alfathri adlin

Upload: rizalbuntal

Post on 08-Mar-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

its about life

TRANSCRIPT

Alfathri Adlin13 hrs"Terbuka" dan "bebas menyatakan pendapat", setidaknya dua kata itulah yang jadi mantra sakti di zaman media sosial seperti sekarang ini. Dan yang paling seringmendapat serangan dari kedua mantra sakti era media sosial ini adalah 'agama'...Melihat wall salah satu friend saya, Mbak Nunik yang keren itu, saya cuma bisa nyengir melihat berbagai lontaran di kolom comment-nya, bahkan hingga muncul usulan agar Al-Quran diedit saja dengan dalih 'agama itu untuk manusia dan bukan manusia untuk agama'...Sedikit latar belakang saja. Sejak masih jadi mahasiswa di ITB saya sudah aktif di unit SKAU (Salman Komunikasi Aspirasi Ummat), unit 'anak nakal Salman' yang senang menjelajahi pemikiran dan tak jarang secara 'liar' hingga membuat pihak YPM Salman gerah juga (bahkan kami pernah mengundang Kang Jalal secara diam-diam), namun untunglah mereka adalah para tetua yang bijak dan sabar dalam menghadapi 'keliaran' kami. Lalu saya pun sudah jadi penerjemah buku tashawwuf dan wacana teoretik sejak masih jadi mahasiswa ITB, lalu jadi editor Jalasutra dan kini jadi editor Pustaka Matahari, dan kini sedang menulis tesis di STF Driyarkara. Jadi, wajar jika saya punya banyak kenalan di berbagai komunitas pengkaji dan peminat wacana, juga kenal baik dengan sebagian penulis dan pemikir di Indonesia. Setidaknya saya berteman baik dengan banyak orang di lingkungan tersebut.Namun, tak jarang saya pun bertemu orang-orang baru yang juga sama-sama meminati kajian kritis khas wacana teoretik. Tak jarang, saya mendapati orang-orang yang--saya tidak tahu apa yang mereka alami di masa lalu--tiba-tiba melancarkan kritik ini itu terhadap agama, dalam hal ini khususnya adalah Islam, dengan menggunakan dua mantra sakti tersebut (terbuka dan kebebasan menyatakan pendapat). Akan tetapi, saat saya coba telusuri 'agama macam apa yang sedang diserangnya' seringkali itu hanya 'agama dalam pemahaman common sense' diimbuhi 'skandal ini itu dari kalangan agamawan yang menjadi bukti bahwa agama gagal sebagai ajaran adiluhung, apalagi untuk diterima oleh nalar'... Saya biasanya memilih untuk diam saja atau mengalihkannya agar hanya bicara 'wacana teoretik saja dan tak perlulah hantam kromo sana sini terhadap agama dengan modal pemahaman yang mungkin hanya sisa dari pelajaran waktu SMA atau--lebih parah lagi--sisa pelajaran waktu SD dulu.' Kalau pun saya coba tanggapi, toh yang mencuat hanyalah 'debat kusir' dan upaya pembenaran diri ala logika panitia ospek (peraturan ospek biasanya berbunyi: 'panitia selalu benar; jika panitia salah, ingatlah bahwa panitia selalu benar'). Itu hanya membuang tenaga saja.Seperti yang saya tulis dalam status sebelumnya: 'Kita tak bisa mengkritik Islam di ujungnya saja, seolah kitab sucinya bermasalah, lalu rombak kitab sucinya. Itu pembelajar yang malassmile emoticonCobalah belajar dari hal yang paling dasar soal Islam, bangunlah satu per satu, bata demi bata, hingga paham seperti apa bangunannya, barulah kita bisa mulai bertanya secara kritis. Pertanyaan di ujung tanpa dasar apa pun soal pengetahuan tentang Islam yang memadai cuma bikin capek. Kalau sekadar pakai logika dan hantam kromo sana sini, di kampus saya sudah kenyanglah dengan yang beginian." Ini tak ubahnya anak kecil diberi Ferrari, langsung tancap gas dan entah apa yang ditabraknya. Hanya karena sedikit kenal filsafat dan belajar logika sesaat, maka segala hal pun dihantam. 'It's cool to deconstruct religion', begitu barangkali. Lupa bahwa seseorang yang hanya memiliki palu akan melihat segala hal sebagai paku...Ketika mbak Nunik yang keren itu bertanya, kenapa para ulama diam saja dalam berbagai perdebatan di dunia maya; kakak ipar saya (yang nota bene adalah ustad tulen, dan bukan saya) menjawab: "Tuh kan. Kenapa sebagian ulama cenderung pasif. Karena yang diajak diskusi terlihat bukan membuka diri menerima kebenaran yang gak mudah ditemukan tapi tampak berusaha membenarkan apa yang diyakininya. Ada pihak-pihak lain yang jauh lebih bermanfaat untuk dilayani karena kehausan akan kebenaran dan bukan sebatas adu pemikiran dan adu keyakinan."Betul. Saya pun tak mau terlibat perdebatan di media sosial. Melelahkan. Namun, bagi mereka yang memang datang dan ingin bertemu untuk berdiskusi dengan niat 'Kang, saya sedang mencari nih, bisakah kita bertemu untuk berdiskusi', saya seringkali ladeni. Dan karena saya termasuk kelas menengah ngehe, maka pilihan saya seringkali adalah 'yuk, kita ketemuan di cafe anu'.... Lalu kami pun bertemu serta diskusi terbuka dan bebas menyatakan pendapat bukan untuk membenarkan diri sendiri. Dari situlah saya justru jadi memiliki banyak sahabat dekat di media sosial ini. Bahkan saya--sebagai seseorang yang digelari 'NU kultural' oleh sebagian teman NU--jadi punya banyak kenalan dari NU, juga belajar dari mereka, karena pertemuan di media sosial ini.Jika mantra 'terbuka' dan 'bebas menyatakan pendapat' itu adalah mata uang perdebatan di media sosial dan ruang publik saat ini, rasanya saya pun sudah cukup terbuka untuk serius belajar filsafat bahkan hingga memutuskan untuk kuliah di STF Driyarkara, namun di sisi lain, saya pun menjadi salik sebuah thariqah dan mendalami Al-Quran di sana. Maka, wajar dong jika saya pun menuntut pemahaman yang berimbang juga soal Islam dari para pengkritiknya--khususnya Muslim juga--dan bukan cuma modal kesetisasi (tahu teori feminis secara mendalam, lalu hantam Islam dengan label patriakis dan misoginis terkait 'hukum waris' dan 'poligami' dengan tidak terlebih dahulu mempelajari Islam secara mendalam dan serius, misalnya; tentu banyak lagi contoh lainnya, bukan cuma feminisme).Saya, misalnya, memiliki beberapa perbedaan pandangan dengan mas Haidar Bagir dan Tasawuf Positif yang beliau usung (walau pun kami rasanya sama-sama neo-tradisionalis), namun hingga detik ini saya masih tercatat sebagai penerjemah buku Mizan, dan hubungan kami baik-baik saja tuh. Ketika mas Haidar melontarkan kritik terhadap thariqah dan fungsi mursyid, saya memikirkan dengan serius tanggapan ketidaksetujuan saya terhadap pandangan beliau tersebut. Saya mempersiapkan diri dengan mengakses buku ini itu dan kitab para sufi, bahkan hingga Lisanul Arab. Itu salah satu penghormatan saya kepada mas Haidar yang selain mengkaji tashawwuf secara mendalam juga membuat disertasi tentang perbandingan antara Hedidegger dengan Mulla Sadra. Namun, saya tak mau membuang waktu dan tenaga saya untuk menanggapi kenyinyiran ini itu terhadap Islam dari para pembelajar pemalas yang hantam kromo sana sini dengan hanya bermodalkan secicip logika yang diberi mantra 'keterbukaan' dan 'kebebasan menyatakan pendapat'... Ini mengingatkan saya kepada perkataan Soren Kierkegaard, filsuf dari Denmark, bahwa: Orang-orang menuntut kebebasan bicara sebagai kompensasi bagi kebebasan berpikir yang jarang mereka manfaatkan.Sebagai penutup, saya sajikan puisi apik dari Maulana Jalaluddin Rumi di bawah ini:Kita kecanduan diskusi rumit, dan gemar mengatasi masalah.Bolak-balik kita membuat simpul lalu mengurainya kembali.Terus menerus kita membuat aturan tentang cara menampilkan kesulitan,dan untuk menjawab aneka pertanyaan yang diajukan.Kita seperti burung yang melonggarkan jerat lalu mengencangkannya kembali dalam rangka meningkatkan keterampilan.Sehingga hilang kesempatan terbang jelajahi medan terbuka; sehingga hilang kesempatan kunjungi padang rumput, habis umur sibuk dengan simpul.Tetap saja buhul jerat tak terkuasai, walau sayap burung berkali-kali patah.Simpul jerat tak untuk dilawan, jaga agar sayapmu tak patah.Jangan rusak bulu pelindungmu hanya sekadar untuk tunjukkan pada dunia, betapa hebatnya usahamu.NB: Seperti percakapan saya dengan istri, hal serupa bisa juga terjadi di wilayah lain, misalnya seperti yang menimpa Dr. Warsito yang oleh sebagian orang ditanggapi dengan sengit, seolah beliau tak diperlakukan dengan adil oleh pemerintah dan otoritas kedokteran. Well, saya sepakat dengan pendapat sahabat saya, kangmas Sigit, bahwa "Memberikan hak kesehatan dan pendidikan kepada seluruh rakyat, adalah tanggung jawab pemerintah. Membuat 85% pasien kanker tetap punya jalan keluar penyembuhan, adalah tanggung jawab pemerintah. Bukan tanggung jawab dokter. Tanggung jawab dokter adalah berjuang atas kesembuhan pasien yang dia tangani. Dan para dokter seperti teh Sofiati Dian tentu harus memegang teguh ilmunya. Lha kalau bukan ilmunya yang dipegang teguh, apalagi yang dipegang. Jadi, para profesional seperti dokter, psikolog dan lain sebagainya, tidak bertanggung jawab terhadap tidak tersedianya akses penyembuhan. Tapi juga tidak perlu bertindak sebagai pemerintah." Jadi, tak ada salahnya jika dalam 'keterbukaan' dan 'kebebasan menyatakan pendapat' itu ditambahi juga dengan 'keseriusan untuk mempelajarinya terlebih dahulu dengan baik agar tidak asal hantam kromo sana sini'...smile emoticonDemikian. Mohon maaf jika ada silap kateu. Wallahu a'lam bishawwab. Wassalam