101208-djaya cahyadi-fuh.pdf
Post on 06-Jul-2018
239 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
1/104
1
TAKDIR DALAM PANDANGAN
FAKHR AL-DIN AL-RAZI
SkripsiDiajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)
Oleh
Djaya Cahyadi NIM: 104034001199
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDINUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
2/104
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhisalah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 3 Maret 2011
Djaya Cahyadi
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
3/104
ii
TAKDIR DALAM PANDANGAN
FAKHR AL-DIN AL-RAZI
SkripsiDiajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)
Oleh
Djaya Cahyadi
104034001199
Pembimbing.
Dr. Edwin Syarif, M.A.
NIP. 19670918 199703 1 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDINUNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA1432 H./2011 M.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
4/104
iii
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
5/104
i
ABSTRAK
Djaya CahyadiTakdir dalam Pandangan Fakhr al-Din al-Razi
Problematika takdir merupakan salah satu tema urgen yang telah menjaditopik pembahasan secara luas dalam Islam. Pemahaman mengenai takdir itu sendiri
berdeda-beda tergantung pada perspektif yang digunakan. Setidaknya pengertian
takdir terpecah kepada dua definisi antara yang mengatakan bahwa takdir merupakan
suatu ketentuan yang telah ditetapkan sejak zaman azali dan takdir yang bermaknasuatu aturan yang berlaku pada alam semesta, termasuk manusia. Definisi pertama
menghasilkan konsep bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dan ditetapkan.
Dengan kata lain manusia terpaksa dalam setiap perbuatannya. Sedangkan definisikedua melahirkan pemikiran bahwa manusia bebas menentukan keinginan dan
perbuatannya. Namun dalam merealisasikan perbuatannya tersebut manusia mesti
memperhatikan dan memenuhi aturan yang berlaku tersebut. Kedua pengertian ini
telah berlaku dalam Islam dan masing-masing memiliki dalil dalam al-Quran yangmenguatkan pendapatnya.
Penelitian ini memfokuskan diri pada pemahaman Fakhr al-Din al-Razi
terhadap takdir sebagai salah satu dari warisan keilmuan yang ada pada Islam.Pemahaman al-Razi terhadap takdir tidak dapat dilihat begitu saja tanpa
memperhatikan juga berbagai kondisi yang terjadi pada masanya, aktifitas
keilmuannya, dan mazhab fiqh, filsafat, maupun teologi yang dipegangnya. Al-Razi
dikenal sebagai pembela aliran Asy‟ariah yang terkemuka pada masanya. Namundemikian ia tidak segan berbeda dengan al-Asy‟ari sendiri maupun Muktazilah yang
sangat ditentangnya. Dengan berbagai referensi yang didapatnya al-Razi
mengeluarkan pendapatnya sendiri yang menurutnya objektif dan dapat dibuktikan.Al-Razi merupakan seorang pemikir bebas yang berani berbeda dengan para
pendahulunya dan mengeluarkan pemikiran orisinil yang diperolehnya dari berbagai
kajiannya terhadap suatu permasalahan.
Dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat seputar takdir al-Razi terlihatmemiliki kecenderungan determinis. Perbuatan manusia dipengaruhi atau bergantung
kepada faktor-faktor yang berada di luar kekuasaannya. Takdir dipandang sebagai
suatu ketetapan yang telah ditentukan sejak azali. Apa yang diinginkan dan diperbuat
manusia bergantung kepada kehendak ketuhanan.
i
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
6/104
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”.
Salawat beserta salam semoga tetap berlimpah kepada junjungan Nabi Muhammad
saw., kepada keluarga dan para sahabat-sahabatnya serta seluruh umat Muslim yang
mengikuti langkah-langkah mereka hingga akhir jaman.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai ujian yang banyak
menyita waktu dan materi sehingga kadang-kadang mengendorkan semangat penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa
usaha penulisan skripsi ini masih menyisakan banyak hal yang tidak dapat penulis
hadirkan di dalamnya, hal itu karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki.
Namun patut disyukuri karena banyak sekali pengalaman yang berharga telah penulis
dapatkan dalam penyelesaian skripsi ini. Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat
kontribusi dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih
sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal Fakih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku ketua Jurusan
Tafsir Hadis dan Ibu Dr. Lilik Umi Kalsum, M.A. selaku sekretaris Jurusan Tafsir
Hadis.
ii
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
7/104
iii
2. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.A. sebagai dosen pembingbing skripsi. Penulis
ucapkan terima kasih atas kesabaran dan ketelitian beliau dalam membimbing
penulis.
3. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Fakultas Ushuluddin, perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama‟.
4. Para dosen selama masih aktif di bangku kuliah dari tahun 2004-2008 yang tidak
bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan ilmu
yang telah diberikannya, semoga ilmu yang telah diajarkan menjadi amal salih
bagi mereka semua dan membawa berkah dan manfaat bagi penulis.
5. Kedua orang tua tercinta, Zakiah dan Junaidi yang merupakan motivator utama
penulis dalam penyusunan skripsi ini, yang tulus telah memberikan kasih sayang
dan dorongan baik moril maupun materil, serta do‟a yang tak henti-hentinya
dipanjatkan guna keberhasilan dan kebahagiaan anaknya. Terima kasih yang tak
terhingga dari lubuk hati yang paling dalam. Mohon maaf kepada keduanya, juga
saudara penulis Zuhriah dan Abdul Aziz Rijal jika orang yang diharapkan terlalu
lama merampungkan tugasnya.
6. Teman-teman senasib dan seperjuangan angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat: Aang Setiawan, Muhammad Mahsun, Ahmad
Khozin, Ja‟far Shodiq, Muhammad Mukhlis, Muhammad Ridwan, Engkus
Kusnandar, Matrozi, Haromain, Ahmad Iskandar, Nurfadhilah, Muhammad Fajar
Faqihuddin, Fikri, Subur Abdurrahman, Amelia, Ida Nurmala, Een Hendrawati,
Eni Nuraeni, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebut semua namanya. Terima
kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis selama aktif kuliah
iii
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
8/104
iv
dan penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya jika tak dapat memenuhi
harapan mereka.
7.
Soulmate penulis satu harapan dan tujuan, Nurulloh, Syaifulloh, dan teman-teman
lainnya yang tak hentinya memberikan motivasi dan pengertian mereka untuk
tetap menjalankan tanggung jawab penulis sepenuh hati. Juga Bang Syu‟bah, guru
sekaligus teman yang selalu mendoakan kebaikan kepada penulis.
Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang ikut serta memberikan partisipasinya sehingga akhirnya skripsi ini
terselesaikan. Semoga bantuan, dukungan dan do‟a restu mereka semua menjadi amal
salih yang mendapatkan curahan rahmat dan ampunan serta balasan yang berlipat
ganda dari Allah swt. Amin. Harapan penulis skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis pribadi maupun pada semua orang yang membacanya. Wallâhu A‘lamu bi
Murâdih…
Jakarta, 3 Maret 2011
Penulis
iv
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
9/104
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vPEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vi
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Batasan Masalah .......................................................................... 7 C. Rumusan Masalah ........................................................................ 10 D. Tujuan Penelitian ......................................................................... 10E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 10
F. Metodologi Penelitian .................................................................. 10
G. Kajian Pustaka .............................................................................. 11H. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II BIOGRAFIA. Biografi ........................................................................................ 14B. Karir Intelektual ........................................................................... 21
C. Karya Tulis ................................................................................... 27
D. Metode Penafsiran ........................................................................ 30
BAB III TAKDIR DALAM ISLAMA. Pengertian Takdir ......................................................................... 34
B. Seputar Takdir dalam Islam ......................................................... 37
BAB IV TAFSIR FAKHR AL- DIN AL-RAZI TENTANG TAKDIRA. Kajian Mengenai Takdir Menurut al-Razi ................................... 59B. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 6 ................ 67
C. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 26 .............. 70
D. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Kahfi Ayat 29 ................... 77
E. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-A‟raf Ayat 178 ................. 79 F. Analisis........................................ ................................................. 82
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan .................................................................................. 87B. Saran ............................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 89
v
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
10/104
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
: ض : d
ب
: bط
: t
ت : t ظ : z
ث : ts ع : ‘
ج : j غ : gh
ح : h ف : f
خ : kh ق : q
د : d ك : k
ذ : dz ل : l
ر : r م : m
ز : z ن : n
س : s و : w
ش : sy ه : h
ص : s : ‘
ي : y
Vokal Tunggal Vokal Panjang
Fathah : a : â
Kasrah : i ي : î
Dammah : uو
: û
Kata Sandang
: al-Qamar
: al-Syams
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
11/104
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Membahas tentang takdir bagaikan menyelami sebuah samudera tak bertepi.
Permasalahan ini telah menjadi pembahasan dari zaman klasik hingga kontemporer,
baik di Timur maupun di Barat. Bahkan problematika takdir yang diantaranya
membahas apakah manusia memiliki kebebasan kehendak atau perbuatannya telah
ditentukan sebelumnya (ditakdirkan) telah menjadi suatu permasalahan filsafat tertua
yang mencapai puncaknya pada pemikiran filsafat Islam.1 Terlepas dari permasalahan
itu, pandangan mengenai takdir membawa dampak yang tidak kecil dalam kehidupan.
Banyak orang berkeyakinan salah mengenai takdir menyalahkan Tuhan atas berbagai
kesulitan dan kemalangan yang menimpanya. Ini membuktikan bahwa pandangan
mengenai takdir akan mempengaruhi sikap dan mental seseorang dalam kehidupan.
Setidaknya terdapat perbedaan dalam bersikap antara orang yang mempercayai
bahwa dirinya adalah wujud yang terbelenggu dengan orang yang meyakini bahwa
dia sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan dan nasibnya.2
Problem pertama yang timbul dari permasalahan takdir ialah makna dari
takdir itu sendiri. Jika secara harfiah takdir ditetapkan sebagai ukuran atau batas
tertentu dalam diri atau sifat sesuatu,3 secara terminologis pengertian takdir masih
1 Abbas Muhajirani, „Pemikiran Teologis dan Filosofis Syi‟ah Dua Belas Imam‟, dalam
Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama);terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003)
2 Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: TiaraWacana Yogya, 1999), h. 29.
3 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), h. 61.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
12/104
2
menjadi perdebatan. Secara umum pandangan terhadap takdir terpecah kepada dua
kutub besar di mana satu sisi berarti ketetapan perbuatan manusia telah ditentukan
sejak zaman azali, sebelum ia lahir ke dunia. Di sisi lain manusia mempunyai
kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan yang hendak dilakukannya,
walaupun tetap ada keterbatasan sesuai kodratnya sebagai manusia. Dalam istilah
Barat, problem ini dikenal dengan istilah Free Will and Predestination.4
Tak pelak lagi penyatuan tema takdir dan kebebasan kehendak, ataupun free
will and predestination membawa kesan pereduksian makna dari takdir menurut
Islam itu sendiri. Penyatuan ini membuat seakan-akan takdir dan kebebasan kehendak
merupakan dua hal yang bertentangan. Seorang yang percaya akan adanya takdir
tidak mengakui adanya kebebasan kehendak pada dirinya, begitupun sebaliknya.
Hipotesis awal penulis mengatakan bahwa kedua hal tersebut tidak bertentangan.
Tentu saja ini sangat berkaitan dengan atau tergantung pada pendefinisian kedua
term tersebut juga pendekatan yang digunakan dalam mengkajinya.
Pertanyaan selanjutnya yang timbul dari permasalahan ini apakah takdir
dalam Islam identik dengan paham predestinasi yang menganggap manusia hanya
bagaikan bulu yang bertebaran mengikuti angin bertiup atau seperti wayang yang
dimainkan oleh dalang. Tidak salah jika Muhammad Ali mengatakan bahwa paham
seperti inilah yang menjadi pandangan umum mayoritas umat Islam saat ini.5 Hal ini
pula yang menjadi sasaran kritik pedas Barat bahwa Islam adalah agama yang
4 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ketiga h. 169.5 Maulana Muhammad Ali, Islamologi. Penerjemah: R. Kaelan dan H.M. Bachrun (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977), h. 215.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
13/104
3
membawa ajaran predestinasi yang mengajarkan paham fatalistik kepada umatnya.6
Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan ialah apakah Islam mengajarkan umatnya
bertindak fatalistik atau menyerah kepada takdir. Pantaskah umat Islam menyalahkan
takdir atas apa yang terjadi pada mereka berupa kemunduran dalam beberapa abad
terakhir.
Telah umum diketahui bahwa Islam pada masa awal telah menjadi kekuatan
yang mengguncang dunia, bahkan sempat menjadi “penguasa” dunia sampai sekitar
abad ke-7 H./13 M. Kepercayaan terhadap takdir telah mem-pengaruhi umat Islam
awal untuk bangkit berjuang menghadapi tantangan yang membentang di
hadapannya. Jika kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai hal yang membuat
umat Islam terbelakang saat ini, mengapa kepercayaan ter-hadapnya tidak membuat
kaum Muslimin generasi awal tidak terbelakang, bahkan menjadi generasi yang
paling maju diantara manusia pada masanya.7 Apakah mereka — kaum Muslimin
awal — tidak memiliki kepercayaan terhadap takdir, atau apakah takdir hanya
direkayasa oleh para teolog untuk mendukung paham mereka. Mengatakan kaum
Muslimin awal tidak percaya takdir merupakan asumsi tak berdasar, sebab term
takdir telah menjadi keyakinan dasar umat Islam yang landasannya dapat ditemukan
baik dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadis Nabi saw.
Islam sebagai agama setidaknya memiliki dua hal yang menjadi sumber
ajarannya, yakni al-Quran dan hadis. Setiap Muslim tentu menginginkan keya-kinan
atau pahamnya sejalan dengan keduanya. Karena al-Quran bersifat umum, maka ia
6 Ibid., catatan kaki no. 61, h. 219.7 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, edisi 2. Editor:
Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 2007), h. 200.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
14/104
4
terbuka terhadap berbagai penafsiran yang tentu saja tidak melenceng dari maknanya.
Setiap paham teologi, baik yang mengatakan manusia sebagai makhluk terbelenggu
ataupun makhluk yang bebas menggunakan ayat-ayat al-Quran maupun hadis sebagai
dalil. Sebagai contoh paham kebebasan kehendak menggunakan ayat:
―Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin(kafir) Biarlah ia kafir." (al-Kahfi: 29)
Sedangkan paham yang mengatakan manusia sebagai makhluk terpaksa
(majbûr ) menggunakan ayat:
Artinya: ―Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (al-Shaffat: 96)
Kedua ayat tersebut terkesan bertentangan padahal tidak ada pertentangan
dalam al-Quran. Hal inilah yang mesti dikaji lebih dalam agar tidak terjadi
kesalahpahaman atau terlebih lagi menuduh tanpa disertai bukti yang otentik.
Dalam khazanah intelektual Islam, permasalahan ini juga menjadi perhatian
para ulama disebabkan kepercayaan akan takdir (qadâ` dan qadar ) disebutkan dalam
suatu hadis yang menjadi acuan dalam menentukan rukun iman.8 Setidaknya terdapat
tiga paham yang memiliki definisi yang berbeda mengenai takdir. Paham pertama
disebut Jabariyah yang — dengan menggunakan kiasan — mengatakan bahwa manusia
8 Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim tentang kedatangan Jibril dalam bentuk
manusia yang menanyakan kepada Nabi hal-hal yang berkaitan dengan iman, islam, dan ihsan.
Diantara poin keimanan disebutkan kepercayaan kepada takdir, baik dan buruknya. Dikarenakan
kepercayaan kepada takdir tidak secara jelas tertera dalam al-Quran, maka kaum Syi‟ah tidak
memasukkannya ke dalam rukun iman.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
15/104
5
tidak lain adalah bulu yang berterbangan, mengikuti angin yang membawanya ke
kanan dan ke kiri. Dengan kata lain paham ini mendefinisikan takdir sebagai telah
ditentukan pada zaman azali, manusia hanya bisa menerima ketentuan tersebut.
Paham kedua disebut Qadariyah yang selanjutnya diwakili oleh para pengikut
Mu‟tazilah. Paham ini mengatakan bahwa manusia bisa merubah nasibnya sendiri
dengan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Paham ini memahami takdir
dalam arti harfiah, yakni batasan, yang berarti manusia tidak dapat melewati batasnya
dalam kapasitasnya sebagai manusia. Batasan ini dapat dilihat dalam fenomena
hukum alam atau sunnatullah. Paham ketiga timbul sebagai reaksi dari pertentangan
kedua paham sebelumnya yang dalam satu sisi menempatkan manusia sebagai
makhluk yang tak berdaya terhadap ketentuan Tuhan, di sisi lain sebagai makhluk
yang secara bebas dan dinamis menentukan sendiri arah hidupnya. Paham ini
dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy‟ari yang kemudian menjadi acuan dalam sekte
Ahlussunnah wal Jama‘ah. Al-Asy‟ari mengatakan bahwa tidak ada satupun usaha
manusia yang tidak dikehendaki Tuhan. Ini berarti bahwa setiap usaha manusia
merupakan ciptaan Tuhan. Dalam hal ini al-Asy‟ari menciptakan teori kasab. Yang
dimaksud dengan kasab ialah tindakan yang diusahakan, seperti berjalan, berlari,
berpikir, dan sebagainya. Kasab ini berbeda dengan perbuatan yang niscaya, seperti
menggigil karena kedinginan atau gemetar karena demam. Jadi, Tuhan men-ciptakan
pada manusia kekuatan untuk bertindak sekaligus tindakan itu sendiri. Di tempat lain
al-Asy‟ari mengatakan bahwa jika Tuhan dideskripsikan berkuasa menjadikan
sesuatu sebagai usaha manusia, Tuhan juga berkuasa memaksakan usaha tersebut.9
9 Mulyadi Kartanegara, „Ilmu Kalam‟, dalam Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedia Tematis
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
16/104
6
Fakhr al-Din al-Razi merupakan mufasir Islam terkemuka pada abad keenam
Hijriah. Sebagai seorang mufasir al-Razi dapat dikatakan unik dengan metodologinya
sehingga penafsirannya dapat dikategorikan baik dalam corak al-ra‘yi, ilmi, maupun
falsafi,10
suatu hal yang tentunya jarang terjadi pada masanya. Tafsirnya yang
monumental dikenal dengan Mafâtih al-Ghaib yang juga meru-pakan karya teologis
terbesar dari al-Razi. Dalam kitab ini al-Razi meletakkan ayat al-Quran dalam diskusi
filosofis, walaupun ia terkenal sebagai salah seorang penentang keras filsafat. Para
pengkritiknya seperti Abu Hayyan dan Ibn Taymiyah mengatakan bahwa di
dalamnya ( Mafâtih al-Ghaib) terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.11 Kritik ini justru
merefleksikan keluasan dari penafsiran yang dianggap melenceng sehingga
penafsirannya tidak dapat dikategorikan sebagai penafsiran. Di sisi lain, para
pembelanya seperti Tajuddin al-Subki membantah kritik ini dan mengatakan bahwa
di dalamnya terdapat segala sesuatu disertai tafsir.12
Disamping sebagai ahli tafsir dan fiqh, al-Razi juga merupakan seorang teolog
dan filosof. Ibrahim Madkour mengatakan bahwa ia adalah filosof Timur yang
pertama pada abad keenam Hijriah. Al-Razi konsern dalam menggeluti filsafat,
logika, kosmologi, dan metafisika. Ia berusaha memadukan agama dan filsafat dan
mencampur filsafat dengan ilmu kalam (teologi Islam).13
Dengan karya-karyanya dari
berbagai disiplin keilmuan seperti filsafat, teologi, hukum, pengobatan, astronomi,
Dunia Islam jilid 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. II, h.135-136.10 Mohammad Anwar Syarifuddin, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis: Laporan Penelitian
Individual — naskah tidak diterbitkan (Jakarta: FUF UIN Syahid, 2006), h. 33-34.11 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinberg: Edinberg University
Press, 1985), h. 94-95.12 Ibid., h. 95.13 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah: Yudian Wahyudi Asmin
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 76-77.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
17/104
7
logika, astrologi, dan fisiognomi (ilmu firasat), tak dapat disangkal lagi bahwa al-
Razi merupakan sarjana (ulama) paling terkemuka pada masanya.14
Sebagai seorang mufasir dan juga teolog, isu takdir juga menarik perhatian al-
Razi. Ia dihadapkan pada kenyataan berbagai pandangan mengenai takdir. Uniknya,
walaupun dikenal sebagai teolog Asy‟ariyah— sebagian juga mengatakan
Mu‟tazilah— al-Razi tidak mengambil suatu pendapat secara taklid atau membabi
buta. Dalam beberapa isu teologis al-Razi terlihat memiliki kecenderungan
Mu‟tazilah, seperti dalam pertanyaan tentang sifat-sifat ketuhanan dan kemungkinan
Tuhan untuk dilihat dengan mata kepala (di alam akhirat).15
Hal ini membawa kepada
kemungkinan al-Razi untuk bersikap netral dan sikap ini pula yang mesti dimiliki
para ulama dan cendekiawan Islam.
Beberapa prolog di atas melatarbelakangi penulis untuk menyusun skripsi
dengan judul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”.
B.
Batasan Masalah
Dikarenakan studi ini merupakan studi pemikiran Fakhr al-Din al-Razi
mengenai takdir yang difokuskan pada penafsirannya terdahap ayat-ayat al-Quran,
maka studi ini membatasi diri pada kajian terhadap ayat-ayat tersebut. Di dalam al-
Quran terdapat ayat-ayat yang berbicara mengenai takdir, baik menggunakan kata
qad â‘, qadar, maupun taqdîr. Ayat-ayat tersebut digunakan oleh masing-masing
sekte untuk mendukung ajarannya, baik yang mengatakan bahwa manusia itu
14 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi (KualaLumpur: ISTAC, 1996), h. 4.
15 Ibid., h. 5.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
18/104
8
terpaksa, manusia memiliki kebebasan kehendak, maupun paham yang berdiri
diantara keduanya. Semua sekte dalam Islam, baik kaum Jabariah, Muktazilah,
Asy‟ariah, maupun Maturidiah menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk menguatkan
paham mereka.
Kata taqdîr dalam berbagai bentuknya digunakan al-Quran sebanyak 133 kali.
Kata qadâ` dalam berbagai bentuknya disebut sekitar 63 kali. Kata qadar dalam
berbagai derivasinya, tidak termasuk bentuk fâ‘il (qâdir ) disebut sekitar 73 kali.16
Di samping ayat-ayat yang secara tekstual menggunakan kata taqdîr , terdapat
pula ayat-ayat yang berkaitan erat dengan permasalahan takdir. Ayat-ayat tersebut
dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan penggunaannya oleh masing-masing sekte.
Ayat-ayat kelompok pertama yang secara letterlek menguatkan golongan yang
berpendapat bahwa perbuatan manusia telah ditetapkan sebelumnya (majbûr ,
determinis, fatalistik) terdapat pada surat Ali Imran: 26, al-A‟raf: 155, al-Ra‟d: 11, al-
Isra`: 16, al-Baqarah: 253, al-An‟am: 125, al-Anfal: 24, dan ayat-ayat serupa.17
―Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepadaorang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.‖ (AliImran: 26)
16 Sulaiman Ibrahim, Konsep Takdir menurut al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Tesis S2 UIN Syahid Jakarta, 2003), h. 64.
17 Miqdad Yalink, „Batas antara Takdir dan Kebebasan Kehendak‟ dalam Mohammad Thalib
(ed.), Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), h. 13-17.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
19/104
9
Ayat-ayat kedua demikian juga secara zhahir mendukung golongan yang
berpendapat adanya kebebasan berkehendak pada manusia, diantaranya al-Kahfi: 29,
al-An‟am: 148, Ali Imran: 145, dan selainnya yang serupa.
―Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin(beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika
mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.‖ (al-Kahfi: 29)
Kelompok ayat terakhir manguatkan golongan ketiga yang berdiri antara
paham predestinasi dan free will. Diantara ayat-ayat yang mendukungnya ialah al-
Insan: 28-31 dan al-A‟raf: 156.
―Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kamimenghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa denganmereka. Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, Maka Barangsiapa menghendaki(kebaikan bagi dirinya) niscaya Dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu(menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuilagi Maha Bijaksana. Dan memasukkan siapa yang dikehendakiNya ke dalam rahmat-Nya (surga).
dan bagi orang-orang zalim disediakan- Nya azab yang pedih.‖
Dari berbagai ayat yang biasa digunakan dalam permasalahan takdir, maka
penelitian ini memilih menggunakan ayat-ayat yang tidak secara tekstual
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
20/104
10
menyebutkan kata qadara ataupun taqdîr, melainkan ayat-ayat yang biasa digunakan
sebagai dalil bagi paham-paham teologi. Ayat-ayat yang menjadi pembahasan dalam
penelitian ini ialah al-Baqarah ayat 6 dan 26, al-Kahfi ayat 29, dan al-A‟raf ayat 178.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan ialah
bagaimana penafsiran al-Razi mengenai ayat-ayat seputar takdir.
D. Tujuan Penelitian
Diantara tujuan studi ini ialah mengetauhi pandangan Fakhr al-Din al-Razi
mengenai takdir, juga untuk melihat lebih dalam khazanah klasik warisan ulama
Islam, khususnya al-Razi, di mana aktivitas keilmuan pada saat itu tidak dapat
dikatakan kalah dari aktivitas keilmuan kontemporer, bahkan pada masa-masa
tersebut — abad I sampai VI H — disebut sebagai zaman keemasan dari Islam itu
sendiri.
E. Manfaat Penelitian
Studi mengenai takdir merupakan suatu kajian yang penting. Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa pemahaman mengenai takdir akan berpengaruh baik pada
masyarakat, negara, maupun setiap pribadi yang meyakininya. Dengan mengkaji
permasalahan takdir diharapkan setiap elemen masyarakat tersebut mengetahui
aspek-aspek problematika takdir, lebih memahami kekayaan intelektual umat Islam,
dan mengetahui faham mayoritas serta lebih-lebih mendekati kebenaran ajaran
mengenai takdir sebagaimana dimaksudkan agama.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
21/104
11
F.
Metodologi Penelitian
Metode penelitian terdiri dari metode pengumpulan data dan metode
penulisan.
Dalam pengumpulan data, studi ini melakukan penelitian pustaka (library
research). Ini berarti bahwa studi ini memfokuskan diri pada sumber-sumber
kepustakaan baik dalam bentuk buku, jurnal, dan berbagai referensi lainnya. Sumber
utama dalam studi ini ialah kitab Mafâtih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, juga
dikenal dengan al-Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr Fakhrurrâzi. Adapun referensi
sekunder terdiri dari kitab-kitab tafsir selainnya dan buku-buku yang membahas
tentang teologi dan takdir.
Metode Penulisan studi ini berdasar kepada buku Pedoman Akademik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009.
G. Kajian Pustaka
Terdapat beberapa kajian yang membahas mengenai takdir dan Fakhr al-Din
al-Razi, diantara kajian yang penulis temukan ialah sebagai berikut:
Konsep Takdir dalam al-Quran, oleh Sulaiman Ibrahim. Tesis UIN Syahid
Jakarta yang membahas takdir dalam ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan
metode maudhû‘i.
Pemahaman Dosen Agama Perguruan Tinggi Umum Kotamadya Padang
tentang Takdir , oleh Ahmad Kosasih. Disertasi UIN Syahid Jakarta yang merupakan
studi lapangan terhadap dosen-dosen agama yang mengambil tempat di Kotamadya
Padang untuk mengetahui pandangan yang dominan tentang takdir.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
22/104
12
Takdir dan Kebebasan Manusia (Telaah atas Penafsiran al-Zamakhsyari
Terhadap Surat al-Furqan Ayat 2 dan Surat al- Ra‘d Ayat 11), oleh Hamka. Skripsi
FUF UIN Syahid yang membahas tentang penafsiran al-Zamakhsyari mengenai dua
ayat tentang takdir.
Takdir Menurut Perspektif Hadis: Sebuah Kajian Tematik , oleh Sakinah.
Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas secara tematis hadis-hadis yang berkaitan
dengan takdir.
Takdir dalam perspektif al-Quran: Kajian Tafsir Maudhû‘i, oleh Rudiyanto.
Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas takdir dalam al-Quran dengan metode
madhû‘i.
Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi, oleh Yasin
Ceylan. Disertasi ISTAC Kuala Lumpur yang membahas tema-tema teologi dan
penafsiran al-Razi.
Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology in Interpreting the Qur‘an, oleh
Shalahuddin Kafrawi. Tesis Mc Gill University Kanada yang membahas mengenai
metodologi al-Razi dalam menafsirkan al-Quran.
Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi, oleh Ibnu Zam Zam. Skripsi FUF
UIN Syahid yang membahas mengenai metode al-Razi dalam menafsirkan al-Quran.
Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafâtih al-Ghaib
(tentang Keistimewaan Lebah, oleh Ihat Malihatun. Skripsi FUF UIN Syahid yang
membahas metode penafsiran al-Razi secara khusus terhadap ayat-ayat keistimewaan
lebah.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
23/104
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
24/104
14
penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat seputar takdir serta analisis dari penafsiran
tersebut.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
25/104
1
BAB II
BIOGRAFI
A.
Biografi
Abu „Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al-
Taimi al-Bakri al-Thibristani, terkenal dengan nama Fakhr al-Din al-Razi. Diberi
julukan Ibn Khatib al-Ray karena ayahnya, Dhiya‟ al-Din Umar, adalah seorang
khatib di Ray. Ray merupakan sebuah desa yang banyak ditempati oleh orang „ ajam
(selain Arab).18
Di Herat Fakhr al-Din mendapat julukan Syaikh al-Islam.19
Al-Razi
merupakan anak keturunan Quraisy yang nasabnya bersambung kepada Abu Bakr al-
Shiddiq.20
Fakhr al-Din al-Razi dilahirkan pada 25 Ramadhan 544 H,21
bertepatan
dengan 1150 M, di Ray — sebuah kota besar di wilayah Irak yang kini telah hancur
dan dapat dilihat bekas-bekasnya di kota Taheran Iran.22
Ray adalah sebuah kota yang
banyak melahirkan para ulama yang biasanya diberi julukan al-Razi setelah nama
belakang sebagaimana lazim pada masa itu. Diantara ulama sebangsa yang juga
diberi gelar al-Razi ialah Abu Bakr bin Muhammad bin Zakaria, seorang filosof dan
dokter kenamaan abad X M/IV H.23
18
Fakhr al-Din al-Razi, Roh Itu Misterius. Editor: Muhammad Abd al-Aziz al-Hillawi.Penerjemah: Muhammad Abdul Qadir al-Kaf (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), h. 17.19 Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân wa Anbâ‘ Abnâ‘ al -Zamân jilid IV (Beirut: Dar al-
Tsaqafah, tt), h. 250.20 Fakhr al-Din al-Razi, Roh..., h. 17.21 Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân , h. 252.22 Fakhr al-Din al-Razi, Roh, h. 17-18.23 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (Newyork: Columbia University Press,
1970), h. 355.
15
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
26/104
16
Beberapa sumber lain mengatakan bahwa al-Razi dilahirkan pada tahun 543
H/1149 M. Ibn al-Subki mengatakan bahwa menurut pendapat yang kuat al-Razi
dilahirkan pada tahun 543 H. Tetapi pendapat ini menjadi lemah jika dikaitkan
dengan fakta melalui tulisan yang dibuat al-Razi sendiri. Al-Razi menulis dalam tafsir
surah Yusuf bahwa ia telah mencapai usia 57 tahun dan pada akhir surah
menyebutkan bahwa tafsirnya telah selesai pada bulan Sya‟ban tahun 601 H. Jika
dikurangi, maka kelahiran al-Razi ialah tahun 544 H/1150 M.24
Fakhr al-Din memiliki seorang kakak yang bernama Rukn al-Din. Dikatakan
bahwa Rukn al-Din memiliki kedengkian terhadap al-Razi dikarenakan kemasyhuran
dan ketinggian ilmunya. Rukn senantiasa mengikuti kemanapun al-Razi hendak pergi
dan berusaha menyebat fitnah agar masyarakat menjadi simpati kepadanya. Alih-alih
mendapat simpati usaha Rukn al-Din malah membuatnya dibenci masyarakat. Di
samping perasaan sedih — karena memiliki saudara yang dengki — al-Razi
menanggapinya dengan senantiasa menasihati sebisa mungkin dan tidak memutuskan
tali persaudaraan.25
Al-Razi menikah di Ray sepulang dari perjalanan ke Khawarizm karena
ditolak oleh masyarakat di sana. Di Ray ada seorang dokter ahli yang memiliki
kekayaan melimpah dan juga dua anak perempuan. Ketika dokter itu sakit dan yakin
akan datangnya ajal, ia menikahkan salah seorang putrinya kepada al-Razi. Sejak
24 Ali Muhammad Hasan al-„Umâri, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayâtuhû wa Atsâruhû(al-Majlis al-A‟la li al-Syu‟un al-Islamiyah, 1969), h. 17.
25 Ibid. h.23-24
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
27/104
17
masa itu terjadi perubahan ekonomi pada al-Razi dari seorang yang miskin dan
kekurangan menjadi berkecukupan.26
Dari pernikahannya itu al-Razi dikaruniai tiga orang anak lelaki dan dua anak
perempuan. Salah seorang anak lelaki yang bernama Muhammad meninggal pada
saat al-Razi masih hidup. Muhammad dikatakan sebagai anak yang saleh sehingga
benar-benar bersedih sepeninggalnya. Kesedihannya itu diungkapkan dengan
menyebutkannya — Muhammad — berkali-kali dalam tafsirnya, yakni bertutut-turut
dalam tafsir surah Yunus, Hud, Yusuf, al-Ra‟d, dan Ibrahim. Muhammad meninggal
dalam usia muda beranjak dewasa di perantauan, jauh dari teman dan keluarga.27
Dua anak lelaki lainnya ialah Dhiya‟ al-Din dan Syams al-Din. Dhiya‟ al-din
merupakan anak tertua yang bernama asli Abdullah. Ia dikenal sebagai orang yang
sangat perhatian kepada ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia menjadi tentara dan
mengabdi kepada sultan Muhammad bin Taksy.28
Adapun Syams al-Din ialah yang
termuda dari ketiganya. Ia memiliki banyak kelebihan dan kepandaian yang luar
biasa. Syams al-Din mengikuti jejak al-Razi setelah kematiannya, menyan-dang gelar
Fakhr al-Din, dan banyak ulama yang menuntut ilmu kepadanya.29
Salah satu anak perempuan al-Razi dinikahi dengan Ala‟ al-Mulk, seorang
wazîr (menteri) sultan Khawarazmsyah Jalal al-Din Taksy bin Muhammad bin Taksy
yang terkenal dengan julukan Minkabari. „Ala‟ al-Mulk adalah seorang pakar dalam
bidang sastra, khususnya dalam bahasa Arab dan Persia. Sedangkan anak perempuan
26 Ibid., h. 2027 Ibid., h. 24-26.28 Ibn al-Katsîr al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid VII juz XIII (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 61.29 Ibid., h. 26.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
28/104
18
lainnya hanya disebutkan dalam riwayat ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan
Jengis Khan memasuki kota Herat, kediaman al-Razi dan keluarga. „Ala‟ al-Mulk
meminta perlindungan kepada Jengis Khan atas anak-anak Syaikh Fakhr al-Din dan
permohonannya itu dikabulkan. Ketika itu disebutkan bahwa anak perempuan yang
terakhir ini termasuk di dalamnnya.30
Al-Razi meninggal di Herat pada hari Senin tanggal 1 Syawal 606 H/1209 M,
bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Sesuai dengan amanatnya, al-Razi
dimakamkan di gunung Mushaqib di desa Muzdakhan, sebuah desa yang terletak
tidak jauh dari Herat.31
Sebelum meninggal al-Razi sempat mendiktekan wasiat yang
ditulis oleh salah seorang muridnya, Ibrahim al-Asfahani. Wasiatnya berisi tentang
penyerahan diri sepenuhnya (tawakal) kepada kasih sayang Tuhan. Al-Razi mengakui
bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai cabang lapangan ilmu tanpa cukup
memperhatikan mana yang berguna dan mana yang merusak. Dalam wasiatnya al-
Razi juga menyatakan ketidakpuasannya dengan filsafat dan teologi (ilmu kalam).
Dalam mencari kebenaran ia lebih menyukai metode al-Quran dibandingkan metode
filsafat. Ia juga menasihati untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis
pada problem-problem yang tak terpecahkan. Pernyataan terakhir al-Razi mengenai
nilai filsafat dan teologi ini masti dicatat dalam meneliti pemikiran al-Razi terutama
dalam isu-isu kontroversial yang bermacam-macam.32
30 Ibid., h. 27.31 Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân , h. 25232 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1996), h. 12-13.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
29/104
19
Al-Razi hidup pada pertengahan terakhir abad keenam Hijriah atau kedua
belad Masehi. Masa-masa ini merupakan masa-masa kemunduran di kalangan umat
Islam, baik dalam bidang politik, sosial, ilmu pengetahuan, dan akidah.
33
Kelemahan
Khalifah Abbasiyah telah mencapai puncaknya hingga Baghdad sebagai pusat
pemerintahan saat itu hancur luluh hanya dengan sekali serangan dari tentara Mongol
di bawah pimpinan Hulago Khan pada 656 H/1258 M.34
Secara efektif, tidak ada
kesatuan politik yang benar-benar memerintah dunia Islam saat itu. Kekuasaan
khalifah di Baghdad hanya diakui secara simbolis karena dalam prekteknya masing-
masing daerah diperintah secara independen oleh para sultan Bani Abbas. Situasi ini
disebut Karen Amstrong sangat mirip dengan apa yang disebut monarki absolut.
Sejak 1055 M praktis kekuasaan di Baghdad dipegang oleh orang-orang Turki Seljuk.
Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa hidup al-Razi ialah kemenangan
Shalahuddin al-Ayyubi melawan pasukan Salib pada 1187 M.35
Selama hidupnya, al-Razi mengalami tiga kali pergantian khalifah di
Baghdad. Pertama, al-Mustanjîd Billâh (555-556 H) yang pada masa kekua-saannya
belum ada pengaruh dari orang-orang Turki Seljuk. Kedua, al-Mustadhi Billâh (566-
575 H) yang merupakan anak al-Mustanjîd yang memegang kekua-saan setelah
ayahnya meninggal. Ketiga, al-Nâshir li Dînillâh (575-622 H), anak al-Mustadhi yang
merupakan khalifah Abbasiyah dengan masa kekuasaan terpanjang.36
Khalifah inilah
yang berusaha mengembalikan kebesaran dinasti Abbasiyah dengan mengadakan
33 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 28.34 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam. Penerjemah Ira Puspita Rini (Surabaya: Ikon
Teralitera, 2004), cet. keempat h. 115.35 Ibid., h. 97-11136 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 28
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
30/104
20
“kompromi” dengan syari‟ah yang saat itu biasa dikembangkan untuk memprotes
para khalifah. Al-Nâshir juga bergabung dengan kelompok futuwwah37 di Baghdad.
Namun kebijakan al-Nâshir sudah amat terlambat, sebab dunia Islam sudah dilanda
bencana yang akan membawa kepada keruntuhan dinasti Abbasiyah.38
Sementara di Khawarizmi, Khurasan, dan daerah-daerah sekitarnya dikuasai
oleh bani Khawarazamsyah. Pada masa hidup al-Razi sultan yang menguasai daerah
ini ialah Taksy bin Arselan (568-596 H), „Ala‟ al-Din Muhammad bin Taksy (596-
615 H), dan kemudia diikuti oleh anaknya Jalal al-Din sampai tahun 628 H. Kabar
mengenai perang salib di Syam dan serangan bangsa Mongol di Timur selalu
menyelimuti pikiran kaum Muslimin saat itu di mana bayangan kehancuran berada di
depan mata.39
Mazhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali) masih menjadi
mayoritas mazhab yang diterima oleh sebagian besar umat Islam saat itu. Di Ray,
kota al-Razi, terdapat setidaknya tiga mazhab yang berpengaruh, yakni Syafi‟i, yang
merupakan minoritas, Hanafi sebagai mazhab mayoritas, dan Syi‟ah yang berjumlah
sangat sedikit. Sebelumnya terjadi pertentangan antara Syi‟ah dan Ahlussunnah yang
akhirnya dimenangkan oleh mazhab Syafi‟iyah dari Ahlussunnah.40
Hal ini tentu
tidak terlepas dari peran Bani Seljuk yang cenderung kepada Sunni dan sufisme.41
37 Persatuan kelompok pemuda urban, dibentuk setelah abad ke-12, dengan upacara dan ritual
khusus serta bersumpah untuk setia kepada pemimpin, yang sangat dipengaruhi oleh prinsip dan
praktik sufi (Karen Armstrong).38 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, h. 114.39 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29.40 Ibid. 41 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, h. 101.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
31/104
21
Pada masa itu terdapat banyak aliran teologi. Ibn al-Subki menyebutkan tidak
kurang dari 27 golongan. Adapun yang termasyhur daripadanya ialah Syi‟ah,
Muktazilah, Murji‟ah, Batiniyah, dan Karamiyah.
42
Keilmuan didominasi pada pelajaran agama dan bahasa Arab, tidak sedikit
pula yang mempelajari ilmu hikmah (filsafat) yang pembahasannya mencakup logika,
fisika, dan metafisika. Termasuk cabang ilmu filsafat ialah ilmu ukur, musik, dan
astronomi.43
Kaum Muslimin masih bergelut dengan filsafat yang banyak dipelopori oleh
kaum Muktazilah. Diantara para filosof terkenal yang berpengaruh ialah al-Kindi, al-
Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Maskawaih yang lahir di Ray dan meninggal di Isfahan
pada tahun 1030 M.44
Pengaruh filsafat terus meningkat hingga datang masa al-
Ghazali pada akhir abad V H/X M. Kritik al-Ghazali terhadap filsafat tertuang dalam
kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah. Sejak saat itu timbul kebencian kaum Muslimin —
khususnya para fuqahâ` dan golongan Asy‟ariyah yang menjadi mazhab mayoritas—
terhadap filsafat.45
Keadaan ini ditambah dengan dukungan khalifah Abbasiyah
dalam menentang filsafat, sehingga filsafat seakan punah dari tradisi umat Islam
kecuali di beberapa tempat seperti Iran dan Andalusia (Spanyol).
Abad keenam Hijriah juga merupakan puncak dari ajaran Bathiniyah yang
telah dirintis sejak abad ketiga. Diantara aliran Bathiniyah ini — sebagaimana
dikatakan al-Ghazali — ialah golongan Rafidhah yang merupakan sekte dalam Syi‟ah.
42 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29.43 Ibid. 44 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, edisi kedua (Jakarta: UI-
Press, 2002), h. 43-37.45 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 30.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
32/104
22
Golongan ini menganggap tercapainya ilmu itu melalui perkataan Imam yang
ma‘shûm, Imam yang mengetahui semua rahasia syari‟ah dan pada setiap zaman pasti
terdapat seorang Imam yang dapat menjadi sandaran dalam permasalahan
keagamaan.46
Sebelum masa al-Ghazali tasawuf masih belum dapat diterima oleh mayoritas
ulama dan bahkan dianggap bid‟ah. Al-Ghazali berperan besar dalam
“mendamaikan” ajaran para sufi yang dianggapnya wali dengan para ulama yang
mengajarkan syariat formal, seperti ilmu fiqh dan tauhid. Pengaruh ini telah sampai
hampir ke seluruh pelosok negeri Islam dari timur sampai barat. Pengaruh ini juga tak
pelak dirasakan oleh al-Razi karena masanya tidak terlampau jauh dari al-Ghazali.47
Dalam kondisi politik, sosial, dan keilmuan seperti inilah al-Razi hidup.
Faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam mengkaji suatu pemikiran — dalam hal
ini al-Razi — sebab tidak ada pemikiran yang dapat lepas dari pengaruh-pengaruhnya.
Atau dengan bahasa Edward Said “belum ada seorang pun yang menciptakan metode
untuk melepaskan cendekiawan dari lingkungan kehidupannya, dari fakta
keterlibatannya baik secara sadar maupun tidak — dengan suatu kelompok,
seperangkat keyakinan, kedudukan sosial, ataupun sekedar aktivitasnya sebagai
anggota masyarakat”.48
Pembahasan lebih dalam ke arah itu — kondisi politik, sosial,
dan keilmuan — akan membawa pengetahuan mengenai kecenderungan seorang ulama
atau cendekiawan. Penerimaan masyarakat terhadap suatu karya merupakan indikasi
bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan konsep kebenaran, minimal pada saat itu.
46 Ibid., h. 31.47 Ibid., h. 3248 Edward Said, Orientalisme. Penerjemah: Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1985), h. 12-13.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
33/104
23
B.
Karir Intelektual
Sebagaimana lazim dilakukan oleh para pelajar Muslim, al-Razi melakukan
pengembaraan intelektual secara luas ke seluruh Persia. Dari Khawarizm ke Ghaznah,
lalu ke Herat, dan akhirnya menetap di sana di bawah perlindungan Sultan „Ala al-
Din Khawarazmsyah.49
Sebelum itu, al-Razi kecil terlebih dahulu menimba ilmu
pengetahuan pertamanya dari ayahnya sendiri, Dhiyâ‟ al-Din „Umar. Dhiyâ‟ al-Din
merupakan seorang ulama besar di Ray — terkenal dengan julukan Khâtib al-Rayy —
khususnya dalam bidang ilmu fiqh dan ushul. Setelah ayahnya meninggal pada 559 H
al-Razi kemudian menimba ilmu kepada para ulama besar pada masanya, diantaranya
Muhammad al-Baghawi dan Majd al-Din al-Jîli.50
Kepada al-Jîli al-Razi mempelajari teologi dan filsafat. Dari Kamal al-
Simnâni al-Razi mempelajari ilmu fiqh dan kepada Yahyâ al-Suhrâwardi al-Razi
belajar filsafat dan ushul fiqh. Dalam proses belajarnya al-Razi menghapal beberapa
kitab, diantaranya al-Syâmil Imam al-Haramain mengenai ilmu kalam, al-Mustasyfâ
al-Ghazali dalam ushul fiqh, dan al- Mu‘tamâd Abu al-Hasan al-Bashri. Dalam pada
itu al-Razi mensyarah (memberi komentar) beberapa kitab ulama sebelumnya,
diantaranya al-Mufashshal al-Zamakhsyari dalam ilmu nahw (tata bahasa), al-Wajiz
al-Ghazali dalam ilmu fiqh, dua kitab Abd al-Qahir dalam bidang balaghah, dan
mengkhususkan pembahasan keduanya dalam karyanya, Nihâyah al-Îjaz fi Dirâyah
al- I‘jâz.51
49 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (Newyork: Columbia University Press,1970), h. 355.
50 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 19.51 Ibid.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
34/104
24
Al-Razi menaruh perhatian lebih terhadap filsafat dan kedokteran (al-Thibb)
sehingga memiliki pandangan yang luas mengenai keduanya. Dalam bidang filsafat
al-Razi mensyarah kitab al-Isyârât karya Ibn Sina dan dalam ilmu kedokteran ia
menulis kitab Syarh al-Kulliyyât li al-Qânûn karya penulis yang sama.52
Dalam karyanya, Munâzharat Fakhr al- Din fi Bilâd ma Warâ‘ al -Nahr al-
Razi mendokumenter tempat-tempat yang telah ia kunjungi dan para ulama yang
ditemuinya. Kemudian ia membuat ikhtisar mengenai diskusi yang telah
dilakukannya dengan para ulama tersebut. Dikatakan bahwa al-Razi melakukan
perdebatan dengan para ulama terkemuka dengan menggunakan dialektika filosofis.
Penjelasan mengenai lawan debatnya penuh dengan ironi. Sebagai contoh dikatakan
bahwa al-Radhi al-Naisaburi sebagai orang yang jujur, tetapi lambat dalam berpikir.
Qadhi dari Ghazna sebagai orang yang iri hati dan bodoh. Syaraf al-Din Muhammad
al-Mas‟udi, seorang teolog terkemuka di Bukhara, sebagai orang yang arogan dan
terlalu percaya diri dengan karya al-Ghazali. Di samping itu, di Bukhara ia memarahi
Nur al-Shabuni dikarenakan perjalanannya ke Makkah untuk melaksanakan ibadah
haji. Setelah diskusi panjang, al-Razi “memaksa” lawan-lawannya untuk menerima
kebodohan mereka.53
Selanjutnya al-Razi melakukan perjalanan ke Khawarazm dan Transoxania,
nampaknya dalam rangka mengubah para pengikut Muktazilah dan Karamiyah
kepada Sunni. Alih-alih mencapai tujuan al-Razi dipaksa keluar dari keduanya karena
berselisih dengan ulama-ulama lokal. Al-Razi membangun hubungan baik dengan
52 Ibid. 53 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 2.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
35/104
25
Syihab al-Din al-Ghuri, sultan al-Ghur dan Ghaznah, yang nantinya membangunkan
madrasah untuk al-Razi di Herat. Di Ghaznah al-Razi sempat dicap kafir oleh kaum
Karamiyah setelah melakukan perdebatan dengan pimpinannya Abd al-Majid bin al-
Qudwa. Bahkan Ibn al-Qudwa, dengan dukungan keponakan sultan Dhiya‟ al-Din al-
Ghûri, menyerangnya dalam khut-bah Jumat, menuduhnya kafir karena telah
membaca karangan Ibn Sina dan Aristoteles. Peristiwa ini menimbulkan kegoncangan
pada masyarakat yang mayoritas pengikut Karamiyah ini dan berujung pada hasutan
yang berkembang untuk membunuh al-Razi. Melihat hal ini sultan berusaha
menenangkan masyarakat bahwa ia akan mengeluarkan al-Razi dari kota itu. Tahun
kejadian ini kemudian tercatat sebagai sanât al-fitnâ (tahun fitnah)54
Setelah peristiwa itu al-Razi kembali ke Khurasan dan menetap di Herat di
bawah perlindungan sultan Muhammad bin Taksy yang terkenal dengan gelar
Khawarazmsyah. Di sana al-Razi mendapat kedudukan tinggi dan derajat mulia yang
bahkan tidak ada ulama yang dapat melebihi posisinya dalam kedekatannya kepada
sultan.55
Dalam fiqh dan ushul, al-Razi mengikuti mazhab Syafi‟i yang diterimanya
dari ayahnya hingga bersambung — sanadnya — ke Imam al-Syafi‟i. Dalam teologi
menganut paham Asy‟ariyah yang juga diterima melalui ayahnya hingga sampai ke
Imam Abu al-Hasan al-Asy‟ari.56
Dalam bidang filsafat al-Razi nampaknya mendapat
pengaruh kuat dari Ibn Sina dan Abu al-Barakat al-Baghdadi (m. 560/1166), penulis
54 Ibid., h. 3-4. Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh jilid XII (Beirut: Dar al-Shadir, tt), h. 151-152.
55 Ibn Khallikan, Wafâyât al- A‘yân , h. 250.56 Ibid., h. 252.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
36/104
26
ikhtisar tentang fisika, logika, dan metafisika “al- Mu‘tabâr fî al - Hikmah‖ yang juga
seorang penulis penting mengenai ilmu kedokteran pada abad VI/XII. Walaupun
demikian dalam perkembangannya al-Razi tidak segan-segan untuk mengkritik Ibn
Sina dalam beberapa tema penting. Komentarnya terhadap al-Isyârât lebih dekat
kepada kritik daripada syarah (penjelasan).57
Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam memahami al-Razi,
menurut Ceylan, ialah skeptisismenya. Al-Razi tidak pernah bisa mengatasi
keraguannya. Skeptisisme inilah yang membuat al-Razi mempertanyakan segala hal
hingga ia tidak menerima pendapat begitu saja secara taklid (membabi buta).
Meskipun seorang Asy‟ariah al-Razi tidak ragu untuk berbeda pendapat dengan al-
Asy‟ari dalam beberapa hal. Sikap liberal al-Razi membuatnya dituduh oleh para
oponennya sebagai Muktazilah dan mereka memang memiliki justifikasi untuk itu
berdasarkan perkataan al-Razi sendiri. Beberapa pendapat al-Razi memperlihatkan
tendensi Muktazilah, seperti pertanyaan mengenai sifat-sifat Tuhan dan kemungkinan
untuk melihat Tuhan dengan mata kepala — di alam akhir, dan dalam kerangka bukti-
bukti dogmatis. Dalam elaborasinya mengenai tema-tema ini, al-Razi terlihat sedikit
ragu dalam meminjam pendapat dari non-Muslim maupun sarjana Muslim yang
dianggap bid`ah, seperti Abu al-Barakat al-Baghdadi, seorang Yahudi; Tsabit bin al-
Qurra`, seorang Kristen; dan Abu al-A‟la al-Ma‟arri, sastrawan yang terkenal dengan
pandangan-pandangan bid`ahnya.58
57 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355-356.58 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 5.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
37/104
27
Satu aspek yang paling mencolok dari al-Razi ialah rekonsiliasinya antara
filsafat dan dogma.59
Ibn Khaldun mengatakan bahwa al-Razi, bersamaan dengan al-
Ghazali, adalah barisan terdepan dalam memperkenalkan pendekatan filosofis baru
terhadap kajian teologis.60
Meskipun al-Razi membuktikan kesalahan argumen para
filosof dalam banyak tempat, kritisismenya timbul dari pemikiran yang independen
dan rasionalitas yang unik. Ketidaksetujuannya kepada para filosof lebih banyak
timbul dikarenakan respeknya terhadap argumen filosofis daripada posisinya sebagai
teolog. Ini sejalan dengan jalan berpikirnya yang lebih dekat kepada filosof daripada
teolog. Pernyataan tegas al-Razi merupakan aspek signifikan dalam posisinya
menanggapi kontroversi antara filsafat dan teologi.61
Pengetahuan al-Razi yang demikian luas mengenai filsafat dan teologi
membuat tak ada ulama sezaman yang setara dengannya dan dapat dibandingkan
dengan keluasan pengetahuan al-Ghazali. Al-Razi merupakan salah satu penulis
ensiklopedik terakhir umat Islam.62
Tidak diragukan lagi bahwa al-Razi ialah seorang
ulama Asy‟ariyah terakhir jika dilihat bahwa tidak ada figur penting lainnya dalam
lapangan teologi hingga satu abad setelahnya.63
Al-Razi memiliki banyak pengikut. Dikatakan tidak kurang dari tiga ratus
murid dari berbagai belahan dunia Islam menyertainya ketika ia berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya. Diantara murid-muridnya yang terkenal ialah Quthb al-Din
al-Mishri, Zain al-„Abidin al-Kasysyi, Syihab al-Din al-Naisaburi, Muhammad bin
59 Ibid. 60 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, h. 94.61 Yasin Ceylan, T heology and Tafsir…, h. 6.62 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355.63 Watt, Islamic Philosophy and Theology, h. 95-96.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
38/104
28
Ridhwan, Syaraf al-Din al-Harawi, Atsir al-Din al-Abhari, Afdhal al-Din al-Khunji,
Taj al-Din al-Armawi, Syams al-Din al-Khuwayya, dan Syaikh Muhammad al-
Khusrawsyahi.
64
Pemikiran al-Razi sebagai teolog yang memaparkan pemikiran secara filosofis
memberi pengaruh yang tidak sedikit kepada para pemikir Muslim sesudahnya,
seperti Nashir al-Din al-Thusi, Ibn Taymiyyah (m. 729/1328), al-Taftazani (m.
791/1389), dan al-Jurjani (m. 816/1413), khususnya dalam bidang teologi dan filsafat.
Penjelasan dan kritiknya terhadap filsafat Ibn Sina nantinya berguna bagi filosof
belakangan seperti Ibn Khaldun (m. 808/1406) dalam menghadapi sistem pemikiran
Ibn Sina.65
Sebagai penulis yang produktif dan melontarkan pemikirannya sedemikian
bebas al-Razi tak dapat terlepas dari kontroversi ulama yang mendukung dan
menentangnya, baik pada masa hidup maupun setelahnya. Diantara penentangnya
ialah al-Dzahabi (penulis Mîzân al- I‘tidâl ), Siraj al-Din al-Sirmiyahi, Abu Hayyan,
dan Rasyid Ridha. Sedangkan para pembelanya ialah Taj al-Din al-Subki, Ibn Abi
„Ushaibi‟ah, Ibn Khallikan, Ibn Khaldun, Ibn al-Atsir, al-Yafi‟i, dan al-Qifti.66
Perlu dicatat bahwa al-Razi sebagai mufasir tidak hanya ahli dalam bidang
teologi dan al-Quran, melainkan juga menguasai berbagai macam bidang keilmuan
seperti filsafat, kedokteran, matematika, hukum Islam, dan linguistik. Al-Razi
menulis dalam bahasa Arab — beberapa dalam bahasa Persia — sebagaimana diakuinya
64 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 11-12.65 Shalahuddin Kafrawi, Fakhr al-Dîn al-Râ zi‘s Methodology in Interpretin g the Qur`an
(Montreal: The Institut of Islamic Studies Faculty of Graduate Studies and Research Mc Gill
University, 1998), h. 24.66 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 95-97. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-
Quran: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.155-161.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
39/104
29
sebagai bahasa yang paling utama. Namun demikian dalam menyampaikan kuliah-
kuliahnya al-Razi kerap kali menggunakan juga bahasa Persia untuk menarik lebih
banyak audiens.
67
C. Karya Tulis
Dalam dunia Islam al-Razi merupakan salah satu penulis produktif dalam
sejarah. Tulisannya terdiri dari berbagai macam cabang keilmuan mulai dari tafsir,
teologi, filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi, sejarah, heresiografi
(kebid`ahan), astrologi (nujum/ramalan), dan fisiognomi (firasat).68
Dikatakan bahwa
karya al-Razi tidak kurang dari dua ratus buah karangan69
baik berupa risalah, syarah,
maupun kitab yang berjilid-jilid. Al-Baghdadi mengklasifikasikan karya-karya al-
Razi menjadi sepuluh kategori:1) tafsir; 2) teologi; 3) logika, filsafat, dan etika; 4)
kombinasi antara teologi dan filsafat; 5) fiqh dan ushul; 6) sejarah dan biografi; 7)
matematika dan astronomi; 8) kedokteran dan fisiognomi; 9) sihir dan astrologi; dan
10) karya umum dan ensiklopedia.70
Diantara karya-karya yang masih terlacak sebagai tulisan al-Razi, dalam studi
al-Quran: al-Tafsîr al-Kabîr ( Mafâtih al-Ghaib), Asrâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tafsîr
(Tafsîr al-Qur‘ân al -Shaghîr ), Tafsîr Sûrah al-Fâtihah, Tafsîr Sûrah al-Baqarah,
Tafsîr Sûrah al-Ikhlâsh, dan (Risâlah fi) al-Tanbîh ‗alâ Ba‘d al -Asrâr al- Mudî‘ah fî
Ba‘d Âyât al -Qur`ân al-Karîm; teologi (kalam): al- Arba‘în fî U sûl al-Dîn, Asas al-
Taqdîs, Tahsîl al-Haqq, al-Qadâ wa al-Qadar , Syarh al-Asmâ` Allâh al-Husnâ,
67 Kafrawi, Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…, h. 22. 68 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 13.69 Ibn al-Katsir al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâayah, h. 60.70 Kafrawi, Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…, h. 27.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
40/104
30
‗I smah al-Anbiyâ`, al-Mahsûl ( fi ‗Ilm Kalâm), al- Ma‘âlim fî U sûl al-Dîn, Nihâyah al-
‗Uqûl fi Dirâyah al -Usûl , dan Ajwibât al-Masâ`il al-Najjâriyah; logika, filsafat, dan
etika: al-Âyât al-Bayyinât fî al-Mantîq, al-Mantîq al-Kabîr , Ta‘jîz al -Falâsifah, Syarhal-Isyârâh wa al-Tanbîhât (li Ibn Sina), Syarh ‗Uyûn al -Hikmah (li Ibn Sina), al-
Mabâhits al-Masyriqiyyah, Muhassal afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta`akhkhirîn
min al-‗Ulamâ‘ wa al -H ukamâ‘ wa al -Mutakallimîn, al-Mathâlib al-‗Âliyah, dan al-
Akhlâq; permasalahan hukum: Ibtâl al-Qiyâs, Ihkâm al-Ahkâm, al- Ma‘âlim fî Usûl
Fiqh, Muntakhab al-Mahsûl fî Usûl Fiqh, al-Barâhin al-Barâhiyah, dan al-Nihâyah
al-Baha`iyyah fi al-Mabâhits al-Qiyâsiyyah; bahasa Arab dan ilmu-ilmunya: Syarh
Nahj al-Balâghah dan al-Muharrir fî Haqâ`iq (atau Daqâ`iq) al-Nahw; sejarah:
Fadâ`il al-Shahâbah al-Râsyidîn dan Manâqib al-Imâm al-Syâfi‘î ; matematika dan
astronomi: al-Handasah dan al- Risâlah fî ‗Ilm Hay`ah; kedokteran: al-Tibb al-Kabîr ,
al-Asyribah, al-Tasyrîh, Syarh al-Qânûn li Ibn Sina, dan Masâ`il fi al-Tibb; sihir dan
astrologi: al-Ahkâm al-‗Alâ`iyyah fî A‘lân al -Samâwiyyah, Kitâb fî Raml , dan Sirr al-
Maktûm; dan karya umum: I‘tiqâd Firâq al -Muslimîn wa al-Musyrikîn71
Dari karya-karya tersebut yang menjadi magnum opus atau masterpiece al-
Razi ialah kitab Mafâtih al-Ghaib atau al-Tafsîr al-Kabîr yang demikian fenomenal.
Kitab ini merupakan salah satu kajian paling komprehensif dari tafsir bi al- ra‘y.72
Terdiri dari tiga puluh dua juz, kitab ini ditulis pada masa-masa akhir dari kehidupan
71 Ibid., catatan kaki no. 9972 Thameem Ushama, Methodologies of The Qur`anic Ezegesis (Kuala Lumpur: AS
Noordeen, 1995), h. 93.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
41/104
31
al-Razi.73
Melihat kronologisnya, kitab ini ditulis pada saat al-Razi telah mancapai
kematangan dalam keilmuannya.
Berbagai pendapat kuat mengatakan bahwa al-Razi tidak menyelesaikan
tafsirnya. Bagian pertama ditulis oleh al-Razi dan bagian kedua oleh kedua dua orang
pengikutnya, yakni al-Syaikh Najm al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qammuli (m.
767 H) dan Syihab al-Din bin Khalil al-Khuwayya.74
Secara berurutan, al-Razi
menulis hingga surat al-Anbiya (surat ke-21). Di samping itu, secara acak — tidak
mengikut mushaf — al-Razi menafsirkan surat-surat lainnya seperti al-Syu‟ara, al-
Qiyamah, al-Humazah, al-Qalam, al-Ma‟arij, dan al-Naba`.75
Walaupun diyakini bahwa al-Razi tidak menyelesaikan seluruh tafsirnya,
namun kitab yang sekarang dinisbahkan kepadanya ini tetap memiliki kesatuan ruh
dalam pandangan, gaya bahasa, dan pemaparannya, sebagai buah karya dari satu
orang.76
Dengan kata lain tidak terdapat kontradiksi antara satu bagian dan bagian
lainnya dengan ide serta pemikiran al-Razi.77
D. Metode Penafsiran
Mafâtih al-Ghaib merupakan tafsir yang menawarkan pendekatan unik
terhadap al-Quran. Kitab ini mencakup ruang yang begitu luas dalam pembahasan
setiap subjeknya, seperti teologi, filsafat, logika, fiqh, dan astronomi.78
Al-Razi
mendasarkan penafsirannya dengan ayat al-Quran lainnya (al-tafsîr al-Qur`ân bi al-
73 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 15.74 Ibid. 75 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 161-174.76 Ibid., h. 187.77 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 16.78 Kafrawi, Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…, h. 110.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
42/104
32
Qur`ân), hadis Nabi, dan secara luas dengan pertimbangan rasional atau hasil
ijtihad.79
Dengan memasukkan ijtihad (pendapat atau ra`y) sebagai sumber
penafsiran, maka Mafâtih al-Ghaib termasuk ke dalam kategori tafsîr bi al-ra`y
80
dengan kecenderungan terhadap permasalahan teologis di dalamnya. Meskipun
terkenal sebagai seorang penentang keras filsafat, al-Razi menggunakan model
pemaparan secara filosofis untuk menjustifikasi rasionalitas (baca: kemasuk-akalan)
prinsip-prinsip dogmatis (akidah) dan ini sangat terlihat dalam kese-luruhan
tafsirnya.81
Dalam prosedur penulisan Mafâtih al-Ghaib menggunakan metode tahlîlî
walaupun Kafrawi menyatakan bahwa al-Razi juga menggunakan metode tafsir
maud û‘i.82 Tafsir tahlîlî sendiri didefinisikan dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai
dengan uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan
(munâsabah) antar ayat dan surat, sampai sisi-sisi keterkaitan antar ayat maupun surat
itu (wajh al-munâsabât ) dengan bantuan asbâb al-nuzûl dan riwayat-riwayat yang
berasal dari Nabi saw, sahabat, dan tabi‘în. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti
susunan mushaf, ayat per ayat, dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan
pula perkembangan kebudayaan generasi dari Nabi sampai tabi‘în; terkadang pula
79 Ibid., h. 51-53.80 Al-„Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi, h. 134.81 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 5.82Kafrawi menyatakan demikian berdasarkan dengan begitu seringnya al-Razi mengumpulkan
ayat-ayat dalam pembahasan mengenai suatu tema. Kafrawi, Fakhr al-Din al- Razi‘s Methodology…,h. 73
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
43/104
33
diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang
kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Quran yang mulia.83
Al-„Umari mengatakan bahwa yang menjadi ruh dari tafsir Mafâtih al-Ghaib
ialah pembahasan yang panjang lebar. Al-Razi menggunakan pendapat (ra‘y)-nya
dalam seluruh tafsirnya, sesekali menggunakan pendapat pribadi dan pendapat para
pendahulunya di lain tempat. Kebanyakan pendapat dikeluarkan berdasarkan
kebesaran pemikirannya dalam berbagai ilmu yang dikuasai.84
Muhammad bin Lutfi al-Shibbâgh menjelaskan beberapa karakteristik
penafsiran Mafâtih al-Ghaib diantaranya, bahwa al-Razi menafsirkan ayat dari
berbagai segi yang berbeda, seperti bahasa, balaghah, fiqh, dan sebagainya, kemudian
mengambil istinbâth atas ayat tersebut; dalam tafsir terdapat pembicaraan yang
berkaitan dengan pengarang, keadaan, dan perjalanannya sebagaimana contoh yang
telah lalu dikabarkan bahwa anaknya, Muhammad, meninggal saat menafsirkan surat
Yusuf dan al-Razi mengatakan bahwa saat itu hatinya sangat sedih karenanya; tidak
ta‘as sub kepada mazhab Syafi‟i yang dianutnya, seperti halnya dalam ayat-ayat
tentang zakat al-Razi mengatakan bahwa tidak ada petunjuk (dilâlah) mengenai ayat
ini dari al-Syâfi‟i; memperkenalkan pendekatan baru dalam tafsir, yakni teologis di
samping dua pendekatan yang ada sebelumnya baik yang digunakan para ahli hadis
maupun para ahli bahasa dan sastra; tidak pernah melewatkan pembahasan mengenai
Muktazilah setiap ada kesempatan, menjelaskan, dan menolak argumen-argumen
mereka dan mempertahankan doktrin Ahlussunnah; banyak menolak pendapat-
83Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‘i dan Cara Penerapannya. Penerjemah:
Rosihan Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 23-24.84Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 134.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
44/104
34
pendapat para filosof, walaupun dalam pembahasannya al-Razi menggunakan bahasa
dan metode mereka; banyak menyampaikan ilmu-ilmu alam dan astronomi; dan
menyebutkan munâsabah baik antar ayat maupun antar surat.85
„Umâri mengatakan
bahwa al-Razi jarang menggunakan hadis, banyak menggunakan syair sebagai
referensi, dan sangat memperhatikan asbâb al-nuzûl . Hampir tidak ada surat yang
tidak dikemukakan asbâb al-nuzûl -nya karena faktor ini dianggap sangat penting dan
sulit untuk menangkap makna tanpa menjelaskannya.86
Al-Razi mendasarkan tafsirnya dari berbagai referensi yang ada sebelumnya
baik dalam bidang tafsir, bahasa, maupun teologi. Dari kitab tafsir al-Razi mengambil
dari Ibn Abbas, riwayat tafsir naqli seperti Ibn al-Kalbi, Mujahid, Qatadah, al-Sa‟di,
Sa‟id bin Jubair, dan selainnya seperti Muqatil bin Sulaiman, al-Tsa‟labi (m. 437 H),
dan al-Wahidi (m. 468 H). Dalam bidang bahasa banyak mengutip dari para
periwayatnya, seperti al-Ashma‟i dan Abu „Ubaidah dan dari para ulamanya, seperti
al-Farra`, al-Zajjaj, dan al-Mubarrad dengan kecenderungan khusus kepada al-Farrâ`
dengan kitabnya Ma‘âni al -Qur`ân. Dari kaum Muktazilah al-Razi mengutip Abu
Muslim al-Ashfahani (m. 322 H), al-Qâdhi „Abd al-Jabbâr (m. 415H), dan al-
Zamakhsyâri (m. 538 H) pengarang al-Kasysyâf . Al-Zamakhsyâri nampaknya
mendapat perhatian khusus dari al-Razi, karena al-Kasysyaf biasanya menjadi
referensi utama dalam akidah Muktazilah. Di sisi lain kitab al-Razi, Mafâtih al-
Ghaib, menjadi pionir dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah.87
85 Muhammad bin Luthfi al-Shibbagh, Lumhât fi ‗Ul ûm al-Qur`ân wa Ittijâahât al-Tafsîr (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1990), cet. ketiga h. 287-291
86 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 117-134.87 Ibid., h. 135-137.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
45/104
35
Di samping referensi-referensi yang disebut secara jelas dalam tafsir, al-
„Umâri melihat adanya indikasi pengaruh beberapa ulama terkemuka terhadap
pemikiran al-Razi walaupun tidak mengutip pendapat-pendapat mereka secara
langsung. Diantara ulama tersebut ialah Ibn Qutaibah (m. 276 H), al-Thabari, al-
Ghazali (m. 505/1111), Abu Bakr al-Baqillani (m. 404 H), dan Ibn Furak (m. 406
H).88
88 Ibid., h. 142-149.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
46/104
1
BAB III
TAKDIR DALAM ISLAM
A.
Pengertian Takdir
Kata takdir diderivasi dari bahasa Arab qaddara yuqaddiru taqdîran, yang
berarti menaksir atau mengira. Jika syiddah-nya dihilangkan maka menjadi qadara,
yang berarti mampu. Dari sini dikenal salah satu sifat Tuhan yakni qudrah
(Mahakuasa). Dalam dalam akidah Islam biasanya kata taqdir disandingkan dengan
kata qadâ` dan lebih sering disebut qadâ` dan qadar. Penggunaan kata takdir dalam
pembahasan ini bukan tanpa alasan, melainkan dengan tujuan yang lebih
menitikberatkan kepada penggunaan atau apresiasi terhadapnya daripada pembahasan
mengenai pengertian. Kata takdir digunakan dalam posisinya yang dianggap
berlawanan dengan kebebasan kehendak (ikhtiar atau free will ) dan apa yang
dipahami oleh para teolog.
Sebelum melangkah lebih jauh alangkah lebih baiknya dipaparkan berbagai
penjelasan mengenai makna takdir, baik secara etimologi maupun terminologi. Arifin
Jami‟an melihat ada tiga pengertian takdir dari segi etimologi: pertama, takdir
merupakam ilmu yang amat luas meliputi segala apa yang akan terjadi dan semua
yang berhubungan dengan itu. Semua hal yang akan terjadi pasti telah diketahui dan
ditentukan sejak semula. Kedua, berarti sesuatu yang sudah dipastikan. Kepastian itu
lahir dari penciptanya di mana eksistensinya sesuai dengan apa yang telah diketahui
sebelumnya. Ketiga, takdir berarti menerbitkan, mengatur, dan menentukan sesuatu
36
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
47/104
37
menurut batas-batasnya di mana akan sampai sesuatu kepadanya, sebagaimana
tercermin dalam al-Quran surat Fushshilat ayat 10.89
90
KH Taib Thahir setelah melihat penggunaan kata qadâ` dalam al-Quran
mengartikan qadâ` dengan hukum yang ditetapkan Tuhan sejak zaman azali
mengenai segala apa yang akan terjadi. Qadar diartikan dengan merancang dan
merencanakan sesuatu dengan perhitungan paling mendalam dan teliti. Juga
mengetahui semua batas, hubungan, dan sebab akibat yang terjadi setelah
perencanaan itu terwujud. Dengan demikian Taib melihat secara etimologi tidak
terdapat perbedaan mendasar dalam keduanya. Dari sana keduanya disebut qadar
atau takdir saja sebagaimana digunakan dalam hadis Nabi saw , “Dan percaya kepada
takdir, baik dan buruknya.”91
Dja‟far Amir mengartikan takdir dengan ketentuan-ketentuan yang mesti
berlaku atas tiap-tiap makhluk, sesuai batas-batas yang telah ditentukan Tuhan sejak
zaman azali, baik ketentuan yang baik maupun yang buruk, semua akan terjadi sesuai
dengan yang dikehendaki Tuhan. Sedangkan qadâ` berarti keputusan yang telah
terjadi sesuai dengan ilmu serta takdir Tuhan sejak zaman azali.92
89 Arifin Jami‟an, Memahami Takdir (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986), h. 32-33.90
‖Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung -gunung yang kokoh di atasnya. Diamemberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empatmasa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.‖
91 Arifin Jami‟an, Memahami Takdir , h. 36.92 Ibid., h. 47-50.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
48/104
38
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa takdir terambil dari kata qaddara,
berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau
ukuran. Dicontohkan jika dikatakan bahwa Allah telah menakdirkan demikian, maka
berarti Allah telah memberi kadar, ukuran, atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya. Istilah takdir mirip dengan sunnatullah atau
hukum alam, tetapi takdir setingkat di atasnya karena hukum-hukumnya tidak hanya
terjadi pada alam, melainkan juga pada hukum-hukum kemasyarakatan.93
M. Taqi Misbah Yazdi mengatakan bahwa kata qadar berarti ukuran (miqdar )
dan takdir (taqdir ) berarti ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu,
atau menciptakan sesuatu dengan ukuran yang ditentukan. Sedangkan qadha` berarti
memutuskan dan menuntaskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam
unsur konvensi. Kedua kata ini terkadang digunakan secara sinonim yang berarti
nasib.94
Muthahhari, seorang ulama Syi‟ah, mengatakan bahwa qadâ` berarti
penetapan hukum, atau pemutusan dan penghakiman sesuatu. Seorang disebut qâdi
karena tugasnya menghakimi dan memutuskan perkara antara dua orang yang
bersengketa di pengadilan. Qadar berarti kadar dan ukuran sesuatu. Setiap kejadian
alam jika ditinjau dari pengawasan dan kehendak Tuhan dapat dikelompokkan ke
dalam qadâ` Ilahi dan jika dilihat dari sudut keterbatasan sifatnya pada ukuran dan
93 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, h. 61-65.94 M. Taqi Misbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Penerjemah:
Ahmad Marzuki Amin (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 141.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
49/104
39
kadar tertentu pada kedudukannya di dalam ruang dan waktu dapat dikelompokkan ke
dalam qadar Ilahi.95
Jamaluddin al-Afghani menolak ajaran qadâ` dan qadar yang mengan-dung
paham fatalistik. Ia berpendapat bahwa qadâ` dan qadar mengandung arti bahwa
segala sesuatu terjadi menurut sebab akibat. Kemauan manusia merupakan salah satu
mata rantai hukum sebab akibat. Qadâ`dan qadar menurutnya sinonim dengan
hukum dan ciptaan Tuhan.96
Fazlur Rahman, sejalan dengan al-Afghani, menolak jika takdir disamakan
dengan predeterminisme. Ia mengatakan bahwa sebenarnya perkataan qadar berarti
memberikan ukuran atau keterhinggaan dan ide yang terkandung dalam doktrin qadar
bawa Allah saja yang tak terhingga secara mutlak. Segala sesuatu selain-Nya sebagai
ciptaan memiliki tanda ukuran dan keterhinggaan, dengan kata lain memiliki jumlah
potensi yang terbatas — walaupun jangkauan potensi-potensi ini, seperti yang terdapat
pada manusia kemungkinan sangat luas.97
Berbagai pengertian mengenai takdir di atas terlihat terpecah kepada dua
kutub besar sebagaimana digunakan pada penjelasan secara klasik. Takdir
didefinisikan antara hukum atau pengetahuan Tuhan semenjak azali dan juga sebagai
kadar atau ukuran segala sesuatu. Namun demikian sebelum definisi-definisi tersebut
telah berlaku pendefinisian takdir yang lebih tua dan yang berasal dari aliran-aliran
95 Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, h. 217.96 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), cet. III,
h. 149-150.97 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an. Penerjemah: Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka,
1996), cet. II, h. 35.
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
50/104
40
teologi dalam Islam, yakni Jabariah, Muktazilah, dan Ahlussunnah yang terbagi
kepada Asy‟ariah dan Maturidiah.
B. Seputar Takdir dalam Islam
Sejak zaman primitif manusia selalu menyertakan kepercayaan akan takdir
bersamaan dengan kepercayaannya terhadap sembahannya. Takdir diilustrasikan
sebagai kekuatan luar biasa yang menentukan kesenangan dan kekuasaan hidupnya.
Takdir belum terbayangkan sebagai aturan yang telah ditetapkan untuk kelangsungan
hidup alam semesta. Takdir dibicarakan baik oleh kaum Hindu, Babilonia, Mesir
kuno, Yunani, Yahudi, Kristen, Islam, juga para filosof dari berbagai agama dan
kebudayaan tersebut.98
Berbagai pendapat yang dilontarkan tidak terlepas dari dua
paham ekstrim yang mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan
bahwa manusia terikat dalam genggaman takdir.
Pembicaraan takdir dalam Islam tidak terlepas juga dari pengaruh berbagai
agama dan kebudayaan sebelumnya. Sebagaimana dalam tema lainnya, dalam hal ini
pun para teolog maupun filosof Muslim sangat terpengaruh oleh pandangan para
filosof Yunani. Plato mengatakan bahwa semua tuhan adalah baik 99
dan dari tuhan-
tuhan itu hanya akan lahir kebaikan. Kejahatan timbul akibat dari kurang-nya
pengetahuan dan kebodohan. Manusia terjerumus ke dalam kejahatan karena
kepadatan materi (hayûla) merintangi usaha untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Menurutnya segala sesuatu yang ada di alam wujud merupakan gambaran ideal yang
98 Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur‘an. Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1986), h. 197-232.
99 Plato mengatakan demikian karena orang Yunani mengenal banyak tuhan (dewa-dewa).
-
8/18/2019 101208-DJAYA CAHYADI-FUH.PDF
51/104
41
ada di dalam akal tuhan. Kejahatan bukan berasal dari takdir tuhan. Kebebasan
manusia menuju kesempurnaan tidak dibatasi oleh takdir tuhan, tetapi oleh rintangan
materi yang amat padat itu (hayûla). Hayûla inilah yang merintangi manusia bagi
terwujudnya kemampuan yang dikehendaki tuhan.100
Pemikiran takdir menurut Aristoteles sejalan dengan pemikirannya dengan
sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan sama sekali tidak mencampuri urusan alam dan
semua yang ada di dalamnya, baik yang bernyawa maupun tidak. Karena itu Tuhan
tidak menentukan urusan apapun juga bagi alam, sebab takdir tidak sesuai dengan
kesempurnaan sifat kemutlakan Tuhan. Zat yang sempurna dan mutlak
kesempurnaannya tidak membutuhkan apapun juga selain zat-Nya, tidak
menghendaki sesuatu, dan tidak memikirkan sesuatu salain zat-Nya sendiri.
Hubungan antara Tuhan dan alam tidak lebih dari sebagai penggerak pertama yang
tidak bergerak. Sejalan dengan pemikirannya tersebut, Aristoteles menga-takan
bahwa setiap manusia bebas memilih sesuatu bagi dirinya sendiri. Tidak ada qadâ‘
maupun qadar . Setidaknya manusia bisa menahan diri jika ia tidak bisa melakukan
suatu perbuatan. Sedangkan tujuan bagi setiap makhluk hidup ialah mewujudkan
sesuatu yang diperlukan oleh eksistensinya menurut cara yang sesuai dengan
eksistensinya.101
Ibrahim Madkour beranggapan mus
top related