di akhir ! ndakan
operasi, jika dibandingkan dengan tekanan awal, Dinyata-
kan bahwa gas N2O bisa menyebabkan fenoma tersebut.
Namun karena pada peneli! an ini ! dak digunakan jenis
agen inhalasi tersebut dalam ar! hanya gas O2 murni ditam-
bah agen inhalasi tertentu (misal Halotan, Isofl uran, dll), di-
duga ! dak terdapat banyak perbedaan dengan tekanan kaf
awal yang diberikan bahwa nilai rata-rata tekanan kaf akhir
adalah sebesar 29,36±3,99 cmH2O. Sebagai perbandingan,
peneli! an yang dilakukan Manissery dkk melaporkan ba-
hwa pada anestesi menggunakan 67 % N2O sebagai agen
inhalasi, tekanan kaf pada akhir 1 jam pertama ditemukan
sebesar rata-rata 62,6±12,33 cmH2O. Padahal sebagaimana
sudah diketahui, bahwa tekanan kaf di atas 50 cmH2O (37
mmHg) yang merupakan cri! cal perfusion pressure sudah
akan menyebabkan terjadinya penghen! an aliran perfusi
darah ke jaringan mukosa cincin trakea dan dinding poste-
rior.21
Pada tabel 3 yang menyajikan data tentang peng-
gunaan agen anestesi inhalasi terlihat bahwa variabel ini
sangat besar kemungkinan dapat ikut menyebabkan keja-
dian gejala tenggorak. Terbuk! dengan jumlah kejadiannya
yang lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra
Venous Anesthesia), yaitu hampir 2 kali daripada kelompok
TIVA. Dan setelah dilakukan uji sta! s! k ternyata menunju-
kan perbedaan yang ! dak terlalu signifi kan (p=0,05). Hingga
peneli! an ini dilakukan masih belum ditemukan, berbagai
terbitan ilmiah, tentang pengaruh penggunaan gas inhalasi
terhadap gejala tenggorok pasca intubasi. Oleh karena itu
penulis masih belum dapat mengambil kesimpulan yang
mendalam terhadap fenomena tersebut. Namun demikian
bukan ! dak mungkin apabila dilakukan peneli! an yang le-
bih khusus dan dengan melibatkan subyek peneli! an jauh
lebih banyak, akan bisa diketahui seberapa besar hubungan
antara kedua aspek tersebut.
SIMPULAN
Salah satu keterbatasan dari peneli! an ini adalah
bahwa penilaian skoring gejala tenggorok yang ! mbul ha-
nya dilakukan sekali saja, dalam rentang waktu 20-24 jam
pasca ! ndakan operasi dan anestesi. Sebenarnya alasan u-
tama dipilihnya masa tersebut adalah per! mbangan bahwa
kejadian gejala tenggorok tersering dan terparah keluhan-
nya muncul didalamnya.7 Selain itu, dianggap pada masa
waktu 20-24 jam pasca ! ndakan operasi dan anestesi apa-
bila dilakukan wawancara dan penilaian keparahan gejala,
akan diperoleh data subyek! f yang baik karena pengaruh
anestesi umum yang diberikan sudah hilang. Namun apa-
kah dimungkinkan terjadinya delayed symptoms, tentunya
diperlukan peneli! an lebih lanjut dengan desain yang lebih
advanced yaitu dengan observasi prospec! ve cohort.
Sebagai hasil peneli! an terhadap 50 orang pasien
yang dilakukan operasi pembedahan elek! f menggunakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakheal di GBPT RSU.
Soetomo Surabaya selama periode peneli! an, diperoleh ke-
simpulan sebagai berikut :
1. Pasien-pasien yang dijumpai dalam peneli! an ini me-
miliki karakteris! k antara lain : umur mereka bervari-
asi antara 22 sampai 60 tahun dengan rata-rata adalah
42,20 ± 16,63 tahun, sebagian besar adalah perempuan
yaitu 29 orang (58%), dan memiliki kondisi preopera! f
yang sebagian besar (60%) adalah status PS ASA 2.
2. Jenis-jenis operasi pembedahan yang didapat selama
periode peneli! an melipu! antara lain orthopedi, gine-
kologi, diges! f, urologi, dan onkologi (breast). Dimana
jumlah terbanyak pasien adalah yang menjalani operasi
orthopedi dan diges! f, keduanya secara bersama-sama
mencapai 64% dari keseluruhan.
3. Pipa endotrakea yang digunakan untuk intubasi pada
pasien selama periode peneli! an lebih dari separuhnya
(72%) adalah jenis kinked, dengan ukuran diameter in-
terna yang tersering digunakan adalah 7,5 mm (48%).
Tekanan kaf yang diberikan dengan alat EndotestR ada-
lah sesuai dengan tekanan yang rekomendasikan yaitu
antara 25-30 cmH2O, sedangkan volume udara yang dii-
sikan rata-rata sebanyak 5,24±1,66 ml.
4. Kejadian gejala tenggorok yang dialami pasien selama
periode peneli! an hanya melipu! nyeri tenggorok dan
batuk minimal saja, yang terjadi pada 10 (20%) pasien.
Semua faktor yang diperkirakan memiliki kaitan dengan
kejadian tersebut; misal umur, jenis kelamin, ukuran
diameter interna dan jenis pipa endotrakea, jenis agen
anestasi, serta lama operasi; ternyata ! dak menunjuk-
kan hubungan yang signifi kan secara sta! s! k (p>0,05).
5. Kejadian gejala tenggorok pasca intubasi endotrakheal
pada pasien yang dilakukan intubasi dengan pengisian
kaf pipa endotrakea berdasarkan es! masi klinis atau
sesuai tekanan yang diukur dengan alat khusus pengu-
kur tekanan kaf EndotestR memiliki Odds Ra! o Mantel-
Haenszel =0,603 dengan CI 95% (0,147;2,468), yang
berar! ! dak ada perbedaaan antara keduanya dan/
atau bahwa perbedaan cara pengisian kaf pada ! nda-
kan intubasi dalam peneli! an ini ! dak memiliki hu-
bungan dengan kejadian gejala tenggorok pasca! nda-
kan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Christense Am, Willemoes-Larsen H, Lundby L, Jakob-
sen KB. Postopera! ve throat complaints a% er tracheal
intuba! on. Br J Anaesth. 1994; 73: 786-7.
2. Loeser EA, Bene+ GM, Orr DL, Stanley TH. Reduc! on of
postopera! ve sore throat with new endotracheal tube
cuff . Anesthesiology. 1980; 52: 257-9.
3. Stout DM, Bishop MJ, dwersteg JF, Cullen BF. Correla-
! on of endotracheal tube size with sore throat and
hoarseness following general anesthesia. Anesthesiol-
ogy. 1987; 67: 419-21.
4. Jensen PJ, Hommelgaard P, Sondergaard P, Eriksen S.
Sore throat a% er opera! on: infl uence of tracheal intu-
ba! on, intra cuff pressure and type of kaf. Br J Anaesth.
1982; 54: 453-6.
5. Bernhard WN, Yost L, Turndorf H. Cuff ed tracheal tubes-
Kejadian Gejala Tenggorok Pascaintubasi Endotrakeal I Incidens of Throat Complaint Post Endotracheal Intubation
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •24•
physical and behavioral characteris! cs. Anesth Analg.
2003; 61: 36-41.
6. Kambic V, Radsel Z. Intuba! on lesions of the larynx. Br
J Anaesth. 1998; 50: 587-90
7. Sulistyono H. Pengaruh intubasi endotrakheal pada
gangguan tenggorok: Perbandingan pemakaian pipa
endotrakheal bersih dan steril. Warta IKABI. 1990; 3 (1):
32-38.
8. Steward SL, Secrest JA, Norwood BR. A comparison
of endotracheal tube cuff pressures using es! ma! on
techniques and direct intra cuff measurement. AANA
Journal. 2003; 71 (6): 443-7.
9. Sukidin M. Metode Peneli! an, Membimbing dan
Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Peneli! an.
Insan Cendikia, Surabaya, 2005.
10. Wawolumaya C. Metodologi Riset Kedokteran: Metode
Epidemiologi Eksperimen. Se! a BJ, Jakarta, 1997.
11. Dobrin P, Canfi eld T. Kaf endotracheal tubes: mucosal
pressure and tracheal blood fl ow. The American Journal
of Surgery. 1977; 133: 562-7
12. Nguyen T, Saidi N. Nitrous oxide increases endotracheal
cuff pressure and the incidence of tracheal lesions in
anesthe! zed pa! ents. Anest Analg. 199; 89 (1): 187-90
13. O’Donnell JH. Orotracheal tube intra cuff pressure ini-
! ally and during anesthesia including nitrous oxide.
CRNA: Clin Forum Nurse Anesthe! st. 1995; 6: 79-85,
2000.
14. Bensaid S, duvaldes! n P. Nitrous oxide increases endo-
tracheal cuff pressure and the incidence of tracheal le-
sions in anesthe! zed pa! ents. Anesth Analg. 1999; 89:
187-90
15. Manissery JJ, Shenoy V, Ambareesha M. Endotracheal
tube cuff pressures during general anaesthesia while
using air versus a 50% mixture of nitrous oxide and oxy-
gen as infl a! ng agents. Indian J Anaesth. 2007; 57 (1):
24-27
16. Vandam LD. Introduc! on to Anesthesia. Longnecker DE,
Murphy FL, eds. WB Saunders Co, Philadelphia, 1999.
17. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesi-
ology. 4th ed. McGraw-Hill Co, Inc. New York. 2006
18. Sengupta P, Sessler DI, Maglinger P. Endotracheal tube
cuff pressure in three hospitals, and the volume re-
quired to produce an appropriate kaf pressure. BMC
Anesth. 2004; 4: 1-6.
19. Yadi DF, King LS. A simple endotracheal tube cuff pres-
sure measuring device: an inexpensive alterna! ve. An-
est & Crit Care. 2007; 25: 225-32.
20. Parwani V, Hanh IH, Krieger P. Assesing Endotracheal
tube cuff pressure. Amerg Med Serv. 2006; 35: 82-4.
21. Seegobion Rd, Vanhasselt GL. Endotracheal cuff pres-
sure and tracheal mucosal blood fl ow: endoscopic
study of eff ects of four large volume cuff . Br Med J.
1984; 288: 965-8.
HERDY SULISTYONO H
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •25•
I LAPORAN KASUS I
Tatalaksana Ensefali! s dan Epilepsi di ICU
Management Encephali! s and Epilepsy in ICU
Rudy Manalu
ma! kan dan merupakan bentuk non epidemik yang dise-
babkan virus herpes simplek.1
Pada pasien ensefali! s yang disebabkan virus her-
pes simpleks, pengobatan dini dengan aciclovir akan men-
gurangi morbiditas dan mortalitas secara drama! s. Sejak
diketahuinya aciclovir secara umum merupakan obat yang
aman, pemberian secara empirik dibenarkan apabila secara
kilinis diduga penyebabnya adalah herpes simpleks. 1
Pengobatan supor! f melipu! : 1
• Proteksi jalan nafas dan pemakaian ven! lasi me-
kanik pada kasus tertentu.
• Langkah - langkah untuk mengendalikan ICP (ter-
masuk pemberian manitol) dan mempertahankan
CPP.
• Memantau klinis dan elektrofi siologik dan mengen-
dalikan kejang.
• Ventrikulostomi untuk hidrosefalus obstruk! f atau
bedah dekompresi pada kasus yang refrakter.
• Steroid terkadang diberikan pada kasus yang men-
gancam nyawa pada kenaikan ICP disebabkan pem-
bengkakan otak.
ILUSTRASI KASUS
Seorang anak perempuan, 12 tahun , BB 40 kg diru-
juk ke ICU dari IMC karena kejang yang ! dak terkontrol dise-
babkan ensefali! s. Pasien sebelumnya masuk ke perawatan
umum dan dirawat selama 8 hari. Pasien pada awalnya di-
duga mengalami CVD karena mengeluh sakit kepala selama
2 minggu, sulit bicara dan muntah muntah. Namun diag-
nosa dapat disingkirkan karena hasil pemeriksaan MRI dan
MSCT dalam batas normal. Pasien dipindahkan ke IMC dan
dirawat selama 5 hari sebelum dipindahkan ke ICU.
Minggu I di ICU (2-2-2010 s/d 9-2-2010)
Saat ! ba di ICU (2-2-2010, pukul 23.10). Kesadaran
pengaruh sedasi (Diazepam drip 50 mg/24 jam), Diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) 4 kali. Kaku kuduk (-) Suhu
38,80 C. TD 128/ 78 mmHg, HR 128 x/mnt. SP vesikuler Rh
(+)/(+). Pemberian O2 2 L/menit melalui nasal. AGD, pH
7,401, PaO2, 177,3, PaCO2, 51,9, HCO3 32,5, BE 6,9, Sat
ABSTRACT
A 12 years old female was transferred to Intensive
Care Unit (ICU) from Intermediate Care (IMC) with uncon-
trolled seizures due to encephali! s. She was managed in
ward over 8 days and in IMC for 5 days prior to ICU admis-
sion. During management in ICU , the pa! ent needed to be
intubated followed by mechanical ven! la! on . To avoid pro-
longed endotracheal intuba! on, a standard tracheostomy
procedure was performed to provide a long - term route
for mechanical ven! la! on. Successful weaning from me-
chanical ven! la! on was achieved a# er 43 days. The pa! ent
survived from sepsis with DIC and was discharged from the
hospital with post-encephali! c epilepsy and con! nued her
treatment with home care, a# er total treatment of 70 days
in ICU.
Keywords: Encephali! s, intuba! on, mechanical
ven! la! on, tracheostomy, sepsis, epilepsy.
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang anak
perempuan, 12 tahun , yang dirujuk ke Intensive Care Unit
(ICU) dari Intermediate Care (IMC) dengan kejang karena
ensefali! s. Sebelumnya pasien dirawat di ruang perawatan
umum selama 8 hari dan setelah itu dirawat di IMC selama
5 hari. Pasien diintubasi dan dibantu dengan ven! lasi me-
kanik. Untuk menghindari penggunaan ETT yang berkepan-
jangan dilakukan trakeostomi. Pasien berhasil disapih
setelah memakai ven! lasi mekanik selama 43 hari. Dalam
perjalanan penyakitnya pasien mengalami Sepsis dan DIC.
Pasca ensefali! s pasien mengalami epilepsi. Pasien dirawat
selama 70 hari di ICU dan mengalami perbaikan. Pasca per-
awatan ICU pasien pulang ke rumah.
Kata kunci : Ensefali! s, intubasi, ven! lasi mekanik ,
trakeostomi, sepsis, epilepsi.
PENDAHULUAN
Is! lah Ensefali! s diterapkan pada kondisi yang
mana terjadi peradangan pada jaringan otak; ke! ka terjadi
juga peradangan pada selaput otak (meningens) maka digu-
nakan is! lah meningoensefali! s. 1,2
Kebanyakan kasus ensefali! s yang ditemukan di
ICU adalah disebabkan oleh virus, yang paling umum me-
Rudy ManaluProgram Pendidikan Khusus KIC
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •26•
99,5 %. DPL, Hb 12,2, Ht 39, Leukosit 14.500, Trombosit
276.000. Elektrolit, Na 133, K 3,7, Ca 8,4, Cl 97, GDS 187.
Terapi Fenitoin : 3 x 100 mg, Nebulizer 3 x /hari,
Suc! oning. Terapi dari IMC diteruskan, Streptomisin 1 x 750
mg, Rimstar® ( Rifampisin 150 mg,INH 75 mg, Pirazinamid
400 mg, Etambutol 275 mg) 3x1 tab. Methycobal® (meco-
balamin) 2x1 Parasetamol tab k/p. Zithromax® (Azitromisin)
1 x 500 mg. Diet per NGT: Nutren 6 x 250 mL (diteruskan
di ICU). Rencana: Intubasi , pasang Central Venous Catheter
(CVC) dan Foto polos toraks.
Hari 1 :
Kesadaran pengaruh sedasi, Pupil isokor, diameter
pupil 2 mm, RC (+)/(+). Kejang (+) sangat sering, kaku kuduk
(-), Suhu 36,8 – 380 C. Dilakukan foto polos toraks, pemasan-
gan CVC melalui vena subklavia kanan dan intubasi difasili-
tasi dengan Propofol 40 mg dan Vecuronium 4 mg. TD Sisto-
lik 100 – 120 mmHg Diastolik 60 – 80 mmHg HR 100 – 120 x/
menit. CVP : 6 – 14 cm H2O. Terdapat episode hipotensi TD
80 /40 mmHg, HR 125 x/menit, diberikan cairan gelofusin
beberapa kali sampai total 500 mL dan CVP mencapai 12 cm
H2O dan TD 90/60 mmHg HR 120 x/menit. Diberikan nor-
epinefrin 0,05 ug/kg BB/menit (dosis ! trasi). SP bronkovesi-
kuler, Rh basah (+)/(+). Ven! lasi mekanik, mode PCV Pinsp
12, RR 12, PEEP 5, I : E = 1 : 2 Fi O2 : 100 % s/d 40 %. Posisi
head up 450, Demam (+), Cooling blanket.
Terapi tambahan. IVFD Ringer asetat 1000 mL /24
jam, Pentotal Bolus 100 mg dilanjutkan dengan drip 1- 5
mg/kg bb/jam (dosis ! trasi), Diazepam drip stop, Fenitoin
Stop digan! dengan Depakene ®syrup (Valproic acid) 2 x 10
mL, Rani! din 150 mg 2 x 1 tab. Pengambilan spesimen un-
tuk kultur sputum dan darah.
Hari - hari berikutnya
Kesadaran pengaruh sedasi. Hemodinamik, MAP
60 – 90 mmHg, HR : 95 – 120 x/ menit. CVP 10 – 14 cm H2O.
Respirasi Ven! lasi mekanik PCV Pinsp 12, PEEP 5, RR 10 Fi
O2 30 – 40 %. Kejang (+) sering walau pun sudah diberikan
Pentotal drip (dosis ! trasi). Pentotal habis dan digan! den-
gan Propofol 50 mg dan dilanjutkan Propofol drip 2 – 5 mg/
kg/jam (dosis ! trasi). Pasien masih sering kejang (10 -15
kali/hari) , lama kejang 2- 10 menit sehingga beberapa kali
diberikan Vecuronium 2 mg IV (ekstra).
Pada hari ke-6 dilakukan Lumbal Punksi (LP) dan
hasilnya None (-), Pandi (-), Protein kuan! taif 15 mg/dL,
Glukosa 86 mg/dL, Klorida 126 mEq/L, Hitung sel 1. Dari
hasil LP disimpulkan bahwa pasien sudah ! dak menderita
Ensefali! s. Ven! lasi mekanik FiO2 di! trasi sesuai dengan
keadaan klinis dan hasil Analisis Gas Darah (AGD).
Berikut ini grafi k PaO2 dibandingkan dengan FiO2 dalam
minggu ke- 1. (grafi k 1)
Grafi k 1.
Tanggal 9 Feb 2010 , Hasil kultur darah : Tidak ada pertum-
buhan bakteri setelah 5 hari.
Gambar 1.
RUDY MANALU
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •27•
Minggu II di ICU (10/2/2010 s/d 16/2/2010)
Kejang masih sering terjadi (5-10 kali/hari), lama
kejang 2- 5 menit. Suhu 38-40 0C. Hemodinamik , MAP
65–90 mmHg HR 90 - 120 x/menit. CVP 11-18 cm H2O. SP
bronkovesikuler ,Rh +/+ ,Wh (-). Ven! lasi mekanik, PCV Pin-
sp 12, RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 30-50 %.
Pada hari ke- 14 didapatkan hasil kultur dan Resis-
tensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan bak-
teri batang gram nega! f dan sensi! ve terhadap Amikasin,
Gentamisin, Piperacillin + Tazobactam, Imepenem, me-
ropenem, Cefepime, Ce% azidim, Siprofl oksasin, Aztreonam,
Piperacillin, Levofl oksasin.
Perubahan Terapi. Meropenem 3 x 500 mg, Amika-
sin 1 x 500 mg, Farmadol drip 1 gr dalam 6 jam, kalau de-
mam.
Dibawah ini grafi k PaO 2 / FiO2 dalam minggu ke -2.
Grafi k 2.
Minggu III di ICU (17-2-2010 s/d 23-2-2010)
Kejang masih sering terjadi (5- 8 kali/hari), lama ke-
jang 1- 3 menit. Suhu 38- 39 0C. Hemodinamik, MAP 60–90
mmHg, HR 90-120 x/menit. CVP 11-18 cmH2O. SP bronk-
ovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). Ven! lasi mekanik, PCV Pinsp 12,
RR 10 -12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 30–40.
Pada hari ke-16 dilakukan pemasangan CVC yang
baru melalui vena subklavia kiri karena CVC yang lama ! dak
berfungsi dengan baik. Terdapat perembesan darah pada
tempat insersi CVC. Ujung CVC yang lama dikultur. Dilaku-
kan foto polos toraks setelah pemasangan CVC. Tanggal
22-2-2010, sputum dikultur. (Gambar 2)
Di bawah ini adalah grafi k PaCO2/FiO
2 dalam minggu ke-3.
(Grafi k 3)
Grafi k 3.
Gambar 2.
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •28•
Minggu IV di ICU (24-2-2010 s/d 2-3-2010)
Kejang masih sering terjadi (2-3 kali/hari), lama
kejang 1- 3 menit. Pada hari ke-24, ! dak dtemukan adanya
kejang, hanya gerakan involunter. Suhu 38- 390 C. Hemodin-
amik , MAP 60–95 mmHg HR 95-120 x/menit. CVP 10-16
cmH2O. SP bronkovesikuler, Rh +/+ ,Wh (-). Ven! lasi mekan-
ik, PCV Pinsp 12, RR 10-12, PEEP 5, I : E = 1 : 2, FiO2 : 30–40
%.
Tanggal 27-2-2010 diterima hasil kultur dan resis-
tensi ujung CVC: Klebsiela pneumoniae, ditemukan bakteri
kokobasil gram nega! f. Keterangan: Pada pasien ditemu-
kan bakteri Klebsiela pneumoniae dengan ESBL (+). Sensi! f
terhadap Meropenem, Ertapenem, Imipenem, Gentamisin,
Amikasin, piperacillin + Tazobactam.
Perubahan terapi Piperacillin + Tazobactam 3 x 2,25
gr. Gentamisin 1 x 160 mg
Tanggal 1-3-2010 diterima hasil kultur dan resis-
tensi sputum: Pseudomonas aeruginosa, ditemukan batang
gram nega! f. Sensi! f terhadap: Ce% azidim, Aztreonam,
Siprofl oksasin, Levofl oksasin, Gentamisin, Amikasin, Piper-
acillin , Meropenem (I). Diet cair 1900 kalori (6 x pemberian
) + pu! h telur 3 x 2 bu! r.
Di bawah ini adalah grafi k PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -4.
RUDY MANALU
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •29•
Grafi k 4.
Minggu V di ICU (3-3-2010 s/d 9-3-2010)
Pasien bebas kejang selama 5 hari, kejang 1 kali hari
ke- 34 dan 3 kali pada hari ke-35, lama kejang 1-3 menit.
Suhu 38-39 0C, Hemodinamik MAP 60 – 95 mmHg, HR 95
- 120 x/menit. CVP ! dak bisa berfungsi untuk pengukuran,
hanya untuk jalur masuk obat. Darah keluar dari hidung dan
mulut. Maka diperiksa faal hemostasis dan diberikan Hepa-
rin 10.000 Unit/24 jam.
Hematologi: FFP 400 ml, Cryoprecipitate 5 kantong
(4 maret 2010). 5 Maret 2010 FFP 300 mL, Cryoprecipitate 3
kantong, Heparin 10.000 IU/ 24 jam. 6 Maret 2010 Heparin
12.000 IU/24 jam, PRC 500 mL dan periksa AT III, 8 Maret
2010: Heparin 15.000 IU/24 jam, 9 Maret 2010; Heparin
16.000 IU/ 24 jam.
Tanggal 4 - 3 – 2010 KCL drip 50 mEq / 24 jam
setelah itu KSR 3 x 1 tab. SP vesikuler, Rh -/- ,Wh (-). Ven! lasi
mekanik. Mulai dicoba proses penyapihan secara bertahap
dirubah menjadi SIMV namun dua kali mengalami desatu-
rasi pada tanggal 5-3-2010, didapatkan PaO2 59,8 dengan
FiO2 0,4 dan pada tanggal 9-3-2010 didapatkan PaO2 65,2
dengan FiO2 0,4.
Dilakukan kultur dan resistensi darah dan sputum
pada tangal 6 Maret 2010. Albumin 25 % per hari selam 3
hari.
Di bawah ini adalah grafi k PaO2 / FiO2 dalam minggu ke -5.
Grafi k 5.
Minggu VI di ICU (10-3-2010 s/d 16-3-2010)
Kesadaran pengaruh sedasi. Kejang 1-2 kali per
hari. Hemodinamik, MAP 65–100 mmHg, HR 90– 100 x /me-
nit. SP Vesikuler Rh -/-, Wh (-)/(-). Ven! lasi mekanik proses
penyapihan di mulai dengan SIMV.
Pada tanggal 13 – 3 - 2010 : CPAP. Pada tanggal 15
– 3 – 2010 : T-piece. Dibawah ini grafi k perbandingan PaO2 :
FiO2 selama minggu ke-6.
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •30•
Grafi k 6.
Gambar 3. Foto toraks tanggal 10-3-2010.
Tanggal 10-3-2010 dipasang CVC melalui vena sub-
klavia kanan dan ujung CVC yang lama dikultur ; dilakukan
foto polos toraks.
Tanggal 11-3-2010 didapatkan hasil kultur dan resis-
tensi darah, ditemukan bakteri gram nega! f Klebsiela pneu-
moniae. Sensi! f terhadap : Meropenem, Amox + Clavulanic
Acid, Siprofl oksasin, Levofl oksasin, Ertapenem, Imepenem,
Gentamisin, Cefepime, Amikasin. Sputum: ditemukan bak-
teri batang gram nega! f Pseudomonas aeruginosa. Sensi! f
terhadap Ce% azidim, meropenem,Siprofl oksasin, Gentamis-
in, Cefepime, Amikasin, Piperacillin + Tazobactam (I).
Terapi. Meropenem 3 x 1 gr dan Siprofl oksasin 3 x
200 mg. Zonegran ( Zonisamid) 100 mg : 2 x 1 ( Obat an!
epilepsi).
Minggu VII di ICU (17-3-2010 s/d 23-3-2010)
GCS : E4 M4Vtrakeostomi, Suhu : 37 -37,50 C. Ger-
akan involunter (+) Hemodinamik , MAP 70-90 mmHg HR :
90 – 100 x/menit, CVP 7,5–8,5 cm H2O. Respirasi Spontan
tanpa ven! lasi mekanik dengan O2 5 L/menit didapatkan
pulse oxymetry saturasi :98-99 %. SP Vesikuler Rh -/- , Wh
-/-, RR 14 – 16 x/ menit.
Tanggal 17-3- 2010 , Hasil kultur ujung CVC : Tidak
ditemukan bakteri. Tanggal 18-3-2010, dilakukan kultur
dan resistensi sputum. Tanggal 22-3-2010, hasil kultur dan
Resistensi sputum ditemukan bakteri batang gram nega! f
Pseudomonas aeruginosa. Sensi! f terhadap Siprofl oksasin,
Levofl oksasin, Cefepime, Amikasin.
Pasien secara klinis mengalami perbaikan, maka di-
RUDY MANALU
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 31•
coba untuk menghen! kan pemakaian an! bio! k.
Minggu VIII di ICU (24-3-2010 s/d 31-3-2010)
GCS E4M4Vtrakeostomi, Suhu 37-37,5 0C (tanggal
28-3-2010 suhu 38,40 C ). Gerakan involunter (+). Hemodin-
amik, MAP 70-90 mmHg, HR 90 – 100 x/menit. CVP 7,5 – 8,5
cm H2O. Respirasi Spontan tanpa ven! lasi mekanik dengan
O2 5 L/menit didapatkan pulsasi. Oksimetri saturasi 98-99
%. SP Vesikuler Rh -/- , Wh -/- , RR 14 – 16 x/ menit.
Foto polos toraks 25 – 3 – 2010 , Eksper! se Radi-
ologis: paru, bercak di kedua paru berkurang, hilus normal.
Jantung, bentuk dan besar kesan normal. Medias! num ! -
dak melebar, trachea letak di tengah. Kedua sinus phrenico-
costalis tajam. Diafragma kanan-kiri baik. Tampak masih ter-
pasang TT dan CVC kedudukan stqa. Dibanding foto tanggal
10 -3-2010, perbaikan.
Tanggal 25-3- 2010 pemberian Heparin drip 5000
IU / 24 jam. Tanggal 31-3- 2010 pemberian Heparin 5000 IU
/hari SK. Tanggal 28-3- 2010 dilakukan bronkoskopi karena
terdapat adanya darah dari lumen trakeostomi sewaktu suc-
! oning.
Terdapat stenosis parsial oleh karena ujung trake-
ostomi tube menempel ke dinding trakea. Dilakukan kul-
tur dan resistensi dengan bahan bilasan bronkus. Tanggal
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 32•
29-3-2010 : Cefepime 3 x 1 gr. Pasien rencana pindah ke
IMC.
Gambar 4. Foto toraks tanggal 25-3-2010
Gambar 5. Bronkoskopi tanggal 28-3-2010
Minggu IX di ICU ( 1-4-2010 s/d 7-4-2010)
GCS E4 M4Vtrakeostomi, Suhu 37 -37,5 0C, terdapat
gerakan gerakan involunter. Hemodinamik, MAP 70 - 90
mmHg HR 90 – 100 x/menit. CVP 7,5 – 9,5 cm H2O. SP vesi-
kuler Rh (-) /(-). Respirasi Spontan tanpa ven! lasi mekanik
dengan O2 5 L/menit didapatkan pulse oxymetry saturasi
98- 99 %.
Tanggal 3-4-2010. Hasil bilasan bronkus : Candida
parapsilosis dan sensi! f terhadap Amfoterisin B, Flusitosin,
Flukonazol ,Vorikonazol. Pseudomonas aeruginosa dan
sensi! f terhadap Ce% azidim, Siprofl oksasin, Levofl oksasin,
Amikasin, Piperacillin + Tazobactam. Diet bubur saring 1900
kalori (6 x pemberian ) , pu! h telur 3 x 2 bu! r. Perubahan
Terapi: Fluconazol drip 1 x 200 mg.
Minggu X di ICU ( 8-4-22010 s/d 14-4-2010)
GCS E4M5V4, Suhu 36,5-370 C, terdapat gerakan-
gerakan involunter. Hemodinamik, MAP 78-100 mmHg, HR
90 – 100 x/menit. CVP 7,5 – 10 cm H2O. SP vesikuler Rh (-)/
(-) Wh (-). Respirasi spontan dengan udara kamar pulse oxy-
metry saturasi 98- 99 %.
Tanggal 8- 4 -2010 tracheostomy tube dilepas.
Tanggal 9-4 -2010 CVC dilepas. Tanggal 10-4-2010 rencana
pindah ke ruang perawatan umum. Tanggal 14-4- 2010 ke-
luar perawatan ICU dan langsung pulang ke rumah.
PEMBAHASAN
Dalam laporan kasus ini ada beberapa hal yang
akan dibahas antara lain: ensefali! s, tata kelola kejang, tata
kelola sepsis dan DIC.
Ensefali! s
Pasien ini masuk ke rumah sakit dan dirawat den-
RUDY MANALU
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 33•
gan dugaan CVD namun diagnosis dapat disingkirkan kare-
na hasil pemeriksaan MRI dan MSCT dalam batas normal.
Keluhan pasien adalah sakit kepala yang hebat selama 2
minggu, sulit bicara dan muntah-muntah. Dalam perjala-
nannya, terdapat gerakan involunter pada lengan pasien.
Dilakukan pemeriksaan EEG dan hasilnya : EEG abnormal,
perlambatan umum terutama kiri. Pasien mengalami de-
mam, kejang, penurunan kesadaran namun ! dak dijumpai
kaku kuduk. Dilakukan lumbal punksi dan hasilnya : Glukosa
49 mg/dL, Protein 17 g/dL, hitung sel 173 uL, PMN 10 %,
MN 90 %, None (-), Pandy (-).
Dari data di atas ditegakan diagnosis pasien men-
derita Ensefali! s dimana terdapat demam, sakit kepala,
muntah, gangguan bicara, kejang, penurunan kesadaran,
! dak terdapat kaku kuduk.1,3 Analisis cairan liquor juga
mendukung diagnosa tersebut dimana terdapat pleositosis
(predominantly mononuclear cells) dan kadar protein yang
! nggi.3
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 34•
Penyebab ensefali! s adalah:3
• HSV type 1 dan 2 (terutama pada neonatus), VZV,
EBV, measles virus (PIE dan SSPE), mumps, rubella
yang disebarkan melalui kontak antar personal.
• Mycoplasma species
• Ricketsia
• Tozoplasma
Selama perawatan di ruangan dilakukan pemerik-
saan untuk mengetahui penyebabnya.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan :
1. HSV 1 Ig G (+) 1,916 , HSV1 IgM (-)
2. HSV2 Ig G (-), HSV2IgM (-)
3. Toxoplasma IgG (-), IgM (-)
4. Rubella IgG (+) 226, Rubelle IgM (-)
5. CMV Ig G (+) 11, CMV IgM (-)
6. An! Mycoplasma IgG : 72,40 RU/mL, An! Mycoplasma
IgM 3,43 RU/mL
Dari hasil ini didapatkan kesimpulan bahwa ! dak
dijumpai virus sebagai penyebab karena walaupun ada be-
berapa IgG (+) tetapi IgM semuanya (-) , tetapi obat an! vi-
rus tetap diberikan.
Disimpulkan juga adanya infeksi Mycoplasma ak! f
dan pasien diterapi dengan Azitromisin.
Disamping itu juga diberikan OAT oleh dokter spesialis paru
karena hasil foto polos toraks menunjukan minimal lesion
proses spesifi k.
Pada hari ke-6 di rawat di ICU dilakukan evaluasi
ulang terhadap ensefali! s dengan melakukan lumbal punksi
dimana hasilnya ! dak mendukung ensefali! s.
Tata kelola Kejang
Selama perawatan di ruang perawatan umum dan
di IMC pasien mengalami kejang yang diterapi dengan Diaz-
epam drip dan Fenitoin 3x 100 mg.
Pasien pindah rawat ke ICU karena kejang yang ! dak terken-
dali dengan terapi di atas.
Di ICU pasien diintubasi dan didukung dengan ven! lasi me-
kanik dan kejang dikendalikan dengan pemberian Pentotal
atau pun Propofol.
Urutan pengendalian kejang adalah pertama den-
gan pemberian Benzodiazepin dan apabila kejang masih ter-
jadi juga diberikan Fenitoin.
Bila kejang masih terjadi juga maka pasien diintubasi dan
dibantu dengan ven! lasi mekanik dan kejang dikendalikan
dengan salah satu obat yaitu:
Thiopental, Propofol, atau Midazolam.4 Obat
pelumpuh otot mungkin diperlukan pada kejang yang ! dak
terkendali dan berkepanjangan.5
Di ICU pemberian Fenitoin dihen! kan karena kadar
Fenitoin dalam darah sudah jauh melebihi ambang batas.
Kejang yang sangat sering dan lama menyebabkan digunak-
annya pelumpuh otot sebagai tambahan untuk mengenda-
likan kejang. Penggunaan sedasi dan pelumpuh otot yang
banyak dan lama akan menyebabkan kelemahan otot-otot
pernafasan yang akan mempersulit proses penyapihan dari
ven! lasi mekanik.
Pasca ensefali! s pasien masih mengalami kejang
dan diterapi dengan pemberian Propofol atau pun Diaze-
pam secara intermiten . Pasien juga mendapat kan obat an!
epilepsi Zonisamid yang bekerja dengan cara menghambat
Na+ channels, menghambat Ca++ channels, memblok ak! -
vitas Glutamat dan meningkatkan GABA. Ke! ka pasien pu-
lang masih terdapat gerakan-gerakan involunter.
Tatalaksana Sepsis dan DIC
Sepsis didefi nisikan sebagai adanya infeksi dit-
ambah manisfestasi sistemik dari infeksi.7 Manifestasi
sistemik dari infeksi (Systemic Infl ammatory Respon Syn-
drome = SIRS) ditandai dengan terdapatnya paling sedikit
dua dari kondisi berikut : Suhu < 36 0C atau > 38 0C, Laju jan-
tung > 90 x/menit, Laju nafas > 20 x/menit atau PaCO2 < 32
mmHg atau memerlukan ven! lasi mekanik, jumlah leukosit
< 4000/uL atau > 12.000/uL.
Pasien ini kita sebut mengalami sepsis karena
terdapatnya SIRS dan adanya infeksi paru (Pneumonia).
Temuan laboratorium disamping biakan kuman, leukositosis
(terutama pada minggu ke-4) , juga terdapat kadar CRP yang
! nggi, kadar asam laktat dan juga Prokalsitonin mendukung
diagnosa tersebut. Pneumonia bakterial secara ! pikal akan
tampak dengan adanya demam, leukositosis, produksi spu-
tum yang purulent, dan terdapatnya gambaran infi ltrat yang
baru pada pemeriksaan foto toraks.9,10
Pen! ng membedakan beberapa terminologi seper-
! : Hospital Acquired Pneumonia (HAP), Ven! lator Associat-
ed Pneumonia (VAP) dan Health Care Assosiated Pneumonia
(HCAP). HAP adalah pneumonia yang ! mbul dalam waktu
48 jam setelah rawat inap ,dan ! dak dalam masa inkubasi
pada saat pasien masuk. VAP adalah pneumonia yang ! m-
bul dalam waktu 48 – 72 jam setelah intubasi endotrakeal.
HCAP adalah pasien yang dirawat dalam perawatan akut ,
selama dua hari atau lebih karena infeksi dalam waktu 90
hari terakhir ; ! nggal di pan! wreda atau fasilitas perawatan
jangka panjang lainnya; menerima terapi an! bio! ka intrav-
ena, kemoterapi, atau perawatan luka dalam waktu 30 hari
terakhir; atau mendapatkan hemodialisis baik di klinik mau
pun rumah sakit.
Pemberian an! bio! ka pada pasien ini disesuaikan
dengan hasil kutur dan resistensi dari bahan sputum dan
darah. Namun tetap ditemukan adanya Pseudomonas ae-
ruginosa pada sputum pasien ini sampai perawatan minggu
ke-7. Karena secara klinis didapatkan perbaikan, jumlah leu-
kosit menurun, foto polos toraks perbaikan maka pembe-
rian an! bio! k dicoba dihen! kan.
Dilakukan pemantauan dan setelah 7 hari bebas an! bio! k,
! mbul kembali demam dan terjadi sedikit kenaikan leukosit
sehingga kembali diberikan an! bio! k.
Hemodinamik pada pasien ini rela! f stabil den-
gan mencukupkan volume intra vaskular (pemantauan nilai
CVP) dan juga bantuan vasopresor sehingga ! dak sampai
terjadi sep! k syok.
Disseminated Intravascular Coagula! on (DIC) bukanlah
gangguan primer dan yang tersering merupakan komplikasi
dari Sepsis, trauma, dan kegawatan obstetrik (seper! ab-
rup! o placentae).11
Pada pasien ini secara klinis terjadi perdarahan dan
pemeriksaan faal hemostasis menunjukan terjadinya DIC
RUDY MANALU
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 35•
yaitu trombositopenia, PT dan APTT yang memanjang dan
peningkatan D-Dimer.12,13
• Terapi dari DIC 13
• Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)
• Cryoprecipitate
• Transfusi trombosit , yang mungkin diperlukan apa-
bila terjadi
• perdarahan yang mengancam jiwa.
• An! trombin III
• Heparin
Pada pasien ini diberikan heparin dengan dosis
yang disesuaikan dengan temuan laboratorium , FFP dan
Cryoprecipitate. Walau pun pada minggu ke-5 terjadi penu-
runan jumlah trombosit sampai mencapai 23.000 tetapi ! -
dak diberikan transfusi trombosit. Terjadi kenaikan jumlah
trombosit dengan sendirinya pada minggu ke-6.
SIMPULAN
Pasien menderita ensefali! s dengan kejang yang ! -
dak terkontrol sehingga diperlukan perawatan di ICU. Dalam
perjalan penyakitnya pasien menderita pneumonia, sepsis
dan DIC. Di ICU dilakukan tata kelola pasien kejang dan sep-
sis dan pasien ! dak sampai mengalami sep! k syok sehingga
mengalami perbaikan. Pasien pulang dengan gejala sisa epi-
lepsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hinds CJ, Watson D. Encephali! s-intensive care a
concise textbook. Third ed. Philadelphia: Saunders;
2008; 422.
2. Kennedy AM. Meningi! s and encephalomyeli! s. In:
Bersten AD, Soni N ed. Oh’s Intensive Care Manu-
al. Sixth ed. Philadelphia: Bu+ erwoth Heinemann
Elsevier, 2009; 583 - 91.
3. Childhood meningi! s and encephali! s. Available
from: h+ p : //www.ped-zag org.
4. Hinds CJ, Watson D. Status epilep! cus-Intensive
care a concise textbook. Third ed. Philadelphia:
Saunders; 2008; p. 432-36.
5. Opdam HI. Status epilep! cus. In: Bersten AD,Soni
N ed. Oh’s intensive care manual. Sixth ed. Phila-
delphia: Bu+ erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
541 - 48.
6. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving
sepsis campaign: Interna! onal guidelines for man-
agement of severe sepsis and sep! c shock 2008.
Crit Care Med 2008; 36(1): 299-327.
7. De Gaudio AR. Severe sepsis. In: Bersten AD,Soni
N ed. Oh’s intensive care manual. Sixth ed. Phila-
delphia: Bu+ erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
709-16.
8. Marino PL. Pneumonia in the ICU –The li& le ICU
book of facts and formulas. Philadelphia: Lippinco+
Williams & Wilkins; 2009; p. 535-47.
9. Gomersall CD. Pneumonia. In: Bersten AD,Soni N
ed. Oh’s intensive care manual. Sixth ed. Philadel-
phia: Bu+ erwoth Heinemann Elsevier, 2009; 415–
26.
10. Marino PL. Trombocytopenia and platelet trans-
fusions. The li& le ICU book of facts and formulas.
Philadelphia: Lippinco+ Williams & Wilkins; 2009;
493-503.
11. Kwasneske D. Understanding Disseminated Intra-
vascular Coagulated (DIC). Available from: h+ p: //
faculty alverno.edu.
12. Isbister JP. Haemosta! c failure. In: Bersten AD, Soni
N ed. Oh’s intensive care manual. Sixth ed. Phila-
delphia: Bu+ erwoth Heinemann Elsevier, 2009; p.
1025 - 38.
Ensefalitis dan Epilepsi I Encephalitis and Epilepsy
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 36•
I LAPORAN KASUS I
Perdarahan Terkait Koagulopa! pada Infeksi Intraabdominal
Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infec! on
Diah Widyan!
Diah Widyan! Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis
Anestesiologi KIC
ABSTRACT
Naturally, human body has a complex mechanism
in compensa! ng certain bleeding to an! cipate blood loss.
Some life threatening bleeding is caused by combina! on of
vascular rupture and coagulopathy. This condi! on needs re-
suscita! on. The resuscita! on uses much of crystalloid, col-
loid, and followed by Red Blood Cell transfusion. The main
treatment of coagulopathy related bleeding are fresh fro-
zen plasma transfusion, thrombocyte, coagulant factor, and
cryoprecipitate. But however, coagulopathy o# en happens
in early period of post injury and acts as mortality predictor
so independently that has a poten! al to decrease mortal-
ity rate. It is also important to an! cipate chain connec! on
between acidosis, metabolic, hypothermia, and progresif
coagulopathy as soon as possible.
Keywords: coagulopathy, infec! on, intraabdominal.
ABSTRAK
Secara alamiah, tubuh mempunyai mekanisme
kompleks untuk melakukan kompensasi ke! ka terjadi
perdarahan agar tubuh ! dak kehilangan banyak darah.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threatening
bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan pem-
buluh darah dan koagulopa! . Hal ini membutuhkan resusi-
tasi sebagai penatalaksanaan. Resusitasi pada perdarahan
masif menggunakan sejumlah besar cairan kristaloid, ko-
loid, dan diiku! transfusi sel darah merah (RBC). Penatalak-
sanaan perdarahan terkait koagulopa! (koagulopa! -related
bleeding) yang terutama ialah transfusi fresh frozen plasma
(FFP), trombosit, faktor pembekuan, dan kriopresipitat. Na-
mun demikian, koagulopa! sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortalitas
yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa! di-
perkirakan berpotensi menurunkan angka kema! an. Maka
dari itu, rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipoter-
mia, dan koagulopa! progresif harus dian! sipasi sejak dini.
Kata kunci: koagulopa! , infeksi, intraabdominal
PENDAHULUAN
Kontrol terhadap perdarahan selama pembeda-
han merupakan salah satu tanggung jawab bersama an-
tara dokter bedah dan dokter anestesi. Secara alamiah,
tubuh mempunyai mekanisme kompleks untuk melakukan
kompensasi ke! ka terjadi perdarahan agar tubuh ! dak ke-
hilangan banyak darah, yaitu melalui pembentukan bekuan
trombosit dan fi brin pada pembuluh darah yang mengala-
mi cedera, disusul dengan proses resolusi atau lisis bekuan
dan regenerasi endotel. Mekanisme yang kompleks ini akan
berusaha mempertahankan darah tetap cair dan mengalir
lancar dalam pembuluh darah untuk kembali ke dalam ke-
adaan fi siologis.
Resusitasi cairan dan darah pada kasus perdara-
han menunjukkan perbaikan secara signifi kan, tetapi pada
perdarahan yang ! dak terkontrol masih merupakan tantan-
gan tersendiri dan diperkirakan sekitar 40% kejadian dapat
menyebabkan kema! an.
Perdarahan yang mengancam nyawa (life-threaten-
ing bleeding) dapat disebabkan oleh kombinasi kerusakan
pembuluh darah dan koagulopa! . Kerusakan pada pembu-
luh darah besar sering membutuhkan ! ndakan pembedah-
an secara cepat, tetapi koagulopa! karena perdarahan yang
difus sulit untuk ditangani. Penyebab koagulopa! bersifat
mul! faktorial, termasuk di antaranya konsumsi dan dilusi
faktor pembekuan dan trombosit, disfungsi trombosit dan
sistem koagulasi, peningkatan fi brinolisis, gangguan sistem
koagulasi karena pemberian cairan koloid, transfusi dan
hemodulisi masif, hipokalsemia serta disseminated intra-
vascular coagula! on-like syndrome. Kombinasi koagulopa!
dengan hipotermia dan asidosis disebut ‘lethal triad’ kare-
na dapat menyebabkan angka kema! an yang ! nggi.
Resusitasi pada perdarahan masif menggunakan
sejumlah besar cairan kristaloid, koloid, dan diiku! transfusi
sel darah merah (RBC). Walaupun tranfusi RBC memperbaiki
transpor oksigen, tetapi ! dak dapat mengoreksi kehilangan
faktor koagulasi dan trombosit serta dapat menyebabkan
koagulopa! . Penatalaksanaan perdarahan terkait koagu-
lopa! (koagulopa! -related bleeding) yang terutama ialah
transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, faktor pem-
bekuan, dan kriopresipitat. Namun demikian, pada koagu-
lopa! yang disertai hipotermia dan asidosis, penggan! an
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 37•
(replacement) yang adekuat sekalipun ! dak mampu men-
gontrol perdarahan dan pasien dapat jatuh pada kondisi
yang serius. Koagulopa! sering terjadi pada awal periode
pascajejas (post-injury) dan merupakan prediktor mortali-
tas yang independen. Oleh karena itu, koreksi koagulopa!
diperkirakan berpotensi menurunkan angka kema! an.
Infeksi dan mul! ple organ gagal (MOF) adalah
komplikasi yang terjadi pada pasien yang selamat dari jejas.
Peneli! an menunjukkan bahwa akumulasi dari tranfusi RBC
mempunyai efek nega! f terhadap lamanya pernyembuhan
penyakit dan meningkatnya kejadian infeksi pascajejas dan
MOF. Mengurangi pemberian RBC mungkin dapat menu-
runkan komplikasi dan memperbaiki keluaran (outcome).
Mekanisme Hemostasis
Terdiri dari ! ga sistem yaitu :
1. Sistem koagulasi
2. Sistem penghambat koagulasi
3. Sistem fi brinoli! k.
Sistem koagulasi
Faktor-faktor koagulasi terdiri dari protein di dalam plasma
yang berbentuk prekursor ak! f, yaitu :
Faktor I = fi brinogen
faktor II = protrombin
faktor III = tromboplas! n
faktor IV = kalsium
faktor V = proakselerin (faktor labil)
faktor VII = prokonver! n (faktor stabil)
faktor VIII = faktor an! hemoli! k
faktor IX = komponen tromboplas! n plasma (faktor
Christmas)
faktor X = faktor Stuart—Power
faktor XI = anteseden tromboplas! n plasma
faktor XII = faktor Hageman
faktor XIII = faktor stabilisator fi brin
Faktor V dan VIII cepat menjadi nonak! f di dalam darah
simpan.
Sistem penghambat koagulasi
Merupakan sistem yang merusak se! ap faktor ak-
! f, beberapa saat setelah faktor tersebut menjadi ak! f.
Sistem fi brinoli! k
Sistem ini membentuk plasmin yang menghan-
curkan fi brin. Plasmin dibentuk dari plasminogen yang
terdapat di dalam jaringan, plasma dan air kemih. Selain
menghancurkan fi brin, plasmin juga merusak fi brinogen,
faktor V, dan factor VIII. Di dalam pembuluh darah, plasmin
cepat dinonak! # an oleh an! plasmin.
Respon Tubuh Terhadap Perdarahan
Setelah perdarahan, albumin, air dan elektro-
lit akan berpindah dari ruang inters! ! al ke intravaskuler.
Orang sehat dapat memobilisasi cairan dengan cara ini se-
banyak 100 ml/ jam, dengan kecepatan yang makin lambat,
dan hemodilusi ini akan berakhir setelah 36 - 48 jam pasca
perdarahan. Peneli! an membuk! kan, cairan ringer laktat
yang dimasukkan dengan cepat ke dalam sirkulasi pasien
yang kehilangan 10% darahnya akan dipertahankan lebih
lama dari pada bila infuse tersebut dilakukan kepada orang
yang normovolemik.
Perdarahan yang Masif dan Akut
Apabila perdarahan mencapai 20 - 30% volume da-
rah akan terjadi gangguan perfusi paru. Penurunan curah
jantung yang terjadi juga meningkatkan ekstraksi oksigen
oleh jaringan. Ar! klinis perubahan ini ialah
1. Obat-obat golongan morfi n harus diberikan dengan
ha! ha! , dan hanya atas indikasi yang kuat (untuk
mengatasi nyeri hebat).
2. Peningkatan fraksi oksigen inspirasi (30% atau lebih) bi-
asanya sangat menolong.
3. Cairan seper! NaCl, plasma, dextran, ringer laktat atau
plasma ekspander yang lain harus segera diberikan
sampai tersedia darah.
Penyulit setelah transfusi masif
Transfusi masif ialah transfusi sebanyak 500 ml
dalam waktu < 5 menit, atau transfusi sebanyak 50% vol-
ume darah resipien dalam waktu kurang dari 1 jam.
• Gangguan pembekuan darah akibat pengenceran.
• Koagulasi intra vaskuler diseminata.
• Intoksikasi sitrat. Dapat diatasi dengan pemberian kal-
sium.
• Pergeseran keseimbangan asam — basa. Biasanya ter-
jadi asidosis ringan yang ! dak boleh terburu-buru di
koreksi, karena dengan sirkulasi yang baik keadaan ini
akan terkoreksi sendiri dalam waktu beberapa jam.
• Hiperkalemia.
• Pengendapan mikroagregat di dalam paru sehingga
terjadi edema paru.
• Pergeseran kurva disosiasi oksigen — hemoglobin ke
kiri, sehingga pelepasan oksigen untuk jaringan lebih
sukar, akibat 2,3 DPG yang rendah. Kurva ini akan kem-
bali normal setelah 24 jam.
ILUSTRASI KASUS
Pasien laki-laki, 26 tahun, BB 53 kg, datang dengan
keluhan keluar feses dari perut sejak 2 hari SMRS disertai
keluhan nyeri yang sangat pada perut yang ! mbul menda-
dak, nyeri dapat dilokalisir. Pasien memiliki riwayat operasi
post Appendiktomy di tahun 2004 dan post Laparotomy ai.
Ileus Obstruksi di tahun 2006. Pada tanggal 26 April 2009 (6
hari SMRS) post laparatomy eksplorasi di RS TNI Bogor, pen-
emuan intra-operasi didapatkan perlengketan usus kecil, di
lakukan adhesiolisis, 4 hari post op, terjadi obstruksi dan
fi stel dari luka operasi.
Pada pasien ! dak ditemukan adanya kelainan/pe-
nyakit seper! hipertensi, DM, sakit jantung (nyeri dada),
sakit paru (TBC, asma), sakit kuning, riwayat kejang, ping-
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 38•
san, cedera kepala, kelainan pembekuan darah. Riwayat
merokok (+). Tidak ditemukan adanya riwayat alergi terha-
dap makanan, obat-obatan atau bahan-bahan tertentu se-
belumnya.
Pada pemeriksaan fi sik ditemukan keadaan umum
tampak sakit ringan, kompos men! s, TD 100/60 mmHg,
pulse 78 x/mnt, RR 20x/mnt, t 37,40C, BB 53 kg/176 cm.
Mata tdk anemis dan tdk ikterik. THT Mal II. Gerakan dind-
ing dada simetris, BJ I-II (N), bising (-), gallop (-). Napas Vesk
(N), Rh (-), Wh (-). Abdomen supel, Dist (-), peristal! k (N),
fi stel enterokutan + faeces. Pada seper! ga abdomen bagian
bawah dengan warna kemerahan di sekitarnya. Ekstremitas
: akral hangat, udem (-), motorik (N).
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium 29
April 2009, DPL 11,9/35/15800/173000 BT/CT 330/1230,
PT/APTT 19,8/33,1 (12,6/30,4), Alb 3,2 GDS 85 gr% E
121/3,66/104, AGD 7,453/36,2/92,6/24,9/1,6/98,3%, O2
21%. Pada tanggal 08 Mei 2009, Hb 12.1, Hct 35.1, Leukosit
16.300, Trombosit 981.000. Kesimpulan foto thorak ! dak
tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo. Kesan
rontgen abdomen 3 Posisi ileus obstruk! f. EKG :SR,NA, HR:
98x/menit, ST-T ch(-),T tall V2-V6, LVH(-), RVH (-), BBB(-).
Diagnosis masuk pasien ini adalah Fistel enterokutan high
output + Undernutrisi (BMI 17) + Hyponatremia.
Terapi yang diberikan diet rendah sisa, bubur sar-
ing 2 kali/hari, Peptamen 6x200cc (1200kalori), KaenMg3
500cc (200 kalori), Triofusin E 500cc (500 kalori), Ive-
lip20% 100cc (200 kalori), Total: 2300cc (2100 kalori).
Pada tanggal 13 Mei diberikan Ce% azidime 2 x 1gr iv. Pen-
derita mendapat perawatan selama 12 hari di ruang HCU
Bedah untuk perbaikan gizi dan gangguan elektrolit pro
laparatomi eksplorasi pada tanggal 14 Mei 2009.
14/05/09 :ICU jam 23.30
S :
Pasien masuk dari OK- IBP dengan Post LE + pema-
sangan stoma a/i fi stel enterokutan adhesiolisis, end il-
eostomi. Assessment ASA III dengan co-morbid SIRS ( leo-
kositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m,
takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished
(BMI 17.15), Hyponatremia:121. Anestesi General Isofl uran
+ N2O. Lama Operasi 13 jam 30 menit, Lama anestesi 14 jam
45 menit. Masalah intra Op perdarahan >>, hemodinamik
! dak stabil, operasi dihen! kan karena hemodinamik ! dak
stabil (MAP 40-50) perdarahan >>>, Cairan masuk: kristal-
loid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc. Keluar
perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam.
Kondisi di ICU :
O :
A : Airway bebas, terintubasi,Tampak Sakit Berat. B:
Bagging O2 10 lpm, RR 14-16x/m kemudian di hubungkan
dengan ven! lator CMV : RR 12, TV 350, PEEP +5, FiO2 60%,
Paru : suara napas vesikular +/+, rh-/-,wh-/- SaO2 100%. C
: Perfusi : dingin,basah,pucat, FN 90-100x/m, regular, kuat
angkat. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/kgBB/jam), suhu 34-
35oC. Jantung: BJ I-II, reguler, murmur(-),gallop(-). D: DPO,
pupil : bulat isokor, refl eks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3.
Pemeriksaan Penunjang :
Jam 20.38 : AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/-
0.3/98.9%, Hb/Ht : 3,1/10.1, Elektrolit: Kalium :3.8/ Natri-
um :134/ Chlorida :100
Jam 23.30 : AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3
18.3/SaO2 98.4%, dengan CMV : RR 12 TV 350 PEEP +5 fi O2
60%, Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000,
SGOT 11,SGPT 12, Ureum 21, Krea! nin 0.3, PT 27.5/13.2
APTT 80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS
333.
A :
Hemodinamik ! dak stabil ec.perdarahan, Post lap-
arotomi eksplorasi (LE) + pemasangan stoma a/i fi stel en-
terokutan adhesiolisis, end ileostomi + SIRS + Undernutrisi,
Hipoalbumin. Masalah hemodinamik ! dak stabil, perdara-
han dan hemodilusi massive, gangguan faal hemosta! k/
koagulopa! , Operasi dan Anestesi lama ( 14 jam 45 menit),
Hipotermi suhu 34-35oC.
P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, koreksi kom-
ponen darah, Warming, Ven! lator support : CMV : TV:
350cc,RR 12 , PEEP +5, FiO2: 60%. NS50 + Vascon 4 mg : 0.1
ug/kgBB/jam, NS 10 + miloz 5 mg = 1mg/jam. NS pro CVP.
Gelofusin pro resusitasi cairan. Asering pro resusitasi cairan.
Ce% azidim 2 x 1 gr.iv (H2). Metronidazol 1 x 1500mg iv
(H1). Rani! din 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3
x 10 mg iv. Vit C 1 x 1 gr iv. APS : Marcain 0.125 %+ fentanyl
1u : 10cc/jam bila hemodinamik stabil.
Laporan Operasi 14 Mei 2009
Diagnosis Pra Bedah fi stel enterokutan, high out-
put. Diagnosis Pasca Bedah fi stel enterokutan adhesi. Tin-
dakan Adhesiolisis, end ileostomi. Durante operasi : luka
lama di buka, tampak perlengketan usus halus dengan
dinding abdomen anterior, dilakukan pembebasan, tampak
6 muara fi stel sepanjang luka lama, dilakukan pembebasan
lebih lanjut kearah oral didapatkan loop usus halus sepan-
jang 150 cm dari ligamentum Treitz, pembebasan dilanjut-
kan kearah distal, tampak loop ileum dengan muara fi stel
sampai dengan 7 cm dari valvula Baunii. Sekum, kolon as-
cendens, kolon transversum sampai dengan sigmoid kesan
intak. Intraopera! f di dapatkan MAP berkisar 40-50 mmHg,
diputuskan menghen! kan operasi. Puntung proksimal di
keluarkan sebagai stoma, puntung distal ditutup. Luka op-
erasi ditutup dengan jahitan Benton, drain di pelvik sinistra.
Masalah selama perawatan di ICU H1 (hari perta-
ma) : Hemodinamik ! dak stabil.
Tabel 1.Jam Masalah Tindakan
23.30 TD 94/51 loading Asering 300cc,
vascon 3cc/jam: 0,1ug
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 39•
24.00 CVP : +51/2 Loading gelofusin 300cc-200cc
dalam 30 menit
01.00 Hb/Ht : 3,1/10.1 PRC 750cc FFP 500cc
03.00 MAP (62), TD
92/57 mmHg
Produksi urine
>>,
Hb 6,7
gelofusin 500cc/30 menit,
pesan darah
H2 : 15/05/09
S : -
O :
CNS: di bawah pengaruh obat (DPO), pupil : bulat
isokor, refl eks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS: BJ I-II
normal, murmur -, gallop –. TD: 102/46 mmhg (NE 0,1mg/
kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38oC. RS : R R
15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%. Vent:
PC8 SIMV15 PS7-8, RR12 TV350,MV 5.5 PEEP5-6, FiO2 40-
60%. GIT : BU+, produksi stoma >>. GUT: Urin jernih. Ext:
Petekie, akral hangat.
A :
Health Care Associated Intra Abdominal Infec! on
+ Peritoni! s Ter! ary. Post LE + pemasangan stoma a/i fi stel
enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah: Hemo-
dinamik ! dak stabil, Perdarahan dan Gangguan faal hemo-
sta! k/Koagulopa! , Produksi kolostomi >>, Hipoalbumin,
febris suhu 37,7- 38oC.
P :
Sirkulasi support ; resusitasi cairan, komponen darah, Reg-
ulasi suhu. Ven! lator support : PC8 SIMV15 PS7-8, RR12
TV350-643. MV 5.5-10.3 PEEP 5- 8- 6, FiO2 40-60%. NS50
+ Vascon 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg :
1mg/jam. PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gel-
ofusin pro resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3
1000cc/24 jam. Ce% azidim 2 x 1 gr iv (H3). Metroni-
dazol 1 x 1500mg iv (H2). Rani! din 2 x 50 mg.iv. Transamin 3
x 500mg.iv. Vit K 3 x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr .iv. APS : Marcain
0.125 %+ fentanyl 1u : 10cc/jam → stop
Pemeriksaan penunjang:
Jam 07.00 : AGD : 7.325/35.3/211.1/-6.9/17.9/98.3
- 7.274/42.6/35.6/-6.7/71.3. Hb 7,9/23.0/2.60/20.6/239 Na
137/3,9/108, alb 1.10. Jam 21.00 : AGD 7.533/19.4/296.7/-
5.7/19.7/98.9. Kesimpulan Thorax AP: Pneumothorax kan-
an.
Masalah selama perawatan H2:
Tabel 2.Jam Masalah Instruksi
07.30 TD 79/61 HR 110, CVP
+7
CVP +9, TD 95/57
haemacell 500cc/30
m,Vascon 0,1u/jam = 4 cc/
jam ,asering 500cc
10.40 TD 74/40-90/50 (59),
FN 163 CVP +5
Koloid 500, asering 500
11.30 Produksi drain banyak
+650cc
LP 78-79
13.00 TD 82/36 (46) drain >>> Vascon 0.2u, voluven
500cc, gelofusin 500cc
15.00 TD 90/40 (52) FN 150x
RR 35x/m
Haemacell 500cc, SIMV5,
PC8 fi O2 40%
Voluven 1000cc, RL
1000cc, haemacell 500
N-Epi 0,2 uq -> 8,2uq/jam
(4u)
20.47 TD 79/47 Vascon 0,3 uq : 12 cc/jam
22.27 Tachycardia FN 166x
,96/50
Haemacell 300cc/30’
23.00 Suhu febris Novalgin 500mg.iv -> no-
valgin 500mg/4jam
24.00 Produksi colostomy >>
Clo< ng darah
04.21 Produksi urine << Asering 500cc/30’ vascon
0,4uq
05.00 Produksi colostomy >>
Clo< ng darah
H3 : 16/05/09
S :
Cardiac Arrest
O :
CNS: Kompos men! s, GCS : E4VtubeM6. Pupil :
bulat isokor, refl eks cahaya+/+, diameter pupil : 3/3. CVS:
BJ I-II normal, murmur -, gallop –. TD: 102/46 mmhg (NE
0,1mg/kgBB/jam) N: 90-100x/m, suhu 37,7- 38oC. RS:
RR 15x/m Vesikuler+/+ ronki-/-, wheezing -/- SpO2 100%.
Vent: PC12 PEEP5, FiO2 40%. GIT : BU+, produksi
stoma >>>. GUT: Urin jernih, produksi > 1cc/kgBB/jam. Ext:
Akral hangat.
A :
Healthcare associated Intra Abdominal infec! on
+ Peritoni! s Ter! ary. Post LE + pemasangan stoma a/i fi s-
tel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi. Masalah :
Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik ! dak Stabil, Koagu-
lopa! : perdarahan medical bleeding, Produksi kolostomi
>>, Hipoalbumin
P :
Sirkulasi Support : resusitasi cairan, komponen da-
rah. Ven! lator support : PC12 PEEP 5, FiO2 40%. NS50 + Vas-
con 4 mg : 0.1 ug/kgBB/jam. NS 10 + miloz 5 mg : 1mg/jam.
PRC , FFP. RL / asering pro resusitasi cairan. Gelofusin pro
resusitasi cairan. NS pro CVP 500cc. Kaen MG3 1000cc/24
jam. Ce% azidim 2 x 1 gr iv (H4) Metronidazol 1 x 1500mg iv
(H3). Rani! din 2 x 50 mg iv. Transamin 3 x 500mg.iv. Vit K 3
x 10 mg,iv. Vit C 1 x 1 gr iv. Novalgin 500mg/4jam.
Masalah selama Perawatan H3:
Tabel 3.Jam Masalah Instruksi
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 40•
06.50 TD 97/53 (64) vascon 0.4mcg
09.00 Produksi colostomy >>
500cc
Produksi drain >>
Dr.Bedah sudah lihat :
bleeding medical, belum
ada rencana buka
Asering 500cc/30 menit
Gelofusin 500cc/30 me-
nit
Vascon 0.4u = 8cc/jam
14.30 TD 99/36 (50)HR 141x/
menit
Vascon 0.4u = 8cc/jam
15.00 88/20 (45) HR120x/m Loading Haemacell
500cc, gelofusin 500cc
15.10 HR 72x/m SA 2 ampul
15.25 Bradycardia 35x/m
TD ! dak terukur,
Arrest, resusitasi, SpO2
85%
Asodosis metabolik BE-
20
SA 2 ampul Adrenalin 1
ampul- 1 ampul,
Bagging+RJP ± 20 menit,
Arrest (1)
Bicnat 50 mEg
15.30 Gan! balutan luka op-
erasi± 200cc + ileostomy,
TD 120/73 FN 120-120x/
m
Loading voluven 500-500
15.40 Bradycardia 45x/m
TD ! dak terukur, Arrest
Bagging 10lpm,SA 2-2
amp,adrenalin 1-1mg
RJP ±5 menit Ar-
rest (2)
16.00 TD 126/70 (83)
Abdomen ada petechie,
edema palpebra
Vascon 0.4 ug/jam = 8 cc/
jam
19.30 Rembesan luka operasi
±400cc
Gan! balutan luka
21.00 CM 7283.2 CK 3710
24.00 Transfuse 1004 cc Ca gluconas 1 amp, cek
DPL
03.00 CM 8095,8 CK 4170 -
H4 : 17/05/09 : post cardiac arrest 2x, hemodinamik tetap
dipertahankan stabil Masalah selama Perawatan H4:
Tabel 4.Jam Masalah Instruksi
10.10 Cairan serosa mengalir
ak! f pada luka operasi
± 250cc rembesan
Visite dr.bedah : bukan
darah, cairan serosa
10.30 Terdapat perdarahan
dari colostomy ak! f ±
200cc
Observasi, C. IPD- Hema-
tologi
11.45 Hb 9,7g/dl PT/APTT me-
manjang, fi brinogen 59
PRC 170cc, pesan FFP
500cc
Cryopresipitate (Hematol-
ogy-anestesi)
12.00 CM 260.2 CK 1440 =
-1179.8
17.50 Balans - 700 Asering 500cc/30 menit
22.00 Luka operasi rembes,
produksi colostomy (+)
faeces (+)
Perawatan colostomy, GV
03.00 Input 2838.4 output
3310
B – 471.6
Kesimpulan Thorax AP: Dibandingkan dengan foto
tgl 15/05/09 pneumothorak kanan perbaikan. Infi ltrat ber-
tambah dengan DD/ bronchopneumonia, awal bendungan
paru
Problem list: Post Cardiac Arrest 2 x, Hemodinamik
Stabil, Perdarahan: medical bleeding, koagulopa! , Produksi
colostomy >>, Rembesan pada luka jahitan operasi, faeces
(+), VAP : Ven! lator Associated Pneumonia, Peningkatan
Liver Func! on Test : SGOT/SGPT, Bilirubin, Peningkatan ure-
um/Crea! nin : AKI (Acute Kidney Injury)
Plan: Sirkulasi support : resusitasi, komponen da-
rah, Ce% azidim 2 x 1 gr iv (H5), Metronidazol 1 x 1500mg
iv (H4), Levofl oxacin 1 x 500mg iv (H1), Rani! din 2 x
50 mg iv, Transamin 3 x 500mg iv, Vit K 3 x 10 mg iv, Vit C 1
x 1 gr iv. Diskusi Ts. Bedah pro re-laparatomy ai. terdapat
faeces pada rembesan luka operasi
H5 : 18/05/09Masalah selama Perawatan H5: Trombositopenia
Tabel 5.Jam Masalah Instruksi
08.30 Vascon 3,5 cc/0.21 uq
09.00 Rembesan dari
luka op± 50cc
Gan! verban
12.00 CM 492, CK 1310
15.00 Hb 9,3gr%, drain ±
500cc
Transfusi PRC 1 kantong
18.00 CM 1449 CK 2960
B-1510
Kristalloid 500cc/30’, cek DPL
post transfusi
24.00 Input 2677 output
4210
Balans – 1532
Trombosit 20.000
Transfusi TC 10 kantong
H6 : 19/05/09
Masalah selama Perawatan H6: Hipokalemia
Tabel 6.Jam Masalah Instruksi
Vascon 0.1= 2cc/jam, miloz 0,5
u/jam
13.30 Albumin 2.25 Pemberian albumin ke-3
14.00 R/.besok operasi Pesan PRC 1000cc, FFP 750cc
17.00 KCL 3.1 KCL 50mEg dalam Nacl 100 cc
dalam 4jam
18.00 CM 1201.2 CK
2620 B= -1418
CVP +10.5
Vascon 0.1u/jam = 2cc/jam
Asering 500cc
22.00 CVP +5 Voluven 300cc
23.30 K:3.0 KCL 50Meg/4jam
03.00 CM 3023 CK 4250
B -1226
K: 3.2
Asering 500cc/30’
KCl 50mEg/4jam
Pada perawatan selanjutnya di ICU, kondisi pend-
erita rela! f stabil, hemodinamik stabil terdapat perbaikan
dengan ven! lator support untuk VAP, koreksi komponen
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 41•
darah untuk gangguan koagulasi, tanda-tanda infeksi den-
gan an! bio! k kombinasi ce% azidim, metronidazol dan le-
vofl oxacin untuk VAP dan Healthcare Associated Intra Ab-
dominal Infec! on.
Plan : Weaning ven! lator, Weaning inotropik,
Nutrisi Enteral, Pro re-laparatomi tanggal 20 mei 2009
H7 : 20/05/09
Masalah selama Perawatan H7:
Tabel 7.Jam Masalah Instruksi
06.50 Vascon 0.1uq = 2 cc/jam
08.30 TD 88/50 (59) Voluven 500cc/30’
15.00 TD 97/66 (72) Gelofusin 500cc/30’, vascon
0.2uq
17.00 CVP +8 FN 108 TD
107/60
Haemacele 500cc/30’, asering
500cc/30’
19.00 Trombosit 35.000 Transfusi trombosit 10 kantong
21.30 CVP +11 Gelofusin 500cc dalam 30’
02.10 CVP +11 Asering 500cc dalam 30’
Jam 09.00 – 14.45 : Dilakukan re-Laparatomi
Diagnosis Pra Bedah: susp.perforasi jejunum post
op reseksi ileum ec fi stel enterokutan. Diagnosis Pasca Be-
dah : Nekrosis ileum terminal, saekum, dan kolon ascen-
dens. Tindakan : Laparatomi, reseksi ileum terminal → ko-
lon ascendens, jejunostomi. DO : pada eksplorasi : keluar
succus enterikus ± 700cc, jejunum ± 100cm dari Treitz,
bekas jahitan terbuka ± 0.3cm, 120 cm jahitan terlepas.
Mulai dari ileum terminal sampai dengan kolon ascendens
tampak nekrosis, kontaminasi faeces (+). Dilakukan reseksi
bagian yang nekrosis, puntung kolon transversum di tutup,
bekas jahitan ± 100cm dari Treitz di keluarkan sebagai sto-
ma, drain parakolika kanan.
Kesimpulan: nekrosis mulai dari ileum terminal s/d
Kolon ascendens, jahitan pada jejunum 100cm dari Treitz
terbuka 1 jahitan, jahitan pada jejunum 120 cm dari Treitz
terbuka.
Post operasi: Kondisi penderita membaik, Hemo-
dinamik stabil, VAP membaik, Tidak tampak tanda2 infeksi,
Lab : SGOT/SGPT kembali normal, PT/APTT dalam batas
normal, Renal Func! on test; Ureum/Krea! nin dalam batas
normal.
H8 : 21/05/09
Masalah selama Perawatan H8: Rembesan luka Operasi
Tabel 8.Jam Masalah Instruksi
09.30 TD 78/42 Vascon 0.3uq = 6cc/jam, voluven
500cc/30’
10.30 TD 140/80
Rembesan dari
luka op ±250cc
Vascon 0.2uq
12.00 CM 866cc CK 1950
CVP+9
Voluven 500cc
15.30 Rembes luka
op,Balance –
913.8
Wound care
20.00 Rembes luka op Wound care
21.00 Balance - 1273 TD
158/90(100)
Vascon 0.15 u (3 cc/jam)
24.00 CM 3242 CK 5400
B= - 2158
TD 143/75 HR
90x/m
Asering 1000cc/6jam
22.00 Rembesan luka op
100cc
GV
03.00 Rembesan 100 cc GV
06.30 Rembesan 100cc GV
H9 : 22/05/09. Masalah selama Perawatan H9: Hipokale-
mia dalam koreksi, rembesan luka operasi.
Tabel 9.Jam Masalah Instruksi
07.00 TD 124/74 (84) Tramadol 100mg/8jam = 1cc/
jam,Vascon 0,1u
08.00 Hasil AGD K: 2.7 Koreksi KCL 50mEg
12.20 Urine 50cc/3jam Asering 500cc, vascon turun
0.05uq
13.40 TD 88/37 (54)
nadi 91 Hb7.0
Haemacele 500cc/30’ transfuse
PRC 3 kantong
16.00 Rembesan 50cc Koloid 500cc/30’
18.00 Ureum 89, creat-
inin 3.2
Lanjut KCL 50mEg/8jam (+NS100
-> 150u)
20.00 TD 138/74(89) Vascon stop
H10 : 23/05/09. Masalah selama Perawatan H10: produksi
kolostomi banyak.
Tabel 10.Jam Masalah Instruksi
10.00 Produksi colosto-
my >>
Luka op rembes,
warna hijau
Bedah diges! ve : aff 1 jahitan,
pasang colostomy bag
10.45 CVP +8.5 balans
( -)
Kristaloid 500cc/30’
11.05 T-piece trial , Sat
100%
Pro ekstubasi, dexamethason 2
amp
12.00 Ekstubasi
16.00 Produksi colosto-
my >>
Luka operasi rem-
bes,
Gan! colostomy bag, gan! balu-
tan
22.15 Balans – 702 CVP
+6
Gelofusin 500cc/30’
24.00 CM 3131 CK 4255 Gelofusin 500cc/30’
Dilakukan ekstubasi. Evaluasi thorax AP: ! dak tampak ke-
lainan pada cor/pulmo saat ini. Test Norit nega! f.
H11: 24/05/09. Masalah selama Perawatan H11: produksi
kolostomi banyak
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 42•
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 43•
Tabel 11.Jam Masalah Instruksi
10.00 Produksi colosto-
my >> ±300cc
15.00 CVP +5, urine pe-
kat
CM 1021 CK 1495
TD 99/65 (73) FN
85
Haemacele 500cc/30’
15.30 PT/APTT meman-
jang
Renc. Transfusi FFP 500cc (se-
dang pesan)
21.30 Transfusi FFP
22.00 Produksi jejunos-
tomi kanan
± 250cc warna
kuning
24.00 Balans +500cc
H12 : 25/05/09. Masalah selama Perawatan H12: Hipokale-
mia dalam koreksi
Tabel 12.Jam Masalah Tindakan
07.30 K : 2,9 Koreksi KCL 25 mEg/4
jam
08.59 CVP +6 cm H2O, urine
pekat
Asering 500cc - hae-
macele 500cc
11.00 CVP +9, urine pekat Haemacele 500cc/5 jam
KCL 50mEg/8jam
12.00 Yeyunostomi>>
encer warna kuning
Rawat luka
13.10 Pindah HCU bedah
Pemeriksaan Penunjang
24 April 2009 Abdomen 3 posisi.
Distribusi udara usus tampak meningkat, tak sam-
pai ke bawah. Psoas line tak tampak, preperitonial fat line
baik. Tampak air fl uid level/herring bone appearance (+).
Tak tampak free air. Tak tampak batu opak traktus urinarius.
Tulang-tulang baik. Kesan: ileus obstruk! f.
02/05/09 :
Asuhan Gizi : TB : 176 cm BB ideal : 68.4 kg, BB: 53 kg
Masalah: fi stel enterokutan
Assesment: Antropometri TB: 176cm BB: 53kg
BMI: 17.15, Biokimia: Hb 11.9, leukosit 15.800. Kesadaran
CM. Riwayat Diet : pola makan di rumah; makan ! dak tera-
tur, mual(-), muntah(-), merokok(+) BB biasanya 53kg.
Diagnosa Gizi: Peningkatan kebutuhan energi dise-
babkan adanya infeksi ditandai leukosit yang ! nggi, Pen-
ingkatan kebutuhan energy disebabkan BB yang kurang
ditandai BMI 17.15. Intervensi Gizi : diet cair rendah sisa +
makanan cair rendah sisa komersial (500kkal)
Tabel 13. Thorax AP :
11/05 Jantung ! dak membesar (CTR<50%)
Aorta baik, Medias! num superior ! dak melebar
Hilus kanan-kiri ! dak menebal
Corakan bronkhovascular kedua paru baik
Sinus kostofrenikus kanan-kiri lancip dan kedua leng-
kung disfragma baik
Jaringan lunak dan tulang-tulang baik
Kesimpulan : Tidak tampak kelainan radiologist pada
cord dan pulmo
15/05 Tampak area lusen avascular di lateral hemithorax
kanan dengan gambaran pleura visceral line.Jantung
kesan ! dak membesar
Aorta dan medias! num superior tak melebar
Trakea di tengah, kedua hilus tak menebal
Diafragma licin, sinus costofrenicus lancip
Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6
(proyeksi vena cava superior)
Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3
(proyeksi 1 corpus di atas carina
Kesimpulan :
Pneumothorax kanan
17/05 Sudah ! dak tampak area lusen avascular di lateral
hemithorax kanan, masih tampak penebalan garis
pleura di lateral hemithorax kanan. Jantung kesan ! -
dak membesar, Tampak infi ltrate di lapangan tengah
dan bawah paru kanan kiri terutama di sentral yang
bila dibandingkan dengan foto tanggal 15/05/09
bertambah
Diafragma licin, sinus kostofrenikus lancip
Aorta dan medias! num superior tak melebar
Trakea di tengah, kedua hilus suram
Terpasang CVC dengan ujung distal pada level Th6
(proyeksi vena cava superior)
Terpasang ETT dengan ujung distal pada level Th3
(proyeksi 1 corpus di atas carina)
Kesimpulan :
Dibandingkan dengan foto tgl 15/05/09 pneumotho-
rak kanan perbaikan
Infi ltrat bertambah dengan DD/ bronchopneumo-
nia, awal bendungan paru
(dr.Deddy/Anto/Ellius/Ica)
22/05 Inspirasi cukup, posisi simetris, CTR <50%
Aorta dan medias! num superior tak melebar
Trakea di tengah, terpasang ETT dengan ujung distal
se! nggi 3 corpus di atas karina.
Kedua hilus ! dak menebal, Corakan bronkovascular
kedua paru baik
Tidak tampak infi ltrate di kedua lapangan paru, Ked-
ua hemidiafragma licin, sinus kostofrenikus lancip
Jaringan lunak dan tulang-tulang baik
Kesimpulan : ! dak tampak kelainan pada cor/pulmo
saat ini
Hasil Kultur
Sputum: diterima 18/05/09 hasil 19/05/09. Pewar-
naan gram ; coccus gram (+) : pos. sedikit, Leukosit; 6-8/
LP,Epitel : 2-3/LP. Biakan : di terima 18/05/09, hasil 22/05/09
: pseudomonas Sp. Sensi! f : gentamycin, amikasin, se% azi-
dime, ciprofl oxacin, piperacil/tazobactam, cefepime, me-
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 •44•
ropenem, imipenen. Resisten: ce% riaxone, kanamycin ce-
fotaxime, cephalo! n. Darah : steril
Luka Operasi : diterima 22/05/09 hasil 26/05/09.
Escherichia coli. Sensi! ve : Amikasin, meropenem, imipe-
nem. Resisten: Gentamycin, sulbactam/ampicillin , cefo-
taxime, cephalo! n, ce% riaxone, kanamycin, ce% azidime,
piperacil/tazobactam, levofl oxacin, cefepime, cefpirom.
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki/26 tahun/53kg/176cm masuk ICU
RSCM dari OK- IBP dengan Post LE + pemasangan stoma a/i
fi stel enterokutan adhesiolisis, end ileostomi.
Assessment: ASA III dengan ko-morbid : SIRS ( leo-
kositosis 16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m,
takhipnea 24-28x/m) Hipoalbumin (2,1), undernourished
(BMI 17.15), Hiponatremia:121. Anestesi : General Anestesi
: Isofl uran + N2O. Lama Operasi : 13 jam 30 menit, Lama
anestesi : 14 jam 45 menit. Masalah intra Op: perdarahan
>>, hemodinamik ! dak stabil, operasi dihen! kan karena he-
modinamik ! dak stabil (MAP 40-50), Cairan masuk : kristal-
loid 14.500cc, koloid 3000cc, PRC 1176cc, FFP 863cc,Keluar
: perdarahan 4000cc, urine 2250cc/14jam. Durante operasi
di dapatkan hasil AGD 7.414/37.8/459.1/23.7/-0.3/98.9% .
Hb/Ht : 3,1/10.1, Kalium :3.8/ Natrium: 134/ Chlorida :100.
Tiba di ICU, tetap dilakukan respiratory suppor, CMV : RR 12
TV 350 PEEP +5 fi O2 60%, MAP tetap di pertahankan stabil
berkisar 50-60 mmHg, dengan Nor-epinefrin 0.1ug/menit.
AGD : pH :7.308/37.7/333.7/-6.8/HCO3 18.3/SaO2 98.4%,
Hb: 6,7, Ht 19,7 Eri 2.23, leuko 18.6 Trombo 112.000, SGOT
11,SGPT 12, ureum 21, crea! nin 0.3, PT 27.5/13.2 APTT
80.8/35.7, Na: 134/ Kalium 3,7/Chlorida 101, GDS 333.
Didapatkan Unstabile Hemodinamic ec.perdarahan, Post
LE + pemasangan stoma a/i fi stel enterokutan adhesiolisis,
end ileostomi + SIRS + Undernutrisi, Hipoalbumin. Masalah:
hemodinamik ! dak stabil, perdarahan dan hemodilusi mas-
sive, gangguan faal hemosta! s/koagulopa! , operasi dan
Anestesi lama ( 14 jam 45 menit), hypothermi suhu 34-35oC.
Durante operasi di dapatkan perdarahan terus
menerus akibat ! ndakan pembedahan, dilakukan resusi-
tasi cairan dengan menggunakan kristalloid, koloid, trans-
fusi darah dan komponen darah. Keadaan hemodilusi dan
transfusi masif mengakibatkan dilusi dari faktor-faktor pem-
bekuan dan trombosit disertai hipotermia, mengakibatkan
koagulopa! . Perdarahan yang terjadi dan koagulopa! send-
iri menyebabkan perdarahan yang terus-terus dan tetap
membutuhkan hemodilusi dan transfusi massif.
Perdarahan juga mengakibatkan ! ssue hypoxia,
terjadi asidosis yang juga memicu terjadinya koagulopa! .
Koagulopa! disertai hipotermia dan asidosis di kenal seb-
agai ‘lethal triad’ karena dapat menyebabkan meningkat-
nya angka kema! an.
Peneli! an yang dilakukan oleh T.Kasai MD10 menunjukkan
bahwa suhu tubuh menurun pada pasien dalam pengaruh
anestesia. Severe hypothermia sering terjadi pada oper-
asi yang lama termasuk abdominal atau thoracic surgery,
dibandingkan dengan ! ndakan prosedur yang lebih seder-
hana dan menyebabkan berbagai komplikasi. Dari 862
pasien ter-anestesi (ASA status fi sik I or II) pada abdominal
surgery dibawah general anesthesia, kira-kira setengahnya
berkembang menjadi hipotermia (suhu in! <36.0°C), sep-
er! ga menjadi hipotermia dengan suhu in! <35°C selama
pembedahan. Penatalaksanaan pemberian cairan dan kom-
ponen darah pada perdarahan seper! terlihat pada gambar
di bawah ini:
Gambar 1. Permission from european society of haema-
pheresis. Tatalaksana pemberian cairan dan komponen da-
rah.
Gambar 2. The interplay between metabolic acidosis, hypo-
termia and coagulopaty in trauma
Sessler11 menyarankan suhu in! intraopera! f harus
dipertahankan pada suhu >36.0°C. Forced-air warming, IV
fl uid warming , dan preanesthe! c warming efek! f mence-
gah hipotermia intraopera! f. Untuk memprediksi terjadinya
hipotermia intraopera! f selama periode dilakukan rou! ne
thermal care pada kamar operasi dengan suhu 22°–24°C,
mempergunakan circula! ng-water ma& ress, dipanaskan
pada 38°C diletakkan sebagai alas pasien. Kulit pasien ditut-
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 45•
up dengan surgical drapes, heat-moisture exchanger (HME)
pada tracheal tube. IV fl uids, dihangatkan mendeka! suhu
tubuh. Pengukuran suhu in! tubuh se! ap 5 menit.
Pada pasien-pasien yang menerima transfuse mas-
sif RBC juga diberikan FFP, trombosit, fi brinogen concen-
trate atau cryoprecipitate. Tidak ada guideline yang univer-
sal pada pemberian komponen hemosta! k. Rekomendasi
yang dianjurkan berdasarkan pengalaman, pendapat dan
personal experiment dibandingkan evidence base dari ran-
domized controlled trials.
Tabel 14. Guidelines for replacement therapy in pa! ents
with coagulopathy, by American Society of Anesthesiology
Task Force on Blood Component Therapy. Coagula! on parameter Recommended therapy
Prothrombin ! me >1.5 ! mes
normal
Fresh frozen plasma,
prothrombin complex
concentrate
Ac! vated par! al throm-
boplas! n ! me >1.5 ! mes
normal
Fresh frozen plasma
Fibrinogen <1.0 g litre_1 Fibrinogen concentrate,
cryoprecipitate
Platelets <50 · 109 litre_1 Platelets
Pada perawatan hari ke-3 pasien mengalami hen!
sirkulasi di sebabkan karena perdarahan dari luka operasi
dan stoma yang banyak, dan resusitasi yang diberikan ! -
dak dapat mengejar kehilangan darah yang begitu banyak.
Pasien jatuh dalam keadaan syok hipovolemia kemudian
sirkulasi gagal dan hen! sirkulasi. Pada saat itu di cek kadar
Hb 1,5gr%.
Mekanisme transfor oksigen terdiri dari : Sistem
pernapasan yang membawa O2 udara sampai ke alveoli, ke-
mudian difusi masuk kedalam darah, Sistem sirkulasi yang
membawa darah berisi O2 ke jaringan, dan sistem O2- Hb
dalam eritrosit dan transfor kejaringan. Gangguan oksige-
nasi menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah
( hipoksi ). Pada perdarahan dan syok terjadi gabungan
hipoksia stagnan dan anemik. Kandungan oksigen arteri (
Oxygen cotent = CaO2 ) menurut rumus Nunn- Freeman;
CaO2 = ( Hb x Saturasi O2 x 1,34 ) + ( pO2 x 0,003 )
Hb = kadar hemoglobin ( g % )
Sa O2 = Saturasi oksigen ( % )
1,34 = konstanta ( banyaknya ml oksigen yang terikat se! ap
1 g Hb )
pO2 = tekanan par! al oksigen
0,003 = konstanta kelarutan oksigen dalam plasma
Pengiriman oksigen (Oxygen delivery = DO2 )
adalah banyaknya oksigen yang disuplai kejaringan yang
besarnya ditentukan oleh curah jantung ( Cardiac output =
CO ) dan banyaknya kandungan oksigen arteri
DO2 = CO x CaO2
DO2 = oxygen delivery
CO = Cardiac out put ( Stroke volume x frekwensi )
CaO2 = Oxygen content.
Dalam keadaan normal Hb 15 g%, SaO2 100% dan
CO 5 L / menit maka banyaknya kandungan oksigen adalah
50 x 15 x1 x 1,34 = 1005 ml /menit. Jika terjadi perdarahan
akut maka unsur- unsur yang dapat berkompensasi adalah
kadar Hb dan curah jantung . Kompensasi Hb sangat lam-
bat dan ! dak dapat mengatasi krisis akut, Kompensasi yang
paling cepat adalah Curah jantug yang dapat naik 300% jika
volume sirkulasi ! dak hipovolemik ( Venous return normal
) Setelah keadaan normovolemi tercapai kadar Hb menjadi
lebih rendah, tetapi karena venous return normal CO dapat
naik. Misalnya Hb 5 g% , SaO2 100 % dan CO naik 15 L/me-
nit , maka oksigen tersedia = 150 x 5 x 1 x 1,5 = 1003 ml /
menit. Dulu diyakini bahwa kadar Hb harus lebih ! nggi dari
10 g% agar tersedia oksigen untuk memenuhi kebutuhan
organ vital ( otak , jantung ) dalam keadaan stess, Sekarang
dibuk! kan bahwa Hb 6 g% masih dapat mencukupi kebutu-
han oksigen jaringan.
Pada pasien ini pada saat perdarahan dan resusi-
tasi yang diberikan, didapatkan kadar Hb 1,5gr%, walaupun
2 kali mengalami hen! sirkulasi ternyata kompensasi curah
jantung masih baik dikombinasi dengan volume yang diberi-
kan serta obat yang cepat (atropine, adrenalin, dosis nor
adrenalin dinaikkan) menjadikan pasien ini tetap bertahan.
Pada hari perawatan ke-4, Post hen! sirkulasi ter-
jadi komplikasi pneumonia. Ven! lator Associated Pneu-
monia adalah pneumonia nosokomial yang dihubungkan
dengan penggunaan ven! lasi mekanik yang mana terjadi
setelah pemakaian ven! lator mekanik sedikitnya 48 jam
atau lebih dari saat masuk rumah sakit dan ! dak dalam
masa inkubasi3. Diagnosis ditegakkan berdasarkan Clinical
Pulmonary Infec! on Score (CPIS) for Diagnosis of Nasoco-
mial Pneumonia.
Pada pasien ini sebelum dilakukan operasi atau se-
belum di intubasi serta gambaran CXR yang dalam batas
normal, ! dak menunjukkan tanda-tanda pneumonia atau
dan CIPS <6,begitupun pada saat hari pertama masuk ICU,
evaluasi CPIS < 6. Setelah perawatan hari ke-3, dilakukan
kembali evaluasi CPIS >6 dan penggunaan ven! lator > 48
jam. Berdasarkan suhu 38,5’C score: 1, leukosit 43.900:
2,sekret purulent:2, PF ra! o232: 2, CXR infi ltrat baru: 2 dan
pemeriksaan mikrobiologi : 2 (hasil sputum didapat-
kan Pseudomonas sp). Berdasarkan bagan di bawah, ke-
mungkinan penyebabnya adalah translokasi bakteri akibat
hipoperfusi splanik pada saat sirkulasi gagal.
Tabel 15. Clinical Pulmonary Infec! on Score (CPIS) for Diag-
nosis of Nasocomial Pneumonia
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 46•
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 47•
Gambar 3. Classifi ca! on scheme for intraabdominal infec! ons
Tabel 16.Day Parameter Value for Score of:
1 Point 2 Points
1 Temp (0C) 38,5 to 38,9 ≥39 or ≤36White Blood Cells/
mm3
<4000 or
>11000
<4000 or >11000
or ≥50% bandsSecre! on Non Purulent PurulentPaO2/FiO2 ≤240 and no ARDSChest X Ray Infi l-
trates
Diff use or
Patchy
Localized
3 Temp (0C) 38,5 to 38,9 ≥39 or ≤36White Blood Cells/
mm3
<4000 atau
>11000
<4000 or >11000
or ≥50% bandsSecre! on Non Purulent PurulentPaO2/FiO2 ≤240 and no ARDSChest X Ray Infi l-
trates
Diff use or
Patchy
Localized
Progression of
Chest X Ray Infi l-
trates
Yes (no ARDS or
CHF)
Sputum Culture > 1+ Culture > 1+ and
same organism on
Gram Staining
Tabel 17.
Hari 1 2 4 5 – 6 - 7 10-11-12
PaO2 459 333 139 99 109 183 175. 172 147
FiO2 1 0.6 0,6 0,45 0,45 0,45 0,45 0,4 0,4
PEEP 5 5 6 6 6 6 6 5 5
PF ra! o 459 555 232 221 244 380 389 431 368
Pada perawatan hari ke-3, pasien juga mengalami
suatu kondisi AKI atau Acute Kidney Injury akibat aliran da-
rah ke ginjal berkurang pada saat sirkulasi gagal.
Diagnosis di tegakkan berdasarkan:
Tabel 18.
RIFLE Kriteria Krea! nin
Serum
Kriteria urin output
Risk
Injury
Gagal
Peningkatan Cr
serum≥1,5x base-
line atau penurunan
GFR≥25%
Peningkatan Cr
serum≥1,5x base-
line atau penurunan
GFR≥50%
Peningkatan Cr
serum≥1,5x baseline
atau penurunan GFR≥
75%
atau Cr ≥ 354umol/L
dengan peningkatan
akut sekurangnya
44umol/L
<0,5 mL/kg/h ≥ 6 jam
<0,5 mL/kg/h ≥12jam
<0,5 mL/kg/h ≥24jam
atau anuria ≥ 12 jam.
AKIN Kri-
teria
Kriteria krea! nin serum Kriteria Urin Output
Stage 1
Stage 2
Stage 3
Peningkatan Cr serum
≥ 26,2umol/L atau
≥150-199%(1,5-1,9kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
200-299%(>2-2,9 kali)
baseline
Peningkatan Cr serum
≥354umol/L dengan
peningkatan akut seku-
rangnya 44umol/L atau
dimulainya RRT
<0,5 mL/kg/h ≥ 6 jam
<0,5 mL/kg/h ≥12jam
<0,5 mL/kg/h ≥24jam
atau anuria ≥ 12 jam
Pada pasien ini di dapatkan hasil evaluasi pemerik-
saan kadar krea! nin dan observasi dan monitoring produk-
si urine seper! di bawah ini :
Jam 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15H-3 - - - - - 20 - - 25 -
16 17- 5
18 19 20 21 22 23 24 1 2 3
- - 150 - - 150 - - 110 -
4 5- 100
Jumlah total produksi urine 560/24 jam atau 0.4cc/
jam/kgBB atau < 0,5 mL/kg/h ≥ 6 jam atau < 0,5 mL/kg/h ≥
12 jam, Krea! nin meningkat 2.6 X dari nilai awal/ sebelum-
nya, berdasarkan RIFLE masuk kriteria Injury.
Tabel 19. Evaluasi pemeriksaan Ureum/Krea! nin dan
produksi Urine
Hari 2 3 6 12
Ureum 21 42 26 14
Crea! nin 0.3 0.8 0.5 0.3Cc/jam 0.6 0.4 2.8 1.7
Cc/24j 850 560 3670 2050
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 48•
Gambar 4. Patogenesis Ven! lator-Associated Pneumonia
Peningkatan Liver Func! on Test/LFT pada pasien ini
disebabkan karena proses hemolisis akibat perdarahan dan
pemberian transfuse massif dan pada perjalanan selanjut-
nya cenderung kembali mendeka! normal tanpa terapi me-
dikamentosa.
Tabel 20. Evaluasi pemeriksaan Liver Func! on Test
Hari/Tgl H-6/08 H1/15 H5/19 H6/20 H10/24 H12/26 H16/30
SGOT/AST 30 11 587 130 16 18 16
SGPT/ALT 20 12 905 525 105 59 26
Bil.Total 4.65 6.47 7.61 4.47
Bil.Direct
Bil.Indirect
3.52
2.95
4.76
2.85
2.83
1.64
Health Care Associated Intra-abdominal Infec! ons(1)
Intra-abdominal infec! ons (IAIs) adalah golongan
penyakit yang sering terjadi pada pasien bedah. Mortalitas
sekitar 25–35% mungkin dapat meningkat menjadi 70%.
Mortalitas secondary peritoni! s dengan severe sepsis atau
sep! c shock sekitar : 30%.
Kebanyakan IAIs dapat dikontrol secara efek! f dan
dapat dihubungkan dengan penurunan angka kema! an
yang rendah dengan cara : membuang atau memperbaiki
infected focus, treatment with narrow-spectrum pathogen-
specifi c an! microbial, pembedahan untuk terapi defi ni! ve
source control.
IAI didefi nisikan sebagai infeksi dari intra-abdom-
inal viskus dengan atau tanpa mengenai peritoneum, dan
disertai dokumentasi systemic infl ammatory response syn-
drome (SIRS). Abdominal sepsis adalah severe sepsis atau
sep! c shock yang disebabkan secondary IAI.
Peritoni! s didefi nisikan berdasarkan penyebab
atau meluasnya infeksi. Pada Primary peritoni! s, sumber in-
feksi ! dak berasal dari GI tract dan ! dak ada kelainan ana-
tomi pada intra-abdominal viscera. Secondary peritoni! s
disebabkan oleh infec! on abdominal viscera sebagai kon-
sekuensi dari perforasi, ischemic necrosis, atau penetra! ng
injury. Ter! ary peritoni! s: peritoni! s yang tetap ada setelah
lebih dari satu ! ndakan source control procedure yang ga-
gal.
Health care-Associated –IntraAbdominal Infec-
! ons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang di-
rawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien
yang sudah mendapat terapi an! bio! ka sebelumnya.
Semua pasien postopera! ve IAIs merupakan HA-IAIs
Pathogens isolated from complicated intra-abdominal in-
fec! ons:
Gram-nega! ve : Escherichia coli, Enterobacter spp,
Klebsiella spp, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Aci-
netobacter spp. Gram-posi! ve : Streptococci, Enterococci,
Coagulase-nega! ve staphylococci, Staphylococcus aureus.
Anaerobic bacteria : Bacteroides spp, Clostridium spp. Fun-
gi : Candida spp. Healthcare-Associated –IntraAbdominal
Infec! ons/ HA-IAIs berkembang pada pasien-pasien yang
dirawat di rumah sakit, perawatan yang lama atau pasien
yang sudah mendapat terapi an! bio! ka sebelumnya.
Semua pasien postopera! ve IAIs merupakan HA-IAIs
Diagnosis
n Pada pasien sadar didapatkan tanda-tanda SIRS
disertai gejala abdominal akut
Pada pasien-pasien koma, mungkin ! dak didapat-
kan gejala, menyebabkan kesulitan diagnosis. Ad-
anya infeksi disertai dengan kondisi asidosis yang
! dak dapat dijelaskan penyebab lainnya, organ
dysfunc! on, inability tolerate enteral feeding,
kebutuhan cairan yang ! dak dapat dijelaskan ha-
rus di kaji sebagai IAI, terutama pada pasien yang
menjalani abdominal surgery.
n Pemeriksaan fi sik memerlukan konfi rmasi abdomi-
nal imaging,
n Diagnosis mikrobiologi diagnosis CA-IAIs ! dak ter-
lalu bermanfaat karena biasanya sudah mendapat-
kan terapi an! bio! k empirik sebelum diambil kul-
tur yang pertama dari abdomen.
Penatalaksanaan
n Source control,
n Restora! on of GI tract func! on,
n Systemic an! microbial therapy,
n Support of organ func! on
Recommended an! microbial regimens for the treatment
of intraabdominal infec! ons:
Single-drug regimens:
n β-lactam/-lactamase inhibitor combina! ons :
Ampicillin/sulbactam, Piperacillin/tazobactam,
Ticarcillin/clavulanic acid
n Carbapenems : Imipenem-cilasta! n,
Meropenem, Ertapenem
n Cephalosporins : Cefotetan, Cefoxi! n
Combina! on regimens:
n Aminoglycoside plus metronidazole
n Aztreonam plus clindamycin
n Cefuroxime plus metronidazole
n Fluoroquinolone plus metronidazole
Pada pasien ini di diagnosis Healthcare associated
Intra Abdominal infec! on + Peritoni! s Ter! ary berdasarkan;
riwayat operasi sebelum masuk RSCM, dari luka operasi ke-
luar faeces pre-op terdapat tanda-tanda SIRS ( leokositosis
16.300,Suhu 37.6-38.5oC, takikardia 96-100x/m, takhipnea
24-28x/m) disertai kegagalan ! ndakan pembedahan dua
kali di RSCM.
Status Nutrisi: Undernutri! on
Berdasarkan : BB : 53 kg/176 cm
BMI : Body Mass Index = Weight(kg)/Height (m)2 = 53/
(1.76)2 = 17.1
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 49•
Nutri! onal Support pada pasien Pembedahan harus mem-
perha! kan dua komponen pen! ng :
1. Efek starvasi – eff ect dari penyakit, pembatasan pe-
masukkan oral, atau keduanya
2. Efek metabolik dari stress/infl amasi, Hiperkatabo-
lisme, anabolisme menurun
Perubahan Metabolik yang terjadi :
1. “ebb phase”: 12-24 jam, ditandai dengan fever, ↑
konsumsi O2, ↓ suhu tubuh, vasokonstriksi
2. “fl ow phase”: acute illness, hiperkatabolisme,
penggunaan lemak sebagai sumber energi utama
3. “anabolic phase”: dimulai saat masa penyembu-
han, ditandai dengan normalisasi tanda vital, per-
baikan nafsu makan dan diuresis.
Goal of Nutri! onal Support: maintain vital organ structure
and func! on
Tabel 21. Es! ma! on of energy requirement in adult surgy-
cal pa! ent
Uncomplicated Complicated/
stressedEnergy
(Kcal/kg/day)
30 34 – 40
53kg = 1590 - 2120
kkal
Protein (g/kg/day) 1.3 1.3 – 2
53kg = 68.9-106 grVolume
( ml/kg/day)
20 - 40 20 – 40
53 kg = 1060 – 2120
cc
Pada perawatan selama di ICU pasien mendapat-
kan nutrisi bertahap dimulai dengan parenteral, kemudian
enteral secara bertahap. Sayangnya terapi nutrisi yang di-
berikan ! dak op! mal. Pasien tetap berada dalam kondisi
hiperkatabolisme oleh karena selama perawatan di ICU
mengalami dua kali stress pembedahan dan hen! sirkulasi
serta hemodinamik ! dak stabil dalam jangka waktu lama.
Tabel 22. Pemberian Nutrisi selama perawatan di ICU- RSCM
Hari/tgl 2-3 4-5 6/20 7-8 9-12
KaenMg3
1000cc
400 kal
1000cc
400kal
1000cc
400kal
Combifl ex
1000cc
1000
Albumin
TE 1000 - 1000 kal 1000kal Albumin 1000
CF D5% - 30cc/j puasa 50cc/jam -P e p t a -
men - - 50cc/j 50cc/j
GDA 113 332 94 106 121
Natrium 137 141 136 3.2 3.4
Kalium 3.9 3.7 3.2 136 130
Cl 108 112 98 98 91
Albumin 2.20 1.10 2.25 2.03
1.99 –
2.26
Terapi An! mikrobial
Pada pasien ini diberikan Ce% azidime 2 x 1 gr, Met-
ronidazol 1 x 1500mg dan Levofl oxacin 1 x 500mg.iv. An! -
bio! ka yang di berikan pada pasien ini disesuaikan dengan
Guideline Intra Abdominal Infec! ons (IDSA 2003) dan VAP
(ATS/IDSA 2004). Setelah hasil kultur diperoleh disesuaikan
dengan hasil kultur dan an! bio! ka sebelumnya dihen! kan.
Prognosis
Tabel 23. Criteria of Dysfunc! on/Gagal menurut Edwin
A.Deitch MD,
Sedangkan menurut Knaus, et al. (1986), ada
hubungan langsung antara jumlah gagal organ sistem dan
mortalitas.
Tabel 24. Data MortalitasΣOSF D1 D2 D3
1 22% 31% 34%
2 52% 67% 66%
3 80% 95% 93%
D4 D5 D6 D7
35% 40% 42 41
62% 56% 64 68
96% 100% 100 100
Pada pasien ini terjadi disfungsi pulmoner (pneu-
monia), hepa! k, renal (AKI), hematologi (koagulopa! ), dan
kardiovaskular (respons hipodinamik yang membutuhkan
dukungan inotropik), sehingga terdapat lebih dari 3 organ
gagal yang hampir semuanya terjadi pada hari ke-3 (D3).
Menurut Knaus et al, diperkirakan angka kema! an menca-
pai 93%. Kasus ini termasuk ke dalam 7%, kelompok pasien
be yang hasil selamat dan pindah ke high care unit (HCU).
Walaupun berhasil selamat, kewaspadaan dan
observasi serta pengawasan harus dilakukan secara ketat,
karena status nutrisi yang belum maksimal dan pasien ma-
sih mempunyai peluang besar untuk terjadinya Sepsis ab-
dominal dapat meningkatkan presentase perkiraan mortali-
tas pada pasien ini.
Perdarahan Terkait Koagulopati pada Infeksi Intraabdominal I Coagulopathy Bleeding in Intraabdominal Infection
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 50•
SIMPULAN
• Koagulopa! merupakan kondisi yang serius dan me-
merlukan penanganan yang sejak awal/dapat dicegah
• Rantai hubungan antara asidosis metabolik, hipoter-
mia, dan koagulopa! progresif harus dian! sipasi sejak
dini
• Gagal sirkulasi yang terjadi akibat syok hipovolemik se-
harusnya dapat di an! sipasi dengan persiapan darah
dan komponen darah lebih awal
• Komplikasi akibat sirkulasi gagal dapat dian! sipasi dan
dilakukan penatalaksanaan yang op! mal
• Perlunya diskusi antara intensifi s, ahli bedah, dan ahli
gizi dalam rangka perbaikan status nutrisi pasien
• Perlunya komunikasi anestesi dan sejawat bedah pre-
opera! f maupun periopera! f untuk mencegah kom-
plikasi koagulopa! yang terjadi
DAFTAR PUSTAKA
1. Pieracci FM, Barie PS. Management of severe sepsis of
abdominal origin. Scand J Surg 2007;96:184-96.
2. Calandra T, Cohen J. Interna! onal sepsis forum defi ni-
! on of infec! on in the ICU Consensus Conference. 2005.
3. Kollef M. Ven! lator associated pneumonia. Chest
2005;128:3854-62.
4. Ward N. Nutri! on support to pa! ents undergoing gas-
trointes! nal surgery. Nutr J 2003;2:18.
5. Joseph S. Guidelines for the selec! on of an! -infec! ve
agents for complicated intra-abdominal infec! ons.
IDSA 2003.
6. Chaudhry R. The challenge of enterocutaneous fi stulae.
MJAFI 2004;60:235-8.
7. Leah. Transfort oxygen in ABC of Oxygen. BMJ 1998;
317.
8. Fernando. Determinants of postopera! ve acute kidney
injury. Cri! cal Care 2009;13:79.
9. Stainsby D, MacLennan S, Thomas D. Guidelines on the
management of massive blood loss. BJH 2006;135:634-
41.
10. Kasai T. Preopera! ve risk factors of intraopera! ve
hipotermia in major surgery under general anesthesia.
Anesth Analg 2002;95:1381-3.
11. Sessler DI. Mild periopera! ve hipotermia. N Engl J Med
1997;336:1730-7.
DIAH WIDYANTI
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 51•
ABSTRACT
Lung oedema is a high frequent case in ICU, includ-
ing cardiogenic or non cardiogenic (ARDS). Invasive hemo-
dinamic monitoring is needed to dis! nguish both of those
types, it is also needed to treat this case. This case report
shows a woman, 26 years old, post sec! o caesarea, admit-
ted with lung oedema on VSD disorder. Along the inpa! ent
period, she got VAP sepsis. It is important to dis! nguish lung
oedema cause of cardiogenic or ARDS (VAP), and how to
treat her in ICU that has no invasive hemodynamic monitor-
ing device.
Keywords: Oedema, VSD, VAP, sepsis
ABSTRAK
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan peman-
tauan hemodinamik invasif. Begitu pula dalam penatalak-
sanaannya sangat diperlukan pemantauan parameter he-
modinamik. Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita,
26 tahun, paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan se-
lama perawatan mengalami sepsis VAP. Yang menjadi ma-
salah dalam penatalaksanaan kasus ini adalah membeda-
kan edema paru ini sebagai kardiogenik atau ARDS ( akibat
VAP ) dan bagaimana penatalaksanaannya di ICU yang ! dak
dilengkapi dengan pemantauan hemodinamik invasif.
Kata kunci: Edema, VSD, VAP, sepsis
PENDAHULUAN
Pemantauan hemodinamik merupakan faktor yang
sangat pen! ng di ICU dan merupakan salah satu faktor
pen! ng yang menentukan keberhasilan dalam mengelola
kasus-kasus kriris di ICU. Seper! diketahui, ! dak semua ICU
di Indonesia diperlengkapi dengan pemantauan hemodin-
amik invasif. Banyak ICU hanya memiliki CVP sebagai sarana
pemantauannya. Untuk beberapa kasus, CVP dikombinasi
dengan manuver lain (PLR) cukup memadai, tetapi untuk
kasus-kasus tertentu khususnya yang berhubungan dengan
jantung (gagal jantung, edema paru kardiogenik, tampon-
ade, dan lain-lain) maka keterbatasan tersebut cukup me-
nyulitkan.
Edema paru cukup sering terjadi di ICU, baik kar-
I LAPORAN KASUS I
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP
Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis
Maria Irawaty
Maria IrawatyAlumnus Program Pendidikan Intensive Care
Universitas Indonesia RSCM
diogenik maupun non kardiogenik (ARDS). Kedua jenis ede-
ma paru ini berbeda secara patogenesis dan patofi siologi
meskipun secara klinis sulit dibedakan. Bahkan sering ked-
ua jenis edema paru ini terjadi bersamaan. Membedakan
kedua jenis edema paru tersebut membutuhkan peman-
tauan hemodinamik invasif, seper! diketahui secara defi -
nisi ARDS harus memenuhu syarat PAOP < 18. Begitu pula
dalam penatalaksanaannya sangat diperlukan pemantauan
parameter hemodinamik.
Laporan kasus ini melaporkan seorang wanita, 26
tahun paska seksio sesarea yang masuk dengan edema
paru dengan penyakit dasar kelainan jantung VSD dan se-
lama perawatan mengalami sepsis VAP. Kondisi sepsis pada
kasus ini sulit teratasi meskipun sudah mendapatkan terapi
an! bio! ka sesuai hasil kultur, mengalami rekurensi dan su-
perinfeksi lalu kemudian meninggal.
Yang menjadi masalah dalam penatalaksanaan ka-
sus ini adalah membedakan edema paru ini sebagai kardio-
genik atau ARDS ( akibat VAP ) dan bagaimana penatalaksa-
naannya di ICU yang ! dak dilengkapi dengan pemantauan
hemodinamik invasif.
ILUSTRASI KASUS
Pasien adalah Ny. M, 26 tahun, masuk RS (IGD)
pada tanggal 31/1/10 jam 02.00 dan masuk ICU pada tang-
gal 31/ 1/10 jam 05.00 dengan keluhan utama sesak napas.
Sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit (MRS),
pasien sering merasa sesak terutama bila melakukan peker-
jaan rumah sehari-hari. Sejak 1 hari sebelum MRS pasien
merasa sesak yang semakin bertambah berat. Sesak ! dak
disertai batuk, demam dan ! dak berbunyi. Beberapa jam
sebelum MRS OS merasa sesak semakin bertambah hebat.
Pasien hamil cukup bulan, ANC teratur ke bidan. Sejak usia
kehamilan 4 bulan pasien dikatakan darah ! nggi. Riwayat
kaki bengkak, air kencing berbuih disangkal. Gerak janin ma-
sih dirasakan, pandangan kabur disangkal. Riwayat penyakit
dahulu pasien sebagai berikut. Sejak kecil dikatakan denyut
jantung OS tampak keras. Sejak 3 tahun ini os sering merasa
sesak bila malam hari sehingga harus ! dur dengan 2 bantal.
Pemeriksaan Fisik dan penunjang (masuk ICU):
Pasien dari Kamar Operasi pasca-SC. Tampak sakit
berat, kesadaran DPO, TD 150/87, Nadi 150x/menit/ RR
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 52•
16x/m dengan bagging 02 10 l/menit, SO2 100%. Suhu
36,8C.CVP 16. Paru, sonor seluruh paru, auskultasi ditemu-
kan ronki basah diseluruh paru. Jantung , tampak pulsasi di
parasternal, epigastrium dan ictus cordis. Ictus melebar, tak
kuat angkat,thrill +, Pulsasi di PS kiri , thrill +, konfi gurasi jan-
tung membesar ke kiri dan kanan, pinggang jantung menda-
tar. BJ I-II, murmur sistolik ejeksi di SIC ¾ grade 4/6.Pung-
tum maksimum di PS Kiri. Abdomen, Rata, supel , hepar dan
lien tak teraba, pekak sisi normal dan pekak alih ! dak ada,
bising usus (-). Ekstremitas tak sianosis, clubbing (-), hangat.
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium
Hb/Ht/L/Tr 13,6/41/22700/186000
SGOT/SGPT/GDS 100/30/161
Ur/cr/Na/K/Cl/ 31/1,5/135/5,4/102
AGD
PaO2/FiO2
7,14/62,2/125/-11,1/19,1/96,3
200
Assesment
Pasca SC, edema Paru ec curiga Penyakit Jantung Katup,
Dd/ PEB
Rencana
KAEN 3B, puasa CF (CF = clear fl uid) 60 cc, MC (MC = makan-
an cair) 30 cc/jam, morfi n bolus 2 mg dilanjutkan 1 mg/jam,
dormicum 1 mg/jam, elevasi 30-45�, rani! din 2x 50 mg IV,
respirasi : PC 16/14x/+8/60%, Amoxyclav 3x1 gram.
Catatan Kemajuan
H 1
Hemodinamik ! dak stabil, cenderung turun ( MAP
50-60mmHg). Pasien diberi loading koloid 500cc/1jam
yang diulang , tetapi CVP dan tekanan darah cenderung tu-
run, Kemudian OS diberi vasopresor noradrenalin sampai
0,8ucg/kg/min dan dobutamin 10ucg/kg/menit sehingga
MAP dapat dipertahankan 65-70 mmHg. Respirasi ditopang
dengan mode PC18/50%/16x/menit/+10/50%. Saturasi sta-
bil 90-100%. Ra! o PaO2/FiO2 200 . Mode ven! lator kemu-
dian menjadi PSIMV 15/10x/50%/+5 /PS 14.
H 2-3
Hemodinamik membaik, vasopresor dan inotropik
di! trasi turun dan kemudian di hen! kan hari ke! ga. Respi-
rasi ditopang dengan ven! lasi mekanik dengan mode SIMV
12/10x/50%/+5/PS 12 dan di weaning sampai PS 6/+5/40%.
Ra! o PaO2/FiO2 288.SvcO2 72,2% Pasien mendapatkan fu-
rosemid 3x20mg untuk mempertahankan balans nega! ve.
Pasien dilakukan ekhokardiografi dengan hasil kesan LVH,
AS mild, PE mild EF 80%, LV fungsi baik . Hasil tersebut ! dak
sesuai dengan penampilan klinis pasien.
Direncanakan untuk melakukan TEE. Pada hari ke-
! ga suhu tubuh cenderung naik ( 38,5), sputum berubah
menjadi purulen, tetapi leukosit cenderung turun diban-
dingkan saat masuk( 11700). Pasien dicurigai sebagai VAP,
direncanakan untuk memeriksa procalcitonin dan rontgen
thoraks ulang.
H 4
Pasien dilaporkan sputumnya berbercak darah me-
rah muda, dengan gambar rontgen edema paru kesan ber-
kurang ,infi ltrat bertambah. Direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan ulang lekosit dan procalcitonin.
H 5
Hemodinamik stabil tanpa topangan, suhu > 38,
sputum purulen tetapi lekosit menurun dibandingkan hari
pertama ( 11000), dengan procalcitonin meningkat ( 1,99).
Pasien didiagnosis mengalami VAP dengan faktor risiko
MDR dan diberi an! bio! k meropenem dan gentamicin se-
bagai empiris untuk VAP, tetapi an! bio! ka belum terbeli.
Indeks oksigenisasi rela! f baik ( stabil > 250) dan topangan
ven! lator dapat diweaning menjadi CPAP +5/40%.
H 6-9
Suhu semakin meningkat ( 38-39) dengan WOB
yang meningkat, ven! lasi mekanik kembali dengan mode
PS 10/+8/40%. An! bio! ka empiris sudah terbeli.
H 10
TEE dengan hasil VSD perimembranosa+AR mild
L to R shunt. Direncanakan untuk melakukaan AMVO.Hari
ini juga keluar hasil kultur sputum yaitu acinetobacter bau-
manii An! bio! ka kemudian dideekskalasi sesuai hasil kultur
resistensi test yaitu ampicilin sulbactam.
H 12
Rontgen thorax tampak perburukan, kesan infi ltrat
bertambah , suhu masih di atas 38, tetapi jumlah lekosit
cenderung turun ( 10460 ). Dipikirkan apakah VAP yang
memburuk atau edema parunya yang bertambah. Dilaku-
kan pemeriksaan pro BNP, procalcitonin dan kultur ulang.
An! bio! ka rencana digan! dengan piperacilin tazobactam
4x4,5gram,dan dosis NTG dinaikkan menjadi 10ucg/menit
dengan terlebih dahulu mengambil bahan kultur ulang.
Direncanakan untuk trakeostomi.
H 13
Hasil ProBNP 707 sedangkan Procalcitonin <0,5.
Dosis NTG di! trasi naik sampai 10ug/min. An! bio! ka ma-
sih dilanjutkan karena suhu badan cenderung turun setelah
an! bio! ka digan! .
H 14
Hb 8,5, dan SVcO2 65, dilakukan transfusi PRC
500cc. Suhu sudah ! dak febris ( stabil < 37,5 C)
H-16
SVcO2 71 ,ProBNP 445. NTG di! trasi turun sampai
5mcg/min. Pewarnaan gram dan kultur sputum ! dak dite-
mukan pertumbuhan kuman. Rontgen Thorax ulang infi ltrat
bertambah dibandingkan rontgent hari keduabelas.
H 17
PCT 0.779, an! bio! ka tetap dilanjutkan. Topangan
ven! lasi mekanik dapat diweaning menjadi PS 10/PEEP 5/
fi o2 40%.
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 53•
Kausa : infark miokard, hipertensi, penyakit
jantung katup,eksaserbasi gagal jantung sisto-
lik /diastolik dan lainnya.
- Nonkardiogenik/edema paru permeabilitas
meningkat.
Kausa : ALI dan ARDS
Walaupun penyebab kedua jenis edema paru ter-
sebut berbeda, namun membedakannya terkadang sulit
karena manifestasi klinisnya yang mirip. Kemampuan mem-
bedakan penyebab edema paru sangat pen! ng karena be-
rimplikasi pada penanganannya yang berbeda 1
Patofi siologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari
mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel en-
dotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar inter! sial pada keadaan normal ! dak dapat
masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ke! ka cairan
memasuki ruang inter! sial, cairan tersebut akan dialirkan
ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan
oleh sistem limfa! k ke sirkulasi. Perpindahan protein plas-
ma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrosta! k
yang diperlukan untuk fi ltrasi cairan keluar dari mikrosirku-
lasi paru sama dengan tekanan hidrosta! k kapiler paru yang
dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onko! k protein.
Gambar 1. Patofi siologi edema Paru ( diku! p dari Loraine et
al. NEJM 2005 : 353: 2791)
H 18
Dilakukan trakeostomi. Pasca trakeostomi dilaku-
kan pengkajian kesiapan weaning dan didapatkan hasil SBI
24/0,24= 100, dengan PS6 PEEP 5, maka diputuskan un-
tuk melanjutkan weaning dengan T-Test. Hari Ke 19 pasien
dapat bernafas dengan nasal kanul 4l/menit, suhu tubuh
cenderung turun, nilai procalcitonin menjadi 0,646. Kesan
VAP mengalami perbaikan tetapi an! bio! ka piperacilin –
tazobactam tetap diteruskan karena Procalcitonin masih >
0,1.
H 20
Rontgen thorak ulang dan didapatkan kesan in-
fi ltrat bertambah,, diberikan terapi an! jamur preemp! f
dengan memberikan fl ukonazol 400 mg dilanjutkan 200mg/
hari.
H 23 -27
Pasien tampak lebih sesak, ra! o PaO2/Fio2 288,
suhu kembali 39C ,lekosit 12000, procalcitonin meningkat
menjadi 0,85, rontgen thorax perburukan ( nilai CPIS 6),
tetapi nilai pro BNP semakin turun ( 343pg/ml). Hasil kuk-
tur ulang didapatkan A.baumanii sensi! f dengan an! bio! ka
golongan aminoglycoside dan levofl oksacin. Cefoperazone/
sulbactam intermediate.
An! bio! ka digan! menjadi amikasin 750 mg dan
sulperazon 2x2gram. Hari ke 26 suhu turun ( 36,7-37,4 C) ,
procalcitonin turun menjadi 0,685 .Topangan ven! lasi me-
kanik dapat dikurangi menjadi PS 6/PEEP 5/FIO2 40%. Di-
ambil kultur ulang untuk evaluasi.
H 28-31
Mulai H-28 suhu kembali naik sampai 39C, procal-
citonin dan lekosit kembali meningkat ( 1,217 dan 16890)
direncanakan menggan! an! bio! ka dengan tygaciclin teta-
pi ! dak terbeli. Ra! o PaO2/FIO2 150, topangan ven! lator
di! ngkatkan menjadi SIMV 12/12/PEEP 6/FIO2 60% PS 10.
SVcO2 < 70 ( 55 à 49) . Hemodinamik menurun menjadi < 65
mmHg, CVP 7-14, takikardi ( 120-140) Pada AGD didapat-
kan SID -9 . Pasien dikaji mengalami perburukan ( severe
sepsis, dengan hipotensi kemungkinan syok sepsis). Ront-
gen Thoraks hari ke 30 menunjukkan siluet jantung yang
bertambah besar ( pembesaran biventrikuler bertambah)
dan pertambahan infi ltrat. Pasien dicurigai mengalami dis-
fungsi miokard yang bertambah karena sepsis berat. Pasien
mendapatkan norepinefrin dan dobutamin,NTG dan furose-
mid dihen! kan. Hemodinamik semakin turun dan akhirnya
meninggal pada hari ke 31. Hasil kultur terakhir (specimen
tanggal): Chryseomonas luteola , dengan an! bio! k yang
sensi! f amikacin dan tygaciclin.
TINJAUAN PUSTAKA
Edema Paru
Edema paru didefi nisikan sebagai terakumulasi-
nysa cairan di inter! sial dan alveolus. Penyebab Edema Paru 1,2 :
- Kardiogenik atau edema paru hidrosta! k atau
edema hemodinamik
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 54•
Edema paru kardiogenik atau edema volume over-
load terjadi karena peningkatan tekanan hidrosta! k yang
cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan fi l-
trasi cairan transvascular.(Gambar 1B). Peningkatan teka-
nan hidrosta! k di kapiler pulmonal biasanya berhubungan
dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat pening-
katan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED) dan teka-
nan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (
18 – 25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler
dan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan
atrium kiri meningkat lebih ! nggi (>25) maka cairan edema
akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus.(gambar
1b) Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan
yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut :
• Meningkatnya konges! paru akan menyebabkan de-
saturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan
akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
• Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menim-
bulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan
tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventri-
kel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel
akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
• Insufi siensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis se-
hingga memperburuk fungsi jantung.
Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari
spectrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS
didefi nisikan sebagai : munculnya gejala dan tanda secara
akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang ! -
dak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi
AHFS menjadi 6 klasifi kasi yaitu :
ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure
ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure
ESC 3 : Pulmonary oedema
ESC 4 : Cardiogenic Shock
ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis
ESC 6 : Right Heart Failure
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh pen-
ingkatan tekanan hidrosta! k maka sebaliknya, edema paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabili-
tas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkat-
nya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan
alveolus.(1C) Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki
kadar protein ! nggi karena membran pembuluh darah
lebih permeable untuk dilewa! oleh protein plasma. Aku-
mulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara
kecepatan fi ltrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cai-
ran tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan non-
kardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. Edema inter-
sisial menyebabkan sesak dan takipne. Alveolus yang penuh
cairan menyebabkan hipoksemia arteri dan dapat disertai
batuk dan sputum kemerahan ( frothy).
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk kearah
kausa edema paru, misalnya adanya riwayat
sakit jantung, riwayat adanya gejala yang ses-
uai dengan CHF.
- Pemeriksaan fi sik
Terdapat takipnu, ortopnu (manifestasi la-
njutan). Takikardia, hipotensi, akral dingin
dengan sianosis, menggunakan otot bantu na-
fas, frophy sputum, ronki basah dan terdapat
wheezing. Khususnya pada edema paru kar-
diogenik terdapat JVP meningkat, gallop, bunyi
jantung 3 dan 4 dan terdapat edema perifer.
- Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevant di-
perlukan untuk mengkaji e! ologi edema paru.
Pemeriksaan tersebut melipu! diantaranya
pemeriksaan hematologi (complete blood
count), fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,
urinalisa, analisa gas darah, troponin I dan
Brain Natriure! c pep! de (BNP).
Brain Natriu! c Pep! de (BNP) dan prekur-
sornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rap-
id test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma
berhubungan dengan PAOP, LEVEDP dan LVEF .
Khususnya pada pasien gagal jantung menggu-
nakan pro BNP dengan nilai 100pg/ml akurat
sebagai prediktor gagal jantung pada pasien
dengan efusi pleura dengan sensi! fi tas 91%
dan spesifi sitas 93%.1.Richard dkk melaporkan
bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi den-
gan LV fi lling Pressure. 2 Pemeriksaan BNP ini
menjadi salah satu test diagnosis ru! n untuk
menegakkan CHF berdasarkan pedoman diag-
nosis dan terapi CHF Eropa dan Amerika ( AHA
Guidelines).3
Buk! peneli! an menunjukkan bahwa Pro BNP/
BNP memiliki nilai prediksi nega! f dalam me-
nyingkirkan gagal jantung dari penyakit lain-
nya.
- Rontgent Paru
Gambaran rontgent paru dapat dipakai untuk
membedakan edema paru kardiogenik dari
edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap
ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa ede-
ma ! dak akan tampak secara radiologi sampai
jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah tehnik juga dapat mengurangi sensi-
! vitas dan spesifi sitas rontgent paru, seper!
rotasi, inspirasi, ven! lator, posisi pasien dan
posisi fi lm.1.
Tabel 2. Beda Gambaran Radiologi edema Paru Kardiogenik
dan Non Kardiogenik
Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non Kardiogenik
Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
Efusi pleura Ada Biasanya ! dak ada
Peribronchial Cuffi ng Ada Biasanya ! dak ada
Garis septal Ada Biasanya ! dak ada
Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada
diku! p dari Loraine et al. NEJM 2005 : 353: 2793
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 55•
- Ekhokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk
mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekhokardiografi dapat mengevalusi fungsi mio-
kard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai
dalam mendiagnosis penyebab edema paru.
- Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal ( Pulmo-
nary artery occlusion pressure/PAOP) diang-
gap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentuksn penyebab edema paru akut.
Lorraine dkk mangusulkan suatu algoritma
pendekatan klinis untuk membedakan kedua
jenis edema tersebut ( gambar 2). Disamp-
ing itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema
paru akut dengan penyebab mul! ple. Sebagai
contoh, pasien syok sepsis dengan ALI , dapat
mengalami kelebihan cairan karena resusi-
tasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya,
pasien dengan gagal jantung konges! dapat
mengalami ALI karena pneumonia.1
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS)
a. Supor! f
Mencari dan menterapi penyebabnya. Yang harus dilakukan
adalah :
o Suport Kardiovaskular
o Terapi Cairan
o Renal Suport
o Pengelolaan Sepsis
b. Ven! lasi
Menggunakan Ven! lasi protec! ve lung atau protocol ven-
! lasi ARDS net.
Penatalaksanaan Edema Paru kardiogenik
Sasarannya adalah :
• Mencapai oksigenisasi adekwat.
• Memelihara stabilitas hemodinamik
• Mengurangi stress miokard dengan menurunkan pre-
load dan a% erload.
Penatalaksanaan :
§ Posisi setengah duduk
§ Oksigen terapi
§ Morphin IV 2,5mg
§ Diure! k
§ Nitroglycerine
§ inotropik
Buk! peneli! an menunjukkan bahwa pilihan terapi
yang terbaik adalah : Vasodilator intravena sedini mungkin
(Nitroglycerine , nesiri! de, nitropruside ) dan diure! ka do-
sis rendah.
Nitroglycerine merupakan terapi lini pertama pada
semua pasien AHF dengan tekanan darah sistolik > 95-
100mmHg dengan dosis 20µg/min sampai 200µg /menit
(Rekomensi ESC IA). Bahkan dosis yang sangat rendah ( <
0,5µg/kg/min) dari nitroglycerin akan menurunkan LVED
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 56•
dan LVES tanpa turunnya tekanan darah dn perfusi perifer.4
Bila dibandingkan dengan diure! k maka nitroglycerin me-
miliki beberapa keuntungan yaitu lebih efek! f dalam men-
gontrol edema paru berat dengan profi l hemodinamik yang
lebih stabil, penurunan wall stress dan LVEDP yang lebih
cepat tanpa menurunkan CO.4
VAP
Kema! an pasien yang dirawat di ICU ! dak hanya
disebabkan oleh penyakit dasarnya tetapi juga oleh infek-
si nosokomial. Pneumonia merupakan salah satu infeksi
nosokomial yang tersering, yang terjadi pada lebih dari 27%
pasien penyakit kri! s. Sebagian besar nosokomial pneumo-
nia berhubungan dengan pemakaian ven! lator mekanik
(VAP).
VAP didefi nisikan sebagai pneumonia yang terjadi
48 jam setelah intubasi endotrakeal dan penggunaan alat
ven! lasi mekanik.5
Diagnosis
Diagnosis Klinis
Melakukan diagnosis VAP memerlukan kecurigaan
klinis yang ! nggi ditambah dengan pemeriksaan klinis, ra-
diologi dan mikrobiologi dari sekresi jalan napas.Biasanya
kecurigaan akan adanya VAP ! mbul jika pada pasien dite-
mukan infi ltrat paru yang progresif, leukositosis, demam
dan sekresi trakeobronkial yang purulen. Sayangnya, ! dak
seper! CAP, kriteria klinis pneumonia di atas memiliki nilai
diagnosis yang terbatas pada kasus VAP yang sudah tegak.
Fabregas dkk melalukan peneli! an yang membandingkan
kriteria klinis tersebut di atas dengan hasil histologi dan
kultur jaringan paru post mortem. Peneli! an tersebut mel-
aporkan bahwa kriteria diagnosis tersebut memiliki sensi-
! fi tas 69% dan spesifi sitas 75%. Jika ke! ga variable klinis
tersebut dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis maka
sensi! fi tasnya turun menjadi 23% dan sebaliknya jika han-
ya satu kriteria yang digunakan maka spesifi tasnya turun
menjadi 33%. Ke! dakakuratan kriteria klinis tersebut dapat
dimenger! karena sekresi trakeobronkial purulen sering
terjadi pada pasien yang menggunakan ven! lasi mekanik
tanpa disertai pneumonia. Demikian pula halnya dengan
tanda sistemik dari pneumonia, seper! demam dan lekosi-
tosis, dapat merupakan akibat sitokin proinfl amasi yang
sering terjadi pada trauma, pembedahan, ARDS, DVT dan
infark paru.
Pada pasien ARDS, sensi! fi tas kriteria klinis terse-
but labih rendah lagi. Bell et al melaporkan bahwa terdapat
sekitar 46% false nega! ve VAP pada pasien-pasien dengan
ARDS. Konsekuensinya, kecurigaan VAP pada pasien ARDS
harus lebih ! nggi. Bahkan satu kriteria klinis VAP, hemo-
dinamik yang tak stabil tanpa penyebab yang jelas, dan
perburukan analisa gas darah sudah seharusnya melakukan
pemeriksaan lebih lanjut kearah VAP.6
Untuk menambah spesifi sitas diagnosis VAP maka
Pugin dkk mengusulkan sistem skoring terhadap kriteria kli-
nis tersebut ( Clinical pulmonary infec! on score/CPIS). Jika
CPIS > 6 maka berkorelasi baik terhadap adanya VAP.Tapi
sayang, data dari beberapa peneli! an lain menunjukkan
ternyata spesifi sitas sistem skoring ini pun rendah.
Sing dkk mengusulkan modifi kasi CPIS yang ! dak
berdasarkan kultur tetapi dengan menggunakan pewarna-
naan gram dari spesimen BAL. Dengan demikian , spesifi si-
tasnya meningkat. 7
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan Radiografi paru juga memiliki
masalah dalam hal nilai sensi! fi tas dan spesifi sitasnya.
Kwalitas fi lm yang kurang baik membuat hasil Chest X Ray
semakin ! dak akurat. Peneli! an yang dilakukan terhadap
26 pasien bedah menemukan bahwa 26% pasien dengan
rontgen thoraks normal ditemukan infi ltrat pada hasil pe-
meriksaan CT scan. Secara keseluruhan spesifi sitas gamba-
ran radioopaq pada C Xray hanya 27%-35%.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi berupa pewarnaan
gram, kultur sekresi trakea nonkwan! ta! f dan semikwan! -
ta! f merupakan pemeriksaan yang mudah untuk dilakukan.
Tetapi pemeriksaan ini hanya menambah sedikit saja nillai
sensi! fi tas dan spesifi sitas diagnosis klinis.( 82% dan 27%).
Pedoman penatalaksanaan VAP yang dikeluarkan oleh ATS
merekomendasikan kultur kwan! ta! f dari sekresi aspirasi
endotrakeal atau sampel dari bronkoskopi maupun bu-
kan.5,6
Tabel 2. Kriteria klinik CPIS untuk Diagnosis Pneumonia
Variabel 0 1 2
Suhu 0 C ≥36,1 - ≤
38,4
≥ 38,5 - ≤
38,9
≥ 39 - ≤ 36
Lekosit ≥ 4000 - ≤
11000
< 4000 - >
11000
<4000- >
11000 + band
> 500
Sekresi Tidak ada Ada, non
purulen
Ada purulen
PaO2/FIO2 >240 atau
ARDS
< 240 , bukan
ARDS
Foto toraks Tidak ada
infi ltrate
I n f i l t r a t e
d i f u s /
patchy
Terlokalisir
M i k r o b i -
ologi
Tidak ada,
t u m b u h
lambat
Tumbuh se-
dang atau
cepat : tam-
bah 1 poin
jika sama
d e n g a n
gram
Diku! p dari PorzecanskinI,Bowton DL. Chest 2006; 130:
597-604
Terapi
Prinsip pemilihan an! bio! k pada HAP didasarkan
pada ada ! daknya faktor risiko resisten mul! obat (MDR)
yaitu :
• Terapi an! mikroba dalam 90 ha! terakhir.
• Telah dirawat 5 hari atau lebih
• Frekwensi resistensi an! bio! k di komunitas/unit
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 57•
rawat rumah sakit ! nggi..
• Adanya faktor risiko HCAP
• Immnunosupresi
Gambar 3. Algoritme Penatalaksanaan HAP/VAP/HCAP (ATS
IDSA 2005)
Pemberian an! bio! k empiris spektrum luas harus
diiku! dengan deekskalasi berdasarkan data klinis dan mik-
robiologi serial untuk mencegah munculnya resistensi an! -
bio! ka di rumah sakit.
Keberhasilan terapi sangat menentukan angka morta-
litas VAP dan ini sangat dipengaruhi oleh:
1. Pemilihan an! bio! k empiris yang ! dak sesuai
2. Pemberian an! bio! k yang terlambat
Ventrikel Septal Defect (VSD)
Pada dasarnya septum ventrikel dibagi menjadi ! ga
yaitu : inlet, trabecular dan outlet. VSD dikelompokkan ber-
dasarkan lokasi dan tepinya menjadi 3 7 :
- Muscular VSD : batasnya adalah miokard dan
lokasinya bisa trabekular, inlet dan outlet.
- Membranous VSD : lokasinya berada di inlet,
outlet dan trabekular dan dibatasi oleh daun
katup AV dan katum arterial.
- Dolby commi& ed subarterial VSD, berada di
outlet dan dibatasi oleh jaringan ikat katup
aorta dan pulmonal
VSD restrik! f ! dak akan menyebabkan gangguan
hemodinamik dan dapat menutup secara spontan, sedan-
gkan VSD besar (non restriksi) biasanya disertai overload
ventrikel kiri, yang progresif menjadi peningkatan tekanan
pulmonal dan selanjutnya shunt kira ke kanan. Selanjutnya
bila resistensi pulmonal meningkat akan menjadi sindrom
Eisenmenger.
Gambaran Klinis VSD Dewasa
Pasien dewasa dengan VSD restrik! f kecil biasanya
asimptoma! k. Pemeriksaann fi sik ditemui adanya murmur
pansistolik frekuensi ! nggi dengan punktum maksimum di
garis parasternal kiri se! nggi interkostal 3-4. Pasien dengan
VSD restrik! f sedang sering merasa sesak setelah dewasa,
yang kemungkinan dicetuskan oleh fi brilasi atrial. Pada
pemeriksaan fi sik akan ditemui apeks jantung yang berge-
ser ke kiri dengan murmur pansistolik, dan diastolic rumble
dan bunyi jantung 3 akibat meningkatnya aliran di mitral.
Pasien dengan nonrestrik! f besar eisenmenger VSD biasan-
ya akan ditemui adanya sianosis sentral, jari tabuh disertai
tanda-tanda hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Tindakan Penutupan
Penutupan VSD dapat dilakukan dengan dua cara yai-
tu secara pembedahan dan transcatheter. Indikasi ! ndakan
bedah penutupan VSD adalah :
• VSD yang bermakna ( Qp/Qs > 1,5 : 1 )
• Tekanan sistolik pulmonal > 50mmHg
• Adanya pembesaran ventrikel dan atrium kanan.
• Memburuknya fungsi jantung kiri tanpa adanya hiper-
tensi pulmonal.
Indikasi rela! f:
- Adanya VSD perimembran atau VSD outlet dengan aor-
ta regurgitasi yang sedang dan berat.
- Endokardi! s berulang.
- Jika ada hipertensi pulmonal berat justru operasi ! dak
memungkinkan.
Disfungsi Miokard pada Sepsis
Disfungsi miokard pada sepsis didefi nisikan sebagai
keadaan rendahnya cardiac index atau adanya disfungsi
jantung berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi pada
sepsis berat. Disfungsi miokard pada sepsis ini sering tam-
pil dengan CO yang normal karena berkurangnya SVR dan
a# erload dan walaupun disfungsi miokard cukup berat
namun CO dipertahankan rela! f baik oleh dilatasi ventrikel
dan takikardi. Peneli! an menunjukkan hanya sekelompok
kecil yang dengan CO turun. Adanya disfungsi miokard ini
disertai peningkatan angka kema! an menjadi 70-90% bila
dibandingkan kema! an pada sepsis tanpa gangguan fungsi
kardiovaskular 20%.8
Adapun mekanisme terjadinya disfungsi miokard ini
bukan disebabkan oleh kelainan struktur atau hipoperfusi
miokard tetapi mul! faktorial yaitu :
- Toksin bakteri
- Sitokin : TNF ά˙, IL 1β, IL 6
- Mediator
- Cardiodepressant factors
- Oxygen reac! ve species
- Katekolamin
Diagnosis
Secara klinis ditegakkan dengan ditemukannya pe-
rubahan biventrikel dengan penurunan EF pada peme-
riksaan ekokardiografi dan skin! grafi radionuclide. Buk!
secara histopatologi ditemukan adanya miokardi! s inter! -
sial dengan terganggunya compliance ventrikel dan fungsi
diastolik. Yang menjadi kekhasan disfungsi miokard pada
sepsis adalah adanya dilatasi biventritrikel.Fungsi ventrikel
kanan juga terganggu sebagai akibat peningkatan a# erload
ventrikel kanan oleh hipertensi pulmonal sekunder yang
disebabkan oleh lesi akut di paru dan atau adanya ARDS.
Disamping itu, fungsi ventrikel kanan terganggu juga se-
bagai akibat menurunnya kontrak! litas ventrikel kanan. Se-
per! sudah dibahas di atas bahwa CO yang meningkat ! dak
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 58•
dapat menyingkirkan disfungsi miokard pada sepsis.8,9
BNP yang merupakan marker CHF dan troponin I dan T
yang merupakan biomarker iskemi miokard juga telah ban-
yak diteli! perannya pada disfungsi miokard pada sepsis.
Beberapa peneli! an kecil melaporkan adanya hubun-
gan antara peningkatan Troponin dan disfungsi ventrikel
kiri pada sepsis. Troponin jantung juga dilaporkan berkore-
lasi dengan lamanya hipotensi dan intensitas terapi vaso-
presor. Troponin juga dihubungkan gengan peningkatan
derajat beratnya sepsis (berdasarkan SAPS II, APACHE II)
dan peningkatan risiko kema! an . Sehingga, cukup berala-
san jika memasukkan Troponin dalam pemantauan pasien
dengan sepsis berat dan syok sepsis untuk prognosis dan
meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya disfungsi jan-
tung.9
Tidak demikian halnya dengan BNP. Peneli! an-pe-
neli! an yang ada ! dak menunjukkan hasil yang seragam,
sehingga BNP ! dak dapat dipakai dalam mendiagnosis ada-
nya disfungsi ventrikel pada sepsis. Eveluasi menyeluruh
dengan ekokardiografi lebih dianjurkan daripada peme-
riksaan BNP..9
Akhir-akhir ini, beberapa peneli! an menunjukkan ba-
hwa Pro BNP lebih baik daripada BNP/ANP sebagai marker
disfungsi miokard dan sebagai penentu prognosis pada
pasien sepsis. Peneli! an-peneli! an tersebut menunjuk-
kan adanya korelasi antara pro BNP dan LVSWI pada pasien
dengan sepsis. Roch dkk meneli! 39 pasien syok sep! k
dengan ven! lator mekanik. Mereka melaporkan bahwa ka-
dar BNP pada non survivor lebih ! nggi dibanding yang sur-
vivor ( p = 0,002).Angka pro BNP > 13600 pg/ml selama 24
jam dilaporkan merupakan prediktor mortalitas ICU dengan
sensi! fi tas 73% dan spesifi sitas 83% (AUC 0,8).
Walaupun demikian dibutuhkan peneli! an lebih lan-
jut untuk menentukan peran Troponin dan Pro BNP dalam
menentukan derajat beratnya penyakit dan dalam menen-
tukan terapi.
Terapi
Depresi fungsi miokard dengan turunnya curah jan-
tung merupakan penyebab pen! ng dari kema! an pada pa-
sien sepsis. Resusitasi cairan yang tepat merupakan terapi
utama.
Berdasarkan panduan Surviving Sepsis Campaign,
dobutamin merupakan pilihan untuk inotropik dan untuk
meningkatkan curah jantung pada pasien sepsis berat dan
syok sep! k, dan jika perlu disertai vasopresor pada pasien
dengan tekanan pengisian yang adekuat dan tekanan arteri
dan CO yang turun.
PEMBAHASAN
1. Edema Paru Kardiogenik
Saat masuk ICU, pasien didiagnosis sebagai edema
paru kardiogenik pada wanita pasca seksio sesarea dan cu-
riga penyakit jantung katup. Diagnosis edema paru kardio-
genik pada kasus ini ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis : Riwayat sesak nafas yang semakin
memberat dengan bertambah beratnya beban
fi sik, dan adanya keluhan ortopneu. Pasien masuk
RS dengan keluhan sesak napas hebat .
- Pemeriksaan Fisik : ditemukan tanda-tanda kelain-
an jantung: konfi gurasi jantung yang membesar,
murmur pansistolik di SIC 3-4 di linea parasternal
kiri. Pada paru ditemukan adanya ronki basah se-
dang bilateral.
- Pemeriksaan penunjang : Rontgent thorax ditemu-
kan adanya kardiomegali, dan tanda tanda edema
paru. Gambaran edema paru yang ditemukan pada
pasien ini adalah infi ltrat yang letaknya di sentral
dan adanya garis Kerley B line. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkam pro BNP yang mening-
kat > 500 pg/ml ( Nilai pro BNP hari ke 12 adalah
700 pg/ml). Coqut dkk melaporkan bahwa nilai Pro
BNP < 500 ng/l memprediksi ! dak adanya disfung-
si jantung dengan sensi! fi tas 89% dan spesifi sitas
43%.. Nilai pro BNP < 500 ini sesuai dengan hasil
yang dilaporkan oleh peneli! lainnya. Kekuatan ni-
lai diagnoss! k Pro BNP ini terletak pada prediksi
nega! fnya terhadap diagnosis CHF dan semakin
bermakna bila dikombinasi dengan variable diag-
nosis lainnya. 10
Pada pasien ini penyakit jantung yang mendasari
kejadian edema paru ini adalah VSD perimembranous. Ber-
dasarkan TEE didapatkan bahwa ! pe dari VSD ini adalah
perimembranous. Jika dilihat dari gambaran klinisnya maka
! pe VSD kasus ini adalah VSD nonrestriksi dengan LV over-
load sehingga menimbulkan shunt kiri ke kanan.
Perubahan fungsi kardiovaskuler pada kehamilan
dan postpartum juga berperan pada kejadian edema paru
kardiogenik kasus ini disamping adanya kelainan jantung
bawaan tersebut. Seper! diketahui pada kehamilan dan
pasca persalinan terjadi beberapa perubahan pada curah
jantung, volume darah, frekwensi denyut jantung, tekanan
darah , resistensi vaskuler, konsumsi oksigen dan massa sel
darah merah.( tabel 3)12
Tabel 3. Perubahan Hemodinamik Selama KehamilanParameter Kehamilan Persalian Postpartum
Curah jantung
Volume darah
Frekuensi jan-
tung
Tekanan darah
SVR
VO2
RBC mass
Meningkat 30-
50%
Meningkat 30-
50%
Meningkat 15-
20x/menit
T u r u n
5-10mmHg
Turun
Meningkat 20%
Meningkat 15-
20
M e n i n g k a t
50%
M e n i n g k a t
3 0 0 - 5 0 0 c c
! ap kontraksi
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat
M e n i n g -
kat 60-
80% dalam
15-20menit
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke ba-
seline
Turun ke
baseline
Diku! p dari Baldisseri MR.FINK
Pada wanita dengan kelainan jantung yang berat,
perubahan hemodinamik tersebut di atas dapat mengan-
cam nyawa, mengakibatkan meningkatnya mortalitas dan
morbiditas maternal dan janin. Mortalitas wanita hamil
dengan penyakit jantung yang ! dak berat < 1% tetapi akan
menjadi 50% bila disertai hipertensi pulmonal atau pe-
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 59•
nyakit jantung siano! k. Umumnya wanita hamil penderita
kelainan jantung dengan fungsional class NYHA I-II, dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik tersebut. Namun
kema! an akibat jantung pada wanita hamil dengan FC
NYHA III-IV adalah 85%.12
Seper! diketahui bahwa prinsip penanganan ede-
ma paru kardiogenik adalah :
- Memelihara oksigenisasi adekuat dan stabilisasi
hemodinamik.
- Mengurangi preload dan a% erload
- Koreksi faktor pemberat dan penyakit dasarnya.
Melihat kompleksnya kasus ini ( wanita postpartum
dangan fc NYHA III-IV, sepsis VAP) maka evaluasi hemodina-
mik ( LVEDP,PAOP, PAP,PVR dll) waktu demi waktu sangatlah
diperlukan. Parameter tersebut di atas diperlukan dalam
penatalaksanaan dan pemantauan terapi pada kasus CHF
terutama di ICU. Pada kasus ini dengan kondisi ICU yang ! -
dak memungkinkan melakukan pemantauan hemodinamik
invasif maka dipakai analisa SVcO2 dan kadar pro BNP se-
rial. Beberapa peneli! an menunjukkan adanya hubungan
nilai BNP/pro BNP dengan PAOP. Sementara peneli! an lain
melaporkan hal sebaliknya. Jadi buk! peneli! an belum kuat
untuk mendukung nilai pro BNP/BNP dalam menggan! kan
pemantauan hemodinamik pada kasus di ICU.10
Pro BNP merupakan pep! da yang dihasilkan oleh
ventrikel. S! mulus fi siologis utama sekresi BNP adalah vo-
lume dan pressure overload. Menurunnya kadar BNP di-
hubungkan dengan perbaikan hemodinamik, menurunnya
preload dan resistensi perifer (SVR).10 Berdasarkan data
tersebut maka semula dipikirkan untuk menggunakan pro
BNP serial sebagai surrogate marker hemodinamik. Sayang-
nya, waktu paruh yang panjang (2 jam) menyebabkan kadar
pro BNP akan bermakna jika diperiksa se! ap 12 jam. Seha-
rusnya lebih tepat jika memeriksa kadar BNP yang memiliki
waktu paruh lebih pendek (20 menit) sebagai pemantauan
terapi. Lagipula adanya variasi intraindividu ( jam ke jam
atau hari ke hari) membatasi kemaknaan kadar proBNP di-
pakai sebagai pemantauan terapi.13
Pasien ini mendapatkan terapi standard CHF yaitu :
- Mencapai oksigenisasi adekwat.
- Memelihara stabilitas hemodynamik
- Mengurangi stress miokard dengan menurunkan
preload dan a% erload dengan diure! c dan NTG.
Inotropik diberikan berdasarkan nilai SPO2 dan
SVcO2. Terapi diure! k dan NTG di! trasi sesuai klinis dan ha-
sil pro BNP yang diulang se! ap kali terjadi perburukan klinis
( mundurnya mode ven! lator, ronki yang bertambah, ra! o
P/F, dan rontgen thoraks). Pasquate dkk meneli! 53 pasien
rawat jalan dengan diagnosis CHF . Mereka melaporkan
bahwa kebutuhan dosis diure! k yang semakin besar ber-
korelasi dengan peningkatan kadar pro BNP yang diperiksa
serial dan menurun pada kasus dengan perbaikan klinis.
Kelemahan serial pro BNP sebagai guidance terapi pada
kasus ini adalah karena pemeriksaannya ! dak dapat dilaku-
kan secara bedsite dan memerlukan waktu sekitar 5-6 jam,
disamping harganya yang mahal. 2,10. Sehingga dosis diure! k
dan NTG lebih dulu di! trasi hanya berdasarkan tampilan
klinis.
Angka serial pro BNP pasien ini cenderung semakin
turun, H-13 707 pg/ml , H-17 445pg/ml , H-21: 468pg/ml
dan H-26: 345pg/ml . Jika melihat ! ter pro BNP semakin tu-
run maka kemungkinan gangguan fungsi jantung pasien ini
rela! f perbaikan. Kemungkinan pasien ini mengalami per-
burukan oksigenisasi dan kemudian meninggal bukan dise-
babkan terutama oleh edema paru kardiogeniknya tetapi
oleh VAP nya yang belum berhasil diatasi. Angka serial BNP/
Pro BNP ini juga dihubungkan dengan angka survival pasien.
BNP/Pro BNP memprediksi prognosis buruk jika meningkat
tajam.10,13
Keadaan sepsis dapat menyebabkan depresi mio-
kard sehingga semakin memperburuk kerja jantung pasien
ini dan disertai semakin meningkatnya mortalitas menjadi
70-90%. Kadar pro BNP ! dak dapat dipakai dalam mendiag-
nosis adanya disfungsi miokard pada sepsis sehingga walau-
pun kadar pro BNP pasien ini semakin turun kemungkinan
terjadinya perburukan fungsi miokard tetap ada. Bila dili-
hat rontgent thorax terakhir siluet jantung tampak sema-
kin membesar.Untuk menegakkannya seharusnya diperiksa
kadar troponin T/I. 9
Hasil AGD pada pasien ini selalu dalam keadaan al-
kalosis metabolik, yang disebabkan hipoalbumin dan hipok-
loremia. Hipokloremia ini terjadi karena pemberian furo-
semid terus menerus. Seper! diketahui, keadaan alkalosis
hipokloremia ini dapat mempersulit proses weaning alat
ven! lasi mekanik. Menyadari hal tersebut kemungkinan
pasien ini defi cit cairan intravaskuler dinilai dengan meng-
gunakan PLR yang ternyata ! dak respon. Disamping itu
juga dilakukan pemeriksaan BJ urin yang ternyata hasilnya
dalam batas normal. Berdasarkan data-data tersebut maka
dosis furosemid diturunkan sampai menjadi 2x20mg po (
hal ini didukung dengan semakin turunnya nilai pro BNP).
Seper! sudah dibahas di ! njauan pustaka, bahwa
nitrogliserin memiliki keunggulan bila dibandingkan den-
gan pemberian diure! k sebagai lini pertama terapi edema
paru kardiogenik.Nitrogliserin lebih cepat dan efek! f dalam
mengontrol edema paru berat tanpa menurunkan CO den-
gan profi l hemodinamik yang stabil. Sementara diure! k
dapat menurunkan GFR, ak! fasi neurohumoral, semakin
bertambahnya vasokonstriksi dan semakin menurunkan isi
sekuncup. Beberapa peneli! an mennunjukkan bahwa do-
sis ! nggi loop diure! c meningkatkan angka rawat inap dan
mortalitas. Disamping itu, yang perlu diingat adalah bahwa
! dak semua edema paru disertai keadaan overload cairan.
Pasien ini mendapatkan diure! k yang lama, den-
gan jumlah yang cukup besar dan pemberian yang sering
dengan cara bolus intravena sehingga menimbulkan gang-
guan hemodinamik, keseimbangan cairan dan alkalosis
hipokloremik.
1. VAP Sepsis
Pasien saat masuk RS ! dak ada riwayat demam
dan gejala adanya infeksi paru ( batuk purulen ), walau-
pun sudah menunjukkan tanda-tanda SIRS ( lekositosis
22700, takikardi 150x/menit dan takipnea).
Memasuki hari ke 3 , suhu tubuh semakin naik (
37,8-38,3), pada pemeriksaan paru ditemukan ronki
bertambah di kedua lapang paru, dengan pemerik-
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 60•
saan laboratorium lekosit 11520 dan procalcitonin
1,92.Pasien didiagnosis dengan VAP. Jika dilihat dari
onset terdiagnosisnya VAP terjadi < 5 hari maka ka-
sus ini termasuk VAP early onset tetapi karena pasien
ini mendapat an! bio! ka selama 4 hari terakhir (An! -
bio! k profi laksis seksio sesarea yang terus diberikan)
maka pasien ini termasuk VAP dengan risiko ! nggi
kuman MDR sehingga pilihan an! bio! ka empirisnya
sesuai dengan VAP late onset adalah meropenem dan
gentamisin,dengan mengambil bahan sputum dari as-
pirasi endotrakeal sebelumnya. Hari perawatan ke 10
keluar hasil kultur sputum, yang hasilnya adalah Aci-
netobacter baumanii. Acinetobacter Baumanii meru-
pakan salah satu an! mikroba yang disebut sebagai
Diffi cult to treat (DTT). Mikroba yang termasuk DTT
adalah P auroginosa, Oxacillin resisten Staphylococcus
aureus dan Acinetobacter baumanii. An! bio! k kemu-
dian dideekskalasi dengan ampicillin sulbactam. Pe-
makaian an! bio! ka profi laksis operasi yang diteruskan
sampai hari keempat, an! bio! k empiris yang diterus-
kan sampai lebih dari 3 hari ( karena hasil kultur jadi
setelah 5 hari) merupakan faktor yang perperan terha-
dap terjadinya infeksi oleh bakteri DTT. Peneli! an mel-
aporkan bahwa separuh dari kasus infeksi oleh mikroba
DTT disebabkan oleh pemakaian an! bio! ka yang ! dak
sesuai dengan pedoman penggunaan an! bio! ka.12 Se-
jumlah peneli! an menunjukkan bahwa adanya infeksi
bakteri DTT ini merupakan penentu survival pasien.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serial pro-
calcitonin, dan lekosit , rontgen thoraks untuk men-
gevaluasi nilai CPIS. Hanya disayangkan bahwa rontgent
thorax ! dak selalu dapat diulang karena keterbatasan
dana.
Pada hari ke 30 pasien jatuh menjadi sepsis berat
( sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi dan hipo-
tensi). Disfungsi organ yang terjadi melipu! hipoksemia (
PaO2/FIO2 < 300). Laktat pada hari ke 30 ini belum sempat
diperiksa, tetapi jika kita melihat AGD maka terdapat unme-
assured anion ( kira-kira -9), yang kemungkinan adalah lak-
tat. Menjelang hari ke 31, MAP turun menjadi < 65. Sangat
disayangkan pasien ini ! dak dilakukan resusitasi cairan ter-
lebih dahulu tetapi hanya menaikkan dosis dobutamin dan
norepinefrin saat SVcO2 turun ( 49%). Se! daknya mungkin
saat itu dapat dilakukan passive leg raising untuk menilai
apakah pasien ini masih respon respon terhadap cairan. Pa-
sien kemudian meninggal pada hari ke 31.
Pasien ini juga diduga mengalami perburukan
fungsi jantung akibat semakin memburuknya sepsis VAP.
Kecurigaan ini didukung oleh semakin membesarnya siluet
jantung secara bermakna bila dibandingkan rontgent tho-
raks hari ke 27. Turunnya kadar pro BNP ( 468-343) ! dak
dapat menyingkirkan kemungkinan tersebut. Disamping itu
keadaan hipoksemia/desaturasi juga berperan dalam me-
nyebabkan memburuknya fungsi jantung pasien ini.
Infeksi yang ! dak terkontrol walaupun an! bio! k empiris
sudah diberikan sesuai guidelines VAP dan sesuai pola ku-
man di ICU RSCM dan didekskalasi sesuai hasil kultur, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh :
1. Hasil kultur sputum yang ! dak kwan! ta! f , sehing-
ga mikroorganisme yang dihasilkan bukan penye-
bab infeksi sebenarnya. Guidelines VAP ATS me-
rekomendasikan pemeriksaan kultur kwan! ta! f.
Hasil kultur yang nonkwan! ta! f atau semikwan! -
ta! f memiliki spesifi sitas yang rendah ( 27%) , kita
! dak tahu jika mikroorganisme tersebut merupa-
kan penyebab infeksi atau hanya kolonisasi.5
2. Pasien mengalami paralisis system immune (
CARS), sehingga ! dak mampu mengeliminasi infek-
si primer. Dengan demikian terapi juga seharusnya
diarahkan untuk mens! mulasi sistem imun seper!
interferon γ atau GM CSF yang dalam hal ini ! dak
mungkin dilakukan karena keterbatasan dana dan
sarana. 15
Status nutrisi yang ! dak baik juga berperan pada
keadaan sepsis yang sulit diatasi ini. Pasien masuk RS dalam
keadaan status nutrisi yang kurang, dan selama perawatan
berat-badan dan lingkar lengan atas tampak semakin
berkurang. Seper! diketahui bahwa otot skeletal merupak-
an tempat penyimpanan glutamine. Berkurangnya massa
otot yang sangat bermakna menunjukkan telah terjadinya
defi siensi glutamine yang disebabkan sepsis yang berkepan-
jangan. Roth dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa sep-
sis menyebabkan sangat berkurangnya glutamine otot dan
hal ini berhubungan dengan survival.Oleh karena itu maka
intervensi terapi nutrisi yang mengandung glutamine, se-
lenium, zinc dan coper kemungkinan berperan pada kasus
ini.16
SIMPULAN
1. Penatalaksanaan edema paru berbeda sesuai ! penya:
edema paru kardiogenik atau non kardiogenik.
2. Pro BNP dapat dipakai untuk membantu mendiagnosis
kemungkinan adanya disfungsi jantung sebagai e! olo-
gi keadaan distress pernapasan, karena memiliki nilai
prediksi nega! f yang ! nggi tetapi ! dak dapat dipakai
sebagai penentu terapi.
3. Kadar pro BNP dikombinasi dengan hasil temuan klinis
lainnya (MAP, SPO2, SVcO2, PLR dll) dapat dipakai un-
tuk menentukan terapi pada pengelolaan pasien di ICU
dengan sarana yang terbatas.
4. Nitrogliserin lebih terpilih sebagai terapi edema paru
kardiogenik
5. Jika dibandingkan diure! k karena lebih efek! f dalam
mengontrol edema paru tanpa menurunkan CO dan
hemodinamik lebih stabil.
6. Hasil kultur yang nonkuan! ta! f atau semikuan! ta! f
memilikI spesifi sitas yang rendah ( 27%) , kita ! dak
tahu jika mikroorganisme tersebut merupakan penye-
bab infeksi atau hanya kolonisasi.
7. Pemberian an! bio! ka yang ! dak tepat dan sesuai tera-
pi standar merupakan faktor risiko infeksi oleh bakteri
Diffi cult to treat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lorraine B,Ma+ hay. Acute pulmonary edema. N Eng J
Med 2005: 353 : 2788-96
2. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker
MARIA IRAWATY
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 61•
in Chronic Heart Failure. Circula! on 2004 : 110 : 1091-
1096
3. ACC/AHA 2005 Guideline Update for diagnosis and
managemen CHF in the adult summary ar! cle. Circula-
! on 2005;112;1825-1852
4. Kruger W, Ludwan A. Acute Heart Failure. Birkhaus-
er.2009. Berlin: 48-65
5. ATS IDSA. Guidelines for the Management of adults
with Hospital acquired, Ven! lator associated and
Healthcare associated Pneumonia. Am J Respir Crit
Care Med 2005; 171 : 388-416
6. Koenig SM, Truwit JD. Ven! lator Associated Pneumo-
nia: Diagnosis , treatment and preven! on. Clinical Mi-
crobiology Review. 2006 : 63-57
7. Webb GD et al. Diseases of The Heart, Percardium, and
Pulmonary Vasculature Bed. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP eds. Brawnwald’s Heart Disease. A
textbook of Cardiovascular Medicine. Vol 2.8th ed. Phil-
adelphia: Sanders elsivier.2008 p.1583-1585.
8. Maeder M etal. Sepsis associated Myocardial dysfunc-
! on : diagnos! c and prognos! c impact of cardiac tro-
ponin and natriure! c pep! des. Chest 2006; 129 ; 1349-
1366
9. Morsch RD etal. Sepsis and myocardial dysfunc! on.
Einstein. 2006;4(4): 338-342
10. Collinson PO. Commentary Natriure! c pep! de deter-
mina! on in cri! cal care medicine: part of rou! ne clini-
cal prac! ce of research test only. Cri! cal Care 2009 :
13 : 105
11. Reichlin T, Noveanu M, Mueller C. Use of Natriure! c
pep! des in the emergency department and the ICU. In
Vincent ed. Year Book of Intensive care and emergen-
cy medicine. 2009.Berlin Heidelberg: Springer 2009.p.
523-527
12. Baldisseri MR. Cardiovascular and endocrinologic
changes Associated with Pregnancy. In: Fink MP, Abra-
ham E, Vincent JL etc eds. Textbook of Cri! cal Care 5th
ed.Philadelphia : Sanders elsivier 2005. p. 1535-39
13. Prahash et al. B type Natriure! c pep! de: A diagnos! c,
prognos! c, and therapeu! c tool in heart failure. Ameri-
can Journal of Cri! cal Care. 2004 ; 13 : 46-55
14. Garcin, Leone,Antorini, Charvet et al. Non adherence
to guidelines an avoidable cause of failure of empiri-
cal an! microbial therapy in the presence of diffi cult to
treat bacteria. Intensive Care Med. 2010 :36:75-82
15. Monneret,et al. Monitoring Immune disfunc! ons in
the sep! c pa! ent : A New Skin for the old ceremony.
Mol Med 2008 : 14: 64-78
16. Berger MT, Chlorelo RL. An! oxidant supplementa! on in
sepsis and systemic infl ammatory response syndrome.
Crit Care Med 2007;5,No 9 (suppl): S584-589
Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP I Treatment of Lung Oedem in VSD and VAP Sepsis
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 62•
ABSTRACT
Intra opera! ve awareness can be defi ned as the
unexpected and explicit recall by pa! ents of intra opera! ve
events that occur during general anesthesia. It is a com-
plica! on of surgical general anesthesia that is o# en over-
looked. Conscious awareness with explicit recall has been
known to poten! ally result in severe long-term psychologi-
cal sequelae such as PTSD.
The incidence rate for intra opera! ve awareness in
general surgical popula! on varied between 0.10% and 1.0%
(with an excep! on of 0.0068% incidence rate reported in
one study). Larger percentages were es! mated for pa! ents
undergoing cesarean sec! ons and cardiac surgeries with
incidence rates of 0.26% and 0.5%, respec! vely. The major-
ity of cases were discovered within days or weeks a# er the
opera! on and auditory percep! on was the most common
complaint reported by pa! ents in the studies. The incidence
of PTSD following awareness was found inconclusive due
to the limited number of studies inves! ga! ng psychologi-
cal sequelae of intra opera! ve awareness and confl ic! ng
results between the studies performed.
Awareness detec! on should be included in clinical
rou! nes with the aim of improving anesthe! c prac! ce and
postopera! ve professional psychiatric assessment and fol-
low-up should be established as standard prac! ce for those
in need of further assistance a# er experiencing intra opera-
! ve awareness.
Keywords: general anesthesia, sequelae, psycho-
logical; post-trauma! c stress disorder; awareness, intra op-
era! ve; incidence.
ABSTRAK
Kewaspadaan intraopera! f (intra opera! ve aware-
ness) didefi nisikan sebagai kemampuan pasien untuk
mengingat kembali secara eksplisit peris! wa-peris! wa yang
berlangsung pada saat pasien dalam pengaruh anestesia
umum. Hal ini merupakan komplikasi dari anestesia umum
yang sering sekali terabaikan. Kewaspadaan yang disertai
ingatan eksplisit akan peris! wa-peris! wa intraopera! f ber-
potensi mengakibatkan gejala psikologis berat jangka pan-
jang seper! Post-Trauma! c Stress Disorder (PTSD).
Insiden kewaspadaan intraopera! f pada bedah
umum bervariasi antara 0,1% dan 1,0% (dengan pengecual-
ian angka insiden 0,0068% pada satu literatur). Persentase
lebih besar didapatkan pada caesarean sec! on dan bedah
jantung dengan angka insiden 0,26% dan 0,5%. Kebanyakan
dari kasus ditemukan beberapa hari hingga beberapa min-
ggu setelah operasi dan persepsi auditorik merupakan kelu-
han yang paling sering dilaporkan oleh pasien. Insiden PTSD
setelah terjadinya kewaspadaan intraopera! f belum dapat
disimpulkan dikarenakan terbatasnya jumlah studi yang
menginves! gasi gejala psikologis setelah kewaspadaan in-
traopera! f dan angka-angka insiden yang bertentangan
yang didapatkan dari studi-studi yang telah dilakukan.
Deteksi kewaspadaan intraopera! f seharusnya dii-
kutsertakan dalam ru! nitas klinik dengan tujuan mening-
katkan kualitas pelayanan anestesia, dan evaluasi psikiatrik
pascaopera! f dan follow up seharusnya ditetapkan sebagai
standar praktek anestesia bagi mereka yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut setelah mengalami kewaspadaan
intraopera! f.
Kata Kunci: anestesia, umum; sequelae, psikologis, post-
trauma! c stress disorder; awareness, intra opera! f; in-
sidens.
INTRODUCTION
Intra opera! ve awareness can be defi ned as the
unexpected and explicit recall by pa! ents of intra opera! ve
events that occur during general anesthesia.1 It has been
recognized as a complica! on of general anesthesia since
1846 when William Morton successfully demonstrated the
use of ether but overlooked the pa! ent’s recollec! on of
the surgery.2,3 The types of intra opera! ve awareness dif-
fer from one pa! ent to another and can usually be charac-
terized by the dura! on of awareness, whether or not pain
and/or anxiety are experienced, and whether or not the pa-
! ent is able to explicitly recall of the event.4 The worst and
most feared cases of intra opera! ve awareness are those
of “awake paralysis” where the pa! ents are fully aware for
a prolonged period of ! me, subjected to pain and anxiety,
I STUDI PUSTAKA I
Kesadaran Intraopera! f dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-trau-
ma! c Stress Disorder
Intra-opera! ve Awareness in General Anesthesia and the Development of Post-trauma! c
Stress Disorder
Maria Blandina
Maria BlandinaDepartment of Anesthesia and Pain Management
The Royal Melbourne Hospital
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 63•
Table 1. Studies evalua! ng incidence of awareness between 1990 and 2008
Study (Coun-
try)
Dates
performed
Design Sample
size
Popula! on
Sandin et al.
(Sweden)
1997-1998 Prospec! ve cohort
study
11,785 All pa! ents > 15 yo who have had
GA
Myles et al.
(Australia)
1993-1999 Prospec! ve cohort
study
10,811 All pa! ents receiving GA (exclud-
ing obstetrics and paediatrics)
Wennervirta et
al. (Finland)
April 1998-June
1999
Prospec! ve cross-
sec! onal study
3,843 All pa! ents > 15 yo undergoing
surgery using general anesthesia
Errando et al.
(Spain)
April 1995-April
1997 & Decem-
ber 1998-No-
vember 2001
Prospec! ve obser-
va! onal study
4,001 All pa! ents > 15 yo scheduled for
elec! ve or urgent surgery requir-
ing GA, excluding cardiac surgery
and pa! ents transferred to Cri! -
cal Care Unit
Ranta et al.
(Finland)
January
1995-January
1996
Prospec! ve cross-
sec! onal study
929 All cardiac surgery pa! ents
Paech et al.
(Australia)
June 2005 –
January 2007
Prospec! ve obser-
va! onal study
1,095 All women > 18 yo undergoing
Caesarean Sec! on under GA
Sebel et al.
(USA)
Pollard et al.
(USA)
April 2001
– December
2002
January 2002
– December
2004
Prospec! ve,
nonrandomized,
cohort study
Prospec! ve obser-
va! onal study
19,575
177,468
All pa! ents > 18 yo receiving GA,
normal mental status, able to
provide informed consent.
All pa! ents > 18 yo who under-
went GA
GA = General Anesthesia
yo = years old
Table 2. Modifi ed Brice interview10
1. What is the last thing you remember before going to sleep?
2. What is the fi rst thing you remember waking up?
3. Do you remember anything between going to sleep and waking up?
4. Did you dream during your procedure?
5. What was the worst thing about your opera! on?
and able to fully recall the experience a% erwards. The ma-
jority of awareness cases, however, are brief and without
experience of pain/anxiety.4
The causes of awareness are s! ll uncertain and the
problem is thought to be mul! factorial. However, there are
a few plausible causes that may explain the occurrence of
awareness. Firstly, central nervous system target receptors
may have inherited variability in their expression and/or
func! on, which may result in unpredictable pa! ent-specifi c
variability in dose requirements of anesthe! c drugs. The
basis underlying this theory is yet to be elucidated, but
preclinical studies involving mice have uncovered a gene! c
defi ciency in one type of receptor for the inhibitory neu-
rotransmi+ er g-aminobutyric acid (GABA) that presented
resistance to the memory-blocking proper! es of etomidate.
Secondly, low physiologic reserves (e.g. poor cardiac func-
! on, severe hypovolemia) may render the pa! ents less ca-
pable of tolera! ng an amnesic level of anesthesia because
it may catastrophically worsen their state of hypotension.
Insuffi cient anesthe! c drugs could then result in aware-
ness. Thirdly, a pacemaker or drugs such as β-blockers may
conceal the physiologic characteris! cs that normally indi-
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 64•
cate the need for a dose change. And lastly, equipment mal-
func! on or misuse may compromise drug delivery systems
pu< ng the pa! ents at risk for awareness.1
Previous studies have shown that the incidence of
awareness in general anesthesia is approximately 0.18%
when neuromuscular blockers are used and 0.10% in the
absence of such drugs.5,6 Assessing anesthe! c depth when
muscle relaxants are used is par! cularly diffi cult because of
the absence of motor responses to s! muli.4 Muscle paraly-
sis is perhaps the reason for higher incidence of awareness
in view of the fact that the pa! ents are unable to signal the
anesthe! sts when they are aware.
Conscious awareness with explicit recall have been
known to result in pa! ent dissa! sfac! on on anesthe! c
care, distress, and poten! al long-term psychological symp-
toms.6,7 Although the numbers are not similar in all stud-
ies performed, approximately 56% of pa! ents experiencing
conscious awareness during general anesthesia have been
found to develop PTSD as a complica! on.7 The characteris-
! c symptoms of PTSD include depression, anxiety a+ acks,
sleep disorders, and fl ashbacks and nightmares of the trau-
ma! c experience. PTSD have also been known to be diag-
nosed in pa! ents without explicit recall of the events but
develop symptoms such as recurrent dreams about being
buried alive which indicate that intra opera! ve awareness
may have occurred.4 In a sense, suff erers of PTSD are inca-
pable of leaving the event behind. In 1982, Turnstall and
Lowit8 gave an account of a pa! ent who developed sleep
phobia a% er experiencing conscious awareness with pain
during general anesthesia for a caesarean sec! on. This
pa! ent experienced a sense of panic and a sinking feeling
when lying on her back, had recurrent nightmares, diffi culty
going to sleep, and felt unable to breathe when she fi nally
fell asleep. This problem drama! cally altered her life and
personality in the years that followed.
This review aims to assess the incidence of intra
opera! ve awareness in general anesthesia and the psycho-
logical impact and psychiatric sequelae that may develop
a% erwards, with the inten! on of increasing our knowledge
about intra opera! ve awareness, awareness-induced PTSD,
and ways of preven! ng such an unfortunate event from
occurring. This review begins by summarizing research on
the incidence of intra opera! ve awareness and inves! gates
psychological symptoms following intra opera! ve aware-
ness. Further discussion then focuses on monitoring aware-
ness in general anesthesia, risk factors for awareness, and
strategies for preven! ng awareness and the development
of PTSD in pa! ents with conscious awareness and recall.
METHODS
The literature search was conducted using com-
puterized databases including PUBMED, The Cochrane Li-
brary, and MEDLINE in order to iden! fy the relevant ar! cles
that have been published un! l April 2009. Ar! cles were
retrieved using the keywords: “awareness” AND “general
anesthesia”, “awareness” AND “general anesthesia” AND
“pos+ rauma! c stress disorder”, and also “intra-opera! ve
awareness” AND “psychological sequelae”. The search
was limited to studies that were published in English and
used human adult subjects. Publica! ons on pediatric cases
were excluded because awareness in children has not been
reported to result in PTSD. This may be caused by the dif-
ference between a child’s expecta! ons of surgery than an
adult’s in which an adult would expect to be fully uncon-
scious without any memory throughout the procedure.
The reported incidence of hos! le behavioral changes and
sleep disturbances of children who suff ered intra opera! ve
awareness was found to be not signifi cantly diff erent than
those in children without awareness.9 A total of sixty-seven
ar! cles were acquired by the search and only seven ar! cles
met the inclusion criteria. Abstracts were read thoroughly
before complete ar! cles were obtained and the references
from the relevant publica! ons were manually explored to
ascertain further poten! al ar! cles. In the end, eleven pub-
lica! ons were reviewed, including one literature review.
RESULTS
All available literature on awareness in general
anesthesia and PTSD were considered for inclusion in the
review. Prospec! ve randomized controlled trials and meta-
analyses were originally preferred for the review; however,
given the absence of level I (NHMRC guidelines) and scar-
city of level II (NHMRC guidelines) evidence, observa! onal
studies on awareness in general anesthesia, case series and
cohort studies were also considered. Retrospec! ve reviews
and expert opinion were not eliminated.
Study Designs
The majority of selected studies evaluated the in-
cidence of awareness (Table 1) and only a few addressed
psychological sequelae of intra opera! ve awareness. These
studies employ diff erent strategies in discovering the inci-
dence of awareness and PTSD. Sandin et al.5 inves! gated
the possibility of awareness or awake paralysis in 11,785
pa! ents who had undergone general anesthesia. Interviews
were performed by trained staff using the Brice modifi ed in-
terview (Table 2) and took place before the pa! ent le% the
post-anesthesia care unit (PACU); 1-3 days a% er; and 7-14
days a% er the surgery. A similar method was also used by
Sebel et al.10 in interviewing 19,575 pa! ents in the recov-
ery room and follow-up interview up to two weeks follow-
ing the surgery. Errando et al.11 also used a similar strategy
(with the excep! on of u! lizing their own structured inter-
view) when interviewing 4,001 pa! ents in PACU immedi-
ately a% er the surgery and follow-up interviews to confi rm
awareness episodes on the seventh and thir! eth day a% er
surgery. In another study conducted in Australia, Myles et
al.12 calculated the incidence of awareness when evalua! ng
pa! ent’s sa! sfac! on with anesthesia. Their interviews took
place within 24 hours a% er the surgery and the pa! ents
were asked whether they were ‘sa! sfi ed’, ‘somewhat dis-
sa! sfi ed’, or ‘dissa! sfi ed’ with the anesthe! c service they
had received. The reasons for pa! ents’ dissa! sfac! on were
further explored a% erwards.
Another study by Wennervita et al.13 aimed to
assess the incidence of awareness and recall during gen-
eral anesthesia in outpa! ent surgery and used inpa! ents
MARIA BLANDINA
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 65•
as controls. A total number of 1500 outpa! ents and 2343
inpa! ents were interviewed during their stay in the re-
covery room using a modifi ed version of Brice interview
method. Those found to have recollec! ons in the recovery
room were reinterviewed by one of the researchers on the
same day or the following day and later reinterviewed for
the third ! me by phone within 12-24 months a% er the op-
era! on to evaluate the possibility of psychological sequelae
that may follow (e.g. sleep disturbances, anxiety, depres-
sion, preoccupa! on with death). Paech et al.14 also used
modifi ed Brice interview method in assessing 1095 cases of
cesarean sec! on under general anesthesia for incidence of
awareness and recall. Pa! ents were interviewed at two oc-
casions; the fi rst 2-6 hours postopera! vely and the second
at least 48 hours a% er surgery (but before being discharged
from the hospital). Brice modifi ed interview was also used
by Ranta et al.15 in evalua! ng pa! ents’ conscious recollec-
! ons from cardiac surgery. Nine hundred and twenty nine
pa! ents were interviewed within postopera! ve days 1 to
18.
Incidence of Awareness
In 2000, Sandin et al.5 reported that a% er inter-
viewing 11,785 pa! ents who had undergone general anes-
thesia, it was established that the rate of incidence of intra
opera! ve awareness was 0.18% in cases where neuromus-
cular blockers were used and 0.10% in the absence of those
drugs. A similar incidence of awareness (0.11%) was also
reported by Myles et al.6 on the same year when inves! gat-
ing risk factors for pa! ents’ dissa! sfac! on a% er anesthesia.
Sebel et al.10 later confi rmed that percentage with an over-
all incidence of 0.13% in 19,575 pa! ents in a mul! center
study in the United States of America. This rate is equiva-
lent to 1 to 2 cases of intra opera! ve awareness in every
1000 pa! ents who receive general anesthesia. However,
Errando et al.11 reported an incidence rate as high as 1.0%
among 4,001 interviewed pa! ents or 0.8% if emergency pa-
! ents were excluded, which is comparable to 8 to 10 cases
in every 1000 pa! ents receiving general anesthesia.
An excep! onally low incidence of intra opera! ve
awareness was reported by Pollard et al.16 in 2007. The
authors reviewed the data collected over 3-year period
through a major regional medical system in the United
States. A diff erent, somewhat modifi ed version of Brice
ques! onnaire than previously used in other studies was u! -
lized as a method for inves! ga! ng awareness in this study
and six awareness cases out of the total of 177,468 pa! ents
was found. From this result, the authors then calculated
a substan! ally lower incidence rate of 0.0068%, which is
equivalent to 1 case per 14,560 pa! ents.
Risk Factors for awareness
Types of surgery
A slightly higher incidence of intra opera! ve
awareness than is normally reported in the general surgical
popula! on had been observed by Paech et al.14 amongst
the obstetric popula! on of women who underwent cesar-
ean sec! on. The observed rate of 0.26% confi rmed that
pregnant women are at high-risk of awareness. Factors that
may account for higher risk of awareness in the obstetric
popula! on include physiological changes during pregnancy
(e.g. an increased cardiac output), which accelerate the re-
distribu! on of intravenous anesthe! c agents and reduce
the establishment of an adequate par! al pressure of vola-
! le anesthe! c agent, and lighter general anesthesia which
is usually given for obstetric pa! ents to avoid the depres-
sant eff ects of vola! le agents on the newborn and on the
uterine musculature a% er delivery. 14, 17
Another group of pa! ents with high-risk of aware-
ness are those undergoing cardiac surgery. The main reason
for the increased risk is that general anesthesia in cardiac
surgery may rely only on opioids and benzodiazepines while
vola! le agents may o% en be avoided in pa! ents who al-
ready have considerable preopera! ve myocardial morbid-
ity and those who may develop complica! ons (e.g. coagu-
la! on problems) a% er bypass surgery.17 A study by Ranta
et al.15 inves! gated the incidence of awareness with post-
opera! ve recall by surveying the experience of 929 cardiac
surgery pa! ents. They reported an incidence of 0.5% when
only the pa! ents with objec! ve recollec! ons were includ-
ed which was s! ll a higher incidence compared to those in
general surgical popula! ons. However, the authors claimed
that the incidence rate was similar to those in non-cardiac
surgery popula! ons.
Hypovolemic trauma pa! ents also have a signifi -
cantly increased risk of awareness even though they be-
come more hypotensive with the administra! on of anes-
the! c drugs from which cerebral perfusion is expected to
decrease and therefore, theore! cally, should reduce aware-
ness17. Postopera! ve recall, however, has been known to
occur despite signifi cant hypotension during resuscita! on 17. The incidence rate of awareness in trauma pa! ents could
not be obtained due to the lack of awareness studies as-
sessing this group of pa! ents.
Pa! ent variability
A previous history of awareness and history of dif-
fi cult intuba! on, which could be discovered preopera! ve-
ly, are both factors which signifi cantly increase the risk of
awareness and may therefore infl uence anesthe! c require-
ments. Less readily iden! fi able and more complex factors,
such as gene! cs, pa! ent physiology, and drug interac! ons
may also play a role in the variability of response to anes-
the! cs. Chronic use of alcohol, opioids, seda! ves, and the
acute use of amphetamines may increase anesthe! c drugs
doses required to produce and maintain anesthesia.17
Age and Gender
Minimum alveolar concentra! on (MAC) is the
standard measurement used to determine the potency of
inhaled anesthe! c drugs. MAC increases as age decreases
and therefore larger inhaled concentra! ons of vola! le an-
esthe! cs are required in order to maintain the state of un-
consciousness in young pa! ents.18 An increase in anesthe! c
requirements in young pa! ents compared to elderly pa-
! ents suggest that younger pa! ents are more likely to suf-
fer from awareness.17 In fact, a higher incidence of aware-
ness among children has been reported in the literature. A
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 66•
prospec! ve study of awareness by Davidson et al.18 involv-
ing 864 children undergoing general anesthesia at the Royal
Children’s Hospital in Melbourne, Australia, established an
incidence rate of 0.8% which is equivalent to 8 awareness
cases in every 1000 children. However, unlike adult cases of
awareness, no signs of distress were observed in children
who experienced awareness and the postopera! ve behav-
ioral disturbances are comparable to those who did not ex-
perience awareness.
Gender is also a risk factor for awareness. Women
are found to be more likely to report intra opera! ve aware-
ness and they also recover from anesthesia more rapidly
compared with men which suggests that women may be
less sensi! ve to the eff ects of anesthe! c agents.17
Incidence of PTSD following intra opera! ve awareness
Lennmarken et al.19 performed a follow-up study
to inves! gate the long-term mental eff ects of awareness
by ques! oning the 18 pa! ents iden! fi ed by Sandin et al.5
in the study published two years prior. Only nine out of 18
pa! ents were available for evalua! on (six of them declined
to par! cipate) and four out of those nine pa! ents were
found to have severe psychiatric/psychological symptoms.
All four pa! ents could recall in detail their trauma! c events
of awareness and the memories showed no propensity to
diminish. They revealed common symptoms of PTSD such
as re-experiencing events, feelings of fear and helplessness,
fl ashbacks, panic a+ acks, anxiety, diffi culty concentra! ng,
irrita! on, insecurity, sleep disturbances and nightmares. All
four of them affi rmed that these symptoms had caused im-
pairment in their social lives for the whole 2 years following
the surgery.
Samuelsson et al.7 reported 46 pa! ents who had
experienced awareness under general anesthesia earlier in
their lives in a cohort of 2,681 pa! ents. Thirty one of them
denied any late psychological symptoms while the remain-
ing 15 pa! ents experienced nightmares, anxiety, and fl ash-
backs. These symptoms faded within 2 months in 9 out of
those 15 pa! ents and persisted only in the form of night-
mares and fl ashbacks for years in the other 4 pa! ents. The
remaining two pa! ents developed severe mental problems
and underwent psychiatric therapy. However, only one of
the two pa! ents was diagnosed with PTSD (while the other
was diagnosed with schizophrenia) and whether or not it
was caused by intra opera! ve awareness was obscured
by the fact that she had been exposed to extreme mental
stress earlier in her life.
An incidence rate of 56.3% for PTSD following
awareness was accounted by Osterman et al.20 a% er in-
terviewing 16 subjects who were recruited from adver-
! sements in newspapers, fl iers in hospitals, self-referred
following print and television news stories, or referred by
an anesthesiologist. Subjects reported signifi cant postop-
era! ve distress during their awareness episode, with most
common and intense experiences of feeling unsafe and
helpless, abandoned by his/her doctors and nurses, feeling
betrayed by his/her doctors and nurses, terror, and inability
to communicate. Nine out of the sixteen subjects met the
DSM-IV diagnos! c criteria for PTSD with func! onal impair-
ment years a% er suff ering intra opera! ve awareness. How-
ever, the study is weakened by poten! al selec! on bias.
The more credible percentage was previously es-
tablished by Schwender et al.21 a% er interviewing two
groups of pa! ents with experience of awareness during
general anesthesia (21 pa! ents who answered to adver-
! sement and 24 pa! ents who were referred by colleagues
from three large hospitals involved in the study). Twenty-
two of 45 pa! ents (50%) were found to suff er a% er eff ects
of their awareness episode (e.g. reluctance to undergo fu-
ture anesthesia and opera! ons, suff ered anxiety during the
day, and had nightmares at night) and three of them (6.6%)
developed PTSD syndrome. Schwender et al. also discov-
ered that, during the awareness episode, visual percep! on
was reported by nearly 50% of pa! ents and an incidence
of pain percep! on of 25% with 17.8% of pa! ents suff ering
severe pain localized in the area where the pain s! muli oc-
cured. All 45 pa! ents reported auditory percep! on during
their episodes: 20 pa! ents could recall the remarks made
by the surgical team that were emo! onally relevant to
them (e.g. derogatory remarks) while the other 25 pa! ents
only recalled theatre conversa! ons and noises.
Preven! on of intra opera! ve awareness and PTSD
The fi rst line of awareness preven! on starts with
preopera! ve assessment. Pa! ents at high risk of awareness
should be iden! fi ed in the pre-admission clinic and their
management should be planned a% erwards.2 Pa! ents at
risk of awareness include those having high-risk of aware-
ness surgery (e.g. cardiac surgery and cesarean sec! on) or
surgery associated with signifi cant blood loss, pa! ents who
are medicated with signifi cant doses of seda! ves and an-
algesic drugs, and pa! ents with previous history of aware-
ness.2 This group of pa! ents should be provided with infor-
ma! on about awareness and assured that there would be
eff orts to prevent such an unfortunate event from happen-
ing.2
BIS Monitoring
The bispectral index system (BIS) is an apparatus
created to indirectly monitor hypno! c depth and anes-
the! c drug concentra! ons in general anesthesia by pro-
cessing electroencephalogram data through a proprietary
algorithm, which is then displayed as a calculated dimen-
sionless parameter between 0 and 100 (with 40 to 60 con-
sidered appropriate for general anesthesia).2, 12 BIS moni-
tor was the fi rst device approved by the US Food and Drug
Administra! on for monitoring anaesthesic depth and it has
the capability of reducing the incidence of awareness by
aler! ng the anaesthe! sts when the depth of anesthesia is
inadequate. A randomized double-blind controlled trial by
Myles et al.12 showed that BIS monitoring could reduce the
incidence of awareness by 82% in at-risk adults undergoing
relaxant general anesthesia. It also confi rmed that aware-
ness during BIS monitoring is less common than during rou-
! ne care. However, Avidan et al.22 challenged this fi nding by
proposing that BIS monitoring was not proven to be more
benefi cial than a protocol based on end-! dal anesthe! c gas
(ETAG) concentra! ons for preven! ng anesthesia aware-
MARIA BLANDINA
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 67•
ness. However, the study was under-powered to draw any
conclusions as there were only two cases of awareness in
each group.
Beta-Blockers
Salomons et al.23 presented two cases of PTSD that
persisted for years a% er intra opera! ve awareness in which
the pain symptoms that they re-experienced were similar
in loca! on to the pain they had felt during their episodes
of awareness. These two cases suggested that some s! muli
that were associated with the trauma may have triggered
pain fl ashbacks and this could be further denoted as fear
condi! oning that may have occurred around the ! me of
trauma.23 Pitman et al.24 proposed that adrenaline release
at the ! me of a psychologically trauma! c event could ini-
! ate an exaggerated emo! onal memory and fear condi-
! oning which consequently manifest as PTSD symptoms.
Given this theory, administra! on of propanolol to block
β-adrenergic receptors immediately a% er a trauma! c event
could have a prophylac! c eff ect. A double-blind, placebo-
controlled pilot study24 proved that a course of propranolol
which begun shortly a% er an acute trauma! c event is ef-
fec! ve in reducing PTSD symptoms 1 month later. Further
studies, however, are s! ll required to reassure this fi nding.
DISCUSSION
The word “anesthesia” originated from the Greek
word “anaisthēsia” which literally means “loss of feeling or
sensa! on”. 25 Indeed, the aim of anesthesia is to ar! fi cially
induce the loss of physical sensa! on, most especially pain,
with or without loss of consciousness through the adminis-
tra! on of various anesthe! c drugs, gases, and any other an-
esthe! c agents. The fundamental role of an anaesthe! st in
general anesthesia is therefore to keep a pa! ent in a state
of unconsciousness in conjunc! on with complete loss of
physical sensa! on. Unfortunately, mul! ple factors may at
! mes fail anaesthe! sts to achieve this idyllic goal and con-
sequently result in awareness.
This review found the incidence rate for in-
tra opera! ve awareness in general surgical popula! on var-
ied between 0.10% and 1.0% (with an excep! on of 0.0068%
incidence rate reported in one study 16 and equivalent to 1
to 10 awareness cases per 1000 pa! ents. 5, 6, 10, 11 Larger per-
centages were es! mated for pa! ents undergoing cesarean
sec! ons and cardiac surgeries with incidence rates of 0.26% 14 and 0.5% 15, respec! vely, which are comparable to 3 and
5 awareness cases per 1000 pa! ents. The most common
complaint reported by pa! ents in these studies was audi-
tory percep! on, whether it was the voices of the surgeons
conversing with other members of the surgical team or
barely audible noises in the background. Other complaints
include loss of motor func! on, feeling of imminent death,
feeling helpless, anxiety, panic, and pain. Most awareness
cases in the studies were detected using a modifi ed Brice
interview ques! onnaire (Table 2) and enquired during the
pa! ents’ stay at the PACU and repeated at intervals of days
and weeks a% er the surgery. The majority of awareness
cases were discovered within days or weeks a% er the op-
era! on and not while the pa! ents were in the PACU, which
showed that pa! ents’ recollec! ons of their awareness
episode o% en gradually emerged over ! me. The eff ects of
residual anesthe! cs and the pa! ents’ divided a+ en! on in
the early recovery period (which is usually more focused
on common symptoms such as pain and nausea) are the
main causes for delayed recollec! ons.17 Addi! onally, the
trauma of conscious awareness may have dissocia! ve ef-
fects on the pa! ents’ mental state that leads to the division
of memory of the event into sensory fragments and ago-
nizing emo! onal states, which consequently hinders these
pa! ents from fully recoun! ng their experience. 17
The greatest concern surrounding intra
opera! ve awareness is the severe long-term psychologi-
cal sequelae that may develop a% erwards. The extent of
psychological impact on pa! ents following intra opera! ve
awareness varies individually. Some may only experience
short-term psychological disturbances such as nightmares
and diffi culty sleeping which are resolved within a few
weeks, while others may develop debilita! ng long-term
psychiatric disorder such as PTSD. Four studies that inves-
! gated the psychological sequelae of awareness found in-
cidences of PTSD in 22.2% 19, 56.3% 20 and 6.6% 21 of aware-
ness cases. Limited number of studies and the poten! als
for selec! on bias in the studies performed restrict the con-
fi dence to draw any conclusions on the true incidence of
PTSD following intra opera! ve awareness.
The development of PTSD in awareness may be
due to “inescapable stress” situa! on while pa! ents are
conscious of intra opera! ve s! muli. 26 Failure of escaping
stressful event through normal “fi ght or fl ight” response
results in passive coping mechanism or dissocia! on. 26 Pa-
! ents who suff er from dissocia! on would appear expres-
sionless, silent, and indiff erent toward their surroundings. 20 They o% en also appear calm and seemingly non-trau-
ma! zed by the experience.20 Coping mechanism through
parasympathe! c ac! vity would show reduced heart rate
as a physical sign.20 A dissocia! ve state around the ! me of
trauma where the pa! ents are incapable of narra! ng their
experience as a result of fragmented memory is a signifi -
cant long-term predictor for the development of PTSD.27, 28
Van der Kolk & Fisler 27 explained that considerable narrow-
ing of consciousness occur when people feel threatened.
This narrowing of consciousness may advance toward loss
of memory for parts or for the en! re experience when an
individual is trauma! zed, leaving him or her unable to give
coherent account of the event. Some aspects of the trauma
may invade consciousness when the person fails to organize
the trauma! c memory into a narra! ve and results in terrify-
ing percep! ons, obssessional preoccupa! ons, and soma! c
reexperiences of the event.27
The three main characteris! cs of PTSD are: 1).
re-experience, 2). avoidance, and 3). hyperarousal.26 Re-
experiencing usually happens in the form of nightmares
and fl ashbacks in which they would re-experience paralysis,
auditory percep! on, sense of helplessness and anxiety, and
some! mes even feel the pain of surgical s! muli.20 Re-ex-
periencing is usually triggered by reminders that resemble
their trauma! c situa! on such as the state of light sleep or
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 68•
the process of falling asleep, sounds of clinking silverware,
or smell of alcohol.26 Re-experiencing and insomnia are the
two most common complaints reported by postawareness
pa! ents in the studies. Postawareness pa! ents have also
been known to avoid cues and situa! ons that would con-
front them with their trauma! c memories such as hospitals,
medical workers, television programs with hospital themes,
and some even develop sleep phobias.8, 20 Avoiding these
cues and situa! on may o% en prevent these pa! ents from
inquiring a% ercare and discussing their experience with
medical personnel.26 Avoidance was perhaps the reason
for pa! ents’ refusal to par! cipate in the two year follow-up
study by Lennmarken et al19. For this same reason, pa! ent
recruitment through adver! sements to inves! gate PTSD
would be largely ineff ec! ve. Physiological hyperarousal
symptoms in PTSD include easy startle, hypervigilance, and
irritability.20
A pa! ent’s understanding of their experience is cru-
cial in preven! ng psychological morbidity in postawareness
pa! ents.4 When awareness is suspected to have happened
during a surgery, anaesthe! sts or surgeons should clarify
with the pa! ent the reasons why awareness occurred and
reassure that it is unlikely to happen again in the future.1 It
should also be noted that, when awareness is suspected to
be occurring during a procedure, speaking to the pa! ents
and telling them that the surgical team is aware that they
are awake and that they are ge< ng help would signifi cantly
diminish the trauma! zing eff ect of the experience.20, 26 Vali-
da! on by medical personnel of the actuality of the traumat-
ic experience has been reported to prevent the develop-
ment of PTSD and even diminish or stop PTSD symptoms.4,
26 In conclusion, social support and acknowledgement are
the most vital protec! ve factors against the development
of PTSD in pa! ents suff ering intra opera! ve awareness.26
Further studies on intra opera! ve awareness are
necessary to establish more accurate prevalence, expand
our comprehension on its psychological impact, improve
detec! on of awareness, and develop eff ectual treatment.26
Crea! ng a registry for postawareness pa! ents similar to
the one established by The American Society of Anesthesi-
ologists (www.AwareDB.org) would prove benefi cial to in-
crease our knowledge of awareness from direct pa! ent re-
ports. This program would also be a useful way to educate
pa! ents by providing helpful informa! on on awareness.
Finally, educa! on on intra opera! ve awareness for surgical
and anesthesia teams is necessary to further understand
the issue as well as gaining knowledge of managing such an
event.
CONCLUSION
It is crucial for surgical and anesthesia teams to ac-
knowledge the reality of surgical experience and recognize
the emo! onal impact on pa! ents. For a variety of reasons,
pa! ents rarely report awareness and their suff erings o% en
le% unrecognized. The propensity for avoidance rather than
inquiring assistance in these pa! ents makes it necessary to
include awareness detec! on in clinical rou! nes with the
aim of improving anesthe! c prac! ce. Awareness assess-
ment should be an ongoing process that begins in the re-
covery room and con! nued through to follow-up visits with
the surgeons. Awareness-induced PTSD should be consid-
ered for any pa! ent with psychiatric complains following
surgery and therefore con! nuous postopera! ve assess-
ment is vital in discovering the ma+ er. A thorough periop-
era! ve management of anesthesia is crucial in preven! ng
intra opera! ve awareness and postopera! ve professional
psychiatric assessment and follow-up should be established
as standard prac! ce for those in need of further assistance
a% er experiencing intra opera! ve awareness.
KEY POINTS
• Intra opera! ve awareness can be defi ned as the
unexpected and explicit recall by pa! ents of intra
opera! ve events that occur during general anes-
thesia.
• The causes of awareness are s! ll uncertain and the
problem is thought to be mul! factorial.
• The extent of psychological impact on pa! ents
following intra opera! ve awareness varies indi-
vidually; some may only experience short-term
psychological disturbances, while others develop
debilita! ng long-term psychiatric disorder such as
PTSD.
• Re-experience, avoidance, and hyperarousal are
the three main characteris! cs of PTSD.
• Further studies on intra opera! ve awareness that
aim to establish more accurate prevalence, expand
our comprehension on its psychological impact,
improve detec! on of awareness, and develop ef-
fectual treatment are indispensable.
REFERENCES
1. Orser BA, Mazer CD, Baker AJ. Awareness during an-
esthesia. Canadian Medical Associa! on Journal.
2008;178(2):185-8.
2. Myles PS. Preven! on of awareness during anesthe-
sia. Best Prac! ce & Research Clinical Anaesthesiology.
2007;21(3):345-55.
3. Lennmarken C, Sydsjo G. Psychological consequences
of awareness and their treatment. Best Prac! ce & Re-
search Clinical Anaesthesiology. 2007;21(3):357-67.
4. Forman SA. Awareness during general anesthesia: con-
cepts and controversies. Seminars in Anesthesia, Peri-
opera! ve Medicine and Pain. 2006;25:211-8.
5. Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, Lennmarken C.
Awareness during anesthesia: a prospec! ve case study.
The Lancet. 2000;355:707-11.
6. Myles PS, Williams DL, Hendrata M, Anderson H, Weeks
AM. Pa! ent sa! sfac! on a% er anesthesia and surgery:
results of a prospec! ve survey of 10,811 pa! ents. Brit-
ish Journal of Anesthesia. 2000;84(1):6-10.
7. Samuelsson P, Brudin L, Sandin RH. Late Psychological
Symptoms a% er Awareness among Consecu! vely In-
cluded Surgical Pa! ents. Anesthesiology. 2007;106(26-
32).
8. Turnstall M, Lowit I. Clinical curio: sleep phobia af-
MARIA BLANDINA
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 69•
ter awareness during general anesthesia: treatment
by induced wakefulness. Bri! sh Medical Journal.
1982;285:865.
9. Hammer GB. Awareness during general anesthesia in
children. Seminars in Anesthesia, Periopera! ve Medi-
cine and Pain. 2006;25:95-9.
10. Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, Rampil IJ, Padilla
RE, Gan TJ, et al. The Incidence of Awareness During
Anesthesia: A Mul! center United States Study. Anes-
thesia & Analgesia. 2004;99:833-9.
11. Errando CL, Sigl JC, Robles M, Calabuig E, Garcia J,
Arocas F, et al. Awareness with recall during gen-
eral anesthesia: a prospec! ve observa! onal evalua-
! on of 4,001 pa! ents. Bri! sh Journal of Anesthesia.
2008;101(2):178-85.
12. Myles PS, Leslie K, McNeil J, Forbes A, Chan M. Bispec-
tral index monitoring to prevent awareness during an-
esthesia: the B-Aware randomized controlled trial. Lan-
cet. 2004;363:1757-63.
13. Wennervirta J, Ranta SO-V, Hynynen M. Awareness and
Recall in Outpa! ent Anesthesia. Anesthesia & Analge-
sia. 2002;95:72-7.
14. Paech MJ, Sco+ KL, Clavisi O, Chua S, McDonnell N,
Group tAT. A prospec! ve study of awareness and re-
call associated with general anesthesia for caesarean
sec! on. Interna! onal Journal of Obstetric Anesthesia.
2008;17:298-303.
15. Ranta SO-V, MD., Herranen P, RN. , Hynynen M, MD. Pa-
! ents’ Conscious Recollec! ons From Cardiac Anesthe-
sia. Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia.
2002;16(4):424-30.
16. Pollard R, Coyle J, Gilbert R, Beck J. Intra opera! ve
Awareness in a Regional Medical System: A Review of 3
Years’ Data. Anesthesiology. 2007;106:269-74.
17. Ghoneim MM. Incidence of and risk factors for aware-
ness during anesthesia. Best Prac! ce & Research Clini-
cal Anaesthesiology. 2007;21(3):327-43.
18. Davidson AJ, Huang GH, Czarnecki C, Gibson MA, Stew-
art SA, Jamsen K, et al. Awareness During Anesthesia
in Children: A Prospec! ve Cohort Study. Anesthesia &
Analgesia. 2005;100:653-61.
19. Lennmarken C, Bildfors K, Enlund G, Samuelsson P, San-
din R. Vic! ms of awareness. Acta Anaesthesiologica
Scandinavica. 2002;46:229-31.
20. Osterman JE, Hopper J, Heran WJ, Keane TM, van der
Kolk BA. Awareness under anesthesia and the develop-
ment of pos+ rauma! c stress disorder. General Hospital
Psychiatry. 2001;23:198-204.
21. Schwender D, Kunze-Kronawi+ er H, Dietrich P, Klas-
ing S, Forst H, Madler C. Conscious awareness during
general anesthesia: pa! ents’ percep! ons, emo! ons,
cogni! on and reac! ons. Bri! sh Journal of Anesthesia.
1998;80:133-9.
22. Avidan MS, Zhang L, Burnside BA, Finkel KJ, al. e. An-
esthesia Awareness and the Bispectral Index. The New
England Journal of Medicine. 2008;358(11):1097-108.
23. Salomons T, Osterman J, Gagliese L, Katz J. Pain Flash-
backs in Pos+ rauma! c Stress Disorder. Clinical Journal
of Pain. 2004;20(2):83-7.
24. Pitman R, Sanders K, Zusman R, al. e. Pilot Study of
Secondary Preven! on of Pos+ rauma! c Stress Disorder
with Propanolol. Biological Psychiatry. 2002;51:189-92.
25. ENCARTA. Encarta World English Dic! onary [North
American Edi! on]. Bloomsbury Publishing Plc.; 2009
[updated 2009; cited 2009 May 19th]; Available from:
h+ p://encarta.msn.com/dic! onary_1861585551/an-
esthesia.html.
26. Osterman JE, van der Kolk BA. Awareness During Anes-
thesia and Pos+ rauma! c Stress Disorder. General Hos-
pital Psychiatry. 1998;20:274-81.
27. Van der Kolk BA, Fisler R. Dissocia! on and the Frag-
mentary Nature of Trauma! c Memories: Overview
and Exploratory Study. Journal of Trauma! c Stress.
1995;8(4):505-25.
28. Davidson A. Consequences of Awareness. Australian
and New Zealand College of Anaesthe! sts; 2005 [up-
dated 2005; cited 2009 May 20th]; Available from:
http://www.anzca.edu.au/events/asm/asm2005/da-
vidsona_awareness-1.htm.
Kesadaran Intraoperatif dalam Anestesi Umum dan Pembentukkan Post-traumatic Stress Disorder I Intraoperative Awareness in General Anesthesia and the Developement of Post-traumatic Stress Disorder
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 70•
ABSTRACT
The classical extraconal (peribulbar) block was in-
troduced in 1986 as a safer alterna! ve to the retrobulbar
block, in which the needle ! p remained outside the muscle
cone.
Intraconal (retrobulbar) block involves the injec! on
of a local anaesthe! c agent into the muscle cone, behind
the globe that is more easy to occur complica! on. Muscle
cone formed by 4 rec! muscles and the superior and in-
ferior oblique muscles. Eviscera! on is the surgical removal
of the contents of the eye, leaving the white part of the
eye and the eye muscles intact. Usually, this procedure un-
der general anaesthesia technique, but that have worried
about prolong ven! la! on a# er surgery or other complica-
! on related general anaesthesia, and ambulatory se* ng
changes. Knowledge of orbital anatomy and training are es-
sen! al for the prac! ce of safe orbital regional anaesthesia
and similar the aim of ambulatory anaesthesia “ low cost,
pa! ent safety and sa! sfac! on”.
Keywords: Peribulbar block, modality ambulatory, eviscera-
! on
ABSTRAK
Blok Peribulber yang telah diperkenalkan tahun
1986 merupakan pilihan cara yang lebih aman dibanding
blok retrobulber dimana ujung jarum ditempatkan diluar
“muscle cone”. Pada blok retrobulber ujung jarum ditem-
patkan di dalam “muscle cone”, dibelakang bola mata se-
hingga mudah terjadi komplikasi. “Muscle cone” dibentuk
oleh 4 otot rektus dan otot oblik superior dan inferior.
Eviserasi adalah operasi pengeluaran isi bola tanpa men-
gangkat sklera dan tanpa memotong otot-otot bola mata.
Biasanya operasi ini dilakukan dengan teknik anestesi
umum. Namun ada kekhawa! ran terjadinya “prolong ven! -
la! on” atau komplikasi lainnya sehubungan dengan tehnik
anestesi umum yang menyebabkan prosedur ambulatory
berubah. Blok Peribulber dapat merupakan suatu modali-
tas anestesi ambulatori karena dengan teknik ini dapat kita
hindari komplikasi akibat anestesi umum. Pengetahuan
anatomi bola mata yang baik disertai pela! han yang baik
diperlukan dalam praktek regional anestesia mata yang
aman dan hal ini sesuai dengan tujuan pada anestesi ambu-
latori yaitu biaya murah, aman bagi pasien dan nyaman.
Kata kunci: Blok peribulber, modalitas ambulatori, evisera-
si.
INTRODUCTION
The terminology used for regional orbital blocks is
controversial. A name based on the likely anatomical place-
ment of the needle is accepted widely. An intraconal (ret-
robulbar) block involves the injec! on of a local anaesthe! c
agent into the part of the orbital cavity (the muscle cone),
behind the globe that is formed by 4 rec! muscles and the
superior and inferior oblique muscles. The classical extra-
conal (peribulbar) block was introduced in 1986 as a safer
alterna! ve to the retrobulbar block, in which the needle ! p
remained outside the muscle cone.
The provision of ophthalmic regional anaesthesia
for eye surgery varies worldwide. These may be chosen to
eliminate eye movement or not and both non-akine! c and
akine! c methods are widely used. Pa! ent comfort, safety
and low complica! on rates are the essen! als of regional
anaesthesia.
The anaesthe! c requirements for ophthalmic sur-
gery are dictated by the nature of the proposed surgery, the
surgeon’s preference and the pa! ent’s wishes. Eviscera! on
surgery is the commonest ophthalmic surgical procedure
and general anaesthe! c technique is usually preferred. 4,7
Ambulatory anesthesia is tailored to meet the
needs of ambulatory surgery so you can go home soon af-
ter your opera! on. Short-ac! ng anesthe! c drugs and spe-
cialized anesthe! c techniques as well as care specifi cally
focused on the needs of the ambulatory pa! ent are used to
make your experience safe and pleasant. In general, if you
are in reasonably good health, you are a candidate for am-
bulatory anesthesia and surgery. A ques! on is “How about
a pa! ent with co-excis! ng disease “ (example : Staphy-
loma cornea with destroyed lung/ asthma bronchiale etc,
undergoing to eviscera! on surgery ), usually, who are un-
dergoing eviscera! on surgery with general anaesthesia
I TINJAUAN PUSTAKA I
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi
O% almika
Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophthalmic Eviscera! on
Surgery
Andi Salahuddin
Andi SalahuddinDepartment of Anesthesiology, Intensive Care and Pain
Management of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital
Faculty of Medicine Hasanuddin University Makassar
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 71•
technique, but some anaesthe! st worry about prolong
ven! la! on a% er surgery or asthma a+ ack, and ambulatory
se< ng changes (see. Fig.1,2) .Based on your medical his-
tory, a type of anaesthe! c may have an addi! onal margin
of safety. As an outpa! ent, some techniques may allow you
to recover more quickly with fewer side eff ects, for example
: peribulbar regional ophthalmic anaesthesia.
There are many advantages of regional anesthesia.
First, the pa! ent is conscious during surgery. Therefore, the
pa! ent can maintain his own airway, contain his own gastric
secre! ons, and warn the surgeon of impending complica-
! ons, for example ver! go in stapes surgery. Next, unlike
general anesthesia, pa! ents are awake and usually have a
smooth postopera! ve course. This allows for less nursing
care a% er procedures, and shorter recovery ! mes facilitat-
ing outpa! ent surgery. Another advantage is the elimina-
! on of painful aff erent s! muli for the opera! ve site plus
the blockade of eff erent sympathe! c nerves to endocrine
glands eliminates or greatly reduces the metabolic endo-
crine changes seen a% er surgical opera! ons. 1,2,3
Each pa! ent is unique, your anesthesiologist will
carefully evaluate you and your health status to determine
if you should undergo ambulatory anesthesia.6
With the growth in ambulatory surgery and anes-
thesia in the United States comes a parallel growth in liabili-
ty for the anesthesiologist providing ambulatory anesthesia
services. The U.S. government es! mates that about half of
all anesthesia procedures are conducted on an ambulatory
basis. The good news for anesthesiologists prac! cing in an
outpa! ent se< ng is that fewer than half of all closed anes-
thesia malprac! ce claims arise from procedures conducted
on an ambulatory basis.2
Assessment and Prepara! on
Preopera! ve prepara! on and assessment vary
worldwide. In the UK, the Joint Colleges Working Party Re-
port recommended that pa! ents are not fasted but fas! ng
policies vary considerably. Complica! on rates as a result of
starva! on or aspira! on in ophthalmic regional anaesthesia
are unknown and dangers remain if a pa! ent vomits whilst
undergoing any form of anaesthesia and surgery. Accord-
ing to published guidelines and reported evidence, rou! ne
inves! ga! on of pa! ents undergoing cataract surgery is not
essen! al because it improves neither the health nor the
outcome of surgery, but tests can be done to improve the
general health of the pa! ent if required. The preopera! ve
assessment should always include a specifi c enquiry about
bleeding disorders and related drugs. There is an increased
risk of haemorrhage and this requires that a clo< ng profi le
is available (and recorded) prior to injec! on. Pa! ents re-
ceiving an! coagulants are advised to con! nue their medi-
ca! on. Clo< ng results should be within the recommended
therapeu! c range. Currently there is no recommenda! on
for pa! ents receiving an! platelet agents. Procedures under
topical, subconjunc! val, sub-Tenon’s or shallow peribulbar
blocks are recommended.
There are a number of risk factors that predispose
the globe to needle penetra! on. The presence of a long
eye, staphyloma or enophthalmos, faulty technique, a lack
of apprecia! on of risk factors, an uncoopera! ve pa! ent
and the use of unnecessarily long needles are some of the
contribu! ng causes. Pa! ents presen! ng with axial myopia
have greater risk of globe puncture compared with pa! ents
with normal axial length and carry a risk rate of one perfo-
ra! on for every 140 needle blocks performed in eyes with
an axial length greater than 26 mm. A precise axial length
measurement is usually available for intraocular lens diop-
tre power calcula! on before cataract surgery. If the block is
performed for other surgery and the axial length measure-
ment is not known, close a+ en! on to the dioptre power of
pa! ents spectacles or contact lenses may provide valuable
clues to globe dimension. In the presence of high myopia,
a classical peribulbar block or a single medial peribulbar
injec! on is advocated. Similar cau! on will apply where
there is a pre-exis! ng scleral buckle from an earlier re! nal
opera! ve procedure. Once the decision is made to oper-
ate, the anaesthe! c and surgical procedures are explained
to the pa! ents to enable informed consent. All monitoring
and anaesthe! c equipment in the opera! ng environments
should be fully func! onal. Blood pressure, oxygen satura-
! on and ECG leads are connected and baseline recordings
are obtained. Intravenous line must be inserted before em-
barking on a needle block. The presence of a secure intra-
venous line remains good clinical prac! ce.
Applied Anatomy
As with all regional anaesthe! c techniques, knowl-
edge of the anatomy of the orbit and its contents is essen-
! al to the safe prac! ce of ophthalmic regional anaesthesia
and many excellent textbooks on anatomy are available.
The orbit is an irregular four-sided pyramid with its apex
poin! ng posteromedially and its base facing anteriorly. The
annulus of Zinn, a fi brous ring arising from the superior
orbital fi ssure, forms the apex. The base is formed by the
surface of the cornea, the conjunc! va and the lids. Globe
movements are controlled by the rectus muscles (inferior,
lateral, medial and superior) and the oblique muscles (su-
perior and inferior).
The rectus muscles arise from the annulus of Zinn
near the apex of the orbit and insert anterior to the equa-
tor of the globe, forming an incomplete cone. The distance
from the inferior temporal orbital rim to the annulus mea-
sures 42 to 54 mm. Within the annulus and the muscle cone
lie the op! c nerve (II), the oculomotor nerves (III containing
both superior and inferior branches), the abducent nerve
(VI nerve), the nasociliary nerve (a branch of V nerve), the
ciliary ganglion and vessels. The superior branch of ocu-
lomotor nerve supplies the superior rectus and the leva-
tor palpebrae muscles. The inferior branch of oculomotor
nerve supplies the medial rectus, the inferior rectus, and
the inferior oblique muscles. The abducens nerve sup-
plies the lateral rectus. The trochlear nerve (IV nerve) runs
outside and above the annulus, and supplies the superior
oblique muscle (retained ac! vity of this muscle is frequent-
ly observed as anaesthe! c agents o% en fail to block this
nerve).
Corneal and perilimbal conjunc! val and superona-
sal quadrant of the peripheral conjunc! val sensa! ons are
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 72•
mediated through the nasociliary nerve. The remainder of
the peripheral conjunc! val sensa! on is supplied through
the lacrimal, frontal and infraorbital nerves coursing out-
side the muscle cone; hence, intraopera! ve pain may be
experienced if these nerves are not blocked. The fascial
sheath (Tenon’s capsule) is a thin membrane that envelops
the globe and separates it from the orbital fat. It thus forms
a socket for the globe. The inner surface is smooth and
shiny and is separated from the outer surface of the sclera
by a poten! al space called the episcleral space. Crossing
the space and a+ aching the fascial sheath to the sclera are
numerous delicate bands of connec! ve ! ssue (Fig. 1).
Anteriorly, the fascial sheath is fi rmly a+ ached to
the sclera, about 3 to 5 mm posterior to the corneoscleral
junc! on. However, the descrip! on of Tenon’s capsule does
vary and one major textbook of anatomy suggests that the
space under the Tenon capsule is actually a lymph space
and this follows the op! c nerve and con! nues with sub-
arachnoid space.
Posteriorly, the sheath fuses with the meninges
around the op! c nerve and with the sclera around the exit
of the op! c nerve. The tendons of all 6 extrinsic muscles of
the eye pierce the sheath as they pass to their inser! ons on
the globe. At the site of perfora! on the sheath is refl ected
along the tendons of these muscles to form, on each, a tu-
bular sleeve. The superior oblique muscle sleeve extends as
far as the trochlea and the inferior oblique muscle sleeve
extends to the origin of the muscle.
The tubular sleeves for the 4 rec! muscles also have
expansions. Those for medial and lateral rec! are strong
and are a+ ached to the lacrimal and zygoma! c bones and
are called the medial and lateral check ligaments respec-
! vely. Thinner and less dis! nct expansions extend from the
superior rectus tendon to that of the levator palpebrae su-
perioris and from the inferior rectus to the inferior tarsal
plate. The inferior part of the fascial sheath is thickened and
is con! nuous medially and laterally with the medial and lat-
eral check ligaments. A matrix of connec! ve ! ssue, which
supports and allows dynamic func! on of the orbital con-
tents, also controls the injectate spread.
Globe and conjung! val anesthesia (conduc! on
block of intraorbital sensory devisions of the ophthalmic
branch of the trigeminal nerve) are achieved more easily
than globe akinesia (conduc! on block of intraorbital por-
! ons of the oculomotor cranial nerves III, IV and VI). The
oculomotor nerve enter the muscle bellies of the four rec-
tus muscles from the conal surface 1,0 – 1,5 from the apex
of the orbit. Local anaesthe! cs, in blocking concentra! ons,
have to reach an expose 5 – 10 mm segment of these motor
nerve in the posterior intracone space for conduc! on block
of those nerves and akinesia of their supplied muscles to
occur. Retained ac! vity of the superior oblique muscle fre-
quently seen a% er intraconal local anaesthe! cs injec! on,
because its motor nerve, the trochlear, runs an extraconal
course.
There is insuffi cient space between the lateral rec-
tus muscle and adjacent lateral orbit wall, and between the
inferior rectus muscle and adjacent orbit fl oor, to consider
place injectate in either loca! on without risking injury to
the respec! ve muscles.
Corneal and perilimbal conjung! val sensa! on is
mediated via nasociliary nerve which lies within the cone
of muscles; intracone blocks therefore produce anaesthesia
of the cornea and conjunc! va immediately surrounding it.
However the sensa! on of the peripheral conjunc! va is sup-
plied through the lacrimal, frontal and infraorbital nerve
coursing outside the muscle cone; intraopera! ve pain may-
be experienced in this area a% er a solely intracone block.
Fig. 1. Anatomy of the orbit and contents
Globe posi! on
The tradi! onal teaching of having pa! ent
look” up and in” during retrobulbar block needle place-
ment has been superseded by instruc! on to direct their
eyes in primary gaze. With the globe in primary gaze
the op! c nerve assumes a much safer loca! on, total-
ly on the medial side of the mid- sagital plane. (fi g.2,3)
Fig. 2. View from front
Fig. 3. View from above
Site and deep injec! on
Rela! vely avascular areas suitable for injec! on are
the anterior half of the orbit in the inferotemporal quad-
ANDI SALAHUDDIN
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 73•
rant, and the compartement of the nasal side of the medial
rectus muscle; needle must never be inserted deeply to the
orbital apex. (Fig 2,3).
Anaesthesia mixture
Any of the full potency local anaesthe! cs may be
used, the eventual choice depending on the availlability, pa-
! ent age and desired dura! on of eff ect. Concentra! ons up
to but not exceeding 2% lignocaine (or Bupivacaine 5%) are
appropriate. Adrenaline is use commonly for prolonga! on
of block dura! on and to increase extend of block, but may
be contraindicated if orbital vascular pathology is present;
a concentra! on 1: 200.000, given the volume of injectate
used in ophthalmic regional anaesthesia, is devoid of sys-
temic eff ect.
Adjuvants3,4,5
Vasoconstrictors: Vasoconstrictors (epinephrine
and felypressin) are commonly mixed with local anaesthe! c
solu! on to increase the intensity and dura! on of block, and
minimise bleeding from small vessels. Absorp! on of local
anaesthe! c is reduced, thus avoiding high concentra! ons
of local anaesthe! c in the plasma. Epinephrine is com-
monly mixed with the local anaesthe! c agent to prolong
the dura! on and intensity of the block. A concentra! on of
1:200,000 has no systemic eff ect. However, epinephrine
may cause vasoconstric! on of the ophthalmic artery, com-
promising the re! nal circula! on. The use of epinephrine-
containing solu! ons should also be avoided in elderly pa-
! ents suff ering from cerebrovascular and cardiovascular
diseases. Phacoemulsifi ca! on cataract extrac! on is usually
of short dura! on; hence the dura! on of block achieved by
lidocaine without epinephrine usually suffi ces.
Dexmetomidine: Dexmedetomidine, a more selec-
! ve α-2 adrenoceptor agonist, is also known to enhance
central neural blockades. 8
Hyaluronidase: Hyaluronidase is an enzyme, which
reversibly liquefi es the inters! ! al barrier between cells by
depolymerisa! on of hyaluronic acid to a tetrasaccharide,
thereby enhancing the diff usion of molecules through ! s-
sue planes. It is available as a powder readily soluble in lo-
cal anaesthe! c solu! on. Hyaluronidase has been shown to
improve the eff ec! veness and the quality of needle as well
as sub-Tenon’s block but its use remains controversial. The
amount of hyaluronidase used in published studies varies
from 5 to150 IU/mL. The UK data sheet limits the concen-
tra! on to 15 IU/mL. Orbital swelling due to rare allergic
reac! ons or excessive doses of hyaluronidase and orbital
pseudo-tumour has been reported. Excellent blocks can
be achieved without hyaluronidase but there are reports of
muscle dysfunc! on when it is not used during needle block.
pH Altera! on: Commercial prepara! on of lidocaine
and bupivacaine are acidic solu! ons in which the basic local
anaesthe! c exists predominantly in the charged ionic form.
It is only the nonionised form of the agent that traverses
the lipid membrane of the nerve to produce the conduc! on
block. At higher pH values, a greater propor! on of local an-
aesthe! c molecules exist in the nonionised form, allowing
more rapid infl ux into the neuronal cells. Alkalinisa! on has
been shown to decrease the onset ! me and prolong the
dura! on of eff ect a% er needle block but no such benefi t is
seen during sub-Tenon’s block.
Others: The addi! on of muscle relaxants, clonidine
and other chemicals are known to increase the onset and
potency of orbital block but their use is neither rou! ne nor
recommended.
Seda! on and Ophthalmic Regional Blocks3,4,5
Seda! on is commonly used during topical anaes-
thesia. Selected pa! ents, in whom explana! on and reassur-
ance have proved inadequate, may benefi t from seda! on.
Shortac! ng benzodiazepines, opioids and small doses of
intravenous anaesthe! c induc! on agents are favoured but
the dosage must be minimal. The rou! ne use of seda! on is
discouraged because of an increased incidence of adverse
intraopera! ve events. It is essen! al that when seda! on is
administered, a means of providing supplementa! on oxy-
gen is available. Equipment and skills to manage any life
threatening events must be immediately accessible.
Intraocular Pressure (IOP) and Ophthalmic Regional
Blocks3,4,5
Changes in intraocular pressure a% er retrobulbar
and peribulbar injec! ons are controversial but IOP is gener-
ally reported to increase immediately a% er injec! on. Prior
reduc! on of IOP is associated with fewer opera! ve com-
plica! ons, notably shallowing of the anterior chamber and
vitreous loss during large-incision extracapsular cataract
extrac! ons. These complica! ons are less likely to happen
during modern small-incision phacoemulsifi ca! on proce-
dure as the tendency for the anterior chamber to collapse
is reduced. Any rise in IOP may have other serious conse-
quences in pa! ents with glaucoma and pa! ents with ad-
vanced visual fi eld loss.
Retained Visual Sensa! ons During Ophthalmic Regional
Blocks
Many pa! ents experience intraopera! ve visual
sensa! ons that include light, colours, movements and in-
struments during surgery under all forms of local ophthal-
mic anaesthesia. Although the majority of pa! ents feel
comfortable with the visual sensa! ons they experience, a
small propor! on fi nd the experience unpleasant or fright-
ening. Therefore, pa! ents receiving orbital blocks should
receive preopera! ve advice as this may alleviate an un-
pleasant experience.1,3
Intraopera! ve Care and Monitoring
The pa! ent should be comfortable and so% pads
are placed under the pressure areas. All pa! ents undergo-
ing major eye surgery under local anaesthesia should be
monitored with pulse oximetry, ECG, non-invasive blood
pressure measurement and the maintenance of verbal con-
tact. Pa! ents should receive an oxygen-enriched breathing
atmosphere to prevent hypoxia and at a fl ow rate enough
to prevent re-breathing and the ensuing hypercarbia once
draped. ECG and pulse oximetry should be con! nued. Once
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 74•
the pa! ent is under the drapes, verbal and tac! le contacts
are maintained.1,3
Diff rences between younger and older Adult pa! ent
Younger adult pa! ent present more of a challenge
an achieving total akinesia than the elderly because of more
dense connec! ve ! ssues hindering access of anaesthe! cs
to the oculomotor nerve.3
Needle Type and syringe size
Tradi! onal teaching favoured blunt ! pped, inter-
mediated gauge needles with the supposed advantages
that blood vessels were pushed a side rather than trauma-
! zed and that ! ssue planes could be more accurately de-
fi ne. (Fig.4). Although a commonly held belief among oph-
thalmologists, it is not true is more diffi cult to penetrate the
globe, the op! c nerve sheath or blood vessels with a blunt
needle. Larger blunt needles compared with fi ne dispossible
ones cause more serious damage if the globe is penetrated.
Because dispossible cu< ng needles produce minimal ! ssue
distor! on, li+ le or no pain results. Tac! le discrimina! on is
progressively reduced with increasing needle size. Special
a+ en! on should be paid to the lenght of needle entering
beyond orbital rim; 31 mm as measured from the orbit rim
should never be exceded in order to exclude op! c nerve
impalement. All needles used for intracone or pericone.
Fig. 4. Needle for main inferotemporal injec! on (27 gauge,
2 cm long).
Placement should be oriented tangen! ally to the
globe with the bevel opening faced towards the globe. Be-
cause less force has to be excerted, a change in resistance
to injectate fl ow is detected more easily by the injec! ng
hand when using a needle mounted on a smaller syringe
compared with a larger size. This ability to detect more eas-
ily changes in resistance to injec! on is more important in
the avoidance of complica! ons.
Preblock Inspec! on of The Globe and Eyelids (See Fig. 5.)
Most, but not all, inferotemporal injec! ons may be
made with tranconjunc! val entry. If on digital retrac! on of
the pa! ent’s lower eyelid in a downward and outward di-
rec! on the eyelid margin is found to be ! ghtly held agains
the globe, if the globe is deeply, recessed within the globe
if there is the wide lateral canthal fold, or if the pa! ent is
blinking uncontrollably, a transcutaneous approach is o% en
the safest choice. In all cases the axial length measurement
of the globe is carefully note; in the presence of high myo-
pia, pericone as opposede to intracone, placement or even
general anaesthesia may be more prudent.
Intracone (Retrobulbar) Block
Although there is communality between the fat
compartement within and outside the geometric confi nes
of the cone of the rectus muscles, injectate placed in mid-
orbit intraconnaly (see Fig.7) compared with periconnaly
(see Fig.6) is more eff ec! ve in producing globe akinesia.
Precision placement is the key to avoidance of complica-
! on.
Fig. 5. Preblock inspec! on of the globe and eyelid
Tabel.1. Summary nerve supply to the orbit
ANDI SALAHUDDIN
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 75•
Fig.6.Periconal/ Extraconal (Peribulbar) block.
Fig.7. Intracone (Retrobulbar) block
Fig.8.. Inferotemporal pericone injec! on
Pericone (Peribulbar, Periocular) Block
Although injectate deposited within the orbit but
not entering the geometric confi nes of the cone of the rec-
tus muscles was introduced as being safer than intraconal
blocking for avoidance of serious complica! ons, neverthe-
less problems have been reported. Knowledge of orbital
anatomy is as important as with intracone techniques.
A failure rate to achieve akinesia with periconal
blocking of up to 50% has been reported, there are many
varia! ons of the pericone technique, a common one as be-
ing placement in two loca! ons, one in the inferotemporal
kwadrant, and one in the superonasal quadrant. A prefer-
able alterna! ve to the la+ er site of injec! on is the fat com-
partement of the nasal side of the medial rectus muscle.
Access of local anaesthe! cs to the motor nerve supply of
the superior oblique muscle and, by spread through the
orbital septum, of the orbicularis muscle, are promoted.
Addi! onally enhance peripheral conjunc! val anaesthesia,
eliminates intraopera! ve discomfort, some! mes encoun-
tered in low volume solely intracone techniques. The
rou! ne combina! on of inferotemporal pericone injec! on
with superonasal pericone injec! on (medial compartement
block recommended) (Fig.9.) produces block anaesthesia/
akinesia, intraopera! ve pa! ent comfort and eyelid akinesia
be+ er than other techniques.
Inferotemporal injec! on
The lower lid is retracted manually and the needle
is placed halfway between the lateral canthus and the lat-
eral limbus (edge of the iris). The injec! on is not painful as
it is passing through an already anaesthe! sed conjunc! va.
If there is not enough room for the needle to be posi! oned
correctly then the injec! on may be made directly through
the skin (see.Fig.9) .
Fig. 9. Superonasal pericone injec! on.
Classically the point of needle inser! on was made
in line with the edge of the limbus, however more recently
a point midway between here and the lateral canthus has
been adopted. The needle is advanced in the sagi+ al plane,
parallel to the orbital fl oor passing under the globe. There
is no need to apply pressure to the syringe as it will easily
advance without resistance. When the needle ! p is judged
to be past the equator of the globe the direc! on is changed
to point slightly medial (20°) and cephalad (10° upwards) to
avoid the bony orbital margin. Advance the needle un! l the
hub (which is at 2.5 cm) is at the same depth as the iris. It
is important to orientate the bevel of the needle facing the
globe and any movement of the eye during needle inser! on
should alert the anaesthe! st to possible globe penetra! on.
Avoid any tendancy to ‘wiggle’ the needle to confi rm the
globe is disengaged as this only increases the risk of perfo-
ra! on. Following nega! ve aspira! on, 5-8 ml of the solu! on
is slowly injected. There should not be any resistance while
injec! ng. If resistance is encountered, the ! p of the needle
may be in one of the extraocular muscles and should be
reposi! oned.
During the injec! on the lower lid may fi ll with the
anaesthe! c mixture and there may be some conjunc! val
oedema (chemosis). Should the upper lid close quickly or
the globe become tense or proptosed a% er only small vol-
umes of local anaesthe! c mixture the needle point is likely
to be retrobulbar, and cau! on should be taken not to inject
further. Within 5-10minutes of this injec! on, most pa! ents
will develop adequate anaesthesia and akinesia. Some pa-
! ents however may not and a top up injec! on can be given
either at the same site or via a nasal approach.1,3,5
The same needle is inserted through the skin/ con-
junc! va on the nasal side, medial to the caruncule and di-
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 76•
rected straight back parallel to the medial orbital wall point-
ing slightly cephalad (20°) un! l the hub of the needle is at
the same level as the iris.
The needle traverses the tough medial canthal
ligament and may require fi rm gentle pressure. This may
cause the the eye to be pulled medially briefl y. A% er nega-
! ve aspira! on up to 5ml of the anaesthe! c mixture is in-
jected. The eye is then closed with adhesive tape. A piece
of gauze is placed over the lids and pressure applied with a
Macintyre oculopressor or Honan balloon for 10 minutes
at a pressure of 30 mmHg. If no oculopressor is available
gently press on the eye with the fi ngers of one hand. This
is to lower intraocular pressure (IOP) by reducing aqueous
humour produc! on and increasing its reabsorb! on. Assess-
ment of the block is usually judged a% er an interval of 10
minutes.1,3,5
The signs of a succesful block are:5
• Ptosis (drooping of the upper lid with inability to open
the eyes)
• Either no eye movement or minimal movement in any
direc! on (akinesia)
• Inability to fully close the eye once opened.
Fig.10. Assesment of the block ( eye movement lateral, me-
dial, inferior, superior)
A simple akinesia score known as the Brahma score
can be used for assessment of the block. Eye movement is
assessed in four direc! ons – inferior, superior, medial and
lateral. Normal movement is scored at 3, par! al movement
at 2 and and fl ickering movement at 1 and no movement
is scored at zero. A score of less than 2 is acceptable. Since
the local anaesthe! c is placed outside the muscle cone the
concentra! on around the op! c nerve may not be suffi cient
to abolish vision completely. Some light percep! on will
therefore remain, however the pa! ent is not able to see
the opera! on. If, a% er 10 minutes the block is inadequate
a supplementary injec! on of 2-5 ml of the anaesthe! c mix-
ture may be required. If the residual eye movements are
downward and lateral, the supplementary injec! on is given
at the inferotemporal site and if upward and medial, at the
nasal site. Pressure is then reapplied for a further 10 min-
utes.5
Complica! ons of Needle Block 3,5
There are many complica! ons of needle blocks,
ranging from simple to serious, that have been reported
in many reviews. The complica! ons may be limited to the
orbit or may be systemic. Orbital complica! ons include fail-
ure of the block, corneal abrasion, chemosis, conjunc! val
haemorrhage, vessel damage leading to retrobulbar haem-
orrhage, globe perfora! on, globe penetra! on, op! c nerve
damage and extraocular muscle damage. Systemic compli-
ca! ons, such as local anaesthe! c agent toxicity, brainstem
anaesthesia and cardio-respiratory arrest, may be due to
intravenous or intrathecal injec! ons or the spread or mis-
placement of drug in the orbit during or immediately a% er
injec! on.3
Intravascular injec! on and anaphylaxis can occur,
hence resuscita! on facili! es must always be readily avail-
able.
Haemorrhage - retrobulbar haemorrhage is char-
acterised by rapid orbital swelling and proptosis along with
a sudden rise of IOP and usually requires surgery to be post-
poned. The surgeon should be informed immediately and
the pulsa! on of the central re! nal artery assessed. A lateral
canthotomy can be performed to alleviate the rise in IOP.
It is very rare with shallow retrobulbar or peribulbar injec-
! ons (0.07%). Subconjunc! val haemorrhage is less signifi -
cant as it will eventually be absorbed.
Subconjunc! val oedema (chemosis): This is un-de-
sirable as it may interfere with suturing. It can be minimised
by slowing the rate of injec! on. It rapidly disappears when
gentle pressure is applied to the closed eye.
Penetra! on or perfora! on of the globe (<0.1%) -
this is more likely to occur in myopic eyes which are lon-
ger but also thinner than normal and may have developed
staphylomata. A diagnosis of perfora! on may be made if
there is pain at the ! me the block is performed, sudden loss
of vision, hypotonia, a poor red refl ex or vitreous haemor-
rhage. Perfora! on may be avoided by carefully inser! ng the
needle tangen! ally and by not going “up and in” un! l the
needle ! p is clearly past the equator of the globe.
Central spread of local anaesthe! c - this is due to
either direct injec! on into the dural cuff which accompa-
nies the op! c nerve to the sclera or to retrograde arterial
spread. A variety of symptoms may follow including drowsi-
ness, vomi! ng, contra-lateral blindness caused by refl ux
of the drug to the op! c chiasma, convulsions, respiratory
depression or arrest, neurological defi cit and even cardiac
arrest. These symptoms usually appear within about 5min.
Oculomedullary refl exes – discussed below.
Op! c nerve atrophy. Op! c nerve damage and
re! nal vascular occlusion may be caused by direct damage
to the op! c nerve or central re! nal artery, injec! on into
the op! c nerve sheath or haemorrhage within the nerve
sheath. These complica! ons may lead to par! al or com-
plete visual loss.
Oculomedullary refl exes5
Oculocardiac refl ex – causes bradycardia, nodal
rhythms, ectopic beats or sinus arrest due to pressure, tor-
sion or trac! on on the extraocuar muscles. It is a trigemino-
vagal refl ex – the aff erent arc is via long and short ciliary
nerves to the ciliary ganglion and the ophthalmic division of
the trigeminal nerve with the eff erent impulses conveyed
by the vagus. This refl ex most commonly occurs in paediat-
ric squint pa! ents. Local anaesthe! c blocks may a+ enuate
the aff erent arc and muscarinic antagonists block the eff er-
ent limb at the level of the heart. Hypercarbia sensi! ses the
refl ex and should be avoided.3,4,5
Oculorespiratory refl ex – may cause shallow
breathing, reduced respiratory rate and even full respira-
ANDI SALAHUDDIN
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 77•
tory arrest. The aff erent pathways are similar to the above
refl ex and it is thought that a connec! on exists between the
trigeminal sensory nucleus and the pneumotac! c centre in
the pons and medullary respiratory centre. Again this refl ex
is commonly seen in strabismus surgery and atropine has
no eff ect. If controlled ven! la! on is not rou! nely employed
then extra a+ en! on is needed.5
Oculoeme! c refl ex – is likely responsible for the
high incidence of vomi! ng a% er squint surgery (60- 90%).
Again this is a trigemino-vagal refl ex with trac! on on the
extraocular muscles s! mula! ng the aff erent arc. Whilst an-
! eme! cs may reduce the incidence, a regional block tech-
nique provides the best prophylaxis.5
Jerome Morrel. et.al demonstrate in randomized,
double-blind, controlled study that 1% ropivacaine peribul-
bar (PB) block in conjunc! on with general anesthesia (GA)
were similar with respect to the incidence of postopera! ve
nausea and vomi! ng. Overall, PB block combined with GA
improves opera! ve condi! ons and postopera! ve analgesia
compared with GA combined with subcutaneous normal
saline injec! on into the inferior eyelid. 6
Regional versus general anaesthesia.1,3,4,5
Advantages
• May be performed as day cases.
• Produce good akinesia and anaesthesia.
• Minimal aff ect on IOP.
• Requires minimum equipment.
Disadvantages
• Not suitable for some pa! ents (children, mentally
handicapped, deaf, language barrier).
• Complica! ons as above.
• Depends on the skill of anaesthe! st.
• Unsuitable for certain types of surgery (e.g. dacro-
cystorhinostomy-DCR).
RECOVERY IN THE SURGICAL FACILITY
What can I expect a" er the opera! on un! l I go
home?
A% er surgery, you will be taken to the postanesthe-
sia care unit, o% en called the recovery room. Your anesthe-
siologist will direct the monitoring and medica! ons needed
for your safe recovery. For about the fi rst 30 minutes, you
will be watched closely by specially trained nurses. Dur-
ing this period, you may be given extra oxygen, and your
breathing and heart func! ons will be observed closely. In
some facili! es, you may then be moved to another area
where you will con! nue to recover, and family or friends
may be allowed to be with you. Here you may be off ered
something to drink, and you will be assisted in ge< ng up.
Will I have any side eff ects?
The amount of discomfort you experience will de-
pend on a number of factors, especially the type of surgery.
Your doctors and nurses can relieve pain a% er your surgery
with medicines given by mouth, injec! on or by numbing
the area around the incision. Your discomfort should be tol-
erable, but do not expect to be totally pain-free. Nausea or
vomi! ng may be related to anesthesia, the type of surgi-
cal procedure or postopera! ve pain medica! ons. Although
less of a problem today because of improved anesthe! c
agents and techniques, these side eff ects con! nue to occur
for some pa! ents. Medica! ons to minimize postopera! ve
pain, nausea and vomi! ng are o% en given by your anesthe-
siologist during the surgical procedure and in recovery.
When will I be able to go home?
This will depend on the policy of the surgery cen-
ter, the type of surgery and the anesthesia used. Most pa-
! ents are ready to go home between one and four hours
a% er surgery. Your anesthesiologist will be able to give you
a more specifi c ! me es! mate. Occasionally, it is necessary
to stay overnight. All ambulatory surgical facili! es have ar-
rangements with a hospital if this is medically necessary.
What instruc! ons will I receive?
Both wri+ en and verbal instruc! ons will be given.
Most facili! es have both general instruc! ons and instruc-
! ons that apply specifi cally to your surgery.
In general, for 24 hours a" er your anesthesia:
• Do not drink alcoholic beverages or use nonprescrip-
! on medica! ons.
• Do not drive a car or operate dangerous machinery.
• Do not make important decisions.
You will be given telephone numbers to call if you have any
concerns or if you need emergency help a% er you go home.
RECOVERY AT HOME
What can I expect?
Be prepared to go home and fi nish your recovery
there. Pa! ents o% en experience drowsiness and minor a% er
eff ects following ambulatory anesthesia, including muscle
aches, sore throat and occasional dizziness or headaches.
Nausea also may be present, but vomi! ng is less common.
These side eff ects usually decline rapidly in the hours fol-
lowing surgery, but it may take several days before they are
gone completely. The majority of pa! ents do not feel up to
their typical ac! vi! es the next day, usually due to general
! redness or surgical discomfort. Plan to take it easy for a
few days un! l you feel back to normal. Know that a period
of recovery at home is common and to be expected.
CONCLUSION
Eye blocks provide excellent anaesthesia for oph-
thalmic surgery and success rates are high. Sa! sfactory an-
aesthesia and akinesia can be obtained with both needle
and cannula. Although rare, orbital injec! ons may cause se-
vere local and systemic complica! ons. Knowledge of orbital
anatomy and training are essen! al for the prac! ce of safe
orbital regional anaesthesia and the aim of ambulatory an-
aesthesia “ low cost, pa! ent safety and sa! sfac! on” come
true.
REFERENCE
Blok Peribulbar: Modalitas Anestesi Rawat Jalan untuk Pembedahan Eviserasi Oftalmika I Intra Peribulbar Block: A Modality in Ambulatory Anesthesia for Ophtalmic Evisceration Surgery
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 78•
1. Hamilton, R.C. Techniques of Orbital Regional An-
esthesia. Bri! sh Journal Of Anesthesia 1995;75:
88 – 92.
2. Posner, KL: Liability Profi le of Ambulatory Anesthe-
sia. ASA Newsle& er. 2000; 64(6):10-12.
3. Chandra M Kumar. Review Ar! cle: Ophthal-
mic Regional Block. Ann Acad Med Singapore
2006;35:158-67
4. American Society of Ophthalmic Plas! c and Recon-
struc! ve Surgery. COPYRIGHT © 2005, ASOPRS.
ALL RIGHTS RESERVED
5. Dr. Kim Chish! . Anaesthesia for Ophthalmic Sur-
gery –Part 1, 25/5/2009. ANAESTHESIA TUTORIAL
OF THE WEEK 135, 25TH MAY 2009. email worldan-
aesthesia@mac.com.
6. Je´roˆme Morel, MD. et.al. Preopera! ve Peribulbar
Block in Pa! ents Undergoing Re! nal Detachment
Surgery Under General Anesthesia: A Randomized
Double-Blind Study. Anesth Analg 2006;102:1082–
7.
7. Bakht Samar Khan, Mohammad Naeem Khan, Ak-
bar Shah, Zia ul Islam. Eviscera! on, Enuclea! on,
and Exentra! on: painful but life saving surgical pro-
cedures. Pakistan J. Med. Res. 2005. Vol. 44, No.2.
8. Takuya Miyawaki, DDS, PhD, et.al. Dexmedetomi-
dine Enhances the Local Anesthe! c Ac! on of Li-
docaine via an α -2A Adrenoceptor. Anesth Analg
2008;107:96 –101
ANDI SALAHUDDIN
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 79•
Majalah Anestesia & Cri! cal Care menerima
ar! kel peneli! an yang original yang relevan dengan
bidang kesehatan dan kedokteran. Majalah Anestesia &
Cri! cal Care juga menerima ! njauan pustaka, laporan
kasus, penyegaran ilmu kedokteran, penegasan, dan
surat kepada redaksi.
1. Ar! kel peneli! an: Berisi ar! kel mengenai hasil
peneli! an original dalam ilmu kedokteran dan ilmu
kesehatan pada umumnya. Format terdiri atas:
Pendahuluan: Berisi latar belakang, masalah, dan
tujuan peneli! an. Bahan dan cara: Berisi desain
peneli! an, tempat dan waktu, populasi dan sampel,
cara pengukuran data, dan analisis data. Hasil:
Dapat disajikan dalam bentuk teksbular, tabular,
atau grafi kal. Berikan kalimat pengantar untuk
menerangkan tabel atau gambar tetapi jangan
mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel atau
gambar. Diskusi: Berisi pembahasan mengenai hasil
peneli! an yang ditemukan. Bandingkan Hasil tersebut
dengan Hasil peneli! an lain. Jangan mengulang apa
yang telah ditulis di bab Hasil. Kesimpulan: Berisi
pendapat penulis berdasarkan hasil peneli! annya.
Ditulis ringkas, padat, dan relevan dengan hasil.
2. Tinjauan Pustaka: Merupakan ar! kel review dari
jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan
kesehatan yang mutakhir.
3. Laporan Kasus: Berisi ar! kel tentang kasus di klinik
yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan
di kalangan Sejawat lainnya. Format terdiri atas:
Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan.
4. Penyegaran ilmu kedokteran: Berisi ar! kel yang
mengulas berbagai hal lama tetapi masih up do date
dan perlu selalu diingat.
5. Penegasan: Tulisan atau laporan yang menyangkut
dunia kedokteran atau kesehatan yang perlu
disebarluaskan.
Petunjuk umum
Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum
pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi,
Majalah Anestesia & Cri! cal Care ! dak menerima makalah
yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang
bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memas! kan
bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan
menyetujui makalah.
Semua makalah yang dikirimkan ke Majalah
Anestesia & Cri! cal Care akan dibahas para pakar dalam
bidang keilmuan dan redaksi. Makalah akan dievaluasi
oleh dewan redaksi dan bila diperlukan akan dilakukan
perubahan dengan ! dak mengubah isi dan maksud
makalah. Makalah yang perlu perbaikan format atau isi
akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki.
Penulisan Makalah
Makalah termasuk tabel, da% ar pustaka, dan
gambar harus dike! k dalam Microso% Word, 2 spasi,
pada kertas ukuran 21,5 X 28 cm (kertas A4), dengan
jarak dari tepi minimal 2,5 cm, jumlah halaman maksimal
(ar! kel asli: 15 halaman, laporan kasus: 10 halaman,
! njauan pustaka: 20 halaman, penyegaran: 3 halaman,
dan surat kepada redaksi: 1 halaman). Se! ap halaman
diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman
judul sampai halaman terakhir. Kirimkan dalam bentuk
makalah 2 buah dan disket. Makalah yang dikirim ! dak
akan dikembalikan pada penulis.
Halaman judul
Halaman judul berisi judul makalah, nama se! ap
penulis dengan gelar akademik ter! nggi dan lembaga
afi liasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor
telepon, nomor faksimili, dan alamat e-mail. Judul singkat
dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf dan
spasi.
Abstrak dan kata kunci
Abstrak untuk Ar! kel Peneli! an, Tinjauan Pustaka,
dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan
Inggris dalam bentuk terstruktur dengan jumlah maksimal
masing-masing 250 kata. Abstrak ar! kel peneli! an harus
berisi Latar belakang dan tujuan peneli! an, Metode, Hasil
Utama, dan Kesimpulan Utama. Abstrak dibuat ringkas
dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami
tentang aspek baru atau pen! ng tanpa harus membaca
seluruh makalah.
Kata kunci dicantumkan pada halaman yang sama
dengan abstrak, sesuai dengan UNIFORM REQUIREMENTS
yang diterbitkan oleh Interna! onal Commi+ ee of Medical
Journal Editors di Vancouver, Bri! sh Columbia pada tahun
1997. Br Med J 1998;296:401-5. Pilih 3-5 buah kata yang
dapat membantu penyusun indeks.
Cara Penulisan Da" ar Pustaka
Penulisan Da% ar Pustaka: Nomor kepustakaan
berdasarkan “urutan datang“ didalam teks, Vancouver
style. Contoh cara penulisannya:
Dari Jurnal:
6. Ohata H, lida H, Dohi S, Watanabe Y. Intravenous
dexmedetomidine inhibits cerebrovascular dilata! on
induced by isofl urane and sevofl urane in dogs. Anest
I PEDOMAN BAGI PENULIS I
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 80•
Analg 1999;89:370-7.
7. Andrew PJ, Murugavel S, Deehan S. Conven! onal
mul! modality monitoring and failure to detect
ischemic cerebral blood fl ow. J Neurosurg
Anesthesiol 1996;8(3):220-6.
Dari buku:
1. Avellino AM, Lam AM, Winn HR. Management
of acute head injury. In: Albin MS, ed. Textbook
of neuroanesthesia with neurosurgical and
neuroscience perspec! ves. New York:McGraw-Hill,
Inc;1997,1137-75.
2. Le Roux PD, Winn HR. Surgical management of
acutehead injury. In: Lam AM, ed. Anesthet
ic managementof acute head injury. New York:
McGraw-Hill, Inc; 1995,101-104.
Catatan
1. Pada penulisan daf tar pustaka mohon diperha! kan
penempatan tanda ! ! k, koma, ! ! k koma; ! ! k
dua, dan mana yang harus dicetak miring.
2. Apabila ada kesulitan pengiriman naskah ke alamat
Redaksi, dapat mengirimkan ke alamat Prof. Dr. Amir
S. Madjid, dr., SpAn KIC melalui E-mail: majalah.
anestesia@gmail.com.
Contoh Abstrak Peneli! an
Abstract
Background and objec! ve: There is a few study
of adding sodium bicarbonate to ropivacaine. The
objec! ve of this study is to evaluate effi cacy sodium
bicarbonate as addi! ve to ropivacaine on the onset and
dura! on of epidural blockade.
Methods: This studies included 32 pa! ents on
epidural anesthesia for inguinal herniorraphy. The
subject were divided into two groups, 16 pa! ents for each
group, group 1 ropivacaine 20 ml that added 0,03 meq
sodium bicarbonate 8,4% prior the solu! on was injected
and group II ropivacaine 20 ml that added 0,1 ml
saline. The pa! ents were given 15 ml/kg Lactat’s ringer
as preloading 15 minutes before epidural anesthesia.
Intraopera! ve outcomes compared included the onset
and the dura! on of sensory and motor blockade, peak
level of sensory blockade, and the side eff ects.
Result: Ropivacaine that added 0,03 meq sodium
bicarbonate hasten the onset of sensory and motoric
blockade. However, the dura! on of epidural blockade,
peak level of sensory blockade, quality of intraopera! ve
analgesia, relaxa! on and side eff ect comparable.
Conclusion: Adding 0,03 meq sodium bicarbonate
8,4% to ropivacaine solu! on prior injec! on produces
epidural anesthesia with hasten the onset of sensory
and motoric blockade without changes the dura! on of
sensory and motoric blockade.
Keywords: epidural anesthesia, herniorrhaphy,
ropivacaine, sodium bicarbonate.
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Masih sedikit
peneli! an tentang penambahan sodium bikarbonat
pada ropivakain. Peneli! an ini untuk mengetahui
efek! vitas sodium bikarbonat sebagai tambahan pada
ropivakain terhadap mula kerja dan lama kerja blokade
epidural.
Metode: Peneli! an ini dilakukan terhadap
32 pasien status fi sik ASA I-II, usia 18-60 tahun yang
menjalani herniorafi dengan anestesi epidural. Pasien
dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing 16 orang,
kelompok I Ropivakain 0,75% 20 ml ditambah 0,03
meq sodium bikarbonat 8,4% beberapa saat sebelum
obat disun! kkan, kelompok II Ropivakain 0,75% 20 ml
ditambah 0,1 ml salin. Pasien diberikan cairan ringer
laktat 15 ml/kg sebagai preloading 15 menit sebelum
! ndakan anestesi epidural. Diteli! mula kerja, lama kerja
blokade motorik dan sensorik, ! nggi blokade sensorik
puncak, efek! fi tas dan efek samping intraopera! f.
Hasil: Pada kelompok ropivakain-sodium
bikarbonat mula kerja blokade sensorik dan motorik
lebih cepat daripada kelompok ropivakain-salin
sedangkan lama kerja, ! nggi blokade sensorik puncak,
kualitas analgesia dan relaksasi motorik serta efek
samping sebanding.
Simpulan: Penambahan 0,03 meq sodium
bikarbonat 8,4% pada 20 ml ropivakain 0,75%
menghasilkan anestesi epidural dengan mula kerja
blokade sensorik dan motorik yang lebih cepat tanpa
mempengaruhi lama kerja.
Kata kunci: anestesi epidural, herniorafi , ropivakain,
sodium bikarbonat.
Contoh Abstrak Laporan Kasus
Abstract
In severe head injury due to traffi c accident or
other traumas that causes intracranial and extracranial
haemmorhage and contussio cerebri, that requires an
immediate craniotomy surgery to evacuate the blood
clot, will need a spesifi c anesthesia technique and
monitoring equipment in order to achieve a maximum
result, especially in pa! ents with an underlying disease
before the head injury occured. For example in
pa! ents with history of chronic renal failure (uremic),
heart problems, diabetes mellitus, obesity, etc. These
problems are quite challenge for anesthesiologist in
order to perform a good and accurate periopera! ve
management in preopera! ve, durante opera! ve,
and post opera! ve. A solid team of anesthesiologist,
neurosurgeon, internist, nephrologist and cardiologist
must work together to achieve the best result for the
pa! ent.
This is a case report of 43 years old male, 110 kg,
PEDOMAN BAGI PENULIS
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 81•
who has admi& ed to the hospital with main complaint
of nausea, vomi* ng, weakness and anorexia. The
pa! ent was diagnosed with chronic renal failure with
ureum 395 mg/dl and crea! nine 24,4mg/dl. This pa! ent
was advised by the nephrologist and internist to
underwent a hemodialysis treatment, but the pa! ent
refused the treatment. The pa! ent fell from the stairs and
suff eres a decrease in consciousness with GCS E1V2M3.
Subdural haematome with Subarachnoid Haemorrhage
and Contussio cerebri was found in CT Scan.
A Cito craniotomy surgery was performed to
evacuate the hematome. The opera! on was well managed
and a free heparin post opera! ve hemodialysis was
performed. On the third day, while having a hemodialysis
session, the pa! ent’s blood pressure decreased to 70/40
mmHg and heart rate 50x/min then the pa! ent had a
cardiac arrest. The pa! ent’s death was presumed due to
side eff ects of hemodialysis which are hypotension and
Dialysis Disequillibrium Syndrome.
Keywords: severe head injury, chronic renal failure,
hemodialysis, dialysis disequllibrium syndrome.
Abstrak
Pada pasien yang mengalami trauma kepala
berat baik oleh karena kecelakaan lalu lintas maupun
trauma lainnya yang menyebabkan pendarahan
intrakranial, ekstrakranial, maupun contussio cerebri
(memar otak) yang harus segera dilakukan ! ndakan
pembedahan kraniotomi untuk evakuasi bekuan darah,
memerlukan suatu teknik anestesi tertentu dan alat
monitoring khusus untuk mencapai hasil yang maksimal,
apalagi keadaan pasien mempunyai kelainan penyakit
penyerta sebelum terjadinya trauma kepala. Misalnya
pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (uremia),
kelainan jantung, diabetes melitus, obesitas dan lain-
lain. Hal ini merupakan permasalahan atau tantangan
untuk dokter anestesi untuk melakukan manajemen
periopera! f yang teli! , baik dari prabedah, bedah dan
pascabedah. Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu
! m yang dapat bekerjasama antara dokter anestesi,
bedah saraf, penyakit dalam, nefrologis, dan kardiologis
agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam ! ndakan
tersebut.
Tulisan ini merupakan laporan kasus seorang
laki-laki 43 tahun dengan berat badan 110 kg yang
dirawat di rumah sakit dengan keluhan mual, muntah,
lesu dan ! dak ada nafsu makan. Pasien ini didiagnosis
dengan gagal ginjal kronis dengan ureum 395 mg/
dl dan krea! nin 24,4 mg/dl. Pada pasien ini dianjurkan
oleh nefrologis dan internis untuk segera dilakukan
hemodialisis (HD) namun pasien menolak untuk
dilakukan hemodialisa. Tiba-! ba pasien terjatuh ke! ka
menuruni tangga dan mengalami penurunan kesadaran
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E1 V2 M3. Pada CT
Scan dijumpai subdural hematom dengan perdarahan
subaraknoid dan contussio cerebri.
Dilakukan cito kraniotomi untuk evakuasi
hematom. Operasi berjalan dengan lancar dan pada
pasca bedah dilakukan hemodialisis tanpa memakai
an! koagulan (free heparin). Namun, pada hari ke! ga
pascabedah saat dilakukan HD kedua ! ba-! ba pasien
mengalami penurunan tekanan darah 70/40 mmHg dan
denyut jantung 50x/menit dan akhirnya mengalami hen!
jantung dan dilakukan RJPO, tapi ! dak berhasil. Pasien
meninggal diduga dari HD, yaitu hipotensi dan Dialysis
Disequillibrium Syndrome (DDS) yang menyebabkan
edema otak akut.
Kata Kunci: trauma kepala berat, gagal ginjal kronis,
hemodialisis, Dialysis Disequllibrium Syndrome.
Contoh Abstrak Tinjauan Pustaka
Abstract
Evidenced Based Medicine (EBM) is the
conscien! ous, explicit, and judicious use of the
current best evidence in making decisions about the care
of individual pa! ents. The prac! ce of EBM means
integra! ng individual clinical exper! se with the best
available external clinical evidence from systema! c
research. Good doctors use both individual clinical
exper! se and the best available external evidence, and
either of them is not enough.
An ever changing and rapidly developed nature
of medical fi eld is basic reason why EBM become an
important need for pa! ent’s management. EBM
prac! se is a life long and self directed learning
process, where needs for important clinical informa! on
on diagnos! cs, prognos! cs, treatment and other related
clinical issue must be con! nued by cri! cal appraisal and
prudent applica! on.
EBM is not restricted to randomized trials and
metaanalysis. It involves tracking down the best external
evidence with which to answer our clinical ques! ons.
However, some ques! ons about therapy do not
require randomized trials or cannot wait the trial to be
conducted. And if no randomized trial has been carried
out pa! ent’s predicament we follow the trail to the next
best external evidence and work from there.
EBM process need a master new skills such as ability
on searching informa! ons effi ciently, and applica! ons
of formal method on reviewing the evidence.
Keywords: Evidenced Based Medicine, metaanalysis,
clinical prac! ce
Abstrak
Evidence Based Medicine (EBM) adalah
penggunaan buk! terbaik dan terkini secara berha! -
ha! , teli! , tegas, dan bijaksana dalam membuat
keputusan tentang perawatan atau penanganan pasien
secara individual. Prak! k EBM berar! penanganan
pasien secara individual dengan buk! klinis eksternal
PEDOMAN BAGI PENULIS
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Mei 2010 • 82•
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.2 Januari 2010 • 83•
terbaik yang ada dari peneli! an yang sistema! s. Seorang
dokter yang baik menggunakan keduanya, baik keahlian
klinis individu maupun buk! eksternal terbaik yang
tersedia, salah satu saja ! dak akan mencukupi.
Perubahan yang terus-menerus dan begitu cepat
dalam bidang kedokteran menjadi alasan kuat mengapa
EBM semakin menjadi kebutuhan dalam pelayanan
kesehatan. Prak! k EBM adalah suatu proses seumur
hidup dan belajar terarah mandiri, di mana perawatan
pasien kita sendiri mendorong kebutuhan akan informasi
yang pen! ng tentang diagnosis, prognosis, pengobatan,
dan isu-isu klinik serta perawatan kesehatan lainnya,
yang diiku! dengan peneli! an secara kri! s validitas
buk! -buk! tersebut, menerapkan hasil penelaahan
ini semua pada prak! k klinik, serta mengevaluasi kerja.
EBM ! dak sekedar terbatas pada randomized
trials atau metaanalisis. EBM melibatkan pencarian
buk! eksternal terbaik yang digunakan untuk menjawab
berbagai masalah klinis. Banyak masalah pengobatan
! dak memerlukan randomized trials atau ! dak dapat
menunggu suatu uji dilakukan, dalam hal seper! ini
dapat digunakan buk! eksternal yang ada dan mulai
bekerja dengan memanfaatkannya.
EBM menuntut seorang klinisi menguasai skill
baru, di antaranya adalah kemampuan pencarian
literatur yang efi sien, dan aplikasi dari aturan formal
suatu buk! hasil peneli! an untuk menilainya.
Kata kunci: Evidence Based Medicine, metaanalisis,
prak! k klinik.
PEDOMAN BAGI PENULIS
top related