alih kode dan campur kode pada pengajian di buntet

114
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET PESANTREN: STUDI KASUS PENGAJIAN KITAB- KITAB FIKIH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Muhammad Syakir Niamillah Fiza 1113013000010 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI

BUNTET PESANTREN: STUDI KASUS PENGAJIAN KITAB-

KITAB FIKIH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Muhammad Syakir Niamillah Fiza

1113013000010

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018

Page 2: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET
Page 3: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET
Page 4: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET
Page 5: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

I

ABSTRAK

Muhammad Syakir Niamillah (1113013000010). Alih Kode dan Campur Kode

pada Pengajian di Buntet Pesantren; Studi Kasus Pengajian Kitab-kitab

Fikih.

Banyak penelitian tentang pesantren, tetapi belum ada yang menyentuh penggunaan

bahasanya. Hal itu yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini.

Tujuannya guna mengetahui bentuk alih kode dan campur kode dan mengungkap

faktor-faktor yang memengaruhinya pada pengajian kitab fikih di Buntet Pesantren.

Perlunya penjelasan rinci atas penelitian tersebut, maka penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif deskriptif, dilengkapi dengan etnografi sebagai

pembedah lingkungannya. Penelitian ini dilakukan pada tiga jenjang, tiga sistem

pengajian, dan dua orang kiai.

Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa peralihan dan percampuran kode terjadi

pada bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia informal.

Bentuk-bentuk alih kode yang muncul berupa klausa dan kalimat, sedangkan

bentuk campur kode berupa fonem, morfem, kata, dan frasa. Sementara itu, faktor-

faktor yang memengaruhi peralihan dan percampuran bahasa pada pengajian kitab-

kitab fikih di Buntet Pesantren adalah pemertahanan tradisi, kedekatan struktrur

bahasa Jawa dengan bahasa Arab, dan beragamnya asal santri.

Kata kunci: alih kode, campur kode, pengajian kitab fikih, Buntet Pesantren

Page 6: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

II

Abstract

Muhammad Syakir Niamillah (1113013000010). Code Switching and Code

Mixing on Study in Buntet Pesantren; Case Study of Fikih Books Study.

Many research about pesantren, but no one touches using language there. That is

the reason of the writer for do this research. The aims are for knowing forms of

switch-code and mix-code and revealing the factors what influence them on the

study of fikih book in Buntet Pesantren. Need to detail explain, the writer use

descriptive qualitative research methode, completing by ethnography as dissection

of the environment. This research is done on three levels, three study systems, and

two kiais (teachers).

The result of this research showed switching and mixing code are happened on

Indonesian language, Arabic, Javanic, and Informal Indonesia language. Forms of

code-switching are clause and sentence, while forms of code-mixing are phonem,

morphem, word, and phrase. The factors which influence switching and mixing

language on study of fikih books in Buntet Pesantren are defending tradition, nearly

structure of Javanic with Arabic, and various origins of santri.

Key words: code switching, code mixing, study of fikih books, and Buntet Pesantren

Page 7: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

III

KATA PENGANTAR

Bismillah, alhamdulillah, segala puji saya haturkan ke Hadirat Allah swt.

yang telah melimpahkan segala nikmat, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga

penulis dapat merampungkan skripsi ini. Selawat dan salam semoga tercurah

kepada Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, dan para pengikutnya, termasuk

penulis yang sangat mengharapkan syafaatnya kelak di yaumul qiyamah.

Penyusunan skripsi ini tidak lain guna memenuhi syarat menyandang gelar

Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal-hal lain,

meskipun sampingan, juga sangat memengaruhi penulis dalam menyusun tugas

akhir ini. Skripsi ini bukan hanya skripsi, tetapi sarana penulis untuk mengungkap

peristiwa yang selama ini, sepengetahuan penulis, belum tersentuh. Penelitian

pesantren hampir selalu berkutat pada pendidikan, sosok kiai, dan sejarahnya.

Penggunaan bahasa yang begitu beragam menarik penulis untuk terjun di dunia itu.

Skripsi ini bukan karya penulis semata, sebab di belakangnya begitu banyak

pendukung yang turut membantu penulisan ini hingga titik di halaman terakhir.

Oleh karena itu, penulis sangat berterima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pembimbing skripsi

yang tidak lupa berbagi secangkir kopi setiap kali disowani untuk

bimbingan.

3. Bapak Toto Edidarmo, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. selaku penasehat akademik penulis

yang selalu membalas pesan singkat penulis kala bertanya. Hibah puluhan

bukunya juga sangat bermanfaat bagi penulis. Penulis sangat

mengharapkannya lagi.

Page 8: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

IV

5. Dua dosen penguji skripsi penulis, Ibu Dr. Nuryani, M.A. dan Ibu Neneng

Nurjannah, M.Hum., yang telah memberikan banyak saran guna

perbaikan skripsi penulis.

6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah berbagi pengetahuan seluas-luasnya

selama penulis menempuh studi dan selanjutnya.

7. Emak Fatmah yang tak kenal lelah, saban dua hari menelepon dan

menanyakan perihal tulisan yang tidak kunjung usai. Bapak Imaduddin

yang sedia diwawancarai, direkam pengajiannya, dan tentu saja arahan

dan motivasinya. Keduanya tak kenal lelah berbagi moril dan materil

kepada penulis, khususnya doanya yang selalu terpanjatkan di setiap

kesempatan.

8. Enam adik penulis yang senyumnya selalu memberi semangat untuk terus

berproses menjadi sulung yang berbakti.

9. KH Ade Nasihul Umam, Lc. yang telah bersedia diganggu sepanjang hari

di tengah kegiatannya yang sangat padat.

10. Saudara-saudara di Buntet Pesantren yang telah turut memikirkan tugas

akhir penulis, khususnya Kang Jamaluddin Husein, Kang Andi Majdi,

Kang Abudzar al-Ghiffari, dan Kang Anik Ahlami.

11. Rekan satu jurusan, satu angkatan, satu kelas, dan sudah sejak setahun

terakhir satu kamar kosan, Pak Guru M. Ilhamul Qolbi al-Babakani al-

Tegali yang tak lelah berbagi segalanya untuk penulis.

12. Rekan-rekan satu angkatan 2013 di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, serta kakak dan adik angkatan.

13. Forsilawan dan Forsilawati Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon

(FORSILA BPC) Jakarta Raya, Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

serta Rayon Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ang dan Yayu

Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA CITA), Sugawan

dan Sugawati Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD),

Keluarga Mahasiswa Bidikmisi dan Mahad UIN Jakarta, kawan-kawan

Page 9: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

V

Duta Dewantara 2016 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,. Rekan-

rekan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, teman-teman Ikatan Mahasiswa

Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia, kawan-kawan kursus bahasa

Perancis di UIN Jakarta dan kursus bahasa Inggris dan Perancis di Euro

Management yang telah berbagi nikmatnya berorganisasi dan menjalin

kekerabatan yang luas.

14. Saudara-saudara dan teman-teman yang telah turut andil berbagi

semangat, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.

15. Seseorang di sana yang kuat menanggung beban rindu dan tak henti

mengharap temu. Terima kasih.

Page 10: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

VI

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. I

KATA PENGANTAR ......................................................................................... III

DAFTAR ISI ........................................................................................................ VI

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 3

C. Batasan Masalah ........................................................................................ 3

D. Rumusan Masalah ...................................................................................... 4

E. Tujuan ......................................................................................................... 4

F. Manfaat ....................................................................................................... 4

BAB II .................................................................................................................... 5

KAJIAN TEORI ................................................................................................... 5

A. Kontak Bahasa ........................................................................................... 5

B. Ekabahasa, Dwibahasa, dan Multibahasa ............................................... 5

C. Pengertian Alih Kode dan Campur Kode ................................................ 7

D. Sebab Alih Kode dan Campur Kode ...................................................... 15

E. Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah ..................................................... 18

F. Etnografi Komunikasi ............................................................................. 19

G. Komunitas Tuturan .............................................................................. 20

H. Peristiwa Tutur ..................................................................................... 23

I. Pengajian ................................................................................................... 26

J. Penelitian Relevan .................................................................................... 29

BAB III ................................................................................................................. 31

METODOLOGI PENELITIAN ........................................................................ 31

Page 11: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

VII

A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 31

B. Subjek Penelitian ...................................................................................... 33

C. Metode Penelitian ..................................................................................... 31

D. Teknik Pengumulan Data ........................................................................ 33

1. Deskripsi tertulis ..................................................................................... 34

2. Rekaman ................................................................................................. 34

3. Mentranskripsi ........................................................................................ 34

4. Dokumentasi ........................................................................................... 34

E. Teknik Analisis Data ................................................................................ 35

BAB IV ................................................................................................................. 36

PEMBAHASAN .................................................................................................. 36

A. Profil Pondok Buntet Pesantren ............................................................. 36

1. Mbah Muqoyyim .................................................................................... 36

2. Mbah Mutaad ......................................................................................... 36

3. KH Abdul Jamil ...................................................................................... 36

4. KH Abbas ............................................................................................... 37

5. KH Mustahdi Abbas ............................................................................... 37

6. KH Mustamid Abbas .............................................................................. 38

7. KH Abdullah Abbas ............................................................................... 38

8. KH Nahduddin Abbas ............................................................................ 39

B. Hasil Analisis ............................................................................................ 40

1. Pengajian Sorogan .................................................................................. 40

2. Pengajian Bandungan ............................................................................. 44

3. Pengajian Terpadu .................................................................................. 64

2. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Alih Kode dan

Campur Kode .................................................................................................. 72

BAB V ................................................................................................................... 78

PENUTUP ............................................................................................................ 78

A. Simpulan ................................................................................................... 78

B. Saran ......................................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 80

Page 12: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

VIII

UJI REFERENSI ................................................................................................ 83

LAMPIRAN TRANSKRIPSI PENGAJIAN .................................................... 87

A. Sistem Sorogan ......................................................................................... 87

B. Sistem Bandungan .................................................................................... 87

C. Sistem Terpadu ........................................................................................ 94

BIODATA PENULIS ........................................................................................ 101

Page 13: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru

negeri. Guna jalin komunikasi antarpenutur yang berbeda bahasanya, para pemuda

Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 berikrar untuk menjunjung bahasa

Indonesia sebagai bahasa persatuan. Semangat persatuan ini yang dijunjung oleh

para pemuda Indonesia saat itu demi kemerdekaan yang didambakannya.

Bahasa yang terpilih sebagai bahasa persatuan adalah bahasa Melayu Riau.

Dipilihnya bahasa tersebut bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua alasan mengapa

bahasa tersebut dipilih, yakni (1) lingua franca. Bahasa Melayu sudah menusantara.

Artinya sudah digunakan di berbagai belahan daerah se-Nusantara. Bahasa tersebut

menjadi bahasa pengantar perdagangan. Meskipun penutur bahasa Jawa lebih

banyak daripada bahasa Melayu, tetapi bahasa Jawa tidak dipilih. (2) Bahasa

Melayu mudah dipelajari karena tidak mengenal tingkat atau level seperti bahasa

Jawa ataupun Sunda

Adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional

membuat masyarakat perlu mengedukasi diri agar dapat menguasai bahasa tersebut

sebagai bahasa kedua. Hal demikian dipandang perlu mengingat bahasa ibu mereka,

yakni bahasa daerah, hanya berlaku dalam komunitas kecil di wilayah mereka saja.

Terlebih selepas merdeka, bahasa Indonesia semakin masif diterapkan dalam

berbagai acara resmi, digunakan sebagai bahasa pengantar dalam media massa dan

digunakan dalam institusi dan lembaga-lembaga pendidikan.

Page 14: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

2

Tak terkecuali di pesantren. Sebagai suatu institusi pendidikan, dalam

kegiatan-kegiatan formal, pesantren tetap mengedepankan bahasa nasional sebagai

pengantarnya. Meski dalam berkomunikasi sehari-hari dengan lingkungannya, kiai,

santri dan masyarakatnya menggunakan bahasa daerahnya. Termasuk dalam

pengajian, para kiai memaknai kitab-kitab yang berbahasa Arab itu dengan

menggunakan bahasa daerahnya. Adapun dalam memberikan penjelasan, para kiai

kerap kali menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa dasar pengantarnya. Tak

sedikit juga juga yang menggunakan bahasa daerahnya.

Hal tersebut juga terjadi di Buntet Pesantren, sebuah pesantren yang terletak

di wilayah timur Kabupaten Cirebon. Tepatnya, pesantren ini terletak di Kecamatan

Astanajapura. Pesantren ini mencakup tiga desa, yakni Desa Mertapada Kulon

sebagai pusatnya, dan sebagian masuk dalam Desa Munjul dan Desa Buntet.

Masyarakat sekitar menggunakan bahasa Cirebon (bahasa Jawa dialek Cirebon)

dalam kesehariannya. Bahasa ini pun seringkali digunakan dalam pengajian.

Para kiai semenjak dulu tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa

dalam memaknai kitab, khususnya dalam memberikan makna struktur gramatika

bahasa Arabnya. Hal tersebut konsisten sejak dulu hingga saat ini. Berbeda dengan

pemberian makna kata, terkadang bahasa Indonesia juga digunakan. Hal tersebut

pada hakikatnya menunjukkan, bahwa pesantren sudah menerapkan apa yang

menjadi motto Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yakni Pertahankan

bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Pesantren

mempertahankan bahasa Indonesia dengan menggunakannya sebagai bahasa

daerah. Pesantren pun menggunakan bahasa daerah dalam pemaknaannya sebagai

ikhtiar melestarikan bahasa daerah. Pesantren juga mengajarkan bahasa Arab

sebagai langkah mengedukasi santri untuk menguasai bahasa asing.

Pemaknaan dengan menggunakan bahasa daerah tersebut tak terbatas pada

bidang apa saja. Namun, mengingat penelitian ini dibatasi pada bidang fikih

meliputi tiga jenjang dengan tiga metode berbeda, yakni pada kitab Safȋnah al-

Najȃh karya Syaikh Sumair al-Haḍrami dengan metode terpadu, kitab al-Ghayah

wa al-Taqrȋb karya Qaḍȋ Abu Syuja’ dengan metode sorogan, dan kitab Fath al-

Mu’in karya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dengan metode bandungan.

Page 15: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

3

Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Alih Kode

dan Campur Kode pada Pengajian di Buntet Pesantren: Studi Kasus

Pengajian Kitab-kitab Fikih”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan

masalah-masalah berikut.

1. Adanya kemampuan dwibahasa atau multibahasa, bahasa daerah sebagai

bahasa pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa keduanya, dan bahasa

Arab sebagai bahasa teks kitab yang setiap hari selalu ditemui dalam

pengajian.

2. Adanya ragam atau variasi bahasa yang dikuasainya, seperti dalam bahasa

Indonesia, resmi dan tidak resmi, dalam bahasa Cirebon ada ngaka,

madya, dan bebasan atau kromo (bahasa halus).

3. Adanya bentuk alih kode dan campur kode dalam pengajian di Buntet

Pesantren Cirebon.

4. Adanya faktor-faktor yang menyebabkan kiai memilih untuk melakukan

alih kode dan campur kode.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan masalah-masalah yang diidentifikasikan sebelumnya, penelitian

ini akan dibatasi pada permasalahan berikut.

1. Masalah yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam

pengajian kiai Buntet Pesantren Cirebon.

2. Masalah yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya alih kode dan campur kode dalam pengajian kiai Buntet

Pesantren Cirebon.

3. Penelitian ini dibatasi pada peralihan dan pencampuran bahasa Indonesia,

bahasa Arab, dan bahasa Jawa.

4. Penelitian ini dibatasi pada kitab-kitab fikih mengingat banyaknya fan

ilmu yang diajarkan di pesantren. Fikih dipilih karena bidang keilmuan

ini bersentuhan langsung dengan praktik peribadatan di masyarakat.

Page 16: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

4

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, berikut rumusan masalah yang akan

diteliti.

1. Bagaimana bentuk alih kode dan campur kode dalam tuturan kiai dalam

pengajian di Buntet Pesantren Cirebon?

2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kiai melakukan alih kode dan campur

kode dalam pengajiannya?

E. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, berikut uraian

tujuan penelitian ini.

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk alih kode dan campur kode kiai Buntet

Pesantren Cirebon dalam pengajiannya.

2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan

campur kode kiai Buntet Pesantren Cirebon dalam pengajiannya.

F. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan teoretis.

Harapan praktisnya, penelitian ini dapat memberikan gambaran, deskripsi dan

penjelasan mengenai bentuk-bentuk dan faktor-faktor alih kode dan campur kode

kiai Buntet Pesantren Cirebon dalam pengajiannya. Manfaat teroritis yang

diharapkan dapat menjadi rujukan ilmiah bagi peneliti yang ingin melakukan

penelitian sejenis dan menambah kekayaan penelitian dalam bidang

Sosiolinguistik, khususnya kontak bahasa. Selain itu, hasil dari pecampuran kode

pada penelitian berikut, diharapkan dapat memberikan sumbangsih entri baru pada

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Page 17: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

5

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kontak Bahasa

Masyarakat dan santri Buntet Pesantren dalam kesehariannya menggunakan

bahasa Jawa dialek Cirebon. Ketika di sekolah, mereka menggunakan bahasa

Indonesia. Para santri jika bertemu dengan rekan sesama daerahnya tentu akan

menggunakan bahasa daerahnya. Penggunaan bahasa di wilayah-wilayah tersebut

lebih dari satu bahasa dalam waktu yang bersamaan. Hal inilah yang disebut dengan

kontak bahasa, sesuai dengan apa yang disampaikan Sarah G. Thomason, bahwa

kontak bahasa adalah penggunaan lebih dari satu bahasa pada satu tempat dan

waktu yang sama. 1Setidaknya, pendapat Thomason ini memiliki tiga unsur, yakni

(1) terdapat lebih dari satu bahasa, (2) satu tempat yang sama, dan (3) waktu yang

sama. Bahasa yang digunakan di satu tempat itu bermacam-macam, tidak cukup

satu. Artinya, dalam beberapa keadaan, orang akan menggunakan bahasa A, dan

dalam keadaan lainnya, orang tersebut menggunakan bahasa B.

Sedikit berbeda dengan Thomason, Matras menambahkan satu unsur lagi,

yakni bahasa-bahasa yang digunakan itu memengaruhi bahasa lainnya. Matras

mengungkapkan, bahwa kontak bahasa terjadi ketika para penutur yang berbeda

bahasa berinteraksi dan bahasa mereka saling memengaruhi satu sama lain.2 Dalam

tempat dan waktu yang sama tersebut, penutur berbeda bahasa itu terlibat interaksi.

Bahasa yang mereka gunakan saling memengaruhi satu sama lain. Begitu Matras

memberi pengertian kontak bahasa. Pengaruh yang diberikan tentu bermacam-

macam, bisa berupa pencampuran bahasa satu ke dalam bahasa lainnya, atau

berbicara dengan bahasa A tetapi menggunakan tatabahasa bahasa B.

B. Ekabahasa, Dwibahasa, dan Multibahasa

Setiap individu yang hanya mampu berkomunikasi dengan menggunakan

satu bahasa disebut ekabahasawan atau biasa dikenal dengan monolingual. Jendra

mengatakan bahwa monolingual adalah setiap individu pada suatu komunitas yang

1 Sarah G. Thomason, Language Contact, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001), h. 1 2 Yaron Matras, Language Contact, (Cambridge: Cambridge University, 2009)

Page 18: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

6

hanya mampu menggunakan satu bahasa dalam berkomunikasi.3 Di Inggris,

misalnya, bahasa yang digunakan hanyalah bahasa Inggris. Tidak ada bahasa lain

yang digunakan di negaranya. Kalaupun memang ada, hanyalah di tempat-tempat

tertentu. Bahasa Inggris itu digunakan di segala waktu, tempat, dan dalam berbagai

situasi atau keadaan. Bahasa keseharian, pengantar pendidikan, media massa, acara,

dan lainnya, semuanya berbahasa Inggris. Hal inilah yang dimaksud dengan

monolingual.

Kemampuan seseorang dalam berkomunikasi menggunakan dua bahasa

disebut dwibahasa atau billingual. Seperti yang diungkapkan Jendra, orang yang

tidak monolingual, tetapi dapat berbicara dua bahasa setiap hari itu disebut sebagai

bilingual.4 Sedikit berbeda tetapi masih dalam satu pemahaman, Spolsky

menyatakan bahwa bilingual adalah seseorang yang memiliki kemampuan

menggunakan bahasa kedua.5 Benang merah di antara keduanya, Jendra dan

Spolsky, adalah kemampuan berkomunikasi dengan dua bahasa. Itulah yang disebut

bilingual atau dwibahasa. Orangnya disebut dwibahasawan.

Dwibahasa atau bilingual lumrah di Indonesia. Masyarakat Indonesia

memiliki bahasa ibu, yakni bahasa daerahnya. Selain itu, mereka juga memiliki

kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia juga

disebut sebagai bahasa persatuan karena menjadi pengantar komunikasi lintas

daerah sehingga mereka saling memahami satu sama lain apa yang dibicarakannya.

Dalam keseharian, sebagian besar bangsa Indonesia menggunakan bahasa daerah.

Tetapi dalam keadaan formal, seperti di wilayah pendidikan, media massa, dan

kegiatan formal lainnya, bahasa Indonesia lazim digunakan. Inilah yang disebut

sebagai bilingual atau dwibahasa.

Selain ekabahasa dan dwibahasa, ada pula multibahasa atau multilingual.

Multilingualisme dalam KBBI diartikan sebagai “gejala pada seseorang atau suatu

masyarakat yang ditandai oleh kemampuan dan kebiasaan memakai lebih dari satu

bahasa.”6 Berbeda dengan KBBI, Abdul Chaer dan Leonie Agustina menulis,

3 Made Iwan Indrawan Jendra. Sosiolinguistics The Study of Societies’ Languages. (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2012). Hlm. 68. 4 Ibid, h. 68. 5 Bernard Spolsky. Sociolinguistics. (Bristol: Oxford University Press, 2008). Hlm. 45. 6 Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (Badan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa)

Page 19: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

7

“multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni

keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya

dengan orang lain secara bergantian.7 Meskipun ada pertentangan definisi, antara

lebih dari satu bahasa atau lebih dari dua bahasa, tetapi pada praktiknya sama saja.

Abdul Chaer tidak membahasnya secara rinci karena hal tersebut.

C. Pengertian Alih Kode dan Campur Kode

Dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa, terjadi kontak antarbahasa

yang disebut dengan kontak bahasa seperti yang telah diuraikan di atas. Tentu

masyarakat memiliki satu bahasa dasar yang digunakan dalam beberapa situasi.

Selebihnya itulah yang bakal menjadi pilihan kedua untuk beralih atau

mencampurkannya dalam satu tuturan ataupun kalimat dalam tulisan. Sebagaimana

yang diungkapkan Made Iwan Indrawan Jendra, meskipun pemilihan kode bagi

seorang bilingual ataupun multilingual merupakan suatu rutinitas, tetapi bagi

mereka harus tetap memilih kode mana yang bakal tetap dikembangkan.8

Bahasa dasar biasanya bahasa yang lebih sering digunakan oleh masyarakat,

umumnya bahasa ibu mereka, yakni bahasa daerah. Pilihan menggunakan bahasa

lainnya, di luar bahasa daerah, tentu saja memiliki faktor-faktor tertentu yang akan

dijelaskan di bawah. Tetapi bagi masyarakat yang hidup di wilayah urban,

umumnya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebab di wilayah tersebut

tidak hanya bertemu dengan masyarakat dari daerahnya saja, tetapi intensitas

perjumpaan mereka dengan masyarakat luar daerahnya juga sering, sehingga

bahasa Indonesia lebih banyak dipilih dalam komunikasi.

Dua bahasa atau lebih yang digunakan itu pada keadaan tertentu tidak

menutup kemungkinan akan menyatu dalam satu tuturan atau kalimat atau menjadi

pilihan kedua dan seterusnya. Peristiwa inilah yang melahirkan istilah alih kode dan

campur kode. Dua istilah ini menurut sebagian pendapat merupakan satu referen

yang sama. Meminjam istilah dari Abdul Chaer dan Leonie Agustina, keduanya

sukar untuk dibedakan.9 Namun ada pula yang membedakannya.

7 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,

2010), h. 85 8 Made Iwan Indrawan Jendra, Op Cit, h. 70. 9 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 114

Page 20: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

8

Ronald Wardaugh berpandangan pada pendapat yang pertama. Dia

mengatakan,

“People, then, are usually required to select a particular code whenever they

choose to speak, and they may also decide to switch from one code to another

or to mix codes even within sometimes very short utterances and thereby

create a new code in a process known as code-switching. Code switching

(also called code-mixing) can occur in coversation between speakers’ turns

or within a single speaker’s turn.10

Orang, kemudian, selalu diminta untuk memilih kode secara partikular

kapanpun mereka berbicara, dan mereka juga memilih untuk beralih dari satu

kode ke kida lainnya atau memilih mencampurkan kode, bahkan terkadang

dalam ungkapan yang sangat pendek dan dengan demikian menciptakan kode

bary dalam sebuah proses yang diketahui sebagai alih kode. Alih kode

(disebut juga campur kode) dapat terjadi dalam percakapan di antara giliran

para penutur atau dalam giliran penutur tunggal.

Frasa yang bergaris bawah di atas jelas menandakan bahwa Ronald Wardaugh

berpendapat, antara alih kode dan campur kode itu tidak ada garis pembeda.

Menurutnya, alih kode atau campur kode adalah peristiwa tuturan orang yang dalam

keadaan tertentu memerlukan peralihan kode untuk berbicara sehingga dia

memutuskan untuk mengalihkan satu kode ke kode lain atau mencampurkannya

karena sedikitnya ungkapan dalam kode pertama. Alih kode atau campur kode juga,

masih menurut Wardaugh, dapat terjadi dalam percakapan dua arah ataupun satu

arah. Artinya, alih kode dapat terjadi dalam suatu obrolan antara dua penutur atau

lebih, seperti diskusi atau obrolan orang-orang di warung kopi. Alih kode juga dapat

terjadi pada seorang penutur saja, seperti penceramah, khatib, dan sebagainya.

Senada dengan Wardaugh, Hill dan Hill dalam penelitian mereka mengenai

masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko,

mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode

dan campur kode.11 Pendapat ini menguatkan pandangan Wardaugh mengenai tidak

ada batas pembeda di antara dua istilah itu. Abdul Chaer dalam bukunya tidak

menjelaskan alasan tidak ada harapan untuk membedakan keduanya.

10 Ronald Wardaugh, An Introduction to Sociolinguistics, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h.

101 11 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta,

2009), h. 114

Page 21: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

9

Penelope Gardner dan Chloros pun berpendapat sama, bahwa alih kode

merujuk pada penggunaan beberapa bahasa atau dialek dalam satu percakapan atau

kalimat oleh dwibahasawan atau multibahasawan. Mereka tidak membedakan

antara alih kode dan campur kode. Lebih jauh lagi, mereka menjelaskan, bahwa alih

kode itu memengaruhi setiap orang dalam kontak lebih dari satu bahasa atau dialek

guna menuju sebuah tingkatan lebih baik atau sebaliknya.12 Penyampaian Gardner

dan Chloros ini bisa kita lihat di Jawa. Setidaknya, bahasa Jawa mengenal tiga

tingkat, yakni , madyo, dan kromo. Masyarakat Jawa jika berbicara dengan orang

yang seumuran dengan tingkat ekonomi atau kehormatan setara akan menggunakan

bahasa atau madyo. Tetapi, jika mereka berbicara dengan orang yang lebih tua atau

lebih dihormati secara strata sosialnya, tentu mereka akan menggunakan bahasa

kromo. Bahkan kata-kata tertentu dalam dua bahasa tersebut memiliki empat

tingkatan sekaligus. Selain tiga tingkat yang telah disebutkan di atas, ada satu yang

termasuk pada tuturan kasar, bukan lagi yang dianggap sebagai bahasa standar

meskipun itu juga sudah sedikit mengarah ke bahasa yang kasar. Sebagai contoh,

kata makan. Dalam bahasa Jawa, ada empat pilihan, yakni dahar, nedih, mangan,

dan badog (urutan dari paling halus atau kromo).

Contoh, seorang masyarakat, sebut saja Pak A, sekitar pesantren ingin

bertemu dengan kiai. Santri menerimanya. Pak A bertanya kepada santri dengan

menggunakan bahasa Indonesia, karena ia tidak mengetahui santri tersebut dari

daerah mana. Santri menjawabnya dengan menggunakan bahasa Jawa kromo.

Terlebih yang ditanyakannya kiainya. Berikut percakapan orang tersebut dengan

santri.

Pak A : Assalaamu alaikum

Santri : Walaaikumussalaam

Pak A : Pak kiainya ada?

Santri : Wonten pak. Tapi siweg sare. (Ada pak, tapi sedang tidur).

Pak A mengawali perjumpaannya tentu dengan salam berbahasa Arab. Santri

pun menjawabnya dengan bahasa Arab pula. Setelah itu, Pak A menggunakan

12 Penelope Gardner dan Chloros, Code Switching, (Cambridge: Cambridge University Press,

2009), h. 4

Page 22: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

10

bahasa Indonesia. Tetapi jawaban santri bukan lagi dengan bahasa yang sama,

bahasa Indonesia. Ia malah menggunakan bahasa Jawa kromo dalam menjawabnya.

Hal tersebut dilakukan santri karena ia mengetahui mitra tuturnya itu adalah orang

sekitar yang tentu fasih dan biasanya menggunakan bahasa Jawa. Selain itu, mitra

tuturnya lebih tua darinya sehingga ia menggunakan bahasa halus tersebut. Hal ini

ditambah dengan pembicaraannya bertopik kiai yang tentu dihormati oleh

keduanya. Santri tersebut memilih kata sare ketimbang kilem, turu, dan dekok. Sare

dalam bahasa Jawa memiliki kedudukan tertinggi untuk menyatakan keadaan tidur

seseorang. Di sinilah letak kemunculan tingkatan dalam tataran bahasa yang

digunakan oleh orang dalam menjalin komunikasi dengan orang lain.

Berbeda dengan pendapat ilmuwan-ilmuwan di atas, Jendra mengatakan

bahwa terdapat suatu situasi yang pembicara dengan sengaja ataupun hati-hati

mengubah kode yang ia gunakan, dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Perubahan

inilah yang disebut sebagai alih kode.13 Artinya, dia memisahkan dua istilah di atas.

Alih kode menurutnya adalah adanya situasi yang membuat penutur sengaja

mengubah kode (baca: bahasa) yang digunakannya dengan kode lainnya. Ada unsur

kesengajaan saat ia mengalihkan bahasa yang digunakannya itu. Kesengajaan itu

terjadi karena beberapa faktor yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Hal ini

senada dengan yang diungkapkan Pietro, bahwa alih kode adalah penggunaan lebih

dari satu bahasa dengan komunikasi-komunikasi pada suatu pelaksanaan tindakan

bertutur.14

Alih kode tidak saja meliputi peralihan dari satu bahasa ke bahasa lainnya,

tetapi peralihan variasi juga termasuk ke dalamnya. Seperti yang diungkapkan Dell

H. Hymes, alih kode juga menjadi istilah yang lazim untuk mengubah penggunaan

dua bahasa atau lebih atau variasi-variasi bahasa, atau bahkan gaya bicara.15

Sebagai contoh, satu orang Sunda dan satu orang Tegal sedang mengobrol. Lalu,

orang Sunda menirukan gaya bicara mitra tuturnya, yakni dengan dialek Jawa

Ngapak. Pun sebaliknya, orang Tegal meniru gaya bicara kawan tuturnya dengan

menggunakan langgam khas Sunda. Hal demikian juga bisa disebut alih kode.

13 Made Iwan Indrawan Jendra, Op Cit, Hlm. 73. 14 Ibid, h. 74 15 Ibid, h. 74

Page 23: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

11

Selain itu, perubahan ragam bahasa, seperti dari ragam ke ragam kromo, dalam

bahasa Jawa. Contohnya bisa kita lihat di pesantren. Seorang santri sedang bincang-

bincang dengan kawannya. Tiba-tiba kiainya memanggil, sontak santri tersebut

beralih menggunakan bahasa Jawa kromo sebagai bentuk takzim, menghormati

kiai. Hal ini lumrah terjadi. Jika peralihan dari bahasa satu ke bahasa lainnya bisa

kita lihat di pengajian. Kiai membaca kata demi kata dalam kitab yang dikajinya

yang berbahasa Arab. Ia lalu memaknainya ke dalam bahasa Jawa. Setelah

memaknai, kiai akan menjelaskan maksud dari kalimat yang sudah ia alih

bahasakan ke Jawa itu dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Fasold menawarkan gramatika sebagai garis pembatas di antara keduanya

(alih kode dan campur kode). Menurutnya, kalau seseorang menggunakan satu kata

atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu

klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan berikutnya disusun

menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih

kode.16 Melengkapi Fasold, Kachru memberikan batasan campur kode sebagai

pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa

yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.17 Setidaknya pandangan

Kachru ini mengandung tiga unsur, yakni (1) dua bahasa atau lebih, (2) masuknya

satu unsur bahasa ke bahasa lainnya, dan (3) konsistensi.

Thelander berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam

“peristiwa campur” (cooccurance) itu terbatas pada tingkat klausa. Ketiga unsur

yang disampaikan Kachru di atas, ditambahkan oleh Thelander dengan satu unsur

lagi, yakni terbatas pada tataran klausa saja. Lebih jauh lagi, Thelander menjelaskan

bahwa apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase

yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid

phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi

sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.18

16 Abdul Chaer, Op Cit, h. 115 17 Fathur Rokhman, Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat

Multikultural, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 38 18 Abdul Chaer, Op Cit, h. 115

Page 24: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

12

Peristiwa peralihan dari satu bahasa ke bahasa lainnya ini disebut dengan alih

kode, meski masih dalam satu wilayah bahasa, tetapi dengan beda ragamnya.

Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari

bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai mejadi

ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut

peristiwa alih kode di dalam Sosiolinguistik.19

Jika peralihan tersebut terjadi antardialek atau antaraksen dalam satu wilayah

bahasa disebut alih kode intrabahasa. I Dewa Putu Wijana dan Rohmadi

menyebutnya permainan intrabahasa. Mereka menulis, “jenis permainan bahasa

yang pertama (intrabahasa) terjadi dalam satu bahasa dengan berbagai variasinya

(dialek, ragam, dan sebagainya).”20 Contoh, orang Cirebon bagian timur sedang

mengobrol dengan sesamanya. Tetiba datang seorang Cirebon bagian barat yang

biasanya mengganti vokal a di akhir dengan o, seperti sada menjadi sado. Salah

seorang di antara dua orang itu pun menirukan ragam bahasa orang Cirebon Barat

tersebut. Peralihan ini juga dianggap termasuk ke dalam alih kode, dengan jenis alih

kode ke dalam.

Berbeda jika alih kode itu dilakukan antarbahasa, ia disebut Antarbahasa.

Wijana dan Rohmadi menyebutkan, bahwa jenis permainan kedua (permainan

antarbahasa) yang terjadi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain, misalnya

antara bahasa daerah dengan bahasa daerah yang lain, antara bahasa daerah dengan

bahasa Indonesia, atau bahasa asing, dan sebaliknya. Contoh, di hari pertama

pertemuan di kelas, seorang guru mengecek kehadiran siswanya sembari

menanyakan asal mereka. Setelah mengetahui Ahmad dari Tegal, sang guru

langsung mengubah bahasanya, tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia, tetapi

menggunakan bahasa Jawa dengan dialek khas Tegal.

Guru : Ahmad

Ahmad : Hadir!

Guru : Dari mana?

Ahmad : Tegal, Pak.

19 Ibid, h. 106. 20 I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) Cet. Keenam. H. 60

Page 25: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

13

Guru : Tegale nang endi? (dengan berdialek khas Tegal)

Adapun campur kode merupakan bercampurnya dua kode atau lebih, satu

menjadi kode dasarnya dan lainnya menjadi serpihan saja. Misal, seseorang

berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dalam pembicaraan

tersebut, ia menyelipkan bahasa daerahnya. Abdul Chaer dan Leonie Agustina

bahkan menyebutkan bahwa contoh tersebut berakibat munculnya ragam bahasa

Indonesia yang kejawa-jawaan atau kesunda-sundaan.

Sedangkan di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar

yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-

kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-

serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.21

Basuki Suhardi dalam Pengembangan Bahasa Indonesia di Daerah

Perdesaan dalam buku Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani,

menyampaikan bahwa ada tiga jenis pertalian bahasa Indonesia dan bahasa daerah,

yakni sebagai berikut,

1. Rentannya bahasa daerah terhadap pengaruh bahasa Indonesia

2. Tegarnya bahasa daerah dalam menghadapi pengaruh bahasa Indonesia

3. Mengandung ciri jenis pertama dan kedua. Kedua bahasa digunakan pada

ranahnya masing-masing.22

Pertalian pertama ini tentu dipengaruhi dengan semakin maraknya media

massa di kalangan masyarakat daerah. Penggunaan bahasa Indonesia secara masif

di berbagai media ini membuat masyarakat desa mau tidak mau selalu

menerimanya. Akibatnya mereka juga secara tidak sadar menggunakan bahasa

tersebut dalam keseharian. Bahkan saat ini tidak sedikit di antara mereka yang

memang menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya dengan

keluarganya. Bahkan guru bahasa Inggris berkomunikasi dengan anaknya

menggunakan bahasa tersebut, meski mereka tinggal di sebuah desa yang sehari-

harinya menggunakan bahasa daerah. Bahasa daerah semakin ditinggalkan oleh

21 Ibid, h. 114 22 Basuki Rahardi, Pengembangan Bahasa Indonesia di Daerah Perdesaan dalam Bahasa

Indonesia menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Progress, 2003), h. 95-96

Page 26: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

14

penggunanya. Selain itu, pertalian pertama juga terdapat di daerah perkotaan yang

notabene menjadi pusat bertemunya orang dari berbagai daerah.

Pertalian kedua terjadi di wilayah pelosok dengan lingkup lingkungan yang

tidak begitu luas. Laju teknologi sudah tidak dapat dikendalikan. Masyarakat

plosok kini pun sudah dapat menikmati televisi dan ponsel, meskipun intensitas

mereka di hadapan dua benda tersebut tidak begitu lama dengan kegiatan dan

pekerjaannya yang lebih banyak di lautan, sawah, ataupun kebun. Hal itu yang

menyebabkan bahasa daerah tetap tegar di wilayah tersebut. Berbeda dengan

masyarakat kota yang memang pekerjaannya berpusat pada ponsel dan laptop

sehingga bahasa Indonesia ataupun bahasa asing lebih sering digunakan ketimbang

bahasa daerah. Tetapi jika hal ini tidak mendapat perhatian juga lama kelamaan bisa

jadi bahasa Indonesia ataupun bahasa lainnya akan menggerus eksistensi bahasa

daerah. Faktornya tentu saja tidak ada penanganan secara khusus untuk terus

mentradisikan bahasa daerahnya selain urbanisasi semakin banyak dan ladang

semakin ditinggal.

Pertalian ketiga bahasa daerah dan bahasa digunakan di ranahnya masing-

masing. Hal ada kemungkinan terjadi di wilayah desa yang semi perkotaan. Dalam

kegiatan formal seperti di sekolah, bahasa Indonesia digunakan sebagaimana

mestinya, tetapi dalam kegiatan lainnya seperti mengobrol atau bahkan acara resmi

berupa tradisi seperti selamatan, kendurian, atau tradisi lainnya bahasa daerahlah

yang digunakan. Singkatnya, bahasa Indonesia digunakan dalam kegiatan formal,

sedangkan bahasa daerah digunakan dalam kegiatan non-formal dan kegiatan resmi

berupa tradisi. Hal ini berlaku di Buntet Pesantren. Di sekolah, mereka

menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Dalam kegiatan selamatan

haji (walimatussafar) misalnya, bahasa daerah dengan tingkatan paling tinggi

(kromo) yang digunakan.

Penulis dalam hal ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Fasold.

Alih kode dan campur kode dapat dibedakan dengan gramatika sebagai batasannya.

Jika sudah memenuhi unsur predikatif dengan menggunakan bahasa lain, maka itu

sudah termasuk alih kode. Namun jika masih berupa frasa, apalagi kata, dengan

bahasa yang berbeda, tentu hal tersebut masih tergolong peristiwa campur kode.

Page 27: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

15

Berikut tabel perbedaan antara alih kode dan campur kode yang dirumuskan

oleh Made Iwan Indrawan Jendra.23

No. Points of View CS CM

1. Grammatical items

involved

Sentence and claus Phrase, word, morpheme,

phonemes

2. Base language Clear Sometimes unclear

3. Topics May change Maintained

4. Situations Formal and

informal

More likely informal

5. Bilingual fluencies Partial Total

Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan, bahwa batasan alih kode terdapat pada

kalimat dan klausa, sedangkan campur kode dapat berupa frasa, kata, morfem, dan

fonem. Bahasa dasar alih kode dapat terlihat jelas, sementara campur kode

terkadang samar. Mengenai topiknya, alih kode dapat berubah, sedangkan campur

kode cenderung konsisten. Situasi yang melatarbelakangi alih kode meliputi formal

dan informal, sedangkan situasi campur kode kemungkinan besar informal.

Pengaruh dwibahasa pada alih kode hanya sebagian, tetapi pada campur kode

penuh.

D. Sebab Alih Kode dan Campur Kode

Situasi kebahasaan yang bilingual atau multilingual sangat menentukan

pilihan ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian ragam bahasa Indonesia

oleh para penutur, latar berlangsungnya tuturan, dan topik yang dibicarakan. Firth

menggambarkan pada konteks situasi berbahasa ada empat hal yang berpengaruh,

yakni partisipan, aksi, fitur relevan lainnya dalam situasi, dan efek tindakan

verbal.24 Partisipan atau peserta tutur dalam suatu percakapan tentu memiliki

pengaruh besar dalam mengubah percakapan. Identitas personal partisipan itu

23 Made Iwan Indrawan Jendra, Sociolinguistics: The Study of Societies’ Languages, (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2012), cet. Kedua, h. 80 24 Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. Language, Context, and Text: Aspects of Language in

Social Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press. 1989), h. 6

Page 28: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

16

memengaruhi. Belum lagi soal pengetahuan dan pengalamannya yang tentu saja

sedikit banyaknya memberikan dampak. Kedatangan seorang partisipan baru dalam

suatu percakapan setidaknya jika tidak mengubah bahasa secara umum atau secara

khusus dengan kode tertentu, bisa juga mengubah topik pembicaraan. Selain itu,

tindakan yang dilakukan oleh partisipan juga memengaruhi percakapan yang ada,

baik berupa tindakan verbal maupun non-verbal. Fitur relevan seperti situasi acara

juga berpengaruh terhadap percakapan. Firth mengerucutkan lagi pandangannya

pada tindakan verbal. Ini dimunculkan kembali guna menguatkan hal nomor dua.

Selain itu, tentu saja terdapat perbedaan yang bisa diamati, yakni pada perkataan

yang dimunculkan oleh partisipan.

Gardner dan Chloros juga mengungkapkan beberapa faktor alih kode itu

dilakukan oleh penutur. Menurut mereka, ada tiga hal, yakni sebagai berikut.

1. Faktor penutur dan keadaan sendiri pada variasi yang digunakan yang

memengaruhi penutur pada sebuah kelompok,

2. Faktor yang secara langsung berhubungan dengan penutur, keduanya

sebagai individu atau anggota dari kelompok bilingual

3. Faktor dalam percakapan yang alih kode ambil alih.25

Penutur menjadi faktor utama alih kode terjadi. Seperti Firth, Gardner dan

Chloros menempatkan penutur pada posisi faktor pertama yang dapat menyebabkan

alih kode. Perbedaan latar belakang penutur, baik pembicara maupun pendengar

akan sangat berpengaruh terhadap pilihan bahasa yang digunakan dalam

berkomunikasi. Dua orang yang sedang bercakap menggunakan bahasa daerah akan

beralih menggunakan bahasa nasional saat muncul rekannya yang lain yang tidak

memiliki asal yang sama, atau tidak memiliki kemampuan bahasa daerah yang

sama.

Semua penutur bahasa (tidak hanya) Inggris dapat berbicara satu sama lain

dengan pemahaman yang baik. Tetapi tidak ada dua pembicaaraan yang persis

sama. Beberapa perbedaan terjadi karena usia, kelamin, kecepatan berbicara, emosi,

25 Penelope Gardner dan Chloros, Sociolinguistic Factors in Code Switching dalam The

Cambridge Handbook of Linguistic Code-Switching, (Cambridge: Cambridge University Press,

2009), h. 98-99

Page 29: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

17

kesehatan dan apakah bahasa tersebut sebagai bahasa pertama atau bukan.

Perbedaan lainnya datang dari pilihan kata, pengucapan kata, dan struktur

gramatika.26

Pada tataran fungsi, dwibahasawan kerap kali mengalihkan kode pada varian

kata guna mengkomunikasikan sesuatu di balik dangkalnya makna kata yang

mereka gunakan. Ekabahasawan pun bisa melakukan hal serupa dengan

menggunakan varian dialek, tinggi-rendahnya nada, strata bahasa, ataupun

intonasi.27

Ada kemungkinan ragam bahasa minor berpengaruh terhadap ragam bahasa

mayor karena varian dialek daerah yang umum selalu disuarakan. Carmen Fought

menulis,

Finally, there exists the possibility of influence from the minority ethnic

variety into the surrounding mainstream version of the regional dialect. Of

course such influence is clearly acknowleded in the realm of the lexicon, but

less investigation of possible phonological and grammatical influences in this

direction has been done.28

Pada akhirnya, terdapat kemungkinan pengaruh dari ragam etnis minor pada

dialek regional yang lebih umum. Pasti pengaruh demikian secara jelas diakui

dalam bidang leksikon, tetapi kurang investigasi terhadap fonologi dan

gramatika yang tepat berpengaruh pada pengawasan yang telah dilakukan. .

‘Bineka tunggal ika’ karena selalu digaungkan menjadi kata-kata yang umum.

Meskipun bahasa aslinya, yakni bahasa Kawi sudah amat jarang atau bahkan

langka, kecuali dalam bahasa tulis dalam manuskrip yang berusia ratusan tahun.

Karena kelangkaannya tersebut, bahasa Kawi tentu saja tergolong dalam bahasa

minor. Tetapi ia masih punya pengaruh pada ragam bahasa mayor, yakni bahasa

Indonesia sehingga istilah tersebut tetap lestari sampai saat ini. Kata-kata bahasa

Arab yang berartikan pemimpin pun begitu mendominasi kosakata bahasa

Indonesia, seperti imam, sultan, dan rais. Pemasukan ketiganya dalam KBBI tentu

saja karena seringnya disuarakan oleh para penuturnya. Para penutur, berkaitan

26 Victoria Fromkin, dkk. An Introduction to Language, (Australia: Thomson Wadsworth), h. 445 27 Penelope Gardner dan Chloros, Code Switching, (Cambridge: Cambridge University Press. 2009),

h. 4 28 Carmen Fought, Ethnicity dalam The Handbook of Language Variation. Blackwell. 2003. H.

343

Page 30: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

18

dengan konteksnya, tentu akan memilih diksi yang tepat demi tercapainya pesan

yang dimaksud.

E. Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah

Bertrand mengungkapkan, bahwa bahasa daerah dan bahasa nasional bisa

berjalan beriringan jika pembagian sosiolinguistiknya jelas sehingga tidak ada

benturan atau persaingan dalam wilayah sosial yang sama.

Bertrand’s remarks concern the ecological relationship between local

minority languages and the national language, suggesting that minority

languages and the national language, can co-exist if there is a clear

sociolinguistic division of labour that prevents that languages from

competing in the same social domains.

Ucapan Bertrand mengkhawatirkan hubungan ekologi antara bahasa

minoritas lokal dan bahasa nasional, mengusulkan bahasa minoritas dan

bahasa nasional dapat tetap bersama jika di sana pembagian

sosiolinguistiknya jelas terhadap kerja yang menghalangi bahwa bahasa dari

saingan dalam wilayah sosial yang sama.

Wilayah berbahasa daerah sudah tepat tergantikan dengan bahasa Indonesia,

atau setelah bahasa daerahnya menjadi bahasa kedua, kemajuan tidak dapat

dicegah. Modernisasi menyatakan secara tidak langsung menghabisi budaya.29

Bertrand ingin menyatakan, bahwa bahasa daerah harus tetap menjadi bahasa

pertama masyarakat pada umumnya. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

bisa menjadi bahasa pilihan kedua setelah bahasa daerah yang menjadi bahasa

komunitasnya. Jika bahasa Indonesia sudah menjadi pilihan pertama, tentu bahasa

daerah akan ditinggal. Hal tersebut dapat membunuh bahasa daerah secara

perlahan, tapi pasti.

Appel dan Muysken menulis, bahwa jika perubahan itu ke bahasa mayor,

bahasa tersebut terlihat mengalahkan domain lain setelah melalui tingkat menengah

pada penggunaan bahasa dwibahasawan. Ketika bahasa minor terucap pada bidang

yang lebih sedikit, maka nilainya menurun.30

29 James Sneddon. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. (Sydney:

University of New South Wales, 2003), H. 206 30 Rene Appel dan Peter Muysken, Language Contact and Bilingualism, (Amsterdam: Amsterdam

University Press), h. 41

Page 31: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

19

The prestigious dialect is often that used by political leaders and the upper

socio-economic classes; it is the dialect used for literature or printed

documents; it is taudht in the schools, used by the military, and propagated

by mass media.31

Dialek prestisius kerap kali digunakan oleh politikus dan orang-orang yang

kelas ekonominya menengah ke atas. Dialek ini juga yang digunakan dalam

sastra, dokumen cetak. Selain itu, dialek tersebut juga berlaku di sekolah

sebagai media pengajaran, di militer, dan disebarkan oleh media massa.

Dialek standar tidak berarti ia superior. Hanya saja, dialek standard memiliki

fungsi sosial yang lebih guna mengikat banyak orang untuk mengembangkan

bentuk penulisan penutur lintas dialek.32 Oleh karena itu, banyak orang yang

menggunakan dialek standard, Anton M. Moeliono menyebutnya bahasa baku, itu

dalam komunikasi sehari-hari. Moeliono juga mencatat, bahwa dengan alasan

gengsi yang tinggi sebab bahasa baku itu digunakan oleh kalangan terpelajar dan

terkemuka menarik banyak orang untuk dapat menguasainya dan berbicara

menggunakan bahasa tersebut agar dapat dianggap sebagai orang yang tergolong

dalam ketegori kelas sosial yang tinggi.33 Di daerah-daerah, saat ini, sudah

menjamur orang tua yang mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa

pertamanya. Strata sosial menengah ke bawah menuntutnya untuk menaikkan

derajat agar terlihat setara. Sepertinya, bahasa sedikit membantu mendongkrak

strata sosialnya. Meskipun dalam pandangan mata keseharian hal tersebut belum

tentu memberikan gambaran yang diinginkan oleh penutur dari setiap orang yang

menemui atau ditemuinya.

F. Etnografi Komunikasi

Etnografi komunikasi, menurut Dell Hymes, adalah pendekatan terhadap

deskripsi peristiwa tuturan. Pendekatan ini digunakan untuk analisis terhadap setiap

faktor-faktor yang berkaitan.34 Hymes menyebutnya ethnography of speaking. Bagi

Hymes, setiap faktor dapat dipelajari secara bebas, tetapi semuanya memiliki

hubungan dalam bentuk struktur peristiwa yang lengkap. Untuk setiap macam

31 Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language, (Amerika Serikat: Holt,

Rinehart and Winston, Inc., 1974), h. 257 32 Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language, (Amerika Serikat: Holt,

Rinehart and Winston, Inc., 1974), h. 258 33 Anton M. Moeliono, Kembara Bahasa Kumpulan Karangan Tersebar, (Jakarta: Gramedia,

1989), h. 47 34 Bernard Spolsky, Sociolinguistics, (Oxford: Oxford University Press, 2010), h. 15

Page 32: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

20

peristiwa tuturan, faktor-faktor tersebut direalisir dan dihubungkan dalam cara-cara

yang tepat.35

Pengambilan etnografi komunikasi sebagai salah satu alat penelitian ini tentu

saja bukan tanpa alasan. Pengajian sebagai suatu bentuk komunikasi seorang kiai

dengan santrinya dalam satu majelis merupakan suatu komunitas pembicaraan

tersendiri. Etnografi komunikasi sebagai sebuah studi mengambil fokus pada

kelompok tertentu yang sudah terorganisir dengan baik sebagai suatu sistem dan

cara interaksi dengan semua sistem budaya lainnya.36

Selain itu, alih kode dan campur kode yang masuk dalam sosiolinguistik juga

memiliki bidang kajian yang sama dengan etnografi komunikasi, yakni pada

penggunaan bahasa. Meskipun satu bidang yang sama, tetapi tentu saja masing-

masing memiliki fokus. Sosiolinguistik berfokus pada pengucapan dan struktur

kebahasaan, sedangkan etnografi komunikasi menaruh perhatiannya pada kesatuan

komunikasinya yang terorganisasi dengan baik, serta pada bagaimana mereka

mengikuti pola yang sudah tersistem. Dua hal tersebut, sosiolinguistik dan etnografi

komunikasi, digunakan dalam penelitian ini agar kesempurnaan penelitian dapat

tercapai, atau setidaknya mendekati.

G. Komunitas Tuturan

Saville dan Troike mendefinisikan komunitas tuturan ini dengan sebuah

kelompok yang bahasa tuturannya sangat terbatas pada kelompok tersebut saja.

Bahkan, orang-orang di luar komunitas tersebut harus mempelajari lebih dulu

bahasa yang digunakan dalam komunitas yang dimaksud.37 Contohnya, orang yang

sebelumnya tidak pernah tinggal di pesantren tinggal di dalam lingkungan

pesantren. Ia merupakan santri baru. Tentu saja ia tidak memahami bahasa yang

digunakan pesantren dalam pengajian. Dia harus turut mempelajari lebih dulu

bahasa yang digunakan orang-orang pesantren tersebut agar dapat memahami apa

yang disampaikan dalam pengajian tersebut.

35 Ibid, h. 15 36 Murielle Saville dan Troike, The Ethnography of Communication, (Australia: Blackwell,2003),

h. 2 37 Ibid, h. 16

Page 33: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

21

Lebih rinci, Ronald Wardaugh memberi beberapa batasan-batasan khusus.

Batasan ini dibuat karena sulitnya membuat definisi sederhana untuk istilah

komunitas tuturan. Berikut penjelasan Wardaugh.

For our purposes, a group must have at least two members but there is really

no upper limit to goup membership. People can group together for one or

more reasons: social, religious, political, cultural, familial, vocational,

avocational, etc. The group may be temporary or quasi-permanent and the

purposes of its members may change, i.e., its raison d’être. A group is also

more than its members for they may come and go. They may also belong to

other groups and may or may not meet face-to-face. The organization of the

group may be tight or loose and the importance of group membership is likely

to vary among individuals within the group, being extemely important to some

and of little consequence to others.38

Untuk beberapa tujuan, setiadaknya anggota kelompok terdiri dari dua orang

tanpa ada batas maksimalnya. Orang-orang dapat membentuk kelompok

bersama karena satu atau beberapa alasan: sosial, agama, politik, budaya,

keluarga, kejuruan, kegemaran, dan lain-lain. Kelompok dapat terbentuk

secara sementara waktu saja ataupun dalam jangka waktu panjang dan tak

terbatas, dalam arti permanen dan tujuan-tujuan anggotanya dapat berubah.

Kelompok juga membiarkan anggotanya keluar ataupun terbuka dengan

menerima anggota baru. Mereka juga termasuk anggota kelompok lain dan

memungkinkan mereka untuk bertatap muka atau tidak. Organisasi kelompok

juga boleh ketat atau longgar dan hal terpenting anggota kelompok

memungkinkan untuk mengubah-ubah di antara individu yang termasuk

dalam kelompok tersebut untuk menjadi penting untuk beberapa dan sebagian

kecil konsekuensi untuk lainnya.

Pesantren merupakan salah satu komunitas tuturan. Ada beberapa hal

melandasi berdasar pada pengertian yang dibahas rinci oleh Wardaugh. Secara

keanggotaan, pesantren terdiri dari ratusan bahkan ribuan anggota yang terdiri dari

santri dan kiai. Alasan terbentuknya tentu saja atas dasar agama. Ada hal lain yang

memungkinkan, yakni sosial dan budaya. Agama sudah sangat jelas mengingat

pesantren sebagai suatu lembaga yang memberikan pendidikan dan pengajaran

ilmu-ilmu agama, baik secara teoritis maupun praktis melalui teladan para kiainya.

Dasar sosial dan budaya dalam pembentukan pesantren adalah menjaga tradisi yang

telah berlangsung turun-temurun. Di samping itu, pesantren juga dibentuk sebagai

suatu komunitas yang permanen, tidak hanya untuk sementara saja. Santri di suatu

pesantren juga sangat mungkin untuk keluar dan tinggal di pesantren lain atau

bergerak bergabung dengan komunitas lainnya. Pesantren juga terbuka dengan

38 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 119-120

Page 34: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

22

orang-orang lain yang ingin ambil bagian di dalamnya. Setiap kelompok tentu saja

memliki aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya. Begitupun pesantren.

Ada hal-hal tertentu yang harus dilaksanakan. Sebaliknya, ada pula sesuatu yang

tidak diperbolehkan.

Melengkapi Wardaugh, Claire Kramsch memberikan gambaran lebih jelas

tentang hubungan kelompok dengan anggota sebagai individunya masing-masing.

Berikut pandangan Kramsch.

People who identify themselves as members of a social group (family,

neighborhood, proffesional or ethnic affiliation, nation) acquire common

ways of viewing the world through their interactions with other members of

the same group. These views are reinforced through institutions like the

family, the school, the workplace, the church, the government, and other sites

of socialization throughout their lives. Common attitudes, beliefs, and values

are reflected in the way members of the group use language-for example, that

they choose to say or not to say and how they say it. Thus, in addition to the

notion of speech community composed of people who use the same linguistic

code, we can speak of dicourse communities to refer to the common ways in

which members of a social group use language to meet their social needs.39

Orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kelompok sosial

(keluarga, tetangga, profesi, ataupun afiliasi suku, bangsa) memperoleh jalan

umum terhadap pandangan dunia melalui interaksi mereka dengan anggota

lain dalam kelompok yang sama. Pandangan ini diperkuat melalui lembaga

seperti keluarga, sekolah, tempat bekerja, gereja, pemerintah, dan tempat

sosialiasi lainnya di seluruh kehidupannya. Sikap, kepercayaan, dan nilai

umum direfleksikan pada cara anggota kelompok menggunakan bahasa,

seperti mereka memilih mengatakan atau tidak mengatakan, dan bagaimana

mereka mengatakan itu. Dengan demikian tambahan atas dugaan komunitas

tutur menyusun orang yang menggunakan kode linguistik yang sama, kita

dapat berbicara wacana kelompok untuk merujuk pada cara umum pada

anggota kelompok sosial menggunakan bahasa untuk menemukan kebutuhan

sosial mereka.

Bahasa menjadi gambaran sikap, kepercayaan dan nilai umum yang diterima

orang mengetahui pribadi seseorang ataupun kelompok sosial tertentu. Pesantren

tentu memiliki ciri khas tersebut sehingga orang luar pun mengetahui, bahwa

bahasa demikian itu digunakan di kelompok masyarakat pesantren. Bahasa dengan

strata tertinggi menjadi salah satu cirinya. Masyarakat pesantren dalam

kesehariannya dengan kiai dan orang yang usia atau keilmuannya lebih matang

biasa menggunakan bahasa kromo sebagai bentuk penghormatan. Terhadap

pedagang jajanan yang usianya lebih matang, santri juga menggunakan bahasa Jawa

39 Claire Kramsch, Language and Culture, (Oxford: Oxford University Press, 2014), h. 6

Page 35: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

23

kromo jika ia tidak menggunakan bahasa Indonesia. Lain lagi dengan bahasa yang

digunakan dalam pengajian. Berbagai dialek dari bahasa Jawa bercampur baur

dalam pengajian tersebut karena seolah sudah ada konsensus tersendiri mengingat

hal tersebut diturunkan sejak zaman dahulu. Karena penghormatan juga,

masyarakat kini enggan mengganti sistem dan bahasa yang digunakan.

H. Peristiwa Tutur

Spolsky menyebutkan, bahwa fokus peralihan perhatian dari kalimat ke

tindakan komunikasi itu disebut sebagai speech event atau biasa diterjemahkan

dengan istilah peristiwa tutur.40 Abdul Chaer dan Leonie Agustina menulis, “Yang

dimaksud dengan peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau

berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang

melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di

dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.41 Keduanya memberi contoh komunikasi

yang dilakukan oleh pedagang dan pembeli di pasar. Hal tersebut dianggap sebagai

peristiwa tutur karena topik, tempat, waktu, dan situasinya tertentu dan tidak

berubah. Peristiwa tutur juga dapat terjadi pada suatu diskusi, rapat, ataupun sidang.

Sementara itu, percakapan yang terjadi antara orang yang tidak saling mengenal di

suatu tempat, semisal angkutan umum itu bukan merupakan peristiwa tutur,

menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina.

Lebih rinci, Hymes menggunakan akronim SPEAKING untuk menjelaskan

faktor-faktor yang memengaruhi peristiwa tutur. S sebagai akronim atas setting dan

scene, P untuk Participants, E untuk Ends, A sebagai Act sequence, K untuk Key, I

untuk Instrumentalities, N untuk Norms of interaction and interpretation, dan G

untuk Genre.

Setting (latar) merujuk pada tempat dan waktu peristiwa tutur itu terjadi.

Sementara scene (mengacu pada kondisi dan situasi psikologi ataupun budaya

lingkungannya.42 Perbedaan tempat, waktu, situasi psikologi dan kondisi

kebudayaan yang ada sangat berpotensi mengubah bahasa yang digunakan penutur.

Tentu akan makin variatif dengan beranekamacamnya perbedaan yang ada.

40 Bernard Spolsky, Sociolinguistics, (Oxford: Oxford University Press, 2010), h. 14 41 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 47 42 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 247

Page 36: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

24

Pengajian memiliki tempat dan waktu tertentu. Masing-masing pesantren sudah

menjadwalkan kegiatan pengajiannya.

“Participants (penutur dan petutur) adalah pihak-pihak yang terlibat dalam

pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan

penerima (pesan).”43 Orang-orang yang berkomunikasi tersebut dapat saling

memengaruhi ragam bahasa yang digunakannnya. Begitupun orang yang berbicara

satu arah dengan melihat latar belakang atau profil pendengarnya. Misalnya

pengajian. Kiai sebagai pembicara tunggal memberikan pemaknaan dan penjelasan

dengan melihat pendengarnya, yakni santri dengan beragam latar belakang.

Ends (hasil) merujuk pada hasil yang diharapkan dan dikenali secara

konvensional dan juga guna mencapai tujuan peristiwa secara terperinci.44 Kiai

tentu saja berharap agar santri-santrinya dapat memahami apa yang mereka sedang

pelajari dalam suatu pengajiannya. Maka demi tercapainya tujuan pemahaman

tersebut, kia menggunakan bahasa Indonesia sebagai dasar bahasanya. Dalam

perjalanannya, kiai sangat mungkin akan menggunakan ragam bahasa lainnya,

tetapi hal itu tak menghalangi hasil yang diharapkan.

Act squence (urutan kejadian) mengacu pada bentuk dan isi ujaran: pilihan

kata yang digunakan, bagaiamana penggunaannya, dan hubungan apa yang

dikatakan dengan topik yang diperbincangkan.45 Bentuk ujaran dalam belajar di

sekolah dan dalam pengajian di pesantren tentu saja berbeda. Hal tersebut salah

satunya dilatarbelakangi topik pembicaraan. Belajar di sekolah membincang ilmu

umum, sementara di pesantren secara khusus mempelajari agama. Bahasa buku

yang menjadi rujukan pun berbeda, di sekolah menggunakan buku berbahasa

Indonesia dan Inggris, sementara di pesantren menggunakan kitab berbahasa Arab

dan Jawa.

Key (cara) berkaitan dengan nada, cara, dan semangat penyampaian pesan:

senang hati, serius, saksama dengan singkat dan padat, sombong dengan

menonjolkan kemampuannya, mengejek, menyindir tajam, angkuh, dan

sebagainya.46 Kiai dalam pengajiannya masing-masing memiliki ciri khas, baik dari

43 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 8 44 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 247 45 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 248 46 Ibid

Page 37: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

25

nadanya, caranya, maupun semangatnya. Pada hal-hal tertentu, kiai akan

menyampaikan dengan nada rendah. Lain topik, kiai bernada tinggi tuturannya.

Dalam keseriusannya memberikan penjelasan, kiai kerap kali melontarkan humor

segar yang membuat otot tegang kembali renggang.

Instrumentalities (alat atau media) ini bersangkut paut dengan pilihan media

penutur: lisan, tulisan, telegrap, dan bentuk sebenarnya dari pilihan tuturan, seperti

bahasa, dialek, kode, ataupun nada suara yang dipilih.47 Pengajian tentu saja

melibatkan media lisan. Kiai memberikan pemaknaan dan penjelasan

menggunakan bahasa lisan. Begitupun santri membaca ulang dan bertanya. Media

tulisan juga digunakan dalam pengajian, tepatnya sebagai sarana peletakan makna

pada setiap kata dari kitab yang dipelajari. Selain itu, bentuk-bentuk bahasa,

penggunaan dialek dan kode tertentu, dan nada juga begitu diperhatikan dalam

pengajian. Terkadang hal tersebut juga terucapkan secara tidak sadar, baik itu oleh

kiai maupun oleh santrinya.

Norms of interaction and interpretation (norma interaksi dan interpretasi)

mengacu pada tindakan spesifik dan kemampuan yang mendukung penuturan, juga

bagaimana dilihat orang seperti volume suara, keheningan, tatapan balik, dan

sebagainya.48 Abdul Chaer dan Leonie Agustina mengaitkannya dengan “Norma

atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara

berinterupsi, bertanya, dan sebagainya.”49 Meskipun tidak secara tegas tertulis,

dalam pengajian pun terdapat aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku. Misal,

jika santri ditatap oleh kiai, ia akan menundukkan pandangannya. Pantangan sekali

bagi seorang santri untuk saling bersitatap dengan sang kiai. Sebelum penjelasan

rampung, pertanyaan di pikirannya masing-masing santri ditampung. Barulah

setelah dipersilakan, santri akan menyampaikan letak ketidakpahamannya.

Adapun genre (jenis) merujuk pada tipe ungkapan yang disampaikan oleh

penutur, seperti puisi, pepatah, teka-teki, nasehat, doa, ceramah atau kuliah, dan

tajuk rencana.50 Beragam jenis yang digunakan dalam pengajian. Nasehat tentu saja

kerap kali digunakan. Terlebih jika pengajiannya berbasis kitab akhlak ataupun

47 Ibid 48 Ibid 49 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op Cit, h. 48 50 Ronald Wardaugh, Op Cit, h. 248

Page 38: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

26

tasawuf. Ceramah menjadi tipe yang paling sering dipilih mengingat penyampaian

penjelasan menuntut hal demikian, khususnya pada bidang fikih, usul fikih, nahwu

dan sharaf (gramatika bahasa Arab), tauhid, tajwid, dan sebagainya. Doa pun tidak

bakal lepas dari pengajian. Tipe ini biasa dijadikan sebagai pembuka dan penutup.

Kiai biasa mengawali pengajiannya dengan bertawassul, mengirim doa kepada

penulis kitab yang dikaji, guru-guru kiai tersebut, serta para ulama terdahulu.

Kegiatan pengajian juga ditutup dengan berdoa, baik itu dengan membaca Alquran

surat al-Fatihah, maupun doa penutup majlis. Ada pula yang hanya menutupnya

dengan mengucap kalimat Wallahu a’lamu bi al-șawab.

I. Pengajian

Pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki metode yang khas dalam

melakukan pembelajarannya. Sistem sorogan dan sistem bandungan merupakan

dua metode khas yang sampai kini masih digunakan dalam pengajaran di pesantren.

Murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan tersebut secara tepat dan

hanya bisa menerma tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami

pelajaran sebelumnya.51 Begitu Zamakhsyari Dhofier mendefinisikan metode

pertama. Lebih lanjut, Dhofier mengatakan bahwa sistem pertama ini merupakan

sistem individual. Artinya, santri secara individu, satu persatu menghadap kiai.

Lebih jelasnya, Ahmad Zaini Hasan menjelaskan, bahwa metode sorogan itu

dilakukan dengan santri men-sorog-kan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di

hadapan kiai. Dan kalau ada kesalahan langsung dibetulkan oleh kiai.52

Metode ini biasa digunakan untuk mengaji kitab-kitab kecil atau tipis, seperti

Safinah al-Najah, Fath al-Qarib, Sullam al-Taufiq, Bahjah al-Wasail, Qatr al-

Ghaits, dan lain-lain. Metode ini digunakan agar santri dapat memahami struktur

gramatika bahasa Arab dan hafal akan makna setiap kata dengan sendirinya tanpa

disadari. Hal tersebut karena pengulangan pembacaan yang diminta oleh kiai

berkali-kali, hingga 20 sampai 25 kali. Kiai dalam metode ini hampir tidak

menerangkan atau bahkan tidak menerangkan sama sekali, hanya memberi makna

dari setiap kata berbahasa Arab yang tersaji dalam setiap kitab yang santrinya kaji.

51 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai

Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011, Cet. Kesembilan), h. 53 52 Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan

Bela Negara, (Yogyakarta: LkiS, 2014), h. 116

Page 39: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

27

Metode ini benar-benar dilakukan satu-persatu, antara individu santri dengan

kiainya seperti pengajian Alquran. Perhatian kiai pada santrinya dalam pengajian

dengan metode ini tentu sangat fokus sehingga kesalahan yang terjadi akan mudah

diketahui. Kiai akan lekas memberi peringatan dan perbaikan.

Adapun metode kedua, Zamakhsyari Dhofier mendefinisikan sekelompok

murid (antara 5-500 murid) mendengarkan seorang guru yang membaca,

menerjemahkan, menerangkan, bahkan seringkali mengulas buku-buku Islam

dalam bahasa Arab.53 Senada dengan Dhofier, Ahmad Zaini Hasan mengartikan

bandungan sebagai sistem mengajar tradisional khas pesantren di mana seorang kiai

duduk dikerumuni santri-santrinya sambil menyimak kitab. Kiai membaca,

menterjemahkan kitab yang dibaca ke dalam bahasa Jawa umumnya kemudian

menerangkan isi kitab pada santri. Para santri hanya mengapsahi, mencatat

terjemahnya pada kitab itu juga.54

Metode bandungan biasanya digunakan dalam pengajian kitab-kitab besar

atau berukuran tebal, seperti Tafsir Jalalain, Fath al-Wahhab, Sahih Bukhari, Sahih

Muslim, dan lain-lain. Metode ini juga digunakan dalam pengajian umum seperti di

masjid agung pondok. Di Buntet Pesantren, Masjid Agung Buntet Pesantren dua

kali menggelar pengajian umum dalam setahun. Pertama di bulan Rabiul Awwal

dengan pengajian kitab Madarij al-Shu’ud karya Syaikh Nawawi al-Bantani syarah

dari Kitab Al-Barzanji karya Syakih Jakfar Al-Barzanji. Pengajian kitab tersebut

dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Kedua di bulan Rajab

dalam rangka memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw. dengan membuka

pengajian kitab Qisshat al-Mi’raj karya Syaikh Ahmad al-Dardiri. Kedua kitab ini

dikaji dengan sistem bandungan karena seluruh santri Buntet Pesantren berkumpul

di satu tempat dengan beberapa kiai membacanya secara bergantian.

Pesantren Buntet selain menggunakan dua metode di atas, juga menggunakan

metode gabungan keduanya. K.H. Imaduddin Zaeni menyebutnya sebagai sistem

terpadu.55 Seorang kiai membaca kitab kepada kelompok kecil yang beranggotakan

53 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai

Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011, Cet. Kesembilan), h. 54 54 Ahmad Zaini Hasan, Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan

Bela Negara, (Yogyakarta: LkiS, 2014), h. 116 55 Wawancara pada tanggal 11 September 2017 di kediamannya di Buntet Pesantren,

Astanajapura, Cirebon.

Page 40: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

28

dua sampai dua puluhan santri. Kiai memaknai satu kalimat atau klausa bahasa

Arab dengan bahasa Jawa, lalu para santri mengulangi apa yang kiai ucapkan.

Setelah itu, kiai memberikan penjelasan dengan bahasa Indonesia. Para santri diberi

kesempatan untuk bertanya mengenai seluruh hal apapun berkaitan dengan tema

yang sedang dipelajari, pembacaan kitab dilihat dari teori gramatika bahasa

Arabnya, dan hal-hal lain yang mereka belum begitu jelas memahaminya.

Setelah penjelasan dan tanya jawab dirasa cukup, kiai mempersilakan

santrinya mengulangi bacaan yang telah mereka baca sebelumnya secara

berkelompok. Selanjutnya, para santri mengulangi bacaan tersebut satu persatu di

hadapan kiai hinggga lancar. Setelah semua santri telah membaca satu persatu di

hadapan kiai, mereka kembali membaca bacaan tersebut sampai tiga atau lima kali

secara bersamaan. Barulah pengajian itu ditutup oleh kiai dengan membaca kalimat

wallahu a’lam bi al-shawab, Allah Mahamengetahui dengan benar. Sebelum kiai

memberikan penerjemahan dan penjelasan, para santri juga mengulang bacaannya

dari awal hingga ajen-ajen, batas yang akan dipelajari.

Sistem terpadu digunakan di beberapa pesantren tertentu dengan maksud

mencapai kedua fokus metode sebelumnya, yakni metode sorogan agar dapat

menghafal makna setiap kata dan memahami struktur gramatika setiap kalimatnya

dan metode bandungan agar dapat memahami substansi kalimat-kalimat yang

dipelajarinya. Metode ini memang tidak simpel dan butuh waktu yang cukup lama,

tidak efisien. Tetapi efektif guna mendapatkan dua tujuan itu, pemahaman dan

penghafalan. Metode ini biasanya tidak digunakan dalam dirosah, atau sistem

pengajian berkelas atau berjenjang, mengingat pengajian dengan menggunakan

metode terpadu tidak memberikan target khatam. Pengajian ini mengalir sesuai

kemampuan para santrinya.

Kitab yang digunakan dalam metode ini sama dengan kitab yang digunakan

dalam metode sorogan, seperti Safinah al-Najah, Sullam al-Taufiq, dan Fath al-

Qarib dalam bidang fiqh, Aqidah al-Awam, Tijan al-Darari, dan Qatr al-Ghaits

dalam bidang tauhid, Hidayat al-Shibyan, Tuhfat al-Athfal, dan Musthalah al-

Tajwid dalam bidang tajwid, Jurumiyah, Imrithi, dan Alfiyyah ibn Malik dalam

bidang nahwu, dan al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Kailani Izzi, dan Nadzm Maqsud

dalam bidang sharaf, dan sebagainya.

Page 41: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

29

J. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang

dilakukan oleh Abdul Kholiq, Roekhan, dan Sunaryo dengan judul Campur Kode

pada Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia Bapak Dr. Susilo Bambang

Yudhoyono.56 Penelitian yang digunakan untuk skripsinya itu dilakukan pada

naskah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diunduh dari situs web

resmi kepresidenan Republik Indonesia, yakni

http://presidenri.go.id/index.php/pidato/. Peneliti menemukan adanya bentuk

campur kode pada kata, frasa, baster, pengulangan kata, dan klausa. Penelitian ini

juga mendeskripsikan jenis-jenis campur kode yang terjadi, yakni campur kode ke

dalam (inner code-mixing) dan campur kode keluar (outer code-mixing). Selain itu,

peneliti juga menjelaskan fungsi penggunaan campur kode, yaitu untuk identifikasi

peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan.

Di sini memiliki kesamaan objek penelitian, yakni campur kode pada naskah

pidato. Bedanya, subjek dalam penelitian relevan itu adalah Presiden Republik

Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan subjek dalam penelitian ini

adalah siswa yang juga merupakan santri Buntet Pesantren.

Selain itu, Dhanang Tri Atmojo pernah melakukan penelitian untuk

skripsinya dengan judul Alih Kode dan Campur Kode dalam Kelompok Masyarakat

Perantau di Desa Kedung Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi.57 Mahasiswa

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah itu melakukan penelitian di Desa

Kedung Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi. Ia mendeskripsikan bahwa

masyarakat di desa tersebut melakukan alih kode dan campur kode dengan dua

variasi bentuk dasar, yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Variasi pertama

didapati alih kode pada bahasa Jawa, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Alih dan

campur kode pada bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris ditemukan

dalam versi kedua. Faktor yang memengaruhi peralihan atau pencampuran kode itu

bergantung pada jenisnya. Orang ketiga menjadi sebab peralihan kode pada jenis

situational code-switching. Pada metaphorical code-switching, peralihan bahasa

56 Diunduh dari http://jurnal-online.um.ac.id/article/do/detail-article/1/47/867 pada tanggal 23

September 2016, pukul 16.22 WIB 57 Diunduh dari http://eprints.ums.ac.id/23343/ pada tanggal 23 September 2016, pukul 16.21 WIB

Page 42: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

32

terjadi karena penutur ingin menekankan tuturan yang diinginkannya sehingga

mendapat perhatian lebih dari pendengar. Adapun campur kode terjadi karena

penggunaan istilah yang lebih populer dan keterbatasn kode pada bahasa dasar.

Page 43: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fenomena yang terjadi secara natural.

Sebagaimana yang diungkapkan Hancock, bahwa penelitian kualitatif menjelaskan

fenomena spesial seperti peristiwa yang terjadi secara natural..58

Laporan ini akan berisi data berupa kutipan ujaran kiai dalam pengajian yang

dilakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa data yang diambil sangat bersifat

subjektif. Hancock menyatakan bahwa penelitian kualitatif dikontrasikan dengan

pendapat, pengalaman, dan rasa data subjektif yang dihasilkan oleh masing-masing

individu.59

Untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya permasalahan

yang akan diteliti, tentu peneliti harus mengetahui kondisi lingkungan tempat

penelitian, termasuk mengetahui subjek-subjek penelitiannya. Dengan arti lain,

peneliti harus memahami kondisi sosialnya secara rinci. Mason menulis, penelitian

kualitatif bertujuan untuk kebulatan hasil dan pemahaman kontekstual pada dasar

kekayaan, nuansa, dan rincian data.60 Oleh karenanya, peneliti menggunakan

pendekatan etnografi.

Ethnography is the study of people in naturally occuring settings or ‘fields’

by means of methods which capture their social meanings and ordinary

activities, involving the researcher participating directly in the setting, if not

also the activities, in order to collect data in a systematic manner but without

meaning being imposed on them externally.61

Etnografi adalah sebuah studi terhadap orang-orang dalam peristiwa natural

dengan maksud metode-metode yang menangkap makna-makna sosial dan

aktivitas kebiasaan mereka, menyertakan peneliti berpartisipasi secara

langsung dalam keadaan tersebut, jika tidak juga aktivitasnya, maka

58 Beverley Hancock, An Introduction to Qualitative Research, (Nottingham: Trent Focus Group,

2002), h. 2 59 Ibid 60 Jennifer Mason, Qualitative Researching, (London, SAGE Publications, 2002), h. 3 61 John D. Brewer, Ethnography, (Philadelphia: Open University Press, 2000), h. 10

Page 44: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

32

mengumpulkan data pada sebuah perilaku sistematik tetapi tanpa

perencanaan menjadi memaksakan pada mereka secara eksternal.

Peneliti dalam pendekatan etnografi ini terlibat langsung di dalamnya.

Meskipun tidak secara aktif berpartisipasi, peneliti hadi di tempat penelitian guna

mengamati dan mengambil makna-makna sosial yang ada. Penelitian yang

dilakukan saat ini memang tidak lama dalam pengambilan datanya. Namun peneliti

sudah sejak lama terlibat aktif dalam lingkungan penelitian sehingga makna-makna

sosial di dalam penelitian ini sudah bisa peneliti telusuri.

Pendekatan etnografi diterapkan pada penelitian ini dengan tujuan untuk

menemukan keterkaitan konteks dengan bahasa yang dituturkan. Wardaugh

menulis, bahwa etnografi berusaha memahami bagaimana perbedaan kelompok

dalam menggunakan bahasa mereka jika kita sampai memahami pemahaman yang

komperhensif terhadap bagaimana bahasa tersebut berhubungan dengan

masyarakat yang menggunakannya.62

Di samping itu, eratnya hubungan bahasa dan sosial menguatkan penggunaan

pendekatan etnografi dalam penelitian ini.

Unlike Chomsky, but like Rousseau, moreover, some linguists are beginning

to attend to a conception of linguistic structure as interdependent with social

circumstances, and as subject to human needs and evolutionary adaptation.

And like Rousseau, our image of the linguistic world, the standard by which

we judge the present situation, harks back to an earlier stage of human

society.63

Tidak seperti Chomsky, tetapi seperti Rousseau, tambahan lagi, beberapa ahli

bahasa menghadirkan konsep struktur linguistik sebagai hubungan saling

ketergantungan dengan peristiwa sosial, dan sebagai subjek terhadap

kebutuhan manusia dan adaptasi evolusi. Dan seperti Rousseau, gambaran

kita terhadap dunia linguistik, standarnya dengan apa yang kita hukumi

situasi saat ini berhubungan dengan sebuah tempat yang lebih dulu atas

masyarakat.

Pernyataan Rousseau mendukung kuat pendekatan etnografi untuk digunakan

dalam penelitian ini mengingat penelitian yang akan dilakukan ini berusaha

mengungkap hubungan bahasa dengan situasi sosialnya yang lebih dulu

62 Ronald Wardaugh, An Introduction to Sociolinguistics, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h.

242 63 Dell Hymes, Ethnography, Linguistics, Narrative in Equality Toward Understanding to Voice,

(London: Taylor and Francis, 2004), h. 25

Page 45: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

33

berkembang di tengah masyarakat. Pemilihan bahasa Jawa dalam pemaknaan kitab-

kitab sudah beratus tahun tetap bertahan digunakan sampai saat ini oleh kalangan

pesantren dalam setiap pengajian.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 10-13 September 2017. Tempat yang

menjadi objek penelitian adalah Pesantren Buntet, Kecamatan Astanajapura,

Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Di Buntet Pesantren, terdapat lebih dari 50

pondok. Peneliti mengambil tiga sampel dengan batasan pilihan berdasarkan

metode pengajiannya, yakni pengajian metode sorogan di Pondok Pesantren Al-

Andalusia, metode bandungan di Pondok Pesantren Al-Muttaba’, dan metode

terpadu di Pondok Pesantren Darul Amanah.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah kiai dalam pengajian. Subjek dibatasi dengan

metode pengajian. Hal ini guna mendapatkan gambaran dari tiga metode yang

diterapkan dalam pengajian di Pesantren Buntet. Subjek metode sorogan dan

bandungan K.H. Ade Nasihul Umam. Sementara itu, subjek metode terpadu K.H.

Imaduddin Zaeni.

Pilihan keduanya karena sudah sangat berpengalaman dalam bidang tersebut.

Hampir seluruh pengajian yang diampu oleh K.H. Imaduddin Zaeni menggunakan

metode terpadu. Sementara itu, K.H. Ade Nasihul Umam sudah bertahun-tahun

mengajar dengan metode bandungan dan sorogan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana yang diungkapkan Hancock, teknik pengumpulan data

kualitatif dapat ditempuh dengan tiga cara, yakni wawancara, kelompok fokus, dan

observasi.64 Pada penelitian ini, akan dilakukan dua teknik sekaligus, yakni

wawancara dan observasi.

Teknik wawancara peneliti tempuh guna menemukan alasan-alasan khusus

dari para responden dalam melakukan alih kode dan campur kode. Selain itu, teknik

64 Hancock, Op Cit, h. 9

Page 46: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

34

ini juga diperlukan guna menggali lebih dalam tentang beberapa hal yang perlu

ditanyakan terkait pendapat santri mengenai metode-metode pengajian yang

diikutinya. Ini penting dilakukan mengingat metode kualitatif diperlukan gambaran

secara rinci mengenai hal yang ditelitinya. Karena penelitian ini bersifat subjektif,

peneliti merasa perlu untuk menggali subjektivitas subjek penelitian agar

mendapatkan data yang akurat guna analisis terbaik.

Adapun mengenai observasi, peneliti akan melakukan empat langkah, yakni

memberikan deskripsi tertulis, merekam baik audio maupun video, mentranskripsi,

dan memotret . Peneliti akan menggunakan semua cara dalam observasi kecuali

artefak.

1. Deskripsi tertulis

Peneliti akan menulis deskripsi dengan rinci mengenai peristiwa tuturan

pada pengajian di Pondok Buntet Pesantren dengan berbagai metodenya,

yakni metode bandungan, metode sorogan, dan metode terpadu. Di sini,

peneliti akan menggunakan metode SPEAKING yang dikemukakan Dell

Hymes agar dapat memberikan gambaran tertulis secara rinci.

2. Rekaman

Peneliti akan merekam peristiwa pengajian dengan menggunakan alat

perekam suara dari ponsel. Saat proses merekam itu, penulis juga menyimak

penjelasan responden dan memberikan catatan-catatan khusus. Perekaman ini

juga dilakukan pada saat wawancara agar dapat menyempurnakan catatan

tertulis.

3. Mentranskripsi

Setelah pengajian itu direkam, peneliti akan mentranskripsi hasil

rekaman yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan agar data yang mulanya

berbentuk suara itu dapat dilihat perubahan-perubahannya.

4. Dokumentasi

Peneliti juga memotret peristiwa pengajian tersebut. Hal ini dilakukan

guna memberikan gambaran bentuk pengajian di sana.

Page 47: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

35

E. Teknik Analisis Data

Pada analisis data, penelitian ini mengikuti pendapat Arikunto, bahwa

pekerjaan analisis data meliputi tiga langkah, yaitu (1) persiapan, (2) tabulasi, dan

(3) penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian.65

Pada persiapan, peneliti memilih beberapa data untuk digunakan sebagai

sampel. Selainnya, data dibiarkan saja. Hal ini dilakukan agar data dapat diolah

dengan baik pada tahapan selanjutnya.

Dalam langkah selanjutnya, peneliti mengklasifikasikan data sesuai dengan

instrumen penelitian yang telah dibuat. Peneliti akan menempatkan data pada tabel-

tabel sesuai dengan klasifikasinya masing-masing.

Terakhir, peneliti akan melakukan analisis terhadap data yang sudah

terklasifikasi itu dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik, yakni

pendekatan dengan yang meneliti objek dipandang dari sosial kemasyarakatan

pemakai bahasa.

65 S. Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998) h. 240, dikutip oleh Abdul

Kholiq, Roekhan dan Sunaryo, Campur Kode pada Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia

Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, (JPBSI Online, Universitas Negeri Malang, Malang,

2013), h. 5

Page 48: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

36

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Profil Pondok Buntet Pesantren

Pesantren Buntet didirikan oleh Mufti Keraton Kanoman Mbah Muqoyyim

pada abad 18. Tidak ada yang mengetahui pastinya kapan. Ada yang menyebut

tahun 1758, ada pula yang menyebut 1785. Pastinya, pendirian Pondok Pesantren

Buntet itu setelah Mbah Muqoyyim keluar dari lingkungan keraton karena enggan

bersekutu dengan pihak kolonial. Sampai saat ini, Buntet Pesantren sudah

mengalami pergantian kepemimpinan selama delapan kali.

1. Mbah Muqoyyim

Buntet Pesantren sempat vakum beberapa tahun karena pondoknya

yang saat itu berada di Dukuh Dawansela Desa Buntet diketahui dan dibakar

oleh Belanda. Mbah Muqoyyim beberapa tahun berkelana ke berbagai kota,

di antaranya Pemalang dan Aceh. Beliau pulang kembali ke Cirebon setelah

diminta oleh pihak Belanda untuk mengatasi wabah penyakit yang sedang

menjangkiti masyarakat Cirebon saat itu dengan syarat pangeran santri,

penerus tahta Keraton Cirebon, itu dikembalikan dari pengasingannya.

Setelah itu, Mbah Muqoyyim kembali membangun pesantren sekitar 500

meter arah timur dari pondok sebelumnya, yakni Buntet Pesantren yang

sekarang.

2. Mbah Mutaad

Selepas Mbah Muqoyyim, Buntet dipimpin oleh menantu cucunya

yakni Mbah Mutaad. Beliau salah satu pasukan Pangeran Diponegoro.

Mbah Mutaad dipilih sebagai pengganti karena Mbah Muqoyyim tidak

memiliki seorang putra. Semua anaknya perempuan. Antara Mbah Mutaad

dan Pangeran Diponegoro memiliki hubungan kekerabatan erat. Keduanya

merupakan penganut tarekat Syatariyyah.

3. KH Abdul Jamil

Setelahnya, Buntet Pesantren dipimpin oleh putra kelima Mbah Mutaad

dari istrinya yang pertama, yakni KH Abdul Jamil. Ki Duljamil, begitu K.H.

Abdul Jamil disebut, dipilih karena kakaknya yang laki-laki telah keluar dari

Page 49: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

37

pesantren Buntet untuk mengembangkan Pesantren Benda Kerep yang

terletak di pusat Kota Cirebon. Ki Duljamil mengasuh Buntet Pesantren

hingga wafatnya pada tahun 1918. Salah satu santri beliau adalah Pencipta

lambang Nahdlatul Ulama KH Ridwan Abdullah.

4. KH Abbas

Buntet Pesantren diteruskan oleh putra pertamanya KH Abbas Abdul

Jamil yang dikenal sebagai Singa Jawa Barat. Beliau adalah orang yang

dinanti kedatangannya oleh Rois Akbar Nahdlatul ulama Hadratussyaikh

KH Hasyim Asy’ari pada November 1945. Beliau didapuk oleh para kiai

untuk memimpin jalannya perang di hari yang kini dikenal sebagai Hari

Pahlawan itu. Pada tahun 1946, beliau berpulang. Di antara santri-santri

beliau adalah Menteri Agama 1959-1962 K.H. Wahib Wahab (putra

pertama KH Abdul Wahab Hasbullah) dan Ketua Komisi Fatwa MUI 1986-

2000 Prof. Dr. K.H. Ibrohim Hosen.

Kiai Abbas merupakan anak kedua dari istri kedua K.H. Abdul Jamil.

Anak pertamanya perempuan bernama Ny. Zamrud. Dipilihnya Kiai Abbas

ini atas isyarat dari K.H. Abdul Jamil pada saat salat jemaah di Masjid

Agung Buntet Pesantren. Ki Duljamil meminta putranya itu untuk menjadi

imam meskipun pada saat itu Ki Duljamil masih sugeng.66

Kiai Abbas mendirikan sekolah pertama pada tahun 1928, yakni

Madrasah Wathaniyah. Kecintaannya terhadap tanah air itu salah satunya

terbukti dari penamannya terhadap sekolah yang didirikannya. Sekolah

tersebut kini berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Wathaniyah.

5. KH Mustahdi Abbas

Kepemimpinan Pesantren Buntet diteruskan oleh putra pertamanya,

yakni KH Mustahdi Abbas hingga tahun 1975. Banyak perkembangan yang

terjadi pada masa kiai yang sudah jadzab sejak kecil itu. Beliau mendirikan

Pendidikan Guru Agama (PGA) yang kemudian berubah menjadi Madrasah

Tsanawiyah berdasarkan SK menteri. Lalu berdiri pula Madrasah Aliyah

Agama Islam Negeri (MAAIN) Buntet Pesantren Cirebon. Madrasah

66 Kisah ini diceritakan oleh K.H. Ade Nasihul Umam setiap kali memberikan penjelasan tarikh

ta’sis ma’had, sejarah pendirian pondok, pada saat ziarah kubur dalam rangka Haul Almarhumin

Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren.

Page 50: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

38

tersebut berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buntet Pesantren

Cirebon. Saat ini berdasarkan keputusan Menteri Agama, MAN Buntet

Pesantren Cirebon berganti nama menjadi MAN 3 Kabupaten Cirebon.

6. KH Mustamid Abbas

Selanjutnya, Pesantren Buntet dipimpin oleh adiknya Kiai Mustahdi

Abbas, yakni KH Mustamid Abbas. Kiai Mustamid aktif sebagai anggota

Dewan Perwakilan Rakyat perwakilan golongan. Pendidikan formal pada

kepemimpinan Kiai Mustamid semakin berkembang dengan hadirnya

Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putri pada tahun 1982 dan

Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra pada tahun berikutnya.

Lima tahun selepas MANU Putra berdiri, kiai yang juga pernah menjabat

sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat itu pulang ke rahmatullah.

Di antara santri K.H. Mustamid Abbas adalah putra mendiang Ketua

MPR dan DPR KH Idham Chalid, yakni K.H. Saeful Hadi Chalid. Sejak

2012 lalu, ia menjabat sebagai direktur utama LKBN Antara.

Sejak masa K.H. Abdul Jamil hingga K.H. Mustamid Abbas, para santri

diberi kebebasan mengaji ke kiai mana saja. Para kiai mengajar sesuai

keahliannya masing-masing. Ada yang sepanjang hari hanya mengajar

Alquran. Ada pula yang mengajar dengan sistem bandungan. Beberapa kiai

juga hanya mengajar sorogan. Para santri bebas memilih mengaji Alquran

pada siapa, sorogan pada siapa, dan bandungan pada siapa dengan waktu

yang tinggal disesuaikan dengan pengajian lainnya.

7. KH Abdullah Abbas

KH Abdullah Abbas, adiknya, dipercaya untuk meneruskan

perjuangannya. Meskipun dikenal ahli dalam bidang politik karena

keaktifannya dulu berperang melawan penjajah dengan lobi-lobinya, KH

Abdullah Abbas enggan meneruskan kakaknya menjadi anggota dewan.

Beliau memilih untuk senantiasa bersama Nahdlatul Ulama dan Buntet

Pesantren. Kehadiran Akademi Keperawatan (Akper) Buntet Pesantren

pada tahun 1996 adalah buah kerja keras beliau. Kiai Dulah, begitu beliau

akrab dipanggil, dikenal sebagai tiga ‘Hamba Allah’ yang menjadi paku

bumi, selain KH Abdullah Faqih, Langitan, Tuban, Jawa Timur, dan KH

Page 51: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

39

Abdullah Salam, Kajen, Pati, Jawa Tengah. Setelah dirawat lebih dari

sebulan di salah satu rumah sakit di Cirebon, Kiai Dulah mengembuskan

nafas terakhirnya pada hari Jumat pagi, 10 Agustus 2007 pada usia 86 tahun.

Buntet Pesantren saat itu menjadi lautan manusia. Ribuan orang ingin

memberikan penghormatan terakhir pada sosok yang begitu dekat dengan

masyarakat itu.

Pada masa kepemimpinan Mbah Dulah, para santri yang berasal dari

berbagai daerah di seluruh wilayah Nusantara itu mulai tinggal di rumah-

rumah kiai setelah pada masa sebelumnya, para santri tinggal di pondok-

pondok yang didirikan atas swadaya masyarakat dari kota tertentu. Selain

itu, ada pula yang tinggal di asrama besar (Asbes) yang menampung ratusan

santri tidak berbatas wilayah.

Saat ini, para santri lebih banyak menghabiskan waktunya di pondok

masing-masing. Mereka telah disediakan pengajian dengan sistem dirosah

dengan kurikulum yang ditetapkan sendiri oleh kiainya.

8. KH Nahduddin Abbas

Kepemimpinan Buntet Pesantren semenjak berpulangnya Kiai Dulah

hingga kini dipegang oleh adiknya yang sejak tahun 1958 menetap di

London, Inggris, yakni KH Nahduddin Royandi Abbas. Mbah Din, begitu

beliau akrab disapa, mendirikan SMK NU Mekanika pada tahun 2009.

Enam tahun berikutnya, Mbah Din mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu

Tarbiyah (STIT) Buntet Pesantren.

Pesantren Buntet berpusat di Desa Mertapada Kulon. Sebagian wilayah barat

masuk Desa Munjul dan sebagian wilayah utara masuk dalam Desa Buntet. Adapun

di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Desa Sidamulya. Pesantren Buntet

diapit dua sungai yang bermuara ke laut utara Cirebon.

Buntet Pesantren saat ini dihuni oleh tiga ribuan santri dari berbagai penjuru

di Indonesia. Dua ribuan ‘santri kalong’ turut mengaji dan sekolah di lingkungan

pondok Buntet Pesantren yang berasal dari wilayah sekitar.

Saat ini, bahasa yang digunakan di Buntet Pesantren sudah semakin beragam.

Perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor utama perubahan bahasa di

Page 52: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

40

Buntet Pesantren. Selain itu, pergaulan masyarakat Buntet Pesantren yang cukup

luas juga memengaruhi penggunaan bahasa. Adanya kiai yang menjadi anggota

DPR RI, akrab dengan para pejabat tinggi di tingkatan pusat, dan banyaknya

masyarakat Buntet Pesantren yang melakukan urbanisasi, merantau ke ibu kota

menjadi beberapa faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa di Buntet

Pesantren. Selain itu, faktor lain yang berpengaruh juga kemajemukan santri.

Masyarakat Buntet Pesantren terkadang melakukan penyesuaian dengan mereka,

sehingga berusaha menggunakan bahasa asal para santri tersebut, misal

memanggilnya dengan sebutan bang atau mas.

B. Hasil Analisis

1. Pengajian Sorogan

Pengajian ini dilaksanakan pada hari Rabu, 13 September 2017,

pukul 19.40 WIB bertempat di kediaman K.H. Ade Nasihul Umam, Buntet

Pesantren. Pengajian metode sorogan ini dilakukan malam hari setelah

Isya karena waktu tersebut merupakan waktu dirasah bagi setiap pondok

di Buntet Pesantren yang menggunakan sistem kelas. Pengajian ini

berlangsung begitu khidmat karena dua santri langsung berhadap-hadapan

dengan kiainya.

Dalam pengajian ini, ada dua pihak yang terlibat, yakni kiai sebagai

pemberi pengajian (penutur) dan santri yang mengajinya (kawan tutur).

Baik penutur, maupun kawan tutur, keduanya aktif. Penutur membaca,

kawan tutur mengikutinya. Bahkan, kawan tutur cenderung lebih aktif

mengingat mereka harus mengulangi beberapa kali bacaannya sampai

benar-benar lancar tanpa ada salah sedikitpun. Sementara kiai hanya

mengingatkan kesalahan mereka saja.

Meskipun anak kiai yang sudah sekolah ibtidaiyah itu turut

mendampingi Babahnya 67, tetapi tidak mengganggu jalannya pengajian.

Hal ini terlihat dari pengajian yang tidak tersendat, atau berhenti

dikarenakan kiai harus mengondisikan anaknya. Pengajian juga tidak

terganggu dengan tempatnya yang berada persis di samping jalan. Hal

67 Panggilan anaknya terhadap kiai.

Page 53: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

41

tersebut karena suara kiai masih jelas terdengar meskipun ada motor yang

melaju pada jalan tersebut.

Kedua santri itu tinggal di Pondok Pesantren Al-Istiqomah, asuhan

adik ipar kiai yang mengajar pengajian ini. Jarak Pondok Pesantran Al-

Istiqomah dengan rumah kiai tempat mereka mengaji sangat dekat, sekitar

20 meter. Mereka berasal dari kota yang berbeda, satu orang berasal dari

Bekasi, sementara satu lagi berasal dari Cirebon. Keduanya telah tinggal

di Buntet Pesantren sejak masuk tsanawiyah hingga kini kelas XII aliyah.

Hasil yang diharapkan dari pengajian ini adalah rasa santri terhadap

susunan gramatika bahasa Arab dapat berkembang. Hal ini dilakukan

dengan cara santri tersebut membaca teks yang telah ia ulangi dari ucapan

kiainya itu berulang kali hingga benar-benar lancar, tanpa ada kesalahan

sedikit pun.

Pengajian ini hanya menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab

dan bahasa Jawa. Bahasa Arab sebagai bahasa teks asli yang dibaca dan

bahasa Jawa sebagai bahasa penerjemahannya. Selain digunakan untuk

memaknai kata perkata, bahasa Jawa juga digunakan untuk menandai

tarkib atau fungsi gramatika bahasa Arabnya. Bahasa Indonesia tidak

digunakan karena dalam pengajian ini, kiai tidak memberikan penjelasan

atas maksud dari teks yang telah dibaca dan dimaknainya.

Suara kiai dalam pengajian ini sangat datar mengingat tidak perlu

ada penekanan khusus dalam bagian-bagian tertentu. Hal tersebut

dikarenakan tidak memerlukan penjelasan atas teks yang mereka kaji.

Pada pengajian ini, kiai tidak memegang kitab. Ia hanya membaca

dari kitab santrinya. Kiai juga tidak perlu menggunakan pengeras suara

karena santri yang dihadapi hanya berjumlah dua orang. Bahkan dalam

sorogan yang aslinya, santri dihadapi satu persatu secara personal. Tetapi

dalam hal ini, karena cuma dua orang, santri pun dihadapi semuanya secara

bersamaan. Meskipun begitu, santri tetap harus membaca seorang-seorang

agar diketahui letak kesalahannya sehingga kiai dapat memberikan

perbaikan kepada setiap santri sesuai dengan kekurangannya masing-

masing.

Page 54: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

42

Dalam pengajian ini, kiai membaca teks kitab disertai maknanya.

Santri melihat teks kitab tersebut dan mengikuti ucapan kiai tanpa

membubuhi tanda apapun di atas teks yang dibacanya. Hal ini guna

mengasah daya ingat santri. Selain itu, penerapan demikian juga untuk

meningkatkan feeling santri terhadap tarkib atau susunan gramatika bahasa

Arab yang ia baca.

Pengajian ini berjenre sorogan. Disebut demikian karena santri

secara personal men-sorog-kan kitabnya kepada kiai.

Peralihan kode dalam pengajian metode sorogan hanya terjadi dari

bahasa Arab ke bahasa Jawa. Berikut kutipannya.

(1) Bismi (a)llahi (al-)rrahmȃni (al-)rrahȋm. Fașlun utawi iki

ikulah fasal. Wafuruḍu (a)l-ghusli [sic.].

Peristiwa peralihan ini terdapat pada permulaan pengajian. Lafal

basmalah (1) merupakan kalimat berbahasa Arab. Meski secara kasat mata

tidak terlihat sebagai sebuah kalimat yang utuh karena tidak jelas mana

subjek dan predikatnya, tetapi lafal basmalah tersebut mengandung

keduanya. Kiai biasa memaknai lafal tersebut dengan, ngawiti ngaji ingsun

kelawan maca bismillah, saya mengawali pengajian ini dengan membaca

basmalah. Dari sini terlihat, bahwa lafal basmalah tersebut sudah berupa

kalimat karena sejatinya, mengandung unsur subjek predikat, atau dalam

bahasa Arabnya mengandung unsur fiil dan fail yang keduanya tersimpan,

atau dikira-kirakan, begitu dalam kaidahnya. Peralihan ini berbentuk

kalimat.

Percampuran bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa terjadi pada

pemaknaan. Seperti metode lainnya, pemaknaan menggunakan bahasa

dasar bahasa Jawa. Ada dua percampuran bahasa Arab ke dalam bahasa

Jawa, yakni berupa kata dan frasa.

(2) Fașlun | utawi iki ikulah fasal

(3) Al-niyyatu | suwiji niat.

(4) Wa (a)l-basyarati | lan kulit.

Kata fașlun (2) dalam hal ini ‘terlihat’ sebagai kata nomina yang

masuk pada struktur bahasa Jawa. Sengaja penulis memberi tanda petik

pada terlihat karena hal tersebut akan berbeda jika dikaji secara gramatikal

Page 55: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

43

bahasa Arab. Fașlun pada asalnya hȃżȃ fașlun. Jika demikian, maka

kalimat di atas termasuk pada alih kode pada tataran klausa.

Al-niyyatu (3) merupakan kata nomina berbahasa Arab yang

berkedudukan sebagai subjek dalam struktur kalimat di atas. Adapun

predikatnya berupa klausa, suwiji niat. Senada dengan kutipan di atas, al-

niyyatu juga bisa tergolong alih kode klausa. Pasalnya, kata tersebut pada

asalnya bisa berupa klausa ahaduha al-niyyatu. Namun kata ahaduha itu

dibuang karena sudah maklum. Selain itu, bisa juga kata tersebut berasal

dari al-ula al-niyyatu, pertama niat. Melihat maknanya, kiai menyertakan

makna dari lafal al-ula yang terbuang.

Wa (a)l-basyarati (4) merupakan campur kode nomina berbahasa

Arab yang menduduki fungsi subjek dalam struktur bahasa Jawa.

Sementara itu, predikatnya adalah lan kulit.

Campur kode pada tingkatan kata dalam metode sorogan ini hanya

terjadi pada kategori nomina. Tidak ada campur kode pada kategori verba

ataupun lainnya.

Adapun percampuran kode dengan bentuk frasa terjadi dalam tiga

bentuk, yakni frasa nominal, frasa verbal, dan frasa preposisional.

(5) Wa faraiḍu (a)l-ghusli | lan utawi piro-piro fardune adus.

(6) Iku tsalatsatu asyyaa | telu piro-piro sewiji-wiji.

(7) Wa izalatu (al-)nnajasati | lan ngilangaken najis.

(8) Wa ȋsȏlu (a)l-mȃ’i | lan nekaaken banyu.

Kalimat-kalimat di atas merupakan bentuk percampuran frasa

nominal bahasa Arab ke dalam struktur bahasa Jawa. Wa faraidu (a)l-

ghusli (5) merupakan frasa nominal yang berfungsi sebagai subjek,

sedangkan predikatnya adalah frasa setelahnya, yakni lan utawi piro-piro

fardune adus.

Tsalatsatu asyyaa (6) merupakan frasa nominal yang masuk pada

struktur kalimat bahasa Jawa sebagai subjek dengan predikatnya berupa

frasa setelahnya, yakni telu piro-piro sewiji-wiji.

Wa izalatu (al-)nnajasati (7) merupakan frasa nominal bahasa Arab

yang menduduki fungsi subjek pada struktur bahasa Jawa dengan

predikatnya berupa frasa verbal berbahasa Jawa lan ngilangaken najis.

Ada perubahan kategori setelah diterjemahkan. Mulanya, dalam bahasa

Page 56: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

44

Arab, izalatu, berkategori nomina. Namun, setelah dibahasajawakan,

ngilangaken, berubah menjadi verba. Hal ini bisa terjadi lantaran kata

izalatu merupakan bentuk masdar68dari azȃla.

Hal sama juga terjadi pada Wa ȋșȏlu (a)l-mȃ’i | lan nekaaken banyu

(8). Wa ȋsȏlu (a)l-mȃ’i (8) merupakan frasa nominal bahasa Arab yang

masuk pada tatanan gramatika bahasa Jawa. Meskipun dalam bahasa Arab

berupa frasa nominal, Wa ȋșȏlu (a)l-mȃ’i, tetapi ketika diterjemahkan ke

dalam bahasa Jawa berupa frasa verbal. Seperti kutipan di atas, hal ini

lantaran kata ȋșȏlu merupakan masdar dari kata awșala.

Selain frasa nominal, ada pula percampuran berupa frasa verbal dan

frasa preposisional. Keduanya terangkum dalam satu contoh berikut.

(9) In kȃnat | lamon ana opo najis. Iku ‘alȃ badanihi | ingatase

badane wong.

(10) ilȃ jamȋ’i (al-)ssya’ri | tumeka maring sekabehane rambut

Frasa In kȃnat (9) merupakan frasa verbal bahasa Arab yang

berfungsi sebagai subjek dalam struktur bahasa Jawa dan predikatnya

adalah lamon ana opo najis.

Sementara itu, frasa preposisional ‘alȃ badanihi (9) juga menduduki

fungsi yang sama, yakni subjek. Adapun predikatnya adalah ingatase

badane wong.

Frasa preposisional juga terdapat pada kalimat berikut, ilȃ jamȋ’i (al-

)ssya’ri | tumeka maring sekabehane rambut (10). ilȃ jamȋ’i (al-)ssya’ri

(10) merupakan subjek, sedangkan predikatnya tumeka maring

sekabehane rambut.

2. Pengajian Bandungan

Pengajian ini dilakukan di Pondok Pesantren Al-Muttaba’ Buntet

Pesantren Cirebon pada hari Selasa, 12 September 2017, bakda Subuh,

06.00-06.30 WIB. Suasana pengajian ini sangat khidmat meskipun diikuti

68 Masdar merupakan bentuk ketiga dari tasrif istilahi pada kitab al-Amtsilah al-Tașrifiyah karya

K.H. Ma’shum Ali. Definisi ini biasa disebutkan di pondok pesantren karena kitab yang

disebutkan di atas merupakan kitab dasar di pesantren untuk memahami morfologi bahasa Arab.

Selain itu, dengan merujuk pada kitab tersebut, santri dapat mengetahui langsung perubahan

bentuknya. Sementara itu, definisi ilmiah dari masdar, berdasarkan KBBI, adalah nomina yang

diturunkan dari akar verba dengan fleksi. Dalam istilah lain, masdar disebut dengan nomina verba

karena maknanya yang seperti kata kerja.

Page 57: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

45

oleh puluhan santri, baik laki-laki maupun perempuan. Para santri sibuk

menuliskan makna-makna kata pada kitabnya masing-masing.

Bagi individu santri secara personal, pengajian ini cukup terganggu

dengan beberapa hal. Pertama, perihal waktu yang masih pagi. Sisa kantuk

semalam cukup mengganggu konsentrasi santri. Mereka biasanya tidur

pada waktu yang cukup malam, sedang sebelum Subuh sudah harus

bangun untuk berjamaah. Kedua, orang yang berlalu lalang di jalan, persis

di depan tempat mereka mengaji. Mereka bisa melihat orang-orang

tersebut secara langsung. Ketika suara langkah itu terdengar ataupun

orangnya terlihat, sontak perhatian bisa teralihkan. Secara tidak langsung,

pendengaran mereka fokus pada suara langkah kaki atau bahkan laju

motor, meskipun hanya berlangsung beberapa detik saja, tidak lagi fokus

pada keterangan kiai. Pun mata mereka yang tidak lagi fokus pada kitab

ataupun kiainya, tetapi pada orang lewat.

Ada dua pihak yang terlibat dalam pertuturan pengajian, yakni kiai

sebagai penutur dan santri sebagai kawan tutur. Penutur di sini berperan

aktif, sementara kawan tutur berperan pasif, hanya menjawab nggih (iya)

saja ketika ditanya perihal pemahaman mereka. Kiai yang mengajar adalah

K.H. Ade Nasihul Umam. Ia asli dari Buntet Pesantren Cirebon.

Sementara para santri berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Namun,

mayoritas mereka berasal dari wilayah Jabodetabek. Ada beberapa dari

daerah sekitar Cirebon, seperti Indramayu, Majalengka, Kuningan, Brebes

ataupun Tegal. Ada pula dari wilayah yang cukup jauh, yakni dari Nusa

Tenggara Timur.

Sementara itu, ends, hasil yang diharapkan, dalam pengajian ini

adalah pemahaman terhadap maksud dari teks-teks yang telah dibacakan

kiai. Bab yang disampaikan dalam pengajian bandungan saat penelitian

berlangsung adalah zakat. Maka, tentu saja santri diharapkan dapat

mengerti tentang zakat. Oleh karena itu, dalam menjelaskan maksud-

maksud tersebut, K.H. Ade Nasihul Umam menggunakan bahasa

Indonesia.

Page 58: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

46

Pengajian ini menggunakan tiga bahasa, yakni bahasa Arab, bahasa

Jawa, dan bahasa Indonesia. Bahasa Arab digunakan karena sebagai teks

rujukan atau dasar argumen untuk menjelaskan. Sementara itu, bahasa

Jawa digunakan untuk memberikan makna dari setiap kata dalam teks

bahasa Arab yang dipelajari. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan untuk

memberikan makna-makna tarkib, fungsi gramatika bahasa Arab. Adapun

bahasa Indonesia digunakan saat memberikan penjelasan atas teks bahasa

Arab yang sudah dibaca dan dimaknai dengan bahasa Jawa. Begitulah

urutan tindakannya (act sequence).

Nada bicara kiai pada pengajian bandungan ini datar. Kiai tampak

begitu serius dengan penjelasannya. Hal tersebut berkaitan dengan

pembahasannya, yakni tentang zakat yang cukup rumit. Naik turun

nadanya bergantung pada kalimat yang diucapkan. Pada titik tertentu, kiai

juga memberikan penekanan sebagai bentuk penegasan.

Dalam pengajian ini, kiai menggunakan kitab Fathul Muin yang

bercetak jahitan, bukan korasan69. Kiai Ade menggunakan pengeras suara

karena banyaknya santri yang turut mengaji sehingga dibutuhkan volume

suara yang cukup keras agar terdengar sampai barisan santri paling

belakang.

Ada dua bentuk penyampaian dalam pengajian bandungan, yakni

kiai memberikan makna teks hingga selesai lebih dahulu, kemudian

dilanjutkan dengan penjelasan dan kiai memberikan makna sekaligus

langsung memberikan penjelasan. Namun pada pengajian yang penulis

teliti, kiai menggunakan model pertama. Pada tahap pemaknaan, kiai dan

santri fokus pada kitab masing-masing. Sementara, pada tahap penjelasan,

kiai mulai menyapukan pandangan kepada para santri, sementara para

santri ada yang memandang kiai, ada pula yang sibuk mencatat penjelasan.

Jenis (genre) pengajian ini adalah bandungan. Disebut bandungan

karena pengajian ini diikuti oleh banyak santri secara bersamaan.

69 Lembarannya terpisah dengan jilidnya.

Page 59: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

47

Pengajian metode ini jika dilihat dari cara kiai memaknai kitabnya terdapat

dua macam, yakni kosongan dan penuh.70

Dalam pengajian bandungan kosongan, ada sebagian makna kata

yang tidak disampaikan. Biasanya, kata-kata yang sudah sangat familiar

atau nama tempat, seperti fȋ makkata. Frasa preposisional demikian kerap

kali tidak dimaknai sebab sudah sangat maklum, santri mengetahui

maknanya tanpa harus dimaknai lagi oleh kiai. Selain itu, kata-kata yang

tersimpan, tidak muncul teksnya dalam kitab, juga kerap kali dilewat

dalam pengajian bandungan kosongan ini. Hal ini biasanya terdapat pada

predikat yang berupa frasa preposisional atau frasa adverbial, seperti lafal

al-hamdu lillȃhi. Kata al-hamdu berfungsi sebagai subjek, sedangkan

lillȃhi adalah predikatnya. Kata lillȃhi merupakan predikat yang berkelas

frasa preposisional. Al-Imam Muhammad ibnu Malik dalam magnum

opusnya al-Alfiyyah li ibn Malik, tepatnya pada Bab al-Ibtida, menulis wa

akhbaru bi ẓarfin aw bi harfi jarrin, nȃwȋna ma’na kȃinin aw istaqarra,

berilah khabar (predikat) dengan zaraf (frasa adverbial) atau dengan huruf

jar (frasa preposisional) dengan maksud menyimpan makna lafal kȃinun

(tetap) atau istaqarra (tetap). Merujuk pada kaidah tersebut, jika predikat

terdiri dari frasa preposisional (harf jarr) atau frasa adverbial (ẓarf), maka

menyimpan makna tetap (kȃinun bentuk nomina atau istaqarra bentuk

verba). Oleh karena itu, jika mengikuti pengajian bandungan kosongan,

kata tetap tidak akan disampaikan oleh kiai. Kiai akan memaknainya

sebagai berikut, al-hamdu | utawi sekabehane puji, iku lillahi | kagungane

Gusti Allah. Pelesapan kata tetap karena mengikuti pelesapan dalam

bahasa Arabnya. Meskipun kata tersebut tidak disampaikan, makan

asalnya tidak akan berubah.

Lain halnya jika mengikuti pengajian bandungan penuh, maka

makna akan disampaikan secara penuh tanpa ada yang dilewat, sekalipun

kata yang sudah maklum dan lafalnya tersimpan. Jika contoh di atas

dimaknai pada pengajian bandungan penuh, maka kata lillahi akan

70 Wawancara dengan K.H. Ade Nasihul Umam pada Selasa, 12 September 2017, pukul 20.00 di

kediamannya, di Pondok Pesantren Al-Andalucia Buntet Pesantren, Ds. Mertapada Kulon, Kec.

Asatanajapura, Kab. Cirebon.

Page 60: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

48

dimaknai, iku lillahi tetep kagungane Gusti Allah atau iku tetep lillahi

kagungane Gusti Allah. Kata tetep itu akan disampaikan oleh kiai demi

menjaga makna aslinya.

Pengajian metode bandungan jika dilihat dari waktu pelaksanaannya

pun akan dibagi menjadi dua macam, yakni pengajian bandungan harian

dan pengajian bandungan pasaran.71

Pengajian bandungan harian dilakukan pada hari-hari biasa, baik

dilakukan setiap hari kecuali libur pekan, maupun seminggu sekali. Kiai

dalam pengajian model ini akan memberikan penjelasan secara rinci agar

teks yang dibaca dapat dipahami dengan baik oleh para santri.

Adapun pengajian bandungan pasaran dilakukan hanya pada bulan

Ramadan. Pengajian ini disebut juga posonan, puasaan, karena digelar di

bulan puasa. Dalam pengajian ini, kiai tidak memberikan penjelasan yang

komprehensif, atau bahkan tidak memberikan penjelasan sama sekali. Hal

ini disebabkan adanya target selesai pada tanggal tertentu. Sering kali, kiai

membacakan kitab-kitab yang berukuran tebal atau kitab-kitab besar

karena kitab-kitab standard sudah dibaca dalam keseharian, selain di bulan

Ramadan.

Dalam pengajian bandungan pasaran, ada dua motif santri

mengikutinya, yakni karena ingin ngalap berkah kiainya ataupun karena

ingin mengejar kitab-kitab yang belum pernah santri tersebut pelajari

sebelumnya. Dalam pengajian ini, santri akan lebih banyak menandai

fungsi kalimat dan memaknai kata-kata yang asing, baru kali itu santri

tersebut mendengarnya.

Dalam pengajian ini, terdapat pelbagai macam peralihan kode, yakni

bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, bahasa Indonesia ke bahasa Jawa,

bahasa Indonesia ke bahasa Arab, bahasa Arab ke bahasa Indonesia,

bahasa Arab ke bahasa Jawa, dan bahasa Jawa ke bahasa Arab.

Berikut beberapa temuan peralihan kode dari bahasa Jawa ke bahasa

Indonesia.

71 Wawancara dengan K.H. Ade Nasihul Umam pada Selasa, 12 September 2017, pukul 20.00 di

kediamannya, di Pondok Pesantren Al-Andalucia Buntet Pesantren, Ds. Mertapada Kulon, Kec.

Asatanajapura, Kab. Cirebon.

Page 61: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

49

(11) ... lan wong kang nyerahaken. Dalam masalah zakat,

disyaratkan harus ada niat dari orang yang mau menyerahkan

zakatnya.

(12) Ngertos nopo boten? Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-

daf’i, seperti niat-niat yang lain bahwasanya niat dalam suatu

ibadah itu kan ada keharusan muqȃranah, makanya

definisinya kan qașdu syay’in muqtaranan bifi’lihi.

(13) Ngertos nopo boten?Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i

wakilin, yang penting ketika kamu memisahkan atau

menyiapkan barang yang mau dizakati di situ sudah diniati

atau diniati ketika kamu menyerahkan kepada wakil kepada

orang yang mau menyerahkan zakat tersebut.

(14) Ngertos nopo boten?Jadi yang menyerahkan itu tidak mesti

harus mengatakan kalimat zakat.

(15) Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten? Lah ini.

(16) Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten? Ya jadi seperti itu.

(17) Nggih nopo boten? Makanya, apa namanya, tidak perlu

mengucapkan “Pak, pak kiai, ini zakat saya,” seumpama.

(18) Nggih nopo boten? Itu berarti boleh kalau yang seperti itu.

(19) Niat apa jeh? Puasa Ramaḍan.

(20) Tașaddaq sodaqoha sira bihȃżȃ kelawan ikilah harta. Kalau

seumpama ada orang yang memberikan zakat tersebut dan dia

mengatakannya bukan bahasanya zakat tapi mengatakan

bahwa tolong sodaqohkan harta ini kepada orang lain.

Peralihan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia dalam pengajian

kitab bandungan ini terdapat 10 peristiwa. Peristiwa peralihan pertama

terjadi saat perpindahan dari memaknai kitab ke menjelaskan maksud dari

kalimat yang kiai baca. Hal ini bisa dilihat di bagian (11). ... lan wong kang

nyerahaken itu kiai saat memaknai. Setelahnya, kiai langsung

mengalihkan bahasanya ke bahasa Indonesia untuk menjelaskan maksud

atau pemahaman terhadap teks-teks yang telah dibaca, yakni Dalam

masalah zakat, disyaratkan harus ada niat dari orang yang mau

menyerahkan zakatnya.

Selanjutnya, pada bagian (12) hingga (18), peralihan dari bahasa

Jawa ke bahasa Indonesia itu terjadi setelah kiai bertanya mengenai

penyampaiannya yang sudah diterima atau belum. “Nggih nopo boten?”

ataupun “Ngertos nopo boten?” merupakan pertanyaan guna mengetahui

penjelasan yang telah diberikan oleh kiai tersebut apakah sudah diterima

atau belum. Tetapi, meskipun santri tidak mengerti, santri tetap akan

menjawab dengan nggih, ya. Oleh karena itu, penulis melihatnya,

Page 62: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

50

pertanyaan tersebut sebenarnya tidak sedang benar-benar bertanya

mengenai penjelasan, melainkan untuk mengetahui apakah santri sungguh

sedang menyimak penjelasannya atau tidak. Pertanyaan ini bahkan diulang

hingga dua kali guna memastikan suara jawaban itu bulat. Sepertinya,

tidak akan pernah terdengar jawaban boten (tidak) dari para santri.

Peralihan itu terjadi karena kiai kembali menjelaskan maksud-

maksud dari teks yang ia baca atau menegaskan penjelasan dengan

menggunakan kalimat seperti lah ini (15), ya jadi seperti itu (16), itu

berarti boleh (18).

Adapun bagian (19) pada dasarnya sama dengan sebelumnya. Hanya

konteksnya saja yang berbeda sehingga pertanyaan yang keluar itu guna

menegaskan hal yang baru saja dijelaskan. Sementara pertanyaan nggih

nopo boten? itu ditujukan untuk keseluruhan. Jika hanya niat apa? saja

tanpa jeh, bisa tidak tergolong alih kode, karena bahasa Indonesia pun

demikian. Tetapi partikel jeh muncul. Partikel tersebut hanya ada pada

bahasa Jawa dialek Cirebon sehingga menyebabkan peristiwa alih kode

dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.

Partikel tersebut memiliki beragam makna tergantung posisi dalam

kalimatnya. Jika dalam kalimat tanya seperti pada bagian (19) tersebut,

partikel tersebut bisa bermakna katanya. Partikel tersebut juga bisa saja

tidak dimaknai apa-apa, melainkan hanya untuk menegaskan pertanyaan

saja.

Adapun bagian terakhir (20) itu terjadi karena pemaknaan ulang.

Sebelumnya, kiai merasa salah membaca, hingga akhirnya ia memutuskan

untuk memaknai ulang kalimat tersebut.

Ada pula peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Ini terjadi

ketika kiai memastikan penyampainnya diterima dengan baik atau tidak.

(21) Ketika dia mengeluarkan zakat itu dia sudah ta’yȋn, sudah

menentukan bahwasanya beras yang saya bawa ini adalah

merupakan za? Merupakan zakatnya. Ngertos nopo boten?

Page 63: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

51

(22) Dan ketika si wakil itu memberikan kepada orang lain yang

saya tuju, tidak perlu mengatakan ini zakatnya babah

(panggilan santri kepada dirinya), ini zakatnya. “Ini dari

babah” ini sudah cukup. Ngertos nopo boten?

(23) Tidak harus bersaman dengan proses menyerahkan zakat

tersebut atau memberikan zakat tersebut kepada orang? Orang

lain. Ngertos nopo boten?

(24) Yang pertama adalah niat puasa Ramadan. Niat apa jeh?

(25) Tapi yang penting, yang mengeluarkan zakat ini sudah

memberikan kalimat atau sudah menentukan bahwa harta yang

mau diberikan itu adalah merupakan zakatnya. Ngertos nopo

boten?

(26) Ya sudah kalau begitu, silakan buat kamu sebagai zakat saya.

Nggih nopo boten?

(27) Ini gak boleh. Ngertos nopo boten?

(28) Harus niat, niat dikeluarkan apakah itu langsung diberikan

kepada mustahiknya atau ya diserahkan kepada orang lain

untuk memberikan menyampaikan kepada mustahik zakat

tersebut, ya sudah harus diniati. Ngertos nopo boten?

(29) Ada yang memberikan makna ada sebagai pembersih. Nggih

nopo boten?

(30) Untuk menyamarkan jangan sampai memberikan kalimat

zakat kepada terutama orang-orang yang sangat kita hormati.

Ngertos nopo boten?

(31) Atau tashaddaq, tadi maaf, tașaddaq sodaqoha sira bihȃżȃ

kelawan ikilah harta.

Seluruh peristiwa peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa

dapat dipastikan terjadi saat kiai memberikan penjelasan atau pemahaman

terhadap teks-teks yang telah ia baca. Kiai memastikan penyampaiannya

itu sudah dapat dipahami atau belum dengan menggunakan bahasa Jawa,

ngertos nopo boten? yang berarti paham tidak? Setelah sebelumnya

menjelaskan pemahaman terhadap kalimat dari kitab yang telah ia baca

dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selain untuk memastikan

pemahaman yang selalu saja dijawab sudah mengerti, nggih, pertanyaan

tersebut juga sebenarnya kiai gunakan untuk memastikan para santrinya

menyimak. Dari suara jawaban yang terdengar, kiai dapat memperkirakan

santrinya sudah menyimaknya atau belum. Atau lebih tepatnya, untuk

mengingatkan santri agar terus bersamanya, memahami kitab yang tengah

dikaji. Pemahaman demikian bisa didapat ditengarai dengan adanya

pengulangan pertanyaan yang sama. Fungsinya tentu saja untuk

menegaskan.

Page 64: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

52

Peralihan kode juga terjadi dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia,

yakni pada beberapa kutipan berikut.

(32) Dan niatnya pun tidak terlalu banyak, cukup dengan contoh

hȃżȃ zakȃtun, ini zakat.

(33) Seperti menggunakan hȃżihi șadaqatun mafruḍatun, ini

adalah sodaqoh wajib saya.

(34) Seperti hȃżȃ zakȃtȋ. Ini tidak mesti atau saya bahasakan tidak

perlu untuk diucapkan lagi.

(35) Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, seperti niat-niat

yang lain bahwasanya niat dalam suatu ibadah itu kan ada

keharusan muqȃranah, makanya definisinya kan qașdu

syay’in muqtaranan bifi’lihi.

(36) Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i wakilin, yang penting

ketika kamu memisahkan atau menyiapkan barang yang mau

dizakati di situ sudah diniati atau diniati ketika kamu

menyerahkan kepada wakil kepada orang yang mau

menyerahkan zakat tersebut.

(37) Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ. Tsumma nawȃ (al)-

zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika ajzaahu. Atau tashaddaq,

tadi maaf, tașaddaq sodaqoha sira bihȃżȃ kelawan ikilah harta.

(38) Tsumma nawa (al-)zzakata qabla tașadduqihi bidzalika,

ajzaahu. Namun setelah atau sebelum benda tersebut

dishadaqohkan lalu dia niat bahwa shdaqoh yang dimaksud itu

adalah zakat manka ini sudah bisa menjadi sah niat zakatnya.

(39) Berbeda dengan law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min fulan

wahuwa laka zakatun. Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka

zakatun lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qobḍihi. Berbeda

dengan seumpama kamu disuruh oleh saya untuk menagih

hutang kepada orang yang punya hutang kepada saya,...

(40) Lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma

ya’dzana lahu fi akhżiha. Artinya dia boleh untuk

mengambilnya dan itu adalah dia berikan sebagai zakat dari

dirinya.

(41) Wa afta ba’ḍuhum anna (al-)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ

yastalzimu (al-)ttawkil fȋ niyyatihȃ. Orang yang diwakili atau

mewakili seseorang untuk mengeluarkan zakat ini juga

diperlukan untuk niat.

(42) ... walaupun ada niat yang secara bagus, nawaitu an ukhrija

zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan lillahi ta’ȃlȃ. Lah kalau

seumpama orangnya tidak ada, ya, makanya dia harus tawkil

kepada yang mau mengeluarkan zakatnya.

(43) Contohnya, “hȃżȃ zakȃtu fiṭri ibnȋ, ini zakat fitrah anak saya,

namanya ini,” udah.

(44) Qȃla syaikhunȃ wa fihina bal muttajid annahu lȃ budda min

niyyati (a)l-mȃlik aw tafwiḍihȃ li (a)l-wakil. Artinya yang

penting itu pemilik harta ketika mau mengeluarkan zakatnya

maka malikul mal harus apa?

Page 65: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

53

Kiai, dalam bagian (32), mencontohkan salah satu niat zakat

menggunakan bahasa Arab, yakni hȃżȃ zakȃtun. Meskipun hanya terdiri

dari dua kata, tetapi dua kata tersebut sudah tergolong kalimat karena

memiliki unsur predikatif. Kalimat tersebut juga memiliki fungsi khusus,

yakni sebagai niat zakat, untuk menunjukkan bahwa benda yang sedang

dipegangnya yang ditunjuk oleh kata tunjuk (isim isyarah) , ini, merupakan

benda yang menjadi zakat. Hal yang sama juga terjadi pada kutipan (33).

Begitupun pada kutipan (34).

Peralihan pada kutipan (35) terjadi pada saat kiai mengutip kalimat

dari kitab, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, untuk menjelaskan kalimat yang ia

kutip. Setelah mengutip kalimat tersebut, kiai menjelaskan maksud

kutipannya.

Kiai mengutip sebuah kalimat dari kitab, bal takfi inda azli aw iqṭa’i

wakilin, pada kutipan (36) untuk menunjukkan dalil kepentingan yang

disebut sebelumnya, yang penting. Kutipan tersebut sudah tergolong

kalimat karena sudah memiliki unsur predikatif.

Seperti penjelasan sebelumnya, peralihan pada kutipan (37) pun

sama peristiwanya, yakni kiai mengutip kalimat dari kitab. Kutipan (37)

bahkan lebih dari satu kalimat, Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ.

Tsumma nawȃ (al)-zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika ajzaahu.

Kalimat bahasa Arab terakhir pada kutipan (37) dibacakan kembali

oleh kiai pada kutipan (38) untuk menjelaskannya, Tsumma nawa (al-

)zzakata qabla tașadduqihi bidzalika, ajzaahu. Ada kemungkinan kiai

lupa, bahwa tadi sudah ia baca sehingga ia mengulangi bacaannya

kembali. Kemungkinan lainnya, kiai mengulangi bacaan yang sama

tersebut guna menegaskan, bahwa penjelasan yang akan disampaikan itu

seputar kalimat yang baru saja ia baca.

Kiai mengutip kalimat dari kitab, law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min

fulan wahuwa laka zakatun. Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka zakatun

lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qobḍihi, pada kutipan (39), untuk

Page 66: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

54

menegaskan perbedaan antara hal yang akan disampaikan dengan hal yang

telah disampaikan.

Sebelum menjelaskan, seperti biasanya kiai mengutip kalimat dari

kitab lebih dahulu untuk menunjukkan, bahwa kalimat itulah yang sedang

dijelaskan olehnya. Berikut kalimat yang kiai kutip pada kutipan (40), Lam

yakfi hatta yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma ya’dzana lahu fi akhżiha.

Setelah itu, ia langsung menjelaskan. Meskipun ia mengatakan, artinya,

tetapi, yang ia maksud bukan arti secara alih bahasa, melainkan maksud

dari kalimat tersebut.

Hal sama juga terjadi pada kutipan (41), Wa afta ba’ḍuhum anna (al-

)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ yastalzimu (al-)ttawkil fȋ niyyatihȃ. Kiai

mengutip kalimat tersebut, lalu menjelaskan maksudnya dengan bahasa

Indonesia.

Berbeda dengan sebelumnya, kutipan (42), nawaitu an ukhrija

zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan lillahi ta’ȃlȃ, ini bukan kutipan dari kitab.

Kiai mengucapkan kalimat tersebut sebagai salah satu contoh niat zakat

fitrah. Niat zakat yang ditunjukkan pada kutipan (42) itu niat zakat fitrah

yang paling sempurna atau paling lengkap. Setelah itu, ia menjelaskan

kembali maksud dari kutipan kitab yang telah ia ucapkan sebelumnya.

Niat yang kurang lengkap pun ia utarakan pada kutipan selanjutnya

(43), hȃżȃ zakȃtu fiṭri ibnȋ. Setelah mengucapkan contoh kalimat niat zakat

fitrah untuk anaknya itu, ia menerjemahkannya. Peralihan dari bahasa

Arab ke bahasa Indonesia karena penerjemahannya.

Adapun peristiwa peralihan pada kutipan (44), Qȃla syaikhunȃ wa

fihina bal muttajid annahu lȃ budda min niyyati (a)l-mȃlik aw tafwiḍihȃ li

(a)l-wakil, sama seperti sebelum-sebelumnya. Peralihan dari bahasa Arab

ke bahasa Indonesianya karena untuk menjelaskan kalimat bahasa Arab

yang diucapkan sebelumnya oleh kiai.

Alih kode dalam pengajian ini juga terjadi dari bahasa Indonesia ke

bahasa Arab. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kalimat di bawah ini.

Page 67: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

55

(45) Dan niatnya pun tidak terlalu banyak, cukup dengan contoh

hȃżȃ zakȃtun, ini zakat.

(46) Seperti menggunakan hȃżihi șadaqatun mafruḍatun, ini

adalah sodaqoh wajib saya.

(47) Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i wakilin, yang

penting ketika kamu memisahkan atau menyiapkan barang

yang mau dizakati di situ sudah diniati atau diniati ketika kamu

menyerahkan kepada wakil kepada orang yang mau

menyerahkan zakat tersebut.

(48) Untuk membarengkan niat zakat kepada orang lain karena

memang orang yang diberikan zakatnya itu bisa karena

rumahnya atau pun yang tertuju itu tidak serumah dengannya

ataupun yang lainnya. Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa

bihȃżȃ. Tsumma nawȃ (al)-zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika

ajzaahu.

(49) Ini boleh tidak? Lah ini. Lihat! Tsumma nawa (al-)zzakata

qabla tașadduqihi bidzalika, ajzaahu.

(50) Berbeda dengan law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min fulan

wahuwa laka zakatun. Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka

zakatun lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qobḍihi.

(51) Itu berarti boleh kalau yang seperti itu. Lam yakfi hatta

yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma ya’dzana lahu fi

akhżiha.

(52) Artinya dia boleh untuk mengambilnya dan itu adalah dia

berikan sebagai zakat dari dirinya. Wa afta ba’ḍuhum anna

(al-)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ yastalzimu (al-)ttawkil fȋ

niyyatihȃ.

(53) Makanya kalau di Buntet Pesantren, zakat yang fitrah itu

supaya tahqiq, maka orang yang niat itu sambil memegang

berasnya lalu dia mengucapkan niat, walaupun ada niat yang

secara bagus, nawaitu an ukhrija zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan

lillahi ta’ȃlȃ.

(54) Contohnya, “hȃżȃ zakȃtu fiṭri ibnȋ

(55) Lah ini. Qȃla syaikhunȃ wa fihina bal muttajid annahu lȃ

budda min niyyati (a)l-mȃlik aw tafwiḍihȃ li (a)l-wakil.

Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab pada kutipan (45)

terjadi karena kiai perlu memberikan contoh niat zakat bahasa Arab, hȃżȃ

zakȃtun. Hal ini pun terjadi pada kutipan (46), (53), dan (54). Ketiga niat

tersebut tentu sudah memenuhi syarat untuk disebut sebagai sebuah

kalimat. Perbedaannya hanya pada bentuk lafal niatnya.

Pada kutipan (47), kiai mengucapkan kalimat bahasa Arab dari teks

kitab yang sebelumnya telah ia maknai. Peralihannya disebabkan untuk

Page 68: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

56

memberikan batasan, bahwa penjelasan yang akan ia sampaikan hanya

berkutat sampai teks yang ia baca, tidak melebar ke hal selanjutnya.

Kiai mengutip Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ. Tsumma

nawȃ (al)-zzakȃta qabla tașadduqihi biżȃlika ajzaahu pada kutipan (48).

Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab pada kutipan (48) itu

karena adanya peralihan pembahasan. Tandanya kiai mengutip kalimat

bahasa Arab dari teks lagi guna membatasi ulang penjelasan selanjutnya.

Hal ini pula menandai, bahwa penjelasan atas kalimat bahasa Arab yang

sebelumnya telah kiai baca itu selesai. Hal ini pun terjadi pada kutipan

(49), (50), (51), (52), dan (55).

Dalam pengajian ini juga terjadi alih kode dari bahaasa Jawa ke

bahasa Arab. Berikut kalimat-kalimatnya.

(56) Ngertos nopo boten? Wa qabla al-tafarruqoti li’usri

(i)qtirȃnihȃ biadȃi kulli mustahiqqin.

(57) Ngertos nopo boten? Wa jȃza likullin min (al-)syarikaini.

Tsumma qȃla, wallȃhu a’lam bi (al-)șawab.

Peralihan bahasa Jawa ke bahasa Arab ini terjadi dua kali. Keduanya

memiliki kesamaan peristiwa. Awalnya kiai menanyakan apakah santri

sudah paham, ngertos nopo boten? setelah santri menjawab, Kiai Ade

menyebutkan teks kitab yang akan dijelaskannya. Jadi, peristiwa peralihan

tersebut juga sebagai tanda peralihan pembahasan.

Alih kode juga terjadi dari bahasa Arab ke bahasa Jawa. Hal ini dapat

dilihat pada kalimat di bawah ini.

(58) Wa syuriṭo lahȗ niyyatun kahȃdza zakȃtun aw shadaqatun

mafruḍatun Wa syuriṭa | lan disyarataken. Lahȗ | kaduwe

nekaakaen zakat.

Kiai mengutip teks kalimat secara utuh lebih dulu, Wa syuriṭo lahȗ

niyyatun kahȃdza zakȃtun aw shadaqatun mafruḍatun (58). Setelah itu, ia

baru memaknai tiap kata dan frasanya dengan menggunakan bahasa Jawa.

Campur Kode bahasa Arab ke bahasa Jawa terdapat pada kutipan

berikut.

(59) Wa syuriṭa lan disyarataken. Lahȗ kaduwe nekaakaen zakat.

Opo niyyatun niat. Kahȃdza zakȃtun kaya lafadz ‘hȃdza

zakatun’. Hȃdza utawi ikilah harta. Iku zakȃtun zakat. Aw

shadaqotun atawa shadaqah. Mafrȗḍatun kang difarduaken.

Page 69: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

57

(60) Lȃ muqȃranatuhȃ | ora barengaken niat zakat. Liddaf’i |

maring nyerahaken zakat. Bal takfȋ | balik cukup opo niat. Bal

takfi | balik cukup opo niat. ‘Inda ‘azri qadri al-zakȃti |

nalikane nyopot kira-kirane zakat. Aw iqṭȃ’i wakilin | atawa

olihe nyerahaken wakil. Aw bakda ahadihimȃ | atawa ing

dalem sawise salah sijine azri qadrizzakȃti aw tawkil.

(61) Waqabla al-tafarruqati | lan ingdalem sawise72 [sic] pisah.

Bi’usri (i)qtirȃnihȃ | karena angele barengaken niat. Biadȃi

kulli mustahiqqin | kelawan nekani saben-saben wong kang

ngehaki zakat.

(62) Walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Lighairihi |

maring liyane wong. Ngucapaken tașaddaqa bihȃdza,

tashaddaqa | shadaqoh sopo wong, bihȃdza | kelawan ikilah

harta. Tsumma nawȃ | mangka kari-kari niat sopo wong. Al-

zakȃta | ing zakat. Qabla tașadduqihi | ingdalem sakdurunge |

shadaqohe wong. Biżȃlika | kelawan mengkono-mengkono

ucapan hȃdza. Ajzaahu | mangka nyukupi opo hȃża ing si

uwong. ‘An(i) al-zakȃti | saking zakat.

(63) Tapi walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Liakhara |

maring wong liyan. Maqul qaule iqbiḍ baynȋ min fulȃnin,

iqbidl | nampanana sira, daini | ing utang isun, min fulȃnin |

saking fulan. Wahuwa | utawi daini. Iku [sic] laka kaduwe

sira. Wahuwa | lan utawi daini. Laka | kaduwe sira. Iku

zakȃtun | zakat. Lam takfi | maka ora nyukupi | opo ucapan

iqbiḍ daini. Hattȃ yanwiya | sehingga niat sopo wong. Ay

huwa | tegese wong. Bakda qabḍihi | ingdalem sawise

nerimane akhoro ing daini.

(64) Tsumma ya’dzana | mangka kari-kari ngidzini sopo wong,

lahu | maring akhor, fi akhdziha | ingdalem ngalap zakat.

Waaftȃ | lan maringi fatwa. Sopo ba’ḍuhum | sebagiane

ulama. Anna al-tawkȋla | ing setuhune wakilaken. Al-muṭlaqa

| kang mutlak. Fȋ ikhrȃjihȃ | ing dalem ngetoaken zakat. Iku

yastalzimu | wajibaken sopo attawkil. Al-tawkila | ing

wakilaken. Fi niyyatihȃ | ing dalem niat zakat.

(65) Qȃla | wis dawuh. Sopo syaikhunȃ | guru kita. Wa fȋhi |

nyatane lafadz wa fihi. Wa fȋhi | lan iku tetap ingdalem ‘afta

ba’ḍuhum al-ifta’, naẓrun | utawi pandangan, naẓrun | utawi

wicoro, bal(i) (a)l-muttajihu | balik utawi kaul kang

diwajahaken. Iku annahu | setuhune kelakuan, iku lȃ budda |

ora kena ora, min niyyati (a)l-mȃliki | saking niate wong kang

miliki harta. Aw tafwiḍiha | atawa nyerahaken ‘niyatu (a)l-

malik, li (a)l-wakili | maring wakil.

(66) Wa qȃla | lan wis dawuh, sopo al-Mutawalli | Imam al-

Mutawalli, wa ghairuhu | lan liyane al-Mutawalli. Dawuhe,

yata’ayyanu | dadi nyata, dadi tertentu, opo niyyatu (a)l-wakȋli

| niat wakil, iżȃ waqa’a | nalikane tumiba, opo farḍun | fardu,

72 Harusnya, maknanya sedurunge.

Page 70: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

58

bimȃlihi | kelawan hartane wakil. Bian qȃla | kelawan yenta

ngucap, lahu | maring wakil, sopo muwakkiluhu | wong kang

wakilaken al-wakil. Dawuhe, addȋ zakȃtȋ min mȃlika, addȋ |

nekanana (sopo) sira, zakȃtȋ | ing zakat isun, min mȃlika |

saking hartane sira, liyanșarifa | supaya mengo atawa supaya

berpaling, opo fi’luhu | pegaweane al-wakil, ‘anhu | saking

muwakkil.

(67) Waqauluhu | lan utawi dawuhe muwakkil, żalika | ing

mengkono-mengkono ‘addȋ zakȃtȋ min mȃlika, iku

mutaḍamminun | nyimpen opo qauluhu, li (a)l-iżni | maring

idzin, lahu | kaduwe al-wakil, fi al-niyyati | ingdalem niat.

(68) Waqȃla | lan wis dawuh, sopo al-Qaffȃlu | Imam al-Qaffal.

Law qȃla | lamon ngucap sopo wong, lighairihi | kaduwe

liyane wong, ‘aqriḍni khamsatan’ nyatane ucapan aqriḍni

khamsatan. Aqriḍni | ngutangana sira ing isun, khomsatan |

ing lima, uaddȋhȃ | mangka nekaaken sopo isun ing khomsat,

‘an zakȃtȋ | saking zakat isun, fafa’ala | mangka ngelakoni

sopo wong, șahha | mangka sah opo qauluhu.

(69) Qȃla | dawuh, sopo syaikhunȃ | guru kita, wahuwa | utawi

șahha, iku mabniyyun | den jenengaken, ‘ala ro’yihi | ingatase

pendapate al-Qaffal, bijawazi (a)l-tihad(i) (a)l-qabiḍi |

kelawan wenange tunggale wong kang nerima, wa (a)l-

muqbiḍi | lan wong kang nyerahaken.

Dari keseluruhan kutipan di atas, penulis akan

mengklasifikasikannya berdasarkan kategorinya. Berdasarkan kategori

verba, ada beberapa kata sebagai berikut.

Dari teks tersebut, ada 16 fiil madi, yakni syuriṭa (59), walaw qȃla

(62), tașaddaqa (62), nawȃ (62), ajzaahu (62), walaw qȃla (63), aftȃ (64),

qȃla (65), wa qȃla (66), iżȃ waqa’a (66), waqȃla (68), law qȃla (58),

fafa’ala (68), șahha (68), qȃla (69), șahha (69).

Terdapat tujuh fiil mudlori bal takfȋ (60), hattȃ yanwiya (62),

tsumma ya’dzana (64), yastalzimu (64), yata’ayyanu (66), liyanșarifa (66),

dan uaddȋhȃ (68).

Pada kutipan di atas, terdapat tiga fiil amar, yakni iqbidl (63), addȋ

(66), dan aqriḍni (68).

Berdasarkan kategori nomina, ada beberapa kata dan frasa nominal

sebagai berikut.

Hȃdza (59), zakȃtun (59), shadaqotun (59), mafrȗḍatun (59), lȃ

muqȃranatuhȃ (60), Aw iqṭȃ’i wakilin (60), al-zakȃta (62), daini (63),

wahuwa (63), zakȃtun (63), ay huwa (63), ba’ḍuhum (64), anna al-tawkȋla

Page 71: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

59

(64), al-muṭlaqa (64), al-tawkȋla (64), syaikhunȃ (65), naẓrun (65), bal(i)

(a)l-muttajihu (65), annahu (65), lȃ budda (65). Aw tafwiḍiha (65), wa

ghairuhu (66), niyyatu (a)l-wakȋli (66), farḍun (66), muwakkiluhu (66),

zakȃtȋ (66), fi’luhu (66), waqauluhu (67), żalika (67), mutaḍamminun

(67), khomsatan (68), syaikhunȃ (69), mabniyyun (69), wa (a)l-muqbiḍi

(69).

Berdasarkan kategori adverbia terdapat beberapa frasa adverbial

berikut.

Lahȗ (49), kahȃdza zakȃtun (49), liddaf’i (50), ‘inda ‘azri qadri al-

zakȃti (50), aw bakda ahadihimȃ (50), Waqabla al-tafarruqati (51), bi’usri

(i)qtirȃnihȃ (51), biadȃi kulli mustahiqqin (51), lighairihi (52), bihȃdza

(52), qabla tașadduqihi (52), biżȃlika (52), ‘an(i) al-zakȃti (52), liakhara

(53), min fulȃnin (53), laka (53), bakda qabḍihi (53), lahu (54), fi akhdziha

(54), fȋ ikhrȃjihȃ (54), fi niyyatihȃ (54), wa fȋhi (55), min niyyati (a)l-

mȃliki (55), li (a)l-wakili (55), bimȃlihi (56), bian qȃla (56), lahu (56), min

mȃlika (56), ‘anhu (56), li (a)l-iżni (57), lahu (57), fi al-niyyati (57),

lighairihi (58), ‘an zakȃtȋ (58), ‘ala ro’yihi (59),dan bijawazi (a)l-tihad(i)

(a)l-qabiḍi (59).

Pada dasarnya, percampuran kode dari bahasa Arab yang bercampur

dalam bahasa Jawa itu penyebabnya sama, yakni bahasa Arab diambil dari

teks kitab lalu dimaknai dengan menggunakan bahasa Jawa.

Campur kode bahasa Arab ke bahasa Indonesia terdapat dalam

kutipan-kutipan berikut.

(70) Ada yang talaffuẓ mengucapkan niat itu hukumnya sunnah,

ada yang juga tidak termasuk dalam kategori sunnah.

(71) Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, seperti niat-niat

yang lain bahwasanya niat dalam suatu ibadah itu kan ada

keharusan muqȃranah

(72) makanya definisinya kan qașdu syay’in muqtaranan bifi’lihi.

Ada yang tidak harus muqtaranan bifi’lihi

(73) Yang pertama adalah niat puasa Ramaḍan.

(74) Itu adalah qoblal fi’li.

(75) Kalau seumpama ada orang yang memberikan zakat tersebut

dan dia mengatakannya bukan bahasanya zakat tapi

mengatakan bahwa tolong sodaqoh-kan harta ini kepada orang

lain. Ini boleh tidak?

Page 72: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

60

(76) ada șadaqatun mafrȗḍatun artinya apa? Șadaqah yang

diwajibkan, ada yang, apa namanya, șadaqatun

mustahabbatun, șadaqah taṭawwu’, artinya șadaqah sunnah.

(77) sebelum diserahkan dia sudah ada qașdu

(78) Maka lam yașihha niat zakat yang seperti itu kecuali apabila

hartanya sudah diterima oleh si penagih dan dia laporan.

(79) Makanya kalau di Buntet Pesantren, zakat yang fitrah itu

supaya tahqiq, maka orang yang niat itu sambil memegang

berasnya lalu dia mengucapkan niat,

(80) Lah kalau seumpama orangnya tidak ada, ya, makanya dia

harus tawkil kepada yang mau mengeluarkan zakatnya.

(81) Kalau tidak maka dia bisa mengeluarkan zakat sendiri atau

nanti di-tawzi’ dan dibagikan kepada yang lain.

(82) Artinya yang penting itu pemilik harta ketika mau

mengeluarkan zakatnya maka malikul mal harus apa?

Kata talaffuẓ pada kutipan (70) masuk dalam struktur bahasa

Indonesia. Kata tersebut berarti melafalkan. Kiai Ade lebih memilih diksi

tersebut ketimbang melafalkan. Tetapi kata selanjutnya yang ia ucapkan

adalah mengucapkan. Dua kata yang berderetan itu memiliki arti yang

sama. mengucapkan sepertinya untuk menegaskan ulang makna talaffuẓ.

Campur kode ini terjadi pada tataran nomina.

Campur kode nomina juga terjadi pada kutipan (71). Muqoronah

dipilih untuk menunjukkan makna bersamaan atau berbarengan. Pilihan

diksi bahasa Arab tersebut karena masuk dalam definisi yang diungkapkan

oleh ulama sehingga dengan menggunakan kata muqoronah, penjelasan

yang disampaikan terkesan lebih mendalam.

Pada kutipan (72), campur kode terjadi pada tataran frasa. Pada

kalimat pertama yang disampaikan pada kutipan (72) terdapat dua frasa,

yakni frasa nomina qașdu syay’in dan frasa preposisional bifi’lihi.

Sementara kalimat kedua pada kutipan (72) terdapat satu frasa

preposisional, yakni bifi’lihi. Adapun kata muqtaronan termasuk campur

kode pada tingkatan kata.

Kutipan (72) termasuk campur kode karena pada kutipan bahasa

Arab yang disampaikan Kiai Ade tidak memiliki unsur predikatif sehingga

ia tidak bisa digolongkan pada istilah alih kode. Bahasa Arab pada kalimat

pertama hanya kurang subjek karena pada asalnya subjeknya sudah

disebukan menjadi sebuah kata ganti ketiga pada kata definisinya.

Page 73: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

61

Secara tertulis, kutipan (73) hampir tidak terlihat campur kodenya.

Tetapi, kiai mengucapkan nama bulan kesembilan dari tahun Hijriyah itu

dengan lafal bahasa Arab, Ramaḍan.

Sementara itu, pada kutipan (74), terdapat campur kode frasa

adverbial. Qablal fi’li merupakan frasa preposisional bahasa Arab yang

masuk dalam struktur bahasa Indonesia. Frasa ini lebih dipilih ketimbang

sebelum pelaksanaannya, karena memiliki ikatan kuat dengan definisi niat

yang sangat familiar di telinga santri, yakni muqtaranan bifi’lihi.

Meskipun sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia, yakni

sedekah, tetapi Kiai Ade memilih istilah bahasa Arabnya, șadaqah, dalam

kutipan (75). Sepertinya, kata tersebut lebih dekat dan lebih biasa di lidah

kiai. Terlebih konteks pengucapannya pun dalam pengajian, bukan dalam

percakapan keseharian. Hal ini tentu berpengaruh karena faktor situasi dan

kawan tuturnya.

Lebih rinci lagi, Kiai Ade juga menyebutkan beberapa istilah

sedekah dalam bahasa Arab pada kutipan (76), yakni șadaqatun

mafrȗḍatun, șadaqatun mustahabbatun, șadaqah taṭawwu’, dan șadaqah

sunnah. istilah-istilah tersebutlah yang ada pada kitab. Istilah terakhir

digunakan untuk menerjemahkan dua istilah sebelumnya karena diksi

sunnah lebih akrab di telinga masyarakat umum ketimbang

mustahabbatun dan taṭawwu’. Arti ketiganya sama, yakni jika melakukan

sedekah tersebut, pelaku akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika pun

sedekah tersebut tidak dilakukan oleh seseorang, tentu tidak masalah.

Artinya orang Muslim tersebut tidak mendapatkan pahala dan dosa. Ketiga

frasa tersebut tergolong frasa nominal.

Selain campur kode yang ditandai frasa, pada kutipan (76) juga

terdapat campur kode kata. Kata yang disebutkan sama dengan kutipan

(75), yakni șadaqah.

Kutipan (77) menyajikan campur kode kata, yakni qașdu. Diksi ini

Kiai Ade pilih mengingat definisi niat itu qașdu syay’in muqtaranan

bifi’lihi. Kiai Ade memilih diksi tersebut karena penjelasannya perihal

Page 74: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

62

niat. Pilihan kata menyengaja sepertinya kurang mewakili kata qasdu

sehingga Kiai Ade lebih memilih menggunakan istilah asalnya.

Sedikit janggal ketika Kiai Ade lebih memilih frasa lam yașihha

pada kutipan (78) ketimbang tidak sah ataupun batal. Tapi hal ini perlu

penelusuran lebih lanjut. Rupanya, frasa tersebut digunakan Kiai Ade

karena mengarah pada kutipan kitab yang menyebutkan lam yakfi untuk

ketidaksahannya meminta orang lain untuk menagih hutang kepada

seseorang yang memiliki hutang kepadanya dan hasil tagihan itu dijadikan

zakat. Tetapi, bahasa lam yakfi, tidak cukup, itu kurang familiar dalam

penentuan hukum sehingga diksi yakfi diganti oleh Kiai Ade dengan kata

yașihha.

Kata tahqiq sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Penulis tetap menggolongkan kutipan (79) sebagai peristiwa campur kode

karena adanya kata tersebut itu bukan tanpa alasan. Dilihat dari sisi

kalimat, kata tersebut agak rancu mengingat nomina tetapi dipasangkan

dengan adverb khusus verba dan ajektif atau konjungsi intrakalimat,

sementara tahqiq bukan verba, juga bukan ajektif, apalagi klausa. Tahqiq

hanya satu kata, tidak lebih. Ia berkategori nomina, dalam KBBI berarti

penetapan (penentuan) kebenaran dengan bukti.73 Kata tersebut juga

bermakna sah, dengan kategori ajektif. Jika tahqiq pada kalimat tersebut

diartikan sah, hal tersebut akan membatalkan argumen yang membolehkan

niat zakat tanpa harus memegang benda yang ia zakati. Tentu hal tersebut

tidak tepat. Oleh karena itu, kata tahqiq lebih tepat masuk dalam bahasa

Arab. Hal pertama yang membuat kata tahqiq pada kutipan (79) lebih

dekat dengan bahasa Arab karena pengucapannya yang lebih dalam.

Fonem-fonem pembentuk kata yang digunakan oleh kiai lebih dekat

dengan fonem /qaf/ bahasa Arab, bukan /k/ dalam bahasa Indonesia yang

sesuai dengan KBBI. Selain itu, kata tahqiq juga merupakan masdar.

Sebagai masdar, ia mengandung makna pekerjaan. Artinya, ada kesesuaian

73 Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, (Jakarta: Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016).

Page 75: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

63

dengan kata sebelumnya. Ini termasuk jenis campur kode kata dengan

kategori nominal.

Tawkil (80) dan tawzi’ (81) pada dua kutipan berikutnya hampir

sama kasusnya dengan tahqiq (79). Bedanya, tawkil dan tawzi’ lebih jelas

terlihat karena belum masuk pada KBBI. Selain itu, meskipun tawkil (80)

dan tawzi’ (81) tersebut tergolong nomina dalam bahasa Arab, tapi pada

praktiknya ketika campur kode terlihat seperti verba. Kata tawkil (80)

bersanding dengan kata harus, sedangkan morfem tawzi’ harus diberi

imbuhan di- untuk mengungkapkan makna pasif. Tawkil (80) dan tawzi’

(81) tersebut dipilih karena bagian dari istilah baku dalam teks kitab klasik,

meskipun tidak di bahasa Indonesia.

Kitab Fathul Muin menyebut al-malik untuk orang yang memiliki

harta. Pada awal kalimat, Kiai Ade menggunakan istilah bahasa Indonesia,

pemilik harta. Tetapi, ia juga menyebutkan istilah malikul mal pada

kutipan (82).

Pada pengajian ini juga terjadi campur kode bahasa Jawa ke bahasa

Indonesia. Percampuran kode juga terjadi pada kalimat-kalimat berikut.

(83) Contohnya, seumpama saya mau menyerahkan zakat kepada

seseorang, toli (kemudian) saya nyuruh orang lain, “Ini tolong

antarkan zakat saya kepada si A.” Lah ini sudah kalimat zakat

saya.

(84) Si tawkil juga harusnya tidak boleh hanya sruntul dibagiaken

saja.

(85) Harus apa jeh?

Pada kutipan (83), kata toli yang berarti kemudian itu masuk dalam

struktur bahasa Indonesia. Hal itulah yang menyebabkan peristiwa

campur kode pada kalimat tersebut.

Kiai menggunakan frasa sruntul dibagiaken pada kutipan (84).

Maksud frasa tersebut adalah ‘langsung membagikan’. Hal tersebut yang

menyebabkan kalimat tersebut menjadi campur kode. Frasa tersebut

dipilih karena yang muncul pertama di benak kiai adalah frasa diksi sruntul

untuk menunjukkan makna segera dengan waktu yang singkat.

Kata jeh muncul pada kutipan (85). Kata tersebut merupakan partikel

penegas yang tidak memiliki arti. Partikel tersebut hanya ada pada bahasa

Jawa dialek Cirebon.

Page 76: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

64

Percampuran juga terjadi pada ragam informal ke ragam formal.

Sebagai contoh terdapat pada kalimat yang sama di atas, yakni kata

nyuruh. Kata tersebut beragam informal. Jika mengikuti ragam formal,

harusnya diksi yang digunakan adalah menyuruh. Hal ini terlihat pada

kutipan (83).

3. Pengajian Terpadu

Pengajian dengan model terpadu ini dilakukan di Pondok Pesantren

Darul Amanah pada hari Selasa, 12 September 2017 pukul 18.30.

Pengajian ini disampaikan oleh K.H. Imaduddin Zaeni. Pengajian model

ini berlangsung interaktif karena kiai selalu memenggal kata terakhir dari

setiap kalimat yang diucapkannya sehingga memancing belasan santri

untuk terus fokus pada penyampaiannya. Hal ini ia lakukan guna

mengetahui fokus para santrinya, mengingat kiai tidak dapat melihat

langsung para santrinya. Matanya tidak dapat berfungsi sebagaimana

mestinya.

Dari pendengarannya yang menggunakan alat bantu dengar, ia

memperhatikan para santrinya dengan interaksi tersebut. Ia pun memberi

kesempatan kepada setiap santri untuk membaca satu persatu guna

mengetahui letak kesalahannya sehingga ia dapat memperbaiki kesalahan

yang santrinya lakukan.

Pengajian ini tidak begitu menemui hambatan mengingat waktu

mengaji masih tergolong sore, tidak terlalu malam. Kiai dan para santri

masih terjaga. Kantuk belum terlalu kuat datang. Suasana sekitar pun

sangat mendukung pengajian karena cukup sepi mengingat lingkungan

sekitar juga masih lingkungan pondok dan dekat juga dengan kebun.

Hanya saja terkadang, perhatian santri dan suara kiai terganggu dengan

suara kendaraan bermotor.

Seperti dua model sebelumnya, Kiai sebagai penutur berasal dari

Cirebon. Sementara itu, para santri yang mengikuti pengajian ini berasal

dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar berasal dari Brebes dan

Indramayu, sedangkan beberapa di antaranya dari Cirebon dan Bengkulu.

Page 77: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

65

Metode ini memadukan dua metode sebelumnya, yakni sorogan dan

bandungan. Oleh karena itu, hasil yang diharapkan tentu hasil yang

diharapkan dari kedua model tersebut. Selepas pengajian, santri harus

memahami maksud dari teks yang telah dibaca. Selain itu, santri juga

diharapkan dapat menciptakan insting atau feeling pada struktur gramatika

bahasa Arab dengan membaca langsung di hadapan kiai secara berulang-

ulang hingga lancar.

Dalam pengajian metode terpadu, kiai membacakan teks bahasa

Arab beserta makna dalam bahasa Jawa, lalu diikuti oleh para santri.

Setelah satu kalimat utuh dibaca dan dimaknai, kiai langsung memberikan

penjelasan atas teks tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jika

merujuk pada pembagian model penjelasan seperti yang disampaikan di

metode bandungan, maka ini menggunakan metode kedua.

Berbeda dengan Kiai Ade, Kiai Imad membacakan teks bahasa Arab

dengan makna Jawanya itu menggunakan irama. Ada naik turunnya nada

pada setiap kata yang dimaknainya. Hal ini memudahkan santri untuk

mengingatnya. Di samping itu, irama juga membuat santri lebih senang

membacanya karena tidak monoton. Kiai Imad juga kerap kali

memberikan lelucon sehingga menarik minat santri untuk tetap fokus

menyimaknya.

Kiai membacakan teks bahasa Arab dan maknanya dalam bahasa

Jawa itu tidak dengan menggunakan kitab. Bukan karena tidak ingin

menggunakan kitab tersebut, tetapi hal ini dilatarbelakangi daya lihatnya

yang sudah berkurang. Meskipun begitu, ia membacakan teks dan

maknanya itu dengan menggunakan daya hapalnya. Sampai saat ini,

beberapa kitab, ia ajarkan dengan menggunakan daya hapalnya. Tetapi, ia

juga mengajarkan kitab-kitab yang tidak dihapalnya. Santri yang mengaji

diminta membacanya, lalu ia akan membaca dengan benar kalimat yang

dibaca santrinya, kemudian memaknainya, dan memberikan

penjelasannya.

Kiai juga tidak menggunakan pengeras suara. Selain karena

suaranya yang lantang, santri yang mengaji pada beliau pun tidak begitu

Page 78: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

66

banyak sehingga suara yang diucapkannya itu sudah bisa didengar oleh

santri tanpa harus menggunakan pengeras suara.

Para santri diharuskan mengulangi bacaan teks dan maknanya yang

telah diucapkan kiai secara langsung. Ketika penjelasan disampaikan,

santri harus menyimaknya dengan baik. Para santri tidak diperkenankan

menyela penjelasan yang disampaikan kiai. Boleh memberikan argumen

atau pertanyaan jika dipersilakan pada waktunya setelah penjelasan itu

selesai disampaikan. Ketika kiai bertanya perihal paham atau tidaknya,

hampir seluruh santri mengatakan paham. Ia boleh menjelaskan

ketidakpahamannya nanti jika disediakan waktu untuk sesi tanya jawab.

Pengajian ini berjenre terpadu. Disebut terpadu karena memadukan

dua jenis metode klasik guna mendapat hasil yang lebih baik. Meskipun

tetap saja terdapat kekurangannya, yakni tidak adanya target dalam

pengajian tersebut karena harus mengikuti kemampuan santri. Berbeda

dengan kelas dirasah yang dalam jangka waktu sekian bulan masa belajar

harus sudah menyelesaikan satu atau beberapa kitab tentang bidang ilmu

yang diajarkannya atau dipelajarinya. Istilah terpadu ini disebutkan oleh

K.H. Imaduddin Zaeni.74 Lain halnya dengan K.H. Ade Nasihul Umam. Ia

menyebut pengajian ini dengan istilah sorogan tingkat lanjut.75 Disebut

demikian karena pengajian ini pada dasarnya merupakan metode sorogan.

Para santri diwajibkan membaca teks kitab beserta makna Jawanya di

hadapan kiai satu persatu hingga benar-benar lancar, tanpa ada kesalahan

sedikitpun. Tetapi ada nilai tambah pada pengajian ini, yakni adanya

penjelasan mengenai maksud dari teks-teks yang dibacakan kiai tersebut.

Penjelasan itulah yang menjadi patron tingkat lanjutnya, karena pada

umumnya, menurut penuturan K.H. Ade Nasihul Umam, pengajian

sorogan diberikan untuk mubtadi, pemula mempelajari kitab kuning.76

Peralihan kode terjadi dari bahasa Arab sebagai bahasa dasarnya ke

bahasa Jawa. Hal ini terdapat pada tuturan berikut.

74 Wawancara dengan K.H. Imaduddin Zaeni pada tanggal 10 September 2017 75 Wawancara dengan K.H. Ade Nasihul Umam pada tanggal 11 September 2017 76 Ibid

Page 79: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

67

(86) Bismillah(i) al-rahman(i) al-rahim. Wal ‘ilmu lan weruh

bifarḍiyyatiha kelawan kefarduane solat.

Kiai mengawali pengajiannya dengan mengucapkan lafal basmalah.

Lafal tersebut sudah termasuk kalimat, bukan lagi frasa atau hanya klausa.

Setelahnya, kiai menggunakan bahasa Jawa sebagai dasarnya.

Ada pula peralihan dari bahasa Jawa sebagai bahasa dasar ke bahasa

Indonesia. Hal tersebut terjadi beberapa kali.

(87) Wal ‘ilmu lan weruh bifarḍiyyatiha kelawan kefarduane solat.

Ya. Syarat berikutnya mengetahui hukum fardlunya salat.

(88) Wa anla ya’taqida lan yenta ora nekadaken sopo wong.

Farḍon ing fardu suwiji. Min furuḍiha setengah saking piro-

piro farḍune solat. Sunnatan ing sunnah. Iya. Yang tulisannya

sunnatun diganti sunnatan. Syarat yang ketujuh, rukun-rukun

solat jangan sampai dianggap sunnah.

(89) Wajtinabul mubṭilati lan ngadohi piro-piro perkara kang

batalaken solat. Yang kedelapan menjauhi segala yang

membatalkan solat.

Setelah memberikan pemaknaan bahasa Jawa pada satu kalimat

berbahasa Arab tersebut, kiai langsung memberikan penjelasan terhadap

kandungan kalimat tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia

sebagai bahasa dasarnya. Ketiga peristiwa di atas sama kejadiannya.

Selain itu, alih kode juga terjadi dari bahasa Indonesia ke bahasa

Jawa. Berikut beberapa kutipannya.

(90) Jelas? Wa anla ya’taqida | lan yenta ora nekadaken sopo

wong, farḍon | ing fardu suwiji, min furuḍiha | setengah saking

piro-piro farḍune solat, sunnatan | ing sunnah.

(91) Yang wajib memandikan adalah orang hidupnya. Ngerti?

Itulah hadas besar.

(92) Kalau hadas besar dibebaskannya dengan cara? (Mandi). Iya.

Ngerti yaa? Baru kita solat.

(93) Makanya di dalam hatinya ketika niat, ușalli farḍo dan nama

so? Ya? Ngerti?

Berbeda dengan Kiai Ade yang selalu menggunakan kalimat ngertos

nopo boten? untuk menanyakan penerimaan santri terhadap

penjelasannya, KH Imaduddin sedikit variatif dengan menggunakan dua

kalimat singkat, yakni jelas? dan ngerti?

Pada kutipan (90), kiai menanyakan kejelasan penyampaiannya

dengan satu kata, jelas? Ini menggunakan bahasa Indonesia. Setelahnya,

Page 80: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

68

ia kembali menggunakan bahasa Jawa untuk melanjutkan pemaknaan teks

kitabnya.

Berbeda dengan kutipan (90), kutipan (91), (92), dan (93),

menanyakan kejelasan pengertian yang santri dapat dari penjelasan yang

sudah disampaikan oleh kiai tersebut dengan menggunakan bahasa Jawa,

yakni ‘ngerti?’ Peralihannya terjadi setelah memberikan penjelasan

dengan menggunakan bahasa Indonesia dan untuk menjeda penjelasannya

atau untuk mengakhiri penjelasan yang sudah kiai sampaikan tadi dengan

mengajukan pertanyaan kejelasan penerimaan santri.

Alih kode pada pengajian ini juga terjadi dari bahasa Arab ke bahasa

Indonesia sebagaimana yang terjadi pada kutipan berikut.

(94) Mữjibatul ghusli sittatun. Berapa sittatun tuh?

Peralihan bahasa Arab ke bahasa Indonesia terjadi saat kiai

memberikan penjelasan dengan mengutip teks kitab satu kalimat utuh.

Setelah mengutip kalimat berbahasa Arab tersebut, kiai kembali

menggunakan bahasa Indonesia untuk meneruskan penjelasannya.

Pada pengajian terpadu juga terjadi alih kode dari bahasa Indonesia

ke bahasa Arab. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

(95) Apa lagi yang mewajibkan mandi? Ada berapa saja kemaren

tuh? Tadi saja baru dibaca. Mữjibatul ghusli sittatun.

Mulanya kiai menjelasakan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Guna meyakinkan denga menghadirkan sebuah dalil, maka kiai mengutip

satu kalimat utuh dari teks yang sebelumnya pernah dibaca oleh para

santri.

Adapun percampuran kode terjadi dengan berbagai bentuk. Ada

percampuran bahasa Arab terhadap bahasa Jawa sebagai dasarnya. Hal itu

terjadi pada kutipan-kutipan berikut.

(96) Wal ‘ilmu | lan weruh, bifarḍiyyatiha | kelawan kefarduane

solat.

(97) Wa anla ya’taqida | lan yenta ora nekadaken sopo wong,

farḍon | ing fardu suwiji, min furuḍiha | setengah saking piro-

piro farḍune solat, sunnatan | ing sunnah.

(98) Al-ahdȃtsu utawi piro-piro hadats. Iku itsnȃni loro.

(99) Așgharu | sewiji hadats cilik, wa akbaru | lan hadas gede.

Page 81: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

69

(100) Fal-așgharu | maka utawi hadats cilik, iku ma | barang,

awjaba | kang majibaken opo ma, al-wuḍua | ing wudu.

(101) Wal-akbaru | lan utawi hadas gede, iku ma barang, awjaba |

kang majibaken opo ma. al-ghusla | ing adus.

Wal ‘ilmu (96) merupakan nomina bahasa Arab yang masuk dalam

struktur bahasa Jawa. Ia berada di posisi subjek. Frasa bifarḍiyyatiha (96)

merupakan frasa preposisional karena pada frasa tersebut terdapat huruf

ba. Artikel tersebut, ba, merupakan preposisi bahasa Arab. Frasa

bifarḍiyyatiha masuk dalam tataran struktur gramatika bahasa Jawa. Frasa

tersebut menempati fungsi subjek, sementara predikatnya adalah kelawan

kefarduane solat.

Wa anla ya’taqida (97) merupakan frasa verbal yang menempati

fungsi subjek dalam kalimat bahasa Jawa. ‘lan yenta ora nekadaken sopo

wong’ merupakan predikatnya. farḍon (97) berkategori nomina. Ia

menempati fungsi subjek, dengan ing fardu suwiji sebagai predikatnya.

Adapun min furuḍiha merupakan frasa preposisional dengan setengah

saking piro-piro farḍune solat sebagai predikatnya. Sunnatan berfungsi

sebagai subjek dengan kategori nomina, sementara ing sunnah merupakan

predikatnya.

Kata Al-ahdȃtsu dan itsnȃni pada kutipan (98) merupakan dua kata

bahasa Arab yang masuk pada tataran bahasa Jawa. Percampurannya

terjadi pada tingkatan kelas kata. Keduanya menempati fungsi subjek

dalam tataran gramatika bahasa Jawanya. Namun, dalam tataran bahasa

Arabnya, kata pertama sebagai subjek (mubtada) dan keduanya

menduduki fungsi predikat (khobar).

Pada kutipan (98), percampuran yang terjadi hanya pada kelas kata

dan berkategori nomina, yakni așgharu dan wa akbaru. Keduanya

menempati fungsi subjek dalam gramatika bahasa Arabnya, tetapi dalam

bahasa Arabnya, kata pertama hadir sebagai penjelas (ataf bayan) atau

pengganti (badal) dari kata itsnani yang berarti dua, sementara kata kedua

sebagai penjelas yang dihubungkan dengan kata hubung jumlah berupa

wa.

Percampuran dalam kutipan (99) meliputi dua kategori, yakni

nomina berupa fal-așgharu, ma, dan al-wuḍua, dan verba awjaba. Secara

Page 82: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

70

bahasa Arab, kata pertama berfungsi sebagai subjek, kedua sebagai

predikat, ketiga sebagai objek, dan keempat sebagai perluasan predikat.

Namun, secara gramatika bahasa Jawa, semuanya menduduki fungsi

subjek. Sebagai predikatnya, bahasa Jawa yang menjelaskan arti kata

tersebut.

Percampuran bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia terjadi

beberapa kali. Hal ini terbukti pada kalimat-kalimat di bawah ini.

(102) Makanya di dalam hatinya ketika niat, ușalli farḍo...

(103) Yang tulisannya sunnatun diganti sunnatan

(104) Makanya menjauhi segala yang membatalkan solat dari mulai

allahu akbar sampai assalaamu ‘alaikum warahmatullah.

(105) Satu apa? Ȋlajul hasyafati memasukkan hasyafah ke dalam?

(Farji). Iya, memasukkan hasyafah ke dalam farji.

(106) Ayo, dibaca, bismillah!

Dalam menjelaskan niat, kiai mengucapkan lafal niatnya dengan

bahasa Arab, tetapi tidak lengkap. Ketidaklengkapan penyebutan lafal niat

salat itu dikarenakan kiai hanya menyebutkan hal yang wajib dilafalkan

dalam hatinya saja, yakni ușalli, farḍo, (102) dan nama salat. Karena dua

kata dalam percampuran tersebut dilafalkan terpisah, maka bukan lagi

masuk kelas klausa, melainkan kategori sendiri-sendiri, ușalli sebagai

verba dan farḍo sebagai nomina.

Pada kutipan (103), kiai memberi penjelasan tentang kesalahan cetak

pada kitab yang dibaca. Ia memberitahu tulisan yang benarnya seperti apa,

tentu dengan bahasa Arab, karena teksnya berbahasa Arab. Kedua kata

bahasa Arab dalam kutipan (103), sunnatun dan sunnatan, termasuk dalam

kategori nomina.

Kiai saat menjelaskan hal-hal yang mewajibkan mandi besar kepada

para santri kembali menghadirkan bacaan yang telah dibahas pada

pertemuan sebelumnya. Untuk mengingatkan para santri, kiai mengutip

frasa awalnya, yakni Ȋlajul hasyafati (105).

Percampuran bahasa Jawa ke dalam struktur bahasa Indonesia terjadi

pada kalimat-kalimat berikut.

(107) Kalau nganggep sunnah salatnya tidak ess?. ngerti?

(108) Ndak ngerti wajib atau sunnah.

(109) Tasyahhud awal pada solat Maghrib, Isya, Luhur, Asar.

(110) Kalau nganggep sunnah, solatnya tidak ess?

Page 83: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

71

(111) Tapi kalau nganggep wajib tidak apa?

(112) Kalau yang sunnah dianggep wajib tidak apa?

(113) Makanya kalau kita tidak ngerti ini sunnah apa rukun, lah

anggap saja semuanya rukun tidak apa? Tasyahud awal rukun

apa sunnah?

(114) Kalau nganggep wajib tidak apa?

Kata nganggep pada kutipan (107), (110), (111), dan (114) dan kata

dianggep pada kutipan (112) merupakan verba bahasa Jawa yang masuk

dalam strutktur bahasa Indonesia. Kiai memilih menggunakan bahasa

Jawa mengungkapkan makna pendapat atau pandangan seseorang

terhadap hal yang sedang dibicarakan dengan menggunakan kata

nganggep atau dianggep daripada menggunakan bahasa Indonesia

mengaggap.

Frasa ndak ngerti (108) juga berbahasa Jawa yang masuk dalam

susunan bahasa Indonesia. Masuknya frasa tersebut saat kiai memberikan

penjelasan. Hal ini tergolong campur kode.

Luhur (109) merupakan bahasa Jawa yang berarti zuhur, waktu salat

wajib setelah matahari tergelincir sampai menjelang petang. Orang-orang

Jawa dulu melafalkan d dengan l. Selain kata luhur, ada pula kata rela yang

pada asalnya rida. Pilihan kata luhur di tengah struktur gramatika bahasa

Indonesia merupakan campur kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa

Indonesia.

Percampuran kata dari ragam informal ke dalam ragam formal

terjadi dalam beberapa bentuk. Hal ini terdapat pada beberapa kutipan

berikut.

(115) Ya entah pokoknya temen-temen solat ya solat saja

(116) Atau tidak diyakini apa-apa asal salat saja gak mengerti itu

wajib apa sunnah, maka juga tidak ess?

(117) Doa iftitah wajib apa sunnah? Doa iftitah itu hukumnya

sunnah. Tapi kalau nganggep wajib tidak apa?

(118) Fatihah di dalam solat sunnah apa wajib?

(119) Baca surat setelah Fatihah wajib apa sunnah? Wajib apa

sunnah?

(120) Makanya kalau kita tidak ngerti ini sunnah apa rukun, lah

anggap saja semuanya rukun tidak apa? Tasyahud awal rukun

apa sunnah?

(121) Wajib apa sunnah? Wajib apa sunnah?

(122) enggak papa yaa.

Page 84: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

72

(123) Makanya kalau ngajarin solat pada anak-anak, ajarin saja

sesempurna mungkin. Yang sunnah-sunnahnya diajarin

semua supaya bisa semua.

(124) Nanti insyaallah fasalnya ada di belakang, apa saja yang

membatalkan solat. Salah satuya, misalnya, sedang solat

ngomong maka membatalkan solat.

(125) Ngomong sedikit kalau disengaja, atau banyak walaupun

alesan tidak sengaja.

(126) Nah ini makanya hadas tuh ada du?(dua).

(127) Ada berapa saja kemaren tuh?

Kata apa seharusnya adalah merupakan kata ragam informal.

Pertama, partikel. Dalam kutipan di atas berupa kata apa. Makna yang

dimaksud dari kata tersebut bukan sebagai kata tanya, melainkan makna

dari kata atau. Selain itu, kedua, berupa kata verba, yakni kata nganggep.

Kata tersebut merupakan ragam informal. Seharusnya, kata yang

digunakan pada kalimat tersebut adalah menganggap.

enggak papa ya kalimat tersebut menunjukkan adanya campur kode

informal berupa kata berkelas adverbia berupa enggak. Kata tersebut

dalam ragam formalnya berupa tidak atau tak.

Selain itu, kalimat tersebut juga menunjukkan adanya campur kode

informal berupa kata berkelas nomina berupa papa. Kata tersebut berasal

dari ragam formal, berupa apa-apa.

2. Hasil Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Alih Kode dan

Campur Kode

Bahasa Jawa dalam pemaknaan kitab pada masa lampau tidak hanya

digunakan pada sebatas wilayah yang berbahasa Jawa dalam kesehariannya

saja, tetapi juga sampai pada wilayah yang berbahasa Sunda dan Madura. Hal

ini pernah diutarakan oleh peneliti keislaman di Indonesia asal Belanda,

Martin van Bruinessen.

“Pada abad ke-19, pesantren di Madura dan Jawa Barat tidak

menggunakan bahasa wilayah mereka sendiri tetapi bahasa Jawa

sebagai medium: kalaupun teks-teks Arab diterjemahkan, terjemahan

ini ke dalam bahasa Jawa. Hal ini juga telah mengalami perubahan, dan

Page 85: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

73

sekarang juga terdapat kitab kuning dalam bahasa Madura dan

Sunda.”77

Pemilihan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam pemaknaan kitab tentu

saja bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, bahasa tersebut tetap digunakan

meskipun perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa asing sudah begitu

pesat dan bahkan semakin mengikis bahasa daerah.

Pertama, pesantren sangat mengenal adagium al-muhafȃẓatu ‘ala al-

qadȋm al-șȃlih wa al-akhżu bi al-jadȋd al-așlah, menjaga tradisi yang baik

dan mengambil hal baru yang lebih baik. Pemaknaan bahasa Jawa itu hal yang

baik yang perlu dipertahankan keberadaannya. Hal baru yang diambil tentu

saja penggunaan bahasa Indonesia pada saat memberikan penjelasan.

Kedua, ada alasan penting yang membuat bahasa Jawa dalam

pemaknaan tetap digunakan sampai saat ini. K.H. Saifuddin Zuhri

menuturkan dalam autobiografinya.

“Belajar dengan menggunakan kitab kuning dibagi menjadi dua. Yang

pertama ditempuh dengan sistem sorogan dan yang kedua menempuh

sistem bandungan. Yang dinamakan sorogan ialah belajar langsung

kepada guru dengan bertatap muka, masing-masing santri satu demi

satu menghadapi guru sambil membuka halaman kitab yag dipelajari.

Kiai mengajar cara membacanya, diartikan dalam bahasa Jawa “khas

pesantren” kalimat demi kalimat. Sekaligus santri diperkenalkan

dengan kedudukan tiap-tiap kalimat menurut ilmu bahasa Arab sebagai

mubtada’ (pemula kata, pokok kalimat yang lazimnya disebut pada

awal kalimat), khobar (kata yang menerangkan tentang apa atau siapa

itu mubtada’), isim fa’il (kata yang menunjukkan pelaku sesuai dengan

pekerjaan atau fungsinya), maf-ul-bih (kata yang kedudukannya

menjadi objek penderita), hal (kata yang menerangkan keadaan fa’il

atau maf’ul bih ketika terjadi suatu perbuatan pada sesuatu situasi),

tamyiz (sebuah kata yang memberi kejelasan sesuatu kalimat yang

tadinya mengandung tak-kejelasan), athaf (sebuah huruf yang menjadi

alat cara membaca dua kalimat yang berhubungan satu dengan lainnya),

dan sebagainya, dan sebagainya.”78

Pengenalan kedudukan kata pada kalimat itu menggunakan bahasa

Jawa, mubtada’ dengan utawi, khobar dengan iku, isim fa’il dengan sopo,

77 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading Publishing,

2012), h. 162-163 78 Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 98-99

Page 86: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

74

maf’ul bih dengan ing, hal dengan hale, tamyiz dengan apane, dan

sebagainya. Kata-kata tersebut tidak terdapat dalam bahasa lainnya selain

bahasa Jawa. Artinya, penggunaan bahasa Jawa juga sebagai sarana untuk

memahami struktur gramatika bahasa Arab.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Ketua Yayasan Lembaga

Pendidikan Islam (YLPI) bidang kepesantrenan Pondok Buntet Pesantren

Cirebon K.H. Ade Nasihul Umam. Menurutnya, bahasa Jawa adalah bahasa

yang paling tepat untuk memberikan makna-makna bahasa Arab.

Tarkib yang paling tepat dalam memaknai afsahan yang lengkap

dengan menggunakan bahasa Jawa, dari mulai utawi, iki, iku. Semua

tarkib ada rumus dan cara pengucapannya. Kalau menggunakan bahasa

Indonesia hanya memberikan arti saja, tanpa mengetahui struktur

kalimatnya.79

Utawi merupakan artikel yang hanya memiliki tempat di permulaan

kalimat. Ia serupa dengan wawu ibtida atau wawu isti’naf dalam kaidah

nahwiyah, kaidah bahasa Arab. Artikel tersebut tidak terdapat dalam bahasa

Indonesia, Melayu, Sunda, ataupun lainnya. Adanya artikel-artikel tersebut

memudahkan santri untuk mengetahui posisi kata pada tiap kalimat, apakah

kata tersebut menjadi mubtada (subjek) ataukah jadi khabar (predikat), atau

lainnya.

Kata-kata yang menunjukkan kedudukan kata bahasa Arab itu, seperti

utawi, iku, ing, dan lainnya, berasal dari bahasa Jawa kuno. Kata-kata tersebut

sudah ada dalam naskah terjemah bahasa Jawa atas kitab Hill al-Rumuz wa

Mafatih al-Kunuz karya Muhyiddin Ibnu Arabi. Kitab berkasara Arab dan

Pegon atau Arab Jawi ini selesai ditulis pada 4 Februari 1772 M.

Utawi sakehe puji iku kaduwe ing Allah, Kang ambukakaken

sawiwiroga kang gaib ing tutup-tutupe ati, lan kang ngilangaken Allah

ing tetebengen sakehe kang samar-samar, lan kang anekakaken Allah

ing paningaling ati, maka nyata barang akng ana ing iya iku

ketetebengan.80

79 Wawancara dengan K.H. Ade Muhammad Nasihul Umam di kediamannya di Buntet Pesantren

pada tanggal 11 September 2017, pukul 21.00. 80 Pustaka Keraton Cirebon; Pembuka Rumus dan Kunci Perbendaharaan, Ed. Bambang Irianto

(Yogyakarta: Deepublish, 2013), h. 2

Page 87: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

75

Utawi sakehe puji81 merupakan subjek pada kalimat tersebut. Utawi

merupakan morfem terikat yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa morfem lain

setelahnya. Kata tersebut sebagai tanda yang menunjukkan permulaan

kalimat atau dalam istilah bahasa Arabnya disebut mubtada. Iku kaduwe ing

Allah82 menduduki fungsi predikat. Dalam bahasa Indonesia, predikatnya

berupa frasa preposisional. Untuk menunjukkan fungsi predikasinya, kata iku

muncul pada kalimat tersebut. Seperti utawi, iku juga merupakan morfem

terikat yang tidak berarti apa-apa jika tidak dirangkaikan dengan kata lainnya.

Kang ambukakaken sawiwiroga kang gaib ing tutup-tutupe ati83 merupakan

perluasan predikat. Frasa ing tutup-tutupe ati merupakan objek atas kata kerja

ambukakaken. Untuk menunjukkan fungsi objek tersebut, kata ing muncul.

Melihat beberapa hal tersebut, maka sesungguhnya bahasa Jawa dipilih

karena memudahkan para santri untuk memahami struktur gramatika bahasa

Arab. Lebih dari itu, Kiai Ade menjelaskan, bahwa jika mampu memahami

bahasa Jawa dalam memaknai kitab itu akan memudahkan penerjemah untuk

mengalihbahasakan ke bahasa lainnya.84

Dengan demikian, pesantren telah menempatkan fungsi bahasa

Indonesia sebagaimana mestinya, yakni sebagai sarana komunikasi dalam

upaya pencerdasan kehidupan bangsa sesuai dengan kedudukannya sebagai

bahasa persatuan seperti poin ketiga sumpah pemuda dan sebagai bahasa

negara berdasar Pasal 36 UUD 1945.85

Selain itu, pesantren juga sudah menghindarkan bahasa daerah dari

jurang kepunahan. Seperti pernyataan Mu’adz yang dikutip oleh Mahsun,

81 Utawi sakehe puji : adapun seluruh puji. 82 Iku kaduwe ing Allah : itu milik Allah. 83 Kang ambukakaken sawiwiroga kang gaib ing tutup-tutupe ati : yang telah membuka penutup

hati dengan kunci kesamaran. 84 Wawancara dengan K.H. Ade Muhammad Nasihul Umam di kediamannya di Buntet Pesantren

pada tanggal 11 September 2017, pukul 21.00 WIB 85 Hasan Alwi, Fungsi Politik Bahasa dalam Politik Bahasa, (Jakarta: Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, 2011), h. 12

Page 88: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

76

bahwa dengan digunakannya bahasa daerah sebagai pengantar maka

dimungkinkan bahasa daerah itu terhindar dari kepunahan.86

Chaedar Alwasilah mengungkapkan lima hal bahasa daerah bisa

disikapi secara positif oleh orang.

Ada beberapa hal yang akan membuat seseorang bersikap positif

terhadap bahasa daerah, yaitu (1) keteladanan berbahasa oleh pemuka

masyarakat, ilmuwan, budayawan, dan aparatur pemerintah; (2)

tersedianya repertoar kebudayaan yang ditulis dalam bahasa daerah

seperti fiksi, sejarah, koran, dan majalah; (3) adanya hiburan dan wisata

intelektual melalui bahasa daerah seperti buku teks, acara-acara TV,

dan siaran radio; (4) banyaknya terjemahan karya tulis dari berbagai

bahasa ke dalam bahasa daerah; dan (5) banyaknya penutur bahasa

daerah lain dan orang asing yang mempelajari bahasa daerah.87

Dari kutipan di atas, setidaknya, ada tiga poin yang dicapai oleh

pesantren guna memartabatkan bahasa daerah sehingga bisa dipandang

positif, yakni poin pertama, keempat, dan kelima. Kiai sebagai tokoh

masyarakat memperlihatkan keteladanannya dalam berbahasa daerah. Ia

menggunakan bahasa daerah sebagai media pengantar pendidikan. Tidak

sedikit karya berbahasa Arab yang diterjemahkan ke bahasa daerah, dalam

hal ini bahasa Jawa. Terakhir, banyak santri yang tidak berbahasa ibu bahasa

Jawa, mempelajari bahasa Jawa demi memahami arti harfiah kata perkata dari

teks berbahasa Arab dalam kitab yang mereka pelajari.

Pesantren juga memperkaya kosakata bahasa daerah dengan

penyerapan istilah-istilah bahasa Arab yang tidak ada padanannya dalam

bahasa Jawa. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh

Mahsun, berbagai kosakata yang berhubungan dengan konsep-konsep dan

terminologi dalam bahasa asing akan teradopsi ke dalam bahasa daerah dan

sekaligus akan memperkaya kosakata bahasa daerah itu sendiri.88

86 Mahsun, Bahasa Daerah sebagai Sarana peningkatan Pemahaman Kondisi Kebinekaan dalam

Ketunggalikaan Masyarakat Indonesia: ke Arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa

Daerah dalam Jumariam (ed.), Politik Bahasa, (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa, 2011), h. 41-42 87 A. Chaedar Alwasilah, Politik Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah dalam Politik Bahasa dan

Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet. Kedua, h. 22 88 Op Cit, Mahsun, h. 41-42

Page 89: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

77

Dengan demikian, pesantren telah merencanakan politik bahasanya

dengan sangat apik. Bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing telah

berperan sesuai garisnya masing-masing. Hal ini pun sejalan dengan motto

yang digaungkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yakni

utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa

asing.

Page 90: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

78

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisis data alih kode dan campur kode dalam pengajian kitab-

kitab fikih di Buntet Pesantren, dapat diperoleh hasil simpulan sebagai berikut.

Pertama, hasil penelitian menunjukkan campur kode lebih banyak terjadi

ketimbang alih kode. Alih kode bahasa Arab dalam pengajian kitab-kitab fikih di

Buntet Pesantren terjadi saat kali pertama mulai mengaji. Selain itu, peralihan ke

bahasa Arab juga terjadi saat kiai memberikan penjelasan, lalu kiai tersebut

mengutip teks kitab secara utuh guna mempertegas penjelasannya. Pengutipan

berupa frasa juga kerap kali muncul. Hal tersebut masuk dalam campur kode bahasa

Arab. Campur kode juga terjadi pada pemunculan istilah-istilah. Percampuran ini

meliputi hampir seluruh kategori, yakni nomina, verba, dan adverbia, beserta

keseluruhan frasanya. Alih kode bahasa Jawa terjadi saat kiai memberikan

pemaknaan terhadap teks kitab. Selain itu, dalam memberikan penjelasan, kiai juga

kerap kali mengalihkan bahasanya dengan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini

terjadi secara alamiah. Kata-kata bahasa Jawa juga terkadang muncul di tengah

penjelasan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tergolong pada campur kode.

Kedua, peralihan dan percampuran bahasa Arab dalam pengajian kitab-kitab

fikih di Buntet Pesantren tentu saja dipengaruhi oleh bahasa dasar kitab yang dikaji,

yakni bahasa Arab. Bahasa Jawa dipilih sebagai bahasa pemaknaan setidaknya

memiliki dua alasan, yakni mempertahankan tradisi sebagai warisan kekayaan

budaya dan eratnya kesamaan antara bahasa Jawa dan bahasa Arab sehingga

memudahkan para santri untuk memahami teks berbahasa Arab tersebut.

B. Saran

Pertama, penggunaan alih kode dan campur kode dalam pengajian di Buntet

Pesantren sudah sangat tersusun rapi. Teks berbahasa Arab dimaknai dengan

menggunakan bahasa Jawa serta dijelaskan dengan menggunakan bahasa

Indonesia. Tiga bahasa tersebut sudah memiliki perannya masing-masing.

Ketiganya saling menguatkan, teks bahasa Arab mudah diketahui susunan

Page 91: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

79

gramatikanya dengan pemaknaan yang menggunakan bahasa Jawa. Para santri pun

memahami esensi ataupun substansi teks kitab berbahasa Arab itu dengan

penjelasannya yang menggunakan bahasa Indonesia mengingat beragamnya asal

santri.

Kedua, Model penggunaan bahasa demikian memang sudah sangat cocok

sejak dulu digunakan di pesantren. Hal tersebut dapat mengakomodir kebutuhan

santri, yakni memahami bahasa Arab dan memahami isi teks. Oleh karena itu, hal

yang sudah teratur ini harus tetap dipertahankan.

Ketiga, istilah-istilah fikih berbahasa Arab yang belum masuk dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa diusulkan untuk masuk menjadi entri baru

pada penerbitan edisi selanjutnya.

Page 92: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

80

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam Pembangunan

Pedesaan dalam Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani. Jakarta:

Progres. 2003.

Alwasilah, A. Chaedar. Politik Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah dalam Politik

Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2000. Cet. Kedua.

Alwi, Hasan. Fungsi Politik Bahasa dalam Jumariam (ed.). Politik Bahasa. Jakarta:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011.

Ansaldo, Umberto. Contact of Languages. Cambridge: Cambridge University

Press. 2009.

Appel, Rene dan Peter Muysken, Language Contact and Bilingualism. Amsterdam:

Amsterdam University Press. 2005.

Arikunto, S. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1998. dikutip oleh

Abdul Kholiq, Roekhan dan Sunaryo, Campur Kode pada Naskah Pidato

Presiden Republik Indonesia Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono. JPBSI

Online. Universitas Negeri Malang. Malang. 2013.

Atmojo. Dhanang Tri. Alih Kode dan Campur Kode dalam Kelompok Masyarakat

Perantau di Desa Kedung Bagong, Sidomakmur, Widodaren, Ngawi.

Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2013. Diunduh melalui

http://eprints.ums.ac.id/23343/ pada tanggal 23 September 2016, pukul 16.21

WIB.

Brewer, John D. Ethnography. Philadelphia: Open University Press. 2000.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:

Rineka Cipta. 2009.

Coulmas, Florian. Sociolinguistics; The Study of Speaker’s Choices. Cambridge:

Cambridge University Press. 2005.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan

Visinya mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. 2011. Cet.

Kesembilan.

Fromkin, Victoria, dkk. An Introduction to Language. Australia: Thomson

Wadsworth. 2003. Edisi Ketujuh.

Page 93: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

81

Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. An Introduction to Language. Amerika

Serikat: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1974.

Gardner, Penelope dan Chloros. Code Switching. Cambridge: Cambridge

University Press. 2009.

Gardner, Penelope dan Chloros. Sociolinguistic Factors in Code Switching dalam

The Cambridge Handbook of Linguistic Code-Switching. Cambridge:

Cambridge University Press. 2009.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. Language, Context, and Text: Aspects of

Language in Social Semiotic Perspective. Oxford: Oxford University Press.

1989.

Hancock, Beverley. An Introduction to Qualitative Research. Nottingham: Trent

Focus Group. 2002.

Hasan, Ahmad Zaini. Perlawanan dari Tanah Pengasingan; Kiai Abbas, Pesantren

Buntet dan Bela Negara. Yogyakarta: LkiS. 2014.

Hymes, Dell. Ethnography, Linguistics, Narrative in Equality Toward

Understanding to Voice. London: Taylor and Francis. 2004.

Jendra, Made Iwan Indrawan. Sosiolinguistics The Study of Societies’ Languages.

Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.

Kholiq, Abdul, Roekhan, dan Sunaryo. Campur Kode pada Naskah Pidato

Presiden Republik Indonesia Bapak Dr. Susilo Bambang Yudhoyono.

Malang: Universitas Negeri Malang, 2013. Diunduh melalui http://jurnal-

online.um.ac.id/article/do/detail-article/1/47/867 pada tanggal 23 September

2016, pukul 16.22 WIB

Kramsch, Claire. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. 2014.

Lumintaintang, Yayah B. Peranan Bahasa Indonesia dalam Pembangunan

Perdesaan dalam Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani. Jakarta:

Progres. 2003.

Mahsun. Bahasa Daerah sebagai Sarana peningkatan Pemahaman Kondisi

Kebinekaan dalam Ketunggalikaan Masyarakat Indonesia: ke Arah

Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah dalam Jumariam (ed.).

Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2011.

Matras, Yaron. Language Contact. Cambridge: Cambridge University. 2009.

Page 94: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

82

Mason, Jennifer. Qualitative Researching. London: SAGE Publications. 2002.

Meuteur, Renata. F. I. Language Selection in Bilinguals: Mechanisms and

Processes dalam Handbook of Bilingualism: Psycholinguistic Approaches.

Oxford: Oxford University Press. 2005.

Moeliono, Anton M. Kembara Bahasa Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta:

Gramedia. 1989.

Rokhman, Fathur. Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam

Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013.

Saville, Murielle dan Troike. The Ethnography of Communication. Australia:

Blackwell. 2003.

Sneddon, James. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern

Society. Sydney: University of New South Wales. 2003.

Spolsky. Bernard. Sociolinguistics. Bristol: Oxford University Press. 2008.

Suhardi, Basuki. Perkembangan Bahasa Indonesia di Daerah Perdesaan dalam

Bahasa Indonesia menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Progres. 2003. Thomason, Sarah G. Language Contact. Edinburgh: Edinburgh University Press.

2001.

Trask, R.L. Language Change. London: Routledge. 1994.

Walters, Joel. Bilingualism: The Sociopramatic – Psycholinguistic Interface. New

Jersey: Lawrens Erlbaum Associates, Publishers. 2005.

Wardaugh, Ronald. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell

Publishing. 2006.

Wee, Lionel. Malaysia, Singapore, Indonesia, Philippines dalam The Routledge

Handbook of Sociolinguistics Around the World. New York: Routledge.

2010.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. Sosiolinguistik Kajian Teori dan

Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013. Cet. Keenam.

Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Badan

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. 2016.

Page 95: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET
Page 96: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET
Page 97: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET
Page 98: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET
Page 99: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

87

LAMPIRAN TRANSKRIPSI PENGAJIAN

A. Sistem Sorogan

Bismi (a)llahi (al-)rrahmȃni (al-)rrahȋm

Fașlun | utawi iki ikulah fasal. Wafuruḍu [sic.] (a)l-ghusli. Wafaraiḍu (a)l-ghusli

| lan utawi piro-piro fardune adus. Iku tsalatsatu asyyaa | telu piro-piro sewiji-wiji.

Al-niyyatu | suwiji niat. Waizalatu (al-)nnajasati | lan ngilangaken najis. In kȃnat |

lamon ana opo najis | iku ‘alȃ badanihi | ingatase badane wong. Wa ȋsȏlu (a)l-mȃ’i

| lan nekaaken banyu | ilȃ jamȋ’i (al-)ssya’ri | tumeka maring sekabehane rambut |

wa (al-)basyarati | lan kulit. Ayuh, bareng!

B. Sistem Bandungan

Al-Fȃtihah!

A’udzubillȃhi min(a) al-syaiṭȃni al-rajȋm. Bism(i) (a)llah(i) al-rahmȃn(i) al-

rahȋm

Wa syuriṭo lahȗ niyyatun kahȃdza zakȃtun aw shadaqatun mafruḍatun

Wa syuriṭa | lan disyarataken. Lahȗ | kaduwe nekaakaen zakat. Opo niyyatun |

niat. Kahȃdza zakȃtun | kaya lafadz ‘hȃdza zakatun’. Hȃdza | utawi ikilah harta. Iku

zakȃtun | zakat. Aw shadaqotun | atawa shadaqah. Mafrȗḍatun | kang difarduaken.

Lȃ muqȃranatuhȃ | ora barengaken niat zakat. Liddaf’i | maring nyerahaken

zakat. Bal takfȋ | balik cukup opo niat. Bal takfi | balik cukup opo niat. ‘Inda ‘azri

qadri al-zakȃti | nalikane nyopot kira-kirane zakat. Aw iqṭȃ’i wakilin | atawa olihe

nyerahaken wakil. Aw bakda ahadihimȃ | atawa ing dalem sawise salah sijine azri

qadrizzakȃti aw tawkil.

Waqabla al-tafarruqati | lan ingdalem sawise89 [sic.] pisah. Bi’usri (i)qtirȃnihȃ |

karena angele barengaken niat. Biadȃi kulli mustahiqqin | kelawan nekani saben-

saben wong kang ngehaki zakat.

Walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Lighairihi | maring liyane wong.

Ngucapaken tașaddaqa bihȃdza, tashaddaqa | shadaqoh sopo wong [sic.], bihȃdza |

89 Harusnya, maknanya sedurunge (sebelum).

Page 100: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

88

kelawan ikilah harta. Tsumma nawȃ | mangka kari-kari niat sopo wong. Al-zakȃta |

ing zakat. Qabla tașadduqihi | ingdalem sakdurunge | shadaqohe wong. Biżȃlika |

kelawan mengkono-mengkono ucapan hȃdza. Ajzaahu | mangka nyukupi opo hȃża

ing si uwong. ‘An(i) al-zakȃti | saking zakat.

Tapi walaw qȃla | lan lamon ngucap sopo wong. Liakhara | maring wong liyan.

Maqul qaule iqbiḍ baynȋ min fulȃnin, iqbidl | nampanana sira, daini | ing utang isun,

min fulȃnin | saking fulan. Wahuwa | utawi daini. Iku [sic] laka kaduwe sira.

Wahuwa | lan utawi daini. Laka | kaduwe sira. Iku zakȃtun | zakat. Lam takfi | maka

ora nyukupi | opo ucapan iqbiḍ daini. Hattȃ yanwiya | sehingga niat sopo wong. Ay

huwa | tegese wong. Bakda qabḍihi | ingdalem sawise nerimane akhoro ing daini.

Tsumma ya’dzana | mangka kari-kari ngidzini sopo wong, lahu | maring akhor,

fi akhdziha | ingdalem ngalap zakat. Waaftȃ | lan maringi fatwa. Sopo ba’ḍuhum |

sebagiane ulama. Anna al-tawkȋla | ing setuhune wakilaken. Al-muṭlaqa | kang

mutlak. Fȋ ikhrȃjihȃ | ing dalem ngetoaken zakat. Iku yastalzimu | wajibaken sopo

attawkil. Al-tawkila | ing wakilaken. Fi niyyatihȃ | ing dalem niat zakat.

Qȃla | wis dawuh. Sopo syaikhunȃ | guru kita. Wa fȋhi | nyatane lafadz wa fihi.

Wa fȋhi | lan iku tetap ingdalem ‘afta ba’ḍuhum al-ifta’, naẓrun | utawi pandangan,

naẓrun | utawi wicoro, bal(i) (a)l-muttajihu | balik utawi kaul kang diwajahaken. Iku

annahu | setuhune kelakuan, iku lȃ budda | ora kena ora, min niyyati (a)l-mȃliki |

saking niate wong kang miliki harta. Aw tafwiḍiha | atawa nyerahaken ‘niyatu (a)l-

malik, li (a)l-wakili | maring wakil.

Wa qȃla | lan wis dawuh, sopo al-Mutawalli | Imam al-Mutawalli, wa ghairuhu |

lan liyane al-Mutawalli. Dawuhe, yata’ayyanu | dadi nyata, dadi tertentu, opo

niyyatu (a)l-wakȋli | niat wakil, iżȃ waqa’a | nalikane tumiba, opo farḍun | fardu,

bimȃlihi | kelawan hartane wakil. Bian qȃla | kelawan yenta ngucap, lahu | maring

wakil, sopo muwakkiluhu | wong kang wakilaken al-wakil. Dawuhe, addȋ zakȃtȋ

min mȃlika, addȋ | nekanana (sopo) sira, zakȃtȋ | ing zakat isun, min mȃlika | saking

hartane sira, liyanșarifa | supaya mengo atawa supaya berpaling, opo fi’luhu |

pegaweane al-wakil, ‘anhu | saking muwakkil.

Page 101: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

89

Waqauluhu | lan utawi dawuhe muwakkil, żalika | ing mengkono-mengkono

‘addȋ zakȃtȋ min mȃlika, iku mutaḍamminun | nyimpen opo qauluhu, li (a)l-iżni |

maring idzin, lahu | kaduwe al-wakil, fi al-niyyati | ingdalem niat.

Waqȃla | lan wis dawuh, sopo al-Qaffȃlu | Imam al-Qaffal. Law qȃla | lamon

ngucap sopo wong, lighairihi | kaduwe liyane wong, ‘aqriḍni khamsatan’ nyatane

ucapan aqriḍni khamsatan. Aqriḍni | ngutangana sira ing isun, khomsatan | ing lima,

uaddȋhȃ | mangka nekaaken sopo isun ing khomsat, ‘an zakȃtȋ | saking zakat isun,

fafa’ala | mangka ngelakoni sopo wong, șahha | mangka sah opo qauluhu.

Qȃla | dawuh, sopo syaikhunȃ | guru kita, wahuwa | utawi șahha, iku mabniyyun

| den jenengaken, ‘ala ro’yihi | ingatase pendapate al-Qaffal, bijawazi (a)l-tihad(i)

(a)l-qabiḍi | kelawan wenange tunggale wong kang nerima, wa (a)l-muqbiḍi | lan

wong kang nyerahaken.

Dalam masalah zakat, disyaratkan harus ada niat dari orang yang mau

menyerahkan zakatnya. Niyyatun biqalbin, lȃ nutqin. Artinya, ketika mau

mengeluarkan zakat atau mau menyerahkan zakat, maka cukup dengan niat di

dalam hati saja. Artinya, tanpa ada ucapan yang terdengar oleh orang yang mau

menerima zakat. Dan niatnya pun tidak terlalu banyak, cukup dengan contoh hȃżȃ

zakȃtun, ini zakat. Ini sudah termasuk niat dan sudah bisa menentukan bahwa harta

yang mau diserahkan itu adalah harta za? Zakat. Artinya mustahiq itu tidak perlu

mengetahui apakah benda ataupun barang yang dia dapatkan itu adalah harta zakat

atau bukan. Yang penting, orang yang memberikannya itu sudah mempunyai niat

bahwa yang diberikan itu adalah za? Zakat.

Kalau seumpama tidak menggunakan kalimat zakat juga boleh. Seperti

menggunakan hȃżihi șadaqatun mafruḍatun, ini adalah sodaqoh wajib saya. Itu juga

boleh. Dan tidak mesti ataupun tidak harus kalimat tersebut terdengar oleh orang

lain. Kalimat tersebut tidak mesti harus didengar oleh orang yang mau menerima

zakatnya. Makanya di sini dalam syarahnya, niyyatun biqalbin lȃ nutqin. Cukup di

dalam hati saja. Cukup di dalam hati saja.

Sekarang kalau seumpama diucapkan boleh tidak? Boleh diucapkan.

“Pak, ini zakat saya.”

Page 102: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

90

“Pak, ini shadaqoh wajib saya. Mohon diterima.”

Ini juga boleh. Tapi, apa namanya, yang wajib itu adalah biqalbin tanpa perlu

diucapkan lagi berbeda dengan talaffuẓ pada niat-niat yang lain. Ada yang talaffuẓ

mengucapkan niat itu hukumnya sunnah, ada yang juga tidak termasuk dalam

kategori sunnah. Seperti hȃżȃ zakȃtȋ. Ini tidak mesti atau saya bahasakan tidak perlu

untuk diucapkan lagi.

Apalagi kalau seumpama yang mustahiknya itu adalah orang yang terhormat.

Contohnya ada yang fakir dan dia adalah gurunya sendiri. Walaupun seumpama

ada seorang guru yang kebetulan gurunya fakir lalu kamu mau memberikan zakat

kepada guru yang fakir tersebut, ini langsung kamu serahkan saja, tidak perlu kamu

mengucapkan, “Kiai, ini zakat saya.” Ini tidak untuk perlu diucapkan. Langsung

diserahkan saja. “Ini mohon diterima dari saya.” Karena apa? Ketika dia

mengeluarkan zakat itu dia sudah ta’yȋn, sudah menentukan bahwasanya beras yang

saya bawa ini adalah merupakan za? Merupakan zakatnya. Ngertos nopo boten?

Kemudian juga, lȃ muqoronatuha li al-daf’i, seperti niat-niat yang lain

bahwasanya niat dalam suatu ibadah itu kan ada keharusan muqȃranah, makanya

definisinya kan qașdu syay’in muqtaranan bifi’lihi. Ada yang tidak harus

muqtaranan bifi’lihi. Yang pertama adalah niat puasa Ramaḍan. Niat apa jeh?

Puasa Ramaḍan. Itu adalah qoblal fi’li. Belum menjalankan puasa, kamu sudah

harus niat terlebih dahulu. Tidak boleh niat puasa berbarengan dengan

pelaksanaannya. Sebab, kalau berbarengan dengan pelaksanaanya, berarti nanti ada

waktu sekian detik di mana kamu, ya ada waktu sekian detik yang tidak atau belum

diniati puasanya. Niat puasa butuh waktu untuk talaffuẓ melafazkan atau pun untuk

mengucapkan apakah itu bi (a)l-qalbi atau bi (a)l-nutqi dengan cara mengucapkan.

Begitu juga dengan zakat. Zakat juga tidak berbarengan dengan

mengeluarkannya. Lȃ muqȃranatuhȃ li (a)l-daf’i. Ya. Tidak harus bersaman dengan

proses menyerahkan zakat tersebut atau memberikan zakat tersebut kepada orang?

Orang lain. Ngertos nopo boten?

Yang penting bal takfi inda azli aw iqṭa’i wakilin, yang penting ketika kamu

memisahkan atau menyiapkan barang yang mau dizakati di situ sudah diniati atau

Page 103: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

91

diniati ketika kamu menyerahkan kepada wakil kepada orang yang mau

menyerahkan zakat tersebut. Contohnya, seumpama saya mau menyerahkan zakat

kepada seseorang, toli (kemudian) saya nyuruh orang lain, “Ini tolong antarkan

zakat saya kepada si A.” Lah ini sudah kalimat zakat saya. Ini sudah ada ta’yȋn

kalimat tersebut adalah zakat saya. Dan ketika si wakil itu memberikan kepada

orang lain yang saya tuju, tidak perlu mengatakan ini zakatnya babah (panggilan

santri kepada dirinya), ini zakatnya. “Ini dari babah” ini sudah cukup. Ngertos nopo

boten?

Jadi yang menyerahkan itu tidak mesti harus mengatakan kalimat zakat. Tapi

yang penting, yang mengeluarkan zakat ini sudah memberikan kalimat atau sudah

menentukan bahwa harta yang mau diberikan itu adalah merupakan zakatnya.

Ngertos nopo boten?

Wa qabla al-tafarruqoti li’usri (i)qtirȃnihȃ biadȃi kulli mustahiqqin. Karena

memang susah. Karena memang apa? Susah. Untuk membarengkan niat zakat

kepada orang lain karena memang orang yang diberikan zakatnya itu bisa karena

rumahnya atau pun yang tertuju itu tidak serumah dengannya ataupun yang lainnya.

Walaw qȃla lighairihi tașaddaqa bihȃżȃ. Tsumma nawȃ (al)-zzakȃta qabla

tașadduqihi biżȃlika ajzaahu. Atau tashaddaq, tadi maaf, tașaddaq sodaqoha sira

bihȃżȃ kelawan ikilah harta. Kalau seumpama ada orang yang memberikan zakat

tersebut dan dia mengatakannya bukan bahasanya zakat tapi mengatakan bahwa

tolong șadaqah-kan harta ini kepada orang lain. Ini boleh tidak? Lah ini. Lihat!

Tsumma nawa (al-)zzakata qabla tașadduqihi bidzalika, ajzaahu. Namun setelah

atau sebelum benda tersebut dishadaqohkan lalu dia niat bahwa șadaqah yang

dimaksud itu adalah zakat, maka ini sudah bisa menjadi sah niat zakatnya. Karena

apa? Karena kalimat tashaddaqo ini belum bisa bermakna zakat. Karena yang

namanya tașaddaqa atau șadaqat ada dua, ada șadaqatun mafrȗḍatun artinya apa?

Șadaqah yang diwajibkan, ada yang, apa namanya, șadaqatun mustahabbatun,

șadaqah taṭawwu’, artinya șadaqah sunnah. Kalau cuma șadaqah saja masih dua

punya kemungkinan, kemungkinan șadaqah mafruḍah kemungkinan șadaqah

taṭaw? taṭawwu’. Kalau yang diucapkan itu sebagai șadaqah dan sebelum

Page 104: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

92

diserahkan dia sudah ada qașdu bahwa yang dimaksud șadaqah itu șadaqah zakat

maka itu sudah cu? sudah cukup.

Berbeda dengan law qȃla liakhor iqbiḍ daynȋ min fulan wahuwa laka zakatun.

Iqbidl dayni min fulan wahuwa laka zakatun lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda

qobḍihi. Berbeda dengan seumpama kamu disuruh oleh saya untuk menagih hutang

kepada orang yang punya hutang kepada saya, “Bang (panggilan akrab kepada para

santri karena mayoritas santrinya dari Jakarta), tolong tagihin uang pada orang?”

“berapa?” “250000.” Tagihkan uang dua ratus ribu [sic] dan itu nanti buat zakat

kamu. Dan itu nanti buat zakat kamu, artinya saya berikan kepada kamu sebagai

zakatnya saya. Lah kalau niat yang seperti itu, maka itu masih belum sah niatnya.

Kenapa? Karena uangnya masih belum ada di tangan dia. Dan dia pun masih belum

tentu bisa, apakah orang yang ditagih itu mau membayarkan saat itu ataukah orang

yang ditagih itu nanti-nanti kalau waktu itu belum punya uang. Maka lam yașihha

niat zakat yang seperti itu kecuali apabila hartanya sudah diterima oleh si penagih

dan dia laporan. “Ini pak, alhamdulillah uangnya dia mau bayar.” “Berapa?” “250

(ribu).” “Mana?” Ya sudah kalau begitu, silakan buat kamu sebagai zakat saya.

Nggih nopo boten? Itu berarti boleh kalau yang seperti itu.

Lam yakfi hatta yanwiya huwa bakda qabḍihi tsumma ya’dzana lahu fi akhżiha.

Artinya dia boleh untuk mengambilnya dan itu adalah dia berikan sebagai zakat

dari dirinya. Wa afta ba’ḍuhum anna (al-)ttawkila almuṭlaqa fȋ ikhrȃjihȃ yastalzimu

(al-)ttawkil fȋ niyyatihȃ. Orang yang diwakili atau mewakili seseorang untuk

mengeluarkan zakat ini juga diperlukan untuk niat. Makanya niat zakat itu ya, yang

penting niat zakat itu adalah barang yang dizakatinya ada di depan mata, atau dia

tahu bentuk bendanya, dia tahu bentuk barang yang mau dizakatinya. Makanya

kalau di Buntet Pesantren, zakat yang fitrah itu supaya tahqiq, maka orang yang

niat itu sambil memegang berasnya lalu dia mengucapkan niat, walaupun ada niat

yang secara bagus, nawaitu an ukhrija zakȃtal fiṭri ‘an nafsȋ farḍan lillahi ta’ȃlȃ.

Lah kalau seumpama orangnya tidak ada, ya, makanya dia harus tawkil kepada yang

mau mengeluarkan zakatnya. Kalau tidak maka dia bisa mengeluarkan zakat

sendiri atau nanti di-tawzi’ dan dibagikan kepada yang lain. Kayak contoh

seumpama, para santri ketika dia mengeluarkan zakat fitrah dan santri tidak pulang,

seumpama. Santrinya tidak? Tidak pulang . Ini maka santri bisa zakat sendiri di

Page 105: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

93

tempat masing-masing atau orang tua yang mengeluarkan zakat dan diberikan

kepada orang yang ada di asal tempat tinggalnya namun di sini harus tawkil. Harus

apa jeh? Harus tawkil. Tidak bisa kamu niat lewat telepon saja seumpama. “Ya

udah pak, saya iatnya pakai telfon saja,” seumpama. Gak bisa. Karena apa? Karena

dia tidak mengetahui barang apa yang mau dizakati. Makanya “ya udah pak, tawkil

saja.” Artinya, nanti orang tua kamu yang mewakili niat zakatnya. Gampang. Tidak

perlu pakai yang, apa namanya, yang resmi-resmi. Contohnya, “hȃżȃ zakȃtu fiṭri

ibnȋ, ini zakat fitrah anak saya, namanya ini,” udah. Nah itu, itu. Artinya apa? Si

tawkil juga harusnya tidak boleh hanya sruntul dibagiaken saja. Ini gak boleh.

Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten? Lah ini.

Qȃla syaikhunȃ wa fihina bal muttajid annahu lȃ budda min niyyati (a)l-mȃlik

aw tafwiḍihȃ li (a)l-wakil. Artinya yang penting itu pemilik harta ketika mau

mengeluarkan zakatnya maka malikul mal harus apa? Harus niat, niat dikeluarkan

apakah itu langsung diberikan kepada mustahiknya atau ya diserahkan kepada

orang lain untuk memberikan menyampaikan kepada mustahik zakat tersebut, ya

sudah harus diniati.

Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten?

Ya jadi seperti itu. Lebih baik. Karena dalam bahasanya zakat itu kan ada yang

memberikan makna, apa namanya, kotoran. Ada yang memberikan makna ada

sebagai pembersih. Nggih nopo boten? Makanya, apa namanya, tidak perlu

mengucapkan “Pak, pak kiai, ini zakat saya,” seumpama. Ini gak perlu

mengucapkan seperti itu. Ya, cukup langsung diberikan saja. “Mohon diterima, pak

kiai, șadaqah saya.” “Apa?” “șadaqah saya.” Padahal sebelumnya kamu sudah niati

apa? Zaa? Zakat. Itu gak jadi masalah. Untuk menyamarkan jangan sampai

memberikan kalimat zakat kepada terutama orang-orang yang sangat kita hormati.

Ngertos nopo boten? Ngertos nopo boten?

Wa jȃza likullin min (al-)syarikaini. Tsumma qȃla, wallȃhu a’lam bi (al-)șawab.

Page 106: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

94

C. Sistem Terpadu

Kiai : Bismillah(i) (al-)rrahman(i) (al-)rrahim

Wal ‘ilmu | lan weruh, bifarḍiyyatiha | kelawan kefarduane solat.

Ya. Syarat berikutnya mengetahui hukum fardlunya salat. Sebagaimana yang

kita ketahui, hukumnya salat yang lima waktu itu wajib atau sunnah? Kalau

nganggep sunnah salatnya tidak ess?

Santri : Saah

Kiai : Ngerti?

Santri : Ngerti.

Kiai : Atau tidak punya anggap-anggapan. “Kamu salat apa?” “Salat

Maghrib” “Wajib apa sunnah?” “Ya entah pokoknya temen-temen solat ya

solat saja. Ndak ngerti wajib atau sunnah.” maka tidak ess?

Santri : Sah

Kiai : Jadi harus diyakini wa?

Santri : Jib.

Kiai : Kalau solat wajib harus diyakini wa?

Santri : Jib

Kiai : Kalau solat wajib diyakini sunnah maka tidak ess?

Santri : Sah

Kiai : Atau tidak diyakini apa-apa asal salat saja gak mengerti itu wajib

apa sunnah, maka juga tidak ess?

Santri : Sah

Kiai : Jadi solat yang lima waktu harus kita yakini hukumnya waa?

Santri : Jib

Kiai : Makanya di dalam hatinya ketika niat, ușalli farḍo dan nama so?

Page 107: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

95

Santri : Lat

Kiai : Ya? Ngerti? Kalau solat fardu diyakini sunnah atau tidak diyakini

apa-apa maka salatnya tidak ess?

Santri : Sah

Kiai : Jelas? Wa anla ya’taqida | lan yenta ora nekadaken sopo wong,

farḍon | ing fardu suwiji, min furuḍiha | setengah saking piro-piro farḍune

solat, sunnatan | ing sunnah.

Kiai : Iya. Yang tulisannya sunnatun diganti sunnatan. Syarat yang

ketujuh, rukun-rukun solat jangan sampai dianggap sunnah. Kalau rukun-rukun

solat dianggap sunnah tidak ess?

Santri : Sah

Kiai : Contohnya kalau baca Fatihah di dalam solat sunnah apa wajib?

Kalau nganggep sunnah, solatnya tidak ess?

Santri : Sah.

Kiai : Doa iftitah wajib apa sunnah? Doa iftitah itu hukumnya sunnah.

Tapi kalau nganggep wajib tidak apa?

Santri : apa (tidak apa-apa).

Kiai : Kalau yang sunnah dianggep wajib tidak apa?

Santri : Apa.

Kiai : Yang penting, yang wajib jangan sampai dianggap sunn?

Santri : Sunnah.

Kiai : Kalau sunnah dianggap wajib tidak apa?

Santri : Apa.

Kiai : Baca surat setelah Fatihah wajib apa sunnah?

Santri : (Diam)

Page 108: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

96

Kiai : Wajib apa sunnah? Sunnaaah. Kalau ngaggep wajib tidak apa?

Santri : Apa.

Kiai : Jadi yang penting, yang rukun jangan sampai dianggap sunnah.

Kalau yang sunnah dianggap rukun tidak apa?

Santri : Apa.

Kiai : Makanya kalau kita tidak ngerti ini sunnah apa rukun, lah anggap

saja semuanya rukun tidak apa?

Santri : Apa.

Kiai : Tasyahud awal rukun apa sunnah?

Santri : (Diam)

Kiai : Tasyahud awal pada solat Maghrib, Isya, Luhur, Asar. Itu ada

tasyahud awal itu. Wajib apa sunnah?

Santri : Wajib

Kiai : Wajib apa sunnah? Tasyahud awal? Sunn?

Santri : Sunnah

Kiai : Kalau nganggep wajib tidak apa?

Santri : Apa.

Kiai : Enggak papa yaa. Makanya kalau ngajarin solat pada anak-anak,

ajarin saja sesempurna mungkin. Yang sunnah-sunnahnya diajarin semua

supaya bisa semua. Kalau sudah terbiasa melaksanakan yang sunnah, ya tidak

berat lagi. Tidak keberatan lagi. Enak yaa. Jadi orang solat berikut melakukan

yang sunnah-sunnahnya, sama saja dengan makan banyak lauknya. Semakin

lahap, semakin enak. Solat juga semakin sempur(na)?

Santri : (sempur)Naa.

Kiai : pahalanya semakin be(sar)?

Santri : (be)Sar

Page 109: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

97

Kiai : Katanya orang solat itu pahalanya sepuluh? Kok semakin besar?

Ya sepuluhnya sepuluh apa dulu? Sepuluh kambing dan sepuluh sapi besaran

mana?

Santri : Sapi.

Kiai : Iya lah itu. Kualitas solatnya semakin ting(gi)?

Santri : (ting)Gii.

Kiai : Jelas yaa? Jadi rukun solat jangan sampai dianggap sunnah. Kalau

sunnahnya solat dianggap rukun tidak apa?

Santri : Apa.

Kiai : Wajtinabul mubṭilati | lan ngadohi piro-piro perkara kang batalaken

solat. Yang kedelapan menjauhi segala yang membatalkan solat. Ya, otomatis

solatnya batal kalau melakukan sesuatu yang membatalkan solat. Makanya

menjauhi segala yang membatalkan solat dari mulai allahu akbar sampai

assalaamu ‘alaikum warahmatullah. Jangan melakukan satu pun sesuatu yang

membatalkan so?

Santri : Lat.

Kiai : Dari mulai takbir sampai sa?

Santri : Lam.

Kiai : Kalau melakukan sesuatu yang membatalkan solat ya otomatis

solatnya batal. Harus diulangi lagi. Jelas belum?

Santri : Jelas.

Kiai : Nanti insyaallah fasalnya ada di belakang, apa saja yang

membatalkan solat. Salah satuya, misalnya, sedang solat ngomong maka

membatalkan solat. Ngomong sedikit kalau disengaja, atau banyak walaupun

alesan tidak sengaja. Itu salah satu yang membatalkan so?

Santri : Lat.

Page 110: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

98

Kiai : Kita menjauhinya. Segala yang membatalkan solat dari mulai

takbiratulihram sampai sa?

Santri : Lam.

Kiai : Jelas belum?

Santri : Jelas.

Kiai : Al-ahdȃtsu | utawi piro-piro hadats, iku itsnȃni | loro. Ya. Kemarin

kita sudah menjelaskan bahwa salah satu syaratnya solat harus bebas dari dua

hadas. Nah ini makanya hadas tuh ada du?

Santri : Dua.

Kiai : Așgharu | sewiji hadats cilik, wa akbaru | lan hadas gede. Satu

hadats kecil yang kedua hadats bes?

Santri : Sar.

Kiai : Fal-așgharu | maka utawi hadats cilik, iku ma | barang, awjaba |

kang majibaken opo ma, al-wuḍua | ing wudu. Yang nama hadats kecil adalah

sesuatu yang mewajibkan wudu. Atau dengan menggunakan kata lain sesuatu

yang membatalkan wudu. Sesuatu yang membatalkan wudu itu disebut hadats

ke?

Santri : Cil.

Kiai : Apa lagi yang membatalkan wudu? Kemarin kan sudah dibahas.

Sesuatu? Iya. Yang keluar dari kubul atau dubur. Baik sengaja atau?

Santri : Tidak sengaja.

Kiai : Baik biasa atau?

Santri : Luar biasa.

Kiai : Baik berbentuk benda? Benda padat, cair, dan? Beracun. Ya itu ya.

Yang kedua hilang? Hilang akal. Baik sengaja ataupun tidak sengaja. Baik

karena sakit atau ti?

Page 111: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

99

Santri : Dur.

Kiai : Kecuali tidurnya orang yang merapatkan pantatnya, maka tidak

batal karena akalnya tidak hilang dan tidak kentut.

Santri : Yang ketiga apa? Yang ketiga apa yang membatalkan wudu? Sen?

Sentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan yang sama-sama sudah dewasa

dan tidak ada pertalian mahram kemudian tidak ada penghalang. Itu ya. Itu

yang ketiga. Satu lagi yang keempat. Menyentuh kubul anak?

Santri : Anak Adam.

Kiai : Termasuk kepunyaan sendiri. Karena kan kita keturunan Adam,

bukan keturunan monyet. Atau kepunyaan jabang bayi kalau pakai dalamnya

telapak tangan. Kalau pakai luarnya tidak batal. Itulah hadas kecil. Sesuatu

yang mewajibkan wudu atau dengan kata lain sesuatu yang membatalkan wudu

itu disebut hadas kecil. Nah ini kalau kita solat harus bebas dari hadats tersebut.

Wal-akbaru | lan utawi hadas gede, iku ma barang, awjaba | kang majibaken

opo ma. al-ghusla | ing adus.

Yang nama hadas besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Apa lagi yang

mewajibkan mandi? Ada berapa saja kemaren tuh? Tadi saja baru dibaca.

Mữjibatul ghusli sittatun. Berapa sittatun tuh?

Santri : Enam

Kiai : Eh iya enam. Pinter orangnya sih. Yang mewajibkan mandi ada e?

Santri : Enam. Satu apa? Ȋlajul hasyafati memasukkan hasyafah ke dalam?

Santri : Farji.

Kiai : Iya, memasukkan hasyafah ke dalam farji. Walaupun milik orang

gila. Walaupun milik orang maa?

Santri : Ti.

Kiai : Walaupun milik binatang ter?

Santri : Nak.

Page 112: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

100

Kiai : Kalau memasukkan ke situ, maka mewajibkan man?

Santri : Di.

Kiai : Ya? Ngerti? Baik yang kemasukan maupun yang memasukkan.

Ya? Yang kemasukan berarti perempuannya. Yang memasukkan berarti

pemilik kelamin laki-lakinya. Keduanya wajib mandi kalau sama-sama orang.

Kalau sama-sama orang. Kalau satunya binatang sih? Binatang gak wajib

mandi karena gak bisa mandi. Mandi juga dimandikan paling. Yang kedua

keluar mani. Baik sengaja atau tidak sengaja. Baik yang biasa ataupun luar

biasa. Baik dalam keadaan tidur atau melek. Apapun penyebabnya. Baik laki-

laki maupun perempuan itu keluar mani, maka wajib mandi. Yang ketiga keluar

darah haid. Nanti tapi kalau hed-nya sudah berhenti. Khusus bagi perempuan.

Yang keempat nifas. Kalau sudah berhenti. Ini juga berlaku? (bagi perempuan).

Yang kelima melahirkan. Juga berlaku khusus perempuan. Yang keenam mati.

Apa sebabnya orang mati dimandikan? Sebabnya gak bisa mandi sendiri atau

gak mau mandi sendiri. Walaupun bisa mandi sendiri juga tetap wajib mandi.

Yang wajib adalah orang hidup. Yang wajib memandikan adalah orang

hidupnya. Ngerti?

Santri : Ngerti.

Kiai : Itulah hadas besar. Nah kita kalau solat harus bebas dari hadas kecil

maupun hadas besar. Ya? Kalau masih berhadas ya harus dibebaskan dulu.

Kalau hadas kecil dibebaskannya dengan berwudu. Kalau hadas besar

dibebaskannya dengan cara?

Santri : Mandi.

Kiai : Iya. Ngerti yaa? Baru kita solat.

Ayo, dibaca, bismillah!

Page 113: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET

101

BIODATA PENULIS

Lahir dengan nama Muhammad Syakir Niamillah

Fiza, lelaki berkacamata itu kali pertama menangis

melihat keadaan dunia pada 20 Januari 1996 di Cirebon.

Sulung dari tujuh bersaudara itu merupakan putra

pasangan Imaduddin dan Fatmah. Ia beralamat di

rumah kedua orang tuanya di rumah No. 29 Rt/Rw

12/04, Ds. Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura,

Kabupaten Cirebon.

Sejak mula masuk pendidikan formal di taman kanak-kanak, hingga duduk di

bangku aliyah, santri pesantren kilat itu menuntaskan pendidikan formalnya di

tanah kelahirannya.

Saat ini, pengelola akun Facebook, Instagram, dan Twitter Syakirnf itu masih

berkelana di ibu kota untuk kembali ke kota ibu.

Page 114: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA PENGAJIAN DI BUNTET