10070309012-maretta cynthia devina,st
Post on 28-Nov-2015
238 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
vii
EKSPLORASI POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIREUNDEU TERHADAP
PEMBANGUNAN KAWASAN
(STUDI KASUS KAMPUNG ADAT CIREUNDEU, KECAMATAN CIMAHI SELATAN, KOTA CIMAHI)
TUGAS AKHIR
MARETTA CYNTHIA DEVINA
10070309012
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2013 M / 1434 H
2
EKSPLORASI POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT
KAMPUNG ADAT CIREUNDEU TERHADAP
PEMBANGUNAN KAWASAN
(STUDI KASUS KAMPUNG ADAT CIREUNDEU, KECAMATAN CIMAHI SELATAN, KOTA CIMAHI)
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung
Tahun Akademik 2012/2013
oleh MARETTA CYNTHIA DEVINA
10070309012
Dinyatakan Lulus dalam Sidang Terbuka yang Dilaksanakan
pada Tanggal 27 Juli 2013
Mengesahkan,
Dr. Hj. SARASWATI., Ir., MT
Pembimbing
H. IVAN CHOVYAN, Ir., MT.
Ketua PUSPWK
Dr. Hj. SARASWATI., Ir., MT
Ketua Program Studi
3
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : MARETTA CYNTHIA DEVINA NPM : 10070309012 Tempat/ Tanggal Lahir
: Palembang/ 26 Maret 1991
Suku Bangsa : Indonesia Warga Negara : Indonesia Agama : Islam Alamat : Komp. Puri Cipageran Indah 1
B-35. Rt.05/26.Kec. Cimahi Utara Kel. Cipageran, Kota Cimahi
Telp : 022-6640351/ 081224560036 Pos-El (Email) marettacynthia_devina@yahoo.com
DATA KELUARGA
Nama Bapak : Ir. DARMANSYAH DEVA SANI, MT Nama ibu : Dr. Hj. MISNAWATI Alamat orang tua : Komp. Puri Cipageran Indah 1 B-35. Rt.05/26.
Kec. Cimahi Utara Kel. Cipageran, Kota Cimahi Anak ke : 1 (satu) dari 4 bersaudara
PENDIDIKAN
SD : SDN Jalan Kaum Kota Cimahi SMP : SMP Pasundan 3 Kota Cimahi SMA : SMA Negeri 3 Kota Cimahi Perguruan Tinggi : Diterima Melalui Jalur PMDK dan Prestasi Sebagai
Mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung Bulan Juni Tahun 2009
4
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul ― Eksplorasi Pola
Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap
Pembangunan Kawasan ‖ adalah sepenuhnya hasil karya sendiri. Tidak ada
bagian di dalamnya yang merupakan kriteria plagiat dari hasil karya orang lain.
Jika terbukti karya ilmiah ini merupakan hasil plagiat maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bandung, 10 September 2013
Maretta Cynthia Devina
5
ABSTRAK
Perencanaan dalam tradisi pembelajaran sosial berakar pada beberapa
teori dari Kurt Lewin, Lorsch, dan Schon (1987). Pembelajaran sosial kegiatan
utamanya sebagai metaphor untuk menunjukkan keunikkan/corak tertentu dalam
mengkaitkan ilmu pengetahuan ke dalam tindakan. Bagi sebagian lain,
pembelajaran sosial merupakan suatu teknologi sosial. Pembelajaran sosial
merupakan suatu proses yang terus menerus terjadi dalam masyarakat bila antar
anggota saling berinteraksi untuk mengatasi dan mengubah realitas masalah
(Friedman, 1987). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terkait dengan judul ― Eksplorasi Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung
Adat Ciruendeu Terhadap Pembangunan Kawasan ‖. Tujuan penulisan karya
ilmiah adalah mempelajari wujud-wujud artefak yang dapat memberikan
kenyamanan, keamanan, dan keberlanjutan serta korelasinya terhadap
pembelajaran sosial. Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah
adalah Analisis Konten(Content Analysis), Pengamatan dengan berpartisipasi
(Participant Observation), Wawancara Mendalam (In-depth Interviewing) dan
penyelidikan sejarah hidup (Life Historical Investigation). Pembelajaran sosial
yang terjadi di Kampung Adat Cireundeu banyak memberikan dampak positif
sehingga dapat menarik perhatian dari beberapa daerah luar khususnya bagi
Pemerintahan Kota Cimahi.
Kata kunci : Eksplorasi, Pola Pembelajaran.
6
ABSTRACT
Planning in the tradition of social learning is rooted in several theories of
Kurt Lewin, Lorsch, and Schon (1987). Social learning as a metaphor for the
main activities demonstrate the uniqueness / certain pattern in linking science
into action. For some others, social learning is a social technology. Social
learning is a continuous process that occurs in a society when interacting among
members to address and change the reality of the problem (Friedman, 1987).
Therefore, the authors are interested in conducting research related to the title of
"Exploration of Pattern Learning Communities Against Indigenous Village
Ciruendeu Regional Development". The purpose of writing a scientific paper is to
study the artifacts beings that can provide comfort, security, and sustainability as
well as its correlation to social learning. The method used in the writing of
scientific papers is Content Analysis (Content Analysis), Observations by
participating (Participant Observation), In-depth Interviews (In-depth Interviewing)
and the investigation of the history of life (Life Historical Investigation). Social
learning that occurs in many Indigenous Village Cireundeu positively impact so
as to attract the attention of some of the outside areas especially for Cimahi
Government.
Keywords: Exploration, Learning Patterns.
vii
PRAKATA
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur kehadirat Illahi Rabbi dan salawat serta salam penulis
panjatkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan
para sahabatnya bahwa laporan (draft) yang merupakan salah satu syarat dalam
tugas akhir tahun akademik 2012/2013 ini yang berbentuk draft dengan judul
“Eksplorasi Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Terhadap Pembangunan Kawasan ― dapat diselesaikan oleh penulis tepat pada
waktunya.
Tugas Akhir ini disusun berdasarkan tinjauan pustaka yang penulis
dapatkan dari buku dan internet serta sumber lainnya yang telah ditugaskan oleh
dosen pembimbing terkait. Dari informasi yang diperoleh, diharapkan agar
penulis dapat mengetahui dan memahami mengenai pembelajaran sosial.
Proses penyusunan tugas akhir ini tidak lepas dari peranan dan arahan dari
berbagai pihak akademis, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas keterlibatan pihak-pihak
yang telah memberikan sumbangsih saran dan kritikan selama proses
penyusunan tugas akhir ini.
Secara khusus penyusun ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Mami dan Papi yang selalu memberikan dukungan baik moral maupun
material selama penyusunan tugas akhir, yang selalu membantu
memberikan pendapat dan masukan sehingga tugas akhir ini dapat
diselesaikan. Oleh karena itu, Tugas Akhir ini penulis persembahkan khusus
untuk kalian berdua.
2. Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Dosen Wali sekaligus
sebagai pembimbing Dr. Hj. Saraswati., Ir., MT
3. Koordinator Tugas Akhir Ivan Chofyan, Ir., MT
4. Dosen-Dosen Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam
Bandung untuk ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis.
viii
5. Bagian Tata Usaha, Kang Ade, Kang Irfan Teknik Perencanaan Wilayah dan
Kota Universitas Islam Bandung
6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
7. Teman spesial saya, Reiza Permanda yang selalu memberikan semangat
memberikan pendapat dan masukan serta menemani selama penyusunan
tugas akhir.
8. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang telah memfasilitasi penulis
dalam penelitian untuk penyusunan tugas akhir
9. Kantor pemerintahan Kota Cimahi dan Kelurahan Leuwigajah atas data dan
informasi yang menunjang dalam penyusunan Tugas Akhir.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga Allah SWT
memberkati.
Tugas akhir ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan, untuk itu penulis
mengharapkan saran, kritik, dan arahan-arahan dari para pembahas agar pada
pembuatan tugas akhir ini selanjutnya dapat lebih baik.
Atas segala bantuannya, semoga amal baik yang telah diberikan
mendapat balasan dari Allah SWT dan rahmat dari-NYA.
Akhir kata, semoga pembuatan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi
kami secara akademika dan pihak berkepentingan serta dapat menambah
wawasan bagi kami.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bandung, 10 September 2013
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman PRAKATA ...................... ....................................................................................... vii DAFTAR ISI ................. ........................................................................................... ix DAFTAR TABEL ........... ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ..... ........................................................................................... xii BAB I PENDAHLULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3 1.3 Tujuan, Sasaran Studi dan Manfaat .................................................... 3 1.4 Ruang Lingkup / Cakupan ................................................................... 4 1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah .......................................................... 4 1.4.2 Ruang Lingkup Materi ............................................................. 5 1.5 Sistematika Pembahasan .................................................................... 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................... 11 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................... 11 2.2 Komunitas Dalam Konteks Perencanaan Kota .................................... 12 2.3 Lanskap Budaya .................................................................................. 14 2.4 Perencanaan Sebagai Pembelajaran Sosial ....................................... 16 2.4.1 Ragam Perencanaan Komunitas Dalam Membentuk Kapasitas Komunitas ............................................................................... 18 2.4.2 Pendekatan Pembelajaran Sosial ........................................... 27 2.4.2.1 Tindakan ..................................................................... 27 2.4.2.2 Aktor ............................................................................ 28 2.4.2.3 Cara Belajar ................................................................ 29 2.5 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial ............................................. 30 2.5.1 Level Pembelajaran Sosial ...................................................... 30 2.5.2 Siklus Dasar Pembelajaran Sosial .......................................... 31 2.6 Tradisi Pembelajaran Sosial dalam Perencanan ................................. 33 2.7 Kebudayaan ...................................................................................... 36 2.8 Kebudayaan Sunda ............................................................................. 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................... 45 3.1 Metode Pengumpulan Data ................................................................. 45 3.1.1 Data Primer (Utama) ............................................................... 48 3.1.2 Data Sekunder (Pendukung) ................................................... 48 3.2 Metode Analisis .................................................................................... 52 BAB IV PEMBAHASAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL DAN PENATAAN RUANG KAMPUNG ADAT CIREUNDEU ................................................................... 54 4.1. Wujud Fisik dan Aspek Kependudukan ............................................... 54 4.2 Sejarah Kampung Adat Cireundeu ...................................................... 58 4.3 Eksistensi Desa Adat/Budaya Masyarakat Kampung Adat Cireundeu 59 4.4 Penataan Ruang di Kampung Adat Cireundeu .................................... 65 4.5 Penggunaan Lahan .............................................................................. 66 4.6 Cara Melindungi Kawasan Konservasi ................................................ 69 4.7 Struktur Ruang Permukiman ................................................................ 69 4.8 Pola Permukiman ................................................................................. 71 4.9 Struktur Bangunan ............................................................................... 73 4.10 Pola Pembelajaran Sosial .................................................................... 74
x
BAB V KAJIAN ANALISIS POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIREUNDEU ...................................................................................... 76 5.1 Identifikasi Pola Kehidupan dan Keunikan Masyarakat Cireundeu ..... 76 5.2 Analisis Tahapan Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu 78 5.3 Analisis Aktor Yang Terlibat ................................................................. 80 5.4 Analisis Pengolahan Lahan ................................................................. 87 5.5 Kajian Timbal Balik Dengan Lingkungan Fisik ..................................... 89 5.6 Analisis Pembentukkan Ruang Permukiman ....................................... 90 5.7 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial di Kampung Adat Cireundeu 91 5.8 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan ................ 92 5.9 Outcome Proses Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan .................................... 93 BAB VI KESIMPULAN, KELEMAHAN STUDI, dan REKOMENDASI PENELITIAN LANJUTAN ............ ................................................................................... 95 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 95 6.2. Kelemahan Studi .................................................................................. 97 6.3. Rekomendasi Tindak Lanjut Penelitian ............................................... 98 DAFTAR PUSTAKA .................. .............................................................................. 99
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Kebutuhan Data .................................................................................. 51 Tabel 3.2 Matriks Variabel Penelitian .................................................................. 52 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun ........................................................................... 55 Tabel 4.2 Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2013 ............................................................ 56 Tabel 4.3 Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu Berdasarkan Pendidikan Tahun 2013 ....................................................................... 57 Tabel 4.4 Peruntukkan Lahan RW.10 Kampung Adat Cirendeu Tahun 2013 ..... 67 Tabel 5.1 Aktor dan Pengetahuan Dalam Tiap Tahapan .................................... 79
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Peta Kelurahan Leuwigajah ................................................................. 7 Gambar 1.2 Peta Orientasi Kampung Adat Cireundeu ............................................ 8 Gambar 2.1 Model Struktural dari Analisis Kebijakan ............................................. 17 Gambar 2.2 Model Sederhana Tentang Praktek Sosial dan Pembelajaran Sosial . 18 Gambar 2.3 Ragam perencanaan komunitas dalam membentuk kapasitas komunitas di bawah payung tradisi perencanaan sebagai pembelajaran sosial ............................................................................. 27 Gambar 2.4 Komunitas Praktis ................................................................................ 28 Gambar 2.5 Siklus Pembelajaran Sosial ................................................................. 31 Gambar 2.6 Bentuk Bangunan Tradisional Sunda .................................................. 40 Gambar 2.7 Tatapakan Yang Digunakan Sebagai Pondasi .................................... 41 Gambar 2.8 Golodog Sebagai Tangga Masuk Rumah ............................................ 41 Gambar 2.9 Tihang Yang Berfungsi Sebagai Penunjang Bangunan ..................... 42 Gambar 2.10 Bilik Sebagai Ciri Khas Bangunan Tradisional .................................... 42 Gambar 2.11 Pintu Tradisional Masyarakat Sunda ................................................... 42 Gambar 2.12 Jendela Jalosi ..................................................................................... 43 Gambar 3.1 Teknik Simple Random Sampling ........................................................ 46 Gambar 3.2 Snowball Sampling .............................................................................. 47 Gambar 3.3 Alur Proses Pengumpulan Data dan Informasi .................................... 52 Gambar 4.1 Landmark Kampung Adat Cireundeu .................................................. 55 Gambar 4.2 Kondisi Kampung Adat Cireundeu Tampak Depan ............................. 55 Gambar 4.3 Gerbang menuju Bale Saresehan........................................................ 56 Gambar 4.4 Sample Kartu Tanda Penduduk Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang Menganut Agama Sunda Wiwitan ............................................... 61 Gambar 4.5 Upacara Seren Taun Yang Selalu Dilakukan Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Setiap 1 Sura ............................................................. 62 Gambar 4.6 Gugunungan ...................................................................................... 63 Gambar 4.7 Simbol Warna Masyarakat Adat Cireundeu ......................................... 64 Gambar 4.8 Struktur Lembaga Adat di Kampung Adat Cireundeu.......................... 65 Gambar 4.9 Foto Bersama Bapak Widia (yang mengenakan blankon biru). Bapak ini berkedudukan sebagai Ais Pangampih di Sistem Komunitas Kampung Adat di Cireundeu. Berfoto ketika setelah mewawancarai di Balesaresehan ..................................................................................... 65 Gambar 4.10 Penggunaan Lahan di Kampung Adat Cireundeu ............................... 67 Gambar 4.11 Gunung Sayangkaat (puncaknya sebagai leuweung larangan dan dibawahnya sebagai leuweung tutupan) ...................................... 68 Gambar 4.12 Leuweung Baladahan .......................................................................... 68 Gambar 4.13 Bentuk Bangunan Bale Seresehan ...................................................... 70 Gambar 4.14 Bangunan Pendukung Kegiatan Kampung Adat Cireundeu ............... 70 Gambar 4.15 Struktur Ruang Alam di Kampung Adat Cireundeu. ............................ 71 Gambar 4.16 Detail Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu ............................ 72 Gambar 4.17 Struktur Bangunan Kampung Adat Cireundeu .................................... 73 Gambar 4.18 Peta Jurit Wengi ................................................................................... 75 Gambar 5.1 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong ..................... 77 Gambar 5.2 Proses Perolehan Informasi ................................................................. 79 Gambar 5.3 Klasifikasi Aktor .................................................................................... 82 Gambar 5.4 Kelompok Pemuda Kampung Adat Cireundeu .................................... 84 Gambar 5.6 Aktivitas Kelompok Ibu-ibu di Kampung Adat Cireundeu .................... 85 Gambar 5.7 Hasil kreasi Serba Singkong Kelompok Ibu-Ibu Kreatif di Kampung Adat Cireundeu .................................................................... 86 Gambar 5.8 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong ..................... 88 Gambar 5.9 Penataan Ruang Permukiman Berdasarkan Adat Cireundeu. ............ 90 Gambar 5.10 Artefak Pembentuk Ruang-Ruang Permukiman .................................. 91
xiii
Gambar 5.11 Siklus Pembelajaran Sosial Kampung Adat Cireundeu ....................... 92 Gambar 5.12 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan ........ 93 Gambar 5.13 Pengaruh Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan .................................... 94
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang,
identifikasi, ruang lingkup/cakupan, rumusan, dan tujuan masalah, kegunaan
hasil, metodologi penelitian, serta sistematika pembahasan yang menjadi
penjelasan dasar dilaksanakannya studi mengenai eksplorasi pola pembelajaran
masyarakat kampung adat Cireundeu, Kota Cimahi. Dalam QS. Al-Hujurat ayat
13 disampaikan mengenai konsep pentingnya sesama manusia itu untuk saling
mengenal dan adanya pembelajaran sosial.
Terjemahan :
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.(Qs. Al-Hujurat : 13)
Al-Qur‘an Surat Al-Hujurat ayat 13 mengandung konsep pentingnya
sesama manusia itu saling mengenal dan adanya suatu pembelajaran sosial
yang terbentuk dalam suatu komunitas yang akan menciptakan suatu
kebudayaan. Dalam surat ini terdapat dua hal yang terkait dengan tugas akhir ini,
yaitu diantaranya : 1.) Berbangsa-bangsa & bersuku-suku diinterpretasikan
sebagai suatu komunitas. 2). Saling mengenal diinterpretasikan sebagai adanya
pembelajaran sosial yang akan membentuk suatu komunitas sehingga dapat
merencanakan sesuatu hal yang bermanfaat bagi komunitasnya.
1.1 Latar Belakang
Perencanaan dalam tradisi pembelajaran sosial berakar pada beberapa
teori dari Kurt Lewin, Lorsch dan Schon (1987). Pembelajaran sosial kegiatan
utamanya sebagai metaphor untuk menunjukkan keunikan/corak tertentu dalam
1
2
mengkaitkan ilmu pengetahuan ke dalam tindakan. Bagi sebagian lain,
pembelajaran sosial merupakan suatu teknologi sosial. Pembelajaran sosial
merupakan suatu proses yang terus menerus terjadi dalam masyarakat bila antar
anggota saling berinteraksi untuk mengatasi dan mengubah realitas masalah
(Friedman, 1987).
Pembelajaran sosial sebagaimana didefinisikan oleh Smith (2006) adalah
pembelajaran melalui proses partisipasi seperti dalam kelompok, jaringan kerja
organisasi dan komunitas dalam kondisi yang baru, tidak diharapkan, tidak pasti,
ada wacana konflik dan sulit untuk memprediksi ketika solusi ditemukan secara
tidak terduga dalam kontekstual masalah. Pembelajaran sosial menekankan
potensi menyelesaikan masalah yang ada dalam kelompok, komunitas dan
organisasi. Pembelajaran sosial beorientasi pada tindakan dan pengalaman.
Pembelajaran sosial bersifat reflektif, dimana dimaksudkan mempertanyakan
validitas pelaku terhadap pendapat-pendapat, penilaian, strategi, tindakan,
perasaan, dan sebagainya. Pembelajaran sosial adalah suatu kerja sama dan
komunikasi yang berarti terjadi dialog antara pelaku pembelajaran dalam
berorganisasi baik secara implisit maupun eksplisit.
Selanjutnya Friedman (1987) menyatakan bahwa peran pelaku dan objek
dalam pembelajaran sosial dilakukan secara bersama-sama. Artinya, bahwa di
antara mereka saling memberi dan menerima informasi. Di antara mereka saling
mengajar dan diajar. Melalui pembelajaran seperti ini, pelaku dan objek saling
menerima difusi pengetahuan, pengalaman, bahkan inovasi-inovasi pengetahuan
yang tertuang dalam tindakan. Dengan tambahan pengetahuan tersebut, lambat
laun mereka memiliki kemampuan secara kolektif dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang ada di lingkungan mereka seperti kemampuan
mengatasi masalah kemasyarakatan. Kemampuan secara kolektif ini yang
kemudian disebut oleh Thompson dan Pepperdine (2003) sebagai kapasitas
komunitas.
Untuk mencapai pembelajaran sosial yang efektif dalam masyarakat
diperlukan tata hubungan dan kondisi sosial politik tertentu, sehingga dalam
prosesnya diharapkan ada suatu hubungan komunikasi yang simetris. Friedman
menyatakan hubungan komunikasi ini sifatnya reciprocal (adanya timbal balik).
Dalam tradisi pembelajaran sosial mensyaratkan adanya transaksi face-to-face
yang memunculkan dialog interaktif diantara mereka. Untuk mencapai tujuan ini,
3
tentunya juga diperlukan kondisi yang memungkinkan hubungan partisipatif
dalam proses pembelajaran tercapai.
Cireundeu merupakan suatu komunitas yang mayoritas penduduknya
memiliki keunikkan. Keunikkannya adalah 1). kegiatan ekonominya masih
didominasi dengan tanaman singkong, 2). dikelilingi dengan bukit-bukit yang
ditumbuhi tanaman singkong sehingga komunitasnya memanfaatkan sumber
daya alam tersebut sebagai makanan pokoknya, 3). komunitasnya masih
mempertahankan adat kebiasaannya dari turun temurun, 4). wujud atefak-artefak
yang ada (baleseresehan) untuk mewujudkan kehidupan yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan sehingga hal ini menjadi menarik dan memiliki
ketaatan yang lebih tinggi. Dari keunikkan-keunikkan yang telah dipaparkan,
maka Tugas Akhir ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pola
pembelajaran sosial ini terjadi, wujud-wujud artefak yang dapat memberikan
kenyamanan, keamanan dan keberlanjutan sehingga ada standar-standar
perencanaan yang tidak dapat mengakomodir bagi masyarakat Cireundeu, serta
hal-hal yang menjadi ukuran-ukuran dan pengaruhnya terhadap perencanaan
pembangunan kawasan. Untuk mengantarkannya, maka riset ini dibagi ke dalam
sub-pokok bahasan diantaranya ragam tradisi perencanaan dalam domain
publik; mekanisme terbentuknya kapasitas komunitas dalam tradisi pembelajaran
sosial; terakhir, membahas mengenai prasyarat kondisi sosial dan politik yang
memungkinkan terbentuknya kapasitas komunitas untuk pembangunan kawasan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di muka, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam Tugas Akhir ini sesuai dengan judul tugas akhir ini “ Eksplorasi
Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Terhadap
Pembangunan Kawasan “, terkait dengan pembelajaran sosial. Berkaitan
dengan judul tugas akhir tersebut, maka masalah yang dapat diidentifikasi yaitu :
1. Mengapa masyarakat Kampung Adat Cireundeu mempertahankan adat
kebudayaannya dan dapat hidup berkelanjutan dengan mempertahankan
sosialnya?
2. Bagaimana pola pembelajaran yang terjadi ?
3. Apakah terkait dengan perencanaan pembangunan kawasannya?
4
1.3 Tujuan, Sasaran Studi dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari wujud-wujud artefak yang
dapat memberikan kenyamanan, keamanan dan keberlanjutan serta korelasinya
terhadap pembelajaran sosial.
Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah :
1. Menemukan alasan mengapa masyarakat kampung adat Cireundeu
mempertahankan kebudayaannya secara turun temurun sehingga
terciptanya lingkungan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
2. Menemukan dan mengenali siklus pembelajaran sosial dan tipologi
pembelajaran sosial yang terjadi di Kampung Cireundeu sejak tahun 1918
hingga sekarang.
3. Menemukan dan mengenali outcome proses pembelajaran terhadap standa-
standar perencanaan (nilai-nilai yang menjadi masukkan bahwa ada
beberapa perencanaan yang tidak dapat dipaksakan kepada standar-standar
perencanaan yang ada) serta kaitannya terhadap pembangunan.
Sesuai dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian
yang hendak dicapai, maka yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
berupaya mengenalkan budaya Sunda secara umum yang ada di Kampung Adat
Cireundeu, meliputi pembelajaran sosial yang tercermin ke dalam unsur budaya
Kampung Adat Sunda di tengah himpitan modernisasi dalam konteks penataan
ruang.
1.4 Ruang Lingkup / Cakupan
Batasan masalah merupakan ruang lingkup masalah dalam konteks
wilayah maupun isi dari penelitian ini. Konteks wilayah penelitian dijelaskan
dalam ruang lingkup wilayah sedangkan konteks isi dijelaskan dalam ruang
lingkup materi penelitian.
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah sebuang kampung yang
memiliki keunikan dalam pola kehidupannya dan telah ditetapkan sebagai
kampung adat oleh Pemerintah Kota Cimahi sebagai salah satu kampung adat
yang sejajar dengan Kampung Naga (Tasikmalaya), Kasepuhan Cipta Gelar
(Banten, Kidul, Sukabumi). Kampung ini sebagai komunitas yang telah berhasil
membawa perubahan dikomunitasnya dengan melibatkan proses pembelajaran
5
sosial yang dapat dipelajari sebagai salah satu modal pembangunan dalam
pembangunan kawasan. Perubahan yang terjadi tidak terlepas dari pembelajaran
sosial yang kemudian mengarahkan kepada tindakan kolektif yang dilakukan
warga dalam sistem pola permukiman yang dikaitkan berdasarkan artefak-artefak
yang ada.
Ruang lingkup wilayah penelitian ini adalah RW. 10 Kelurahan
Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan yang mewujudkan model pembelajaran
di komunitasnya melalui tindakan kolektif dengan melibatkan proses
pembelajaran sosial. Wilayah penelitian ini terletak pada bagian selatan Kota
Cimahi yang dikenal dengan sebutan Kampung Cireundeu. Cireundeu berasal
dari nama ―pohon reunde‖, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali
populasi pohon rendeu. Pohon reundeu itu sendiri ialah pohon untuk bahan obat
herbal. Maka dari itu kampung ini disebut Kampung Cireundeu. Kampung ini
merupakan suatu komunitas yang mentradisikan singkong sebagai makanan
pokoknya yang dikenal dengan istilah ―Rasi‖ (beras singkong) yang terdiri dari
350 kepala keluarga atau 1750 jiwa, yang sebagian besar masyarakatnya bertani
ketela.
Secara geografis, Kampung Adat Cireundeu terletak di lembah Gunung
Kunci, Gunung Cimenteng, dan Gunung Gajah Langu, namun secara
administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar. 1.1 Peta Admiistrasi
Kelurahan Leuwigajah dan Gambar 1.2 Peta Orientasi Kampung Adat
Cireundeu
1.4.2 Ruang Lingkup Materi
Pada penelitian ini, ruang lingkup materi yang dibahas adalah sebagai
berikut :
1. Pengumpulan data-data terkait, diantaranya :
a. Lokasi permukiman kampung adat
b. Pola penggunaan dan pemanfaatan lahan
c. Ketersediaan sarana dan prasarana
d. Tipologi rumah yang meliputi :
Luasan rumah
Orientasi terhadap matahari
Struktur konstruksi bangunan
6
Struktur ruangan dalam rumah
e. Lembaga adat yang berkaitan dengan Peran ketua adat dalam
kepemimpinan kawasan (masyarakat adat Cireundeu)
f. Dampak yang terjadi dari adanya pola pembelajaran sosial terhadap
pembangunan dilihat dari segi fisik, sosial, dan ekonomi.
2. Eksplorasi pola pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu yang
mendukung perubahan lingkungan yang dijelaskan berdasarkan :
a. Aktor yang terlibat dalam proses pembelajaran
b. Aktor yang berpengaruh dalam proses pembelajaran
c. Masyarakat yang terlibat dalam prooses pembelajaran
Masyarakat usia dini
Masyarakat lansia
Pemuda
d. Urutan kegiatan pembelajaran serta outcome pembelajaran.
3. Mengkaji secara teoritis hal-hal yang berkaitan dengan :
a. Standar dalam suatu perencanaan pembangunan permukiman
b. Teori umum kebudayaan
c. Kearifan lokal
d. Kebudayaan sunda
4. Kajian mengenai model pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu
vii
8
9
1.5 Sistematika Pembahasan
Tahapan-tahapan dalam penulisan laporan mengenai eksplorasi pola
pembelajaran masyarakat kampung adat Cireundeu terhadap pembangunan
kawasan akan disajikan pada sistematika pembahasan berikut ini:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang studi, Identifikasi masalah,
batasan masalah (yang mencakup ruang lingkup wilayah dan
ruang lingkup materi), rumusan masalah, tujuan masalah,
kegunaan hasil, dan sistematika pembahasan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan menguraikan mengenai studi-studi yang pernah
ada atau yang pernah dilakukan sebelumnya tentang
pembelajaran sosial dan Cireundeu, beberapa landasan teori yang
digunakan sebagai pengarah bagi pemilihan metodologi kajian
dan penelitian-penelitian yang telah pernah dilakukan.
BAB III METODOLOGI
Bab ini berisikan mengenai metodologi-metodologi apa saja yang
akan digunakan sebagai tahapan-tahapan yang terstruktur dalam
penyusunan Tugas Akhir ini.
BAB IV PEMBAHASAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL DAN PENATAAN
RUANG
KAMPUNG ADAT CIREUNDEU
Bab ini berisikan mengenai data variabel-variabel, Gambaran
Umum Kampung Adat Cireundeu dan Model-Model Pembelajaran
Sosial.
BAB V KAJIAN ANALISIS POLA PEMBELAJARAN KAMPUNG ADAT
CIREUNDEU TERHADAP PEMBANGUNAN KAWASAN
Bab ini berisi identifikasi, analisis, pola pembelajaran berdasarkan
hasil dari data variabel-variabel kemudian kita analisis secara
content analysis
10
BAB VI KESIMPULAN, KELEMAHAN STUDI DAN REKOMENDASI
PENELITIAN LANJUTAN
Bab ini berisikan mengenai kesimpulan secara keseluruhan
selama proses penelitian ilmiah, kelemahan dari penelitian ilmiah
ini sehingga dapat memberikan rekomendasi tindak lanjut
penelitian dalam pengembangan kawasan Kampung Adat
Cireundeu.
11
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Dalam kasus pembelajaran sosial, sudah pernah ada yang meneliti
sebelumnya, diantaranya adalah
1. ―Pembelajaran Sosial Dalam Mewujudkan Perubahan Lingkungan Di
Komunitas Studi Kasus RT.04 RW.01 Kelurahan Babakan Sari Kecamatan
Bojongloa Kaler‖ yang diteliti oleh Inez Fitrisia Irwan (2010). Penelitian ini
lebih kepada perwujudan perubahan lingkungan
Tugas akhir ini mempelajari mengenai adanya perwujudan perubahan
lingkungan dalam suatu komunitas, dengan mengkaji suatu permukiman
kumuh yang identik dengan berbagai masalah sosial dan lingkungan di
komunitasnya, seperti banjir, kondisi jalan yang buruk, lingkungan yang kotor
yang berhasil diatasi warga melalui tindakan kolektif. Pelaksanaan ini
dilatarbelakangi karena adanya pembelajaran sosial yang melibatkan aktor
luar sehingga memunculkan perubahan sosial di komunitas yang berdampak
positif terhadap lingkungannya.
2. Penelitian mengenai ―Pembelajaran Sosial Dalam Perencanaan Komunikatif
: Studi Kasus Kebijakan dan Praktek Penganggaran Daerah di Kabupaten
Sumedang‖ oleh Suhirman (2011).
Pada Tesis ini, dijelaskan mengenai praktek penganggaranan serta
kebijakkannya yang terjadi akibat pembelajaran sosial dalam suatu
perencanaan komunikatif.
3. Penelitian mengenai ―Strategi Humas Pemerintahan Kota Cimahi Dalam
Mensosialisasikan Batik Cireundeu Sebagai Batik Khas Kota Cimahi‖ yang
diteliti oleh Anne Moerdiany. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
strategi Humas Pemerintahan Kota Cimahi dalam Mensosialisasikan Batik
Cireundeu sebagai batik khas Kota Cimahi.
Pada penelitian ini, menjelaskan mengenai batik cireundeu yang dijadikan
sebagai batik khas kota Cimahi, batik ini sebenarnya berasal dari Cigugur,
Kuningan serta pembuatannya pun di sana, hanya saja dikarenakan bermotif
kujang, sehingga walikota Cimahi berinisiatif menjadikan batik tersebut
menjadi batik khas Kota Cimahi.
12
Dari ke-tiga kasus pembelajaran yang dipaparkan di atas, penulis
melakukan penelitian yang berbeda yaitu melakukan penelitian pembelajaran
sosial dalam konteks “ Eksplorasi Pola Pembelajaran Masyarakat Kampung
Adat Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan “ di daerah yang berbeda
tepatnya pada daerah kampung adat,Cireundeu,Cimahi. Berdasarkan penelitian
yang akan di teliti ini, ada beberapa tinjauan pustaka yang menjadi dasar
penelitian ini, diantaranya akan di bahas pada sub-sub bab berikut ini.
2.2 Komunitas Dalam Konteks Perencanaan Kota
Penyusunan perencanaan pembangunan kota seharusnya melalui atau
mempertimbangkan partisipasi komunitas (community participation), keterlibatan
semua kelompok yang terkait (involvement of all interest groups), koordinasi
secara horizontal dan vertikal (horizontal and vertical coordination), keberlajutan
(sustainability), kelayakan keuangan (financial feasibility), subsidi (subsidiary),
dan interaksi antara perencanaan fisik dan ekonomi (interaction of physical and
economic planning) (Deklarasi UNCHS di Nairobi pada tahun 1994). Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat merupakan target sekaligus subjek dari
program-program publik. Hal ini karena masyarakatlah yang akan meraskan
pengaruh secara langsung dari perencanaan pembangunan yang terjadi . Oleh
sebab itu, masyarakat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan publik.
Dalam sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan kawasan
selama ini muncul berbagai pendekatan terkait dengan keterlibatan masyarakat
seperti perencanaan dari bawah ke atas (bottop-up planning) atau disebut juga
dengan grass root planning, perencanaan melalui parisipatif (participatory
planning), perencanaan melalui demokrasi (democratic planning), perencanaan
kolaboratif (collaborative planning), perencanaan melalui advokasi (advocacy
planning), dan sebagainya yang menunjukkan adanya kesamaan bahwa setiap
anggota masyarakat memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses
pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka.
John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai
perencanaan (planning) sebagai upaya menghubungkan antara pengetahuan
ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan – tindakan
yang lingkupnya publik. Definisi ini menunjukkan peran serta masyarakat dalam
perencanaan mengalami suatu pergeseran yaitu dari ‗untuk masyarakat‘ berubah
13
menjadi ‗oleh masyarakat‘ sebagai sifat perencanaan dalam pembelajaran sosial
(social learning). Kemudian John Friedman (1987) mengklasifikasikan sistem
perencanaan sebagai berikut :
1. Perencanaan sebagai perubahan sosial (social reform). Dalam sistem
operencanaan ini, peran pemerintah sebagai dominan, sifat perencanaan ini
adalah terpusat dari atas ke bawah (top-down) dan berjenjang.
2. Perencanaan sebagai analisis kebijakkan (policy analysis). Dalam system
perencanaan ini, pemerintah bersama stakeholder lain memutuskan
persoalan dan menyusun alternative kebijakan. Sifat perencanaan ini
desentralisasi dan ilmiah (scientific)
3. Perencanaan sebagai pembelajaran sosial (social learning). Dalam sistem
perencanaan ini pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan
adalah desentralisasi, dari masyarakat, dan dari bawah ke atas (bottom up).
4. Perencanaan sebagai transformasi sosial (social transformation).
Perencanaan ini merupakan suatu bentuk kolektif gerakan warga.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat
merupakan kunci dari perencanaan pembangunan. Masyarakat menurut Horton
dan Hunt (1992) merupakan kelompok manusia, yang sedikit banyak memiliki
banyak kebebasan dan bersifat kekal, yang menempati suatu kawasan yang
sama, memiliki kebudayaan dan memiliki hubungan dalam kelompok tersebut.
Komunitas merupakan sebagian kelompok dari masyarakat dalam lingkup
yang lebih kecil. Soerjono Soekanto (1982) mengemukakan komunitas sebagai
masyarakat setempat, yang menunjuk pada warga-warga sebuah desa, sebuah
kota, suku atau bangsa. Apabila anggota – anggota suatu suatu kelompok, baik
kelompok itu besar atau kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga mereka
merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan –
kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi dapat disebut masyarakat
setempat. Intinya mereka menjalin hubungan sosial (social relationship). Unsur-
unsur dari komunitas diantaranya :
1. Wilayah atau lokalitas. Suatu komunitas pasti mempunyai lokalitas atau
tempat tinggal tertentu.
2. Peranan saling ketergantungan atau saling membutuhkan. Perasaan
anggota masyarakat setempat dengan anggota lainnya didasari adanya
persamaan tempat tinggal. Perasaan bersama antara anggota masyarakat
14
setempat tersebut di atas disebut community sentiment. Setiap community
sentiment memiliki unsur : seperasaan, sepenanggungan, dan saling
memerlukan.
Pengertian masyarakat (society) berbeda dengan pengertian
masyarakat setempat (community) atau komunitas. Pengertian masyarakat
(society) sifatnya lebih umum dan lebih luas, sedangkan pengertian masyarakat
setempat (community) lebih terbatas dan juga dibatasi oleh areal kawasannya,
serta jumlah warganya. Dalam konteks perencanaan kota, keterlibatan
masyarakat pada umumnya, dan komunitas pada khususnya diperlukan dalam
proses perencanaan dan pengambilan keputusan sehingga program
pembangunan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan keinginan warga.
2.3 Lanskap Budaya
Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang
dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu
secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakterlanskapnya. Menurut
Eckbo (1998) lanskap adalah keseluruhan elemen fisik secara kompleks di suatu
daerah.
Budaya adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia dalam
mempengaruhi kehidupannya. Adanya sistem nilai sebagai inti dari suatu sistem
kebudayaan, menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga
pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman tingkah laku itu adalah
adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun,
pandangan hidup, dan ideologi pribadi. Kebudayaan menurut Rapoport (1969,
diacu dalam Nuraini 2004) merupakan suatu kompleks gagasan dan pikiran
manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan
hidup (world view), tata nilai (values), gaya hidup (lifestyle) dan akhirnya
aktivitasnya (activities) yang bersifat konkrit. Aktivitas ini secara langsung akan
mempengaruhi wadah, yaitu lingkungan yang diantaranya adalah ruang-ruang di
dalam permukiman. Dengan demikian, sebagai wujud fisik, kebudayaan
merupakan hasil dari kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas
masyarakatnya. Budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk
sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta
ekonomi merupakan faktor kedua.
15
Hal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang secara
universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia sedikitnya menyangkut lima hal :
1. Soal makna hidup manusia
2. Soal makna pekerjaan
3. Persepsi manusia mengenai waktu
4. Soal hubungan manusia dengan alam sekitarnya;
5. Soal hubungan manusia dengan sesama manusia (Daeng 2000, diacu
dalam Ningrat 2004).
Dilihat secara empirik, kebudayaan bersifat dinamis. Tidak ada
kebudayaan yang tidak berubah, demikian pula kebudayaan tradisional
(Adimihardja, diacu dalam Ningrat 2004). Kebudayaan tradisional masyarakat
adat merupakan penjumlahan dari berbagai interaksi harmonis antara alam dan
isinya. Kebudayaan manusia dibentuk oleh lingkungan kehidupan mereka, dan
sebaliknya mereka juga mempengaruhi lingkungan. Lingkungan dan kebudayaan
manusia saling berkaitan secara menyeluruh (Alwi, M. et al. diacu dalam Ningrat
2004).
Lanskap budaya didefinisikan sebagai satu model atau bentuk dari
lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu
kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan
yang ada pada tempat tersebut (Nurisjah dan Pramukanto,2001). Lanskap tipe
ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang
merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam
menggunakan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang terkait
erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan oleh kelompok-kelompok
masyarakat tersebut dalam bentuk pola permukiman dan perkampungan, pola
penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan, dan struktur lainnya.
Lanskap budaya mencerminkan proses dan kegiatan yang berhubungan dengan
darat maupun laut seperti permukiman, pertanian, perikanan, pertambangan,
kehutanan dan panen yang berkelanjutan. Lanskap budaya dapat dicirikan oleh
pola dan interaksi seperti ciri-ciri fisik. Konsep lanskap budaya yang mengenal
adanya banyak hubungan antara manusia dengan darat dan laut, agama, seni,
spiritual, dan budaya tidak tercermin dalam bukti materi (Buggey dan Mitchell,
diacu dalam Longstreth, 2008).
16
Terdapat tiga belas komponen lanskap budaya yang telah diidentifikasi
sebagai bagian penting dari banyaknya lanskap budaya. Tiga belas komponen
tersebut dibagi menjadi tiga kelompok yang meliputi (Melnick,1983) :
1. Konteks
a. Sistem organisasi lanskap budaya
b. Kategori penggunaan lahan secara umum
c. Aktivitas khusus dari penggunaan lahan
2. Organisasi
a. Hubungan bentuk bangunan dari elemen mayor alami
b. Sirkulasi jaringan kerja dan polanya
c. Batas pengendalian elemen
d. Penataan tapak
3. Elemen
a. Hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan
b. Tipe bangunan dan fungsinya
c. Bahan dan teknik konstruksi
d. Skala kecil dari elemen
e. Makam atau tempat simbolik lainnya
f. Pandangan sejarah dan kualitas persepsi
2.4 Perencanaan Sebagai Pembelajaran Sosial
Bagi sebagian orang, pembelajaran sosial merupakan suatu metafor
untuk menunjukkan cara tertentu dalam mengaitkan pengetahuan kepada
tindakan. Bagi yang lainnya ini merupakan teknologi sosial, seperti analisis
kebijakan.
Analisis kebijakan terfokus kepada keputusan, suatu bentuk pengambilan
keputusan antisipasif, suatu proses Cognitif yang menggunakan alasan-alasan
teknis guna mengeksplorasi dan mengevaluasi jalan-jalan tindakan yang
mungkin. Client dalam hal ini adalah ―pengambil keputusan rasional‖, yang
secara implisit dianggap juga sebagai executor dari kebijakan, yang akan
menindak-lanjuti pilihanya dengan tindakan-tindakan yang sesuai.
17
Ket :
N = Analisis
g = Tujuan dan kendala
D = Keputusan r = Keputusan yang dianjurkan
I = Implementasi c = Komentar dan instruksi
Rn, n = Hasil terantisipasi dan
tak-terantisipasi
a = Tindakan
C = Informasi
Gambar 2.1 Model Struktural dari Analisis Kebijakan
Sumber : Friedman, 1973
Pembelajaran sosial merupakan proses yang kompleks dan bergantung
waktu yang melibatkan :
Tindakan
Strategi dan taktik politis
Teori tentang realitas
Nilai-nilai
Keempat elemen diatas tersebut bergabung membentuk suatu praktek
sosial. Berdasarkan Gambar 2.2 Model Yang Sederhana Dari Praktik dan
Pembelajaran Sosial diketahui bahwa proses pembelajaran melibatkan
pengetahuan aktor dan pengalamn aktor yang berasal dari tindakan.
Pengalaman aktor tersebut kemudian memberikan pengetahuan baru bagi aktor,
untuk mengarahkan tindakan selajutnya.
‗
N D I Rn, n
g
r c
C
a
18
Gambar 2.2 Model Sederhana Tentang Praktek Sosial dan Pembelajaran Sosial
Sumber : Friedman, 1973
2.4.1 Ragam Perencanaan Komunitas Dalam Membentuk Kapasitas
Komunitas
Perencanaan komunitas menuju pada upaya-upaya warga masyarakat di
dalam wilayah yang secara spasial sering terlibat bekerjasama dengan para
profesional perencana untuk membuat blueprint bagi masa depan komunitas
mereka; melindungi apa yang mereka punyai dan memelihara kualitas kehidupan
mereka. Perencanaan komunitas adalah pembangunan kebijakan pada level
mikro. Musyarawah (deliberation) adalah jantungnya dari perencanaan
komunitas. Warga komunitas lokal mengkomunikasikan tentang nilai-nilai dan
harapan-harapan mereka (Briggs, 1998 dalam Suhirman, 2011).
Beberapa alasan mengapa perencanaan komunitas menjadi hal yang
menarik dalam wacana nasional (Briggs, 1998 dalam Suhirman, 2011):
1. Dalam perencanaan komunitas terdapat partisipasi yang merefleksikan
upaya besar untuk menggeser pembuatan keputusan publik dan swasta
menuju pada pembuatan keputusan yang melibatkan stakeholder.
Perencanaan sebagaimana yang diungkapkan Rich dalam Briggs (1998)
bahwa kini perencana harus mulai didesak untuk melibatkan warga dalam
menentukan masalah, memilih nilai-nilai yang utama.
2. Perencanaan komunitas makin dijadikan sarana memicu, merevitalisasi
komunitas urban yang berpendapatan rendah dan merevitalisasi kehidupan
komunitas dibalik layar perencanaan politik.
Dari beberapa pernyataan Briggs, maka dalam perencanaan komunitas
dituntut adanya komunikasi, keterlibatan komunitas, kerjasama dan peran
C = Aspek pembelajaran kognitif dan pelaku
A = Proses Pengambilan Keputusan d = Pengalaman Aktor 11 = Proses Pembelajaran 12 = Proses Pembelajaran I1 = proses pembelajaran (problem dan
maksud) I2 = perubahan actual dari tindakan,
strategi dan teori serta nilai
C A d
I1
I2
19
perencana dalam memediasi komunitas. Beberapa dekade yang lalu ternyata
telah muncul beberapa perencanaan yang mencoba mengantarkan masyarakat
untuk terlibat dalam proses perencanaan. Bentuk perencanaan itu adalah
komunikatif (Sager, 1994 dalam Suhirman, 2011), kolaboratif (Healey, 1997
dalam Suhirman, 2011) dan perencanaan partisipatif (Forester, 1999 dalam
Suhirman, 2011). Ketiga perencanaan tersebut adalah merupakan hasil
transformasi pemikiran Habermas yang pada akhirnya menjadi filosofi
perencanaan.1 Namun sebelum muncul perencanaan komunitas tahun 19692,
telah ada perencanaan yang mencoba memikirkan kepentingan dan pembelaan
kelompok minoritas yaitu perencanaan advokasi (Fanstein dkk,1993 dalam
Suhirman, 2011).
Pada sub bab berikut ini akan dibahas mengenai ragam perencanaan
komunitas seperti perencanaan komunikatif, partisipatif, kolaboratif dan advokasi.
Keempat perencanaan tersebut masing-masing memberikan kontribusi terhadap
elemen-elemen (aset-aset) pembentuk kapasitas komunitas.
a. Perencanaan Komunikatif
Dengan meminjam pemikiran Habermas mengenai communicative action,
mengemukakan beberapa langkah untuk memikirkan kembali tentang
perencanaan (Sager,1994 dalam Suhirman, 2011) sebagai berikut:
1) Merumuskan kembali tema sentral dari mainstream teori perencanaan.
2) Menguji bagaimana tema perencanaan menghubungkan konsep
kekuasaan dan konflik.
3) Menganalisa mekanisme-mekanisme yang menyebabkan tidak rasional
atau tidak fleksibel.
Teori perencanaan mengarah pada debat yang terjadi pada beberapa
dekade yang lalu antara perencanaan synoptic dan disjoint incrementalism.
Synoptic planning didasarkan pada alasan-alasan instrumen, informasi yang
sempurna dan kemampuan penghitungan menjadi bagian yang penting dalam
perencanaan ini. Sedangkan disjoint incrementalism didasarkan pada model
1 Allemendinger (2001) mengemukakan communicative dan collaborative planning mendasarkan
pada konsep Habermas. Hanya saja karena perencanaan partisipatif sangat penting peranan
komunikasinya dalam perencanaan, maka penulis mengasumsikan tiga perencanaan tersebut
merupakan hasil transformasi pemikiran Habermas. 2 Allemendinger (2002). Hal ini ditunjukkan dengan karya Arnstein (1969) “A Ladder of
Partisipation”. Arnstein mengkritiki, bahwa kesalahan perencana waktu itu adalah kurangnya
pemahaman terhadap warga yang hilang haknya, rendah pendapatannya dan mereka-mereka yang
kurang didengar pendapatnya.
20
baru incrementalisme dialogis didasarkan pada rasionalitas komunikasi dan
dekat dengan komunikasi tanpa batas. Dua pandangan yang kontras
sebagaimana digambarkan ke dalam dua pendekatan yang fundamental yaitu
perencanaan yang menggunakan perhitungan matematis dan perencanaan yang
memerlukan komunikasi. Dan dua pendekatan tersebut dapat saja dikatakan
rasional sesuai cara dan ketentuan pendekatan yang perencana gunakan
(Sager,1994 dalam Suhirman, 2011) .
Sager menggunakan perspektif komunikasi dengan mempertimbang-kan
kembali pertanyaan yang fundamental ―mengapa rencana‖ untuk memperkaya
dan menentukan kembali klasifikasi teori perencanaan alternatif dan untuk
mempertimbangkan peranan konflik dan manajemen konflik dalam
perencanaan. Dalam proses perencanaan, Sager menyatakan berkali-kali bahwa
perspektif komunikasi kritis memberikan kacamata yang informatif didalam
memandang isu-isu teori perencanaan lama dan debatnya melalui cara-cara
yang baru dan menarik seperti diskusi, adu argumentasi dan lain sebagainya.
Sager dalam tulisannya, menguji kembali isu-isu lama yang diabaikan dalam
mendesain proses perencanaan yang optimal, menentukan kontinum gaya
perencanaan dari yang kaku (blue print planning) ke perencanaan yang fleksibel
dan kemudian menjadi sebuah peluang yang dapat diterapkan.
Kaza (2006) memandang bahwa perencanaan komunikatif perlu
mengetahui dan menyeimbangkan kepentingan stakeholder ketika terdapat
marginalisasi orang-orang yang tersisihkan. Kalau dicermati pemikiran Sager
maupun Kaza dapat disintetiskan bahwa perencanaan komunikatif pada akhirnya
mengajak masyarakat (baik yang tersisihkan maupun tidak) untuk mempunyai
kemampuan angkat bicara dan mempunyai argumen dalam merencanakan dan
memutuskan tindakan dalam khasanah publik. Perencana dalam khasanah
perencanaan ini, diharapkan mampu mengantarkan komunitas agar mempunyai
kapasitas untuk berargumen membela kepentingan mereka. Dengan adanya
kemampuan berkomunikasi, komunitas diharapkan mampu berkolaborasi dan
berpartisipasi dalam perencanaan. Tentu saja, perencana perlu wahana
(interactional infrastructure) seperti lembaga lokal, tempat pertemuan ataupun
forum komunikasi dalam komunitas dimana mereka sering berkumpul untuk
membicarakan masalah dan kepentingan mereka. Beberapa hal yang dapat
ditambahkan dari perencanaan komunikatif adalah manfaat yang akan diperoleh
komunitas ketika mereka berkumpul. Mereka akan mendapatkan pengetahuan
21
dan keahlian untuk mengemukakan pendapatnya—dan ini merupakan elemen
dari kapasitas komunitas. Perencana dalam hal ini dapat sebagai perantara
sosial dalam sebuah forum komunikasi tersebut. Jadi jelas bahwa communicative
planning dalam hal ini selain membentuk elemen knowledge, juga membentuk
elemen infrastruktur interaksi.
b. Perencanaan Partisipatif
Perencanaan dengan menggunakan pendekatan partisipatif di dalam
domain publik telah diinstitusionalisasikan sebagai metode praktik perencanaan,
seperti yang dipertentangkan dengan pendekatan komprehensif rasional. Dalam
arena publik, khususnya dalam perencanaan komunitas, prinsip-prinsip
demokrasi dan partisipasi publik telah banyak diterima untuk menyeimbangkan
dan merasionalisasikan kepentingan dan pilihan yang beragam. Tujuan akhir
partisipasi adalah menempa konsensus diantara pihak yang berkepentingan,
termasuk perencana, kelompok warga, pembuat keputusan dan kelompok
advokasi (Kaza, 2006).
Forester (2000) mengemukakan hal yang mendasari perencanaan
partisipatif adalah karena pada hakikatnya perencanaan secara politik, adalah
deliberative dan tidak semuanya keputusannya merefleksikan kepentingan
perorangan. Dengan adanya perencanaan partisipatif, hasil akhirnya adalah
diperolehnya kesepakatan yang luas melalui cara-cara tertentu untuk melakukan
tindakan yang mungkin atau tidak mungkin dilakukan. Untuk itu perencana harus
memahami posisi konflik diantara kepentingan kelompok yang berbeda.
Baik pernyataan Kaza maupun Forester kalau dikaitkan dengan
perencanaan dalam domain publik, maka sebenarnya perencanaan partisipatif
dapat diartikan sebagai upaya menangkis kritik bahwa perencanaan muncul dari
atas ke bawah. Perencanaan partisipatif dapat dikatakan sebagai instrumen
untuk menekan pemerintah yang selama ini melanggar batas kebebasan individu
untuk ikut terlibat dalam proses perencanaan. Dapat pula dikatakan, bahwa
perencanaan partisipatif sebagai upaya melawan paradigma perencanaan
modern yang selama ini memberikan supremasi dengan alasan objektif yang
didasarkan atas perhitungan rumus-rumus.
Perencanaan partisipatif, kalau ditelaah lebih lanjut, adalah merupakan
upaya membangun keahlian kerjasama dengan yang lain melalui tindakan
bersama (kolektif) dalam mengatasi konflik dan akhirnya membuat keputusan
22
mengatasi masalah. Kaza (2006) menyatakan bahwa partisipasi membantu
perencana membangun jaringan sosial dan membantu perencana untuk
mengemukakan hak-hak individu di dalam pilihan kolektif. Menelaah pemaparan
perencanaan partisipatif, bahwa ada unsur-unsur yang mampu membentuk
kapasitas komunitas melalui perencanaan partisipatif ini yaitu berupa keahlian
untuk bekerja sama, pembentukan norma-norma/nilai karena partisipasi juga
pada akhirnya membentuk hubungan timbal balik diantara kelompok yang
berkepentingan.
c. Perencanaan Kolaboratif
Healey (2003) mengagas perencanaan kolaboratif ini pada tahun 1997.
Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya inspirasi sebagai berikut: (1) Perencanaan
adalah proses interaksi (2) Perencanaan sebagai aktivitas pemerintahan, terjadi
dalam lingkungan kelembagaan yang dinamis dan kompleks. Perencanaan
dibentuk oleh kekuatan ekonomi, sosial dan lingkungan yang lebih luas (3)
Perencanaan dan inisiatif kebijakan berhubungan dengan pemeliharaan dan
peningkatan kualitas tempat dan wilayah (teritori). (4) Pembangunan dimotivasi
oleh komitmen moral demi keadilan sosial.
Allemendinger (2001) melihat perencanaan kolaboratif termasuk juga
perencanaan komunikatif dipengaruhi oleh konsepsi Habermas yaitu rasional
komunikatif. Komponen utama pendekatan rasional komunikatif dikembangkan
oleh Healey dalam perencanaan kolaboratif sebagai berikut:
1) Perencanaan adalah proses interaktif dan interpretatif.
2) Perencanaan berlangsung dalam diskusi komunitas yang beragam dan
sangat cair (tidak dimanipulasi, tidak disandiwarakan).
3) Ada metode diskusi yang menghormati secara interpersonal maupun inter-
kultural.
4) Fokusnya memperjuangkan masalah strategi, taktik dan nilai-nilai melalui
diskusi publik dimana dalam diskusi tersebut ada konflik yang mampu
dimediasi.
5) Mengedepankan keragaman tuntutan untuk membentuk dan tipe-tipe
pengembangan kebijakan yang berbeda.
6) Mengembangkan kapasitas merefleksi diri bagi para partisipan agar mampu
mengevaluasi dan mengevaluasi kembali.
23
7) Dialog yang strategis dibuka menjadi inklusif kepada sebagian orang yang
berkepentingan sehingga menghasilkan diskusi perencanaan yang baru.
8) Partisipan dalam diskusi mendapatkan pengetahuan yang baru dengan
partisipan yang lain untuk belajar menjalin relasi, nilai-nilai dan pemahaman
yang baru.
9) Partisipan mampu mengkolaborasi perubahan kondisi yang ada.
10) Partisipan didorong untuk menemukan cara yang secara praktis mampu
mencapai keinginan perencanaan mereka, bukan sekedar menyetujui
serangkaian sasaran mereka. (124)
Selanjutnya Healey (1997) menyatakan bahwa upaya-upaya
perencanaan kolaboratif dalam menentukan dan mengembangkan kebijakan
untuk perhatian kolektif, adalah berbagi porsi diantara anggota komunitas untuk
bersama-sama membantu membangun modal sosial, intelektual dan politik yang
menjadi sumber kelembagaan yang baru. Perencanaan kolaboratif
membangkitkan komunitas budayanya sendiri yang mana pada akhirnya mampu
memunculkan isu-isu masa depan mereka untuk didiskusikan secara efektif.
Dengan cara ini sebenarnya komunitas budaya yang kolaboratif telah
memfokuskan kepemerintahan lingkungan lokal akan membantu menciptakan
nuansa publik.
Dari pemaparan mengenai perencanaan kolaboratif, terlihat bahwa
perencanaan kolaboratif juga berupaya membentuk jalinan relasi, nilai-nilai dan
pengetahuan yang merupakan bagian dari kapasitas komunitas.
d. Perencanaan Advokasi
Perencanaan advokasi muncul terlebih dahulu dari pada perencanaan
komunikatif, partisipatif maupun kolaboratif. Adalah Paul Davidoff (1965)
pencetus perencanaan ini. Namun yang melatarbelakangi dari perencanaan ini
adalah bukan rasionalitas komunikatif akan tetapi pluralisme (Allemendinger,
2002; Alexander, 1986; Brooks, 2002).
Brooks mencatatkan sejarah perencanaan advokasi muncul antara tahun
1960-an dan tahun 1970-an. Waktu itu terjadi kegoncangan terhadap masyarakat
Amerika. Proses migrasi dalam skala besar diikuti dengan meluasnya
diskriminasi ras dan segregrasi penduduk telah mengkonsentrasikan ratusan ribu
penduduk yang berpenghasilan rendah dan warga minoritas dalam lingkungan
sekitar pusat kota dimana banyak terjadi masalah sosial. Kegagalan pemerintah
24
federal dalam program pembaharuan kota; terjadinya kejahatan di lingkungan
ketetanggaan yaitu pengrusakan properti warga; terjadinya perang Vietnam,
telah membuat masyarakat Amerika menjadi tidak stabil—dan ini menimbulkan
krisis spiritual warga Amerika. Orang-orang yang melewati hidupnya pada saat
itu jelas mengalami betapa saat itu merupakan periode terjadinya kekacauan.
Cara-cara lama untuk mengatasi masalah tersebut benar-benar tidak berhasil.
Keadaan tersebut yang kemudian dipikirkan Davidoff untuk merancang jenis
perencanaan baru. Davidoff memandang perencanaan sebagai proses untuk
mengatasi masalah sosial yang begitu luas; perencanaan untuk memperbaiki
kondisi semua orang dengan menekankan sumber-sumber dan kesempatan
yang terbatas; perencanaan untuk memperluas keterwakilan dan partisipasi
didalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dia mengajak
perencana meningkatkan partisipasi demokrasi dan perubahan sosial yang
positif; mengatasi faktor-faktor kemiskinan dan rasisme dalam masyarakat; dan
mengatasi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, kulit putih dengan
kulit hitam, laki-laki dan perempuan.
Davidoff dalam Djunaedi (2000) mengkritik bahwa perencanaan yang
mengaku mampu merumuskan satu versi kepentingan umum, berarti telah
memonopoli kekuasaan/kewenangan perencanaan dan tidak mendorong adanya
partisipasi. Bila perencanaan dianggap inklusif maka lembaga tidak akan dapat
mewadahi kepentingan masyarakat yang beragam—dan akhirnya akan banyak
terjadi konflik. Untuk itu, perencanaan haruslah dapat mendorong pluralisme
yang berimbang dengan cara-cara mengadvokasi (memberi hak suara) pihak-
pihak yang tidak mampu meyakinkan aspirasinya. Selama ini perencanaan
tradisional dianggap menghambat tumbuhnya pluralisme yang efektif karena: (1)
Komisi perencanaan tidak demokratis dan kurang mewadahi kepentingan yang
saling bersaing dalam masyarakat yang beragam. (2) Perencanaan tradisional
berfokus pada aspek fisik dan memisahkan dengan aspek sosial.
Dari beberapa pemikiran Davidoff yang dikutip beberapa teoritisi
perencanaan dimaksud, jelas mengisyaratkan bahwa perencanaan advokasi
berupaya mendorong komunitas untuk ikut mensuarakan kepentingan mereka.
Artinya, dalam proses perencanaan mereka diharapkan untuk ikut berpartisipasi.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa partisipasi dalam perencanaan advokasi
adalah sebagai upaya membentuk kapasitas komunitas.
25
Dengan melihat kembali esensi perencanaan komunitas, maka arah
perencanaan ini secara jelas masuk dalam tradisi perencanaan sebagai
pembelajaran sosial (social learning). Tradisi pembelajaran sosial, sebagaimana
dijelaskan Friedmann (1987), merupakan perencanaan yang berjalan seiring
dengan proses-proses yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat. Di
dalam masyarakat terjadi proses dialektika berdasarkan pengalaman sejarah
menuju keadaan yang diiinginkan melalui proses pembelajaran. Karenanya,
perencanaan mencoba menghubungkan ilmu pengetahuan dan pengetahuan
teknis ke dalam proses-proses bimbingan sosial. Implikasinya terhadap
masyarakat adalah bahwa perencana hendaknya mampu merumuskan bentuk-
bentuk perencanaan yang mampu membuat masyarakat mempunyai kapasitas
melalui pembelajaran sosial.
Bimbingan kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan Etzioni dalam
Friedmann (1987) adalah konsep sosiologi makro. Artinya, pembelajaran sosial
ini berimplikasi pada keterlibatan negara dan lembaga. Untuk itu, prinsip-prinsip
pembelajaran sosial yang harus dipedomani adalah:
1. Pembelajaran manifestasinya sebagai perubahan yang secara langsung
disusun kedalam praktik sosial, kadang-kadang disistematikan atau dimaknai
dalam bahasa formal wacana ilmiah. Pembelajaran sosial secara tipikal
adalah bentuk pembelajaran yang sifatnya diam-diam dan pembelajaran
informal.
2. Pembelajaran sosial melibatkan agen perubah yang memberikan dorongan,
arahan dan membantu aktor pelaksana. Mereka umumnya para profesional
(trainer, fasilitator, konsultan) yang membawa pengetahuan formal ke dalam
praktik sosial secara terus menerus kepada kelompok klien. Perencana
dalam konteks ini adalah melibatkan diri ke dalam perubahan yang sendiri ke
dalam taktik atau strategi mengatasi masalah yang ada. Terakhir,
perencanaan dalam pembelajaran sosial memerlukan penyesuaian norma-
norma untuk mengatur proses tindakan. Penyesuaian ini khususnya terkait
dengan perubahan dalam realitas, nilai dan kepercayaan. Pembelajaran
memerlukan restrukturisasi kognitif yang akan mempunyai konsekwensi
praktis yang tinggi terhadap hubungan manusia, otoritas formal dan distribusi
ilmu (Friedmann, 1987).
Dari beberapa prinsip tersebut di atas, maka perencanaan sebagai
pembelajaran sosial, dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
26
1. Pembelajaran sosial memerlukan aktor perubah yang mampu
mengkolaborasi/mengakomodasi kepentingan kelompok.
2. Karena pembelajaran sosial memerlukan restrukturisasi kognitif yang terus
menerus, maka perlu advokat, perencana dalam kancah seperti dapat
berperan sebagai advokat.
3. Pembelajaran sosial diarahkan kepada kelompok-kelompok yang telah
menjalin relasi. Aktor yang dalam hal ini sebagai ‖teacher‖.
Friedmann menganggap tradisi pembelajaran sosial sebagai langkah
besar ke depan. Karena dengan pembelajaran sosial, praktisi perencanaan
bergerak dari mengantisipasi pembuatan keputusan menuju praktik tindakan dan
praktik sosial. Pendekatan pembelajaran sosial berjalan dengan proses konsep
pengetahuan. Asumsi intinya, bahwa semua pembelajaran sosial yang efektif
berasal dari pengalaman mengubah realitas. Sebagai sebuah bentuk
pengetahuan, pembelajaran sosial secara intrinsik berhubungan dengan aktivitas
manusia, memfokuskan perhatian pada proses dinamika sosial, mengatasi
masalah dari perspektif seorang aktor yang sebenarnya terlibat dalam praktik.
Dari beberapa pemaparan di atas, mulai dari perencanaan komunitas
hingga tradisi perencanaan, maka tradisi perencanaan sebagai pembelajaran
sosial mewadahi perencanaan komunitas. Hanya saja ragam perencanaan
komunitas dalam pelaksanaannya masih berdiri sendiri, sehingga elemen-
elemen kapasitas komunitas yang dibentuk belum secara utuh terintegrasi
dengan baik. Harapannya, ragam perencanaan ini ke depan hendaknya berpadu
dalam membentuk kapasitas komunitas. Gambar berikut menunjukan ragam
perencanaan komunitas yang diwadahi oleh tradisi perencanaan sebagai social
learning yang arahnya membentuk kapasitas komunitas.
27
Gambar 2.3 Ragam perencanaan komunitas dalam membentuk kapasitas
komunitas di bawah payung tradisi perencanaan sebagai pembelajaran sosial
Sumber : Friedmann John (1987) Planning in The Public Domain. From Knowledge to Action.
Princeton University Press. New Jersey.
2.4.2 Pendekatan Pembelajaran Sosial
2.4.2.1 Tindakan
Tindakan merupakan fokus penting dalam pendekatan pembelajaran
sosial, yaitu kegiatan yang memiliki tujuan yang dilakukan oleh actor, individu
maupun kolektif, dalam lingkungan aktor tersebut. Konsep mengenai kegiatan
sering dimaksudkan sebagai kerja praktik (Novack, 1975 dalam Friedman, 1987).
Namun, dalam perencanaan publik, kegiatan dibedakan sebagai kerja (working)
dan sebagai praktik sejarah (historical practice). Karena berulang, kerja praktik
sering dikodivikasi, sedangkan praktik sejarah, belum pernah terjadi sebelumnya
dan bersifat unik.
Ketika seseorang terlibat dalam suatu tindakan, biasanya diartikan bahwa
tindakan itu muncul secara mandiri, dimana pelaku (atau organisasi) memiliki
keaslian (genuine) yaitu tidak ada keterpaksaan dalam memilih untuk bertindak.
Collaborativ
e Planning
Advocacy
Planning
Participator
y Planning
Communicative
Community
Capacity
Community planning
Planning as Social Learning
28
Tindakan harus mengatasi hambatan, diperlukan praktik sejarah berupa strategi
dan taktik yang akan mengarahkan aktor melalui tindakannya sendiri. Setelah
hambatan dapat diatasi, aktor mendapatkan informasi yang berguna yang dapat
memimpin pembeljaran kumulatif. Setiap siklus baru dari tindakan mengarahkan
kepada permulaan yang baru.
2.4.2.2 Aktor
Tindakan menyiratkan seseorang aktor untuk bertindak. Dalam
pendekatan pembelajaran sosial, aktor-aktor muncul secara beragam, sebagai
pelaku individu, kelompok kecil, organisasi ataupun komunitas. Aktor kolektif,
seperti organisasi, komunitas, dan pergerakan sosial, dapat diidentifikasi menjadi
komponen kelompokl-kelompok aksi. Kelompok-kelompok ini muncul sebagai
struktur yang relatif sementara dalam struktur yang lebih besar (Friedman, 1987).
Pada suatu saat, komunitas praktis dapat melibatkan atau mengundang
sukarelawan untuk terlibat dalam pembelajaran di dalamnya (Schweitzer, L.A,
Howard E.J, Doran, 2008). Gambar 2.4 menunjukkan gambaran konsep aktor
dalam komunitas praktis. Lingkaran dengan garis putus-putus menunjukkan
kumpulan dari kelompok – kelompok yang saling berbagi minat atau pendekatan
cara belajar, dan terkadang terjadi overlapped di antara mereka. Lingkaran
transit menunjukkan apa yang menjadi perhatian utama. Komunitas praktis
meliputi berbagai sub-kelompok dengan berbagai motivasi, pengaruh, tingkat
pengetahuan dan geografis.
Gambar 2.4 Komunitas Praktis Sumber : Schweitzer, Howard dan Doran, 2008
Dalam tradisi pembelajaran sosial, aktor dan pelajar diasumsikan sama,
merupakan kelompok aksi yang belajar dari praktik mereka. Apakah organisasi,
masyarakat, atau pergerakan (movements) juga belajar akan ketergantungan
pada sifat hubungan antar kelompok dan struktur formal kekuasaan.
TRANSIT
KELOMPOK
KELOMPOK A
KELOMPOK B
29
2.4.2.3 Cara Belajar
Petama, pembelajaran sosial biasanya suatu bentuk pembelajaran yang
diam-diam dan informal (Polanyi, 1996 dalam Friedman, 1987). Kedua,
pembelajaran sosial dapat melibatkan apa yang disebut agen perubahan yang
mendorong, membimbing, dan membantu seorang aktor dalam proses
perubahan kenyataan. Mereka biasanya seorang profesional (pelatih, fasilitator,
konsultan proses, organizer) yang membawa pengetahuan formal tertentu pada
praktik sosial kliennya yang berkelanjutan. Agar efektif, agen perubahan harus
mengembangkan sebuah hubungan transaktif dengan klien mereka, yang
kondusif untuk saling belajar (Schein 1960 dalam Friedman, 1973). Ketiga,
adalah loop pembelajaran, yaitu single loop dan double loop (Argryis dan Schon
1974, 1978; Argryis 1982 dalam Friedman 1987). Pendahulu melibatkan
perubahan sederhana dalam taktik atau strategi dari tindakan untuk mengatasi
permasalahan, penerusnya membutuhkan penerapan norma-norma yang
mengatur proses tindakan, dan perubahan dalam teori yang dimiliki aktor
mengenai realitas, nilai dan keyakinan. Perubahan ini memerlukan restrukturisasi
kognitif yang akan berdampak pada citra diri, hubungan manusia, kekuasaan
formal serta distibusi biaya dan keuntungan dari tindakan.
Dalam pembelajaran sosial, pengetahuan dari realitas dan praktik
memberikan suatu pengaruh timbal balik satu sama lain. Pembelajaran didasari
tidak hanya dari pengalaman aktor yang terus berkembang, namun juga
didasarkan pembelajaran sebelumnya, yang mencerminkan posisi aktor,
pengalaman kerja, dan pendidikan formal.
Tindakan dalam domain publik biasanya melibatkan kolaborasi tindakan
melalui kelompok kecil, yakni kelompok yang berorientasi pada tugas. Mereka
membentuk dan bereformasi menjadi kelompok aksi dalam sistem pembelajaran
sosial. Pembelajaran sosial adalah suatu proses kumulatif yang berlangsung
selama siklus tindakan tertentu. Ketika sebuah siklus berakhir dan kelompok
mengalami perubahan besar dalam komposisi, apa yang telah dipelajari menjadi
tidak teratur dan akan hilang. Kelompok aksi merupakan sebuah bentuk dari
ingatan kolektif.
Kelompok-kelompok aksi diorganisir untuk tugas-tugas tertentu. Selain
karena tugas, perilaku kelompok dipengaruhi oleh kebutuhan pribadi anggotanya
yakni, untuk cinta, harga diri, dam ekspresi diri yang terpenuhi di dalam kelompok
maupun di lingkungannya yang lebih luas. Pembelajaran sosial di kelompok kecil
30
pada umumnya terjadi melalui hubungan tatap muka atau dialog. Namun, dialog
membutuhkan kemampuan interpersonal, seperti kemampuan mendengarkan,
kemampuan untuk mempercayai orang lain dan kemampuan membuat diri
sendiri bernilai dan tanggap terhadap kebutuhan orang lain.
2.5 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial
2.5.1 Level Pembelajaran Sosial
Dua level pembelajaran yang berbeda dalam sebuah komunitas. Baik
Argyris dan Schon (1978, dalam Suhirman, 2011) maupun Levitt dan Maret
(1988, dalam Suhirman, 2011) secara eksplisit membedakan tipe-tipe
pembelajaran dari tingkat belajar.
1. Pembelajaran satu putaran (single loop learning)
Mengarah pada perubahan dalam praktek dan strategi berorganisasi. Argyris
(1992 dalam Suhirman, 2011) menggunakan sistem kontrol umpan balik
dimana pembelajaran timbul dalam kesalahan yang terdeteksi dan dikoreksi
dalam keberjalanan program. Dalam pembelajaran satu putaran,nilai – nilai
dan tujuan yang mendasari sistem kinerja tidak dipertanyakan atau diubah.
2. Pembelajaran dua putaran (double loop learning)
Mengarah pada perubahan nilai (atau variabel-variabel yang mengatur) yang
mendasari praktik dan strategi. Tingkat ini lebih mendasar dalam
pembelajaran, yang mengarah pada perubahan keyakinan, tujuan atau nilai-
nilai dasar yang tercermin dalam pengoperasian sistem.
Argyris dan Schon (1996, dalam Suhirman, 2011) membedakan kedua
tingkat pembelajaran tersebut sebagai berikut :
Pembelajaran satu putaran berfokus pada efektivitas, bagaimana cara
terbaik untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ada, dengan menjaga
kinerja berorganisasi dalam rentang tertentu oleh nilai-nilai dan norma yang
telah ditentukan. Namun, dibeberapa kasus lain, koreksi dari kesalahan
membutuhkan penyelidikan melalui modifikasi nilai-nilai, tujuan dan norma
organisasi itu sendiri, ini yang disebut pembelajaran dua putaran
2.5.2 Siklus Dasar Pembelajaran Sosial
Siklus pembelajaran terdiri dari 4 langkah (Ebrahim dan Ortolano, 2001
dalam Suhirman, 2011), yaitu :
31
1. Penerimaan informasi mengenai organisasi dan lingkungannya
2. Menghasilkan pengetahuan, baik dengan menganalisis dan menafsirkan
informasi atau dengan merenungkan tindakan.
3. Bertindak, baik dengan mengaplikasikan pengetahuan untuk aktivitas
berorganisasi atau dengan melakukan percobaan dengan ide baru, dan
4. Mengkodekan (encoding) pengetahuan dan pengalaman menjadi rutinitas
atau ingatan.
Pengetahuan dan tindakan dapat timbul bersamaan. Pengetahuan dapat
menginformasikan dan mengarahkan tindakan, dan pengetahuan dapat
dihasilkan dari merenungkan tindakan. Dalam keadaan yang ideal, pengetahuan
terus menerus diubah berdasarkan pada informasi baru dari umpan balik, dan
sebagai hasilnya adalah rutinitas yang terus menerus disempurnakan.
Gambar 2.5 Siklus Pembelajaran Sosial Sumber : Suhirman, 2011
Pada siklus ini juga terdapat faktor-faktor (governing factors) yang dapat
membatasi atau memungkinkan pembelajaran : kapasitas kognitif, hubungan
kekuasaan dan kerangka persepsi. Faktor-faktor ini mempengaruhi setiap tahap
dari siklus pembelajaran.
1. Kapasitas Kognitif
Kapasitas kognitif individu dan organisasi, biasanya menjadi kendala atau
batasan dalam pembelajaran. Organisasi dan individu mempunyai batasan pada
informasi yang dikumpulkan dan kapasitas mereka untuk menganalisis dan
menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan. Terbatasnya kapasitas kognitif
Penerimaan Informasi (Information
acausition)
Pengetahuan (Knowledge)
Tindakan (Action)
Rutinisasi pengetahuan (Knowledge
Faktor-faktor yang mengatur (Governing Factors)
Kapasitas kognitif (cognitive capacities) Hubungan kekuasaan (relation of power) Kerangka persepsi (perceptual
32
dapat mengarah pada pembelajaran yang hanya khayal belaka (superstitious
learning) atau ambiguitas pembelajaran (ambigous learning). Superstitious
learning muncul ketika anggota organisasi salah dalam menyimpulkan tindakan
tertentu yang mengarah pada hasil tertentu (Marcha and Olsen 1988,342).
Pembelajaran yang ambigu muncul ketika sebuah hasil begitu kurang dipahami
dan begitu banyak penjelasan muncul untuk meresponnya. Ambiguitas muncul
terkadang disebabkan karena kepemimpinana atau dominasi koalisi saat
mengesahkan suatu interpretasi dalam organisasi (Hedberg 1981, dalam
Ebrahim dan Ortolano,2001). Hasil pembelajaran yang ambigu dikarenakan
pengertian yang salah. Menurut (March 1988; Pfeffer dan Salancik 1978 dalam
Suhirman, 2011) informasi yang menjadi perhatian organisasi pada tingkat
tertentu yang menentukan apa yang akhirnya mereka lakukan.
2. Hubungan kekuasaan antara sesama organisasi dan dalam organisasi.
Hubungan kekuasaan memungkinkan organisasi-organisasi berusaha
untuk mempengaruhi pengambilan keputusan antara satu sama lain.
Penerimaan informasi dalam organisasi dibentuk dalam dinamikan pertukaran
sumber daya dan kekuasaan, kadang-kadang hal ini menghasilkan sistem yang
memfasilitasi pembelajaran (dengan menghasilkan pengetahuan yang dapat
dimasukkan dalam tindakan atau kebiasaan), dan di lain waktu menghasilkan
pengetahuan yang hanya relevan terhadap organisasi lain yang memiliki
hubungan kekuasaan dengan organisasi tersebut.
Hubungan di dalam organisasi sendiri juga penting dala proses
pembelajaran. Individu dalam suatu organisasi kadang-kadang dibatasi oleh
peran mereka dan keterbatasan pengaruh dala tindakan organisasi (March and
Olsen 1988 dalam Suhirman, 2011). Pembelajaran dan perubahan organisasi
dapat juga dipengaruhi oleh koalisi dalam organisasi. Jika ada beberapa dialog
antara koalisi, pembelajaran dan perubahan mungkin melintasi batas-batas
kelompok, tetapi jika koalisi tetap mengakar, perubahan akan dipandu oleh
kelompok – kelompok yang lebih domnan.
3. Kerangka persepsi atau pandangan yang mendasari tindakan organisasi
atau individu.
Individu menyaring informasi – informasi dan stimulus dari lingkungannya
dan mengorganisasikannya menjadi pandangan, atau kerangka persepsi, yang
33
bermakna baginya. Kerangka persepsi juga merupaka bagian produk sejarah.
Kerangka persepsi juga merupakan produk dari lingkungan institusi sebuah
organisasi. Walaupun kerangka persepsi mempengaruhi proses belajar dengan
mempengaruhi apa informasi yang perlu menjadi perhatian dan bagaimana
menginterpretasikannya, proses pembelajaran juga memainkan peran dalam
perubahan kerangka persepsi dari waktu ke waktu. Kerangka persepsi mungkin
memandu bagaimana individu dan organisasi menginterpretasikan stimulus dari
lingkungan, namun individual dan organisasi akan meresponnya secara unik dan
berbeda dari waktu ke waktu. Kerangka persepsi memandu pembelajaran dan
perilaku, namun pembelajaran dan perilaku secara terus menerus mengubah
kerangka itu sendiri.
2.6 Tradisi Pembelajaran Sosial dalam Perencanan
Berdasarkan sejarah pemikiran perencanaan, Friedmann (1987)
membagi perencanaan kedalam empat tradisi :
1. Learning by doing pembelajaran berasal dari proses coba dan salah (trial
and error) yang terjadi berulang. Sebuah organisasi munkin untuk
mengulang kebiasaaan yang berhubungan dengan keberhasilan dalam
memenuhi target, sebaliknya tidak mungkin untuk mengulang kebiasaan
yang berhubungan dengan kegagalan (Cyert and March 1963; Levitt and
March 1988 dalam Ebrahim dan Ortolano, 2001). Penggunaan kebiasaan
yang sudah terbukti keberhasilannya dan memungkinkan untuk
mengembangkan lebih lanjut disebut ekploitasi (exploitation) (Levinthal and
March 1993; March 1991).
2. Learning by exploration pembelajaran ini muncul ketika oprganisasi-
organisasi mencari prosedur baru dan ide-ide baru ―tanpa mengetahui atau
mengantisipasi konsekuensi penuh dari pekerjaan mereka‖ (Sanchez Triana
1998, dalam Suhirman, 2011). Eksplorasi melibatkan ―pencarian, variasi,
pengambilan resiko, percobaan, bermain, fleksibilitas, penemuan dan inovasi
(March 1991, dalam Suhirman, 2011). Sebuah organisasi dapat mencoba
berbagai prosedur baru dan mengadopsinya untuk menemukan yang lebih
baik dari pada kebiasaannya yang ada sekarang. Terkadang digunakan
prosedur atau ide yang belum terbukti bahkan dikembangkan prosedur atau
ide baru. Sejauh mana sebuah organisasi terlibat dalam bentuk
pembelajaran ini sebagian tergantung pada sejarah keberhasilan dan
34
kegagalan organisasi, kegagalan dalam memenuhi target dapat memicu
atau meningkatkan pencarian untuk pencarian alternatif, sedangkan
keberhasilan dalam memenuhi target biasanya menyebabkan penurunan
pencarian dan meningkatkan ketergantungan pada masa lalu (March 1988,
dalam Suhirman, 2011).
3. Learning by exploration and learning by doing keduanya sama-sama
penting, jika sistem (yaitu, organisasi) terlibat dala eksplorasi saja, ia akan
terperangkap dalan suatu keadaan sub-optimal, gagal untuk menemukan
arah-arah baru atau untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya.
Jika sistem terlibat dalam ekplorasi saja, ia tidak akan pernah mendapatkan
keuntungan – keuntungan dari penemuannya, tidak pernah merasa cukup
baik bagi mereka untuk menjadikannya berguna bagi mereka (March 1992-
1993, dalam Suhirman, 2011).
4. Learning by imitation selain belajar dari pengalaman mereka sendiri,
organisasi-organisasi juga belajar satu sama lain dengan mengadopsi
kebiasaan, strategi, hierarki atau teknologi dari organisasi lain. Imitasi
merupakan salah satu dari sejumlah mekanisme perubahan dalam
organsiasi, khususnya untuk meniru perilaku organisasi lain (Dimaggio dan
Powell, 1983 dalam Suhirman, 2011). Penyebaran dari metodologi dan
prosedur dari suatu organisasi kepada organisasi lain dapat muncul, seperti
contohnya melalui pergerakan personel dan konsultan atau melalui kontak
antar orgnaisasi (Biggart 1977, as cited in Levit and March 1988, dalam
Suhirman, 2011). Mimikri kadang digunakan seagai strategi bertahan oleh
organisasi-organisasi untuk menghadapi keadaan yang tidak menentu,
dimana mereka melihat kepada aktivitas atau strategi dari organisasi serupa
lainnya yang mereka anggap lebih memungkinkan atau lebih sukses
(Dimaggio dan Powell 1983, dalam Suhirman, 2011).
Namun kesemua tradisi ini bermuara pada satu inti yaitu bagaimana
pengetahuan tersebut semestinya dikaitkan kepada tindakan. Pembelajaran
sosial ini lebih bersandar pada nilai-nilai epistomologi. Ia berawal dari kritik
terhadap hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagi tradisi ini, pengetahuan
bukan merupakan building block untuk rekonstruksi sosial sebagaimana diyakini
dua tradisi sebelumnya. Pengetahuan justru akan diperoleh lewat pengalaman
dan disempurnakan lewat praktik. Friedmann meminjam beberapa pemikiran Kurt
35
Lewin dengan retorikanya adalah belajar sambil bekerja (learning by doing).
Pendukung utama dari aliran ini adalah John Dewey, yang mengkonsepkan
bahwa kebijakan sosial merupakan eksperimen semi ilmiah dan demokrasi
merupakan bentuk politik ilmiah. Secara konservatif, gagasan Dewey ini
diadaptasi oleh para teoretisi pengembangan organisasi, yang
mengaplikasikannya dalam pengendalian korporasi. Secara revolusioner,
gagasan Dewey ini dikembangkan di China oleh Mao Tse Tung. Mao
menempatkan perspektif pembelajaran sosial sebagai perluasan dari tradisi
mobilisasi sosial. Ide utama tradisi pembelajaran sosial ini adalah ekstensifikasi
nilai-nilai kelas elit. Dalam instrumennya, ditekankan adanya proses dialogis,
relasi non hirarkis, komitmen untuk melakukan eksperimentasi sosial, toleransi
terhadap perbedaan, dan mengutamakan transaksi sosial.
Walaupun paparan Friedman tidak menyinggung maupun mengadopsi
pemikiran Habermas sama sekali, tapi gagasan tersebut berkaitan erat dengan
teori rasional komunikatif-nya Habermas, dimana teori tersebut yang menjadi
filosofi munculnya perencanaan-perencanaan di era postmodern seperti
perencanaan komunikatif, kolaboratif maupun partisipatif (Allmendinger, 2002;
Sager, 1994 dalam Suhirman, 2011). Dalam tradisi pembelajaran sosial, aktor
dan yang belajar diasumsikan menjadi satu dan sama. Tradisi pembelajaran
sosial adalah kelompok yang belajar dari praktik itu sendiri. Apakah itu
organisasi, komunitas atau gerakan masyarakat juga belajar akan tergantung
pada hakikat relasi intergrup dan struktur formal otoritas. Dalam pengembangan
organisasi pembelajaran sosial dianggap bahwa aktor relevan adalah top
manajemen yang menjembatani peluang anggota masyarakat untuk terlibat
dalam perencanaan. Dan ini kalau diperluas memunculkan konsep perencanaan
partisipatif, kolaboratif dan komunikatif, dimana tipe-tipe perencanaan tersebut
memberi peluang terbentuknya kapasitas komunitas.
2.7 Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari
kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
36
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. 3)
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia. 4)
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika
berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya:
Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu
citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. "Citra yang
memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
"individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang
dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-
anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan
dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang
paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan
hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang
koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya
meramalkan perilaku orang lain.
3) Budaya Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi
4) Budaya Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25
37
2.8 Kebudayaan Sunda
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi
sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu
dilestarikan. Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa
di Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa
sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia
relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis.5)
a Sistem Kepercayaan
Hampir semua orang Sunda beragama Islam. Hanya sebagian kecil yang
tidak beragama Islam, diantaranya orang-orang Baduy yang tinggal di Banten
Tetapi juga ada yang beragama Katolik, Kristen, Hindu, Budha. Praktek-praktek
sinkretisme dan mistik masih dilakukan. Pada dasarnya seluruh kehidupan orang
Sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta. Keseimbangan
magis dipertahankan dengan upacara-upacara adat, sedangkan keseimbangan
sosial dipertahankan dengan kegiatan saling memberi (gotong royong)
b Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan
ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang
bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan
agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi
kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu
sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan
c Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa
mempertimbangkan karakteristik dan potensi setempat.. Secara sosiologis-
antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakui
memiliki makna mendalam adalah cageur, bageur, bener, pinter, tur singer.
Dalam kaitan ini, filosofi tersebut harus dijadikan pedoman dalam
mengimplementasikan setiap rencana pembangunan, termasuk di bidang
pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan rohani. Bageur
berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Bener yaitu jujur, amanah,
penyayang dan takwa. Pinter, memiliki ilmu pengetahuan. Singer artinya kreatif
dan inovatif.
5) Kebudayaan Sunda. www.sundanet.com
38
d Tata Letak Lahan
Dalam kebudayaan sunda tradisional penentuan tata letak lahan memliki
aturan-aturan tersendiri. Aturan tata letak ini dianggap dapat membuat wilayah
atau permukiman yang berdiri diatasnya dapat mengalami kemakmuran kepada
penghuninya. Adapun beberapa aturan tata letak yang ada diantaranya :6)
1. Garuda Ngupluk Letak lahannya seperti burung Garuda mengepakan
sayap. Tata letak seperti mempunyai ciri berada ditanah yang subur, landai
ketimur laut dan berdekatan dengan sumber air.
2. Pantjoeran Emas Lahan yang miring ke selatan dan barat. Mendirikan
bangunan pada lokasi ini pemilik rumah akan kaya raya dan banyak istrinya.
3. Satria Lalakoe Lahan yang miring ke selatan dan timur. Penghuni lokasi ini
hidup prihatin, namun tidak kekurangan harta benda, serta penuh
kehormatan.
4. Kantjah Nangkoeb Lokasi di puncak perbukitan atau gundukan tanah dan
dikelilingi pegunungan. Penduduk atau penghuni di lokasi ini hidup sejahtera.
5. Gadjah Palisoengan Lahan datar di atas tanah miring ke arah timur dan
barat. Pemilik lokasi pada lahan ini akan mendatangkan kekayaan duniawiah
nan tumpah ruah
6. Boelan Poernama Desa atau perkampungan yang mengambil lokasi pada
lahan yang dialiri sungai dekat mata air ( di arah utara ), sedangkan arah
bangunan dan arah rumah lokasinya berderet di arah barat dan timur.
7. Galagah Katoenan Salah satu tipe lahan yang buruk lokasinya dan tidak
layak untuk tempat mendirikan rumah atau kampung, dimana pada lahan ini
terletak pada dataran rendah yang dikelilingi oleh lahan yang lebih tinggi.
Selain itu tata letak lahan, adapun beberapa aturan yang menyangkut
tentang kemiringan lahan yaitu :
1. Jika tanah miring ketimur biasa disebut dnegan ―Manikmulya‖, dimana
kondisi lahan yang demikian dianggap mempunyai kondisi lingkungan yang
sehat, banyak mendatangkan rezeki serta selalu aman tenteram.
2. jika tanah miring kearah selatan disebut dengan Sawahboja. Pada kondisi
tanah yang seperti ini dianggap selalu mengalami bencana alam yang akan
menimpa wilayah diatasnya.
6) Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga Di Bandung Raya. 1984. PT Granesia Bandung. Hal
397-399
39
e Pola Permukiman Masyarakat Sunda
Permukiman masyarakat sunda tradisional pada umumnya ditata secara
teratur. Lokasi permukiman terletak pada sebidang tanah dengan pusatnya yaitu
alun-alun yang berbentuk lapangan terbuka dengan dikelilingi sejumlah
bangunan. Tata ruang dalam suatu permukiman masyarakat sunda mempunyai
suatu pola nyata yang terlihat dari adanya daerah bukaan, orientasi dan
penataan bangunan serta jalan transportasi masuk dan keluar. Di Jawa Barat
paling tidak terdapat dua pola perkampungan yakni tersebar dan terkonsentrasi
(memusat). Baik rumah, permukiman dan lingkungan masyarakat sunda
mempunyai keunikan tersendiri.
Unsur-unsur terpenting dalam suatu perkampungan sunda adalah :7)
1. Rumah adat (bumi ageung) yang kemudian bergeser fungsi menjadi langgar
atau mesjid, namun tetap merupakan pusat kegiatan masyarakatnya;
2. Rumah keluarga batih, yaitu kediaman sepasang suami isteri dengan anak-
anak lelaki yang belum aqil-balik dan anak perempuan yang belum kawin,
ditambah beberapa kerabat-darah terdekat; dan
3. Bangunan penyimpanan dan pengolahan padi, yaitu leuit dan saung lisung
kolektif.
f Rumah Masyarakat Sunda
Rumah tradisional sunda pada dasarnya terbuat dari bahan yang tersedia
di alam seperti kayu, bambu, daun rumbia, ijuk, rotan dan batu. Bentuk rumah
tradisional sunda pada umumnya berbentuk rumah panggung, sehingga setiap
rumah mempunyai kolong yaitu ruangan antara lantau rumah dengan tanah.
Bentuk bangunan arsitektur Sunda ini masih dapat dilihat pada kmpung-
kampung adat seperti Baduy dan Naga. Dimana ciri yang paling menonjol adalah
dalam bentuk atapanya yang dikenal dengan Suhunan Julang Nagapak.8)
7) Sasakala.Klasifikasi Lahan Pada Masyarakat Sunda Kuno. 1989.www.sundanet.com
8) Undang, Gunaman Drs dan Tjetjep. Drs.Mengenal Arsitektur Tradisional Sunda. CV Duta
Pacifia. Bandung. Hal 19-59
40
Gambar 2.6 Bentuk Bangunan Tradisional Sunda Sumber : www.google.com
Secara garis besar bagian-bagian penunjang dari rumah tradisional
sunda terdiri dari :
1. Tatapakan
Tatapakan adalah penahan dasar tiang rumah yang dibuat dari batu
cadas atau batu hitam. Bentuk tatapakan ini menyerupai balok panjang.
Tatapakan rumah tradisional sunda seringkali tidak sama. Hal ini terkait dengan
adanya penyesuaian tinggi tatapakan dengan keadaan tanah tersebut.
Selain itu juga penyesuaian tinggi tatapakan ini dikarenakan adanya
suatu pantangan dalam meratakan tanah karena akan merusak alam lingkungan.
Tujuan dari adanya tatapakan ini adalah untuk menghindari jangkauan binatang
liar.
41
Gambar 2.7 Tatapakan Yang Digunakan Sebagai Pondasi Sumber : www.google.com
2. Kolong
Kolong adalah ruangan yang terdapat dibawah palupuh (lantai) rumah.
Tinggi kolong tergantung dari tingginya tatapakan rumah. Dilingkungan pedesaan
banyak digunakan untuk kandang binatang piaraan seperti domba, kelinci, ayam
dan bebek. Selain itu juga untuk penyimpanan alat-alat pertanian, seperti waluku
(bajak), pacul (cangkul), linggis dan garpu serta tempat penyimpanan suluh (kayu
bakar).
3. Golodog
Golodog adalah tangga rumah yang terdiri atas beberapa anak tangga.
Banyaknya anak tangga ini tergantung dari ketinggian tatapakannya. Golodog
terbuat dari bambu atau kayu. Golodog ini berfungsi sebgai penghubung atau
tangga antara tanah dan lantai rumah. Letak golodog didepan pintu rumah yang
berfungsi sebagai tangga masuk dan untuk membersihkan kaki yang akan
masuk kedalam rumah.
Gambar 2.8 Golodog Sebagai Tangga Masuk Rumah Sumber : www.google.com
42
4. Tiang
Tiang dalam bahasa sunda biasa disebut
dengan tihang. Tiang adalah penyangga atap
bangunan yang berdiri tegak lurus diatas tatapakan.
Tiang ini biasanya terbuat dari katu yang berbentuk
balok. Tiang ini juga berfungsi sebagai tahanan
utama untuk menempelkan bilik.
5. Dinding Bilik
Dinding rumah tradisional sunda
biasanya terbuat dari bilik. Bilik ini terbuat dari anyaman bambu. Bilik dipasang
mengelilingi seluruh bangunan yang ditempelkan pada bagian luar tiang. Bilik ini
juga berfungsi sebagai pemisah ruangan-ruangan didalam rumah.
Gambar 2.10 Bilik Sebagai Ciri Khas Bangunan Tradisional Sumber : www.google.com
6. Pintu
Pintu dalam bahasa sunda biasa disebut
dengan panto. Panto biasanya terbuat dari
bambu atau kayu. Ambang pintu disebut
dengan bangbarung. Dan rangka panto biasa
disebut dengan jejeneng panto. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.11
Pintu Tradisional Masyarakat Sunda.
Gambar 2.11Pintu Tradisional Masyarakat Sunda Sumber : www.google.com
Gambar 2.9 Tihang Yang Berfungsi Sebagai
Penunjang Bangunan Sumber : www.google.com
43
7. Jendela
Jendela yang sering terlihat pada arsitektur rumah tradisional sunda adalah
jendela Jalosi. Dimana jendela jalosi ini berfungsi
sebagi pengatur pertukaran udara. Jendela jalosi
ini terbuat dari serpihan bambu atau kayu yang
dipasang tegak lurus diantara tepi bawah dan tepi
atas pintu. Bambu atau kayu kecil penghalang
jendela disebut ruji. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 2.12 Jendela Jalosi.
Gambar 2.12 Jendela Jalosi
Sumber : www.google.com
44
BAB 3
METODOLOGI
Pada dasarnya penelitian ini merupakan sebuah studi eksplorasi atas
fenomena proses pembelajaran sosial dalam mempertahankan adat istiadatnya
beserta ketahanan pangannya serta pengaruhnya terhadap kawasan.
Penjelajahan untuk menemukan jawaban pertanyaan penelitian akan dilakukan
melalui penafsiran pemaknaan dari para pemangku kepentingan (stakeholders)
terhadap tindakan partisipatif kolektif yang telah dilakukannya. Oleh karena
fenomena yang akan diamati terkait proses pembelajaran sosial pada
masyarakat adat melalui ketahanan pangannya, maka metode yang digunakan
adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menghasilkan uraian yang
mendalam terhadap ucapan, tulisan, dan perilaku yang diamati dari individu dan
kelompok masyarakat di wilayah studi terkait pembelajaran sosial yang telah
terjadi dikomunitas. Penelitian yang bersifat kualitatif, pada hakekatnya
mengamati manusia dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka,
berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya
(Nasution, 2003). Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk
membangun pernyataan pengetahuan dan makna-makna yang bersumber dari
pengalaman aktor kunci sebagai responden mengenai pembelajaran sosial yang
telah terjadi di komunitas, serta nilai-nilai sosial dan sejarah di wilayah studi,
dengan tujuan untuk membangun pola pengetahuan terkait latar belakang
terjadinya pembelajaran sosial di komunitas.
Pendekatan metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi
kasus. Metode studi kasus merupakan strategi yang cocok menjawab pokok
pertanyaan suatu penelitian yang berkenaan dengan how atau why, bila peneliti
memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan
diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer
di dalam konteks kehidupan nyata (K. Yin, 2002). Pertanyaan penelitian yang
diajukan dalam studi ini berkenaan dengan 3 pertanyaan, yaitu :
1. Bagaimana (how) proses pembelajaran sosial terjadi, dan peneliti tidak
memiliki kontrol terhadap peristiwa pembelajaran sosial yang telah terjadi
sebagai objek penelitian, oleh sebab itu pendekatan studi kasus dirasa tepat
untuk digunakan dalam penelitian ini.
45
2. Mengapa (why) mereka mempertahankan adat kebudayaanya dan dapat
hidup berkelanjutan dengan mempertahankan sosialnya. Peneliti disini lebih
mengeksplor lebih dalam mengenai hal ini. Biasanya dapat terjawab karena
ketuanya yang berwibawa / takut akan ancaman-ancaman, maupun pamali
(pantangan) lainnya.
3. Apa (what) terkait terhadap pembangunannya. Peneliti disini mencari tahu
seperti apakah keberlanjutan yang mereka maksud itu, kemudian melakukan
perbandingan antara tata cara permukiman yang ada (sesuai peraturan yang
berlaku) dengan tata cara permukiman kampung adat Cireundeu.
Tipe studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian deskriptif membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki (Nazir, 1998). Untuk mengambil kesimpulan dalam penelitian ini, diawali
dari teori mengenai pembelajaran sosial dan pemikiran untuk menguji pertanyaan
penelitian untuk kemudian menguatkan atau membatalkan teori (deduktif).
Penelitian ini memfokuskan teridentifikasinya proses pembelajaran sosial yang
telah terjadi berdasarkan kerangka konsep tahapan , siklus dan tipologi
pembelajaran sosial yang didapatkan dari teori sebelumnya.
Posisi peneliti dalam penelitian ini berada diluar objek penelitian. Peneliti
melihat, mengobservasi, memantau objek penelitian sebagai fenomena untuk
mengetahui pembelajaran sosial yang telah terjadi, namun tidak terlibat secara
langsung selama proses pembelajaran sosial yang telah terjadi. Peneliti
berusaha menggambarkan secara detail dan terperinci terhadap bukti-bukti
fenomena yang telah dikumpulkan, dalam berbagai bentuknya, seperti peristiwa,
konsep, program dan proses terkait pembelajaran sosial berdasarkan berbagai
sumber baik itu berupa wawancara responden maupun observasi di wilayah
studi.
1.4.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data lebih banyak dilakukan
secara primer dan kualitatif (persepsi siklus perilaku) atau sering disebut dengan
naturalistic inquiry (inkuiri alamiah). Dimana, pengumpulan data dilakukan
melalui metode sebagai berikut :
46
1. Teknik Sampling
Teknik Sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Teknik
sampling dikelompokkan menjadi dua yaitu Probability Sampling dan Non-
Probability Sampling. Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel
yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi
untuk dipilih menjadi anggota sampel sedangkan Non-Probability Sampling
adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan
sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel
(Prof. Dr. Sugiyono,2011).
Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data dalam bentuk
penyebaran kuesioner menggunakan Probability Sampling secara Simple
Random Sampling. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan
anggota sampel di kampung adat Cireundeu dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 3.1 Teknik Simple Random Sampling.
Gambar 3.1 Teknik Simple Random Sampling
Sumber : Prof. Dr. Sugiyono, 2011
Untuk wawancara, penulis menggunakan metode Non-Probability
Sampling melalui pendekatan Snowball Sampling. Snowball Sampling
merupakan teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil,
kemudian membesar. Ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama
menjadi besar. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau
dua orangm tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa lengkap
terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang
dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua
orang sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin
banyak (Prof. Dr. Sugiyono, 2011). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 3.2 Snowball Sampling.
Populasi homogen/
relatif homogen
Sampel yang representatif
Diambil secara random
47
Gambar 3.2 Snowball Sampling
Sumber : Prof. Dr. Sugiyono,2011
2. Wawancara Mendalam (In-depth Interviewing)
Wawancara ini dilakukan terhadap para representative pemangku
kepentingan (stakeholders) yang memegang posisi-posisi kunci (aktor kunci)
dalam pembelajaran sosial masyarakat adat Cireundeu sehingga mereka
memiliki keunikan tersendiri dalam mempertahankan adatnya. Wawancara
ini dirancang dalam suatu dialog yang bersifat ‗inter-subyektif‘ dengan
panduan pertanyaan terbuka sehingga dapat memberikan kesempatan
terjadi penjelasan-penjelasan / pemahaman yang bersifat
‗membuka/unfolding’ untuk dapat mengungkapkan makna dari fenomena
pembelajaran sosial serta tindakan penanaman tanaman singkong dan
menjadikan singkong sebagai makanan pokoknya tanpa dibatasi peneliti.
Dalam melakukan dialog ini, peneliti yang merupakan sebuah instrumen
utama dalam pengumpulan data, menerapkan model sistem dari proses
mendengarnya Imhof dan Janusik (2006), agar supaya para responden
dapat mengemukakan pikiran, perasaannya secara terbuka dan percakapan
antara peneliti dan responden dapat terjadi secara alamiah dan dialog dapat
terbangun secara lancar.
3. Penyelidikkan sejarah hidup (Life Historical Investigation)
4. Analisis Konten (Content Analysis).
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan survey ke RW. 10
Kelurahan Leuwigajah Kampung Cireundeu Kecamatan Cimahi Selatan Kota
Cimahi untuk mendapatkan data kependudukan RW.10 Kelurahan Leuwigajah
Kecamatan Cimahi Selatan serta untuk mendapatkan dokumen yang dapat
memberikan informasi mengenai pelaksanaan kegiatan pembelajaran sosial
A
F D E I G H
L J K O M N
B C
Sampel pertama
Pilihan A
Pilihan C Pilihan B
Pilihan E Pilihan H
48
yang telah terjadi di Kampung Adat Cireundeu. Sedangkan pengumpulan data
primer dilakukan melalui In-depth interviewing (teknik wawancara mendalam)
atau semi terstruktur yang akan dilakukan selama 5 (lima) hari kepada aktor -
aktor kunci yang terlibat dalam pembelajaran sosial agar memperoleh informasi
yang diinginkan serta melakukan observasi di wilayah studi untuk mengetahui
keadaan lingkungan komunitas setelah terjadi tindakan kolektif warga.
Penelusuran terhadap informasi di dapatkan dari jurnal, buku, internet,
dan berbagai hasil studi yang terkait dengan topik penelitian ini. Penelusuran
informasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi yang dapat mendukung hasil
wawancara dan sebagai tinjauan literatur yang digunakan untuk konsep yang
mendasari penelitian ini. Adapun informasi dan data yang ditelusuri terbagi ke
dalam dua bagian, antara lain :
1.4.3.1 Data Primer (Utama)
Data primer yang dibutuhkan dalam Tugas Akhir ini adalah :
Pola pembelajaran sosial
Tahapan pembelajaran sosial
Aktor yang terlibat
Pembelajaran sosial dalam mempertahankan kehidupan yang
berkelanjutan
Adapun sumber data primer ini diperoleh dari :
Tokoh masyarakat
Masyarakat lokal
Penduduk berdasarkan strata
Penduduk berdasarkan jenis kelamin dan jenis pekerjaan
Wawancara terhadap Dinas Kebudayaan dan Pariwisata ( apakah
masyarakat kampung adat Cireundeu mendapatkan perhatian khusus
atau bagaimana rencana pengembangan yang akan dilakukan untuk
masyarakat adat ini) serta survey primer ke kantor Kecamatan
Leuwigajah.
1.4.3.2 Data Sekunder (Pendukung)
Data Sekunder (Pendukung) merupakan data yang dibutuhkan untuk
penunjang ketelitian penelitian dalam Tugas Akhir. Adapun data-data sekunder
yang dibutuhkan adalah :
49
Fasilitas pembelajaran
Event-event adat
Variasi serta proses kegiatan memakan singkong dan daya guna tanaman
Wahana pembelajaran
Kesenian sebagai tuntunan
Sektor pembelajaran
Sistem penerimaan informasi
Level pembelajaran
Sistem penerimaan informasi
Data jumlah penduduk berdasarkan :
a. Mata pencaharian
b. pendidikan
Adapun sumber data sekunder ini diperoleh dari :
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kantor Kecamatan Leuwigajah
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Selanjutnya wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi
mengenai pembelajaran sosial yang terjadi di RW. 10 Kelurahan Leuwigajah
Kampung Cireundeu Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Teknik
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara in-depth atau
semi terstruktur kepada aktor-aktor kunci yang terlibat dalam pembelajaran sosial
agar memperoleh informasi yang diinginkan. Wawancara semi terstruktur
maksudnya peneliti mengajukan pertanyaan dengan leluasa tanpa ada susunan
pertanyaan yang runut dan mengikat namun tetap menggunakan panduan
masalah yang akan ditanyakan pada informan. Teknik ini diharapkan dapat
menjadikan wawancara yang terjadi lebih terbuka, dan informasi yang
didapatkan lebih daripada yang diinginkan namun tidak keluar dari kerangka
informasi yang perlu diketahui.
Dalam mencari informasi, peneliti melakukan dua jenis wawancara, yaitu :
a. Autoanamnesa (wawancara yang dilakukand dengan subjek atau
responden)
b. Aloanamnesa (wawancara dengan keluarga responden)
Responden yang diwawancarai ditentukan dari pengidentifikasian aktor
kunci yang terlibat dalam proses pembelajaran sosial dari :
50
a. Hasil survey pendahuluan yang dilakukan, yaitu dengan mewawancarai
Bapak Emen sebagai sesepuh dari kelompok adat tersebut
b. Pendekatan ―Bola Salju‖ (snowball approach). Penentuan sampel yang
mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Ibarat bola salju yang
menggelinding yang lama-lama menjadi besar. Dalam penentuan sampel,
pertama-tama dipilih satu atau dua orangm tetapi karena dengan dua orang
ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti
mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data
yang diberikan oleh dua orang sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga
jumlah sampel semakin banyak (Prof. Dr. Sugiyono, 2011)
Responden yang diwawancarai terdiri dari 3 kategori, yaitu :
1. Fasilitator, memiliki kriteria sebagai berikut :
Fasilitator merupakan pihak yang memfasilitasi terjadinya pembelajaran
sosial di kampung adat Cireundeu.
Terlibat langsung dalam pembelajaran di kampung adat Cireundeu
Mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran sosial yang
mengarahkan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan perubahan di
kampung adat Cireundeu.
2. Kelompok pemuda (kelompok inisiatif), memiliki kriteria sebagai berikut :
Terlibat langsung dalam pembelajaran sosial di kampung adat Cireundeu
Bagian dari kepengurusan kelompok inisiatif
Mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran sosial yang
mengarahkan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan perubahan di
kampung adat Cireundeu.
3. Warga, memiliki kriteria sebagai berikut :
Terlibat langsung dalam pembelajaran di komunitas kampung adat
Cireundeu
Terlibat langsung dalam tindakan kolektif untuk mewujudkan perubahan di
kampung adat Cireundeu.
Mengetahui gambaran pelaksanaan pembelajaran sosial yang
mengarhakan tindakan kolektif warga dalam mewujudkan perubahan di
kampung adat Cireundeu.
Berikut ini merupakan tabel kebutuhan data yang disesuaikan dengan
sasaran yang ingin dicapai.
51
Tabel 3.1
Kebutuhan Data
Sasaran Sumber Cara Memperoleh Analisis
Menemukan dan mengenali tahapan pelaksanaan kegiatan pembelajaran sosial yang terjadi di kampung adat Cireundeu.
Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif
Menemukan dan mengenali siklus pembelajaran sosial yang terjadi
Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif
Menemukan dan mengenali tipologi tahapan pembelajaran sosial
Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif
Menemukan dan mengenali outcome proses pembelajaran sosial seperti yang dikemukakan pada point satu, dua dan tiga yang mendukung terwujudnya perubahan dari segi lingkungan di kampung adat Cireundeu.
Aktor Kunci Wawancara Deskriptif Kualitatif
Sumber : Hasil Analisis, 2012
Gambar 3.3 Alur Proses Pengumpulan Data dan Informasi
Sumber : Hasil Analisis, 2012
Data & Informasi
Mendapatkan referensi komunitas yang proses
pembelajaran sosial yang melibatkan
perubahan sosial di dalamnya.
Mengklarifikasi informasi yang diperoleh dan
mengidentifikasi aktor
Mengetahui proses pembelajaran sosial dalam kampung adat Cireundeu
Mengetahui outcome pembelajaran sosial
yang mendukung terwujudnya keunikkan
kampung adat Cireundeu
Sumber
Internet, Televisi, koran, dan buku
Wawancara Sesepuh (Bapak Emen) Survey lapangan pendahuluan
Wawancara aktor-aktor Penelusuran dokumen
Wawancara warga Survey lapangan
Metode
Diskusi informal Observasi
Wawancara semi terstruktur
Wawancara semi terstruktur / wawancara in-depth Observasi
Penentuan sampel
52
Tabel 3.2
Matriks Variabel Penelitian
No. Identifikasi Masalah
Variabel Penelitian Point Pertanyaan
1 Why
1. Tindakan
1. Apa saja tindakan-tindakan yang dilakukan sehingga mereka dapat mempertahankan adat istiadatnya untuk mewujudkan komunitas yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
2. Pengalaman mereka 2. Pengalaman seperti apa yang di alami selama ini, sehingga mereka bisa teguh pendirian terhadap ideologi mereka.
3. Difusi pengetahuan, pengalaman, inovasi-inovasi pengetahuan yang tertuang dalam tindakan
2. How
1. Kelompok
a. Kelompok besar : masyarakat Cireundeu dan sekitarnya
b. Kelompok Kecil : Ibu PKK Yang selalu memproduksi singkong Karang Taruna
2. Jaringan kerja organisasi 1. Apakah ada jaringan kerja organisasi yang dilakukan di masyarakat Kampung Adat Cireundeu ini?
3. Komunitas
What Perbandingan Keberlanjutan antara tata cara permukiman yang ada dengan tata cara permukiman yang mereka lakukan
1.4.4 Metode Analisis
Strategi yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah strategi
umum (general strategy), yaitu strategi yang dilandaskan pada proposisi teoritis
yang membantu memfokuskan perhatian data tertentu dan mengabaikan data
lainnya (Yin, 1989) untuk memudahkan interpretasi data. Dalam penelitian ini
terdapat asumsi teoritis yang digunakan sebagai landasan pengolahan data
kualitatif yang terdiri dari :
1. Perubahan sosial yang timbul dari pembelajaran sosial merupakan kunci
keberhasilan dari sebuah pemberdayaan komunitas (Korten, 1987 dalam
Suhirman, 2011)
2. Pembelajaran sosial dan praktek sosial (dalam konteks ini termasuk tindakan
kolektif warga) merupakan proses yang saling berimplikasi satu sama lain
(Friedman, 1987)
53
3. Pembelajaran sosial membentuk suatu siklus dan dan terdiri dari berbagai
tipe dan level (Ebrahim dan Ortolano, 2001 dalam Suhirman, 2011).
Dari asumsi teortis terebut kemudian ditentukan fokus penelitian, yaitu
tahapan pembelajaran sosial yang terjadi di kampung adat Cireundeu. Setelah
fokus penelitian ditentukan, tahapan analisis selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran
menyeluruh mengenai proses pembelajaran sosial yang telah dikumpulkan.
Peneliti membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir
mengenai data yang dianggap penting, kemudian melakukan pengkodean
data. Pengkodean dilakukan berdasarkan tindakan, persepsi, latar belakang,
dan hubungan aktor yang kemudian dikaitkan dengan fokus penelitian dan.
Pernyataan yang tidak relevan dengan fokus penelitian dan pertanyaan
maupun pernyataan yang bersifat tumpang tindih peneliti hilangkan,
sehingga yang tersisa hanya unsur pembentuk atau penyusun dari objek
penelitian.
2. Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis
gambaran tentang bagaimana pembelajaran sosial tersebut terjadi.
Selanjutnya, peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari
proses pembelajaran tersebut sehingga menemukan esensi dari
pembelajaran sosial tersebut terkait dengan fokus penelitian.
3. Peneliti memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari
pembelajaran sosial yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman
responden mengenai pembelajaran sosial tersebut.
4. Peneliti kemudian menginterpretasikan narasi yang telah dibuat untuk
menarik kesimpulan.
54
BAB 4
PEMBAHASAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL
DAN PENATAAN RUANG
KAMPUNG ADAT CIREUNDEU
Seperti halnya dengan kampung pada umumnya, Kampung Adat
Cireundeu memiliki kehidupan yang hampir sama dengan masyarakat perdesaan
Indonesia pada umumnya, dan masyarakat sunda di Jawa Barat pada
khususnya. Namun beberapa pola kehidupan mereka yang telah
mempertahankan suatu tata nilai dari leluhur yang berbeda dengan masyarakat
lainnya di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
mempunyai kehidupan dari kegiatan pertanian tanaman singkong, berkebun dan
kegiatan pedesaan lainnya. Namun, masyarakat Kampung Adat Cireundeu
berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya yang ada di Kota Cimahi,
karena memiliki keunikan diantaranya adalah makanan pokok utamanya berupa
singkong (serba singkong), aturan adatnya ketat dan dijalankan secara turun
menurun selama ratusan tahun, dan masyarakatnya menganut keyakinan sunda
wiwitan. Berikut akan dijelaskan mengenai gambaran umum Kampung Adat
Cireundeu, kearifan budaya lokal terkait dengan penataan ruangnya.
4.1. Wujud Fisik dan Aspek Kependudukan
Secara fisik, Kampung Cireundeu tak beda dengan kampung
kebanyakan, terutama bentuk fisik bangunan rumahnya. ―Wilujeung Sumping di
Kampung Cireundeu.― Tulisan Hanacaraka bertulis latin dalam bahasa Jawa
Sunda kuno. Plang itu terpampang di mulut jalan masuk kampung Cireundeu. Ia
bagai isyarat bagi para pendatang telah berada di wilayah Kampung Cireundeu.
Bagi warga Cireundeu, plank selamat datang ini bermaksud memberi sinyal bila
kampungnya mewarisi adat istiadat tinggalan karuhun (leluhur) dan hingga kini
masih melestarikannya.
Cireundeu adalah sebuah kampung yang terletak di lembah Gunung
Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu dengan luas wilayah
kelurahan sebesar 158,473 Ha. Berdasarkan data monografi Kampung Adat
Cireundeu, 2013, Secara administratif Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi
Selatan, Kota Cimahi adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kampung Kihapit
55
Sebelah Timur : berbatasan dengan Cibogo
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat
Jarak Pusat Pemerintahan Kelurahan dengan Kecamatan berjarak 5 Km,
dengan Pusat Kota berjarak 13 Km dan dengan Propinsi berjarak 21 Km. Secara
topografi kampung adat Cireundeu berada pada ketinggian sekitar 780 mdpl
dengan banyaknya curah hujan 1800 mm/tahun.
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu
Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2012-2013
Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (jiwa)
Tahun 2012 Tahun 2013 *)
Laki-Laki 545 545
Perempuan 454 531
Anak-Anak 133 -
Penduduk Miskin 310 -
Jumlah 1.034 1.076 Sumber :
Profil Kepariwisataan Desa, 2012
*) Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013
Berdasarkan Data Monografi Kampung Adat Cireundeu Tahun 2013,
Jumlah kepala keluarga di Cireundeu 334 KK dengan 50 KK masyarakat yang
termasuk masyarakat adat. Sebagian besar agama yang dianut adalah agama
Islam sedangkan sisanya (masyarakat adat) memeluk agama kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Sunda Wiwitan) sebanyak 191 Jiwa.
Gambar 4.1 Landmark Kampung
Adat Cireundeu
Sumber : Hasil Observasi Primer 2012
Gambar 4.2 Kondisi Kampung Adat Cireundeu Tampak Depan
Sumber : Hasil Observasi Primer 2012
56
Gambar 4.3 Gerbang menuju Bale
Saresehan
Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012
Berdasarkan profil RW. 10 Kampung Adat Cireundeu Tahun 2012, di
dapat bahwa sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani,
yaitu 42% dari total masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang bekerja.
Sedangkan selebihnya adalah buruh pabrik, pengrajin industri rumah tangga
(home industry), wiraswasta, peternak, dan karyawan swasta. Hal yang menarik
adalah sebagian besar petani singkong di Kampung Adat Cireundeu adalah
masyarakat adat. Kondisi ini berhubungan erat dengan kebiasaan makan
masyarakat adat yaitu mengkonsumsi rasi (beras singkong) setiap harinya,
sehingga memerlukan ketersediaan singkong yang mencukupi untuk kebutuhan
sehari-hari.
Jika dilihat jenis mata pencaharian penduduk kampung adat Cireundeu,
maka terlihat adanya perpindahan pekerja masyarakat dari mulanya masyarakat
agraris ke masyarakat non-agraris. Hal ini dikarenakan letak kampung adat
Cireundeu yang terletak di pinggiran kota, yang terdapat banyak peluang untuk
bekerja pada sektor-sektor lain di luar pertanian, contohnya adalah bekerja
sebagai buruh pabrik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.2 Distribusi
Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian.
Tabel 4.2
Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu
Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2013
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
1. Wiraswasta 78 10,6
57
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
2. Karyawan Swasta 190 25,8
3. PNS 4 0,5
4. Pensiunan 4 0,5
5. Pedagang / Perdagangan 17 2,3
6. Buruh Harian Lepas 83 11,3
7. Kelompok Profesi 38 5,2
8. Bidang Kesehatan 2 0,3
9. Pertanian 176 23,9
10. Lain-lain 68 9,2
11 Tidak bekerja 76 10,3
Jumlah 736 100
Sumber : Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013
Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RW.10 Kelurahan
Leuwigajah, masyarakat di RW.10 ini mayoritas beragama Islam, dan minoritas
menganut kepercayaan (RT.02 dan RT.03). Untuk mengenai agama , sebagian
besar masyarakat disini tidak terbuka secara detail.
Berdasarkan hasil pengamatan/ observasi di lapangan selama ini antara
data dengan real di lapangan penduduk masyarakat kampung adat Cireundeu
mayoritas hanya menyelesaikan pendidikannya hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA) hal ini dapat diartikan bahwa sumber daya manusia (SDM) yang ada di
masyarakat kampung adat Cireundeu ini masih standar minimal. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3 Distribusi Penduduk RW.10 Kampung
Adat Cireundeu Berdasarkan Pendidikan Tahun 2013.
Tabel 4.3
Distribusi Penduduk RW.10 Kampung Adat Cireundeu
Berdasarkan Pendidikan Tahun 2013
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
1. Belum sekolah 61 12,42
2. Tidak Tamat Sekolah Dasar 32 6,52
3. Tamat SD/Sederajat 71 14,46
4. Tamat SMP/Sederajat 141 28,72
5. Tamat SMA/Sederajat 165 33,60
6. Tamat D1 12 2,44
7. Tamat D2/D3 3 0,61
8. Tamat D4/S1 2 0,41
58
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
9. Buta Huruf 4 12,42
Jumlah 491 100
Sumber : Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013
4.2 Sejarah Kampung Adat Cireundeu
Secara fisik, Cireundeu memanglah kampung biasa. Namun karena
ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara
de fakta sebagai kampung adat. Sebagian besar warga Cireundeu masih
memegang teguh ajaran Agama Jawa Sunda yang dibawa Pangeran Madrais
dari Cigugur, Kuningan.
Abah Emen Sunarya (72), sesepuh Kampung Adat Cireundeu
mengatakan, secara fisik, kampungnya tidak berbeda dengan kampung
kebanyakan. Terutama bentuk bangunan rumah-rumah penduduknya. Antara
lain menggunakan atap dari genting, dinding memakai tembok, jendela dari kaca
dan nyaris hampir seluruh rumah mengenyam teknologi televisi, radio, termasuk
hand phone. ―Jangan dilihat dari sisi fisik. Tapi lihatlah pribadi warga di sini.
Semua masih menerapkan aturan adat dan menjalankan ajaran Pangeran
Madrais,‖ tuturnya.
Warga Cireundeu mulai mengenal Pangeran Madrais (Cigugur) sejak
tahun 1918. Hingga kini, kata Abah Emen, falsafah hidup masyarakat Cireundeu
belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu. Mereka masih memegang
ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini, seperti kita harus
membudayakan segala sesuatu yang telah menjadi tradisi secara karuhun.
Menurut Abah Emen, ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala,
merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian
warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu
harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik
dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu,
dan langit. ―Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang
dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk
hidup lain rasakan,‖ katanya.
59
A. Ajaran Madrais
Seperti apa ajaran Madrais yang masih dituruti sebagian warga
Cireundeu. Seorang Antropolog Belanda, menyebut ajaran Madrais dengan
sebutan Agama Djawa Sunda (ADS). Yakni kepercayaan sejumlah masyarakat
yang tersebar di daerah Cigugur, Kabupaten Kuningan. Termasuk juga di
Cireundeu. Agama ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek
moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.
Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa
agama ini adalah bagian dari agama Buhun. Yaitu kepercayaan tradisional
masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di
Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, di
daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dan daerah lainnya.
Agama Djawa Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh
Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Dahulu, oleh pemerintah Belanda,
Madrais pernah ditangkap dan dibuang ke Ternate. Ia baru kembali sekitar tahun
1920 untuk melanjutkan ajarannya. Menurut Abah Emen, muawal ajaran Madrais
dikembangkan di Cireundeu ini setelah pertemuan kakeknya, H Ali dengan
Pangeran Madrais tahun 1930-an. Dan pada tahun 1938, Pangeran Madrais
berkunjung ke Cireundeu dan sempat lama menetap di sana.
Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah keturunan
dari Kasultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika
pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke
daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa
Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis.
Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam. Namun ia
kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam
masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara
dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.
4.3 Eksistensi Desa Adat/Budaya Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Dalam kehidupan bermasyarakat baik ditinjau dari pemerintahan maupun
dari sudut pandang masyarakat, di Cireundeu dikenal istilah desa adat /
kampung adat. Desa adat adalah desa yang dilihat dari fungsinya dibidang desa
adat (desa yang hidup secara tradisional sebagai perwujudan dari lembaga
adat).
60
Setelah adanya kemerdekaan di Indonesia dan diberlakukannya Undang-
undang No. 5 Tahun 1979, adanya penyeragaman desa-desa seluruh Indonesia,
dimana Cireundeu tetap mempertahankan desa adat dalam struktur
pemerintahannya, karena kedudukannya memiliki sistem yang berbeda.
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu terkenal dengan keteguhannya
dalam memegang adat istiadat dan memakan singkong sebagai makanan
pokoknya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Adat Cireundeu, dengan
menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti kita menghormati para
leluhur atau sering disebut dengan istilah AKUR (Adat Karuhun Urang). Segala
sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun kampung cireundeu dan
sesuatu yang tidak dilakukan oleh karuhun mereka dianggap sebagai sesuatu
hal yang tabu. Jika mereka melakukan hal-hal yang tabu, berarti mereka
melanggar adat, tidak menghormati karuhun yang akan menimbulkan suatu
malapetaka.
A. Aturan Agama
Masyarakat kampung adat cireundeu merupakan masyarakat yang tidak
memeluk agama yang disahkan di Indonesia. Mereka memeluk agama sunda
wiwitan dan pada kartu tanda penduduk (KTP) mereka pun tertera sebagai
agama ―Penghayat/Kepercayaan‖ sehingga jika dilihat dari segi ketenagakerjaan,
mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan hanya karena masalah
agama yang tertera pada KTP mereka merupakan bukan agama yang di
legalisasikan oleh Pemerintah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar
4.4 Sample Kartu Tanda Penduduk Masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang
Menganut Agama Sunda Wiwitan.
Setiap detik mereka harus mengingat sang pencipta. Berdasarkan hasil
pengamatan, masyarakat adat disini tidak adanya perintah fisik seperti Shalat
pada Muslim tetapi mereka selalu melakukan do‘a bersama-sama secara
(ririungan) di Balesarasehan.
61
Gambar 4.4 Sample Kartu Tanda Penduduk Masyarakat Kampung Adat
Cireundeu yang Menganut Agama Sunda Wiwitan
Satu hal yang paling mencolok dari kegiatan adat masyarakat Cireundeu
adalah rutinitas menggelar hajat peringatan tahun baru Saka 1 Sura. Gelar adat
inilah yang makin mengokohkan Cireundeu sebagai salah satu kampung adat di
Jawa Barat. Ini sederajat dengan kampung adat lain seperti Kasepuhan Cipta
Gelar (Banten Kidul, Sukabumi), Kampung Naga (Tasikmalaya), Kampung
Dukuh (Garut), Kampung Urug (Bogor), dan lainnya.
Tahun baru Saka 1 Sura yang diperingati warga Cireundeu, bertepatan
dengan tahun baru Islam 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam
dinamakan 1 Sura. Atau bahasa lisannya 1 Suro. Jika Islam menggunakan
Hijriyah, maka tradisi Jawa menggunakan Saka sebagai tahun. Persamaan
antara tahun Hijriyah dan Saka adalah sama-sama penanggalan lunar atau
memakai patokan peredaran bulan. Selain itu, patokan lainnya adalah 1
Muharam dalam Hijriyah. Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan
Agung Hanyokrokusumo dari Mataram, menggantikan Saka Hindu.
62
Bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu, perayaan 1 sura layaknya
lebaran bagi kaum muslimin. Sebelum tahun 2000, saat perayaan mereka selalu
mengenakan pakaian baru, namun setelah adat dilembagakan, bagi laki-laki
mengenakan pakaian komprang warna hitam, dan ikat kepala dari kain batik,
sedangkan untuk perempuan mengenakan kebaya berwarna putih (toro). Dalam
upacara ini mereka berdoa bersama di suatu bale yang disebut dengan ―bale
saresehan‖ dan mereka mengundang beberapa perwakilan dari kampung adat
lainnya, setelah berdoa bersama mereka menyaksikan wayang golek yang di
laksanakan dari pagi hingga keesokan harinya, sebelum menyaksikan wayang
golek, ada penampilan kesenian kesenian kecapi suling, ngamumule budaya
sunda, serta wuwuhan atau nasihat dari sesepuh atau ketua adat yang menjadi
rukun dalam upacara 1 Sura. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.5
Upacara Seren Taun Yang Selalu Dilakukan Masyarakat Kampung Adat
Cireundeu Setiap 1 Sura
Gambar 4.5 Upacara Seren Taun Yang Selalu Dilakukan Masyarakat
Kampung Adat Cireundeu Setiap 1 Sura
Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012
63
Gugunungan sesajen, berupa buah-buahan dan nasi singkong yang
dibentuk menyerupai janur, hasil bumi seperti rempah-rempah dan ketela yang
menjadi pelengkap wajib dalam ritual setiap 1 Sura tersaji di tengah ririungan
(kumpulan) warga di Balai Adat Sarasehan. Gugunungan melambangkan suatu
ungkapan rasa syukur terhadap pencipta-Nya atas segala rezeki yang diberikan
untuk warga Cireundeu. ―Kedah repeh rapih sasama hirup‖ bukan ke sesama
manusia saja melainkan terhadap tumbuhan dan binatang ―kedah repeh rapih‖
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.6 Gugunungan.
Gambar 4.6 Gugunungan
Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012
Kini keberadaan Kampung Cireundeu semakin terangkat sebagai sebuah
kampung adat. Tak heran, setiap 1 Sura, kampung ini selalu menjadi daerah
tujuan sejumlah peneliti untuk mengetahui ritual-ritual saat tahun baru. Karena
64
animo besar dari luar Cimahi berkunjung ke kampung ini setiap 1 Sura, maka
Cireundeu pun menjadi aset wisata Kota Cimahi. Sebab jelas bila kota kecil ini
amat kering akan daerah tujuan wisata.
B. Aturan Adat
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Adat Cireundeu
masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari
terutama berkenaan mengenai aktivitas kehidupan. Pantangan atau pamali
merupakan suatu ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi
dan dipatuhi oleh setiap orang. Hal ini terlihat dari adanya beberapa pantangan
antara lain dalam membangun rumah, letak rumah, arah rumah, pakaian
upacara, kesenian dan sebagainya. Adapun aturan adat yang hingga saat ini
masih dipertahankan dalam pola permukiman dan perubahan zaman, yaitu :
1. Jendela rumah harus menghadap ke terbitnya matahari
2. Pintu harus menghadap ke tenggelamnya matahari
3. Harus ―Ngindung ka waktu mi bapa ka zaman‖ yang mengandung makna
bahwa Mereka tetap menggunakan handphone, kendaraan, dll (mibapa ka
zaman) Tetapi tidak meninggalkan apa yang telah menjadi kebudayaan
yang telah diturunkan oleh para leluhur mereka. Sehingga keunikan dari
kampung adat cireundeu (ngindung ka waktu)
4. Berpegang teguh kepada 4 unsur warna yang menjadi simbol masyarakat
adat, diantaranya :
a. Kuning melambangkan
sebagai angin
b. Merah melambangkan
sebagai api
c. Putih melambangkan sebagai
air
d. Hitam melambangkan
sebagai tanah
Gambar 4.7 Simbol Warna
Masyarakat Adat Cireundeu
Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012
65
C. Institusi / Lembaga Adat
Kelembagaan adat yang ada di Kampung Adat Cireundeu dipimpin oleh
seorang ketua adat yang disebut dengan Sesepuh. Sesepuh bisa berarti sebagai
orang yang paling utama dan memiliki tugas untuk menjaga dan
mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya.
Dalam menjalankan tugasnya, Sesepuh dibantu oleh Pangampih.
Pangampih bertugas sebagai orang yang lebih banyak menggunakan bahasa
simbol ―leuwih ngais‖ informasi. Pangampih dibantu oleh panitren yang berfungsi
sebagai hubungan masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar
4.8 Struktur Lembaga Adat di Kampung Adat Cireundeu.
Gambar 4.8 Struktur Lembaga Adat di Kampung Adat Cireundeu
Sumber : Hasil wawancara, 2012
Gambar 4.9 Foto Bersama Bapak Widia
Sumber : Hasil Observasi Pribadi 2012
4.4 Penataan Ruang di Kampung Adat Cireundeu
Dalam setiap ruang terdapat jiwa, inspirasi, dan spirit. Pembentuka ruang
pada dasarnya merupakan manifestasi dari budaya masyarakat dalam bentuk
Gambar 4.9 Foto Bersama Bapak Widia (yang
mengenakan blankon biru). Bapak ini
berkedudukan sebagai Ais Pangampih di Sistem
Komunitas Kampung Adat di Cireundeu. Berfoto
ketika setelah mewawancarai di Balesaresehan
(Sesepuh)
Bapak Emen
Warga Masyarakat Adat
(Ais Pangampih)
Bapak Widia
(Panitren)
Bapak Asep,ST
Seseorang yang menjadi Juru Kunci sejarah mengenai Kampung Adat Cireundeu
Lebih banyak menggunakan bahasa, simbol-simbol, lebih meng (ais) informasi-informasi
Seseorang yang dijadikan orang yang bergerak dibidang hubungan masyarakat di Kampung Adat Cireundeu.
Masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok, ada kelompok dalam bidang pertanian, peternakan dan home industry.
66
lingkungan binaan (build form), sehingga rumah-rumah, permukiman serta
seluruh buatan manusia menggambarkan nilai budaya yang menghasilkan ciri
serta identitas dari masyarakat tersebut. Pembentukan ruang juga merupakan
refleksi dari struktur sosial (Strauss, 1963, dalam Sasongko, 2006) yang
selanjutnya akan melahirkan struktur ruang (Waterson, 1990, dalam Sasongko
2006). Hirarki ruang ini akan tertuang dalam berbagai skala, tetapi pada
umumnya ada dalam skala rumah, kumpulan rumah, lingkungan permukiman,
hingga skala desa (Haryadi dan Setiawan, dalam Sasongko, 2006). Struktur
sosial ini bisa berupa perbedaan antara strata masyarakat, akan tetapi pada
umumnya akan menggambarkan tatanan ruang permukiman antara pusat
pinggiran, atas-bawah, utara-selatan, dan lainnya (Waterson, 1990 dalam
Sasongko, 2006).
Pada masyarakat Kampung Adat Cireundeu, tidak ditemukan adanya
perbedaan strata yang jelas, bahkan mereka menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan perlakuan dan strata sosial pada kehidupan sosial mereka, hanya
ada pemangku adat yang menerima dan menjalankan amanat karuhun
(pemimpin informal) yang terdiri atas sesepuh (pemimpin tertinggi), ais
pangampih, panitren, nonoman dan masyarakat adat secara umum. Sebagai
dimensi ruang lokal yang dihasilkan dari penghormatan terhadap amanat leluhur
atau karuhun, maka aspek adat dan kepercayaan telah menuangkan ruang
kampung sebagai tata nilai antara sakral (secret) dan profan (Schulz, 1984).
Perwujudan dalam ruang di Kampung Adat Cireundeu adalah adanya
orientasi aktivitas keseharian dan orientasi ritual, seperti adanya wilayah-wilayah
tabu (pamali), wilayah khusus yang disakralkan atau kawasan suci, tempat
upacara adat (balesarasehan), kawasan konservasi (mata air, dan hutan) serta
kawasan lainnya. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu mempunyai falsafah
bahwa apa yang menjadi konsep warisan adalah yang terbaik bagi kehidupan
mereka, sehingga seluruh kegiatan kampung berlandaskan pada nilai-nilai
warisan leluhur (karuhun) tersebut.
4.5 Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan didominasi oleh permukiman, hutan dan
pertanian. Luas lahan kampung Adat Cireundeu terbagi dua, yaitu :
67
1. Luas lahan
permukiman ± 6 Ha
2. Luas permukiman
dan Hutan ± 60 Ha
(hanya tanah adat,
tanah adat tidak
sama dengan tanah
pemerintah).
Gambar 4.10 Penggunaan Lahan di Kampung Adat Cireundeu Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012
Tabel 4.4 Peruntukkan Lahan RW.10 Kampung Adat Cirendeu Tahun 2013
No. Jenis Luas (Ha)
1. Tanah Sawah 3
2. Tanah Kering 5,8
3. Tanah Basah (balong,empang,kolam)
0,5
4. Tanah Keperluan Fasilitas Umum 0,5
5. Lain-Lain (tanah tandus & tanah pasir) *)
0,5
*) satuan dalam m2/ha
Sumber : Data Monografi Kampung Adat Cireundeu, 2013
Dapat dilihat pada Gambar 4.10 Penggunaan lahan di kampung adat
Cireundeu bahwa permukiman hanya 10% nya dari luas keseluruhan Cireundeu.
Sisanya dipenuhi dengan pegunungan dan hutan-hutan yang ditumbuhi tanaman
singkong.
Secara garis besar masyarakat membagi ruang-ruang kehidupannya
sesuai dengan fungsi yang dilatar belakangi oleh nilai-nilai yang mereka yakini
dapat memberikan makna yang lebih luas bagi kehidupan sebagai hasil budaya
yang diturunkan secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya.
Secara umum ruang kawasan kehidupan masyarakat Kampung Adat Cireundeu
terbagi menjadi 4 (empat) kawasan, diantaranya :
a. Leuweung Larangan Hutan (Leuweung) yang dijadikan sebagai stok air.
Kawasan yang tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang dan harus
dijaga kelestarian dan kesuciannya. Kawasan ini merupakan sebuah hutan
lindung di puncak bukit yang disebut sebagai ―Leuweung Larangan‖. Untuk
6
60
Lahan Permukiman Luas Permukiman & Hutan
68
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.11 Sayangkaat (puncaknya
sebagai leuweung larangan dan dibawahnya sebagai leuweung tutupan)
Gambar 4.11 Gunung Sayangkaat (puncaknya sebagai leuweung larangan dan
dibawahnya sebagai leuweung tutupan)
Sumber : Hasil Survey Primer, 2013
b. Leuweung Baladah Sebagai lahan bertanam ketela pohon dan palawija
lainnya yang berada lebih tinggi dari permukiman yang terletak dibagian
bawah dari leuweung
larangan yang
mengelilingi Kampung
Adat Cireundeu dan
ditanami pohon singkong,
diantaranya :
Gunung Gajah Langu
Gunung Sirah Cai
Gunung Seke Ganas
Gunung Kunci
Gunung Pasir Panji
Gambar 4.12 Leuweung Baladahan
Sumber : Hasil Survey Primer, 2013
Leuweung
Larangan
Leuweung
Tutupan
69
c. Leuweung Tutupan hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan ini dapat
dipergunkaan pepohonannya, namun masyarakat harus menanam kembali
dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
d. Kawasan Bersih merupakan daerah yang selama ini dijadikan sebagai
tempat permukiman warga Kampung Adat Cireundeu, selain menjadi tempat
didirikannya bangunan-bangunan rumah dengan gaya arsitektur tradisional
sunda yang sering mereka sebut sebagai ―Bale Seresehan‖. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.13 dan Gambar 4.14.
4.6 Cara Melindungi Kawasan Konservasi
Cara-cara melindungi kawasan konservasi adalah sebagai berikut :
1. Menjaga hutan lindung (leuweung larangan) sebagai kawasan
konservasi dengan konsep pamali. Masyarakat tidak diperkenankan
masuk, merusak, mengambil, menebang, bahkan memetik dan
memungut ranting tanaman yang jatuh dan merubah lingkungan
disekitarnya pun tidak diperkenankan. Leuweung larangan hanya
boleh dimasuk oleh sesepuh dan tetua adat pada saat khusus atau
terpaksa saja. Hutan ini juga berfungsi sebagai pengendali iklim
mikro dan pelestarian keanekaragaman hayati.
2. Menjaga dan memanfaatkan leuweung Baladaheun (hutan baladah)
sebagai bahan bangunan lokal, seperti kayu, bambu dan sebagainya.
Juga diatur waktu kualitas dan tanamannya.
3. Mengatur cara memperoleh bahan bangunan yang berasal dari alam
sekitar, berupa kayu, bambu, maupun batu harus bijak dan teratur.
Bahan bangunan tidak boleh berasal dari hutan lindung, tetapi dari
hutan produksi atau kebun di sebelah utara hutan lindung yang
memang diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan permukiman.
4.7 Struktur Ruang Permukiman
Jumlah penduduk yang terdapat di Kampung Adat Cireundeu sebanyak
±300 KK dan masyarakat adatnya ±50 KK dengan luas lahan permukiman
sebesar 6 Ha, dimana terdapat beberapa bangunan penunjang seperti bale dan
masjid. Bale yang diletakkan terpusat di tengah kampung dan 1 (satu) masjid
yang diletakkan di samping kampung. Bale ini berfungsi sebagai tempat
pertemuan, musyawarah, menerima tamu dan berdo‘a. Sedangkan masjid
70
berfungsi sebagai tempat beribadah agama muslim, karena di kampung
cireundeu ada yang beragama Islam juga.
Gambar 4.13 Bentuk Bangunan Bale Seresehan
Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012
Gambar 4.14 Bangunan Pendukung Kegiatan Kampung Adat Cireundeu
Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012
Kampung Adat Cireundeu memiliki konsep struktur ruang alam yang
diyakini sebagai struktur ruang manusia. Aliran sungai digambarkan sebagai
71
garis tengah yang memisahkan bagian kanan dan kiri tubuh manusia. Ruang-
ruang yang dianggap berfungsi sebagai leuweung larangan adalah kawasan
pada tubuh manusia yang terdapat bulu lebat dan bertulang. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 4.15 Struktur Ruang Alam di Kampung Adat
Cireundeu.
Gambar 4.15 Struktur Ruang Alam di Kampung Adat Cireundeu
Sumber : Panitren 2013
4.8 Pola Permukiman
Pola permukiman di Kampung Adat Cireundeu ini terpusat ada suatu
pusat yang dijadikan inti dari seluruh kegiatan masyarakatnya tersebut dan
permukiman berada disekeliling pusat tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 4.15 Detail Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu.
72
Gambar 4.15 Detail Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu Sumber : Hasil Observasi Primer,2013
73
4.9 Struktur Bangunan
Bentuk rumah masyarakat Kampung Adat Cireundeu sudah modern (mi
bapa ka zaman) namun bukan berarti menghilangkan bangunan yang telah
menjadi tradisional karuhun. Masih ada beberapa bangunan yang masih
mempertahankan kebudayaan karuhun dan biasanya itu dijadikan sebagai pusat
aktivitas masyarakat kampung adat cireundeu dan ada 1 (satu) bangunan julang
ngapak yang terletak dihalaman rumah Abah Asep (Panitren). Secara filosofis,
julang ngapak berarti keseimbangan bangunan secara estetis diambil dari
burung endemis wilayah tatar sunda sebagai gambaran keindahan, secara logis
(fungsional) julang ngapak berfungsi sebagai pengatur utama keseimbangan
bangunan dari lingkungan sekitar. Secara Kosmologis julang ngapak yaitu rumah
panggung bamboo tradisional sunda, paling sesuai denga letak geografis (geo-
pasundan/tata wilayah). Secara Fungsional maupun emosional paling sesuai
dengan budaya (culture) sunda yang secara turun temurun dan telah digunakan
secara sustainable (berkelanjutan) dan terbukti paling resistance terhadap
gempa dan fenomena alam lainnya (kaidah keseimbangan lahir & bathin). Untuk
Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.17 Struktur Bangunan.
Gambar 4.17 Struktur Bangunan Kampung Adat Cireundeu
Sumber : Hasil Observasi, Desember 2012
74
4.10 Pola Pembelajaran Sosial
Cara mereka melakukan pembelajaran sosialnya untuk memperkenalkan
rasi sebagai makanan pokoknya yaitu selalu melakukan pembinaan terus
menerus sejak kecil serta mengenalkan kepada anak yang masih kecil bahwa
rasi (beras singkong) itu sebagai makanan pokoknya, memperkenalkan
perkebunan singkong, bibit-bibit singkong, dan cara mengolah singkong.
Seorang ibu menyarankan anaknya untuk memakan rasi (beras
singkong), sang ibu memberikan pemahaman mengenai mengapa kita sebagai
penggagas malah ingin menghilangkan tradisi makan rasi (beras singkong),
sedangkan orang lain jauh-jauh ingin kesini bahkan dari luar negeripun.
Maknanya mereka memakan rasi (beras singkong) yaitu merupakan suatu
keyakinan, dimana mereka menganggap bahwa kekuatan itu bukan hanya
datang dari padi saja, melainkan dari singkong pun masyarakat adat masih dapat
mempertahankan hidup layak seperti yang lain.
Kang Wanly (37) mengatakan kalau tradisi di Masyarakat Adat di
Cireundeu ini jika dari lahir sudah memakan rasi (beras singkong) maka hingga
meninggal pun harus memakan rasi, apabila ingin memakan nasi beras maka
orang tersebut harus melakukan upacara sakral di depan seluruh masyarakat
adat bahwa orang tersebut akan pindah menjadi orang yang memakan nasi
beras seperti halnya seseorang yang ingin pindah agama.
Secara pembelajaran sosial, masyarakat kampung adat Cireundeu masih
menjunjung tinggi rasa solidaritas, kebersamaan dan gotong royong. Seperti
halnya mereka setiap tanggal 17 Agustus selalu melakukan event yang di sebut
dengan istilah ―Jurit Wengi‖ dengan maksud mengenang dan menghargai
perjuangan para pahlawan pada zaman dahulu. Jurit Wengi ini dilaksanakan
pada malam hari dimulai dari Pukul 20.00 Wib masyarakat kampung adat
Cireundeu mendaki ke puncak salam setelah tiba di puncaknya mereka
berkumpul kemudian melakukan ritual khusus hingga tengah malam (acara
puncak), selama perjalanan menuju puncak salam dipohon-pohon terdapat
kupon-kupon yang akan menjadi doorprize. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 4.18 Peta Jurit Wengi. Disamping itu, masyarakat di Kampung
Adat Cireundeu sering menjemput dan mengantar temannya ketika temannya
pulang dari pabrik jadi mereka tidak saling acuh tak acuh terhadap sesama.
75
Gambar 4.18 Peta Jurit Wengi
Sumber : Survey Sekunder dari Abah Asep (panitren di Kampung Adat Cireundeu) 2013
76
BAB 5
KAJIAN ANALISIS POLA PEMBELAJARAN MASYARAKAT
KAMPUNG ADAT CIREUNDEU
5.1 Identifikasi Pola Kehidupan dan Keunikan Masyarakat Cireundeu
Tata ruang dalam arsitektur tradisional pada umumnya bukan merupakan
hasil karya individual, tetapi berdasarkan pada suatu sistem yang dianut bersama
oleh suatu kelompok masyarakat. Kelompok manusia tersebut juga merupakan
suatu komunitas yang tinggal di wilayah yang sama, oleh karena itu komunitas
tersebut juga memiliki suatu sistem nilai yang sama (Kurnia, 2005). Setiap sistem
nilai dan kelompok masyarakat pada umumnya memiliki ciri khas tersendiri baik
dalam proses maupun dalam bentuk pengaturan ruangnya sehingga
menghasilkan nilai-nilai dan keunikan tersendiri. Keunikan itu tidak hanya
sekedar dalam bentuk, akan tetapi memiliki makna dan falsafah di dalamnya,
demikian juga yang ditemukan di Kampung Adat Cireundeu.
Kampung adat Cireundeu tidak berbeda dengan kampung-kampung yang
lainnya, terutama dari bentuk fisik bangunan rumahnya. Hal istimewa dari
kampung ini yaitu di mulut jalan Desa Cireundeu, terdapat tulisan Hanacaraka
―Wilujeng Sumping Di Kampung Cireundeu‖ dengan arti selamat datang untuk
para tamu di daerah Kampung Cireundeu. Kampung Cireundeu sendiri tidak
memposisikan desanya sebagai Objek Daya Tarik Wisata (ODTW), tetapi lebih
fokus pada desa yang masih memelihara tradisi lama yang telah mengakar yang
diwariskan tetua adat terdahulu. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
beranggapan bahwa sekecil apaun filosofi kehidupan yang diwariskan oleh
nenek moyang mereka wajib untuk dipertahankan. Menurut kasat mata, ada dua
hal menarik yang masih dipertahankan oleh warga adat Kampung Cireundeu
yaitu bahan makanan pokok dan tradisi 1 Sura. Warga masyarakat kampung
adat masih mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan masih
menjalankan aliran kepercayaan yang dibawa oleh Pangeran Madrais dari
Cigugur, Kuningan sehingga kampung Cireundeu menjadi sebuah kampung
adat.
Singkong yang telah mengalami proses penggilingan ampas dicampur
dengan gaplek sebagai makanan pokok (stapled food). Kebiasaan ini berbeda
77
dengan kelompok masyarakat Jawa Barat yang pada umumnya mengkonsumsi
beras sebagai makanan pokok.
Cireundeu bukanlah daerah yang terisolir, tetapi lebih merupakan
kelompok masyarakat tradisional yang mampu bertahan di tengah-tengah hiruk
pikuk kehidupan perkotaan. Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) dari
kota Bandung mewarnai tata kehidupan masyarakat kampung adat ini.
Segala permasalahan yang timbul akibat dari TPSA, tidak menjadi
masalah bagi penduduk, bahkan mampu memciptakan lapangan kerja bagi
masyarakat pribumi ataupun pendatang yang menggantungkan hidupnya dari
sampah ini.
Kebiasaan makan beras singkong tidak lepas dari habitat yang ada, di
mana daerah ini memang banyak menghasilkan singkong yang merupakan
bahan dasar pembuatan beras singkong. Kondisi alam yang berbukit-bukit dan
kurang subur sepertinya memang pas untuk budidaya singkong, dimana
tanaman ini tidak memerlukan teknologi budidaya yang rumit, bahkan
perawatannya pun sangat mudah dengan pemupukan yang minimal dan bebas
dari pestisida. Untuk lebih jelasnya mengenai keunikan dan pola kehidupan
masyarakat kampung adat Cireundeu dapat dilihat pada Gambar 5.1 Kerangka
Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong.
Gambar 5.1 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong
Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012
Kebiasaan
Makan
Ketersediaan
Fisik :
1. Produksi
2. Pengawetan
3. Distribusi
4. Persiapan
Ketersediaan Budaya:
1. Status sosial
2. Status Fisik
3. Peranan Sosial
4. Adat Istiadat
5. Etiket
6. Pembagian Tugas
Struktur
Ekonomi
78
5.2 Analisis Tahapan Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat
Cireundeu
Tahapan pembelajaran yang terjadi dalam Kampung Adat Cireundeu
Komunitas RW.10 (RT. 02, RT.03 dan RT.05) Kelurahan Leuwigajah Kecamatan
Cimahi Selatan terjadi melalui tiga tahapan dengan melibatkan beberapa aktor di
dalamnya. Aktor yang dimaksud adalah pelaku yang melakukan suatu tindakan
yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang terjadi (Friedman, 1987).
Aktor yang terlibat dalam pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu ini
bervariasi, baik sebagai individu (Abah Asep sebagai Panitren), kelompok kecil (
kelompok ibu-ibu yang menghasilkan home industri ), komunitas warga
(masyarakat adat) serta organisasi (Baleseresehan sebagai tempat tindakan
kolektif warga).
Pembelajaran yang terjadi dibagi menjadi tiga tahapan berdasarkan aktor
yang belajar dan outcome pembelajaran yang ditimbulkan dari proses
pembelajaran, yaitu :
1. Tahap pengumpulan data dasar. Tahap ini merupakan masa pembelajaran
dari fasilitator ( Abah Asep ) dalam memahami kebutuhan masyarakat dan
permasalahan sosial yang ada di Kampung Adat Cireundeu.
2. Tahap penyuluhan. Tahap ini merupakan masa pembelajaran kelompok
pemuda dan warga untuk mengubah perilaku, kesadaran, dan kapasitas
masyarakat Cireundeu serta merupakan tahap fasilitator untuk menentukan
jenis penyuluhan apa yang perlu diberikan kepada kelompok pemuda dan
warga berdasarkan dialog yang dilakukan dengan warga dan kelompok
pemuda.
3. Tahapan adanya tindakan kolektif. Tahap ini merupakan masa pembelajaran
kelompok pemuda dan warga selama pelaksanaan tindakan kolektif, dimana
mereka dianggap sudah berdaya untuk mengidentifikasi masalah di
kampungnya dan merancang sendiri tindakan kolektif apa saja yang
diperlukan untuk mewujudkan pembangunan di lingkungannya.
Penyuluhan, dialog dan tindakan digunakan sebagai alat pembelajaran.
Hal ini bertujuan agar adanya proses pertukaran informasi, pengetahuan, dan
pengalaman serta terfasilitasinya proses negoisasi diantara warga untuk
menciptakan perubahan. Dialog yang terjadi di Kampung Adat ini merupakan
bentuk dialog antara fasilitator, pemberi materi (sesepuh) kelompok pemuda
sebagai kelompok inisiatif, dan warga kampung adat Cireundeu. Dialog ini
79
bertujuan agar adanya pertukaran informasi secara dua arah atau lebih.
Sedangkan penyuluhan lebih bertujuan kepada pemberian informasi dan
pengalaman dari narasumber ke pelajar, yang lebih bersifat satu arah, namun
sesi tanya jawab tetap dibuka pada saat penyuluhan. Tindakan dalam
pelaksanaan tindakan kolektif menjadi sumber informasi untuk melakukan
tindakan kolektif di masa yang akan datang.
Gambar 5.2 Proses Perolehan Informasi
Sumber : Hasil Analisis, 2013
Berdasarkan Gambar 5.2 Proses perolehan informasi, dapat diketahui
bahwa tahapan kegiatan dan outcome pengetahuan yang diterima oleh aktor-
aktor yang terlibat, maka proses pembelajaran sosial dibagi menjadi 3 tahapan
pembelajaran, yakni :
1. Tahap pengumpulan data dasar (aktor yang belajar adalah fasilitator)
2. Tahap penyuluhan (aktor yang belajar adalah sekelompok pemuda,
masyarakat adat, da fasilitator)
3. Tahapan tindakan kolektif warga (aktor yang belajar adalah sekelompok
pemuda dan masyarakat adat)
4.
Tabel 5.1 Aktor dan Pengetahuan Dalam Tiap Tahapan
Tahapan
Cara
Memperoleh
Informasi
Sumber
Informasi
Aktor Yang
Belajar Pengetahuan Tindakan Selanjutnya
I Dialog Masyarakat
Adat Fasilitator
1. Teridentifikasi masalah
sosial
Penyuluhan kepada
kelompok pemuda dan
Pertemuan (biasa dilakukan
sebulan 2x
Kelompok Pemuda
Kelompok Tua Balesaresehan
Perolehan Informasi, Mengarahkan
yang sudah menjadi tradisi adat
istiadat Cireudneu
Refleksi pengetahuan dari
tindakan, terutama dari para
sesepuh
Tindakan
80
Tahapan
Cara
Memperoleh
Informasi
Sumber
Informasi
Aktor Yang
Belajar Pengetahuan Tindakan Selanjutnya
2. Teridentifikasi potensi
warga
masyarakat adat
II Penyuluhan
Fasilitator
dan
Pemberi
Materi
1. Kelompok
pemuda dan
Masyarakat
adat
2. Fasilitator
1. Cara mengubah
perilaku
2. Cara
mengorganisasikan diri
3. Cara menjaga dan
merawat lingkungan
sebagai sumber daya
alam
4. Identifikasi jenis dan
urutan pemberian
penyuluhan yang
sesuai dengan
kebutuhan kelompok
1. Membentuk kelompok
inisiatif dan
melakukan tindakan
kolektif
2. Memberikan
penyuluhan kepada
kelompok pemuda
kemudian kepada
masyarakat adat
III
Kegiatan
Tindakan
Kolektif
Tindakan
Kolektif
Kelompok
pemuda dan
Masyarakat adat
1. Teridentifikasi masalah
lingkungan
2. Pengetahuan
mengenai cara
bertindak secara
kolektif
3. Pengetahuan
mengenai kekurangan
pelaksanaan kegiatan
tindakan kolektif dahulu
yang perlu diperbaiki di
masa datang yang
mengarahkan kepada
tindakan kolektif
berikutnya
Melakukan kegiatan
tindakan kolektif lain
secara bertahap dan
berkelanjutan
Sumber : Hasil Analisis, 2013
5.3 Analisis Aktor Yang Terlibat
Aktor yang terlibat dalam pembelajaran sosial yang mendorong
terwujudnya pembangunan di Kampung Adat Cireundeu Komunitas RW.10 (RT.
81
02, RT.03 dan RT.05) Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan terdiri
dari individu, kelompok kecil seperti kelompok pemuda, masyarakat Cireundeu
sebagai kesatuan komunitas adat. Aktor yang terlibat dalam proses
pembelajaran sosial diklasifikasikan berdasarkan asal, serta bentuk
keterlibatannya dalam pembelajaran sosial.
1. Asal
Aktor yang terlibat terdiri dari aktor eksternal dan internal. Aktor dari luar
komunitas (eksternal) diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
a. Aktor yang memiliki ikatan (engagement) dengan komunitas yaitu
fasilitator
b. Aktor yang tidak terikat dengan komunitas, hanya sebagai pemberi
materi atau donatur yang memfasilitasi proses pembelajaran terjadi.
Sedangkan aktor dari dalam komunitas (internal) yang terdiri dari warga dan
kelompok pemuda (kelompok inisiasi) yang merupakan bagian dari
masyarakat adat. Aktor internal diklasifikasikan menjadi dua, karena tahapan
pembelajaran yang melibatkan kedua aktor tersebut berbeda waktunya,
walaupun tujuannya sama yaitu sama-sama untuk mewujudkan
pembangunan di kampung adat Cireundeu dalam rangka mengatasi
masalah lingkungan.
2. Bentuk keterlibatannya dalam pembelajaran sosial di Kampung Adat
Cireundeu.
Fasilitator, kelompok pemuda (nonoman) dan warga sebagai anggota
masyarakat adat merupakan aktor yang belajar, yang merefleksikan
pengetahuan hingga menimbulkan perubahan perilaku dalam mengubah
kenyataan di masyarakat adat ini melalui suatu praktik (tindakan). Fasilitator
belajar untuk mengetahui masalah dan potensi yang ada di masyarakat adat
untuk mengubah tindakan fasilitator yang pada awalnya hanya memberi
bantuan dibidang hukum sebagai pengacara gratis menjadi seseorang yang
memfasilitasi terjadinya pembelajaran sosial (kesadaran dan perilaku) di
kampung adat Cireundeu untuk memberdayakan masyarakat adat.
82
Gambar 5.3 Klasifikasi Aktor
Sumber : Hasil Analisis, 2013
Gambar 5.1 menjelaskan mengenai pengelompokkan aktor yang terlibat
dalam pembelajaran sosial di Kampung Adat Cireundeu, berdasarkan dari mana
aktor berasal. Fasilitator merupakan aktor eksternal yang dianggap menjadi
bagian dari komunitas. Hal ini dikarenakan intensitas yang tinggi dalam interaksi
dan komunikasi dengan masyarakat adat sehingga masyarakat adat
menganggap fasilitator juga bagian dari warga kampung adat Cireundeu
(dianggap menjadi saudara). Fasilitator mendampingi masyarakat adat dalam
waktu yang lama, sehingga timbul keterikatan antara masyarakat adat dengan
fasilitator. Keterikatan fasilitator dengan masyarakat adat dapat terlihat dari
kepercayaan dan keterbukaan masyarakat adat yang tinggi terhadap fasilitator.
Aktor yang belajar mendapatkan outcome dari proses pembelajaran
sosial, sedangkan aktor yang membantu proses pembelajaran terlaksana, tidak
mendapatkan outcome dari pembelajaran terkait dengan perubahan komunitas,
mereka hanya memberikan materi pembelajaran kepada warga atau membantu
warga dalam pengumpulan data sehingga kegiatan pembelajaran sosial dapat
terlaksana. Aktor yang belajar diantaranya : Fasilitator, Kelompok pemuda dan
Masyarakat adat
3. Kelompok Pemuda (Kelompok Inisiasi)
Kelompok pemuda yaitu masyarakat Kampung Adat Cireundeu yang
menjadi kelompok inisiasi dalam bermasyarakat dan beraktivitas tanpa
menghilangkan semua yang telah menjadi peninggalan leluhur mereka.
Kelompok ini berjumlah kurang lebih 20 orang. Pemuda dikelompok ini sebagian
besar adalah anak-anak yang masih sekolah dan pemuda yang bekerja, baik
bekerja sebagai buruh pabrik maupun membantu-bantu di kelompok tani
singkong. Faktor permukiman yang semakin padat, dan persaingan yang
Komunitas Luar Komunitas
1. Warga (masyarakat adat)
2. Kelompok pemuda
(Kelompok Inisiasi)
3. Kelompok Ibu-ibu
produktif
1. Fasilitator
2. Pemberi Materi
Penyuluhan
83
semakin kuat tidak membuat kelompok pemuda di Kampung Adat Cireundeu ini
menjadi kelompok yang identik dengan kriminalitas, tetapi menjadi kelompok
pemuda yang selalu bertindak dalam hal-hal positif.
Kelompok pemuda ini berperan sebagai kelompok pemuda yang aktif
dalam mempelajari kesenian seperti karinding, calung, angklung buncis, dan
sebagainya sebagai seni dan budaya sunda, sehingga kesenian tersebut dapat
ditampilkan ketika ada pengunjung dari luar yang ingin mengetahui tentang
kampung adat cireundeu, disamping itu kelompok pemuda ini selalu berinisiatif
membantu ketika ada korpe (gotong royong membersihkan lingkungan) dan
mempersiapkan serta membereskan segala sesuatu property yang dibutuhkan
ketika ada acara atau kegiatan di Kampung Adat Cireundeu. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 5.3 Kelompok Pemuda Kampung Adat Cireundeu.
84
Gambar 5.4 Kelompok Pemuda Kampung Adat Cireundeu
Sumber : Hasil Survery Primer, 2012-2013
4. Kelompok Ibu-Ibu
Kelompok ibu-ibu ini di koordinator oleh ibu Lis. Kelompok ibu-ibu ini
berjumlah kurang lebih sekitar 15 orang, yang sebagian besar adalah ibu rumah
tangga dan petani. Kelompok ini berperan sebagai kelompok yang menghasilkan
atau berinisiatif mengkreasikan (baik dari rasa dan bentuk) segala sesuatu yang
berbahan singkong menjadi suatu makanan yang dapat di makan masyarakat
umum dan menarik bagi masyarakat umum. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 5.5 Aktivitas Kelompok Ibu-ibu Kreatif di Kampung Adat
Cireundeu dan Gambar 5.6 Hasil kreasi Serba Singkong Kelompok Ibu-Ibu
Kreatif di Kampung Adat Cireundeu.
85
Gambar 5.6 Aktivitas Kelompok Ibu-ibu di Kampung Adat Cireundeu Sumber : Hasil Survey Primer 2012 & 2013
Kicimpring
Rasi (Beras Singkong)
Rangining
Eggroll
Gambar 5.7 Hasil kreasi Serba Singkong Kelompok Ibu-Ibu Kreatif di Kampung
Adat Cireundeu
Sumber : Hasil Survey Primer 2012
86
Menurut Abah Asep (selaku panitren dalam struktur organisasi adat), bahwa
kita jangan terlena karena urusan beras ini memang paling enak di dunia ini, tapi
jangan terlena. (Orang tua bilang) Suatu saat orang makin lama makin banyak,
lahan akan semakin sempit, pasti beras akan menjadi rebutan masyarakat
Indonesia. Coba lihat di Indonesia ini banyak sumber daya alam yang beraneka
ragam, contohnya coba lihat pegunungan ini dicoba diolah selain padi, dicoba
dengan singkong (digagas pada tahun 1918), nah ternyata bisa, tetapi tidak
begitu pada tahun 1918 digagas langsung berhasil, pada tahun 1924 baru bisa.
Budidaya, mengolahnya, memakannya. Coba bayangkan yang dulunya terbiasa
makan enak, namanya tidak ada raskin lah istilahnya (dulunya masih padi-padi
bagus dulu), walaupun panen 1 tahun sekali, tiba-tiba disuruh makan singkong
yang mungkin bisa dirasakan bedanya antara beras singkong dengan beras nasi,
(kalau saya tidak pernah merasakan beras nasi karena belum pernah makan
beras nasi), ternyata rasanya beda jauh setelah dicicipi. Tapi setelah dicoba dan
dibiasakan, ternyata tidak ada bedanya. Mungkin disitulah istilahnya merubah
pola tanam dan pola berfikir serta pola makanan. Contohnya saja telah terjadi di
Kampung Adat Cireundeu ini, terlahir pada tahun 2005 tertimbun sampah akibat
longsor TPA Leuwigajah. Bayangkan kalau dulu masyarakat disini tidak
mengikuti apa yang orang tua katakan? Yasudah, masyarakat kampung adat
Cireundeu ini akan tergerus dan hanya menunggu bantuan dari pemerintah
(beras miskin). Jika tidak dikasi raskin, sawah tidak ada, uang saja tidak ada,
ketika dikasi raskin bagaimana masyarakat disini akan menebus raskin tersebut?
Sehingga akhirnya tidak akan bisa makan beras. Untuk di Cireundeu mau ada
raskin, mau beras mahal tidak menjadi suatu bencana atau masalah bagi
masyarakat kampung adat Cireundeu.
5.4 Analisis Pengolahan Lahan
Berdasarkan UU No.41 Tahun 1999 Mengenai Pokok-pokok kehutanan,
dijelaskan bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaanya berhak melakukan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat, melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang – undang serta mendapatkan pemberdayaan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
87
Pengolahan lahan untuk menanam singkong merupakan salah satu dari
keunikan dari kampung Adat Cireundeu. Untuk menjaga kesuburan lahan,
penanaman singkong yang dilakukan secara berjangka merupakan suatu
pengolahan lahan. Dalam satu lahan yang luas, dibagi menjadi beberapa bagian
dengan luas yang sama. Jarak tanam antar pohon diusahakan tidak terlalu
sempit yaitu ± 50 cm.
Penanaman bibit singkong (stek) diawali pada lahan bagian pertama.
Setelah penanaman pada bagian pertama selesai, akan dilanjutkan dengan
pengolahan lahan bagian kedua. Pada lahan yang kedua ini pun dilakukan hal
yang sama seperti lahan pertama, begitu seterusnya, sampai semua lahan yang
digarap selesai ditanami singkong.
Selama menunggu waktu panen, petani akan kembali ke lahan yang
pertama kali diolah, untuk membersihkan tanaman-tanaman yang tumbuh liar
disekitar tanaman singkong tersebut. Pengolahan lahan dan penanaman
singkong pada satu lahan memerlukan waktu sekitar satu bulan (1 bulan).
Pengolahan tanam seperti ini dilakukan dengan cara seperti itu sesuai dengan
pengalaman mereka hasil yang diperoleh lebih berkualitas. Kandungan aci dalam
singkong akan menjadi lebih baik.
Setelah usai satu tahun, petani akan mulai memanen singkong tersebut
dengan bantuan saudara-saudaranya atau pun anak lelakinya. Setelah panen,
lahan tersebut diistirahatkan terlebih dahulu selama tiga bulan (3 bulan) dengan
maksud agar unsur hara dalam tanah dapat subur kembali. Sambil menunggu di
istirahatkan petani kemudian akan menanam singkong pada lahan lainnya
hingga panen selesai. Setelah ± 3 bulan masa diistirahatkannya lahan pertama,
kemudian petani akan menggarap dan mengolah lahan selanjutnya dan
menanaminya kembali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.8
Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong
88
Gambar 5.8 Kerangka Analisis Kebiasaan Mengkonsumsi Singkong
Sumber : Hasil Observasi Primer, 2012-2013
Dari segi pemasaran dan tata niaga, Kampung adat Cireundeu
berdasarkan Surat Keputusan Walikota Cimahi, telah dijadikan sebagai Desa
Mandiri Pangan selanjutnya disebut dengan Demapan. Program demapan ini
terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu :
1. Pertanian
2. Peternakan
3. Home Industry (kuliner)
Program demapan ini mendapat Bantuan Sosial dan ditujukan kepada
kelompok Afinitias (kelompok miskin). Pak Yuyun (Ketua RW. 10) mengatakan
bahwa di Kampung Adat Cireundeu ini yang berjalan hanya dari segi kulinernya
saja, dari ibu-ibu home industry. Hasil home industry ini berupa makanan-
makanan yang berbahan dasar dari singkong atau dikenal dengan istilah serba
singkong yang kemudian dijual sebagai merchandise untuk pengunjung yang
yang datang ke Kampung Adat Cireundeu ini.
Direbus &
Direndam
Dicuci &
Diblender
bumbu&
dioven
Dibentuk &
digoreng
Dendeng
singkong
Kulit Singkong
Diiris, Dijemur,
& Ditumbuk
Disaring
Kasar Halus
Peuyeum
Mutiara
Tepung Gaplek
Singkong
Ampas Dijemur &
Digiling
Beras
Singkong
Makanan
Pokok
Makanan
Olahan Dikupas &
Dibersihkan
Diparut &
Diperas
Air Aci
Singkong Diendapkan
Endapan 1 Endapan 2 Endapan 3
Dibuang Opak Aci Singkong
Makanan
Olahan
89
5.5 Kajian Timbal Balik Dengan Lingkungan Fisik
Dalam masyarakat adat Cireundeu ini memiliki aturan-aturan dalam
ketata ruangan yang menjadi timbal balik dengak lingkungan fisik. Dalam aturan
adat ada beberapa pembagian kawasan-kawasan dari tingkatan paling atas
hingga paling bawah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.9
Penataan Ruang Permukiman Berdasarkan Adat Cireundeu.
‗
90
Gambar 5.9 Penataan Ruang Permukiman Berdasarkan Adat Cireundeu.
Sumber : Hasil Analisis, 2013
5.6 Analisis Pembentukkan Ruang Permukiman
Pendopo atau Balesaresehan hingga saat ini menjadi artefak yang
terbentuk sebagai ruang permukiman, dimana ruang ini dijadikan sebagai tempat
pertemuan dan tempat pagelaran seni sunda. Luas bangunan 200 m2 dengan
kapasitas 100 orang. Setiap bulan Sura menjadi rutinitas bagi masyarakat
kampung adat Cireundeu untuk menggelar seni dan budaya sunda, setiap bulan
tersebut biasanya diadakan pagelaran wayang golek. Tradisi ini dilakukan
sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Pencipta atas
karunia dan kenikmatan yang telah diterima, berupa keberkahan hidup,
kesehatan lahir dan bathin melalui alam sebagai tempat tumbuhnya segala jenis
tanaman, tempat hidup binatang / ternak serta sumber air untuk kelangsungan
hidup warga Kampung Adat Cireundeu. Selain itu juga ada bangunan sekolah
dasar sebanyak 2 unit dengan jumlah kelas 6 ruangan dan satu buah ruangan
kantor. Selain adanya fasilitas pendidikan umum, juga ada pusat kegiatan belajar
mengajar dan bermain anak-anak yang tempatnya di Baleseresehan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.10 Artefak Pembentuk Ruang-ruang
Permukiman dan 5.11 Pola Permukiman Kampung Adat Cireundeu
Leuweung Larangan
Leuweung Tutupan
Leuweung Baladahan
Kawasan Ais (Kawasan Cadangan)
Kawasan yang digunakan ketika ada suatu ladang yang tidak layak dijadikan sebagai ladang produksi, ladang yang menajdi daerah produksi di tanamni tumbuh-tumbuhan sehingga menjadi leuweung
tutupan
91
Gambar 5.10 Artefak Pembentuk Ruang-Ruang Permukiman
Sumber : Hasil Survey Primer, 2012
5.7 Tipologi dan Siklus Pembelajaran Sosial di Kampung Adat
Cireundeu
Berdasarkan hasil pengamatan, Kampung Adat Cireundeu memiliki
tipologi pembelajaran satu putaran (single loop learning) yang mengarah pada
perubahan dalam praktek dan strategi berorganisasi, dimana pembelajaran
timbul dari kesalahan-kesalahan dan Siklus pembelajaran sosial dapat dilihat
pada Gambar 5.11 Siklus Pembelajaran Sosial Kampung Adat Cireundeu.
92
Gambar 5.11 Siklus Pembelajaran Sosial Kampung Adat Cireundeu
Sumber : Hasil observasi, 2013
5.8 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat
Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan
Pembangunan merupakan proses pengolahan sumber daya alam dan
pendayagunaan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi.
Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan
sosial dimana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya
memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang
terpadu viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat
melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya
(Sumarwoto, 2006).
Adanya pembelajaran sosial yang terjadi secara turun temurun di
kampung adat Cireundeu ini ternyata memiliki keterkaitan dalam perencanaan
pembangunan kawasannya. Hal ini dapat terlihat dari segi penataan ruang yang
terbagi-bagi menjadi beberapa kawasan seperti yang telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya mengenai tata guna lahan. Masyarakat kampung Adat Cireundeu
memiliki tradisi dari segi pembagian kawasan ternyata tidak menyimpang
terhadap landasan hukum (Keppres No.32 Tahun 1990 Mengenai Pengelolaan
Kawasan Lindung) yang ada di Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 5.12 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung
Adat Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan.
Sesepuh
Sumber Informasi
Ais
Pangampih
Panitren
Nonoman
Masyarakat Kampung
Adat Cireundeu
93
Gambar 5.12 Keterkaitan Antara Pola Pembalajaran Sosial di Kampung Adat
Cireundeu dengan Perencanaan Pembangunan Kawasan
Sumber : Hasil Analisis 2012-2013
5.9 Outcome Proses Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat
Cireundeu Terhadap Pembangunan Kawasan
Pembelajaran sosial yang terjadi di Kampung Adat Cireundeu ini dimulai
dari para sesepuh dan karuhun yang mengajarkan kepada para kelompok
pemuda dan anak-anak melalui diadakannya perkumpulan rutin di
Baleseresehan yang mendorong terlaksananya tindakan kolektif masyarakat
adat untuk mengatasi masalah lingkungan di komunitas secara mandiri tanpa
bantuan pemerintah. Hasil dari tindakan kolektif tersebut membawa perubahan
dari segi kondisi lingkungan di komunitas untuk mewujudkan permukiman yang
layak huni dan nyaman untuk di tempati. Outcome pembelajaran sosial yang
terjadi adalah perubahan sosial yang terlihat dari perubahan perilaku kelompok
pemuda, timbulnya kesadaran anggota komunitas terhadap lingkungan serta
timbulnya kesadaran akan perlunya partisipasi tindakan kolektif untuk mengatasi
berbagai persoalan lingkungan di komunitas untuk mewujudkan pembangunan.
Keppres No.32 Tahun 1990
1. Kawasan Hutan Lindung
2. Kawasan Bergambut
3. Kawasan Resapan Air
Tata Guna Lahan
1. Leuweung Larangan
2. Leuweung Baladah
3. Leuweung Tutupan
4. Kawasan Bersih
Tata Guna Lahan
Kebudayaan di Kampung Adat Cireundeu
Korelasi
Pola
Pembelajaran Sosial
Perencanaan
Pembangunan Kawasan
Menciptakan Keteraturan Lingkungan
Yang Aman, Nyaman, Produktif dan
Berkelanjutan
94
Adanya perubahan sosial tersebut merupakan kunci keberhasilan dari sebuah
pemberdayaan komunitas (Korten, 1987).
Gambar 5.13 Pengaruh Pembelajaran Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Terhadap Pembangunan Kawasan
Sumber : Hasil Analisis 2012-2013
3 Komponen Demapan : 1. Pertanian 2. Peternakan 3. Home Industri
Kelompok Pemuda (Inisiasi)
Kelompok Karuhun / Sesepuh
Kampung yang memiliki keunikkan tersendiri,
kampung mandiri
Daya Tarik untuk dijadikan Kampung
Wisata
DEWITAPA (Desa Wisata Ketahanan Pangan) DEMAPAN (Desa Mandiri Pangan)
menimbulkan
sehingga
95
BAB 6
KESIMPULAN, KELEMAHAN, dan REKOMENDASI TINDAK LANJUT
Bab ini akan membahas mengenai kesimpulan, kelemahan dan
rekomendasi tindak lanjut penelitian dalam pengembangan kawasan Kampung
Adat Cireundeu kedepannya untuk mencapai masyarakat yang teguh pendirian
dalam menjaga keunikkan daerahnya hingga akhir zaman serta memaparkan
beberapa temuan yang diperoleh dari penelitian mengenai proses pembelajaran
sosial di Kampung Adat Cireundeu terhadap pembangunan kawasan. Untuk
lebih jelasnya akan dibahas pada sub-bab berikut ini :
6.1. Kesimpulan
Nilai-nilai kearifan lokal lahir dari entitas satu kelompok atau komunitas
masyarakat berdasarkan pengamalan hidupnya, sehingga kelahirannya
merupakan wujud dari kemandiriannya. Maka, terkait dengan persoalan
ekspolasi pola pembelajaran sosial masyarakat kampung adat Cireundeu
terhadap pembangunan kawasan, apabila diinternalisasikan dengan nilai-nilai
kearifan tersebut akan memunculkan satu pola pemulihan lingkungan yang
bertolak dari kemandirian masyarakat. Dengan landasan etis, estetis serta logis
yang terkandung dalam nilai-nilai kearifan lokal ini secara bertahap dan terarah
akan menekan tekanan-tekanan material (ekonomi) yang selama ini menggiring
masyarakat menjadi pragmatis. Dalam pengetahuan tradisional, diyakini bahwa
hidup tidak saja mengurusi kebutuhan material (lahir) semata, tetapi juga harus
seimbang dengan kebutuhan imatriil (bathin). Pemahaman ini pada sebagian
besar masyarakat Jawa Barat khususnya di Kampung Adat Cireundeu
diimplementasikan dengan menetapkan kawasan yang berfungsi bathin yang
disebut dengan :
1. Leuweung Larangan dalam pemahaman sederhana yaitu kawasan lindung
2. Leuweung Tutupan (keharmonisan flora dan fauna)
3. Leuweung Baladahan dan yang berfungsi sebagai kawasan budidaya.
Kampung Adat Cireundeu dengan segala keunikannya tidak saja dikenal
oleh lingkungan masyarakat Kota Cimahi, namun sudah dikenal luas karena
mempunyai ciri khas dalam kehidupannya sehari-hari. Salah satu keunikannya
adalah makanan pokoknya singkong dan tanaman singkongnya pun menanam
sendiri disekitar lokasi kampung.
96
Kampung Adat Cireundeu menjadi suatu kampung yang hampir tidak
pernah terpengaruh oleh gejolak sosial yang sering terjadi terutama mahalnya
harga makanan pokok terutama beras. Menurut hemat kami kampung adat
Cireundeu telah menjadi Filot Project dalam rangka melaksanakan program
ketahanan pangan, terbukti bahwa masyarakat setempat makanan pokoknya
tidak bergantung pada beras, dengan kata lain bahwa kampung Cireundeu
sudah menjadi kampung yang Mandiri Pangan / Demapan.
a. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Mempertahankan Adat
Kebudayaanya.
Masyarakat kampung adat Cireundeu memiliki kehidupan yang hampir
sama dengan masyarakat perdesaan Indonesia pada umumnya, dan masyarakat
Sunda di Jawa Barat pada khususnya, tetapi mereka memiliki pola kehidupan
dalam mempertahankan suatu nilai dari leluhur yang berbeda dengan
masyarakat lainnya di luar kampung tersebut. Masyarakat Kampung Adat
Cireundeu mempunyai kehidupan dari kegiatan pertanian tanaman singkong,
berkebun, dan kegiatan pedesaan lainnya. Dikarenakan hasil utamanya adalah
singkong, maka masyarakat kampung adat Cireundeu menjadikan singkong
sebagai makanan pokok utamanya (serba singkong). Hal ini menjadi suatu
keunikkan bagi Kota Cimahi, disamping itu juga mereka memiliki aturan adat
yang ketat dan dijalankan secara turun temurun selama ratusan tahun, serta
masyarakatnya menganut keyakinan sunda wiwitan.
Alasan masyarakat kampung adat Cireundeu mencoba singkong sebagai
makanan pokok seperti yang diutarakan oleh Abah Asep (Panitren) karena
mereka mengacu pada realita masalah yang terjadi di Indonesia selama ini, yaitu
mengenai beras. Masyarakat Indonesia sampai mengimpor, bahkan berhutang
kepada negara luar hanya untuk masalah beras. Mengapa tidak kita coba saja
tanaman singkong yang ada di sekitar kita diolah sedemikian rupa agar mirip
seperti nasi. Akhirnya mereka mencoba mengolah singkong, yang pada awalnya
disepelekan oleh masyarakat lainnya, dan ternyata setelah ada penelitian
mengenai kandungan gizi singkong, ternyata singkong itu lebih baik
dibandingkan beras.
b. Pola Pembelajaran yang Terjadi
Memperkenalkan dan membiasakan rasi sebagai makanan pokok melalui
pembinaan terus menerus sejak kecil kepada anak-anak yang masih kecil
97
merupakan suatu cara pembelajaran yang diberikan oleh para orang tua di
masyarakat kampung adat Cireundeu.
Seorang ibu menyarankan anaknya untuk memakan rasi (beras
singkong), sang ibu memberikan pemahaman mengenai mengapa kita sebagai
penggagas malah ingin menghilangkan tradisi makan rasi (beras singkong),
sedangkan orang lain jauh-jauh ingin kesini bahkan dari luar negeripun.
Maknanya mereka memakan rasi (beras singkong) yaitu merupakan suatu
keyakinan, dimana mereka menganggap bahwa kekuatan itu bukan hanya
datang dari padi saja, melainkan dari singkong pun masyarakat adat masih dapat
mempertahankan hidup layak seperti yang lain. Secara pembelajaran sosial,
masyarakat kampung adat Cireundeu masih menjunjung tinggi rasa solidaritas,
kebersamaan dan gotong royong. Seperti halnya mereka setiap tanggal 17
Agustus selalu melakukan event yang di sebut dengan istilah ―Jurit Wengi‖
dengan maksud mengenang dan menghargai perjuangan para pahlawan pada
zaman dahulu. Jurit Wengi ini dilaksanakan pada malam hari dimulai dari Pukul
20.00 Wib masyarakat kampung adat Cireundeu mendaki ke puncak salam
setelah tiba di puncaknya mereka berkumpul kemudian melakukan ritual khusus
hingga tengah malam (acara puncak), selama perjalanan menuju puncak salam
dipohon-pohon terdapat kupon-kupon yang akan menjadi doorprize.
c. Keterkaitan dengan Perencanaan Pembangunan Kawasannya.
Adanya pembelajaran sosial yang terjadi secara turun temurun di
kampung adat Cireundeu ini ternyata memiliki keterkaitan dalam perencanaan
pembangunan kawasannya, dimana mereka ternyata memiliki pola ruang dalam
mengatur kawasannya. Hal ini dapat terlihat dari segi penataan ruang yang
terbagi-bagi menjadi beberapa kawasan seperti yang telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya mengenai tata guna lahan. Masyarakat kampung Adat Cireundeu
memiliki tradisi dari segi pembagian kawasan ternyata tidak menyimpang
terhadap landasan hukum (Keppres No.32 Tahun 1990 Mengenai Pengelolaan
Kawasan Lindung) yang ada di Indonesia.
6.2. Kelemahan Studi
Penelitian ini mendalami suatu lokasi contoh kasus yaitu Kampung Adat
Cireundeu, yang tentunya tidak dapat memberikan generalisasi konsep
pembelajaran sosial masyarakat adat dalam perencanaan tata ruang secara
98
formal. Kearifan budaya lokal ini bersifat unik sehingga diperlukan adanya
penelitian ulang pada berbagai lokasi untuk mendapatkan hasil dan kesimpulan
yang lebih luas.
Dalam penulisan karya ilmiah ini memiliki kelemahan-kelemahan studi
yaitu peneliti tidak melakukan perbandingan daerah studi kasus untuk
mengetahui karakteristik dari daerah lainnya. Ketua RW yang sulit di kunjungi
dikarenakan kesibukkannya, dan kantor RW yang tidak beroperasi (tidak ada
orang sama sekali yang beraktifitas di kantor RW.10) sehingga sulitnya ketika
ingin mencari data sekunder seperti data kependudukan yang rancu.
6.3. Rekomendasi Tindak Lanjut Penelitian
Penelitian pembelajaran sosial dalam kearifan budaya lokal, khususnya di
Indonesia sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi pada pengembangan
teori serta praktek perencanaan untuk lebih mendekatkan perencanaan dengan
kebutuhan nyata di masyarakat berupa adanya suatu rencana tindak. Dalam
beberapa sumber dinyatakan bahwa setiap di daerah itu memiliki suatu nilai-nilai
dan aturan yang spesifik dalam penataan ruang wilayahnya, pada umumnya
sudah teruji oleh ruang dan waktu dimana kawasan tersebut tumbuh dan
berkembang, sehingga nilai-nilai seringkali lebih berkesesuaian dengan tuntutan
lokal. Hal ini seringkali terlupakan dari penelaahan perencana jika
perencanaanya hanya berpatokan pada standar dan regulasi umum semata.
Hal ini memberikan suatu peluang pada penelitian lanjutan agar lebih
beragam/ bervariasi dengan daerah lainnya yang menurut salah satu sumber
yang diperoleh dalam penelitian ini kurang lebih sebanyak 650 komunitas lokal
dengan masing-masing kultur etnisnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Demikian juga dengan penelitian terhadap regulasi dan modernitas baik secara
umum maupun khusus (lokal) sehingga akan diketahui secara lebih jauh lagi,
apakah regulasi merupakan salah satu pendorong atau penghambat bagi proses
pembelajaran sosial masyarakat adat dan pengaruhnya terhadap kawasan
dalam perencanaan.
99
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Bacaan :
Almendinger, Philip dan Mark Tewder-Jones, Eds. (2002) : Planning Futures :
New Direction for Planning Theory, Routledge, London dan New York.
Argrys, Chris., dan Schon, Donald (1996) : Organizational learning II : Theory,
method, and practice, Reading, MA, Addison-Wesley.
Arole Rajanikant, Fuller, Beth., and Peter Deutschmann .2004. Improving
Community Capacity. Australian International Health Institute (AIHI)
Australia.
Baker, Deirdre .2006. Social Learning Capital – interlinking social capital, lifelong
learning and quality learning conversations. Makalah disampaikan dalam
Konferensi Pendidikan bagi Orang Dewasa dan Komunitas di New
Zealand 26-28 Mei 2006.
Bandura, Albert .1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-
Hall, 1977. 247 pp., paperbound.
Bower, H., Gordon., & Hilgard, Ernest., R., (2005). Theory of Learning. Stanford
University.
Brennan, B.A. (1988) : Hands of Light : A Guide to Healing Through the Human
Energy Field, Bantam Books, United States Of America.
Burns Tom .2004. A Practical Theory of Public Planning: Tavistock Tradition and
John Friend’s Strategic Choice Approach. Jurnal Planning Theory Vol
3(3): 211-233 Sage Publication. London
Dougill, A.J., Fraser, E.D.G., Holden, J., Hubacek, K., Prell, C., Reed, M.S.,
Stagl, S.T., Stringer, L.C. (2006): Learning from doing participatory rural
research: Lessons from the Peak District National Park, Journal of
Agricultural Econoimcs 57: 259-275.
100
Dunn, E. S. (1981): Public Policy Analysis: an introduction, Prentice Hall,
Engelewoods Cliff N.J.
Ellerman, David. 2002. Hirschmanian Themes of Social Learning and Change.
World Bank. Moldova
Faludi, A. (1973): A Reader in Planning Theory, Pergamon, Oxford.
Figuera dkk. (2002): Communication For Social Change: An Integrated Model for
Measuring the Process and Its Outcomes, The Communication for Social
Change Working paper No.1
Fischer, Frank dan John Forester. Eds. (1993): The Argumentative Turn in
Policy Analysis and Planning. Duke University Press: Durham dan
London.
Fischer, Frank. (1998): Beyond Empiricism: Policy Inquiry In Postpositivist
Perspective, Policy Studies Journal, Vol.26. No.1 (Spring,1998): 129-146.
Forester, John. 1989. Planning in The Face of Power, University of California
Press : Berkeley, Los Angeles.
Forester, John. 1993. Critical theory, public policy and planning practice: Toward
a critical pragmatism. State University New York Press, Albany, NY.
Friedman, John. 1973. Retracking America: a theory of transactive planning.
Anchor Press/Doubleday: Garden Citi N.Y.
Friedmann, John .1987. Planning in The Public Domain. From Knowledge to
Action. Princeton University Press. New Jersey.
Habermas, Jurgen .1981. Theorie des Kommunikativen Handelns Band I:
Diterjemahkan oleh Nuhadi Tahun 2006. Kreasi Wacana Yogyakarta.
Hardin, G. (1968): The Tragedy of Commons, Science 162: 1243-48.
Healey, P. (1992a): Planning through debate: the communicative turn in
planning theory, Town Planning Review 63(2): 143-162.
101
Healey, P. (1992b): A Planner‘s day: knowledge and action in communicative
practice, Journal of The American Planning Association 58:9-20.
Healey, P. (1992c): An institutional model of the development process, Journal
of Property Research 9 (1): 33-44.
Healey, P. (1993a): The communicative work of development plans,
Environment and Planning 20: 83-104.
Healey, P. (1993b): Planning through debate: the communicative turn in
planning theory, dalam F. Fischer and J. Forester (Eds) The
Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning, UCL Press Ltd,
London, pp. 233-253.
Healey, P. (1996a): The communicative turn in planning theory and its
implicatios for spatial strategy formation, Environment and Planning and
Design. 23 (2): 217-234.
Healey, P. (1999): Institutionalist Analysis, Communicative Planning, Shaping
Places‘. Journal of Planning Education and Research, 19: 111-21.
Healey, Patsy. (2007): The New Institutionalism and the Transformative Goals of
Planning, dalam Niraj Verma Eds, Institutions and Planning. Elsevier:
Amsterdam.
Hergenhahn, B.,R., & Olson, Mathew., (2007). Theories Of Learning (Teori
Belajar). Jakarta : Kencana.
Horton, P.B & Hunt, C.L. 1992. Sosiologi 2. Jakarta: Erlangga.
Imhof, M. dan Janusik, L.A. (2006) : Development and Validation of Imhof-
Janusik Listening Concepts Inventory to Measure Listening
Conceptualizing Differences Between Cultures, Journal of Intercultural
Communication Research, 35, 79-98.
Korten, David, C 1987. Community Management : Asian Experience and
Perspectives (West Hartford, CT. Kumarian Pres).
Kunto, Haryoto .1984. Semerbak Bunga Di Bandung Raya. Bandung:PT
Granesia Bandung. Hal 397-399
Kurnia, H.I. 2005. Tata Ruang dalam Rumah Adat Kampung Dukuh di
Kabupaten Garut Ditinjau Dari Segi Rumah Adat Tradisional Sunda.
102
Sarjana Pendidikan, Jurusan Pendidikan Teknik Bangunan. UPI-
Bandung.
Leave, Wenger., .1986. Situated Learning.
Marc Alan dan Low Nicholas .2004. Knowing and Steering: Mediatization,
Planning and Democracy in Victoria, Australia. Jurnal Planning Theory Vol
3 (1): 41-69 Sage Publication. London
Mulyana, Deddy., & Jalaluddin, Rakhmat. 2006. Komunikasi
Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda
Budaya. Bandung:Remaja Rosdakarya.hal.25
Munshi Kaivan .2003. Social learning in a heterogeneous population: technology
diffusion in the Indian Green Revolution. Journal Of Development
Economics Vol. 73 hal. 185-213. Tahun 2004.
Nasutiom, M.A. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif . Bandung:
Tarsito.
Nazir, Moch. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Papanek, V. (1995) : The Green Imperative Ecology and Ethics in Design and
Architecture, Thames and Hudson, Singapore.
Sasongko. 1986. Pengantar Perencanaan Kota (terjemahan), Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Sawitri, Dewi. 2006. Keikutsertaan Masyarakat dalam Pengembangan Lokal
(Studi Kasus: Pengembangan Desa di Jawa Barat). Bandung.: ITB
Schon, Donald. (1983): The Reflective Practitioner: How Proffesionals Think in
Actgio,Basic Book, New York.
Schon, Donald. (1987): Educating the reflective practitioner. Jossey-Bass, San
Fransisco.
Schulz, C.N. 1984. Genius Loci, Towards a Fenomenology on Architechture,
Rizzoli, New York.
103
Schweitzer, Lisa A., Eric J. Howard dan Ian Doran. (2008): Planners Learning
and Creating Power: A Communicaty of Practice Approach, Journal of
Planning Education and Research, Vol. 28, 50-60.
Sen, Amartya .2000. Development as Freedom. Anchor Books, New York.
Smith, Barry Percy .2006. From Consultation to Social Learning in Community
Participation with Young People. Social and Organisational Learning as
Action Research (Solar). The University of West of England.
Soekanto, S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods).
Bandung:Alfabeta
Suparlan, Parsudi. 2002. Research Design. Jakarta : Klik Press
Thomson, Don dan Pepperdine Sharon .2003. Assesing Community Capacity
For Riparian Restorian. Land And Water Australia.
Weimer, David L dan Aidan R. Vining. 1989. Policy Analysis: Concepts and
Practice. Prentoce Hall.
Wenger, Etienne. 2000. Communities of Practice and Social Learning Systems.
London: Sage Publication.
Wortjer, Johan. (2000): Concensus Plannning: The relevance of Communicative
planning theory in dusth infrastructue Development. Ashgate: Singapore.
Yin, Robert K. (2009): Case Study Research: Design and Methods, SAGE
Publication, Inc., California.
Sumber Internet :
Aziza, Hilda. Metode Penelitian. Diakses pada tanggal 09 Januari 2013 dari
http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_iii/07110240-hilda-aziza.ps
104
Diding .2002. Forum Masyarakat Sebagai Ruang Transaksi Dan Pembelajaran
Sosial Dalam Perencanaan Publik. Tersedia di http://digilib.itb.ac.id/
gdl.php? mod=browse&node=662
Kebudayaan Sunda. Diakses pada tanggal 12 Desember 2012 dari
www.sundanet.com
www. Wikipedia.com
Kearifan Ekologis Karuhun Sunda. Diakses pada tanggal 02 Juli 2013 dari
http://sundasamanggaran.blogspot.com/2010/01/kearifan-ekologis-karuhun-
sunda.html
Tugas Akhir dan Disertasi :
Irwan, Inez Fitrisia .2010. Pembelajaran Sosial Dalam Mewujudkan Perubahan
Lingkungan Di Komunitas Studi Kasus RT.04 RW.01. Kelurahan Babakan
Sari Kecamatan Bojongloa Kaler. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Suhirman .2011. Pembelajaran Sosial Dalam Perencanaan Komunikatif.: Studi
Kasus Kebijakan dan Praktek Penganggaran Daerah di Kabupaten
Sumedang. Bandung:Institut Teknologi Bandung
Landasan Hukum :
Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 Mengenai Pengelolaan Kawasan
Lindung
Undang-undang No.41 Tahun 1999 Mengenai Pokok-pokok Kehutanan
105
LAMPIRAN
106
L.1
FORMAT LEMBAR WAWANCARA
A. Permukiman
1. Berapa luas secara keseluruhan daerah yang menjadi masyarakat adat
Cireundeu ini ?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
2. Bagaimana cara pandang masyarakat adat Cireundeu terhadap
permukiman yang ada?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
3. Apakah ada aturan – aturan khusus/adat-adat tersendiri mengenai etika
bermukim?
Jawab :
.............................................................................................................................
.............................................................................................................................
........................................................................................................
4. Bagaimana cara masyarakat adat untuk membangun permukiman
berdasarkan tradisi turun temurun?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
107
B. Pembelajaran Sosial
1. Bagaiamana cara para orang tua memperkenalkan kepada anak-anak
bahwa singkong yang dijadikan sebagai makanan pokok masyarakat
adat Cireundeu ini sudah menjadi tradisi dari turun temurun?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
2. Bagaimana cara mereka bergaul dengan masyarakat non-adat yang
memakan beras sebagai makanan pokoknya?Apakah mereka tergiur
untuk mencoba nasi?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
3. Bagaimana sistem gotong royong yang ada di masyarakat ini?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
4. Bagaimana sistem kelembagaan yang ada di masyarakat Cireundeu?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
5. Melalui tradisi yang menjadi ke khas an masyarakat Cireundeu, Apakah
ada pengaruhnya terhadap :
a. Lingkungan ?
108
Jawab :
...................................................................................................................
...................................................................................................................
...................................................................................................................
b. Pembangunan ?
Jawab :
....................................................................................................................
....................................................................................................................
....................................................................................................................
c. Kontribusi terhadap daerah ?
Jawab :
....................................................................................................................
....................................................................................................................
...................................................................................................................
6. Bagaimana cara mengelola lingkungan yang ada?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
7. Nilai-nilai apa saja yang terdapat dari masyarakat Cireundeu ini sehingga
banyak para pendatang tertarik dan penasaran terhadap keunikan
kampung ini?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
8. Seperti apa sistem bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat ini?
Apakah ada sistem-sistem khusus?
Jawab :
109
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
9. Mengapa masyarakat Cireundeu menjadikan singkong sebagai makanan
pokok?
Jawab :
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
..........................................................................................................................
10. Dari segi pendidikan, terdapat pada jenjang pendidikan tertinggi apakah
rata-rata masyarakat adat Cireundeu ?Rata-rata bermata pencaharian
apa?
Jawab :
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
...........................................................................................................................
110
HASIL WAWANCARA PANITREN
KAMPUNG ADAT CIREUNDEU
Narasumber : Abah Asep (Panitren)
Tanggal : 21 Mei 2013
Abah Asep : Tinggal nganggarin aja kan masalah sharing dananya kan bisa ke
pusat mungkin kementrian atau departemen-departemen yang lain
saya rasa kalau di ajak yang positif masak gak mau, uang Cuma
segitu . Apalgi di Pusat sampai ribuan triliyun masa diminta untuk I
M untuk Cireundeu (bukan untuk Cireundeu, tapi lebih edukasi)
kepentingan masyarakat seluruh Indonesia saya rasa tidak ada
keberatan lah. Tinggal ada niat baik, serius gak atau hanya
sebatas cerita, sebatas ngomong, sebatas wacana, kalau mau
benar-benar iya serius tentang ketahanan pangan ini, tentang
keragaman pangan ini kan sebenarnya. Bukan hanya sebatas
simbol saja, sebatas simbol saja, sebatas pameran saja. Tidak!!
tetapi harus ada dampak positif terhadap masyarakat yang ada di
tanah Nusantara ini, khususnya Cireundeu. Bukan hanya
Cireundeu terkenal, tapi masalah ekonominya masih terpuruk,
masalah sosialnya juga belum. Dampaknya tidak signifikanlah, tapi
mudah-mudahan kedepan harapannya seperti itu. Soalnya
kemarin ditanya dari DIKTI sharing dana DIKTI dengan Cimahi
katanya Cimahi SIAP..!! Tapi Rp. 1 pun kayaknya gak tahu saya
juga gak ngerti, karena pendampingnya dari UNPAD, bu Merlin
dkk. Gak tahu lah pemerintah saya juga malu, malas nanya-nanya
mestinya kan mereka respon, mestinya mereka juga pro-aktif, tapi
kenyataannya sampai saat ini belum. Tapi gak tahun untuk tahun-
tahun sekarang apa dijalankan lagi atau tidak. Tapi buat
masyarakat disini, mau jalan atau tidak DEWITAPA ini tetap
berjalan aja seadanya, walaupun kita tidak punya anggaran dsb.
Buktinya waktu tamu seperti tadi kan ( Tamu Dari Ibu-Ibu PKK
Serdang Bedagai Medan) ?? Ya biarin aja mereka datang kesini
111
sendiri, tidak usah ngundang, mau anggaran-anggarannya dari
mana urusan mereka. Kita mah namanya tamu ya kita sambut
dengan hangatlah disini, apa adanya disini, namanya beras
signkong tidak usah beli, namnya ibu-ibu masak tidak perlu dikasih
upah dsb, lebih ke sosial. Orang yang ingin tahu, orang yang ingin
belajar kenapa kita harus dibayar. Kita malah ada saudara kita
yang tadinya istilahnya terpuruk dengan harus makan beras
ternyata beras tidak ada bisa makan singkong atau jagung atau
yang lain kan istilahnya itu kan suatu kemajuan yang bagus untuk
kita. Walaupun ditempat lain saudara-saudara kita minimal lah
bisa merubah pola hidup atau pola makan, bisa ngikutin seperti
Cireundeu lah. Dalam arti, walaupun Cireundeu posisinya ada di
kota, tapi posisi ada di kampung, tetapi secara ekonomi maupun
sosial termasuk kesehatan dsbnya boleh dikatakan kategori yang
tidak terlalu miskin (tidak kategori yang miskin-miskin banget lah ) .
Mungkin bisa dilihat rumah-rumah ya, walaupun standar minimal ,
bisa dibedakan dengan yang lain, bukan berarti kita sombong
tetapi emang kenyataannya emang seperti itu.
Trus jaringan sosial, pergaulan dengan yang lain Ya sama-sama
saja. Bergaul. Dari segi pendidikan ya tidak bodo-bodo amat (tidak
tertinggal) , tidak sampai ada yang tidak bisa baca tulis, dari anak-
anak bayinya tidak ada yang mengalami gizi buruk. Berarrti
standar minimal untuk kehidupan pola hidup walaupun makan
singkong, sejajar dengan yang lain. (Menurut Saya), kenapa yang
lainnya juga tidak mencoba merubah (bukan harus pindah) tetapi
minimal merubah pola pikirnya, bahwa walau tidak ada beras,
kenapa harus ribut, kenapa kita kayak yang menghadapi
bencana?? Yaudah, dibelakang ada singkong, dibelakang rumah
ada jagung, ada talas, ya itu aja yang DIOLAH. Yang tadi saya
katakan sedikit dirupa dan dirasalah (itu tinggal pintar-pintar ibu-
ibu aja mengolahnya). Yang penting kandungan asupan protein
dan gizi dsbnya itu yang diutamakan. Makanya ada petatah-petiti
atau sasanti yang diwariskan dari leluhur kami , Nah itu lah. Yang
penting sumber kekuatan itu dari makanan apapun ada, kalau kita
mau mencoba ke arah sana. Soalnya Cireundeu juga dulu waktu
112
masa zaman penjajahan boleh dikatakan sesepun kami disini
(sawah itu sejauh mata memandang) . jadi untuk kehidupan
masyarakat Cireundeu, tidak akan kekurangan sampai sekarang
juga (Istilahnya), Tapi tidak sombong dan tidak terlena dengan itu.
Kalian jangan terlena karena urusan beras ini memang paling
enak di dunia ini (untuk nasi), tapi jangan terlena suatu saat (orang
tua bilang) suatu saat orang makin lama makin banyak, lahan
semakin sempit , pasti akan rebutan, Coba pegunungan ini diolah
selain padi, dicoba singkong (gagasan 1918), ternyata bisa . Gak
begitu 1918 digagas langsung bisa, 1924 baru bisa. Budidaya,
mengolahnya, memakannya, Bayangin dulunya biasanya makan
enak, namanya gak ada raskin lah istilah, dulunya masih padi-padi
bagus dulu, walaupun panen setahun sekali, tiba-tiba disuruh
makan singkong , yang teteh mungkin bisa merasakan bedanya,
kalau saya kan tidak bisa membedakan antara beras singkong
dengan beras padi karena belum pernah mencicipi. Tapi kan kalau
teteh bisa ngebedain jauh kalau dilihat rasanya kan jauh. Tapi
kalau setelah dicoba dan dibiasakan, ya tidak ada bedanya.
Mungkin disitulah istilahnya merubah pola tanam dan pola berfikir
dan pola makanan. Kealaman oleh generasi saya disini, bener
sawahnya habis . Terlahir 2005 tertimbun sampah. Bayangin kalau
dulu tidak ngikutin apa yang kata orang tua , ya ikut tergerus
nunggu dikasiin pemerintah (beras raskin). Kalau enggak dikasi
raskin, sawah tidak ada, uang aja tidak ada, dikasi raskin gimana
mau tebus , ya tidak makan beras. Buat di Cireundeu mau mau
raskin , mau beras mahal , Leumpeung ada. Yang penting kan
makan nasi itu bukan hanya nasi. Beras Rp 10.000/Kg Rp.
20.000/Kg kalau Cuma makan dengan garam?? Ya sama aja kan
enggak bagus. Yang penting kan keanekaragaman yang lainnya,
walaupun Cuma makan nasi singkong tapi kan ada ikannya, ada
tahunya, ada sumber protein lainnya, dsb. Yang penting kan 4
sehat 5 sempurna. Makanya secara dampak sosialnya untuk
masyarakat Cireundeu ini : Mudah-mudahan harapan kedepannya
lebih berimbah positif lagi secara ekonomi., sosial budaya dsbnya
bahwa kita yang makan singkong terkesan orang yang
113
termarjinalkan lah (orang terbelakang) orang yang sangat miskin
dan sangat bodoh. Enggak Lah!! Buktinya istilahnya yang punya
tran 7 aja mendeklarasikan diri anak singkong, padahal mereka
tidak maka singkong. Cuma sejarahnya dulu dia (zaman
merintisnya sekarang menjadi konglomerat) itu awalnya mungkin
tidak serta merta speerti anaknya aburizal bakrie sekarang,
mungkin bapaknya pak Ical kan mungkin dulu berjuang kan cerita
di TV dan sbgnya mungkin seperti itu. Tidak malu gitu anak
singkong sekarang jadi konglomerat, kenapa enggak??kalau
Cireundeu benar-benar anak singkong emang dri bayi sudah
makan singkong. Kalau pak Faisal Tanjung kan istilahnya dulu
pernah mencicipi, merasakan beberapa bulan atau beberapa
tahun sampai sekaran gjadi sukses, mungkin sekarang sudah
tidak makan singkong lagi. Kurang lebih seperti itulah. Tapi kan
menganggkat harkat dan derajat bahwa walaupun makan
singkong, boleh dikatakan saya juga exist lah jadi pengusaha
sukses, kan begitu lah istilahnya. Walaupun dulu bapaknya pak
Ical dulu hanya lulusan SR, katanya punya karyawan sampai
10.000, masa kalian gak bisa?? Bener, pada saat itu juga mereka
juga diwarisi harta dari nene moyangnyanya yang tidak sedikit.
Kalau kita-kita ini apa coba? Hanya Cireundeu diwariskan oleh
leluhur kami tentang budidaya singkong termasuk senibudaya itu
yang kami jaga. Tapi begitu kami olah dan sudah kami rasakan, ya
sudah pas pada relnya , kenapa harus plarak plirik kesna lagi.
Yang tadi saya katakan,bukan berarrti msayarakat Cireundeu tidak
mau berbisnis , sebenarnya kami siap berbisnis, tapi jagna smapi
bisnis itu melupakan segalanya (seni budaya ditinggalkan, masa
bodo terhadap saudarasaudara kita yang ada) tidak seperti itu. Ini
kan milik masyarakat Cireundeu semua, pada umumnnya
khususnya masyarakat adat. Denganboleh dikatakn Cireundeu
dikenal dianggap oleh PEMDA dijadikan DEWITAPA, kalau ada
dampak postifnya harus semuanya menikmati bukkan seseorang
secara pribadi atau sekelompok orang , tapi harus semuanya bagi
masuarakat Cireundeu disini khususnya dan umumnya mudah-
mudahan dari Sabang – Merauke bisa belajar, minimal
114
punyapencerahan kalau makan itu hanya beras dan terigu saja,
tetapi ternyata singkong juga bisa. Silakan tidak usah bayar, kita
mau diajak ke daerahnya atau disini, kita ajrain sama mereka.
Dengna tujuan untuk mengentaskan keterpurukan khususnya di
pangan, Soalnya kan kebayang kalau tidak ada beras.
Suatu saat kan pasti tidak ada, bayangkan saja jumlah penduduk
dunina samapai lebih dari 6M penduduk , bayangin kalau terfokus
di beras? Mati semua. Pasti rebutan, harga beras berapapun buat
konglomerat Rp.100.000/Kg pun tidak apa-apa, buat fakir miskin?
Mau nebus raskin aja tidak punya uang, apa mau dibiarkan?
Jawabannnya kan sebenarnya di daerah situ ada singkong,
jagung, dsbnya. Kenapa harus di berasnisasi. Ya harapan kami
disini, pemerintah dsbnya jangan tidak ada beras jadi bencana lah,
padahal kan banyak asupan-asupan yang lain khusunya di jagung,
di umbi-umbian, singkong dsbnya. Cuma kan bagaimana caranya
kita merubah. Kalau kita lihat singkong gelondongan gitu kan
bingung bagaimana makannya . Tapi begitu dirubah bentuk,
mungkin nanti ada teknologi pangan, mungkin nanti beras
singkongnya seperti beras biasa yang kita makan , mungkin
rasanya juga mendekati dsbnya. Saya rasa cukup mungkin
dengan banyak orang-orang pintar ngurusin bikin mesinnya,
teknologi pangannya dan lain sebagainya dan lain sebagainya
yang penting kan kita jangan sampai berhenti berfikir, berinovasi
untuk kedepan supaya bahasa istilah sombongnya negara ini
ngurusin perut aja gak beres-beres gitu kan? Sampai negara juga
impor sana impor sini karena ketakutan, yang dikhawatirkan
kedepan urusan beras dijadikan komoditi politik kan repot.
Sementara di Vietnam banyak , di Cina banyak di Korea banyak
beras. Indonesia pemakan beras terbanyak di dunia misalkan.
Boleh dikasi beras dengan catatan-catatan politik kan masa
urusan perut aja harus digadaikan ke negara lain. Padahal kan kita
banyak. Mestinya kan kita berdiri di kaki kita sendiri atau berdaulat
pangan (tidak tergantung terhadap yang lain). Namanya
tergantung terhadap yang lain, apapun mungkin komoditi politik,
komoditi teknologi ataupun pangan saya rasa jadi bulan-bulannan
115
negara lain. Kan kita juga tidak menghendaki rakyat kita
digadaikan hanya untuk ngurusin perut padahal di kita singkong
sampai Rp. 20 Juta / Ton, jagung juga. Ya itu perlu pemikiran-
pemikiran yang lebih luas lagi dan lebih kebersamaan lagi. Jangan
sampai promosi disana-sini, misalkan pemerintah hanya sebatas
wacana saja, sebatas simbol-simbol saja hnay sebatas kalau hari
pangan saja, sebatas keperluan tertentu-tertentu saja tidak ada
tindak lanjut yang konkret ke depan ya percuma, masyarakat juga
tidak akan mengikuti, tetapi kalau dibarengin dengan tindakan
konkret mungkin dijadikan dengan beras analog, dengan
menggandeng orang-orang yang punya teknologi, teknologi
pangan ataupun teknologi apa, supaya bener-bener masyarakat
pun bisa ikut merasakan. Kalau beras singkong itu harganya Rp.
5000 ternyata kandungan gizi proteinnya lebih dari beras yang
biasa dikonsumsi? Pasti kan bisa beralih. Bisa menciptakan
seeperti itu kan kenapa tidak? Soalnya kan sawah makin kesini
semakin sempit, dimana jumlah penduduk bertambah, sementara
sawahnya semakin berkurang karena beralih fungsi kan itu tidak
bisa dibent\dung dengan aturan pemerintah, perundang-undangan
dsbnya, karena itu hak milik dari seseorang kan gak bisa .
pemerintah gak boleh dijual, boleh lah banyaklah mengatakan
bikin sawah abadi. Tapi kan tidak seimbang lah, jumlah penduduk
sampai kapanpun, jumlah penduduk semakin bertambah otomatis
karena sawah itu posisinya da di daerah dataran, pasti kan itu
akan dihajar untuk perumahan dsbnya, kan gak ada sawah di atas
pegunungan?? Tidak akan diganggunya? Kan tidak mungkin
mereka juga bikin pabrik di atas gunung, pasti di daerah dataran,
seperti di karawang istilahnya Indramayu dsbnya sudah mulai
sedikit-sedikit dibebaskan sekian ratus hektar. Otomatis kan yang
memakannya kan semakin lama semakin bertambah jadi jumlah
produksi dan konsumsinya akhirnya tidak seimbang. Yang
dikhawatirkan kedepannya kan jadi bulan-bulanan semua (rebutan
masyarakat dunia) Istilahnya Indonesia kan pemakan beras
(sebagai pasar saya). Suatu saat kurang kan akhirnya jadi konflik.
Kekurangan pangan atau ketahanan pangan tidak seimbang atau
116
tidak terjaga tidak kecil kemungkinan ketahanan nasionalnya akan
terganggu juga.
Yang saya ikutin waktu pemaparan di Kementrian Dalam negeri,
saya juga kaget. Saya bilang ke bapak Nainggolan Pak kenapa
saya di bawa kesini? Ya pokoknya kamu kesana ajalah bawa
pameran dsbnya. Apa hubungannya saya bilang kementrian
dalam negeri dengan urusan bapak sebagai badan ketahanan
pangan. Ternyata disana sudah ada judul ―Ketahanan Pangan
akan Menunjang Ketahanan Nasional‖. Ternyata benar juga kalau
siapapun kalau rakyatnya perutnya emang lapar, siapa yang bisa
tenang. Intinya ketahanan pangan , baru bisa menjadi ketahanan
nasional.
Dipikir-pikir benar juga, walaupun dipikir-pikir secara langsung
tidak ada kaitannya, tapi sangat erat kaitannya sebenarnya kan?
Ya contohnya jangan jauh-jauh, kita aja kalau lagi lapar mana bisa
ngapalin kan? Yang ada kita peganging perutnya aja terus-
menerus. Untuk diri kita sendiri itu, coba bayangin kalau enduduk
kita 250 juta jiwa menderita seperti itu? Perang saudara benar-
benar rebutan makanan, bukan rebutin apa-apa. Bisa kejadian,
tapi mudah-mudahan tidak lah. Negara kita negara agraris,
apapun tumbuh . ya mudah-mudahan jadi contoh untuk negara
lain dan minimal untuk kebutuhan rakyatnya sendiri lah, tidak
kurang ataupun harapannya kesana. Pemerintah selalu nyeleneh,
contoh kecil cireundeu, cireundeu bisa kenapa yang lain gak bisa.
Sebenarnya semua nya juga bisa tinggal apa kita mau melatih diri
apa tidak. Begitu!
Bukan berarti tidak boleh makan beras, minimal pengetahuan itu
bahwa pangan itu tidak identik dengan beras. Intinya kesitu.
Soni Sasono : Nah pak, yang program pemerintah yang demapan itu menjadi
salah satu binaan dari promosi pemerintah ya? Buat menaikkan
Cireundeu menjadi contoh ya pak?
Abah Asep : Iya, jadi salah satunya emang banyak kadang-kadang pemerintah
daerah mengangkat Cireundeu. Sebenarnya saya dulu pameran di
Makassar, dalam hari pangan dunia yang dihadiri oleh Pak SBY.
117
Mereka tidak tahu namanya Cimahi, Ini cimahi? Cimahi itu
dimana? Pas begitu Cimahi jadi kota. Apalagi Cireundeu tidak ada
di peta, Cimahi saja tidak tahu. Nah saya mengenalkannya apa?
Bapak pernah dengar gak TPA Leuwigajah longsor (2005)? Oh
iya. Nah disitu cimahi, nah disitulah Cireundeu.
Lalu jelasin lah urusan singkong dsbnya, mulai itu orang pengen
tahu sampai saat ini dan akhirnya PEMDA sedikit geli lah terus di
cubitkeun oleh pemerintah pusat kok tidak ada respon, akhirnya
ada respon. Ya terlepas mereka menyiapkan dana ataupun tidak
itu mah urusan mereka. Yang penting kalau emang program
demapan ini jalan, kita juga siap bantu, kalau emang tisdak jalan
pun kita mah berjalan sekuta tenaga kita aja (swadaya
masyarakat), masa tamu mau belajar disini, walaupun cara
memaparkan saya tidak seperti teteh-teteh di kampus (pakai Slide,
pakai yang lebih jelas lainnya) ya terus terang istilahnya ya ditalar
aja begitu karena keadaannya seperti itu. Saya juga tidak mau
minta-minta terhadap pemerintah siapapun, tapi saya diwariskan
oleh sesepuh kami (tidak boleh lah minta apapun) Udah seadanya
aja. Sampai geli pemerintah pusat coba anggarin lah Cireundeu
Rp. 100 / 200 juta mah, Tolong kang Asep beli itu infocus dsbnya
jadi nerangin masa kayak gini? Masa orang harus disuruh-suruh
naik gunung dsb nya kan enggak mungkin walaupun gunungnya
ada, singkongnya ada. Tapi minimal mereka punya ilustrasi, punya
gambaran seperti itu. Sampai saat ini enggak ada yang perlu, kami
juga tidak mau meminta. Yaudah seadanya aja, tapi kalau
dipaparkan seperti itu kan ya bukan walaupun kami posisi di adat
istilahnya tidak ada kata tidak boleh selama itu untuk kepentingan
orang banyak, tidak mengganggu tatacara keadatan disini, boleh
lah. Tapi jangan karena punya slide ini dijadikan nonton layar
tancap lah, untuk pemaparan kepentingan orang banyak boleh
lah. Lebih ke kuliah terbuka aja kan seperti itu, nanti siapun yang
memaparkan , mungkin yang punya pengalaman yang belajar
disini ya mangga aja kan seperti itu . Cuma kalau ada tamu yang
seperti itu kan terkadang kita juga geli ya , zaman modern seperti
ini, harusnya ya kita ikutin aja dalam arti supaya pemerintah lebih
118
mengarahkan urusan belajar komputer dsb nya, mungkin teteh-
teteh yang lebih senior kan masa anak-anak yang mau belajar
kayak gitu aja kan gak mau ajarin kan? Selewat aja kan gak
mungkin seperti itu. Kursus lah, privat dlu beberapa jam
mengoperasikan seperti itu. Tapi mudah-mudahan dengan
program DEWITAPA terus-terusan dipromosikan, mudah-
mudahan Cimahi juga keangkat mengenai pangannya, kearifan
lokal yang ada di Cireundeu dan secara tidak langsung Cireundeu
juga terangkat secara lingkungannya, budayanya, maupun
pangannya. Jadi lebih ke edukasi lah sebenarnya, jadi bukan
berarti Cireundeu mau nyari duit keurusan itu,TIDAK! tapi lebih ke
edukasi, nanti ada sebab akibat transaksi ekonomis seperti tadi,
itu sebab akibat mereka disitu ada produk, mereka ingin tahu,
ingin beli ya sewajarnya aja itu kan ada nilai tambahnya untuk ibu-
ibu pengrajin disini dengan tidak mengurangi Etika Bisnis.
Soni Sasono : Kalau dari program Demapan itu ada dana gak pak?
Abah Asep : Ya justru itu kalau demapan itu kan diprogramkan oleh kota
Cimahi, katanya sih dulu nyusun anggaran sampai Rp. 600 Juta,
tapi sampai saat ini saya tidak pernah melihat dan tidak pernah
merasakan, coba ke Cireundeu demapan bikin apa, bikin apa,
Enggak Ada !!
Maretta : Kalau dari bantuan-bantuan dari pihak lain ada enggak pak?
Abah Asep : Bantuan dari pihak lain itu mungkin dari DIKTI yang dibidangi oleh
unpad, sedikit ada pelatihan-pelatihan (pelatihan manajemen, dsb)
yang dikomandani Bu Marlin, dkk. Malah di bawah juga ada sedikit
proyek mau bikin green house (udah di buat, tapi belum selesai)
itupun ada dana, katanya bantuan dari DIKTI, melalui Unpad
Cireundeu. Tapi green house ini hanya sebagai sample disitu
untuk mencoba masyarakat di sini mau enggak? Karena kan disini
itu banyak pupuk-pupuk organik banyak, coba ibu-ibunya dilatih,
supaya mungkin ke depan kalu disini contohnya bagus, ada petani
atau ada pengunjung ada ingin beli seperti di Lembang ya kita
jual, mudah-mudahan bisa nular untuk dirumahnya masing-
masing, harapannya seperti itu. Kedepan itu katanya bantuan dari
DIKTI melalui Unpad, besarnya berapa saya juga tidak tahu. Tapi
119
untuk Cimahi sendiri tidak ada. Sementara ini saya juga belum
dengar lah untuk program demapan. Tapi namanya bantuan dari
propinsi dulu ditumbuk, sekarang digiling (ada bantuan mesin
giling dari propinsi) , dari Cimahi juga ada ada mesin pengupas,
mesin pemotong termasuk mesin pengering juga ada yang dari
Kota Cimahi, Tapi kalu program demapan saya rasa enggak tahu
(belum serius kayaknya), biasa lah kalau pemerintah urusannya
kan dikaitkan dengan urusan pertandingan politik.
Dari segi bantuan pendanaan, dari Cimahi itu belum pernah.
Apalagi kan suka ada event tahunan ya (sura an) setiap tahun kan
itu jadi agenda tahunan disini, ya Mohon maaf lah, Cimahi belum
pernah ikut nimbrung, seinget Cimahi jadi kota, baru kemarin Ibu
Walikota datang kesini.
Maretta : Berarti tadi aliran dana bantuan itu kemana pak?
Abah Asep : Kalau ASABRI itu melalui Pak RW yang mengajukan proposal,
kalau yang PNPM Mandiri Pariwisata melalui BKM, karena kami
kan tidak punya label organisasi, namanya bantuan pemerintah,
sebesar apapun harus yang punya legal formal (berbentuk
yayasan, dsbnya). Kami kan komunitas adat ini boleh dikatakan
sama pemerintah ini dibilang tidak di akui juga enggak, diakui juga
engga. Yang jelas kami bukan organisasi. Makanya mereka mau
ngasih bantuan juga melalui BKM yang ada di Kelurahan. Jadi
masuk ke rekening BKM (ada pengurusannya, ada ketuanya, ada
bendaharanya, dsb) jadi melalui mereka. Nah kami terimanya dari
mereka. Dari pusat sudah di pagukan Cireundeu, tapi nanti legal
formalnya melalui BKM baru diserahkan langsung ke pengurus tim
pelaksana PNPM Mandiri tadi.
Disini dibagi 3 kelompok : ada kelompok kuliner, ada kelompok
kerajinan, ada kelompok budaya. Urusannya budaya (beli ini beli
ini), urusa kuliner (beli blender, dsb), kerajinan (seperti dibikin alat-
alat kerajinan dsb). Urusan kuliner bu elis, Urusan budaya kang tri,
urusan kerajinan Kang Jajang. Jadi dari BKM diserahkan kepada
mereka. Jadi ke unit pengurus pariwisata. Diserahkan ke situ baru
di distribusikan ke pengurus-pengurus itu sesuai dengan ajuan
terhadap yang di ajukan kesana. Jadi yang bikin proposal juga kita
120
yang ajukan ke BKM, jadi BKM yang ngurus dan bikin proposal
segala macam karena mereka yang punya legal formal, jadi kita
terima jadi dari mereka.
Tapi kalau dari pemerintah pusatnya ini untuk masyarakat adat
Cireundeu, pagunya sekian melalui BKM, jadi enggak ada yang
dana buat masyarakat adat Cireundeu ni Rp. 10.000, belum
pernah ada. Karena kan harus punya cap, kita gak punya cap apa-
apa.
Maretta : Cireundeu ini pak, mulai terbuka ke masyarakat luarnya itu sejak
kapan?
Abah Asep : Dari dulu juga udah terbuka, Cuma ya terkenalnya sejak ada
longsor dari 2005,2006,2007,dan 2008 mulai pemerintah ikut
merespon. Cimahi memberikan penghargaan, propinsi
memberikan penghargaan, sampai kita di undang ke istana
presiden dan segala macam. Ya itu karena Cireudeu punya
prestasi dan pitensi yang boleh dikatakan orang lain patut di
contoh lah seperti itu. Dulu mah ada sampah, orang juga malas
mau kesini. Anggota dewan sampai disitu berhenti bisnya
langsung bilang, ngapain kita di bawa-bawa ke tempat sampah
balik lagi. Enggak jadi ke Cireundeu, maksudnya biar tahu
disuguhi teh itu di gembrongi lalat. Kita menikmati bukan sebentar
teh (20 tahun, sejak saya masih SMP) sekarang aja bisa cuap-
cuap. Berani perang. Dulu mah diem weh, da gimana gak ngerti
lingkungan. Nah begitu kesini, siapa lagi kalau tidak sama kita,
matak saya bikin baligho ―Selamat datang di Kawasan Miskin
Udara Segar‖ Namanya bau, namanya lalat bayangin selama 20
tahun tidak ada yang memperdulikan. Namanya saya ekspose di
Koran, saya ekspose di tv terus-terusan sebelum longsor ini. Tapi
pemerintah Cimahi malah ngebebasin lahan lagi TPA ini akan
diluaskan, Bukan di luaskan tapi ditata, berhentikan dulu ditata
sedemikian rupa. Enggak mau dengar. Udah longsor baru. Untung
masyarakat disini kelas action (kelas action heureu-heureuan)
kalau kelas action semua kebayang. Tapi kita tidak mau lah
menghukum bapak kita sendiri. Baik-buruk pun Jawa Barat Bapak
kita. Yaudah yang sudah-sudah, ya tapi jangan diulang lagi lah.
121
Cari tempat yang lebih nyaman, yang lebih cocok, lebih layak, tapi
jangan seperti ini lagi, nanti 20 tahun kemudian ada masyarakat
yang tertimbun sampah lagi. Inilah jadikan contoh (harapan seperti
itu)
Maretta : Nah pak semenjak terkenal tadi dan bersentuhan dengan pihak
luar itu ada pengaruhnya ke budayanya enggak pak, khusus
sunda wiwitannya itu apakah ada gangguan sedikit-sedikit kurang
kepercayaannya.
Abah Asep : Kalau urusan itu sangat pribadi, saya rasa tidak. Mereka juga
datang ke sini tidak ada yang pertanyaannya kesana (kenapa
bapak baju hitam, kenapa bapak agamanya ini). Tapi yang jelas
tidak ada pengaruhnya, kalau ke urusan ekonomi ya sedikit
mulailah ada pengaruh dengan dampak yang seperti itu.
Maretta : Berarti regulasi rasi itu berdasarkan gimana pak? Meregulasi
supaya terjaga (dulu kan tidak pernah dijual, sekarang dijual)
Abah Asep : Jadi begini, kalau dulu tidak pernah di jual Cireundeu kan tidak
terkenal seperti sekarang dan pemerintah pun pada zaman dulu
kan tidak pernah mengenalkan keragaman pangan, malah ada
program berasnisasi dari Sabang – Merauke pada saat zaman pak
Harto karena ingin mengangkat derajat bangsa ini tuh kok masih
makan singkong, kok masih makan jagung terkesan kan miskin.
Tapi makan beras ini kayaknya kan derajatnya ini naik, termasuk
orang Papua yang terbiasa makan pakai batu gitu suruh makan
beras.
Pernah ada cerita tetangga disini, Si Waka (dia seorang tentara,
pilot juga di AU) sampai datang, cerita dengan saya, entah benar
apa enggak cerita itu. Tapi yang jelas mereka dari Jakarta pakai
Hercules suruh ngirimin beras ke Papua, tapi dalam perjalanan
saya berfikir Pak Asep, orang Papua mau dikasi beras, sementara
dandangnya gak di bawa, ini masaknya mau pakai apa? Apakah
mau ditumpuk di batu seperti itu. Tapi apa boleh buat, karena ini
perintah komandan yaudah saya laksanakan. Disana berasnya
dibuang atau digimanain tapi saya gak habis pikir orang-orang
Papua di dalam itu kan makannya ditumbuk di Batu panas gitu,
kan yang cocok kan itu umbi-umbian lah dengan daging, tapi kalau
122
beras gimana?? Kalau dandangnya juga enggak dikasi, rata-rata
kan di sana enggak punya dandang. Ya kalau di Kota tidak usah
diceritain, ini kan di kampungnya. Saya juga enggak habis pikir.
Nah kepikir lagi sekarang akibat berasnisasi tadi, Kata Pak
Nainggolan, yang penyakit diabetes semakin meningkat, karena
beras itu kandungan glukosanya juga tinggi, terus kedua juga
konsumsi beras ini juga cukup tinggi. Karena Indonesia ini
termasuk rakus, karena 93 Kg/Kapita pertahun, Bayangin.
Malaysia sudah menurun 60 Kg, Jepang sudah menurun 50 Kg,
kita malah menaik (terakus di dunia) Bayangin, berapa juta ton
pertahun makan beras.
Nah itu contoh-contoh kecil, nah pada saat itu berasnisasi
otomatis kan mereka tidak pernah melirik singkong (apaan
singkong). Malah singkong di olok-olokkan orang yang makan
singkong itu kan? Termasuk orang miskin, termasuk orang
terbawah (boleh dikatakan masyarakat yang enggak ada artinya)
sekarang sudah mulai berfikir keragaman pangan tadi, malah
dianjurkan ya mulai kan orang juga pengen tahu. Makanya
dipromosikan di semua tv pernah meliput. Malah kementrian juga
pernah bikin gambar disini (Lula Kamal sebagai Duta pangannya).
Ibu Koni Sutedja datang kesini bikin Film disini tentang makanan
rasi (jadi semacam iklan layanan dari kementrian pertanian). Jadi
disitu mulai orang pengen tahu, disitu ingin nyoba juga,
Perintah aban Emen, begitu tamu kesini juga kan dari kementrian
kan jangan dikasi beras, kalau makan beras dirumah aja banyak,
justru kalian disini itu harus mencoba nasinya orang Cireundeu.
Ternyata respon mereka cukup positif. Ternyata enggak jauh beda
dengan beras, ya emang bener, kan makan rasi enggak Cuma rasi
aja kan, ada lauk-pauknya, protein lainnya. Itu kan hanya asupan
karbohidratnya aja. Dan mereka begitu mencoba makan, rasa
kenyangnya juga lebih panjang, jadi kalau saya makan pagi itu
baru lapar itu jam 2 jam 3. Kalau bagi yang puasa, subuh sarapan
rasi itu, udah leumpeung, kalau puasa tahan lapar, kan dari jam 2
ke atas kan nahannya kan gampang gitu. Jadi daya kenyangnya
lebih lama. Makanyan disini rata-rata, makannya Cuma 2 kali
123
(Makan siang & Malam) , kalau pagi-pagi itu jarang, kayak opak
atau minum teh atau apa. Kalau di yang lain kan diusahakan pagi
itu makan, kalau disini kan rata-rata jarang. Tapi ada juga
(umumnya 2x).
124
L.2
LEMBAR OBSERVASI
No Aspek Perekonomian Indikator Keterangan
1 Ketimpangan Wilayah a. Faktor Penyebab
b. Akibat
2. Rata-rata pendapatan
masyarakat
a. Mata Pencaharian
b. Pendapatan per bulan
No. Aspek Sosial Budaya Indikator Keterangan
1. Adat Istiadat a. Upacara
b. Kegunaan
2. Budaya dan Kebiasaan a. Acara keagamaan
3. Kesenian a. Tari-tarian dan Musik
4. Pola Hidup
5. Pembelajaran Sosial
6. Aspirasi Masyarakat terhadap
pembangunan
7. Partisipasi Masyarakat
125
L.3
FORMAT LEMBAR KUESIONER
Nama : …………………………………………………………………
Umur : …………………………………………………………………
Jawablah Pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
1. Apakah Kampung Adat Cireundeu ini mendapatkan perhatian lebih dari
pemerintah Cimahi?Jelaskan!
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
2. Asal mula memakan singkong dikarenakan pada zaman dahulu kala masih
sulitnya memperoleh padi untuk dijadikan nasi sebagai makanan pokok?
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
3. Alasan memakan singkong karena setelah dilakukan penelitian dari dinas
ketahanan pangan ternyata kandungan karbohidrat yang ada disingkong dua
kali lipat dari nasi.
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
4. Tradisi memakan singkong ini, dikarenakan masyarakat Kampung Adat
Cireundeu menganggap padi itu sebagai dewi?
Jawab :
126
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
5. Berkeinginan mencoba nasi seperti masyarakat pada umumnya
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
6. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu mayaoritas berpendidikan.
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
7. Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian dibidang perkebunan
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
8. Kehidupan masyarakat kampung adat Cireundeu sudah dapat disebut
―makmur‖
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
9. Penentuan ketua adat ditentukan berdasarkan garis keturunan?
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
127
10. Singkong yang ada tidak hanya dijadikan sebagai rasi (beras singkong),
melainkan di olah dengan berbagai macam jenis makanan seperti (rangining,
dendeng, eggroll, dsb.)
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
11. Pemerintah Kota Cimahi menjadikan Kampung Adat Cireundeu sebagai
―Dewitapa‖ (Desa Wisata Ketahanan Pangan)
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
12. Terdapat perbedaan cara pembelajaran sosial mengenai tradisi memakan
singkong, antara golongan anak-anak, pemuda dan orang tua
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
13. Masyarakat kampong adat Cireundeu masih banyak yang keterbelakangan
dari segi pendidikannya?
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
14. Melakukan upacara-upacara keagamaan setiap event-event yang dianggap
penting bagi masyarakat kampong adat Cireundeu.
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
128
15. Kampung adat Cireundeu semakin dikenal oleh masyarakat luar semenjak
adanya bencana alam di TPA Leuwigajah
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
16. Pemerintah Kota Cimahi ingin mengaktifkan kembali TPA Leuwigajah yang
lokasinya sangat dekat dengan Kampung Adat Cireundeu
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
17. Adanya pertentangan antara Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
terhadapa Pemerintah mengenai Pengaktifan kembali TPA Leuwigajah dan
Penetapan Desa Wisata Ketahanan Pangan di Cireundeu
Jawab :
…………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………..
129
Rekapitulasi Hasil Kuesioner
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
Jumlah Responden 50 Jiwa
No Pertanyaan
Jawaban
Alasan Ya (Jiwa)
(%) Tidak (Jiwa)
(%)
1 Kampung Adat Cireundeu ini mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah Cimahi
40 80 10 20
kampung adat cireundeu merupakan satu kampung adat yang mempunyai keunikkan di bidang pangan dan satu-satunya kampung yang masih mempertahankan adat tradisi dan budayanya.
2 Asal mula memakan singkong dikarenakan pada zaman dahulu kala masih sulitnya memperoleh padi untuk dijadikan nasi sebagai makanan pokok
12 24 38 76
Kampung adat cireundeu merupakan kampung adat yang memiliki topografi daerah perbukitan dan kondisi tanahnya tidak cocok untuk menanam padi.
3 Alasan memakan singkong karena setelah dilakukan penelitian dari dinas ketahanan pangan ternyata kandungan karbohidrat yang ada disingkong dua kali lipat dari nasi
50 100 0 0 Kandungan gizi ternyata lebih baik untuk kesehatan jika mengkonsumsi rasi dibanding nasi
4 Tradisi memakan singkong ini, dikarenakan masyarakat Kampung Adat Cireundeu menganggap padi itu sebagai dewi
26 52 24 48
Karena di kampung ini lebih banyak perkebunan singkong mengapa tidak dimanfaatkan?karena di Indonesia saja masalah terbesar yaitu karena padi. Banyaknya import beras dan Indonesia berhutang hanya karena beras.
5 Berkeinginan mencoba nasi seperti masyarakat pada umumnya
0 0 50 100
Masyarakat kampung adat sangat menghormati ajaran budaya yang kental jadi tidak ada yang menginginkan nasi (puasa nasi seumur hidup)
6 Masyarakat Kampung Adat Cireundeu mayoritas berpendidikan.
45 90 5 10
7 Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian dibidang perkebunan
37 74 13 26 Sebagian besar bermata pencaharian dari perkebunan dilakukan oleh orang tua
8 Kehidupan masyarakat kampung adat Cireundeu sudah dapat disebut ―makmur‖
23 46 27 54 Makmur dalam artian budaya tetapi makmur dalam segi finansial masih ada masyarakat yang menganggur
9 Penentuan ketua adat ditentukan berdasarkan garis keturunan?
0 0 50 100 Kampung adat cireundeu melakukan penentuan ketua adat secara musyawarah
10 Singkong yang ada tidak hanya dijadikan sebagai rasi (beras singkong), melainkan di olah dengan berbagai macam jenis makanan
50 100 0 0
Kampung adat cireundeu bisa melakukan hasil pangan yang bervariatif karena adanya suatu penelitian dan penyuluhan tentang singkong.
130
seperti (rangining, dendeng, eggroll, dsb.)
11 Pemerintah Kota Cimahi menjadikan Kampung Adat Cireundeu sebagai ―Dewitapa‖ (Desa Wisata Ketahanan Pangan)
48 96 2 4
Kampung adat cireundeu dijadikan dewitapa karena memiliki keunikan dari daerah lain dan sekarang kampung adat cireundeu menjadi icon kota cimahi.
12 Terdapat perbedaan cara pembelajaran sosial mengenai tradisi memakan singkong, antara golongan anak-anak, pemuda dan orang tua
50 100 0 0 Lebih baik sudah ditanamkan cara pembelajaran sedari kecil
13 Masyarakat kampung adat Cireundeu masih banyak yang keterbelakangan dari segi pendidikannya?
15 30 35 70
14 Melakukan upacara-upacara keagamaan setiap event-event yang dianggap penting bagi masyarakat kampung adat Cireundeu
50 100 0 0 Upacara keagamaan bagi masyarakat adat sangat sakral dan dianggap paling penting bagi mayarakat adat
15 Kampung adat Cireundeu semakin dikenal oleh masyarakat luar semenjak adanya bencana alam di TPA Leuwigajah
45 90 5 10
Iya, semenjak meledaknya TPA banyak orang dari luar melihat ooh ternyata di balik TPA ini ada suatu kampung yang unik dalam kearifan lokalnya
16 Pemerintah Jawa Barat ingin mengaktifkan kembali TPA Leuwigajah yang lokasinya sangat dekat dengan Kampung Adat Cireundeu
46 92 4 8 Hal ini menimbulkan pertentangan antara masyarakat adat dengan pihak pemerintah propinsi.
17 Adanya pertentangan antara Masyarakat Kampung Adat Cireundeu terhadap Pemerintah mengenai Pengaktifan kembali TPA Leuwigajah dan Penetapan Desa Wisata Ketahanan Pangan di Cireundeu
45 90 5 10
Pertentangan tersebut dikarenakan kampung adat cireundeu adalah desa wisata akan tetapi terdapat TPA yang akan berdampak pencemaran kepada wisatawan yang berwisata.
131
Lampiran 4. Kependudukan
1. Kepadatan Penduduk
Perhitungan :
Kepadatan penduduk =
Diketahui :
Jumlah Penduduk : 1.076Jiwa
Luas Areal Lahan : 100 ha = 1 Km
Sehingga,
Kepadatan penduduk =
= 1.076 jiwa/km2
2. Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio)
SR =
Diketahui :
Jumlah Penduduk Laki-Laki = 545 jiwa
Jumlah Pendudu Perempuan = 531 jiwa
Sehingga,
SR =
3. Angka Beban Ketergantungan (Dependency Ratio)
Cara Perhitungan :
DR =
Diketahui :
Penduduk umur 0-14 tahun = 186
Penduduk umur 15-64 tahun = 835
Penduduk umur ≥ 65 tahun = 76
Sehingga,
DR =
132
4. Struktur Usia Penduduk
Cara perhitungan:
SUP =
Diketahui,
Penduduk umur 0-14 tahun = 186 jiwa
Jumlah penduduk = 1.076 jiwa
Sehingga,
SUP =
top related